Badai Laut Selatan Jilid 61

Dua orang gadis bertubuh montok dan setengah telanjang! Dan di luar pondok itu, masih terdapat bayangan beberapa orang gadis yang cantik-cantik dan juga setengah telanjang, menjaga di pintu. Berdebar jantung Joko Wandiro. Ia menahan diri untuk tidak bergerak, pura pura masih tidur atau pingsan, dan mulailah ia mengingat-ingat. Terbayang dalam ingatannya betapa ia bertanding melawan Endang Patibroto, bertanding dalam sebuah pertempuran dahsyat dan seru.

Pertempuran paling hebat yang pernah ia alami. Alangkah digdaya Endang Patibroto. Sukar mengalahkan gadis perkasa itu. Teringat ia betapa mereka berdua mengadu tenaga sakti yang membuat mereka terpental. Pada saat itulah datangnya sinar hitam yang mengenai lehernya. Hemm, aku terkena senjata rahasia, pikirnya dan perlahan-lahan ia meraba lehernya sebelah kiri. Masih ada bekas luka di situ akan tetapi sudah tidak terasa sakit lagi, dan obat bubuk yang menempel pada luka sudah mengering. Ah, tentu aku roboh oleh senjata rahasia yang kecil. Pantasnya jarum.

Hampir saja Joko Wandiro meloncat namun ditahannya. Teringat ia sekarang. Jarum itu menyerangnya dari sebelah kiri, sedangkan Endang Patibroto jelas berada di depan. Jarum itu bukan dilepas oleh Endang Patibroto. Tentu oleh Ki Jatoko! Si buntung keparat itu! Dengan jarum-jarum yang direndam racun ular. Tidak salah lagi. Dan dia roboh pingsan. Akan tetapi kenapa ia masih hidup? Kenapa Ki Jatoko dan Endang Patibroto tidak membunuhnya? Ataukah mereka mengira dia sudah pasti mati karena jarum itu?

Dengan hati-hati Joko Wandiro meraba-raba lehernya. Kenapa ia tidak mati? Ia tahu bahwa jarum yang direndam racun ular itu luar biasa ampuhnya. Kalau ia tidak pingsan, mungkin ia dapat menggunakan hawa sakti untuk memaksa racun keluar. Akan tetapi ia roboh pingsan, entah berapa lamanya. Kenapa ia masih belum mati dan lebih aneh lagi, kenapa ia berada dalam pondok dan di situ banyak terdapat gadis cantik setengah telanjang tak tahu malu?

Diam-diam ia membuka mata dan mengerling ke arah dua orang gadis yang bersimpuh di atas lantai itu. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun. Melihat kulit yang putih bersih itu, rambut yang hitam panjang mengkilap, gadis-gadis ini merawat baik-baik tubuh mereka. Akan tetapi mereka hampir telanjang, hanya menutupi bagian tubuh terpenting dengan daun-daun dan rumput hijau saja, namun tidak cukup untuk menutupi tubuh yang berkulit kuning langsat Itu.

Joko Wandiro tak berani memandang terlalu lama. Gadis-gadis ini, juga yang tampak berdiri di luar itu, jelas adalah orang-orang liar dan tentu bukan orang baik-baik. Mungkin sekali mereka ini anak buah Ki Jatoko. Endang Patibroto sudah jelas adalah kepala Pengawal Kerajaan Jenggala, akan tetapi keadaan Ki Jatoko amat mencurigakan. Orang itu penuh rahasia dan tidak mustahil gadis-gadis ini menjadi anak buahnya, dan dia dijadikan tawanan di tempat ini!

Berpikir demikian, seketika Joko Wandiro melompat turun. Akan tetapi sebelum ia dapat keluar, tiba-tiba dua orang gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menubruknya dari kanan kiri dan merangkulnya sambil tertawa-tawa, memaksanya rebah kembali di atas pembaringan.

"Hi-hik, si tampan sudah bangun...!"

"Kau tak boleh bergerak, tunggu kak Dewi...!"

Melihat betapa mereka itu merangkul dan memeluknya begitu saja tanpa malu-malu dan tanpa memperhatikan batas kesusilaan, Joko Wandiro menjadi makin geli hatinya dan tak terasa lagi bulu tengkuknya meremang. Gadis-gadis macam apakah mereka ini? Cepat ia menggunakan tenaganya, menggoyang tubuh dan dua orang gadis itu terlepas dan terpelanting ke kanan kiri, akan tetapi tidaklah terlalu keras karena memang Joko Wandiro tidak tega untuk menyakiti wanita-wanita ini yang belum ia ketahui siapa adanya. Begitu tubuhnya terlepas, ia lalu melompat keluar? kemudian lari menerobos pintu depan.

"Si tampan lari...!"

"Tangkap dia...!"

Jeritan-jeritan ini membuat gadis-gadis yang berada di luar menjadi kaget. Akan tetapi begitu mereka membalikkan tubuh, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Joko Wandiro telah berkelebat keluar dari dalam pondok. Segera terdengar jeritan-jeritan nyaring di sana-sini, disusul suitan-suitan merdu seperti orang bernyanyi. Ke mana pun Joko Wandiro lari, di depannya terdengar suitan-suitan dan jeritan sehingga ia membalik dan akhirnya ia kebingungan sendiri dan tanpa ia sadari, di bawah pohon-pohon cempaka yang bunganya berwarna-warni, ada yang putih, merah, ungu, kebiruan, berdiri empat orang gadis yang sudah menantinya dengan tersenyum-senyum.

Mereka ini lebih cantik dari pada para penjaga tadi, usia mereka sekitar dua puluh tahun. Daun-daun yang menutupi tubuh mereka pun lebih teratur, menutupi sekitar dada dan sekeliling pangkal paha. Agaknya mereka sudah tahu bahwa pemuda ini tentu akan lari kembali ke tempat ini, maka tadi mereka tidak ikut mengejar seperti wanita-waita lain.

Joko Wandiro memandang ke sekelilingnya. Dari tempat-tempat persembunyian di antara pohon dan kembang, kini bermunculan gadis-gadis dari empat penjuru yang segera mengurungnya dari tempat jauh dan masing-masing kini telah memegang sebatang bambu runcing! Jadi dia bersama empat orang gadis cantik yang menghadapinya kini telah terkurung, dipagar betis!

Terpaksa Joko Wandiro kini mencurahkan perhatiannya kepada empat orang gadis di depannya dengan hati terheran-heran karena ia menaksir bahwa gadit-gadis yang mengurungnya dari jauh itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang! Ia melihat betapa gadis-gadis ini berwajah manis-manis, namun pandang mata mereka liar dan galak, sungguhpun bibir mereka. tersenyum manis. Teringat ia akan wajah Endang Patibroto. Kalau Endang Patibroto menjadi kepala barisan wanita ini, amat tepatlah!

"Kalian ini siapakah dan mengapa menahanku dalam pondok itu?"

Akhirnya ia bertanya. Ia kini dapat menduga bahwa empat orang gadis ini tentulah merupakan pimpinan mereka karena hanya mereka berempat yang kini menghadapinya, sedangkan yang lain berdiri mengurung dari tempat jauh. Empat orang gadis itu saling pandang kemudian tertawa terkekeh sehingga tampak barisan gigi putih bersih di balik bibir merah. Mereka itu tertawa bebas, tidak ditutup-tutupi lagi. Mulut yang kecil itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang gelap dan kemerahan. Joko Wandiro hanya memandang mereka berganti-ganti, hatinya makin tidak enak.

"Namaku Lasmi!" kata gadis yang rambutnya paling panjang dan bulu matanya lentik melengkung.

"Aku Mini...!" Gadis yang matanya lebar terkekeh lucu

"Namaku Sari...!" kata yang punya lesung pipit di kedua ujung mulutnya.

"Aku Sundari!" kata yang bertahi lalat di pipi kiri.

"Engkau tidak boleh pergi dari sini, demikian pesan kak Dewi," kata Lasmi.

Joko Wandiro mengerutkan keningnya.

"Apa salahku maka aku ditahan di sini? Kuharap kalian tidak menggangguku, karena aku mempunyai urusan penting sekali dan harus pergi sekarang juga." Ia teringat akan Ayu Candra dan ingin cepat-cepat pergi mencari adiknya itu.

“Tanpa perkenan kak Dewi, kau tidak boleh pergi dari sini," kata Mini sambil mendekat dengan lenggang-lenggok genit.

"Hemrn, kalau aku memaksa pergi?"

"Hi-hik! Memaksa pergi? Boleh kau coba, bocah bagus!" kata Sari sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga tampak di balik daun-daun itu betapa tubuhnya yang memiliki lekuk lengkung sempurna itu bergerak-gerak.

Joko Wandiro meramkan matanya. Ia tidak percaya kepada pertahanan hatinya sendiri kalau harus terlalu lama menghadapi gadis-gadis cantik ini.

"Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, tidak mengenal kalian. Aku berterima kasih atas pengobatan pada luka di leherku, siapa pun dia yang telah mengobatiku. Akan tetapi aku harus pergi, sekarang juga. Harap maafkan!"

Setelah berkata demikian, ia menggunakan ilmunya dan tubuhnya hendak meloncat secepatnya meninggalkan mereka. Akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dan tampak bayangan-bayangan yang langsing berkelebat dan empat orang gadis itu kini telah mengurungnya dengan gerakan yang amat cepat! Joko Wandiro terkejut juga. Kiranya empat orang ini memiliki ilmu gerak cepat yang tak boleh dipandang ringan.

"Aku tidak ingin bertempur dengan kalian empat orang gadis!"

Ia berseru kehabisan kesabaran dan juga bingung karena mereka berempat itu kesemuanya tersenyum dan sukar ditentukan siapa di antara mereka yang paling manis.

"Harap jangan menghalangi!" Ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Lasmi telah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah perut.

Jari-jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing itu ketika mencengkeram mendatang kan angin sehingga Joko Wandiro cepat mengelak dan diam-diam mengeluh. Akan tetapi kini empat orang gadis itu telah maju mengeroyoknya dengan serangan-serangan cukup dahsyat. Mereka itu memukul, menendang, mencengkeram dan ada yang berusaha merangkul dan memeluknya!

Tentu saja Joko Wandiro menjadi repot sekah. la maklum bahwa kepandaian mereka ini masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaiannya, akan tetapi untuk mengalahkan mereka, agaknya ia harus merobohkan mereka, dan hal ini ia tidak menghendaki. Andai kata ia sanggup merobohkan mereka tanpa melukai berat, ia masih harus menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih gadis-gadis penjaga yang mengurungnya dengan bambu runcing di tangan!

Karena ia menghadapi pengeroyokan mereka dengan elakan dan tangkisan saja, sedangkan pikirannya masih bingung, tiba-tiba ia tidak dapat mengelak lagi ketika dua lengan yang halus dari Sundari telah memeluk pinggangnya dengan kekuatan yang tak tersangka-sangka. Kedua lengan itu kecil dan halus kulitnya, namun di balik kulit halus itu ternyata bersembunyi tenaga dalam yang hebat!

"Bocah bagus, engkau hendak lari ke mana? Hi-hik!" Sundari mempererat rangkulannya pada pinggang sambil terkekeh genit. Sementara itu, sepasang lengan tangan Lasmi yang tidak kalah halusnya sudah meluncur seperti dua ekor ular hendak merangkul leher Joko Wandiro!

"Celaka...!"

Joko Wandiro bergidik ketika merasa betapa kedua Iengan yang halus itu menyentuh kulit perutnya dan betapa muka yang hangat menempel ketat di punggungnya. Kalau sampai kedua Iengan Lasmi berhasil merangkul lehernya, ia takkan dapat melepaskan diri tanpa menggunakan kekerasan lagi! Cepat ia menyalurkan tenaga pada pinggangnya dan sekali ia menggerakkan pinggul, Sundari menjerit dan pelukannya terlepas.

Pada saat itu, Joko Wandiro sudah berhasil menangkis lengan halus Lasmi yang hendak merangkul lehernya. Melihat temannya terpelanting, Lasmi marah sekali dan dengan jerit seperti seekor kijang betina, ia sudah menyerangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing ke arah muka Joko Wandiro, sedangkan Sundari yang tadi terpelanting sudah melompat bangun lagi, menerjang dari belakang. Mini dan Sari juga maju merangsang dari belakang.

"Kalian sungguh terlalu Jangan salahkan aku kalau terpaksa aku berlaku kasar"

Joko Wandiro berseru dan kini mengembangkan jari tangannya dan siap membalas mereka dengan tamparan yang kiranya cukup membuat mereka terpelanting dan tak berani menyerangnya lagi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita yang halus merdu namun nyaring berwibawa, "Adik-adikku yang manis, mundurlah kalian berempat!"

Mendengar suara memerintah ini, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari cepat melompat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu berlari menghampiri wanita yang baru datang ini, berdiri di belakangnya dengan sinar mata berkilat-kilat menatap Joko Wandiro.

Pemuda inipun sudah menghentikan gerakannya dan kini berdiri memandang wanita yang baru datang. Joko Wandiro kagum. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, namun pasti tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya bundar seperti bulan purnama, sepasang matanya lebar jernih dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, dilindungi bulu mata yang panjang melengkung dan alis yang hitam panjang.

Entah mana yang lebih menarik antara mata dan mulutnya. Mulut itu sungguh manis, dengan bibir merah basah yang selalu tersenyum, tampak membayang di balik bibir merah itu kilatan gigi putih. Tubuhnya padat montok, dengan dada membusung dan menantang, kulitnya putih bersih sukar dicari cacadnya. Biarpun gadis ini juga hanya menutup tubuh dengan daun-daun dan bunga-bunga, namun dandanannya lebih indah dan lebih teratur dari pada empat orang gadis yang mengeroyoknya tadi. Daun-daun itu diatur rapi sekeliling dada dan pinggulnya, bagian atas dihias bunga-bunga mawar yang segar.

Teringatlah Joko Wandiro akan nama Dewi yang disebut berkali-kali oleh gadis-gadis tadi. Inikah dia yang mereka sebut kak Dewi? Kalau benar demikian, memang tidak berlebihan nama itu. Gadis ini mirip seorang dewi kahyangan, sungguhpun pakaiannya adalah pakaian orang liar. Karena dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang menjadi pemimpin barisan wanita itu, Joko Wandiro lalu membungkuk dan menundukkan kepala kepadanya, kemudian berkata,

"Harap dimaafkan kalau saya telah menimbulkan kekacauan di sini."

Gadis itu memperlebar senyumnya dan ketika Joko Wandiro memandangnya, dua pasang mata bertemu dan bertaut sejenak. Kemudian gadis itu menggelengkan kepala berkata, "Sungguh tak kusangka, muda remaja yang tampan, halus, dan sakti seperti ini kiranya hanya seorang yang tak kenal budi. Hemmmm...!"

Joko Wandiro terkejut. Memang tadi ia terburu nafsu menyangka yang tidak baik kepada para gadis itu, lalu memaksa hendak pergi. Kini ia menduga lain. Agaknya mereka itu yang menolongnya sehingga tidak sampai tewas di tangan Endang Patibroto dan Ki Jatoko, lalu menolongnya dan membawanya ke sini, merawat dan mengobatinya. Kalau demikian halnya, memang benar lakunya tadi tidak betul dan kelihatan seperti seorang kurang penerima! Cepat-cepat ia berkata,

"Aku tidak tahu Apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku berada di sini dan ketika hendak pergi, mereka ini... eh... mencegah... sehingga timbul salah faham. Harap kau suka memberi penjelasan, siapakah kalian dan bagaimana aku bias berada di sini?"

"Namaku Dewi. Bersama adik-adikku seperguruan Lasmi, Mini, Sari dan Sundari ini, kami yang memimpin kawan-kawan kami dan hidup aman tenteram di Gunung Anjasmoro sini. Ketika aku melihat betapa engkau terkena jarurn beracun, kusuruh anak buahku untuk membawamu ke sini dan rnengobatimu. Siapakah namamu?"

Joko Wandiro makin kaget. Benar dugaannya. Ia telah dirobohkan lawan secara menggelap dan agaknya tentu akan binasa kalau tidak ditoiong oleh gadis-gadis ini. Dan tadi ia sudah hendak menggunakan kekerasan untuk melawan mereka dan melarikan diri! Sungguh tidak mengenal budi! Ia menundukkan mukanya dan memperkenalkan diri.

"Namaku Joko Wandiro. Aku berhutang budi dan nyawa kepada kalian, tak tahu bagaimana akan dapat membalas budi ini."

Dewi tersenyum manis sekali dan mengulur tangan memegang Iengan pemuda itu, menariknya sambil berkata halus, "Joko Wandiro, mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan leluasa. Aku akan menceritakan kepadamu tentang keadaan kami."

Jantung pemuda itu berdebat kencang. Biarpun gerak-geriknya lebih halus, namun Dewi yang menjadi kepala sekalian wanita ini memiliki kebebasan yang luar biasa dan tangan yang menggandengnya itu halus dan lemas, hangat dan mesra. Bagaimanakah seorang gadis yang baru bertemu satu kali sudah berani menggandeng tangan seorang pria dan bersikap semesra ini? Namun, mengingat bahwa ia telah berhutang budi, ia mengikuti gadis itu tanpa membantah.

Ketika ia mengerling, ia melihat bahwa hanya empat orang gadis yang tadi mengeroyoknya itu yang mengikuti mereka sambil tersenyum-senyum manis, adapun wanita-wanita yang merupakan barisan mengepung tadi tampak bubar sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Setelah Joko Wandiro dipersilakan duduk di atas amben bambu yang menjadi tempat tidurnya tadi dan lima orang gadis itu duduk pula mengelilinginya, Dewi mulai bercerita.

"Joko Wandiro, biarpun engkau bertemu dengan aku sebagai seorang gadis gunung, akan tetapi sesungguhnya di dalam tubuhku masih mengalir darah keluarga Kerajaan Wengker. Permaisuri paman Prabu Boko di Kerajaan Wengker adalah bibiku, adik dari ayahku."

Mendengar ini, Joko Wandiro tercengang dan menatap lebih tajam kepada gadis yang duduk di depannya itu. Melihat pandang mata pemuda ini, Dewi tersenyum dan menangkap jari-jari tangan kanan Joko Wandiro, terus digenggamnya, tak dilepaskannya lagi. Joko Wandiro tidak berusaha menarik tangannya, khawatir kalau menyinggung perasaan orang. Untuk menguasai jantungnya yang berdebar tidak keruan itu ia bertanya,

"Aku hanya mendengar cerita bahwa Kerajaan Wengker dihancurkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Airlangga. Bagaimana engkau bias berada di gunung ini?"

Dewi mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Mulut yang bentuknya manis dengan bibir merah basah itu agak merengut, seakan-akan pertanyaan ini mengingatkan ia akan hal-hal vang mengesalkan hatinya. Kemudian ia mengangkat muka memandang Joko Wandiro kembali dan wajahnya berseri, kemurungannya lenyap. Sambil mengelus-elus tangan Joko Wandiro, ia lalu berkata,

"Ayahku bernama Pangeran Mamangkurdo, kakak dari bibi Mamangsari yang menjadi permaisuri paman Prabu Boko. Ketika barisan dari Mataram menghancurkan Kerajaan Wengker, ayah berhasil menyelamatkan diri sambil mendukung aku yang masih kecil, baru berusia dua bulan. "

Ia menghela napas panjang. Joko Wandiro memandang penuh perhatian. Kerajaan Wengker merupakan kerajaan yang paling sukar ditundukkan oleh Sang Prabu Airlangga dan setelah Wengker ditaklukkan, barulah perang berhenti. Kalau gadis ini berusia dua bulan ketika Wengker jatuh, agaknya gadis ini satu dua tahun lebih tua dari padanya.

"Ayah harus berpindah-pindah tempat untuk menyembunyikan diri. Bertahun-tahun aku diajak menjadi orang buronan dan setelah aku berusia lima belas tahun, ayah meninggal dunia di Anjasmoro ini. Empat orang adik-adikku ini adalah murid ayah yang juga menjadi adik-adik angkatku. Karena selama ini ayah selalu mencurigai orang lain, maka ayah tidak mau mempergunakan pria untuk menjadi pelayan atau anak buahnya. Dipilihnya wanita-wanita yang hidup sendiri, dilatih dan dibentuknya barisan wanita. Kebiasaan itu kulanjutkan sampai sekarang. Bahkan setiap kali ada laki-laki berani memasuki wilayah kami, tentu dia kami bunuh seketika!"

Joko Wandiro terkejut. "Mengapa begitu?"

Wajah yang manis itu mengeras. "Kami tidak memperbolehkan laki-laki mendekat, karena mereka itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau sampai seorang di antara anak buahku terpikat dan pergi bersama seorang pria, bukankah keadaan kami bukan rahasia lagi dan persembunyian kami akan ketahuan sehingga fihak musuh akan dapat mengirim pasukan untuk membasmi kami?"

"Ah, engkau dikejar-kejar kekhawatiranmu sendiri, Dewi. Agaknya karena semenjak bayi engkau dibawa sebagai buronan oleh mendiang ayahmu, jiwamu sudah tercekam rasa takut ketahuan tempat sembunyimu. Apakah engkau tidak tahu bahwa keadaan sudah berubah sama sekali? Tidak seorangpun kini teringat akan keturunan Kerajaan Wengker. Tidak ada yang akan mengejar-ngejarmu. Karena itu, tidak baik kalau kau membunuhi orang yang memasuki wilayah ini."

"Hemm, betapa pun juga, ayah dahulu berpesan supaya kami berhati-hati menghadapi setiap orang pria, karena laki-laki adalah makhluk yang paling jahat dan berbahaya. Karena itu, entah sudah berapa puluh orang laki-laki yang kami bunuh ketika mereka lewat daerah ini."

Joko Wandiro menjadi tak senang hatinya mendengar kekejaman ini. Alisnya yang tebal berkerut dan ia bertanya sengat ketus, "Kalau begitu, mengapa engkau malah menolong aku dan tidak membunuhku? Bukankah aku juga laki-laki?"

Dewi tersenyum, empat orang adiknya ikut pula tertawa. "Pertanyaan inilah yang membuat kami terlambat menolongmu, Joko Wandiro. Ketika engkau bertanding melawan wanita sakti itu, kami diam-diam menonton dan kagum. Menurut kebiasaan, tentu kami sudah turun tangan membantu wanita itu membunuhmu. Akan tetapi... eh... kami ragu-ragu, berdebat, berunding, bersitegang antara kami berlima, kemudian mengambil keputusan. Akan tetapi sayang terlambat, engkau sudah dirobohkan laki-laki buntung yang curang."

"Ki Jatoko...! Sudah kuduga!" Tanpa disadarinya Joko Wandiro berseru, kemudian ia teringat akan penuturan tadi lalu cepat bertanya, "Keputusan Apa yang kau ambil sehingga kalian tidak membunuhku?"

Tiba-tiba wajah yang ayu itu menjadi merah sekali, sedangkan yang empat lain terkekeh-kekeh genit. "Joko Wandiro, ketika ayah hendak mangkat, ayah berpesan agar aku berhati-hati menghadapi pria dan bila berjumpa, lebih baik membunuhnya. Kecuali... begitu pesan ayah, kecuali... jika aku bertemu dengan pria yang mencocoki hati, yang dapat kujadikan sandaran hidup, yang patut kuserahi badan dan nyawa, dan melihat engkau... aku... aku dan adik-adikku. eh..."

Dewi menjadi gagap, kemudian tanpa peringatan terlebih dahulu ia sudah maju merangkul dan mengambung pipi Joko Wandiro!. Joko Wandiro terkejut bukan main, mukanya terasa panas dan jantungnya seperti hendak melompat keluar dari rongga dada. Selagi ia hendak memprotes, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang semua karena empat orang gadis yang merubungnya ltupun merangkul dan menciuminya, di kepala, di leher, di bahu dan Iengan!.

"Eiit... eiittt... eiiittt... nanti dulu...!"

Ia meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Keringatnya membasahi leher dan dahi, keringat dingin yang keluar karena kaget dan bingungnya. Akan tetapi, Dewi dan empat orang adiknya juga melompat turun dengan gerakan sigap sekali, serta-merta mereka berlima menjatuhkan diri di depan kaki Joko Wandiro, berlutut dan menyembah-nyembah!

"Kami berlima menghambakan diri kepadamu dan bersumpah setia sampai mati. Bukan hanya kami berlima, juga tiga puluh orang anak buah kami bersetia kepadamu, Joko Wandiro, siap untuk membela dengan pengorbanan apa pun juga."

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Dewi mengeluarkan jeritan tiga kali, dan membuka pintu pondok, kemudian mereka berlima beramai-ramai menarik kedua tangan Joko Wandiro keluar pondok. Pemuda ini terpaksa melangkah keluar dan ia tertegun memandang ke depan. Tiga puluh orang wanita yang pakaiannya hanya daun-daunan akan tetapi yang kesemuanya membawa bamboo runcing, telah berada di situ dan kini serentak mereka itu menjatuhkan diri berlutut di depannya, menundukkan kepala dan menyembah!

Ia maklum bahwa jeritan Dewi tadi merupakan komando untuk berkumpul. Akan tetapi ia masih beium mengerti Apa kehendak Dewi dengan mengumpulkan anak buahnya ini. Selagi ia berdiri bingung, Dewi dan empat orang adiknya kembali sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya dan terdengar suara merdu namun lantang,

"Kami telah bersepakat untuk mengabdi kepadamu, Joko Wandiro, dan kami berikut anak buah kami bersumpah untuk bersetia sampai mati kepadamu. Engkaulah pria pilihan kami seperti yang dipesankan oleh mendiang ayahku."

Joko Wandiro berdiri bengong. Tertegun ia memandang tiga puluh lima buah kepala yang berambut hitam halus itu menunduk di depannya dan diam-diam ia menyesali nasibnya yang serba aneh dan ruwet. Cinta kasihnya telah tercurahkan seluruhnya kepada Ayu Candra yang ternyata adalah adik kandungnya sendiri yang tak mungkin menjadi kekasihnya, tak mungkin menjadi jodohnya. Kemudian oleh ayah angkat atau gurunya, ia dijodohkan dengan Endang Patibroto, gadis ganas liar dan pembunuh ibu kandungnya, sehingga jelas tak mungkin pula ia mengawini pembunuh ibu kandungnya sendiri. Dapat ia mengekang diri dan tidak menaruh dendam, akan tetapi akan terlalu durhakalah ia kalau ia menikah dengan gadis yang menjadi pembunuh ibu kandungnya! Kemudian ia bertemu dengan Mayagaluh. Gadis seperti puteri yang baik budi itu kiranya akan mudah menjatuhkan hatinya, akan tetapi kemudian ternyata olehnya betapa sang puteri telah mempunyai seorang kekasih, yaitu Pangeran Darmokusumo.

Dan sekarang, dengan tak tersangka-sangka sama sekali, Dewi menyatakan pasrah jiwa raga kepadanya, hendak mengabdi dan menjadi isterinya, bukan sendirian, melainkan bersama empat orang adik seperguruannya, lima orang dara yang perkasa dan muda belia cantik jelita, masih ditambah lampiran tiga puluh orang wanita cantik-cantik lagi!. Kembali matanya menyapu ke arah tiga puluh lima orang wanita itu. Ia bergidik. Sekaligus dihadiahi tiga puluh lima orang wanita cantik, benar-benar amat terlalu banyak!.

"Ti... tidak... tak mungkin ini...! Dewi, aku sendiri seorang sebatang kara, seorang jaka lola yang hidup sengsara dan miskin. Mana mungkin kalian menghambakan diri kepada orang seperti aku ini? Tidak, bangkitlah dan jangan bertindak yang bukan-bukan. Sudah terlalu banyak budi yang kau lepaskan untukku."

Dewi melompat bangun diturut oleh empat orang adiknya. Ketika Joko Wandiro memandang, ia tercengang karena lima orang gadis cantik itu mengalirkan air mata di sepanjang kedua pipi mereka!

"Mengapa kau menolak? Apakah kami tidak cukup berharga bagimu?"

"Bukan! Bukan begitu, bahkan sebaliknya. Kalian terlampau merendahkan diri. Akulah yang sama sekali tidak berharga, jangankan menerima penghambaan kalian semua, menerima penghambaan seorang di antara kalianpun sudah tidak pantas. Aku seorang miskin dan..."

"Joko Wandiro, kami tidak membutuhkan apa-apa, bahkan kalau kau menghendaki sesuatu, kau katakan saja. Kami pasti akan dapat menyediakan untukmu. Kami mengangkatmu menjadi kepala yang memimpin kami semua di tempat ini, dan perintahlah saja, kami akan melakukan segala perintahmu. Biar harus menyerbu lautan api, kami takkan undur setapakpun."

Wajah Joko Wandiro menjadi muram. Ia terharu dan karenanya menjadi sedih. Dengan suara sungguh-sungguh ia berkata, "Dewi, tenangkanlah perasaanmu dan pikirlah masak-masak. Aku ini seorang yang tak berharga dan sama sekali aku tak pernah melakukan sesuatu untuk kalian. Mengapa kini kalian hendak membalas dengan melimpahkan budi yang membuat aku menjadi tidak enak saja? Bahkan sebaliknya kaulah, Dewi, yang sudah menyelamatkan nyawaku sehingga sebenarnya akulah yang harus membalas budi. Kalau saja lain hal yang kauminta untuk membalas budimu, tentu akan kulaksanakan. Akan tetapi permintaanmu itu sungguh hal yang tak mungkin kulakukan dan..."

"Joko Wandiro! Dengar, kami sudah berjanji kepada mendiang ayah untuk membunuh setiap orang pria yang memasuki wilayah ini, tentu saja ada kecualinya, yaitu pria yang dapat kami angkat sebagai kepala. Kau menjadi pilihan kami dan kalau engkau menolak, tidak ada lain jalan lagi bagi kami kecuali membunuhmu atau terbasmi habis oleh tanganmu!"

Dewi mengeluarkan kata-kata ini dengan mata berapi-api dan kedua pipinya merah sekali menambah kecantikannya yang aseli. Joko Wandiro dapat menerima alasan ini, sungguhpun hal itu merupakan suatu keganjilan bagi manusia biasa. Karena itu ia menjadi makin bingung, kemudian ia berkata tenang,

"Boleh kalian coba Dewi. Kalau memang sudah menjadi kehendak Dewata bahwa aku mesti mati di tangan kalian, aku akan rela. Akan tetapi kalau belum mestinya mati, kurasa aku akan berhasil melarikan diri tanpa melukai seorangpun di antara kalian!"

Dewi mengeluarkan jerit melengking dan serentak dia mengurung Joko Wandiro dengan empat orang adiknya, sedangkan tiga puluh orang perajurit wanita itupun bergerak dan berlari-lari membuat pagar mengelilingi pemuda itu dengan bambu runcing siap di tangan! Aneh pagar manusia ini karena terus bergerak, berlari-larian mengelilingi Joko Wandiro dari jarak jauh.

"Boleh kau coba, Joko Wandiro! Kau takkan dapat pergi dari sini tanpa lebih dulu membunuh kami semua dan andai kata dapat juga, kau takkan pernah terlepas dari pada pengejaran kami! Kau membunuh kami semua atau kau mati, kalau kau tak mau menerima permintaan kami!"

Joko Wandiro terkejut juga. Kalau sedemikian hebat tekad gadis-gadis ini, memang serba sukarlah baginya. Ia tahu bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat buruk, dan setulusnya hati hendak menghambakan diri kepadanya, karenanya ia dapat menduga bahwa andai kata ia dapat lolos, tentu ia akan selalu dicari-cari dan dikejar-kejar kemana pun juga ia pergi.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar