Bahagia Pendekar Binal Jilid 44

Yang paling tidak dapat dilupakan selamanya adalah waktu Siau-hi-ji balas menampar kedua kalinya, anak muda itu berkata, “Kau pukul aku dengan tangan, akan kubalas pukul dengan mulut, pukulan mulutku tentu akan jauh lebih ringan dari pada pukulan tanganmu...” Habis itu mulutnya lantas dikecup oleh anak muda itu.

Kecupan hangat, kecupan pertama bagi Siau-sian-li takkan terlupakan untuk selama hidupnya, selamanya dia takkan lupa pada senyuman Siau-hi-ji yang “menggemaskan” itu.

Bila mana terbayang senyuman anak muda itu, badan Siau-sian-li akan bergetar. Ia sendiri tidak tahu apakah itu tandanya benci atau cinta? Sama sekali ia tidak dapat membedakannya.

Dan sekarang, dia bukan lagi “Siau-sian-li” melainkan “Koh-hujin”, nyonya Koh.

Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap Siau-hi-ji, sedikit pun tidak berubah, sedikit pun tidak berkurang. Kalau ada kelebihannya ialah bertambah tegap dan ganteng.

Wajah anak muda itu masih tetap dihiasi oleh senyuman yang “menggemaskan” itu.

Diam-diam Siau-sian-li jadi khawatir kalau-kalau anak muda itu membeberkan semua kejadian dahulu.

Syukurlah Siau-hi-ji tidak mengusiknya lagi, dia malah menghela napas gegetun sambil bergumam, “Ai, daya ingat perempuan biasa ya lebih baik dari pada lelaki, bisa jadi aku sendiri yang salah ingat, mungkin yang memukulku waktu itu bukanlah kau, tapi seekor babi betina atau...”

Kembali Siau-sian-li geregetan lagi, kalau bisa dia ingin gigit anak muda itu sekeras-kerasnya.

Tapi mengingat kedudukannya sekarang, terpaksa ia hanya menunduk saja, semua kejadian masa lalu dikuburnya di dalam lubuk hati untuk selamanya.

Thi Sim-lan khawatir kalau-kalau Siau-hi-ji juga akan mendekatinya. Sukar untuk dibayangkan apa yang akan diperbuatnya apa bila anak muda itu benar mendekatinya.

Dia lebih-lebih takut kalau Siau-hi-ji akan menyinggung kejadian-kejadian masa lampau yang penuh suka dan duka, menggemaskan dan juga menyenangkan itu.

Padahal tanpa diungkit kembali oleh Siau-hi-ji, setiap kejadian yang telah lalu itu masih tetap diingatnya dengan jelas.

Teringat olehnya ketika Siau-hi-ji menyatakan akan “menggeledah” tubuhnya, seketika mukanya merah jengah, hati pun berdetak keras. Malahan suatu ketika anak muda itu membohongi dia bahwa pada waktu dia tak sadarkan diri anak muda itu telah membuka pakaiannya dan memeriksa tubuhnya dari ujung kuku hingga mercu kepala. Waktu itu ia benar-benar hampir menangis dan kheki setengah mati.

Tapi sekarang kedudukan dirinya juga sudah berlainan. Segala suka-duka di masa lampau sudah lalu bersama angin dan ia bersumpah takkan mengingatnya lagi.

Syukurlah Siau-hi-ji memang tidak mendekatinya, bahkan memandang sekejap padanya pun tidak.

Thi Sim-lan menunduk, entah bersyukur dan atau merasa aman? Atau kecewa?

Dalam pada itu yang paling tidak sabar adalah Thi Cian, si Singa Gila, berulang-ulang ia mengentakkan kaki dan menggerutu, “Brengsek! Mau apa lagi bocah ini? Mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak menyuruhnya lekas mulai?”

Tapi si nenek Siau lantas menggeleng dan berkata, “Rupanya kau tidak paham aturan?”

“Aturan apa?” tanya Thi Cian.

“Soalnya Ih-hoa-kiongcu mengetahui apa yang dilakukan bocah itu bukan sengaja mengulur waktu atau kehendak lain, tapi dia sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya,” demikian tutur si nenek Siau dengan menghela napas. “Makanya, Ih-hoa-kiongcu tidak tega mendesaknya.”

Betul atau tidak Siau-hi-ji sedang menyampaikan salam berpisah untuk selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya, nyatanya dia memang menghampiri setiap orang yang dikenalnya, kecuali Thi Sim-lan tentunya.

Akhirnya Siau-hi-ji menuju juga ke arah Hoa Bu-koat.

Menyaksikan Siau-hi-ji menyampaikan salam perpisahan dengan setiap kenalannya, Bu-koat sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri, sebab cuma dia sendiri yang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti takkan mati.

Dia sudah berjanji kepada Thi Sim-lan, demi memenuhi janjinya itu, dia sudah bertekad akan mengorbankan jiwanya sendiri.

Mati, bukanlah sesuatu yang mudah. Seorang kalau sudah mendekati ajalnya baru tahu hidup ini memang berharga dan menyenangkan, karena itulah berat rasanya untuk meninggalkan kehidupan ini.

Namun cinta Thi Sim-lan terlampau mendalam terukir di lubuk hatinya dan tak dapat dihapuskan. Bila mana ada dua hal yang tak mungkin diperolehnya sekaligus, maka pasti dia akan mengorbankan jiwanya dan memilih cinta.

Waktu melihat betapa Han-wan Sam-kong, Siau-sian-li dan lain-lain sama menaruh simpati terhadap Siau-hi-ji, betapa mereka sayang dan berat untuk berpisah dengan Siau-hi-ji, sungguh tidak keruan perasaan Hoa Bu-koat.

Sekarang, dia sudah bertekad akan gugur demi cinta, akan tetapi tiada satu pun sasaran yang dapat disampaikan salam perpisahan untuk selamanya.

“Setelah kumati, adakah yang akan berduka bagiku? Siapakah yang akan menangis bagiku?” demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

Dia hampir tidak tahan dan ingin lari ke depan Thi Sim-lan serta merangkulnya dan menangis sepuas-puasnya. Akan tetapi ia tidak berbuat demikian, ia pun tidak dapat berbuat-demikian.

Ia hanya dapat berdiri tegak di tempatnya dan menantikan datangnya Siau-hi-ji...

Dia hanya dapat menunggu kedatangan Siau-hi-ji untuk membunuhnya.

Akhirnya dua anak muda itu berdiri berhadapan. Duel segera akan dimulai.

Di dunia Kangouw ini, sebenarnya setiap hari, setiap jam, setiap detik, entah betapa banyak orang yang melakukan pertarungan maut. Akan tetapi, selama beratus tahun, bahkan beribu tahun, mungkin tiada duel yang lebih menyedihkan dan mengharukan seperti duel sekarang ini.

Sebab duel ini lain dari pada yang lain. Kedua orang yang harus duel ini sama-sama tidak ingin membunuh pihak lawan, keduanya lebih suka mengorbankan dirinya sendiri dari pada membunuh lawannya.

Hal ini benar-benar belum pernah terjadi di dunia Kangouw, yang lebih mengharukan lagi adalah dalam pertarungan maut ini, yang mati jelas menyedihkan, tetapi nasib bagi yang hidup justru akan lebih tragis.

Malahan, jauh sebelum duel ini dimulai, bahkan jauh sampai 20 tahun yang lalu kedua anak muda ini sudah ditakdirkan hanya ada satu pilihan, yaitu mati.

Dan kedua orang ini justru adalah saudara kembar sekandung.

Setiap orang yang hadir, kecuali Ih-hoa-kiongcu tentunya, bila mana mengetahui latar belakang duel maut ini, rasanya pasti akan berduka dan meneteskan air mata. Cuma sayang, sebelum kedua anak muda ini mati salah satu, siapa pun tidak mengetahui rahasia ini.

Sekarang, seluruh hadirin sama merasa kagum dan tertarik oleh ilmu silat mereka yang aneh dan tinggi itu. Sebab, meski kedua anak muda itu sama-sama mempunyai tekad akan mengorbankan dirinya sendiri, tapi mereka pun sama-sama berwatak ingin menang.

Walau pun mereka sanggup menghadapi kematian dengan tertawa, tapi mereka pun juga ingin menjaga harga diri, tidak ingin dipandang rendah oleh orang lain.

“Mulai!”

Begitu mendengar aba-aba Yan Lam-thian, serentak kedua orang mulai bergebrak.

Agaknya mereka sudah bertekad bulat, andaikan harus mati, sebelum ajal mereka ingin memperlihatkan segenap Kungfu yang dimiliki, mati pun harus berlangsung secara gemilang.

Oleh karena itulah, belum lagi ratusan jurus mereka saling bergebrak, tertampaklah macam-macam jurus serangan yang aneh dan lihai.

Siapa pun tidak nyana kedua anak muda belia mempunyai Kungfu setinggi ini.

Setiap orang terkesima. Ada yang melongo dan gegetun karena kepandaian sendiri jauh ketinggalan dibandingkan kedua anak muda itu. Ada yang berdebar-debar mengikuti serangan yang lihai itu. Ada pula yang manggut-manggut setiap ada tipu serangan yang indah memesona.

Hanya perasaan Thi Sim-lan saja yang berbeda dari pada orang lain.

Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji tidak bicara apa pun sebelum mereka bergerak. Bisa jadi lantaran mereka merasa apa yang hendak mereka bicarakan sudah habis dan tiada yang perlu dikatakan lagi sekarang.

Hoa Bu-koat juga tidak bicara apa pun kepada Thi Sim-lan, meski nasib nona itu sesungguhnya sudah terikat menjadi satu bersama dia, tak perlu disangsikan lagi nona itu adalah sebagian dari pada kehidupan Bu-koat sendiri.

Namun pada sebelum kedua anak muda itu bergebrak, sekilas Thi Sim-lan melihat Hoa Bu-koat telah memandang sekejap padanya. Ya, hanya sekejap saja.

Tapi meski cuma memandangnya kurang sekejap saja, namun sudah melebihi ucapan beribu kata dan seratus kalimat.

Hanya melihat sinar matanya saja tahulah Thi Sim-lan bahwa anak muda itu sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya kepadanya, sedang menyatakan tekad isi hatinya yang lebih kukuh dari pada gunung dan lebih dalam dari pada laut, yaitu cintanya.

Sim-lan tahu pandangan sekejap Hoa Bu-koat itu sama dengan ucapan: “Aku pasti tidak mengingkari harapanmu, Siau-hi-ji pasti takkan mati, jangan khawatir.”

Hati Thi Sim-lan sudah hancur luluh.

Yang diharapkan, kini memang akan terlaksana, tapi apakah ini benar-benar sesuai yang diharapkannya?

Apakah dia benar-benar mengharapkan Hoa Bu-koat mati?

Dipandangnya Hoa Bu-koat dengan air mata meleleh di pipinya, “Aku pun pasti takkan mengingkari harapanmu, kau pun jangan khawatir!”

Diam-diam ia mundur ke belakang, meninggalkan orang banyak. Betapa pun dia tidak tega menyaksikan Hoa Bu-koat mati baginya, mati di depannya. Sebab Bu-koat tidak cuma kekasihnya, suaminya, tapi juga sahabatnya, sukmanya, jiwanya

Awan berarak menyelimuti pegunungan yang suram ini.

So Ing berbaring di bawah pohon, termangu-mangu memandangi gumpalan awan yang mengapung di udara, air matanya sudah habis tercucur sejak tadi.

Sebab sukmanya, jiwanya, kekasihnya, suaminya, saat ini pun sedang melakukan duel maut dengan orang lain di pegunungan yang diliputi gumpalan awan kemawan ini.

Tapi dia sendiri sama sekali tidak mengetahui bagaimana hasil dari pada duel itu.

Apakah Siau-hi-ji menang? Atau kalah? Hidup atau mati...?

So Ing kucek-kucek matanya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku masih memperhatikan dia? Ada sangkut-paut apa antara dia dengan aku?”

Ia ingin berdiri, ia coba menguatkan dirinya, namun bukan cuma hatinya saja hancur, seluruh tubuhnya seakan-akan juga sudah luluh, mana sanggup berdiri lagi.

Sekonyong-konyong didengarnya suara orang menangis memilukan di balik pohon, seperti ada seorang yang baru saja menjatuhkan diri di sebelah pohon sana.

Pohon ini sangat besar, mungkin lebih dari pada pelukan tiga orang, makanya orang itu tidak tahu So Ing berada di sebelah sini.

Namun So Ing segera dapat mengenali itulah suara Thi Sim-lan.

Ia menjadi heran, “Mengapa Thi Sim-lan datang ke sini? Sebab apa dia sedemikian berduka?”

“Apakah duel itu sudah berakhir? Apakah Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah ada yang mati salah satu? Akan tetapi, siapakah yang mati?”

Sekuatnya So Ing merangkak bangun dan menubruk ke sebelah sana.

Tentu saja Thi Sim-lan terkejut, serunya, “He, kau pun berada di sini?”

So Ing memegangi lengan Thi Sim-lan dengan erat-erat, tanyanya, “Apakah dia... dia sudah mati?”

Thi Sim-lan mengangguk dengan sedih, kembali ia menangis lagi.

Seketika kepala So Ing terasa pusing, sekujur badan serasa runtuh seluruhnya. Belum lagi dia jatuh terkulai lebih dulu ia sudah menangis tersedu-sedu.

Kedua nona itu duduk berhadapan di bawah pohon dan sama-sama menangis sedih, entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba Thi Sim-lan bertanya, “Siau-hi-ji kan tidak mati, apa yang kau tangisi?”

So Ing jadi melengak, tanyanya dengan tersendat-sendat, “Siau... Siau-hi-ji tidak mati? Ap... apakah yang mati Hoa... Hoa Bu-koat?”

“Ehmm,” Thi Sim-lan mengangguk.

Rupanya “dia” yang dimaksudkan Thi Sim-lan lain dari pada “dia” yang dimaksudkan So Ing.

Keruan So Ing terkejut dan bergirang pula, tapi mendadak ia berseru, “Ah, aku tidak percaya, mana bisa Siau-hi-ji membunuh Hoa Bu-koat!”

“Bukan dia yang membunuh Hoa Bu-koat, tapi Bu-koat membunuh dirinya sendiri,” jawab Sim-lan.

“Dia membunuh dirinya sendiri?” So Ing menegas. “Memangnya sebab apa?”

Thi Sim-lan menggigit bibir sehingga berdarah, serunya dengan parau, “Sebab... sebab aku yang memohon dia agar jangan membunuh Siau-hi-ji, dia menerima permintaanku, terpaksa dia sendiri harus mati...”

So Ing jadi melongo, ia pandang Thi Sim-lan dengan terbelalak seakan-akan baru pertama kali melihatnya.

Selang agak lama barulah So Ing berkata dengan tandas, “Tentunya kau tahu Hoa Bu-koat sudah bertekad untuk mati dan kau tetap minta dia jangan membunuh Siau-hi-ji?”

Sekujur Thi Sim-lan seperti mengejang, ia mengertak gigi dengan sangat menderita.

“Sudah jelas-jelas tahu begitu, masih juga Hoa Bu-koat memenuhi permintaanmu?” tanya So Ing pula.

Sorot mata Thi Sim-lan yang menderita itu menampilkan setitik perasaan terhibur, ucapnya, “Ya, dia memang orang yang berjiwa paling besar di dunia ini.”

“Tapi engkau, demi Siau-hi-ji, engkau tidak sayang menghendaki kematian orang yang berjiwa paling besar ini?”

“Aku... aku...” Thi Sim-lan tidak sanggup berucap pula.

So Ing menghela napas panjang, katanya, “Tak tersangka begini mendalam cintamu kepada Siau-hi-ji...”

Mendadak Thi Sim-lan berteriak, “Tapi yang benar-benar kucintai bukanlah Siau-hi-ji!”

“Bukan Siau-hi-ji? Memangnya Hoa Bu-koat?”

“Betul, dialah yang kucintai, dialah yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku,” ucap Sim-lan dengan mencucurkan air mata. “Selamanya kau takkan tahu betapa dalam kucintai dia, tiada seorang pun yang tahu betapa dalam kucintai dia.”

“Tapi kau menghendaki dia mati,” kata So Ing.

Sim-lan menangis sambil mendekap kepalanya, katanya, “Betul, sebab aku pun sudah bertekad akan mati bersama dia.”

So Ing memandang Thi Sim-lan dengan melenggong. Selang sejenak barulah ia menghela napas, katanya, “Memangnya sebab apa kau berbuat demikian?”

Dengan menangis sedih Sim-lan menjawab, “Sebab aku mencintai Hoa Bu-koat dan Hoa Bu-koat juga mencintai diriku. Kami merasa berdosa terhadap Siau-hi-ji, maka kami ingin mati... Hanya kematian saja yang dapat membalas kebaikannya.”

So Ing menghela napas panjang, ucapnya, “Aku tetap tidak paham. Meski aku pun perempuan, tapi tetap tidak memahami isi hatimu. Pantaslah lelaki suka bilang hati perempuan laksana jarum di dasar lautan yang sukar dijajaki...”

Sampai di sini mendadak dilihatnya tubuh Thi Sim-lan mengejang, lalu mengkeret, meringkuk menjadi satu.

“He, kenapakah engkau?” seru So Ing kaget.

Mata Thi Sim-lan terpejam dengan rapat, wajahnya penuh rasa derita, namun ujung mulutnya menampilkan senyuman, senyuman yang penuh rasa gembira dan bahagia. Dengan sekata demi sekata ia berucap, “Sekarang dia sudah mati, aku pun akan mati, selekasnya kami akan berkumpul menjadi satu. Segala keburukan di dunia ini, segala kekotoran, kekejian dan segala kesengsaraan takkan menimpa diri kami lagi.”

“Omong kosong! Kau takkan mati,” seru So Ing sambil menggenggam tangan Thi Sim-lan.

Thi Sim-lan tersenyum pedih, ucapnya, “Aku sudah minum racun yang paling keras di dunia ini, tak bisa tidak aku pasti mati...”

Sementara itu pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah berlangsung hingga lebih lima ratus jurus.

Ilmu silat kedua orang sama-sama hebatnya laksana arus sungai Tiangkang yang bergulung-gulung tiada habis-habisnya, jurus aneh dan serangan lihai silih berganti hingga membuat penontonnya menggeleng kepala dan merasa gegetun.

Namun pertarungan maut ini jelas sudah mendekati akhirnya!

Ini tidak berarti kedua anak muda itu sudah kehabisan tenaga melainkan disebabkan mereka tidak ingin bertempur lebih lama lagi.

Si nenek Siau menggeleng-geleng kepala, katanya dengan menyesal, “Sayang, sungguh sayang!”

“Sayang apa?” tanya Thi Cian.

“Kedua anak muda itu adalah jenius persilatan yang sukar dicari selama beratus tahun ini, siapa pun yang mati di antara mereka sama-sama harus disayangkan,” kata si nenek Siau.

Padahal perasaan orang lain masa kurang gegetunnya dari pada mereka? Bahkan Yan Lam-thian juga timbul rasa sayang dan kasihan terhadap Hoa Bu-koat. Biar pun dia berharap Siau-hi-ji akan menang, tapi ia pun tidak ingin menyaksikan ksatria muda belia dan cendikia seperti Hoa Bu-koat harus mati secara mengenaskan begini.

Ia tidak tahu kedua anak muda itu pada hakikatnya tiada satu pun yang dapat hidup, andaikan akhirnya salah satu di antaranya mati terbunuh.

Hanya Lian-sing Kiongcu saja yang mengetahui rahasia ini, air mukanya yang cantik pucat itu tanpa terasa pun menampilkan perasaan yang bergolak, gumamnya di dalam hati, “Mana boleh kubiarkan kedua anak ini mati? Aku sendiri yang membesarkan Hoa Bu-koat sejak dia keluar dari rahim ibunya. Siau-hi-ji bukan saja pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan juga menutupi rasa maluku, mana boleh kusaksikan kedua anak ini mati di depan mataku?”

Mendadak ia menerjang ke depan.

Dalam sekejap ini, dendam kesumat yang ditanggungnya selama dua-tiga puluh tahun itu telah terlupakan seluruhnya. Yang terasa hanya darahnya bergolak dan tak mampu menguasai perasaannya. Berbareng ia pun berseru, “Berhenti dulu, ingin kubicara dengan kalian!”

Cuma sayang suaranya sudah serak, sedangkan perhatian semua orang lagi terpusat ke tengah gelanggang yang mendebarkan hati ini sehingga tiada yang memperhatikan apa yang diucapkannya. Sebaliknya Kiau-goat Kiongcu telah dapat melihat ulah saudaranya ini. Baru saja Lian-sing membuka mulut, secepat kilat Kiau-goat melayang ke sampingnya terus memegang tangannya.

“Apa yang kau lakukan?” bentak Kiau-goat dengan bengis sambil memencet Hiat-to di tangan Lian-sing Kiongcu.

“Aku... aku...” hampir tak terdengar suara Lian-sing yang serak itu, air mata pun berderai, katanya, “Toaci, kejadian dua puluh tahun yang lalu itu sudah lama lalu, meski Kang Hong bersalah padamu, namun... namun tulang belulang mereka sekarang pun sudah menjadi abu. Toaci, untuk... untuk apa pula engkau masih benci kepada mereka?”

Sorot mata Kiau-goat Kiongcu beralih kepada Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, ucapnya dengan perlahan, “Apakah kau hendak mengampuni mereka?”

“Jika dapat kubuat mereka berterima kasih selama hidup padamu, apa pula jeleknya cara begini?” kata Lian-sing.

Mendadak air muka Kiau-goat Kiongcu berubah putih seakan-akan tembus cahaya, katanya, “Apakah hendak kau katakan rahasia diri mereka pada saat begini?”

“Kupikir...” mendadak dilihatnya air muka Kiau-goat yang luar biasa itu, seketika Lian-sing Kiongcu menggigil dan tidak sanggup melanjutkan.

“Semenjak kau berusia tujuh, kau lantas suka mengacau dan bertengkar denganku, apa pun yang kusukai selalu berebut denganku, apa pun yang ingin kukerjakan selalu kau rusak dan kau gagalkan.”

Air muka Kiau-goat makin lama makin bening sehingga seperti batu es yang diselimuti kabut dingin.

Air muka Lian-sing juga berubah pucat, ucapnya dengan gemetar, “Jang... jangan kau lupa, betapa pun aku ini kan adikmu!”

Mendadak ia membalik tubuh, dengan gerak cepat dia bermaksud melepaskan diri dari pegangan Kiau-goat Kiongcu. Namun pada saat yang sama tiba-tiba suatu arus dingin yang aneh dan menakutkan tersalur dari tangan Kiau-goat terus menembus ke hulu hatinya. Keruan Lian-sing kaget, jeritnya, “He, apa yang kau lakukan? Kau sudah gila?!”

Dengan perlahan dan tegas Kiau-goat berkata, “Aku tidak gila, cuma sudah dua puluh tahun aku menunggu hingga sekarang, maka siapa pun sekali-kali tidak boleh menggagalkannya, juga kau...” Setiap kata diucapkan, setiap kali pula rasa dingin di tubuh Lian-sing Kiongcu bertambah hebat. Ketika Kiau-goat selesai bicara, sekujur badan Lian-sing juga hampir kaku membeku.

Lian-sing merasa dirinya seolah-olah telanjang bulat terendam dalam air danau, sedangkan air danau perlahan-lahan sedang membeku. Ia ingin meronta tapi tiada bertenaga sama sekali.

Hakikatnya Kiau-goat tidak memandang Lian-sing Kiongcu, yang diperhatikannya cuma pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, perlahan-lahan ujung mulutnya menampilkan semacam senyuman aneh, katanya lirih, “Lihat, pertarungan itu sudah hampir berakhir, bila mana Kang Hong dan Hoa Goat-loh mengetahui anak kembar mereka sedang saling membunuh sendiri, mereka tentu menyesal akan perbuatan mereka di masa lampau itu.”

Bibir Lian-sing Kiongcu tampak gemetar, mendadak ia berteriak sekuatnya, “Kalian jangan saling labrak lagi, dengar tidak kalian? Sebab kalian sebenarnya adalah saudara sekandung!”

Kiau-goat hanya mendengus saja dan tidak merintangi teriakan adiknya itu, sebab meski Lian-sing telah berteriak sekuat tenaga, tapi yang dapat didengar orang lain hanya suara gemertuk giginya yang saling mengertak, pada hakikatnya tidak terdengar apa yang dikatakannya.

Tanpa terasa air mata bercucuran dari mata Lian-sing Kiongcu.

Selama berpuluh tahun, bisa jadi untuk pertama kalinya inilah dia menangis. Tapi air mata yang mengalir itu dalam sekejap membeku juga menjadi es.

Ia tahu nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sekarang benar-benar tak dapat diubah oleh siapa pun juga, sebab orang yang tahu rahasia asal-usul kedua anak muda itu kini hanya tinggal Kiau-goat Kiongcu saja seorang. Sedangkan Kiau-goat sudah pasti takkan membongkar rahasia mereka itu, kecuali nanti bila mana Siau-hi-ji atau Hoa Bu-koat sudah roboh salah satu, tatkala mana segala persoalannya akan mencapai babak terakhir.

Akhir dari semua ini sungguh terlalu kejam dan tragis. Lian-sing Kiongcu tidak bisa melihatnya lagi, pada hakikatnya dia memang tidak sanggup melihatnya lagi…..

********************

Di tempat lain Thi Sim-lan sedang rebah di pangkuan So Ing, dengan napas terengah ia berkata, “Bet... betapa pun kita terhitung juga saudara, sek... sekarang ingin kumohon bantuanmu, entah engkau sudi menerima tidak?”

So Ing membelai rambut Thi Sim-lan dengan lembut, jawabnya, “Apa pun permintaanmu, pasti akan kukerjakan, katakan saja!”

“Sesudah kumati nanti, harap engkau suka menguburkan jasadku bersama Hoa Bu-koat, harap pula engkau memberitahukan kepada Siau-hi-ji bahwa meski aku tak dapat menjadi istrinya, tapi aku tetap adalah saudaranya, sahabatnya!”

So Ing kucek-kucek matanya yang basah, ucapnya perlahan, “Baik, akan... akan kukerjakan menurut pesanmu.”

Sim-lan memandangnya lekat-lekat, kemudian berkata pula, “Aku pun berharap engkau akan menjaga Siau-hi-ji sebaik-baiknya. Dia meski seperti seekor kuda liar, tapi berada di sampingmu dia mungkin akan berubah lebih jinak.”

So Ing menghela napas perlahan, katanya, “Dapatkah dia?”

“Ehm,” kata Sim-lan. “Sebab aku sangat memahami dia, kutahu hanya dikau seorang yang benar-benar dicintainya, sedangkan diriku... belum pernah dia suka padaku, hanya saja dia memang kepala batu dan suka menang...”

“Sudahlah, kutahu semuanya sudah kau ketahui, jangan kau katakan lagi, apa pun permintaanmu pasti akan kukerjakan,” kata So Ing dengan parau.

Thi Sim-lan begitu tenang, dia tidak menyesal dan kesal lagi, tidak menanggung sesuatu pikiran lagi.

Memandangi Thi Sim-lan yang sudah tak bergerak itu, air mata So Ing bercucuran bagai air hujan

Pertarungan maut itu sudah hampir berakhir. Gerakan Hoa Bu-koat sudah mulai lamban. Ia tahu sudah tiba waktunya dan tidak perlu berlarut-larut lagi.

Urusan apa pun juga, cepat atau lambat pasti akan tiba waktunya berakhir.

Dalam keadaan demikian, perasaan Hoa Bu-koat menjadi lebih tenteram malah. Rasa iri, dengki, sedih, benci, menang, suka pamer... pendeknya segala perasaan insaniah tiba-tiba sirna.

Yang diharapkannya cuma Siau-hi-ji dapat hidup dengan baik dan Thi Sim-lan juga dapat hidup dengan baik dan juga musuhnya bisa hidup senang dan bahagia.

Dia mulai memperhatikan serangan Siau-hi-ji dan menunggu kesempatan. Kesempatan untuk mati.

Dia ingin memberi “kemenangan” gemilang bagi Siau-hi-ji, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa kematiannya itu disengaja, lebih-lebih tidak ingin diketahui oleh Siau-hi-ji.

Karena itulah dia tidak dapat sengaja memperlihatkan titik kelemahan, juga tidak dapat sengaja menyodorkan dirinya untuk dihantam oleh Siau-hi-ji, dia harus menunggu bila Siau-hi-ji sedang melancarkan suatu tipu serangan indah dan lihai, lalu pura-pura tidak sempat mengelak.

Dilihatnya tubuh Siau-hi-ji sedang berputar dengan cepat, telapak tangan kiri membelah miring dari atas, sedangkan telapak tangan kanan tersembunyi di belakang.

Bu-koat tahu serangan Siau-hi-ji ini cuma pancingan belaka, bila mana telapak tangan kanan yang tersembunyi itu menyerang barulah serangan maut benar-benar, bila serangan tangan kiri itu ditangkis, sedikit menggeser, segera tangan kanan pun menghantam.

Jurus serangan ini memang sangat aneh dan sukar diraba, boleh dikatakan serangan maut yang jarang terlihat di dunia Kangouw.

Akan tetapi Siau-hi-ji sendiri seperti sudah pusing kepala karena bertempur sekian lamanya, seperti sudah keblinger sehingga lupa bahwa jurus serangan ini sudah pernah dilontarkannya tadi. Memang agak kelabakan juga cara Hoa Bu-koat menghindarkan serangannya yang lihai ini, akan tetapi sekarang dia sudah menguasai serangan Siau-hi-ji ini dengan jelas. Sekarang tibalah “kesempatan” yang ditunggu-tunggu Hoa Bu-koat itu.

Segera ia menangkis tabasan kiri Siau-hi-ji itu, berbareng tangan lain terus memotong ke iganya. Ia yakin Siau-hi-ji pasti akan putar tubuh dengan cepat dan serangan sendiri akan mengenai tempat kosong, sebaliknya tangan kanan Siau-hi-ji yang sudah siap itu segera akan menghantamnya, dengan demikian dirinya jadi kelihatan tidak sempat mengelak dan segera akan binasa terpukul oleh serangan Siau-hi-ji.

Di luar dugaan, putaran tubuh Siau-hi-ji sekali ini ternyata jauh lebih lamban dari pada tadi, ketika tabasan tangan Hoa Bu-koat mengancam iganya, tubuhnya ternyata belum lagi berputar. Padahal tulang iga adalah tempat yang lemah, merupakan salah satu bagian fatal di tubuh manusia.

Karena Bu-koat yakin serangannya itu pasti akan dihindarkan oleh Siau-hi-ji, maka ia pun tidak pernah berpikir akan menahan daya pukulannya, seketika dia merasakan gelagat jelek dan ingin mengerem, namun sudah tidak keburu lagi. “Blang”, kontan Siau-hi-ji terpukul terpelanting.

Keruan terdengar suara jeritan orang ramai, serentak Yan Lam-thian melayang maju. Sambil menjerit kaget Han-wan Sam-kong dan lain-lain juga memburu ke depan Siau-hi-ji.

Terlihat wajah anak muda itu pucat kekuning-kuningan, napasnya kempas-kempis, keadaannya sangat parah. Waktu denyut nadinya diperiksa, getarannya juga sangat lemah, jelas harapan untuk hidup sangat tipis.

Karena cemasnya Yan Lam-thian mencucurkan air mata, ucapnya dengan menggentak-gentak kaki, “Hanya se... serangan begitu, mestinya dapat kau hindari dengan mudah, tapi... tapi mengapa....”

Siau-hi-ji tersenyum pedih, dengan lemah ia berkata, “Seb... sebetulnya ingin kupancing... kupancing dia, tapi sia... siapa tahu... dia... dia malah...” sampai di sini ia terbatuk-batuk keras, napasnya terengah-engah pula, kemudian menyambung dengan terputus-putus, “Semuanya... semuanya ini adalah... adalah karena aku... aku sok pintar, ini namanya... ingin... ingin untung malah jadi buntung...”

Suaranya makin lemah dan mata pun terpejam perlahan-lahan, napasnya yang terengah-engah itu mulai perlahan dan akhirnya berhenti...

Dalam benak Siau-hi-ji rasanya ingin membuka mata pula untuk memandang terakhir kalinya segala apa di dunia yang berkesan ini, namun betapa pun ia berusaha membuka kelopak matanya ternyata sukar terpentang lagi.

Hoa Bu-koat berdiri kaku seperti patung di tempatnya, pikirannya sudah kacau seluruhnya. Segala apa pun di depan matanya hanya kabut belaka, tidak ada yang dapat dipikirkan lagi, tidak ada yang dapat dilihat lagi.

Siau-hi-ji ternyata sudah mati! Siau-hi-ji ternyata mati terbunuh olehnya!

Dia berharap apa yang terjadi ini bukan sesuatu yang benar melainkan impian belaka, impian buruk!

Ia ingin menangis, namun sumber air matanya seperti sudah kering, tidak ada air mata yang dapat mengalir lagi.

Mendadak Yan Lam-thian meraung murka, ia putar balik terus menghantam batok kepala Hoa Bu-koat dengan pukulan dahsyat.

Sama sekali Bu-koat tidak berusaha menolak atau melawan, ia tetap tidak bergerak sedikit pun.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar