Bakti Pendekar Binal Jilid 13

Segera terdengar suara orang membentak, “Li Toa-jui, kabarnya kau berniat memperbaiki kelakuanmu dan kembali ke jalan yang baik. Jika benar-benar ada niat demikian, lekaslah kau menyerahkan diri saja, akan kujamin jiwamu dengan kehormatan pribadiku.”

Untuk sejenak Pek Khay-sim melenggong, gumamnya kemudian, “Aneh, dari mana orang-orang ini mendapat tahu bahwa kita berada di sini?”

“Orang ini bermulut manis, tentu Kang Piat-ho adanya,” kata Siau-hi-ji.

“Ya, memang dia,” kata Pek Khay-sim.

“Marilah kita menerjang keluar melalui arah ini,” ajak Siau-hi-ji.

“Apa katamu? Menerjang keluar dengan arah yang dijaga orang yang berkepandaian paling kuat? Memangnya kau sudah gila?”

“Jangan khawatir, aku ada akal,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Sementara itu orang di luar itu sedang membentak pula, “Jika kalian tidak memberi jawaban, segera kami menerjang masuk.”

Padahal orang-orang sama jeri terhadap Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu, seketika tiada seorang pun yang berani menerjang ke dalam rumah yang gelap gulita ini.

Mendadak Siau-hi-ji berbangkit sambil membentak, “Ini dia Li Toa-jui, tunggulah kalian.” Berbareng ia angkat sebuah bangku terus dilemparkan keluar jendela sebelah barat.

Nama “Li Toa-jui” agaknya cukup menakutkan, begitu bangku melayang keluar, serentak di sebelah sana terjadi kegaduhan, beberapa senjata sekaligus menyerang dan semuanya mengenai bangku itu.

Waktu Siau-hi-ji melompat keluar jendela kontan ia pun disambut oleh bacokan dua batang golok. Tapi sekali meraung, kaki kiri Siau-hi-ji melayang, salah satu golok itu segera tertendang mencelat.

Menyusul mana Siau-hi-ji lantas melompat lewat di atas kepala orang kedua, sebelah kakinya menginjak ke bawah dan tepat mengenai orang itu, seketika orang itu patah lehernya.

Gerakan kaki menendang dan mendepak Siau-hi-ji ini sebenarnya bukan ilmu silat yang tinggi, tapi setelah diubah sedikit olehnya, seketika-dua jagoan kena dikalahkan.

Maklumlah, kitab pusaka ilmu silat yang ditemukannya di bawah tanah bersama Kang Giok-long tempo hari itu berisi intisari berbagai aliran silat di dunia ini, setelah dia pelajari dan menyelami dengan baik selama dua tahun ini, setiap jurus gerakan yang sederhana bila dimainkannya sudah dapat diubah menjadi tipu serangan yang ajaib tanpa dikenal orang lain akan asal-usul ilmu silatnya ini.

Begitulah maka terdengar seorang menjerit kaget, “Awas, orang she Li ini benar-benar lihai -” belum habis ucapannya, “plak,” menyusul lantas terdengar seorang bergelak tertawa, mungkin yang bicara itu telah kena digampar sekali oleh Pek Khay-sim.

Setelah merobohkan dua orang, menyusul dengan sekali jotos Siau-hi-ji membuat seorang mencelat lagi. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang gemerlap, seorang telah mengadang di depannya.

“Li Toa-jui, meski lihai kepandaianmu, tapi jangan harap bisa lolos hari ini!” demikian jengek orang itu, berbareng pedangnya telah menusuk beberapa kali, semuanya serangan mematikan.

Tanpa memandang juga Siau-hi-ji tahu pengadang ini adalah Kang Piat-ho, berturut-turut ia pun mengegos beberapa kali tanpa balas menyerang, tapi dengan suara tertahan ia berkata, “Apakah kau ingin tahu di mana beradanya putramu beserta harta rampokannya itu?”

Pedang Kang Piat-ho menjadi agak kendur dan bertanya, “Apa katamu?”

Siau-hi-ji mencobloskan surat yang sudah disiapkan itu ke ujung pedang Kang Piat-ho sambil berkata, “Boleh kau membacanya dulu.”

Kang Piat-ho menjadi serba repot dan ragu apakah mesti menarik kembali pedangnya untuk membaca surat itu atau tetap ditusukkan. Pada detik itulah Siau-hi-ji telah menyelinap lewat di sampingnya.

Sekali berteriak aneh, cepat sekali Pek Khay-sim juga melayang ke sana. Ketika beberapa orang mengejar tiba, namun bayangan Siau-hi-ji dan Pek Khay-sim sudah menghilang.

Setelah kabur ke dalam hutan yang gelap barulah mereka berhenti. Sambil memandang Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendengus, “Hm, cara bagaimana mereka mendapat tahu kita berada di sana?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya tertawa, “Ya, dengan sendirinya ada orang menyampaikan laporan gelap.”

“Yang memberikan laporan gelap bukan mustahil kau sendiri,” jengek Pek Khay-sim.

“Jika aku, mengapa aku membantumu melarikan diri pula?”

“Tapi kalau bukan kau, siapa lagi yang tahu.”

“Mereka bukan orang buta, memangnya mereka tidak membaca selebaran yang berhuruf besar itu?”

“Masa orang itu paham akan isi tulisan itu?”

“Dengan sendirinya ada yang paham,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Air muka Pek Khay-sim berubah, tanyanya cepat, “Siapa? Mungkinkah ada di antara sahabat-sahabat lama kita juga datang ke sini?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu menjawab, “Biarlah kukatakan terus terang kepadamu, ada dua orang, seorang bernama Lo Kiu dan seorang lagi bernama Lo Sam, mereka berusaha mencari setori pada kita, tampaknya mereka sangat jelas terhadap seluk-beluk urusan kita.”

“Bagaimana bentuk kedua orang itu?” tanya Pek Khay-sim sambil mengernyitkan dahi.

“Gemuk dan tinggi, keduanya serupa seperti pinang dibelah dua, mereka adalah saudara kembar.”

“Yang kukenal adalah kembar dua kurus jangkung, tapi tidak kenal kembar dua yang gemuk.”

“Kau tidak kenal mereka, tapi mereka cukup kenal kau.”

Pek Khay-sim menjadi gusar, dampratnya “Jika sudah kuketahui mereka paham isi surat selebaran itu dan sudah tahu pula mereka akan menyampaikan laporan gelap, mengapa kau justru sengaja bertindak begini?”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Justru aku mengharapkan mereka menyampaikan laporan gelap, justru pula kuminta mereka mengirim orang untuk membekuk kita, dengan demikianlah baru aku dapat menyampaikan surat penting itu langsung kepada Kang Piat-ho. Bila mana kusampaikan surat itu dengan cara lain mungkin takkan mendapat perhatiannya, tapi kini Li Toa-jui sendiri yang menyerahkan surat kepadanya, tentu bobotnya akan lain.”

“Dan dari mana kau tahu Kang Piat-ho pasti akan ikut datang?”

“Dia menganggap dirinya sebagai Tayhiap, kalau tersiar berita bahwa Cap-toa-ok-jin berada di kota ini, memangnya dia dapat tinggal diam? Nah, pasti juga dia takkan membiarkan kita pergi.”

Sejenak Pek Khay-sim termangu, akhirnya ia menghela napas, katanya, “Setiap persoalan telah kau hitung dengan jitu, mungkin Li Toa-jui tulen juga tidak melebihi dirimu.”

Sekali ini Siau-hi-ji yang melengak, ia terkekeh kekeh, katanya, “Li Toa-jui tulen apa, memangnya bapakmu ini palsu?”

Mendadak Pek Khay-sim terbahak-bahak, katanya, “Kau dapat menirukan lagak-lagu Li Toa-jui dengan demikian miripnya, pada hakikatnya aku pun rada kagum padamu. Sungguh aku merasa sayang bila menyaksikan kau mati di depanku. Tapi, ya apa boleh buat, mau tak mau kau harus mati.”

“Harus mati?” Siau-hi-ji menegas heran.

“Ya, arak yang telah kau minum itu telah kuberi ‘Toan jong-san’ (puyer perantas usus),” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa aneh. “Sebenarnya kau dapat hidup lebih lama sedikit, tapi lantaran geger-geger tadi, mungkin sebentar lagi jiwamu akan melayang.”

Dengan gusar Siau-hi-ji berteriak, “Bangsat keparat, biar kumampuskan kau lebih dulu!”

Segera dia bangun dan bermaksud menerjang lawan, tapi baru saja tubuhnya terapung, “bluk,” mendadak dia terkulai dengan wajah pucat, ia pegang perutnya sendiri sambil merintih, “Wah, celaka... perutku... aku... aku tidak sanggup lagi -”

Pek Khay-sim terkekeh-kekeh gembira, katanya, “Sekarang baru kau tahu Cap-toa-ok-jin tidak mudah dilayani bukan?”

“Tapi... tapi dari mana kau tahu aku ini Li Toa-jui palsu? Aku tidak percaya kau dapat membedakannya,” seru Siau-hi-ji dengan suara serak.

“Baik, biar kuberitahukan padamu agar kau tidak mati penasaran.”

“Ya, kumohon sudilah kau jelaskan, lekas, kalau tidak takkan kudengar lagi,” rintih Siau-hi-ji.

“Hehe, caramu menirukan gerak-gerik dan lagak-lagu Li Toa-jui memang persis sekali, tentunya kau kenal dia bukan?”

“Ya...ya, ya,” gemetar sekujur badan Siau-hi-ji.

“Pernahkah kau dengar dia membicarakan diriku?” tanya Pek Khay-sim.

“Ti...tidak pernah,” Siau-hi-ji melengak heran.

“Soalnya dia sangat benci padaku, sedemikian bencinya padaku hingga namaku saja dia tidak sudi menyebutnya, maka tidak mungkin dia menganggap aku sebagai sahabat dan mengajak pula makan minum bersamaku,” Pek Khay-sim terbahak-bahak, lalu menyambung pula, “Kau sangka kalau Cap-toa-ok-jin sama-sama Ok-jin (orang jahat), mereka pasti juga kawan baik satu sama lainnya. Kau tidak tahu bahwa di antara Cap-toa-ok-jin juga ada yang bermusuhan dan saling membenci. Perhitunganmu memang jitu, tapi tetap ada satu yang meleset, dan kesalahan ini pun cukup fatal untuk membikin jiwamu melayang.”

Dengan merintih Siau-hi-ji berkata, “Jadi...jadi kau sudah tahu aku bukan Li Toa-jui tulen, tapi mengapa....”

“Bapakmu ini sengaja berlagak bodoh, maksudku hanya ingin tahu apa tujuanmu yang sesungguhnya” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa, selain itu aku pun ingin mempermalukan kau, kini bapakmu merasa cukup menggodamu dan bolehlah kau tunggu ajalmu saja.”

“Meski sekarang kumati di tanganmu, tapi kau pun ada se... sesuatu....” mendadak Siau-hi-ji kejang dan jatuh telentang, sekuatnya ia ingin bicara lagi, namun cuma bibirnya saja yang bergerak dan tak terdengar suaranya.

“Ada sesuatu apa mengenai bapakmu, coba katakan?” Pek Khay-sim menegas.

Siau-hi-ji tampak berkeringat dan berteriak-teriak, “Kau... kau....” tapi suaranya ternyata sangat lemah meski dia berusaha menggembor sekerasnya.

Karena ingin tahu apa yang diucapkan Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendekatinya, tanyanya sambil setengah berjongkok, “Bicaralah yang keras, bapak tidak mendengar.”

Mendadak Siau-hi-ji meraung keras-keras, “Kubilang kau ini orang goblok!”

Berbareng dengan suara raungannya itu secepat kilat ia pun menutuk beberapa Hiat-to di tubuh Pek Khay-sim.

Baru saja Pek Khay-sim berjingkat kaget karena raungan mendadak itu, tahu-tahu ia pun roboh terkapar.

“Biar pun Cap-toa-ok-jin terkenal licin dan licik, tapi kebentur padaku juga pasti akan terperangkap,” seru Siau-hi-ji sambil melompat bangun. “Sekarang kau baru tahu bahwa bapakmu ini bukanlah orang yang mudah dilayani.”

Sambil menggeletak di tanah Pek Khay-sim hanya mampu memandangi anak muda itu dengan terbelalak, sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini masih ada orang terlebih licin dari pada Cap-toa-ok-jin.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, “Meski bapakmu ini tidak tahu persis apakah arakmu itu beracun atau tidak, tapi menghadapi Cap-toa-ok-jin kalian betapa pun aku harus tetap waspada. Kau kira aku telah minum arakmu, haha, padahal bapakmu cuma mengumur arak itu di dalam mulut, lalu kutumpahkan bersama daging manusia palsu itu.”

“Meng...mengapa tak kulihat tindakanmu itu?”

“Haha, kepandaian menipu orang begitu sejak bapakmu ini berumur lima sudah berhasil mempelajarinya. Jangankan cuma secawan arak terkumur di dalam mulut, sekali pun satu biji telur ayam kusembunyikan di dalam mulut juga takkan kau lihat.”

Baru sekarang Pek Khay-sim benar-benar merasa ngeri dan ketakutan menghadapi Siau-hi-ji, tanyanya dengan suara gemetar, “Kau... kau sesungguhnya siapa?”

“Hehe, baru sekarang kau kenal takut ya?” jengek Siau-hi-ji. “Orang macam bapakmu harus ditakuti oleh siapa pun. Jika kau ingin tahu siapa bapakmu ini, maka lebih dulu kau harus bekerja baik-baik bagi bapakmu ini, habis itu mungkin bapak akan memberitahukan padamu.”

Bahwa orang yang lebih lihai dan menakutkan dari pada setan ini ternyata tiada bermaksud membunuhnya melainkan cuma menyuruhnya bekerja sesuatu baginya, keruan hal ini membuat Pek Khay-sim kegirangan, cepat ia berseru, “Baik, baik, segera anak akan menuliskan surat itu.”

“Hahaha, sekarang dari bapak kau mau berubah menjadi anak...Hahaha, kau ini memang anak baik. Tapi kalau bapak membebaskan anak seperti kau ini begini saja tetap terasa khawatir,” sembari bicara diam-diam sebelah tangan Siau-hi-ji menggosok-gosok kuduk sendiri sehingga dakinya dapat menjadi satu gelincir kecil, mendadak ia pencet dagu Pek Khay-sim dan gelintiran daki itu terus dijejalkan ke mulutnya.

Seketika Pek Khay-sim merasa satu biji barang yang asin-asin serta berbau sesuatu yang sukar dilukiskan itu meluncur ke dalam kerongkongannya, keruan ia terkejut, serunya khawatir, “Apa... apa ini?”

“Kau kan punya Toan-joan-san (puyer perantas usus), maka aku pun punya Jui-beng-wan (pil pemburu nyawa) yang khas,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Apa? Jui-beng-wan? Meng... mengapa tidak pernah kudengar.”

“Sudah tentu kau tidak pernah dengar nama obat demikian ini, sebab racun ini memang hasil buatanku sendiri belum lama berselang dan tiada obat penawarnya di dunia ini, hanya dalam waktu tujuh jam seluruh tubuhmu akan hitam membengkak, lewat satu jam lagi tubuhmu akan membusuk dan jiwamu segera melayang, yang tertinggal hanya air hitam yang berbau busuk.”

Siau-hi-ji membual semaunya, tetapi kedengarannya seperti sungguh-sungguh dan betul-betul akan terjadi. Keruan Pek Khay-sim tambah kelabakan, serunya dengan khawatir, “Bu... bukankah engkau hendak menyuruh aku bekerja sesuatu?”

“Ya, sudah tentu aku sendiri mempunyai obat penawarnya,” kata Siau-hi-ji sambil tertawa.

“Selamanya kita tiada permusuhan apa pun, kumohon engkau....”

Siau-hi-ji sengaja mendelik dan membentak, “Jika dalam waktu tujuh jam ini kau dapat menyelesaikan pekerjaan yang kutugaskan padamu secara memuaskan, lalu boleh kau datang dan tunggu aku di sini, tentu akan kutolong jiwamu.”

Habis berkata ia terus membuka Hiat-to yang ditutuknya.

Namun Pek Khay-sim masih terkulai lemas di tanah seakan-akan tenaga untuk berdiri saja sudah lenyap, katanya, “Kuharap jang... janganlah engkau melupakan diriku akan menunggu di sini.”

“Waktu sudah mendesak, ayolah lekas berangkat agar tidak terlambat,” dengus Siau-hi-ji.

Tanpa disuruh lagi segera Pek Khay-sim melompat bangun, seperti kuda liar yang pantatnya mendadak dibacok orang, bagai kesetanan dia terus berlari pergi.

Setelah orang pergi jauh, Siau-hi-ji tertawa geli sendiri, gumamnya, “Hihi, Cap-toa-ok-jin yang sangat ditakuti orang itu ternyata juga mudah dikibuli.”

Menjelang tengah malam, Siau-hi-ji sudah berada di loteng kecil itu. Lo Sam dan Lo Kiu tidak berada di situ, hanya Buyung Kiu saja yang duduk di lantai dan sedang main boneka sambil menyanyikan lagu nina bobok. Dengan tertawa kecil Siau-hi-ji juga ikut bernyanyi kecil.

Tapi Buyung Kiu lantas berhenti menyanyi, ia pandang Siau-hi-ji dengan bingung, sejenak kemudian barulah ia bertanya, “Kau siapa? Aku tidak kenal padamu.”

“Masa sudah lupa?” ucap Siau-hi-ji dengan suara halus. “Bukankah aku kemarin mengajarkanmu cara mengusir momok yang mengeram di dalam hatimu itu.”

“Oya, kiranya kau. Bentukmu tampaknya agak berubah?” kata nona itu.

Siau-hi-ji sengaja mendesis, “Ssst, jangan keras-keras, aku khawatir momok jahat itu akan mencari diriku, makanya aku menyamar jadi begini agar tidak dikenalinya, hendaklah kau jangan katakan kepada siapa-siapa?”

Berulang-ulang Buyung Kiu mengangguk, katanya, “Ya, aku tahu, aku paham, momok itu sangat menakutkan, sedapatnya jangan sampai dia menemukan kau.”

“Kutahu kau pasti paham, kau memang anak perempuan pintar.”

“Apa benar aku anak perempuan pintar?” wajah yang sayu itu menampilkan senyuman sekilas laksana mendung yang mendadak ditembus cahaya matahari dan bunga yang indah mendadak mekar dalam sekejap ini.

Siau-hi-ji memandangnya dengan terkesima, timbul perasaan aneh dalam hatinya, tapi segera ia menyadari tidak boleh memandangnya lebih lama, cepat ia menarik tangannya dan berkata, “Sekarang akan kubawa kau ke suatu tempat, segera kau akan berjumpa dengan orang yang jauh lebih sakti dari pada diriku dan dapat membantumu mengusir momok dalam tubuhmu.”

Entah mengapa, Buyung Kiu itu ternyata penurut kepada Siau-hi-ji, segera ia berdiri, tapi baru saja dua-tiga tindak, tiba-tiba ia bertanya sambil berkedip-kedip. “Dan bag...bagaimana dengan engkau?”

“Mungkin selanjutnya kau takkan melihat aku lagi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika selanjutnya takkan melihatmu lagi, maka aku pun tak mau pergi,” demikian Buyung Kiu lantas urung melangkah lebih lanjut.

Siau-hi-ji tercengang, sukar dikatakan bagaimana perasaannya, cepat ia berseru, “Bila mana momok yang mengeram dalam tubuhmu sudah terusir, kau sendiri pun tidak mau lagi menemui aku, tatkala mana tentu pula banyak orang lain akan mendampingimu setiap hari.”

“Jika begitu biarkan saja momok ini tetap mengeram di dalam hatiku saja,” kata Buyung Kiu setelah berpikir sejenak.

Hati Siau-hi-ji menjadi rada pilu, katanya kemudian dengan tertawa, “Anak bodoh, memangnya kau ingin terus begini selamanya?”

Buyung Kiu menatapnya dengan tak berkedip sambil menggigit bibir, lalu berkata, “Sebenarnya keadaan begini juga tiada jeleknya, apa lagi asalkan setiap hari kau datang menemani aku, lama-lama juga dapat mengusir momok itu, betul tidak?”

Siau-hi-ji kucek-kucek hidungnya, tiba-tiba ia menarik muka dan berkata, “Kau tidak mau menurut perkataanku, mana aku mau menemanimu lagi.”

Buyung Kiu menunduk, ucapnya dengan rawan. “Kau mengharuskan aku pergi, segera juga aku akan pergi, namun engkau....”

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Asalkan kau selalu ingat pembicaraan kita hari ini, selanjutnya aku akan tetap menyambangi dikau....” segera ia mengenakan mantel bagi si nona itu, waktu mereka sampai di pintu belakang taman keluarga Toan, ternyata Samkohnio sudah menunggu di situ.

Malam ini cukup dingin, tapi Samkohnio hanya mengenakan baju sutera tipis warna jambon seakan-akan tidak merasakan hawa yang dingin itu. Demi lelaki yang dicintainya, demi kecantikan, anak gadis terkadang memang berani berkorban, misalnya mengikat kencang tali pinggang dan berpuasa tiga hari tiga malam, apa lagi cuma kedinginan, semua ini bukan apa-apa.

Mata Samkohnio bercahaya, hatinya berdebar keras, meski tubuhnya rada menggigil, tapi mukanya terasa panas. Maklumlah, untuk pertama kali inilah dalam hidupnya dia mengadakan pertemuan rahasia dengan lelaki. Bagaimana perasaan anak gadis yang mengadakan pertemuan gelap pertama kali dengan sang kekasih, perasaan ini hanya diketahui oleh mereka sendiri.

Dari jauh dia melihat kedatangan Siau-hi-ji, dengan kegirangan segera ia menyongsong ke sana, tapi setelah berhadapan baru diketahui di belakang Siau-hi-ji mengikut pula seorang. Seketika hati Samkohnio terpukul, dengan menggigit bibir dia menegur, “Kau... kau tidak datang sendirian saja?!”

Entah memang tidak paham ucapan si nona atau sengaja berlagak pilon, dengan perlahan Siau-hi-ji menjawab, “Memangnya aku kan tidak menyatakan hendak datang sendirian?”

Baru sekarang Samkohnio melihat jelas wajah Siau-hi-ji, serunya terkejut, “He, sia...siapakah kau?”

“Aneh, baru saja kau dapat mengenali diriku, mengapa sekarang pangling lagi?”

Memang Samkohnio dapat mengenali suara Siau-hi-ji, tapi masih tetap sangsi, ucapnya ragu-ragu, “Tadi aku cuma merasakan...merasakan kedatanganmu, tapi mukamu....”

Dengan suara tertahan Siau-hi-ji menukas, “Ada sesuatu urusan rahasia harus kukerjakan dan terpaksa aku harus menyamar begini, hendaklah jangan kau katakan kepada siapa pun juga, urusan ini hanya kau sendiri yang tahu.”

Meski dia sendiri tidak menguraikan apa urusan ini, tapi dia kenal watak anak gadis ini, apa lagi cuma dia sendiri yang mengetahui rahasia lelaki yang dicintainya, maka persoalan lain tentu takkan diusut lebih lanjut.

Benar juga, Samkohnio menjadi gembira pula, betapa pun dia merasa Siau-hi-ji masih tetap baik padanya, kalau tidak masakah cuma dia sendiri yang diberitahukan rahasianya. Maka dengan suara tertahan ia pun balas mendesis, “Ya, jangan khawatir, pasti takkan kukatakan pada orang lain.”

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya pula, “Tapi untuk urusan ini aku masih perlu bantuan orang.”

“Dapatkah aku membantumu?” tanya Samkohnio cepat.

“Sebenarnya aku ingin mencari orang lain saja, tapi... tapi kalau engkau suka membantu sudah tentu akan kuterima dengan senang hati,” kata Siau-hi-ji.

Samkohnio bertambah gembira, ucapnya, “Memang sudah kukatakan sejak dulu-dulu, tak peduli apa permintaanmu tentu kusanggupi.”

Bahwa pemuda yang dicintainya tidak mencari bantuan pada orang lain tapi justru mencari bantuan padanya, ini menandakan anak muda itu memang menaruh perhatian kepadanya, keruan Samkohnio kegirangan setengah mati.

Dari air muka si nona, Siau-hi-ji yakin urusan pasti tak menjadi soal lagi, segera ia berkata, “Sesungguhnya urusan ini pun tiada sesuatu kesukaran, asalkan kau bawa orang ini ke rumahmu, tengah malam nanti baru kau taruh dia di suatu tempat.”

“Ah, terlalu mudah, pasti dapat kulaksanakan dengan baik,” ucap si nona gede.

“Tapi kau harus ingat dua hal. Pertama, jangan sekali-kali dia terlihat oleh siapa pun juga. Kedua, harus kau sembunyikan dia tepat pada tengah malam nanti, tidak boleh lebih dari dini hari dan juga tidak boleh terlambat.”

“Baik, jangan khawatir, pasti akan kukerjakan dengan betul,” jawab Samkohnio dengan tertawa. Dan baru sekarang dia sempat memperhatikan Buyung Kiu.

Seluruh badan Buyung Kiu terbungkus oleh mantel hitam sampai kepalanya juga tertutup rapat, dengan sendirinya Samkohnio tidak tahu bagaimana bentuknya, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia tanya, “Siapakah orang ini?”

“Dia sangat erat hubungannya dengan urusan yang hendak aku kerjakan ini, selanjutnya kau tentu akan tahu,” jawab Siau-hi-ji secara samar-samar.

Ia mendorong Buyung Kiu ke depan Samkohnio, lalu berkata pula, “Nah, lekas kalian pergi sekarang!”

Buyung Kiu menoleh dan seperti ingin bicara sesuatu, tapi Siau-hi-ji telah mendahului pergi.

Samkohnio merasa sangsi melihat sikap mereka itu, tapi akhirnya ia cuma menghela napas dan berkata, “He, ikutlah padaku.”

********************

Sebelum tiba waktunya Siau-hi-ji sudah berada di sutheng yang dijanjikan itu, ia memeriksa sekelilingnya, orang-orang yang diundangnya ternyata belum ada yang hadir. Ia mengatur sekadar di sekitarnya, lalu mencari suatu tempat baik untuk bersembunyi, dari sini ia dapat melihat setiap orang yang berada di dalam sutheng, tapi orang lain pasti tidak melihatnya.

Habis itu ia merenung kembali persoalan ini dari awal hingga akhir. Setelah menerima surat yang ditulis Buyung Kiu itu pasti Cin Kiam dan Lamkiong Liu akan datang. Sesudah membaca suratnya itu, Kang Piat-ho juga pasti akan hadir.

Rombongan Cin Kiam itu tentunya akan membawa 80 laksa tahil perak kontan dan rombongan Kang Piat-ho justru datang hendak mencari harta karun. Bila kedua kelompok ini kepergok di sini mustahil takkan terjadi ramai-ramai.

Meski mereka tidak memakai kedok, tapi di tengah malam gelap pasti tidak jelas terlihat oleh pihak lawan, dalam keadaan sama-sama cemas dan gelisah, sekali tidak cocok bicara mustahil kedua pihak tidak saling labrak, bila Samkohnio telah membawa si Buyung Kiu ke tempat tinggal Kang Piat-ho dan setelah orang-orang keluarga Buyung Kiu menerima laporan gelap Pek Khay-sim, lalu Buyung Kiu dapat ditemukan di sana, mustahil keluarga Buyung takkan mencari perkara kepada Kang Piat-ho? Sungguhpun Kang Piat-ho cukup lihai, tapi keluarga Buyung juga bukan pihak yang boleh diremehkan.

Jadi rencana Siau-hi-ji tidak cuma sekali tepuk dua lalat saja, tapi beberapa lalat akan kena ditepuknya sekaligus.

Pertama, dengan cara Kang Piat-ho sendiri dia dapat membalasnya agar orang she Kang itu pun merasakan bagaimana pahitnya difitnah orang.

Kedua, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan kawan-kawannya semalam telah menuduhnya secara semena-mena, maka ia pun ingin membikin mereka tahu rasa. Sudah diperhitungkan setelah mereka menerima laporan gelap Pek Khay-sim, tentu mereka akan membagi diri dengan dua kelompok, yang satu memeriksa ke taman keluarga Toan, kelompok lain datang ke sutheng ini. Yang datang ini bisa jadi cuma Cin Kiam, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok bertiga, sekali pun ketiga orang ini mampu mengatasi Kang Piat-ho, tapi sedikitnya mereka pun akan merasakan kelihaian orang she Kang itu.

Ketiga, akhirnya ia telah mengirim kembali Buyung Kiu kepada keluarga sendiri, kelak andaikan pikirannya tetap tidak waras, tapi berada di tengah keluarga sendiri tentunya tidak perlu khawatir lagi akan dianiaya orang. Untuk ini Siau-hi-ji merasa telah berbuat sesuatu pahala yang melegakan hati.

Keempat, setelah Kang Piat-ho terjebak sekali ini, seumpama tidak mampus, sedikitnya akan dapat menghajar adat padanya dan mengurangi kemunafikannya, Pek Khay-sim dan lain-lainnya mungkin juga tidak berani mencari gara-gara lagi. Dengan demikian dunia Kangouw untuk sementara bisa jadi aman tenteram.

Kelima, harta karun keluarga Toan yang dirampok itu bisa juga ditemukan dan kembali kepada pemiliknya, betapa pun Toan Hap-pui dan Samkohnio selama ini cukup baik padanya dan dengan demikian berarti dia telah membalas budi kebaikan mereka.

Keenam, kematian Thi Bu-siang yang penasaran itu juga dapat terbalas dan nama baiknya dapat dipulihkan kembali.

Begitulah rencana Siau-hi-ji ini ternyata sekali pukul tujuh sasaran, walau pun praktiknya harus menghadapi banyak kesukaran dan keruwetan, tapi rasanya cukup berharga dengan jerih payahnya. Meski rencananya ini akan banyak membikin orang celaka, tapi juga banyak membikin orang menerima manfaatnya.

Apa yang diperbuat Siau-hi-ji memang ada yang baik dan ada yang busuk, tapi kalau ditimbang tetap lebih banyak yang baik dari pada yang busuk, apa lagi biar pun busuk juga busuknya tidak rendah dan kotor, busuknya busuk menarik. Apa pula orang yang dibikin susah olehnya justru adalah manusia busuk yang berpuluh kali lebih busuk dari pada dia.

Begitulah Siau-hi-ji merenungkan kembali rencana yang diaturnya itu, semakin dipikir terasa sempurna rencananya ini, ia yakin biar pun Kang Piat-ho yang pintar dan licin itu juga takkan mampu merancang tipu muslihat sebagus ini.

Kang Piat-ho, Cin Kiam, Lamkiong Liu, Pek Khay-sim, Lo Kiu, Lo Sam...Setiap orang yang bersangkutan dengan rencana ini biar pun semua tergolong tokoh mahalihai, tapi semuanya telah kena diperalat dan diadu domba tanpa sadar, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mampu membongkar tipu muslihatnya yang bagus ini.

Semakin dipikir semakin senang hati Siau-hi-ji, tanpa terasa ia tertawa dan bergumam, “Nah, siapa berani bilang aku ini bukan orang pintar nomor satu di dunia ini? Siapa bilang aku bukan jenius?”

********************

“He, ikutlah padaku!” demikian Samkohnio sedang mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras. Tapi Buyung Kiu masih termangu-mangu memandangi bayangan Siau-hi-ji yang telah menghilang itu.

Samkohnio berkerut kening, ia memutar ke depan Buyung Kiu, sedikitnya ia satu kepala lebih tinggi, dengan sendirinya ia dapat mengaling-alingi pandangan nona Buyung itu.

“Ke... kenapa kau menutupi pandanganku?” tanya Buyung Kiu.

“Dia sudah pergi, apa yang hendak kau lihat?” jengek Samkohnio.

Buyung Kiu memiringkan kepalanya dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan rada rawan, “Ya, betul ia sudah pergi... Tapi tahukah bahwa selanjutnya dia akan datang pula menjenguk aku.”

“Dia bohong padamu,” teriak Samkohnio dengan dongkol. “Setelah dia ke sini, selanjutnya dia takkan gubris dirimu lagi.”

“Tidak, dia takkan bohong padaku, kutahu,” ucap Buyung Kiu dengan tertawa, dengan penuh keyakinan dia angkat kepalanya sehingga cahaya bulan menyinari wajahnya yang bening penuh rasa bahagia di kemudian hari.

Meski Samkohnio juga perempuan, tanpa terasa ia pun kesima menyaksikan sikap Buyung Kiu itu, katanya dengan suara rada gemetar, “Dari... dari mana kau tahu dia pasti tidak bohong padamu?”

“Sebabnya dia mengirim diriku ke sini hanya bermaksud mengusir momok yang mengeram di dalam hatiku, habis itu dia tentu akan datang mencariku.”

“Ada momok di dalam hatimu?”

“Ya, lantaran momok yang menggoda hatiku ini, makanya aku tidak ingat kejadian masa lampau.”

Sambil memandangi wajah yang linglung tapi cantik itu Samkohnio berkata perlahan, “Kau tidak ingat segalanya?”

“Ehm,” Buyung Kiu mengangguk.

“Tapi kalau bukan lantaran pikiranmu kurang waras, tentunya dia takkan membawamu ke sini begitu?”

“Kutahu dia juga tidak tega berpisah denganku.”

“Jadi setelah... setelah kau sembuh nanti, dia akan...akan datang lagi menjemputmu?” tanya Samkohnio.

Suara bernada cemburu itu rada gemetar, cemburu yang kuat cukup mendorong seorang perempuan berbuat apa pun juga.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar