Bahagia Pendekar Binal Jilid 09

“Dia bukan anakku juga bukan biniku, dia tertipu atau tidak, apa sangkut-pautnya denganku? Untuk apa aku meski ikut campur?” demikian ucap Pek Khay-sim dengan menarik muka.

“Apalagi,” sambung Ha-ha-ji, “Kan tiada salahnya biarkan dia pergi ke tempat Gui Bu-geh, nah, barulah nanti akan banyak tontonan yang menarik.”

“Demi berebut seorang lelaki, memangnya apa pun dapat dilakukan oleh seorang perempuan,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa. “Apalagi demi mendapatkan pemuda seperti Siau-hi-ji, sekali pun kau membunuh orang juga takkan kusalahkan kau.”

“Jika demikian, untuk keperluan apakah kalian datang kemari?” tanya So Ing.

“Kami sengaja mencari kau untuk merundingkan suatu perdagangan,” jawab Li Toa-jui.

“Perdagangan? Perdagangan apa?” tanya So Ing.

“Haha, sudah tentu perdagangan yang saling menguntungkan,” tukas Ha-ha-jai, “Cuma kami tidak tahu apakah kau setuju atau tidak?”

“Jika ada bisnis yang saling menguntungkan, masa aku tidak setuju?” jawab So Ing tertawa.

“Baik, sekarang kutanya padamu, kau ingin menjadi istri Siau-hi-ji bukan?” tanya To Kiau-kiau.

So Ing tertawa, jawabnya tanpa pikir, “Tidak cuma begitu saja, malahan aku sudah bertekad menjadi istrinya.”

“Haha, tampaknya tekadmu sangat besar,” tukas Ha-ha-ji. “Tapi kau harus tahu, bukan urusan mudah jika ingin diperistri oleh Siau-hi-ji.”

“Bila mana urusannya sedemikian mudah, bisa jadi aku malah tidak ingin menjadi istrinya,” jawab So Ing dengan tertawa.

“Tapi apakah kau yakin dan mempunyai pegangan akan dapat menjadi istrinya?” tanya To Kiau-kiau.

“Urusan yang tiada pegangannya dan semakin sulit, tentunya akan semakin menarik untuk dilaksanakan bukan?” jawab So Ing.

“Tapi kalau gagal, kan jadi tidak menarik, bukan?” kata To Kiau-kiau.

So Ing menghela napas, katanya, “Ya, jika begitu memang sangat tidak menarik.”

“Nah, untuk itu, kami dapat membantu terlaksananya cita-citamu, tapi kau juga harus berjanji melakukan sesuatu bagi kami,” kata To Kiau-kiau.

So Ing mengerling manis, katanya dengan tertawa, “Kalian benar-benar yakin dia sudi menikahiku?”

“Sudah tentu kami yakin,” jawab To Kiau-kiau. “Jangan lupa, kami inilah yang membesarkan Siau-hi-ji, masa kami tidak kenal tabiatnya?”

“Jika begitu urusan apa yang harus kukerjakan bagi kalian?” tanya So Ing.

“Kau harus membawanya hidup-hidup ke liang Gui Bu-geh itu, kemudian membawanya keluar pula hidup-hidup,” tutur To Kiau-kiau.

“Sebab apa kalian menghendaki demikian” tanya So Ing.

“Sebab kami ingin menyuruhnya mengambil sesuatu barang,” jawab Kiau-kiau.

So Ing berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Tapi kalau dia tidak mau ke sana, lalu bagaimana?”

“Semula mungkin dia tidak mau, tapi sekarang mau tak mau dia harus pergi ke sana,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa. “Sebab barusan kau telah membantu mengerjakan sesuatu bagi kami, yaitu, kau telah mengirim Thi Sim-lan ke tempat Gui Bu-geh.”

“Dan kalau aku tidak setuju permintaan kalian?” tanya So Ing dengan tenang-tenang.

“Jika kau tidak mau, nafsu makanku akan segera timbul,” ucap Li Toa-jui dengan terkekeh-kekeh.

“Mungkin kalian tidak tahu bahwa pada waktu kecil aku pernah jatuh dari atas pohon sehingga tubuhku banyak bekas lukanya, maka sulit dagingku menjadi rada kasap,” tutur So Ing dengan tenang. Ia tersenyum, lalu menyambung pula, “Walau pun begitu, kupercaya, diolah dengan cara apa pun juga dagingku tetap sangat lezat. Cuma perlu kuberi nasihat, jangan sekali-kali kau masak dengan direbus, daging yang empuk begini harus digoreng, dengan demikian dagingnya akan terasa tetap segar dan gurih.”

Cara bicaranya ramah tamah seperti halnya sedang bertukar pikiran dengan kawan kursus mengenai resep makanan.

Tentu saja Li Toa-jui dan lain-lain jadi saling pandang dengan melongo.

Setelah berdehem Li Toa-jui berkata pula, “Ah, kau telah mengingatkan aku kelezatan daging manusia goreng kering, rasanya memang benar tiada bandingannya. Ehm, sudah lama juga aku tidak merasakannya.”

“Tapi apakah kau tahu cara makan daging manusia goreng itu pun ada rahasianya,” kata So Ing.

“Oya? Bagaimana?” tanya Li Toa-jui.

“Yakni, sebaiknya kau mengiris dagingku selagi aku masih hidup, pula bumbunya jangan diberi cuka, sebab daging manusia umumnya memang rada masam,” kata So Ing.

“Hehe, terima kasih atas petunjukmu, sudah banyak manusia yang kumakan, tak tersangka kau lebih ahli dari padaku,” kata Li Toa-jui.

Dengan tenang So Ing lantas duduk dan berkata Kula, “Nah, santapan enak sudah tersedia, apalagi yang kau tunggu?”

“Ya, aku memang tidak sabar lagi,” kata Li Toa-jui.

“Jika tidak sabar lagi, mengapa engkau tidak lekas turun tangan?”

“Dengan sendirinya aku akan turun tangan,” kata Li Toa-jui. Dia melangkah dua tiga tindak, dilihatnya So Ing masih tetap duduk tenang-tenang saja, sedikit pun tidak mengunjuk rasa khawatir akan dijadikan santapan orang, malahan lebih mirip orang sedang menunggu antaran makanan.

“Li Toa-jui,” tiba-tiba To Kiau-kiau berseru, “Coba kemari, ingin kubicara denganmu.”

Lalu ia menarik Li Toa-jui ke samping sana dan membisikinya, “Apakah benar-benar kau hendak memakannya?”

“Urusan sudah kadung begini, memangnya dapat kulepaskan dia?” jawab Li Toa-jui dengan terbelalak. “Setelah dia menjadi isi perutku, toh selamanya takkan diketahui Siau-hi-ji.”

“Tapi apakah pernah kau makan orang semacam dia” tanya Kiau-kiau.

Li Toa-jui melirik sekejap So Ing yang masih duduk tenang-tenang di sana, lalu dia mengomel dengan suara tertahan, “Keparat, tampaknya budak ini seakan-akan senang menjadi isi perutku, entah muslihat apa yang telah diaturnya?”

“Coba pikir, jika dia tidak mempunyai sesuatu pegangan, mana dia dapat bersikap setenang ini, ia bahkan khawatir matinya terlalu enak dan menyarankan kau menyayat dagingnya hidup-hidup. Coba pikirkan, masa di dunia ini ada manusia demikian?”

“Betul, budak ini banyak tipu akalnya, jangan-jangan sudah diaturnya perangkap untuk menjebak diriku,” kata Li Toa-jui sambil berkerut kening.

“Asal kau tahu saja,” kata To Kiau-kiau.

Semakin rapat terkerut kening Li Toa-jui, ucapnya, “Tapi cara bagaimana dia akan menjebak diriku? Apakah tubuhnya dilumuri racun agar aku keracunan bila mana kumakan dia, tapi apa pun juga jadinya nanti kan dia sudah menjadi isi perutku?”

“Kau pikir dia akan menggunakan cara segoblok itu?” tanya Kiau-kiau.

“Selain itu, anak perempuan selemah dia masa punya akal lain?” ujar Li Toa-jui.

“Jika akal muslihatnya dapat kau terka semudah itu, tentu orang lain tidak perlu takut padanya,” ujar To Kiau-kiau. “Apalagi, dari mana kau tahu dia lemah? Jelek-jelek dia kesayangan Gui Bu-geh, mustahil tidak diajarkan sejurus dua kepadanya.”

Li Toa-jui termenung sejenak, katanya kemudian, “Apakah maksudmu...”

“Menurut pendapatku, sudahlah, batalkan niatmu saja,” kata To Kiau-kiau, “Kita dapat hidup sampai sekarang bukanlah hal yang mudah, jangan sampai kapal terbalik di selokan, kalau terjungkal di tangan budak cilik begini kan penasaran?”

“Ya, betul juga...” Li Toa-jui jadi ragu-ragu.

“He, kenapa tidak lekas kenari,” demikian So Ing sedang menggapai dengan tertawa. “Jika menunggu lebih lama lagi, sebentar dagingku bisa basi.”

“Sudahlah, dagingmu terlampau kecut, aku tidak doyan,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Belum lagi kau makan, dari mana kau tahu dagingku kecut?” ucap So Ing.

“Pengalamanku cukup luas, tanpa makan, sekali pandang pun kutahu,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Wah, tak tersangka dagingku bisa kecut, jangan-jangan karena sehari-hari aku terlalu banyak minum cuka,” ujar So Ing dengan menghela napas gegetun. Perlahan dia berdiri, lalu memberi hormat dan berkata, “Jika Tuan tidak sudi lagi kepadaku, terpaksa kumohon diri saja.”

“Nanti dulu!” mendadak Pek Khay-sim membentak.

“Eh, apa nafsu makan Tuan ini jauh lebih besar dari pada Li-siansing ini sehingga tidak takut rasa kecut segala?” tanya So Ing.

Pek Khay-sim tertawa, katanya, “Aku tidak sama dengan dia. Dia gemar makan enak, aku gemar main perempuan. Umumnya orang yang cuma gemar makan bernyali lebih kecil, sebaliknya nyali orang yang gemar main perempuan jauh berbeda...” sambil bicara, selangkah demi selangkah ia mendekati So Ing, dan menyambung pula dengan tertawa, “Kata orang, besar nyali penggemar perempuan meliputi jagat. Nah, apakah pernah kau dengar peribahasa demikian ini?”

Tanpa terasa So Ing menyurut mundur selangkah, tapi tetap tersenyum simpul, katanya, “Jika Tuan merasa bosan hidup membujang, sekarang juga aku dapat menjadi perantara bagimu.”

“Kau mau menjadi perantara bagiku?” Pek Khay-sim menegas.

“Ya, di sungai sana ada perempuan cantik yang sedang mandi, bukan saja molek menggiurkan dan jauh lebih cantik dari padaku, bahkan genit memesona.”

“Hehe, aku cuma penujui dirimu, orang lain aku tidak mau,” kata Pek Khay-sim sambil terkekeh-kekeh, berbareng ia terus menubruk maju dan menarik So Ing.

Dalam keadaan demikian, biar pun dalam perut So Ing penuh berisi tipu akal juga tak dapat digunakannya, perempuan ketemu gerayak, sungguh mati kutu dan tak berdaya.

Li Toa-jui melotot pada To Kiau-kiau, katanya dengan menyesal, “Wah, mestinya aku tidak perlu menuruti kau, sepotong daging jadinya jatuh ke mulut anjing.”

“Barang yang dia sudah pakai kan masih dapat dimakan?” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Hm, barang yang sudah dipakai bocah busuk ini, anjing saja tidak mau mengendusnya lagi, siapa yang mau memakannya?” jengek Li Toa-jui.

“Bret”, sementara itu baju SoIng sudah terobek sebagian oleh jambretan Pek Khay-sim tadi.

Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar seorang berucap dengan tenang, “Seorang lelaki besar mana boleh menganiaya perempuan lemah?”

Suara orang ini terdengar lemah dan perlahan, tapi datangnya orang ini sungguh secepat kilat, tahu-tahu Pek Khay-sim melihat sesosok bayangan melayang tiba dari udara, ia terkejut, tanpa pikir sebelah datangnya terus menghantam.

Sudah jelas pukulannya itu tepat menuju ke bagian hulu hati pendatang, boleh dikatakan pukulan maut yang cukup lihai. Siapa tahu, baru sampai di tengah jalan pukulannya tahu-tahu berputar balik untuk menampar muka sendiri, menyusul mana rambutnya lantas terasa mengencang, tahu-tahu telah dijambak orang terus dilemparkan ke atas.

Li Toa-jui dan lain-lain hanya melihat berkelebatnya bayangan serta mendengar suara “plak” satu kali, tahu-tahu Pek Khay-sim mencelat ke atas dan tepat tercantol di ranting pohon.

Waktu memandang lagi ke arah So Ing, di sisi nona itu sudah bertambah seorang pemuda cakap, seorang pemuda gagah dan ganteng, meski pakaiannya rada kumal, namun tidak dapat menutupi sikapnya yang agung.

Meski pemuda ini telah berhasil menyelamatkan So Ing, tapi So Ing sendiri lantas pucat demi mengenalnya, serunya terkejut, “He, Hoa Bu-koat!”

Pemuda ini memang betul Hoa Bu-koat adanya. Ia tersenyum hambar, sorot matanya lantas menyapu Li, Toa-jui berempat, katanya perlahan, “Adakah di antara kalian yang ingin turun tangan pula?”

Li Toa-jui dan lain-lain sama melongo kaget. Meski Hoa Bu-koat tidak kenal mereka, tapi mereka kenal Hoa Bu-koat. Mereka pernah menyaksikan Hoa Bu-koat membawa nona Buyung Kiu melayang pergi dengan Ginkangnya yang mahatinggi, kini sekali gebrak saja Pek Khay-sim telah terlempar dan menyangkut di atas pohon. Mereka cukup cerdik, sudah tentu mereka tidak ingin cari penyakit.

Dengan tertawa Li Toa-jui lantas berkata, “Memangnya kami mendongkol terhadap setan ini, kini Kongcu telah memberi hajaran padanya, sungguh kami merasa berterima kasih.”

“Ya, cuma sayang hajaran Kongcu tadi masih terlalu enteng,” dengan tertawa To Kiau-kiau lantas menyambung.

“Haha, apa bila Kongcu melemparnya lebih jauh, tentu kami akan lebih bergembira lagi,” seru Ha-ha-ji.

Dalam pada itu Pek Khay-sim lagi meronta-ronta bermaksud melompat turun sambil berteriak-teriak, “Padahal aku cuma merabanya perlahan saja, sebaliknya si mulut besar she Li itu tadi hampir makan dagingnya.”

Muka Li Toa-jui menjadi pucat, cepat ia menyangkal, “Ah, dia lagi kentut, jangan Kongcu percaya padanya.”

“Kau sendiri yang kentut busuk!” teriak Pek Khay-sim. “Bukan saja kau hendak makan dagingnya, bahkan tadi kau merencanakan hendak menggoreng dagingnya, akan mengiris dagingnya selagi si nona masih hidup. Ayo, coba menyangkal lagi!”

Muka Li Toa-jui jadi merah, jawabnya, “Itu... itu kan diucapkan sendiri oleh si nona ini.”

“Coba dengarkan Kongcu, siapa kiranya yang ngaco-belo?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa. “Memangnya nona ini sudah gila, masa menyuruh orang lain mengiris hidup-hidup dagingnya sendiri?”

“Keparat, kau yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri!” teriak Li Toa-jui dengan murka.

Pek Khay-sim juga balas mendamprat, “Kau serigala mulut besar yang makan orang tanpa menumpahkan tulang!”

Mereka tidak bersatu menghadapi musuh dari luar, tapi malah cakar-cakaran sendiri, sungguh Hoa Bu-koat tidak pernah melihat manusia demikian, tanpa terasa ia menghela napas dan berkata, “Ai, mengapa kalian jadi bertengkar antarkawan sendiri...”

Belum habis ucapannya Li Toa-jui telah meraung sambil menubruk ke arah Pek Khay-sim, tampaknya Pek Khay-sim tidak sempat mengelak sehingga kena digenjot oleh Li Toa-jui hingga mencelat beberapa tombak jauhnya sambil mencaci maki, “Kau bangsat keparat, serigala mulut besar, kau berani memukul orang?!”

“Sudah 20 tahun ingin kupukul mampus kau jahanam ini!” Li Toa-jui meraung pula sambil mengejar ke sana.

Tak terduga sebelah kaki Pek Khay-sim mendadak menjegal sehingga Li Toa-jui jatuh tersungkur, kedua orang terus saling gumul dan menggelinding ke sana, terdengar suara “blak-bluk” beberapa kali, suara saling tonjok disertai caci-maki yang kotor, cara berkelahi mereka pun tiada harganya untuk ditonton.

Semula Hoa Bu-koat mengira mereka ini adalah jago silat kelas tinggi, kini ia menilai cara berkelahi itu tidak lebih seperti kaum gelandangan yang saling jotos berebut sisa makanan di tepi jalan.

Dalam pada itu Ha-ha-ji malah bersorak dan berteriak, “Bagus, perkelahian ramai. Haha, jamak rambutnya, lekas! Nah, begitu! Pukul lagi, tonjok hidungnya! Nah, bagus!”

To Kiau-kiau juga berseru, “Wah, jangan dibiarkan mereka berkelahi lagi, jika terus berlangsung, salah satu mungkin bisa mati dan kita yang harus membelikan peti mati baginya, kan rugi kita? Lekas kita melerai mereka saja.”

Sementara itu Li Toa-jui dan Pek Khay-sim yang bergumul itu sudah menggelinding ke balik pohon sana, keduanya tampak sudah terengah-engah dan babak belur, tapi masih saling jotos.

Cepat To Kiau-kiau dan Ha-ha-ji memburu ke sana sambil berteriak, “He, sudahlah berhenti, jangan berkelahi lagi... Nanti bisa mati salah satu, kan runyam!” Maka kedua orang itu pun menghilang ke balik pohon seperti hendak memisah perkelahian kawan mereka itu.

Hoa Bu-koat cuma menggeleng kepala sambil tersenyum getir, terhadap orang tak kenal malu begitu dia benar-benar tak berdaya kecuali geleng-geleng kepala belaka.

Tiba-tiba So Ing berkata dengan tersenyum, “Hoa-kongcu, engkau telah tertipu oleh mereka.”

“Tertipu bagaimana?” tanya Bu-koat.

“Apakah kau kira mereka berkelahi benar-benar?”

Bu-koat melengak, katanya, “Memangnya mereka cuma...”

“Mereka hanya cari alasan untuk kabur,” kata So Ing dengan tertawa. “Meski ilmu silat kedua orang itu tidak tinggi, tapi kalau benar-benar mau berkelahi mati-matian dalam 300 jurus juga sukar menentukan kalah atau menang.”

Cepat Hoa Bu-koat memburu ke sana, betul juga, di balik pohon sana sudah tidak nampak bayangan seorang pun.

Setelah melenggong sejenak, Bu-koat menyengir sendiri dan berucap, “Benar juga aku tertipu, sungguh memalukan.”

“Tipu daya keempat orang ini sungguh jarang terlihat,” kata So Ing dengan tertawa, “Adalah aneh kalau orang jujur seperti Hoa-kongcu tidak tertipu oleh mereka.”

“Orang jujur?” Bu-koat mengulang kata-kata itu dengan tertawa, “Kukira belum tentu... sebab baru saja ada beberapa orang telah tertipu olehku.”

“Oya? Siapa?” tanya So Ing. Tapi segera ia pun tahu siapa yang dimaksud, ucapnya dengan tertawa. “Ya, betul, yang tertipu olehmu pasti Pek San-kun dan istrinya, betul tidak?”

Bu-koat mengangguk dengan tertawa, jawabnya, “Betul, memang mereka.”

So Ing mengerling, ucapnya, “Meski telah kukuasai dirimu dengan kekuatan obat, tapi obat itu tidak berbahaya bagi manusia, asalkan tertiup angin, dalam waktu tidak lama kekuatan obat itu akan lenyap. Cuma waktu itu mereka telah menutuk pula Hiat-tomu sehingga engkau tidak mampu lolos.” Dia tersenyum, lalu menyambung pula, “Tentunya engkau pura-pura sangat payah keracunan agar mereka tidak berjaga-jaga terhadapmu, tapi diam-diam menggunakan tenaga dalam Ih-hoa-ciap-giok untuk menjebol Hiat-to yang tertutuk dan dapatlah meloloskan diri.”

“Kepintaran dan kecerdasan nona sungguh jarang ada bandingannya,” ucap Bu-koat dengan tertawa.

Berkilat sorot mata So Ing, katanya dengan perlahan, “Menurut pendapatmu aku ini terhitung orang pintar nomor satu di dunia bukan?”

Mendadak lenyap senyum Hoa Bu-koat yang selalu menghiasi wajahnya itu, jawabnya dengan gegetun, “Meski nona memang sangat cerdas dan pintar, tapi masih ada pula seorang kenalanku... apa bila nona bertemu dengan dia, mungkin nona pun akan diakali olehnya.”

So Ing menunduk, ia pun menghela napas, ucapnya dengan rawan, “Perkataanmu memang betul, kutahu siapa yang kau maksudkan, malahan aku sudah pernah diakali olehnya.”

Tanpa terasa wajah Hoa Bu-koat menampilkan rasa heran dan tidak percaya, selagi dia hendak tanya lebih jelas, tiba-tiba So Ing berkata pula dengan tertawa, “Sungguh tidak nyana Hoa-kongcu yang ramah tamah sekarang juga dapat menipu orang dengan akal licik, mungkin caramu ini pun dapat belajar dari orang itu, betul tidak?”

Bu-koat tertawa, katanya, “Ya, rasanya aku memang telah ketularan.”

“Tapi Kuncu kan tetap Kuncu, makanya meski kuperlakukan cara begitu, engkau tidak membalas dendam padaku, sebaliknya malah menyelamatkan aku.”

Mendadak Hoa Bu-koat menarik muka, katanya, “Tapi apakah kau tahu sebab apa kutolong kau?”

Terkejut So Ing melihat perubahan air muka Hoa Bu-koat itu, jawabnya dengan tertawa, “Sudah kukatakan, justru karena engkau adalah seorang Kuncu.”

“Kuncu terkadang juga bisa membunuh orang,” kata Bu-koat.

“Jika engkau bermaksud membunuh tentu tidak perlu menolongku, betul tidak?”

“Tapi harus kuberitahukan tiga hal padamu,” ucap Bu-koat dengan menarik muka, “Pertama, rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh diketahui orang luar, siapa yang mendapat tahu hanya ada satu jalan baginya, yaitu kematian. Inilah hukum Ih-hoa-kiong, siapa pun tiada terkecuali.”

Meski So Ing masih tetap tertawa, namun suara tertawanya sudah tidak senyaring tadi lagi.

“Kedua,” sambung Bu-koat, “Apa pun yang akan dilakukan anak murid Ih-hoa-kiong harus dikerjakan sendiri, orang lain tidak boleh ikut campur dan juga tidak boleh diwakilkan pada orang lain.”

“Dan yang ke... ketiga?

“Ketiga, aku pun anak murid Ih-hoa-kiong, betapa pun juga aku tidak boleh melanggar peraturan Ih-hoa-kiong.”

So Ing menghela napas, katanya, “Jika demikian, sebabnya engkau menolong aku hanya lantaran kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri, begitu?”

Bu-koat berpaling ke sana dan menjawab dengan tegas, “Meski terpaksa, mau tak mau harus kulaksanakan.”

“Jika demikian aku pun ingin... ingin memberitahukan tiga hal padamu,” kata So Ing. Tanpa menunggu Bu-koat bertanya segera ia menyambung pula, “Pertama, jangan kau lupa bahwa sebenarnya banyak kesempatanku dapat membunuhmu, tapi hal itu tidak kulakukan, jika sekarang kau membunuhku bukankah itu berarti tidak tahu budi?”

Meski tidak menanggapi, tapi Bu-koat menghela napas juga.

So Ing lantas melanjutkan, “Kedua, meski kutahu rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, tapi aku pasti takkan meyakinkan ilmu ini, juga takkan kukatakan kepada siapa pun juga, jika engkau tetap membunuhku, itu berarti tidak bijaksana.”

Mulai terketuk hati nurani Hoa Bu-koat, namun dia tetap tidak bersuara.

“Ketiga, kau pun jangan lupa bahwa aku adalah perempuan yang lemah, seorang lelaki besar menganiaya seorang perempuan lemah, ini namanya tidak sopan, kurang ajar, bahkan boleh dikatakan tidak tahu malu.”

Tanpa terasa Hoa Bu-koat menunduk.

Melihat perubahan sikap orang, berkilat mata So Ing, namun mulutnya tetap menjengek, “Hm, jika kau tetap ingin melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak berbudi, tidak bijaksana dan tidak sopan serta tidak tahu malu, ya, apa boleh buat. Cuma kalau hal ini diketahui Thi Sim-lan, kuyakin dia pasti akan sangat kecewa terhadapmu.”

“Apa katamu? Thi Sim-lan?” mendadak Bu-koat menengadah dan menegas.

Dengan perlahan So Ing menjawab, “Betul, Thi Sim-lan... Dia senantiasa bilang padaku bahwa engkau adalah lelaki yang paling lemah lembut, paling sopan. Tadinya aku percaya penuh, tapi sekarang...” dia sengaja menghela napas dan tidak melanjutkan.

Jari Hoa Bu-koat rada gemetar, ia menegas pula, “Kau... kau kenal Thi Sim-lan?”

“Hubungan kami juga tidak terlalu karib, hanya baru saja kami mengikat sebagai kakak beradik,” jawab So Ing dengan acuh tak acuh.

Mendadak Bu-koat seperti kena dicambuk satu kali, ia melenggong sejenak, lalu berkata sambil menggeleng, “Tidak mungkin... sekali-kali tidak mungkin.”

“Jika tidak percaya, mengapa kau tidak langsung menanyai dia?” jengek So Ing.

Mendadak Bu-koat mengepal tangannya dan bertanya, “Di mana dia?”

“Seumpama kukatakan sekarang dia berada di mana, kukira kau pun tidak berani mencarinya ke sana.”

Sinar mata Bu-koat berkilat tajam, bentaknya, “Gui Bu-geh, maksudmu telah kau jerumuskan dia ke tempat Gui Bu-geh?”

“Hah, kiranya kau pun seorang pintar,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Mengapa kau mencelakai dia?” bentak Bu-koat dengan gusar.

“Mencelakai dia? Dia adalah kakak angkatku, masa kucelakai dia?”

“Tapi... tapi Gui Bu-geh...”

“Meski Gui Bu-geh terkenal ganas terhadap orang lain, tapi terhadap kami kakak beradik cukup baik.”

Bu-koat membanting-banting kaki, sekonyong-konyong ia membalik tubuh dan berkata dengan parau, “Rahasia Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh kau katakan kepada orang lain.”

“Jika diketahui oleh orang kedua, tatkala mana belum terlambat bila aku kau bunuh.”

“Walau pun tatkala mana sudah terlambat, tapi – tapi aku tetap percaya padamu,” mendadak Bu-koat melayang pergi secepat terbang.

“He, nanti dulu, ingin kutanya sesuatu pula padamu,” cepat So Ing berseru. Ketika dilihatnya Bu-koat menghentikan langkah, segera ia menyambung pula, “Orang yang disekap bersamamu itu bernama Kang Giok-long, kau kenal dia atau tidak?”

Tanpa terasa Bu-koat menghela napas menyesal, ucapnya, “Kuharap lebih baik aku tidak kenal dia.”

“Kau pun muak padanya?” tanya So Ing, sorot matanya berkilau.

“Hm, tidak cuma muak saja,” jawab Bu-koat gemas.

“Telah kau bunuh dia?” tanya So Ing pula.

“Tidak,” jawab Bu-koat.

“Mengapa tidak kau bunuh dia?” ujar So Ing gegetun. “Orang ini dibiarkan hidup di dunia ini, hanya akan banyak mendatangkan bencana melulu.”

“Saat ini dia sedang sakit dan terluka, mana bisa kukerjai dia?” kata Bu-koat.

“Ya, memang inilah penyakit kaum Kuncu,” kata So Ing. “Tapi jika kau tidak punya ciri ini, mungkin juga...” dilihatnya tubuh Bu-koat telah mulai bergerak pula, segera ia berseru, “Tunggu dulu, masih ingin kukatakan sesuatu padamu.”

Untuk kedua kalinya terpaksa Bu-koat berhenti, tanyanya, “Kata-kata apa?”

So Ing tertawa, ucapnya, “Thi Sim-lan tidak salah menilai dirimu, memang benar engkau lelaki yang lembut dan menyenangkan, kau pun benar sangat baik padanya.”

********************

Di rumah batu sana Siau-hi-ji sudah tidak sabar menunggu lagi. Semua tahu, watak Siau-hi-ji tidak sabaran, maka dia terus mondar-mandir seperti semut di dalam wajan panas, berulang-ulang ia tanya Oh Yok-su, “Apakah kau tahu So Ing pasti akan datang kemari?”

Semula Oh Yok-su merasa pasti dan mengiakan. Tapi lama-lama ia sendiri menjadi cemas, sebab So Ing sebegitu jauh belum nampak bayangannya. Apalagi ia sendiri pun gelisah karena racun yang mengeram di tubuhnya, ia coba bertanya, “Racun yang kuderita ini mungkin... mungkin sudah hampir bekerja bukan?”

Siau-hi-ji melotot dan menjawab, “Apa kau minta kupunahkan racunmu sekarang juga?”

“Setiap perintah Kongcu pasti kuturuti, asalkan Kongcu...”

Mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar, bentaknya, “Persetan kau! Dengarkan yang jelas, apa bila So Ing tidak datang kemari, selama itu pula takkan kutawarkan racunmu, tahu?”

“Tapi... tapi nona So akan datang atau tidak kan tidak ada sangkut-pautnya denganku, apa bila… apa bila racun mulai bekerja...”

“Jika racun sudah mulai bekerja, anggap saja kau yang sial,” teriak Siau-hi-ji. “Kau mati pun pantas, habis siapa suruh kau bilang So Ing pasti akan datang kemari?”

Siau-hi-ji benar-benar tidak mau bicara tentang aturan lagi, sebab saking gelisahnya dia sudah hampir-hampir gila.

Sudah tentu Oh Yok-su jauh lebih kelabakan dari pada Siau-hi-ji, baju yang baru saja kering kini kembali basah kuyup oleh air keringat.

Hanya Kang Giok-long saja tampaknya tidak gelisah sedikit pun, dengan cengar-cengir dia duduk tenang di sana, So Ing akan datang tidak seolah-olah tiada sangkut-pautnya dengan dia. Maklum, sebab dia merasakan obat yang membuatnya sakit dan lemas kini sudah mulai buyar, badannya kini sudah mulai terasa sehat, perlahan-lahan sudah bertenaga.

Sungguh tidak kepalang gelisah Siau-hi-ji dan bayangan So Ing tetap tidak tertampak, akhirnya dia tidak tahan, serunya, “Berangkat, ayo berangkat. Peduli dia datang atau tidak, biarlah kita pergi mencarinya saja.”

Kang Giok-long menghela napas panjang, katanya, “Kini baru mau pergi mencarinya, kukira sudah agak terlambat.”

Mata Siau-hi-ji melotot sebesar telur ayam, bentaknya bengis, “Terlambat? Terlambat apa maksudmu?”

“Jika sekarang pergi mencari nona So lebih dulu baru kemudian balik lagi menolong Hoa-kongcu, kukira Hoa-kongcu mungkin sudah...” Giok-long sengaja menghentikan kata-katanya.

Benar juga, Siau-hi-ji lantas berjingkrak gusar sambil membentak, “Mungkin sudah apa? Katakan lekas!”

Kang Giok-long sengaja berlagak tergegap-gegap, jawabnya, “Ter... terus terang, tempat yang kugunakan menyimpan Hoa Bu-koat itu tidak... tidak terlalu enak, malahan kurang tembus hawa, jika... jika terlalu lama, bukan mustahil dia akan mati sesak napas di sana.”

Segera Siau-hi-ji hendak menubruk maju untuk menghajarnya, tapi baru satu langkah mendadak ia berhenti, air mukanya yang marah lantas berubah tertawa, katanya, “Haha, Kang-heng adalah orang antar, tentunya kau tahu apa bila Hoa Bu-koat mati kan juga tiada faedahnya bagimu.”

Kang Giok-long menghela napas, ucapnya, “Tentang ini dengan sendirinya Siaute cukup maklum, cuma...” dia tatap Siau-hi-ji, lalu menyambung dengan perlahan, “...jika sekarang Siaute menolongnya keluar, lalu apa pula faedahnya bagiku?

Cepat Siau-hi-ji menjawab, “Jika kau menolong dia keluar, kujamin akan minta obat penawar dari So Ing untukmu.”

“Siaute sekarang sudah sadar, kurasa kehidupan ini hanya khayalan belaka, mati atau hidup hanya impian saja, apakah nanti Siaute akan mendapatkan obat penawar atau tidak sudah tak terpikir lagi olehku.”

Bahwa Kang Giok-long mendadak mengucapkan kata-kata yang berbau filsafat orang hidup, ini benar-benar lebih mengejutkan seperti mendadak mendengar Hwesio bicara tentang bacaan porno. Keruan Siau-hi-ji melenggong dan memandangnya dengan terbelalak.

“Kau... kau ini Kang Giok-long tulen atau bukan?” tanya Siau-hi-ji kemudian.

“Tulen atau palsu, betul atau tidak, satu sama lain tiada bedanya,” ucap Giok-long pula seperti seorang pendeta.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar