Bakti Pendekar Binal Jilid 25

“Kau tak perlu menyanjung diriku,” jengek Tong-siansing. “Kalau memang aku tidak mau membunuhmu, maka untuk selamanya tetap takkan kubunuh kau.”

“Selamanya?” Siau-hi-ji menegas.

“Ehm!” jawab Tong-siansing.

Siau-hi-ji menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, “Setelah melihat kamarmu sebersih ini serta mengeluarkan bau harum, tadinya kukira engkau adalah perempuan. Untunglah engkau ternyata bukan perempuan, kalau tidak, biar pun engkau sudah menyatakan tidak akan membunuhku juga tak dapat kupercaya.”

“Kau tidak percaya pada perempuan?”

“Kata-kata perempuan sama sekali tidak dapat dipercaya. Barang siapa percaya kepada perempuan, maka celakalah dia!”

“Sebab apa?” tanya Tong-siansing pula.

“Meski di kalangan lelaki juga ada orang jahat, tapi pasti tidak seculas dan sekeji perempuan, lelaki yang paling busuk juga pasti lebih baik dari pada perempuan yang busuk.”

Mendadak Tong-siansing menjadi gusar, dampratnya, “Apakah ibumu sendiri bukan perempuan?! Mengapa kau menista kaum perempuan umumnya?”

“Perempuan di seluruh jagat ini mana ada yang dapat dibandingkan ibuku?” jawab Siau-hi-ji. “Beliau sedemikian halus budinya, cantik lagi dan....” Walau pun dia belum pernah melihat wajah ibundanya, tapi di mata setiap anak di kolong langit ini ibunda sendiri pasti dianggapnya sebagai perempuan yang paling cantik dan paling baik di dunia ini. Apa lagi anak yang tidak pernah mengenal wajah sang ibu, dalam khayalannya tentu terbayang ibu yang cantik dan hal-hal lain yang muluk-muluk, dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tidak terkecuali.

Begitulah omong punya omong tentang ibunya, tanpa terasa Siau-hi-ji lantas memejamkan mata dan berucap menurut khayalannya. Dasar mulutnya memang pintar bicara, maka apa yang dilukiskan menurut bayangannya menjadi lebih muluk-muluk, ibunya dikatakan seolah-olah secantik bidadari dan jarang ada bandingannya di dunia.

Sorot mata Tong-siansing yang dingin itu mendadak seakan-akan membara. Tapi Siau-hi-ji seperti mengigau, “Perempuan lain di dunia ini kalau dibandingkan ibuku, hakikatnya seperti sampah dibanding mutiara, sedikit pun tidak berharga, aku....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong lehernya terasa kesakitan, tubuhnya menjadi kaku, tahu-tahu ia telah diangkat ke atas oleh Tong-siansing.

Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang ternyata sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.

Dilihatnya sorot mata orang berapi-api, tangannya yang dingin mencengkeram semakin kencang, leher Siau-hi-ji seakan-akan diremasnya hingga remuk.

Keruan anak muda itu ketakutan dan berteriak, “He, engkau sudah bilang selamanya takkan membunuhku, apa yang sudah kau katakan mengapa tidak kau pegang?”

“Sebenarnya aku tidak mau membunuhmu, tapi sekarang pikiranku telah berubah,” teriak Tong-siansing dengan suara parau.

“Se... sebab apa?”

“Sebab kau mengoceh tak keruan, aku menjadi geregetan.”

“Bilakah pernah kusembarangan omong?”

“Ibumu itu cantik atau jelek, baik atau busuk, pada hakikatnya kau tidak pernah melihatnya, tapi kau sengaja membual setinggi langit baginya, ini bukan sembarangan mengoceh, lalu apa namanya?”

“Dari... dari mana kau tahu aku tidak pernah melihat ibuku?”

“Hm, kalau aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu?” jengek Tong-siansing alias si topeng perunggu.

“Jika begitu, jadi engkau... engkau pernah melihat ibuku?”

Tong-siansing hanya mendengus saja tanpa menjawab.

“Bagaimana bentuk wajah ibuku?” tanya Siau-hi-ji, betapa pun ia sangat ingin tahu.

“Ibumu adalah perempuan paling jelek di dunia ini, ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ia botak, pendek kata, segala cacat manusia di dunia ini terkumpul seluruhnya pada ibumu, setiap perempuan mana pun di dunia ini pasti jauh lebih cantik dari padanya.”

“Kentut, kentut busuk!” damprat Siau-hi-ji dengan gusar. “Kau sendiri yang sembarangan mengoceh, ngaco-belo!”

Belum lenyap ucapannya, “plak-plok,” kontan ia kena gampar dua kali.

Meski dua kali tempelengan ini tidak mengeluarkan seluruh tenaga Tong-siansing, tapi sudah cukup membuat kedua pipi Siau-hi-ji bengkak seperti kue apem, darah lantas mengucur pula dari ujung mulutnya. Namun begitu Siau-hi-ji masih terus mencaci-maki.

Meski dia tidak pernah melihat sang ibu, tapi bila mana dia terkenang kepada ibundanya, dalam hati lantas timbul rasa yang sukar dikatakan, ya sedih dan juga kasih sayang.

Biasanya Siau-hi-ji tidak berani sering-sering mengenangkan sang ibu, sebab kalau sudah mulai terkenang, maka akan berlarut-larut dan tidak berhenti, makanya tadi begitu dia menyebut ibu, dia terus menyinggungnya tanpa berhenti pula.

Biasanya meski ia pun suka mengikuti arah angin dan bisa melihat gelagat, kalau Tong-siansing ini mencaci maki dia dan ia merasa bukan tandingannya, maka pasti dia takkan melawan dan balas memaki. Tapi sekarang yang dicaci maki orang itu adalah ibundanya, maka dia tidak bisa menerimanya.

Begitulah Tong-siansing masih terus menempeleng dan Siau-hi-ji juga tetap mencaci maki tanpa berhenti. Memang beginilah watak Siau-hi-ji, kepala batu, bandel, berani mati, kalau sudah nekat, mati hidup tak dipedulikan lagi.

“Ayo! Maki lagi, bisa kubunuh kau sekalian!” damprat Tong-siansing dengan menggereget.

Mulut Siau-hi-ji sudah penuh darah, dengan suara serak ia berteriak, “Asalkan kau mengakui ibuku adalah perempuan paling cantik, berbudi paling halus, aku lantas tidak memakimu lagi.”

“Asalkan kau mengakui ibumu adalah siluman paling jelek dan busuk di dunia ini dan segera kuampuni kau,” jawab Tong-siansing.

Kembali Siau-hi-ji meraung kalap, makinya pula, “Ibumu sendiri ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ya gundul, ya....”

Tapi mendadak kedua jari Tong-siansing menjepit janggutnya sehingga dagunya terkilir, “Kau benar-benar ingin mampus?” bentaknya.

Siau-hi-ji tak dapat bersuara pula karena engsel dagunya terlepas dari tempatnya, mulutnya menjeplak, tapi tak sanggup bicara, hanya kedua matanya saja tetap melotot murka.

“Boleh kau mengaku dengan mengangguk, lalu akan kuampuni kau, jika menggeleng, segera kubinasakan kau....”

Belum habis ucapan Tong-siansing, seketika Siau-hi-ji menggeleng kepala seperti orang sakit ayan.

“Mati pun kau tidak mau mengakui ibunya adalah perempuan paling jelek?” tanya Tong-siansing.

Seketika Siau-hi-ji mengangguk-angguk seperti anak ayam menotol nasi.

“Kau... kau rela mati baginya?” tanya Tong-siansing dengan sorot mata penuh dendam dan benci, tapi suaranya kedengaran rada gemetar.

Siau-hi-ji menyangka orang akan segera turun tangan membunuhnya, tak terduga tangan si topeng perunggu mendadak jadi lemas sehingga Siau-hi-ji terbanting ke lantai, cepat dia geser dagu sendiri sehingga kembali pada kedudukannya yang tepat.

Dilihatnya Tong-siansing berdiri mematung di situ dengan tubuh gemetar, napas Siau-hi-ji terengah-engah, ia coba melirik orang, ia merasa tidak terluka apa-apa, tapi rasanya sudah setengah kapok dan tidak berani sembarangan bertindak pula. Selang sejenak, saking tak tahan ia membuka suara, “Sesungguhnya ada permusuhan apa antara ibuku dengan engkau, mengapa engkau menistanya sedemikian rupa?”

Tong-siansing seolah-olah tidak mendengar sama sekali pertanyaannya.

Tanpa ayal lagi Siau-hi-ji lantas melompat keluar kamar itu, ia coba melirik ke belakang, rupanya Tong-siansing tidak mengejarnya. Meski di dalam hati penuh diliputi tanda tanya, namun tidak sempat terpikir lagi olehnya, cepat ia mengeluarkan gerak tubuhnya yang gesit, ia melayang secepat terbang ke depan, hanya sekejap saja ia sudah berada jauh di luar hotel.

Tiba-tiba di belakang ada orang menjengek, “Kau tetap tidak mengaku?”

Tubuh Siau-hi-ji sedang mengapung, mendengar suara itu, seketika ia jatuh ke bawah. Ia tahu bila mana orang sudah mengejarnya, maka tiada ubahnya seperti bayangan yang selalu lengket pada tubuhnya, lari juga tiada gunanya.

“Jika mampu, ayo bunuhlah aku!” bentak Siau-hi-ji mendadak sambil memutar balik, kedua tangan sekaligus menghantam beberapa kali. Akan tetapi bayangan orang saja tidak kelihatan, tahu-tahu punggungnya kesemutan, “bluk,” kembali ia jatuh tersungkur.

********************

Sementara itu Hoa Bu-koat sedang minum arak di kamarnya. Biasanya anak muda ini tidak suka minum, tapi entah mengapa, malam ini dia minum sendirian di kamarnya, bahkan setiap cawan selalu dihabiskannya, akhirnya ia menjadi mabuk dan menjatuhkan diri di ranjang dan tertidur.

Dalam mimpinya ia merasa ada seorang memotong tangannya dengan sebilah pisau, ia ingin berteriak, tapi dada terasa tertindih benda yang berat sehingga napas pun sesak.

Pada saat itulah di jendela ada orang berseru padanya, “Hoa Bu-koat, bangun!” Meski lirih suara itu, namun setiap katanya dengan tajam dan terang tersiar ke telinga Hoa Bu-koat.

Bu-koat terjaga bangun, ia pandang tangan sendiri, masih baik-baik, tapi keringat dingin sudah membasahi bajunya. Ia merasa mimpi buruk tadi seakan-akan kejadian sesungguhnya.

Kembali di luar jendela berkumandang suara memanggil, “Bu-koat, keluar sini!”

Setelah tenangkan diri, tanpa memakai sepatu lagi Bu-koat lantas membuka jendela, suasana di luar remang-remang, sesosok bayangan putih seperti hantu saja berdiri jauh di sana.

Di bawah cahaya bintang yang redup samar-samar kelihatan wajah orang itu seperti hijau kemilau, setelah diawasi baru diketahui muka orang memakai sebuah topeng perunggu yang menakutkan.

Bu-koat tersiap, serunya, “Apakah Tong... Tong-siansing?”

Orang itu mengangguk, katanya, “Keluar sini!”

Sekali lompat Bu-koat lantas melayang keluar, ia hanya pakai kaus kaki tanpa sepatu.

Sementara itu Tong-siansing telah melayang ke atas wuwungan rumah sana. Cepat Bu-koat menyusul, ia pun melayang lewat deretan rumah dan melintasi jalanan yang sepi.

Tanpa menoleh tiba-tiba Tong-siansing itu mendengus, “Hm, anak murid Ih-hoa-kiong mengapa jadi suka mabuk dan tidur begitu?”

Bu-koat menyengir, jawabnya, “Karena kesal, Wanpwe jadi....”

“Anak murid Ih-hoa-kiong, kenapa pula kesal?” jengek Tong-siansing.

Bu-koat melengak, ia tertunduk dan tidak berani menanggapi.

Terlihat dari kepala sampai kaki Tong-siansing itu tidak bergerak sama sekali, tapi cara melayangnya secepat terbang, orang seperti meluncur terbawa angin belaka.

Melihat Ginkang mahatinggi ini, mau tak mau Hoa Bu-koat terkejut.

Didengarnya Tong-siansing berkata pula, “Tentunya kau sudah tahu siapa aku ini?”

“Ketika Wanpwe akan meninggalkan Ih-hoa-kiong, guruku telah memberi pesan, bila mana bertemu dengan Siansing berarti sama saja bertemu dengan guru. Apa pun yang dikatakan Siansing harus Wanpwe turut,” jawab Bu-koat.

“Selain itu Kiongcu pernah memberi pesan apa lagi?”

Bu-koat termenung, jawabnya, Ini....”

“Memangnya tiada pesan lain?” Tong-siansing menegas dengan suara bengis.

Akhirnya Hoa Bu-koat menjawab dengan suara berat, “Guruku mengharuskan Wanpwe membunuh seorang bernama Kang Siau-hi-ji dengan tanganku sendiri.”

“Ehm, bagus!” ucap Tong-siansing, agaknya jawaban ini cukup memuaskannya.

Ia tidak bicara lagi dan selama itu pun tidak pernah berpaling, Bu-koat memandangi bayangan punggung orang dengan sangsi, ia tidak dapat menerka sesungguhnya untuk apakah dirinya disuruh ikut keluar.

Jalan yang dilalui semakin sepi, akhirnya mereka sampai di suatu lereng bukit, di sini ada pohon besar dengan daunnya yang rindang, sekonyong-konyong Tong-siansing melayang ke atas pohon, tapi mulutnya berseru kepada Hoa Bu-koat, “Kau berdiri saja di bawah pohon!”

Habis ucapannya, tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak pohon, di bawah cakrawala yang penuh bertaburan bintang, seorang berbaju putih mulus berdiri di pucuk pohon dengan gayanya yang khas, tampaknya menjadi aneh dan juga menarik.

Bu-koat tidak paham apa kehendak orang, terpaksa ia bersabar dan menunggu.

Tiba-tiba terlihat Tong-siansing menarik keluar satu orang dari dahan pohon yang rindang sana, serunya, “Awas, pegang ini!”

Baru lenyap suaranya sesosok tubuh telah anjlok turun dari pucuk pohon.

Tinggi pohon ini berpuluh tombak, bobot seorang meski cuma seratusan kati saja, tapi terlempar dari atas pohon, bobotmya sedikitnya bertambah tiga kali. Hoa Bu-koat sendiri tidak tahu siapa orang yang dijatuhkan dari atas itu, ia pun tidak yakin apakah dirinya sanggup menangkap tubuh orang ini, seketika itu ia tidak sempat berpikir, segera ia melompat ke atas memapak tubuh yang jatuh ke bawah itu.

Dua sosok bayangan, satu dari atas dan yang lain dari bawah, tampaknya segera akan saling lintas. Pada saat berpapasan itulah sekonyong-konyong Hoa Bu-koat turun tangan, ia sempat meraih pakaian orang itu, “bret,” baju orang itu terobek, Bu-koat sendiri pun ikut terseret ke bawah oleh daya anjlok itu.

Tapi ketika hampir sampai di atas tanah, sementara daya anjlok itu sudah jauh berkurang, sambil membentak, Bu-koat berjumpalitan selagi masih terapung sehingga tubuh orang ini kena dilempar lagi ke atas.

Tapi waktu untuk kedua kalinya orang itu anjlok ke bawah, Bu-koat lantas dapat menangkap tubuhnya dengan enteng. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang tertampak wajah orang yang pucat dengan mata terpejam.

Orang ini ternyata Siau-hi-ji adanya.

Walau pun biasanya Bu-koat sangat tenang dan sabar, tanpa terasa sekarang ia pun menjerit kaget.

Tong-siansing itu masih berdiri di pucuk pohon, jengeknya tiba-tiba, “Siapa dia? Apakah kau mengenalnya?”

“Ken... kenal,” jawab Bu-koat.

“Apakah dia ini Kang Siau-hi?”

“Betul.”

“Bagus, boleh kau bunuh dia!”

Tergetar hati Bu-koat, ia pandang Siau-hi-ji yang tak sadarkan diri itu, seketika ia sendiri jadi terkesima.

Perlahan-lahan Tong-siansing berkata pula, “Jika kau tidak ingin membunuh seorang yang tidak sanggup melawan, boleh juga kau buka Hiat-tonya.”

Dengan limbung Bu-koat menjulurkan tangannya dan membuka Hiat-to Siau-hi-ji yang tertutuk. Tertampak tubuh Siau-hi-ji mengejang lalu jatuh ke bawah terlepas dari pegangan Hoa Bu-koat.

Waktu membuka mata dan melihat Hoa Bu-koat berdiri di depannya, dengan berseri Siau-hi-ji bertanya, “Apakah engkau yang menyelamatkan aku?”

Bu-koat cuma melenggong saja tanpa bersuara.

“Memang sudah kuduga engkau pasti akan datang menolong aku, kita kan bersahabat?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Entah mengapa, perasaan Bu-koat menjadi pedih, tiba-tiba ia melengos ke sana.

Siau-hi-ji merasa aneh, tanyanya, “He, kenapa kau....”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menjengek, “Hoa Bu-koat, kenapa kau tidak turun tangan?”

Baru sekarang Siau-hi-ji melihat Tong-siansing yang berdiri di puncak pohon itu, ia menarik napas dingin, ia pandang Hoa Bu-koat dengan terbelalak, katanya, “Kiranya dia menghendaki kau membunuh diriku, begitukah?”

Bu-koat menghela napas panjang.

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyengir, “Kutahu engkau tak berani membangkang atas perintahnya... Baiklah silakan kau turun tangan saja!”

Bu-koat juga termenung sejenak, tiba-tiba ia berucap dengan sekata demi sekata, “Sekarang aku tidak boleh membunuhmu!”

Siau-hi-ji melengak dan bergirang pula. Tong-siansing menjadi gusar, bentaknya, “Apa katamu?”

“Kini, betapa pun aku tak dapat membunuh dia?” seru Bu-koat.

“Apakah kau telah melupakan pesan gurumu?” teriak Tong-siansing gusar.

“Tecu tidak berani melupakannya,” jawab Bu-koat dengan menunduk.

“Jika tidak berani melupakannya, kenapa tidak membunuhnya?”

Kembali Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya, “Aku sudah mengadakan janji tiga bulan dengan dia, sebelum tiba waktunya aku tak dapat membunuhnya.”

“Bila gurumu mengetahui hal ini, lalu bagaimana jadinya?” bentak Tong-siansing.

Mendadak Hoa Bu-koat mendongak, serunya, “Meski perintah guru tidak boleh dibantah, tapi janji juga harus dipegang teguh. Saat ini sekali pun guruku berada di sini juga pasti takkan menyuruh Wanpwe menjadi manusia ingkar janji.”

Dengan suara keras Siau-hi-ji lantas menyambung, “Apa lagi dia kan pasti akan membunuhku, yang menjadi soal hanya waktu saja, ini kan juga bukan membangkang terhadap perintah gurunya.”

“Hoa Bu-koat,” bentak Tong-siansing dengan gusar, “Jangan lupa, melihat aku sama saja seperti melihat gurumu, kau berani membangkang atas perintahku.”

“Apa pun kehendak Siansing pasti akan kulaksanakan, hanya urusan ini saja betapa pun Tecu tidak dapat menurut,” ucap Bu-koat dengan gegetun.

“Demi melaksanakan perintah gurumu, biar pun kau tidak pegang janji juga takkan disalahkan oleh siapa pun,” kata Tong-siansing.

“Maaf Siansing, Tecu....”

Mendadak Tong-siansing membentak pula, “Kau tidak mau membunuh dia, mungkin bukan lantaran ada janji melainkan ada sebab lainnya, betul tidak?”

Tergetar hati Hoa Bu-koat, sesungguhnya ia pun tidak tahu sebab apa ia pegang teguh takkan membunuh Siau-hi-ji sekarang apakah karena ingin menepati janji atau ada sebab lain.

Tadi ketika tanpa sadar Siau-hi-ji berada dalam pelukannya, tiba-tiba dalam hatinya seolah-olah timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, ia telah pandang wajah Siau-hi-ji, ia merasa anak muda ini bukanlah musuhnya, tapi seperti seorang sahabat lama yang sangat akrab, meskipun sejak pertemuan pertama dengan Siau-hi-ji hingga kini juga baru dua tahun lamanya.

Ia merasakan pernapasan Siau-hi-ji yang lemah tadi, ia merasakan pula anak muda ini bukanlah orang yang harus dibunuhnya, tapi justru harus dilindunginya. Sampai Siau-hi-ji terlepas dari pondongannya dan jatuh ke tanah, perasaan ajaib masih tetap membekas di dalam sanubarinya.

Kini dilihatnya pula senyuman Siau-hi-ji yang penuh keyakinan dan percaya padanya, mana dia sanggup turun tangan lagi membunuhnya.

Terdengar Tong-siansing sedang berteriak dengan bengis, “Hoa Bu-koat, jangan lupa bahwa dia inilah musuhmu yang paling besar, jika kau bersahabat dengan dia, bukan saja gurumu takkan mengampunimu, kelak bila kau teringat akan kejadian ini juga kau takkan memaafkan dirimu sendiri.”

Bu-koat menghela napas panjang. Meski setiap orang mengatakan dia dan Siau-hi-ji adalah musuh bebuyutan, baru tamat bila salah satu mati, meski kenyataan juga membuktikan Siau-hi-ji memang betul musuhnya. Tapi aneh, dalam hati sedikit pun ia tidak merasakan ada sesuatu permusuhan dengan Siau-hi-ji, ia sendiri pun tidak dapat menjelaskan bilakah perasaan aneh ini mulai timbul.

Perasaan aneh ini seolah-olah sudah lama tersimpan dalam lubuk hatinya dan baru berkobar setelah kulit daging Siau-hi-ji menyentuh kulit dagingnya.

Dia pandang Siau-hi-ji, gumamnya di dalam hati, “O, Kang Siau-hi-ji, apa yang sedang kau pikirkan sekarang? Yang kau pikirkan apakah sama dengan pikiranku?”

Siau-hi-ji memang sedang menatapnya, hatinya memang sedang berpikir.

Tong-siansing memandang dari pucuk pohon. Dilihatnya kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu, sorot matanya yang dingin seketika berkobar-kobar pula, bentaknya dengan bengis, “Hoa Bu-koat, tidak perlu kau tunggu lagi tiga bulan, turun tangan sekarang saja!”

Tiba-tiba Siau-hi-ji mendongak dan bergelak tertawa, teriaknya, “Hahaha, mengapa tidak boleh menunggu lagi tiga bulan? Memangnya kau khawatir tiga bulan kemudian dia takkan membunuhku lagi?”

“Apa yang kukhawatirkan?” teriak Tong-siansing dengan parau. “Kalian memang dilahirkan menjadi musuh, nasib kalian sudah ditakdirkan salah seorang harus mati di tangan yang lain.”

“Jika begitu, sekarang mengapa kau paksa dia?” seru Siau-hi-ji. “Jika kau menginginkan kematianku sekarang juga, boleh kau turun tangan sendiri saja, mengapa kau sendiri tidak berani membunuhku?”

Tong-siansing merasa hulu hatinya seakan-akan ditikam orang, ia bersuit nyaring terus melayang turun.

Air muka Hoa Bu-koat menjadi pucat, disangkanya Tong-siansing alias si topeng perunggu itu hendak membunuh Siau-hi-ji, tak tersangka orang lantas menerjang ke hutan sana, sekali angkat tangan, kontan sebatang pohon kena ditonjoknya hingga patah dan ambruk.

Tubuh Tong-siansing masih terus berputar kian kemari, kedua tangannya bekerja susul menyusul, batang pohon sebesar paha hanya sekali dihantamnya lantas patah dan tumbang. Hanya sekejap saja belasan pohon di bukit itu telah ditebang olehnya dengan pukulan yang dahsyat dan menimbulkan suara gemuruh memekak telinga.

Melihat tenaga pukulan luar biasa itu, tanpa terasa Siau-hi-ji berkecak-kecak kagum.

Ia tahu ilmu silat Tong-siansing yang mahasakti ini, kalau dirinya mau dibunuhnya boleh dikatakan semudah menyembelih seekor ayam. Ia pun tahu si Topeng Perunggu ini sudah teramat benci padanya, kalau bisa mungkin tubuhnya akan dicincangnya hingga luluh, namun orang aneh ini justru tidak mau melakukannya dengan tangan sendiri dan lebih suka melampiaskan rasa geregetan itu atas pepohonan. Apakah sebabnya dia berbuat begini? Sungguh sukar dimengerti?

Dalam pada itu tahu-tahu Tong-siansing telah melayang ke depan Hoa Bu-koat dan membentak pula dengan bengis, “Jadi kau sudah pasti akan menunggu tiga bulan lagi baru mau membunuhnya?”

Bu-koat menarik napas dalam-dalam, jawabnya kemudian, “Ya!”

“Kalau sekarang kubunuh dia, lalu bagaimana kau?”

Dengan muka pucat Bu-koat memandang Siau-hi-ji sekejap, kemudian menjawab dengan suara tergagap, “Jika... jika Siansing membunuhnya sekarang juga, mungkin... mungkin Tecu....”

“Memangnya kau berani merintangi aku?” bentak Tong-siansing.

Bu-koat tampak serba sulit, ia menghela napas dan menjawab, “Tecu... Tecu....”

Tiba-tiba Tong-siansing bergelak tertawa histeris, serunya, “Jika kau memang sedemikian mengutamakan janji setia, sebagai kaum Cianpwe masakah aku harus membikin susah padamu. Kau ingin menunggu lagi tiga bulan, baiklah, apa alangannya kalau kuberi waktu selama tiga bulan?”

Perubahan sikap ini kembali di luar dugaan kedua anak muda itu.

Dengan girang dan kejut Bu-koat berseru, “Terima kasih atas kebaikan Siansing....”

“Dan sekarang bolehlah kau pergi saja,” kata Tong-siansing dan mendadak dia berhenti tertawa.

Kembali Bu-koat memandang Siau-hi-ji sekejap, tanyanya, “Dan dia....”

“Dia tinggal di sini!” bentak Tong-siansing.

Bu-koat kembali terkejut, katanya, “Apakah Siansing hendak....”

“Apa bila aku ingin membunuhnya sendiri, memangnya perlu kutunggu sampai sekarang?” jengek Tong-siansing.

Bu-koat berpikir sejenak kemudian menunduk sambil berkata, “Kalau Siansing tidak akan membunuh dia, kenapa tidak lepaskan dia pergi saja. Janji tiga bulan ini kukira tidak akan diingkarnya.”

“Apakah dia akan ingkar atau tidak yang pasti selama tiga bulan ini aku pun akan melindungi dia agar seujung rambutnya takkan terganggu oleh siapa pun,” ucap Tong-siansing. “Tiga bulan kemudian, dengan utuh dan bulat akan kuserahkan dia padamu.”

“Agar aku dibunuhnya dengan utuh dan bulat-bulat, begitu bukan?” tiba-tiba Siau-hi-ji menambahkan dengan tertawa.

“Ya, betul!” jengek Tong-siansing.

“Wah, jika begitu engkau harus mengorbankan pikiran dan tenaga untuk melindungi aku, rasanya aku menjadi tidak enak hati,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Hanya melindungi seorang macammu ini masakah perlu banyak makan pikiran dan tenagaku?” dengus Tong-siansing.

“Ah, engkau tentunya mengira diriku ini mudah diawasi?” kata Siau-hi-ji pula dengan mimik wajah jenaka. “Sungguh salah besar jika begitu anggapanmu. Ketahuilah, aku ini tiada punya penyakit lain kecuali suka mencari gara-gara pada orang lain. Lantaran itu, orang Kangouw yang ingin membunuhku sungguh tidak sedikit.”

“Kecuali Hoa Bu-koat, siapa pun tidak boleh membunuhmu!” kata Tong-siansing.

“Betul?” Siau-hi-ji menegas.

“Setiap ucapanku adalah kata-kata emas dan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat!” jengek Tong-siansing.

“Jika ucapanmu sudah begini bulat, bila mana dalam tiga bulan ini aku mengalami sesuatu gangguan, wah, entah engkau masih punya muka untuk tampil di depan umum atau tidak?”

“Pokoknya selama tiga bulan ini jika kau mengalami sesuatu gangguan, akulah yang bertanggung jawab,” bentak Tong-siansing.

“Nah, Hoa-heng, engkau juga mendengar dengan jelas ucapannya bukan?” tanya Siau-hi-ji kepada Hoa Bu-koat.

“Ya, jelas,” jawab Bu-koat dengan mengangguk sambil mengulum senyum.

“Engkau juga harus ingat baik-baik janjinya,” kata Siau-hi-ji.

“Sudah tentu kuingat,” kata Hoa Bu-koat.

“Kalau begitu legalah hatiku,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Dalam waktu tiga bulan ini dapatlah aku berbuat sesuatu sekehendak hatiku, toh tiada seorang pun yang berani mengganggu aku.”

“Ya, jangan khawatir, dalam tiga bulan ini, perbuatan apa pun takkan dapat kau lakukan,” jengek Tong-siansing pula.

“Ah, kukira belum tentu....” Siau-hi-ji berkedip-kedip dengan senyuman penuh teka-teki.

Teringat kepada kebinalan Siau-hi-ji dengan tingkah lakunya yang aneh-aneh dan licin, Bu-koat pikir biar pun ilmu silat Tong-siansing mahatinggi, rasanya juga akan kena dikibuli anak muda itu.

Karena pikiran ini, tanpa terasa Bu-koat tersenyum geli.

Tong-siansing menjadi gusar, bentaknya, “Tidak lekas pergi, untuk apa kau tinggal di sini?”

Seketika lenyaplah senyuman Hoa Bu-koat, katanya kemudian, “Tiga bulan kemudian....”

“Pergilah, jangan khawatir,” sela Siau-hi-ji, “Tiga bulan kemudian akan kutunggu kau di tempat itu!” Lalu ia berpaling kepada Tong-siansing dan berkata pula dengan tertawa, “Sekarang aku ingin bicara berduaan dengan dia, apakah engkau tidak khawatir?”

“Tiada sesuatu urusan di dunia ini yang dapat membuat aku khawatir,” jengek Tong-siansing.

Siau-hi-ji berkerut-kerut hidung, ucapnya dengan tertawa, “Kepandaianmu memang tinggi, tapi rasanya engkau pun suka membual.”

“Kau berani kurang ajar?” bentak Tong-siansing.

“Mengapa tidak berani? Kan di dalam tiga bulan ini tiada seorang pun yang berani menggangguku?” jawab Siau-hi-ji dengan terbahak-bahak.

Saking dongkolnya Tong-siansing jadi melenggong, ia benar-benar mati kutu menghadapi anak binal ini.

Siau-hi-ji mendekati Hoa Bu-koat, dengan suara lirih ia berkata, “Sayang dia memakai topeng setan begitu, kalau tidak air mukanya sekarang tentu sangat lucu untuk ditonton.”

Meski dia bicara dengan suara tertahan, tapi dia justru sengaja membikin suaranya sedemikian lirih hingga tiba cukup didengar juga oleh Tong-siansing.

Tentu saja Bu-koat merasa geli dan hampir-hampir mengakak, lekas ia pura-pura berdehem, lalu berkata, “Apa yang hendak kau bicarakan padaku?”

“Petang besok, Yan Lam-thian, Yan-tayhiap akan menunggu aku di hutan bunga sana, dapatlah engkau mewakilkan diriku ke sana, beritahukan kepada beliau bahwa aku tidak sempat memenuhi janji menemuianya,” kata Siau-hi-ji. Sekali ini ia benar-benar menahan suaranya sehingga tidak terdengar oleh orang lain.

“Yan Lam-thian....?” Bu-koat berkerut dahi.

“Kutahu engkau bersengketa dengan dia, karena itu bila mana permintaanku kau tolak juga aku takkan menyalahkanmu,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

Tiba-tiba Bu-koat tertawa, katanya, “Dalam tiga bulan ini kita adalah sahabat karib bukan?”

“Sudah tentu,” jawab Siau-hi-ji.

“Dan permintaan sahabat dapatkah kutolak?”

Siau-hi-ji tertegun, ia pandang Bu-koat sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Ehm, engkau sangat baik, sungguh tidak penasaran aku mempunyai sahabat seperti engkau ini.”

Bu-koat terdiam sekian lama, lalu berkata secara tak acuh, “Cuma sayang, hanya selama tiga bulan saja.” Dia sengaja anggap tak acuh, tapi ternyata kurang mahir berlagak.

Siau-hi-ji merasa pedih, jawabnya dengan tersenyum, “Tiga bulan sama dengan sembilan puluh hari, ini bukan waktu yang singkat.”

“Namun selama kita bersahabat ini kukira takkan berjumpa, apa lagi berkumpul. Bila mana kita berjumpa pula nanti, maka kita bukan lagi sahabat melainkan musuh!”

“Banyak kejadian di dunia ini sering kali di luar dugaan, kejadian-kejadian ini setiap hari selalu timbul, bukan mustahil selang dua-tiga hari lagi kita juga akan berjumpa, siapa tahu?”

“Aku tidak percaya akan keajaiban,” kata Bu-koat dengan gegetun.

“Seorang yang malang dan sedang bernasib sial, kalau tidak senantiasa mengharapkan timbulnya keajaiban, pada hakikatnya ia tak mungkin bertahan hidup lama, betul tidak?”

“Kau percaya keajaiban?” Bu-koat balas tanya.

“Jika aku tidak percaya akan keajaiban, memangnya sekarang aku dapat tertawa?”

“Tapi keajaiban pasti takkan terjadi!” tiba-tiba Tong-siansing mendengus di belakang mereka. “Nah, Hoa Bu-koat, pergilah kau!”

********************

Melihat Bu-koat sudah pergi jauh barulah Siau-hi-ji menghela napas dan bergumam, “Sungguh seorang yang menyenangkan, cuma sayang dia dilahirkan di tempat yang keliru.”

“Yang terlahir di tempat yang keliru ialah kau!” jengek Tong-siansing. “Sebab kau pasti akan mati di tangannya.”

Siau-hi-ji termenung, mendadak ia tertawa dan berkata pula, “Seorang kalau harus mati, tentu akan jauh lebih baik mati di tangannya dari pada mati di tangan orang lain.”

“Kau tidak dendam padanya?” bentak Tong-siansing.

“Mengapa aku harus dendam padanya?”

“Gurunya yang membunuh ayah-bundamu?”

“Tapi waktu ayah-ibuku meninggal, mungkin dia sendiri belum lagi dilahirkan. Apa yang diperbuat gurunya ada sangkut-paut apa dengan dia, memangnya gurunya yang makan nasi dan Hoa Bu-koat yang harus berak bagi gurunya?”

Bila mana ucapan Siau-hi-ji ini diutarakan di jaman kini tentu seketika akan mendapat sorak puji orang. Akan tetapi pada jaman itu, jalan pikiran manusia tatkala itu tidaklah terbuka seperti sekarang, lebih-lebih soal permusuhan dan bunuh-membunuh di dunia Kangouw, hampir selalu berlangsung turun-temurun dan sukar dilerai.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar