Bahagia Pendekar Binal Jilid 42

Siau-hi-ji jadi teringat kepada peristiwa lucu waktu kecilnya itu, ia pun tertawa geli.

Akan tetapi segera sikap Siau-hi-ji berubah prihatin, dengan suara tertahan ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Paman Ban, sekali ini bukan maksudku hendak minta bantuanmu untuk bergurau dengan orang lain, tapi soal ini menyangkut suatu urusan penting mengenai, mati dan hidup dua orang.”

Selama kenal anak muda itu, belum pernah Ban Jun-liu melihat Siau-hi-ji bicara serius begini, segera ia tanya, “Sesungguhnya ada urusan apa, masa begini gawat?”

Siau-hi-ji menghela napas, lalu ia ceritakan apa yang akan dilakukan nanti, katanya pula, “Oleh karena itulah, kumohon paman suka...”

********************

Sementara itu So Ing sedang berjalan sendirian menyusuri lereng bukit sana, selama dua bulan ini, boleh dikatakan sudah sangat mendalam So Ing memahami Siau-hi-ji. Seorang perempuan kalau ingin memahami lelaki yang dicintainya memang bukan sesuatu pekerjaan sulit.

Berbeda dengan lelaki, semakin dia mencintai perempuan itu, semakin dia tidak dapat memahaminya, nanti kalau dia sudah benar-benar memahami perempuan itu, bisa jadi dia sudah tidak mencintainya lagi.

Biasanya, apa yang dipikirkan Siau-hi-ji dan apa yang hendak dilakukannya, hampir seluruhnya pasti dapat diterka oleh So Ing. Tapi sekali ini, hanya sekali ini, si nona benar-benar tidak tahu sesungguhnya rahasia apa yang hendak dibicarakan Siau-hi-ji dengan Ban Jun-liu.

Semula ia tidak ingin menyingkir terlalu jauh, tapi pikir punya pikir, mendadak matanya terbeliak, tiba-tiba ia seperti mengambil sesuatu keputusan yang besar. Segera ia mendaki ke atas bukit dengan tergesa-gesa.

Setiap pelosok bukit ini boleh dikatakan sudah sangat hafal baginya. Sambil berjalan ia pun berpikir, “Sudah dua hari Ih-hoa-kiongcu dan Hoa Bu-koat menunggu di atas bukit, di manakah mereka bertempat tinggal...?”

Baru saja hatinya berpikir begitu, segera matanya telah memberi jawaban.

Di balik bayang-bayang pepohonan di lereng bukit di depan sana tampak menongol ujung tembok merah, maka tahulah dia itulah Hian-bu-kiong, sebuah kelenteng yang dahulu sangat ramai dikunjungi peziarah dan tahun-tahun terakhir ini hampir tidak pernah didatangi pengunjung lagi.

Dari situlah sekarang kelihatan muncul beberapa orang.

Usia berapa orang ini sudah sama-sama lanjut, tapi masih tetap tangkas dan gesit, sinar matanya terang, jelas semuanya tokoh kelas tinggi dunia persilatan. Anehnya, salah seorang kakek itu membawa serta sebuah tambur yang terbuat dengan sangat indah dengan bentuk yang khas pula.

Di antaranya ada seorang nenek, meski giginya sudah ompong seluruhnya, tapi kerlingan matanya tetap menggiurkan, kalau bicara masih bernada genit, dapat diperkirakan pada waktu mudanya dahulu pasti seorang perempuan yang bergaya dan sangat cantik.

So Ing tidak kenal kawanan kakek dan nenek ini, ia pun tidak ingat siapakah gerangan tokoh Bu-lim jaman ini yang terkenal suka membawa tambur? Tapi di antara rombongan ini terdapat pula seorang nona jelita yang dikenalnya.

Nona jelita ini ialah Thi Sim-lan.

Dilihatnya Thi Sim-lan tidak sekurus dan pucat seperti beberapa hari yang lalu, malahan wajahnya kini tampak menampilkan semacam cahaya yang aneh. Dengan sendirinya ia tidak tahu urusan apa yang dapat mengubah pikiran Thi Sim-lan.

Ia tidak ingin dilihat oleh Thi Sim-lan, segera ia bermaksud mencari suatu tempat sembunyi. Tapi dilihatnya Thi Sim-lan berjalan dengan menunduk, seperti menanggung pikiran yang berat sehingga sama sekali tidak melihat So Ing yang berada tidak jauh di sisi mereka.

Orang-orang itu terus menuju ke atas bukit. Apa yang dipercakapkan mereka itu tidak terdengar oleh So Ing, hanya salah seorang kakek yang bercambang-bauk lebat dan kelihatan sangat kekar itu mempunyai suara yang sangat keras bila bicara.

Terdengar kakek brewok itu sedang berkata, “Siau Lan, untuk apa lagi hatimu merasa bimbang, kukira kau harus ambil keputusan untuk memilih Hoa Bu-koat saja. Meski bocah ini agak menyerupai perempuan, tapi masih lumayan jika kau mendapatkan dia.”

Thi Sim-lan tampak tetap menunduk dan entah menjawab atau tidak.

Lalu kakek brewok itu menepuk pundak si nona dan berkata pula dengan tertawa, “Setan cilik, di depan bapakmu sendiri berlagak bodoh apalagi? Ayo katakan, ke mana kau semalam? Memangnya kau kira bapakmu sudah pikun dan tidak tahu?”

Thi Sim-lan tetap tidak bicara, tapi mukanya menjadi merah.

Si nenek genit tadi lantas menyela dengan tertawa, “Hihi, masa ayah bercanda dengan anak perempuannya sendiri, kukira kau memang sudah pikun.”

Si kakek brewok menengadah dan bergelak tertawa, tampaknya sangat gembira.

So Ing girang dan terkejut, karena girangnya hampir saja ia berjingkrak jingkrak.

Dari pembicaraan mereka tadi jelas Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat telah bertambah erat hubungannya, malahan ayah si nona jelas-jelas mendorong dan menyuruh Thi Sim-lan memilih Hoa Bu-koat. Sungguh hal ini sangat menggembirakan So Ing.

Padahal boleh dikatakan tiada perbedaan antara semua orang tua di dunia ini, setiap orang tua tentu berharap anak perempuan sendiri akan mendapatkan suami yang dapat diandalkan. Seumpama kelak kalau So Ing sendiri mempunyai anak perempuan, tentu pula dia berharap akan mendapatkan ahli waris Ih-hoa-kiong, tak nanti menghendaki anak perempuannya mendapat suami yang dibesarkan di Ok-jin-kok.

Didengarnya si kakek brewok tadi berkata pula dengan tertawa, “Jika kau sudah bertekad akan ikut Hoa Bu-koat, lalu apa pula yang kau risaukan? Nanti, setelah pertandingan ini berakhir, segera akan kukawinkan kalian, maka kau pun tidak perlu banyak khawatir lagi.”

Dengan tertawa si nenek lantas berkata, “Bakal suami akan berkelahi dengan orang, tentu saja dia khawatir, jika aku menjadi dia, mungkin... mungkin sudah kucarikan akal untuk membinasakan ikan kecil itu.”

Si kakek terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, jika demikian barang siapa bisa mendapatkan dirimu sebagai istri, wah, benar-benar akan mendapatkan pembantu yang menyenangkan.”

“Memang, cuma sayang, kalian semuanya tiada yang punya hokkhi untuk mendapatkan istri seperti diriku,” jawab si nenek.

Tiba-tiba salah seorang kakek yang tinggi kurus menyela, “Menurut pendapatku, Hoa Bu-koat ini kelihatan sangat tangkas, baik Lwekang maupun Gwakangnya, semuanya sudah cukup sempurna, rupanya pembawaannya memang baik, ditambah lagi mendapatkan didikan guru ternama, dengan sendirinya makin menonjol. Kang Siau-hi-ji yang menjadi lawannya itu jika berusia sebaya dia, ilmu silatnya pasti takkan mencapai tingkatan seperti Hoa Bu-koat. Maka pertarungan ini jelas Hoa Bu-koat sudah berada di tempat yang tak terkalahkan, hakikatnya kalian tidak perlu berkhawatir baginya.”

Ucapan si kakek ini sudah tentu membuat hati semua orang menjadi mantap, terutama Thi Sim-lan dan si kakek brewok yang bukan lain dari pada Thi Cian itu, mereka menjadi tidak perlu khawatir lagi.

Tapi So Ing justru mulai berkhawatir, sudah tentu khawatir bagi Siau-hi-ji.

Tadinya dia anggap kalah-menang pertarungan ini, kuncinya tidak terletak pada tinggi dan rendahnya ilmu silat. Tapi sekarang ia mulai merasakan jalan pikirannya itu tidak seluruhnya tepat. Jika ilmu silat Siau-hi-ji memang bukan tandingan Hoa Bu-koat, maka seumpama dia sampai hati untuk membunuh lawannya juga tiada gunanya, yang pasti sekarang kunci dari pada pertarungan ini justru terletak di tangan Hoa Bu-koat, apakah dia tega membinasakan Siau-hi-ji?

So Ing sendiri tahu ilmu silat Siau-hi-ji pasti bukan tandingan Hoa Bu-koat. Jika kedua anak muda itu mengadu akal, maka jelas Siau-hi-ji akan menang. Tapi bila keduanya harus adu otot, keras lawan keras, jelas Siau-hi-ji tiada harapan sama sekali. Maka kalau So Ing ingin Siau-hi-ji memenangkan pertandingan ini, maka tidak cuma Siau-hi-ji saja yang harus tega turun tangan membunuh lawan, sebaliknya Hoa Bu-koat juga harus dibikin tidak sampai hati untuk turun tangan.

Kiasan ini sungguh sangat lucu dan janggal, ini sama halnya orang lain dilarang makan tapi dirinya sendiri masuk restoran setiap hari. Jelas pikiran demikian hanya ingin menang sendiri.

Kalau Siau-hi-ji boleh membunuh Hoa Bu-koat, berdasar apa Hoa Bu-koat tidak boleh membunuh Siau-hi-ji. Semut saja ingin hidup, apalagi manusia?

Hoa Bu-koat hidup cukup senang dan bahagia, berdasarkan apa dia disuruh jangan membunuh lawannya? Dengan alasan apa dia harus mengorbankan dirinya sendiri agar orang lain dapat hidup?

So Ing menghela napas, tiba-tiba ia menyadari bahwa yang dipikirnya sejak dulu hanya satu saja dari pada persoalan ini, dia hanya berpikir bagi Siau-hi-ji dan tidak pernah berpikir bagi Hoa Bu-koat.

Jelas bagi pandangannya jiwa Siau-hi-ji lebih penting dari pada Hoa Bu-koat. Akan tetapi bagaimana di mata orang lain? Dan bagaimana di mata Hoa Bu-koat sendiri?

Begitulah pikiran So Ing bergolak, makin dipikir makin kacau, ia merasa selama hidupnya belum pernah mengalami pikiran kusut seperti sekarang ini.

Padahal berpikir kian kemari yang diharapkannya cuma satu, yakni Siau-hi-ji harus tetap hidup.

Dan kalau Siau-hi-ji harus hidup, maka dia harus berdaya agar Hoa Bu-koat mati.

Orang mati tentu tidak dapat membunuh orang lagi.

Hingga lama So Ing bersembunyi di balik pohon, akhirnya dilihatnya para kakak beradik keluarga Buyung beserta suami masing-masing berturut-turut keluar dari kelenteng.

Wajah mereka tampak lesu, mata agak membesar, jelas selama dua hari mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Umumnya orang Kangouw mengutamakan “di segenap penjuru adalah rumah sendiri”, di mana pun dapat tidur. Tapi tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini sudah biasa hidup mewah di rumah, mereka bukan lagi orang Kangouw umumnya. Sekali pun cuma berganti tempat tidur saja mereka tak dapat pulas, apalagi disuruh tidur di kelenteng bobrok yang sunyi ini.

Namun dandanan mereka masih tetap rapi, rambut tersisir dengan baik, bahkan pakaian juga tetap rajin dan bersih.

Sambil berjalan mereka pun ramai berbicara, tanpa pasang telinga juga So Ing tahu yang dibicarakannya mereka pasti mengenai pertarungan maut Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.

Duel ini bukan saja menggemparkan, bahkan juga pasti akan tercatat dalam sejarah dan menjadi cerita menarik di kemudian hari. Sebab itulah mereka rela menderita tidur di kelenteng rusak itu dan ingin menyaksikan pertarungan yang luar biasa ini.

Sesudah rombongan ini naik ke atas gunung, So Ing menunggu lagi hingga lama, ternyata tiada orang keluar lagi dari kelenteng itu. Malahan tiada terdengar suara apa-apa pula di sana.

Lalu di manakah Hoa Bu-koat, apakah masih tertinggal di kelenteng itu? Apakah Ih-hoa-kiongcu juga masih mendampingi anak muda itu?

So Ing mengertak gigi, ia bertekad akan menyerempet bahaya.

Ia pikir, pertarungan maut sudah hampir tiba, semua orang telah meninggalkan kelenteng itu, bisa jadi mereka ingin memberi kesempatan istirahat bagi Hoa Bu-koat, maka mereka berangkat dulu menunggu di atas bukit.

Sekarang Yan Lam-thian pasti sudah berada di puncak bukit, mungkin Ih-hoa-kiongcu juga tidak berada di kelenteng itu. Paling sedikit kedua Kiongcu itu mesti memberi waktu bagi Hoa Bu-koat untuk merenungkan siasat pertempuran nanti.

Kelenteng Hian-bu-kiong itu memuja Hian-thian-siang-te, mesti akhir-akhir ini sudah tiada pengunjungnya lagi, tapi seperti halnya suatu keluarga besar yang telah jatuh miskin, betapa pun bekas-bekas kemegahannya masih tersisa.

Di halaman depan kelenteng itu ada beberapa pohon cemara tua yang menjulang tinggi menembus awan, meski sang surya sudah memancarkan sinarnya yang gemilang, namun suasana di dalam kelenteng terasa suram dan seram.

So Ing terus masuk ke halaman kelenteng yang sunyi senyap itu dan menaiki undak-undakan batu yang cukup panjang.

Patung Hian-thian-siang-te di altar pendopo kelenteng itu tampak cukup angker, tapi tubuh patung yang sudah hangus oleh asap dupa itu sudah terkupas, di beberapa bagian. Kedua anak buahnya yaitu Ku dan Coa, kura-kura dan ular, yang biasanya terinjak di bawah telapak kaki Hian-thian-siang-te itu sudah rusak, bahkan bagian kepalanya sudah terkupas sebagian. Kain kuning yang menutupi kotak altar pun sudah luntur dan sukar lagi dibedakan apa warnanya.

Belasan Tosu tampak duduk bersimpuh di sana, semuanya menunduk dengan mulut komat-kamit, entah sedang berdoa atau lagi memaki orang.

Selama dua hari ini Hian-bu-kiong pasti telah kacau balau, mungkin tempat tidur kawanan tosu ini terpaksa juga harus diserahkan pada orang lain.

Tapi sedekah yang diberikan para tuan dan nyonya keluarga Buyung pasti juga tidak sedikit, maka seumpama para tosu ini ingin memaki orang tentu juga tidak berani keras-keras dan terpaksa menggerutu di dalam hati.

So Ing berada di samping mereka, agaknya mereka sama sekali tidak tahu. Mestinya So Ing hendak minta keterangan kepada mereka. Tapi melihat keadaan mereka yang lesu itu terpaksa ia urungkan maksudnya. Kecuali orang sinting, kalau tidak, mungkin tidak banyak anak perempuan yang suka mendekati kaum Hwesio dan Tosu.

Di belakang pendopo adalah dua deret kamar tidur, semuanya sunyi sepi, tiada bayangan seorang pun.

So Ing jadi heran, apakah Hoa Bu-koat sudah pergi?

Selagi So Ing merasa sangsi, tiba-tiba dilihatnya di balik pintu bundar, di bawah rumpun bambu sana masih ada beberapa kamar. Mungkin di situlah kamar pribadi sang ketua kelenteng.

Biar pun para nona keluarga Buyung itu sudah biasa hidup disanjung puji, kalau makan ayam minta bagian paha, bila tinggal di rumah minta yang menghadap selatan, tapi dalam permainan yang akan dipentaskan nanti, peranan utamanya ialah Hoa Bu-koat, peranan utama dengan sendirinya harus mendapat pelayanan khusus, biar pun para nona Buyung itu juga ingin tinggal di kamar ketua kelenteng yang tentu lebih mewah dari pada kamar lain, tapi mau tak mau mereka harus mengalah juga kepada Hoa Bu-koat.

Begitulah, segera So Ing menuju ke kamar sana, kamar tinggal sang Hongtiang (ketua) memang kelihatan sangat resik, pintu setengah tertutup dan bergerak-gerak tertiup angin. Di langit serambi rumah tampak seekor labah-labah sedang membuat sarang, terdengar pula bunyi jangkrik di pojok rumah sana, daun warna kuning bertebaran tertiup angin menimbulkan suara gemersik. Namun di dalam rumah tetap sunyi senyap tiada suara orang sama sekali.

“Hoa-kongcu?!” So Ing coba memanggil dengan perlahan.

Namun tiada suara jawaban seorang pun.

Jangan-jangan Hoa Bu-koat sudah pergi? Bahkan waktu perginya lupa menutup pintu?

Tapi So Ing sudah berada di sini, betapa pun dia ingin masuk ke situ untuk melihatnya.

Perlahan dia mendorong pintu, dilihatnya kamar Hongtiang ini pun sangat sederhana, di dalam kamar terdapat sebuah meja dengan dua kursi. Saat itu di atas meja tampak tertaruh dua poci arak dan beberapa macam santapan.

Tampaknya santapan yang tersedia itu sama sekali belum tersentuh, tapi araknya entah sudah terminum berapa banyak.

Di pojok kamar ada sebuah ranjang kasur, selimut tampak acak-acakan, seakan-akan habis ditiduri oleh beberapa orang dan cara tidurnya seperti tidak sopan.

Hoa Bu-koat ternyata tidak pergi, dia masih berada di dalam kamar. Namun hatinya seolah-olah sudah terbang jauh ke awang-awang.

Dia berdiri termangu-mangu di depan jendela, orang yang bermata-telinga setajam dia, sekarang ternyata sama sekali tidak tahu datangnya So Ing.

Sinar matahari menembus tirai jendela dan menyorot mukanya, muka yang pucat pasi, namun matanya tampak merah, suatu tanda kurang tidur, kelihatan lesu dan agak kurus.

Aneh juga, menghadapi pertarungan maut, mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak berusaha memberi waktu istirahat yang cukup baginya? Apakah mereka yakin dalam keadaan betapa sulit pun Hoa Bu-koat pasti dapat mengalahkan Siau-hi-ji?

Atau Ih-hoa-kiongcu pada hakikatnya tak peduli siapa bakal menang atau kalah? Tujuan mereka hanya mengadu Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat supaya keduanya bertempur sampai mati dan urusan lain tak terpikir oleh mereka.

So Ing merasa sangat heran, tapi ia tidak ingin mencari tahu sebab musababnya, ia pun tahu pasti tiada seorang pun yang dapat memberitahukan padanya.

Mendadak didengarnya Hoa Bu-koat menghela napas panjang, tarikan napas ini entah mengandung berapa banyak rasa derita dan duka nestapa yang sukar diutarakan kepada orang lain. Mengapa Hoa Bu-koat sedemikian sedih? Apakah lantaran Siau-hi-ji?

Perlahan-lahan So Ing mendekatinya dan memanggilnya lirih, “Hoa-kongcu...”

Sekali ini Hoa Bu-koat dapat mendengarnya. Perlahan ia menoleh, dipandangnya So Ing. Mesti matanya menatap si nona, tapi sinar matanya seperti melayang jauh ke sana, ke tempat yang pada hakikatnya tak terlihat olehnya.

So Ing masih ingat Hoa Bu-koat mempunyai mata yang sama jeli dan sama terangnya dengan Siau-hi-ji, akan tetapi sepasang mata ini kini telah berubah buram, seperti sepasang mata orang mati, kaku dan dingin. Tidak enak rasanya dipandang oleh mata yang begini.

Hampir berkeringat dingin So Ing karena pandangan Hoa Bu-koat itu, ia coba tertawa dan berkata, “Apakah Hoa-kongcu sudah lupa padaku?”

Bu-koat manggut-manggut, tiba-tiba ia berkata, “Apakah kau datang untuk mohon padaku agar jangan kubunuh Siau-hi-ji.”

So Ing melengak, belum lagi ia menjawab, mendadak Bu-koat bergelak tertawa.

Begitu aneh tertawanya, seperti tertawa orang gila, tidak pernah terpikir oleh So Ing bahwa macam Hoa Bu-koat bisa mengeluarkan suara tertawa yang begini menakutkan. Orang yang normal tidak nanti tertawa cara demikian, hampir saja So Ing lari.

Setelah tergelak-gelak, lalu Bu-koat berkata, “Setiap orang sama datang meminta padaku agar jangan membunuh Siau-hi-ji, sungguh aneh mengapa tiada seorang pun yang minta Siau-hi-ji agar dia jangan membunuh diriku? Apakah aku saja yang harus terbunuh, hanya aku saja yang pantas mati?”

“Soalnya mungkin... mungkin setiap orang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti tidak dapat membunuh engkau,” kata So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa, tanyanya, “Dan bagaimana dengan dia? Dia sendiri tahu tidak?”

“Sekali pun dia tahu juga pasti takkan diutarakannya,” ujar So Ing.

“Ya, benar, dia memang suka menang, dia selalu menganggap orang lain tidak dapat mengalahkan dia,” kata Bu-koat. “Tapi, tapi sekali ini...”

Ia melototi So Ing dan berseru, “Sekali ini mengapa dia menyuruhmu kemari untuk memohon padaku?”

“Tidak, dia tidak menyuruh aku kemari, pada hakikatnya dia tidak tahu aku akan ke sini,” jawab So Ing.

“Dia tidak tahu?” Bu-koat menegas.

So Ing menghela napas, jawabnya, “Jika tahu, pasti dia akan melarang kedatanganku ini, sebab kedatanganku ini pun bukan untuk memohon kemurahan hatimu.”

“Bukan untuk memohon aku jangan membunuh dia?” tanya Bu-koat pula.

“Bukan,” jawab So Ing tegas. Ia pun balas menatap tajam anak muda itu dan menyambung pula sekata demi sekata, “Kedatanganku ini adalah untuk membunuhmu.”

Sekali ini berbalik Hoa Bu-koat yang melengak, ia menatap So Ing sejenak, mendadak ia bergelak tertawa seperti mendengar sesuatu yang sangat lucu.

“Kau tidak percaya?” tanya So Ing.

Bu-koat tidak lantas menjawab, ia terbahak-bahak pula. Sejenak kemudian baru menjawab, “Berdasarkan apa kau kira dapat membunuh diriku”

“Dan berdasarkan apa kau kira aku tidak mampu membunuhmu?” balas tanya So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa pula, katanya, “Jika benar-benar kedatanganmu ini bermaksud membunuhku, seharusnya hal ini tidak kau katakan padaku.”

“Memangnya kenapa?” ujar So Ing.

“Jika tidak kau katakan, mungkin masih bisa terbuka kesempatan bagimu.”

“Dan karena sudah kukatakan, maka tidak ada lagi kesempatan lagi bagiku, begitu?”

“Andaikan ada, mungkin sedikit sekali,” kata Bu-koat dengan gegetun.

“Kesempatan bagiku setidak-tidaknya pasti jauh lebih banyak dari pada kesempatan bagi Siau-hi-ji,” ujar So Ing dengan tertawa. “Kalau tidak, tentu aku takkan kemari.”

Mendadak ia membalik ke sana, ia menuang dua cawan arak, lalu berkata pula, “Jika aku bergebrak dengan engkau, sudah tentu tidak ada kesempatan sama sekali bagiku. Tapi kita adalah manusia dan bukan hewan. Hewan hanya mengenal menyelesaikan segala persoalan dengan kekerasan, manusia kan tidak perlu.”

“Cara apa yang digunakan manusia?” tanya Bu-koat.

“Cara manusia kan lebih sedikit sopan dari pada hewan,” ucap So Ing, lalu ia membalik tubuh dan menuding kedua cawan arak yang terletak di meja, katanya, “Akulah yang menuang kedua cawan arak itu.”

“Ya, aku tahu,” jawab Bu-koat.

“Nah, boleh pilih salah satu cawan itu dan minumlah, maka persoalan kita pun selesai.”

“Hanya minum salah satu cawan arak itu? Kenapa begitu?” tanya Bu-koat.

“Sebab sudah kutaruh racun pada salah satu cawan arak itu, bila yang kau pilih adalah cawan yang beracun, maka kau pasti akan mati, sebaliknya jika yang kau pilih tidak beracun, akulah yang mati,” So Ing tersenyum, lalu menambahkan pula, “Bukankah cara ini sangat sopan dan sangat adil?”

Bu-koat memandang kedua cawan arak di atas meja, tak terasa kulit mukanya menjadi berkerut.

“Kau tidak berani?” tanya So Ing.

“Mengapa aku harus minum salah satu cawan itu?” jawab Bu-koat dengan suara parau.

“Sebab aku ingin duel denganmu, duel secara halus, masa alasan ini tidak cukup bagimu!?” kata So Ing tegas.

“Mengapa aku harus mengadu jiwa denganmu?” jawab Bu-koat.

“Dan mengapa harus mengadu jiwa dengan Siau-hi-ji?” tanya So Ing. “Jika kau boleh mengadu jiwa dengan dia, mengapa aku tidak boleh mengadu jiwa denganmu?”

Kembali Bu-koat melengak.

“Apakah kau rasa cara mengadu jiwa begini kurang sip bagimu?” jengek So Ing. “Apakah hanya kau yakin dapat mengalahkan lawan barulah kau mau duel dengan orang? Tapi, hm, bila benar-benar kau tahu pasti akan menang baru mau mengadu jiwa, itu tidak dapat dikatakan duel lagi, tapi lebih tepat dikatakan pembunuhan, pembunuhan dengan intrik.”

Wajah Bu-koat tampak pucat, butiran keringat dingin memenuhi dahi dan ujung hidungnya.

So Ing menjengek pula, “Hm, jika kau tidak berani terima tantanganku, ya, aku pun tidak dapat memaksa, cuma...”

Dengan mengertak gigi, akhirnya Bu-koat menjadi nekat, ia pegang secawan arak itu.

So Ing menatapnya dengan lekat-lekat dan berucap sekata demi sekata, “Cawan ini apakah beracun atau tidak adalah pilihanmu sendiri. Kau harus percaya bahwa cara ini adalah duel yang paling adil, jauh lebih adil dari pada duel mana pun di dunia ini.”

Mendadak Hoa Bu-koat tertawa dan berkata, “Betul, cara ini memang sangat adil, aku...”

“Tidak, tidak adil, sedikit pun tidak adil,” tiba-tiba seorang membentak. “Sekali-kali tidak boleh kau minum arak itu!”

“Blang,” mendadak pintu didobrak dan seorang menerjang masuk. Kiranya Siau-hi-ji adanya.

“He, kenapa kau pun datang kemari?” seru So Ing.

“Kenapa aku tidak boleh kemari?” jengek Siau-hi-ji, sembari bicara ia terus rampas cawan arak yang dipegang Hoa Bu-koat itu dan berteriak pula, “Bukan saja aku datang kemari, bahkan aku pun ingin minum arak ini.”

“Jangan, arak ini tidak boleh kau minum,” seru So Ing dengan muka pucat.

“Kenapa tidak boleh kuminum?” tanya Siau-hi-ji.

“Arak... arak ini beracun,” jawab So Ing.

“Kiranya kau tahu cawan arak inilah yang beracun?” jengek Siau-hi-ji.

“Kusendiri yang menaruh racunnya, dengan sendirinya kutahu,” kata So Ing.

“Jika kau tahu arak ini beracun, mengapa kau suruh dia minum?” Siau-hi-ji meraung murka.

“Ini memang duel yang menentukan mati hidup, harus salah seorang minum arak ini, dia sendiri bernasib jelek dan memilih cawan ini, mana boleh menyalahkan aku?” kata So Ing pula. Dia melototi Bu-koat dan menambahkan, “Kan tidak kusuruh kau pilih cawan arak ini, betul tidak?”

Terpaksa Bu-koat mengangguk. Biar pun dia tidak takut mati, tapi bila mengingat baru saja dirinya seolah-olah sudah “piknik” sekeliling ke gerbang neraka, mau tak mau ia pun berkeringat dingin.

Siau-hi-ji pandang arak dalam cawan yang dipegangnya itu, jengeknya pula, “Kutahu kau tidak menyuruh dia memilih cawan ini, tapi kan sama saja bila dia mengambil cawan yang itu.”

“Masa sama?” tanya So Ing.

“Ya, sebab kedua cawan arak ini beracun semuanya,” Siau-hi-ji meraung pula. “Hm, permainanmu ini dapat menipu orang lain tapi masa bisa menipu diriku? Kutahu cawan mana pun yang dia pilih, habis diminum dia tetap akan mati, pada hakikatnya kau sendiri tidak perlu minum lagi cawan yang lain.”

So Ing memandangnya dengan terkesima, matanya mulai basah dan hampir-hampir meneteskan air mata.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, ucapnya, “Hoa Bu-koat, O, Bu-koat, kelemahanmu adalah karena terlalu percaya pada mulut perempuan...”

So Ing menghela napas dengan perasaan hampa, ia pun bergumam, “Siau-hi-ji, O, Siau-hi-ji, penyakitmu adalah terlalu tidak percaya kepada perempuan.”

Mendadak ia pun angkat cawan arak yang lain terus ditenggaknya hingga habis.

Seketika berubah air muka Hoa Bu-koat, serunya dengan parau, “Kau... kau salah menuduhnya. Arak beracun tetap harus kuminum.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Ini kan duel yang paling adil, jika aku harus kalah, mati pun aku rela,” seru Bu-koat tegas.

“Ai, engkau benar-benar seorang Kuncu (lelaki sejati, gentleman),” ucap So Ing dengan menghela napas gegetun. “Sungguh aku menyesal mengapa....”

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, memang betul, dia memang seorang Kuncu, sebaliknya aku ini Siaujin (orang kecil, orang rendah, pengecut) makanya kutahu segala sesuatu permainanmu.”

Bu-koat menjadi gusar, dampratnya, “Mengapa kau sembarangan menuduhnya? Bukankah dia sudah minum arak itu?”

“Sudah tentu dia dapat minum, biar pun minum lagi sepuluh cawan juga tidak menjadi soal,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Sebab racun kan dia yang menaruhnya, jika sebelumnya ia sendiri sudah minum obat penawarnya, lalu apa gunanya racun? Masa permainan sederhana begini saja kau tidak paham?”

Seketika Bu-koat jadi melenggong dan tidak sanggup bersuara lagi.

So Ing juga memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, lama dan lama sekali barulah dia bergumam, “Engkau benar-benar seorang pintar, seorang yang mahapintar.”

Dia tersenyum pedih, lalu menyambung pula, “Tapi apa pun juga, semua ini kulakukan demi dirimu, seharusnya engkau tidak boleh bersikap sedemikian padaku?”

Kembali Siau-hi-ji meraung murka, teriaknya, “Memangnya kau ingin cara bagaimana sikapku padamu? Apakah kau kira setelah kau bunuh Hoa Bu-koat lantas aku harus berterima kasih padamu?”

“Sudah tentu kutahu engkau takkan berterima kasih padaku, sebab kalian adalah kaum ksatria yang gagah perwira dan berbudi luhur, kalian tidak sudi sembarangan membunuh, harus membunuh dengan tangan sendiri,” bicara sampai di sini, air matanya tak terbendung lagi dan mulai bercucuran.

Tapi segera ia mengusap air matanya, lalu berkata pula, “Sekarang aku cuma ingin tanya padamu, seumpama aku membunuh seseorang dengan akal, lalu apa bedanya dengan cara kalian.”

“Sudah tentu berbeda, bahkan sangat jauh berbeda,” Siau-hi-ji meraung pula. “Paling sedikit cara kami jauh lebih Kong-beng-cing-tay (terang-terangan dan secara adil) dari pada caramu.”

“Kong-beng-cing-tay?” jengek So Ing. “Sudah jelas kalian tahu pihak lawan bukan tandinganmu, tapi tetap kau ingin duel dengan dia, apakah ini yang dinamakan adil? Apakah ini yang disebut terang-terangan dan blak-blakan? Apakah membunuh orang dengan senjata barulah terhitung cara yang adil dan terang-terangan. Mengapa kalian tidak gigit-menggigit saja seperti anjing? Bukankah cara begini jauh lebih adil dan lebih terus terang?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar