Badai Laut Selatan Jilid 32

Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang selama bertahun-tahun digembleng oleh Dibyo Mamangkoro, seakan-akan mereka berdua itu sudah terputus hubungannya dengan dunia ramai, hanya berteman binatang-binatang buas dan hutan lebat. Mari kita ikuti perjalanan Joko Wandiro yang meninggalkan Pulau Sempu dalam keadaan pingsan.

Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular kecil berwarna hijau ketika ia menyembunyikan patung kencana di atas sebatang pohon randu alas. Mula-mula kakinya yang digigit, lalu pergelangan lengan kanannya.

Walau pun dia sendiri dapat membunuh ular itu dengan menggigit lehernya dan mengisap darahnya, namun racun ular sudah membuat Joko Wandiro menggeletak pingsan ketika ia ditemukan oleh Ki Tejoranu yang kebetulan datang pula ke Pulau Sempu karena kakek pertapa dari Danau Sarangan ini diam-diam mengikuti gerak-gerik Jokowanengpati dan teman-temannya.

Melihat betapa bocah yang pernah menolongnya dan yang dianggap sebagai tuan penolongnya itu menggeletak pingsan dan setelah memeriksa ia maklum bahwa Joko Wandiro menjadi korban gigitan ular berbisa, Ki Tejoranu cepat mengangkat tubuh Joko Wandiro dan membawanya pergi dari Pulau Sempu. Ketika menyeberangi laut menuju ke darat, Ki Tejoranu cepat menotok jalan darah di lutut dan siku untuk mencegah racun ular menjalar makin jauh ke tubuh Joko Wandiro. Kemudian, setibanya di darat, ia memondong tubuh anak itu dan segera membawanya ke dalam hutan. Tubuh Joko Wandiro amat panas! Ki Tejoranu segera mencari daun-daun obat.

Untung bahwa bumi Pulau Jawa amatlah lohjinawi, tidak saja subur menumbuhkan bahan makan yang berlimpah-ruah, juga menjadi tempat hidup segala macam daun-daun berkhasiat obat mujarab. Dengan tergesa-gesa Ki Tejoranu mengumpulkan daun Sambiloto daun Jintan, daun Ketumbel, dan daun Ngokilo, memasaknya dan menuangkan jamu ini ke dalam tenggorokan Joko Wandiro yang masih pingsan. Ia merasa heran mendapat kenyataan ketika ia minumkan jamu itu bahwa tubuh Joko Wandiro tidaklah panas lagi dan napasnya tidak terengah-engah seperti tadi. Kakek ini tidak tahu bahwa secara kebetulan Joko Wandiro telah minum obat yang cukup manjur, yaitu darah ular itu sendiri!

Kemudian Ki Tejoranu masuk ke dalam hutan lagi dengan gerakan amat cepat. Tak lama ia mencari-cari dan ketika kembali, ia sudah membawa obat-obat yang ia perlukan, yaitu bawang putih, jeruk pecel, dan madu tawon. Ramuan obat ini ia pakai untuk mengompres luka di kaki dan pergelangan lengan bekas gigitan ular. Penuh ketekunan kakek ini merawat Joko Wandiro sehingga dalam waktu tiga hari saja anak itu telah sembuh sama sekali.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Joko Wandiro siuman. Ia membuka mata dan terheran-heran mendapatkan dirinya berada dalam sebuah gubuk kecil terbuat dari bambu dan daun kelapa, rebah di atas tanah bertilam anyaman daun kelapa. Joko Wandiro terheran-heran, apalagi ketika ia bangkit dan berdiri, ia merasa betapa perutnya hangat dan di dalam dadanya terasa getaran-getaran tarik-menarik yang aneh. Sebagai murid dari orang-orang sakti, ia maklum betapa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mukjijat yang dihimpun dari hawa sakti.

Setiap orang manusia memiliki hawa sakti ini, hanya tidak setiap orang tahu bagaimana untuk menghimpun dan mempergunakannya. Justeru kepandaian menghimpun hawa sakti inilah yang amat sukar dipelajari, membutuhkan ketekunan dan latihan serta gemblengan guru-guru yang sakti, membutuhkan cara bersamadhi dan latihan pernapasan yang matang.

Biarpun Joko Wandiro sudah maklum akan cara-caranya, namun ia belum matang berlatih dan karenanya ia merasa amat heran mengapa kini hawa sakti di dalam tubuhnya menimbulkan getaran-getaran sedemikian hebatnya! Kemudian ia teringat betapa ia tergigit ular dan betapa dengan ketakutan ia berlari-lari sambil memanggil kakek gurunya. Teringat akan ini, ia terkejut dan cepat memandang pergelangan tangan kanannya. Sudah sembuh sama sekali! Juga kakinya yang tergigit ular tidak ada bekasnya lagi. Ia merasa heran dan bingung. Sambil melompat keluar dari dalam gubuk kecil itu ia berseru memanggil.

"Eyang guru...!"

"Eh, kau sudah bangun? Sudah sembuh...?"

Seruan girang ini membuat Joko Wandiro cepat membalikkan tubuh. Ki Tejoranu telah berdiri di depannya. Wajah kakek ini berseri, matanya memancarkan kegembiraan.

"Bukankah paman ini Ki Tejoranu? Di mana kita dan bagaimana aku bisa sampai di sini?"

Dengan singkat Ki Tejoranu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa ia melihat rombongan Jokowanengpati mendarat di Sempu, kemudian bagaimana ia menemukan Joko Wandiro dalam keadaan pingsan digigit ular hijau.

"Untung sekali tubuhmu amat kuat dan darahmu bersih sehingga racun ular tidak merenggut nyawamu"

Sebagai penutup cerita Ki Tejoranu berkata. Biarpun dalam bercerita itu ia bicara dengan suara pelo, namun cukup jelas bagi Joko Wandiro yang menjadi terharu dan berterima kasih sekali. Bocah yang tahu akan sopan santun dan kenal akan budi ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ki Tejoranu, menyembah sambil menghaturkan banyak berterima kasih. Tergesa-gesa Ki Tejoranu membangunkan Joko Wandiro.

"Wah, tidak usah begitu, anakku yang baik. Perbuatanku mengobatimu itu sama sekali tidak ada altinya dengan pelbuatanmu membelaku di hadapan lawan-lawan tangguh. Kau menolongku dengan taluhan keselamatan dilimu sendili, sebaliknya aku menolongmu tanpa taluhan apa-apa. Tak usah kau belterima kasih, kalena hutangku kepadamu belum juga lunas."

"Paman, bagaimana jadinya dengan eyang guru?"

"Eyang gulu? Siapa yang kau maksudkan?"

"Eyang guru adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo. Beliau berada di atas Pulau Sempu ketika aku digigit ular dan... dan... Endang Patibroto juga berada di sana."

"Endang Patibroto?"

"Ya, anak kecil, cucu eyang guru. Apakah mereka masih berada di sana?"

Ki Tejoranu termenung Ia terkejut juga mendengar bahwa yang berada di Pulau Sempu adalah Resi Bhargowo. Kini mengertilah ia bahwa Jokowanengpati dan rombongannya itu tentu hendak membunuh Resi Bhargowo dan kabarnya hendak merampas pula pusaka Mataram! Tak disangkanya bahwa bocah ini, penolongnya yang amat disayangnya, adalah cucu murid Resi Bhargowo! Kemudian ia teringat akan tokoh luar biasa yang melayang di permukaan laut, bersama seorang anak perempuan.

"Apakah anak perempuan itu sebaya denganmu, bajunya hijau, rambutnya panjang dikucir, mukanya tajam seperti bintang?"

"Ya, ya... dialah Endang Patibroto."

"Hemmm, dan Resi Bhargowo itu, apakah seorang kakek tinggi besar seperti raksasa, kumisnya sekepal sebelah, tanpa baju, kepandaiannya seperti dewa, pandai terbang dan berlari di permukaan laut?"

Joko Wandiro menggeleng kepala. "Eyang guru Resi Bhargowo adalah seorang kakek yang halus dan sama sekali bukan seperti raksasa. Beliau memang sakti mandraguna, akan tetapi... terbang dan berlari di permukaan laut... kurasa... entah bisa atau tidak..."

"Anak yang baik, kau bilang masih cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guruku adalah ayahku sendiri, paman."

"Dan ayahmu, siapa dia?"

"Ayah bernama Pujo."

"Hayaaaaa...!" Ki Tejoranu meloncat kaget. "Ayahmu... Pujo?"

"Betul, kenapa, paman?"

"Ah, betapa kebetulan sekali! Bukankah ayahmu itu orang gagah yang pernah membantu Ki Patih Narotama ketika dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dari teman-temannya dalam hutan di muara Sungai Lorog?"

"Betul. Ayahkulah yang dahulu di sana melawan paman sendiri. Aku juga melihat betapa paman tidak mau berkelahi dengan keroyokan kemudian ketika ayah datang, paman menghadapi ayah."

"Oohh-oh-ahh...! Kau melihat pula hal itu? Ayahmu hebat, seorang manusia sakti mandraguna. Pukulan-pukulannya ampuh melebihi golokku! Kalau ayahmu murid Resi Bhargowo sudah sedemikian hebat kepandaiannya, tentulah ilmu kepandaian eyangmu itu amat tinggi. Dengan demikian, belum tentu beliau akan celaka di tangan Jokowanengpati dan teman- temannya. Akan tetapi kakek raksasa itu... ihh, ngeri dan serem hatiku kalau mengingatnya. Entah siapa dia, akan tetapi aku melihat dia masuk pulau bersama anak kecil temanmu itu, Endang Patibroto."

Joko Wandiro terheran. "Aku sendiri belum pernah melihat kakek yang paman maksudkan tadi."

"Anak baik, siapakah namamu?"

"Aku Joko Wandiro, paman."

Tiba-tiba Ki Tejoranu terpekik dan sekali tubuhnya berkelebat ia lenyap dari depan Joko Wandiro. Anak ini kaget sekali, cepat menengok dan kiranya kakek itu sudah berada jauh di belakangnya sehingga diam-diam ia amat kagum akan kecepatan gerak kakek ini.

"Ada apakah, paman?"

Ki Tejoranu menudingkan telunjuknya ke arah Joko Wandiro, suaranya gemetar ketika ia bertanya,

"Kau... kau...benarkah namamu Joko Wandiro...?"

"Benar sekali, paman. Apakah anehnya dengan namaku?"

"Aneh sekali benar aneh sekali... "

Ki Tejoranu melangkah maju menghampiri Joko Wandiro, lalu duduk di atas akar pohon di depan anak itu, memegang kedua pundak Joko Wandiro sambil menatap wajah tampan itu dengan pandang mata penuh selidik.

"Mereka bilang cucu adipati di Selopenangkep, putera Raden Wisangjiwo, diculik Pujo dan anak itu bernama Joko Wandiro... "

"Bohong itu...!"

Joko Wandiro berteriak merenggutkan diri terlepas dari pegangan Ki Tejoranu sambil melangkah mundur, matanya terbelalak dan wajahnya yang tampan kelihatan marah.

"Paman, mengapa paman seperti kakek tua jahat Cekel Aksomolo? Percaya akan segala kebohongan? Aku memang bernama Joko Wandiro, akan tetapi tidak diculik ayahku. Bagaimana seorang ayah menculik anaknya Sendiri? Kalau mau bicara tentang penculikan, agaknya Cekel Aksomolo yang dahulu hendak menculikku, ia memaksaku pergi ke Selopenangkep. Syukur paman dahulu datang menolong. Pujo yang paman sebut-sebut itu adalah ayahku, juga guruku. Sedangkan Wisangjiwo yang paman maksudkan itu, putera Kadipaten Selopenangkep, adalah musuh besarku, musuh besar ayahku yang akan kubunuh kalau aku berjumpa dengannya!"

Ki Tejoranu makin bingung.

"Kenapa? Apa sebabnya ayahmu memusuhinya?"

"Si keparat Wisangjiwo telah membunuh ibuku!" kata Joko Wandiro sambil menekan perasaannya. Tak mungkin ia sudi menceritakan pada orang lain bahwa ibunya tidak hanya dibunuh, akan tetapi juga diperhina oleh Wisangjiwo!

"Aahhh...!"

Ki Tejoranu mengerutkan kening dan makin terheran-heran. Kemudian ia berkata, "Sungguh membingungkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan ini. Akan tetapi, Joko anak baik. Yang sudah jelas bagiku adalah bahwa Pujo seorang laki-laki jantan dan sakti, sebaliknya Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki watak pengecut dan curang. Mereka itu amat kuat dan memiliki banyak kaki tangan, maka amat berbahayalah kalau sampai mereka dapat melihatmu. Oleh karena itu, kau sementara tinggal dulu bersamaku dan agar tidak kesal hatimu, berlatihlah ilmu silat dan juga ilmu golok yang kelak tentu amat berguna bagimu, sementara aku akan pergi menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu dan menyelidiki di mana adanya ayahmu. Akan kujumpai ayahmu di Muara Lorog dan memberi tahu kepadanya tentang keadaanmu. Kalau kau ikut bersamaku, aku khawatir akan bertemu dengan mereka di tengah jalan dan kalau terjadi hal itu, terus terang saja aku tidak akan kuat melindungimu."

Joko Wandiro adalah seorang anak yang cerdik. Ia tahu bahwa dirinya diselubungi rahasia yang aneh dan tahu pula bahwa Cekel Aksomolo dan teman-temannya adalah orang-orang sakti yang takkan terlawan oleh Ki Tejoranu sendiri. Maka ia mengangguk dan membenarkan kakek itu. Apalagi ia memang kagum menyaksikan gerak-gerik kakek ini yang pernah ia lihat ketika bertanding. Ilmu golok kakek ini amat hebat maka Joko Wandiro menjadi girang untuk mempelajarinya.

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima gemblengan Ki Tejoranu dalam ilmu silat yang gerakannya amat cepat. Mula-mula ia diberi pelajaran ilmu silat tangan kosong. Karena sejak kecil anak ini sudah mendapat gemblengan keras dari Pujo, kemudian malah mendapat bimbingan Resi Bhargowo sendiri, boleh dibilang Joko Wandiro telah memiliki dasar gerakan silat tinggi, maka dengan girang dan kagum Ki Tejoranu mendapat kenyataan betapa mudahnya anak ini mewarisi ilmunya. Segera ia menurunkan ilmu goloknya.

Pada pagi hari yang cerah itu, sebulan setelah Joko Wandiro mati-matian dan siang malam melatih ilmu silat, mereka duduk di bawah pohon cempaka, berada di atas rumpun dan berhadapan.

"joko Wandiro, anakku yang baik. Ilmu pukulan yang kau pelajari dalam sebulan ini adalah dasar ilmu golok, yang mulai hari ini akan kuajarkan kepadamu. Joko, bergiranglah engkau bahwa ilmu golok ini akan kau miliki, karena di negaraku sana, ilmu golokku ini sudah terkenal. Bahkan karena ilmu golokku inilah aku di sana dijuluki orang Si Golok Sakti. Julukan yang membuat aku sombong dan menyeleweng dari pada kebenaran, lupa bahwa segala ilmu adalah anugerah Tuhan yang harus dipergunakan untuk kebaikan sesuai dengan sifat Tuhan, dan bahwa di dunia ini tidak ada yang paling pandai kecuali Tuhan pula. Karena kesombongan dan penyelewenganku, maka aku terjatuh dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negaraku, merantau sampai di sini. Tidak hanya di negaraku, juga di sini berlaku hukum bahwa siapa yang mengandalkan ilmu, kedudukan, atau harta untuk bertindak sewenang-wenang melakukan kejahatan, dia akan runtuh! Juga di sini aku melihat kenyataan bahwa yang paling sakti adalah orang yang benar, karena yang benar dilindungi Tuhan Yang Maha Sakti."

Filsafat seperti ini sudah seringkali didengar Joko Wandiro, maka ia mengangguk-angguk membenarkan Ayahnya, juga eyang gurunya, sudah seringkali memberinya nasehat-nasehat dan petuah kebajikan hidup. Mulailah Ki Tejoranu menurunkan ilmu goloknya yang luar biasa itu kepada Joko Wandiro. Hebat memang ilmu golok ini. Ketika Ki Tejoranu memberi petunjuk sambil mainkan sepasang goloknya, tampak gulungan dua sinar putih menyilaukan mata disertai suara mbrengengeng (mengaung seperti lebah). Joko Wandiro memandang penuh perhatian dan kekaguman. Ki Tejoranu berhenti dan mulai memberi petunjuk secara mendetail dan perlahan.

"Anakku, di negaraku, aku dijuluki Si Golok Sakti karena ilmu golok ini. Ilmu golok ini dicipta oleh guruku berdasarkan gerakan ribuan ekor lebah putih yang mengeroyok seekor ular besar. Karena itu diberi nama Ilmu Golok Lebah Putih. Dasar keampuhannya terletak pada gerak-gerak menggunting seperti banyak lebah menyerang dari jurusan-jurusan berlawanan sehingga membingungkan lawan. Semua terdiri dari tiga puluh enam jurus yang dasar gerakannya telah kau pelajari dengan tangan kosong selama ini. Nah, sekarang perhatikan jurus pertama. Lihat baik-baik dan tirukan."

Demikianlah, mulai hari itu, Joko Wandiro menerima ilmu golok yang dipelajarinya penuh perhatian dan ketekunan. Ki Tejoranu terheran-heran dan amat kagum melihat anak ini. Benar-benar memiliki dasar dan bakat yang luar biasa. Dalam waktu sehari saja, Joko Wandiro dapat menguasai empat jurus dengan dasar gerakan yang cukup baik sehingga dalam waktu sembilan hari, ia telah menguasai Ilmu Golok Lebah Sakti. Pada hari ke sepuluh, Ki Tejoranu ketika bangun pagi sekali, telah mendengar suara anak itu berlatih seorang diri. Ia menghampiri, memandang penuh perhatian sambil mengelus-elus jenggotnya. Senang hatinya. Biarpun gerakannya belum trampil dan cepat benar, namun dasarnya sudah benar, tinggal mematangkannya dalam latihan saja. Benar luar biasa anak ini, pikirnya senang.

Tidak hanya gerakan kaki tangan yang sudah tepat, bahkan cara mengatur napas dalam gerakan silat ini, hal yang paling sulit diingat dan dipraktekkan dalam bersilat, sudah dikuasai Joko Wandiro! Setelah anak itu menghabiskan tiga puluh enam jurus dan hendak mengulang lagi dari pertama, Ki Tejoranu berkata,

"Berhentilah dahulu, Joko. Kulihat kau telah menguasai Lebah Putih, dan dasar-dasar gerakanmu sudah benar, hanya tinggal mematangkan saja. Kalau kau setiap hari berlatih, ilmu ini tentu akan mendarah daging kepadamu dan akan amat berguna kelak. Hari ini aku akan berangkat menyelidiki keadaan kakek gurumu di Pulau Sempu, dan juga akan kucari ayahmu. Engkau tinggallah saja dalam hutan ini sambil berlatih ilmu golok. Jangan keluar dari dalam hutan ini sebelum aku pulang. Di hutan ini cukup banyak buah-buahan dan binatang, juga ada sumber airnya. Dalam waktu satu bulan aku akan kembali, anakku. Sepasang golok tipis ini, pusakaku selama puluhan tahun, kuberikan kepadamu, pakailah untuk berlatih."

Joko Wandiro menerima pusaka itu sambil mengucapkan terima kasih kepada kakek yang amat baik terhadap dirinya itu. Ia maklum akan bahayanya kalau sampai bertemu dengan musuh-musuh ayahnya, maka ia berjanji akan mentaati pesan Ki Tejoranu. Orang tua itu lalu berangkat meninggalkan Joko Wandiro, setelah meninggalkan pesan-pesan agar anak itu berhati-hati.

Mentaati pesan Ki Tejoranu, semenjak kakek itu pergi, Joko Wandiro selalu berlatih ilmu golok dengan amat tekun dan rajin. Boleh dibilang setiap saat ia berlatih ilmu golok, dan hanya berhenti untuk mengaso, makan atau tidur. Kadang-kadang ia seling dengan latihan ilmu yang ia pelajari dari ayahnya dan yang disempurnakan oleh eyang gurunya, yaitu ilmu pukulan Pethit Nogo dengan gerakan Bayu Tantra.

Berbeda dengan Ilmu Golok Lebah Putih ajaran Ki Tejoranu yang mengandalkan kegesitan tubuh dan kerja sama yang baik antara perasaan dan urat syaraf didasari peraturan gerakan dan langkah, adalah ilmu-ilmu yang ia pelajari dari ayah dan eyang gurunya lebih didasari aji kesaktian yang diperkuat oleh keteguhan batin berkat latihan samadhi dan bertapa.

Joko Wandiro memang memiliki bakat luar biasa untuk menjadi seorang ksatria utama. Tidak saja semua ilmu olah keprajuritan dapat ia kuasai dengan amat mudah, juga dalam hal tapa brata, ia amat tekun dan kuat. Semenjak masih kecil ia sudah dilatih dan digembleng ayahnya sehingga dahulu dalam usia delapan tahun saja ia sudah seringkali ikut ayahnya bertapa di dalam gua-gua di tepi pantai Laut Selatan. Bertapa dan bersamadhi sampai tiga hari tiga malam, tanpa makan tanpa minum! Bagi seorang dewasa, tentu saja hal ini tidak mengherankan. Akan tetapi bagi seorang anak berusia delapan tahun, benar-benar merupakan hal yang mentakjubkan.

Kini ia sudah berusia dua belas tahun lebih. Bertapa tanpa makan minum selama satu minggu saja merupakan hal biasa bagi Joko Wandiro! Tidaklah mengherankan apabila dalam usia semuda itu, ia telah memiliki beberapa macam ilmu kesaktian yang mengagumkan. Dan sifat tahan tapa inilah agaknya yang membuat ia secara mudah sekali dapat menguasai Ilmu Golok Lebah Putih dalam waktu beberapa bulan saja. Padahal, Ilmu Golok Lebah Putih termasuk ilmu silat tinggi yang hanya mampu dikuasai seorang ahli silat yang sudah matang dasar-dasarnya, inipun untuk menguasainya secara sempurna membutuhkan waktu bertahun-tahun!

Sebulan lewat cepat. Ki Tejoranu belum juga pulang. Joko Wandiro yang mengharapkan kedatangan Ki Tejoranu dalam satu dua hari ini, berlatih giat sekali. Ingin ia menyenangkan hati kakek yang baik hati itu betapa selama ini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam Ilmu Golok Lebah Putih. Juga hatinya girang karena pulangnya Ki Tejoranu akan membawa berita tentang eyang gurunya dan ayahnya.

Pagi hari itu Joko Wandiro berlatih dengan tekun, mengerahkan seluruh tenaganya dan mencurah kan seluruh perhatian dalam gerakan-gerakannya. Sepasang golok tipis ringan di tangannya itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Anak ini belum mampu bergerak terlalu cepat sehingga tubuhnya lenyap terselimut gulungan sinar putih, akan tetapi berlatih kurang dari setengah tahun sudah dapat menggerakkan sepasang golok sehingga lenyap bentuknya, benar-benar sudah amat mengagumkan.

Tiba-tiba terdengar seruan suara aneh dan sesosok bayangan putih berkelebat dekat sekali dengan Joko Wandiro yang tengah bersilat. Mendadak sekali, tanpa dapat dicegah lagi sepasang golok terbang lenyap dari kedua tangan Joko Wandiro yang sama sekali tidak menyangka-nyangka. Anak ini cepat menengok dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun tidak tampak siapa pun juga di situ. Sepasang goloknya lenyap dan tadi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan orang disusul perampasan goloknya secara tiba-tiba. Kalau saja ia tahu bahwa bayangan itu merampas goloknya tentu ia akan melakukan perlawanan.

Dengan marah dan penasaran sekali, Joko Wandiro meloncat dan mengejar, mencari ke sana-sini di sekitar hutan, namun hasilnya sia-sia belaka. Kemudian ia duduk di bawah pohon sambil menunjang dagu, terheran, penasaran, dan juga agak gelisah. Ia mengingat-ingat. Bayangan itu tinggi kurus seperti bayangan seorang kakek tua, akan tetapi gerakannya begitu cepat dan ia sendiri tadi tengah bersilat dan tidak memperhatikan lain hal sehingga tidak dapat melihat jelas. Yang terang sepasang goloknya dirampas seorang kakek yang tentu saja memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Ia termenung penuh penyesalan dan kekecewaan. Ia harus berlatih makin giat. Ia harus dapat mematangkan ilmunya karena sudah berkali-kali ia alami betapa banyaknya orang-orang sakti di dunia ini yang harus ia hadapi. Orang-orang sakti yang menyalahgunakan kesaktiannya. Seperti Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Seperti kakek tak terkenal yang kini mencuri sepasang goloknya mengandalkan kesaktiannya. Kalau ia tidak kalah pandai, tak mungkin orang akan dapat merampas sepasang goloknya dengan semaunya dan seenaknya saja!.

Hatinya makin penasaran dan juga bingung Karena ia merasa malu bagaimana harus memberi keterangan kepada Ki Tejoranu tentang hilangnya sepasang golok pemberian kakek itu. Tiga hari kemudian, menjelang senja hari, datanglah Ki Tejoranu. Kakek ini kelihatan lelah sekali, dan tekukan wajahnya membayangkan berita yang tidak menggembirakan. Joko Wandiro menahan diri, dan tidak akan menceritakan pengalamannya sebelum kakek itu mengaso. Ia tidak mau menambah berita yang tidak menyenangkan pada kakek Ini. Cepat-cepat anak yang tahu akan kewajiban ini menyediakan dawegang (kelapa muda) untuk Ki Tejorartu minum, dan buah-buahan untuk makan. Setelah menghilangkan haus dan lelah, Ki Tejoranu berkata kepada anak yang duduk bersila di depannya,

"Aku agak terlambat, Joko. Akan tetapi perjalanan yang jauh itu sungguh melelahkan karena hasilnya kosong belaka. Baik eyang gurumu maupun ayahmu tak dapat kuketemukan. Tempat mereka kosong belaka, tidak ada seorangpun di Muara Lorog maupun di Pulau Sempu."

Tentu saja Joko Wandiro merasa amat kecewa. "Ke manakah mereka pergi, paman?".

"Tak seorangpun tahu ke mana perginya ayahmu, Pujo. Tidak ada orang mengenalnya. Juga di Pulau Sempu kosong, eyang gurumu tidak berada di sana lagi. Akan tetapi, aku banyak mendengar tentang perang saudara yang mulai mengamuk di kota raja dan kurasa ayahmu sebagai seorang satria tentu pergi ke sana. Adapun tentang eyang gurumu Bhagawan Rukmoseto, aku mendengar berita bahwa beliau itu pergi menuju ke pertapaan Resi Gentayu...?"

"Resi Gentayu...?"

"Ya, Resi Gentayu atau Resi Jatmendra, atau juga Sang Prabu Airlangga yang mengundurkan diri dan bertapa di pertapaan Jalatunda."

Setelah berhenti sebentar Ki Tejoranu berkata pula, "Besok atau lusa akan kuhantar engkau ke Jalatunda menyusul kakek gurumu itu, Joko. Akan tetapi aku ingin melihat engkau berhasil lebih dahulu dalam latihan ilmu go lok Bagaimana, sudah ada kemajuankah?"

Ditanya begitu Joko Wandiro teringat akan sepasang goloknya yang dirampas orang, maka ia berlutut sambil mengeluh, "Aduh, celaka paman. Tiga hari yang lalu, selagi aku berlatih, sepasang golok itu dirampas orang..."

Ki Tejarani meloncat tinggi dan berdiri dengan muka merah, mata terpentang lebar, "Siapa...? Siapa berani merampas? Bagaimana pula ia dapat merampas golok? Di mana dia merampasnya?"

Sebelum Joko Wandiro sempat- menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek bermata sipit berkulit kuning yang tinggi kurus. Sepasang golok Lebah Putih berada di kedua tangannya! Joko Wandiro memandang dengan penuh keheranan. Kakek ini rambutnya sudah putih semua, usianya tentu amat tinggi. Pakaiannya seperti pertapa, berwarna putih. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sehelai pita sutera putih pula. Mata yang sipit itu kini memandang tajam ke arah Ki Tejoranu, kemudian mulutnya mengeluarkan kata-kata asing yang sama sekali tidak dimengerti Joko Wandiro.

Ki Tejoranu sejenak melongo memandang kakek itu, kemudian tiba-tiba Ki Tejoranu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek rambut putih itu dan mereka berdua lalu bercakap-cakap dalam bahasa asing. Joko Wandiro tidak mengerti apa yang mereka percakapkan. Akan tetapi melihat sikap kakek tua yang baru saja datang, agaknya kakek ini marah-marah kepada Ki Tejoranu, menunjuk-nunjuk ke arah dia dengan golok kiri sambil mengamang-amangkan golok kanan ke arah Ki Tejoranu.

Sebaliknya, Ki Tejoranu hanya menjawab dengan ucapan pendek-pendek, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang minta ampun. Kemudian kakek itu membentak keras dan melangkah ke arah Joko Wandiro, sikapnya mengancam. Akan tetapi Ki Tejoranu meloncat menghadang lalu berlutut lagi dan bicara sambil menggerak-gerakkan kedua tangan. Kakek tua itu termenung, agaknya meragu, tangan kiri yang memegang golok kini mengelus-elus jenggot panjang, kemudian mengangguk-angguk. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat ke depan. Bukan main cepatnya gerakan ini sehingga Joko Wandiro tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu sepasang golok itu sudah meluncur dan menancap di atas tanah di depan Ki Tejoranu, dan kakek itu seperti berkelebat lenyap dari tempat itu!. Lega rasa hati Joko Wandiro. Ia segera melompat menghampiri Ki Tejoranu.

"Ah, dia mengembalikan goloknya! Paman, siapakah kakek aneh itu dan apa kehendaknya?"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya mengeluh. Joko Wandiro melihat betapa wajah Ki Tejoranu pucat sekali dan alangkah kagetnya ia ketika ia memandang ke bawah, ia melihat dua buah jari tangan menggeletak di dekat sepasang golok. Dua buah ibu jari! Dan ketika ia memandang lagi, kiranya kedua tangan Ki Tejoranu telah kehilangan ibu jarinya!

"Paman...! Mengapa tanganmu...?

Ki Tejoranu menggeleng kepala, tersenyum pahit. "Kau carilah dulu getah pohon Gondang atau pohon Gebang untuk obat..."

Joko Wandiro cepat lari dari situ, mencari obat yang dikehendaki kakek itu. Ia tahu bahwa getah kedua pohon ini amat baik untuk mengobati luka. Setelah dapat, ia cepat kembali ke situ, membantu kakek itu mengobati kedua tangan itu dan membalutnya erat-erat dengan robekan kain bersih. Sejenak Ki Tejoranu meramkan kedua mata, mengatur napas. Kemudian ia membuka matanya dan berkata,

"Dia itu paman guruku, Joko..."

"Ahh...! Seorang paman guru mengapa begitu kejam? Mengapa kedua ibu jari tanganmu dipotong? Dan mengapa pula engkau membiarkannya saja, paman?"

"Kau tidak tahu, anakku. Dengarlah baik-baik ceritaku agar menjadi contoh bagimu betapa tidak baiknya orang mengagulkan kepandaian sendiri dan menjadi sombong lalu tersesat seperti aku ini..."

Kakek itu bersila di bawah pohon dan mulailah ia bercerita. Ki Tejoranu dahulu di Negeri Cina terkenal sebagai seorang pendekar ahli Ilmu Golok Lebah Putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena bakatnya yang baik, biarpun ia seorang murid termuda, namun ia paling pandai mainkan ilmu golok itu sehingga ia mengatasi saudara-saudara seperguruannya. Setelah keluar dari perguruan dan banyak sekali mengalahkan lawan, mulailah kesombongan mencengkeramnya dan ia menjadi seorang muda yang congkak dan sewenang-wenang, mengandalkan sepasang golok yang tak terkalahkan!

Akhirnya sepak terjangnya yang menodai nama baik perguruan ini terdengar oleh guru dan paman-paman gurunya. Ia dicari untuk dimintai pertanggungan jawabnya. Karena maklum betapa keras peraturan perguruannya, Ki Tejoranu lalu melarikan diri. Namun ia dikejar-kejar terus dan akhirnya ia ikut dengan perahu jong yang berlayar ke selatan sehingga akhirnya tibalah ia di Pulau Jawa dan menetap di sini. Tertarik oleh orang-orang sakti yang banyak terdapat di sini, akhirnya ia menjadi seorang pertapa dan bertahun-tahun Ki Tejoranu bertapa di tepi Danau Sarangan sehingga ia bertemu dengan Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, menjadi sahabat dan terbawa-bawa pula dalam rombongan sekutu Adipati Joyowiseso.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar