Bahagia Pendekar Binal Jilid 27

“Memang betul juga, kebanyakan setan kundai licin (maksudnya tukang main perempuan) tidak mengutamakan soal makan,” kata To Kiau-kiau. “Tapi apa pun juga toh lebih baik dari pada kau yang pergi, jika nanti kau bawa pulang sepotong paha manusia yang gemuk, bukankah kami yang harus kelaparan?”

“Hm,” jengek Li Toa-jui. “Baiklah, jika kau tidak menyuruhku, kebetulan, aku boleh menganggur dan berjalan jalan saja.”

“Kau pun ada tugas,” kata Kiau-kiau tiba-tiba.

Li Toa-jui melotot, tanyanya, “Tugas apa?”

“Di bawah bukit sana ada sebuah kota kecil, agaknya ada sebuah bengkel juga, boleh kau ke sana dan usahakan beberapa alat penggali. Kukira untuk menjebol gua ini bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah.”

“Hahaha, jika mudah, kan sejak tadi-tadi Ih-hoa-kiongcu sudah keluar?” seru Ha-ha-ji.

Begitulah ketiga orang itu lantas berangkat menunaikan tugas masing-masing.

Yang kembali dulu adalah Ha-ha-ji.

Dia menyeret seekor keledai. Keledai itu menarik sepotong batu besar. Batu besar yang penuh lumut, batu itu setinggi setombak lebih dan selebar tujuh-delapan kaki, dengan mantap batu tertaruh di atas papan yang diberi empat roda.

Batu sebesar itu sedikitnya mempunyai bobot ribuan kati. Padahal keledai itu kurus kecil, mukanya jelek, tiada sesuatu yang menarik.

Tapi aneh, keledai yang jelek itu justru mampu menarik sepotong batu yang beratnya beribu kali, bahkan sedikit pun tidak kelihatan payah. Masa keledai ini “keledai ajaib”.

Padahal Hoa Bu-koat lagi menantikan kedatangan Thi Sim-lan dengan gelisah, tapi kini Ha-ha-ji pulang dengan cuma membawa seekor keledai. Keruan Bu-koat sangat kecewa dan juga melenggong.

Pada saat itulah, peristiwa yang lebih aneh telah terjadi pula. Tiba-tiba terdengar di dalam batu raksasa itu ada suara rintihan yang aneh, bahkan terseling pula suara tertawa cekikikan.

Sungguh aneh, apakah di dalam batu raksasa itu ada siluman!?

Bu-koat hampir tidak percaya pada matanya sendiri, lebih-lebih tidak percaya pada telinganya sendiri.

To Kiau-kiau meliriknya sekejap, tiba-tiba ia berkata, “Sudahkah kau lihat jelas batu itu? Inilah batu ajaib, batu ini bisa makan manusia, maka bisa juga disebut batu pemakan manusia. Nona Thi yang kau rindukan itu justru termakan ke dalam perut batu itu.”

Hoa Bu-koat cuma menggereget saja, sedapatnya ia tahan perasaannya dan tidak bersuara.

“Kau tidak percaya?” kata Kiau-kiau pula. “Baiklah, akan kuperlihatkan padamu.”

Dengan berlenggak-lenggok ia lantas mendekati batu itu dan mengitarinya satu kali, mulut lantas berkomat-kamit seperti membaca mantera, habis itu mendadak ia membentak, “Batu pemakan manusia, lekas buka pintu, cepat!”

Sekali pun Hoa Bu-koat seribu kali tidak percaya, tidak urung pandangannya tertuju juga ke sana. Walau pun matanya memandang, tapi dalam hati tetap seribu kali tidak percaya.

Tak terduga, sekali To Kiau-kiau mengayun tangannya, tahu-tahu batu terbuka, benar juga di dalam batu ternyata ada dua manusia. Manusia hidup.

Mereka ternyata Thi Sim-lan dan Pek-hujin, istri Pek San-kun.

Di malam gelap di tengah pegunungan yang sunyi, dalam keadaan demikian dan pada saat ini, Hoa Bu-koat benar-benar dibuat terkejut.

Akan tetapi Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau lantas bertepuk tertawa.

Akhirnya Bu-koat juga mengetahui bahwa batu raksasa itu ternyata buatan dari kain layar yang dibentuk seperti batu, lalu bagian luar ditempeli dengan lumut hijau.

Batu buatan ini memang mirip sekali batu asli, apalagi di tengah malam gelap, sekali pun tajam mata Hoa Bu-koat juga tak dapat membedakannya.

Setelah kain layar tersingkap baru kelihatan kerangka batu itu terbuat dari kawat baja sehingga bentuknya mirip sebuah sangkar. Pek-hujin dan Thi Sim-lan justru terkurung di dalam sangkar besi ini.

Thi Sim-lan tampak meringkuk di pojok, kedua tangan mendekap muka, seperti tidak ingin terlihat orang dan juga tidak ingin melihat orang.

Sedangkan tubuh Pek-hujin hampir telanjang bulat, bahkan kelihatan lagi bergeliat-geliat sambil tertawa terus-menerus serta merintih-rintih.

Bu-koat memandangnya sekejap lantas memejamkan mata, ia tidak tega memandang lebih lama. Ia tidak tega memandang keadaan Thi Sim-lan, juga tidak tega membuatnya berduka, sedangkan Pek-hujin membuatnya agak mual.

Terdengar To Kiau-kiau mengikik tawa dan berkata, “Kukatakan batu ini adalah batu ajaib, kan tidak seluruhnya berdusta padamu bukan? Di waktu siang, jika harus menempuh perjalanan, cukup di atas sangkar ini ditutup dengan tenda, maka jadilah dia kereta bertenda, ke mana pun takkan menimbulkan perhatian orang.”

“Dan kalau istirahat di waktu malam,” demikian Ha-ha-ji menyambung, “Kami lantas menaruhnya di semak-semak pohon yang lebat, boleh kau memandangnya dari jauh atau melihatnya dari dekat, diperiksa dari kanan atau diteliti dari kiri, dia tetap sepotong batu belaka. Haha, memangnya siapa yang menduga bahwa di dalam batu ada orangnya?”

“Bila mana kami sendiri yang tinggal di dalam batu, maka jadilah kamar yang aman dan enak,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa. “Jika kami mendapat tawanan dan disembunyikan di dalam batu, maka siapa pun takkan menemukannya.”

“Haha, makanya sekali pun bukit ini telah kau bongkar seluruhnya juga bayangan nona Thi ini takkan kau temukan,” tukas Ha-ha-ji.

Diam-diam Bu-koat menghela napas gegetun, baru sekarang ia mengaku beberapa “Ok-jin” ini memang mempunyai kemampuan yang tak dapat di kerjakan orang lain. Permainan yang aneh begini, kecuali mereka mungkin tidak banyak yang dapat melakukannya.

Dengan tertawa To Kiau-kiau lantas berseru, “Eh, Thi Sim-lan, nona Thi, tahukah kau kami ini sedang bicara dengan siapa?”

Namun Thi Sim-lan tetap mendekap mukanya dengan kedua tangan dan tidak mau mengangkat kepalanya.

“Mengapa kau tidak pentang mata dan memandangnya, kutanggung kau akan berjingkat bila kau pandang sekejap saja,” sambung Ha-ha-ji.

Namun Bu-koat justru berharap agar Thi Sim-lan jangan mau membuka mata, jangan memandang keadaannya sekarang. Maklum, selamanya ia tidak ingin membuat si nona berduka baginya.

Akan tetapi tangan Thi Sim-lan toh diturunkan juga dan menengadah. Seketika tubuh si nona lantas gemetar.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan menerjang maju, tangan memegang jeruji sangkar, sorot matanya penuh rasa duka dan putus asa, tapi dia tidak menjerit dan menangis, kerlingan matanya sungguh membuat hati orang remuk redam.

Bu-koat memejamkan mata, ia tidak tega memandang si nona, ia berharap bumi raya ini mendadak merekah dan menelannya bulat-bulat selamanya.

Tiba-tiba Kiau-kiau berucap dengan tertawa, “Hoa-kongcu, Kionghi, baru sekarang kutahu dia menyukaimu dengan setulus hati. Sungguh tidak mudah kau dapat merebutnya dari tangan Siau-hi-ji.”

“Haha, pantas Siau-hi-ji merasa cemburu, kiranya dia...”

“Tutup mulut!” bentak Hoa Bu-koat sekuatnya sebelum lanjut ucapan Ha-ha-ji. Dengan melotot ia pandang Toh Sat dan berteriak, “Kau sudah berjanji takkan menganggunya?”

“Betul,” jawab Toh Sat.

“Jika begitu, mengapa sekarang kalian memperlakukan begini padanya?” teriak Bu-koat.

“Sekarang tiada yang melukai dia, tiada yang mengganggu satu jarinya pun,” jawab Toh Sat.

“Tapi mengapa kalian melukai hatinya?”

“Melukai hatinya? Selama hidup aku tidak kenal istilah ini,” jengek Toh Sat.

“Kau... kau sendiri selamanya tidak pernah terluka hatimu?”

Sedingin sembilu sorot mata Toh Sat ucapnya, “Hakikatnya aku tidak punya hati untuk dilukai.”

Bu-koat tidak tahu apa yang harus diucapkannya pula. Ia merasa dirinya sebenarnya semakin tidak memahami orang lain, ia pun tidak tahu orang ini harus dibenci atau harus dikasihani?

Ia sendiri betapa pun juga masih mempunyai hati yang dapat dilukai, kalau seorang sudah tiada mempunyai hati untuk dilukai, itulah benar-benar menyedihkan.

Pada saat itu tertampak Pek Khay-sim juga telah kembali. Dia membawa dua bungkusan besar dan tiada hentinya mengomel, “Aku dapat mencarikan makanan bagi kalian, sungguh aku sendiri pun tidak percaya.”

“Haha, barangkali inilah untuk pertama kalinya kau berbuat sesuatu yang menguntungkan orang lain tanpa merugikan diri sendiri,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Ya, dan juga penghabisan kalinya,” tukas Pek Khay-sim.

“Dan mana Li Toa-jui, mengapa belum lagi pulang?” tanya Toh Sat.

“Dia mungkin kepergok setan,” tutur Pek Khay-sim.

“Kau tidak ke kota kecil itu bersama dia?” tanya Toh Sat pula.

“Masa aku mau jalan bersama serigala mulut besar itu,” teriak Pek Khay-sim. “Kalau dia mau menuju surga, aku lebih baik pergi ke neraka.”

“Jika demikian, makanan ini kau dapat dari mana?” tanya To Kiau-kiau.

“Dari biara di kaki bukit sana,” jawab Pek Khay-sim.

“Wah, biara!” teriak Kiau-kiau. “Masa kau suruh kami Ciacay selama tiga hari?”

Pek Khay-sim tertawa, jawabnya, “Memangnya kau kira Hwesio penghuni biara sana itu Ciacay semua? Supaya kau tahu, nasibmu lagi mujur, biara yang kutemukan itu kebetulan dihuni oleh Hwesio sontoloyo. Juragan dan pelayannya saja merasa sayang makan daging barang satu tahil pun, tapi mereka justru makan tanpa batas, daging sekati demi sekati disikat terus.”

“Hah, biara masa kau anggap seperti rumah makan, mana boleh kau anggap Hwesio membuka rumah makan?” kata Kiau-kiau dengan geli.

“Kau kira ada bedanya antara biara kaum Hwesio dengan rumah makan?” tanya Pek Khay-sim dengan melotot.

“Dengan sendirinya berbeda,” jawab Kiau-kiau.

“Umpamanya saja, rumah makan pasti akan menghidangkan makanan yang paling lezat bagi tamunya, sebaliknya biara kaum Hwesio hanya memberi makan orang lain dengan sebangsa tahu dan sayuran, mereka sendiri bersembunyi di dapur untuk makan daging. Malahan orang yang makan tahu dan sayur di biara kaum Hwesio itu akan jauh lebih mahal dibandingkan bila mereka makan besar di restoran.”

“Tapi di dunia ini kan tidak seluruh Hwesio sontoloyo suka makan daging dan minum arak, Hwesio yang prihatin dan suci juga banyak,” ujar To Kiau-kiau.

“Kalau tidak makan daging dan minum arak lantas kenapa? Apakah itu menandakan mereka orang baik-baik?” tanya Pek Khay-sim. “Huh, mereka tidak bekerja apa pun, tapi justru ada orang yang rela mengantarkan harta bagi mereka sekali pun harta benda mereka itu diperoleh dari kerja mati-matian.”

Lalu dia mendengus dan mengacungkan tiga jari, katanya pula, “Kau tahu, di dunia ini hanya ada tiga macam pekerjaan yang tidak perlu modal. Pertama menjadi lonte, kedua menjadi rampok, ketiga ialah menjadi Hwesio.”

“Omitohud, dosa, dosa, kalau kau mati mustahil tidak digusur ke neraka untuk dipotong lidahmu,” ucap Ha-ha-ji.

“Memangnya kalau sudah menjadi Hwesio lantas naik surga?” jengek Pek Khay-sim. “Hehe, jika orang di dunia ini sama ingin naik surga dan menjadi Hwesio, mungkin patung pemujaan di biara itu bisa mati kelaparan.”

“Makilah, silakan maki sepuasmu, toh tiada Hwesio yang mendengar makianmu kecuali Hwesio munafik seperti Ha-ha-ji,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Haha, biar pun kudengar juga kuanggap dia lagi kentut,” kata Ha-ha-ji. Dari bungkusnya segera dikeluarkannya sepotong daging terus dilalap, gumamnya dengan tertawa. “Mulut orang gunanya makan dan bukan untuk memaki orang, jika salah pakai, yang sial pasti dia sendiri.”

Sekonyong-konyong Pek-hujin melompat bangun dan mengincar kedua kantong makanan yang dibawa pulang Pek Khay-sim tadi.

Sekujur badanya penuh luka-luka, ada yang bekas cambuk, ada yang dicakarnya sendiri, sesungguhnya dia telah tersiksa sedemikian rupa sehingga tiada mirip orang, dia sudah mempunyai lagi martabat sebagai seorang manusia. Malahan sorot mata Pek-hujin sekarang lebih mirip seekor binatang buas.

“Apakah kau pun ingin makan?” tanya To Kiau-kiau sambil mengeluarkan sepotong bakpau.

Dengan suara serak Pek-hujin menjawab, “Di dunia ini hanya ada pesakitan yang harus dihukum dan tiada pesakitan yang tak diberi makan.”

“Maaf, kami justru ingin membikin kalian kelaparan,” kata Kiau-kiau.

Pek-hujin tidak bicara lagi, sebab rasa gatal aneh ditubuhnya kembali kumat.

“Mengapa kau sengaja membuat mereka kelaparan?” tanya Toh Sat.

“Ya, akan kugunakan mereka sebagai kelinci percobaan,” jawab To Kiau-kiau dengan tersenyum. “Ingin kutahu sampai berapa lama mereka akan kehabisan tenaga jika tidak diberi makan. Sesudah begitu baru kita mulai menggali gua ini.”

Pek Khay-sim menggeleng dan berucap dengan gegetun, “Orang hanya tahu di dunia ini ada perempuan yang berhati keji, tak tahunya bahwa ada sementara orang yang bukan lelaki dan tidak perempuan justru berhati lebih menakutkan.”

“Hehe, tak tersangka tuan Pek kita sekarang juga paham cara bagaimana berkasih sayang,” kata Kiau-kiau. “Cuma tampaknya kau pun tidak paham perasaannya, jika kau sangka ia menderita dan kesakitan, maka kelirulah kau.”

“Dia tidak menderita, tidak sakit? Memangnya dia sangat senang, sangat riang?” tanya Pek Khay-sim.

“Ya, memang begitulah,” jawab Kiau-kiau. “Sebab di dunia ini memang ada sementara orang yang suka disiksa dan dianiaya. Coba dengarkan suara keluh-kesahnya, suara rintihannya sekarang dapatkah kau bedakan apakah itu keluhan menderita atau rintihan kepuasan?”

Orang yang pulang terakhir ialah Li Toa-jui.

Waktu kembali hari pun sudah hampir terang tanah. Dia berlari-lari bekerja keras semalam suntuk, tapi sedikitnya dia tidak nampak letih dan mengantuk, sebaliknya sangat gembira dan tetap bersemangat.

Pek Khay-sim mencibir, jengeknya, “Coba kalian lihat betapa riang gembiranya seperti orang putus lotre satu miliar.”

Tapi To Kiau-kiau lantas menyela, “Jangan kau pedulikan dia yang sedang kentut, lekas ceritakan saja kejadian aneh apa yang kau lihat.”

“Dari mana kau tahu aku melihat kejadian aneh?” tanya Li Toa-jui.

“Jika kau berkaca sekarang, tentu kau tahu apa sebabnya?” jawab Kiau-kiau.

“Ya, ya, kelemahanku yang terbesar adalah aku tak dapat menyimpan perasaan,” ucap Li Toa-jui sambil meraba dagunya. “Entah sampai kapan baru dapat kulatih sehingga setaraf Toh-lotoa yang girang dan marah tidak kelihatan sama sekali!”

“Toh-lotoa juga bukan benar-benar tidak kenal rasa senang dan marah, jika hatinya lagi gembira tentu juga tertampak dari air mukanya, hanya saja hati Toh-lotoa selama ini memang tidak pernah gembira,” demikian ujar To Kiau-kiau.

Li Toa-jui melirik Toh Sat sekejap, mau tak mau ia pun merinding melihat wajahnya yang seram itu. Cepat ia berkata dengan tertawa, “Dugaan kalian memang tidak salah, kejadian yang dipergoki bukan saja sangat aneh, bahkan sangat menarik.”

“Kejadian apa sesungguhnya?” tanya Toh Sat dengan dingin.

“Waktu kuberangkat, sementara itu sudah menjelang tengah malam,” demikian tutur Li Toa-jui. “Semula kukira penduduk di kota kecil itu pasti sudah tidur semua, siapa tahu, setiba di sana seluruh kota kecil itu masih terang benderang orang masih berlalu lalang dengan ramainya, tampaknya jauh lebih ramai dari pada pasar malam di kota raja.”

“Sekali pun kota raja juga tidak ada pasar malam pada musim ini,” ujar Kiau-kiau.

“Ya, aku pun heran,” tutur Li Toa-jui lebih lanjut. “Maka aku lantas mencari tahu pada seseorang dan baru diketahui apa yang terjadi. Kiranya di sana kedatangan dua orang yang sengaja membuka tempat judi, bukan saja penduduk setempat siang malam ikut berjudi, bahkan penduduk sekitar kota sana juga sama berbondong-bondong membanjir tiba. Sebab itulah kota kecil yang biasanya sepi itu menjadi jauh lebih ramai dari pada-kota dagang yang besar.”

“Hanya tempat judi kecil begitu, mengapa punya daya tarik sebesar itu? Memangnya selama hidup orang-orang itu tidak pernah berjudi?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Haha, jadi bandar judi adalah usaha yang menguntungkan, boleh dikatakan tidak ada perusahaan lain di dunia ini yang lebih menguntungkan dari pada usaha judi,” seru Ha-ha-ji. “Hahaha, bagaimana kalau kita juga ramai-ramai jadi bandar untuk menyaingi kedua bocah itu?”

“Tempat judi seperti mereka itu mungkin kita tidak sanggup membukanya,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Sebab apa?” tanya Kiau-kiau.

“Sebab mereka membuka tempat judi bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk mencari senang saja, untuk memuaskan selera judi mereka,” tutur Li Toa-jui. “Orang-orang yang berjudi ke sana, jika menang, mereka akan mendapatkan kemenangannya sesuai taruhannya. Bila kalah mereka tidak perlu keluar uang, cukup bertekuk lutut dan menyembah satu kali, lalu boleh angkat kaki. Konon tidak sampai tiga hari kedua bandar itu sudah tombok belasan laksa tahil perak.”

Seketika mata Pek Khay-sim terbeliak, ucapnya, “Biasanya tidak ada yang mau bekerja rugi, jangan-jangan otak kedua orang itu sudah miring!”

“Otak mereka sih tidak miring, hanya selera judi mereka yang luar biasa, boleh dikatakan sudah mencandu,” tutur Li Toa-jui. “Siapa saja yang mengajak mereka bertaruh, mereka akan terima dengan senang hati, kalah atau menang bukan soal bagi mereka.”

To Kiau-kiau tertawa, katanya, “Hah, masa di dunia ini ada orang yang kecanduan judi seperti itu kecuali...” mendadak ia merandek dan melototi Li Toa-jui, lalu menegas, “Apakah dia?”

“Hahaha, kalau bukan dia, memangnya siapa lagi?” jawab Li Toa-jui dengan bergelak tertawa.

Mendadak Ha-ha-ji juga bertepuk, serunya, “Haha, sekarang aku pun tahu siapa setan judi begitu, di dunia ini memang tidak ada orang kedua selain dia.”

“Masa benar-benar Han-wan Sam-kong?” Toh Sat menegas dengan berkerut kening.

“Dengan sendirinya dia, siapa lagi?” jawab Li Toa-jui.

“Kau telah melihat dia?” tanya Toh Sat pula.

“Ya, tapi dia sendiri tidak melihatku,” tutur Li Toa-jui. “Saat itu dia lagi asyik bertaruh, matanya hanya tertuju kepada biji dadu dan kartu pay-kiu, sekali pun bapaknya sendiri berdiri di depannya juga tak dikenalnya lagi.”

To Kiau-kiau mengikik geli, ucapnya, “Memang, bila mana seorang pecandu judi lagi asyik bertaruh, biar pun sanak famili juga tidak dipedulikan. Cuma, apakah kau menyaksikan dia kalah dan membayar kepada lawannya?”

“Cara pertaruhannya sangat aneh juga,” tutur Li Toa-jui pula. “Satu kali menyembah dihargai satu tahil perak, satu kali pukul pantat dinilai dua tahil, maka kalau taruhannya dimenangkan dia, seketika tempat judi itu ramai dengan suara pantat orang digebuk dan kepala membentur lantai, ditambah lagi suara gelak tertawanya yang gembira, maka suasana menjadi riuh ramai.”

“Dan kalau dia kalah, kontan dia bayar, dikeluarkannya perak sepotong demi sepotong dan bayar kontan, satu peser pun tidak menunggak,” kata Li Toa-jui.

“Sungguh aneh, aku menjadi bingung,” ucap To Kiau-kiau. “Padahal Ok-tu-kui terkena suka bertaruh secara keras, tidak suka utang, tidak main curang. Malahan lebih bersifat ngotot, kalau hari terang, orang belum bubar dan uang belum ludes, tidak mungkin berhenti berjudi. Nah, jika menuruti cara berjudinya ini, biar pun malaikat juga akhirnya pasti kalah. Apalagi dia baru setan dan belum malaikat.”

“Haha, makanya dia selalu rudin, sampai sepatu yang layak saja tidak mampu beli, sepanjang tahun yang dipakainya adalah sepatu buntut yang depannya menganga dan belakangnya mengap,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Memang betul, selama ini Ok-tu-kui terkenal miskin, entah mengapa bisa berubah menjadi royal dan kaya mendadak, dari manakah dia mendapatkan perak sebanyak itu untuk membayar dia,” ujar Li Toa-jui.

“Aku pun tidak tahu sebab tidak kutanyai dia,” ujar Li Toa-jui.

“Sahabat lama bertemu, masa kau tidak menyapanya?” tanya To Kiau-kiau.

“Sejak dua puluh tahun yang lalu aku dipaksa bertaruh dengan dia, sejak itu pula kepalaku lantas pusing bila bertemu dengan dia,” tutur Li Toa-jui dengan tertawa. “Tentunya kalian tahu, aku ini selain suka makan daging manusia, biasanya tidak mempunyai hobi lain lagi.”

“Huh, melulu kesukaanmu itu saja sudah cukup alasan untuk memasukkan kau ke neraka, jika kau bertambah lagi hobi lain mungkin Giam-lo-ong akan bingung ke mana kau harus dikirim?” jengek Pek Khay-sim.

Li Toa-jui tertawa, tukasnya, “Kirim saja ke tempat tidur makmu!”

Keruan Pek Khay-sim berjingkrak murka, tapi sebelum dia bertindak lebih dahulu Toh Sat telah bersuara, ia paling jeri pada Toh Sat, terpaksa ia menahan gusarnya dan tidak berani bersuara pula.

“Lalu siapa lagi orang yang berkongsi dengar Han-wan Sam-kong itu”

“Sebelumnya malahan aku tidak pernah melihatnya,” jawab Li Toa-jui.

“O, macam apakah orang itu?” tanya Kiau-kiau,

“Kurus kecil, mukanya tidak menarik, kau pasti tidak suka padanya,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.

“Belum tentu,” kata To Kiau-kiau dengan acuh. “Bisa jadi orang begitu akan sangat menarik bagiku.”

“Aku pun sangat tertarik terhadap orang begini,” tukas Pek Khay-sim, “Aku menjadi ingin tahu cara bagaimana dia bisa bersahabat dengan Ok-tu-kui, bisa jadi dia yang merogoh saku apa bila Ok-tu-kui kalah bertaruh.”

To Kiau-kiau mengerling, ucapnya dengan tertawa, “Jika kita berdua sama-sama menaruh minat padanya, maka nanti kita boleh ke sana untuk menjenguk mereka.”

“Tapi alat penggali yang kita perlukan sudah kubawa kemari, sudah dua hari juga mereka terkurung di sini, malam nanti juga kita harus mulai bekerja,” kata Li Toa-jui.

“Hoa-kongcu ini saja tidak gelisah, mengapa kau malah terburu-buru?” omel Kiau-kiau…..

********************

Meski sudah jauh malam, tapi kota kecil itu benar-benar masih terang benderang, orang pun masih ramai berlalu lalang, kebanyakan orang juga riang gembira, namun sembilan di antara sepuluh orang itu tampaknya bukan orang baik-baik, kalau bukan pencoleng tentulah kaum gelandangan.

Tapi dandanan To Kiau-kiau sekarang justru sangat apik dan terhormat, ia menyamar sebagai seorang Siucay (gelar terendah kaum sastrawan ujian negara) miskin. Dan dengan sendirinya Pek Khay-sim menyaru sebagai pengiring atau jongosnya.

Di tepi jalan kota kecil itu banyak penjaja makanan, ada pangsit mi, mi babat, nasi campur, bubur ayam, yan-cian-ngo-hiang (sosis) dan macam-macam lagi, ingin daging anjing juga ada.

To Kiau-kiau memilih pangsit-mi, ia duduk di bangku dan pesan semangkuk pangsit serta satu porsi daging rebus, sudah tentu tidak ketinggalan sepoci arak.

Pek Khay-sim sangat mendongkol, hati pingin makan, tapi apa daya, terpaksa ia harus menyaksikan To Kiau-kiau makan minum doang. Maklum dia menyamar sebagai jongos, mana boleh seorang jongos duduk makan bersama sang cukong?

Si tukang pangsit adalah seorang tua, sambil membuatkan pangsit yang diminta sembari mengajak ngobrol, ia bertanya, “Apakah Tuan juga datang untuk berjudi?”

“Bukan,” jawab Kiau-kiau acuh tak acuh.

“Ya, tampaknya tuan bukan orang yang kemaruk pada beberapa tahil perak lalu rela pantat dipukul orang atau menyembah segala,” kata si tukang pangsit. “Coba Tuan lihat, yang datang kemari ini hampir seluruhnya kaum pencoleng di sekitar kota ini, orang terhormat sebagai Tuan tentu tidak sudi.”

“Jika kau benci pada orang-orang ini, mengapa kau berjualan di sini dan menarik keuntungan dari mereka?” tanya Kiau-kiau.

Si tukang pangsit menyengir, jawabnya, “Manusia ada bedanya antara yang baik dan jahat, tapi perak kan sama putihnya? Tuan tahu?!”

To Kiau-kiau tertawa, tanyanya pula. “Apakah pernah kau lihat orang yang menjadi bandar judi itu?”

“Kedua orang itu mungkin sudah gila semua,” tutur si tukang pangsit dengan gegetun. “Tuan tahu, terutama yang kurus kecil itu, bila dia tidak ikut bertaruhan, maka ia cuma duduk termenung saja seperti habis kematian ayah-ibunya. Tapi sekali dia sudah pegang kartu, wah, lantas penuh semangat seperti habis makan obat kuat. Konon sampai sekarang dia sudah main tiga hari tiga malam dan belum ganti tangan. Tuan tahu?!”

“Apakah mereka mampu bayar jika kalah banyak?” tanya Kiau-kiau pula.

“Konon mereka membawa modal dua kereta penuh,” tutur si tukang pangsit. “Coba pikir, bukankah mereka itu orang sinting, mungkin leluhur mereka berdosa, maka melahirkan anak cucu yang membikin bangkrut.”

Rasa pangsit-mi itu tidak cukup enak, hanya beberapa kali menyumpit saja To Kiau-kiau lantas taruh mangkuknya. Lalu suruh tukang pangsit menghitung harganya.

Setelah putar kayun ke sana-sini, tetap To Kiau-kiau tidak memperoleh sesuatu berita istimewa, hanya diketahui selera judi sekutu Han-wan Sam-kong bahkan lebih besar dari pada Ok-tu-kui itu, bila mana kebetulan tidak berminat, maka dia hanya duduk termenung seperti orang mampus.

“Tampaknya sekali ini Ok-tu-kui telah menemukan sahabat yang sepaham,” ujar Pek Khay-sim dengan tertawa.

To Kiau-kiau berpikir sejenak, katanya kemudian, “Kukira sekutunya itu bisa jadi sedang stress, maka menggunakan judi sebagai hiburan. Bukankah orang suka bilang bila mana orang berjudi maka urusan lain akan terlupakan seluruhnya.”

“Cara bagaimana kau bisa berpikir demikian?” tanya Pek Khay-sim.

“Sebab aku tidak mengerti dunia ini masih ada orang yang punya hobi judi lebih besar dari pada Han-wan Sam-kong.”

Sambil bicara mereka ikut berjubel bersama orang banyak dan masuk ke suatu hotel. Hotel ini tidak besar dan merupakan hotel satu-satunya di kota kecil ini, kini hotel kecil ini hampir meledak karena berjubelnya pengunjung. Sebab kasino (rumah judi) yang dibuka Han-wan Sam-kong justru berada di dalam hotel itu.

Hotel kecil ini sebenarnya cuma ada empat kamar yang lumayan, sekarang keempat kamar ini telah ditembus, dinding yang menghadap halaman juga telah dijebol sehingga berwujud menjadi bangsal yang panjang.

Waktu To Kiau-kiau berdua masuk ke situ, tertampak di mana-mana hanya pengunjung yang berdesakan. Perawakan To Kiau-kiau memang tidak tinggi, dengan sendirinya ia tidak dapat melihat di mana beradanya Han-wan Sam-kong. Terdengar suara seorang lagi memaki sambil bergelak tertawa, “Hahaha, anak kura-kura, kenapa kalian main berjubel begini, antrilah secara teratur, bila berdesakan begini, sebentar kuning telur kalian mungkin tergencet keluar...”

Meski sudah dua puluh tahun To Kiau-kiau tidak mendengar suaranya, tapi begitu mendengar istilah ‘anak kura-kura’ segera ia tahu itu pasti Ok-tu-kui adanya.

“Marilah kita pun berdesakan ke depan, bila melihat kita mustahil Ok-tu-kui tidak berjingkrak kaget,” ujar Pek Khay-sim.

“Nanti dulu, jangan terburu-buru,” kata Kiau-kiau.

“Kita lihat dulu sesungguhnya orang macam apakah sekutu Ok-tu-kui itu.”

“Tapi kalau terus berdiri di sini, selain pantat orang-orang ini apa yang dapat kau lihat lagi?”

Tiba-tiba Kiau-kiau mendapat akal, ia tutuk Hiat-to dua orang di depannya, kontan kedua orang itu roboh tanpa bersuara, bahkan tiada seorang pun yang perhatikan mereka. Dengan leluasa To Kiau-kiau lantas menggunakan tubuh kedua orang itu sebagai panggung, ia berdiri di atas tubuh mereka.

Dari situ akhirnya To Kiau-kiau dapat melihat Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

Agaknya yang sedang terjadi pertaruhan ialah main dadu, cara bertaruhnya juga sederhana, hanya menebak: “besar” atau “kecil”.

Dadu terdiri dari tiga biji, setiap biji dadu yang berbentuk persegi itu mempunyai enam sisi, tiap-tiap sisi diberi titik. Dari satu titik sampai enam titik.

Dadu dimasukkan dalam mangkuk bertutup lalu dikocok, bila mangkuk dibuka dan titik ketiga dadu berjumlah sepuluh atau lebih berarti “besar”, jika berjumlah sembilan atau kurang dari pada itu adalah “kecil”.

Saat itu Han-wan Sam-kong menggunakan sebuah meja panjang dengan taplak putih, di tengah taplak bergaris hitam, di sebelah sana tertulis sebuah huruf “besar” dan di sebelah sini huruf “kecil”.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar