Bahagia Pendekar Binal Jilid 39

Rupanya sampai mati pun Pek-hujin tidak percaya bahwa yang membunuhnya ialah Pek Khay-sim, sama halnya sampai ajalnya Toh Sat dan Im Kiu-yu juga tidak percaya dia akan membunuh mereka.

Dengan tertawa terkekeh-kekeh Pek Khay-sim lantas berkata, “Tidaklah perlu kau bersikap beringas begini. Sebenarnya kau tahu sejak mula, jika kelinci sudah mati semua, untuk apa pula memelihara anjing betina macam kau ini?”

Pek-hujin menatapnya dengan mata melotot, biji matanya seakan-akan meloncat keluar, barang siapa yang melihat cara melotot Pek-hujin ini, malamnya pasti akan selalu terbayang-bayang dan tak dapat tidur nyenyak.

Namun Pek Khay-sim sama sekali tidak memusingkannya, dengan tenang ia berkata pula, “Apalagi, jika tidak kubunuh engkau, lambat atau cepat pastilah aku yang akan kau bunuh. Kutahu dalam hatimu sudah teramat benci kepada Cap-toa-ok-jin kami ini, makanya kau sengaja memperalat diriku untuk membunuh mereka, habis itu kau akan berdaya upaya lagi untuk membunuhku. Jika sekarang aku tidak turun tangan lebih dulu, kelak akulah yang akan mati konyol.”

Otot hijau pada leher Pek-hujin berkerut-kerut, lalu ia mengembuskan napasnya yang terakhir.

Mendadak Li Toa-jui berseru dengan gegetun, “Wahai Pek Khay-sim, tadinya kukira kau ini orang paling goblok, siapa tahu kau jauh lebih pintar dari pada dugaanku.”

“Hah, kau belum lagi mati? Apakah kau memang sedang menunggu untuk makan dagingmu sendiri?” tanya Pek Khay-sim dengan menyeringai.

“Ya, betul,” jawab Li Toa-jui, sedapatnya ia bersikap tenang. “Memang sudah lama ingin kucicipi bagaimana rasanya dagingku sendiri. Cuma sayang, selama ini belum ada kesempatan. Sekarang kesempatan baik tersedia, mana boleh kulewatkan begini saja.”

Pek Khay-sim jadi melengak malah, tanyanya, “Apakah betul?”

“Mengapa tidak?” jawab Li Toa-jui, “Orang yang dekat ajalnya bicaranya pasti juga bijak, untuk apa kudusta dalam keadaan begini?”

Pek Khay-sim berkedip-kedip, mendadak ia bergelak tertawa pula, katanya, “Hahaha, memangnya kau kira aku akan percaya pada ucapanmu, lalu tidak memenuhi keinginanmu.”

“Syukur jika kau tidak percaya,” kata Li Toa-jui. “Nah, lekas ambilkan pisau, tapi jangan potong daging bagian lenganku, daging di bagian ini paling kasar seratnya.”

Pek Khay-sim menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berpaling kepada Ha-ha-ji dan bertanya, “Kau percaya ucapannya tidak?”

Sejak tadi Ha-ha-ji masih terus merangkak dengan munduk-munduk, sekarang lekas ia menjawab dengan mengiring tawa, “Sampai mati pun anjing tetap makan najis, kalau serigala mulut besar ini tidak makan daging orang lain, daging sendiri pasti juga dimakannya. Tapi untuk apa Pek-lotoa memenuhi seleranya, biarkan saja dia mati dengan mengeluarkan air liur.”

“Betul, betul, harus kubuat dia mati mengiler,” seru Pek Khay-sim sambil bertepuk. “Meski daging tumbuh di tubuhnya, akan kubuat dia hanya dapat memandang tapi tak dapat memakannya.”

Dengan napas memburu Li Toa-jui berkata, “Kutahu sebabnya Im-lokiu membunuh kami adalah karena dia ingin mengelabui Yan Lam-thian agar menyangka kami sudah mati semua sehingga takkan mengusik lebih jauh sakit hatinya. Tapi kau juga membunuh kami, memangnya apa manfaatnya bagimu?”

Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Apa nama julukanku, masa kau sudah lupa?”

Li Toa-jui melenggong sejenak, gumamnya kemudian sambil menyengir, “Merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri...” tiba-tiba napasnya semakin memburu, akhirnya ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.

Tiba-tiba Ha-ha-ji bertanya dengan tertawa, “Pek-lotoa, apakah engkau masih ingin melihat kura-kura gemuk merangkak?”

Pek Khay-sim memberi tanda, katanya, “Sudahlah cukup, berdirilah.”

“Engkau... engkau benar-benar telah mengampuni diriku?” tanya Ha-ha-ji.

“Jangan khawatir,” ujar Pek Khay-sim. “Asalkan kau tunduk kepada segala perintahku, pasti takkan kubuat susah kau. Persaudaraan kita kini tinggal kita berdua, mana kutega membunuhmu lagi, jika kau pun mati, lalu siapa di dunia ini yang mau berkawan denganku?”

“Terima kasih, terima kasih, Pek-lotoa,” kata Ha-ha-ji sambil menjura berulang-ulang.

Pek Khay-sim tertawa terbahak-bahak, betapa senangnya seperti mendadak telah menjadi raja.

Tapi dia benar-benar cuma menjadi raja sekejap, sesuai namanya, “Pek Khay-sim ” atau gembira percuma, akhirnya kegembiraan itu memang cuma sia-sia belaka.

Ketika Ha-ha-ji hampir selesai menjuranya sekonyong-konyong dari punggungnya menyambar keluar tiga batang anak panah berwarna hitam gilap, “cret” kontan bersarang di hulu hati Pek Khay-sim.

Keruan Pek Khay-sim menjerit kaget, seketika ia terjungkal dan menatap Ha-ha-ji dengan melotot. Sikapnya ini persis seperti Pek-hujin menatapnya tadi.

Ha-ha-ji bergelak tertawa, serunya, “Wahai Pek Khay-sim, makanya jangan sok pintar, nyatanya kau pun goblok, masa kau tidak curiga mengapa aku menjadi sedemikian tunduk padamu? Memangnya kau kira aku benar-benar takut padamu?”

Sambil memegangi anak panah yang menancap di hulu hatinya. Pek Khay-sim berkata dengan suara serak, “Jika... jika kutahu tentu aku takkan terjebak oleh kura-kura gemuk macam kau ini.”

“Dan berdasarkan apa kau kira aku takut padamu?” tanya Ha-ha-ji pula.

“Kukira orang gemuk pada umumnya takut mati dan tidak mungkin berani turun tangan padaku, aku pun mengira orang gemuk pasti tidak becus, seumpama kau menyerangku juga tidak perlu kutakut, tapi aku lupa... lupa...” Tiba-tiba air muka Pek Khay-sim berubah pucat, bibir pun biru dan mata mulai berkunang-kunang.

“Haha, jadi kau lupa akan julukanku, menikam sambil tertawa, begitu? Haha, masa kau tidak tahu bahwa tidak sedikit orang Kangouw yang telah binasa oleh kepandaianku yang khas ini?”

“Tapi... tapi mengapa kau bunuh diriku?” tanya Pek Khay-sim dengan terengah-engah. “Jika kita bergabung menjadi satu kan jauh lebih baik dari pada berdiri sendiri?”

Ha-ha-ji tidak memandangnya lagi, mendekati To Kiau-kiau dan bertanya dengan suara lembut, “Kiau-kiau, kau lihat tidak? Sakit hatimu sudah kubalaskan.”

“He, kiranya kau bunuh diriku untuk membalas sakit hatinya?” seru Pek Khay-sim. “Jadi kau... kau dan dia....”

Kulit muka Ha-ha-ji tampak berkerut-kerut, agaknya merasa sedih, maka tidak perlu tanya lagi Pek Khay-sim juga tahu ada hubungan istimewa antara Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau.

Terdengar Ha-ha-ji berkata dengan rawan, “Selama ini, betapa pun kau cukup baik padaku, sekarang kau akan mati, hatiku merasa sedih...”

Pek Khay-sim meringis menahan rasa sakitnya, serunya tiba-tiba, “Selama dua puluh tahun mengeram di Ok-jin-kok, memang sudah kuduga si banci itu pasti tidak tahan rasa gatalnya, sering kukatakan dia pasti punya ‘gacoan’, tapi yang selalu kucurigai adalah Toh-lotoa.” mendadak ia bergelak tertawa, lalu menyambung, “Padahal seharusnya sudah kuduga bahwa gendaknya pastilah dirimu, sebab siapa yang sudi pada banci yang sudah tua bangka seperti dia kecuali kura-kura gemuk macam kau ini.”

Sambil meraung Ha-ha-ji ayun kakinya, Pek Khay-sim ditendangnya hingga mencelat dan untuk seterusnya tidak dapat lagi berucap dan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.

Untuk sejenak Ha-ha-ji istirahat, setelah tenang kembali, mendadak dilihatnya To Kiau-kiau masih dapat membuka matanya sedikit. Kejut dan bergirang Ha-ha-ji, cepat ia berjongkok pula dan bertanya, “Kiau-kiau, apakah kau masih bisa bicara?”

To Kiau-kiau mengangguk, bibirnya tampak bergerak-gerak seperti ingin berkata sesuatu. Tapi keadaannya sudah terlampau lemah sehingga Ha-ha-ji tidak mendengar apa pun. Terpaksa dia mendekatkan telinganya ke mulut Kiau-kiau, katanya dengan lembut, “Kiau-kiau, ada isi hati apa yang ingin kau katakan, bicaralah, pasti akan kulakukan bagimu.”

Kiau-kiau mengeluh perlahan, katanya dengan lemah, “Kita... kita sepasang merpati yang senasib bukan?”

Berulang-ulang Ha-ha-ji mengangguk, katanya, “Betul, memang betul kita ini sepasang merpati yang senasib, suami istri yang penuh kasih sayang.”

Tersembul senyuman terakhir pada ujung mulut To Kiau-kiau, katanya pula lirih, “Makanya kalau aku mati, betapa pun kau tidak boleh hidup sendirian.”

Sungguh kejut Ha-ha-ji tak terkirakan, segera ia ingin melompat mundur, tapi sayang, sudah terlambat. Tahu-tahu kedua tangan To Kiau-kiau seperti ular telah membelit lehernya, berbareng mulut terus menggigit tenggorokannya.

Sekuatnya Ha-ha-ji meronta, tapi akhirnya tak dapat bergerak lagi. Lambat-laun air mukanya berubah pucat, darahnya mengucur bagai air ledeng mengalir masuk ke perut To Kiau-kiau. Mendadak ia meronta sekeras-kerasnya dan menindih di atas tubuh To Kiau-kiau.

Maka terdengarlah serentetan suara “krek-krek”, tulang sekujur badan To Kiau-kiau tertindih patah.

Ha-ha-ji merangkak bangun dengan sisa tenaganya, ia terbahak-bahak beberapa kali sambil menengadah, dan “bluk”, akhirnya ia jatuh tersungkur dan tak bangun lagi untuk selamanya.

Li Toa-jui memandangi semua kejadian itu dengan melenggong. Gumamnya kemudian sambil menghela napas panjang, “Bagus, bagus sekali! Akhirnya Cap-toa-ok-jin mati semua. Sudah semenjak dulu, tiga puluh tahun yang lalu, sudah kuduga bahwa di antara Ok-jin ini pasti akan terjadi saling membunuh. Thian mengumpulkan kami bersepuluh, memangnya hendak membuat kami jahat memukul jahat, racun melawan racun, supaya saling membunuh. Kalau tidak, satu-dua Ok-jin saja sudah cukup ramai, untuk apa mesti berkumpul sampai sepuluh orang?”

Sekuatnya ia meronta bangun, tapi lantas jatuh lagi, akhirnya ia berusaha merangkak ke atas bukit, agaknya ingin jauh meninggalkan mayat-mayat menjijikkan ini.

Angin pegunungan meniup silir-semilir, dari kejauhan seperti ada suara raungan binatang buas.

Li Toa-jui menyengir, gumamnya, “Apakah Toapekong penjaga tanah di sini tidak sudi menerima mayat orang-orang ini, makanya menyuruh kawanan serigala atau harimau melalap habis mayat mereka ini agar segalanya menjadi lenyap dan bersih.”

Lalu ia goyang-goyang kepala dan bergumam pula, “Cuma sayang, orang-orang ini bukan saja hati berbisa, sampai daging mereka pun bau busuk, sekali pun anjing kelaparan juga tidak sudi mengendusnya.”

Di balik tanjakan bukit ini, di balik semak-semak pepohonan sana seperti ada sebuah gua yang sangat dalam, batu padas tampak berserakan di sekitar gua ini seperti raksasa yang mengangakan mulutnya.

Sekuatnya Li Toa-jui merangkak ke sana, dengan menyengir ia bergumam pula, “Mulut gua ini jauh lebih besar dari pada mulutku. Jika Li si mulut besar bisa mati di dalam gua yang mahabesar ini, maka matinya boleh dikatakan cocok dengan tempatnya. Diharap saja mulut raksasa ini tidak seperti diriku, setelah telan tubuhku bulat-bulat, lalu kepalaku ditumpahkan.”

Seram juga rasanya di dalam gua sebesar ini, karena lembap, tercium bau yang memualkan.

Akan tetapi Li Toa-jui berlagak seakan-akan selama hidup belum pernah menikmati tempat istirahat sebagus ini, ia menghela napas panjang-panjang, lalu merebahkan diri di situ.

Padahal tanah gua ini sangat lembap dan penuh batu kerikil, namun Li Toa-jui seperti berbaring di atas ranjang anak perawan yang berkasur empuk dan berbau harum. Ia bergumam pula, “Wahai Li Toa-jui, bahwa Thian telah memberikan suatu tempat begini padamu agar kau dapat menantikan ajalmu dengan aman dan tenang, sungguh hal ini sudah suatu karunia yang sukar dicari, lalu apalagi yang kau sesalkan?”

Akan tetapi Thian ternyata tidak membiarkan dia menanti ajal dengan aman dan tenang.

Entah berselang berapa lama, tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar gua.

Segera Li Toa-jui bermaksud melompat bangun, tapi apa daya, tenaga untuk merangkak saja tidak ada. Dalam keadaan demikian, mau tak mau ia hanya menyerah saja kepada takdir. Maka dia lantas berbaring lagi, pikirnya, “Selama hidupku ini aku suka makan daging manusia, jika Thian menghendaki mayatku harus menjadi makanan anjing kan juga adil.”

Untunglah Thian tiada maksud menjadikan ia sebagai makanan anjing sebab yang datang ini adalah manusia.

Terdengar suara seorang berkata, “Di sinilah tempatnya, pasti tidak salah lagi, masih kuingat dengan baik batu di depan gua itu.”

Meski kata-kata orang ini sangat umum, tapi suaranya keras dan berat, walau pun tidak kenal suara siapa, tapi entah mengapa, jantung Li Toa-jui lantas berdebar.

Selang sejenak terdengar seorang lagi berkata, “Paman, aku telah berbuat sesuatu di luar tahumu, apakah engkau sudi memaafkan diriku?”

Mendengar suara ini barulah Li Toa-jui benar-benar terkejut.

Orang ini ternyata Siau-hi-ji adanya. Jika demikian, yang seorang lagi tentu Yan Lam-thian. Sungguh tak terpikir oleh Li Toa-jui bahwa akhirnya ia pun sia-sia belaka bersembunyi ke sana ke sini. Karena takutnya hingga bernapas saja tidak berani keras-keras.

Padahal dia sudah dekat ajalnya, apa yang mesti ditakuti pula? Itulah buktinya bila mana seorang pernah berbuat dosa, maka pasti akan timbul rasa takutnya dalam keadaan bagaimana pun juga.

Terdengar Yan Lam-thian lagi berkata, “Kau berbuat apa di luar tahuku?”

“Di... di luar tahu paman, diam-diam telah... telah kusuruh orang melepaskan Kang Piat-ho dan anaknya,” jawab Siau-hi-ji.

Agaknya Yan Lam-thian melenggong sejenak, katanya kemudian dengan suara bengis. “Mengapa kau bertindak demikian? Masa kau lupa akan sakit hatimu yang sedalam lautan itu?”

“Anak tidak pernah lupa,” jawab Siau-hi-ji, “Cuma kurasa, untuk menuntut balas tidak perlu harus membunuh mereka, bahwa orang lain telah membunuh orang tuaku, ini adalah perbuatan mereka yang kotor dan kejam, jika aku pun membunuh mereka, bukankah aku pun berubah serupa mereka? Sebab itulah aku sengaja membiarkan mereka hidup agar mereka dapat menyesali dosanya sendiri, kupikir dengan cara demikian akan jauh lebih berarti dari pada aku membunuh mereka.”

Anak muda itu bicara dengan lancar dan tegas, sedikit pun tiada tanda takut-takut.

Yan Lam-thian termenung agak lama, ia menghela napas gegetun, lalu berkata dengan rawan, “Anak yang baik, Kang Hong mempunyai anak seperti kau, di alam baka dapatlah dia istirahat dengan tenteram. Percumalah paman Yan hidup selama berpuluh tahun, nyatanya tidak dapat berpikir bijaksana seperti dirimu.”

“Jika demikian, lalu pertarungan dengan Hoa Bu-koat apakah juga boleh dibatalkan?” tanya Siau-hi-ji.

“Ini sama sekali tidak boleh,” kata Yan Lam-thian, suaranya menjadi bengis lagi.

“Mengapa tidak boleh?” tanya Siau-hi-ji. “Antara Hoa Bu-koat dan diriku kan tiada permusuhan apa-apa, untuk apa aku harus mengadu jiwa dengan dia?”

“Pertarungan ini bukan untuk menuntut balas, tapi demi nama, demi kehormatan,” seru Yan Lam-thian dengan kereng. “Seorang lelaki, kepala boleh dipenggal, darah boleh mengalir, tapi tidak boleh berbuat sesuatu yang memalukan. Urusan sudah sejauh ini, bila kau hendak lari sebelum maju di medan laga, dapatkah kau bertanggung jawab terhadap ayah bundamu, dapat pulakah bertanggung jawab padaku?”

Siau-hi-ji menghela napas, satu kata saja dia tidak sanggup menjawab.

Yan Lam-thian menyambung pula, “Jadi sekarang, apa pun juga kau harus bertarung dengan Hoa Bu-koat, aku pun harus bertempur dengan Ih-hoa-kiongcu, sebab orang yang berbuat salah harus menerima hukumannya. Seorang lelaki sejati ada yang tidak boleh diperbuatnya, tapi ada juga yang harus diperbuatnya. Biar pun kita tahu jelas akan gugur di medan tempur juga tidak boleh mengelakkan diri. Apakah kau sudah paham artinya?”

“Ya, paham,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Yan Lam-thian menghela napas panjang, lalu berkata pula dengan suara lembut, “Kutahu antara kau dan Hoa Bu-koat sudah terpupuk persahabatan yang erat, makanya kau tidak suka bertempur dan mengadu jiwa dengan dia. Tapi orang hidup di dunia ini terkadang memang harus berbuat sesuatu yang sebenarnya berlawanan dengan kehendaknya. Orang memang sering kali dipermainkan oleh nasib, betapa pun kepahlawanan seorang juga tak dapat menghindarinya.”

Siau-hi-ji menghela napas panjang, tiba-tiba ia berkata, “Yan-toasiok, aku cuma ingin memohon sesuatu padamu.”

“Tentang apa, katakan saja,” jawab Yan Lam-thian.

“Kumohon apa bila bertemu dengan Toh Sat, Li Toa-jui dan lain-lain kuharap paman jangan membunuh mereka,” pinta Siau-hi-ji.

Yan Lam-thian menjadi gusar, jawabnya, “Apa, jangan membunuh mereka? Orang-orang itu sudah lama pantas dibinasakan, mengapa kau malah memintakan ampun bagi mereka?”

“Seorang yang berbuat kesalahan memang sepantasnya mendapatkan hukuman setimpal, tapi Toh Sat dan lain-lain itu sudah cukup menerima hukuman berat, mereka telah menderita selama dua puluh tahun di Ok-jin-kok, hidup mereka boleh dikatakan sangat merana, siang dan malam selalu kebat-kebit, lari ke sana dan sembunyi ke sini, mereka benar-benar seperti segerombolan anjing liar yang kehilangan majikan. Kalau sudah begitu, masakan selanjutnya mereka berani berbuat jahat dan membuat susah orang lain lagi?”

Mendengar sampai di sini, tanpa terasa Li Toa-jui menghela napas gegetun, pikirnya, “Makian yang baik, makian yang tepat, bahkan caci maki ini masih terlalu ringan, sebab kami pada hakikatnya lebih runyam dari pada anjing liar.”

Dalam pada itu terdengar Yan Lam-thian sedang berkata, “Kekuasaan negara mudah berpindah, watak manusia sukar berubah. Dari mana kau tahu selanjutnya mereka tak berani lagi berbuat kejahatan dan membuat celaka orang lain?”

“Mungkin paman Yan tidak tahu bahwa sebelum mereka kabur ke Ok-jin-kok, mereka pernah menyembunyikan satu partai harta karun, justru lantaran partai harta karun inilah jiwa mereka hampir-hampir amblas,” tutur Siau-hi-ji, “Coba paman pikir, bila mana mereka masih mempunyai keberanian membuat celaka orang lain, bukankah dengan mudah mereka dapat merampok lagi harta yang lebih banyak, untuk apa mereka mesti berusaha menemukannya kembali harta karun yang mereka sembunyikan itu?”

Dia menghela napas, lalu menyambung pula, “Dari sini terbuktilah bahwa nyali mereka sekarang sudah berubah ciut, kini mereka tidak lebih hanya beberapa gelintir kakek-kakek yang kemaruk harta benda saja, mana ada wibawa sebagai ‘Cap-toa-ok-jin’ yang disegani seperti dahulu itu? Hidup mereka sekarang tiada ubahnya seperti sudah mati, lalu untuk apa paman Yan mengusut dan membunuh mereka lagi? Biarkanlah mereka hidup lebih lama dua-tiga tahun untuk menyambung napas mereka yang memang sudah kembang-kempis itu.”

Sampai di sini, tak tahan lagi air mata Li Toa-jui bercucuran, tanpa terasa ia menghela napas panjang dan berseru, “O, Siau-hi-ji, rupanya kami telah salah menilai dirimu. Bila mana kami dapat membayangkan kau akan membela kami dan memintakan ampun bagi kami, mungkin kami pun tidak perlu berakhir dengan nasib begini.”

Belum habis ucapannya, serentak Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji melompat tiba.

“He, engkau Li-toasiok!” seru Siau-hi-ji. “Mengapa engkau berubah menjadi begini?”

Li Toa-jui tersenyum pedih, katanya, “Mungkin inilah yang dinamakan bajik dan jahat akhirnya pasti akan menerima ganjaran yang setimpal, banyak berbuat kebusukan akhirnya pasti akan binasa sendiri.”

“Di manakah kawan-kawan yang lain?” jawab Siau-hi-ji.

“Mati semua, sudah mati semua,” jawab Li Toa-jui menyesal.

“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Siau-hi-ji pula dengan tercengang.

“Siapa lagi yang mampu membunuh mereka jika bukan mereka sendiri?” tutur Li Toa-jui dengan tersenyum getir. Ia menghela napas panjang, lalu berkata pula, “Yan-tayhiap, sungguh kami telah berdosa padamu, lekaslah kau bunuh diriku.”

Waktu melihatnya semula wajah Yan Lam-thian memang sangat gusar, tapi sekarang malah menampilkan rasa iba, rasa kasihan. Ia hanya menggeleng saja sambil menghela napas panjang.

“Kutahu orang macam diriku ini sudah tiada harganya untuk dituruntangani Yan-tayhiap,” kata Li Toa-jui pula sambil menyengir pedih. “Seorang kalau hidupnya sampai musuh sendiri pun merasa tidak berharga untuk membunuhnya, maka apalah artinya hidup ini baginya.”

Mendadak ia bergelak tertawa, sejenak kemudian baru ia melanjutkan, “Dan untunglah hidupku ini sudah tidak akan lama lagi, inilah kemujuranku, kalau tidak rasanya aku lebih suka mati tenggelam oleh air kencingnya sendiri.”

Yan Lam-thian hanya menghela napas dan tidak menanggapi, tiba-tiba ia berkata kepada Siau hi-ji, “Ayolah kita pergi.”

“Tidak, paman, sekarang aku tidak dapat pergi,” jawab Siau-hi-ji.

“Apa yang kau tunggu lagi?” tanya Yan Lam-thian dengan kurang senang.

Siau-hi-ji menunduk, katanya, “Waktu kecilku, paman Li tidaklah jelek terhadapku. Sekarang dia dalam keadaan begini mengenaskan, mana boleh kutinggalkan dia menantikan ajalnya sendiri di sini?”

Mendadak Li Toa-jui berteriak, “Siau-hi-ji, tidak perlu kasihan padaku, juga tidak perlu kau balas budi kebaikan. Hakikatnya aku tidak berbuat sesuatu kebaikan padamu. Bahwa kami membesarkanmu di Ok-jin-kok, maksud tujuan kami juga tiada lain dari pada mengharapkan setelah kau dewasa akan melakukan kejahatan dan membuat celaka orang lain seperti halnya perbuatan kami.”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Aku tidak peduli apa maksud tujuan kalian, yang jelas aku memang telah dibesarkan oleh kalian. Sekarang hidupku terasa sangat menyenangkan, maka tidak bolehlah kulupakan budi kebaikan kalian.”

Li Toa-jui menghela napas panjang-panjang, gumamnya, “Budi kebaikan... O budi kebaikan. Anak yang dibesarkan Cap-toa-ok-jin ternyata tidak pernah melupakan budi kebaikan, tampaknya sejak dulu-dulu seharusnya Cap-toa-ok-jin mesti ganti profesi untuk menjadi juru rawat saja.”

“Betul, kelak bila kami mempunyai anak, tentu kami akan mengundang engkau untuk menjadi juru rawat anak kami,” tiba-tiba seorang menanggapi dengan tertawa.

Kiranya So Ing juga telah menyusul tiba, cuma sejak tadi dia tidak bersuara.

Li Toa-jui terbelalak, tanyanya, “Kalian akan punya anak? Anakmu dengan siapa?”

So Ing melirik Siau-hi-ji sekejap, ia menunduk, lalu berkata dengan menahan tawa, “Sekarang memang belum punya anak, tapi kelak kami pasti punya.”

“Haha, luar biasa, tak tersangka ikan kecil ini akhirnya terkail juga,” seru Li Toa-jui dengan tertawa. “Wah, tampaknya kepandaianmu memancing ikan memang sangat lihai.”

Tapi Siau-hi-ji lantas menjengek, “Hm, kepandaiannya memuaskan diri sendiri memang hebat.”

“Baik, anggaplah aku memang suka memuaskan diri sendiri, apa pun yang kau lakukan pasti akan kuturut seluruhnya,” kata So Ing dengan tersenyum, “Pokoknya, bila mana aku melahirkan anak, maka kaulah ayahnya.”

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya dengan muram, “Ai, sungguh sialan, menghadapi orang begini memang benar-benar bisa mati konyol.”

Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, tak tersangka akhirnya Siau-hi-ji ketemu batunya. Haha, nona yang baik, sungguh aku kagum padamu, nyata kau jauh lebih hebat dari pada gabungan Cap-toa-ok-jin kami dalam hal menjinakkan ikan kecil ini.”

Setelah bergelak tertawa, mendadak air muka Li Toa-jui menampilkan rasa menderita lagi, jelas lukanya menjadi kesakitan pula.

Mendadak Yan Lam-thian berkata, “Menerima budi harus membalas, inilah sifat sejati seorang lelaki, maka boleh kau tinggal saja di sini.”

“Dan ke mana paman akan pergi?” tanya Siau-hi-ji.

Yan Lam-thian berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Akan kutunggu kau di puncak bukit sana, mungkin mereka sudah berhasil menemukan Hoa Bu-koat, maka selekasnya kau pun pergi ke sana.”

“Ya, kalau aku sudah berjanji pada paman Yan, sekali pun dengan merangkak juga akan hadir ke sana,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir.

“Baik sekali,” kata Yan Lam-thian, habis itu ia lantas bertindak pergi dengan langkah lebar.

Sambil memandangi bayangan pendekar besar yang kekar itu menghilang di kegelapan, Li Toa-jui menghela napas gegetun, katanya, “Orang ini memang sangat tegas dan bijaksana, sungguh tidak malu disebut sebagai seorang lelaki sejati.”

“Kukira engkau sendiri pun tidak malu untuk disebut sebagai lelaki sejati,” tiba-tiba So Ing menukas dengan tertawa.

Li Toa-jui jadi melengak. “Aku?” ia menegas.

“Ya,” jawab So Ing. “Di antara Cap-toa-ok-jin hanya engkaulah yang dapat dianggap sebagai lelaki sejati. Cuma sayang seleramu berbeda dengan orang lain, kalau tidak mungkin engkau sudah menjadi sahabat karib Yan-tayhiap.”

“Hahaha, bagus, bagus!” seru Li Toa-jui dengan terbahak-bahak. “Ada seorang nona cantik memuji diriku sebagai lelaki sejati, sungguh mati pun tidak perlu penasaran lagi. Cuma sayang, aku tidak dapat menyaksikan Siau-hi-ji kecil yang akan kau lahirkan kelak.”

“Wah, tak kusangka paman Li juga tidak tahan disanjung puji orang, hanya sedikit diumpak saja, seketika membantu orang menjaring diriku,” kata Siau-hi-ji dengan menyengir.

“Menjaring engkau?” seru Li Toa-jui dengan melotot. “Ketahuilah, kau bisa memperoleh bini seperti dia adalah kemujuranmu yang mahabesar. Jika aku tidak sekarat begini, mustahil kalau aku tidak bersaing denganmu untuk memperebutkan dia.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Bukan mustahil kelak seleraku juga akan berubah seperti paman Li dan tengah malam akan kumakan dia bulat-bulat.”

Sorot mata Li Toa-jui menampilkan rasa derita lagi, agaknya dia tidak suka mendengar peristiwa yang menyakitkan hati tentang istrinya itu.

Siau-hi-ji sangat cerdik, melihat air muka Li Toa-jui itu segera ia tahu diri, cepat ia ganti haluan dan berkata pula, “So Ing, jika kau benar-benar menginginkan paman Li akan menjadi juru rawat anakmu kelak, maka lekaslah kau menyembuhkan luka paman Li ini.”

“Apa? Kau minta dia menyembuhkan lukaku?” tanya Li Toa-jui dengan melenggong.

“Masa paman Li belum tahu?” tanya Siau-hi-ji. “Budak ini selain mahir memuaskan dirinya sendiri, kepandaiannya mengobati orang juga lumayan.”

Mendadak Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, kukira kau ini orang pintar, tak tahunya kau adalah orang goblok.”

“Masa... masa paman Li tidak... tidak ingin di...”

“Coba jawab,” potong Toa-jui sebelum ucapan Siau-hi-ji berlanjut, “bilakah kau lihat aku berlagak pahlawan, berlagak gagah perwira?” Dia menggeleng-geleng, lalu menjawab pertanyaannya sendiri, “Tidak pernah, selamanya tidak pernah. Aku adalah orang yang paling takut mati, maka bila lukaku ini dapat disembuhkan, kan sejak tadi aku sudah berlutut memohon pertolongannya.”

“Tapi paling tidak keadaan lukamu kan harus kuperiksa dahulu,” kata So Ing.

“Periksa apa?” Li Toa-jui melotot. “Betapa parah lukaku masakah aku sendiri tidak tahu? Memangnya kau kira aku ini orang yang goblok?”

Siau-hi-ji saling pandang sekejap dengan So Ing, mereka tahu Li Toa-jui sudah bertekad tidak mau hidup lagi. Keduanya lantas saling mengedip, diam-diam mereka sudah mempunyai perhitungan.

Tiba-tiba Li Toa-jui berkata pula dengan tertawa “Jika kau benar-benar ingin membayar utang budimu padaku, kukira memang ada suatu cara yang baik.”

“Cara bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku merasa sangat kelaparan sehingga kepala pusing tujuh keliling,” ucap Li Toa-jui dengan tertawa. “Maka harus kau carikan akal agar aku dapat makan dengan sekenyang-kenyangnya. Konon jalan yang menuju ke akhirat sama sekali tiada rumah makan, jika aku harus menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat) dalam keadaan lapar, kukira tidak enak rasanya.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum, “Wah, tidaklah mudah mencari daging manusia di tempat begini, rasanya terpaksa harus minta kelonggaran paman Li, seadanya bolehlah secuil daging pahaku sekadar mengisi perutmu.”

“Daging manusia lagi maksudmu? Siapa bilang aku minta makan daging manusia?” kata Li Toa-jui dengan melotot.

“Jadi... jadi paman Li tidak... tidak makan daging manusia?”

“Sekali pun daging manusia benar-benar paling lezat di dunia ini, kan sudah berpuluh tahun aku memakannya, rasanya tentu juga sudah bosan,” kata Li Toa-jui. Mendadak ia meludah, lalu menyambung pula, “Hm, bicara sejujurnya, bila mana sekarang aku ingat pada daging manusia, rasanya aku menjadi mual.”

Sekali ini Siau-hi-ji benar-benar melenggong.

Li Toa-jui tertawa dan berkata pula, “Apakah kau kira aku benar-benar sangat suka makan daging manusia? Hm, terus terang kuberitahukan, sebabnya aku suka makan daging manusia tiada lain hanya karena aku ingin menggertak orang saja.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar