Bakti Pendekar Binal Jilid 05

Mumpung di waktu malam, ia segera mencari sebuah toko penjual sebangsa pupur bedak dan sebagainya. Dia masuk dengan bertangan kosong, keluarnya sudah penuh “muatan”, segala keperluannya dalam bungkusan-bungkusan sudah dibawanya.

Jika di “Thian-hiang-tong, Te-leng-ceng” saja dia dapat masuk dan keluar dengan leluasa seperti tiada penghuninya, dengan sendirinya toko sekecil ini bukan apa-apa baginya, apa yang dia perlukan tinggal ambil saja.

Maka waktu fajar tiba, seperti ular habis mengelungsungi, Siau-hi-ji juga telah berganti rupa, kini wajahnya putih gemuk, malahan rada-rada tembem, matanya riap-riap seperti orang yang selalu mengantuk dan mulutnya rada monyong sehingga lebih mirip makelar di rumah pelacur.

Kepandaian rias muka yang dipelajarinya dari To Kiau-kiau ternyata tidak sia-sia.

Waktu pagi tempat yang paling ramai di dalam kota dengan sendirinya adalah rumah minum yang juga menjual sarapan pagi, Siau-hi-ji mencari sebuah rumah makan yang paling ramai.

Biasanya, rumah makan yang ramai dikunjungi peminat hanya ada dua kemungkinan. Murah dan enak. Jika bukan harganya murah tentu hidangannya lezat. Itulah daya tarik langganan.

Di rumah makan itulah Siau-hi-ji mengisi perut sekenyangnya, ia habiskan satu piring Sio-moy dan beberapa potong Yucakue disertai satu mangkuk kuah panas. Ia tahu hari ini pasti akan banyak keluarkan tenaga, maka “tangki bensin” juga perlu diisi penuh.

Supaya menghasilkan tenaga besar manusia harus makan kenyang.

Di luar rumah makan itu sudah ramai pasar pagi, orang berlalu lalang berjubel-jubel, seorang lelaki tinggi kurus dengan pelipis bertempelkan koyok dan tangan menjinjing sangkar burung tampak menerobos kian kemari di tengah-tengah khalayak ramai.

Sebelah tangan lelaki jangkung itu membawa sangkar burung, tapi tangan lain juga tidak menganggur, sekali tangan terjulur, seketika isi saku orang lain sudah menjadi miliknya.

Orang inilah yang diincar dan dikuntit Siau-hi-ji, ia mendekatinya dan memegang pundaknya sambil menegur dengan tertawa, “Gesit amat kerja tangan sahabat.”

Pencoleng itu menoleh dan merasa tidak kenal Siau-hi-ji, dengan gusar ia memaki, “Anak jadah, barangkali kau makan kekenyangan dan ingin digebuk?” Berbareng tangannya membalik terus menampar.

Sudah pasti selama hidupnya jangan harap akan dapat memukul Siau-hi-ji. Hanya dengan dua jari saja Siau-hi-ji dapat menjepit pergelangan tangan pencoleng itu, sedikit dipencet dan dipuntir, seketika pencoleng itu meringis dan mengaduh.

“Nah, siapa anak jadah?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa. Keringat dingin membasahi dahi pencoleng itu, jawabnya dengan terputus-putus, “Aku... aku sendiri anak jadah, aku sendiri anak haram. Tuan kecil, kakek kecil, ampun, ampunilah anak haram macamku ini, biarlah kuserahkan seluruh isi bajuku ini padamu.”

“Aku tidak mengincar isi kantongmu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Asalkan kau menjawab beberapa pertanyaanku secara jujur, malahan aku yang akan menambahkan isi sakumu sehingga penuh. Nah, mau tidak?”

“Su… sudah tentu mau,” jawab pencoleng itu.

Sambil menelikung tangan orang, Siau-hi-ji lantas tanya, “Tahukah tempat seperti Thian-hiang-tong, Te-leng-ceng?”

“Tentu saja tahu, kalau tempat begitu saja tidak tahu, mana hamba dapat cari makan di sini.”

“Orang macam apakah Tio-cengcu itu?”

“Tio-cengcu terkenal kaya raya, tangan terbuka pula, baik kawan kalangan putih mau pun kalangan hitam mempunyai hubungan baik dengan dia. Cuma... cuma sejak sayap Toan Hap-pui melebar ke sini, semua usahanya hampir jatuh kalah bersaing dengan Toan Hap-pui, dia bermaksud main kekerasan, tak tahunya Toan Hap-pui juga memiara sekawanan orang Kangouw, bahkan kelasnya lebih tinggi dari pada jago-jago kumpulan Tio-cengcu.”

“Betul, jika demikian halnya,” gumam Siau-hi-ji. “Sungguh Tio Hiang-leng mendatangkan Thi Bu-siang ke sini tentunya karena dia ingin menggunakan pengaruh tokoh tua itu untuk menindas Toan Hap-pui, di luar dugaannya usahanya ini justru kena diperalat oleh orang lain.”

Pencoleng itu tidak paham apa yang dikatakan Siau-hi-ji, dengan menyengir ia cuma memohon, “Tuan kecil, Tuan besar, dapatkah engkau melepaskan hamba sekarang?”

“Kerjamu setiap hari putar kayun kian kemari, kau tentu sangat paham keadaan kota ini, kukira Tio-keh-ceng (perkampungan keluarga Tio) tentu juga ada kenalan, asalkan kau mau membawaku menemui temanmu dan membiarkan aku ngendon sehari di sana, untuk itu akan kuberi tiga ratus tahil perak, kau mau tidak?”

Tawaran menarik ini mustahil dia tidak mau? Untuk tiga ratus tahil perak ini sekali pun bininya juga pencoleng itu mau menjualnya…..

********************

Tempat seperti Tio-keh-ceng dengan sendirinya terdapat orang bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang busuk. Di antara kaum pelayan dan pekerja dengan sendirinya terdapat golongan yang bertujuan ‘cari-cari’ belaka dan orang-orang ini adalah kawan si pencoleng itu.

Dengan sedikit akalnya Siau-hi-ji lantas dapat bergaul dengan mereka, tidak sampai setengah hari orang-orang itu pun sudah pandang Siau-hi-ji sebagai teman sendiri.

Yang tidak terduga oleh Siau-hi-ji adalah pagi-pagi Tio Hiang-leng sudah berada di ruang depan dengan penuh semangat, sedikit pun tiada tanda-tanda kurang tidur karena habis pesta pora semalam suntuk.

Tidak lama kemudian datanglah berturut-turut beberapa kelompok orang, tampaknya adalah kaum pedagang, semuanya bersikap sangat hormat kepada tuan rumah.

Siau-hi-ji berdiri agak jauh, ia coba tanya salah seorang centeng siapakah orang-orang yang pagi-pagi menghadap Tio Hiang-leng itu.

“Mereka adalah pemegang kuasa Cengcu kami yang diserahi mengawasi berbagai perusahaan di luar sana, setiap pagi mereka pasti datang memberi laporan kepada Cengcu mengenai perkembangan perusahaan, selain orang-orang ini biasanya Cengcu kami tidak menerima tamu,” demikian tutur centing itu.

“Ada sementara tamu mungkin mau tak mau harus diterima Cengcu kalian,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Tentu saja centing itu tidak paham maksud yang terkandung di balik ucapan Siau-hi-ji itu, jawabnya dengan tertawa, “Memangnya ada orang yang berani sembarangan menerjang masuk perkampungan kami ini?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, “Bagaimana kalau tamu itu Toan Hap-pui adanya?”

“Huh, babi gemuk itu maksudmu?” jengek si centing. “Sudah lama Cengcu kami hendak memotong dagingnya untuk dibuat Ang-sio-bak.”

“O, kiranya Cengcu kalian bermusuhan besar dengan Toan Hap-pui?” tanya Siau-hi-ji.

“Soalnya persaingan. Mestinya usaha Cengcu kami maju dan lancar, akan tetapi sejak kedatangan Toan Hap-pui, dengan segala daya upaya dia selalu mengacau dan merusak.”

“Cara bagaimana dia mengacau dan merusak?”

“Misalnya di mana Cengcu kami ada toko, di situ pula dia membuka toko yang serupa, setiap langganan Cengcu kami selalu diserobot olehnya, maka permusuhan Thian-hiang-tong kami dengan Toan Hap-pui boleh dikatakan adalah sedalam lautan.”

“Sungguh tidak nyana bahwa dunia dagang juga seperti medan perang,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tampaknya permusuhan di kalangan dagang akan jauh lebih keras dari pada musuh di medan perang.”

“Orang dagang harus mengutamakan kejujuran, tapi cara kotor dan rendah seperti Toan Hap-pui itu pada hakikatnya bukan cara manusia,” ucap si centing.

Maklumlah, orang dagang pada jaman dahulu umumnya mengutamakan kejujuran, akan tetapi Toan Hap-pui ternyata memiliki otak dagang modern seperti jaman kini, dia menggunakan akal dagang bersaing dan main monopoli seperti sekarang untuk mengalahkan lawannya, dengan sendirinya caranya ini menimbulkan rasa benci pihak lawan.

Dalam pada itu Tio Hiang-leng sudah menyelesaikan urusannya dengan para pegawainya. Ia menghirup teh yang sudah tersedia, lalu memberi perintah agar pelayan mengundang para tamunya ke ruangan tamu ini untuk minum.

Siau-hi-ji putar kayun dulu ke perkampungan ini, sekembalinya ia lihat Thi Bu-siang, Lo Kiu dan Lo Sam sudah berada di ruangan tamu dan asyik membicarakan kejadian aneh semalam.

Diam-diam Siau-hi-ji membatin, “Jika taksiranku tidak meleset, mungkin sudah saatnya dia akan tiba!” Maka ia lantas duduk di atas batu yang berada di bawah pohon yang rindang.

Benar juga, tidak lama kemudian terdengarlah di pintu luar sana ada suara ramai, seorang berseru, “Antarkan kartu nama ini kepada Cengcu kalian, katakan Cayhe minta bertemu.”

Terdengar penjaga menjawab, “Maaf, sudah menjadi kebiasaan Cengcu kami di waktu pagi men....” Mendadak ucapannya berhenti sampai di sini, seperti orang yang kaget demi melihat nama yang tertulis pada kartu yang disodorkan.

“Itu dia sudah datang!” demikian Siau-hi-ji bergumam dengan girang dan rada tegang pula demi mendengar suara orang tadi.

Dalam pada itu buru-buru si penjaga menyampaikan kartu nama itu kepada sang majikan. Mula-mula Tio Hiang-leng mengerut kening karena kunjungan tamu di waktu pagi, tapi demi membaca kartu nama itu, seketika ia pun berubah sikap dan berseru, “He, Kang lam-tayhiap Kang Piat-ho datang!”

Serentak Thi Bu-siang berbangkit, belum lagi dia buka suara, di luar ruangan sudah ada orang berseru lantang dengan tertawa, “Kang Piat-ho mohon bertemu, masa Cengcu tidak sudi menemuinya?”

Dua orang tampak melangkahi undak-undakan batu ruangan tamu, orang yang berada di depan gagah angker, itulah dia Kang Piat-ho. Di belakangnya adalah seorang pemuda mahacakep. Lebih belakang lagi ada empat lelaki menggotong sebuah joli indah berkain beludru hijau, pintu joli tertutup tirai, entah siapa yang duduk di dalam joli itu.

Cepat Tio Hiang-leng memburu maju untuk menyambut, sapanya sambil memberi hormat, “Cayhe tidak tahu akan kunjungan Kang-tayhiap sehingga tidak menyambut lebih dulu, harap sudi memberi maaf.”

“Waktu berkunjung kami ini kurang tepat, kamilah yang perlu minta maaf kepada Cengcu,” jawab Kang Piat-ho tertawa.

Setelah mempersilakan duduk tetamunya, dilihatnya air muka si pemuda cakep itu bersungut, ketika sorot mata kedua orang beradu, tanpa terasa Tio Hiang-leng mengkirik, ia menyapa, “Saudara ini entah....”

“Ini Hoa-kongcu, Hoa Bu-koat,” sela Kang Piat-ho dengan tersenyum.

Dia sengaja memperkenalkan Hoa Bu-koat dengan tawar, tapi bagi Tio Hiang-leng, Thi Bu-siang dan kedua saudara Lo itu menjadi terkesiap demi mendengar nama ini.

Setelah memandang sekejap, Thi Bu-siang berkata dengan tertawa, “Kiranya saudara ini adalah Bu-koat Kongcu yang termasyhur akhir-akhir ini, ternyata memang ksatria muda yang cakap, sungguh beruntung dapat berjumpa.”

“Terima kasih,” ucap Bu-koat dengan dingin-dingin saja.

“Dan inilah Thi-locianpwe,” dengan tertawa Tio Hiang-leng juga memperkenalkan jagonya. “Mungkin kalian sudah lama saling kenal, tapi kedua saudara Lo ini....” Dengan sendirinya ia pun membumbu-bumbui lebih banyak ketika memperkenalkan kedua orang gemuk ini.

Tapi Hoa Bu-koat seperti tidak mendengarkan uraiannya, yang menarik perhatiannya adalah hidungnya yang sedang mencium-cium sesuatu bau tertentu, mendadak lengan jubahnya mengebas, dengan enteng dia melesat ke sana.

Semua orang cuma merasa ada bayangan berkelebat, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah melayang ke ruang samping, waktu bayangan berkelebat pula, cepat sekali dia sudah melayang balik, tangannya meraup segenggam obat dan air mukanya tampak pucat.

“Ternyata betul terdapat di sini,” demikian ucapannya dengan suara parau.

“Apakah obat-obatan ini milik Hoa-kongcu?” tanya Tio Hiang-leng. “Cayhe lagi bingung karena tidak tahu siapa yang mengirimkannya kemari, semalam....”

“Apakah Cengcu benar-benar tidak tahu siapa pengirimnya?” tiba-tiba Kang Piat-ho menukas dengan senyum tak senyum.

Tio Hiang-leng memandangnya-sekejap, kemudian memandang Hoa Bu-koat pula, dari air muka pemuda itu ia tahu di balik persoalan ini pasti menyangkut sesuatu urusan gawat Maka dengan menyengir kikuk ia menjawab, “Se… sebenarnya bagaimana duduk perkaranya?”

“Duduk perkara ini sebenarnya juga sangat sederhana,” kata Kang Piat-ho. “Ada orang meracuni bakal istri Hoa-kongcu, tapi sengaja memborong habis semua obat penawar racun di setiap toko obat. Nah, bagaimana duduk perkaranya menurut pendapat Tio-cengcu?”

“Jelas tujuannya hendak menamatkan hidup calon istri Hoa-kongcu,” kata Tio Hiang-leng.

“Betul, dan dengan demikian, orang yang sengaja menguras semua obat penawar di pasaran itu bukankah sama dengan orang yang menaruh racun itu?” tanya Kang Piat-ho.

“Ya, dengan sendirinya,” jawab Tio Hiang-leng.

“Bagus,” ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum.

Setelah berpikir, seketika air muka Tio Hiang-leng berubah pucat, serunya, “He, jadi obat… obat penawar yang dimaksud itu kini berada di tempatku ini?”

“Betul,” kata Kang Piat-ho tegas.

“Tapi... tapi Cayhe benar-benar tidak tahu seluk-beluk urusan ini....” seru Tio Hiang-leng sambil melonjak. “Obat-obatan itu baru kemarin dikirim kemari.”

“Siapa pengirimnya?” tanya Kang Piat-ho.

“Cayhe juga tidak tahu,” jawab Tio Hiang-leng.

“Tidak tahu?” jengek Kang Piat-ho. “Masa ada orang tanpa sebab mau mengirimkan obat-obatan yang bernilai mahal ini secara cuma-cuma kepada orang lain? Tio-cengcu bicara cara begini, memangnya kau anggap diriku ini anak kecil?”

Bahwasanya kejadian ini memang aneh dan sukar dipercaya kalau diceritakan, dengan sendirinya Tio Hiang-leng tidak dapat memberi penjelasan lebih lanjut, hanya keringat dingin saja memenuhi dahinya.

Mendadak Thi Bu-siang berdiri dan berseru, “Lohu bersedia menjamin Tio-cengcu dengan kehormatanku bahwa obat-obatan itu memang betul kiriman orang lain, Tio-cengcu memang betul tidak tahu-menahu siapa pengirimnya.”

Kang Piat-ho meliriknya sekejap, katanya dengan acuh, “Kalau Tio-cengcu tidak tahu, kurasa saudara pasti tahu.”

“Ap... apa maksudmu?” seru Thi Bu-siang dengan, gusar.

Kang Piat-ho hanya mendengus saja dan tidak menanggapinya, bahkan tidak lagi memandang jago tua itu.

Pada saat inilah baru Hoa Bu-koat menarik diri dari dalam joli, kiranya yang berada di dalam joli adalah Thi Sim-lan, Hoa Bu-koat telah menyuapi Thi Sim-lan dengan obat penawar yang diambilnya dari ruangan dalam tadi.

Cara telan obat penawar mentah-mentah begitu meski tidak semanjur kalau minum obat cara biasa, tapi sedikitnya dapat menahan menjalarnya racun, apa lagi ditambah bantuan tenaga dalam Hoa Bu-koat yang mahakuat, hanya sebentar saja di dalam joli lantas terdengar suara orang merintih perlahan.

Hoa Bu-koat menghela napas lega, perlahan-lahan ia membalik tubuh, sorot matanya menyapu muka setiap orang, begitu tajam sinar matanya sehingga membuat orang yang ditatap olehnya merasa seram.

“Siapa yang menaruh racunnya?” dengan sekata demi sekata kemudian Hoa Bu-koat bertanya.

“Cayhe… Cayhe benar-benar tidak tahu,” ucap Tio Hiang-leng sambil mengusap keringat di dahinya.

“Ini pasti ada orang sengaja memfitnah!” teriak Thi Bu-siang dengan suara keras.

Kang Piat-ho memandang Lo Sam dan Lo Kiu sekejap, tiba-tiba ia berkata, “Memangnya obat-obatan ini bukan dibeli oleh Thi-loenghiong dan Tio-cengcu?”

Lo Kiu dan Lo Sam saling pandang sekejap, lalu Lo Kiu menjawab dengan perlahan, “Kami bersaudara tidak tahu apa-apa.”

“Secara gamblang kalian mengetahui, semalam juga kalian menyaksikan sendiri, mengapa bilang tidak tahu apa-apa?” bentak Thi Bu-siang gusar.

“Kami bersaudara memang menyaksikan obat-obatan itu diantar sendiri ke sini dan tidak tahu siapa pengirimnya, bisa jadi pengirimnya ialah Ong Ji, atau Li Si, atau mungkin juga....” Lo Sam memandang Thi Bu-siang sekejap dan tidak meneruskan lagi.

“Atau mungkin juga dilakukan oleh anak murid Thi-loenghiong, begitu bukan?” tanya Kang Piat-ho.

Lo Sam dan Lo Kiu kembali saling pandang dan tidak menjawab seakan-akan mengakui kebenarannya secara diam.

Sorot mata Kang Piat-ho lantas menatap tajam ke arah Thi Bu-siang, lalu bertanya dengan kalem, “Apa lagi yang dapat saudara katakan?”

Thi Bu-siang melotot gusar kepada kedua Lo bersaudara, bentaknya bengis, “Mengapa kalian berani bicara begitu?”

“Kami bicara sejujurnya,” ucap Lo Kiu.

“Kalian bersaudara sungguh orang yang terpuji, sungguh Cayhe sangat kagum,” ujar Kang Piat-ho. “Tapi Thi-loenghiong ternyata…Hehe!”

Thi Bu-siang menjadi murka, bentaknya, “Memangnya Lohu kenapa?”

Kang Piat-ho tidak menjawab, ia mendekati joli dan memanggil perlahan, “Nona Thi! Apakah nona Thi sudah siuman?”

Terdengar suara rintihan Thi Sim-lan di dalam joli, “O, aku... aku kedinginan!”

“Apakah nona tahu siapa yang meracuni dirimu?” tanya Kang Piat-ho.

Pertanyaan ini membuat orang merasa tegang, semuanya ingin tahu bagaimana jawabnya.

Terdengar Thi Sim-lan menjawab dengan suara lemah, “Apakah aku... aku keracunan? Aku pun tidak... aku tidak tahu siapa yang menaruh racun....”

Baru saja Tio Hiang-leng merasa lega terdengar Thi Sim-lan telah menyambung pula, “Yang jelas habis kumakan dua biji kurma antaran Thi Bu-siang, sekujur badan lantas kedinginan hingga menggigil, hanya sebentar saja aku lantas tidak sadarkan diri.”

Keterangan ini membuat air muka semua orang berubah.

“Meng… mengapa kau menista orang?” seru Thi Bu-siang.

“Jika saudara tetap menyangkal, apakah sikap ini terhitung lelaki sejati?” kata Kang Piat-ho.

“Kentut busuk!” teriak Thi Bu-siang gusar. “Selamanya Lohu tidak kenal nona ini dan tiada permusuhan apa-apa, untuk apa kuracuni dia?”

“Bagaimana pendapatmu atas jawaban ini, Hoa-kongcu?” tanya Kang Piat-ho kepada Hoa Bu-koat.

Betapa pun Hoa Bu-koat memang bukan pemuda biasa, dalam keadaan demikian dia masih tetap sabar, walau pun air mukanya tampak bersungut, tapi tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan kalem, “Sebelum kita bertindak harus membuat mereka menyerah lahir batin.”

“Ya, pantasnya memang harus begitu,” ucap Kang Piat-ho dengan tertawa, mendadak ia memanggil salah seorang pemikul joli, “Coba kemari!”

Pemikul joli itu mengiakan dan mendekat, katanya sambil membungkuk tubuh, “Entah ada pesan apa Kang-tayhiap?

Sudah tentu semua orang tidak tahu untuk apakah Kang Piat-ho memanggil seorang kuli tukang pikul joli pada detik yang genting ini. Tertampak Kang Piat-ho menyeringai dan bertanya kepada pemikul joli itu, “Apa yang dikatakan Thi-locianpwe barusan ini sudah kau dengar bukan?”

“Ya, hamba mendengar dengan jelas,” sahut pemikul joli.

“Coba katakan, adakah alasannya mencelakai nona Thi?” tanya Kang Piat-ho pula.

“Tidak ada,” jawab pemikul joli.

Maka hadirin jadi saling pandang dengan bingung, mereka merasa Kang Piat-ho sengaja main teka-teki, ada pula yang merasa Kang Piat-ho ini ingin untung malah menjadi buntung.

Tapi Kang Piat-ho sendiri tidak menjadi marah oleh jawaban si pemikul joli, sebaliknya ia malah tertawa dan bertanya pula, “Jika demikian, jadi bukan Thi-locianpwe yang menaruh racunnya?”

“Justru Thi-locianpwe yang menaruh racun itu,” kata si pemikul joli.

“Lho, mengapa sekarang kau bilang Thi-locianpwe yang menaruh racunnya?” kata Kang Piat-ho.

“Sebabnya, meski beliau tiada maksud mencelakai nona Thi, tapi ada niat membinasakan Hoa-kongcu,” jawab pemikul joli. “Jadi sasaran racunnya sebenarnya Hoa-kongcu, hanya saja nona Thi yang ketiban pulung.”

Kang Piat-ho pura-pura mengernyitkan kening dan bertanya pula, “Selamanya Thi-locianpwe juga tiada permusuhan apa pun dengan Hoa-kongcu, untuk apa beliau meracuni Hoa-kongcu?”

“Ya, tepat, untuk apa Lohu meracun orang yang tak kukenal?” tukas Thi Bu-siang dengan murka.

Tapi pemikul joli itu menjawab dengan tenang, “Maksud tujuan membunuh orang hanya ada beberapa alasan, misalnya iri, dendam, atau mungkin lantaran diri sendiri berbuat sesuatu dosa yang tak boleh diketahui orang lain....”

Dengan gusar Thi Bu-siang membentak, “Selama hidupku selalu bertindak sesuatu dengan terang-terangan, masa kau budak keparat ini berani menista diriku berbuat sesuatu yang takut diketahui orang?!”

Bentakan Thi Bu-siang ini menggelegar sehingga para centing Te-leng-ceng sama pucat ketakutan. Tapi pemikul joli ini ternyata tidak jeri sedikit pun, dengan tenang ia malah tertawa dan menjawab, “Sekali-kali hamba tidak bilang begitu, Thi-locianpwe sendirilah yang berkata demikian.”

Bukan saja mulutnya tajam, bahkan nyali pemikul joli itu pun besar, malahan nada bicaranya yang terdengar menghormat itu terasa menusuk perasaan pula seakan-akan tidak mau kalah menghadapi Thi Bu-siang.

Semua orang menjadi heran bahwa seorang pemikul joli “Kang-lam-tayhiap” begitu lihai. Akan tetapi Siau-hi-ji sudah dapat melihat bahwa “pemikul joli” ini seperti orang yang sudah sangat dikenalnya.

Dalam pada itu, saking gusarnya Thi Bu-siang menjadi tertawa keras sambil menengadah, teriaknya, “Bagus, bagus, di hadapan kawan sebanyak ini Lohu justru ingin mendengar tuduhan budak keparat macam kau ini mengenai perbuatanku yang takut diketahui orang?”

“Perbuatan yang tidak boleh dilihat orang juga terdiri dari macam-macam,” ucap pemikul joli.

“Umpamanya pencuri ayam atau sambar jemuran, ini terhitung kejahatan kecil, kalau merampok uang kiriman, membunuh orang, ini tergolong kejahatan besar.”

“Mak… maksudmu Lohu pernah merampok uang kiriman siapa?” bentak Thi Bu-siang.

“Umpamanya milik Toan Hap-pui, Toan-loya,” jawab pemikul joli.

“Toan Hap-pui?” teriak Thi Bu-siang dengan parau. “Kau… kau....”

“Setiap penduduk kota ini tahu bahwa Toan-loyacu adalah saingan keras Tio-cengcu,” kata si pemikul joli. “Kalau harta Toan-loyacu yang disiapkan untuk membeli barang dagangan dirampok sehingga barang dagangannya terlambat datang, bukankah Tio-cengcu akan kehilangan saingan berat sehingga dapat berusaha dengan leluasa, bahkan menaikkan harga dan untung besar.”

“Sekali pun begitu, lalu ada sangkut-paut apa dengan diriku?” teriak Thi Bu-siang gusar.

“Jika Thi-locianpwe berhasil merampas harta kiriman Toan-loyacu, untuk jasa besar ini tentu Tio-cengcu akan memberi imbalan setimpal, bahkan harta rampasan itu pun dapat dinikmati oleh Thi-locianpwe,” ucap si pemikul joli dengan tertawa.

Sungguh hampir meledak dada Thi Bu-siang saking murkanya, teriaknya, “Bagus, bagus, apa lagi? ayo teruskan!”

“Tentunya Thi-locianpwe mengira peristiwa ini takkan diketahui setan sekali pun, andaikan ada orang Kangouw yang menyelidiki kejadian ini juga takkan mencurigai Thi-locianpwe,” si pemikul joli tertawa, lalu menyambung pula, “Di luar dugaan, Toan-loyacu ternyata dapat mengundang Hoa-kongcu kemari, dengan sendirinya Thi-locianpwe juga tahu Hoa-kongcu bukan tokoh sembarangan dan tentu khawatir peristiwa ini dibongkar oleh Hoa-kongcu, jika demikian jadinya, maka kelak Thi-locianpwe pasti tiada muka lagi buat berkecimpung di dunia Kangouw, sebab itu pula harus turun tangan lebih dulu, Hoa-kongcu harus dibinasakan sebelum dia bertindak sesuatu.”

Cara bicara pemikul joli makin lama makin mencolok, semula masih pakai istilah ‘umpama’ dan ‘misal’ segala, tapi sekarang cara terang-terangan ia menuduh Thi Bu-siang dengan pasti.

Tentu saja tidak kepalang murka Thi Bu-siang, bentaknya, “Budak keparat, biar kuhancurkan dulu mulutmu ini!” Berbareng itu ia menubruk maju, di mana angin pukulannya menyambar, kontan pipi kanan kiri tukang pikul joli itu hendak ditempelengnya.

Thi Bu-siang adalah tokoh dunia persilatan daerah Sam-siang, dengan sendirinya ilmu silatnya bukan jago pasaran biasa. Sekarang dia melancarkan serangan lihai itu terhadap seorang kuli tukang pikul joli, ibaratnya elang menyambar kelinci, semua orang menyangka serangannya pasti akan berhasil dengan mudah.

Anehnya, Kang Piat-ho berdiri tepat di sebelah tukang pikul joli itu, tapi dia tetap diam saja meski menyaksikan anak buah sendiri hendak ditempeleng orang.

Maka terdengar suara “plak” yang keras disertai suara raungan dan bayangan seorang lantas mencelat. Ternyata secara keras tukang joli itu telah menangkis pukulan Thi Bu-siang, bahkan setelah adu tangan, yang mencelat bukan tukang pikul itu melainkan Thi Bu-siang sendiri malah.

Keruan semua orang menjerit kaget.

Sebenarnya Siau-hi-ji sedang merenungkan siapakah sebenarnya kuli pikul itu, tapi kini setelah melihat gaya pukulannya ternyata ilmu silat golongan murni, seketika tergerak pikirannya, “Ah, kiranya dia!”

Dilihatnya Thi Bu-siang terpental hingga beberapa meter jauhnya, waktu hendak berdiri ternyata masih sempoyongan, untung Tio Hiang-leng memburu maju untuk memayangnya sebelum dia jatuh. Walau pun begitu wajah Thi Bu-siang yang merah itu pun berubah menjadi pucat dan dada berempas-empis, jelas terluka dalam yang tidak ringan.

“Betapa pun Thi-locianpwe sudah tua,” ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum.

“Kau... kau....” gemetar suara Thi Bu-siang hingga tak sanggup melanjutkan.

“Apa yang ingin Cianpwe ucapkan, Cayhe siap mendengarkan,” kata Kang Piat-ho.

“Cayhe ingin tanya pula, coba jelaskan, apabila benar Thi-locianpwe yang menaruh racun, mengapa waktu mengantarkan oleh-oleh itu dia memakai namanya sendiri secara terang-terangan dan mengapa pula obat-obat penawarnya disimpan di sini, memangnya dia sengaja menunggu kedatangan kalian untuk menggerebeknya dengan bukti-bukti nyata?” tanya Tio Hiang-leng.

“Jika manusia biasa tentu takkan bertindak begini,” si tukang joli tadi mendahului bicara, “Tapi Thi-locianpwe sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw dengan pengalaman yang luas, dia sengaja berbuat begini agar supaya orang lain tidak percaya bahwa dia yang melakukan tindakan keji ini.”

“Tapi... tapi....” Tio Hiang-leng tergagap-gagap juga. Biasanya ia pintar bicara dan banyak akalnya, tapi sekarang ternyata tak dapat menandingi debatan seorang kuli tukang pikul.

“Urusan sudah kadung begini, bagaimana pendapat Hoa-kongcu?” tiba-tiba Kang Piat-ho berpaling ke arah Hoa Bu-koat.

Perlahan Hoa Bu-koat menyapu pandang semua hadirin, akhirnya dia menatap tajam Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, lalu berkata, “Saat ini tepat lohor, biarlah kuberi tempo setengah hari lagi bagi kalian berdua, boleh kalian berpikir cara bagaimana menyelesaikan persoalan ini. Petang nanti aku akan datang lagi ke sini.” Habis berkata ia angkat tangan memberi tanda dan melangkah keluar.

“Selama ini Cayhe juga kagum akan nama kebesaran Thi-locianpwe dan ingin sekali berkenalan, tak tahunya… Ai!” setelah menghela napas gegetun, segera Kang Piat-ho juga melangkah pergi bersama kuli joli tadi.

Melihat mereka pergi begitu saja, semua orang jadi melongo, entah bersyukur, entah khawatir.

Diam-diam Siau-hi-ji juga gegetun, pikirnya, “Betapa pun perginya kedua orang ini benar-benar sikap seorang pendekar sejati, cuma perginya Hoa Bu-koat itu timbul dari lubuk hati yang murni sedangkan Kang Piat-ho hanya sengaja berlagak demikian.”

Setelah menyaksikan kepergian Hoa Bu-koat dan Kang Piat-ho, sekonyong-konyong Thi Bu-siang menggerung, “Sungguh bikin gusar Lohu....” dan mendadak darah segar tersembur dari mulutnya.

Kiranya dia telah terluka dalam yang parah akibat adu pukulan tadi, cuma dia bertahan sekuatnya, makanya sebegitu lama dia tidak ikut bicara, sebab khawatir tumpah darah dan kehilangan muka.

Pedih juga hati Tio Hiang-leng melihat keteguhan hati Thi Bu-siang meski sudah berusia lanjut. Cepat ia berkata, “Silakan Cianpwe istirahat dulu ke ruang belakang untuk merawat lukamu....”

“Petang nanti juga akan tiba ajal kita, apa gunanya sekali pun luka ini dapat disembuhkan?” ujar Thi Bu-siang dengan senyum pilu.

“Rasanya juga belum… belum tentu akan terjadi, mereka… mereka kan sudah pergi,” kata Tio Hiang-leng.

“Meski mereka sudah pergi, memangnya Lohu dapat melarikan diri?” kata Thi Bu-siang. “Ai, tidak nyana kehormatan selama hidupku ini akhirnya harus mati dengan hina cara begini.”

Tio Hiang-leng menunduk sedih dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula. Ia tahu dengan kedudukan Thi Bu-siang, orang tua itu lebih suka mati dari pada melarikan diri.

“Urusan sudah begini, Lohu sudah menghadapi jalan buntu, dari pada menantikan tibanya ajal, lebih baik kuhabisi diriku sendiri saja!” ucap Thi Bu-siang pula dengan menengadah, belum habis ucapannya air mata sudah bercucuran. Ksatria yang sudah lanjut usia harus menghadapi jalan buntu, sungguh mengharukan dan menimbulkan rasa simpatik orang.

“Hendaklah Cianpwe jangan bertindak demikian,” kata Tio Hiang-leng khawatir, “mungkin urusan masih bisa berubah....”

“Dalam keadaan demikian, jelas kita tidak dapat membantah terkecuali kalau dapat menemukan biang keladi yang sesungguhnya....” ujar Thi Bu-siang. “Tapi dunia seluas ini, ke mana biang keladi itu akan dicari? Apa lagi kita hanya diberi waktu setengah hari saja.”

“Setengah hari… sampai petang nanti....” demikianlah Tio Hiang-leng bergumam dengan wajah murung.

Waktu ia memandang keluar, sang surya sudah tampak mulai bergeser ke barat.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar