Bahagia Pendekar Binal Jilid 35

“Kalau orang lain mungkin sudah mati,” kata Li Toa-jui. “Akan tetapi Siau-hi-ji... bukan hal mustahil kalau dia akan punya akal, selamanya kau takkan tahu betapa kepandaiannya yang sesungguhnya.”

Dia khawatir Han-wan Sam-kong melabraknya lagi, maka cepat-cepat ia menambahkan. “Kepandaian Kui-tong-cu itu sungguh tidak kecil, entah cara bagaimana dia dapat mengetahui gerak-gerik kita dan dapat menyeret si Thi gila ke sini pada saat yang tepat.”

Baru habis ucapannya sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan tertawa, “Jika kau dapat menerkanya, maka namaku bukan lagi Kui-tong-cu.”

Di tengah gelak tawanya, sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Kui-tong-cu, si Anak Setan, sudah berada di depan mereka.

Keruan Li Toa-jui terkejut, cepat ia berkata pula dengan tertawa, “Wah, Cianpwe benar-benar datang tanpa bayangan dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Sungguh Cayhe kagum tak terperikan.”

“Hehe, pantatku terasa enak, kau memang pintar menjilat,” kata Kui-tong-cu. “Maka akan kuceritakan padamu urusan ini dari awal hingga akhir. Waktu itu orang kangouw sama menyangka Thi Cian menemukan sebuah peta pusaka harta karun, padahal dia sama sekali tidak berminat terhadap harta karun segala, minatnya yang terbesar hanya tertuju pada Bu-beng-to (Pulau Tak Bernama).”

“Bu-beng-to?” Li Toa-jui menegas. “Tempat apakah itu? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?”

“Jika kau pernah dengar, maka pulau itu takkan disebut lagi sebagai Bu-beng-to, tapi akan disebut Yu-beng-to (Pulau Bernama),” ujar Kui-tong-cu dengan tertawa.

“Jika pulau tak bernama, lalu dari mana pula Thi Cian mendapat tahu?” tanya Li Toa-jui.

“Hal ini terjadi karena disiarkan oleh seorang yang iseng, dia telah mencatat arah dan letak pulau itu, bahkan disiarkan bahwa barang siapa dapat menemukan Bu-beng-to, maka dapatlah belajar silat dengan penghuni pulau itu, sepulangnya di Tionggoan tentu tiada tandingan lagi,” setelah tertawa, Kui-tong-cu menyambung pula, “Dasar watak Thi Cian memang suka berkelahi, demi mendengar berita itu tentu saja ia sangat tertarik, maka ia sengaja menyuruh anak perempuannya membawa sebuah peta dan memancing orang banyak ke jurusan lain, ia sendiri diam-diam mendatangi pulau tak bernama itu.”

Gemerlap sinar mata Li Toa-jui, ia coba memancing pula, “Siapa saja penghuni pulau itu?”

“Sudah tentu kebanyakan penghuninya adalah kaum kakek-kakek yang sudah bosan pada kehidupan ramai,” tutur Kui-tong-cu. “Setiba di pulau itu, mereka merasa nama sendiri sudah tidak diperlukan lagi dan dibuang semuanya, maka pulau itu lantas disebut Bu-beng-to.”

“Jika demikian, tentunya Cianpwe juga bu-beng-enghiong (kesatria tak bernama) dari pulau itu?” tanya Li Toa-jui dengan mengiring tawa.

“Bu-beng-enghiong apa? Lebih tepat dikatakan para tua bangka saja,” ujar Kui-tong-cu. “Apalagi, seumpama ingin kulupakan namaku sendiri, bila mana melihat diriku, segera juga orang akan mengenalku. Tidak seperti tua bangka yang lain itu, mereka memakai nama apa saja dan orang lain pun tetap tidak tahu.”

Padahal Li Toa-jui juga sudah menduga nama-nama Lamkwe Siansing, Ni Cap-pek, dan lain-lain itu cuma nama samaran belaka, kini hal ini terbukti benar. Tapi ia pun tidak mau membongkarnya, ia cuma menghela napas gegetun dan berkata pula, “Wah, nasib Thi Cian sungguh mujur...”

“Sudah tiga-empat tahun dia berdiam di pulau sana dan memang tidak sedikit ilmu silat yang telah dipelajarinya,” tutur Kui-tong-cu. “Jika yang pergi ke sana adalah dirimu, mungkin kau sudah kami lemparkan ke laut untuk umpan ikan hiu.”

Li Toa-jui menyengir, katanya, “Meski Cayhe bukan orang baik-baik, tapi Thi Cian juga tidak lebih baik dari padaku, mengapa para Cianpwe justru menyukai dia?”

Kui-tong-cu menarik muka, tanyanya, “Coba jawab, jika berkelahi, dapatkah kau nekat seperti dia?”

“Ini... ini memang betul kacek sedikit,” jawab Li Toa-jui dengan tergagap.

“Nah, justru kami menyukai sifatnya yang nekat dan berani itu, makanya kami anggap dia pantas dididik,” kata Kui-tong-cu.

Terpaksa Li Toa-jui tidak berani bicara lagi, tapi di dalam hati ia mengumpat, “Kalian sama-sama orang gila, tentu saja sekali pandang lantas cocok.”

Sejak tadi yang menjadi pikiran Han-wan Sam-kong hanyalah keselamatan Siau-hi-ji, demi mendengar cerita Kui-tong-cu itu, tiba-tiba timbul rasa ingin tahunya, segera ia pun bertanya, “Jika para Cianpwe sudah hidup tirakat di dunia luar sana, mengapa sekarang kembali lagi ke dunia ramai sini?”

“Hal ini disebabkan ulah si gila Thi Cian itu,” tutur Kui-tong-cu. “Sudah tiga tahun dia belajar silat dengan kami, pada suatu hari mendadak dia tidak mau belajar lagi. Kami tanya dia apa sebabnya? Dia berani menjawab bahwa ilmu silat kami ini total jenderal juga tak dapat menandingi Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu, andaikan semua ilmu silat kami telah dipahami seluruhnya juga tiada gunanya, maka ia lebih suka menghemat tenaga saja.”

Terbelalak mata Li Toa-jui, katanya, “Jika demikian, jadi kedatangan para Cianpwe ini adalah untuk mengukur tenaga dengan Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu?”

Kui-tong-cu menghela napas, katanya, “Ini namanya tua orangnya tidak tua batinnya, karena terlalu iseng lantas ingin bergerak.”

Sungguh girang Li Toa-jui tidak kepalang, tapi dia tidak memperlihatkan perasaannya itu, ia malah sengaja menghela napas gegetun dan berkata, “Tapi menurut pendapatku, akan lebih baik jika para Cianpwe lekas pulang saja.”

Seketika Kui-tong-cu mendelik, tanyanya, “Sebab apa?”

“Sebabnya, kutahu ilmu silat Yan Lam-thian memang luar biasa dan tiada bandingannya dari dulu hingga sekarang, mungkin para Cianpwe juga bukan...”

Belum habis ucapannya Li Toa-jui, seketika Kui-tong-cu berjingkrak gusar, katanya, “Aku justru tidak percaya dia mempunyai tiga kepala atau enam tangan, kecuali kalau sudah berhadapan dan bertanding.”

Li Toa-jui tahu akalnya sudah mencapai sasarannya, cepat ia ganti haluan dan berkata pula, “Entah cara bagaimana Cianpwe mendapat tahu urusan pernikahan Thi Sim-lan?”

Setelah muring-muring barulah Kui-tong-cu menjawab, “Setiba kami di daratan sini, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Betapa tua bangka kawanku itu justru tergila-gila pada seorang nona kecil di kota Bu-jing, katanya dia seniwati sejati, kepandaiannya memetik harpa tiada bandingannya di dunia ini, mereka kecantol di sana dan tidak mau berangkat lagi. Tentu saja aku sangat mendongkol, tapi apa dayaku? Terpaksa aku berkeluyuran sendirian kian kemari, sampai di sini belum bertemu dengan orang lain, tapi dapat menyelamatkan si harimau she Pek itu.”

“Wah, mujur juga dia,” kata Li Toa-jui.

“Waktu kutemukan dia, keadaannya sudah kempas-kempis dan hampir mampus,” tutur Kui-tong-cu. “Kuantar dia ke kelenteng hwesio di kaki bukit sana, belum lagi lukanya sembuh kalian lantas datang.”

“Eh, kiranya Cianpwe juga berada di kelenteng sana, mengapa Cayhe tidak melihat Cianpwe?” tanya Li Toa-jui sambil menyengir.

“Hm, tadi aku pun berada di belakangmu dan dapatkah kau lihat diriku?” jengek Kui-tong-cu.

Li Toa-jui menghela napas, katanya kemudian, “Rupanya diam-diam Cianpwe telah mendengar rencana kami, engkau lantas beri tahukan Thi Cian dan menyuruh mereka lekas kemari sehingga mereka mau tak mau harus meninggalkan pemetik harpa yang memikat mereka itu.”

“Ehm, tampaknya kau tidak terlalu bodoh, akhirnya kau paham duduknya perkara,” ucap Kui-tong-cu dengan tertawa.

Pada saat itulah mendadak terdengar Thi Cian berteriak di depan sana, “Kau bilang Siau-hi-ji berada di bawah bukit ini? Memangnya dia juga serupa Sun Go-kong, itu siluman kera yang ditindih dengan gunung oleh sang Buddha?”

Kiranya rombongan mereka sudah sampai di Ku-san atau Bukit Kura-kura. Tanpa menghiraukan urusan lain, segera Han-wan Sam-kong memburu ke depan, dilihatnya Thi Cian sedang menjambret leher baju To Kiau-kiau dan meraung gusar, “Kau yang memasukkan dia ke sana, maka kau harus mengeluarkannya pula.”

“Mana aku memiliki kesaktian setinggi itu?” jawab To Kiau-kiau sambil meringis.

“Habis siapa kalau bukan kau?” tanya Thi Cian.

“Sialan, untuk apa tanya lagi tetek bengek begitu?” teriak Han-wan Sam-kong tak sabar. “Ketahuilah, sudah tujuh-delapan hari Siau-hi-ji kelaparan di dalam sana.”

“Sudah tujuh-delapan hari?” teriak Thi Cian. “Padahal bocah she Hoa hanya kelaparan dua-tiga hari dan sudah kurus kering seperti ini, jika Siau-hi-ji sudah kelaparan tujuh-delapan hari, apakah jiwanya tak amblas?”

Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong sangat memerhatikan keselamatan Siau-hi-ji, ia khawatir banyak bicara hanya membuang-buang waktu belaka dan lupa menggali gunung, maka cepat ia berseru kepada si Singa Gila Thi Cian, “Ayolah kita lekas bekerja, mumpung kumpul orang sebanyak ini, mungkin kita masih keburu menyelamatkannya.”

“Betul, di sini sudah tersedia alatnya, ada pacul, ada sekop, barang siapa ingin menolong Siau-hi-ji, ayolah lekas bekerja!” demikian Li Toa-jui berteriak-teriak. Memang ia sendiri yang menyembunyikan alat-alat penggali itu, maka dengan cepat dikeluarkannya pula.

“Hm, baru sekarang kau mencari muka, mungkin sudah terlambat,” jengek To Kiau-kiau sambil melototi Li Toa-jui.

Dalam pada itu beramai-ramai orang sama berebut mengambil alat-alat penggali itu dan mulailah mendongkel dan mencangkul, bahkan para nyonya muda yang biasanya cuci pakaian saja tidak pernah, sekarang juga ikut kerja bakti. Karena kehabisan cangkul, sekop, dan linggis, mereka lantas menggunakan pedang dan senjata masing-masing untuk menggali. Seketika terdengarlah suara gemerantang menggema angkasa.

To Kiau-kiau menghela napas, ucapnya, “Tadinya kukira semua orang sama menginginkan Siau-hi-ji lekas mati, tak tersangka semua orang justru mengharapkan dia tetap hidup. Wahai Siau-hi-ji, jika demikian, biar mati pun cukup berharga bagimu.”

“Memang benar,” Pek Khay-sim pun gegetun. “Jika aku terkurung di perut gunung ini, mungkin anjing hutan pun takkan menolong diriku.”

“Hm, tak tersangka kau pun tahu diri,” jengek Li Toa-jui. “Kau memang tidak lebih berharga dari pada anjing hutan.”

“Huh, apa yang kau girangkan?” jawab Pek Khay-sim. “Seumpama orang-orang ini bekerja keras tanpa berhenti, sedikitnya juga memerlukan waktu setengah hari baru dapat mencapai perut gunung, tatkala mana Siau-hi-ji mungkin sudah menjadi gereh (ikan kering asin).”

Sementara itu Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan sama mencucurkan air mata, meski bersemangat juga menyaksikan usaha orang banyak yang berhasrat menolong Siau-hi-ji, tapi mereka pun tahu harapan sangat tipis.

Mendadak Pek-hujin mendekati Thi Sim-lan, tangannya membawa sebuah bungkusan yang berlepotan minyak, katanya dengan menunduk, “Dalam bungkusan ini ada sepotong ayam goreng dan beberapa potong wajik, sengaja kubungkus tadi di luar tahu mereka, perut kenyang baru ada tenaga untuk menolong Siau-hi-ji.”

Thi Sim-lan sangat terharu, dengan suara tersendat-sendat ia berkata, “Engkau juga... juga ingin menolongnya?”

Pek-hujin mengucek mata, katanya dengan tersenyum, “Meski aku tidak tahu jelas sesungguhnya dia orang macam apa, tapi kupikir bila dia dapat... dapat hidup di dunia ini, tentu semua orang akan sangat bergembira.”

Bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin tiada seorang pun di dunia persilatan ini mau percaya apa yang terjadi sekarang.

Bahwa ada beberapa kongcu keluarga terkemuka di dunia kangouw mau bekerja bakti bercampur-baur dan bersama-sama menyingsing lengan baju dengan Cap-toa-ok-jin yang terkenal jahat. Malahan para nona keluarga Buyung yang selamanya tidak pernah cuci piring, tangan yang selalu halus terpelihara sekarang juga mau mengorek-ngorek tanah.

Dan semua ini hanya demi menolong seorang anak muda dua puluhan tahun, bahkan anak muda ini berasal dari Ok-jin-kok.

Siapakah yang mau percaya peristiwa ini?

Mendadak terdengar suara tambur bergema, kawanan kakek dari Bu-beng-to telah membunyikan alat musik mereka untuk mendorong semangat kerja orang banyak, seketika batu pasir berhamburan, setiap orang bekerja tanpa kenal lelah.

Dan mereka telah benar-benar menciptakan keajaiban, tidak sampai setengah hari sudah belasan rintangan dinding dijebol, mereka berhasil menyerbu ke dalam perut gunung.

Segera Hoa Bu-koat dan Han-wan Sam-kong mendahului menerjang ke dalam, meski penuh semangat, tapi diam-diam mereka pun khawatir... khawatir menemukan mayat Siau-hi-ji.

Mestinya Hoa Bu-koat ingin berteriak memanggil, tapi jantungnya berdebar keras sehingga suara pun sukar keluar.

Dilihatnya di atas kursi batu yang terbelah menjadi dua itu tertaruh sebotol arak, di lantai berserakan potongan gombal. Bu-koat mengenali robekan kain itu berasal dari baju yang dipakai Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu.

Seketika pucat muka Hoa Bu-koat, tangan terasa gemetar, sehingga untuk memungut potongan kain itu pun tidak sanggup.

“Ap... apakah kain baju mereka?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Ehm,” Bu-koat mengangguk dengan cemas. Hati Han-wan Sam-kong juga gelisah, orang semacam Siau-hi-ji, kalau tidak mengalami kejadian luar biasa mana bisa kain bajunya terobek begini? Diam-diam dia membayangkan sesuatu yang sukar untuk dijelaskan. Hakikatnya mereka tidak berani mencari lagi, mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk menghadapi kenyataan yang kejam itu.

Lantas apa yang telah terjadi sesungguhnya atas diri Siau-hi-ji, Ih-hoa-kiongcu dan So Ing? Mengapa baju mereka robek-robek, dirobek siapa?

“Apakah arak isi botol ini?” tiba-tiba Buyung San bertanya.

“Ya,” jawab Han-wan Sam-kong setelah mengendus isi botol.

Seketika terbeliak mata Buyung San, ucapnya dengan girang, “Jika botol berisi arak, maka besarlah harapannya!”

“Ap... apa sebabnya?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Arak juga dapat menahan lapar, dengan minum arak ini, mereka dapat bertahan beberapa hari lebih lama,” tutur Buyung San.

Serentak Han-wan Sam-kong berjingkrak girang, teriaknya, “Siau-hi-ji, Siau-hi-ji, di mana kau? Kawan-kawanmu datang semua untuk menolong engkau!”

Tanpa pikir panjang ia terus menerjang ke dalam. Namun gua yang luas itu tiada terlihat bayangan seorang pun, hanya kumandang suaranya yang mendengung memekak telinga. Di manakah Siau-hi-ji? Apakah karena kelaparan sehingga bersuara saja tidak sanggup lagi.

Jalan masuk lorong di bawah tanah itu tidak tertutup, mereka dapat menemukan jenazah Gui Bu-geh dan menemukan “kakus darurat” yang aneh dan berbau ciptaan Siau-hi-ji itu. Namun tidak seorang pun ditemukan meski mereka sudah menggeledah seluruh pelosok gua di bawah tanah itu.

Lalu ke manakah Siau-hi-ji dan lain-lain, memangnya mereka dapat menghilang? Jika sudah mati, ke manakah tulang belulang mereka? Masa lenyap begitu saja?

Semua orang saling pandang dengan bingung dan berdiri terkesima.

Selang agak lama barulah Han-wan Sam-kong buka suara dengan tertawa, “Keparat, kuyakin di dunia ini tiada suatu tempat yang dapat mengurung Siau-hi-ji, bahwa kita berkhawatir baginya di sini, tapi tahu-tahu dia malah sudah pergi dari sini.”

“Dia sudah pergi?” tanya Li Toa-jui.

Han-wan Sam-kong menjadi gusar, dampratnya, “Kau anak kura-kura ini memang berharap Siau-hi-ji mati terkurung di sini bukan?”

Li Toa-jui menghela napas, katanya, “Aku pun berharap dia dapat lolos dari sini, akan tetapi barusan sudah kuperiksa setiap tempat ini dengan teliti, pada hakikatnya tiada jalan keluar sama sekali.”

“Aku pun tahu di sini tiada jalan keluarnya, tapi Siau-hi-ji pasti mempunyai akal untuk keluar,” kata Han-wan Sam-kong.

“Akal apa yang dia punyai? Seumpama dia dapat keluar dengan menghancurkan dinding, sedikitnya pasti akan meninggalkan bekas-bekas, kecuali dia bisa menirukan Kau-ce-thian (si Kera Sakti) yang mahir berubah bentuk lalu berubah menjadi seekor lalat dan terbang keluar.”

Padahal Han-wan Sam-kong juga tahu apa yang dikatakan Li Toa-jui memang tidak salah, kalau sekeliling ini hanya dinding batu yang licin tanpa sesuatu bekas apa pun, jelas Siau-hi-ji tidak pernah membobol dinding dan dengan sendirinya pula tidak bisa keluar.

Akan tetapi, kalau mereka tidak keluar, tentunya mereka masih berada di dalam gua ini. Lantas ke mana perginya mereka?

Han-wan Sam-kong lantas mengomel, “Keparat, kau anak kura-kura ini bilang mereka keluar, lantas di mana mereka kini? Sehelai rambut saja tidak kita temukan?”

Li Toa-jui hanya termenung tanpa menjawab, mendadak Pek Khay-sim berseru, “Aha, kutahu sekarang, tentu karena Hoa-kut-san (obat pencair tulang).”

Istilah “Hoa-kut-san” membuat Han-wan Sam-kong dan Hoa Bu-koat merasa ngeri, lebih-lebih Thi Sim-lan, hampir gila dia karena cemasnya.

Li Toa-jui melototi Pek Khay-sim, katanya, “Apakah maksudmu mereka telah dibunuh oleh Gui Bu-geh, lalu Gui Bu-geh menghancurkan mayat mereka dengan Hoa-kut-san?”

“Aku tidak pernah bicara demikian, kau sendiri yang berkata begitu?” ucap Pek Khay-sim dengan menyengir.

Mendadak Thi Sim-lan berkeluh perlahan, lalu jatuh pingsan.

Dalam keadaan demikian memang tiada jawaban lain kecuali satu, yakni, kalau Siau-hi-ji dan lain-lain tidak keluar dan juga tidak ditemukan di sini maka sudah barang tentu karena mayat mereka telah dihancurkan, inilah yang dapat diterima dengan akal sehat.

Sampai-sampai Thi Cian juga menggeleng-geleng sambil menghela napas menyesal, gumamnya, “Sebenarnya aku sangat ingin tahu bagaimana macamnya anak muda itu, sebab apa anak perempuanku sampai terpikat olehnya? Siapa tahu bocah ini tidak mempunyai rezeki untuk bertemu dengan calon mertuanya, sekarang sekerat tulang saja tidak tertinggal di sini.” Lalu ia tepuk pundak Thi Sim-lan, yang siuman, katanya, “Jangan khawatir anakku, jika bocah itu tiada rezeki memperistrikan dirimu, biarlah sedikit hari lagi kucarikan gantinya bagimu.”

Mendingan jika dia tidak berkata begitu, mendengar ucapannya ini, remuk redamlah hati Thi Sim-lan, menangis saja tak sempat dan kembali dia jatuh pingsan pula.

“Apakah mereka terkurung di sini oleh Gui Bu-geh,” tiba-tiba Kui-tong-cu bertanya.

“Ya, mungkin begitu,” kata Li Toa-jui.

“Jika demikian, mengapa Gui Bu-geh sendiri bisa mati di sini?” ujar Kui-tong-cu.

“Bisa jadi lantaran Gui Bu-geh tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri kematian mereka,” kata To Kiau-kiau.

“Betul, alasan ini masuk di akal,” kata Kui-tong-cu. “Tapi kalau Gui Bu-geh dapat membunuh mereka serta menghancurkan mayat mereka, maka Gui Bu-geh sendiri mestinya tidak perlu mati. Memangnya arwah korbannya itu telah menuntut balas dan membunuh pula Gui Bu-geh.”

“Kematian Gui Bu-geh adalah karena minum racun sendiri, masa Cianpwe tidak dapat melihatnya?” kata Kiau-kiau.

“Jika dia sudah membunuh habis orang lain. Mengapa ia sendiri minum racun?” kata Kui-tong-cu.

“Ya, ini memang...” Kiau-kiau melengak dan tak dapat menanggapi.

“Jelas Gui Bu-geh merasa yakin orang lain tidak berani membunuhnya, makanya ia sendiri berani tinggal di sini untuk menyaksikan tontonan menarik.”

“Betul,” tukas Li Toa-jui. “Jika Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu ingin keluar, maka mereka tidak dapat membunuh Gui Bu-geh, sebab dia satu-satunya orang yang tahu seluk-beluk ruangan di bawah ini. Tapi apakah dia tidak khawatir bila orang menyaksikan dan memaksa dia mengaku segala rahasia tempat ini.”

“Dia sendiri mengira tempat sembunyinya sangat rahasia dan pasti tak dapat ditemukan orang lain,” kata Kui-tong-cu. “Tak diduganya bahwa Siau-hi-ji dan lain-lain jauh lebih lihai dari pada perkiraannya dan tetap berhasil menemukan dia, lantaran tidak tahan siksaan waktu disuruh mengaku, akhirnya dia membunuh diri dengan minum racun, ia tahu bila mana dia sudah mati, maka orang lain pasti juga akan mati terkurung di sini dan ini pun sama dengan sakit hatinya telah terbalas.”

Rekaan Kui-tong-cu ternyata selisih tak jauh dari pada apa yang terjadi sesungguhnya. Maklumlah, Han-wan Sam-kong, Hoa Bu-koat, Li Toa-jui, dan lain-lain, sedikit-banyak mereka berkhawatir bagi keselamatan Siau-hi-ji sehingga benak mereka tak dapat bekerja dengan tenang, sebaliknya Kui-tong-cu tidak kenal Siau-hi-ji, sebagai penonton di luar garis dengan sendirinya dia dapat melihat lebih jelas persoalannya dari pada orang yang ikut bermain.

Han-wan Sam-kong menjadi girang mendengar uraian Kui-tong-cu tadi, katanya, “Jika demikian, tentunya Gui Bu-geh mati terlebih dulu dari pada Siau-hi-ji.”

Kui-tong-cu tertawa pula, katanya, “Betapa pun tinggi kepandaian Gui Bu-geh, masakah ia mampu membunuh Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu sekaligus?”

“Betul,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa. “Jangankan cuma seorang Gui Bu-geh, sepuluh orang Gui Bu-geh juga tidak mampu.”

“Kalau ilmu silatnya tidak cukup untuk membunuh Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu, apakah Gui Bu-geh tak dapat membunuh mereka dengan racun?” tiba-tiba Pek Khay-sim menyela.

Seketika dingin pula kaki dan tangan Han-wan Sam-kong, ia tidak dapat tertawa lagi.

Pek Khay-sim lantas menyambung, “Kata peribahasa minum racun untuk menghilangkan dahaga. Seorang kalau sudah tak tahan lagi karena hausnya, sekali pun tahu di dalam arak ada racunnya tetap juga akan diminumnya, betul tidak?”

“Tidak betul!” jawab To Kiau-kiau tiba-tiba.

“Kau tahu apa? Kau tahu kentut?” jengek Pek Khay-sim.

Kiau-kiau tidak menggubrisnya, dengan perlahan ia berkata, “Dalam arak sama sekali tidak beracun, setiap botolnya sudah kuperiksa dan kucium tadi.”

Han-wan Sam-kong bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, kita sudah berkenalan puluhan tahun lamanya, baru sekarang kudengar kau bicara sebagai manusia dan juga berbuat sesuatu kebaikan secara manusia.”

Pek Khay-sim berkedip-kedip, ucapnya pula, “Jika demikian jadi Siau-hi-ji mereka tidak mungkin mati di sini.”

“Ya, pasti tidak,” seru Han-wan Sam-kong, Kui-tong-cu, dan Li Toa-jui berbareng.

Dengan perlahan Pek Khay-sim berkata, “Kalau sudah terang mereka tidak dapat keluar, kini mereka pun tidak terlihat mati di sini, lalu ingin kutanya pada kalian, ke manakah Siau-hi-ji?”

Pertanyaan ini membuat semua orang melengak, memang urusan ini benar-benar sukar untuk dibayangkan, siapa pun tidak dapat meraba dan menerkanya.

Sesungguhnya memang demikian, siapakah gerangannya di dunia ini yang tahu di manakah beradanya Siau-hi-ji sekarang? Siapa pula yang tahu saat ini dia sudah mati atau masih hidup?

Dalam hati setiap orang penuh diliputi tanda tanya, semuanya ingin bertanya dengan jelas, tapi siapa pun tidak tahu kepada siapa mereka harus bertanya? Terpaksa mereka cuma berdiri melenggong saja.

Ji Cu-geh, Ni Cap-pek, Nenek Siau, dan lain-lain tergolong jago tua yang berpengalaman, mereka pun tidak mudah terpengaruh oleh persoalan duniawi, kini mau tak mau mereka pun ikut memeras otak memikirkan persoalan ini.

Maklumlah, urusan ini sesungguhnya memang teramat aneh, teramat ajaib, mau tak mau mereka menjadi tertarik dan ingin tahu.

Yang paling cemas jelas ialah Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong. Thi Sim-lan paling sedih, sedangkan Pek Khay-sim terus-menerus mengejek, Ha-ha-ji juga tidak sanggup berkata lagi. Cuma Toh Sat saja tetap dingin dan kaku wajahnya, entah apa pula yang lagi dipikirnya.

Sekonyong-konyong terdengar Hoa Bu-koat berseru, “He, bukankah bagian bawah sepatu kalian sama basah, betul tidak?”

Karena sedang dirundung pikiran berat, tentu saja tiada seorang pun yang memerhatikan sepatu masing-masing. Apakah sol sepatu mereka basah atau kering kan tiada sedikit pun sangkut pautnya dengan urusan mereka. Namun suara Hoa Bu-koat itu jelas penuh rasa gembira dan bersemangat, seakan-akan anak muda itu mendadak menemukan sesuatu hal yang sangat penting, karena itulah, tanpa disuruh mereka sama angkat kaki untuk memeriksa telapak sepatu masing-masing.

Dan sedikitnya ada separuh dari sepatu mereka memang benar basah. Malahan kasut rumput yang dipakai Han-wan Sam-kong hampir basah seluruhnya.

“Keparat, memangnya ada apa kalau sol sepatu basah segala?” omel Ok-tu-kui.

Segera Pek Khay-sim berolok-olok, “Hehe, dalam keadaan begini ternyata ada orang yang merasa urusan sepatu jauh lebih penting dari pada mati hidup kawan sendiri, sungguh hebat dan luar biasa.”

Tapi Hoa Bu-koat tak menggubris ocehannya, ia tetap bersemangat dan berkata pula, “Padahal di tempat ini tiada terdapat air, mengapa sepatu kita bisa basah? Jika Gui Bu-geh ingin membuat mereka mati kelaparan dan kehausan, kenapa di sini bisa ada air?”

Setelah mendengar ucapan ini barulah semua orang merasakan hal ini memang benar sesuatu yang aneh dan menarik.

Segera Han-wan Sam-kong bersuara, “Tapi urusan ini ada sangkut paut apa dengan menghilangnya Siau-hi-ji?”

“Sudah tentu erat sangkut pautnya,” kata Bu-koat. “Jika tidak meleset dugaanku, kini dapat kuketahui di mana beradanya Siau-hi-ji.”

“He, lekas katakan, di mana dia sekarang?” seru Han-wan Sam-kong girang.

Belum sempat Bu-koat menjawab, terus saja ia lari ke lorong di bawah tanah sana.

Di dalam gua yang lembap ini bau “kakus darurat” itu benar-benar sangat menusuk hidung. Lebih-lebih bau busuk jenazah Gui Bu-geh hampir-hampir membuat mereka muntah.

Bila dalam keadaan biasa, tentu para kakak beradik Buyung tak mau turun ke lorong sana, tapi sekarang Hoa Bu-koat telah mendahului masuk ke sana, segera beramai-ramai mereka pun ikut masuk ke situ.

Bagi mereka, asalkan mendapat tahu jejak Siau-hi-ji sekarang, asalkan bisa mengetahui duduk persoalannya, sekali pun di lorong bawah tanah ini adalah sebuah jamban juga tak dipedulikan lagi dan semuanya pasti juga akan ikut turun ke sana.

Segera Pek Khay-sim menjengek, “Hm, kukira kalian pun jangan keburu bergirang, bisa jadi yang membuat basah telapak sepatu adalah arak.”

“Bukan arak, sudah kuperiksa,” kata Kiau-kiau. “Sudah kuendus tadi.”

“Aneh,” ucap Pek Khay-sim sambil berkerut kening. “Mengapa ada sementara orang suka main endus-endus seperti hidung anjing.”

To Kiau-kiau tidak marah, ia malah tertawa dan berkata, “Jika aku berhidung anjing, maka kau bermulut anjing.”

Di lorong bawah tanah itu ternyata ada air, bahkan makin ke bawah makin dalam air yang menggenang di situ sehingga hampir mencapai pergelangan kaki, jelas pada suatu tempat tertentu ada aliran air yang terus-menerus, meski tidak keras aliran air itu tapi juga cukup deras.

“Buset, sungguh aneh, di dalam gua ada air mengalir, memangnya di perut gunung ini ada sungainya?” demikian kata Han-wan Sam-kong.

Siapa pun tak paham dari manakah air ini mengalir masuk. Terlihat Hoa Bu-koat lagi berjongkok dan memeriksa keadaan air dengan teliti, perlahan-lahan ia memasuki kamar rahasia Gui Bu-geh tadi.

Di dalam kamar itu berbau busuk sekali. Tadi karena di situ tidak ditemukan orang hidup, maka semua orang cepat keluar lagi. Tapi sekarang setelah mereka merasa kunci dari pada rahasianya bisa jadi terdapat di kamar ini, mereka tidak pikirkan bau busuk pula, berbondong-bondong mereka lantas ikut masuk lagi ke situ.

Terdengar Bu-koat lagi berseru, “Betul juga, di sinilah tempatnya.”

Dia berdiri di depan “kakus” yang dibangun Siau-hi-ji dari peti mati batu itu dengan air muka berseri girang. Namun di situ tetap tidak tampak seorang hidup lainnya.

“Kau bilang Siau-hi-ji berada di sini?” Pek Khay-sim lantas menegas. “Tapi di manakah dia? Memangnya dia telah mampus tenggelam oleh air kencingnya sendiri?”

Belum habis ucapannya, mendadak Toh Sat meraung gusar, “Persetan, omong melulu!” Di tengah bentakannya itu, kontan Pek Khay-sim terpukul mencelat hingga melintas kepala orang banyak dan terbanting jauh di lorong sana, mungkin kesakitan, segera terdengar Pek Khay-sim merintih.

Pek-hujin berlagak tidak terjadi apa-apa, tapi sejenak kemudian ia pun tidak tahan, diam-diam ia mundur ke sana. Terdengar ia mengomel, “Sudah kusuruh tutup mulut, tapi kau selalu nyap-nyap melulu dan mencari penyakit sendiri.”

“Peduli kentutmu!” jawab Pek Khay-sim sambil merintih.

“Memangnya memedulikan siapa jika bukan memedulikan dirimu?” ujar Pek-hujin. “Zaman ini mencari suami bukanlah pekerjaan yang mudah, memangnya kau ingin membuat aku menjadi janda lagi?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar