Bakti Pendekar Binal Jilid 24

“Ya, tidak paham,” jawab Peng Thian-siu.

“Maksudku, jika kau anggap kawan Hoa Bu-koat juga kawanku, maka aku benar-benar sebal dan sialan habis-habisan. Meski pribadi Hoa Bu-koat masih boleh juga, tapi kawannya... he, hehehe!”

“Memangnya bagaimana kawannya?” Peng Thian-siu menegas pula.

“Kawannya itu sungguh manusia berhati binatang, bukan saja melihat bahaya menimpa teman sendiri tidak memberi bantuan, bahkan....”

“Siapa yang kau maksudkan?” damprat Peng Thian-siu gusar.

“Siapa yang mengaku kawan Hoa Bu-koat, dialah yang kumaksud,” jawab Siau-hi-ji.

“Kang-tayhiap juga kawan karib Hoa-kongcu, memangnya kau maksudkan....”

“Yang jelas orang yang kumaksudkan pasti bukan kau,” jengek Siau-hi-ji. “Sebab nilaimu untuk menjadi kawan Hoa Bu-koat masih belum cukup, paling-paling kau hanya mahir menjilat pantat Kang Piat-ho saja.”

“Brak,” dengan keras Peng Thian-siu menggebrak meja dan membentak dengan bengis, “Kurang ajar! Apakah kau tahu siapa diriku?”

“Oya, memang aku tidak tahu,” jawab Siau-hi-ji.

Belum lagi Peng Thian-siu membuka suara, di samping sudah ada yang menukas, “Huh, nama ‘golok emas tanpa tandingan’ Peng-loenghiong saja tidak tahu, berdasar apa kau berani berkecimpung di dunia Kangouw?”

“O, kiranya Peng-loenghiong,” kata Siau-hi-ji.

Peng Thian-siu mengira anak muda itu telah kena gertak oleh nama besarnya, dengan tertawa yang dibuat-buat ia menatap Siau-hi-ji.

Tak terduga anak muda itu lantas menyambung pula, “Tapi julukan Peng-loenghiong kukira harus diganti yang lebih mentereng dan tepat.”

“Ganti apa?” tanya Peng Thian-siu.

“Jika julukanmu diganti menjadi ‘penjilat pantat tanpa tandingan’, wah, jadinya tepat dan kena pada sasarannya,” ucap Siau-hi-ji.

Di tengah perjamuan Kang Piat-ho sebenarnya Peng Thian-siu merasa rikuh untuk beraksi, tapi sebegitu jauh tuan rumah itu ternyata tidak mencegah, bahkan seakan-akan tidak mau tahu ada ribut-ribut ini.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kang Piat-ho justru berharap Siau-hi-ji akan mengikat permusuhan sebanyak-banyaknya dan ini berarti akan menguntungkan posisinya, Peng Thian-siu mengira berdiamnya Kang Piat-ho memang sengaja memberi kesempatan padanya untuk menghajar anak muda penyatron itu. Apa lagi setelah mendengar istilah “penjilat pantat tanpa tandingan,” tentu saja ia tidak tahan, sambil meraung, dari balik meja sana segera ia menubruk ke arah Siau-hi-ji.

Kedatangan Siau-hi-ji ini memang sengaja hendak mencari perkara, sengaja mengacau, ia hanya tertawa saja menghadapi tubrukan Peng Thian-siu itu, mendadak ia angkat sumpit di depannya dan menutuk perlahan.

Seketika Peng Thian-siu merasa tubuhnya kaku kesemutan dan tak dapat mengeluarkan tenaga. “Blang,” kontan ia jatuh terguling di atas meja, mangkuk piring menjadi berantakan.

Dengan mengikik tawa Siau-hi-ji berseru, “Kang Piat-ho, kenapa kau begini kikir, santapan lezat tidak suruh menghidangkan, memangnya kau gunakan si penjilat pantat ini sebagai hidangan?”

Sudah tentu di antara hadirin itu banyak terdapat kawan Peng Thian-siu, yang duduk berdekatan sudah sama berdiri dan siap turun tangan.

Tenang-tenang saja Hoa Bu-koat memandang Kang Piat-ho, tapi Kang Piat-ho tetap diam saja, sama sekali tiada maksud melerai seakan-akan tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Maklumlah, Kang Piat-ho justru berharap agar suasana ini bertambah kacau. Maka terdengarlah suara gemuruh, Peng Thian-siu telah terguling ke bawah dan meja juga terbalik, beberapa orang lantas menerjang maju, tapi semuanya kena dicengkeram kuduknya oleh Siau-hi-ji dan dilempar keluar.

Pelayan restoran itu seketika kelabakan, ia menjerit-jerit sambil mengukuti perabot di meja lain. Loteng restoran itu seketika menjadi kacau balau.

Setelah menyaksikan kelihaian ilmu silat Siau-hi-ji, tampaknya tetamu yang lain menjadi kapok dan tidak berani maju lagi.

Baru sekarang Kang Piat-ho membuka suara dengan berkerut kening, “Hoa-heng, persoalan ini cara bagaimana menyelesaikannya menurut pendapatmu?”

“Entah, aku pun tidak tahu,” jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum hambar.

Sama sekali tak terduga oleh Kang Piat-ho bahwa “kawan karib” yang diandalkan ini bisa mengucapkan kata-kata demikian, ia jadi melengong.

Dalam pada itu terdengar deru angin menyambar tiba, kepalan Siau-hi-ji menonjok ke arahnya sambil membentak, “Kang Piat-ho, tatkala kau tahu Hoa Bu-koat sedang menghadapi bahaya, diam-diam kau mengeluyur pergi malah, bahkan kau khawatir kusir kereta itu membocorkan kepengecutanmu, maka telah kau bunuh kusir itu untuk melenyapkan saksi hidup. Tujuanku sekarang tiada lain kecuali ingin menghajar adat padamu. Nah, sambutlah pukulanku ini!” Sambil bicara sekaligus dia melancarkan belasan kali pukulan.

Kang Piat-ho tetap berkelit saja tanpa balas menyerang. Setelah Siau-hi-ji berhenti bicara barulah dia mengejek, “Hm, saudara jangan suka memfitnah, betapa pun tiada seorang pun yang mau percaya pada ocehanmu!”

“Hah, barangkali kau sangka sekali ini pun tidak mungkin ada bukti dan saksi lagi?” jengek Siau-hi-ji.

“Mana buktimu?” bentak Kang Piat-ho.

“Supaya kau tahu bahwa kusir kereta itu meski kau tikam, tapi dia belum lagi mati,” teriak Siau-hi-ji.

Tanpa terasa air muka Kang Piat-ho berubah juga.

Mendadak Siau-hi-ji melangkah mundur sembari berseru dan menuding ke belakang Kang Piat-ho, “Lihatlah, dia muncul dari sebelah sana!”

Serentak para tamu menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Tapi Kang Piat-ho justru cuma mendengus saja, “Hm, jangan kau tipu aku, dia sudah....” mendadak ia berhenti berucap lebih lanjut, mukanya menjadi pucat.

“Benar, aku memang tak dapat menipumu,” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa, “Bahwasanya semua orang sama menoleh ke sana, hanya kau saja yang tidak percaya, soalnya kau tahu kusir itu tidak mungkin hidup kembali, begitu bukan?” Tadi dia sengaja mengacau dan membikin suasana menjadi berantakan, pertama dia sengaja hendak menggertak orang lain, berbareng itu supaya hati Kang Piat-ho tidak tenteram, dengan demikian manusia yang licik lagi licin ini dapatlah ditipu.

Kang Piat-ho menyapu pandang hadirin, dilihatnya para tamu itu sama mengunjuk rasa heran dan sangsi padanya, diam-diam ia merasa gelisah, cepat ia melompat ke depan Hoa Bu-koat dan bertanya, “Hoa-heng, kau percaya padanya atau lebih percaya padaku?”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Sudahlah, urusan ini tak perlu diungkit lagi....”

“Diungkit atau tidak urusan ini yang pasti aku ingin berkelahi dengan dia,” seru Siau-hi-ji. “Nah, coba katakan, engkau akan bantu dia atau membantu diriku?”

“Jika kalian memang harus saling gebrak, maka siapa pun tidak boleh ikut campur,” ucap Bu-koat.

Justru ucapan Hoa Bu-koat inilah yang ditunggu-tunggu Siau-hi-ji, segera ia berseru, “Bagus, bila mana ada orang lain berani ikut campur, maka kau yang bertanggung jawab.”

Begitu habis kata-katanya, kontan dia menghantam Kang Piat-ho pula.

Tadi Kang Piat-ho telah dicecar belasan kali pukulan oleh Siau-hi-ji tanpa menyenggol sedikit pun ujung bajunya, maka dia pikir kepandaian anak muda itu paling-paling juga cuma sekian saja, kenapa mesti takut, segera ia menjengek, “Jika saudara berkeras ingin turun tangan, ya, jangan menyalahkan lagi orang she Kang!”

Baru habis ucapannya kembali Siau-hi-ji memberondong empat-lima kali jotosan pula.

Setelah diobrak-abrik tadi, loteng restoran itu sekarang sudah terluang cukup luas, meja kursi sudah sama tersingkir, maka kebetulan dapat digunakan sebagai arena pertarungan mereka.

Begitulah Kang Piat-ho lantas mulai melancarkan pukulan balasan, pukulan yang dahsyat, gerakannya sukar diraba, sama sekali berbeda dari pada cara menghantam Siau-hi-ji yang telah berlangsung berpuluh kali tadi.

Setiap menghadapi pukulan Kang Piat-ho tampaknya Siau-hi-ji rada kerepotan dan harus berusaha sebisanya barulah dapat menghindar.

Melihat itu, hadirin lantas bersorak-sorai bagi Kang Piat-ho.

Kang Piat-ho tahu pada umumnya orang-orang Kangouw hanya memandang pihak yang kuat, yang menanglah yang berkuasa, asalkan dirinya dapat menjatuhkan Siau-hi-ji dan membinasakannya kalau bisa, maka urusan membunuh si kusir tadi tentu tiada orang berani mengusut pula.

Berpikir demikian semangatnya lantas terbangkit, segera ia mengejek, “Para kawan Kangouw yang hadir di sini dapat menjadi saksi bahwa kau sendiri yang cari perkara dan bukan aku orang tua menghajar anak kecil.”

Siau-hi-ji masih tekun berkelahi dan menghindar kian kemari dengan kerepotan seakan-akan adu mulut saja tidak sanggup lagi, setelah berlangsung belasan jurus, berulang-ulang ia telah menghadapi serangan berbahaya.

Semula Kang Piat-ho menyangsikan Siau-hi-ji adalah orang yang selalu main gila padanya secara diam-diam itu, maka senantiasa dia berwaspada, tapi kini melihat ilmu silat Siau-hi-ji hanya biasa saja dan tiada sesuatu yang istimewa, rasa curiganya lantas lenyap, daya serangnya menjadi rada kendur pula, dengan tersenyum ia berkata, “Meski kau tidak tahu aturan dan sengaja cari setori, tapi mengingat kau masih muda belia, betapa pun aku tidak tega membikin susah dirimu, asalkan mau mengaku salah dan minta maaf, mengingat kau juga kenal Hoa-heng, bolehlah nanti kuampunimu.”

Cara bicaranya ini sungguh berbudi luhur dan murah hati, bahkan juga menghargai Hoa Bu-koat, benar-benar perilaku seorang “Kang-lam-tayhiap” yang bijaksana.

Siau-hi-ji tidak menjawab, napasnya kelihatan tersengal-sengal seolah-olah bicara saja sukar.

Padahal dia sudah mempunyai perhitungan, di depan orang banyak ia yakin Kang Piat-ho pasti akan berlagak sebagai “pendekar besar.” Ia tahu semakin dirinya pura-pura lemah, Kang Piat-ho semakin tidak mengeluarkan serangan maut, sebabnya mudah dimengerti, dia harus menjaga harga diri sebagai seorang “pendekar besar” dan tidak mungkin menyerang seorang anak muda yang bukan tandingannya.

Benar juga perhitungan Siau-hi-ji, serangan Kang Piat-ho telah mulai kendur.

Segera ada sementara hadirin yang berteriak, “Terhadap pengacau begini, buat apa Kang-tayhiap sungkan padanya?”

“Benar,” segera ada lagi yang menyokong. “Jika Kang-tayhiap tidak menghajar adat padanya, kelak dia akan tambah kurang ajar dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi.”

Sudah barang tentu, orang-orang yang tadi kena dihajar oleh Siau-hi-ji segera pula ikut menghasut.

Kang Piat-ho berlagak, “Usiamu masih muda, sesungguhnya aku tidak tega melukaimu, tapi kalau kau tidak dihajar adat, tampaknya orang lain pun ikut penasaran....” Tengah bicara kembali Siau-hi-ji dipaksa mundur lagi beberapa tindak.

Tampaknya Siau-hi-ji telah didesak mundur ke pojok yang buntu dan sama sekali tidak sanggup balas menyerang. Dengan tersenyum Kang Piat-ho lantas berkata pula, “Awas, jurus seranganku ini akan menghantam dadamu, paling baik janganlah kau berbelit atau menangkis, sebab bila pukulanku bertambah berat, bisa jadi kau akan celaka.”

“Terima kasih atas peringatanmu,” ucap Siau-hi-ji.

Dilihatnya Kang Piat-ho mengayun tangan kiri ke depan, tapi mendadak tangan kanan menghantam dari samping langsung menuju ke dada Siau-hi-ji. Pukulan ini sebenarnya tiada sesuatu yang aneh, cuma gerak perubahannya sangat cepat, sekali pun sebelumnya dia telah memberitahukan tempat yang akan diserangnya, tapi arah datangnya pukulan itu sama sekali tak tersangka oleh hadirin.

Tampaknya Siau-hi-ji tak mampu menghindarkan lagi pukulan ini, maka hadirin serentak bersorak memuji.

Di tengah sorak-sorai itu mendadak terdengar suara “blang” yang keras, dua tangan telah beradu, sekonyong-konyong Siau-hi-ji mengulur tangan menyambut mentah-mentah pukulan Kang Piat-ho itu.

Seketika Kang Piat-ho merasa suatu arus tenaga mahadahsyat membanjir tiba, segera ia bermaksud mengerahkan tenaga untuk melawan, tapi sudah terlambat, “bluk,” tubuhnya tergetar mencelat ke belakang.

Dendam Siau-hi-ji yang tertahan sekian lamanya akhirnya terlampias pada pukulan ini.

Terlihat tubuh Kang Piat-ho menumbuk kerumunan para penonton, beberapa orang yang berdiri paling depan sama tertumbuk oleh tubuh Kang Piat-ho dan jatuh terjungkal semuanya.

Seketika suara sorak-sorai tadi ‘cep-klakep’, semuanya terdiam dengan melongo. Tertampak Siau-hi-ji bertepuk tangan dan bergelak tertawa, lalu menerobos keluar jendela dan tinggal pergi.

Biar pun belum dapat menghajar Kang Piat-ho dengan sepuas-puasnya, tapi Siau-hi-ji sudah membuatnya kehilangan muka di depan orang banyak, rasa dendamnya kini sudah terlampias, hatinya senang tak terkatakan.

Ia tahu bila perkelahian itu diteruskan, betapa pun dirinya belum tentu dapat mengalahkan Kang Piat-ho, apa lagi keadaan sudah begini, rasanya Hoa Bu-koat tidak boleh tinggal diam lagi.

“Tahu batas,” inilah falsafat hidup Siau-hi-ji. Umpama para hadirin itu belum percaya penuh Kang Piat-ho benar-benar manusia munafik, paling sedikit di dalam hati mereka sekarang sudah mulai timbul rasa curiga. Dan asalkan semua orang sudah merasa curiga, itu berarti maksud tujuan Siau-hi-ji sudah tercapai. Ia pun tahu nama baik Kang Piat-ho yang dipupuknya selama ini tidak mungkin dihancurkan olehnya hanya dalam sekejap saja, tapi harus dipapas dari sedikit demi sedikit.

Setelah berkeliling di jalan kota, kemudian dia kembali ke hotelnya, ia istirahat sebentar di kamarnya, ketika di halaman tiada orang, diam-diam ia mengeluyur keluar lagi.

Dilihatnya kamar yang berpenghuni penuh rahasia itu masih tertutup rapat, ada cahaya lampu di dalam kamar, tapi tidak kelihatan bayangan orang.

Setelah melongok kian kemari, kemudian Siau-hi-ji melompat ke atas rumah, diam-diam ia merayap ke emper kamar itu dan mendekam di situ.

Di dalam tiada terdengar sesuatu suara, mungkin tokoh rahasia itu sudah tidur atau telah berangkat pergi. Tapi Kang Piat-ho sudah berjanji akan menemuinya lagi, mana mungkin dia pergi begitu saja? Apa lagi di dalam kamar jelas ada cahaya lampu.

Dengan sabar Siau-hi-ji menunggu, ia yakin Kang Piat-ho tidak mungkin tidak datang.

Di langit bintang bertaburan, malam kelam dan hening, tunggu punya tunggu, hampir saja Siau-hi-ji tertidur di situ.

Semula di kamar hotel bagian belakang sana sayup-sayup ada suara alat gesek dan orang bernyanyi, agaknya ada tetamu sedang menanggap tukang nyanyi kelilingan, akhirnya suara nyanyi juga lenyap dan tiada terdengar sesuatu suara pula.

Tiba-tiba seorang pelayan dengan membawa tenglong (lampu berkurudung kertas) serta sebuah poci teh besar memasuki halaman tengah, dilihatnya di kamar ini masih ada cahaya lampu, pelayan itu mendekati dan mengetuk pintu perlahan, katanya, “Apakah tuan tamu perlu air minum?”

Tapi tiada suara jawaban di dalam kamar. Meski pelayan mengulangi lagi pertanyaan dan tetap tiada suara jawaban, akhirnya pelayan itu melangkah pergi sambil menggerundel, “Tuan tamu ini sungguh pelit, tidak makan dan tidak minum, sepanjang hari menutup diri saja di dalam kamar, agaknya sedang puasa atau ingin hemat?”

Siau-hi-ji merasa heran. Tindak tanduk orang itu mengapa sedemikian aneh dan penuh rahasia, apakah khawatir dilihat orang lain? Apa pula yang dirundingkannya dengan Kang Piat-ho.

Tiba-tiba terdengar suara mendesir perlahan, sesosok bayangan orang melayang tiba seenteng asap, betapa tinggi Ginkangnya sungguh tak pernah dilihat oleh Siau-hi-ji, hakikatnya dia tidak jelas bagaimana bentuk tubuh orang itu.

Baru saja ia terkejut, terdengar suara pintu kamar di bawah menguak perlahan, orang itu sudah melangkah masuk. Habis itu di dalam kamar tiada sesuatu suara pula.

Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening. Bayangan yang gesit dan enteng ini, kiranya adalah tokoh penuh rahasia yang tinggal di kamar ini, rupanya ia keluar sejak tadi dan baru sekarang pulang.

Ginkang orang ini ternyata sedemikian tingginya, jangankan Siau-hi-ji sendiri merasa bukan tandingannya, bahkan Hoa Bu-koat juga kalah setingkat dibandingkan dia. Sungguh luar biasa bahwa di dunia persilatan masih ada tokoh selihai ini.

Tokoh selihai ini berkomplotan dengan Kang Piat-ho, sungguh sangat menakutkan akibatnya.

Selagi Siau-hi-ji berpikir, tiba-tiba dilihatnya seorang menyelinap masuk ke halaman pula, orang ini mengenakan pakaian hitam, kepala memakai topi anyaman yang besar dan lebar sehingga wajahnya setengah tertutup.

Orang ini celingukan kian kemari dan mendekati kamar di bawah ini, setiba di depan pintu, dia berdehem perlahan, lalu mengetuk pintu.

“Siapa?” segera ada orang bertanya dari dalam dengan suara tertahan.

“Wanpwe,” jawab si baju hitam dengan suara perlahan.

Dari suaranya barulah Siau-hi-ji tahu Kang Piat-ho telah datang. Seketika semangatnya terbangkit.

Sementara itu pintu kamar telah dibuka, Kang Piat-ho terus menyelinap masuk ke dalam, kedua orang bicara beberapa patah kata, tapi tak terdengar jelas oleh Siau-hi-ji.

Tiba-tiba terdengar Kang Piat-ho berkata, “Hari ini Wanpwe melihat sesuatu yang mengejutkan.”

“Hal apa?” tanya orang itu.

“Yan Lam-thian belum mati, malahan sudah muncul kembali!” tutur Kang Piat-ho.

Bagi orang Kangouw, tak peduli siapa pun juga bila mendengar berita ini betapa pun pasti akan terkejut, tapi orang itu ternyata anggap sepi saja, bahkan nada ucapannya acuh tak acuh, “Memangnya kenapa kalau Yan Lam-thian muncul kembali?”

Kang Piat-ho melengak, katanya kemudian dengan mengiring tawa, “Dengan ilmu silat Cianpwe, dengan sendirinya Yan Lam-thian sama sekali tiada artinya.”

“Hm, lebih bagus kalau Yan Lam-thian tidak mati, kalau mati bagiku menjadi kurang menarik malah,” kata orang itu.

Makin heran Siau-hi-ji mendengar kata-kata ini, tampaknya orang ini sedikit pun tidak gentar terhadap Yan Lam-thian, bahkan nadanya seperti ada hasrat ingin perang tanding dengan Yan Lam-thian.

Terdengar Kang Piat-ho berkata pula, “Tapi masih ada kejadian lain yang juga tidak kurang mengejutkan, ilmu silat Kang Siau-hi ternyata juga telah maju pesat.”

Orang tadi seperti tersenyum dan menjawab, “Malahan kukhawatir ilmu silatnya terlalu rendah, jika tambah maju barulah aku senang.”

Tentu saja Siau-hi-ji semakin heran, sama sekali tak terpikir olehnya mengapa orang ini begini memperhatikan dirinya, mungkin tokoh rahasia ini mengenalnya?

Didengarnya orang itu berkata pula, “Pokoknya betapa pun tinggi ilmu silat Kang Siau-hi itu pasti akan dilayani oleh Hoa Bu-koat, kau sendiri tak perlu khawatir.”

“Tapi... tapi sekarang Hoa Bu-koat seakan-akan bersahabat karib dengan Kang Siau-hi....”

“Kedua anak muda itu justru dilahirkan untuk menjadi musuh, sebelum salah satu mati belum akan tamat. Umpama bisa menjadi sahabat juga takkan langgeng, untuk ini kau pun tidak perlu khawatir.”

Siau-hi-ji terkejut pula, ia heran mengapa orang ini bisa sedemikian jelas mengetahui seluk-beluk Hoa Bu-koat dengan dirinya? Padahal orang yang tahu urusan ini sesungguhnya tidaklah banyak.

Agaknya Kang Piat-ho tertawa puas, katanya, “Jika demikian, entah Cianpwe ada pesan apa pula kepada Tecu?”

“Aku cuma minta kau....” tiba-tiba suaranya ditekan rendah sehingga Siau-hi-ji tidak dapat mendengar sama sekali. Hanya terdengar orang itu mengucapkan satu kalimat dan segera Kang Piat-ho mengiakan.

Setelah orang itu bicara lagi barulah terdengar Kang Piat-ho menjawab dengan tertawa, “Beberapa urusan ini pasti akan Wanpwe kerjakan dengan baik.”

“Beberapa urusan ini pun menyangkut kepentinganmu, dengan sendirinya kau harus menurut dan mengerjakannya,” jengek orang itu.

Kang Piat-ho seperti termenung sejenak, lalu berkata pula, “Setiap kali Cianpwe hendak memberi pesan apa-apa segera juga Wanpwe datang kemari, tapi sampai saat ini nama Cianpwe yang mulia belum juga kuketahui.”

“Namaku tidak perlu kau tahu, cukup asal kau tahu bahwa di dunia ini selain aku tiada orang lain yang dapat membantumu, tanpa aku, bukan saja kau tidak berhasil menjadi ‘tayhiap’, bahkan hidup saja menjadi tanda tanya bagimu.”

Kang Piat-ho tertegun sejenak, jawabnya kemudian, “Ya.”

“Nah, sekarang boleh kau pergi, tiba waktunya nanti tentu akan kucari kau.”

Kembali Kang Piat-ho mengiakan.

Lalu orang itu menambahkan, “Beberapa urusan yang kutugaskan padamu itu bila mengalami kegagalan, tatkala mana tidak perlu Yan Lam-thian atau Kang Siau-hi, aku sendiri juga akan membinasakan kau. Nah, tahu tidak?”

Kang Piat-ho mengiakan pula.

Sampai di sini barulah Siau-hi-ji tahu bahwa Kang Piat-ho sendiri pun tidak kenal asal-usul tokoh maharahasia ini, hanya lantaran terpengaruh oleh ilmu silatnya yang mahalihai, maka “pendekar besar” itu terpaksa tunduk kepada segala perintahnya.

Dilihatnya Kang Piat-ho keluar dari kamar dengan tunduk kepala, ia celingukan sejenak dan tiada sesuatu bayangan, segera ia menyelinap cepat keluar halaman sana.

Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat ilham, diam-diam ia pun mengeluyur pergi. Kini telah diketahui ilmu silat orang di dalam kamar itu mahatinggi, maka sedikit pun ia tidak berani gegabah, syukur gerak-geriknya tidak sampai diketahui orang.

Setelah melintas beberapa deret rumah barulah Siau-hi-ji berani melompat turun, dari pintu ujung dia masuk kembali ke halaman dan menuju dapur, dilihatnya api tungku masih belum padam, di atas tungku masih ada cerek dengan airnya yang mendidih.

Ia bawa cerek itu dan balik menuju ke tempat tadi, cahaya lampu kamar itu masih menyala, Siau-hi-ji mendekatinya dan mengetuk pintu, serunya, “Tuan tamu, apakah perlu tambah air minum?”

Yang dituju Siau-hi-ji hanya ingin melihat wajah asli tokoh penuh rahasia ini, maka tanpa menghiraukan bahaya ia berlagak sebagai pelayan, juga tidak terpikir olehnya apakah dirinya takkan dikenali orang?

Tapi ternyata tiada suara jawaban di dalam kamar. Setelah Siau-hi-ji mengulangi lagi dengan suara lebih keras dan tetap tiada reaksi apa-apa. Diam-diam ia berkerut kening, apakah mungkin orang itu sudah pergi lagi?

Ia tabahkan hati dan mendorong daun pintu dengan perlahan. Pintu ternyata tidak dipalang, begitu ditolak segera terbuka.

Dilihatnya di atas meja ada sebuah lampu dan di samping ada sebuah nampan dengan sebuah poci teh serta empat buah cangkir, tapi poci dan cangkir teh itu sama sekali belum terpakai.

Waktu dia mengawasi tempat tidur, bantal selimut komplet, tapi masih terlipat rapi, sedikit pun belum disentuh orang.

Nyata, meski tinggal di kamar ini, tapi orang yang penuh rahasia itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu benda di dalam kamar, jelas dia hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho. Bila mana Kang Piat-ho harus datang barulah ia sendiri datang ke sini, kalau Kang Piat-ho pergi segera ia pun berangkat, sampai air teh juga tidak diminumnya barang seceguk pun.

Siau-hi-ji sengaja bergumam, “Mungkin poci ini kosong, biarlah kutambahi agar tuan tamu nanti tidak kehabisan air minum.” Sembari bersuara ia terus melangkah masuk kamar.

Begitu berada di dalam, segera ia mengendus semacam bau harum yang aneh, seperti bau harum anggrek dan seperti mawar pula, rasanya seperti berada di kebun bunga saja yang harum semerbak.

Selama hidup Siau-hi-ji tidak pernah mencium bau wangi semacam ini, seketika ia merasa nikmat sekali dan hampir-hampir mabuk.

Selain bau harum aneh ini tiada terdapat sesuatu tanda yang mencurigakan di dalam kamar ini, kecuali bau harum ini pada hakikatnya kamar ini seperti tidak pernah dihuni orang.

Siau-hi-ji tahu hotel ini cukup besar, tapi kurang perawatan, pelayan juga kurang rajin, hampir di setiap sudut terdapat sawang dan debu kotoran.

Tapi kamar ini tenyata lain dari pada yang lain, tersapu bersih, bahkan lantai di kolong tempat tidur juga resik sekali, apa lagi meja kursi dan lemari, semuanya seperti habis dicuci dan digosok hingga mengkilap.

Sungguh aneh, padahal orang yang penuh rahasia itu hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho dan bukan tempat tinggal, apa lagi semua barang di dalam kamar sama sekali tidak disentuhnya, lalu untuk apa dia membersihkan kamar ini sedemikian resiknya, bahkan tersebar pula bau harum seenak ini.

Ia menjadi sangsi jangan-jangan orang aneh itu mempunyai kelainan jiwa, suka kepada sesuatu yang khas.

Tanpa terasa Siau-hi-ji mengernyitkan dahi dan bergumam, “Orang yang suka pada kebersihan begini sungguh jarang ada....”

“Siapa kau!? Untuk apa masuk ke sini?” tiba-tiba seorang menegurnya dengan nada dingin. Suara ini jelas datang dari belakang Siau-hi-ji.

Keruan kejut Siau-hi-ji tak terperikan, namun dengan mengulum senyum ia menjawab, “O, hamba datang ke sini untuk mengetahui apakah tuan tamu perlu tambah air minum atau tidak.”

“Kau pelayan hotel?” tanya orang itu.

Siau-hi-ji mengiakan.

“Yang datang siang tadi seperti bukan kau.”

“Oya, Ci-lotoa dinas siang dan hamba Ong Sam dinas malam,” jawab Siau-hi-ji.

“Huh, Kang Siau-hi-ji ternyata pintar mengibul dan pandai melihat gelagat, mahir tanya jawab pula,” jengek orang itu mendadak. “Cuma sayang, sejak kau brojol dari rahim ibumu aku sudah kenal kau, maka tiada gunanya kau main sandiwara di depanku.”

Siau-hi-ji terperanjat, “Siapa engkau?”

Tapi orang itu tidak menjawabnya.

Cepat sekali Siau-hi-ji membalik tubuh, tapi kosong, tiada seorang pun terlihat, daun pintu itu masih terpentang dan bergerak tertiup angin. Suasana di luar tetap kelam, mana ada bayangan seorang pun?

Apakah orang itu sudah pergi? Kejut dan heran pula Siau-hi-ji, baru saja ia merasa lega, tahu-tahu di belakangnya ada orang mendengus lagi, “Hm, kau takkan dapat melihat diriku!” Ternyata orang itu sudah berada pula di belakangnya.

Berturut-turut Siau-hi-ji membalik badan beberapa kali, cepatnya sukar dilukiskan lagi, tapi aneh, orang itu selalu bersuara di belakangnya seakan-akan bayangan yang melekat di tubuhnya.

Betapa pun besar nyali Siau-hi-ji, dalam keadaan demikian ia menjadi ngeri juga dan berkeringat dingin. Kalau Ginkang orang ini sedemikian hebatnya, maka ilmu silatnya tidak perlu lagi diceritakan. Siau-hi-ji menyadari dirinya pasti bukan tandingan orang, bahkan ingin kabur pun jangan harap.

Tiba-tiba ia mendapat pikiran, ia sengaja berdiri tegak tanpa bergerak, lalu katanya dengan tertawa, “Jika engkau tidak suka dilihat olehku, baiklah aku takkan melihatmu.”

“Hm, kau memang pintar,” jengek orang itu.

“Tapi bila engkau tidak sudi dilihat olehku, mengapa engkau datang pula kemari?”

“Kau tak dapat mengerti bukan?” tanya orang itu.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, “Kupikir, apa pun juga engkau pasti takkan membunuh diriku.”

“Dari mana kau tahu aku takkan membunuhmu?”

“Seorang yang akan mati segera, seumpama dapat melihat wajah aslimu kan tidak menjadi soal. Sebab itulah jika engkau berniat membunuhku tentu engkau takkan keberatan memperlihatkan dirimu padaku, betul tidak?”

Orang itu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Dapat juga kau menerka jalan pikiranku.”

“Dahulu aku selalu menganggap diriku sebagai orang pintar nomor satu di dunia, walau pun sekarang aku sudah lebih rendah hati, tapi aku pun tidak berani terlalu meremehkan diriku sendiri dan mengaku bodoh.”

Diam-diam Siau-hi-ji sudah merasakan orang aneh ini memang tiada bermaksud membunuhnya, maka nyalinya menjadi besar, mulutnya bicara, sekonyong-konyong ia melompat ke depan lemari pakaian.

Lemari itu memangnya masih baru, peliturnya masih mengkilap, apa lagi habis digosok sehingga berkilau seperti kaca, waktu Siau-hi-ji berjongkok, segera sesosok bayangan putih muncul dengan jelas di lemari itu.

Terlihat orang itu berambut panjang, berbaju putih mulus laksana salju, gayanya seperti badan halus dari alam lain, cuma mukanya memakai topeng perunggu yang kelihatan beringas menakutkan.

Kembali Siau-hi-ji terkejut, tanpa terasa ia berseru, “He, kiranya engkau ini Tong-siansing!”

Mendadak orang itu tidak bersuara lagi.

Siau-hi-ji merasa sorot mata orang sedang menatapnya dengan gemas, sinar mata orang yang memancar ke lemari lalu memantul kembali, tapi masih kelihatan dingin dan menyeramkan.

Sorot mata orang-orang seperti Toh Sat, Im Kiu-yu, Oh-ti-tu dan sebagainya juga dingin menakutkan, tapi di antara sinar mata mereka itu sedikit banyak masih mengandung perasaan. Namun sorot mata “Tong-siansing” atau si tuan bertopeng perunggu ini justru sedingin es, andai kata orang ini pun punya hati maka hatinya pasti sudah lama membeku.

Selang agak lama baru terdengar “Tong-siansing” itu membuka suara, “Ya, dengan sendirinya kau kenal aku, tentunya Oh-ti-tu itu telah bercerita padamu.”

Siau-hi-ji menyengir, katanya, “Tempo hari Oh-ti-tu bercerita, katanya ilmu silatmu sangat tinggi dan macam-macam lagi, aku merasa sangsi, tapi setelah bertemu sekarang barulah kutahu dia tidak membual.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar