Ki Warok Gendroyono yang tadi kedodoran celananya, kini sudah dapat membereskan celananya. Ia marah sekali, dan melihat kini pendeta itu bersila dan melayani serangan empat orang lawannya dengan pukulan jarak jauh, ia menjadi tidak sabar. Diputarnya kolor mautnya dan ia meloncat ke depan hendak menghantam kepala kakek yang sedang bersila itu dengan keyakinan sekali pukul akan menghancurkan kepala lawan.
"Ki Warok, hati-hati...!" seru Jokowanengpati memperingatkan.
Namun terlambat. Ki Warok Gendroyono sudah menyerbu ke depan dan mengayun kolornya, akan tetapi sebelum kolor itu dapat menyentuh kepala Bhagawan Rukmoseto, Ki Warok menjerit dan tubuhnya melayang seperti dilontarkan tenaga dahsyat, roboh menimpa batu karang dan pingsanlah gegedug (pentolan) Ponorogo ini!
Pertandingan adu hawa sakti antara Bhagawan Rukmoseto dan empat orang lawannya berlangsung terus dengan hebatnya. Tubuh bhagawan itu duduk dengan tegak lurus, wajahnya penuh wibawa, kedua lengannya yang dilonjorkan ke depan dengan kedua tangan terbuka itu membayangkan kekuatan gaib yang meluncur ke depan. Kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang yang berdiri di sebelah kiri ia duduk bersila. Pada saat itu, segenap hawa sakti di tubuhnya terkumpul ke dalam kedua lengannya, seluruh panca indera dipusatkan, melawan hawa sakti yang keluar dari tangan keempat orang lawannya.
Ki Krendoyakso, Cekel Aksomolo, Ni Durgogini dan Ni Nogogini adalah empat orang sakti yang telah memiliki kepandaian luar biasa. Dalam hal aji kesaktian dan tenaga murni dalam tubuh, kiranya mereka berempat itu masing-masing telah mencapai tingkat yang tidak banyak selisihnya dengan Bhagawan Rukmoseto. Namun harus diakui bahwa hawa sakti di tubuh mereka tidaklah murni lagi. Mereka itu empat orang yang masih jauh dari pada mampu menguasai diri pribadi dan nafsu. Bahkan seringkali mereka itu dipermainkan dan diperhamba nafsu. Kedua wanita cantik itu dan Cekel Aksomolo seringkali diperhamba nafsu berahi sehingga untuk memusatkan hasrat nafsu ini, mereka rela menghamburkan hawa yang murni hanya untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan badani.
Adapun Ki Krendoyakso, berbeda pula caranya mengumbar nafsu setannya. la terjerumus ke dalam ilmu hitam, ilmu iblis yang membuat ia mengambil cara yang menjijikkan dan mengerikan dalam usahanya mengejar kesaktian, di antaranya dengan makan daging dan minum darah bayi! Memang ia berhasil mempertahankan ilmu hitamnya, namun tanpa disadarinya ia kehilangan hawa murni yang timbul dari kemurnian batin, kebersihan pikiran dan perasaan. Ilmu barulah bersih murni apabila dilandasi kebajikan. Sebaliknya ilmu menjadi ilmu hitam apabila diperhamba nafsu-nafsu jasmani.
Dalam pertandingan mati-matian itu, barulah terbukti bahwa Bhagawan Rukmoseto yang berbatin bersih kuat itu mampu menahan pengeroyokan empat orang sakti. Mereka berempat bahkan mulai menggigil lengannya, menjadi pucat wajahnya. Padahal Bhagawan Rukmoseto masih duduk bersila tegak lurus, kedua lengannya sama sekali tidak bergoyang, dan dari kedua telapak tangannya seakan-akan keluar cahaya putih yang makin bersinar.
Jokowanengpati menyesal ketika melihat betapa Warok Gendroyono roboh oleh kelancangannya sendiri. Alangkah bodohnya, pikir orang muda ini. Sebagai murid seorang sakti seperti Empu Bharodo, tentu saja ia maklum betapa berbahaya menyerang seorang yang sedang mengerahkan hawa murni seperti sang bhagawan itu, dengan pukulan langsung. Dalam keadaan seperti itu, tubuh depan sang bhagawan seakan-akan tertutup oleh aliran tenaga tak tampak yang luar biasa kuatnya.
Jokowanengpati mungkin tak setinggi Ki Warok Gendroyono kepandaiannya, akan tetapi sudah pasti ia lebih cerdik. Diam-diam ia mengambil penggada Wesi Ireng milik Ki Krendoyakso yang terletak di atas tanah karena oleh pemiliknya memang dilepaskan agar lebih leluasa ia mengadu tenaga dalam membantu teman-temannya. Kemudian Jokowanengpati menyelinap dan dengan jalan memutar ia mengelilingi tempat itu, muncul keluar dari balik batu karang di sebelah kiri Sang Bhagawan Rukmoseto. Kemudian, setelah memperhitungkan sejenak, ia melompat dengan pengerahan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya mencelat ke depan dengan amat cekatan, penggada Wesi Ireng di tangan kanannya diayun ke bawah, menghantam belakang kepala Sang Bhagawan Rukmoseto, di atas tengkuk, di belakang telinga kanan.
"Prakkkk!"
Sang Bhagawan Rukmoseto sedang memusatkan seluruh panca indera kepada empat orang lawannya di depan. Perhatiannya tercurah sepenuhnya dan tenaga murninya disalurkan ke depan, tentu saja bagian belakang sama sekali tidak terjaga. Pukulan itu hebat sekali, disertai tenaga seorang muda sakti dan dilakukan dengan senjata Wesi Ireng yang ampuh dan mujijat, mengenai bagian yang amat lemah dan penting. Seketika Sang Bhagawan Rukmoseto terguling dan terjungkal ke depan, rebah telentang tak mampu bergerak lagi, kedua matanya terpejam dan dari telinga, hidung dan ujung bibir menetes darah!
"Ha-ha-ha! Akhirnya penggadaku yang berjasa!" kata Ki Krendoyakso sambil menerima kembali penggadanya.
"Kalau mau bicara tentang jasa, kita semua berjasa, akan tetapi yang paling besar jasanya adalah si Joko!" kata Durgogini yang memegang tangan kanan Jokowanengpati, tersenyum dan mengerling penuh cumbu rayu dan mendekap tangan itu ditempelkan ke pipinya. Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Jokowanengpati menjadi kekasih tetap iblis betina Girilimut ini.
"Uuuh-huh-huh, kacau... kacau... urusan menjadi rusak berantakan dan kalian masih memperebutkan jasa? Loleee... loleee... bagaimana baiknya sekarang? Kita diutus untuk merampas pusaka, sekarang yang kita dapatkan hanya bangkai seorang bhagawan tua bangka yang tak berguna!"
"Si keparat Rukmoseto ini yang keras kepala menggagalkan semua rencana. Belum puas aku kalau belum..."
Ki Warok Gepdroyono yang kini sudah bangkit dan masih belum hilang kemarahannya karena tadi roboh, kini melangkah maju sambil memutar kolor maut, ingin melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan tubuh lawan yang sudah tak berdaya itu. Teman-temannya hanya memandang dengan acuh tak acuh.
Akan tetapi tiba-tiba Ki Warok Gendroyono mengeluarkan seruan marah, juga lima orang temannya memandang dengan mata terbelalak kaget dan tidak percaya ketika melihat apa yang terjadi. Ki Warok Gendroyono telah mengayun kolor mautnya menghantam ke arah kepala tubuh yang sudah menggeletak telentang tak berdaya itu. Akan tetapi sungguh ajaib. Kolornya tak dapat menyentuh kepala sang bhagawan karena tiba-tiba membalik seperti ada yang menangkisnya! Ki Warok Gendroyono tentu raja merasa heran, juga amat penasaran dan marah.
Kalau tadi selagi sang bhagawan masih segar, ia tidak mampu mengalahkannya, hal itu tidaklah terlalu membuat hati penasaran karena memang Sang Bhagawan Rukmoseto amat sakti. Akan tetapi kini pendeta itu sudah mati tentu sedikitnya sudah sekarat atau pingsan. Bagaimana kolor mautnya tidak dapat menyentuh orang yang rebah tak bergerak ini? Ki Warok mengeluarkan suara gerengan keras, kolornya diputar-putar sampai mengeluarkan suara angin mendesir, kemudian ia hantamkan ke arah dada Bhagawan Rukmoseto.
"Wettt!"
Kembali kolor itu membalik, bahkan kini lebih keras dari pada tadi, karena Ki Warok menggunakan tenaga lebih besar. Saking marah dan penasaran, Ki Warok kembali menghantam, kini mengerahkan seluruh tenaga dan akibatnya ia sendiri terguling roboh. Untung ia tadi cepat menggulingkan tubuh karena kolor itu membalik dengan tenaga demikian dahsyat sehingga kalau ia tidak cepat merobohkan diri, tentu kepalanya sendiri yang dihantam senjatanya! la melompat bangun dan mukanya menjadi pucat.
Terdengar gerengan keras ketika Ki Krendoyakso melompat ke depan. la juga merasa penasaran sungguhpun hatinya agak gentar. Kalau tadi ketika Bhagawari Rukmoseto masih segar bugar, bhagawan itu tidak mampu mengalahkan mereka, mana mungkin setelah roboh kini malah lebih digdaya lagi? Ataukah temannya, Ki Warok Gendroyono yang kehilangan kesaktiannya? Barang kali kolornya itu kini tidak ampuh lagi? Karena penasaran ia lalu melompat sambil menggerakkan penggadanya, dipukulkan sekerasnya ke arah kepala Sang Bhagawan Rukmoseto.
"Syuuuutttt!"
Akibatnya, raksasa tinggi besar ini terpekik dan penggadanya membalik, bahkan terlepas dari tangannya ia sendiri terhuyung ke betakang dengan wajah pucat. Jelas ia merasai tadi betapa penggadanya bertemu dengan sesuatu yang mengandung tenaga luar biasa sekali. Hanya dengan susah payah Ki Krendoyakso mampu menahan kakinya dan berdiri terbelalak. Benarkah pertapa yang sudah telentang payah itu masih mempunyai kedigdayaan seperti itu?
Melihat ini, Cekel Aksomolo, Ni Durgogini dan Ni Nogogini bersiap-siap dan sudah melangkah maju mendekati tubuh Bhagawan Rukmoseto yang sudah tak bergerak-gerak itu. Mereka bersikap waspada dan hati-hati karena siapa tahu, dalam sakratul mautnya, sang bhagawan itu memiliki aji kesaktian mujijat yang dapat mencelakakan lawan. Pada saat itu terdengar suara orang ketawa. Suara itu menggeledek dan bergema di seluruh pulau, mengandung getaran yang mengguncangkan isi dada dan, amat berwibawa.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Tiga ekor anjing tua Bangka berpenyakitan, dua ekor anjing betina, yang denok, dan seekor kirik (anak anjing) licik mengeroyok seorang pertapa. Ramai, lucu dan menyebalkan!"
Semua orang menengok dan tampaklah sorang kakek tinggi besar, dari rambut kepala sampai ke kakinya tampak besar dan kokoh kuat, kulitnya hitam mengkilap, rambutnya sudah penuh uban, terbungkus kain berwarna ungu kehitaman, Jenggotnya tebal sekepal sebelah, matanya terbelalak melotot lebar bundar namun mengeluarkan cahaya yang tajam seperti kilat menyambar-nyambar. Tangan kiri kakek itu menggandeng seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Dibyo Mamangkoro dan Endang Patibroto.
"Uuh-huh-huh, selamat bertemu dan terimalah saya, adinda Dibyo Mamangkoro... tidak nyana tidak kira, dapat bertemu dengan adinda di tempat ini huh-huh! Angin buruk... eh, angin baik apa yang meniup adinda senopati datang ke tempat ini...!"
"Huah-ha-ha-ha! Cekel, kau makin lama makin mirip Bhagawan Durno, ha-ha-ha!"
Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso yang mendengar nama ini, terhenyak kaget di tempat masing-masing, tidak berani berkutik. Juga Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut. Kemudian dengan senyum-senyum memikat kedua orang wanita ini melangkah maju mendekati Dibyo Mamangkoro. Ni Durgogini berkata, suaranya merdu seperti orang bertembang,
"Aduhh, kiranya andika ini sang sakti Dibyo Mamangkoro?" Mata Ni Durgogin memandang penuh kekaguman.
"Sudah bertahun-tahun mendengar nama Senopati Dibyo Mamangkoro yang sakti seperti dewa, banteng Kerajaan Wengker...!" Ni Nogogini jugs berkata, dengan suara yang tidak kalah merdunya.
Akan tetapi ketika mereka berdua sudah tiba dekat, tangan kedua wanita ini menjangkau maju dan hendak meraba kanan kiri lambung yang tak tertutup baju itu. Bukan sembarang meraba, sama sekali bukan dengan maksud membelai karena tangan kedua orang wanita itu mengandung tenaga mujijat yang akan menghancurkan isi perut! Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak, melepaskan tangan Endang Patibroto, dan entah bagaimana, sekali kedua tangannya bergerak, ia telah menangkis uluran tangan kedua wanita itu dan di lain saat Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah berada dalam pondongan kedua lengannya! Dibyo Mamangkoro kelihatan gembira sekali, mengangkat kedua wanita itu sampai muka mereka dekat dengan mukanya, kemudian ia berpaling ke kanan kiri menciumi pipi dua wanita sakti yang ayu, ini.
"Sengok! Sengok! Sengok! Sengok!" Ciuman hidung ke pipi itu menimbulkan suara nyaring, disusul suara tawanya terbahak,.
"Ha-ha-ha, aku merasa menjadi Yuyukangkang yang mengambungi Kleting Abang dan Kleting Biru. Ha-ha-ha Sengok! Sengok!"
Wajah kedua orang wanita itu menjadi merah padam. Kumis sekepal sebelah itu rambutnya kasar-kasar seperti serat kelapa, dan baunya apak. Akan tetapi mereka berdua tidak berani bergerak lagi. Mereka sudah lama mendengar akan nama Dibyo Mamangkoro yang dikabarkan sakti mandraguna, senopati dari Kerajaan Wengker, tangan kanan Sang Prabu Bokoraja yang seperti iblis di Kerajaan Wengker itu. Raja yang disohorkan amat keji dan menakutkan, paling suka makan daging kanak-kanak, akan tetapi yang mempunyai kesaktian menggemparkan jagad mengguncang langit.
Hanya karena kalah oleh puteranya sendiri sajalah Sang Prabu Boko dapat ditewaskan dan tentu saja semua ini terjadi karena kebesaran Sang Prabu Airlangga yang memancarkan sinar kekuasaan ke seluruh daerah Mataram. Ketika terjadi perang, tidak ada senopati Medang yang dapat menandingi amukan Dibyo Mamangkoro ini. Hanya setelah Ki Patih Narotama sendiri yang cancut taliwondo turun tangan terjun ke medan laga, baru Dibyo Mamangkoro bertemu tanding yang setingkat. Dikabarkan betapa kedua senopati ini bertanding sampai dua hari dua malam. Akhirnya Dibyo Mamangkoro harus mengakui keunggulan Ki Patih Narotama, tidak kuat menandingi kedigdayaannya, lalu melarikan diri, meninggalkan ki patih yang juga menderita luka-luka dalam pertandingan paling dahsyat yang pernah ia alami.
Semenjak kehancuran Kerajaan Wengker, orang tidak mendengar lagi tentang Dibyo Mamangkoro. Namun namanya masih menjadi buah percakapan mereka yang suka akan ilmu kesaktian, karena selain Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama, agaknya sukar mencari tokoh yang sanggup menandingi Dibyo Mamangkoro. Siapa sangka, secara aneh dan tiba-tiba sekali Dibyo Mamangkoro muncul di Pulau Sempu pada saat yang demikian gawat dan pentingnya, di saat para utusan Pangeran Anom hendak merampas pusaka Mataram yang hilang.
Timbul kekhawatiran di hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini tadi bahwa orang yang tersohor ini hendak merampas pusaka pula. Mereka sudah mendengar nama besar Dibyo Mamangkoro, akan tetapi belum pernah berjumpa dan belum pernah menyaksikan kedigdayaannya. Oleh karena itulah tadi mereka mencoba-coba dan hasilnya benar-benar amat memalukan mereka. Dengan mudah akan tetapi aneh sekali mereka ditangkap, dipondong dan diambungi!.
Mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa tingkat kepandaian kakek aneh ini lebih tinggi dari pada tingkat mereka, maklum pula bahwa kalau mereka menyerang lagi, mungkin mereka akan mengalami hal yang lebih hebat. Maka mereka diam saja, diambungi juga tidak berani berkutik!
Melihat betapa kakek yang menjadi gurunya itu mengambungi dua orang wanita cantik sehingga terdengar suara ngak-ngok-ngak-ngok, Endang Patibroto merasa muak. Muak akan perbuatan kakek itu. Biarpun ia masih kecil, baru berusia sebelas tahun, namun naluri kewanitaannya tersentuh oleh perbuatan yang melanggar susila ini. la kecewa dan marah, karena betapa pun juga, kakek itu sudah menjadi gurunya. Melihat perbuatan gurunya ini, diam-diam ia ikut merasa malu. Tanpa disadarinya ia mencela,
"Ihhh, menjijikkan dan memalukan...!"
Sambil tertawa-tawa, Dibyo Mamangkoro menoleh ke arah Endang Patibroto, kemudian ia menggerakkan kedua lengannya dan tubuh Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar ke depan sampai tujuh delapan meter jauhnya.
"Hua-ha-ha-ha, pergilah, Nini. Keringat kalian mulai tak sedap, dan muridku muak melihat permainan kita. Juga kulihat kirik licik itu melotot matanya, hatinya penuh iri dan cemburu. He, kirik licik, apakah engkau kekasih kedua orang siluman betina itu?"
Ucapan itu ditujukan kepada Jokowanengpati yang sejak tadi memang sudah marah sekali. Melihat betapa kakek yang baru datang dan amat sombong ini menghina Ni Durgogini, ia tak dapat menahan kemarahannya. la tidak mengenal dan belum pernah mendengar nama Dibyo Mamangkoro. la dapat menduga bahwa kakek ini tentu sakti, akan tetapi karena di situ terdapat teman-temannya yang kesemuanya adalah orang-orang berilmu tinggi, hatinya menjadi besar dan sambil mengeluarkan seruan keras tubuh Jokowanengpati melompat ke depan dengan Aji Bayu Sakti, tangannya bergerak melancarkan pukulan Siyung Warak.
"Joko, jangan...!"
Ni Durgogini menjerit penuh kekhawatiran, namun terlambat karena tubuh Jokowanengpati sudah melayang ke arah Dibyo Mamangkoro. Hebat serangan itu, dahsyat bukan main. Biarpun masih muda, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo, bahkan bekas murid yang terkasih. Di samping ini, ia pun menerima banyak petunjuk dari Ni Durgogini yang menariknya sebagai kekasih.
Gerakannya cepat laksana burung srikatan dan pukulannya antep seperti terjangan seekor badak. Dibyo Mamangkoro yang berdiri sambil merangkul pundak muridnya dengan tangan kiri, tidak mengelak melihat serangan ini, hanya tersenyum dan berkata, "Muridku, kau saksikan baik-baik gerakanku!"
Ketika tubuh Jokowanengpati dan terjangannya tiba, Dibyo Mamangkoro hanya mengangkat lengan kanannya yang besar, tangannya digerakkan secara aneh dan hebat kesudahannya! Jari-jari tangan kanan itu selain berhasil menangkis pukulan kedua tangan Jokowanengpati, juga sempat menyentil kedua tulang pundak Jokowanengpati sehingga terlepas sambungan Kedua tulang pundaknya, kemudian tangan itu masih dapat menerkam bahu di bagian dada lalu melontarkan tubuh itu ke atas!
Jokowanengpati mengeluarkan teriakan ngeri dan matanya terbelalak saking heran dan kaget bercampur takutnya. Tubuhnya tak tertahankan lagi melayang ke atas berputaran, kadang-kadang kepala di atas kadang-kadang di bawah, terus melayang ke atas dan akhirnya temangsang (tertahan) di puncak pohon randu alas yang tumbuh di dekat tempat itu! Cepat-cepat ia merangkul cabang-cabang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, karena kedua tangannya tidak bertenaga lagi, lumpuh setelah sambungan tulang pundaknya terlepas.
Ni Durgogini cepat-cepat lari ke pohon itu, melompat ke atas dan dengan cekatan ia menolong dan menurunkan tubuh Jokowanengpati. Lega hatihya ketika orang muda itu duduk di atas tanah dan diperiksanya, ternyata hanya kedua pundak lepas sambungan tulangnya, tidak ada luka lain. Dengan mudah saja ia dapat menyambungkan kembali tulang pundak dengan ramuan obat yang selalu dibawanya dalam kemben (ikat pinggang), yaitu obat-obat untuk menyembuhkan luka-luka, keracunan, dan patah tulang. Dengan penuh kasih sayang Ni Durgogini mengurut-urut dan memijat-mijat pundak sambii menaruhkan obat.
"Hua-ha-ha-ha! Aku mendengar Gusti Pangeran Anom mempunyai banyak pembantu yang sakti. Kiranya hanya orang-orang macam ini! Hayo, siapa hendak mencoba lagi? Hayoh! Mumpung Dibyo Mamangkoro sedang gembira!"
"Huh-huh-huh, bagaimana ini...? Sial dangkalan benar, mencari perkara! Mencari penyakit! Ouhh, Adinda Senopati Dibyo Mamangkoro! Sudahlah sudah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu? Sudahlah, kau ampunkan orang-orang muda yang tidak mengenal tingginya gunung dalamnya lautan! Kami adalah utusan Gusti Pangeran Anom, diutus menghukum si pemberontak Bhagawan Rukmoseto, sama sekali tidak diutus memusuhimu!"
"Pertapa bungkuk gudang penyakit, Kakang Cekel Aksomolo! Mulutmu sejak dahulu tetap bau, tak pernah berubah, tukang bohong tukang fitnah! Siapa tidak tahu kalian datang ke sini mencari pusaka Mataram yang hilang? Siapa tidak tahu engkau merobohkan Bhagawan Rukmoseto dengan keroyokan yang memalukan? Pergilah kalian semua, sebelum aku paksa kalian mengeroyokku!"
Sebetulnya, kalau saja enam orang itu maju bersama mengeroyoknya belum tentu mereka akan kalah oleh Dibyo Mamangkoro. Betapa pun saktinya Dibyo Mamangkoro, namun menghadapi pengeroyokan enam orang yang memang sakti itu, agaknya ia takkan dapat menang secara mudah. Akan tetapi, sikap Dibyo Mamangkoro yang tabah dan memandang rendah ini, apalagi sepak terjangnya tadi, sudah menyempitkan nyali mereka. Apalagi, jelas bahwa di dalam pondok tidak terdapat pusaka Mataram dan agaknya kalau dipikir-pikir, orang seperti Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo ini tidak mungkin mau bicara bohong. Agaknya memang patung pusaka Mataram itu tidak berada di pulau ini. Untuk apa melibatkan diri dalam permusuhan dengan seorang digdaya seperti Dibyo Mamangkoro ini kalau sekiranya pusaka tidak berada di situ?
"Uuh-huh, baiklah... baiklah...! kami pergi. Memang tugas kami sudah selesai. Mari kawan-kawan, kita kembali ke perahu. Uuhhh, sialan!"
Pergilah enam orang itu bersungut-sungut meninggalkan tempat itu, kembali ke pantai di mana perahu besar telah menanti mereka. Setelah enam orang itu pergi, Dibyo Mamangkoro melangkah lebar ke pondok, kakinya menendang-nendang apa saja yang menghalang di depannya. Bangku, meja, pedupaan dan Iain-lain. Matanya mencari-cari. Bahkan ketika kakinya diayun dan tangannya digerakkan, sisa pondok kecil itu terbang jauh ke belakang.
Endang Patibroto mendekati tubuh kakeknya yang terlentang di atas tanah. Melihat kakek itu tak bergerak-gerak dari hidung, telinga dan ujung bibir keluar darah, matanya terpejam, Endang Patibroto kaget dan berduka sekali. Ia mengira bahwa kakeknya tentu sudah tewas. Diam-diam ia menggigit bibirnya dan dalam hati ia mencatat wajah enam orang tadi. Akan tetapi ia tidak mau berlutut mendekati tubuh kakeknya, Endang Patibroto seorang anak yang luar biasa cerdiknya. la maklum bahwa kakek sakti yang menjadi gurunya itu bukanlah sahabat baik kakeknya, karena itu tidak perlu ia menceritakan hubungannya dengan kakek yang menggeletak mati di situ.
Di samping kecerdikannya yang luar biasa, juga anak perempuan ini memiliki dasar hati yang keras, nyali yang tabah dan dengan mudah ia dapat menekan perasaan hatinya. Sungguhpun hatinya seperti diremas melihat keadaan kakeknya, namun pada wajahnya yang agak pucat itu tidak terdapat tanda sesuatu! ia menoleh ke arah Dibyo Mamangkoro yang masih mengamuk dan menendang-nendang sisa pondok, jelas mencari-cari.
"Kau mencari apakah, Eyang?" tanyanya, padahal di dalam hatinya anak ini dapat menduga bahwa gurunya itu tentu mencari patung kencana, patung pusaka Mataram yang menjadi bagian Joko Wandiro. Tanpa disadarinya, ia meraba gagang keris pusaka Brojol Luwuk yang terselip di pinggangnya, tertutup baju.
"Huh! Mencari apa? Mencari pusaka Mataram yang kabarnya hilang. Aku belum pernah melihatnya, Kabarnya pusaka Mataram itu berbentuk patung kencana berujud Sang Hyang Whisnu. Monyet-monyet tadipun datang untuk mencari benda itu. Agaknya memang tidak berada di tempat ini"
"Patung kencana saja untuk apa sih, Eyang? Mari kita pergi saja dari sini. Aku tidak senang di sini!"
Endang Patibroto menggandeng tangan gurunya dan menarik-nariknya pergi dari situ. Dibyo Mamangkoro tertawa-tawa, akan tetapi tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik-tarik. Dia tidak tahu betapa perbuatan Endang Patibroto ini ada sebabnya, yaitu ketika anak itu tadi melihat tubuh kakeknya bergerak-gerak perlahan
Setelah tiba di pantai, mereka melihat perahu layar besar itu sudah berlayar jauh, Dibyo Mamangkoro lalu menggendong muridnya, dan menyeberang ke darat dengan cara seperti tadi, yaitu dengan menunggang mancung kelapa.
Memang betul apa yang dilihat oleh Endang Patibroto dan yang diduganya tadi. Tubuh Sang Bhagawan Rukmoseto yang disangka orang telah tewas itu, bergerak-gerak perlahan. Mula-mula kedua kakinya, lalu kedua tangannya, kemudian terdengar ia mengeluh perlahan, membuka matanya dan dengan gerakan lemah dan lambat ia berusaha bangkit. Namun ia roboh kembali sehingga dagu dan pipinya menumbuk tanah. Agaknya ini bahkan membuat ia sadar. ia mengeluh, mengejap-ngejapkan matanya, lalu berhasil bangkit dan duduk. Ia memandang ke sekitarnya. Sunyi. Hanya terdengar suara ombak memberisik di pantai. Ia menoleh ke belakang, ke arah pondoknya. Sudah berantakan dan tidak ada pondoknya lagi, hanya tinggal bekas-bekasnya. la menarik napas panjang.
"Ya Jagad Dewa Batara... terjadilah kiranya segala kehendak Hyang Widi Wisesa... Hamba masih diperkenankan hidup... untuk apa dan sampai kapan?"
la lalu bersila, mengheningkan cipta memusatkan panca indera, setelah hening lalu diarahkan ciptanya mengumpul dan menghimpun semua hawa murni dalam tubuh, menyalurkannya ke arah belakang kepala untuk menyembuhkan luka pukulan yang sepatutnya menghancurkan kepalanya itu. Sampai terasa panas seperti dibakar api dari dalam, nyeri bukan main…..!
********************
Kita tinggalkan dulu Sang Bhagawan Rukmoseto yang secara ajaib atas kehendak Yang Maha Kuasa, dapat terlepas dari ancaman maut itu. Mari kita menengok dan mengikuti perjalanan Pujo bersama Kartikosari dan Roro Luhito. Tiga orang ini menunggang kuda, pertama-tama mereka mencari kedua orang anak, yaitu Endang Patibroto dan Joko Wandiro di sekitar daerah pantai selatan. Mereka naik turun gunung yaitu barisan Gunung Kidul yang membujur dari timur ke barat tiada berkeputusan.
Mereka keluar masuk hutan, ada kalanya harus meninggalkan kuda untuk menuruni tebing pantai yang amat curam dan yang tidak mungkin dapat dilakukan seekor kuda. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kedua orang anak itu lenyap tanpa ada jejaknya, seakan-akan lenyap ditelan bumi. Mulai gelisah hati Kartikosari yang kehilangan puterinya. Apalagi Pujo mulai merasa khawatir kalau-kalau kedua orang anak itu tertimpa malapetaka. Ia amat sayang kepada Joko Wandiro, apalagi setelah kini diketahui bahwa ayah Joko Wandiro sesungguhnya bukanlah musuh besar yang selama ini didendamnya.
Dan tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan Endang Patibroto, anak kandungnya. Untung bahwa di samping mereka terdapat Roro Luhito yang pandai sekali menghibur mereka. Bahkan kadang-kadang wanita muda itu bertembang, suaranya merdu sekali, pandai berkelakar, wajahnya selalu riang dan sikapnya bebas sehingga puteri adipati ini kadang-kadang dapat menghibur mereka dan membuat suami isteri itu tersenyum.
"Nimas Sari, kurasa untuk mencari anak kita dan muridku, kita membutuhkan bantuan banyak orang. Bagaimana kalau kita sekarang pergi ke Bayuwismo? Para cantrik kiranya. Akan dapat membantu kita. Pula, perlu kita menghadap bapa resi yang tentu amat sengsara hatinya oleh kepergian kita."
Kedua mata Kartikosari menjadi basah ketika ia teringat akan ayahnya. la mengangguk dan menjawab, "Agaknya begitulah sebaiknya, Kakangmas Kita perlu mohon pengampunan dan petunjuk dari ayah."
"Aku pun akan pulang ke Selopenangkep. Siapa duga bahwa kita sebenarnya adalah tetangga dekat! Jangan kalian khawatir, mari ikut aku ke Selopenangkep. Dengan pengerahan pasukan kadipaten untuk mencari jejak kedua orang anak itu, tentu akan dapat segera berhasil!"
"Terima kasih, Diajeng. Akan tetapi biarlah kita pergi dulu ke Bayuwismo menjenguk ayah sepertl yang diusulkan kakangmas Pujo. Kalau perlu kelak, boleh saja kami menerima bantuanmu itu. Memang lebih banyak yang mencari lebih baik."
"Mari kita berangkat," kata Pujo, memandang ke angkasa," matahari sudah naik tinggi. Kalau kita mempercepat kuda, menjelang senja kita akan sampal di Bayuwismo."
Tiga ekor kuda meloncat ke depan lalu terdengar derap kaki mereka mernbalap ke arah barat. Pujo berada di depan, tegap dan gagah perkasa. Kartikosari di tengah dan Roro Luhito paling belakang. Rambut kedua orang wanita cantik jelita ini berkibar tertiup angin. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Pujo, lewat tengah hari sarnpailah mereka di Sungapan dan dari jauh sudah nampak pondok Bayuwismo. Tiba-tiba Kartikosari berseru,
"Kakangmas, berhenti di sini!"
Pujo menahan kudanya dan mereka bertiga melompat turun. Tiga ekor kuda yang tubuhnya penuh keringat dan hidungnya berkembang-kempis terengah-engah itu dilepas.
"Mengapa, Nimas?"
Dengan terharu Kartikosari berkata, "Sudah terlalu lama kita tidak pulang. Akan terlalu mengagetkan ayah kalau kita datang berkuda. Kasihan, ayah sudah tua..." Wanita itu menahan isak, lalu dengan air mata membasahi pipi ia memandang Pujo, memaksa senyum. "Hatiku terlalu gembira... melihat pondok itu... mari kita ke sana, Kakangmas. Diajeng Luhito, mari..."
Dengan wajah berseri akan tetapi sinar matanya penuh keharuan Kartikosari menggandeng tangan Pujo dan tangan Roro Luhito. Berangkatlah mereka berjalan kaki melalui pantai berpasir, membiarkan kuda mereka mencari rumput dan melepaskan lelah.
"Ehhh... apa itu...?"
Tiba-tiba Roro Luhito menudingkan telunjuknya ke depan agak ke atas. Mereka harus melindungi mata dari sinar matahari yang sudah condong ke barat, karena letak pondok itu berada di sebelah barat.
"Seperti... burung-burung gagak..."kata Kartikosari.
"Ahhh... apakah yang menggeletak di pasir itu...?"
Pujo berseru dan serentak, seperti mendapat komando, ketiga orang itu lalu lari, tidak bergandeng tangan lagi, melainkan berlari, cepat seperti tiga orang kanak-kanak bermain-main dan berlumba lari di atas pasir pantai!
"Duh Jagad Dewa Batara...!"
Pujo berseru ketika melihat bahwa enam orang cantrik Bayuwismo telah menggeletak malang-melintang di atas pasir, tak seorangpun di antara mereka masih bernapas.....