Bahagia Pendekar Binal Jilid 03

Pek Khay-sim tidak marah, ia berkata pula dengan tertawa, “Mana aku panas hati segala? Bila mana kelak sarang serigala dicaplok oleh anjing gembala, nah, baru tahu rasa.”

Ucapan ini membuat air muka Li Toa-jui merah padam.

Akan tetapi Siau-hi-ji pura-pura tidak tahu, serunya sambil tertawa, “Dasar bikin rugi orang lain tidak menguntungkan diri sendiri, kalau memang begitu wataknya, mati pun takkan berubah.”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara nyaring merdu, “Cap-toa-ok-jin memang tidak bernama kosong, baru sekarang aku benar-benar kagum.”

Tiba-tiba batang pohon yang besar sana merekah dan berujud sebuah pintu, batang pohon itu ternyata geronggang bagian dalamnya dan persis dapat dibuat sembunyi satu orang, kalau sudah sembunyi di situ, jelas sukar lagi ditemukan.

Dari rongga batang pohon itulah So Ing lantas melangkah keluar, ia memberi hormat dengan lembut, ucapnya pula dengan tersenyum, “Cap-toa-ok-jin yang termasyhur sudi berkunjung kemari, maafkan aku tidak melakukan penyambutan yang layak.”

“Hahaha, nona jangan sungkan-sungkan,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa, “Orang-orang macam kami pada dasarnya memang bertulang rendah, bila diperlakukan sungkan-sungkan malah kami akan takut dikibuli olehmu.”

“Di depan tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin masa ada orang berani berbuat jahat, itu kan seperti pemeo yang berujar, ‘main kapak di depan tukang kayu’, hanya cari penyakit sendiri,” kata So Ing.

Sampai di sini, sekonyong-konyong Li Toa-jui melompat pergi sambil berteriak-teriak, “Pergi, ayo pergi, lekas pergi!”

“Eh, secawan arak saja belum kusuguhkan pada kalian, mengapa kalian terburu-buru hendak pergi?” ujar So Ing.

“Jika tidak lekas pergi, rasanya aku tidak tahan lagi,” kata Li Toa-jui sambil menoleh.

“Kenapa engkau tidak tahan?” tanya Kiau-kiau.

“Melihat tubuh budak yang putih mulus ini, sungguh air liurku bisa menetes,” ucap Li Toa-jui. “Padahal kutahu Siau-hi-ji pasti tidak mengizinkan kumakan dia. Nah, kan bisa gila aku jika tidak lekas tinggal pergi saja.”

Habis bicara, segera ia panggul Gui Moa-ih terus dibawa lari pergi secepat terbang.

Segera Pek Khay-sim juga berteriak, “Betul, aku pun mau pergi saja. Melihat nona cantik begini, betapa pun hati jejaka seperti diriku ini pun rada-rada guncang, maka lebih baik kupergi saja dari pada nanti bertengkar dengan Siau-hi-ji memperebutkan si cantik.” Di tengah ucapannya, sekali melayang, hanya sekejap saja ia pun menghilang.

Menyusul Ha-ha-ji juga lari pergi sambil berseru, “Haha, memang betul, kalau tidak lekas pergi mungkin juga Hwesio bisa melanggar pantangan.”

“Untung aku ini setengah perempuan, kalau tidak... hihihi!” To Kiau-kiau tertawa nyekikik, ia lirik Siau-hi-ji sekejap, lalu melayang ke atas pohon terus lenyap.

Im Kiu-yu tertawa seram, katanya, “Jika nona merasa bosan menjadi manusia, silakan cari padaku untuk menjadi setan, menjadi setan terkadang lebih menarik dari pada menjadi manusia. Malahan jaman sekarang setan perempuan sangat laris, permintaan banyak, persediaan kurang.”

“Terima kasih atas perhatianmu, cuma sekarang hidupku terasa cukup menyenangkan,” jawab So Ing sambil tertawa.

Sambil menuding Siau-hi-ji, Im Kiu-yu menambahkan pula, “Jika kau mencintai bocah ini, tidak terlalu lama tentu kau akan merasa bosan hidup -.” bicara sampai di sini, tahu-tahu suaranya sudah berada di kejauhan.

Toh Sat menatap Siau-hi-ji tajam-tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Masih berapa lama kau tinggal di sini?”

“Mungkin tidak terlalu lama lagi,” jawab Siau-hi-ji dengan tersenyum.

“Kau tahu di mana akan dapat menemukan kami?” tanya Toh Sat pula.

“Tahu,” sahut Siau-hi-ji.

“Bagus!” ucap Toh Sat, tahu-tahu dia sudah melayang jauh ke sana, mendadak ia berpaling pula dan memberi pesan, “Awas, bila mana perempuan cantik juga makan manusia, biasanya berikut kepalanya juga akan dimakan mentah-mentah.”

“Jangan khawatir, Cianpwe,” sela So Ing dengan tertawa. “Nafsuku makan biasanya kurang baik, maka selamanya aku cuma makan barang tak berjiwa.”

Begitulah, dalam waktu singkat suasana hutan menjadi sunyi senyap.

Dengan tersenyum So Ing memandang Siau-hi-ji, tanyanya, “Waktu kau digantung di sini oleh Gui Moa-ih tadi, kawanan Cap-toa-ok-jin ini sudah tiba?”

“Ya, kedatangan mereka sangat kebetulan,” jawab Siau-hi-ji tertawa.

“Maka kau lantas minta mereka membuka Hiat-tomu?”

“Cukup keras cara menutuk keparat she Gui itu, dengan tenaga mereka berenam perlu berkutetan sekian lama baru dapat membuka Hiat-toku.”

“Tapi kau tetap pura-pura tidak bisa bergerak untuk menipu aku?”

“Sebenarnya bukan tujuanku hendak menipumu, soalnya Gui Moa-ih telah menipu aku satu kali, mana boleh kubiarkan dia pergi sebelum kubalas mengerjai dia agar ia tahu kelihaianku.”

“Meski tujuanmu bukan menipu aku, tapi kemudian aku yang tertipu,” ucap So Ing.

“Jika begitu pikirmu, ya terserah,” ujar Siau-hi-ji sambil angkat pundak.

“Kau tahu aku sangat baik padamu, kau lantas menggunakan kelemahan ini untuk menipu aku agar aku khawatir dan cemas bagimu. Tanpa menghiraukan apa pun aku berusaha menyelamatkanmu, tapi kau menggunakannya untuk memeras aku agar menguraikan rahasiaku.”

Tanpa berkedip ia menatap Siau-hi-ji, sorot matanya kelam seperti kemilau air laut di dalam gelap.

Siau-hi-ji melengos ke sana, mendadak ia berpaling pula dan berkata, “Kan sudah kukatakan sejak mula bahwa aku ini bukan orang baik. Apa bila ada orang berlaku baik padaku, maka dia sendiri yang bakal apes.”

So Ing menghela napas gegetun, ucapnya perlahan, “Kebanyakan orang di dunia ini sama khawatir dirinya akan berubah menjadi busuk, tapi kau kebalikannya, kau seakan-akan khawatir dirimu akan berubah terlalu baik, maka kau selalu ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan bahwa kau ini bukan orang baik-baik... Sesungguhnya apa sebabnya kau berbuat demikian? Kukira kau sendiri pun tidak tahu, betul tidak?”

“Ya, bisa jadi lantaran pembawaanku memang berbibit jahat,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

So Ing memandangnya sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Tapi apakah kau tahu bahwa dirimu tidaklah sejahat sebagaimana kau bayangkan.”

“O? Orang macam apakah diriku ini, masa kau terlebih jelas dari pada diriku sendiri?”

“Ehm, aku tahu,” jawab So Ing.

“Coba, coba katakan?!” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Pangkal soalnya adalah karena sejak kecil kau telah berkumpul dan dibesarkan oleh orang-orang jahat itu, maka di dalam hatimu selalu merasa dirimu tak dapat berubah menjadi orang yang baik.”

“Oya, masa begitu?”

“Pula, kau pun menganggap bila dirimu berubah terlalu baik, rasanya menjadi seperti mengkhianati orang-orang yang telah membesarkanmu itu, makanya terkadang kau harus berbuat sesuatu kebusukan untuk membuktikan dirimu -.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji terbahak-bahak dan memotong ucapan si nona, “Hahaha, kan belum berapa hari kau kenal aku, masa kau anggap telah cukup memahami diriku?”

“Tadinya aku pun tidak terlalu paham, tapi setelah melihat orang-orang tadi aku jadi jelas.”

“Oya?!”

“Orang-orang tadi sungguh boleh dikatakan jeniusnya orang jahat, kejahatan mereka boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya sempurna, mereka dapat berbuat sesuatu yang kotor dan rendah, melakukan sesuatu yang keji dan kejam, tapi malah membuat orang merasa tertarik.”

“Kau tidak perlu mengolok-olok mereka, kan mereka tidak bersalah padamu?” ujar Siau-hi-ji.

“Betul, aku malah harus berterima kasih kepada mereka,” kata So Ing dengan tertawa.

“Berterima kasih apa?” tanya Siau-hi-ji heran.

“Jika tiada mereka, mana aku dapat kenal kau,” ujar So Ing dengan tersenyum.

“Ucapanmu makin membingungkan aku,” kata Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.

“Kau tidak paham sungguh-sungguh?”

“Ehm,” Siau-hi-ji mengangguk.

Dengan sekata demi sekata So Ing lantas menjelaskan, “Masa sampai sekarang belum lagi kau sadari bahwa mereka itulah yang memancingmu ke... ke liang tikus itu.”

Kembali Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Lucu, sungguh lelucon besar. Memangnya untuk apa mereka menipu aku?”

“Bisa jadi lantaran mereka telah mengetahui bahwa kau sesungguhnya bukan manusia jahat seperti mereka, bisa jadi akhirnya engkau juga akan mengkhianati mereka, maka mereka sengaja membuat tanda-tanda rahasia itu untuk memancingmu masuk ke liang tikus sana, dengan meminjam tangan Gui Bu-geh mereka hendak melenyapkan kau...”

“Hahaha, jika begitu, jadi kau anggap mereka sengaja hendak membinasakan aku?” Siau-hi-ji menegas dengan tertawa.

“Ehm, begitulah,” jawab So Ing.

Mendadak Siau-hi-ji berhenti tertawa dan berteriak, “Sekarang ingin kutanya, jika mereka ingin membinasakan aku, mengapa tadi mereka menyelamatkan aku pula.”

“Bisa jadi tiba-tiba mereka merasa kau masih berguna bagi mereka dan sayang kalau terbunuh begitu saja, mungkin pula mereka...”

“Kentut, kentut busuk!” mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar. “Apa yang kau katakan sama sekali tak dapat kupercaya.”

So Ing menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian dengan tenang. “Kukira engkau bukan tidak percaya sungguh-sungguh, cuma tidak suka percaya saja, betul tidak?”

“Betul kentut!” omel Siau-hi-ji pula. “Kau bukan cacing pita dalam perutku, dari mana kau tahu isi hatiku?”

“Bukan maksudku mengharuskan kau percaya, cukup kau lebih waspada dan berjaga-jaga, begitu saja,” ucap So Ing sambil menghela napas.

“Haha, kau suruh aku berjaga-jaga. Kukira kau sendiri yang perlu lebih berhati-hati.”

So Ing melengak heran, tanyanya dengan tertawa, “Aku? Aku harus hati-hati urusan apa?”

“Memangnya kau kira tempatmu ini sudah cukup aman?”

“Tempatku ini selama ini memang aman tenteram.”

“Tapi sekarang belum tentu aman lagi,” jengek Siau-hi-ji.

“Oya?!”

“Orang-orang yang datang ke sini memang hendak mencari perkara kepada Gui Bu-geh, maka mereka tentu tidak perlu lagi sungkan-sungkan padamu lantaran jeri terhadap Gui Bu-geh.”

So Ing menghela napas menyesal, ucapnya, “Memang betul ucapanmu, selanjutnya tempat ini mungkin benar-benar akan berubah menjadi arena pertempuran, rasanya aku pun tidak dapat berdiam lebih lama lagi di sini. Tadi... apakah engkau telah melihat sesuatu?”

“Orang yang tergantung di atas pohon, yang dilihatnya tentu jauh lebih banyak dan lebih luas dari pada orang lain,” jawab Siau-hi-ji dengan tenang.

“O, sesungguhnya apa yang telah kau lihat?”

“Kulihat dua orang.”

So Ing mengikik tawa, katanya, “Seumpama melihat dua puluh orang juga bukan urusan yang mengherankan.”

“Tapi kedua orang ini justru sangat mengherankan,” ujar Siau-hi-ji.

“Oya...?.”

“Sudah sejak tadi kedua orang ini bersembunyi di balik batu sana, mereka sudah berada di sana waktu kawan-kawanku datang menolong diriku, tapi mereka seperti tidak ingin ikut campur urusan yang terjadi di sini, setelah kau dan Gui Moa-ih datang ke hutan ini, segera mereka menyusup ke rumah sana secepat terbang, Ginkang mereka ternyata tergolong kelas satu...”

So Ing tidak terkejut, sebaliknya malah tertawa, katanya, “Jadi lantaran urusan inilah maka kau masih tinggal di sini?”

“Ehm,” jawab Siau-hi-ji singkat.

Makin manis tertawa So Ing, makin hangat dan lembut ucapannya, “Kiranya engkau tetap memperhatikan diriku.”

“Hm, masa bodoh jika kau suka menghibur diri sendiri, hanya saja saat ini bukan waktunya kau memuaskan dirimu sendiri, sebab kedua orang itu...”

“Kau tidak perlu khawatir bagiku,” kembali So Ing memotong. “Kutahu siapa kedua orang itu.

“Memangnya siapa?” tanya Siau-hi-ji.

“Mereka adalah pasangan suami istri yang lucu, mereka sering kali berbuat sesuatu yang mereka anggap pintar. Mendingan yang lelaki, yang perempuan bahkan selalu menganggap dirinya jauh lebih pintar dari pada orang lain, padahal dia sebenarnya orang sinting.”

“Orang yang suka menganggap diri sendiri lebih pintar dari pada orang lain memang kebanyakan punya penyakit, kecuali aku tentunya, sebab aku memang jauh lebih pintar dari pada siapa pun juga,” ucap Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh.

So Ing tertawa terpingkal-pingkal, katanya kemudian, “Rasanya aku harus memperkenalkan pasangan suami istri itu padamu...”

“Tapi sayang sekarang sudah terlambat,” tukas Siau-hi-ji.

“Ma... masa mereka sudah pergi?”

“Ya, bukan saja mereka sudah pergi, bahkan membawa serta dua bungkusan besar.”

So Ing melengak, katanya cepat, “Kapan mereka pergi?”

“Tadi, waktu kau sedang tertawa gembira.”

“Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?”

“Sebenarnya hendak kukatakan, tapi tertawamu tampak sangat gembira sehingga tiada peluang bagiku untuk bicara,” Siau-hi-ji sengaja menghela napas menyesal, lalu menyambung pula, “Dan sekarang, mungkin kau tidak dapat tertawa lagi.”

Tak tahunya, setelah bola matanya berputar, kembali So Ing tertawa, katanya, “Yang mereka gondol itu bukan dua bungkus barang, melainkan dua orang.”

Sekali ini yang melengak ialah Siau-hi-ji, serunya cepat, “Apa? Dua orang? Orang hidup?”

“Tak dapat dikatakan orang hidup, tapi juga bukan orang mati, ya anggaplah dua orang yang setengah hidup dan setengah mati.”

“Dengan susah payah kedua orang suami istri itu hanya mencuri dua orang yang setengah hidup setengah mati begitu?” tanya Siau-hi-ji.

“Ehm,” jawab So Ing.

“Untuk apa mereka mencuri dua orang setengah hidup setengah mati?”

“Jika ada gunanya tentu takkan kubiarkan dicuri mereka.”

Siau-hi-ji menghela napas lega, katanya, “Tampaknya suami istri itu memang rada-rada sinting -.”

“Tapi tindakan mereka itu sama dengan telah membantumu,” tiba-tiba So Ing tertawa pula.

Kembali Siau-hi-ji melengak, “Membantu aku apa maksudmu?”

“Sebab satu di antara kedua orang yang mereka gondol itu adalah musuhmu yang akan duel dengantmu.”

Siau-hi-ji tambah heran, “Musuhku? Siapa maksudmu?”

“Coba ingat-ingat, adakah musuhmu yang akan mengadu jiwa denganmu akhir-akhir ini?”

Hati Siau-hi-ji serasa mencelus, serunya parau, “Mak... maksudmu Hoa Bu-koat?”

“Betul,” jawab So Ing dengan tertawa.

Seperti kucing yang terinjak ekornya, Siau-hi-ji berjingkat kaget dan berteriak, “Jadi maksudmu Hoa Bu-koat digondol orang?”

Melihat sikap Siau-hi-ji itu, So Ing jadi terkejut, jawabnya dengan ragu-ragu, “Be... betul!”

“Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?” Siau-hi-ji meraung.

“Dari mana kutahu dia dibawa lari orang? Kau sendiri yang tidak mau bilang sejak tadi-tadi,” jawab So Ing sambil tersenyum getir.

Mendadak Siau-hi-ji menampar pipi sendiri beberapa kali, serunya, “Ya, betul, mengapa tidak sejak tadi kukatakan padamu? Mengapa aku tidak berusaha merintangi perbuatan mereka...” sambil berteriak, seperti orang gila dia terus lari pergi.

Maksud So Ing ingin mencegahnya, namun bayangan Siau-hi-ji sudah menghilang di kejauhan, di dalam hutan hanya tinggal dia sendirian. Ia termangu-mangu sekian lama, gumamnya, “So Ing... O, So Ing, masa kau biarkan dia pergi begitu saja?”

Tiba-tiba dia seperti bertekad mengambil sesuatu keputusan, cepat ia lari kembali ke rumah sana sambil bergumam pula, “Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, takkan kubiarkan kau pergi begitu saja, sebab kutahu takkan kutemukan lagi orang seperti engkau. Tak peduli ke mana kau pergi pasti akan kudapatkan engkau.”

Baru saja bayangan si nona lenyap ke rumah di kejauhan sana, mendadak sepotong batu yang terletak di bawah salah satu pohon di hutan ini bergerak dan bergeser. Di bawah batu lantas tertampak sebuah gua.

Dari dalam gua lantas menongol keluar seorang.

Lubang gua ini tidak besar, tampaknya seekor anjing saja sukar bersembunyi di situ, tapi orang ini jelas-jelas menerobos keluar dari lubang gua itu.

Tubuh orang itu begitu lemas, seperti kertas, bisa dilipat juga seperti secomot lempung, dapat digulung. Akan tetapi matanya bersinar tajam seperti mata pisau.

Menyaksikan lenyapnya bayangan So Ing, tersembul senyuman jahat pada ujung mulut orang ini, gumamnya, “Kau tidak perlu khawatir, tak peduli bocah itu kabur ke mana, pasti akan kutemukan dia bagimu.”

********************

Di balik kaki bukit yang rindang sana tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda, rupanya sebuah kereta kuda bersembunyi di sana, pengendara kereta ialah Thi Peng-koh.

Di atas kereta penuh dialing-alingi dedaunan, Thi Peng-koh siap memegang tali kendali dan cambuk, tampaknya setiap saat siap untuk melarikan kereta itu.

Dengan alis berkerut Thi Peng-koh tampak muram durja, agaknya bukan karena gelisah menunggu, tapi lantaran hatinya memang kusut dan dirundung banyak persoalan.

Sekonyong-konyong terdengar suara keresekan, dedaunan di atas kereta bergoyang. Cepat Thi Peng-koh menegur dengan suara tertahan, “Apakah Cianpwe telah kembali?”

“Ya, kami,” terdengar suara Pek San-kun.

Peng-koh menggigit bibir, namun tetap tak dapat menahan perasaannya dan akhirnya bertanya, “Apakah Cianpwe berhasil?”

“Jangan khawatir,” demikian terdengar suara Pek-hujin. “Giok-long yang kau rindukan ini sekarang sudah berbaring di dalam kereta.”

Segera Peng-koh menarik tali kendali, kereta kuda itu terus membedal cepat ke sana.

Setelah membelok beberapa kali, kereta itu bukannya keluar daerah perbukitan, sebaliknya makin jauh menuju ke pedalaman perbukitan itu. Sementara itu di dalam kereta berkumandang suara keluhan Kang Giok-long.

Tubuh Giok-long meringkuk menjadi ringkas, tiba-tiba ia merintih dengan suara gemetar, “Wah, dingin... dingin sekali!”

Tapi tidak seberapa lama, tahu-tahu dahinya penuh berkeringat, lalu berteriak-teriak pula, “Wah, panas, bisa mati kepanasan aku!”

Sepanjang jalan ini, Kang Giok-long sebentar mengeluh kedinginan dan lain saat sambat kepanasan dan begitu seterusnya entah berulang sampai berapa kali.

Pek-hujin cuma geleng-geleng kepala saja, katanya, “Entah dengan racun apa budak itu telah menyiksa anak ini sedemikian rupa.”

Pek San-kun memandang sekejap pada istrinya, ucapnya, “Jika kau susah, kenapa tidak kau carikan akal untuk menolong dia?”

“Racun apa yang digunakan budak itu sama sekali tak diketahui, cara bagaimana aku dapat menolongnya?” kata Pek-hujin dengan gegetun, “Tampaknya bocah ini selanjutnya mungkin... mungkin...”

“Hm, bocah ini bukan sanak bukan kadang kita, dia datang ke sini untuk minta pertolongan kita, untuk apa kau merasa susah baginya?” jengek Pek San-kun tiba-tiba.

“Eh, kau cemburu?” kata Pek-hujin sambil tersenyum genit.

“Hmk,” Pek San-kun mendengus.

Pek-hujin mencolek pipi sang suami, katanya dengan tertawa, “Ai, tua tolol, masa kau kira aku bersusah baginya? Aku cuma merasa cara budak itu terlalu lihai, coba kau lihat Hoa-kongcu kita ini -.”

“Ya, keadaan Hoa-kongcu inilah yang membuat kita khawatir,” akhirnya Pek San-kun juga menghela napas gegetun.

Keadaan Hoa Bu-koat memang menyedihkan, seperti orang kehilangan ingatan, duduk termenung, tidak bersuara dan tidak bergerak, sorot matanya tampak kabur, seakan-akan seluruh tubuh sudah kaku tanpa cita rasa apa pun.

Bila ada yang sedih dan kasihan melihat keadaan Buyung Kiu, maka melihat keadaan Hoa Bu-koat sekarang pasti orang akan menangis. Meski linglung keadaan Buyung Kiu, sedikitnya dia masih bisa bersuara dan dapat tertawa.

Tapi sekarang Hoa Bu-koat benar-benar tiada ubahnya seperti orang mati, bedanya cuma dia dapat bernapas, apa pun yang ditanyakan orang padanya seolah-olah tak didengarnya sama sekali.

Di pedalaman perbukitan itu suasana sunyi senyap, kabut remang-remang meliputi bumi.

Di tengah hutan ada sebuah rumah batu kecil, rumah yang mirip tempat bersemadi kaum pertapa.

Tapi kini rumah demikian telah digunakan Pek San-kun sebagai tempat bersembunyi.

Dalam rumah batu kecil ini ada beberapa buah meja dan bangku batu yang sederhana, mungkin karena sering diguyur oleh air hujan, maka di dalam rumah tidak terlalu banyak menumpuk debu kotoran.

Ke rumah batu inilah Hoa Bu-koat dibawa masuk. Rupanya bukan saja dia tidak dapat mendengar pembicaraan orang, bahkan berjalan saja tidak dapat.

Pek-hujin berkerut kening sambil memandangi Hoa Bu-koat, ucapnya, “Kau kira dia benar-benar berubah menjadi begini atau cuma pura-pura saja?”

“Hal ini sukar dikatakan!” jawab Pek San-kun.

“Jika benar, mungkin ia sendiri pun tidak ingat lagi rahasia Ih-hoa-ciap-giok apa segala,” ujar Pek-hujin dengan menyesal. “Lantas dengan cara bagaimana kita dapat memaksa dia membeberkan rahasia itu.”

Pek San-kun tidak menjawabnya, tiba-tiba ia berpaling keluar rumah.

Sejak tadi Thi Peng-koh merangkul Kang Giok-long dan duduk di bawah pohon di luar sana, nyata dia tetap tidak berani berhadapan dengan Hoa Bu-koat, maka tidak berani ikut masuk.

Mendadak sinar mata Pek San-kun berkilau, tiba-tiba ia lari keluar dan bertanya, “Sekarang dia kedinginan atau kepanasan?”

Peng-koh menghela napas, jawabnya, “Sekarang dia merasa sekujur badan sakit semua, entah -.”

Sekonyong-konyong kedua pundaknya terasa kaku kesemutan, tahu-tahu Koh-cing-hiat bagian pundak telah kena ditutuk oleh Pek San-kun.

Keruan Peng-koh terkejut dan gusar pula, teriaknya, “He, apa-apaan tindakan Cianpwe ini?”

“Kabarnya kau pun pelarian dari Ih-hoa-kiong bukan?” tanya Pek San-kun.

“Jika... jika sudah tahu, untuk apa kau tanyakan pula?” jawab Peng-koh dengan gemas.

“Kalau begitu, akan kupinjam tubuhmu sebentar,” kata Pek San-kun menyeringai. Tiba-tiba saja ia jambak rambut Thi Peng-koh terus diangkat.

Dengan sendirinya Kang Giok-long yang berada dalam pangkuan Thi Peng-koh lantas jatuh ke tanah dan mengeluarkan suara keluhan. Tapi dengan suara terputus-putus ia malah berkata, “Ya, bol... boleh, si... silakan Cianpwe pakai saja.”

Orang ini benar-benar berhati keji dan juga kejam, dalam keadaan bagaimana pun cara bicaranya selalu disesuaikan dengan keadaan. Karena sekarang dia tahu merintih kesakitan juga tiada gunanya, sebab tiada seorang pun yang mau menggubrisnya, maka ia pun tidak sambat lagi.

Cuma sayang, apa pun yang dia ucapkan pada hakikatnya Pek San-kun tidak ambil pusing lagi. Dia menyeret Thi Peng-koh ke dalam rumah dan dibawa ke depan Hoa Bu-koat, lalu berteriak dengan suara bengis, “Kau kenal tidak perempuan ini?”

Namun Hoa Bu-koat cuma memandang Peng-koh dengan sorot mata hambar, tidak menggeleng juga tidak mengangguk.

“Perempuan ini pun anak murid Ih-hoa-kiong, masa kau tidak kenal dia?” bentak Pek San-kun pula.

Hoa Bu-koat tetap diam saja, tidak bersuara dan tidak bergerak.

“Hehe, ingin kulihat apakah kau benar-benar tidak kenal dia atau cuma pura-pura saja,” ucap Pek San-kun sambil menyeringai.

“Bret”, mendadak ia robek baju dada Thi Peng-koh sehingga tertampaklah buah dadanya yang montok dan halus.

Sedapatnya Thi Peng-koh menggereget menahan perasaannya, ia tidak minta ampun dan juga tidak menjerit takut. Setelah berpengalaman selama ini, ia tahu menjerit minta ampun juga tiada gunanya.

Hoa Bu-koat masih tetap duduk di tempatnya, air mukanya tetap dingin-dingin saja tanpa emosi, mata terpentang lebar memandang Thi Peng-koh seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi.

Pek San-kun tambah kheki, bentaknya dengan bengis, “Kau tetap tidak kenal dia? Baik, supaya kau dapat melihatnya lebih jelas!”

“Bret-bret”, badan Thi Peng-koh yang ramping dan mulus itu segera terpampang jelas di depan Hoa Bu-koat.

Kedua paha Thi Peng-koh yang panjang polos itu berimpit kencang, seperti dadanya yang juga sudah terbuka itu tampak rada gemetar terembus oleh angin pegunungan yang sejuk.

Air mata tampak meleleh di pipi Thi Peng-koh, air mata malu dan merasa terhina, tapi juga dengan pancaran rasa benci dan dendam ia pelototi Pek San-kun.

Namun Pek San-kun hanya memandang Hoa Bu-koat dengan terbelalak.

Apa bila Hoa Bu-koat tidak berani memandang tubuh Thi Peng-koh yang bugil memesona itu, jika tidak tega melihat sikap malu dan terhinanya itu, maka ini berarti Hoa Bu-koat masih mempunyai daya ingatan, masih berperasaan. Dan lagak linglungnya itu jelas cuma pura-pura belaka.

Tapi kini pandangan Hoa Bu-koat sama sekali tidak menghiraukan keadaan Thi Peng-koh yang polos itu, ia masih terbelalak linglung memandangi Thi Peng-koh dengan dadanya yang montok, perutnya yang lapang licin, pahanya yang panjang berimpit dan... Semua ini bagi Hoa Bu-koat seakan-akan cuma batu belaka.

“Menyaksikan saudara seperguruanmu dalam keadaan begini dan kau tetap tidak mau tahu, apakah kau tidak takut membikin malu habis-habisan segenap penghuni Ih-hoa-kiong kalian?,” teriak Pek San-kun dengan gusar.

Meski dia meraung-raung dengan murka, namun Hoa Bu-koat tetap tidak ambil pusing.

“Baik, karena kau tidak takut kehilangan muka, biar kubikin kau lebih malu lagi!” seru Pek San-kun sambil menyeringai.

Segera ia pegang tubuh Thi Peng-koh yang telanjang bulat itu lalu hendak di...

Sejak tadi Pek-hujin hanya menonton saja dengan tersenyum, baru sekarang ia mendekati sang suami, ia tepuk-tepuk pundaknya dan menegur, “Wah, kukira sudah cukup. Masa dari pura-pura menjadi sungguhan, jangan menggagap ikan di air keruh. Jika sandiwara ini diteruskan, bisa cemburu aku.”

Terpaksa Pek San-kun melepaskan Thi Peng-koh sambil menyengir, katanya kemudian dengan menggeleng, “Kukira bocah ini memang sudah kehilangan ingatan.”

“Ya, kalau tidak, mustahil dia diam saja menyaksikan anak murid perempuan seperguruannya dihina orang,” ujar Pek-hujin. Lalu ia tepuk-tepuk punggung Thi Peng-koh, katanya dengan tertawa, “Kau jangan marah ya, ini cuma main-main saja.”

Thi Peng-koh memejamkan mata, air mata pun bercucuran.

“Lihatlah, kau tua bangka mau mampus ini, nona kecil orang kau bikin kheki begini?” omel Pek-hujin kepada sang suami.

Pek San-kun bergelak tertawa, katanya, “Jika dia kheki, boleh dia buka pakaianku hingga bugil.”

Pek-hujin lantas menanggalkan baju luar sendiri untuk membungkus tubuh Thi Peng-koh, ucapnya dengan suara halus, “Sudahlah, jangan menangis, sudah biasa bila melihat perempuan cantik, lelaki mana pun ingin mencaploknya kalau bisa.”

“Biar kubawa dia keluar saja,” kata Pek San-kun dengan tertawa.

“Hm, kau hendak main gila apalagi?” omel Pek-hujin. “Sekarang kau tidak diperlukan lagi.”

Lalu ia membawa Thi Peng-koh keluar dan dibaringkan di samping Kang Giok-long, katanya, “Biar kalian berdua muda-mudi ini bermesra-mesraan, ya!”

Kang Giok-long masih kesakitan setengah mati, ia berlagak tertawa dan sengaja berseloroh, “Ah, dasar anak kecil, orang cuma bergurau saja lantas menangis.”

Sungguh gemas hati Thi Peng-koh, dampratnya, “Kau... kau ini manusia atau bukan?”

Kang Giok-long melirik dan melihat Pek San-kun suami istri sudah berada di dalam rumah sana, ia menghela napas lega, dengan suara tertahan isi mendesis, “Menyaksikan kau dihina orang cara begitu, memangnya kau kira hatiku tidak pedih?”

“Jika... jika hatimu pedih, mengapa begitu caramu bicara?” omel Thi Peng-koh dengan mendongkol.

“Berada di emper rumah orang yang rendah, mau tak mau kita harus menunduk,” ujar Giok-long dengan menyesal. “Keadaan kita sendiri begini, jika main kekerasan, apakah kita bisa hidup lebih lama lagi?”

“Aku tidak takut mati, bagiku lebih baik mati dari pada dihina orang seperti hewan,” kata Peng-koh dengan menggereget.

“Hanya orang tolol yang tidak takut mati,” ujar Kang Giok-long.

“O, jadi... jadi kau sangat takut mati? Aku benar-benar salah menilai dirimu,” omel Thi Peng-koh dengan mendelik.

Giok-long tertawa, katanya, “Masa kau tidak tahu pemeo yang bilang ‘hidup kotor lebih baik dari pada mati konyol’.”

“Hm, pemeo begini hanya berlaku bagi kaum pengecut yang tidak tahu malu, aku tidak sudi mendengarnya,” omel Peng-koh dengan gemas.

“Tapi kau ingin menuntut balas atau tidak?”

“Sudah tentu,” jawab Peng-koh.

“Nah, jika begitu kau harus tahu bahwa orang mati tidak mungkin dapat menuntut balas!”

Dalam pada itu Pek San-kun suami istri sedang duduk pandang-memandang di dalam rumah, mereka tampak lesu. Maklum, dengan susah payah dan memeras otak baru berhasil menculik Hoa Bu-koat dari tempat So Ing, tujuan mereka dengan sendirinya ialah ingin memeras rahasia Ih-hoa-ciap-giok dari mulut Hoa Bu-koat.

Tapi sekarang jerih payah mereka sia-sia belaka.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar