Badai Laut Selatan Jilid 30

Jelas bahwa orang tua itu banyak menanggung penderitaan, bajunya compang-camping, membayangkan kulit tubuh yamg luka-luka, wajahnya pucat sekali dan ia tampak lemas kehabisan tenaga.

"Ayahh...!"

Roro Luhito terisak, akan tetapi tak berani mendekati. Adipati Joyowiseso menggerakkan kepalanya dengan lemah, menoleh dan memandang puterinya. Kedua matanya menjadi basah dan dua butir air mata membasahi pipinya yang cekung.

"Jahanam Jokowanengpati!" Puteri adipati itu kini mendamprat dengan mata mendelik, berapi-api sinarnya ditujukan ke arah Jokowanengpati, musuh besarnya yang tidak saja telah menodai dirinya, akan tetapi yang kini malah mendatangkan malapetaka kepada keluarga ayahnya.

"Lepaskan ayahku!"

"Jokowanengpati iblis keparat, binatang terkutuk...!" Kartikosari juga memaki saking bencinya.

"Dosamu bertumpuk-tumpuk, Jokowanengpati. Kini tiba saatnya engkau membayar, tiba saatnya engkau menerima hukumanmu!" Pujo berkata, kerisnya digenggam erat-erat.

Menghadapi ancaman tiga orang lawan tangguh ini, Jokowanengpati tertawa.

"Ha-ha-ha-ha! Kalian sudah masuk perangkap, masih banyak berlagak? Lihat, kalian sudah terkurung!"

Ketiga orang itu melirik ke belakang dan benar saja. Kalau tadinya tak tampak seorangpun penjaga, kini pintu kamar itu penuh dengan pasukan yang berjejal di luar. Jalan keluar sudah tertutup! Namun mereka tidak takut sama sekali. Satu-satunya hasrat hati yang ada hanyalah menerjang dan merobohkan Jokowanengpati, melampiaskan dendam kesumat. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bergerak maju karena lawan yang licik itu telah menodong Adipati Joyowiseso.

"Lepaskan ayahku! Pengecut, tak tahu malu!" Kembali Roro Luhito membentak.

"Kalian bertiga yang harus melepaskan senjata. Hayo buang senjata! Lihat! Haruskah aku menyiksa lebih dulu kakek ini?"

Jokowanengpati menekan ujung keris di dada Joyowiseso, tepat di ulu hatinya. Jelas tampak betapa ujung keris yang runcing itu merobek kulit dan beberapa titik darah menetes keluar.

"Uuhhhggghh!" Joyowiseso mengeluh, menahan rasa perih.

"Tidak lekas membuang senjata?" Jokowanengpati inengancam.

"Uuuuuhhhggh...!" Kembali Joyowiseso mengeluh.

Anak mana yang tidak akan hancur luluh hatinya menyaksikan ayahnya diancam maut? Roro Luhito tak dapat lagi menahan hatinya. Dilemparkannya keris di tangan itu ke lantai, lalu ia lari menubruk ayahnya.

"Ayahhhh...!”

"Luhito... uhphh, Luhito anakku..."

Ayah dan anak itu bertangis-tangisan. Pujo dan Kartikosari tidak dapat menyalahkan Roro Luhito. Dengan kemarahan meluap mereka hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba dari belakang mereka menyambar angin yang aneh. Mereka cepat membalikkan tubuh dan... selembar jala telah melayang dan mengembang, langsung menubruk mereka. Suami isteri ini tak mungkin dapat mengelak lagi karena jala itu amat lebar. Namun mereka tidak gentar karena apakah hebatnya selembar jala? Tentu mudah diputuskan!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika jala itu menyelimuti tubuh dan mereka berusaha meronta dan membabat dengan keris, jala itu tidak dapat dibabat putus! Kiranya itu bukanlah jala ikan biasa, melainkan jala yang terbuat dari pada bahan yang tidak dapat diputus senjata tajam Mereka hanya dapat meronta-ronta dan bergerak-gerak seperti dua ekor ikan terkena jaring!

"Ha-ha-ha, Pujo manusia goblok! Sekarang kau hendak lari ke mana? Ha-ha-ha! Hayo rampok (keroyok) keparat ini sampai hancur tubuhnya, akan tetapi awas, jangan bunuh yang betina. Ha- ha-ha!"

Para penjaga itu berlomba maju untuk mengeroyok Pujo yang sudah berselimut jala. Pedang, golok dan tombak menghujam ke arah tubuh Pujo. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar jeritan yang merupakan lengking tinggi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang terdepan, terpelanting seperti disambar petir.

"Hayo siapa berani maju mengantar nyawa! Majulah, keparat kalian semua! Siapa berani menyentuh kakangmas Pujo, hendak kulihat orangnya!"

Roro Luhito berdiri dengan sikap seperti Srikandi, kedua tangannya terkepal kedua kakinya terpentang, tubuhnya agak merendah, matanya mengeluarkan sinar berapi-api, berdiri membelakangi Pujo dan Kartikosari, bagaikan seekor singa betina melindungi anak-anaknya!

Melihat dua orang penjaga tadi roboh terpelanting dan tak dapat bangun lagi karena tulang dada dan tengkorak kepalanya remuk oleh terjangan gadis ini, para penjaga yang lain menjadi kesima dan jerih. Jokowanengpati juga terperanjat sekali. Sepak terjang Roro Luhito tadi benar-benar hebat luar biasa. Tidak disangka-sangkanya kalau gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebatnya , Ia pun terheran-heran mengapa gadis ini menolong Pujo dan Kartikosari dari dalam kamar tahanan di bawah tanah, dan sekarang begitu nekat membela Pujo. Bukankah gadis itu seharusnya membenci dan sakit hati kepada Pujo?

"Diajeng Luhito... dia... Pujo itu musuh kita, dialah jahanam yang dahulu memperkosa..."

"Tutup mulutmu yang busuk!" Roro Luhito membentak, kemarahannya meluap-luap. "Jahanam terkutuk, siapa tidak ketahui perbuatanmu yang keji dan hina?"

Makin kagetlah Jokowanengpati. Celaka, pikirnya. Semua rahasianya agaknya telah terbuka. Tidak saja Pujo dan Kartikosari yang tahu bahwa dialah yang dahulu menggagahi Kartikosari mempergunakan nama Wisangjiwo, bahkan kini agaknya Roro Luhito juga sudah tahu bahwa dialah yang dahulu memperkosa puteri adipati itu mempergunakan nama Pujo! Akan tetapi dasar seorang cerdik, ia segera dapat menekan kegelisahannya dan sekali lagi ujung kerisnya ditekankan di dada Joyowiseso membuat adipati ini yang sudah lemah itu mengeluh kesakitan.

"Diajeng Luhito, lekas tinggalkan mereka, kalau tidak, ayahmu tentu akan kubunuh lebih dulu!"

Roro Luhito bimbang hatinya. Tidak ingin ia melihat Pujo Laki-laki yang dipujanya di dalam hati itu, mati dikeroyok. Akan tetapi bagaimana pula ia dapat melihat ayahnya dibunuh begitu saja? Cinta kasih dan bakti, sama berat! Selagi ia bimbang, ia mendengar suara bisikan Pujo di belakangnya, bisikan yang menggetar penuh perasaan haru.

"Diajeng, minggirlah. Belum tentu mereka dapat membunuh kami "

Ketika melirik dan melihat betapa suami isteri itu masih berdiri dengan keris di tangan, ia dapat mengerti bahwa biarpun sudah berselimut jala, agaknya tidak akan mudah membunuh mereka. Terpaksa ia lari menubruk ayahnya yang kelihatan amat pucat itu.

"Roro... anakku... Pujo tidak berdosa...?”

Dengan air mata membasahi pipi, Roro Luhito menggeleng kepala. Ia tidak ada waktu untuk melayani percakapan ayahnya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang membanjir keluar dari bibir yang pucat itu, karena pada saat itu seluruh perhatiannya ia curahkan ke depan, ke arah Pujo dan Kartikosari yang berada di dalam jala. Kembali para penjaga menyerbu dengan senjata-senjata mereka. Akan tetapi, tepat seperti yang diduga dan diharapkan Roro Luhito, begitu suami isteri itu bergerak, keris mereka menyambar di antara lubang-lubang jala dan empat orang penjaga yang mengeroyok itu roboh dengan darah muncrat-muncrat dari perut mereka!

Jokowanengpati memaki-maki anak buahnya sehingga mereka terpaksa maju terus. Tombak-tombak panjang dating bagaikan hujan. Karena Kartikosari dengan gigih membantu suaminya, kini para penjaga yang panik dan agak gentar itu menjadi ngawur dan asal menyerang saja, tidak peduli Pujo ataupun Kartikosari mereka tusuk dengan tombak. Ribut keadaan di situ dan suami isteri yan gagah perkasa itu dengan gerakan teratur meloncat ke sana ke mari di dalam jala, merobohkan belasan orang perajurit anak buah Jokowanengpati, Para perajurit mengeroyok terus, korban-korban yang roboh diseret keluar.

Tidak mudah bagi para pengeroyok yang hanya memiliki kepandaian biasa itu untuk merobohkan dua orang suami isteri yang sakti. Hujan tombak dan golok itu hanya mampu membuat pakaian suami isteri itu compang-camping dan memang Pujo dan isterinya menderita luka-luka, namun hanyalah luka pada kulit belaka, bekas goresan-goresan senjata tajam dan tusukan-tusukan tombak runcing yang mengakibatkan darah membasahi baju dan jala.

Melihat betapa anak buahnya masih juga belum berhasil merobohkan Pujo malah sebaliknya banyak anak buahnya menjadi korban, Jokowanengpati marah sekali. Ia tahu bahwa Pujo sudah mulai letih, karena Pujo belum pulih dari akibat penyiksaan di dalam kamar tahanan di bawah tanah. Begitu melihat kesempatan baik, Jokowanengpati melompat ke depan dan sekali kaki tangannya bergerak, ia berhasil merampas keris di tangan Kartikosari dan menendang terlepas keris dari tangan Pujo. Suami isteri itu memang mengeluarkan tangan yang memegang keris dari dalam jala.

"Ha-ha-ha-ha, kalian masih hendak memperlihatkan kegagahan?" Jokowanengpati membentak anak buahnya yang sudah hendak menerjang lagi. Ia ingin melampiaskan kemarahannya dengan menyiksa Pujo.

Di tangannya telah tampak sebatang cambuk besar dan panjang. Begitu ia menggerakkan tangannya, terdengar suara berdetak-detak dan cambuk itu melecut ke depan, menghantam tubuh Pujo di dalam jala. Bertubi-tubi cambuk itu bergerak dan melecut dan selalu tepat mengenai tubuh Pujo. Kartikosari memaki-maki dan berusaha menangkis ujung cambuk yang begitu keji menghujani tubuh suaminya yang makin lemah.

Sementara itu, dengan pertanyaan-pertanyaan mendesak, Adipati Joyowiseso sudah mendengar hal-hal yang terpenting dari mulut puterinya. Mendadak ia memegang tangan puterinya, berbisik, "Bagaimana kau bisa mendiamkannya saja? Lawan dia! Bantu mereka. Jangan hiraukan aku lagi!"

Memang di dalam hatinya, Roro Luhito yang menonton dengan muka pucat itu sudah ingin sekali turun tangan, hanya ia mengingat akan keselamatan ayahnya maka ia tidak berani meninggalkan ayahnya. Kini mendengar bisikan ayahnya, timbul semangatnya dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke depan. Gerakannya ini hebat sekali, pekiknya seperti bukan suara manusia dan ia menerjang Jokowanengpati benar-benar amat aneh sehingga Jokowanengpati terkejut bukan main, cepat membuang diri ke belakang. Sungguhpun ia berhasil mengelak, namun secara aneh dan tiba-tiba pecutnya sudah terampas oleh Roro Luhito.

Jokowanengpati yang cerdik maklum bahwa gadis itu sudah nekat dan agaknya percuma mengancamnya melalui ayahnya, maka ia segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok. Ia sendiri juga menerjang maju hendak meringkus Roro Luhito yang cantik manis akan tetapi kini memiliki ilmu kepandaian hebat itu.

Kembali ramai di dalam ruangan tahanan yang luas itu. Roro Luhito yang telah kehilangan kerisnya, kini mengamuk dengan cambuk rampasannya, Ia tidak pandai bermain cambuk, akan tetapi karena ilmunya tinggi, hantaman cambuknya amat hebat dan sekali terpukul cambuk, seorang pengeroyok tentu akan roboh dan tak dapat bangun kembali, Betapa pun juga, karena di situ ada Jokowanengpati yang menerjangnya dengan pukulan-pukulan ampuh, Roro Luhito mulai terdesak mundur dan untuk mencari ruangan yang luas, gadis perkasa ini membuka jalan darah, keluar dari ruangan itu dikejar Jokowanengpati yang merasa penasaran.

Adapun suami isteri yang berada di dalam jala, masih dikeroyok banyak perajurit. Baiknya Kartikosari tadi berhasil menyambar sebuah golok yang terletak di lantai sehingga kini dengan golok ini ia dapat melindungi diri dan suaminya yang sudah lemas.

Pujo tak dapat melawan lagi, sudah rebah di lantai. Biarpun Kartikosari juga memiliki kesaktian, namun wanita ini sudah luka-luka pula sehingga hanya untuk sementara saja ia mampu melindungi hujan tombak dan golok dari luar jala. Ia mulai lelah, pandang matanya berkunang, namun ia bertekat bulat untuk mempertahankan diri dan suaminya sampai saat terakhir.

Setelah tiba di luar kamar Roro Luhito dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Ia dikepung dan Jokowanengpati yang merasa gerakannya tak leluasa, meloncat mundur membiarkan orang-orangnya melakukan pengeroyokan sambil menanti saat dan kesempatan terbaik untuk turun tangan menangkap gadis yang seperti Srikandi itu.

Dari luar kepungan ia berseru, "Diajeng Luhito, menyerahlah! Ayahmu telah memberikan engkau menjadi calon isteriku. Menyerahlah!"

"Jokowanengpati manusia hina-dina! Hari ini kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati mencuci penghinaan!"

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan menyeramkan dari luar. Kemudian tampak oleh Jokowanengpati betapa pasukan yang berada di luar menjadi geger. Tampak pula para pepjaga bergelimpangan diterjang oleh sesosok bayangan putih yang mengeluarkan suara seperti seekor monyet.

"Roro Luhito Di mana kau...?" Bayangan yang mengamuk itu berseru.

"Bapa guru...! Bapa resi...! Ke sinilah...!" Roro Luhito berseru girang sekali. Kembali bayangan yang kini tampak jelas adalah seorang kakek yang bermuka seperti kera itu bergerak dan para penjaga berpelantingan ke kanan kiri.

Jokowanengpati terkejut ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Resi Telomoyo yang sakti mandraguna. Tanpa menanti lebih lama lagi atau mempedulikan nasib anak buahnya, Jokowanengpati yang cerdik dan curang itu sudah menyelinap dalam gelap, terus menyusup-nyusup ke belakang kadipaten, meloncat ke atas punggung kudanya dan selagi pertempuran keroyokan di dalam kadipaten masih ramai dan ribut, ia sudah membalapkan kudanya keluar dari Kadipaten Selopenangkep menuju ke timur!

Amukan Roro Luhito dan Resi Telomoyo membuat pasukan kota raja yang menguasai Kadipaten Selopenangkep itu kocar-kacir. Sebelum lewat tengah malam, sisa pasukan yang belum menjadi korban amukan guru dan murid ini sudah lari cerai-berai. Para penduduk kota Kadipaten Selopenangkep yang mendengar bahwa puteri adipati yang dahulu lenyap itu kini pulang dan membasmi pasukan musuh yang menguasai kadipaten, berbondong-bondong keluar.

Mereka inilah, dan para pelayan lama, yang membantu Roro Luhito membersihkan kadipaten dari mayat-mayat pihak musuh yang tak sempat dilarikan kawan-kawan yang melarikan diri malam itu. Pada keesokan harinya, kadipaten sudah bersih dari mayat-mayat dan darah…..

********************

Jari-jari kecil panjang dengan kulit halus dan telapak tangan jambon (kemerahan) itu seperti mengeluarkan getaran yang menyentuh jantung ketika meraba-raba punggungnya, membersihkan luka-luka dan membasahinya dengan air obat. Enak rasanya air obat menyentuh punggung, dingin dan mengusir rasa panas dan perih. Namun yang paling terasa sampai menembus jantung adalah getaran hangat jari-jari tangan itu.

Pujo seperti dalam mimpi. Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat secara samar bayangan wanita. Siapa lagi kalau bukan isterinya, Kartikosari. Rindu dendam yang sejak lama ditahan-tahannya, dibendungnya dengan kekuatan hati penuh pengertian bahwa isterinya belum mau berbaik kembali kepadanya, belum mau memenuhi kewajiban sebagai isteri yang melayani kasih sayang suami, sebelum musuh besar mereka terbalas, kini seakan-akan bergolak, membadai dan hendak menggempur dan menjebol bendungan!

"Nimas Sari...!" bisiknya dengan suara gemetar ketika kedua lengan Pujo bergerak memeluk pinggang yang ramping, membenamkan muka di dada yang berdebar-debar, penuh rasa kasih sayang. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti ini.

Pujo merasa bahagia, tenang tenteram penuh aman dan damai seperti seorang anak kecil mendekap susu ibunya. Ia merasa puas bahagia karena isterinya tidak menolak bukti kasihnya, pinggang ramping yang dirangkulnya tidak menjauh, dan jantung di dalam dada yang penuh itu terguncang.

"Kakangmas Pujo... jangan khawatir mbokayu Kartikosari selamat kau... berbaringlah yang baik agar aku dapat mengobati punggungmu, kakangmas."

Pujo mengejap-ngejapkan matanya, menengadah dan bagaikan disambar petir kagetnya ketika ia melihat bahwa Yang dipeluknya adalah pinggang Roro Luhito. Gadis itu meramkan kedua mata dan dua butir air mata membasahi pipinya yang menjadi merah sekali. Cepat Pujo melepaskan rangkulannya pada pinggang, menatap wajah itu dari atas pembaringan sambil berkata gagap,

"Diajeng Roro... ah, maafkan aku... maafkan... "

Bibir yang merah membasah itu merekah dalam senyum, membayangkan kilauan gigi putih di baliknya.

"Tidak mengapa, kakangmas. Kau ngelindur agaknya. Bertelungkuplah, punggungmu perlu diobati. Jangan khawatir, itu mbokayu Sari di situ, tidak apa-apa, agaknya tidur pulas saking lelahnya."

Karena malu dan jengah, Pujo segera bertelungkup. Akan tetapi kepalanya dimiringkan untuk memandang ke arah kiri yang ditunjuk Roro Luhito. Berdegup jantungnya melihat bahwa isterinya, Kartikosari, benar saja berbaring di atas sebuah dipan kayu lain dalam kamar itu. Isterinya rebah terlentang, kedua matanya meram, dadanya turun naik perlahan tanda bahwa isterinya sedang tidur. Benar sedang tidur pulaskah isterinya itu? Bulu matanya bergerak-gerak! Pujo merasa gelisah. Bagaimana kalau isterinya melihat perbuatannya terhadap Roro Luhito tadi?

"Sudah, cukuplah, diajeng. Luka-lukaku hanya luka di kulit, tidak apa-apa. Bagaimana dengan ayahmu, paman adipati?" Pujo berkata dan ia bangkit duduk.

"Ayah amat lemah usianya yang sudah tua membuat ia tidak dapat menahan pukulan batin dan siksaan, sekarang sedang dirawat bapa resi."

Sejenak wajah yang manis itu muram, kemudian tangannya menyerahkan sepasang pakaian baru kepada Pujo sambil berkata, "Kau pakailah ini, kakangmas. Ini pakaian kangmas Wisangjiwo. Pakaianmu sudah hancur."

Pujo melihat ke tubuhnya. Bajunya sudah tidak merupakan baju lagi, compang-camping, demikian pula celana dan kainnya. Ia menerima sepasang pakaian itu dan pada saat itu Kartikosari bangun.

"Diajeng, bagaimana dengan keluarga ayahmu? Mana ibumu?"

Ditanya demikian, Roro Luhito terisak, lalu menubruk Kartikosari dan menangis di atas pangkuan nya, Dengan suara tersendat-sendat Roro Luhito menceritakan betapa sebagian besar keluarganya terbasmi ketika terjadi penyerbuan pasukan kota raja yang dipimpin Jokowanengpati dan kedua orang wanita iblis Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Juga ibu kandungnya telah tewas dalam penyerbuan itu.

"Jokowanengpati manusia iblis! Dosamu bertumpuk-tumpuk...!" kata Pujo dengan marah sambil mengepal tinjunya.

"Sayang sekali iblis itu dapat meloloskan diri ketika paman resi Telomoyo datang membantu," kata Kartikosari penuh penyesalan.

"Kali ini ia lolos, akan tetapi lain kali pasti tidak. Kejahatan takkan dilindungi oleh Hyang Widi!" kata pula Pujo penuh harapan.

Roro Luhito sudah dapat menguasai kesedihannya. Ia bangkit dengan muka basah air mata dan mata agak merah.

"Harap kalian maafkan, aku harus pergi menengok ayah."

"Tidak apa, pergilah, diajeng. Kami tidak apa-apa, yang perlu mendapat perawatan adalah ayahmu" kata Kartikosari.

Puteri adipati itu melangkah keluar dari dalam kamar sambil menundukkan mukanya.

"Sudah sepatutnya dikasihan..." terdengar Kartikosari menyambung lirih.

"Dan dia begitu baik, telah menolong kita."

"Ya, dua kali dia telah menolong kita. Di dalam kamar bawah tanah dan ketika kita terkurung jala..."

Pujo lalu membaringkan tubuhnya lagi sambii menghela napas panjang. Hening Sejenak di dalam kamar itu. Kemudian terdengar lagi suara Kartikosari, "Kita berhutang budi kepada diajeng Roro Luhito, kakangmas."

"Engkau benar, nimas. Kita berhutang nyawa."

Hening lagi sejenak. Kini Kartikosari yang menghela napas panjang, jelas terdengar hembusan nafas halus panjang di kamar sunyi, "Sesungguhnya, kita, terutama engkau, berhutang nyawa kepadanya. Dia malam itu bukan hanya menolong, kakangmas, dia malah rela hendak mengorbankan diri, berkorban nyawa, untukmu..."

Sesuatu dalam suara Kartikosari membuat Pujo menengok dan memandangnya. Ia melihat Kartikosari sudah duduk dipembaringan, makin cantik dengan kain dan kutang yang serba baru, agaknya diberi pinjam Roro Luhito karena pakaiannya sendiri compang-camping, dengan muka agak pucat sehingga alis yang indah bentuknya itu makin hitam seperti dicat.

"Dan dia cinta kepadamu, kakangmas, cinta yang tulus ikhlas, suci murni, cinta yang membutuhkan balasan dan sudah sepatutnya pula mendapat balasan cinta kasih darimu..."

Pujo kini melompat bangun, berlutut di depan pembaringan isterinya, memeluk pinggang isterinya dan menelungkupkan muka di atas pangkuannya, seperti yang dilakukan pada Roro Luhito tadi.

"Nimas... nimas Sari... apa... yang kauucapkan itu? Kau... kau... cemburu?"

Ia menengadah, memandang wajah ayu penuh selidik, mencari-cari dengan pandang matanya. Kartikosari menunduk dan jari-jari kedua tangannya membelai rambut kepala suaminya yang kusut, bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lirih,

"Wanita mana di dunia ini yang bebas akan cemburu, kakangmas? Di mana ada cinta, di situ ada cemburu, Wanita mana di dunia ini suka melihat cinta kasih suaminya dibagi dengan wanita lain? Dan aku pun hanya wanita biasa, kakangmas. Akan tetapi, aku ingin diajeng Roro Luhito menjadi maduku, aku ingin melihat dia bahagia di sampingku, berkumpul dengan kita selamanya."

"Hishhh! Apakah kau mengigau, nimas Sari? Sadarlah dan buang jauh-jauh rasa cemburu dari hatimu!", Pujo mempererat pelukannya pada pinggang yang ramping itu.

"Dia cinta padamu, kakangmas. Aku percaya dan yakin bahwa cinta kasihmu hanya untukku seorang dan karena ini aku merasa amat bahagia, suamiku. Akan tetapi... dia amat cinta kepadamu, dia menderita karenamu, bahkan dia rela menderita karena cintanya kepadamu..."

"Bagaimapa... bagaimana kau tahu...?"

"Setiap orang yang tidak buta hati dan matanya akan dapat melihat, akan dapat mengetahuinya. Dahulu dia mencarimu, ingin menghambakan diri kepadamu, sungguhpun dahulu ia mengira bahwa engkaulah yang memperkosanya. Dan setelah tahu bahwa Jokowanengpati yang melakukannya, ia amat membenci Jokowanengpati, akan tetapi masih tetap cinta kepadamu, bahkan menolongmu, dan malam tadi rela hendak mengorbankan nyawa untukmu. Aku tahu bahwa engkau akan bahagia jika membalas cinta kasihnya, kakangmas, dan aku... aku hanya ingin membuktikan bahwa cinta kasihku kepadamu sedalam Laut Selatan. Aku rela dan bahagia melihat kau bahagia, Bahwa... aku tetap mencintamu, tetap bersetia kepadamu apa pun yang akan terjadi"

"Nimas Sari... kau dewiku...!"

Pujo bangkit berdiri, merangkul leher dan hendak mencium bibir Isterinya yang sudah amat lama ia rindukan itu, Akan tetapi Kartikosari merenggutkan dirinya, mengelak sambil berkata, tersenyum, "Stop, kakangmas! Ingat, belum tiba saatnya. Lupakah engkau akan syaratku?"

Tubuh Pujo yang tadinya mengejang penuh semangat dan kegembiraan itu, seketika menjadi lemah dan lesu. Ia kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluh, "Nimas Sari, isteriku, tidak kasihankah engkau kepadaku? Aku rindu padamu, nimas."

Bibir itu tetap tersenyum manis, akan tetapi matanya berkejap-kejap menahan air mata, memancarkan pandang penuh kasih mesra, kedua tangannya diulur menyentuh tangan suaminya. Jari- jari tangan mereka saling genggam, penuh getaran yang memancar keluar dari hati masingmasing.

"Kakangmas Pujo, suamiku jiwa dan raga ini milikmu, sudah kuberikan kepadamu dengan rela sejak dahulu. Akan tetapi ksatria harus menepati janji. Satria harus tahan tapa tahan derita, dan pandai menguasai nafsu diri. Kakangmas, biarlah mulai saat ini kuajukan syarat baru kepadamu Setelah segala yang kita alami aku hanya mau melayanimu dengan segala kerendahan hati, dengan cinta kasih, apabila diajeng Roro Luhito menjadi maduku!"

"Nimas! Apakah engkau sudah gila...?" Pujo bangkit berdiri, memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak.

Kartikosari tersenyum. "Sudahlah, bukan waktunya kita berbantahan Kau pakai pakaianmu pemberian diajeng Luhito dan mari kita menengok keadaan paman adipati. Tidak baik rasanya kalau kita berdua hanya mengeram diri di dalam kamar saja, padahal luka-luka kita hanyalah luka pada kulit."

Pujo hendak membantah, akan tetapi didiamkan oleh senyum Kartikosari yang dengan cekatan menanggalkan baju Pujo yang compang-camping itu. Terharu hatinya melihat betapa isterinya ini membantunya bertukar pakaian, membantunya seolah-olah dia seorang anak kecil yang belum pandai bertukar pakaian sendiri. Sementara itu, diam-diarn Kartikosari terharu dan hampir ia tak dapat menahan isak haru dan gelora hatinya ketika ia menyaksikan kembali bentuk tubuh suaminya yang kokoh kuat dan padat.

Baru saja suami isteri ini keluar dari kamar, datang Roro Luhito berlari-lari. Mereka terkejut dan cemas, akan tetapi lega hati mereka ketika melihat wajah manis itu berseri gembira.

"Kakangmas Pujo, mbokayu Sari! Lekas, mari ke ruangan dalam. Kakangmas Wisangjiwo datang!" teriaknya girang.

Pujo dan Kartikosari tersenyum dan saling pandang. Betapa pun juga, ada rasa kikuk dan tidak enak untuk bertemu muka dengan Wisangjiwo, orang yang tadinya mereka benci dan mereka jadikan musuh besar yang didendam di dalam hati. Tanpa mengeluarkan kata-kata mereka berdua menyertai Roro Luhito yang berjalan sambil menceritakan kedatangan kakaknya.

"Kakangmas Wisangjiwo telah menentang sekutunya yang jahat dan kini menghamba kepada Pangeran Tua. Itulah sebabnya maka Jokowanengpati dan sekutunya yang jahat, atas perintah Pangeran Anom (Muda) menyerbu dan mengambil alih Selopenangkep. Ketika kakangmas Wisangjiwo mendengar akan serbuan ini, segera ia mohon perkenan Gusti Pangeran Sepuh (Tua) membawa pasukan yang kuat dan baru saja tiba di sini. Marilah, dia sedang bicara dengan ayah. Bapa resi juga berada di sana."

Dari ruangan pinggir, tampak kini melalui pintu yang terbuka, banyak pasukan di depan pendopo. Terdengar pula ringkik dan derap kaki kuda. Agaknya pasukan yang dibawa Wisangjiwo dari kota raja mulai melakukan tugasnya memulihkan Kadipaten Selopenangkep, Roro Luhito mengajak dua orang itu menyeberang dan memasuki ruangan dalam dari pintu samping. Ruangan yang cukup luas dimana sang adipati duduk setengah rebah di atas dipan terukir, dengan punggung diganjal bantal.

Tidak jauh dari situ, di atas sebuah bangku, dengan tangan sibuk menggaruki tubuh seperti biasanya, duduk Resi Telomoyo. Di pinggir dipan tampak Raden Wisangjiwo yang berpakaian indah dan gagah, duduk dan bicara serius dengan ayahnya. Ketika mendengar masuknya tiga orang Raden Wisangjiwo menoleh dan mendadak mukanya menjadi merah sekali ketika ia melihat Pujo dan Kartikosari. Ia cepat bangkit berdiri dan menyambut suami isteri itu dengan kata-kata terharu,

"Adimas Pujo, aku merasa amat berterima kasih atas pertolonganmu sehingga ayah terbebas dari pada ancaman maut di tangan si keparat Jokowanengpati. lebih besar pula rasa sesalku apabila kuingat betapa kalian berdua telah banyak menderita akibat perbuatanku yang sesat di masa lalu..."

Suaranya tersendat oleh keharuan. Kartikosari hanya menundukkan mukanya, akan tetapi Pujo mengangkat tangan memprotes.

"Bukan hanya engkau yang keliru, raden. Aku pun telah melakukan perbuatan sesat dan jahat, menyerbu kadipaten ini, bersikap kurang patut terhadap gusti adipati, bahkan telah melakukan penculikan terhadap isteri dan puteramu Biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk mohon maaf sebesarnya, baik kepadamu terutama sekali kepada gusti adipati!"

"Aahhh... jangan menyebut gusti, anakmas Pujo. Sebut saja paman kepadaku, dan jangan minta maaf. Uggh-huhhuh...!"

Orang tua itu terbatuk-batuk, terengah-engah sehingga Roro Luhito cepat menghampiri ayahnya dan mengurut-urut punggungnya.

"Uuh-uh... anakmas Pujo, sesungguhnya semua peristiwa ini adalah akibat dari pada kesalahan ku sendiri! Aku telah mendengar semua, mendengar penuturan Wisangjiwo yang telah insyaf dan sadar, telah melempangkan jalan hidup yang bengkok yang kutempuh. Aku telah mendengar semua penuturan Roro Luhito dan penjelasan Sang Resi Telomoyo. maka jelaslah bahwa semua adalah akibat penyelewenganku dahulu... ugghh-uh. Aku... terlalu mabok akan kesenangan dunia seperti terbalik pandang mataku, seperti buta mata hatiku, gila kedudukan mabok kemuliaan sehingga aku bersekutu dengan manusia-manusia lblis... percaya mulut manis si keparat jokowanengpati..."

Tiba-tiba Resi Telomoyo tertawa dan terdengarlah suaranya yang parau dan dalam, "Ha-ha-ha-ha, semua yang bersalah mengakui kesalahannya! Alangkah baiknya hal ini Adalah lebih baik bersalah tapi mengakui kesalahannya dan bertobat penuh penyesalan, dari pada tidak bersalah merasa bangga dan mengagungkan serta menyombongkan kebersihannya."

Mendengar ucapan ini, Wisangjiwo menoleh ke arah adik tirinya, berkata sambil menarik napas panjang, "Roro, adikku yang baik, engkau sungguh bahagia mendapatkan seorang guru sebijak paman resi ini, tidak seperti aku..."

Kemudian ia menghampiri Pujo dan berkata, "Adimas Pujo, setelah segala yang terjadi, dapatkah engkau benar-benar mengampuni aku? Bolehkah aku kini bertemu dengan puteraku?"

Suaranya tersendat oleh keharuan. Pujo mengerutkan keningnya.

"Tidak ada yang harus minta dan memberi ampun, raden..."

"Ah, adimas, mengapa. menyebut raden? Bukankah ayahku minta kau menyebut paman kepadanya? Kita bukan orang lain, ah, bagaimana dengan puteraku, Joko Wandiro yang menjadi, muridmu? Mana dia?"

"Maaf, kangmas Wisangjiwo. Tanpa kusengaja aku mengecewakan semua keluargamu. Sesungguhnya kami sendiri sedang mencari-cari Joko Wandiro dan Endang Patibroto, puteriku..."

Kemudian secara singkat Pujo menceritakan kehilangan dua orang anak itu Wisangjiwo merasa gelisah sekali dan ketika ia memanggil kepala pasukan, memberinya perintah untuk mengerahkan pasukan dari kota raja mencari dua orang anak yang hilang itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar