Badai Laut Selatan Jilid 47

Semenjak ditimpa malapetaka ketika la dicilik Pujo sampai saat itu, agaknya baru kali ini Listyokumolo mendengar kata-kata yang menyatakan kasihan kepadanya dan baru kali ini ada orang hendak menolongnya. Hal ini menggetarkan jantungnya dan tangisnya makin tersedu-sedu. Akan tetapi ketika ia mengangkat mukanya melihat anak dalam pondongan Ki Adibroto, kembali ia mengulurkan kedua lengannya ke depan dan merintih,

"Kembalikan anakku...berikan anak itu kepadaku..."

Ki Adibroto menarik napas panjang. Kumat lagi wanita ini, pikirnya.

"Sudah saya jelaskan tadi bahwa anak ini bukanlah anakmu yang bernama Joko Wandiro, anak ini adalah Ayu Candra, anak saya yang sudah tidak beribu lagi "

Listyokumolo membelalakkan mata memandang anak itu. Mata yang masih amat indah bentuknya, lebar dengan bulu mata panjang lentik yang membentuk bayang-bayang teduh di bawah mata, dengan biji mata bening dan ujung mata yang meruncing tajam. Mata yang membayangkan berahi. Akan tetapi mata yang diselimuti kesayuan pandang dan dilayukan hati duka.

"Tidak beribu lagi...?"

Agaknya kenyataan ini sejenak menyadarkan Listyokumolo dari keadaan bingung, timbul dari hati iba. Kemudian ia bangkit dan menghampiri Ki Adibroto.

"Biarkan dia kugendong, biarkan aku menjadi pengganti ibunya, aduh kasihan biar aku menjadi pengganti ibunya dan ia menjadi pengganti anakku..."

Kata-kata Ini dikeluarkan dengan suara penuh harap, setengah berbisik, suara yang keluar langsung dari lubuk hatinya. Ki Adibroto sejenak memandang dan tahulah orang sakti ini bahwa sekaligus hatinya terampas oleh wajah yang ayu tapi menyedihkan itu, terampas oleh kepribadian yang menimbulkan cinta kasih akan tetapi sekaligus keharuan dan iba hati. Ia memberikan anaknya dan berbisik pula,

"Aku...aku akan bahagia sekali Kalau anda sudi menjadi pengganti ibunya"

Mungkin makna dari kata-kata Ki Adibroto ini dapat menembus kegelapan yang menyelimuti pikiran Listyokumolo karena tiba-tiba ketika menerima anak itu, kedua pipinya menjadi kemerahan, matanya menunduk dan bibirnya terhias senyum ditahan, senyum malu-malu. Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera wajahnya berubah gembira penuh bahagia ketika ia merasa betapa anak itu bergerak-gerak di dadanya. Sebentar saja anak itupun tertidur setelah didekap oleh dada yang lunak dan hangat.

Tanpa pernah membantah sedikitpun, Listyokumolo lalu ikut dengan Ki Adibroto ke mana pun pendekar itu pergi. Setelah setiap hari merawat Ayu Candra, mulai teringatlah ia akan keadaan dirinya dan akhirnya ia pun sembuh dari gangguan pikirannya. Bahkan hal yang tak dapat dicegah lagi terjadi setelah wanita cantik jelita yang masih muda ini berkumpul dengan Ki Adibroto, pendekar yang juga belum tua yang gagah serta tampan itu, yaitu mereka saling jatuh cinta. Akhirnya mereka menjadi suami isteri yang saling mencinta, saling menghormat dan saling mengasihi.

Dengan kasih sayang besar mereka berdua mendidik dan membesarkan Ayu Candra sehingga anak ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Setelah Ayu Candra berusia enam belas tahun, ayah bundanya pindah dan memilih Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu sebagai tempat tinggal yang baru.

Tadinya Ayu Candra yang tinggal bersama orang tuanya di daerah Ponorogo, menyatakan keberatan hatinya mengapa ayahnya ke tempat yang sunyi itu. Akan tetapi mengertilah gadis remaja yang cukup cerdik ini ketika ayahnya menjawab,

"Kita tinggal di tempat aman ini hanya untuk sementara, Candra. Ketahuilah bahwa perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala sudah hampir pecah. Permusuhan terjadi di mana-mana. Kalau perang pecah, berarti keadaan akan menjadi kacau dan tidak aman. Engkau sudah remaja puteri, tidak akan baik jadinya kalau kita tinggal di tempat ramai. Biarlah kita tidak mencampuri keributan, kita tinggal di tempat yang indah dan aman ini sampai keadaan Negara menjadi aman kembali. Aku sudah bosan akan perang dan keributan, apalagi perang antara saudara sendiri!"

Mereka bertiga hidup tenang dan penuh damai di pinggir telaga. Sampai setahun lebih lamanya mereka bertiga tinggal di tempat yang indah itu. Akan tetapi hanya kelihatannya saja mereka hidup penuh ketenangan dan damai. Sebetulnya ada hal yang mengganggu hati Listyokumolo. Di waktu malam, setelah tidur pulas, seringkali suami isteri ini berbantahan. Listyokumolo tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya terhadap Pujo!

Dendam ini pula yang membuat ia semenjak menjadi isteri Ki Adibroto, dengan tekun dan rajin bersama puteri tirinya menggembleng diri dengan ilmu silat dan kesaktian. Biarpun ia tidak semaju Ayu Candra, namun setelah lewat enam belas tahun, Listyokumolo yang sekarang bukanlah Listyokumolo belasan tahun yang lalu. Ia kini menjadi seorang wanita yang berkepandaian. Dan setiap malam, ia membujuk suaminya untuk membantunya mencari Pujo, mencari puteranya, Joko Wandiro dan membalaskan dendamnya kepada Pujo.

Ki Adibroto adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan karena ia telah mendengar riwayat isterinya, ia dapat menduga bahwa suami isterinya yang pertama, Raden Wisangjiwo tentu bukan seorang baik-baik sehingga dimusuhi orang yang bernama Pujo. Ia selalu mengingatkan isterinya,

"Engkau sendiri menyatakan bahwa bekas suamimu, Wisangjiwo adalah seorang yang menyeleweng dari pada kebenaran. Sangat boleh jadi dia itu melakukan sesuatu yang mendatangkan dendam kepada Pujo."

"Memang begitulah. Agaknya Wisangjiwo telah memperkosa isteri Pujo karena ketika menculikku, Pujo menyatakan hal itu kepadaku. Akan tetapi mengapa dia membalasnya kepadaku dan membawa pergi anakku?" Listyokumolo penasaran.

Ki Adibroto menghela napas panjang. "Isteriku, orang yang diracuni dendam hatinya menjadi seperti orang buta. Mungkin Pujo melarikan engkau, kemudian menculik anakmu, sama sekali tidak bermaksud sesuatu kepada dirimu pribadi melainkan semua ia tujukan untuk merusak hati bekas suamimu. Sudah kukatakan tadi bahwa dendam membuat orang seperti buta sehingga ia tidak melihat bahwa perbuatannya itu bukan hanya merusak hati Wisangjiwo secara tidak langsung, akan tetapi bahkan secara langsung merusak hatimu dan Joko Wandiro. Akan tetapi, setelah tahu bahwa dendam amat tidak baik, apakah engkau masih mau diracuni dendam terhadap Pujo?”

"Kakang Adibroto, aku tidak akan ngawur seperti Pujo. Aku hanya akan membalas kepadanya, bukan kepada orang lain. Pula, aku harus bertemu dengan dia untuk menanyakan dimana adanya Joko Wandiro. Kalau engkau tidak mau mengantarku, biarlah aku mencarinya sendiri. Biarpun belum tentu aku mampu mengalahkan Pujo, akan tetapi apa yang telah kupelajari darimu kiranya cukup untuk bekal melakukan perjalanan."

Ki Adibroto yang amat mencinta isterinya, tentu saja tidak dapat membiarkan isterinya pergi seorang diri menempuh bahaya. Akhirnya ia terpaksa menerima permintaan isterinya. Apalagi kalau ia ingat bahwa kini puterinya, Ayu Candra sudah berusia tujuh belas tahun, sudah cukup dewasa jntuk menjaga diri sendiri di tempat yang aman itu sampai mereka kembali dari perjalanan. Malah selain memenuhi permintaan isterinya, ia juga ada keperluan lain, yaitu pergi menemui sahabat-sahabatnya untuk mencari dan memilihkan seorang calon suami bagi Ayu Candra!

"Candra, ayah bundamu ada keperluan penting sekali, akan pergi untuk beberapa pekan lamanya. Engkau harus tinggal sendiri di sini, menanti sampai kami pulang."

Alis yang kecil panjang hitam melengkung itu berkerut.

"Mengapa aku tidak diajak pergi, ayah? Mengapa ditinggal sendiri di sini? Ayah dan ibu hendak ke manakah?"

"Negara sedang kacau, Candra. Permusuhan terjadi di mana-mana dan banyak orang jahat berkeliaran bebas. Engkau seorang wanita muda yang tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan pertentangan. Pula, urusan yang akan kami urus adalah urusan kami orang-orang tua, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Perhatikanlah, jangan kau pergi ke mana-mana, tinggal saja di sini dan tunggu sampai kami pulang."

Ayu Candra memang seorang anak yang taat kepada ayahnya. Biarpun hatinya amat kecewa dan tidak senang, ia tidak berani banyak membantah lagi. Akan tetapi ketika pagi hari itu ia melihat ayah bundanya pergi turun dari lereng, ia berdiri termangu-mangu dan memandang ke arah bayangan mereka sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Barulah ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menghapus air matanya.

Namun, Ayu Candra bukan seorang anak perempuan yang cengeng. Hanya sebentar saja ia melepaskan kekecewaannya dengan menangis Tidak lama kemudian ia sudah bekerja seperti biasa, menyapu pekarangan mengumpulkan daun kering yang memenuhi pekarangan dan membakarnya. Kemudian ia rnelakukan pekerjaan rumah seperti biasa.dan wajahnya sudah cerah kembali.

Beberapa hari kemudian, karena kayu bakar persediaan mereka habis, Ayu Candra pagi-pagi telah meninggalkan pondoknya dan berlari-lari mendaki jalan yang menanjak. Sejak kecil ia sudah dilatih ayahnya untuk melawan hawa dingin pegunungan di waktu pagi dengan berlari-larian. Amat lincah gerakannya, laksana seekor kijang muda ketika ia lari mendaki jalan yang licin dan sukar itu. Namun bagi Ayu Candra tidaklah sukar.

Selain untuk melawan hawa dingin, juga pagi itu amat indah, udara cerah dan sinar matahari pagi mulai menerobos rnelalui celah-celah daun pohon membagi cahaya kehidupan ke muka bumi. Pagi cerah yang menimbulkan rasa gembira di hati Ayu Candra, segembira burung-burung di pohon yang berkicau riang, segembira bajing-bajing yang berloncatan dari cabang ke cabang, kelinci yang lari berkejaran menyusup semak-semak.

Baru kali ini Ayu Candra merasa betapa senangnya bebas seperti itu. la merasa bebas, seorang diri di dunia ini setelah ayah bundanya pergi. Ia masih ingat akan pesan ayahnya agar ia jangan pergi mengunjungi dusun-dusun yang terletak di kaki gunung. Akan tetapi pagi ini ia tidak mengunjungi dusun-dusun itu, ia malah mendaki naik menjauhi dusun dusun, menjauhi manusia. Apa salahnya?

Belum pernah ia pergi ke hutan di sebelah puncak kiri itu. Ia akan mencari kayu bakar di sana sambil melihat lihat keadaan hutan yang belum pernah ia kunjungi. Dari jauh tampak beberapa batang pohon kelapa dan hal ini menambah tertarik hatinya. Sukar mencari pohon kelapa di daerah Sarangan, dan agaknya hanya kebetulan saja di hutan sebelah depan itu terdapat beberapa batang pohon kelapa. Makin girang hatinya setelah dekat ia melihat bahwa sebatang di antara pohon-pohon kelapa itu ada buahnya yang sudah besar.

Sudah lama ia tidak pernah makan dawegan (kelapa muda), maka tiga butir buah yang tergantung di pohon tinggi itu merupakan daya penarik yang amat kuat sehingga Ayu Candra mempercepat larinya. Setelah tiba di bawah pohon kelapa, ia segera mengambil batu dan dua kali lontaran saja dengan tangannya yang kuat, ia telah berhasil merontokkan tiga butir kelapa muda itu.

Dengan girang ia mengambil tiga butir buah itu, membayangkan kesedapan air dawegan dan kelezatan dagingnya. Akan tetapi teringat olehnya akan kayu bakar yang habis persediaannya. Ia segera pergi mengumpulkan kayu bakar yang amat banyak terdapat di hutan itu, kemudian setelah mengikat kayu-kayu kering itu ia menggendongnya dan menjinjing tiga butir kelapa, hendak dibawa pulang.

Ayu Candra dengan wajah berseri berjalan keluar dari hutan itu. Ia sengaja menahan haus dan baru di pondok nanti akan menikmati air dawegan yang manis dan sedap. Akan tetapi ketika tiba di pinggir hutan dan melewati sebuah pohon randu alas yang besar sekali karena tiga batang pohon tumbuh menjadi satu, mendadak ia berhenti melangkah karena mendengar suara orang!

"Duh Dewa...! kenapa tidak dicabut saja nyawaku? Tidak kuat aku menderita siksaan ini...!

Ayu Candra adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut karena sejak kecil ia telah digembleng ayahnya. Akan tetapi, mendengar dengan telinga sendiri betapa pohon randu alas dapat bicara dan mengeluh seperti manusia benar-benar ia merasa ngeri juga dan wajahnya yang cantik jelita itu berubah agak pucat. Ia tahu bahwa iblis dan setan berkeliaran di atas bumi ini, akan tetapi di waktu malam hari.

Sekarang, di waktu matahari masih bersinar seterang-terangnya, menjelang tengah hari, bagaimana ada iblis berani muncul dan memperdengarkan suaranya? Kalau bukan iblis, mustahil ada pohon randu alas benar-benar bisa mengeluh seperti manusia dan menyatakan bosan hidup? Ah tak mungkin, pikirnya. Tentu orang! Akan tetapi kalau ada orangnya, di mana sembunyinya? Ayu Candra merasa curiga dan karena kedua tangannya menjinjing buah buah kelapa, ia lalu melemparkan tiga butir buah kelapa itu ke atas tanah. Kemudian ia mendekati pohon randu alas dan bertanya,

"Siapakah orangnya yang mengeluarkan suara keluhan tadi?"

Sunyi mengikuti pertanyaan ini, seakan akan orang yang mengeluarkan suara tadi merasa kaget. Kemudian terdengar orang merintih, suaranya keluar dari dalam pohon!

"Sudah begini menderita masih ada wanita menggangguku lagi? Ah, Dewata Yang Agung, sampai di ambang maut masih haruskah aku berhadapan dengan penggodaku?"

Tiba-tiba kulit pohon itu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki menggelundung keluar. Kiranya batang pohon itu berlubang dalamnya dan laki-laki ini tadi bersembunyi di dalam pohon. Melihat keadaan laki-laki ini, Ayu Candra terkejut bukan main. Keadaan laki-laki ini mengerikan. Laki-laki itu usianya tentu empat puluh tahun lebih pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh bekas luka.

Melihat ke bawah Ayu Candra merasa makin ngeri. Kedua kaki orang itu buntung sebatas lutut! Karena celananya juga compang camping maka tampaklah kaki yang buntung itu yang ujungnya merupakan tulang menjedol keluar dikelilingi daging terbungkus kulit berkeriputan. Laki-laki itu setelah menggelundung keluar, lalu menoleh dan sepasang matanya terbelalak penuh kekaguman memandang wajah cantik jelita dan tubuh yang muda, montok, dan padat. Akan tetapi hanya sebentar saja kekaguman itu terpancar keluar dari sinar matanya. Segera ia mengerang kesakitan dan sinar matanya layu.

"aduh...mati aku...!"

Ayu Candra memiliki dasar watak yang penuh welas asih seperti watak ayahnya. Melihat keadaana orang itu dan mendengar rintihannya, ia merasa sangat kasihan sekali. Bagaimana ada orang sampai begini sengsara?

"Kasihan sekali engkau paman. Mengapa engkau sampai menjadi begini?!

Laki-laki itu mengerang panjang, tubuhnya yang miring itu terlentang dan ia memandang ke arah wajah yan cantik Jelita itu.

"Aku...aku menderita sakit...ohh.. tolonglah aaugghhh. Kembali ia mengerang dan melanjutkan, terengah-engah, "lapar...Haus...aduh..."

Ayu Candra merasa hatinya seperti di tusuk-tusuk. Entah bagaimana wajah orang ini mendatangkan iba dalam hatinya. Ia dapat melihat bahwa dahulunya orang ini memiliki bentuk wajah yang tampan dan pakaiannya walaupun butut, dilihat dari celana, baju, kain dan destarnya, pasti bukan orang dusun biasa. Dan sinar mata itu amat tajam berpengaruh menandakan seorang berisi.

"Aku hanya punya kelapa. Maukah kau minum air dawegan?"

Laki-laki itu menggerakkan kepala mengangguk. Ayu Candra lalu berjongkok memungut sebutir dawegan yang tadi ia lemparkan keatas tanah, kemudian menggunakan sepotong batu untuk mengupas kulitnya bagian atas dan membuat lubang. Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah, menggunakan tenaga dalam. Orang biasa saja, biarpun ia laki laki, takkan mungkin mengupas kulit kelapa yang amat liat dan keras itu hanya menggunakan sepotong batu! Hal ini rupanya dimengerti pula oleh laki-laki buntung karena ia kini sudah bangkit duduk sambil memandang dengan mata terbelalak kaget.

Kalau saja Ayu Candra tidak sedang asyik membuka kulit kelapa, dan melihat cara laki-laki itu bangkit duduk, tentu ia akan menjadi curiga, Ketika itu, laki-laki buntung itu tidak kelihatan selemah tadi, bahkan sekali tubuhnya bergerak ia sudah dapat bangkit dan duduk. Ketika Ayu Candra membalikkan tubuh membawa kelapa yang sudah terkupas dan terlubang, laki-laki itu kembali kelihatan menyeringai kesakitan, sungguhpun matanya masih terbelalak heran dan kaget.

"Minumlah air kelapa ini, paman. baik untuk kesehatan selain mengurangi haus," kata Ayu Candra dengan suara halus dan penuh perasaan.

Makin dipandang, makin kasihan ia terhadap laki-laki itu. Sebaliknya bagi laki-laki itu, makin dipandang, makin luar biasa cantik jelita dan halus budi pekerti gadis itu, membuat ia menelan ludah bukan karena haus.

"Terima kasih. terima kasih" katanya menerima dawegan, menyembunyikan debar jantungnya yang berdegupan ketika jari tangannya menyentuh jari tangan yang halus dan hangat.

Diteguknya air dawegan itu sampai habis, kemudian diusapnya air yang membasahi ujung bibir dan dagunya.

"Aaahhhh segar sekali. Sudah berkurang peningku. Terima kasih, nak. Engkau sungguh baik sekali."

Tiba-tiba Ayu Candra merasa betapa mukanya menjadi agak panas dan cepat ia membuang muka. Pandang mata orang itu membuat hatinya berdebar. Pandang mata itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hati dan pikirannya. Bukan main tajamnya dan ia merasa aneh. Untuk menghilangkan rasa anehnya ini ia lalu memandang dan berkata, "Apakah paman mau dahar daging dawegan ini?"

Kembali laki-laki itu mengangguk-angguk, menjilati bibir dengan lidah dan memandang kelapa muda sambil berkata, "Bagaimana membukanya? Kulihat engkau tidak membawa parang..."

Ayu Candra merasa bahwa di depan seorang tapadaksa itu tidak perlu lagi ia berpura-pura dan menyembunyikan kepandaiannya.

"Tidak perlu pakai parang" katanya singkat sambil mengangkat tangan kanan, dipukulkan pada kelapa muda yang berada di atas telapak tangan kirinya.

"Prakkk!" Kelapa muda itu pecah menjadi dua, terbelah seperti dibacok kapak tajam saja. Padahal kelapa itu masih terbungkus serabutnya yang liat!

Laki-laki itu makin heran sampai melongo, kemudian diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya, diterimanya kelapa itu dan dimakanlah daging kelapa muda yang lembut, gurih dan manis dengan lahapnya.

"Mau lagikah, paman? Aku masih punya dua butir..." tanya Ayu Candra sejujurnya ketika melihat orang itu sudah makan daging kelapa muda.

"Tidak...sudah cukup. Terima kasih "

"Di manakah rumah paman? Dan mengapa sampai di tempat. ini dalam keadaan seperti...itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah kedua kaki yang buntung.

Laki-laki itu memandang kepadanya dan pcrlahan-lahan beberapa butir air mata menetes turun...Trenyuh sekali hati Ayu Candra.

"Apakah paman dicelakai orang? Siapa mereka yang mencelakai paman? Kejam benar mereka!"

Mewarisi watak ayahnya, seorang pendekar besar, Ayu Candra mengepal kedua tinju, merasa marah sekali menyaksikan kekejaman orang terhadap laki-laki buntung ini. Dengan suara pilu laki-laki itu berkata,

"Terima kasih atas perhatianmu, nak. Aku...aku memang seorang yang bernasib buruk. Aku disiksa orang-orang jahat, kedua kakiku dibuntungi dan nyaris dibunuh mereka. Akan tetapi, aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Namaku Ki Jatoko dan aku tidak bersanak-kadang, tidak berkeluarga tidak punya tempat tinggal. Aku berusaha mencari pedusunan sambil merangkak-rangkak sedapatnya, sampai di tempat ini terserang sakit dan agaknya Dewata sudah akan mencabut nyawaku. Akan tetapi engkau muncul dan menolongku, ini hanya berarti kematianku agak diperpanjang berikut siksaan dan derita"

Wajah Ayu Candra menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana harus menolong orang ini. Kalau sekarang ia pulang dan meninggalkan orang ini di sini, tentu orang Ini akan mati. KaJau tidak mati diterkam harimau atau binatang buas lain, tentu akan mati kelaparan dan kehausan. Membawanya pulang? Bagaimana caranya? Dia sudah buntung kedua kakinya. Pula, kedua orang tuanya tidak berada di rumah.

"Sayang. Ayah dan ibu tidak ada di rumah. Entah kapan pulangnya. Kalau ada ayah, tentu dia akan dapat menolongmu, paman. Ayah tidak akan membiarkan orang Iain menderita tanpa menolongnya."

Ayu Candra tidak melihat betapa sinar mata laki-laki itu berkilat ketika mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di rumah.

"Siapakan nama ayahmu yang mulia,nak? Dan siapakah namamu? Aku harus tahu nama dewi penolongku"

"Ayah bernama Ki Adibroto. Kini bersama ibu sedang pergi, mungkin masih lama kembalinya karena baru sepekan dan menurut pesan ayah, mungkin sampai berbulan. Aku bernama Ayu Candra."

"Ayu Candra, anak yang baik, engkau telah menyambung nyawaku tadi apakah sekarang engkau tega meninggalkan paman mati kelaparan di sini? Tolonglah aku, nak, tolonglah...biarlah aku ikut mondok di tempat tinggalmu, sampai orang tuamu datang, atau sampai aku sembuh kembali aduuhhh...!"

Laki-laki itu roboh dan bergulingan di atas tanah. Ayu Candra kaget sekali, cepat ia berjongkok dan meraba dahi orang. Amat panas! Terang bahwa orang ini terkena penyakit demam. Bagaimana mungkin ia membiarkan saja orang yang sakit ini di dalam hutan tanpa menolongnya?

"Aku suka menolongmu, paman. Dan aku tidak keberatan kau mondok di pondok kami. Akan tetapi bagaimana kau dapat sampai ke sana? Dari tempat ini agak jauh juga, dan jalannya sukar, naik turun dan licin."

Laki-laki ini mengeluh dan kembali bangkit duduk sambil menekan tanah. Cepat-cepat ia menjawab, "Jangan khawatir, nak. Keadaanku ini membuat aku terpaksa dapat berjalan menggunakan kedua tanganku. Bertahun-tahun aku melatih jalan dengan kedua tanganku dan aku berhasil. Asal tidak terlalu cepat, agaknya aku akan dapat bersamamu pergi ke pondokmu."

Ayu Candra mengangguk-angguk. "Baiklah, paman. Dan nanti apabila menemui jalan yang terlalu sukar, aku dapat membantumu."

Laki-laki yang mengaku bernama Ki Jatoko itu kelihatan girang sekali. Dengan menekankan kedua tangan ke Atas tanah, ia bangkit dan "berdiri" di atas kedua kakinya" yang buntung. Kemudian ia menggerakkan kedua kaki dan ia dapat berjalan cukup baik, seperti seorang anak kecil.

"Jika aku merasa lelah dan kedua kakiku yang bunting terasa nyeri, aku dapat membantunya dengan kedua tangan seperti ini." katanya dan kini ia berjalan dengan "empat kaki", sehingga Ayu Candra yang melihatnya merasa terharu sekali.

Melihat keharuan membayang di wajah yang cantik manis itu, Ki Jantoko berkata dengan suara memelas, "Ayu Candra, bocah ayu yang berhati emas, cantik berbudi seperti Dewi Suprobo, sudikah engkau menolong paman yang sengsara ini? Kalau engkau tidak merasa jijik untuk menggandeng tanganku, agaknya aku akan berjalan lebih cepat, tidak usah merangkak seperti binatang berkaki empat "

Suara itu amat mengharukan hati Ayu Candra yang merasa heran kepada dirinya sendiri mengapa ia begini lemah perasaannya sehingga terhadap laki-laki ini, yang sudah setengah tua, buntung lagi buruk mukanya menjijikkan penuh bekas luka, ia merasa amat kasihan dan juga merasa suka! Betapa pun juga, ia memiliki batin yang amat kuat dan masih murni, bersih dari pada niat dan pamrih buruk, sehingga andai kata dia tidak merasa amat kasihan kepada Ki Jatoko tentu ia tidak sudi melaksanakan permintaan si buntung itu.

"Marilah agar kita cepat sampai di pondokku," katanya mengulurkan tangan kiri kepada Ki Jatoko.

Dengan pandang mata penuh haru dan syukur laki-laki itu memegang tangan kiri Ayu Candra dengan tangan kanannya. Di dalam hati laki-laki ini menyebut nama Dewata yang memberi berkah sedemikian besar kepadanya. Jantungnya berdebar-debar ketika kulit tangannya meraba kulit tangan gadis remaja yang halus lunak dan hangat itu. Kehangatan lembut yang seakan-akan menjalar melalui tangannya dan bagaikan embun membasahi hatinya yang mulai melayu sehingga hatinya menjadi segar kembali, semangatnya yang sudah tidur menjadi bangkit kembali. Kedua kakinya yang buntung tidak terasa sakit lagi ketika ia berlari-lari kecil dalam langkahnya untuk mengimbangi langkah Ayu Candra yang tentu saja lebih lebar dari pada langkah kedua kaki buntungnya.

Siapakah gerangan laki-laki buntung itu? Benarkah seperti Apa yang ia ceritakan bahwa ia dianiaya oleh orang-orang jahat sehingga kedua kakinya buntung dan mukanya penuh cacad? Ah, kalau saja Ayu Candra tahu siapa dia sebenarnya! Laki-laki itu sama sekali bukanlah orang lemah seperti tampaknya. Dan kedua kaki yang buntung itu tidak lagi terasa sakit seperti yang diperlihatkannya. Tidak, sama sekali tidak.

Kaki itu sudah buntung selama lima tahun yang lalu! Dan laki-laki itu sama sekali bukan orang lemah, bahkan dengan kedua kakinya yang buntung itu masih memiliki kesaktian yang hebat. Karena dia ini bukan lain adalah Jokowanengpati! Ya, kedengarannya aneh, akan tetapi sebetulnya tidak aneh. Tidak ada yang aneh di dunia ini, bahkan di alam semesta, apabila Tuhan menghendaki. Semua sudah wajar dan semestinya demikian, sesuai dengan kehendak Tuhan karena apabila Tuhan tidak menghendaki, tentu tidak akan terjadi demikian!

Ketika Jokowanengpati dalam pertandingan melawan pengeroyokan Kartikosari dan Roro Luhito, terjun ke dalam Laut Selatan dan mengejek kedua orang wanita musuh besarnya itu, ia disambar ikan hiu. Dalam pandangan Kartikosari dan Roro Luhito, juga Pujo yang diam-diam menyaksikan babak terakhir pertandingan hebat itu, tentu saja Jokowanengpati tewas karena diseret ikan hiu yang buas dan lenyap ke bawah permukaan air laut. Mereka ini tidak melihat Jokowanengpati muncul kembali, maka sudah tentu menganggap bahwa musuh besarnya itu habis riwayatnya dikubur ke dalam perut ikan. Akan tetapi sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangka dan harapkan.

Jokowanengpati adalah seorang yang sakti dan memiliki tubuh yang kebal, juga amat cerdik, licin dan penuh akal. Tadinya ia memang kehilangan akal ketika secara tiba-tiba diserang ikan hiu yang besar dan amat kuat itu. Rasa ngeri dan takut membuat ia menjerit-jerit minta tolong, lupa untuk mempergunakan kecerdikan dan kekuatan sendiri untuk menolong dirinya. Akan tetapi ketika ikan hiu itu membawanya menyelam, menyeretnya sampai jauh di dalam air, dalam keadaan pelik ini, dalam cengkeraman maut yang agaknya takkan dapat dihindarinya lagi, Jokowanengpati menjadi marah sekali.

Marah terhadap ikan itu dan kini seluruh perhatiannya dicurahkan kepada musuh barunya ini, yang mengancam keselamatan nyawanya. Timbul akalnya. Yang digigit ikan itu adalah kedua kakinya. Ketika tadi ia meronta, gigitan ikan itu melorot turun dan kini gigi ikan yang seperti gigi gergaji itu tertanam di kedua paha dekat lutut. Kini kedua tangannya dapat menjangkau ke bawah.

Jokowanengpati tadi telah menghirup napas sepenuh paru-parunya ketika akan dibawa menyelam, ketika ia melepaskan perlawanannya ketika diseret ke bawah permukaan air laut. Kini, sambil mengerahkan seluruh tenaga ke dalam jari-jari tangan kanannya, ia meraih ke depan, sejauh mungkin sehingga ia mampu mencapai mata ikan.

Ia mengerahkan tenaganya dan jari-jari tangannya menusuk mata ikan itu dan mengoreknya keluar, lalu cepat tangannya meraih mata yang sebelah lagi. Ikan itu kesakitan dan berkelojotan, membawa tubuh Jokowanengpati ikut pula terbanting-banting dan berputaran di dalam air. Akan tetapi dia berhasil membikin buta mata yang Scbelah lagi. Karena sakit sekali agaknya, ikan itu mengatupkan mulutnya dengan tenaga yang luar biasa dan Jokowanengpati tiba-tiba merasa tubuhnya terlepas dari pada gigitan ikan hiu.

Rasa girang berbareng dengan timbulnya harapan membuat tenaganya menjadi berlipat ganda. la menggerakkan kedua tangan menekan air dan tubuhnya mumbul ke atas. Hari telah menjelang malam dan Jokowanengpati segera menggerakkan kedua tangannya berenang menuju ke pantai yang kelihatan remang-remang. Ketika ia berenang dan menggerakkan kaki, ia merasa jantungnya seperti tidak berdenyut lagi.

Kedua kakinya! Begitu ringan! la menoleh dan matanya terbelalak lebar. Kedua kakinya tidak ada lagi! Hampir ia pingsan saking kagetnya. Dan sekiranya ia pingsan pada saat itu, tentu akan tamatlah riwayat hidupnya. Akan tetapi Jokowanengpati masih suka hidup dan berenanglah ia tanpa kaki, dengan susah payah menuju pantai. Ketika tiba di tempat dangkal ia tak dapat berenang lagi, tidak dapat berdiri pula. Ia lalu merangkak dan pada saat itulah semua rasa nyeri yang hebat menyelubungi tubuhnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar