Bahagia Pendekar Binal Jilid 29

“Ke mana pun tidak menjadi soal bagiku,” kata si hitam kurus sambil menghela napas panjang. “Bagiku tempat mana pun sama saja.”

Segera Han-wan Sam-kong berkata, “Jangan kalian kira saudaraku ini ketolol-tololan, yang benar dia adalah lelaki sejati, apa yang sudah diucapkannya tidak akan dijilatnya kembali.”

“Aku pun percaya penuh,” kata si nyonya baju ungu dengan tersenyum.

“Jika demikian, ayolah kalian pasang!” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa, segera ia angkat mangkuk dadu itu dan mulai dikocok, tanyanya kemudian sambil melototi si nyonya baju ungu, “Sekali ini kau pegang besar atau kecil?”

“Besar!” jawab si nyonya baju ungu tanpa ragu. Dia tetap pasang ‘besar’, padahal tadi dia sudah kalah tujuh kali.

Seketika terjadi kegemparan di antara para penonton, semua seakan-akan sudah membayangkan nyonya cantik ini pasti akan kalah lagi.

Segera Han-wan Sam-kong angkat mangkuk dan mengguncang dadu. ‘Brek’, mendadak ia taruh kembali mangkuk dadu, tangan memegang tutup mangkuk dan tidak segera dibukanya.

Pada waktu mengocok dadu sama sekali Han-wan Sam-kong tidak tegang. Tapi setelah berhenti mengocok, mau tak mau ia menjadi agak tegang, betapa pun cara taruhan ini memang luar biasa.

Sebaliknya ketiga nyonya itu tetap tenang saja sambil tersenyum seolah-olah meremehkan pertaruhan ini.

Semua orang juga ikut menahan napas, suasana dalam kasino menjadi hening, begitu sunyi sehingga bunyi jarum jatuh ke lantai saja akan terdengar.

Sekonyong-konyong Han-wan Sam-kong berteriak, “Buka!”

Waktu tutup mangkuk diangkat, titik ketiga dadu menunjukkan lima-enam-enam atau sama dengan tujuh belas.

“Besar!” Akhirnya tepat juga pasangan para nyonya jelita itu.

Serentak ada sebagian penonton bersorak gembira tanpa terasa. Maklum, betapa pun penjudi-penjudi juga manusia, manusia pada umumnya tentu bersimpatik kepada kaum lemah, konon perempuan itu kaum lemah. Selain itu, biasanya kaum penjudi juga bersimpatik kepada pihak yang kalah, asalkan saja pihak yang menang bukan mereka sendiri.

Setelah jelas kalah, Han-wan Sam-kong bahkan tidak tegang lagi, ia bergelak tertawa, serunya, “Bagus, bagus! Rupanya kalian sudah resmi diterima menjadi murid oleh malaikat judi, maka sekali-sekali kalian pun diberi menang. Jika kalian hanya kalah melulu tentu selanjutnya kalian akan kapok.”

Si nyonya baju ungu tersenyum, katanya, “Jika demikian, jadi sekali ini kami yang menang?”

“Dengan sendirinya kalian yang menang, masa kami menyangkal?” ujar Han-wan Sam-kong.

“Kalau begitu, bandar kan harus bayar!” kata si nyonya baju ungu.

Tertegun juga Han-wan Sam-kong, ia mengusap keringat di mukanya, lalu berkata, “Masa nona benar-benar menghendaki aku ikut pergi bersama kalian?”

“Yang kami kehendaki bukanlah dirimu,” jawab si nyonya baju ungu sambil menggeleng.

Han-wan Sam-kong menjadi heran, tanyanya dengan tertawa, “Bukan diriku? Habis siapa?”

“Dia!” kata si nyonya baju ungu sambil menunjuk si hitam kurus di samping Han-wan Sam-kong, lalu melanjutkan dengan tersenyum, “Silakan saudara ini ikut pergi bersama kami.”

Untuk sejenak si hitam kurus kecil itu melenggong, tapi, mendadak ia pun berdiri dan melangkah keluar.

Cepat Han-wan Sam-kong mencegahnya sambil berseru, “He, kau... kau benar-benar hendak pergi?”

“Ehm,” jawab si hitam kurus.

Han-wan Sam-kong berkerut kening, katanya pula, “Tapi modal judi ini ada setengahnya milikmu.”

“Untukmu seluruhnya,” jawab si hitam kurus. Maklumlah, sedangkan jiwa raga sendiri saja tak sayang lagi, apalagi harta benda segala.

Si nyonya baju ungu tersenyum, katanya, “Jangan khawatir, ikutlah bersama kami, pasti takkan merugikan kau.”

Tapi si hitam mirip orang linglung dan tiada menghiraukan perkataan mereka, ia tetap berdiri kaku seperti patung.

Para nyonya itu tersenyum kepada Han-wan Sam-kong, lalu membalik ke sana dan melangkah pergi.

Sejak tadi Han-wan Sam-kong hanya memandangi mereka dengan terbelalak, mendadak ia membentak, “Nanti dulu!” Berbareng itu tubuhnya yang besar itu terus mengapung ke atas, seperti seekor burung raksasa ia melayang ke ambang pintu dan tepat mengadang di depan ketiga nyonya jelita.

Melihat Ginkangnya yang hebat itu, tanpa terasa para penonton sama berteriak, ada yang berteriak karena kagum, ada yang berseru karena kejut.

Namun ketiga nyonya cantik itu tetap tenang-tenang saja, sampai mata pun tidak berkedip, si baju ungu membuka suara dengan tersenyum, “Kami tidak ingin berjudi lagi dan ingin pulang saja, harap Tuan memberikan jalan.”

“Hah, baru sekarang kutahu tujuan kalian adalah Oh-lauteku ini,” jengek Han-wan Sam-kong, “Sesungguhnya kalian hendak mengapakan dia? Akan bawa dia ke mana?”

“Semua ini tidak perlu kau urus,” jawab nyonya baju ungu dengan ketus, “Kau sendiri sudah bilang, boleh main nakal, boleh main licik tapi tidak boleh curang dan tidak membayar. Sekarang kau sudah kalah, masa akan ingkar janji?”

Muka Ok-tu-kui menjadi agak merah, namun dia masih penasaran, tanyanya pula, “Jika kalian kalah apakah benar-benar kau mau ikut padaku?”

“Jika kami kalah, dengan sendirinya ada di antara kami yang ikut pergi bersamamu,” jawab si nyonya baju ungu dengan hambar. “Mana jumlah saudara sekeluarga kami kan sangat banyak...”

Tiba-tiba mata Han-wan Sam-kong terpicing hingga cuma tinggal sejalur sempit saja, ia pandang ketiga nyonya jelita ini dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu menegas, “Kau bilang kalian bersaudara banyak?”

“Ya, sangat banyak,” jawab si nyonya baju ungu.

“Adakah sembilan orang?” tanya Han-wan Sam-kong.

Sejenak si nyonya baju ungu terdiam, tapi akhirnya menjawab, “Ya, tidak kurang dan tidak lebih memang persis sembilan.”

Mendengar ini, mata Han-wan Sam-kong yang terpicing itu kembali terpentang lebar, bahkan melotot hingga sebesar gundu. Si hitam kurus kecil yang sejak tadi diam-diam saja mendadak juga tergetar, mukanya seketika berubah merah, serasa tersirap darah di sekujur badannya, dengan melotot ia bertanya, “Apakah engkau... Buyung...”

Si nyonya baju ungu tertawa, jawabnya, “Aku Jit-nio (ketujuh), ini Lak-ci (kakak keenam), dan itu Pat-moay (adik kedelapan).”

Kedua nyonya muda di sampingnya juga tersenyum manis, kata salah satu yang disebut Lak-ci itu, “Meski kau tidak pernah melihat kami, tapi sudah lama kami tahu akan dirimu.”

Air muka si hitam tiba-tiba berubah pucat sambil menyurut mundur.

Si nyonya baju ungu atau Buyung Jit-nio lantas berkata, “Kami pun tahu ucapanmu adalah seperti emas yang tak pernah berubah karatnya.”

“Hahahaha! Menurut berita di dunia Kangouw, katanya sembilan kakak beradik Buyung kebanyakan sudah mendapatkan suami pilihan, bahkan kakak beradik Buyung itu rata-rata memiliki dua-tiga jurus,” seru Han-wan Sam-kong.

“Perempuan yang tidak punya dua-tiga jurus, mana bisa mendapatkan suami baik?” Buyung Jit-nio menanggapi dengan tak acuh.

“Betul, tepat!” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa. Lalu dia menyambung pula, “Hampir semua orang Kangouw juga tahu, ilmu silat paling tinggi di antara kakak beradik Buyung itu adalah Ji-ci (kakak kedua) Buyung Siang, sedang yang paling pintar bekerja ialah Buyung Kiu, si bungsu.”

Mendengar nama “Buyung Kiu” disebut, tiba-tiba muka si hitam kurus menjadi merah.

Tapi Han-wan Sam-kong lantas menyambung, “Padahal kalau menurut penilaianku, kalian bertiga toh tidak lebih jelek dari pada Buyung Kiu, hanya saja dalam pandangan kaum lelaki, perempuan yang masih perawan memang lebih cantik dari pada perempuan yang sudah bersuami.”

“Ehm, boleh juga cara bicaramu,” ujar Buyung Jit-nio dengan tertawa. “Nah, apa pula yang kau ketahui, boleh kau beberkan saja seluruhnya.”

“Kutahu bahwa nasib Buyung Kiu tidak sebaik kakak-kakaknya,” kata Han-wan Sam-kong. “Belum lama ini mendadak ia menghilang entah ke mana. Padahal kedelapan Cihunya (kakak iparnya) adalah berasal dari keluarga termasyhur di dunia ini, pergaulan mereka boleh dikatakan luas sampai tiap pelosok, namun sudah tiga tahun mereka mencari adik mereka itu dan tetap tak bisa menemukannya.”

“Hm, banyak juga yang kau ketahui,” jengek Buyung Jit-nio.

“Dunia selebar ini, untuk mencari seorang memang tidaklah mudah,” tukas Buyung Lak-nio dengan tertawa.

“Ya, tapi Oh-lauteku ini telah berhasil menemukannya,” sambung Han-wan Sam-kong “Bahkan dia sendiri menjadi seperti orang linglung dan mengantar si nona pulang ke rumah. Siapa duga, orang lain ternyata tidak mau terima kebaikannya itu, sebaliknya malah mengira dia yang menculik Buyung Kiu, dia diperlakukan seperti penculik dan ditanyai sampai dua-tiga hari lamanya, untung dia tidak sampai digebuk pantatnya dan tidak disiksa.”

“Ji-ci dan Sam-ci tidak bermaksud jahat padanya, mereka hanya menanyai dia mengenai pengalaman Kiu-moay selama ini,” ujar Buyung Jit.

“Ya, lantaran terlalu memperhatikan diri Kiu-moay, maka pada waktu menanyai dia Ji-ci dan Sam-ci menjadi agak kurang sabar,” tukas Buyung Lak. “Tapi apa pun juga kami tetap sangat berterima kasih padanya.”

“Sebab itulah waktu dia mohon diri untuk pergi, kami berkeras ingin memberi hadiah besar padanya,” demikian Buyung Pat menambahkan.

“Betul, waktu dia akan pergi, kalian bermaksud memberikan hadiah lima ribu tahil emas padanya,” kata Han-wan Sam-kong. “Jumlah ini memang tidak sedikit, jika dibagikan kepada barisan pengemis yang antre, sedikitnya cukup untuk seratus ribu orang atau lebih.”

Makin omong makin dongkol Han-wan Sam-kong, sampai di sini mendadak ia berjingkrak murka dan meraung, “Tapi Oh-lauteku ini bukanlah pengemis, dia tidak sudi diberi sedekah. Dia bekerja menurut hati nurani sendiri, demi membela Kiu-moay kalian itu, beberapa kali jiwanya hampir menjadi korban, entah berapa banyak pahit-getir yang telah dirasakannya. Memangnya tujuannya hanya untuk mengincar beberapa tahil logam rongsokan kalian itu? Hm, kalian kakak beradik terkenal pintar dan cerdik, masa kalian tidak paham jalan pikirannya?”

Buyung Jit-nio menghela napas, ucapnya sambil tersenyum getir, “Bukan kami tidak paham, soalnya...”

“Soalnya semua menantu keluarga Buyung adalah orang terkemuka, sedangkan Oh-lauteku ini orang miskin juga tidak punya pangkat, lebih-lebih bukan berasal dari keluarga bangsawan segala, dengan sendirinya kalian keberatan menjodohkan Buyung Kiu kepadanya,” demikian jengek Han-wan Sam-kong, lalu dengan gusar ia berteriak pula, “Padahal Oh-lauteku ini kurang apa? Masa dia tidak setimpal berjodohkan adik perempuan kalian? Meski dia bukan orang kaya, tapi dia adalah seorang lelaki sejati yang gilang-gemilang, bila mana adikmu mendapatkan suami seperti dia, boleh dikatakan leluhur kalian yang telah banyak berbuat amal.”

Begitu karena nafsunya cara bicara, Han-wan Sam-kong sampai mencak-mencak sehingga jarinya hampir menunjuk ke batang hidung Buyung Jit.

Namun Buyung Jit tidak marah, ia bahkan menghela napas gegetun dan berkata, “Ya, kami pun tahu ia adalah orang yang baik dan tidak merendahkan Kiu-moay...”

“Masa baru sekarang kau tahu?” jengek Han-wan Sam-kong.

“Menurut cerita Toaci, ketika ia menyodorkan lima ribu tahil emas padanya, sekejap saja dia tidak memandang, lalu angkat kaki tinggal pergi tanpa berkata apa pun,” kata Buyung Jit.

“Dengan pergi begitu saja, kan kebetulan bagi kalian?” jengek Han-wan Sam-kong pula. “Kalian dapat menghemat lima ribu tahil emas dan adik kesayangan sudah pulang di rumah. Tapi untuk apa sekarang kalian mencari Oh-laute lagi dan akan kalian bawa ke mana?”

Kembali Buyung Jit menghela napas panjang, lalu berkata dengan sedih, “Karena kau sudah tahu segalanya, maka supaya maklum juga bahwa selama ini Kiu-moay jatuh sakit dan makin lama semakin berat sakitnya.”

“Hm, setahuku waktu Oh-laute mengantar Buyung Kiu pulang, penyakit linglungnya sudah tampak mulai baik. Justru lantaran kalian mengira penyakit adikmu pasti akan sembuh, makanya kalian tidak sudi menjodohkan dia kepada Oh-laute.”

“Ya, waktu itu kami mengira penyakitnya akan sembuh,” ujar Buyung Jit dengan gegetun. “Sebab waktu itu dia sudah seperti kenal Toaci dan mulai mau bicara. Siapa tahu begitu Oh... Oh-laute ini pergi, segera penyakitnya memburuk pula, bukan saja Toaci tak dikenalnya lagi, bahkan sepanjang hari tidak mau bicara sepatah kata pun.”

Buyung Lak menghela napas, katanya, “Jika bicara yang diucapkan hanya pertanyaan, ‘Sudah pergikah engkau?’ Dan akhirnya pertanyaan ini pun tidak diucapkannya lagi, sepanjang hari dia hanya duduk termenung sambil mencucurkan air mata.”

Si Hitam kurus kecil ini dengan sendirinya ialah Oh-ti-tu, si labah-labah hitam yang nyentrik dan angkuh itu.

Dia berdiri kaku seperti patung, tapi demi mendengar cerita kakak beradik Buyung itu, wajahnya yang kaku itu tiba-tiba berkerut-kerut pedih seakan-akan hatinya tertusuk jarum.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong lantas berkata pula, “Haha, kiranya nona Kiu itu pun seorang nona yang berperasaan halus, tidak percumalah Oh-laute begitu baik padanya.”

“Sampai sekarang kami baru tahulah isi hati Kiu-moay,” kata Buyung Lak. “Dengan sendirinya kami pun tahu segala di dunia ini dapat dipaksakan, hanya urusan ‘cinta’ saja yang tidak mungkin dipaksakan.”

“Ehm, betapa pun kalian masih cukup bijaksana,” ujar Han-wan Sam-kong.

“Penyakit Kiu-moay sudah seberat itu, tapi dia masih dapat merasakan kebaikannya, ini suatu tanda ia juga pasti sangat mencintai Kiu-moay,” kata Buyung Lak. “Setiap manusia kan terdiri dari darah daging, kalau urusannya sudah sejauh ini, siapa pun dia pasti juga takkan kami tolak lagi.”

“Sebab itulah kami lantas keluar mencarinya,” sambung Buyung Pat.

“Tapi kami pun tahu jejaknya sukar dicari,” tutur Buyung Pat. “Selagi kami merasa bingung ke mana mencarinya, untung waktu itu Gocihu (kakak ipar kelima) lewat kota Buhan dan sempat menyaksikan pertaruhan besar-besaran antara dia dengan engkau.”

“Siapa Go-cihu kalian? Cara bagaimana dapat mengenali kami?” tanya Han-wan Sam-kong.

Dengan tertawa Buyung Jit menjawab, “Gocihu kami ialah ‘Sin-gan-susing’ (si pelajar bermata sakti) Loh Beng-to. Beberapa tahun yang lalu dia pernah melihatmu satu kali. Setiap orang yang pernah dilihatnya satu kali, selama hidup pasti takkan dilupakan olehnya.”

“Seumpama dia dapat mengenali aku, tapi dia kan tidak kenal Oh-lauteku ini,” kata Han-wan Sam-kong. “Apalagi Oh-laute selalu pergi datang tanpa meninggalkan jejak. Orang yang pernah melihat tampang aslinya duga tidak banyak.”

“Semula Gocihu juga tidak kenal dia,” tutur Buyung Jit. “Tapi demi mencari dia, sebelumnya Sam-ci sudah banyak melukis gambarnya. Maka begitu pulang dan melihat gambarnya, segera Gocihu ingat di mana dia telah melihatnya.”

“Lukisan Sam-ci kami sangat bagus dan hidup,” kata Buyung Lak dengan tersenyum. “Pernah satu kali dia bergurau dengan Jicihu (kakak ipar kedua), Sam-ci sengaja melukis gambar Ji-ci dan digantung di dinding, Jicihu ternyata tidak dapat membedakan asli dan palsunya, ia mengajak bicara gambar Ji-ci sampai sekian lamanya.”

Buyung Pat menambahkan dengan tertawa, “Maklumlah Jicihu terlalu banyak membaca di malam hari sehingga matanya kurang tajam.”

“Hehe, keluarga kalian memang banyak orang-orang berbakat, pantas orang Kangouw sama segan kepada kalian,” kata Han-wan Sam-kong dengan gegetun.

“Setelah mendapat keterangan dari Gocihu, segera kami menyusul ke Buhan sini,” sambung Buyung Jit pula. “Untunglah cara bertaruh kalian di wilayah ini sudah terkenal, maka dengan cepat dapat kami menemukan kalian.”

“Tapi kalian jangan salah sangka, Oh-lauteku ini tidak sama dengan aku, dia bukan setan judi, dia berjudi karena pikirannya sedang kacau,” kata Han-wan Sam-kong.

“Memang, pada umumnya orang yang patah hati di medan asmara, kebanyakan lalu melarikan diri ke meja judi sebagai pelampiasan, makanya ada semboyan yang mengatakan ‘gagal di medan cinta menang di medan judi’. Padahal semboyan ini adalah ciptaan kawanan setan judi yang sengaja hendak menjerumuskan orang.”

Buyung Jit tertawa, katanya pula, “Jalan pikirannya cukup kami pahami, kami pun tahu dia seorang yang tinggi hati dan angkuh, jika kami datang mencarinya dengan begini saja tentu dia takkan ikut pergi bersama kami.”

“Makanya kami lantas menggunakan cara pertaruhan begini,” tukas Buyung Lak dengan tersenyum.

“Tapi kalau kalian yang kalah, lalu bagaimana?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Jika kami kalah memangnya apa kesukarannya, cukup asalkan salah satu di antara kami ikut pergi bersama kalian, kan beres?” jawab Buyung Jit.

“Ah, betul juga,” kata Han-wan Sam-kong.

“Makanya, bila kami kalah, tentu kami akan menyuruh Kiu-moay ikut pergi bersama kalian, kami yakin kalian pasti takkan membuat susah Kiu-moay, asalkan dia gembira, siapa yang ikut siapa kan tiada bedanya?”

“Hebat, kalian memang hebat...” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak.

“Tapi kami telah membikin susah padamu, engkau jadi kehilangan seorang sekutu yang baik,” ujar Buyung Jit pula. “Sebab bila dia sudah menikah dengan Kiu-moay, mungkin dia takkan mengajak bertaruh lagi denganmu.”

“Hahaha! Asalkan aku dapat menyaksikan Oh-lauteku ini melangsungkan pernikahan dengan nona Kiu dan ikut minum arak bahagia mereka, sekali pun aku harus berhenti berjudi tiga bulan juga bukan soal bagiku,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa gembira. Tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menambahkan sambil menggeleng, “Tidak, tidak, mungkin aku tak dapat minum arak bahagia mereka.”

“Sebab apa?” tanya Buyung Jit.

“Habis, bila mana keluarga Buyung mengadakan pesta nikah, yang hadir pastilah tamu-tamu terhormat dan orang-orang ternama, jika Ok-tu-kui macamku ini mendadak ikut hadir, bukankah suasana bisa berubah runyam?” kata Han-wan Sam-kong.

“Jangan khawatir, arak pernikahan ini pasti ada bagianmu,” kata Buyung Jit. “Seumpama kami tidak mengundang siapa-siapa tentu juga akan mengundang engkau.”

“Hahaha, kalau aku tidak hadir, maka aku inilah anak kura-kura,” seru Han-wan Sam-kong sambil bertepuk tertawa. Mendadak ia memberi tanda dan berseru, “Angkat, angkat semua perakmu itu, satu tahil pun jangan tertinggal.”

“Ken... kenapa?” tanya Buyung Jit.

“Jika ingin minum arak nikah, tentunya harus mengirim kado. Jika kalian tak menerimanya berarti memandang rendah padaku, berarti pula tidak menginginkan kehadiranku.”

“Sekali pun begitu, kan perlu disisakan sedikit bagi modal judimu?” ujar Buyung Jit dengan tertawa.

“Tidak, jangan disisakan,” seru Han-wan Sam-kong. “Kalian tahu watakku, bila belum kalah habis-habisan belum mau berhenti. Maka sejak aku mendapat rezeki, sejak itu hakikatnya aku tidak pernah tidur dengan nyenyak, siang malam hanya berjudi melulu, semakin ingin kukalahkan hingga ludes semakin tidak mau ludes, sebaliknya malah bertambah. Sekarang mumpung ada kesempatan kubikin habis, mengapa kalian malah tak mau menerima? Jika tidak kalian terima kan berarti membuat susah padaku lagi.”

Buyung Jit termenung sebentar, katanya kemudian dengan tersenyum, “Karena kau telah bertindak segoblok ini, kalau kami tidak menerimanya akan kelihatan kami sendiri berjiwa sempit...”

“Hahaha, tak tersangka para nona keluarga Buyung adalah orang sedemikian menyenangkan, tampaknya Oh-lauteku ini memang tajam pandangannya,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa. Lalu ia tepuk pundak Oh-ti-tu dan berkata, “Oh-laute, kenapa tidak lekas berangkat? Kutahu hatimu tentu sudah tidak sabar lagi, mengapa pura-pura lagi? Nona Kiu tentu juga sedang menantikan kedatanganmu.”

Oh-ti-tu termangu-mangu sejenak, entah suka entah duka, katanya kemudian dengan tergagap, “Mana... mana boleh kupergi lagi ke sana...”

“Mengapa tidak boleh?” seru Han-wan Sam-kong sambil melotot. “Tindak-tanduk seorang lelaki sejati harus dilakukan dengan cepat dan tepat, harus jujur dan blak-blakan. Apalagi orang judi hanya boleh main licik dan main palsu, tapi tidak boleh main curang, kau sudah kalah, apa pun juga kau harus pegang janji.”

Akhirnya Oh-ti-tu tertawa juga, tiba-tiba ia membisiki Han-wan Sam-kong, “Eh, Siau-hi-ji pasti masih berada di atas gunung sana, bila melihat dia jangan lupa beritahukan padanya...”

“Jangan khawatir,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa. “Bila bertemu dia tentu akan kuajak dia hadir minum arak nikahmu.”

Rupanya persahabatan mereka tidak seluruhnya lantaran berjudi, tapi sebagian besar adalah karena Siau-hi-ji. Sebab sejak awal mereka selalu menganggap Siau-hi-ji adalah seorang sahabat yang baik.

Han-wan Sam-kong mengantar mereka keluar, tiba-tiba ia memberi pesan pula, “Nona Jit, selanjutnya bila tanganmu gatal, jangan lupa mencari diriku. Petaruh seperti dirimu sungguh jarang kutemukan selama hidupku ini.”

Akhirnya berangkatlah Oh-ti-tu, hidupnya yang terlunta-lunta sebatang kara akhirnya telah menemukan kebahagiaan, ini memang ganjaran yang pantas diperolehnya dan pasti tiada yang keberatan.

Buyung Kiu juga mendapatkan jodohnya yang setimpal. Meski dia kehilangan ingatan dan kecerdasan, tapi ia pun mendapatkan kebahagiaan. Cukup berharga bahagia yang diperoleh dengan pengorbanan apa pun juga. Bahagia terbesar bagi seorang perempuan adalah bisa memperoleh orang yang mencintainya dengan sungguh hati, kebahagiaan demikian tak mungkin diganti dengan urusan apa pun juga.

Dan setelah harta diangkut pergi, para pengunjung kasino pun bubar.

Han-wan Sam-kong memandangi cahaya gemilang yang mulai menongol di ufuk timur, dia menggeliat kemalas-malasan, gumamnya, “Persetan, kini benar-benar semuanya ludes, memangnya kalau belum ludes semuanya aku pun tak dapat tidur.”

Tapi mendadak ia lihat para pengunjung kasino itu tidak pergi seluruhnya, di situ masih tersisa empat orang, ada dua orang yang sedang tidur di lantai. Sedangkan dua orang lagi sedang memandangnya dengan tertawa.

Han-wan Sam-kong melotot dan mengomel, “Kalian berdua anak kura-kura mengapa tidak enyah? Apakah kalian ingin bertaruh pula denganku?”

Satu di antara kedua yang lebih tinggi menanggapi dengan tertawa, “Di sini cuma ada seorang anak kura-kura, yang lain cuma setengahnya anak kura-kura.”

Han-wan Sam-kong tambah melotot, ia tatap seorang lagi yang lebih pendek.

Orang itu ialah To Kiau-kiau, dengan tertawa ia pun berkata, “Memang di sini cuma ada seorang anak kura-kura, tapi aku adalah nenekmu!”

Ia tidak tahu sekarang Han-wan Sam-kong dapat mengenalinya atau belum, yang jelas mendadak Ok-tu-kui melompat ke sana terus kabur secepat terbang.

Pek Khay-sim berkerut kening, katanya, “Setiap kali bila bertemu, yang pasti lari adalah diriku, mengapa sekali ini dia yang lari dulu malah?”

“Mungkin sekali setan judi ini telah berbuat sesuatu dosa apa-apa, maka tidak berani bertemu dengan orang,” kata To Kiau-kiau, habis berkata, segera ia memburu keluar.

“Tapi kita sudah belasan tahun tidak bertemu dengan dia, masa dia berbuat sesuatu kesalahan apa padamu?” ujar Pek Khay-sim.

“Ya, makanya aku pun heran dan ingin menanyai dia,” kata Kiau-kiau.

Waktu itu fajar baru menyingsing, namun orang berlalu lalang di jalanan sudah cukup banyak. Maklum, para pengunjung baru saja bubar dan sebagian besar di antara mereka sedang sarapan di tepi jalan.

Ketika To Kiau-kiau memburu keluar, ternyata bayangan Han-wan Sam-kong sudah tidak nampak lagi. Hanya kelihatan orang-orang yang lagi nongkrong makan di tepi jalan itu sama memandang ke kiri, jelas Han-wan Sam-kong berlari menuju ke sebelah sana.

Dengan tertawa To Kiau-kiau berkata kepada Pek Khay-sim, “Jangan khawatir, Ginkang setan judi itu tidak terlalu tinggi, kita pasti dapat menyusulnya.”

Belum lenyap suaranya, mendadak tertampak Han-wan Sam-kong mundur kembali dari belokan jalan sebelah kiri sana, cara mundurnya ternyata jauh lebih cepat dari pada kaburnya tadi. Dan begitu sampai di tikungan cepat Ok-tu-kui memutar dan berlari ke sini dengan air muka penuh rasa terkejut dan gugup, langsung ia menerjang ke dalam rumah judi tadi.

Dengan sendirinya To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim ikut masuk lagi ke dalam.

“He, apa-apaan kau, memangnya setan judi juga ketemu setan?” demikian Pek Khay-sim berolok-olok.

To Kiau-kiau sedang mengintip keluar melalui celah-celah pintu, katanya, “Tampaknya dia memang kepergok setan, setan kepala besar?”

“Hahahaha, masakan setan judi juga takut kepada setan kepala besar?” kembali Pek Khay-sim berseloroh.

“Ssstt,” desis Kiau-kiau dengan tegang, air mukanya juga rada pucat.

Pek Khay-sim menjadi heran, cepat ia pun ikut mengintip keluar. Tertampaklah dari tikungan sebelah kiri sana telah muncul dua orang.

Orang yang jalan di depan berperawakan tinggi berbahu lebar, tapi tubuhnya kurus kering, baju panjang berwarna biru yang dipakainya itu tampaknya menjadi komprang dan kedodoran.

Tidak cuma tubuhnya saja yang aneh, mukanya juga aneh, banyak juga kerutan di mukanya tapi tiada seutas jenggot dan tiada bulu alis, semuanya tercukur bersih. Padahal biasanya yang cukur hingga kelimis begitu hanya kaum “Thaykam”, kaum dayang istana yang kebiri, orang kasim, namun jelas orang ini bukanlah Thaykam.

Betapa pun orang yang berwajah demikian tampaknya menjadi sangat lucu, dengan sendirinya orang-orang di tepi jalan sana memandangnya dengan tertawa geli, namun tiada seorang pun yang berani tertawa keras, maklum meski orang itu kelihatan lucu, tapi kedua matanya tidaklah lucu, bahkan kelihatan menakutkan.

Matanya tampak cekung karena kurusnya, sebab itulah biji matanya tampaknya menjadi lebih bulat besar. Meski mukanya pucat kurus seperti orang sakit paru-paru, tapi ketambahan matanya yang besar itu, timbul juga perbawanya sehingga membuat orang tidak berani memandangnya lama-lama.

“Agak aneh juga bocah ini,” desis Pek Khay-sim. “Bahwa dunia Kangouw muncul seorang aneh begini, mengapa tak pernah kudengar dan juga tak pernah melihatnya. Ini menandakan selama beberapa tahun ini kita benar-benar terasing.”

Kiau-kiau juga berkerut kening, tanyanya kemudian, “Ok-tu-kui, apakah kau kenal orang aneh ini?”

“Tidak kenal,” jawab Han-wan Sam-kong. Tapi yang ditatapnya adalah seorang lagi yang berada di belakang orang aneh ini.

Orang yang ikut di belakang itu bentuknya tidak aneh bahkan sangat apik, usianya juga sudah lima puluhan, namun jelas hidupnya serba kecukupan, ini terlihat dari wajahnya yang bersih dan bercahaya.

Baju yang dipakainya juga berwarna sangat serasi, cuma wajahnya yang kelihatan sengaja di buat-buat tersenyum itu jelas rada-rada kurang wajar, malahan boleh dikatakan rada lesu dan sedih.

Orang ini ternyata bukan lain dari pada Kang Piat-ho adanya.

Tentu saja yang paling terkejut adalah To Kiau-kiau, ucapnya sambil berkerut kening, “Aneh, mengapa Kang Piat-ho tidak ikut Gui Bu-geh, sebaliknya ikut ke sini bersama orang aneh ini?”

Pek Khay-sim lantas menepuk pundak Han-wan Sam-kong dan berkata, “Kiranya kau tidak berani bertemu dengan Kang Piat-ho, memangnya kau berbuat salah apa padanya?”

Han-wan Sam-kong mendengus, jawabnya, “Masa kutakut padanya, aku cuma bosan melihat cecongornya.”

Dengan tertawa Pek Khay-sim berkata pula, “Ah, kukira pasti ada apa-apanya, jika tidak kau katakan, biar kutanya sendiri pada Kang Piat-ho.” Tiba-tiba ia mendapat akal dan mendadak berteriak, “Ke sinilah kalian, lihatlah di sini ada Ok-tu…”

Rupanya kumat lagi penyakitnya ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’, syukur sebelumnya Han-wan Sam-kong sudah menduga akan tindakannya ini, belum habis teriakannya, segera ia menubruk maju dan mendekap mulutnya, katanya dengan suara tertahan, “Tutup bacotmu, jika kau anak kura-kura ini berani bersuara lagi, segera kupecahkan batok kepalamu.”

Pek Khay-sim hanya menyengir saja dan tidak berucap lagi. Akan tetapi seharusnya orang di luar sana dapat mendengar teriakannya tadi.

Siapa tahu orang di luar tidak menggubris teriakkannya itu, sebab pada saat itu juga dari belokan kanan sana tiba-tiba muncul seekor kuda.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar