Bakti Pendekar Binal Jilid 37

Esoknya Bu-koat dan Thi Sim-lan lantas berangkat langsung ke Ku-san.

Seperti sengaja dan juga seperti tidak sengaja Bu-koat selalu mempertahankan jarak tertentu dengan Thi Sim-lan, pada waktu berjalan ia selalu mengintil di belakang si nona, waktu makan ia sengaja berkutak-kutek pekerjaan lain, setelah Sim-lan hampir selesai makan barulah dia mulai makan. Bila bermalam juga dia tidak minta kamar sebelah-menyebelah melainkan mencari kamar yang agak berjauhan.

Perasaan mereka seakan-akan sangat berat, sepanjang hari jarang beromong apa lagi tertawa.

Orang-orang di sepanjang jalan diam-diam sama kagum melihat muda-mudi yang cakap dan cantik itu. Tapi tiada yang tahu bahwa hati mereka sebenarnya kacau seperti benang kusut dan pedih tak terkatakan.

Yang mereka perhatikan adalah keselamatan Siau-hi-ji. Kini “Yan Lam-thian” sudah mati, di dunia ini hampir tiada seorang pun yang benar-benar mau menolong Siau-hi-ji dengan setulus hati.

Sebaliknya musuh Siau-hi-ji bukan saja teramat banyak, bahkan setiap musuhnya adalah tokoh paling lihai jaman kini. Sekarang dia pergi ke Ku-san sendirian, memangnya dia dapat kembali dengan hidup?

Kini, hampir setiap tokoh yang berbahaya di Kangouw seakan-akan sudah berkumpul di Ku-san, makanya di tempat lain tampaknya aman tenteram.

Sudah dua hari mereka dalam perjalanan, waktu bermalam lagi hari ini, dini sekali Hoa Bu-koat masuk kamarnya, tapi mana dia dapat tidur. Dia hanya duduk termenung.

Angin meniup dari celah-celah jendela, api lilin di atas meja terkadang tertiup memanjang, habis itu lantas menyurut pendek lagi, lilin terus lumer dan menetes ke bawah dan makin pendeklah batang lilin itu sehingga tatakan lilin pun hampir penuh oleh cairannya.

Bu-koat memandangi api lilin itu dengan termangu-mangu, hatinya berpikir mengenai Siau-hi-ji, mengenai Thi Sim-lan dan juga teringat kepada Ih-hoa-kiong. Lalu teringat pula kepada “Tong-siansing” yang misterius itu.

Setiap orang itu seakan-akan telah membuat sesuatu persoalan yang sukar diselesaikan olehnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Tiba-tiba terdengar orang mengetuk pintu perlahan.

Bu-koat menyangka pelayan yang datang buat menambah air teh, maka tanpa pikir ia berseru, “Pintu tak terkunci, masuklah!”

Tak tersangka olehnya bahwa yang melangkah masuk kemudian ternyata Thi Sim-lan adanya.

Di bawah sinar lampu terlihat si nona memakai baju putih bersih, rambutnya yang hitam gompiok semampir di atas pundak, kelopak matanya kelihatan rada bengkak dan karena itu kerlingan matanya menjadi lebih samar.

Begitu masuk kamar, Sim-lan lantas menunduk.

Hati Bu-koat seperti dibetot mendadak. Dia berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum, “Sudah larut malam, kau belum tidur?”

“Aku... tak dapat tidur,” jawab Sim-lan sambil menunduk. “Ada beberapa patah kata ingin kubicarakan denganmu.”

Bu-koat melenggong sejenak, ucapnya kemudian, “Silakan duduk.”

Sesungguhnya ia tidak tahu apa yang harus diucapkan, terpaksa “silakan duduk” digunakan untuk menutupi kecanggungannya, tapi kata-katanya itu terasa hambar dan kaku.

Sim-lan mendekati meja, tapi tidak lantas duduk, ia ragu-ragu agak lama, seperti mengerahkan segenap keberaniannya baru kemudian berkata dengan lirih, “Kutahu, selama beberapa hari ini kau sengaja bersikap dingin padaku dan menjauhi diriku.”

Kembali Hoa Bu-koat melenggong, jawabnya dengan tersenyum ewa, “Ah, kau... kau terlalu banyak berpikir.”

“Biasanya engkau tidak pernah berdusta, mengapa sekarang bohong padaku?” kata Sim-lan pula.

Bu-koat termangu-mangu sejenak, dengan rasa berat ia duduk, lalu berkata sambil menghela napas, “Jadi kau ingin kubicara dengan sejujurnya?

Sim-lan mengangguk perlahan, ucapnya, “Ya, lambat atau cepat toh harus kau katakan, mengapa tidak kau bicarakan sekarang saja.”

Bu-koat mengelupas secuil cairan lilin dan dipencet-pencet dengan keras seakan-akan hati sendiri yang sedang teremas-remas.

Dengan rasa berat akhirnya ia bicara dengan perlahan, “Kau tahu, antara manusia dan manusia, bila mana sudah lama saling berdekatan, sukarlah dihindarkan timbulnya perasaan suka sama suka, lebih-lebih dalam keadaan susah dan menderita.” Sekata demi sekata ia berucap, nadanya begitu sedih.

Terkesima Thi Sim-lan mengikuti cairan lilin yang diremas-remas Bu-koat itu.

Dengan pedih lalu Bu-koat menyambung, “Dan Kang Siau-hi... bukan saja dia pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan dia telah menjadi sahabat satu-satunya selama hidupku ini, biar pun aku terpaksa harus membunuhnya, tapi apa pun juga aku tak dapat bertindak sesuatu yang tidak baik padanya.”

Sorot mata Thi Sim-lan tiba-tiba menatap lurus ke muka Bu-koat, ucapnya dengan suara rada gemetar, “Memangnya kau kira aku orang macam apa? Kau kira aku akan berbuat sesuatu yang mengkhianati dia?”

Bu-koat menunduk, ucapnya dengan menghela napas, “Aku tidak khawatir engkau akan berbuat salah padanya, tapi aku sendiri, kukhawatir atas diriku sendiri....” ia menggereget, lalu menyambung pula, “Aku tidak tega menyeret perasaanmu ke dalam lingkaran pertentangan ini, bila mana kita terlalu berdekatan, bukan saja aku akan menderita, kau pun akan susah.”

Kepala Thi Sim-lan kembali tertunduk.

“Sebab itulah,” sambung Bu-koat, “Antara kita akan lebih baik bila berjauhan agar kita tidak terjeblos ke tengah-tengah penderitaan, kutahu dengan demikian kau akan sedih, tapi apa boleh buat, aku tidak punya jalan lain yang lebih baik.”

Tubuh Thi Sim-lan rada gemetar, air matanya tampak meleleh. Tiba-tiba ia angkat kepalanya dan menatap Bu-koat, serunya, “Tapi aku... aku ini anak perempuan yang sebatang kara, aku kan ingin menganggap kau sebagai kakak, kuharap engkau percaya padaku....”

Bu-koat tidak bicara, maka si nona menyambung pula, “Kedatanganku sekarang cuma ingin memberitahukan agar kau tidak perlu menjauhi dan juga tidak perlu waswas padaku, asalkan hati kita suci bersih, tentu kita tidak perlu khawatir berbuat salah kepada siapa pun juga dan juga tidak takut apa yang disangka orang.”

Akhirnya Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Baru sekarang kutahu engkau adalah anak perempuan yang tabah dan berani, keberanian ini biasanya sukar terlihat, tapi bila mana perlu, engkau ternyata jauh lebih berani dari pada siapa pun duga.”

Thi Sim-lan menarik napas panjang, ia pun tersenyum dan berkata, “Setelah kukeluarkan seluruh isi hatiku rasanya menjadi lega dan riang, sungguh ingin kuminum secawan arak untuk merayakannya.”

“Baik, hatiku juga sangat riang, aku pun ingin minum arak untuk merayakannya,” tukas Bu-koat sambil berdiri.

Setelah keduanya menumpahkan segenap isi hatinya, seketika mereka merasa seperti terbebas dari belenggu yang berat. Cuma sayang, di hotel ini tiada tersedia daharan dan arak, maka mereka lantas keluar.

Di jalan sudah mulai sepi, kebanyakan toko sudah tutup pintu, pada tikungan jalan sana ada seorang penjual mi babat. Bau sedap dapat tercium dari jauh.

“Apakah kau sudi makan nongkrong di tepi jalan?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

Sim-lan tertawa, segera mereka mendekati penjual mi babat itu, belum lagi duduk ia sudah berseru, “Dua mangkuk mi babat, tambahi pula setengah kati daging rebus dan satu kati arak!”

Penjual mi babat di tepi jalan itu hanya terdiri dari dua meja kecil reyot, semuanya kosong, tiada pembeli, hanya seorang kurus berbaju hitam sedang nongkrong di atas bangku di depan tangkringan dan sedang minum arak.

Asap panas tampak mengepul dari kuali, lampu minyak yang bersinar guram itu membuat suasana bertambah suram.

Di bawah asap panas yang mengepul dan cahaya lampu remang-remang wajah si orang kurus berpakaian hitam itu tampaknya seperti sayur asin di kolong dapur. Tapi sepasang matanya, yang mencorong lebih terang dari pada kelip bintang di langit.

Dia menongkrong di atas bangku sembari menggerogoti sepotong daging sambil minum arak, pikirannya mungkin sedang melayang-layang jauh ke sana. Bila mana ditanya bagaimana rasanya daging rebus dan bagaimana rasanya arak? Pasti ia tidak tahu.

Misalnya ketika kedatangan kedua orang semacam Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat, orang itu ternyata tidak memandangnya barang sekejap.

Seorang yang bernasib jelek dan duduk minum arak di tempat yang sederhana begini untuk mengenangkan kegembiraan dan kebahagiaan di masa lampau adalah keadaan yang jamak. Sebab itulah Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat tidak memperhatikan dia.

Apabila mereka mau memandangnya sekejap dan melihat sorot matanya yang bening tajam itu maka cara bicara mereka mungkin akan lebih hati-hati.

Tapi kini, setelah arak masuk perut, daging rebus terasa lezat, kelip bintang di langit dan semilir angin malam, semua ini telah menambah selera makan sehingga tiada sesuatu yang pantang diutarakan mereka.

Mereka terus mengobrol ke timur dan ke barat, tapi kemudian mereka mengetahui, apa pun yang mereka bicarakan seakan-akan selalu bersangkut-paut dengan Siau-hi-ji.

“Haha,” Bu-koat tertawa. “Sebenarnya terasa gembira cara makan minum begini, tapi aneh, selalu kurasakan masih kekurangan sesuatu. Sekarang baru kutahu apa kekurangan ini.”

Thi Sim-lan menunduk, katanya lirih, “Maksudmu... maksudmu kekurangan satu orang.”

“Betul, tanpa kehadirannya, memangnya kita berdua bisa bersuka ria sepuasnya?”

“Kau pikir, dapatkah tiba waktunya kita bertiga makan minum bersama?”

“Mengapa tidak?” kata Bu-koat.

Thi Sim-lan memandangnya lekat-lekat, ucapnya dengan rawan, “Kau kira, betapa banyak kesempatan kita bertiga berkumpul dan minum arak?”

Mendadak wajah Hoa Bu-koat berubah murung, ia pun termenung-menung agak lama, katanya kemudian, “Orang hidup paling-paling seabad, bila mana dapat berkumpul dengan sahabat dan minum bersama dengan gembira, satu kali pun sudah cukup, kenapa mesti berkali-kali....” dia angkat cawan arak dan berkata pula dengan tertawa, “Marilah, biar kita minum satu cawan demi Kang Siau-hi!”

“Kang Siau-hi,” begitu nama ini disebut serentak si baju hitam tadi membuang sisa daging yang belum lagi habis dimakannya serta menaruh cawan arak, sorot matanya menyapu tajam ke arah Bu-koat berdua.

Dalam pada itu Thi Sim-lan telah menghabiskan isi cawannya bersama Hoa Bu-koat, matanya menjadi berkaca-kaca, ucapnya dengan sayu, “Ya, apabila aku pun lelaki, alangkah baik akan jadinya....”

Waktu dia berpaling, tiba-tiba dilihatnya si baju hitam yang kurus itu telah berada di depannya sambil memegang guci dan cawan arak, sorot matanya yang tajam terus mengerling di antara muka mereka berdua.

Seketika Bu-koat dan Sim-lan melengak.

Sekian lamanya si baju hitam mengamat-amati mereka, tiba-tiba ia bertanya kepada Bu-koat, “Apakah kau ini Hoa Bu-koat?!”

Tentu saja Bu-koat terkesiap, jawabnya, “Betul, saudara ini....”

Hakikatnya si baju hitam tidak mendengarkan ucapan Bu-koat, dia berpaling dan bertanya kepada Thi Sim-lan, “Dan kau ini Thi Sim-lan?!”

Thi Sim-lan mengangguk, saking heran ia tak dapat bersuara.

Siapakah gerangan si baju hitam ini? Dari mana mengetahui nama mereka?

Mata si baju hitam tampak terbelalak lebar, ucapnya pula, “Apakah barusan kalian minum bagi Kang Siau-hi?”

Diam-diam Thi Sim-lan jadi mendongkol juga, ia menarik napas panjang-panjang, mendadak berseru, “Kalau betul kau mau apa?”

Ia tahu musuh Siau-hi-ji tidak sedikit, ia sangka si baju hitam juga akan mencari perkara kepada mereka.

Tak tersangka si baju hitam lantas menyeret bangku ke dekat mereka, setelah duduk, lalu ia berkata pula, “Baik! Kalian telah minum satu cawan bagi Kang Siau-hi, sedikitnya aku harus menghormati kalian tiga cawan!”

Habis itu ia angkat gucinya. untuk menuangi cawan Bu-koat dan Sim-lan. Tentu saja kedua muda-mudi itu memandang cawan masing-masing dengan bingung karena tidak tahu mereka harus minum atau tidak.

Si baju hitam mendahului menenggak isi cawannya sendiri hingga kering, habis itu ia melotot ketika dilihatnya Bu-koat berdua masih diam saja. Serunya, “Ayo minumlah! Memangnya kalian takut arak ini beracun?”

Selagi Hoa Bu-koat masih sangsi, dengan suara keras Thi Sim-lan menjawab, “Maaf, kami tidak bisa minum arak bersama orang yang tidak kami kenal. Jika kau ingin menghormat arak kepada kami, paling tidak harus kau beritahukan lebih dulu siapa dirimu?!”

Si baju hitam mendelik, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, “Tadinya kukira kau ini ramah tamah, siapa tahu mulutmu ternyata tidak banyak berbeda dari pada Siau-hi-ji.”

“Ramah tamahku bergantung kepada siapa yang kuhadapi,” jengek Thi Sim-lan, “Bila mana ada orang yang tidak keruan ingin cari gara-gara padaku... Hmk!” Sekali angkat tangannya, kontan sepasang sumpit yang dipegangnya melayang dan menancap di emper rumah sana.

Tapi sedikit pun si baju hitam tidak mengunjuk rasa kaget atau kagum, dia tetap memandang si nona dengan tertawa, ucapnya, “Kalau perempuan judas ramah tamah terhadap orang lain barulah benar-benar ramah tamah, sebaliknya... Haha wahai Kang Siau-hi, tampaknya rezekimu memang boleh juga.”

Thi Sim-lan menjadi gusar, bentaknya, “Sebenarnya siapa kau? Apa kehendakmu?”

“Kau pun jangan urus siapa diriku, yang penting kau ketahui bahwa aku ini sahabat baik Kang Siau-hi,” ucap si baju hitam.

Terbelalak juga mata Thi Sim-lan memandanginya sekian lama, katanya kemudian, “Baik, jika engkau sahabat Kang Siau-hi, aku mau minum arakmu ini.”

Si baju hitam berpaling kepada Hoa Bu-koat, katanya, “Dan kau?”

“Aku harus tiga cawan paling sedikit,” jawab Bu-koat sambil tersenyum.

“Bagus, bagus sekali! Hahaha, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” si baju hitam bergelak tertawa.

Setelah saling bentur cawan tiga kali bersama Bu-koat, si baju hitam berkata pula, “Kau minum arak bersama nona cantik di bawah sinar bintang seindah ini, namun kau tetap tidak melupakan Kang-Siau-hi. Bagus, bagus sekali, biar kuhormatimu lagi tiga cawan!”

Padahal gucinya sudah hampir kosong, namun sinar mata si baju hitam mencorong, hanya di antara gerak-geriknya nampak sudah agak mabuk, ia tidak urus orang lain minum lagi atau tidak, dan juga tidak lagi mengajak bicara orang lain, ia terus minum sendiri secawan demi secawan, terkadang ia pun menengadah memandang cuaca seakan-akan sedang menantikan datangnya seseorang.

Siapakah gerangan yang dinantikannya?

Dengan heran Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, tanyanya kemudian, “Apakah engkau benar-benar sahabat baik Kang Siau-hi?”

“Kang Siau-hi kan bukan tokoh mahabesar, untuk apa aku mesti memalsukan diri sebagai sahabatnya?” jawab si baju hitam dengan mendelik.

Thi Sim-lan berkedip-kedip, katanya pula dengan tertawa, “Apakah akhir-akhir ini engkau bertemu dengan dia?”

Si baju hitam tidak lantas menjawab, ia termangu-mangu sejenak, lalu menaruh cawannya dengan keras, katanya kemudian, “Terus terang, aku sendiri tidak tahu akhir-akhir ini dia kabur ke mana?”

Setelah merandek, tiba-tiba ia menambahkan pula, “Bila mana kalian bertemu dengan dia, bolehlah sampaikan salamku kepadanya.”

“Memangnya kau sendiri takkan bertemu lagi dengan dia?” tanya Sim-lan.

Si baju hitam termangu-mangu sejenak, jawabnya kemudian, “Mungkin takkan bertemu lagi.”

“Sebab apa?” tanya Thi Sim-lan

Si baju hitam tidak menjawab, hanya menenggak arak terus-menerus.

Thi Sim-lan coba memancing pula, “Bila mana kami bertemu dengan Siau-hi-ji, harus kami katakan siapakah engkau?”

“Katakan saja Toakonya,” jawab si baju hitam dengan berpikir sejenak.

Mendadak Thi Sim-lan berbangkit dan membentak dengan aseran, “Sesungguhnya kau ini siapa?”

“Bukankah baru saja kukatakan padamu....”

“Kentut!” bentak Thi Sim-lan. “Tidak mungkin Siau-hi-ji mengaku orang lain sebagai Toakonya, jangan mendustai aku.”

“Hahaha! Bagus, bagus!” tiba-tiba si baju hitam bergelak tawa. “Kalian memang tidak malu sebagai sahabat karib Siau-hi-ji. Memang betul, dengan setulus hati kusuruh dia memanggil Toako (kakak) padaku, tapi dia justru selalu menyebut aku adik.”

Thi Sim-lan tertawa, ia duduk kembali, ucapnya, “Jika demikian, akan kuberitahukan bahwa adiknya yang menyampaikan salam padanya.”

Air muka si baju hitam rada berubah, tampaknya ia rada gondok, ia melototi Thi Sim-lan tapi tidak jadi marah, akhirnya ia menenggak arak lagi, katanya gegetun, “Kang Siau-hi mempunyai sahabat seperti kalian ini, andaikan mati juga tidak menyesal lagi. Sedangkan aku....?” di bawah sinar lampu yang redup, air mukanya tampak sangat berduka.

“Eh, tampaknya engkau sedang menanggung sesuatu pikiran apa, betul tidak?” tanya Thi Sim-lan.

“Pikiran? Memangnya aku memikirkan apa?” kembali si baju hitam mendelik.

“Jika engkau benar-benar menganggap kami ini sahabat Kang Siau-hi, mengapa tidak kau beberkan isi hatimu, bisa jadi... bisa jadi kami dapat memberi sesuatu bantuan padamu.”

Mendadak si baju hitam menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, “Bantuan? Hahahaa, masakah aku perlu bantuan orang?”

Di tengah suara tertawa yang keras itu seakan-akan juga penuh rasa duka dan murka. Thi Sim-lan ingin bertanya pula, tapi dicegah oleh Hoa Bu-koat dengan kedipan mata.

Dari jauh terdengar suara kentongan, malam ternyata sudah larut sekali.

Sekonyong-konyong si baju hitam berhenti tertawa, dipandangnya Bu-koat dan Thi Sam-lan lekat-lekat, lalu berkata, “Kalian benar-benar hendak membantu aku?”

“Sudah tentu benar,” jawab Thi Sim-lan.

“Bagus, silakan kalian masing-masing menyuguh tiga cawan arak padaku, ini pun sudah terhitung membantu padaku,” ucap si baju hitam.

Setelah menghabiskan enam cawan arak, si baju hitam menengadah dan bergelak tawa pula, katanya, “Tadi aku mengira malam ini akan kulewati sendirian, siapa tahu dapat berjumpa dengan kalian dan telah minum bersama dengan puas, sungguh suatu kejadian yang menggembirakan selama hidupku ini....”

“Malam ini, apakah sangat istimewa bagimu? tanya Thi Sim-lan.

Mendadak si baju hitam berbangkit dan memandang si nona lekat-lekat, seperti mau bicara apa-apa, namun urung, tiba-tiba ia berpaling terus melangkah ke sana.

Sim-lan berseru, “He, jika engkau ingin minum arak pula, bagaimana kalau esok kita berkumpul lagi di sini?”

Sama sekali si baju hitam tidak menoleh, ia bergumam sendiri, “Esok....?”

Dia mendekati si penjual mi babat, dikeluarkannya seluruh isi sakunya, ternyata ada beberapa potong uang emas, belasan biji mutiara, semuanya dia lemparkan ke meja penjual mi babat dan berkata, “Inilah uang makan-minumku, buat kau semuanya.”

Tentu saja penjual mi itu melongo kaget, belum lagi dia sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu si baju hitam sudah berada di kejauhan, cahaya lampu yang remang-remang menyinari bayangan tubuhnya yang semakin memanjang, tampaknya dia begitu kesepian, sedemikian hampa.

Rawan juga perasaan Thi Sim-lan, ucapnya dengan terharu, “Betapa kesepian hidupnya, hanya dua orang mengiringi dia minum arak sudah terhitung kejadian menggembirakan baginya. Entah betapa sunyi dan hampa hidupnya ini?”

“Pada malam sebelum kematiannya dia mengira akan dilewatkannya dengan sendirian, dia ternyata tidak dapat menemukan seorang kawan untuk menemani malamnya yang terakhir,” ucap Hoa Bu-koat dengan perlahan.

“Apa katamu? Malam sebelum kematiannya? Malamnya yang terakhir?” seru Thi Sim-lan.

“Masa kau tidak dapat melihatnya....?” mendadak Bu-koat berhenti berucap, Thi Sim-lan ditariknya terus melayang cepat ke sana.

Langkah si baju hitam tadi rada sempoyongan, jalannya seperti sangat lamban, tapi sekali berkelebat tahu-tahu sudah menghilang ditelan kegelapan malam.

Setelah melintas beberapa deretan rumah Hoa Bu-koat lantas menurunkan Thi Sim-lan, ucapnya, “Biar kususul dia, kau tunggu saja di sini.”

Ginkang Thi Sim-lan sebenarnya tidak lemah, tapi kalau dibandingkan Hoa Bu-koat dan si baju hitam tadi jelas selisih sangat jauh.

Cahaya bintang menyinari wuwungan rumah yang remang-remang kelabu, di kejauhan terkadang ada berkelipnya sinar lampu, hampir semua insan sudah tenggelam di alam impian mereka, bumi raya juga sudah tidur.

Thi Sim-lan berdiri sendirian di situ, angin semilir mengusap tubuh si nona laksana sentuhan kelopak mata kekasih, seperti usapan tangan ibunda. Akan tetapi perasaan si nona tidak dapat ditenteramkan.

Siapakah gerangan si baju hitam tadi? Mengapa dia harus mati? Dia dan Siau-hi-ji....

Sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Bu-koat sudah berada di depannya.

“Dapatkah menyusulnya?” tanya Sim-lan segera.

Bu-koat menggangguk, jawabnya dengan gegetun, “Alangkah hebat Ginkang orang ini!”

“Ke manakah dia?” tanya Sim-lan pula.

Bu-koat tidak menjawabnya, tapi berkata, “Marilah ikut padaku!”

Kedua orang lantas melayang cepat pula ke sana melintasi beberapa deretan rumah.

Saking ingin tahu, Thi Sim-lan bertanya pula, “Cara bagaimana kau tahu dia akan mati?”

“Senantiasa dia memperhatikan waktu, jelas kelihatan malam ini dia hendak melakukan sesuatu urusan penting,” tutur Bu-koat dengan gegetun.

“Ya, hal ini pun sudah kuketahui tadi.”

“Tampaknya perasaannya sangat tertekan, ia pun mengatakan selanjutnya mungkin tak dapat melihat Siau-hi-ji lagi, sebelum berangkat dia memberikan seluruh isi sakunya kepada si penjual mi babat, ini semua menandakan apa yang akan dilakukannya pasti sesuatu urusan yang sangat berbahaya, rupanya dia sudah bertekad melakukannya sekali pun harus mati.”

“Benar....” seru Sim-lan. “Watak orang ini mengapa sedemikian aneh dan angkuh, sudah jelas dia berniat mati, tapi tidak mau memberitahukan pada orang lain dan juga tidak menginginkan bantuan.”

“Tapi dia adalah sahabat Siau-hi-ji, mana boleh kita tinggal diam menyaksikan kematiannya?” ujar Bu-koat.

Sim-lan menggigit bibir, katanya, “Ginkangnya tergolong kelas wahid, andaikan tak dapat menandingi musuhnya pasti juga dapat melarikan diri, tapi dia sama sekali tidak berharap akan dapat lari, maka dapat dibayangkan lawannya pasti sangat lihai dan menakutkan.”

“Sebab itu pula kau harus hati-hati, sebelum ada sesuatu tanda dariku kau jangan sembarangan turun tangan,” pesan Bu-koat.

Sampai di sini, perumahan sudah mulai jarang-jarang.

Tiba-tiba Thi Sim-lan melihat tidak jauh di depan sana ada sebuah biara yang cukup besar, tampaknya seperti gedung kaum hartawan. Dalam keadaan larut malam demikian, di bagian belakang biara ini masih ada sinar lampu.

“Tempat apakah ini?” tanya Sim-lan.

“Sebuah Tokoan (kelenteng agama To).”

“Apakah dia masuk ke Tokoan ini?”

“Ehm,” jawab Bu-koat singkat.

“Kau lihat dia masuk di situ, maka engkau lantas....”

“Waktu dia masuk ke sana, gerak-geriknya sangat hati-hati,” tutur Bu-koat. “Dengan Ginkangnya yang tinggi itu untuk sementara waktu pasti sukar diketahui orang, maka aku lantas memutar balik ke sana untuk mengajakmu ke sini.”

Thi Sim-lan coba mengawasi suasana sekitar kelenteng itu, meski ada cahaya lampu, tapi sedikit pun tiada suara apa pun, lebih-lebih tiada sesuatu tanda akan terjadi mara bahaya.

“Sudah sekian lamanya dia masuk ke situ, mengapa Tokoan ini masih tetap sunyi senyap?” tanya Sim-lan pula. “Memangnya penghuni kelenteng ini tiada mengetahui kedatangannya?” Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi kalau dia sudah bertekad akan mati, biar pun kedatangannya tidak diketahui orang lain, seharusnya dia bertindak sesuatu, mengapa dia masih diam saja dan main sembunyi-sembunyi?”

“Kau tunggu di sini, biar kumasuk ke sana,” kata Bu-koat.

Tapi Sim-lan memegang tangannya dan berucap dengan suara tertahan, “Kukira di balik urusan ini ada sesuatu yang ganjil, bisa jadi dia sengaja bersekongkol dengan orang lain dan memancing kedatangan kita ke sini.”

“Bila mana dia bersekongkol dengan orang hendak menjebak kita, maka aku justru ingin tahu apa yang bakal terjadi,” ujar Bu-koat tersenyum.

Perlahan dia lepaskan tangan si nona, sekali berkelebat dia telah menghilang dalam kegelapan.

Sambil memandang bayangan Bu-koat yang lenyap itu, Sim-lan bergumam sambil tersenyum getir, “Sungguh tak terduga perangai orang ini terkadang serupa benar dengan Siau-hi-ji.”

Kelenteng ini cukup luas, bagian belakang masih ada penerangan, tapi halaman depan dan ruang pendopo gelap gulita, maka tidak kelihatan malaikat apa yang dipuja.

Bu-koat menyusul serambi yang gelap itu dan memutar ke halaman belakang, kemudian diketahui bahwa halaman yang ada penerangannya itu bukan lagi rumah kelenteng tapi berbentuk rumah penduduk biasa, begitu pula alat perabot di dalam rumah.

Bagian depan adalah kelenteng, bagian belakang adalah perumahan biasa, keadaan ini sangat aneh, yang lebih mengherankan adalah seluruh halaman belakang itu tiada terdengar sesuatu suara atau bayangan seorang, tapi di ruangan yang terpajang mewah dengan permadani mentereng itu berbaring seekor harimau loreng yang besar.

Ruangan duduk itu tampaknya tidak cuma sebesar ini saja, sebab di bagian tengah ada selapis tirai kain kuning yang panjang menyentuh lantai, jelas di balik sana masih cukup luas. Dan di depan tirai kuning itulah harimau loreng itu mendekam.

Rumah yang aneh dengan gayanya yang khas, ruangan duduk yang tiada tamunya, tapi ada seekor harimau. Semua ini membuat Hoa Bu-koat heran dan bingung. Yang lebih sukar dimengerti adalah suasana ruangan tamu itu, sebab apa dibatasi menjadi dua bagian dengan tirai?

Rahasia apa pula yang tersembunyi di balik tirai kuning itu?

Dengan hati-hati Bu-koat merunduk maju, ia yakin akan Ginkangnya sendiri, dengan sendirinya gerak geriknya tiada menerbitkan suara sedikit pun.

Siapa tahu pada saat itu juga, harimau yang tampaknya sedang tidur itu mendadak melompat bangun sambil meraung keras sehingga bumi seakan-akan bergetar dan daun kering sama rontok di halaman.

Nyata, walau pun Ginkang Bu-koat tiada taranya, namun harimau itu tidak perlu memandang dengan mata dan tidak perlu mendengar dengan telinga melainkan cukup mengendus dengan hidung saja.

Memang di sinilah letak kehebatan binatang itu, tak peduli siapa pun yang masuk ke ruangan belakang ini, asalkan baunya terendus, maka jangan harap dapat mengelabuinya.

Jika si baju hitam tadi sudah masuk ke ruangan belakang sini, mungkin sekarang sudah lebih banyak celaka dari pada selamatnya.

Sementara itu cahaya lampu bergoyang-goyang, harimau tadi sudah hampir menubruk maju. Keganasan harimau sangat menakutkan, sampai-sampai Bu-koat juga kebat-kebit.

Pada saat itulah dari balik tirai tiba-tiba berkumandang suara halus berkata, “Siau Hoa (si loreng), duduklah, jangan galak seperti anjing penjaga saja, bisa bikin takut tamu!”

Suara itu begitu menggiurkan dan menggetar sukma.

Harimau itu pun seakan-akan dapat merasakan betapa menggiurkan suara merdu itu, benar-benar saja dia lantas membalik ke sana dan duduk kembali seperti mendadak berubah menjadi seekor kucing kecil yang jinak.

Bu-koat melenggong menyaksikan semua ini. Dilihatnya dari balik tirai kuning terjulur sebuah tangan putih mulus, halus lemas seolah-olah tak bertulang, dengan perlahan tangan putih itu membelai harimau, dengan suara merdu ia berkata pula dengan tertawa, “Jika Tuan sudah datang, kenapa tidak masuk saja dan duduklah.”

Diam-diam Bu-koat membatin apakah pengalaman si baju hitam tadi sama seperti sekarang ini? Apakah betul dia masuk ke sini? Setelah masuk kemari lalu apa pula yang dialaminya?

Menurut keyakinan Bu-koat, jika si baju hitam datang ke sini dengan tekad harus mati, maka dia pasti pantang mundur. Biar pun ruangan tamu ini adalah sarang harimau juga pasti akan diterjangnya.

Teringat pada tekad si baju hitam, tanpa ragu lagi Bu-koat lantas melangkah masuk.

Dengan tersenyum simpul ia melangkah masuk setindak demi setindak sebagaimana seorang tamu yang sopan santun hendak berkunjung kepada sahabat lama.

Dari balik tirai lantas terdengar suara tertawa nyaring merdu dan berkata, “Sungguh seorang Kongcu yang cakap, bolehkah kumohon tanya nama Kongcu yang terhormat?”

“Cayhe Hoa Bu-koat,” jawab Bu-koat sambil memberi soja.

“O, kiranya Hoa-kongcu,” kata suara itu.

“Terima kasih, bolehkah kutahu nama harum nona?”

Suara di balik tirai itu tertawa ngikik, jawabnya, “Hihi, aku sudah menikah, mana berani mengaku sebagai nona lagi... aku she Pek.”

“O, kiranya Pek-hujin (nyonya Pek),” kata Bu-koat.

“Terima kasih, silakan duduk Hoa-kongcu,” ucap Pek-hujin atau nyonya Pek.

Sambil mengucapkan terima kasih, benar-benar Bu-koat duduk tanpa sungkan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar