Bahagia Pendekar Binal Jilid 18

Yang paling cemas tampaknya ialah So Ing. Ia menduga saat ini keadaan Gui Bu-geh lebih banyak celaka dari pada selamatnya. Sebab kalau Gui Bu-geh tidak mati, tidak perlu menunggu Siau-hi-ji bergembar-gembor dan tidak perlu Ih-hoa-kiongcu berseru menantang, tentu sejak tadi pesawat rahasia yang banyak terpasang di lorong bawah tanah ini telah bekerja.

Mendadak Kiau-goat Kiongcu hentikan langkahnya dan berkata, “Lihatlah apa ini?”

Waktu semua orang memandang ke sana, tertampak di jalan lorong ini ada bekas telapak kaki, bekas ini berjarak tertentu secara teratur, sekali pun pakai ukuran lalu diukir juga takkan begini rajin.

Padahal jalan lorong ini terbuat dari batu, seperti juga dindingnya, batunya keras dan licin, seumpama diukir dengan pisau juga tidak mudah. Tapi bekas kaki orang ini ternyata jauh lebih jelas dari pada ukiran.

“Hebat juga tenaga dalam orang ini,” ucap Lian-sing kemudian setelah berpikir, “Cuma caranya ini terlalu bodoh.”

“Bodoh? Apa maksudmu?” tanya Siau-hi-ji.

“Kedatangan orang ini jelas hendak mencari Gui Bu-geh, lalu buat apa dia membuang-buang tenaga atas batu ini?” ujar Lian-sing Kiongcu.

Siau-hi-ji menggeleng tidak sependapat, katanya dengan tertawa, “Menurut pandanganku, yang bicara inilah orang tolol.”

Keruan Lian-sing menjadi gusar, dampratnya, “Apa katamu?”

“Coba pikirkan. Tidak perlu kita bicara tentang ilmu silat Gui Bu-geh, yang pasti, dalam hal menciptakan pesawat rahasia yang khusus untuk menjebak atau membunuh orang, kuyakin si tikus ini harus diakui sebagai ahli nomor satu di dunia.”

“Hm, pengetahuan Gui Bu-geh dalam hal tetek bengek begitu memang sangat luas,” dengus Kiau-goat Kiongcu.

“Setahuku,” demikian tutur Siau-hi-ji, “Sepanjang jalan lorong ini saja sedikitnya ada belasan macam perangkap yang terpasang di sini dan setiap macam cukup untuk merenggut nyawamu.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Lian-sing.

“Sudah tentu kutahu, sebab paling sedikit aku sudah pernah merasakan betapa lihainya tiga belas macam perangkap di sini,” Siau-hi-ji tersenyum, lalu menyambung, “Jika pendatang ini hendak mencari perkara kepada Gui Bu-geh, tentu dia sangat hati-hati, setindak demi setindak dilakukannya dengan waspada dan siap siaga. Coba kau lihat, jarak langkahnya sedemikian rajin dan teratur, maka dapat dibayangkan bagaimana tegangnya waktu itu.”

“Betul, ilmu silat seseorang kalau terlatih sampai puncaknya, maka tatkala dia menghimpun tenaga dan pikiran, setiap gerak-geriknya pasti juga beraturan,” kata Lian-sing.

“Tapi pendatang itu tidak tahu di mana dan kapan pesawat rahasia itu akan menjebaknya, sebab telah dia harus menghimpun tenaga dan pikiran agar dapat menghadapinya setiap saat, lantaran itu pula tanpa terasa ia telah meninggalkan bekas kaki di lantai batu ini,” Siau-hi-ji pandang kedua Ih-hoa-kiongcu, lalu sambungnya dengan tertawa. “Dari ini dapat diketahui bahwa orang ini tidaklah bodoh, hanya tenaga dalamnya saja yang terlalu kuat.”

Lian-sing Kiongcu bersungut dan tidak bersuara. Tapi Kiau-goat lantas berkata, “Tapi pesawat rahasia di lorong sini sebegitu jauh belum pernah menjeplak, bukan?”

“Betul,” jawab Siau-hi-ji. “Sebab kalau sesuatu pesawat rahasia telah menjeplak, baik berhasil melukai orang atau tidak tentu akan meninggalkan bekas-bekas dan perlu dibenahi pula baru dapat pulih kembali seperti semula. Tapi setiba penyatron itu di sini, agaknya gua ini sudah kosong, penghuninya seakan-akan sudah mampus seluruhnya. Kalau tidak, setiba kita di sini sedikitnya akan mengalami belasan macam perangkap.”

“Tapi waktu orang itu datang, di gua ini pasti masih ada penghuninya, lalu sebegitu jauh mengapa perangkapnya tidak bekerja?” ujar Kiau-goat.

Berputar biji mata Siau-hi-ji, lalu menjawab, “Meski aku tidak menyaksikan bagaimana keadaan waktu orang itu masuk ke sini, tapi dapat kubayangkan, seperti kita sekarang, tentunya dia juga berjalan sambil berteriak-teriak menyebut nama Gui Bu-geh dan menantangnya keluar. Sebab perangkap di sini sama sekali tidak bergerak, bisa jadi lantaran Gui Bu-geh menjadi terkejut dan ketakutan setelah mendengar nama penyatron itu, ia tahu sekali pun pesawat rahasianya digerakkan juga tiada gunanya, pula dia khawatir akan semakin memancing kemurkaan pendatang ini, maka dia lantas tidak jadi bertindak sama sekali.”

Kiau-goat Kiongcu manggut-manggut, nyata ia mengakui analisa Siau-hi-ji itu memang masuk akal.

“Habis, di kolong langit ini siapakah gerangannya yang dapat membikin Gui Bu-geh begini ketakutan?” ucap Lian-sing Kiongcu.

Kedua Ih-hoa-kiongcu saling pandang sekejap, dalam hati mereka sama-sama teringat kepada seseorang. Tapi cuma Siau-hi-ji saja yang tahu kelirulah dugaan mereka.

Tiba-tiba So Ing berkata, “Melihat bekas kaki orang ini, jelas jauh lebih besar dari pada orang biasa, maka dapat dibayangkan perawakannya pasti tinggi besar, setiap langkahnya sejauh tiga kaki, dapat diperkirakan kedua kakinya pasti sangat panjang.”

Melihat pandangan semua orang sama terpusat ke arahnya seakan-akan menantikan lanjutan ceritanya, maka ia lantas menyambung, “Setahuku, di kolong langit ini hanya ada seorang yang mirip seperti orang ini.”

Kembali kakak beradik Ih-hoa-kiongcu itu saling pandang sekejap, dengan menarik muka Lian-sing Kiongcu berkata, “Siapa yang kau maksudkan?”

“Yan-tayhiap, Yan Lam-thian!” jawab So Ing.

Dengan sendirinya sejak tadi Ih-hoa-kiongcu juga menduga orang itu ialah Yan Lam-thian, tapi demi mendengar nama “Yan Lam-thian” disebut, air muka kedua kakak beradik yang selalu dingin itu mendadak berubah juga, tanpa terasa mereka memandang sekejap pada Siau-hi-ji, lalu cepat berpaling pula ke arah semula.

Sejak tadi Siau-hi-ji senantiasa memperhatikan perubahan sikap kedua Ih-hoa-kiongcu. Hanya Siau-hi-ji saja yang tahu dengan pasti bahwa orang yang dimaksud pasti bukan Yan Lam-thian, sebab, sekali pun Yan Lam-thian masih hidup, tidak mungkin kekuatannya bisa pulih secepat ini.

Tapi lantas timbul suatu pikiran dalam benaknya, cepat ia bertepuk tangan dan berkata, “Betul, orang ini pasti Yan Lam-thian, Yan-tayhiap adanya. Selain Yan-tayhiap, siapa pula yang memiliki ilmu silat setinggi ini dan mempunyai tenaga sebesar ini?”

Mendadak Kiau-goat Kiongcu berkata, “Orang ini pasti bukan Yan Lam-thian.”

Segera Lian-sing menyambung, “Betul, setahuku sudah lama Yan Lam-thian telah mati.”

Waktu bicara, sorot mata mereka tanpa terasa beralih pula ke arah Siau-hi-ji, jelas mereka ingin memancing sesuatu berita mengenai Yan Lam-thian dari anak muda itu.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Meski di mulut kalian bicara sedemikian, tapi di dalam hati kalian pasti tahu bahwa Yan-tayhiap tidak mungkin mati, betul tidak?”

“Hm, biar pun dia belum mati, tentu juga tiada ubahnya seperti orang mati,” jengek Kiau-goat Kiongcu.

“Betul,” tukas Lian-sing Kiongcu. “Orang ini paling suka menonjolkan diri agar namanya terkenal, dahulu setiap satu-dua bulan sekali tentu dia berbuat sesuatu yang menggemparkan supaya namanya selalu diingat orang. Jika dia belum mati, mengapa selama dua puluh tahun ini sama sekali tiada kabar beritanya.”

“Haha, cara demikian kalian bicara, maksud kalian cuma ingin mencari tahu beritanya, aku justru tidak mau memberitahukan kepada kalian,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Mata So Ing mengerling, ucapannya perlahan, “Mengapa kalian tidak coba memeriksa ke dalam sana, bisa jadi penyatron ini masih berada di sini dan belum lagi pergi.”

Belum habis ucapannya, serentak kakak beradik Ih-hoa-kiongcu melayang lewat ke ujung lorong sana. Sampai Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan juga mereka tinggalkan.

Kebetulan Thi Sim-lan berdiri pula di tengah antara Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji, dia menunduk, tampaknya sangat sedih dan memelas. Kalau bisa, sungguh ia ingin punya sayap dan terbang pergi atau segera menyusup ke dalam tanah, namun dia justru hanya berdiri saja di situ, maju terasa salah, mundur juga terasa keliru.

Sorot mata Bu-koat juga penuh rasa derita oleh pertentangan batin yang hebat, ia menengadah seperti mau bicara apa-apa, tapi urung, lalu menunduk dan cepat melangkah ke depan.

Di luar dugaan, mendadak Siau-hi-ji mencegat di depan Bu-koat, ucapan dengan tertawa, “Sangat berterima kasih padamu.”

Bu-koat diam sejenak, ia coba memperlihatkan senyumnya, jawabnya, “Kukira tiada sesuatu yang perlu kau berterima kasih padaku.”

“Janji tiga bulan kita sudah lalu kini, kutahu engkau sudah tidak pandang diriku sebagai kawan lagi, tapi engkau toh tetap menyimpan rahasiaku yang kau ketahui itu, dengan sendirinya aku harus berterima kasih padamu.”

Kembali Bu-koat terdiam, kini ia merasakan sangat sukar baginya untuk mengucapkan sesuatu kata. Selang agak lama barulah dia buka suara, “Engkau tidak perlu berterima kasih padaku, aku tidak bicara apa-apa tentang dirimu, soalnya pembawaanku memang bukan orang yang usil mulut.”

“Tapi persoalan ini kan pantas jika kau laporkan kepada gurumu, tapi engkau justru tidak bicara satu kata pun, dengan sendirinya lantaran diriku, hanya sahabat sejati yang dapat saling menyimpan rahasia masing-masing, musuh tidak mungkin...”

“Betul, hanya sahabat sejati saja yang tahu rahasia pihak lawan,” tukas Bu-koat. “Tapi bila mana mereka sudah mulai bertengkar dan menjadi musuh, maka dia pasti akan membongkar rahasia lawan yang diketahuinya itu.”

“Ya, memang begitulah,” ucap Siau-hi-ji.

Kulit muka Hoa Bu-koat tampak berkerut-kerut, mendadak ia berkata dengan bengis, “Tapi aku bukanlah Siaujin (orang kecil, orang rendah, pengecut) demikian!” Habis berkata ia terus menyelinap lewat di samping Siau-hi-ji.

Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Justru lantaran engkau terlalu Kuncu (ksatria, gentleman), makanya engkau tidak mempunyai keberanian untuk melawan. Mengapa engkau tidak dapat meniru diriku, jadilah seorang pemberontak -.”

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan mendekap mukanya terus lari keluar.

Cepat So Ing berseru memanggilnya, tapi Thi Sim-lan tidak menggubrisnya, yang terpikir olehnya hanya satu, yaitu meninggalkan tempat ini sejauhnya, meninggalkan orang-orang ini sejauh-jauhnya, walau pun ia tahu sekali pun ia dapat melarikan diri, tapi hatinya takkan mampu lari untuk selamanya, ke mana pun dia lari, hatinya akan tetap menyangkut di tubuh Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, bahkan terobek dan berlumuran darah.

Tapi ini adalah urusan di kemudian hari, ia tidak pedulikan lagi.

“Ai, mengapa... mengapa tidak kau tahan dia?!” omel So Ing.

“Seorang kalau sudah berkeras mau pergi, maka siapa pun tak dapat menahan dia,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Meski tertawa, tapi siapa pun takkan menyangka tertawa Siau-hi-ji bisa begitu pedih.

“Tapi engkau pasti dapat menahannya,” ujar So Ing.

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melonjak dan berteriak, “Memangnya kau ingin aku berbuat apa? Kau ingin aku mengikatnya dengan rantai? Atau ingin aku berlutut di depannya serta merangkul kakinya dengan ratap tangis?”

So Ing tidak menjawab, ia pandang anak muda itu dengan terkesima, sorot matanya lambat-laun menjadi buram, dua titik air mata meleleh melalui pipinya yang pucat itu dan jatuh di bajunya.

Siau-hi-ji menoleh ke sana dan mengejek, “Dia pergi seharusnya kau bergembira, mengapa malah menangis?”

Dengan sedih So Ing menjawab, “Engkau tidak perlu mengucapkan kata-kata sekeji ini dan menyinggung perasaan begini, kini...”

“Kini kenapa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kini aku pun berharap bisa seperti dia, meninggalkan tempat ini sejauhnya agar tidak dapat melihat engkau marah baginya dan berduka baginya,” ujar So Ing.

“Aku berduka katamu? Mengapa aku harus berduka?”

“Sebab, sekali ini dia yang meninggalkanmu dan bukan engkau yang meninggalkan dia.”

Kalimat yang sederhana ini ternyata mengandung makna yang sangat ruwet dan dalam, sama halnya sebatang jarum yang tepat menusuk lubuk hati Siau-hi-ji.

Seorang lelaki, seumpama dia tidak sungguh menyukai seorang perempuan, tapi kalau si perempuan yang meninggalkan dia lebih dahulu, betapa pun si lelaki ini tak bisa menerimanya.

Maka Siau-hi-ji berjingkrak pula, katanya, “Jika demikian kenapa kau sendiri tidak pergi saja?”

So Ing tidak mampu bicara lagi, hanya derai air mata saja sebagai jawabannya.

“Ya, kutahu sebab kau merasa berat untuk meninggalkan aku, betul tidak? Betul tidak...?”

So Ing menggigit bibir dan menjawab, “Meng... mengapa engkau sengaja menyiksaku cara begini, mengapa...”

Mendadak Siau-hi-ji menubruk maju dan merangkul So Ing, dengan keras bibirnya mengancing bibir si nona, begitu erat pelukannya sehingga tubuh So Ing serasa mau retak.

So Ing seakan-akan runtuh seluruhnya. Tapi mendadak ia memukul tubuh Siau-hi-ji sekuatnya, ia mendorong dada Siau-hi-ji sambil berteriak dengan parau, “Lepaskan, lepaskan aku!”

“Masa... masa kau tidak suka...” tapi cepat ia lepaskan rangkulan dan mendekap mulut sendiri, bibirnya ternyata berdarah, seketika air mukanya berubah, entah gusar, entah kejut.

So Ing mundur dengan sempoyongan ke tepi dinding, napasnya terengah-engah.

Akhirnya Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya dengan menyengir, “Baru sekarang kutahu aku berbuat salah.”

Kembali So Ing mencucurkan air mata, ucapnya dengan gemetar, “Tidak, kau tidak salah. Bukanlah aku tidak... tidak suka dipeluk olehmu, jika tidak sedalam ini cintaku padamu, tentu takkan kubiarkan diriku dipeluk olehmu, namun sekarang aku tidak ingin engkau memeluk diriku, dan pada saat yang sama hatimu justru memikirkan orang lain.”

Siau-hi-ji tercengang sejenak, baru saja ia hendak buka suara, dilihatnya Lian-sing Kiongcu entah sejak kapan sudah berdiri pula di ujung lorong sana dan sedang memandangnya dengan sorot mata yang dingin…..

********************

Dengan istilah apa pun sukar melukiskan kemegahan tempat kediaman Gui Bu-geh ini. Sebab tempat ini adalah hasil karya seorang gila dengan harta kekayaan yang tak terperikan ditambah kekuasaan dan daya khayal yang tiada bandingnya.

Tempat fantastis demikian pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Di tengah-tengah tempat yang megah ini tertaruh sebuah kursi batu yang sangat besar, sebuah kursi batu yang terukir dari sepotong batu raksasa. Meski cuma sepotong batu, namun putih jernih seperti kemala asli, setitik warna lain saja sukar ditemukan. Hanya di dalam istana di bawah tanah ini terasa dingin membeku, tapi asalkan duduk di kursi ini, seketika akan terasa badan menjadi hangat.

Kursi raksasa begini di seluruh dunia ini mungkin sukar dicari yang kedua, tapi kursi istimewa ini sekarang telah terbelah menjadi dua.

Kiau-goat Kiongcu dan Hoa Bu-koat berdiri tepat di depan kursi batu ini dan sedang mengawasi bagian kursi yang terbelah dengan air muka yang sangat prihatin. Bagian kursi batu yang terbelah itu kelihatan halus, licin dan rajin laksana sepotong tahu yang disayat oleh pisau yang sangat tajam.

Cukup lama Bu-koat memandangnya, akhirnya ia berkata, “Yang digunakan orang ini mungkin Po-kiam (pedang pusaka) yang amat tajam.”

Kiau-goat diam saja, mukanya tambah merengut. Selang sejenak, dari jubah putihnya yang longgar itu mendadak ia keluarkan sebatang pedang pendek berwarna hijau kehitam-hitaman.

Panjang pedang kira-kira cuma setengah meter, sekilas pandang seperti tiada sesuatu yang menarik, tapi kalau diperhatikan lebih lanjut akan terasa hawa pedang yang dingin dan menyilaukan.

Tampaknya Kiau-goat sangat sayang terhadap padang pendeknya ini, dia mengusap batang pedang dengan ujung jarinya yang lentik, setelah termenung sejenak baru dia serahkan pedang itu kepada Bu-koat, katanya, “Coba gunakan pedang ini untuk membacok kursi batu itu dengan sembilan bagian tenagamu.”

Bu-koat mengiakan dan menerima pedang pendek, setelah memegang pedang itu baru dia merasakan bobotnya jauh lebih berat dari pada dugaannya, bahkan begitu mengangkat pedang itu seketika hawa dingin merasuk jantung.

Hampir saja Bu-koat berseru memuji pedang bagus, tapi urung, sebab, di depan Kiau-goat Kiongcu, satu kata saja dia tidak berani sembarangan omong.

Tiba-tiba Kiau-goat berkata pula, “Selama hidupmu kau tinggal di Ih-hoa-kiong, pernahkah kau lihat pedang ini?”

“Tecu tidak tahu,” jawab Bu-koat.

“Soalnya pedang ini membawa alamat tidak baik, selama beberapa ratus tahun ini, barang siapa melihat pedang ini pasti akan mati di bawah pedang ini, selain diriku, tiada satu pun yang terkecuali,” tutur Kiau-goat.

Dia bicara dengan acuh tak acuh, tapi merinding bagi orang yang mendengarkan.

Bu-koat tidak berani bertanya pula, dengan tangan kanan memegang pedang segera ia melangkah maju, dengan gaya “Yu-hong-lay-gi” (burung Hong datang menyembah), sinar kilat berkelebat, kursi batu itu terus dibacoknya.

Hampir seluruh tenaganya telah dikumpulkan pada pergelangan tangannya, jangankan pedang pandak ini adalah senjata pusaka yang dapat memotong besi seperti merajang sayur, sekali pun pedang ini cuma pedang bambu, dengan bacokannya yang hebat ini sudah cukup menghancurkan batu menjadi bubuk.

Maka terdengarlah suara “trang” sekali disertai muncratnya lelatu api, pedang ini hanya mampu membelah kursi batu itu sedalam satu kaki lebih, lalu batang pedang terjepit di tengah batu.

Bu-koat melenggong sejenak sambil tetap memegangi gagang pedang, keringat dingin lantas merembes memenuhi jidatnya.

Orang yang mampu membelah kursi batu ini, seumpama yang digunakan adalah pedang pusaka yang sama tajamnya, jelas tenaganya paling sedikit harus lipat tiga-empat kali dari padanya. Di dunia ini ternyata ada tokoh sehebat ini, sungguh sukar untuk dibayangkan.

Kiau-goat menghela napas perlahan, katanya kemudian, “Sudah lama kudengar kadar keras batu kemala hijau ini tiada bandingannya, sekarang terbukti memang tidak salah. Orang ini dapat sekali bacok membelah kursi batu ini menjadi dua, ilmu pedangnya memang hebat juga.”

“Tidak cuma ilmu pedangnya hebat, mungkin tenaga dalam orang ini juga lebih...” Bu-koat tidak melanjutkan ucapnya karena Kiau-goat telah memotongnya, “Tinggi sandaran kursi ini hampir lima kaki, hanya sekali bacok saja orang ini dapat membelahnya menjadi dua, tapi bacokanmu hanya mencapai satu kaki lebih, lalu kau menganggap kekuatan orang ini sedikitnya tiga kali lipat dari padamu, begitu bukan?”

“Ya, sungguh Tecu merasa malu,” ucap Bu-koat. “Padahal waktu pedang Tecu membelah kursi batu, Tecu merasa sisa tenaga masih cukup kuat, sedikitnya dapat membelah tiga kaki lagi ke bawah, siapa tahu baru mencapai lebih satu kaki segera terasa tenaga susulan sudah habis. Dari ini dapatlah diketahui bahwa bacokan lebih mendalam juga semakin sukar.”

“Betul juga,” ucap Kiau-goat.

“Waktu Tecu membelah kursi batu ini hingga mencapai satu kaki lebih dalamnya, tenaga yang Tecu gunakan cuma tiga bagian saja, tapi waktu masuk lagi beberapa inci, tenaga yang kugunakan mencapai tujuh bagian, sedangkan sekali bacok saja orang ini dapat membelah kursi batu setinggi lima kaki ini, maka dapat diperkirakan tenaganya tidak terbatas cuma tiga kali lipat dari pada tenaga Tecu.”

Tiba-tiba Kiau-goat tersenyum, ucapnya, “Salah kau.”

Bu-koat melengak, tanyanya, “Tapi Tecu sesungguhnya telah...”

“Kau tidak perlu menilai rendah dirimu, di kolong langit ini tiada seorang pun yang memiliki tenaga tiga kali lipat dari padamu. Soalnya adalah karena kau tidak tahu sebab musababnya saja.”

“Ya, Tecu memang bodoh,” ucap Bu-koat dengan menunduk.

“Coba pikir, jagal lembu atau pembantai babi yang sehari-hari kerjanya cuma memotong lembu dan babi itu, cukup dengan sekali tusuk saja, seketika beres. Tapi kalau kau disuruh memotong babi atau menjagal lembu, pasti kau takkan mampu bekerja segesit dan seterampil mereka. Lalu apakah ini berarti tenagamu kalah kuat dari pada kaum jagal itu?”

Bu-koat terdiam dan tidak berani menjawab.

Kiau-goat lantas melanjutkan, “Kunci dari pada soal ini terletak pada kebiasaan saja, lantaran sudah ‘kulino’ (biasa, hafal) menjadikan kerjanya lebih cekatan. Teori ini berlaku bagi kaum jagal juga berlaku dalam hal ilmu pedang. Kalau orang ini dapat sekali bacok membelah kursi batu setinggi ini dan kau tidak mampu, ini bukan disebabkan tenaganya berlipat ganda dari padamu, soalnya cuma cara menggunakan pedangnya jauh lebih cekatan dan lebih ‘kulino’ dari padamu.”

Meski teori ini tampaknya sederhana, tapi sesungguhnya mengandung pengetahuan yang amat mendalam. Hoa Bu-koat merasa kuliah praktik Ih-hoa-kiongcu ini banyak memberi manfaat, diam-diam ia terkesiap dan juga bergirang.

Didengarnya Kiau-goat Kiongcu berkata pula, “Bukan saja gerak tangan orang ini sangat cekatan dan kulino, bahkan juga sangat cepat. Kecepatan sama dengan tenaga. Makanya dia dapat melakukan apa yang kau tidak sanggup lakukan. Jika kau bergebrak dengan dia, dalam lima puluh jurus dia pasti dapat mengurung pedangmu, dalam seratus jurus mungkin kepalamu akan dipenggal olehnya.”

Kembali keringat dingin merembes keluar di dahi Bu-koat.

“Kecuali itu,” Kiau-goat menyambung pula, “Waktu ia membacok dengan pedangnya tentu dia diliputi rasa murka yang tak terkatakan, yang dipikirnya hanya membunuh orang sehingga tidak memikirkan apakah bacokannya ini akan membelah kursi batu itu atau tidak. Jadi semisal jagal babi atau pembantai lembu yang sedang melakukan tugasnya tanpa memikirkan urusan lain, maka cara turun tangannya menjadi lain dari pada yang lain. Sedangkan caramu turun tangan tadi justru selalu berpikir berapa jauh kursi batu ini dapat kubelah, dengan sendirinya perbawamu menjadi jauh lebih lemah dibandingkan orang, dan jika jalan pikiranmu juga demikian, bila mana kau bergebrak dengan orang, maka pasti akan sangat berbahaya bagimu.”

Kuliah Ih-hoa-kiongcu ini membuat Bu-koat tunduk benar-benar dan tidak berani menengadah, keringat dingin pun membasahi bajunya.

Pada saat itulah mendadak terdengar seorang berkeplok tertawa dan berseru, “Haha, Ih-hoa-kiongcu memberi kuliah tentang ilmu silat, sungguh hebat dan membuka mata setiap pendengarnya. Sampai aku pun mau tak mau harus rada kagum padamu.”

Dengan tertawa-tawa Siau-hi-ji telah melangkah masuk. Jika orang lain, setelah bibirnya tergigit lecet karena mencium So Ing tadi, tentu akan berusaha menutupi cirinya ini. Tapi Siau-hi-ji tidak ambil pusing kejadian ini, tiba-tiba ia tertarik oleh pedang hijau gilap yang dipegang Hoa Bu-koat itu, dengan tercengang ia bertanya, “Apakah ini pedang ‘Pik-hiat-ciau-tan jin’, senjata maut jaman kuno dalam dongeng itu?”

“Hm, tajam juga penglihatanmu,” jengek Kiau-goat Kiongcu.

“Konon sejak dahulu kala hingga kini, setiap senjata yang ditempa diperlukan sesajen darah orang hidup, dengan demikian barulah senjata itu akan berhasil digembleng. Malahan ada sementara orang yang rela mengorbankan jiwanya demi berhasilnya pedang yang ditempa. Sebab itulah sejarah setiap pedang pusaka yang berhasil diciptakan pasti membawa kisah yang memilukan.”

“Saat ini bukan waktunya bercerita segala,” kata Kiau-goat Kiongcu.

Tapi Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia menyambung pula, “Hanya Pik-hiat-kiam ini konon tetap tak berhasil ditempa meski sudah diberi sajen darah orang hidup. Menyusul istri dan putra-putri empu penggembleng pedang itu pun dikorbankan, tapi tetap tak berhasil. Saking gemas dan berdukanya, tukang gembleng pedang itu juga ikut terjun ke dalam tungku. Di luar dugaan setelah ia terjun ke dalam tungku, seketika api tungku berubah menjadi hijau murni, setelah tergembleng lagi dua hari, kebetulan seorang Tojin lewat di situ dan melanjutkan gemblengan pedang itu sehingga berhasil. Konon ketika pedang itu dikeluarkan dari tungku, cuaca berubah menjadi gelap seketika, terdengar guntur berbunyi, Tojin itu terkejut dan roboh terjungkal, kebetulan jatuhnya tepat di atas pedang ini sehingga dia menjadi korban pertama bagi pedang pusaka yang baru lahir ini.”

Sampai di sini Siau-hi-ji berhenti sejenak sambil tertawa, lalu melanjutkan lagi, “Dengan sendirinya cerita ini hanya dongeng belaka dan tidak dapat dipercaya. Pikir saja, jika orang-orang itu benar-benar telah mati semua, lalu siapakah yang dapat menceritakan kisah ini?”

“Betul hal ini memang tidak dapat dipercaya, tapi ada sesuatu yang tidak boleh tidak harus membuat kau percaya,” kata Kiau-goat.

“Urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Waktu tukang gembleng pedang itu terjun ke dalam tungkunya, saking gemas dan murkanya dia telah bersumpah, dia mengutuk pedang ini bila berhasil tergembleng, maka selanjutnya barang siapa yang melihat pedang ini pasti juga akan mati di bawah pedang ini,” Kiau-goat menatap Siau-hi-ji dengan tajam dingin, lalu menegaskan sekata demi sekata, “Hanya hal inilah, tidak boleh tidak harus kau percayai.”

So Ing merinding mendengarkan cerita aneh itu, tanpa terasa ia berpaling ke sana dan tidak berani lagi memandang senjata beralamat buruk itu.

Siau-hi-ji lantas bergelak tertawa, katanya, “Manusia hidup, akhirnya setiap orang juga mesti mati. Kalau bisa mati di bawah senjata ajaib begini, rasanya beruntung juga hidupku ini, apalagi, orang yang melihat pedang ini kan tidak cuma diriku seorang saja?”

“Creng”, Bu-koat mendadak menarik kembali pedang hijau itu dan dipersembahkan kembali ke hadapan Kiau-goat Kiongcu.

Gemerdep sinar mata Kiau-goat, ucapnya dengan hambar, “Boleh kau simpan saja pedang ini.”

Berubahlah air muka Bu-koat, ia menunduk dan berkata, “Tecu....”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan tertawa Siau-hi-ji berseru, “Hahaha, kau berikan pedang ini padanya, apakah engkau menghendaki dia membunuh aku dengan pedang ini? Tapi jangan kau lupakan, apa bila kutukan tukang gembleng pedang itu manjur, tentunya sudah sejak dulu-dulu kau sendiri mati di bawah pedang ini.”

Tiba-tiba air muka Kiau-goat Kiongcu juga berubah pucat, sorot matanya setajam sembilu beralih ke muka Hoa Bu-koat.

Tapi Lian-sing Kiongcu keburu menyeletuk, “Bu-koat, pergilah kau mencari kembali Thi Sim-lan.”

Bu-koat seperti kaget, serunya, “Dia....” mendadak ia bungkam pula setelah memandang Siau-hi-ji sejenak.

“Dia sudah pergi,” kata Kiau-goat. “Kukira belum jauh dia pergi, kau pasti dapat menyusulnya.”

Dengan menunduk Bu-koat berkata, “Tapi Tecu... Tecu....”

“Memangnya kenapa? Kau tidak tunduk lagi pada ucapanku?” bentak Lian-sing Kiongcu dengan bengis.

Kembali Bu-koat memandang sekejap pada Siau-hi-ji dengan air muka yang penuh rasa serba susah, namun dia tidak berani bicara lagi, akhirnya dia terus lari keluar.

Siau-hi-ji seperti tidak memperhatikan kepergian Hoa Bu-koat, katanya kemudian, “Waktu kalian masuk ke sini, apakah di liang tikus ini sudah tiada seorang pun?”

Sampai saat ini perasaan Kiau-goat Kiongcu masih tertekan setiap mendengar kata Siau-hi-ji. Maka Lian-sing Kiongcu lantas menjawab, “Ya, tiada seorang pun.”

“Orang mati pun tidak ada?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, tidak ada,” tutur Lian-sing.

Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, katanya, “Lalu Gui Bu-geh bagaimana? Masakan dia sudah kabur?”

Meski tidak bicara, tapi tanpa terasa terunjuk rasa kejut dan girang pada air muka So Ing.

Siau-hi-ji mengerling sekitarnya, ucapnya kemudian kepada So Ing, “Dapatkah kau memayang aku memeriksa keadaan sekeliling sini?”

Sudah tentu So Ing lakukan apa yang dikehendaki anak muda itu.

Sekali pun Gui Bu-geh adalah manusia yang paling rendah, paling kotor dan paling pengecut di dunia ini, tapi cara bekerjanya ternyata tidak tanggung-tanggung, hampir seluruh perut bukit ini diterobos dan digalinya hingga geronggang.

Kecuali gua induk yang menyerupai istana ini, sekelilingnya dibangun pula kamar-kamar gua yang lebih kecil dan tak terhitung jumlahnya, kamar demi kamar berderet-deret memenuhi perut bukit ini hingga mirip sarang tawon. Setiap kamar gua itu ada pintu tembus, tapi pintunya tak dapat digembok, jelas tujuannya agar anak muridnya yang tinggal di kamar-kamar gua ini bisa saling mengawasi satu sama lain.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar