Bahagia Pendekar Binal Jilid 28

Penjudi tinggal menjatuhkan pilihannya saja, bila pasang “besar” dan tepat, kontan mereka mendapat bayaran. Jika pasang “besar” dan dadu keluar “kecil”, artinya mereka kalah, lalu ramailah orang bertekuk lutut menyembah serta suara pantat digebuk. Cara pertaruhan ini sungguh sangat sederhana, cepat dan menyenangkan, juga unik.

Waktu itu Han-wan Sam-kong sedang mengocok dadu. Tampak bajunya hampir seluruhnya tak terkancing sehingga kelihatan simbar dadanya. Rambutnya juga semrawut, tapi diikat dengan sebuah handuk yang sudah kotor dan tentu saja berbau. Mukanya juga kotor berminyak, matanya merah, tampangnya itu lebih mirip seorang jagal babi.

Di depan Han-wan Sam-kong tertaruh beberapa potong bakpau yang cuma digerogot satu-dua kali saja, lalu ditaruh sehingga kelihatan daging yang terselip di tengah bakpau itu.

Jelas kelihatan Han-wan Sam-kong tidak cuma kurang tidur, bahkan juga tidak sempat makan, hal ini terbukti setiap bakpau itu hanya digigit satu kali lalu ditaruh begitu saja.

Walau pun keadaannya kelihatan serba konyol, namun “semangat tempurnya” tetap berkobar-kobar, dia masih berteriak-teriak dengan gembiranya, meski suaranya sudah serak tapi masih terus berkoar.

Hanya memandangnya sekejap saja Pek Khay-sim lantas tertawa geli, katanya, “Apa artinya cara berjudi begini? Hakikatnya seperti tersiksa hidup-hidup.”

“Kau anggap dia tersiksa, tapi dia sendiri justru merasa puas,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Setan judi, asalkan ada uang untuk bertaruh, sekali pun kau suruh dia berjudi di dalam kakus juga takkan dirasakan baunya.”

Sambil bicara, yang diperhatikan To Kiau-kiau adalah orang yang duduk di samping Han-wan Sam-kong. Akhirnya Pek Khay-sim juga ikut memandang ke sana.

Orang ini memang kurus kecil dan hitam, mukanya tidak menarik, namun matanya yang merah karena kurang tidur itu tetap mencorong terang.

“Apakah pernah kau lihat bocah ini?” tanya Kiau-kiau.

Pek Khay-sim termenung sejenak, jawabnya kemudian, “Rasanya seperti pernah melihatnya -.”

“Siapa dia?” tanya Kiau-kiau pula.

Kembali Pek Khay-sim berpikir sejenak, lalu menjawab dengan tertawa, “Sudah tidak teringat lagi sekarang.”

To Kiau-kiau melotot dengan dongkol.

Dalam pada itu terdengar Han-wan Sam-kong lagi berteriak, “Ayo anak kura-kura, lekas pasang! Ayo pasang lekas!”

Maka ramailah pasangan jatuh dilemparkan ke meja, ada yang pilih besar, ada yang pasang kecil. Macam-macam juga benda yang dibuat tanda pasangan, ada beberapa keping mata uang tembaga, ada yang cuma taruh dua potong batu kecil, malahan ada yang menggunakan secarik kertas dan diberi angka jumlah pasangannya.

Di samping meja sana tampak dua orang sedang menyembah tiada henti-hentinya, mungkin mereka kalah terlalu banyak sehingga mereka pun harus bayar banyak dengan menyembah!

Sambil mengocok dadu dalam mangkuk butut, Han-wan Sam-kong juga terus berteriak-teriak, “Ayo pasang, lekas, segera akan kubuka!”

Terdengar suara dadu yang terkocok dan menggelinding di dalam mangkuk, lelaki hitam kurus kecil di samping Han-wan Sam-kong hanya melotot saja dengan butiran keringat memenuhi dahinya.

Mendadak Han-wan Sam-kong berteriak, “Stop pasangan... Buka!” lalu dibukalah tutup mangkuk.

Serentak terdengar suara gemuruh orang banyak, ada yang menggerutu, ada yang bersorak gembira, seorang berteriak, “Aha, tujuh! Kecil, tepat pasanganku!”

Han-wan Sam-kong juga berseru, “Satu-dua-empat, tujuh, kecil! Yang kena boleh terima uang, yang kalah lekas menyembah, anak kura-kura!”

Lalu ia comot suatu pasangan di bagian besar yang berarti kalah, dia menghitung-hitung jumlah mata uangnya sembari berkata, “Sialan, lima puluh, kamu anak kura-kura juga berani mengincar lima puluh tahil perak dariku dan sekarang baru kau tahu rasa... Ayo siapa yang pasang, lekas maju dan menyembah lima puluh kali.”

Berulang-ulang ia tanya, tapi tiada seorang pun yang mengaku.

Diam-diam Khay-sim tertawa dan membisiki To Kiau-kiau, “Sekali ini Ok-tu-kui telah tertipu, orang bertaruh dengan cek kosong, kalau menang terima bayaran, jika kalah tidak mengaku, memangnya siapa yang tahu?”

Belum habis ucapannya sekonyong-konyong lelaki kurus kecil itu melompat ke atas, ia mengapung seperti seekor burung raksasa terbang di udara, sekali mengitar segera rambut seseorang dijambaknya.

Keruan orang itu menjerit kaget dan takut, “Bukan... bukan pasanganku... bukan aku...”

Tapi sekali lelaki kurus kecil itu menutul kakinya di pundak salah seorang penjudi, dengan enteng sekali ia mengapung lebih tinggi lagi, berbareng orang yang dijambaknya itu pun terangkat dan “serr”, ia terus melayang kembali ke tempatnya semula.

Terkesiap juga To Kiau-kiau, katanya, “Bagus amat Ginkangnya.”

Mau tak mau Pek Khay-sim juga memuji, “Ya, memang boleh juga.”

“Bukan saja Ginkangnya hebat, bahkan gerakannya sangat aneh, sungguh tak pernah kulihat,” ucap To Kiau-kiau sambil berpikir.

Pek Khay-sim menjawab, “Rasanya kita pernah melihatnya, cuma...”

“Cuma sekarang tidak ingat lagi, begitu bukan?” jengek Kiau-kiau.

“Hehe, memang betul,” kata Pek Khay-sim sambil menyengir.

Sementara itu si kurus kecil telah membanting orang yang dijambaknya tadi ke meja, orang itu berbaju hijau dan bertampang kriminal, kedua pelipisnya ditempeli koyok, mungkin kepala selalu pusing melulu. Namun begitu dia tetap berteriak menyangkal, “Bukan... bukan aku, Tuan keliru…”

Mendadak Han-wan Sam-kong meraihnya, bentaknya dengan gusar, “Keparat, kau anak kura-kura ini mengira mata bapakmu ini sudah lamur? Mengapa tidak kau cari tahu pada orang-orang yang hadir di sini bilakah Locu (aku bapakmu) pernah salah lihat?” Sembari bicara ia bertambah marah, kontan ia menampar dan memaki pula, “Bangsat, orang judi boleh main licik cara apa pun juga, tapi tidak boleh main curang, masa peraturan begini saja tidak paham dan berani berjudi kemari... Pergilah kau, enyah ke tempat makmu sana!”

Sekali ayun tangan, kontan Han-wan Sam-kong melemparkan orang itu jauh melampaui kepala orang banyak.

Dengan contoh ini, maka tiada seorang pun yang berani main curang lagi, yang kalah juga segera berlutut dan menyembah sehingga ramai lagi, bunyi kepala dibentur-benturkan ke lantai. Ditambah lagi gelak tertawa Han-wan Sam-kong, maka suasana tambah riuh.

To Kiau-kiau menggeleng-geleng, ucapnya dengan tertawa, “Kukira julukan ‘Ok-tu-kui’ sekarang perlu diganti.”

“Ganti apa?” tanya Pek Khay-sim.

“Menurut cara berjudi ini, julukannya lebih tepat diganti menjadi ‘Hong-tu-kui’ (setan judi gila),” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Sesungguhnya seorang kalau sudah keranjingan judi, lambat atau cepat akhirnya juga pasti akan menjadi gila,” kata Kiau-kiau pula. “Maka bila kelak Han-wan Sam-kong berubah menjadi gila sungguh-sungguh, tentu aku takkan heran.”

“Memang, sejak dulu-dulu seharusnya dia sudah gila,” tukas Pek Khay-sim.

“Yang aneh ialah si hitam kecil ini mengapa juga ikut gila-gilaan dengan dia?” kata Kiau-kiau pula. “Apakah harta mereka ini jatuh dari langit secara mendadak?” Setelah merandek sejenak dan tertawa, lalu ia menyambung, “Bisa juga lantaran bocah ini masih muda dan belum berpengalaman, belum tahu apa artinya uang. Bila mana dia sudah berusia seperti diriku barulah dia akan paham bahwa di dunia ini tiada benda lain lagi yang lebih menyenangkan dari pada uang.”

“Memang betul, selalu pegang uang jauh lebih baik dari pada anak kandung,” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa. “Orang yang belum berumur 50 memang tidak paham arti pemeo ini.”

To Kiau-kiau mendelik, katanya, “Jadi kau anggap aku sudah berumur 50, padahal tahun ini aku baru 38.”

“Haha, tahun yang lalu kau mengaku 39, kenapa tahun ini malah berubah menjadi 38?” tanya Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Lelaki yang pintar harus tahu bahwa perempuan yang sudah berumur tiga puluh tahun, paling sedikit usianya akan berhenti lima tahun,” jawab To Kiau-kiau dengan sungguh-sungguh. “Apa bila umurnya mencapai empat puluh tahun, maka usianya harus dihitung mundur ke belakang.”

Belum lagi Pek Khay-sim menanggapi, terdengar Han-wan Sam-kong sedang berteriak-teriak pula, “Ayo, anak kura-kura, lekas pasang, sudah taruh seluruhnya? Ayo, segera buka lagi!”

“Brek”, dia taruh mangkuknya di meja dan segera hendak mengangkat tutupnya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berseru, “Nanti dulu, tunggu!”

Suara itu sangat nyaring dan merdu, jelas suara seorang perempuan. Kedengarannya pembicaraan itu berada di luar pintu, tapi sekata demi sekata berkumandang ke dalam sehingga suara ribut orang banyak teratasi.

Han-wan Sam-kong tertawa lebar dan berseru, “Menurut peraturan kasino, kau datang terlambat, silakan pasang saja pada pembukaan berikutnya. Tapi aku menjadi tertarik oleh suaramu yang enak didengar, maka bolehlah kutunggu sebentar padamu!”

“Terima kasih!” jawab suara merdu tadi dengan tertawa.

Suara tertawanya jauh lebih enak didengar dari pada suara ucapannya, semua orang jadi ingin tahu bagaimana macamnya si pendatang ini.

Selagi semua orang berpaling ke sana, terdengar suara orang lelaki membentak, “Minggir! Beri jalan!”

Menyusul lantas terlihat lima-enam orang lelaki kekar berbaju mentereng menerjang masuk dengan memegang cambuk.

Penjudi yang datang ke sini rata-rata adalah, kaum pencoleng yang suka cari perkara, mana mereka mau memberi jalan pada pendatang belakangan, tentu saja sebagian besar di antara mereka lantas menggerutu dan melotot, tapi demi melihat perawakan beberapa lelaki kekar itu dan perbawanya, seketika mereka mengkeret dan beramai-ramai menyingkir memberi jalan.

Dengan bertolak pinggang beberapa lelaki berbaju indah itu lantas berdiri di kedua sisi jalan yang diluangkan itu sehingga orang ramai semakin terdesak ke pojok, tidak terkecuali To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim juga terdorong ke belakang.

Tentu saja Pek Khay-sim sangat mendongkol, omelnya, “Keparat, biar kuhajar adat kepada mereka.”

Sorot mata To Kiau-kiau tampak gemerdap, katanya dengan tertawa, “Nanti dulu, jika kau ingin menonton permainan yang menarik, paling baik berdiri saja di situ dan jangan banyak tingkah.”

Tengah bicara, dari luar muncul pula empat lelaki kekar berseragam sama seperti yang duluan, dua di antaranya menggotong sebuah peti besar, bobot peti tampaknya sangat berat.

Peti besar itu digotong ke depan meja judi dan ditaruh, lalu orang-orang itu menyurut mundur dan berdiri di samping dengan “pentang kelek”.

Biji mata Han-wan Sam-kong mengerling kian kemari, katanya kemudian sambil terbahak, “Hahaha! Sungguh tidak nyana kelenteng kecilku ini mendapat kunjungan malaikat besar.” Lalu dia tepuk keras-keras pundak si hitam kecil dan berseru, “Saudaraku, bukankah kau selalu menggerundel bahwa perjudian ini tak dapat memuaskan seleramu? Nah, sekarang tampaknya kau pasti akan puas, kau akan ketemu tandingan setimpal.”

Namun si hitam tidak menampilkan perasaan apa-apa dan juga tidak bersuara, jika matanya tidak terbuka, orang lain tentu akan mengira dia sedang tidur.

Pada saat itulah tiga nyonya muda cantik tampak muncul dengan gayanya yang menarik.

Suasana dalam ruangan kasino biasanya sangat berisik, tapi begitu ketiga nyonya cantik itu muncul, seketika keadaan berubah menjadi hening, suara sedikit saja tidak ada, setiap orang sama melongo dengan pandangan melenggong, sampai bernapas pun seperti terhenti.

Maklumlah, ketiga nyonya muda itu sesungguhnya memang teramat cantik, terutama senyuman mereka, bisa bikin orang mati lemas.

Ketiga nyonya itu berwajah hampir serupa, sama-sama beraut muka daun sirih, mulut kecil, alis lentik, berpupur tipis, tampaknya mereka adalah bersaudara.

Sanggul mereka digelung dengan model yang digemari pada jaman itu, sanggul yang hitam ikal itu hanya dihiasi tusuk kundai mutiara kembang goyang.

Baju mereka pun tidak terlalu mencolok, tapi ukurannya pas dan serasi, mereka tidak memakai hiasan kepala, juga tidak pakai perhiasan tangan. Namun setiap orang yang melihatnya segera akan tahu bahwa mereka pasti bukan sembarang orang, sebab kecantikan mereka sudah cukup menjelaskan derajat mereka.

Jangankan di kota kecil ini, sekali pun di kota raja juga jarang ada nyonya secantik ini. Keruan semua orang sama melongo kesima memandangi mereka.

Lebih-lebih manusia bejat sebagai Pek Khay-sim, ia pun melotot dengan mulut ternganga sehingga air liur hampir menetes ke luar, napas pun terengah-engah dengan lidah setengah terjulur, macamnya itu mengingatkan orang kepada seekor anjing herder jantan yang lagi berahi di musim kawin.

“Awas, jangan timbul pikiranmu yang tidak senonoh,” demikian To Kiau-kiau memperingatkannya dengan tertawa, “Kukira kau harus prihatin, jika kau bermaksud menggerayangi ketiga orang ini, maka celakalah kau.”

“Memangnya kenapa?” tanya Pek Khay-sim.

“Apakah kau kira mereka itu boleh direcoki?”

“Memangnya siapa mereka? Kenapa mesti takut?”

“Walau pun belum diketahui asal-usul mereka, tapi dapat kupastikan mereka pasti bukan makanan empuk,” ujar Kiau-kiau. “Jika kau tidak percaya, tunggu dan lihat sebentar lagi, bukan mustahil hari ini Ok-tu-kui juga akan terjungkal habis-habisan.”

Kecuali warna pakaian mereka yang berbeda, hakikatnya bentuk ketiga nyonya muda itu seolah-olah dilahirkan dari suatu cetakan yang sama, bukan saja wajah mereka mirip satu sama lain, bahkan sama jalannya, gayanya, lenggang-lenggoknya, semuanya serupa.

Sementara itu mereka sudah tiba di depan Han-wan Sam-kong dan sama tertawa manis.

Si baju ungu yang berdiri di tengah lantas berkata, “Maaf jika Tuan telah menunggu cukup lama,”

“O, tidak apa-apa, sudah lama sekali aku tidak pernah bertaruhan dengan perempuan cantik, biar pun menunggu lagi lebih lama juga bukan soal,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

Ucapannya sekali ini tidak diselingi lagi dengan “anak kura-kura” dan sebagainya, sungguh boleh dikatakan luar biasa.

Diam-diam Pek Khay-sim merasa geli, katanya “Kiranya setan judi suka perempuan cantik.”

“Ah, ini kan belum mulai,” ujar To Kiau-kiau dengan tersenyum. “Sebentar bila pertaruhan sudah dimulai, yang terlihat olehnya hanya biji dadu yang lagi menggelinding, mana dia kenal perempuan cantik apa segala.”

“Betul, serigala bermulut besar itu hanya mengincar dagingnya yang empuk bila melihat wanita cantik, sedangkan Ok-tu-kui hanya mengincar hartanya, cuma aku saja yang tahu cara bagaimana harus bercumbu rayu dengan perempuan cantik.”

Dalam pada itu beberapa lelaki kekar tadi sudah membawakan tiga kursi dan menyilakan ketiga nyonya cantik itu duduk.

Han-wan Sam-kong bertepuk tangan, katanya, “Baik, sekarang silakan nona-nona mulai pasang!”

Si baju ungu mengangguk kepada seorang lelaki kekar yang berdiri di sampingnya, cepat orang itu membuka peti. Seketika pandangan semua orang menjadi silau. Isi peti ternyata lantakan perak melulu.

Seketika mata Han-wan Sam-kong juga terbeliak, serunya dengan tertawa, “Ah, rupanya nona-nona sengaja hendak bertaruh sungguh-sungguh, sekarang kalian benar-benar mendapatkan lawan yang setimpal berhadapan denganku.”

Si baju ungu lantas bertanya, “Pasangan pakai limit tidak di sini?”

“Tidak, jangan khawatir, silakan pasang sesukamu, bandar pasti bayar tanpa kurang sepeser pun,” seru Han-wan Sam-kong dengan bergelak.

“Bagus,” ucap si nyonya baju ungu. Segera ia memberi tanda dan berseru, “Goban, besar!”

Begitu terdengar “goban” atau lima laksa alias lima puluh ribu tahil perak, seketika semua orang mengira telinga sendiri yang tidak beres, akan tetapi bukti nyata terpampang di depan mereka, lelaki kekar tadi benar-benar mengeluarkan lima laksa tahil dari peti dan didorong ke atas meja.

Dengan heran Pek Khay-sim tanya To Kiau-kiau, “Kau kira ketiga nyonya cantik ini benar-benar datang untuk berjudi?”

Kiau-kiau menggeleng, katanya, “Orang macam mereka ini, seandainya kecanduan judi juga takkan datang ke sini.”

“Habis, apakah kedatangan mereka ini sengaja hendak mencari perkara pada Ok-tu-kui?” tanya Pek Khay-sim pula.

“Sekarang aku pun belum dapat menerka maksud tujuan kedatangan mereka,” kata Kiau-kiau. “Lihat saja sebentar lagi, yang jelas hari ini Ok-tu-kui pasti tak bisa gembira lagi.”

Dalam pada itu si hitam kecil tadi seakan-akan terjaga bangun dari lamunannya, wajahnya yang hitam itu pun bercahaya kemerah-merahan. Lebih-lebih Han-wan Sam-kong, ia malah terus menggosok-gosok kepalan dan berteriak-teriak, “Bagus, bagus! Semakin banyak taruhannya, semakin marem!”

Habis itu ia lantas angkat mangkuk dadu dan diguncang keras-keras sambil berkata, “Stop pasangan... Buka!”

Waktu tutup mangkuk tersingkap, biji dadu mengunjuk satu-dua-dua.

Seketika bergemuruhlah suara orang banyak, “Lima, kecil, bandar menang!”

Tapi nyonya cantik baju ungu sama sekali tidak berkedip, kekalahan lima laksa tahil perak itu baginya seperti lima ketip saja. Kembali ia memberi tanda dan berucap dengan hambar, “Goban lagi, tetap besar!”

“Betul,” seru Han-wan Sam-kong dengan bergelak tertawa. “Baru satu kali, uber terus! Guncang lagi!”

Segera ia angkat mangkuk dan dikocok lagi, setelah berteriak ‘stop pasangan’, lalu tutup mangkuk dibuka.

Sekali ini dadunya agak jail, dua biji sudah memperlihatkan titik tiga dan lima, ini berarti berjumlah delapan. Tinggal dadu ketiga masih menggelinding perlahan, asalkan jatuh pada titik dua dan selebihnya, maka jumlahnya pasti di atas sepuluh dan ini berarti besar dan berarti pula kemenangan bagi si nyonya jelita.

Tapi dadu itu seakan-akan kesetanan, sudah jelas akan jatuh pada tiga titik, mendadak bergulir pula sehingga jatuh pada satu titik. Dengan demikian jumlahnya menjadi sembilan dan ini berarti kecil dan tetap dimenangkan oleh bandar.

Keruan suasana menjadi gempar, banyak penonton yang menggerutu dan penasaran bagi nyonya cantik berbaju ungu itu.

Namun nyonya jelita itu tetap tenang-tenang saja. Kembali ia beri tanda pasangan. Berturut-turut enam kali ia pasang “besar” tapi berturut-turut enam kali pula dadu yang keluar adalah “kecil”.

Isi kedua petinya sudah terkuras separo, penonton ikut berkeringat bagi yang kalah.

Tapi nyonya baju ungu itu tetap tenang saja, kedua nyonya jelita yang lain juga sama tenangnya, mereka tetap mengulum senyum tanpa bicara dan juga tidak berkerut kening, bahkan gaya duduk mereka tidak berubah.

Sudah tentu yang paling senang adalah Han-wan Sam-kong, wajahnya bercahaya gembira, ia tertawa dan berseru, “Ayo, uber lagi, masih ada ketujuh kalinya?”

“Masih sisa berapa?” tanya si nyonya baju ungu kepada pengiringnya.

“Masih dua puluh laksa,” jawab lelaki kekar tadi.

“Baik, pasangkan seluruhnya!” ucap si nyonya dengan acuh tak acuh.

Lelaki kekar itu mengiakan dan mengeluarkan seluruh isi peti, tanyanya kemudian, “Pasang besar atau kecil?” jelas suaranya agak gemetar, keringat pun memenuhi dahinya.

Dari bibir si nyonya yang merah tipis itu hanya tercetus suara lirih, “Besar!”

Dia tetap pasang “besar” tanpa gentar.

Keruan penonton lantas gempar di tengah suara guncangan dadu yang dikocok Han-wan Sam-kong. Ketika mangkuk dadu sudah ditaruh di atas meja, suasana lantas sunyi senyap seketika, semua orang ikut menahan napas.

Sekali ini agaknya Han-wan Sam-kong juga agak tegang, ia sampai lupa berteriak “stop pasangan”. Kedua tangannya mendekap mangkuk, matanya terbelalak memandang si nyonya baju ungu. Kemudian ia tanya, “Kau benar-benar tetap pasang besar?”

“Ya, besar,” jawab si nyonya dengan tak acuh.

Si kurus hitam di samping Han-wan Sam-kong juga ikut terbelalak, tanpa berkedip ia memandangi tangan sekutunya.

“Baik, sungguh hebat kau!” kata Han-wan Sam-kong kemudian terus menambahkan, “Buka!”

Berpuluh pasang mata sama melotot ke arah tangan Han-wan Sam-kong, penonton di belakang yang tak dapat melihat jelas berdesakan ke depan.

Mendadak Han-wan Sam-kong angkat tutup mangkuk, sekali ini mangkuk itu seperti benda yang mahaberat dan Ok-tu-kui seperti mengerahkan sepenuh tenaganya.

Tapi jumlah titik ketiga biji dadu tetap jatuh pada “kecil”.

Sekali ini Han-wan Sam-kong sendiri juga melenggong dan hampir tidak percaya pada matanya sendiri, sungguh ia heran sekali, mengapa begini besar rezeki sendiri sehingga berturut-turut titik dadu seri kecil tujuh kali.

Serentak penonton menjadi gempar pula dan banyak ikut gegetun.

Namun ketiga nyonya itu tetap tidak memperlihatkan rasa kesal, bahkan kembang goyang tusuk kundai mereka juga tidak bergerak sedikit pun.

Ketiganya hanya melirik sekejap saja pada dadu, lalu berbangkit, tanpa bicara apa-apa mereka terus membalik tubuh dan berangkat pergi.

“Ah, jangan terburu-buru pergi, para nona,” seru Han-wan Sam-kong tiba-tiba.

“Tuan ingin memberi petunjuk apa lagi?” tanya si baju ungu sambil menoleh.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong berkata, “Sudah berpuluh tahun aku berjudi dan menjelajah seluruh dunia, kecuali si tua raja boleh dikatakan pernah kuhadapi lawan macam apapun. Tapi cara bertaruh sedemikian menyenangkan, sungguh tak pernah kulihat meski setan judi seperti diriku ini.”

“Terima kasih,” kata si nyonya baju ungu dengan tersenyum.

“Penjudi seperti nona sungguh jarang ada di dunia ini kalau tidak boleh dikatakan sukar dicari,” kata Han-wan Sam-kong pula. “Seorang setan judi kalau ketemu lawan seperti nona dan dilepaskan begitu saja, maka berdosalah setan judi itu dan dia pasti akan masuk neraka.”

“Memangnya kau masih ingin bertaruh dengan kami?” tanya si nyonya baju ungu.

“Masa nona-nona tidak ingin memulihkan modal?” tanya Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

Si nyonya baju ungu tertawa, ucapnya, “Cuma sayang modal kami sudah ludes, biarlah lain hari kita taruhan lagi.”

Tiba-tiba Han-wan Sam-kong berkata pula, “Menurut peraturan kasino, pertaruhan harus dilakukan dengan kontan dan tiada utang-piutang. Tapi terhadap langganan sebagai nona tentu dapat dikecualikan.”

Mendadak ia menggebrak meja dan menambahkan, “Silakan pasang saja, betapa banyak nona ingin bertaruh, sebutkan saja jumlahnya dan jadilah.”

Si nyonya baju ungu melirik sekejap kepada kedua saudaranya, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Masa engkau mempercayai kami?”

“Asalkan nona masih mau bertaruh, apa yang mesti kukhawatirkan lagi, mustahil kalian akan anglap uangku?” ujar Han-wan Sam-kong tertawa.

Nyonya baju ungu itu berpikir sejenak, lalu ketiga orang saling mengedip, akhirnya mereka putar balik dan mendekati meja judi pula.

Diam-diam To Kiau-kiau membisik Pek Khay-sim, “Sejak tadi sudah kuduga Ok-tu-kui pasti takkan melepaskan mereka.”

“Tampaknya ketiga nyonya cantik ini masih hijau, mereka tidak tahu cara setan judi meneruskan orang,” kata Pek-Khay-sim. “Memulihkan modal? Hah, jika ini yang mereka harapkan, kukira sebentar celana mereka pun harus dilepas.”

“Memangnya kau kira mereka benar-benar ingin memulihkan modal mereka yang sudah ludes itu?” tanya To Kiau-kiau.

“Bukan untuk memulihkan kekalahan tadi, habis untuk apa?” jawab Pek Khay-sim. “Tadi kau malah mengira mereka hendak mencari perkara kepada Ok-tu-kui, nyatanya sehabis kalah ludes segera mereka hendak pergi, mana ada tanda-tanda hendak mencari perkara?”

To Kiau-kiau hanya tertawa saja dan tidak menanggapi lagi.

Dalam pada itu nampak Han-wan Sam-kong sedang garuk-garuk kepala dengan tertawa gembira, katanya “Sekali ini nona hendak pasang berapa?”

Dengan tertawa si nona baju ungu menjawab, “Meski kau percaya penuh pada kami, tapi kami tidak ingin melanggar peraturan judi, apalagi, kalau cuma omong kosong belaka, kurang semangat rasanya.”

“Hahaha, bagus, bagus, memang betul, para nona benar-benar penjudi sejati,” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak. Mendadak ia berhenti tertawa dan bertanya dengan mata terbelalak, “Tapi modal yang nona bawa kan sudah kalah ludes tadi?”

“Meski harta kami sudah kalah ludes, tapi orangnya kan belum sampai ikut ludes,” ucap si nyonya baju ungu dengan hambar.

“Orangnya?” melengak juga Han-wan Sam-kong, ia tidak tahu apa arti ucapannya si nyonya.

Dengan tersenyum lantas nyonya baju ungu itu menjelaskan, “Orang, terkadang kan boleh dijadikan barang taruhan. Apa bila setan judi sudah memegang kartu bagus, maka segala apa pun tidak sayang untuk dipertaruhkan. Tuan sudah berjudi selama berpuluh tahun, masa tidak tahu kebiasaan itu?”

Han-wan Sam-kong bergelak tertawa, katanya “Benar, memang benar, sungguh tak tersangka cara bertaruh para nona lebih berpengalaman dari padaku ”

“Nah, tentunya kau tahu, bila mana lelaki sudah kalah habis-habisan, sering kali istrinya sekaligus ikut dipertaruhkan,” kata si nyonya baju ungu. “Bagi kami orang perempuan dengan sendirinya tak dapat mempertaruhkan dirinya sendiri.”

“Haha, bagus, bagus!” seru Han-wan Sam-kong dengan bertepuk tertawa. “Sudah rata kujelajahi dunia ini, baru sekarang aku benar-benar ketemu tandingan.” Lalu ia gosok-gosok tangannya dan bertanya, “Nah, cara bagaimana nona ingin bertaruh, silakan bicara saja, pasti akan kulayani.”

“Cara bertaruh kami pun sangat sederhana,” jawab si nyonya baju ungu. “Seperti aturan umum, juga pasang satu mendapat satu.”

“Pasang satu apa?” tanya Han-wan Sam-kong sambil berkedip-kedip heran.

“Pasang satu orang?!” kata si nyonya.

Han-wan Sam-kong mengerling sekejap atas diri ketiga nyonya jelita itu lalu bergelak tertawa dan berkata, “Tapi kalau kami diharuskan membayar orang seperti nyonya-nyonya, betapa pun kami tidak sanggup.”

“Yang kita pertaruhkan sudah tentu terbatas pada orang yang berhadapan di sini,” kata si nyonya berbaju ungu, “Bila kami menang, cukup salah satu di antara kalian ikut pergi bersama kami.”

Seketika Han-wan Sam-kong melotot bingung, tanyanya kemudian, “Dan kalau nona kalah, lalu bagaimana?”

Nyonya baju ungu tersenyum, jawabnya, “Jika kami kalah, dengan sendirinya salah satu di antara kami juga akan ikut bersama kalian.”

Penjelasan itu seketika membuat geger pula, para penonton sama merasa cara pertaruhan demikian hakikatnya terlalu menguntungkan pihak Han-wan Sam-kong, kalah atau menang pada hakikatnya boleh dikatakan tiada ruginya.

Coba bayangkan, jika menang, secara otomatis mereka akan mendapatkan istri cantik, sebaliknya kalau kalah, siapa yang akan dipilih ikut pergi bersama ketiga nyonya cantik itu kan juga berarti akan menuju ke surga impian.

Pek Khay-sim jadi melotot mendengar cara pertaruhan ganjil itu, omelnya, “Masa ketiga nyonya cantik ini telah penujui Ok-tu-kui? Kalau tidak mengapa mereka menghendaki pertaruhan cara begini?”

“Ya, sekarang aku pun makin bingung dan tidak tahu apa maksud tujuan kedatangan mereka ini.” ujar To Kiau-kiau.

Terdengar Han-wan Sam-kong lagi tertawa dan berteriak, “Bagus, cocok, sungguh bagus?”

“Jadi kau setuju cara pertaruhan kami?” tanya si nyonya baju ungu.

“Tentu saja, masa tidak setuju?” jawab Han-wan Sam-kong.

“Tanya dulu kongsimu itu, apakah dia juga setuju?” si nyonya menegas.

Pertanyaan ini ditujukan kepada Han-wan Sam-kong, tapi pandangannya beralih ke arah si hitam kurus yang sejak tadi tetap bungkam saja.

Kecuali pada waktu mangkuk dadu dibuka, sedikit banyak akan kelihatan air mukanya yang ikut prihatin dan juga menyorotkan sinar mata yang bersemangat, lebih dari itu ia tetap duduk termangu saja tanpa mengunjuk sesuatu perasaan, seakan-akan apa yang terjadi di rumah judi yang ramai ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Begitulah Han-wan Sam-kong lantas menjawab dengan tertawa, “Saudaraku ini serupa denganku, ia pun tidak punya hobi lain kecuali bertaruh. Asalkan bertaruh, bagaimana pun caranya pasti disetujuinya.”

Si nyonya jelita mengerling sekejap, katanya pula, “Tapi aku tetap ingin mendengar sendiri persetujuannya.”

Han-wan Sam-kong menepuk pundak si hitam kurus itu dan berkata, “Baiklah, boleh kau menyatakan sendiri persetujuanmu.”

Si hitam kurus seperti baru terjaga dari impian, dengan bingung ia memandang sekitarnya dan berkata, “Setuju apa?”

“Jika kita kalah, maukah kau ikut pergi bersama mereka?” tanya Han-wan Sam-kong.

Tanpa pikir sama sekali si hitam kurus lantas menjawab, “Setuju!”

Akan tetapi si nyonya baju ungu lantas menambahkan, “Ke mana pun kau harus ikut, kau setuju?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar