Bahagia Pendekar Binal Jilid 02

Tapi mendadak So Ing berseru, “Inilah kunci dasar latihan Ih-hoa-ciap-giok...”

Agaknya daya tarik ucapan So Ing lebih kuat dari pada apa pun, pukulan Gui Moa-ih sudah hampir dilontarkan, tapi dia tahan mentah-mentah demi mendengar ucapan So Ing itu. Tanyanya dengan parau, “Bagaimana? Lekas katakan!”

“Sudah tentu akan kujelaskan,” ujar So Ing dengan tak acuh. “Tapi kau...”

“Aku harus bikin keparat ini tutup mulut dulu,” Gui Moa-ih menyeringai setelah mendeliki Siau-hi-ji.

Tapi mendadak Siau-hi-ji berteriak-teriak pula, “Wahai malaikat langit dan setan akhirat, ayolah lekas keluar menolong tuanmu, jika tidak segera akan kucaci maki kalian.”

“Huh, orang macam kau ini, setan pun tidak sudi menolongmu,” ejek Gui Moa-ih, berbareng jarinya lantas menutuk Hiat-to bisu anak muda itu.

Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba dari tempat gelap seseorang bersuara seram. “Kau bukan setan, dari mana kau tahu setan tidak sudi menolong dia?”

Suara itu samar-samar dan mengambang seperti diucapkan seorang yang sedang sekarat, waktu suara terdengar rasanya seperti di sebelah timur, tapi pada akhir ucapannya kedengarannya sudah di sebelah barat.

Di tengah malam buta dan di tengah hutan sunyi mendadak terdengar suara seram begini, sungguh membikin berdiri bulu roma orang.

Bahkan Gui Moa-ih juga merinding tanpa terasa, segera ia membentak, “Siapa itu? Manusia atau setan?”

“Memangnva aku bukan manusia!” suara tadi menjawab dengan tertawa seram.

Gui Moa-ih berputar dan mengincar ke tempat datangnya suara itu, secepat panah dia menubruk ke sana.

Tak terduga di tempat gelap sana berkumandang lagi suara seram itu, “Aku berada di sini!”

Waktu Gui Moa-ih memutar tubuh dan menubruk ke sana, tahu-tahu suara itu sudah berada di pucuk pohon dan sedang berkata, “Coba memandang ke atas!”

Gui Moa-ih mendongak, dilihatnya di pucuk pohon samar-samar memang ada sesosok bayangan kelabu dengan bajunya yang longgar berkibaran, kelihatan wajah seram dan lebih mirip setan dari pada manusia.

Betapa pun Gui Moa-ih bukan sembarangan orang, setelah melihat bayangan lawan, ia menjadi lebih sabar, selangkah demi selangkah ia mendekat ke sana sambil menjengek, “Jika kau ingin menjadi setan, baiklah akan kukabulkan keinginanmu!” Berbareng itu secomot sinar perak terus berhamburan ke arah pucuk pohon.

Bayangan di atas pohon itu menjerit kaget, dengan enteng seperti daun jatuh ia terus melayang turun.

“Hm,” jengek Gui Moa-ih, “Ingin kulihat apakah kau berani main gila lagi atau tidak...”

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seseorang menanggapi dengan terkekek-kekek, “Hehe, mati satu kali jadi setan, mati dua kali juga jadi setan. Coba kau pandang lagi ke sini!”

Gui Moa-ih terkejut dan cepat menoleh, ternyata bayangan kelabu tadi tahu-tahu sudah berada di pucuk pohon yang lain lagi, sorot matanya yang tajam sedang menatap Gui Moa-ih dengan terkekeh-kekeh.

Biar pun tinggi kepandaiannya dan besar nyalinya, tidak urung kaki dan tangan Gui Moa-ih menjadi rada gemetar.

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang terbahak-bahak di belakangnya sambil berseru, “Hahaha! Orang gede begini juga kena digertak oleh setan?”

Cepat Gui Moa-ih membalik tubuh, dilihatnya seorang Hwesio bermuka gemuk bundar dengan berseri-seri sedang mendekatinya.

Diam-diam Gui Moa-ih menghimpun tenaga, bentaknya, “Apakah kau pun setan?”

“Tidak, Hwesio bukan setan, tapi Hwesio justru ahli menangkap setan, haha!” jawab Hwesio itu sambil tertawa.

“Hwesio penangkap setan?” Gui Moa-ih menegas.

“Betul... Hahaha, Hwesio tidak suka menangkap manusia, tetapi lebih suka menangkap setan,” kata Hwesio itu tanpa melupakan tertawanya

“Jika begitu, silakan kau tangkap setan itu, Hwesio,” jengek Gui Moa-ih.

“Haha, Hwesio tidak menangkap manusia... Hwesio dapat membedakan mana manusia dan mana setan, hahaha!”

“Dia itu bukan setan?” tanya Gui Moa-ih.

“Sudah tentu bukan, hahaha, setan tidak berada di sana.”

“Habis setan berada di mana?” tanya Gui Moa-ih.

Mendadak si Hwesio menuding ke hutan yang gelap sana.

Tanpa terasa Gui Moa-ih memandang ke arah yang ditunjuk itu, maka tertampaklah di kegelapan sana entah sejak kapan sudah duduk sesosok bayangan orang, tangan memegang sesuatu benda entah panganan apa yang sedang dimakan dengan lahapnya.

Dengan gelak tertawa Gui Moa-ih berkata, “Hahaha, orang itu memang rada-rada mirip setan, sedangkan orang tadi sama sekali tidak berbau setan.”

Si Hwesio terbahak-bahak, katanya, “Setan tidak memper setan, yang mirip setan paling-paling cuma setengah manusia setengah setan dan sekali-kali bukan setan tulen.”

Diam-diam Gui Moa-ih memandang cara bagaimana harus menghadapi musuh yang berjumlah tidak sedikit ini, ia pikir harus sekali hantam merobohkan semua lawan itu, tapi di mulut ia sengaja menjawab dengan tertawa, “Ah, masa setan juga begitu rakus dan suka makan?”

“Hahaha, setan tidak makan barang lain, setan cuma gemar makan manusia, haha!” kata Hwesio tadi.

“Makan manusia?” Gui Moa-ih menegas dengan tertawa. “Hah, masa yang dimakannya itu manusia?”

“Haha, dia tidak percaya, kenapa tidak kau perlihatkan padanya,” ucap si Hwesio, sudah tentu kata-kata ini ditujukan kepada orang yang sedang makan sesuatu di hutan sana.

Terdengar orang itu mengekek tawa, makanan yang dipegangnya mendadak dilemparkan kepada Gui Moa-ih dan tanpa sadar terus ditangkap oleh Gui Moa-ih.

Begitu barang itu terpegang, Gui Moa-ih merasakan sesuatu yang lunak dan masih hangat-hangat. Waktu diawasinya, kiranya benar-benar sepotong lengan manusia yang habis direbus.

Baru sekarang Gui Moa-ih benar-benar terkejut, badan terasa lemas dan hampir jatuh kelengar. Cepat ia lemparkan kembali potongan lengan manusia itu.

Dengan cekatan orang di hutan sana menangkap kembali makanannya itu, katanya sambil terkekeh-kekeh, “Manusia di sekitar sini sama berbau tikus dan tidak enak dimakan, dengan susah payah kudapatkan orang yang masih mulus dan kumakan dengan hemat selama tiga hari, kini hanya tersisa sepotong lengan ini, jika kau buang begini saja kan sayang.”

Habis berkata, dengan lahap kembali ia menggerogoti pula lengan manusia itu.

Saking tak tahan hampir saja Gui Moa-ih tumpah-tumpah, tanpa terasa ia menyurut mundur.

Si Hwesio lantas tertawa, katanya, “Hahaha, jangan khawatir, badanmu juga berbau tikus, dia pasti tidak doyan dagingmu.”

“Se... sebenarnya siapakah kalian? Apa kehendak kalian?” tanya Gui Moa-ih dengan parau.

“Di sini cuma aku inilah manusia satu-satunya, ada urusan apa boleh dibicarakan dengan aku,” kembali seorang lagi menanggapi. Lalu muncul seorang jangkung dengan baju putih, wajah pun pucat dingin, nampaknya lebih seram dari pada setan.

“Baik, jika kau manusia, akan kubikin kau menjadi setan juga,” bentak Gui Moa-ih dengan bengis. Berbareng itu dia lantas menghantam.

Cepat si baju putih mengebas lengan bajunya yang panjang dan menjulurkan tangan untuk menangkis.

“Kau cari mampus!” bentak Gui Moa-ih. Gerakannya cepat, perubahan serangannya juga cepat, baru setengah jalan pukulannya telah berubah menjadi mencengkeram, ia incar baik-baik pergelangan tangan lawan yang terselubung lengan baju itu dan segera hendak memegangnya.

Cengkeraman ini sangat kuat, bila kena, biar pun besi atau batu juga akan hancur. Tampaknya si baju putih tidak sempat ganti serangan dan juga tidak keburu menghindar, dengan tepat tangannya telah kena dicengkeram oleh Gui Moa-ih.

Akan tetapi mendadak Gui Moa-ih merasakan yang kena terpegang itu bukan tangan manusia melainkan suatu benda keras dan dingin. Dalam kagetnya lantas terdengar si baju putih membentak dengan menyeringai, “Lepas tangan!”

“Bret”, tahu-tahu lengan baju panjang itu robek menjadi dua, “tangan” orang itu telah menggores pada telapak tangan Gui Moa-ih, darah segar mengucur.

Kini Gua Moa-ih dapat melihat jelas “tangan” lawan ternyata bukan tangan biasa melainkan sebuah kaitan baja dengan ujung yang runcing.

“Haha, tentunya kau tahu sekarang bahwa manusia terkadang lebih sukar direcoki dari pada setan!” demikian Hwesio tadi berseru sambil berkeplok tertawa.

Meski luka di tangan Gui Moa-ih tidak parah, tapi khawatir kaitan orang berbisa, ia tidak berani terlibat pertempuran lebih lama lagi, sekali melompat mundur segera ia hendak menerjang pergi.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang pula membentak dengan gusar, “Anak murid Bu-geh mana boleh kabur di medan tempur? Peduli mereka itu setan atau manusia, apa yang kau takuti?”

Menyusul suara itu, seorang lantas melompat keluar dari belakang si Hwesio, berbareng sebelah tangannya terus menghantam ke belakang, kontan Hwesio gemuk terpukul mencelat jauh ke hutan yang gelap sana.

Tertampak pendatang baru ini berperawakan kurus kecil seperti kanak-kanak, muka jelek memualkan tapi berjenggot yang terpelihara dengan indah, panjang terurai hampir menyentuh tanah. Kepalanya berkopiah emas, jubahnya mengeluarkan sinar hijau kemilau, tampaknya lucu tapi juga menakutkan.

Si setan pemakan manusia di hutan tadi mendadak berteriak, “Wah, Gui Bu-geh datang! Setan saja takut padanya, lekas angkat kaki!”

Gui Moa-ih tampak terkejut juga, katanya dengan tergagap, “Eng... engkau orang tua...”

“Hm, walau pun kau tidak anggap aku sebagai gurumu, tapi kutetap pandang kau sebagai murid dan tak dapat kusaksikan kau dikerjai orang,” jengek si kerdil alias Gui Bu-geh.

Dalam pada itu kawanan setan dan manusia tadi sudah kabur bersih, hanya Siau-hi-ji saja yang masih tergantung di pohon, entah sejak kapan So Ing juga sudah menghilang.

Dengan menghela napas menyesal Gui Moa-ih berkata, “Baru sekarang Tecu tahu, apa pun juga Tecu memang tak dapat dibandingkan dengan Suhu.”

“Hm, asal kau tahu saja,” jengek Gui Bu-geh. Setelah mengibaskan lengan bajunya, lalu berkata pula, “Di mana lukamu? Apakah berbisa?”

“Mungkin berbisa,” jawab Gui Moa-ih.

Perlahan Gui Bu-geh melangkah maju, katanva, “Ulurkan tanganmu, coba kulihat.”

Dengan perlahan Gui Moa-ih menjulurkan tangannya, tapi mendadak terus menghantam ke dada Gui Bu-geh.

Serangan ini sangat cepat dan di luar dugaan. Namun Gui Bu-geh agaknya sudah memperhitungkan kemungkinan ini, mendadak ia mengegos dan menggeser mundur, lalu membentak gusar, “Murid jahanam, kau berani terhadap guru?”

Gui Moa-ih tergelak-gelak, ucapnya, “Meski kepandaian menyamar cukup lihai, tapi jika ingin menyaru sebagai Gui Bu-geh, tampaknya kau belum mampu.”

“Gui Bu-geh” itu pun tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Bagus, ternyata kau dapat membongkar penyamaranku. Tapi coba jelaskan, bagian mana penyamaranku ini yang tidak betul?”

“Kau pernah melihat Gui Bu-geh?” tanya Gui Moa-ih.

“Jika belum pernah melihat dia, cara bagaimana aku dapat menyamarnya” jawab orang itu.

“Dan pernah kau lihat Gui Bu-geh berjalan?” tanya Gui Moa-ih pula.

“Memangnya Gui Bu-geh tidak pernah berjalan?” orang itu menegas dengan melengak.

“Masa kau tidak tahu bahwa pembawaannya memang cacat, kedua kakinya kecil seperti anak bayi, cara berjalannya lebih mirip anak merangkak,” tutur Gui Moa-ih dengan tertawa. “Lantaran khawatir dilihat orang, maka dia tidak pernah berjalan sendiri...”

Pada saat itulah terdengar suara “hahaha” orang tertawa, si Hwesio tadi melompat keluar dari kegelapan sambil berseru, “Haha, sekali ini Kiau genit benar-benar jatuh habis-habisan.”

Setan pemakan manusia tadi juga tiba-tiba muncul pula, katanya sambil tertawa, “Orang aneh dan jelek seperti Gui Bu-geh rasanya sukar dicari bandingannya di dunia ini, maka tidak heran siapa pun sukar menyamar seperti dia. Sudah sejak mula kutahu usahamu ini pasti akan sia-sia belaka.”

Mendadak si kerdil menggeliat sehingga tubuhnya mulur dua kaki lebih panjang, ucapnya dengan tertawa terkikik-kikik, “Yang kupikirkan sekarang ialah dengan cara bagaimana akan kubikin Gui Bu-geh berjalan.”

Sekonyong-konyong Gui Moa-ih membalik tubuh dan secepat kilat melayang ke samping Siau-hi-ji, dengan belatinya dia ancam tenggorokan anak muda itu sambil membentak, “Apakah kedatangan kalian hendak menolong dia ini?”

“Kalau betul mau apa?” jawab si Hwesio dengan terbahak.

“Jika kalian tidak lekas enyah dari sini, segera kubunuh dia lebih dulu.” bentak Gui Moa-ih.

“Hahaha, kukira kepandaianmu setinggi langit, tak tahunya, hahaha, paling-paling cuma begini saja?” si Hwesio bergelak tertawa pula.

Si setan pemakan manusia juga menimbrung dengan tertawa, “Kau mengancam hendak membunuh dia, apakah kau mampu membunuhnya?”

Di tengah gelak tertawa ramai itu, Siau-hi-ji yang tergantung jungkir di pohon dan tak bisa berkutik itu mendadak bisa bergerak. Bukan saja bisa bergerak, bahkan gerakannya secepat kilat. Sekali tangannya bergerak, serentak beberapa Hiat-to penting di tubuh Gui Moa-ih ditutuknya.

Tentu saja Gui Moa-ih kaget, belum lagi sempat menghindar, tahu-tahu tubuh merasa kaku.

Siau-hi-ji terus merampas belatinya dan balas mengancam tenggorokan orang, serunya sambil terbahak-bahak, “Haha, kembali kau kutipu lagi.”

Gui Moa-ih hanya mendelik belaka sambil menggereget. Dalam keadaan begini apa yang dapat dikatakannya lagi.

Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa gembira, katanya, “Sekarang tentunya kau tahu bahwa tidaklah enak hendak menarik keuntungan atas diriku, cepat atau lambat pasti kutagih kembali pokok bersama rentenya sekaligus.”

Setan pemakan manusia itu mendekati Gui Moa-ih dan mengendus-endus kuduknya, tiba-tiba ia mengunjuk rasa girang, serunya sambil berkeplok, “Wah, bagus, bagus sekali. Tubuh orang ini sudah tidak bau tikus lagi, jika kutambahi sedikit bumbu dan diberi kecap nomor satu untuk dimasak Ang-sio, kukira rasanya pasti tidak mengecewakan.”

“Apa... apa? Kau berani...” seru Gui Moa-ih dengan gelagapan.

Setan pemakan manusia itu meraba-raba mukanya, katanya dengan tertawa, “Kau marah apa? Kulitmu yang budukan ini bisa menjadi isi perutku kan untung bagimu? Orang yang pernah kumakan semuanya lebih empuk dan lebih harum dari padamu, jika tidak mengingat sedikit namamu di dunia Kangouw, tulang igamu ini tidak nanti menarik seleraku.”

Sorot mata Gui Moa-ih menampilkan rasa kejut dan takut, dengan terbelalak ia menegas, “Kau... jangan-jangan engkau ini ‘tidak makan kepala manusia’ Li Toa-jui?”

Setan pemakan manusia itu menengadah dan tertawa, jawabnya, “Sudah dua puluh tahun aku tidak bergerak di dunia Kangouw, tak tersangka masih ada yang ingat pada namaku.”

Sekujur badan Gui Moa-ih serasa lemas lunglai. Jika orang lain bilang mau makan dia, tentu dia takkan percaya. Tapi kalau Li Toa-jui mengatakan hendak makan dia, maka hal ini pasti bukan berseloroh belaka.

Bila mana seorang mengetahui dirinya sebentar lagi akan menjadi isi perut orang, maka perasaannya jelas tidak enak, betapa pun besar nyali orang itu juga pasti akan gelisah.

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata, “Untuk apa kau menakut-nakuti dia lagi, jika pecah nyalinya karena ketakutan, kan dagingnya menjadi pahit dan tidak enak dimakan?”

“Betul-betul anak didikku dan harus dipuji,” seru Li Toa-jui dengan tertawa, “Syukur kau mengingatkan aku, setelah kurebus dia, dagingnya yang paling empuk di bagian pantat pasti akan kuberikan padamu.”

“Ah, aku tidak mau, cukup kau sisihkan satu jarinya saja untukku agar dapat kugerogoti seperti makan wortel di waktu iseng,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Boleh juga, kukira tangannya yang seperti cakar ini pasti lebih gurih dari pada kaki bebek,” kata Li Toa-jui.

Mendadak seorang melompat turun dari atas pohon, pakaiannya yang putih kelabu itu berkibar tertiup angin, dia hinggap di depan Gui Moa-ih, tanyanya sambil menyeringai, “Apakah kau cuma kenal Li Toa-jui saja dan tidak kenal aku?”

Orang ini yang tadi terpaksa melompat turun karena sambitan senjata rahasia Gui Moa-ih, pada kopiahnya yang besar itu masih tampak menancap beberapa biji jarum mengkilap, agaknya dia benar-benar kaget dan jatuh ke bawah walau pun jarum itu tidak tepat mengenai tubuhnya.

Gui Moa-ih memandangnya sekejap, lalu memejamkan mata dan berkata dengan gegetun, “Yang main sembunyi-sembunyi dan berlagak sebagai setan seharusnya sudah kuduga pasti kau si setengah setan setengah manusia Im Kiu-yu ini.”

Tapi orang itu lantas menggunakan ranting pohon untuk menyingkap kelopak mata Gui Moa-ih dan berkata, “Coba pentang matamu yang lebar, Im Kiu-yu masih berada di sana.”

Terpaksa Gui Moa-ih membuka mata dan memandang ke sana. Benar juga, di sana masih berdiri sesosok bayangan orang yang berdandan dan berperawakan persis seperti orang di depannya sekarang.

Rupanya orang yang menyaru sebagai setan tadi terdiri dari dua orang, pantas sebentar berada di sini dan lain saat terlihat di sana.

Gui Moa-ih menghela napas panjang, tanyanya kemudian, “Cap-toa-ok-jin sekarang datang berapa orang?”

“Tidak banyak dan juga tidak sedikit, hanya enam saja,” jawab orang itu. “Dan aku inilah ‘bikin rugi orang lain tidak menguntungkan diri sendiri’ Pek Khay-sim adanya. Apakah kau keparat ini pernah mendengar nama kebesaranku?”

“Sudah lama kudengar bahwa di antara Cap-toa-ok-jin Pek Khay-sim terhitung yang paling tidak becus, orang Kangouw hanya menggunakan dia untuk mengisi jumlah Cap-toa-ok-jin saja,” jawab Gui Moa-ih tak acuh.

Tentu saja Pek Khay-sim menjadi gusar, tapi segera ia tertawa, “Haha, tidak perlu kau memecah belah kami, usiaku tahun ini sudah empat puluh delapan, tidak nanti kuterjebak oleh muslihatmu.”

“Haha, Pek Khay-sim benar-benar sudah lebih dewasa sekarang,” seru Hwesio tadi sambil berkeplok. “Tapi umurmu jelas sudah lima puluh dua, mengapa kau bilang empat puluh delapan, kau bukan orang perempuan, untuk apa merahasiakan umurmu?”

“Aku kan masih jejaka, belum punya bini, jika tidak mengaku lebih muda sedikit, siapa yang mau kujadikan istri?” jawab Pek Khay-sim dengan mendelik.

“Jika benar tiada perawan yang sudi menjadi istrimu, maka seadanya ambil saja To Kiau-kiau,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa. “Kan pernah kau dengar bahwa lebih baik setengah perempuan dari pada tidak ada perempuan sama sekali.”

Yang menyamar sebagai si kerdil Gui Bu-geh tadi jelas bukan lain dari pada To Kiau-kiau.

Dia tertawa, katanya kepada Li Toa jui, “Jangan khawatir, akan lebih baik kujadi istrinya dari pada diperistri olehmu, betapa pun buruk dia memperlakukan istrinya, paling tidak pasti takkan makan istrinya sendiri.”

Peristiwa Li Toa-jui makan istrinya sendiri sebenarnya sudah tak terpikir lagi olehnya, dahulu dia sendiri terkadang malah suka mengungkatnya untuk menakuti orang lain. Tapi sekarang usianya makin lanjut, di tengah malam sunyi, dalam keadaan sendirian, terkadang ia tak dapat tidur dan teringat kepada kejadian masa lampau, maka hatinya menjadi sedih juga, bila terkenang pada istrinya yang berbudi halus dan dapat melayani dia dengan baik, teringat kepada tubuh sang istri yang montok dan putih... dan hatinya lantas pedih seperti ditusuk jarum.

Pada umumnya, kalau sudah memasuki masa tua barulah seorang akan merasakan betapa sedihnya orang kesepian, betapa berharganya cinta kasih, betapa hangatnya keluarga. Cuma sayang, ketika Li Toa-jui merasakan semua ini, sementara itu sang waktu sudah lalu, menyesal pun sudah terlambat.

To Kiau-kiau hidup berkumpul dengan Li Toa-jui dan lain-lain selama dua puluh tahun, dengan sendirinya dia tahu jalan pikiran kawan-kawannya itu. Maka apa yang diucapkannya tadi benar-benar menusuk perasaan Li Toa-jui.

Begitulah Li Toa-jui menjadi marah, bentaknya, “To Kiau-kiau, bila mana kau menyinggung lagi hal ini, segera kubunuh kau.”

“Apa gunanya kau bunuh aku? Dagingku kan tidak selezat daging istrimu?” jawab Kiau-kiau dengan tertawa.

Li Toa-jui meraung murka terus menerjang maju.

“Hm, apa kau ingin berkelahi benar-benar?” jengek To Kiau-kiau. “Ayolah maju, memang sudah lama juga ingin kuhajar adat padamu.”

Nyata kedua orang benar-benar hendak bergebrak. Syukur si Hwesio lantas mengadang di tengah mereka, serunya dengan tertawa, “Hahaha, kalian sudah tergolong orang tua, mengapa masih seperti anak kecil saja, berkelakar tetap berkelakar, kenapa jadi sungguhan? Apa tidak khawatir ditertawakan orang?”

“Hm, kau yang bikin gara-gara, sekarang berlagak sebagai wasit?” jengek Pek Khay-sim. Dia tepuk-tepuk pundak Gui Moa-ih, lalu berkata pula, “Nah ingat baik-baik di balik tertawa Hwesio ini tersembunyi belati, dia bisa tertawa sambil menikam, kau harus waspada kelak.”

“Ya, kutahu dia ini Ha-ha-ji si tertawa sambil menikam,” kata Gui Moa-ih dengan gegetun. Tiba-tiba pandangannya beralih ke arah si baju putih bermuka pucat itu dan bertanya, “Dan kau...?”

Si baju putih mengebas lengan bajunya sehingga kelihatan tangan kanannya yang buntung, sebagai gantinya, lengannya bersambung sebuah kaitan baja yang mengkilat, sedangkan tangan kiri tampak merah membara.

“Hah, si tangan... tangan berdarah! Toh Sat!” seru Gui Moa-ih.

Toh Sat hanya mendengus saja.

“Bagus, bagus, kiranya Cap-toa-ok-jin benar-benar telah datang enam, apa yang dapat kukatakan pula bila aku sudah jatuh dalam cengkeraman kalian,” ucap Gui Moa-ih dengan menyengir pedih.

“Benar, hanya ada mati bagimu” jengek Toh Sat sambil melangkah maju, sinar mengkilap berkelebat, kaitannya terus menggantol ke leher Gui Moa-ih.

“Nanti dulu!” cepat Li Toa-jui menarik tangan Toh Sat.

“Apa maksudmu?” tanya Toh Sat dengan bengis.

“Wah, jangan-jangan penyakit gemar membunuh Toh-lotoa kumat lagi?” ujar Li Toa-jui.

“Kalau sudah tahu, mengapa kau merintangi aku?” kata Toh Sat.

“Mana berani kurintangi kehendak Toh-lotoa,” cepat Li Toa-jui menjelaskan dengan tertawa. “Soalnya daging di tubuh orang ini tidak banyak, jika dia dibunuh dulu baru nanti kurebus dia, tentu darahnya akan banyak keluar dan dagingnya menjadi tidak ada rasanya.”

“Masa kau hendak merebusnya hidup-hidup?” tanya Toh Sat.

“Ya, sudah lama aku tidak makan enak, sudilah Toh-lotoa memberi bantuan,” ucap Li Toa-jui.

“Lain kali...”

“Lain kali pasti juga akan kubantu memuaskan selera Toh-lotoa,” tukas Li Toa-jui.

“Hmk,” kembali Toh Sat cuma mendengus saja sambil menarik kembali tangannya.

Gui Moa-ih lantas berteriak dengan gemetar, “Li Toa-jui, betapa pun kita adalah sama-sama orang persilatan, jika kau bunuh aku, mati pun aku tidak menyesal, tapi mana boleh... mana boleh kau...” tiba-tiba ia merasa mual sehingga isi perutnya tertumpah keluar.

“Bagus, tumpahlah, paling baik tumpah sebersih-bersihnya agar bisa lebih cepat kurebus,” ucap Li Toa-jui dengan tertawa. “Kalau tidak, sedikitnya aku harus menunggu tiga hari sampai perutmu menjadi kosong...”

Dengan berlepotan kotoran yang ditumpahkannya, dengan suara serak Gui Moa-ih berteriak, “Jika kau berani... berani... jadi setan pun takkan kuampunimu.”

“Hihi, nyali paman Li biasanya besar, dia tidak pernah takut pada setan, sebaliknya setan yang takut padanya,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Masa... masa kau tidak jaga etika orang Kangouw lagi?” seru Gui Moa-ih dengan parau.

“Paman Li tidak kenal sanak keluarga, apalagi moral orang Kangouw segala, dia tidak peduli,” ujar Siau-hi-ji.

“Betul, yang kuketahui cuma makan enak, cara bagaimana harus kuolah dagingmu...” dengan tertawa Li Toa-jui lantas mencubit daging pipi Gui Moa-ih, lalu bergumam sendiri, “Wah, orang segede ini sedikitnya perlu pakai dua kati kecap nomor satu, satu kati arak Siauhin, dua tahil bawang brambang dan... dan setengah tahil bubuk Ngohiang.”

Sekujur badan Gui Moa-ih serasa lemas semua. Ia tidak dapat marah lagi, dengan suara gemetar kemudian ia berkata, “Mohon... mohon... jangan... jangan...” orang seperti dia juga mengucapkan kata “mohon”, maka dapat dibayangkan betapa ketakutannya.

Tapi Siau-hi-ji lantas menanggapi dengan tertawa, “Hati paman Li sangat keras, sia-sia belaka meski pun kau mohon ampun seribu kali padanya.”

Sekali angkat Li Toa-jui lantas jinjing tubuh Gui Moa-ih, katanya dengan tertawa, “Nah, para saudara, perutku sudah lapar, kupergi lebih dulu...”

Belum habis ucapannya Gui Moa-ih telah meraung keras-keras satu kali, lalu tidak sadarkan diri.

“Haha, semaput, dia semaput ketakutan!” seru Ha-ha-ji sambil berkeplok tertawa. “Li Toa-jui memang bisa saja. Haha!”

“Sekarang tentu kalian tahu, betapa pun buasnya seorang juga merasa takut akan dimakan orang,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.

To Kiau-kiau lantas berseru sambil mendongak ke atas, “Nah, Im Kiu-yu, kau dengar tidak, orang sekarang tidak lagi takut pada setan melainkan cuma takut pada Li Toa-jui, maka makhluk setengah setan dan setengah manusia seperti kau tiada gunanya lagi.”

Im Kiu-yu melompat turun dari pucuk pohon, katanya dengan tertawa seram, “Apakah kau ingin aku berkelahi dengan Li Toa-jui?”

“Kukira kau tidak berani,” ujar To Kiau-kiau tertawa.

“Jika kubinasakan Li Toa-jui, nanti kalau kau mati kan aku yang harus membeli peti mati untuk menguburmu,” ujar Im Kiu-yu.

“Betul, orang macam kau ini andaikan mati juga mayatmu akan dihancurkan orang,” sambung Li Toa-jui dengan tertawa. “Jalan paling selamat kukira harus kumakan kau ke dalam perutku.”

“Tapi aku bukan Gui Moa-ih, aku takkan semaput oleh gertakmu,” kata To Kiau-kiau dengan terkikik-kikik.

Pek Khay-sim meraba-raba kepala Gui Moa-ih, ucapnya, “Setelah siuman, si keparat ini pasti akan tunduk kepada setiap perintah kita. Jika kita ingin membongkar liang tikus Gui Bu-geh, bantuan keparat ini sangat dibutuhkan.”

“Memang begitulah, kalau tidak, untuk apa kita menggertaknya dengan susah payah,” ujar Ha-ha-ji.

“Tapi aku yang celaka, aku tergantung lebih lama di atas pohon,” seru Siau-hi-ji dengan tertawa sambil menggeliat untuk mengendurkan urat pinggang.

To Kiau-kiau memandang anak muda itu sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Ada beberapa persoalan ingin kami tanya padamu.”

“O, urusan apa?” jawab Siau-hi-ji.

“Tadi budak So Ing sudah hampir menceritakan rahasia Ih-hoa-ciap-giok, mengapa kau malah mencegahnya?” tanya To Kiau-kiau.

“Ya, betul, mengapa kau mencegahnya,” timbrung Pek Khay-sim. “Padahal kau kan hendak perang tanding dengan Hoa Bu-koat? Jika kau dapat menyelami rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok kan menguntungkan.”

Siau-hi-ji tertawa kemalas-malasan, jawabnya, “Bila sudah kuketahui rahasia ilmu silatnya, lalu apa artinya kalau nanti aku berkelahi dengan dia?”

“Jika dia dapat kau bunuh apakah juga tiada artinya?” kata Pek Khay-sim.

“Membunuh orang juga perlu memakai tenaga, dengan demikian baru ada artinya, kalau membunuh orang terjadi seperti menyembelih ayam atau anjing, lantas apanya yang menarik?” ujar Siau-hi-ji.

Untuk sejenak Pek Khay-sim melotot padanya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan berkata, “Ah, kiranya kau ini orang baik.” Mendadak ia tertawa pula sambil berkeplok, “Hah, sungguh janggal dan sukar untuk dipercaya bahwa anak yang dibesarkan oleh Ha-ha-ji, Li Toa-jui, Toh-lotoa, To Kiau-kiau dan Im Kiu-yu ternyata seorang yang baik...” dia pandang kelima orang kawannya itu sejenak, lalu berseru pula, “Haha, seorang serigala bisa melahirkan anjing gembala, apakah kalian tidak merasa malu?”

Air muka Im Kiu-yu dan Toh Sat tampak berubah, tapi Li Toa-jui lantas menanggapi dengan bergelak tertawa, “Hah, tampaknya kau pun hendak meniru To Kiau-kiau, kau ingin mengadu domba kami?”

To Kiau-kiau mengikik tawa, ucapnya, “Dia telah dikerjai habis-habisan oleh Siau-hi-ji, sudah tentu hatinya masih panas.”

“Panas hati bisa apa?” tukas Ha-ha-ji, “Haha, biar pun sepuluh Pek Khay-sim juga tidak dapat menandingi seorang Siau-hi-ji. Jika kau bermaksud menuntut balas, kukira sebaiknya batalkan saja niatmu ini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar