Bahagia Pendekar Binal Jilid 40

“Menggertak orang? Maksudmu menakuti-nakuti orang?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya,” jawab Li Toa-jui. “Apakah kau tahu apa sebabnya To Kiau-kiau, Ha-ha-ji dan lain-lain selalu jeri padaku? Nah, tiada sebab lain dari pada karena aku suka makan manusia. Orang yang suka makan manusia tentu akan membuat takut orang.”

Siau-hi-ji garuk-garuk kepala lagi, ia menjadi bingung.

Kembali Li Toa-jui menghela napas, katanya, “Manusia hidup di dunia ini demi untuk berbuat jahat atau untuk berbuat bajik? Perbedaan antara keduanya sebenarnya sangat sedikit. Sebabnya aku bisa menjadi Cap-toa-ok-jin sebenarnya juga cuma disebabkan kesalahan berpikir sekilas saja. Dia tertawa, lalu bertanya, “Apakah kalian dapat menerka cara bagaimana aku bisa menjadi anggota Cap-toa-ok-jin?”

Siau-hi-ji menggeleng, jawabnya, “Tidak, aku tidak tahu.”

Li Toa-jui menatap kegelapan di kejauhan sana, katanya kemudian dengan perlahan, “Sejak kecil aku memang punya hobi makan, segala makanan pasti kucoba, sampai-sampai barang yang tidak berani dimakan orang Kwitang (Kanton) yang terkenal ahli makan, semuanya pernah kucoba. Di atas semua makanan itu, hanya daging manusia saja yang belum pernah kumakan, maka kemudian aku lantas ingin mencicipi bagaimana rasanya daging manusia.”

Dia tertawa, lalu menyambung pula, “Masih mendingan bila aku tidak memikirkan urusan makan daging manusia, sekali memikirnya, maka rasa ingin tahu rasanya semakin menjadi-jadi. Suatu hari aku telah membunuh satu orang, aku menjadi tak tahan, akhirnya kupotong dagingnya dan kumasak untuk dimakan, ternyata rasanya cuma begini saja, tiada sesuatu yang luar biasa, meski lebih halus seratnya dari pada daging kuda, tapi rasanya lebih masam, supaya bisa lebih lezat harus diberi bumbu masak seperlunya.”

“Jika rasa daging manusia ternyata tiada yang istimewa, lalu mengapa engkau masih memakannya?” tanya Siau-hi-ji.

“Di sinilah letak rahasianya, yaitu untuk menakut-nakuti orang seperti kukatakan tadi,” tutur Li Toa-jui. “Waktu untuk pertama kalinya aku makan daging manusia itulah, mendadak kepergok orang. Sebenarnya orang ini adalah musuhku yang paling tangguh, ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari padaku, tapi begitu dia melihat aku sedang makan daging manusia, seketika mukanya berubah pucat, ia ketakutan setengah mati terus lari terbirit-birit. Selanjutnya bila melihat diriku segera ia pun ngacir pula, seterusnya ia tidak berani menantang berkelahi lagi padaku.”

Ia tertawa, lalu menyambung lagi, “Karena itulah aku lantas menarik kesimpulan bahwa makan daging manusia juga bisa membuat takut orang. Setelah menemukan kenyataan ini, mendadak aku berubah menjadi gemar makan daging manusia.”

“O, jadi... jadi paman Li suka ditakuti orang?” tanya Siau-hi-ji.

“Sifat manusia di dunia ini macam-macam ragamnya, ada sementara orang yang sangat menyenangkan orang, tapi ada setengah orang yang sangat menjemukan. Aku sendiri tidak menyenangkan orang dan juga tidak ingin membuat jemu orang, maka aku sengaja mencari caraku sendiri, yaitu, membuat orang takut padaku,” setelah tertawa, lalu Li Toa-jui melanjutkan, “Kalau bisa membuat orang takut, cara ini kan boleh juga. Sebab itulah aku pun tidak pedulikan daging manusia masam atau tidak, terpaksa kumakan untuk menakuti orang lain.”

Siau-hi-ji melongo, ya heran, ya gegetun, sungguh tak terpikirkan olehnya bahwa untuk membuat takut orang ternyata ada orang yang sengaja makan daging manusia, benar-benar sukar dimengerti.

Sebenarnya Siau-hi-ji ingin tanya, “Dan mengapa daging anak istri sendiri juga kau makan?” Tapi pertanyaan ini tidak sudi dilontarkan, sebab ia tidak sampai hati membuat berduka Li Toa-jui lagi.

Li Toa-jui lantas berkata pula, “Selama bertahun-tahun terakhir ini, sudah tentu aku pun kepingin makan enak seperti orang lain, terpaksa secara sembunyi-sembunyi aku memasak daging babi sekadar memuaskan selera makanku, akan tetapi harus kujaga sedemikian rupa sehingga tidak dilihat orang lain, jadi seperti Hwesio mencuri makan daging, semakin main sembunyi-sembunyi semakin merasa enak makanan yang akan dimakannya.”

Ia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, “Tapi sekarang aku tidak perlu mencuri makan lagi, tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Maka lekas kalian menjamu makan padaku, aku ingin makan Ang-sio-ti-te, pilihlah tite gemuk dan empuk...”

********************

Di kota kecil ini sudah tentu tidak terdapat makanan spesial, tapi untuk mencari tite atau kaki babi tentu tidak terlalu sukar.

Dua potong kaki babi (koki yang pandai tentu memilih kaki babi bagian depan) seberat tiga-empat kati telah dilalap habis sendiri oleh Li Toa-jui. Untung mereka membuka kamar di sebuah hotel dan makan di dalam kamar, kalau cara makannya dilihat orang tentu akan dikira dia ini penjelmaan setan kelaparan.

Selagi Li Toa-jui menyikat Ang-sio-ti-te, diam-diam Siau-hi-ji menarik So Ing keluar kamar, dengan suara tertahan ia tanya si nona, “Waktu kau memapahnya ke sini, apakah sudah kau periksa keadaan lukanya?”

“Sudah,” jawab So Ing. “Lukanya memang cukup parah, tulang iganya yang patah sedikitnya sepuluh biji, belum lagi luka-lukanya bagian lain. Bila tubuhnya tidak kekar dan kuat, mungkin sudah lama jiwanya melayang.”

“Aku cuma ingin tahu sekarang masih dapat kau tolong dia atau tidak?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Jika dia mau menuruti segala perintahku dan dirawat dengan baik-baik, kujamin akan dapat menyelamatkan jiwanya. Cuma...” So Ing menghela napas, lalu menyambung pula, “Apa bila dia sendiri tidak mau hidup lebih lama lagi, maka siapa pun tak mampu menolong dia.”

Siau-hi-ji menggigit bibir dan termenung, katanya kemudian, “Sungguh aku tidak paham, sebenarnya dia adalah seorang yang bisa berpikir dan berpandangan jauh, mengapa sekarang dia menjadi putus asa dan tiba-tiba ingin mati saja?”

Dengan rawan So Ing berkata, “Seorang kalau sudah mendekati ajalnya tentu akan terkenang kepada pengalaman yang diperbuatnya selama hidup ini, dalam keadaan demikian, orang yang bisa merasa tenang dan tidak malu pada dirinya sendiri selama hidup ini, kukira tidak banyak di dunia ini.”

“Ya, kukira dia pasti sangat menyesal terhadap apa yang telah diperbuatnya selama hidup ini, makanya dia ingin menebus semua dosanya itu dengan mati saja,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Dalam keadaan demikian, bila seorang dapat memandang mati dan hidup sebagai hal yang wajar, maka patutlah orang ini dipuji, karena itu aku bilang paman Li ini tidak malu disebut sebagai lelaki sejati.”

“Dia memang seorang lelaki sejati, tidak perlu kau mengumpaknya lagi,” omel Siau-hi-ji dengan melotot.

So Ing tertawa, katanya, “Betul juga, memangnya aku harus selalu mengumpak dan menyanjung dirimu saja.”

Siau-hi-ji melotot pula, seperti mau marah, tapi urung.

Pada saat itulah, mendadak dilihatnya ada seorang lagi melongok mengintip mereka di ujung halaman sana, sekilas pandang saja Siau-hi-ji sudah dapat mengenali siapa orang itu. Segera ia berkata, “Paman Li cukup baik padaku, dia mengalami nasib malang begini, dengan sendirinya aku ikut sedih sehingga ingin melampiaskan rasa marahku kepada seseorang. Sekarang ternyata sudah kutemukan orang yang dapat kujadikan alat pelampias...” sembari bicara, sekonyong-konyong ia melayang ke sana.

Keruan orang yang sembunyi di pojok halaman sana terkejut, akan tetapi tampaknya dia tiada maksud melarikan diri, sebaliknya ia terus memberi hormat dan menyapa dengan cengar-cengir, “Hehe, memang sudah kuketahui Hi-heng adalah orang yang besar rezeki dan dengan sendirinya pula banyak hokhi, bencana apa pun yang menimpa Hi-heng akhirnya pasti akan berubah menjadi keberuntungan. Sekarang dapat kulihat kalian suami-istri bijaksana benar-benar telah lolos dengan selamat, sungguh aku ikut sangat gembira.”

“Eh, sejak kapan kau si kelinci ini berubah menjadi bajik dan mahir menyanjung puji?” tanya Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Kiranya orang ini adalah Oh Yok-su, si kelinci dari Cap-ji-she-shio.

Sebenarnya Siau-hi-ji hendak menggunakan Oh Yok-su untuk melampiaskan rasa gemasnya, tapi karena sanjung pujinya itu, hati Siau-hi-ji menjadi lembut. Oh Yok-su lantas berkata pula, “Sejak tempo hari kalian suami-istri bijaksana memberi hidup bagiku, semenjak itu pula senantiasa Cayhe ingin mencari kalian untuk menyampaikan rasa terima kasihku, syukurlah sekarang cita-citaku telah terkabul.”

“Jika begitu maksudmu, mengapa kau tidak mendatangi kami, sebaliknya malah main sembunyi-sembunyi di sini?” tanya Siau-hi-ji dengan bengis.

“O, soalnya kulihat kalian suami-istri sedang asyik bicara dengan mesra, mana Cayhe berani mengganggu?” ujar Oh Yok-su dengan mengiring tawa.

Dengan tertawa Siau-hi-ji mengomel, “Sialan, caramu menjilat ini benar-benar mengkili-kili hati So Ing. Kutanggung dia pasti akan kemari dan bantu bicara bagimu.”

Belum habis ucapnya, benar juga, So Ing tampak sudah mendekati mereka, katanya dengan tertawa, “Eh, orang ternyata tidak lupa pada kita, sungguh baik juga hatinya, mengapa kau tidak mengundangnya ke dalam rumah untuk minum dua cawan?”

“Lihatlah, betul tidak ucapanku,” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika kau sebut lagi beberapa kali suami-istri bijaksana, andaikan kau minta dia menggadaikan baju untuk membeli arak bagimu, pasti akan dia lakukan dengan senang hati.” Mendadak ia berhenti tertawa seperti ingat sesuatu, lalu bertanya, “Eh, di manakah nona Thi Peng-koh itu?”

Oh Yok-su tampak melengak, jawabnya dengan tergagap, “O, aku tidak... tidak begitu jelas.”

Siau-hi-ji mengernyitkan kening, katanya, “Kalian kan lolos bersama dari sumur gua itu, jika kau tidak jelas, lalu siapa yang lebih jelas dari padamu?”

Oh Yok-su menunduk, dengan gelagapan ia berkata pula sambil tertawa, “Dia... dia seperti berada juga di... di sekitar sini, cuma... cuma....”

Dengan mendongkol Siau-hi-ji cengkeram leher baju orang, dampratnya, “Kau main gila apalagi? Ayo lekas bicara terus terang! Hm, hanya orang macammu juga berani bertingkah di hadapanku? Huh, kan seperti menjual obat di depan tabib?”

Oh Yok-su menjadi pucat dan tambah gelagapan sehingga semakin tidak dapat bersuara.

“Ada urusan apa, bicaralah baik-baik, untuk apa kau mesti bersikap begini galak padanya?” bujuk So Ing dengan suara lembut.

“Masa kau malah menyalahkan aku bersikap galak?” teriak Siau-hi-ji. “Jika bocah ini tidak berbuat sesuatu kesalahan, masa dia ketakutan begini? Kukira bukan mustahil nona Thi itu telah dijual olehnya.”

“Dia takkan berbuat demikian,” kata So Ing.

“Tidak akan berbuat demikian katamu? Hm, kau kira bocah ini orang baik-baik? Hakikatnya dia ini manusia yang gila perempuan, masa dapat dipercaya?”

So Ing menghela napas, katanya kemudian, “Oh-siansing, kukira lebih baik kau bicara terus terang saja. Bila mana nanti amarahnya tambah berkobar, rasanya aku pun tidak sanggup membantumu lagi.”

Kedua sejoli ini benar-benar pasangan menurut kodrat. Mereka bicara seperti bertentangan, yang satu bilang begini, yang lain berdebat begitu, tapi tujuannya satu, yakni agar orang mau mengaku terus terang, kalau cara mereka ini masih juga tidak berhasil mendapatkan pengakuan orang, maka di dunia ini tiada lain lagi yang mampu mengorek keterangan apa pun.

Oh Yok-su kelihatan takut-takut, jawabnya kemudian, “Dia... dia menyuruhku agar... agar mengganggu kalian sebentar saja, entah untuk apa, Cayhe sendiri tidak tahu.”

Siau-hi-ji terbelalak, tanyanya, “O, jadi nona Thi yang menyuruhmu mengganggu kami agar tertahan di sini?”

“Ya, begitulah,” sahut Oh Yok-su.

“Omong kosong,” bentak Siau-hi-ji dengan gusar, “Mana mungkin kau mau menuruti kehendaknya?”

Muka Oh Yok-su tampak merah, dengan tergagap ia berkata pula, “Sungguh, memang... memang begitulah, aku... aku...”

“Aku pun percaya apa yang kau katakan pasti tak dusta,” ujar So Ing dengan tertawa. “Kebanyakan lelaki sebenarnya sangat penurut, suka menurut perkataan perempuan, bagiku hal ini tidak perlu diherankan, hanya dia saja yang selamanya takkan memahami hal ini.”

“Jika hal ini dapat kupahami, tentunya aku pun harus menuruti setiap perkataanmu, begitu bukan?” tanya Siau-hi-ji dengan mencibir.

“Sudah tentu aku pun berharap akan terjadi demikian, tapi aku pun tidak percaya dapat memaksa kambing naik pohon,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Hm, asal kau tahu saja,” jengek Siau-hi-ji. “Coba jawab, keparat ini dan Thi Peng-koh kan tidak cocok satu sama lain, mengapa dia mau menuruti perkataannya?”

So Ing berkedip-kedip, jawabnya kemudian, “Dari mana kau tahu mereka tidak cocok satu sama lain? Bisa jadi mereka sekarang sudah... sudah....”

“Sudah apa?” teriak Siau-hi-ji. “Memangnya kau kira Thi Peng-koh bisa penujui orang macam begini?”

“Mengapa tidak?” jawab So Ing. “Dalam hal apa Oh-heng ini kurang baik? Paling sedikit dia jauh lebih penurut dari padamu? Lelaki yang penurut biasanya paling disukai oleh kaum perempuan.”

“Kalau begitu jadi aku ini tidak disukai orang perempuan?” seru Siau-hi-ji dengan melotot.

“Kau? Sudah tentu kau harus dikecualikan,” ujar So Ing dengan tertawa menggiurkan, “Memangnya di dunia ini ada berapa orang Siau-hi-ji?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, gumamnya kemudian, “Ya, masuk di akal juga, Thi Peng-koh memang harus mencari seorang lelaki yang mau menuruti perkataannya. Sudah kenyang dia dibikin susah oleh kaum lelaki. Adalah pantas jika sekarang ia pun mendapatkan seorang lelaki yang menuruti segala perintahnya, paling sedikit dapatlah dia melampiaskan dendamnya.”

Sejenak kemudian, mendadak ia berteriak pula, “Akan tetapi, mengapa Thi Peng-koh menyuruh dia menahan kita di sini? Apa yang akan dilakukannya di luar tahu kita?”

So Ing menggigit bibir sambil berpikir, katanya kemudian, “Menurut pendapatmu, mungkinkah dia ada sesuatu hubungan dengan paman Li?”

“Ada hubungan dengan paman Li?” tukas Siau-hi-ji sambil berkerut kening.

“Ya, bukankah istri paman Li dahulu konon juga she Thi?” kata So Ing.

Hati Siau-hi-ji tergetar, tiba-tiba teringat olehnya dahulu bila Thi Peng-koh mendengar orang menyebut Ok-jin-kok dan Li Toa-jui, seketika air muka nona itu berubah hebat.

Teringat pula olehnya dahulu Peng-koh juga pernah bertanya padanya jalan menuju Ok-jin-kok, tampaknya nona itu seperti ingin pergi ke sarang penjahat yang sangat ditakuti orang itu. Lalu apa maksud semua itu? Jangan-jangan tujuan Thi Peng-koh hendak pergi ke Ok-jin-kok itu adalah untuk mencari Li Toa-Jui?

Teringat pada hal-hal itu, Siau-hi-ji tidak bicara apa-apa lagi, segera ia lari kembali ke kamarnya. Belum lagi dia masuk ke kamar, baru sampai di ambang pintu, terdengarlah suara isak tangis orang di kamar mereka itu.

Begitu mendengar suaranya, segera Siau-hi-ji tahu memang betul itulah suara tangis Thi Peng-koh.

Segera ia menerjang ke dalam, dilihatnya Li Toa-jui sedang duduk mematung di atas kursi, wajahnya penuh rasa sedih dan menderita.

Yang lebih aneh adalah Thi Peng-koh yang tampak menangis sedih mendekap di samping Li Toa-jui, tangan si nona memegang belati, cuma pegangannya sekarang sudah kendur, belati hampir terlepas dari tangannya.

Siau-hi-ji tercengang, tanyanya heran, “He, apa-apaan ini? Nona Thi, apakah kau kenal paman Li?”

Thi Peng-koh terus menangis sehingga tidak dapat menjawab.

Dengan tersenyum pedih Li Toa-jui berkata, “Waktu dia kenal aku, tatkala mana engkau sendiri mungkin belum lagi lahir.”

Siau-hi-ji tambah bingung, tanyanya pula, “O, jadi... jadi dia ini...” Dia pandang Li Toa-jui lalu memandang Thi Peng-koh, ia tidak sanggup menyambung ucapannya lagi sebab kalau diucapkannya, mungkin dia sendiri pun tidak dapat mempercayainya.

Li Toa-jui menghela napas panjang, katanya dengan rawan, “Ya, dia memang anak perempuanku!”

Sekali ini Siau-hi-ji benar-benar melenggong.

Setahunya, di dunia Kangouw tersiar cerita bahwa Li Toa-jui telah menyembelih dan memakan anak istrinya. Sebenarnya ia hendak tanya kebenaran hal ini, tapi sekarang ia merasa bukan waktu dan bukan tempatnya bertanya mengenai hal ini.

Namun Li Toa-jui seperti dapat meraba jalan pikirannya, dengan menyesal ia berkata, “Selama ini setiap orang Kangouw mengira orang she Li ini benar-benar telah makan anak istrinya sendiri, selama dua puluh tahun ini aku pun tidak pernah menyangkal, sampai sekarang... Ai, rasanya sekarang mau tak mau harus kubeberkan duduk perkara yang sebenarnya, kalau tidak, menjadi setan pun penasaran bagiku.”

Nada ucapannya penuh rasa pedih dan penasaran, seperti orang yang mengalami fitnah dan penuh menahan duka nestapa.

Perlahan So Ing merapatkan pintu kamar dan menuang secangkir teh serta disodorkan kepada Li Toa-jui.

Dengan rasa terima kasih Li Toa-jui mengangguk kepada So Ing, lalu mulai bercerita, “Thi-loenghiong terkenal sangat sayang pada pemuda berbakat, dia telah menyerahkan anak perempuannya padaku, tujuannya agar seterusnya aku dapat memperbaiki kelakuanku, untuk itu aku pun sangat berterima kasih kepada maksud baik beliau, akan tetapi... akan tetapi...” Dia menggereget, lalu menyambung, “Akan tetapi anak perempuannya ternyata sangat benci padaku dan menganggap aku tidak setimpal memperistrikan dia, diam-diam ia telah mengadakan hubungan gelap dengan Sutenya (adik seperguruannya).”

Siau-hi-ji teringat kepada kematian Thi Bu-siang dahulu, antara lain juga karena ada anak muridnya yang berkhianat. Maka dengan gemas ia berkata, “Memang betul, Thi Bu-siang terkenal sayang pada orang yang berbakat, tapi caranya memilih orang sering-sering ngawur juga, di antara muridnya itu memang banyak pula anasir-anasir jahat, malah kematiannya juga disebabkan pengkhianatan seorang muridnya, hal ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.”

“Setelah kuketahui perbuatan serong istriku, sudah tentu hatiku menjadi dendam dan menyesal pula,” tutur Li Toa-jui lebih lanjut. “Tapi mengingat budi kebaikan Thi-loenghiong padaku, masih kuharapkan kalau dia bisa menyadari perbuatannya yang tersesat itu, asalkan dia tidak melakukan lagi perbuatannya tidak senonoh itu, maka aku pun tidak ingin membeberkan persoalannya yang memalukan ini pada orang luar.”

Ujung mulut Li Toa-jui tampak bergetar, ia mengertak giginya kencang-kencang, lalu menyambung pula, “Siapa tahu, bukan saja tidak mau menerima nasihatku, sebaliknya dia malah mencaci maki diriku dengan segala macam kata-kata kotor dan keji dan menyuruh aku jangan mengurusi perbuatannya. Karena gusar aku menjadi kalap, aku membunuhnya dan kumakan dagingnya untuk melampiaskan rasa benciku.”

“Kalau urusan ini ternyata berliku-liku begini mengapa paman Li selama ini tidak pernah membeberkan duduk perkara yang sebenarnya?” tanya So Ing terharu.

“Pertama lantaran aku menghormati Thi-loenghiong dan tidak ingin membuat malu padanya, apalagi bila dia mengetahui anak perempuannya berbuat serendah itu, tentu beliau juga akan berduka. Selain itu, aku pun ingin menjaga kehormatan sendiri,” dia tersenyum pedih, lalu berkata pula, “Coba kalian pikir, bila orang mengetahui istri Li Toa-jui main gila dengan lelaki lain, cara bagaimana pula aku dapat berkecimpung di dunia Kangouw? Makanya aku lebih suka dibenci orang, disangka aku sampai hati makan daging anak-istriku sendiri, tapi sekali-kali diriku tidak boleh dihinakan ditertawakan orang Kangouw.”

So Ing menunduk dengan terharu, ia tidak dapat bersuara lagi, sebab ia dapat memahami perasaan lelaki semacam Li Toa-jui ini, ia pun bersimpatik atas nasib yang menimpanya itu.

“Sesudah kubunuh dia, kutahu di dunia Kangouw tiada lagi tempat berpijak bagiku, sebab Thi Bu-siang pasti sangat benci padaku dan bisa jadi akan menawan dan mencincang diriku, karena itulah terpaksa aku kabur ke Ok-jin-kok, akan tetapi...” Dia pandang Thi Peng-koh sekejap, lalu berkata pula dengan rawan, “Akan tetapi aku pun tidak ingin membesarkan anak perempuanku di sarang penjahat begitu, maka aku telah menyerahkan dia kepada orang lain, yang kuharapkan semoga dia dapat tumbuh besar dengan selamat tanpa alangan apa pun.”

“Kepada siapa kau serahkan anak perempuanmu?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan gemas Li Toa-jui menjawab, “Semula kukira orang itu adalah kawan baikku, siapa tahu... Ai, rupanya orang macam diriku ini selamanya takkan punya kawan baik.”

Mendadak Thi Peng-koh menyambung dengan menangis, “Kedua suami-istri yang menerima diriku itu sedikit pun tidak sayang padaku, sebaliknya aku disiksa siang dan malam, aku dikatakan anak Li Toa-jui, anak pemakan manusia, bibit jelek takkan mendatangkan buah baik. Sebab itulah sejak masih kecil aku lantas melarikan diri.”

“Akhirnya kau dapat masuk Ih-hoa-kiong, sungguh boleh dikatakan beruntung juga bagimu,” ujar Li Toa-jui dengan sedih.

Dengan menangis Thi Peng-koh berkata pula, “Kemudian aku pun mendengar cerita orang bahwa Li... Li...”

“Kau dengar cerita orang tentang Li-toasiok, maka kau lantas mengira ibu dan saudaramu telah dimakan seluruhnya oleh Li-toasiok, begitu bukan?” tukas So Ing dengan suara lembut. “Juga lantaran Li-toasiok telah meninggalkan dirimu sehingga kau mengalami macam-macam siksaan, maka selama itu timbul rasa bencimu kepada ayahmu sendiri, kau anggap dia telah membuat celaka ibumu dan juga membuat susah selama hidupmu.”

Tersedu-sedanlah tangis Thi Peng-koh sehingga tidak sanggup bicara lagi.

“Makanya, seumpama sekarang dia hendak membunuhku, aku pun tidak akan menyalahkan dia,” kata Li Toa-jui dengan rawan, “Sebab... sebab dia...” Sampai di sini air matanya pun bercucuran.

Mendadak Siau-hi-ji berseru, “Dan sekarang kalian ayah dan anak telah dapat berkumpul kembali, salah paham antara kalian pun sudah dijernihkan, seharusnya kalian mesti merayakannya dengan bergembira ria, mengapa kalian menangis seperti anak kecil saja?”

Li Toa-jui menggebrak meja, mendadak ia pun berseru, “Betul, ucapan Siau-hi-ji memang betul, hari ini kita harus bergembira ria, siapa pun tidak boleh mencucurkan air mata lagi.”

“Ya, barang siapa mencucurkan air mata, segera akan kupaksa dia menjadi biniku, setiap hari akan kusuruh dia mencuci kakiku,” sambung Siau-hi-ji.

Thi Peng-koh lantas menunduk, diam-diam ia mengusap air matanya.

Mendadak So Ing mendekap mukanya terus menangis terguguk-guguk, tampaknya sangat sedih tangisnya.

Tentu saja Siau-hi-ji melengak, tanyanya, “He, Siocia yang baik, apa pula yang kau tangiskan? Memangnya kau pun anak perempuan paman Li?”

“Aku telah menangis, mengapa aku tidak kau jadikan istrimu?” kata So Ing, belum habis ucapannya ia sendiri lantas mengikik tawa.

Akhirnya Thi Peng-koh juga ikut tertawa geli.

Oh Yok-su mendekati Peng-koh, agaknya bermaksud mengusapkan air matanya. Tapi si nona lantas menarik muka dan menyemprotnya, “Siapa suruh kau mendekat? Minggir sana!”

Muka Oh Yok-su menjadi merah, benar juga ia lantas menyingkir agak jauh.

Siau-hi-ji saling pandang dengan So Ing sambil tertawa.

“Tampaknya hari ini ada perayaan ganda, kita harus lebih bergembira ria,” seru So Ing.

Li Toa-jui memandang Oh Yok-su, lalu memandang anak perempuannya, katanya kemudian, “Tuan ini...”

“Wanpwe she Oh, bernama Yok-su,” kata Oh Yok-su dengan menunduk kikuk.

“Oh Yok-su,” Li Toa-jui mengulang nama itu. “Jangan-jangan si kelinci dari Cap-ji-she-shio itukah?”

“Betul, memang Wanpwe adanya,” jawab Yok-su dengan hormat.

“Sungguh tak tersangka ada anggota Cap-ji-she-shio yang akan menjadi anak menantuku. Haha, tampaknya tiada rugi kalau mempunyai anak perempuan yang cakap,” kata Li Toa-jui dengan terbahak-bahak.

Thi Peng-koh menunduk dengan muka merah, tapi tiada tanda-tanda marah atau kurang senang pada ucapan orang tua itu.

Sedangkan Oh Yok-su tetap berdiri di kejauhan sambil terkadang melirik si nona.

Diam-diam So Ing membisiki Oh Yok-su, “Jangan takut, tabah sedikit, segala urusan pasti akan kubantu.”

Siau-hi-ji bertepuk dan tertawa, katanya, “Hahaha, tampaknya beberapa kali ucapanmu ‘kalian suami istri bijaksana’ tadi tidaklah sia-sia, paling tidak kau mendapat dukungan suara yang memastikan. Tapi sekarang mengapa kepandaianmu menjilat telah kau lupakan seluruhnya? Ayolah lekas berlutut dan memanggil Gakhu (ayah mertua)!”

Dengan muka merah Oh Yok-su benar-benar hendak berlutut dan menyembah kepada Li Toa-jui, tapi ketika dilihatnya Thi Peng-koh menarik muka dengan mata melotot, seketika ia mengkeret dan menyurut lagi.

Siau-hi-ji jadi teringat kepada penderitaan Thi Peng-koh waktu yang lalu, teringat cara bagaimana Kang Giok-long telah menipunya untuk kemudian meninggalkan dia, maka diam-diam Siau-hi-ji bergirang bagi si nona yang sekarang telah bisa memperoleh perhatian seorang lelaki.

Meski usia Oh Yok-su memang jauh lebih tua, tapi ibarat sekuntum bunga yang telah kenyang merasakan damparan hujan badai, kini ia memerlukan seorang lelaki yang lebih tua untuk melindunginya.

Maklumlah, lelaki yang berusia lebih tua dari pada usia istri yang muda pada umumnya akan lebih mengerti bagaimana harus mencintai istrinya, lebih-lebih perempuan yang pernah mengalami nasib malang seperti Thi Peng-koh, lelaki yang berpengalaman luas tentu takkan memandang hina padanya.

Siau-hi-ji bergumam sendiri, “Tampaknya Thian mahaadil dan pengasih, perjodohan setiap orang pasti diaturnya dengan baik dan setimpal, pada hakikatnya orang tidak perlu dan susah memikirkannya.”

“Betul,” dengan tertawa So Ing menanggapinya, “Jika Thian telah mengatur pertemuan kita, maka jangan kau harap akan dapat lari dariku.”

Baru saja Siau-hi-ji mendelik, mendadak Li Toa-jui bergelak tertawa dan berkata, “Hari ini aku benar-benar teramat gembira, selama hidupku ini belum pernah merasa gembira dan bahagia seperti sekarang ini, jika aku dapat mati pada saat dan tempat begini, maka tidak sia-sialah hidupku ini....”

Terdengar suaranya makin lama makin lemah dan lirih, akhirnya tak terdengar lagi. Ternyata napasnya sudah putus, Li Toa-jui benar-benar telah mangkat dengan mengulum senyum…..

********************

Oh Yok-su dan Thi Peng-koh telah berangkat dengan mengawal jenazah Li Toa-jui.

Sebelum pergi, Thi Peng-koh seperti ingin bicara apa-apa kepada Siau-hi-ji, beberapa kali dia sudah mau bicara, tapi tidak jadi, akhirnya tiada satu pun patah-kata yang diucapkannya.

Siau-hi-ji tahu si nona pasti ingin tanya bagaimana dan di mana Kang Giok-long, tapi akhirnya tidak jadi ditanyakan, ini menandakan bahwa hati Thi Peng-koh terhadap Kang Giok-long kini sudah pupus, sudah tamat.

Sungguh hal ini merupakan kejadian yang paling menggembirakan Siau-hi-ji, hal ini yang paling membuat lega hati Siau-hi-ji selama beberapa bulan terakhir ini.

Pada sebelum berangkat, Oh Yok-su juga seperti mau omong apa-apa kepada Siau-hi-ji, tapi seperti juga Thi Peng-koh, ia pun urung bicara.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tahu yang hendak ditanyakan Oh Yok-su pastilah keadaan Pek-hujin sekarang, tapi toh tidak jadi ditanyakannya, ini pun bukti hati Oh Yok-su sekarang hanya tertumpah seluruhnya kepada Thi Peng-koh seorang.

Sudah tentu hal ini pun membuat Siau-hi-ji sangat gembira.

Orang yang berkasih sayang akhirnya terikat menjadi suami-istri, inilah peristiwa yang paling menyenangkan bagi kehidupan manusia.

Dengan mengulum senyum Siau-hi-ji bergumam, “Apa pun juga tetap tak kupahami mengapa kedua orang ini bisa saling jatuh cinta, sungguh peristiwa aneh.”

“Sedikit pun tidak aneh dan tidak perlu diherankan,” ucap So Ing dengan suara lembut. “Mereka kenal dalam keadaan sama-sama terancam bahaya. Perasaan manusia paling mudah tumbuh dalam keadaan sama menderita, apalagi mereka pun sama-sama mengalami hal yang mengecewakan, jadi boleh dikatakan senasib, dengan sendirinya lebih mudah pula menimbulkan cinta kasih di antara mereka.”

Dia tertawa lalu berkata pula sambil menunduk, “Antara engkau dan aku, bukankah kita pun berkenalan dan menjadi akrab dalam keadaan terancam bahaya?”

Siau-hi-ji mencibirnya, katanya, “Kau yang akrab padaku, sedangkan aku suka padamu atau tidak kan belum pasti?”

“Eh, jangan lupa, semua ini kan sudah diatur oleh Thian,” ujar So Ing dengan tertawa.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar