Bahagia Pendekar Binal Jilid 45 (Tamat)

Sementara itu Kiau-goat Kiongcu juga telah meninggalkan adiknya yang sudah tidak bernyawa itu dan sedang memeriksa denyut nadi Siau-hi-ji.
Melihat tindakan kalap Yan Lam-thian itu, mendadak ia pun melayang ke sana, Hoa Bu-koat sempat diseretnya mundur sehingga terhindar dari pukulan maut Yan Lam-thian.

“Bagus, bagus sekali!” teriak Yan Lam-thian dengan bengis. “Yang muda sudah selesai, kini memang sudah waktunya giliran kita!”

Tapi Kiau-goat Kiongcu hanya tertawa saja menghadapi tantangan Yan Lam-thian itu, katanya, “Cepat atau lambat kita memang harus bertarung, tapi hal ini boleh ditunda sementara setelah kuceritakan sesuatu rahasia.”

“Rahasia? Rahasia apa?” tanya Yan Lam-thian.

“Tadi kusempat seret mundur Bu-koat, padahal kaulah yang kutolong,” tutur Kiau-goat dengan tenang. “Sebab, siapa pun di dunia ini boleh membunuhnya, hanya kau, ya, hanya kau sekali-kali tidak boleh membunuhnya.”

“Sebab apa?” tanya Yan Lam-thian terheran-heran.

Sinar mata Kiau-goat Kiongcu menampilkan senyuman yang kejam dan sinis, katanya, “Apakah kau tahu siapa dia?”

Yan Lam-thian tampak heran. Sungguh aneh pertanyaan Ih-hoa-kiongcu ini.

Siapa yang hadir di sini tidak kenal Hoa Bu-koat dan siapa pula yang tidak tahu Bu-koat adalah murid Ih-hoa-kiong, ahli waris Ih-hoa-kiongcu. Mengapa hal ini perlu ditanyakan padanya?

Karena bingungnya, Yan Lam-thian lantas balas bertanya, “Memangnya siapa dia?”

Mendadak Kiau-goat Kiongcu bergelak tertawa, tertawa latah, tertawa seperti orang gila, ditudingnya Hoa Bu-koat sambil berkata, “Nah, dengarkan, biar kuberitahukan padamu, dia tak lain dan tak bukan adalah putra Kang Hong, dia adalah saudara kembar sekandung Siau-hi-ji!”

Tentu saja keterangan Ih-hoa-kiongcu ini seketika menggemparkan setiap hadirin.

Sebaliknya Yan Lam-thian jadi melenggong, sampai lama barulah dia membentak dengan gusar, “Kentut! Omong kosong!”

“Kau kira aku berdusta padamu dan ingin menipumu?” kata Kiau-goat Kiongcu. Kembali ia bergelak-gelak hingga berkali-kali. Lalu sambungnya pula, “Sudah dua puluh tahun aku menunggu tibanya hari seperti sekarang ini, sengaja kutunggu mereka berdua saudara kembar ini saling bunuh-membunuh. Sudah dua puluh tahun kutunggu dan baru sekarang kusiarkan rahasia ini, sungguh aku sangat gembira, sangat puas!”

“Apa pun juga yang kau katakan, pokoknya satu kata saja aku tidak percaya,” Yan Lam-thian meraung murka.

“Kuyakin kau akan percaya,” ucap Kiau-goat Kiongcu dengan terkekeh-kekeh. “Coba renungkan lagi tentu akan kau dapati banyak kemiripan di antara mereka berdua, coba kau lihat hidung mereka, mata mereka dan...”

Kedua tangan Yan Lam-thian terkepal dengan kencang, tanpa terasa air keringat pun merembes seperti air perasan.

Kiau-goat Kiongcu bergelak tertawa pula dan berkata, “Apakah kau tahu sebab apa kupaksa mereka bertarung mati-matian? Tahukah mengapa aku mengharuskan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri? Kalian pasti tidak tahu sebab musababnya bukan? Dan sekarang biar pun kalian tahu duduk perkaranya, namun semuanya sudah terlambat...”

Rahasia ini benar-benar amat mengejutkan, laksana guntur di siang bolong sehingga semua orang sama melongo, meski dalam hati terasa berguncang tapi tak sanggup bersuara sedikit pun. Di jagat raya ini seakan-akan cuma terdengar suara tertawa Kiau-goat Kiongcu.

Bila semua orang membayangkan macam-macam kejadian di masa lampau yang menyangkut diri Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, meski mereka ingin tidak percaya kepada ucapan Kiau-goat Kiongcu tadi, tapi mau tak mau mereka harus percaya juga.

Entah apa yang timbul dalam hati masing-masing, entah kejut, gusar, duka, atau simpatik... Bisa jadi semua perasaan itu terdapat setitik, tapi tetap saja lebih banyak rasa kasihan dan simpatiknya.

Bila teringat nasib kedua bersaudara kembar yang malang ini, para nona Buyung menjadi terharu, dan menangis sedih. Han-wan Sam-kong dan setiap laki-laki juga sama mencucurkan air mata.

Wajah Hoa Bu-koat kelihatan pucat bagai kertas, dipandangnya jenazah Siau-hi-ji yang tergeletak di tanah itu, lambat-laun tubuh Bu-koat menjadi gemetar, makin lama makin keras gemetarnya, sampai akhirnya berdiri saja tidak sanggup lagi, ia menungging sambil memeluk tubuh sendiri.

Memandangi kedua saudara kembar yang satu hidup dan yang lain mati, perawakan Yan Lam-thian yang kekar itu seakan-akan runtuh seluruhnya, dalam sekejap ini dia benar-benar telah berubah menjadi lebih tua. Dalam hati penuh rasa duka, derita dan menyesal.

“Mengapa kupaksa mereka bergebrak? Mengapa tidak tidak kucegah mereka,” demikian ia mencela dirinya sendiri.

Ia tahu semua ini adalah karena dendam, sakit hati.

Sekarang ia tahu bahwa dendam itu takkan mendatangkan kejayaan bagi siapa pun juga. Dendam hanya akan mendatangkan penderitaan dan kehancuran. Namun kini sudah terlambat segalanya.

Yan Lam-thian benar-benar sangat berduka sehingga kekuatan yang timbul dari kemurkaannya tadi pun lenyap, ia tidak lagi menantang Kiau-goat Kiongcu, bahkan memandang sekejap lagi padanya juga tidak.

Sebaliknya Kiau-goat Kiongcu justru sedang memandangi mereka.

Sorot mata Kiau-goat penuh rasa senang dan puas, tapi juga mengandung rasa keji dan kejam, ia melototi Hoa Bu-koat dan menjengek, “Kau telah membunuh saudara kandungmu sendiri, apa yang akan kau katakan pula?”

Bu-koat mendekap mukanya dan terkulai di tanah.

Kiau-goat Kiongcu menyeringai, katanya, “Jangan lupa, padamu masih ada sebilah pedang hijau, yaitu ‘Pek-hiat-kiam’ pemberianku. Sekarang tentunya kau percaya apa yang pernah kukatakan dahulu bahwa pedang hijau ini adalah pedang iblis, pedang sial, barang siapa memilikinya harus mati.”

Mendadak Hoa Bu-koat mendongkak, tahu-tahu Pek-hiat-kiam sudah terhunus.

Pedang pandak itu berwarna hijau muda dan memancarkan cahaya yang kemilau menyeramkan.

Meski setiap orang tahu apa yang akan dilakukan Hoa Bu-koat, tapi tiada seorang pun yang dapat merintangi, sebab biar pun siapa bila mana sudah tertimpa nasib seperti dia, maka jalan satu-satunya baginya harus mati, lain tidak.

“Sudah saatnya bagimu, kau tunggu apalagi?” ucap Kiau-goat Kiongcu dengan sekata demi sekata.

Tanpa ragu lagi Hoa Bu-koat terus angkat tangannya dan menikam ke dada sendiri.

Tapi mendadak sebuah tangan terjulur dari samping, tahu-tahu pedang hijau yang dipegang Hoa Bu-koat telah terebut.

Sebenarnya bukan pekerjaan gampang bagi siapa pun yang hendak merampas pedang dari tangan Hoa Bu-koat. Tapi sekarang, dalam keadaan limbung pada saat Hoa Bu-koat merasa dirinya runtuh seluruhnya, tahu-tahu pedangnya telah dirampas orang.

Bu-koat mendongak dan menatap orang tua itu sekian lama, habis itu barulah ia berkata dengan suara parau, “Siapa engkau? Mengapa engkau merintangi kematianku?”

Yang merampas pedang Hoa Bu-koat ternyata Ban Jun-liu adanya.

Dia menghela napas, lalu menjawab perlahan, “Jika seorang sudah bertekad ingin mati, maka siapa pun tak dapat mencegahnya.”

“Jika sudah tahu begitu, mengapa kau ikut campur urusan orang lain,” bentak Kiau-goat Kiongcu mendadak.

Ban Jun-liu tidak menggubrisnya, dengan tajam ia masih menatap Hoa Bu-koat, ucapnya dengan suara lembut, “Bukan maksudku hendak merintangi kehendakmu, aku cuma minta kau tunggu lagi sebentar. Sebentar saja, bisa jadi tidak sampai setengah jam, selang setengah jam lagi, apa bila kau tetap ingin mati, kujamin pasti tiada seorang pun yang akan merintangimu.”

Lalu dia pandang pedang hijau yang tergenggam di tangannya itu dan menyambung pula, “Ya, pada saatnya nanti, siapa pun yang ingin mati bukan saja takkan kurintangi, bahkan dengan tanganku sendiri akan kusodorkan pedang ini kepadanya.”

“Setengah jam? Hanya setengah jam?” seru Kiau-goat Kiongcu dengan bergelak tawa, “Hahaha, hanya dalam setengah jam kau bisa main gila apa? Sudahlah, kukira tidak perlu kau tunggu lagi, jangan percaya ocehannya, tidak perlu tunggu lagi, lebih lama kau tunggu lebih lama pula kau akan menderita.”

Mendadak Thi Cian membentak, “Biar pun menderita lagi sebentar, memangnya apa alangannya? Masa kau sama sekali tiada mempunyai keberanian sedikit pun?”

Kiau-goat menjadi gusar, dampratnya, “Siapa kau? Berani banyak mulut di depanku?”

Thi Cian menjadi murka juga, jawabnya dengan suara terlebih keras, “Mau apa jika aku banyak mulut?”

Warna muka Kiau-goat Kiongcu kembali mulai putih bening lagi, selangkah demi selangkah dia mendekati Thi Cian, katanya, “Barang siapa berani banyak mulut, segera akan kubinasakan dia!”

Tiba-tiba si nenek Siau juga mendengus dan melangkah maju ke samping Thi Cian, katanya, “Selama hidupku tiada hobi lain kecuali suka banyak mulut!”

Ni Cap-pek lantas menukas, “Watakku serupa dengan dia!”

“Aku juga!” sambung Ji Cu-geh.

Dalam sekejap saja, tokoh-tokoh kosen yang sudah lama mengasingkan diri itu serentak berdiri menjadi satu baris dan siap menghadapi Kiau-goat Kiongcu.

Seketika Kiau-goat menghentikan langkahnya, ditatapnya sinar mata beberapa tokoh yang tajam itu. Selang sejenak, ia tertawa acuh, katanya, “Dua puluh tahun sudah kutunggu, kalau cuma setengah jam saja masa aku tidak dapat menunggu lagi?”

Kecuali Ban Jun-liu sendiri, siapa pun tidak tahu dalam waktu setengah jam yang singkat itu akan terjadi perubahan apa?

Akan tetapi Ban Jun-liu seperti sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia duduk bersila di samping Hoa Bu-koat, bahkan lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.

Sang waktu rasanya berlalu dengan sangat lambat, meski cuma waktu setengah jam saja, tapi rasanya tidak habis-habis, perasaan setiap orang sama tertekan.

Cukup lama Yan Lam-thian termangu-mangu, perlahan ia berjongkok untuk mengangkat jenazah Siau-hi-ji.

“He, lepaskan dia, jangan menyentuhnya!” mendadak Ban Jun-liu berseru.

Yan Lam-thian jadi melengak, “Jangan menyentuhnya? Sebab apa?” tanyanya heran.

“Sekarang tidak perlu kau tanya, apa pun juga sebentar akan kau ketahui sendiri,” kata Ban Jun-liu.

Yan Lam-thian terdiam sejenak, tubuh Siau-hi-ji yang sudah diangkatnya sedikit itu diletakkan kembali. Tapi mendadak ia jadi teringat pula, cepat ia pegang kembali tangan Siau-hi-ji. Dilihatnya air muka anak muda yang mula-mula pucat menghijau itu telah berubah menjadi putih, lalu dari putih mulai bersemu merah.

Keruan girang Yan Lam-thian tidak kepalang, mendadak ia berteriak sekeras-kerasnya, “He, Siau-hi-ji tidak mati, tidak mati...”

Kiau-goat Kiongcu juga terkejut, tapi segera ia mendengus, “Hm, aku sendiri telah memeriksa denyut nadinya, dengan jelas kutahu dia telah mati, apa gunanya kau membohongi aku?

“Untuk apa kubohongimu?” teriak Yan Lam-thian dengan tertawa. “Sekali pun tadi dia benar-benar telah mati, yang pasti sekarang dia sudah hidup kembali.”

Ucapan Yan Lam-thian ini menggemparkan pula, meski dalam hati setiap orang sama berharap Siau-hi-ji benar-benar bisa hidup kembali, tapi tiada seberapa orang yang mau percaya pada kata-kata Yan Lam-thian.

Kiau-goat Kiongcu lantas bergelak tertawa, serunya sambil menunjuk Yan Lam-thian, “Hahahaha! Orang mati mana bisa hidup kembali?”

Yan Lam-thian menengadah dan terbahak-bahak, ia tidak memusingkan olok-olok Kiau-goat Kiongcu itu dan juga tidak membantahnya.

Melihat keadaan Yan Lam-thian itu, semua orang lantas timbul rasa haru dan pilu, semua orang mengira pendekar pedang nomor satu di dunia ini mungkin sudah gila benar-benar. Sebab, orang mati mana bisa hidup lagi?

Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba seorang berseru, “Siapa bilang orang mati tak dapat hidup kembali? Bukankah diriku sekarang sudah hidup lagi?”

Seketika itu siapa pun tidak tahu persis apakah kata-kata itu benar-benar diucapkan oleh Siau-hi-ji sendiri. Yang jelas, “jenazah” Siau-hi-ji memang benar-benar telah berbangkit.

Orang mati ternyata benar-benar dapat hidup kembali!

Setiap orang hampir tidak percaya pada matanya sendiri. Semua orang sama tercengang. Selang sejenak, serentak semua orang bersorak gembira. Ada di antaranya lantas paham duduk perkaranya. Kiranya tadi Siau-hi-ji hanya pura-pura mati saja.

Akan tetapi Kiau-goat Kiongcu sendiri yakin bahwa Siau-hi-ji benar-benar telah mati, sebab ia sendiri yang memeriksa denyut nadinya, jelas napasnya sudah berhenti, nadinya tak bergerak, mana bisa orang mati hidup kembali? Jangan-jangan kesurupan setan?

Sambil menatap Siau-hi-ji, setindak demi setindak Kiau-goat Kiongcu menyurut mundur ke belakang, wajahnya penuh rasa kejut dan takut.

Betapa pun dia tetap seorang perempuan. Di dunia ini hampir tidak ada perempuan yang tidak takut setan.

Sebaliknya Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, katanya, “Kenapa kau takut? Waktu hidupku saja kau tidak takut, sesudah kumati masa engkau malah takut?”

Kiau-goat Kiongcu berteriak dengan parau, “Kau... kau mau main gila apa sebenarnya?”

Siau-hi-ji tergelak-gelak, jawabnya, “Jika permainan Siau-hi-ji dapat diterka olehmu, maka gelar orang pintar nomor satu di dunia akan kuserahkan padamu.”

Lalu dia berpaling kepada Ban Jun-liu dan bertanya, “Paman Ban, apakah dia sudah bicara?”

Ban Jun-liu mengangguk dengan tersenyum, ia pegang tangan Hoa Bu-koat dan menjawab, “Ya, segala apa pun sudah dikatakannya. Rahasia di balik semua itu sebenarnya sangat sederhana, cukup satu kalimat saja sudah jelas bagimu. Yakni, kalian sebenarnya saudara sekandung, bahkan saudara kembar!”

Kontan Siau-hi-ji bersorak gembira, ia melompat maju terus merangkul Hoa Bu-koat, serunya sambil tertawa, “Memang sejak mula kutahu kita pasti tidak ditakdirkan menjadi musuh. Kita harus dilahirkan sebagai kawan, sebagai saudara!”

Meski dia bicara dengan tertawa, tapi tidak urung air mata pun berderai.

Sejak tadi muka Hoa Bu-koat sudah dipenuhi air mata, mana dia sanggup bicara lagi.

Yan Lam-thian mementang kedua tangannya dan merangkul erat-erat kedua saudara kembar ini, serunya sambil menengadah, “Jite, O, Jite, jika arwahmu...” Suaranya menjadi tersendat-sendat dan tenggorokannya serasa tersumbat, dia tidak sanggup meneruskan ucapannya, hanya air mata saja yang bercucuran.

Tapi air matanya sekarang adalah air mata kegirangan, air mata bahagia, walau pun hati masih pilu. Semua orang memandang mereka bertiga, seketika mereka pun tidak tahu ikut merasa gembira atau berduka? Tanpa terasa air mata setiap orang pun meleleh.

Tanpa terasa Buyung Siang menyandarkan dirinya ke dalam pelukan Lamkiong Liu meski hatinya diliputi rasa suka dan duka, tapi juga penuh rasa bahagia. Ketika ia memandang ke sana, semua saudaranya juga saling berdekapan dengan suami masing-masing dengan mesra.

Si nenek Siau mengucek-kucek matanya yang basah, ucapnya tiba-tiba, “Apa pun yang akan terjadi atas diri kalian, yang pasti aku takkan pulang lagi ke pulau terpencil sana. Betapa pun dunia ini tetap masih menarik.”

Kiau-goat Kiongcu berdiri mematung di tempatnya, tiada seorang pun yang memandangnya, dia seakan-akan sudah dilupakan dan dibuang oleh dunia ini.

Hanya Ban Jun-liu saja, perlahan ia mendekati Kiau-goat Kiongcu, katanya, “Air dapat mengapungkan kapal juga dapat menenggelamkan kapal. Racun bisa mencelakakan orang, tapi juga dapat menolong orang. Jika beberapa macam rumput racun dijadikan satu akan dapat menghasilkan semacam obat bius yang sangat lihai. Bila obat bius ini diminum, sekujur badan orang bisa menjadi lumpuh, napas berhenti, sehingga tiada ubahnya seperti orang mati. Bila mana obat bius ini digunakan untuk mencelakai orang, dengan sendirinya orang itu dapat diperlakukan sesukanya dalam keadaan kehilangan kesadarannya. Tapi obat bius yang kubuat ini adalah untuk menolong orang, sebab khasiatnya tidak cuma untuk menghilangkan rasa sakit, tapi juga dapat membuat orang tertipu.”

Sampai di sini, kulit muka Kiau-goat Kiongcu tampak mulai berkerut-kerut, suatu tanda betapa bergejolak perasaannya.

Namun Ban Jun-liu tetap menyambung lagi, “Sebelum Siau-hi-ji bertanding, lebih dulu ia berunding denganku dan minta obat bius ini padaku. Sejak kecil dia tinggal bersamaku, dia cukup paham kegunaan obat bius ini, sebab itulah dia ingin memanfaatkannya untuk pura-pura mati. Ia tahu, apa bila dia sudah mati, maka segala rahasia yang menyangkut pribadinya pasti akan kau beberkan.”

Dia tertawa, lalu melanjutkan, “Anak ini memang sangat cerdik, setiap tipu akal pemikirannya selalu aneh dan sukar dibayangkan dan diraba orang, maka tidaklah heran bahwa Ih-hoa-kiongcu juga tertipu olehnya.”

Lalu dia menyodorkan Pek-hiat-kiam, pedang hijau yang dirampasnya dari Hoa Bu-koat tadi, ke hadapan Kiau-goat Kiongcu, katanya dengan tenang, “Karena Hoa Bu-koat tidak memerlukan lagi pedang ini, terpaksa kuserahkan kembali kepada Kiongcu, dalam keadaan dan saat begini, bukan mustahil Kiongcu memerlukannya, betul tidak?

Dia tersenyum, lalu membalik tubuh dan tidak menoleh lagi.

Padahal dalam keadaan demikian, asalkan Kiau-goat Kiongcu mengayun tangannya, seketika Ban Jun-liu dapat dibinasakan dengan pedang hijau itu.

Namun Ban Jun-liu tahu dengan perasaan Kiau-goat sekarang pasti tidak sanggup membunuh orang lagi. Sebaliknya satu-satunya orang yang ingin dibunuhnya mungkin adalah dirinya sendiri!

Pek-hiat-kiam, pedang hijau itu, bisa jadi memang sebilah pedang iblis, pedang sial…..

********************

Sementara itu So Ing sudah muncul lagi di situ, ia datang tepat pada saat Siau-hi-ji “hidup kembali”.

Tapi baru sekarang dia mengusap air mata dan mendekati anak muda itu.

Ketika mendadak melihat si nona, Siau-hi-ji terkejut dan juga bergirang, serunya, “He, kau pun sudah datang, kutahu kau pasti akan datang lagi.”

Namun wajah So Ing tetap dingin saja tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya, “Kedatanganku ini hanya lantaran aku sudah berjanji kepada seorang untuk menyelesaikan suatu persoalan.”

“Kau berjanji kepada siapa? Untuk menyelesaikan urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku berjanji kepada Thi Sim-lan dan datang ke sini untuk...”

Belum habis ucapan So Ing, serentak Thi Cian dan Hoa Bu-koat berseru, “He, di mana dia?”

So Ing memandang Bu-koat lekat-lekat, katanya, “Dia cuma ingin memberitahukan padamu, bahwa meski dia minta engkau mati baginya, tapi ia sendiri pun sudah siap untuk mati bersamamu. Dia juga minta padaku agar mengubur jenazah kalian menjadi satu liang.”

“Ya, kutahu dia pasti... pasti tidak akan mengingkari diriku, sudah kuketahui sebelum ini,” ucap Bu-koat dengan menangis.

“Tapi kau pun tidak mengingkari dia,” ujar So Ing sambil menghela napas rawan. “Kalian memang pasangan yang setimpal. Thian tidak seharusnya menyiksa kalian sedemikian rupa.”

“Di... di manakah dia sekarang?” tanya Bu-koat.

“Ia telah minum racun dan bunuh diri...”

Belum lagi lanjut ucapan So Ing, sekonyong-konyong Thi Cian meraung terus mencekik leher Hoa Bu-koat, dampratnya, “Semuanya gara-garamu, kau yang membuat celaka dia, kau harus ganti jiwanya!”

Bu-koat berdiri saja seperti patung, tidak meronta juga tidak melawan, ia cuma bergumam, “Ya, betul, akulah yang membuat celaka dia... akulah yang membuat celaka dia...”

Tadinya semua orang sudah bergirang bagi kedua saudara kembar itu, tapi demi melihat keadaan Bu-koat sekarang, kembali perasaan mereka tertekan, mereka merasa Thian benar-benar tidak adil, mengapa selalu kejam terhadap orang yang saling cinta mencintai.

Tak terduga, mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa.

Thi Cian menjadi gusar, dampratnya, “Kau binatang! Apa yang kau tertawakan?”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Kutertawakan kalian terlalu buru-buru cemas, kalian lupa akan kepandaian nona So kita ini.”

“Dia... dia mempunyai kepandaian apa?” tanya Thi Cian.

“Jangankan Thi Sim-lan cuma minum sedikit racun, biar pun segala macam racun di dunia ini diminumnya sekaligus juga nona So kita sanggup menolongnya,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Betul tidak, nona So?”

Dengan mendongkol So Ing melototi anak muda itu, tapi tidak urung ia mengangguk juga. Lalu katanya kepada Hoa Bu-koat dengan tersenyum, “Sebenarnya aku pun ingin membuat cemas padamu, tapi demi melihat keadaanmu yang memelas ini, aku menjadi tidak tega... Nah, lekaslah ke sana, dia terbaring di bawah pohon sana, kukira sebentar lagi dia akan siuman.”

Sungguh girang Bu-koat tak terperikan, serunya, “Terima kasih...” Belum lagi ucapan itu habis dikatakan, secepat terbang dia sudah lari pergi.

Segera Thi Cian ingin ikut ke sana juga, tapi si nenek Siau sempat menariknya, katanya dengan tertawa, “Tempat di sana sangat sempit, bila kau pun ke sana, tentu akan berdesakan.”

Sejenak Thi Cian melengak, tapi segera ia paham maksudnya, serunya dengan tertawa, “Aha, memang betul, di sana terlalu sempit dan berdesakan...”

Dengan tertawa segera Siau-hi-ji hendak memegang tangan So Ing. Tapi begitu si nona melihat anak muda itu, seketika ia menarik muka dan mengebaskan tangannya terus melengos dan tinggal pergi.

Dalam pada itu Kiau-goat Kiongcu mendadak tertawa keras, di tengah tertawa latah itulah ia terus mengangkat jenazah adiknya dan dibawa lari, hanya sekejap saja sudah menghilang di tengah kabut yang tebal.

Sekarang Siau-hi-ji juga tidak memusingkan orang lain lagi, segera ia memburu ke arah So Ing, katanya dengan tertawa, “Apakah kau masih marah padaku?”

So Ing tidak menoleh dan tidak menjawab, hakikatnya tidak menggubrisnya.

“Seumpama aku salah padamu, kan juga tidak perlu marah begitu.”

Tapi si nona tetap tidak menggubrisnya.

“Aku sudah mengaku salah dan minta maaf padamu, masa marahmu belum lagi reda?”

Namun So Ing seperti tidak mendengar apa yang diuraikan anak muda itu.

Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Ai, sebenarnya aku hendak melamar dia untuk menjadi istriku, tapi dia masih marah, kukira lebih baik tak kukatakan saja agar tidak tumbuk dinding.”

Sekonyong-konyong So Ing berpaling, katanya, “Kau... kau bilang apa?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya sambil membentang kedua tangannya, “Aku bilang apa? Aku kan tidak bilang apa-apa.”

Tapi So Ing terus menubruk maju dan merangkul lehernya, telinga Siau-hi-ji digigitnya serta memukuli pundaknya. Katanya sambil menggentak-gentak kaki, “Apa yang kau katakan telah kudengar semuanya. Kau hendak melamar diriku, masa kau berani mungkir?”

Telinga Siau-hi-ji terasa sakit digigit si nona, tapi seluruh badan penuh rasa bahagia, hanya sedikit rasa sakit itu masa menjadi soal? Kontan ia pondong si nona terus dibawa ke depan dengan langkah lebar.

“He, he, apa... apa yang hendak kau lakukan?” seru So Ing.

“Di sini terlalu banyak orang, ingin kucari suatu tempat yang sepi untuk membuat perhitungan denganmu?” bisik Siau-hi-ji.

Muka So Ing menjadi merah, katanya pula, “Apa yang kau lakukan tadi akan... akan kau tepati tidak?”

“Seorang lelaki sejati masa menjilat kembali ludah sendiri?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sambil mengeluarkan suara keluh manja So Ing merangkul erat-erat leher Siau-hi-ji dan membisiknya, “Memang betul, di sini terlalu banyak orang, lekas bawalah diriku, selanjutnya ke mana pun kau pergi aku tetap ikut bersamamu.”

Buyung Siang juga sedang berdekapan dengan Lamkiong Liu, dengan muka merah ia pun membisiki sang suami, “Tidakkah kau pun merasakan di sini orang terlalu berdesakan?”

“Apakah kau ingin pulang sekarang?” bisik Lamkiong Liu dengan pandangan mesra.

Buyung Siang menyembunyikan kepalanya dalam pelukan sang suami, jawabnya lirih, “Masa perlu pulang? Cukup cari saja tempat yang sepi....”

Mendadak terdengar Buyung San mengikik tawa dan berkata, “Ai, sudah tua, masih main roman segala, tidak malu?”

“Budak setan, kau berani mencuri dengar pembicaraan kami?” omel Buyung Siang dengan muka merah.

“Kalian jangan tergesa-gesa pergi, pokoknya setiap orang harus tetap tinggal di sini, kita harus angkat cawan dan minum bersama Yan-tayhiap,” seru Buyung San.

“Tapi dari mana mendapatkan araknya?” ujar Buyung Siang.

“Mungkin kau sudah lupa daratan, masa tidak melihat Han-wan Sam-kong menyeret pergi Thi Cian untuk membeli arak?”

“Betul!” mendadak Yan Lam-thian berseru dengan tertawa, “Hari ini semua hadirin harus tetap tinggal di sini untuk minum tiga cawan, anggaplah minum bagi kebahagiaan Kang Siau-hi-ji dan Kang Bu-koat!”

Dia sengaja mengeraskan ucapan “Kang Bu-koat”, seakan-akan sengaja mengumumkan secara khusus kepada hadirin bahwa “Hoa Bu-koat” selanjutnya adalah Kang Bu-koat.

Sejak tadi si nenek Siau berdiri termangu-mangu, baru sekarang ia menghela napas hampa, ucapnya, “Melihat anak-anak muda ini, aku menjadi agak menyesal.”

“Menyesal apa?” tanya Ni Cap-pek.

“Menyesali diriku sendiri karena dahulu aku sok ragu-ragu dan sangsi, dilamar pemuda ini tidak mau, dipinang pemuda lain juga emoh, akhirnya aku menjadi kapiran dan sebatang kara seperti sekarang ini.”

“Tapi sekarang kalau kau mau cari jodoh kan belum lagi terlambat?” ujar Ni Cap-pek.

“Sekarang? Masa sekarang ada yang mau pada nenek-nenek macamku?” kata si nenek Siau dengan menghela napas.

“Jangan lupa, sampai saat ini aku pun masih membujang sendirian,” kata Ni Cap-pek sambil menunjuk hidungnya sendiri.

Muka nenek Siau menjadi merah seakan-akan mendadak usianya menjadi lebih muda dua-tiga puluh tahun. “Plak”, kontan dia tampar muka Ni Cap-pek satu kali sambil mengomel dengan tertawa, “Sudah tua bangka, gigi saja tinggal dua, masih berani menaksir diriku?”

Dengan cengar-cengir Ni Cap-pek berkata, “Ini namanya tua sama tua, muda mendapat muda dan....”

Segera nenek Siau hendak menamparnya pula, untunglah pada saat itu juga Thi Cian dan Han-wan Sam-kong telah muncul kembali.

Cepat Ni Cap-pek menyongsong mereka dan bertanya, “Mana arak yang kalian beli?”

Dengan muka bersungut Han-wan Sam-kong menjawab, “Keparat, dasar aku lagi bokek, tak tahunya si gila ini pun sama miskinnya seperti diriku, tidak punya duit sepeser pun.”

Di tengah suasana gembira, tanpa arak tentu saja rasanya hambar seperti halnya sayur kurang garam.

Selagi semua orang merasa kecewa, tiba-tiba terlihat segerombolan orang sedang merangkak ke atas gunung. Waktu mereka amati, kiranya bukan manusia melainkan satu gerombolan kera.

Gerombolan kera ini ada besar ada kecil dan mengeluarkan suara “cuat-cuit” yang berisik, anehnya di tangan mereka sama membawa semacam benda, kiranya adalah sebangsa botol dan kaleng rusak.

Tentu saja semua orang terheran-heran dan merasa geli pula. Mereka heran dari mana dan mau apa datangnya kawanan kera ini. Tapi segera mereka mengendus bau arak yang keras.

Cepat Ni Cap-pek memburu maju ke arah sana, kiranya di antara botol dan kaleng yang dibawa kawanan kera itu berisi arak sedap. Keruan ia tertawa girang, serunya, “Ini dia, manusianya tidak berhasil membeli-arak, kawanan kera malah mengantarkan arak dengan cuma-cuma. Tampaknya kera jauh lebih berguna dari pada manusia.”

Han-wan Sam-kong menghela napas gegetun, gumamnya sambil menyengir, “Kera terkadang memang lebih pintar dari pada manusia, paling sedikit mereka pasti tidak mau berjudi...”

Dalam pada itu Siau-hi-ji sedang bergumul dengan So Ing di satu gua di kejauhan sana. Dengan tertawa ia berkata, “Aku berani bertaruh biar pun mereka peras otak memikirkannya selama beribu tahun juga takkan tahu dari mana datangnya arak itu dan arak apa namanya?”

So Ing mirip seekor kucing jinak mendekap di dalam pelukan Siau-hi-ji, dengan pandangan yang menggiurkan dia seperti malas untuk bicara, hanya secara acuh tak acuh dia bertanya, “Memangnya arak apakah itu?”

“Namanya Kau-ji-ciu (arak kera), sebab arak itu memang sulingan kawanan kera sendiri,” kata Siau-hi-ji.

“Masa kera juga bisa menyuling arak?”

“Arak sulingan kera terkadang bahkan jauh lebih sedap dari pada arak buatan manusia.”

“Dengan cara bagaimanakah kau menyuruh kawanan kera itu mengantarkan arak ke sana? Sungguh aku tidak mengerti.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Tipu akal Kang Siau-hi-ji dengan sendirinya tak dapat dimengerti oleh kalian. Jika kau pun sama pintarnya denganku, tentu aku takkan mengambil kau sebagai biniku.”

Dengan geregetan So Ing menggigitnya sekali, katanya dengan tertawa genit, “Wahai Siau-hi-ji, kau memang barang busuk!”

Mendadak Siau-hi-ji menarik muka dan mengomel, “Aku sudah menjadi suamimu, segera akan menjadi ayahnya anakmu, mengapa kau masih memanggil ‘Siau-hi-ji’ padaku?”

Dengan tertawa menggiurkan So Ing menjawab, “Wahai Siau-hi-ji, sekali pun nanti kau berumur delapan puluh tahun, biar pun kau sudah menjadi kakek, orang akan tetap memanggil Siau-hi-ji padamu. Sebab nama Siau-hi-ji sesungguhnya teramat sangat terkenal, Siau-hi-ji adalah ‘trade mark’, merek daganganmu.....”

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar