Bahagia Pendekar Binal Jilid 26

Padahal dengan Ginkang Hoa Bu-koat, ke mana pun perginya Thi Sim-lan pasti dapat disusulnya. Namun seluruh pelosok Ku-san itu sudah dijelajahinya dan bayangan Thi Sim-lan tetap tak terlihat.

Setelah putus asa dan ingin kembali ke gua sana, namun gua tikus Gui Bu-geh itu sudah tertutup rapat.

Perubahan ini membuat Hoa Bu-koat terkejut dan kebingungan, dia menjerit dan berteriak-teriak, namun tiada suara jawaban. Jelas Ih-hoa-kiongcu dan Siau-hi-ji telah terkurung di dalam gua itu, kalau tidak masakan mereka tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Ketika kemudian dia dapat meminjam cangkul dari seorang petani di lereng bukit, sementara itu hari sudah mendekati senja, lereng bukit sudah mulai berkabut.

Dengan segenap tenaganya dia mulai menggali. Waktu permulaan ia merasa tanah pegunungan itu dengan mudah dapat dicangkulnya, tapi makin lama terasa semakin keras dan makin berat, akhirnya terasa keras seperti besi.

Ia tahu tenaga sendiri sudah tidak tahan namun dia pantang berhenti, ia pun tidak tahu apa yang terjadi di dalam gua, sungguh hampir gila dia memikirkannya.

Sementara itu remang-remang malam sudah tiba. Di tengah suasana yang remang-remang itulah tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang, dari garis tubuhnya jelas itulah bayangan orang perempuan. Tanpa bicara bayangan itu cuma berdiri di situ, memandang Hoa Bu-koat dengan terkesima.

Meski Bu-koat tidak mendengar suaranya, tapi nalurinya sudah merasakan sesuatu, perlahan ia berhenti mencangkul dan cepat berpaling. Lalu, seperti bayangan orang itu, ia pun melenggong tak bergerak.

Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa orang yang berdiri di depannya sekarang adalah orang yang telah dicarinya dengan susah payah dan tidak bertemu, yaitu Thi Sim-lan.

Waktu dia mencari nona itu di segenap pelosok lereng bukit, pikirannya bergolak seperti langkahnya yang tidak pernah berhenti. Teringat banyak persoalan yang hendak dibicarakannya dengan Thi Sim-lan. Akan tetapi sekarang, setelah dia berhadapan dengan si nona, berbalik ia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Thi Sim-lan juga tidak bicara apa-apa, bahkan tidak berani beradu pandang dengan Bu-koat, tapi perlahan-lahan ia menunduk dan memainkan ujung baju yang tersingkap tertiup angin.

Dia berdiri seperti patung, meski tampaknya begitu tenang, namun hatinya jauh lebih kusut dari pada rambutnya yang semrawut.

Dengan sendirinya perasaan Bu-koat juga tidak tenang seperti lahirnya, selang agak lama barulah dia menghela napas panjang dan berucap, “Ta... tadi ke manakah kau?”

“Aku... aku tidak pergi ke mana-mana, sejak tadi aku berada di sini,” jawab Sim-lan sambil menunduk.

Ujung mulut Bu-koat bergerak seperti ingin tertawa tapi urung. Akhirnya ia pun menunduk, katanya, “Kiranya kau tidak pergi ke mana-mana, pantas tak dapat kutemukan kau.”

“Engkau mencari aku?” tanya Sim-lan.

“Ya, sudah kucari ke mana-mana, cuma tak tersangka engkau masih di sini?”

“Aku pun melihat engkau keluar dari situ, tak tersangka engkau akan mencariku.”

Bu-koat angkat kepala memandangnya sekejap, lalu menunduk pula.

“Jika engkau tidak menyangka aku masih berada di sini, mengapa engkau kembali lagi ke sini?”

“Aku... aku bukan...”

“Kembalimu ke sini bukan untuk mencari aku? Habis untuk apa kau kembali lagi ke sini? Mereka kan sudah pergi semua, mengapa engkau tidak ikut pergi bersama mereka?”

Cepat Bu-koat mengangkat kepalanya dan berseru, “Sia... siapa yang kau maksudkan sudah pergi semua?”

“Yang kumaksudkan sudah tentu gurumu dan... dan So Ing mereka.”

Hampir saja Bu-koat melonjak maju dan memegang tangan si nona, dengan suara terputus-putus ia tanya pula, “Kau... kau benar-benar melihat mereka sudah pergi semua?”

Kepala Thi Sim-lan menunduk hampir terbenam sampai di dada sendiri, jawabnya lirih, “Ya, benar, masa engkau tidak melihat mereka?”

Terkejut dan bergirang pula Bu-koat, ia tertawa dan berseru, “O, langit, O, bumi, tadinya kukira mereka terkurung di dalam situ.”

“Kau kira siapa yang dapat mengurung mereka di dalam situ?” tanya Sim-lan.

“Dengan sendirinya kusangka Gui Bu-geh.”

“Tadi engkau bertemu dengan Gui Bu-geh?” tanya Sim-lan sambil berkedip-kedip.

“Tidak,” jawab Bu-koat. “Di dalam situ tiada terdapat seorang pun, tadi kukira Gui Bu-geh pasti bersembunyi, pada waktu mereka tidak berjaga-jaga lalu menutup pintu dan membuat buntu jalan keluarnya.”

Sim-lan tertawa menunduk, ucapnya, “Tampaknya rasa curigamu juga tidak kecil.”

Tanpa terasa Bu-koat juga menunduk dan tertawa, baru sekarang ia tahu tangan si nona telah digenggamnya, jantungnya berdebar keras dan segera hendak melepas tangannya.

Siapa tahu, seperti sengaja dan tidak sengaja, tahu-tahu Thi Sim-lan juga memegang tangannya dan berkata, “Gua ini di buntu oleh gurumu, agaknya dia tidak ingin orang lain masuk lagi ke situ, aku menjadi menyesal mengapa... mengapa tadi aku tidak masuk ke sana.”

Jantung Bu-koat berdetak keras, ia menarik napas panjang-panjang, ucapnya dengan tertawa, “Sebenarnya di dalam sana juga tiada sesuatu yang baik untuk dilihat.”

“Konon selama hidup Gui Bu-geh sangat suka mengumpulkan benda mestika, banyak barang koleksinya adalah benda yang sukar dicari di dunia ini, masa engkau tidak melihatnya?”

“Tidak, aku tidak melihat apa-apa, bisa jadi ia pergi dengan membawa semua barangnya.”

“Mungkin engkau tidak menaruh perhatian.”

“Ya, bisa jadi,” Bu-koat mengangguk. “Tapi tahukah mereka menuju ke arah mana?”

Seenaknya Thi Sim-lan menuding ke arah rembulan dan menjawab, “Ke sana.”

“Aneh, mengapa aku tidak menemukan mereka?” ucap Bu-koat sambil berkerut kening, “Mengapa mereka tidak menunggu aku?”

“Mereka berangkat dengan tergesa-gesa, seperti mendadak menemukan sesuatu,” kata Thi Sim-lan.

“Sudah berapa lama mereka pergi?” tanya Bu-koat.

“Baru saja mereka berangkat, lalu engkau datang kembali”

“Jika demikian, lekas kita menyusulnya, mungkin masih keburu.”

“Tidak, aku tidak mau ikut,” kata Thi Sim-lan.

“Kau harus ikut,” bujuk Bu-koat dengan suara lembut. “Sebab...”

“Tidak, aku tidak mau, kau pun jangan pergi,” sela Thi Sim-lan.

“Sebab apa?” melengak juga Bu-koat.

Thi Sim-lan menengadah dan memandang anak muda itu, katanya perlahan, “Sebab aku tidak mungkin menemui mereka dan juga tidak ingin engkau bertemu lagi dengan mereka.”

Mestinya Bu-koat hendak bicara pula, tapi mendadak dilihatnya sorot mata si nona berubah sangat aneh.

Mata Thi Sim-lan sebenarnya bersih dan bening, cuma akhir-akhir ini dia banyak duka merana sehingga matanya sayu dan mengharukan. Tapi sekarang sorot matanya berubah sedemikian tajam, bahkan kerlingannya tampak licik dan membawa rasa seram.

Dipandang dalam kegelapan, perawakan dan potongan tubuhnya, wajahnya dan gerak-geriknya memang sama seperti Thi Sim-lan, hanya sepasang matanya saja... Ya, betapa pun juga matanya ini jelas bukan milik Thi Sim-lan.

Begitu merasa gelagat tidak baik, segera Bu-koat bermaksud mundur.

Akan tetapi sudah terlambat, tiba-tiba Bu-koat merasa tangannya kesemutan, menyusul seluruh anggota badannya lantas kaku.

Dengan tenaga yang masih dapat dikerahkan, sekuatnya ia menabas dengan sebelah tangan, akan tetapi “Thi Sim-lan” sempat melompat mundur dengan cepat. Waktu Bu-koat ingin mengejar, namun kaki tangan sudah tak bisa bergerak lagi.

Terdengar “Thi Sim-lan” tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, “Wahai Hoa Bu-koat, tampaknya kau terlalu jauh dibandingkan Siau-hi-ji. Apa bila Siau-hi-ji, hahaha, tidak sampai tiga kalimat kubicara tentu sudah dikenali olehnya.”

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Bu-koat dengan gemas.

“Masa gurumu tidak pernah memberitahukan padamu, siapa di dunia ini yang paling mahir menyamar?” kata nona yang mengaku sebagai Thi Sim-lan itu.

Dengan gegetun Bu-koat berteriak, “Manusia rendah dan tidak tahu malu seperti kalian ini tidak mungkin disebut-sebut oleh guruku.”

“Hahaha, jika begitu sekarang juga dapat kukatakan padamu, di kolong langit ini hanya nenekmu she To inilah yang paling ahli dalam hal menyamar dan tiada bandingannya.”

Tergerak pikiran Hoa Bu-koat, segera teringat olehnya nama To Kiau-kiau, salah satu dari Cap-toa-ok-jin yang terkenal dengan julukan ‘tidak lelaki tidak perempuan’ itu. Namun sekarang ia merasa lemas dan tidak sanggup berdiri tegak, belum lagi ia bersuara pula, tahu-tahu lantas roboh terjungkal.

Segera terdengar seorang lagi menjengek, “Hm, kau pun tak perlu terlalu gembira, menurut pandanganku, sedikit kepandaianmu menyamar ini juga bukan sesuatu yang luar biasa, bukankah akhirnya penyamaranmu juga diketahui olehnya?”

“Betul, akhirnya memang dapat dilihat olehnya,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. “Tapi ini pun disebabkan aku tidak cukup waktu untuk mempelajari gerak-gerik Thi Sim-lan, total jenderal aku hanya mendapat waktu setengah jam untuk menirunya. Coba, bila aku diberi tempo setengah hari, sekali pun di siang hari juga bocah ini dapat kukelabui.”

Orang tadi menjengek pula, katanya, “Huh, selama beberapa tahun ini, kepandaianmu yang lain jelas tiada kemajuan apa-apa, hanya kepandaiamu membual memang maju pesat, mungkin ini hasil pelajaranmu dari serigala mulut lebar itu (maksudnya Li Toa-jui).”

Yang mengejek sejak tadi jelas ialah Pek Khay-sim, si ‘tukang buat rugi orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’.

Dengan sendirinya Toh Sat, Ha-ha-ji dan Li Toa-jui juga ikut muncul seluruhnya. Hanya Im Kiu-yu saja si setengah manusia setengah setan itu seolah-olah tidak berani memperlihatkan diri di depan umum dan selalu main sembunyi-sembunyi, tapi rasanya setiap waktu ia pun bisa menongol.

Diam-diam Bu-koat sudah dapat menerka siapa gerangan orang-orang ini. Ia menyadari bagaimana nasibnya sendiri setelah jatuh di tangan orang ini, hakikatnya seperti kambing berada di rumah pemotongan.

Namun dia tidak khawatir bagi keadaan sendiri, sebab ia tahu keadaan Ih-hoa-kiongcu dan Thi Sim-lan sekarang pasti jauh lebih berbahagia dari padanya.

Terlihat Ha-ha-ji mendekatinya dengan berlenggang, lebih dulu ia memberi hormat, lalu tertawa ngakak dan berkata, “Haha, Hoa-kongcu, maaf seribu maaf. Sebenarnya Cayhe dan kawan-kawan tidak berani berlaku tidak sopan padamu, namun ilmu silat Kongcu sesungguhnya teramat tinggi, terpaksa kami menggunakan cara demikian.”

“Hehe, mulut si gendut ini berlumur madu, padahal hatinya lebih busuk dari pada siapa pun juga,” demikian Pek Khay-sim berolok-olok. “Maka apa pun yang dikatanya paling baik kau anggap saja seperti kentut, kalau tidak kau sendiri bisa celaka.”

“Hahaha, kalau kentutnya sih kentut manusia, sebaliknya kentutmu justru kentut anjing,” sambung Li Toa-jui dengan terbahak.

Sembari tertawa ia pun mendekati Hoa Bu-koat, ia pandang anak muda itu dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, mungkin bapak mertua yang lagi meneliti calon menantu juga tidak secermat dia. Setelah mengamat-amati sekian lama, mulutnya berkecak-kecak memuji dan bergumam, “Ehmm, bagus, bagus sekali. Daging sebagus ini sungguh sukar dicari, di antara seribu orang sukar ditemukan satu. Hanya kurusan sedikit, jika dimasak Ang-sio kurang berminyak.”

Sambil bicara air liurnya seakan-akan menetes, jakunnya naik turun, malahan sebelah tangannya terus mencolek perut Bu-koat, mirip seorang nenek lagi memilih ayam sembelihan di pasar.

Cemas dan gemas pula Bu-koat, tapi apa daya, hendak melawan juga tidak mampu.

Syukur pada saat itu Toh Sat lantas membentak, “Berhenti!”

Segera Li Toa-jui menarik kembali tangannya katanya dengan tertawa, “Aku kan tidak hendak menyembelih dia sekarang, hanya mencoleknya sekali kan boleh?”

“Betapa pun orang ini adalah seorang pilihan,” jengek Toh Sat. “Meski aku tak dapat mengalahkan dia dengan ilmu silat, sedikitnya harus kuhormati dia secara sopan. Kau boleh membunuh dia, tapi tidak boleh menghinanya.”

Baru sekarang Hoa Bu-koat mendengar ucapan manusia sejati, tanpa terasa ia menghela napas lega, katanya, “Terima kasih!”

“Kau tahu yang kuhormati bukanlah pribadimu, bukan kedudukanmu, yang kuhormati adalah ilmu silatmu saja, kau patut dihormati.”

Bu-koat terdiam sejenak, ucapnya kemudian, “Cayhe sudah jatuh di tangan kalian, mati hidup tak terpikir lagi olehku, lebih-lebih tak pernah kuharapkan akan kau hormati segala, hanya saja Thi Sim-lan...” dia tatap Toh Sat dengan tajam lalu menyambung dengan sekata demi sekata, “Apakah Thi Sim-lan juga jatuh di tangan kalian?”

Dia tidak tanya orang lain, tapi tanya kepada Toh Sat, sebab ia tahu di antara kelima orang ini hanya orang berwajah dingin inilah yang tidak suka omong kosong.

Benar juga, Toh Sat lantas menjawab, “Ya, betul.”

Dengan mendongkol Bu-koat berkata, “Lelaki gagah seperti Saudara, tentunya takkan membikin susah seorang gadis lemah.”

“Gadis lemah? Hahahaha, kau kira dia gadis lemah?” To Kiau-kiau bergelak tertawa. “Kulihat dia jauh lebih kuat dari pada sementara lelaki di dunia ini. Tapi kau pun jangan khawatir, kami pasti takkan membikin susah dia.”

Bu-koat tidak pedulikan orang lain dan tetap menatap Toh Sat, katanya pula, “Jika Saudara sudi membebaskan dia, mati pun Cayhe takkan menyesal.”

“Membebaskan dia tidak boleh, tapi kami pasti takkan mengganggu seujung rambutnya.”

“Betul?” Bu-koat menegas.

“Ya, terus terang, ayahnya adalah saudara angkat kami, mana bisa kubuat susah dia,” kata Toh Sat.

“Hah, ayahnya...” Bu-koat melenggong.

“Hahahaha, memangnya kau kira dia berasal dari keluarga terpelajar atau bangsawan? Bicara terus terang, ayahnya juga serupa kami, bukan manusia baik-baik,” seru Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Sia... siapakah ayahnya?” tanya Bu-koat dengan suara parau.

“Ayahnya bernama Thi Cian dan terkenal dengan julukan ‘Ong Say’ (si singa gila), ia pun tergolong manusia rendah yang tidak pernah disebut oleh gurumu, tentu saja kau tidak pernah dengar namanya,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Meski Thi Cian termasuk Cap-toa-ok-jin, tapi selain wataknya yang keras dan angkuh, jika bicara tentang tindak tanduknya serta jiwanya yang teguh, rasa-rasanya dia pasti tidak di bawah orang yang sok mengaku sebagai golongan pendekar berbudi segala,” ucap Toh Sat dengan suara bengis.

Bu-koat menghela napas panjang, katanya, “Jika demikian, legalah hatiku, sekarang aku cuma ingin minta petunjuk sesuatu padamu.”

“Bicara!” ucap Toh Sat singkat.

“Guruku...”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan tertawa To Kiau-kiau telah memotong, “Soal ini kau pun tidak perlu khawatir. Mereka memang terkurung di dalam gua ini oleh Gui Bu-geh, kecuali bisa memperoleh peralatan besar untuk menggali bukit ini, kalau tidak, selama hidup mereka jangan harap akan bisa keluar lagi.”

“Apa... apa betul?” Bu-koat menegas, sekujur badan serasa lemas.

“Sebegitu jauh tidak kulihat mereka keluar lagi,” ujar Toh Sat.

Bu-koat memejamkan mata dan tidak bicara pula.

Li Toa-jui tertawa sambil memandang Bu-koat, ucapnya, “Paling sedikit bocah ini ada satu segi baiknya.”

“Baik dalam hal apa?” tanya To Kiau-kiau.

“Sedikitnya dia tahu bilakah dia harus tutup mulut,” kata Li Toa-jui.

“Haha, betul!” timbrung Ha-ha-ji sambil berkeplok. “Meski ia dibesarkan di tengah kerumunan perempuan, tapi dia tahu kapan harus tutup mulut, hal ini sungguh harus dipuji.”

“Dalam hal ini jelas kalian tidak paham,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa “Orang yang hidup di lingkungan yang cuma orang perempuan melulu justru tidak suka banyak omong.”

“Sebab apa?” tanya Li Toa-jui.

“Coba pikir,” tutur To Kiau-kiau dengan sungguh-sungguh. “Dia hidup di tengah-tengah perempuan sebanyak itu, mana dia ada kesempatan untuk bicara?”

“Haha, betul,” seru Li Toa-jui sambil bertepuk tertawa. “Selama hidupmu ini mungkin ucapanmu inilah yang paling bagus dan paling tepat.”

Lalu To Kiau-kiau mendekati Hoa Bu-koat, katanya dengan perlahan, “Kini satu-satunya ahli waris Ih-hoa-kiongcu sudah meringkuk di sini, kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu juga tak dapat keluar lagi, Ih-hoa-kiongcu yang gilang gemilang selama ini selanjutnya akan pudar dan sirna. Nah, semua ini jasa siapakah? Apakah kalian sudah tahu jelas?”

“Haha, dengan sendirinya adalah jasamu,” kata Ha-ha-ji.

“Asal tahu saja,” ucap To Kiau-kiau. “Dan kalau sudah tahu, cara bagaimana kalian harus berterima kasih padaku.”

Cepat Pek Khay-sim mendahului menjawab, “Baiklah, kita hadiahkan serigala mulut besar ini sebagai jodohmu, bila mana kau menjadi perempuan suruh dia menjadi lakimu, kalau kau ingin menjadi laki-laki, tinggal suruh dia ganti tempat saja.”

Ia merasa ucapannya sendiri sangat lucu, maka sebelum orang lain tertawa ia sendiri sudah mendahului tertawa.

Li Toa-jui berjingkrak murka, ia meraung, “Kentut makmu busuk, kau sendiri anak jadah.”

Namun To Kiau-kiau hanya terkikik-kikik, katanya, “Jangan khawatir, orang-orang macam kalian ini biar pun dihadiahkan secara gratis juga aku tidak sudi.”

“Omitohud! Hahaha, habis apa yang kau harapkan?” tanya Ha-ha-ji.

To Kiau-kiau mengerling genit, katanya kemudian. “Aku cuma minta kalian membagi sebuah lebih banyak dari pada beberapa buah peti itu.”

“Tidak menjadi soal, akan kubagi kau lebih banyak,” segera Ha-ha-ji menyatakan setuju.

Tapi Pek Khay-sim menyanggah, jengeknya, “Hm, karena kau tahu tiada seorang pun di antara kita akan mendapatkan peti-peti itu, maka kau lantas berlagak murah hati.”

“Dari mana kau tahu takkan mendapatkan peti-peti itu?” tanya Kiau-kiau.

“Hakikatnya sampai detik ini kau pun tak tahu peti-peti itu berada di mana?” jawab Pek Khay-sim.

“Bisa jadi kutahu, lalu bagaimana?” ujar Kiau-kiau.

“Hah, kau tahu?” melonjak juga Pek Khay-sim.

To Kiau-kiau tidak menggubrisnya, tapi ia berkata kepada Toh Sat, “Toh-lotoa, maukah kau membagi satu peti lebih banyak padaku?”

“Baik,” jawab Toh Sat setelah menatapnya sejenak.

“Nah, asalkan Toh-lotoa sudah menyanggupi, maka legalah aku,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Coba katakan sekarang, di mana peti-peti itu?” tanya Li Toa-jui pula.

“Kupikir peti-peti itu pasti berada di dalam gua ini,” tutur Kiau-kiau, “Betapa pun tidak mungkin Gui Bu-geh memindahkan peti-peti yang besar dan berat itu.”

“Tapi Hoa Bu-koat bilang tidak melihat apa-apa,” kata Li Toa-jui.

“Dengan sendirinya mereka tidak memperhatikan beberapa peti itu,” kata Kiau-kiau. “Kuyakin waktu itu kedua Auyang bersaudara juga pasti tidak berani menipu Gui Bu-geh, maka besar kemungkinan peti-peti itu masih tersimpan di dalam gua ini.”

“Hah, bagus, bagus, silakan kau masuk ke sana, peti pasti masih tersimpan di situ, tapi aku ingin mohon diri untuk pergi saja,” seru Pek Khay-sim sambil tertawa. Benar juga, segera ia angkat kaki dan pergi.

“Keparat ini benar-benar pergi, apakah kau tahu sebab apa dia pergi?” tanya Li Toa-jui.

To Kiau-kiau tertawa, jawabnya, “Dia mengira kita takkan mampu masuk ke dalam gua, andaikan dapat masuk juga sama seperti kambing disodorkan ke mulut harimau dan tidak mungkin bisa keluar lagi.”

“Apakah kau ingin masuk ke sana?” tanya Li Toa-jui. “Kalau kita masuk ke situ, yang pasti akan keluar lagi ialah Ih-hoa-kiongcu, sebab meski Gui Bu-geh mampu mengurung mereka di dalam, tapi pasti tidak mampu mencelakai mereka. Mereka pun takkan berterima kasih karena kita telah menolong mereka.”

“Wah, jika begitu, rasanya aku juga mau pergi saja bersama Pek Khay-sim,” kata Ha-ha-ji.

“Kalau kita masuk sekarang memang akan seperti babi panggang disuguhkan ke mulut mereka,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Tapi kan tiada peraturan yang mengharuskan kita harus masuk sekarang juga?”

“Hahaha, memang betul juga, memang tiada peraturan begitu,” seru Ha-ha-ji dengan mata berkilau.

“Jika Gui Bu-geh dapat mengurung mereka di dalam situ, tentu sebelumnya sudah dirancang dengan cermat,” tutur Kiau-kiau. “Di dalam gua pasti tak terdapat bahan makanan dan minuman.”

“Betul, Gui Bu-geh pasti sudah memperhitungkan mereka akan mati kelaparan di situ,” tukas Li Toa-jui.

“Coba jawab, badanmu biasanya sangat sehat bukan?” tiba-tiba To Kiau-kiau tanya kepada Li Toa-jui.

“Sudah tentu,” jawab Li Toa-jui dengan tertawa. “Kan sering kukatakan kepada kalian bahwa daging manusia jauh lebih baik dari pada daging lain, lebih bergizi dan lebih banyak menambah tenaga, orang biasa makan daging manusia pasti akan selalu sehat walafiat, kuat dan tangkas.”

“Dan berapa lama kau tahan lapar?” tanya Kiau-kiau pula.

Terbeliak mata Li Toa-jui, jawabnya, “Wah, jika tidak makan apa-apa sedikitnya kutahan sepuluh hari sampai setengah bulan, tapi kalau tiada air minum, dua hari saja tidak tahan.”

“Itulah dia,” seru To Kiau-kiau dengan bergelak tawa. “Betapa pun kuatnya seseorang, tanpa minum air dua hari saja pasti akan roboh juga. Seandainya Ih-hoa-kiongcu memang jauh lebih kuat ketahanannya dari pada orang lain juga takkan tahan lebih dari tiga hari.”

“Haha, betul, jika begitu, kenapa kita tidak menunggu saja selama tiga atau lima hari baru kemudian masuk ke situ?” tukas Ha-ha-ji.

Belum lenyap suaranya, mendadak Pek Khay-sim melompat keluar dari balik pohon sana dan berseru dengan tertawa, “Betul, kita tunggu lagi tiga hari baru nanti kita masuk ke situ. Hahaha, wahai To Kiau-kiau, kau memang jauh lebih cerdik dari pada apa yang pernah kubayangkan.”

Meski sejak tadi Hoa Bu-koat memejamkan mata, tapi telinganya tetap terbuka, dengan sendirinya percakapan mereka dapat didengarnya. Seketika perasaannya tertekan, cemas dan gelisah.

Didengarnya Ha-ha-ji berkata pula dengan tertawa, “Haha, memangnya apa susahnya kita tunggu di sini, kita dapat makan minum enak di sini, biar pun menunggu tiga bulan juga tidak menjadi soal.”

“Masa kita lantas menunggu di sini melulu?” kata Pek Khay-sim.

“Dengan sendirinya cuma menunggu saja di sini,” ujar Kiau-kiau. “Sebab kita juga tidak ingin orang lain masuk lebih dulu, siapa pun yang muncul di sini, kita harus berdaya mengenyahkannya.”

Sejak tadi Toh Sat diam saja, kini mendadak ia berucap dengan kaku, “Dan bagaimana kalau Gui Bu-geh yang muncul kembali ke sini?”

Seketika berubah air muka Pek Khay-sim, serunya, “Betul juga, Gui Bu-geh berhasil mengurung mereka, bisa jadi dia akan datang lagi ke sini untuk melihat mereka.” Ia kebas-kebas bajunya dan menyambung pula, “Nah, silakan kalian menunggu saja di sini, maaf, tak dapat kutemani kalian.”

“Pergilah kau, pergilah lekas, sekali ini jangan kau kembali lagi ke sini,” kata Kiau-kiau.

“Sekali ini kalau dia berani kembali ke sini akan kutabas buntung kedua kakinya,” ancam Toh Sat.

Rupanya Pek Khay-sim memang jeri terhadap Toh Sat, dengan menyengir ia berkata, “Toh-lotoa, kau sendiri yang bilang Gui Bu-geh akan datang lagi, tentunya kau pun tahu betapa hebat ilmu silatnya, untuk apa kita meski menunggu kedatangannya dan mengadu jiwa dengan dia?”

Toh Sat tidak menanggapinya lagi, ia hanya memandang kaitan baja mengkilat yang terpasang pada lengannya yang buntung itu, sorot matanya menampilkan nafsu membunuh.

Seketika Pek Khay-sim merinding dan tidak berani bersuara pula.

To Kiau-kiau lagi berucap, “Coba, menurut penilaianmu bagaimana ilmu silat Gui Bu-geh dibandingkan Yan Lam-thian?”

“Sudah tentu Gui Bu-geh bukan tandingan Yan Lam-thian,” jawab Pek Khay-sim.

“Nah, sedangkan orang selihai Yan Lam-thian saja Toh-lotoa berani melabraknya, apalagi seekor tikus yang sudah ompong?” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa.

Pek Khay-sim menarik napas dingin, jengeknya, “Tapi apakah kau pun ingin melabrak Gui Bu-geh? Bilakah kau berubah menjadi pemberani?”

“Untuk apa aku melabrak dia?” jawab Kiau-kiau dengan tertawa. “Jika muncul, aku hanya ingin bersahabat saja dengan dia.”

Pek Khay-sim memandangnya sejenak, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal, ucapnya sambil memegangi perut, “Hahaha! Kau ingin bersahabat dengan dia? Kukira Gui Bu-geh yang akan bersahabat denganmu! Jika Gui Bu-geh bersahabat denganmu, maka musang pun dapat bersaudara dengan ayam.”

“Jika terjadi setengah hari yang lalu tentu dia takkan mau bersahabat denganku, tapi kini keadaan sudah lain,” ujar Kiau-kiau.

“O, lain? Lain bagaimana?” tanya Pek Khay-sim.

“Sebab sekarang aku sudah ada modal untuk bersahabat dengan dia,” jawab Kiau-kiau.

“Haha, bersahabat juga perlu modal segala?” seru Pek Khay-sim dengan tergelak.

“Sudah tentu,” kata Kiau-kiau. “Berdagang mungkin tidak memerlukan modal, tapi bersahabat justru perlu modal. Umurmu sudah mendekati masuk kubur, masa peraturan ini saja tidak paham?”

“Ya, aku memang tidak paham,” kata Pek Khay-sim.

“Begini,” tutur Kiau-kiau. “Misalnya kau ingin bersahabat dengan seorang jutawan, maka sedikitnya kau harus punya kekayaan delapan ratus ribu. Jika kau ingin bersahabat dengan putra perdana menteri, paling tidak bapakmu sendiri harus seorang direktur jenderal. Kalau tidak, biar pun kau membelah perutmu dan perlihatkan kesungguhanmu padanya juga dia takkan bersahabat denganmu.”

“Ya, ya, betul juga, justru lantaran aku ini seorang brengsek, makanya mempunyai teman-teman konyol seperti kalian ini. Begitu bukan?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Betul, pintar juga kau, akhirnya kau paham,” kata Kiau-kiau.

“Tapi... tapi kau punya modal apa untuk bersahabat dengan Gui Bu-geh?” tanya Pek Khay-sim pula.

“Ini,” jawab Kiau-kiau sambil menuding Hoa Bu-koat. “Bocah inilah modalku.”

“Aha, pahamlah aku,” seru Pek Khay-sim sambil bertepuk tertawa. “Baru sekarang kutahu kau ini sepuluh kali lebih konyol dari pada dugaanku.”

“Dan sekarang kau tidak ingin pergi lagi?” tanya Kiau-kiau.

Pek Khay-sim mendelik, jawabnya, “Bilakah pernah kukatakan mau pergi? Kita sudah berkawan selama berpuluh tahun, masa boleh kutinggal pergi begitu saka tanpa pedulikan kalian? Seumpama Gui Bu-geh tidak mau bersahabat denganmu juga akan kulabraknya.”

Hoa Bu-koat sampai melongo mengikuti percakapan mereka itu.

Sungguh, kalau tidak mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri pasti tiada yang percaya bahwa di dunia ini ada manusia yang berkulit muka setebal dan berhati sekeji ini, sekarang dia jatuh di tangan orang-orang demikian, ingin menangis pun tak keluar air mata lagi.

Terdengar To Kiau-kiau berkata pula, “Sekarang kalau kita sudah bertekad akan menunggu di sini, maka ada beberapa urusan yang harus kita kerjakan.”

“Betul,” tukas Pek Khay-sim, “Jika kita sudah pasti tinggal di sini, harus pula kita bawa ke sini kedua anak dara itu. Meski makhluk setengah setan dan setengah manusia itu berjanji akan menjaga mereka, namun aku tetap khawatir.”

“Memang, bisa jadi kedua nona itu masih perlu kita gunakan nanti,” kata To Kiau-kiau. “Untuk itu, hai, Ha-ha-ji, sukalah kau bawa mereka ke sini.”

Seketika Pek Khay-sim berjingkrak gusar, omelnya, “Mengapa kau menyuruh Hwesio sontoloyo yang tak beres ini dan tidak menyuruh aku?”

“Sebabnya, sekarang aku tidak menghendaki anak perempuan si Thi gila dicaplok oleh setan kundai licin seperti kau ini dan juga tidak ingin dia ditelan oleh Li Toa-jui, makanya kusuruh Ha-ha-ji,” jawab Kiau-kiau dengan tertawa.

“Hahaha! Nah, orang she Pek,” kata Ha-ha-ji, “kau pun tidak perlu khawatir. Akhir-akhir ini aku sudah tambah malas gerak badan, khawatir keluar keringat, biar pun kau sodorkan bidadari ke depanku juga malas kuraba dia.”

“Hm,” Pek Khay-sim mendengus. “Dan bagaimana dengan diriku, pekerjaan apa yang harus kulakukan?”

“Boleh kau pergi mencari barang makanan dan minuman, sedikitnya harus cukup untuk kita makan tiga hari,” kata To Kiau-kiau.

Seketika Li Toa-jui juga melonjak gusar, omelnya, “Mengapa kau menyuruh dia? Keparat itu sama sekali tidak paham soal makan, sepotong ikan saja dimakannya selama tiga hari, apa yang dibawanya nanti mungkin anjing saja tidak mau mengendusnya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar