Bahagia Pendekar Binal Jilid 20

Gui Bu-geh termenung sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Memang betul juga, melulu daya bacokan pedangnya itu sudah cukup membinasakan setiap tokoh persilatan di dunia ini, sesungguhnya aku memang bukan tandingannya.”

“Asal kau tahu saja,” ujar Siau-hi-ji. “Jika dia benar-benar pernah datang kemari, mustahil kau tidak dibunuhnya?”

“Dengan sendirinya karena ada pertukaran syarat antara kami,” tutur Gui Bu-geh perlahan.

“Syarat apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kujanji akan menyerahkan seorang padanya dan dia berjanji takkan mengganggu jiwaku.”

“Kau berjanji akan menyerahkan siapa padanya?” desak Siau-hi-ji.

“Kang Piat-ho,” jawab Bu-geh.

Siau-hi-ji terkejut, serunya, “Apa katamu? Kang Piat-ho? Masa Yan-tayhiap mau mengampuni jiwa kau demi Kang Piat-ho.”

“Memang betul begitu,” kata Bu-geh.

“Untuk apa dia menolong Kang Piat-ho?”

“Dia bukan menolong Kang Piat-ho melainkan ingin membunuhnya.”

Siau-hi-ji terkesiap pula, ucapnya, “Ada permusuhan apa antara dia dengan Kang Piat-ho?”

Gui Bu-geh terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan tenang, “Tahukah kau siapa sebenarnya Kang Piat-ho?”

“Memangnya siapa?”

“Dia tak lain dan tak bukan ialah kacung ayahmu yang bernama Kang Khim, sejak kecil ia dibesarkan di rumah ayahmu, resminya dia adalah kacung dan majikan dengan ayahmu, tapi sebenarnya tiada ubahnya seperti saudara.”

Siau-hi-ji melongo terkejut dan tidak sanggup bersuara.

Maka Gui Bu-geh bertutur pula, “Waktu itu ayahmu Kang Hong terkenal sebagai lelaki paling cakap di dunia dan bersaudara sehidup-semati dengan Yan Lam-thian yang berjuluk pendekar pedang nomor satu di dunia.”

“Jika Kang Khim tidak ubahnya seperti saudara dengan ayahku, mengapa Yan-tayhiap ingin membunuhnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab orang ini telah membalas kebaikan dengan kejahatan, akhirnya ayahmu malah dijualnya.”

“Cara... cara bagaimana dia menjual ayah?” seru Siau-hi-ji.

“Kang Hong tidak saja lelaki cakap yang jarang ada di dunia ini, bahkan juga hartawan yang sukar ada bandingnya,” tutur Gui Bu-geh. “Sudah lama kawanan bandit mengincarnya, soalnya cuma mereka segan terhadap Yan Lam-thian, maka sebegitu jauh belum ada yang berani turun tangan. Siapa tahu, suatu ketika Kang Hong telah keblinger, dia tergila-gila kepada seorang murid Ih-hoa-kiong atau lebih tepat dikatakan babu Ih-hoa-kiongcu, diam-diam mereka minggat bersama. Nah, babu itulah ibu kandungmu.”

Siau-hi-ji menjadi gusar, dampratnya, “Kata-kata yang kau gunakan hendaknya tahu sopan sedikit.”

Gui Bu-geh menyeringai, dengan tenang ia menyambung pula, “Meski kedua orang itu saling mencintai hingga lupa daratan, tapi mereka pun tahu Ih-hoa-kiongcu pasti tidak akan melepaskan mereka, maka begitu mereka kabur, segera Kang Hong membereskan harta bendanya, ada yang disumbangkan dan ada yang dijual. Ia sendiri hanya membawa ringkasan seperlunya saja dan siap untuk kabur dan mengasingkan diri.”

“Tak tersangka ayahku rela berkorban segalanya bagi ibuku, sungguh aku sangat kagum padanya,” seru Siau-hi-ji.

“Jika dia cuma mau berkorban segalanya tentu takkan ada persoalan lagi,” jengek Gui Bu-geh. “Cuma sayang, dia sudah biasa hidup enak dan mewah, dia masih takut hidup miskin di kemudian hari, maka barang-barang yang dibawanya lari tetap bernilai cukup lumayan.”

“Makanya kawanan bangsat seperti kalian ini lantas merah matanya,” damprat Siau-hi-ji dengan gusar.

“Sebenarnya kejadian ini sangat dirahasiakan dan tak diketahui siapa pun juga, sayang seribu sayang, dia justru memberitahukan rahasianya kepada si Kang Khim ini.”

“Masa bangsat itu mengkhianati ayahku hanya karena mengincar harta benda ayahku?” tanya Siau-hi-ji dengan parau.

“Betul,” jawab Bu-geh. “Menurut rencana Kang Hong, lebih dulu Kang Khim disuruh memapak Yan Lam-thian, dia sendiri lalu membawa ibumu menyusuri suatu jalan lama yang tak pernah diinjak manusia lagi untuk bergabung dengan Yan Lam-thian. Rencana ini sebenarnya juga sangat rahasia, cuma sayang, sebelum Kang Khim mencari Yan Lam-thian, lebih dulu ia mendatangi Cap-ji-she-shio kami.”

“Pantas kau kenal Kang Piat-ho, kiranya sudah lama kalian main kongkalikong dan sekomplotan,” damprat Siau-hi-ji dengan gemas.

“Meski aku mengetahui peristiwa ini, tapi aku sendiri tidak ikut turun tangan, sebab biar pun begitu toh mereka pasti akan memberi bagian padaku, apalagi waktu itu aku sendiri mempunyai urusan lain.”

“Habis siapa yang turun tangan?” tanya Siau-hi-ji.

“Kukira kau pun tidak perlu tanya sejelas ini, pokoknya yang ikut turun tangan itu sudah lama mati semua.”

“Apakah Yan-tayhiap yang membunuh mereka?”

“Kukira begitu,” jawab Bu-geh sambil menghela napas.

“Hm, mereka sudah kenal kelihaian Yan-tayhiap, mengapa berani juga turun tangan?” jengek Siau-hi-ji.

“Mestinya mereka hendak mengalihkan perbuatan mereka itu bagi Ih-hoa-kiongcu agar Yan Lam-thian menyangka Ih-hoa-kiongcu yang membunuh saudara angkatnya, ditambah lagi daftar inventaris ayahmu yang dibawa Kang Khim itu cukup menarik, betapa pun Cap-ji-she-shio tidak mau sia-siakan bisnis besar ini.”

“Tapi Kang Khim kan juga tahu bagaimana kualitas orang-orang macam Cap-ji-she-shio kalian, kalau barang sudah jatuh di tangan kalian, mana dia bisa menarik keuntungan lagi?”

“Dia ternyata tidak terlalu tamak, dia cuma menghendaki dua bagian saja. Ia pun tahu Cap-ji-she-shio paling adil dalam hal membagi rezeki, bila mana kami sudah berjanji akan memberikan bagiannya, maka pasti akan kami tepati.”

Dengan gusar Siau-hi-ji berteriak, “Hanya dua bagian dari harta sekian ini dia melakukan perbuatan terkutuk ini? Jika rahasia pribadi ayahku tanpa ragu diberitahukan padanya, tentu ayah telah memandang dia seperti saudara sekandung, masa beliau takkan membagi dua bagian kekayaannya kepadanya?”

“Meski ayahmu memandangnya seperti saudara sendiri, tapi di mata orang lain dia tetap seorang kacung, seorang budak keluarga Kang. Jika ayahmu tidak mati, selama hidupnya jangan harap bisa menonjol ke atas,” Bu-geh tersenyum, lalu melanjutkan, “Meski orang ini tidak terlalu tamak, tapi ambisinya cukup besar, cita-citanya setinggi langit dan ingin menjadi tokoh terkemuka di dunia Kangouw, untuk ini mau tak mau dia harus membunuh dulu ayahmu.”

Terasa dingin kaki dan tangan Siau-hi-ji, ia termenung sejenak, katanya kemudian, “Tapi ayahku kemudian kan meninggal di tangan orang Cap-ji-she-shio?”

“Apa yang terjadi kemudian aku pun tidak jelas, aku hanya tahu waktu Yan Lam-thian menyusul ke sana, sementara itu ayah-ibumu sudah mati, hanya kau saja yang masih hidup.”

“Jadi aku....”

“Waktu itu kau mungkin baru lahir, maka orang lain tidak tega membunuhmu, walau pun demikian toh lukamu juga cukup parah, bekas luka di mukamu mungkin bermula pada waktu itu.”

Sedapatnya Siau-hi-ji menahan rasa sedihnya, katanya, “Tak peduli ayah-ibuku dibunuh oleh siapa, yang pasti hal ini adalah akibat perbuatan Kang Khim, jika dia tidak mengkhianati ayahku, tentu orang-orang jahat itu takkan menyatroni ayah, betul tidak?”

“Ya, memang begitu,” jawab Bu-geh.

“Jika demikian, mengapa Yan-tayhiap tidak membunuhnya?”

“Mungkin waktu itu Yan Lam-thian tidak tahu bahwa biang keladinya adalah Kang Khim. Tatkala dia mengetahui hal ini, sementara itu Kang Khim sudah mengeluyur pergi. Sejak itu di dunia Kangouw lantas tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya Kang Khim dan juga tiada terdengar cerita tentang Yan Lam-thian, kemudian baru kudengar bahwa Yan Lam-thian sudah mati di Ok-jin-kok,” setelah menghela napas, lalu Bu-geh melanjutnya dengan gegetun, “Tak tahunya semua kabar itu ternyata cuma kentut belaka, bukan saja Yan Lam-thian tidak mampus sebaliknya ilmu silatnya malah jauh tambah maju. Sedangkan si Kang Khim juga lantas malih menjadi Kang-lam-tayhiap.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Bisa jadi lantaran ingin mencari Kang Khim, maka Yan-tayhiap pergi ke Ok-jin-kok.”

“Sangat mungkin begitu,” kata Bu-geh. “Setelah dia mencari Kang Khim kian kemari dan tidak ditemukan, dengan sendirinya ia menduga Kang Khim telah kabur ke Ok-jin-kok.” Dia merandek sejenak sambil berkerut kening, lalu berkata pula, “Tapi setiba Yan Lam-thian di Ok-jin-kok, sesungguhnya apa yang telah terjadi? Mengapa selama dua puluh tahun tiada kabar beritanya di dunia Kangouw?”

Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia berseru, “Seluma dua puluh tahun ini, lantaran Yan-tayhiap ingin meyakinkan semacam ilmu yang tiada tandingnya di kolong langit ini, maka beliau telah mengasingkan diri dan bersumpah takkan keluar dari Ok-jin-kok sebelum ilmu saktinya berhasil dicapainya.”

“Jika demikian, sekarang dia telah muncul, tentu ilmu saktinya telah berhasil dilatihnya?”

“Sudah tentu,” ujar Siau-hi-ji. “Setahuku, bila ilmu saktinya sudah jadi, hm, jangankan cuma Gui Bu-geh macammu, biar pun sepuluh Gui Bu-geh duga tiada artinya lagi. Apa bila ilmu Ih-hoa-ciap-giok dibandingkan dengan ilmu sakti beliau ini pada hakikatnya mirip permainan anak kecil saja.”

Dia membual setinggi langit, padahal tiada satu pun yang benar.

Sungguh ia tidak habis mengerti mengapa mendadak Yan Lam-thian bisa muncul? Apakah penyakitnya sudah sembuh? Mungkin telah terjadi keajaiban yang mempercepat kesembuhannya atau ada seorang lagi mirip Loh Tiong-tat yang telah meminjam nama kebesaran Yan Lam-thian? Siapakah dia sebenarnya?

Meski dalam hati Siau-hi-ji merasa bimbang, tapi Gui Bu-geh jadi melenggong oleh bualan Siau-hi-ji tadi, nyata dia percaya penuh terhadap apa yang diuraikan anak muda itu.

Tapi sejenak kemudian, tiba-tiba Gui Bu-geh mengekek tawa.

“Apa yang kau tertawakan?” omel Siau-hi-ji dengan mendelik.

Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, katanya, “Yang kutertawai ialah Yan Lam-thian. Sungguh konyol dia, dengan susah payah dia berlatih selama dua puluh tahun hingga jadilah ilmu saktinya ini, tapi akhirnya tiada gunanya sama sekali.”

“Mengapa tiada gunanya sama sekali?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab sekarang dia tiada mempunyai lawan lagi. Ih-hoa-kiongcu dan diriku sudah jelas akan mati di sini, lalu apa gunanya ilmu sakti yang dilatih Yan Lam-thian itu?”

“Lantas bagaimana dirimu sendiri?” jengek Siau-hi-ji. “Kau pun bersusah payah selama dua puluh tahun dan ingin meyakinkan sejurus ilmu sakti, tetapi bagaimana hasilnya...? Huh, kau bergebrak dengan lawan saja tidak berani, bukankah ini lebih memalukan?”

“Hehe, memang betul, memang memalukan,” jawab Gui Bu-geh dengan tertawa. “Tetapi aku toh akan mati, sedangkan Yan Lam-thian masih akan hidup terus, ilmu sakti yang telah dilatihnya dengan susah payah itu akhirnya tidak menemukan lawan seorang pun, inilah yang akan membuatnya konyol.”

Tiba-tiba So Ing bertanya, “Apakah Yan-tayhiap telah membunuh Kang Piat-ho?”

“Belum,” jawab Bu-geh.

“Mengapa Yan-tayhiap belum lagi membunuhnya?” tanya So Ing pula.

“Sebab dia hendak menahan Kang Piat-ho untuk Siau-hi-ji, ia ingin Siau-hi-ji yang membalas sakit hatinya dengan tangan sendiri.”

“Tapi kalau dia tidak dapat menemukan Siau-hi-ji, lalu bagaimana?” tanya So Ing.

“Sehari Siau-hi-ji tidak ditemukan olehnya, sehari pula nyawa Kang Piat-ho akan tertunda, bila sepuluh tahun dia tidak menemukan Siau-hi-ji, maka sepuluh tahun pula Kang Piat-ho akan hidup lebih lama.”

“Jika demikian, bukankah Kang Piat-ho akan… akan....” Meski tidak dilanjutkan ucapan So Ing Ini, tapi maksudnya sudah cukup jelas.

“Memang betul, selamanya Kang Piat-ho akan hidup terus, sebab selamanya Yan Lam-thian takkan menemukan lagi Siau-hi-ji,” tukas Gui Bu-geh dengan tertawa. “Meski ilmu silat Yan Lam-thian sepuluh kali lebih tinggi dari pada Kang Piat-ho, tapi dalam hal tipu muslihat dia tak dapat melawan Kang Piat-ho, ia selalu membawa Kang Piat-ho ke mana pun pergi, itu sama halnya seorang menuntun seekor harimau berkeliaran kian kemari, lambat atau cepat pada suatu hari jiwanya pasti akan melayang di tangan Kang Piat-ho.”

Siau-hi-ji menjadi gusar, dampratnya, “Dia telah mengampuni jiwamu, mengapa kau berbuat demikian padanya, apakah kau bisa dianggap sebagai manusia lagi?”

Bu-geh menengadah dan tergelak-gelak, ucapnya kemudian dengan gemas, “Meski dia tidak membunuhku, tapi dia telah mengusir seluruh anak muridku, bahkan mereka membawa serta semua harta bendaku, tindakannya ini tiada bedanya seperti membunuh aku.”

Baru sekarang Siau-hi-ji paham duduknya perkara, ia tertawa geli, katanya, “O, mungkin dia tidak cuma mengusir anak muridmu, mungkin juga kawanan tikus kesayanganmu itu pun dihalau lari semua, betul tidak?”

“Hm!” dengus Gui Bu-geh dengan menggereget.

“Kiranya kau merasa hidup ini tiada artinya makanya kau mengatur langkah terakhir ini. Coba kalau sehari-hari kau bersikap lebih baik terhadap anak muridmu itu, niscaya mereka takkan meninggalkanmu tatkala menghadapi kesulitan.”

Mendadak Gui Bu-geh menyeringai, ucapnya, “Tapi sekarang kalian akan mengiringi kematianku aku sangat gembira dan puas.”

“Kang Siau-hi-ji, kemari kau!” tiba-tiba Ih-hoa-kiongcu memanggilnya di sebelah sana. Sebenarnya Siau-hi-ji seperti ogah ke sana, tapi setelah berpikir, akhirnya ia melangkah ke sana, baru dua-tiga tindak, ia menoleh memandang So Ing.

Tampaknya So Ing ingin tahu bagaimana reaksi Gui Bu-geh, tapi tiba-tiba ia pun berubah pendirian, ia tersenyum manis terhadap Siau-hi-ji dan ikut melangkah ke sana.

Sinar mata Gui Bu-geh memancarkan perasaan benci dan dendam mengikuti bayangan muda-mudi itu, mendadak ia mendorong roda keretanya, sekarang keretanya meluncur masuk ke balik dinding sana. Segera dinding itu merapat kembali, halus dan rata tanpa meninggalkan suatu bekas apa pun.

Kedua Ih-hoa-kiongcu berdiri tegak di tengah-tengah ruangan itu, meski sikap mereka tetap dingin dan angkuh, tapi tampaknya telah berubah sedemikian kecilnya, menyendiri dan sangat memelas. Orang-orang yang pernah gemetar bila mendengar nama mereka, bila sekarang melihat keadaan mereka tentu takkan ketakutan lagi terhadap mereka.

Namun kedua Ih-hoa-kiongcu itu masih tetap berdiri tegak dan tidak mau duduk. Mereka selamanya seolah-olah tidak pernah duduk.

Ketika Siau-hi-ji mendekati mereka, tiba-tiba ia pandang mereka dengan tertawa, katanya, “Kalian masih berdiri saja di sini, sungguh terkadang timbul pikiranku ingin tahu bagaimana bentuk kaki kalian.”

Terkesiap dan gusar pula Ih-hoa-kiongcu, wajah mereka yang pucat menjadi rada merah.

Tapi Siau-hi-ji anggap tidak melihat, dengan tertawa ia menyambung lagi, “Sering kupikir kaki kalian tentunya tidak dapat membengkok, aku jadi ingin tahu jangan-tangan kaki kalian ini tanpa dengkul?”

Mendadak Kiau-goat Kiongcu berpaling ke sana, mungkin saking dongkolnya menjadi khawatir kalau-kalau hatinya tidak tahan dan sekali hantam bisa membinasakan anak muda itu.

Lian-sing juga memejamkan matanya, sejenak kemudian baru ia membuka mata dan berkata dengan tenang, “Tadi kami sudah memeriksa sekeliling ruangan gua ini.”

“O, apa yang kalian temukan?” tanya Siau-hi-ji.

“Segenap pintu keluar di sini memang betul sudah buntu,” tutur Lian-sing Kiongcu.

“Tanpa memeriksa juga kutahu apa yang dikatakan Gui Bu-geh pasti bukan gertakan belaka,” ujar Siau-hi-ji.

“Maka dari itu bila dalam sehari dua hari tak dapat keluar, andaikan tidak mati kelaparan juga pasti akan mati sesak napas di sini,” ucap Lian-sing pula.

“Adakah kalian mendapatkan akal baik untuk keluar?” tanya Siau-hi-ji.

“Pintu keluarnya semua terbuat dari batu raksasa dan tidak mungkin dibuka dengan tenaga manusia,” kata Lian-sing setelah berpikir sejenak. “Tapi kuyakin Gui Bu-geh pasti tidak sudi membunuh diri di sini.”

“Maka kau anggap dia pasti mempunyai jalan lari yang terakhir, begitu?” tukas Siau-hi-ji.

“Betul,” kata Lian-sing.

“Memangnya engkau menghendaki aku mencari jalan lolos ini?”

Lian-sing tidak menjawab, ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Kupikir, mungkin kau mempunyai akal dan dapat memancing sesuatu pengakuan dari mulut Gui Bu-geh.”

“Kau kira aku mempunyai kemampuan sebesar itu?”

“Kukira kau mampu, jika dia tidak mau mengaku, boleh kau bunuh dia.”

“Mengapa kalian tidak turun tangan sendiri saja?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebabnya kan sudah dijelaskan oleh Gui Bu-geh.”

“Dalam keadaan begini masa kalian masih bicara tentang peraturan busuk begitu?”

“Sekali peraturan, tetap peraturan, mati pun tidak boleh berubah,” kata Lian-sing Kiongcu dengan tegas.

“Ai, jarang juga ada orang berkukuh pendirian seperti kalian ini, padahal seumpama kau ingin membunuh dia juga tidak dapat lagi, sekarang dia pasti sudah bersembunyi di tempat aman.”

“Tapi kalau aku menyatakan tidak ikut campur, bila kau menantang dia pasti dia akan keluar menghadapi kau,” Lian-sing pandang So Ing sekejap, lalu menyambung pula, “Kutahu dia sangat benci padamu, setiap kesempatan dapat membunuhmu pasti takkan disia-siakan olehnya.”

“Betul penglihatanmu,” ucap Siau-hi-ji. “Cuma sayang bila mana aku bergebrak dengan dia, yang bakal mati bukanlah dia melainkan diriku.”

“Aku pun tahu ilmu silatmu saat ini memang bukan tandingannya, tapi asalkan kuajari selama tiga jam maka dia pasti bukan lagi tandinganmu.”

“Oo, apa benar? Kau yakin? Rasanya aku tidak percaya!”

“Memangnya betapa hebat ilmu silat Ih-hoa-kiong dapat kau bayangkan?” ujar Lian-sing dengan mendongkol.

Siau-hi-ji termenung sejenak, mendadak ia bergelak tertawa.

Lian-sing menjadi gusar, dampratnya, “Memangnya aku bergurau denganmu?”

“Sudah tentu kutahu engkau tidak bergurau, tapi bicara kian kemari, nyatanya engkau melupakan sesuatu.”

“Sesuatu apa?” tanya Lian-sing.

“Untuk apa aku mesti membuang tenaga dan bersusah payah untuk menggempur Gui Bu-geh?”

Melengak juga Lian-sing Kiongcu, ucapnya kemudian, “Masa kau tidak ingin membunuh dia?”

“Tidak,” jawab Siau-hi-ji.

Kembali Lian-sing melengak, katanya, “Tapi kalau kau dapat merobohkan dia, lalu mengancam akan membunuhnya, mungkin dia akan mengatakan jalan keluar yang dirahasiakannya.”

“Tapi untuk apa pula harus kupaksa dia mengatakan jalan keluar?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak... tidak ingin keluar?”

“Untuk apa keluar? Bukankah di sini sangat menyenangkan?”

Tidak kepalang dongkol Lian-sing Kiongcu, ia menahan rasa gusarnya hingga muka pucat dan tidak sanggup bersuara pula.

“Aku kan sudah keracunan, cepat atau lambat pasti akan mati,” demikian ucap Siau-hi-ji dengan tenang. “Sekali pun kalian dapat menawarkan racunku akhirnya aku harus mati juga di tangan Hoa Bu-koat. Jika ke sana mati dan di sini juga mati, kan lebih baik kumati saja di sini, kulihat bakal kuburanku disini cukup mentereng.” Dengan terkikih-kikih lalu ia menyambung pula, “Apa bila aku tidak mati di sini, kelak umpama kalian menaruh belas kasihan kepadaku dan mau membuatkan makam bagiku, kukira kuburan yang kalian bangun juga takkan semewah ini.”

Sejak tadi Lian-sing melotot pada Siau-hi-ji, setelah anak muda itu bicara, ia masih mendelik sekian lamanya, tiba-tiba ia berkata, “Jika kujamin kau pasti tidak akan mati di tangan Hoa Bu-koat, lalu bagaimana?”

Sorot mata Siau-hi-ji memancarkan cahaya gembira, jawabnya perlahan, “Bergantung pada apa yang akan kau katakan, bila kau jamin selanjutnya takkan memaksa aku mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat, maka aku....”

Sekonyong-konyong Lian-sing menukas dengan suara bengis, “Pertarunganmu dengan Bu-koat sudahlah pasti dan tidak mungkin berubah -.”

“O, jika begitu, apa boleh buat biarlah kita menunggu kematian saja di sini.”

“Tapi jangan kau lupa, bila dapat kubuat ilmu silatmu melebihi Gui Bu-geh, tentu pula dapat mengalahkan Bu-koat. Kalau kau dapat membunuh Gui Bu-geh, tentu pula dapat membunuh Bu-koat.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, “Betul juga ucapanmu. Cuma sayang aku tidak percaya.”

“Mengapa kau tidak percaya?” tanya Lian-sing.

“Hoa Bu-koat dibesarkan oleh kalian, dari kecil hingga besar tinggal di Ih-hoa-kiong, dia bukan saja murid kalian, pada hakikatnya seperti anak kalian. Sebaliknya aku adalah putra musuhmu, kalau saja aku tidak menyadari ilmu silatku jauh di bawah kalian, bukan mustahil setiap saat aku akan membunuh kalian. Sekarang kalian malah hendak mengajarkan ilmu silat padaku dan menyuruh aku membunuh murid kalian. Siapakah di dunia ini yang mau percaya pada ucapanmu ini?”

Lian-sing melirik sekejap pada sang kakak. Maka Kiau-goat lantas berkata, “Sudah barang tentu di balik persoalan ini ada....”

Berkilau sinar mata Siau-hi-ji menantikan uraian Ih-hoa-kiongcu itu. Siapa tahu, baru sekian saja ucapannya, lalu berhenti dan tidak menyambung lagi.

Segera Siau-hi-ji bertanya, “Maksudmu di balik persoalan ini ada soal lain lagi, begitu?”

“Hmk!” Kiau-goat hanya mendengus saja.

“Jika kalian ingin kupercaya padamu, urusannya cukup sederhana, asalkan kalian mau menjelaskan seluk-beluk persoalan ini, maka apa pun yang kalian kehendaki pasti akan kulakukan.”

Air muka Kiau-goat Kiongcu yang selalu kaku dingin itu tiba-tiba timbul perubahan yang mengejutkan laksana gunung es yang mendadak longsor, bumi raya ini seakan-akan kiamat.

Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, katanya dengan tenang, “Apakah kalian lebih suka Gui Bu-geh menyaksikan kekonyolan kalian menjelang ajal dari pada menceritakan rahasia ini kepadaku? Supaya kalian maklum bahwa seseorang kalau mendekati ajalnya, wah, macamnya itu sungguh konyol dan juga lucu, pasti akan menjadi tontonan yang menarik bagi Gui Bu-geh.”

Kiau-goat menggereget. Mendadak ia berpaling ke sana. Perlahan Lian-sing juga ikut membalik tubuh ke sebelah sana, mereka tidak ingin memandang Siau-hi-ji lagi dan juga tidak ingin mendengar sepatah katanya.

Dengan suara keras Siau-hi-ji berucap pula, “Kini jelas hanya ada jalan kematian bagi kita, mengapa kalian tetap tidak mau membeberkan rahasia ini, sesungguhnya kalian ingin menunggu sampai kapan?”

Seketika terdengar gema suara Siau-hi-ji yang berkumandang dari dinding istana di bawah tanah ini, “...kalian ingin menunggu sampai kapan....” dan kakak beradik Ih-hoa-kiongcu entah sudah pergi ke mana lagi.

Siau-hi-ji termangu-mangu seperti patung hingga lama, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada So Ing, “Sudah cukup banyak juga kau mengikuti persoalan ini, bukan?”

“Ya,” sahut So Ing dengan gegetun. “Sekarang kutahu Kang-pekbo (bibi Kang, maksudnya ibu Siau-hi-ji) semula adalah murid Ih-hoa-kiong, kemudian... kemudian....”

“Tidak perlu diragukan lagi ayah-bundaku pasti meninggal terbunuh oleh mereka,” ucap Siau-hi-ji dengan menggereget. “Waktu itu mereka tidak membabat rumput hingga akar-akarnya, baru sekarang mereka hendak membunuhku agar tidak menimbulkan bibit bencana di kemudian hari.”

“Ya,” kata So Ing.

“Tapi mengapa mereka bertekad ingin Hoa Bu-koat yang membunuh diriku? Jika mereka mau turun tangan sendiri, sampai kini entah sudah berapa kali aku dibunuh oleh mereka.”

“Tadinya mereka mengira kau pasti akan benci kepada Hoa Bu-koat, andaikan kau tak dapat menuntut balas pada mereka pasti juga akan mencari Hoa Bu-koat sebagai ganti mereka. Tapi kenyataannya tidak demikian, engkau cukup berlapang dada dan berpikiran terbuka, kau anggap permusuhan orang tua tiada sangkut-pautnya dengan angkatan yang lebih muda, maka mereka terpaksa memaksa Hoa Bu-koat membunuhmu.”

“Betul, memang begitu maksud tujuan mereka. Tapi mengapa mereka berkeras membikin aku saling bermusuhan dengan Hoa Bu-koat? Yang paling aneh adalah mereka tidak melulu menghendaki aku dibunuh oleh Hoa Bu-koat, sebaliknya kalau aku membunuh Bu-koat mereka juga akan sama puasnya. Apakah kau dapat menyelami sebab musababnya?”

So Ing berpikir cukup lama, katanya kemudian, “Menurut pendapatku, antara kau dan Hoa Bu-koat pasti ada hubungan yang sangat rumit.”

Terbeliak mata Siau-hi-ji, katanya pula sambil berkerut kening, “Tapi antara diriku dan Hoa Bu-koat jelas tiada sangkut-paut apa-apa. Begitu aku dilahirkan segera paman Yan membawaku ke Ok-jin-kok, pada hakikatnya aku tidak mempunyai sanak keluarga di dunia ini.” Dia pegang tangan So Ing dan berkata dengan suara parau, “Kutahu engkau adalah orang mahapintar, sebagai penonton akan lebih jelas memecahkan persoalannya, dapatkah engkau memikirkan apa hubunganku dengan Hoa Bu-koat.”

So Ing menghela napas, ucapnya dengan suara lembut, “Segala apa, pada suatu hari akhirnya pasti akan menjadi jelas, mengapa engkau mesti gelisah sekarang.”

“Gelisah sekarang saja rasanya sudah terlamhat,” ujar Siau-hi-ji sambil menyengir. Dia lepaskan tangan So Ing dan berbaring di lantai, kembali ia termenung-menung memikirkan soal rumit itu.

Sunyi senyap, tiada bedanya antara ruangan gua ini dengan kuburan. Cahaya lampu yang menyorot lembut dari celah-celah dinding sana menyinari wajah Siau-hi-ji.

Sebenarnya ini adalah sebuah wajah yang cerah, angkuh, keras dan penuh gairah, tapi tampaknya kini wajah ini sangat letih, lesu dan guram.

Termangu-mangu So Ing memandangi muka Siau-hi-ji, terpantul sedikit demi sedikit kilau air mata di kelopak matanya.

Entahlah sudah selang berapa lama, tiba-tiba terdengar Siau-hi-ji bergumam, “So Ing, kau tahu aku tidak takut mati, tapi bila aku diharuskan mati konyol begini tanpa tahu sebab musababnya betapa pun aku tidak rela... tidak rela....”

So Ing mengusap matanya dan berkata pula dengan suara lembut, “Kau takkan mati, asalkan kau....”

Mendadak Siau-hi-ji melonjak bangun dan berseru, “He, apakah masih ada jalan keluar?”

“Kutahu sudah lama Gui Bu-geh bermaksud menjadikan tempat ini sebagai makamnya bila mana ia meninggal, sebab itulah pada setiap pintu telah ditambahi sepotong balok batu raksasa, asalkan dia sentuh pesawat rahasianya, pasir lantas mengalir keluar, balok batu lantas anjlok, maka siapa pun tidak lagi mampu membukanya. Cara membangun tempat ini mirip cara membangun makam para maharaja di jaman purbakala, namun -.”

Sebenarnya Siau-hi-ji sudah berbaring pula, demi mendengar “namun” ini, seketika semangatnnya terbangkit pula, kembali ia melonjak bangun dan memegang tangan si nona serta bertanya, “Namun bagaimana?”

“Bila mana pintu tempat ini benar-benar sudah buntu, seharusnya seluruh gua ini akan sama seperti kuburan yang tidak tembus hawa lagi, namun sekarang... sekarang sama sekali tiada terasa sumpeknya hawa, makanya kupikir....”

“Makanya kau pikir Gui Bu-geh pasti merahasiakan suatu jalan keluar, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji.

“Ya, sebab kalau seluruh jalan keluarnya sudah buntu, tentu sinar lampu ini pun akan padam. Setahuku, tempat yang tidak tembus hawa tak mungkin dapat menyalakan api.”

Siau-hi-ji memukul telapak tangan sendiri dengan sebelah tinjunya, katanya, “Betul, asalkan dia masih mempunyai jalan keluar, tentu aku ada akal akan menyuruhnya mengaku.”

Tiba-tiba So Ing berkata dengan tertawa, “Bukankah kau tidak mau keluar lagi dari sini?”

Siau-hi-ji mencibir, ucapnya, “Aku sengaja menggoda kedua Kiongcu yang angkuh itu, sebelum rahasia pribadiku kupecahkan dengan jelas, bukan saja aku tidak rela mati, bahkan aku pun tidak rela mereka mati.”

Di tengah putus asa tiba-tiba timbul secercah sinar harapan, seketika semangat mereka terbangkit. Segera Siau-hi-ji pegang tangan So Ing dan berkata, “Sekarang langkah kita yang pertama ialah menemukan Gui Bu-geh.”

“Untuk ini tidak sulit, semua pesawat rahasia di sini cukup kupahami,” kata So Ing.

Baru saja mereka hendak melangkah ke depan, tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas panjang di belakang mereka, seorang berkata dengan gegetun, “Kalian tidak perlu cari lagi, aku sudah berada di sini!”

Altar batu yang semula tertaruh kursi kemala hijau itu kini mendadak bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sambil mendorong keretanya perlahan-lahan Gui Bu-geh meluncur keluar.

Sambil menghela napas gegetun Gui Bu-geh juga bergumam, “Sudah belasan tahun kupelihara dia, akhirnya aku tak dapat menandingi seorang anak muda yang baru dikenalnya, pantas orang suka bilang, anak perempuan condong keluar, lebih baik punya piaraan anjing dari pada piara anak perempuan.”

Tanpa terasa So Ing menunduk, ucapnya dengan suara lirih, “Aku....”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar