Badai Laut Selatan Jilid 24

Bukan main cepatnya gerakan kedua orang itu. Ketika Roro Luhito menerjang dan menyerang bertubi-tubi dan Pujo mengelak ke sana ke mari mengandalkan ilmunya Bayu Tantra, lenyaplah kedua orang itu, yang tampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan kadang-kadang bergumul menjadi satu. Ketika mendapat kesempatan menangkis, Pujo mempergunakan jari tangannya untuk dikipatkan ke arah lengan Roro Luhito. Akan tetapi wanita inipun bukanlah seorang wanita biasa. Ia cukup cerdik dan maklum bahwa lawannya memiliki jari-jari tangan yang kuat dan mengeluarkan hawa panas yang bukan main, maka setiap kali Pujo menangkis, ia selalu menarik kembali tangannya untuk diganti dengan pukulan lain yang lebih berbahaya dan yang kecepatannya tak mungkin dapat ditangkis kecuali hanya dielakkan secara cepat pula.

Gerakan Roro Luhito selain cepat juga aneh dan bertubi-tubi. Kadang-kadang kelihatan seperti gesitnya seekor Kera, kadang-kadang seperti menyambarnya seekor burung elang, atau seperti ganasnya harimau menerkam. Memang Ilmu Silat Sosro Satwo ini, sesuai dengan namanya yang berarti Seribu Binatang, mengambil inti sari dari pada gerakan bermacam-macam binatang hutan.

Repot juga Pujo menghadapi ilmu silat yang aneh itu. Untung ia menang kuat dan tubuhnya kebal, kalau tidak, ia bisa kalah oleh lawannya. Belum pernah ia berhasil menangkis, malah sudah tiga kali ia kena tendangan dan pukulan yang cukup membuat matanya berkunang, akan tetapi tidak cukup kuat untuk membuatnya roboh. Kembali karena bingung menghadapi serangan Roro Luhito yang gayanya berputaran seperti lagak seekor ayam jago, lambung kirinya kena di jalu, yaitu ditendang dengan gaya seperti seekor ayam jago meneladung (menendang).

"Ngekkk!"

Terasa juga kali ini. Lambungnya kena digajul keras sekali. Sejenak Pujo terengah, akan tetapi gerakan Roro Luhito yang menendang sambil meloncat itu membuat rambutnya yang panjang terurai ke depan. Pujo tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tangan kirinya meraih dan rambut panjang itu dapat dijambaknya dan ditarik sehingga tubuh Roro Luhito terhuyung.

"Athooooouu!" Ia menjerit-jerit kesakitan. "Lepaskan! Curang kau!"

Akan tetapi Pujo yang masih mulas perutnya karena lambungnya digajul tadi, sudah menampar dengan tangannya, ke arah tengkuk.

"Plakkk!"

Tidak keras tamparan itu, namun karena jari tangannya masih mengandung hawa sakti Aji Pethit Nogo, cukup membuat tubuh Roro Luhito terpelanting dan tak dapat bangun kembali. Wanita itu merintih-rintih dan memegangi tengkuknya yang rasanya seperti patah-patah!

"Heh si keparat Pujo! Kau tidak menerimanya dengan baik-baik malah berani merobohkannya? Aku tidak terima!"

Terdengar suara keras, sesosok bayangan melesat dan menyambar ke arah kepala Pujo dari atas. Pujo terkejut sekali, cepat ia menggerakkan kaki, tubuh ditekuk ke bawah sehingga kakinya lurus dengan tanah. Cepat sekali gerakannya mengelak ini, karena ia tahu akan kehebatan serangan dari atas maka ia menggunakan jurus kelit Kemul Bantolo (Berselimut Tanah). Akan tetapi sungguh tak disangkanya dan amat mengejutkan hatinya karena sungguhpun serangan pertama itu dapat ia elakkan, akan tetapi secara aneh sekali kaki penyerang itu dapat menyeleweng dan mendupak (menendang) pundaknya dengan kecepatan yang tak mungkin ia elakkan lagi! Selain terkejut, juga Pujo merasa nyeri pundaknya.

Tendangan itu tidak mengenai secara tepat, namun cukup membikin nyeri, tanda bahwa ini telah menggunakan tenaga hebat yang keluar dari hawa sakti! Pujo membanting diri ke kiri terus bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan susulan, kemudian ia melompat dan membalikkan tubuh dengar sigap dan siap dengan kuda-kuda yang kuat. Baru sekarang ia dapat melihal lawannya. Kiranya lawannya adalah seorang kakek yang sudah putih semua rambutnya, akan tetapi kakek itu mukanya buruk sekali, dahinya nonong, matanya cekung, hidungnya pesek, dagunya menonjol ke depan.

Muka seekor monyet! Dan sungguhpun kaki dan tangannya tidak berbulu seperti seekor monyet, akan tetapi karena kulitnya agak putih dan rambutnya sudah putih semua, kakek ini benar-benar mirip dengan seekor kera putih berpakaian! Kakek yang aneh ini dengar gerakan yang aneh sekali telah menghampiri Roro Luhito dan beberapa kali mengurut-urut tengkuk gadis itu dan seketika Roro Luhito dapat bangkit kembali.

"Bapa resi, dia menyangkal, malah menyerangku!" kata Roro Luhito dengan sikap dan suara manja. "Harap bapa resi suka membunuh dia untuk membalas sakit yang ia datangkan kepada diriku!"

"Jangan khawatir, muridku yang denok. Heh, Pujo, kau laki-laki pengecut, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Kau telah memperkosa muridku, akan tetapi dia bersedia memaafkan perbuatanmu bahkan ingin bersuwita (menghamba) kepadamu, menerima sekali pun menjadi isterimu yang ke dua. Akan tetapi engkau tidak hanya menyangkal perbuatanmu yang rendah, malah telah merobohkannya. Aku Resi Telomoyo tidak suka bermusuhan dengan orang muda, akan tetapi sekali ini apa boleh buat, karena mertuamu Resi Bhargowo tidak ada, aku sendirilah vang akan memberi hajaran kepadamu!"

Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang gawat dan berbahaya, juga kalau saja Pujo tidak sedemikian terkejutnya mendengar ia didakwa memperkosa Roro Luhito, tentu Pujo takkan dapat menahan ketawanya menyaksikan sikap kakek itu yang sambil bicara panjang lebar tiada hentinya menggaruk-garuk kepala, punggung atau bebokongnya, persis tingkah laku seekor monyet! Akan tetapi ia terlampau kaget dan dengan muka merah ia berkata,

"Resi adalah gelar bagi seorang pertapa yang sidik paninggal (tajam pandangan) dan tidak hanya mendengarkan fitnah sepihak! Aku tidak pernah merasa melakukan perbuatan serendah itu, bagaimana aku dapat mempertanggung jawabkannya?"

"Jahanam keparat! Kalau kau tidak melakukan kekejian itu, apa perlunya aku mencarimu sampai sepuluh tahun? Apa perlunya aku minggat dari kadipaten? Kau memang manusia rendah, pengecut yang selain mendatangkan aib dengan keji juga telah menculik kakak ipar dan keponakanku!"

Saking marahnya Pujo sampai tak dapat menjawab dan saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo yang memang wataknya keras itu untuk menerjangnya lagi. Seperti juga Roro Luhito tadi, dalam penyerangannya ini kakek itu mengeluarkan suara geraman seperti seekor monyet jantan. Akan tetapi sepak terjangnya jauh berbeda dengan muridnya. Kakek ini jauh lebih ampuh gerakannya dan kedua tangan kakinya mendatangkan angin bersiutan tanda bahwa tenaga yang ia keluarkan mengandung hawa sakti yang dahsyat.

Pujo juga marah, menganggap kakek ini keterlaluan, menjatuhkan tangan besi tanpa pemeriksaan lebih dulu. Ia bergerak dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia bergerak sampai tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebatan, dan dengan pengerahan tenaga ia menerjang, kadang-kadang dengan Aji Gelap Musti, kadang-kadang dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh.

"Wah-wah, kau hebat, orang muda!"

Kakek itu sambil menghindar ke sana ke mari dengan sigapnya memuji. Dengan kecepatan dan gerakan aneh, kakek itu meloncat-loncat dan membingungkan Pujo. Tadi menghadapi Roro Luhito saja ia sudah bingung dan beberapa kali kena dipukul. Apalagi sekarang. Hanya bedanya, kalau tadi menghadapi Roro Luhito ia segan menurunkan pukulan maut, kini menghadapi kakek yang ia tahu amat sakti itu ia tidak segan-segan mengeluarkan semua ajiannya, bahkan mengerahkan tenaga mujijat yang ia latih selama ini melawan gelombang Laut Selatan.

"Luar biasa!" seru Resi Telomoyo sambil menggulingkan diri di atas pasir ketika jari-jari tangan Pujo menyambar dengan Aji Pethit Nogo sehingga mengeluarkan suara nyaring seperti cambuk menyambar.

Sambil bergulingan kakek ini menggunakan tipu seperti yang dipergunakan Roro Luhito. Pasir berhamburan menyambar ke muka Pujo. Baiknya Pujo tadi sudah mengalami akibat tipu ini sehingga ia sudah waspada dan melihat bayangan pasir menyambar, ia sudah menutup mata dan mengelak. Namun pasir yang hanya merupakan butir-butiran kecil itu ketika mengenai kulit muka dan leher, terasa seperti jarum-jarum yang runcing menusuk-nusuk! Ia kaget sekali dan baiknya Pujo dapat menyalurkan hawa sakti ke bagian yang terserang sehingga kulitnya hanya lecet-lecet saja akan tetapi pasir tidak dapat menembus.

Dari ini saja sudah dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dalam kakek seperti monyet itu. Orang biasa saja terkena sambaran pasir ini tentu akan tewas karena pasir itu akan terus menembus kulit daging, bahkan mungkin dapat menembus tulang, tiada ubahnya seperti peluru-peluru baja!

"Wah-wah, tidak kecewa kau menjadi murid Resi Bhargowo!" Kembali kakek itu bicara sambil menerjang terus. "Sayang kau mata keranjang dan pengecut!"

Makin marahlah Pujo. Ia mencelat ke belakang agak jauh dan tahu-tahu ia sudah mencabut kerisnya, yaitu pusaka Banuwilis yang mengeluarkan cahaya hijau. Keris berlekuk sembilan ini mencorong dan hawanya seperti seekor ular hijau berbisa. Namun Resi Telomoyo tidak gentar, hanya tersenyum mengejek.

"Ha-ha! Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, sudah mengeluarkan pusaka! Ha-ha-ha!"

"Resi Telomoyo! Entah perbuatan kita yang mana dan kapan yang menghasilkan akibat saat ini. Aku tidak pernah memusuhi anda dan murid anda, akan tetapi andika agaknya menghendaki kematianku! Apa boleh buat, kalau memang hendak mengadu nyawa, silakan!"

Pujo memasang kuda-kuda dengan keris pusaka di tangannya, siap untuk membunuh atau dibunuh!

"Ha-ha-ha! Mengakui dan menyesali perbuatan sendiri memang merupakan perkara yang paling sulit dilakukan di dunia ini! Betapa pun buruk perbuatan sendiri, selalu dipandang dan dicari segi-segi kebaikannya. Aku tidak ingin membunuhmu, hanya ingin memaksamu mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap muridku. Hayo, kau boleh gunakan pusakamu, orang muda. Murid sama dengan anak, kalau guru tidak membela muridnya, orang tua tidak membela anaknya, habis apa gunanya menjadi guru atau orang tua? Kerahkan semua tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu kalau kau mau mengenal Resi Telomoyo!"

Pujo makin mendongkol hatinya. Agaknya percuma saja bicara dengan dua orang itu. Menyangkalpun tidak akan ada gunanya karena tidak dipercaya Maka ia lalu berseru, "Baik, hati-hatilah, sang resi. Awas pusakaku!"

Ia menubruk maju dan menerjang dengan hebat. Bukan main hebatnya serangan Pujo ini. Kerisnya menyambarnyambar, lenyap ujudnya berubah menjadi segulung sinar hijau. Sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga dalam mengimbangi terjangan kerisnya dengan pukulan-pukulan jari Pethit Nogo!

Baiknya Resi Telomoyo adalah seorang pertapa sakti yang sudah tinggi sekali tingkat ilmunya. Ia seorang pemuja dan penyembah tokoh pewayangan Hanuman (Anoman), kera putih yang terkenal sakti mandraguna di jaman Ramayana, kera putih yang menjadi senopati dan yang seorang diri berani menyerbu Kerajaan Alengka, mempermainkan raja denawa Prabu Dasamuka beserta semua perajuritnya.

Resi Telomoyo memiliki aji yang membuat tubuhnya dapat bergerak laksana terbang, ringan seperti kapas, cepat seperti halilintar menyambar, dan hawa sakti di tubuhnya sudah mencapai tingkat yang amat tinggi karena ia gentur tapa (tekun bertapa), waspada dan sakti mandraguna. Hanya sayangnya, yang ia puja adalah seorang tokoh bertubuh monyet, dan agaknya karena memang ia lebih menyayang monyet dari pada manusia, maka kekasaran, kenakalan, dan kelucuan seekor monyet menular kepadanya.

Ia suka main-main, kadang-kadang kasar dan nakal. Pandang matanya yang waspada sebetulnya menyadarkan perasaannya bahwa Pujo adalah seorang laki-laki yang baik dan agaknya tidak melakukan perbuatan hina terhadap muridnya. Akan tetapi ia juga merasa yakin bahwa muridnya tidak membohong kepadanya. Kalau disuruh memilih, percaya yang mana, tentu saja tanpa ragu-ragu lagi ia lebih percaya muridnya! Pula, melihat orang muda itu memiliki kesaktian tinggi juga, timbul keinginan hatinya untuk melawan dan mengalahkannya!.

Pertandingan berlangsung seru. Baru sekarang Roro Luhito melihat dengan mata sendiri betapa saktinya Pujo! Tahulah ia kini bahwa tadi Pujo sengaja banyak mengalah terhadapnya. Kalau tadi Pujo seperti sekarang ini sepak terjangnya, ia harus mengakui bahwa ia takkan kuat menghadapi Pujo lebih dari dua puluh jurus. Gurunya memang hebat. Akan tetapi agaknya mengalahkan Pujo yang memegang keris pusaka, bukan merupakan hal yang mudah. Diam-diam ia merasa kagum kepada Pujo dan mau tidak mau ia harus mengakui bahwa cinta kasih yang terpendam di hatinya bukan lenyap oleh kemarahannya, bahkan makin menjadi.

Ia menghela napas berulang-ulang saking pedih hatinya oleh penolakan dan penyangkalan Pujo. Bisikan-bisikan Pujo di dalam bilik dahulu! Pernyataan cintanya! Masih terngiang di telinganya bisikan pada peristiwa di malam hari itu, sepuluh tahun yang lalu. Masih terasa kehangatan lengan yang merangkulnya dan masih bergema bisikan halus, "Luhito, aku Pujo, aku tahu, engkau suka kepadaku seperti aku mencintaimu..."

Dan sekarang Pujo menyangkal perbuatannya itu! Berpikir begini, panas lagi hatinya, panas dan kecewa, maka menangislah ia terisak-isak sambil mendeprok (terduduk) di atas pasir. Pandang mata Resi Telomoyo amat tajam. Biarpun ia sedang bertanding seru dengan Pujo, akan tetapi ia dapat melihat muridnya yang menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak dengan sedihnya. Melihat ini, kemarahannya meluap. Ia harus merobohkan pemuda ini dan memaksanya menerima muridnya sebagai isteri!

Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik yang disertai hawa sakti sedemikian hebatnya sehingga Pujo sendiri hampir tergetar tubuhnya, dan menggigil tangan yang memegang keris. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk menendang pergelangan tangan yang memegang keris. Tendangan yang amat keras sehingga terlepaslah sambungan pergelangan tangan Pujo. Keris pusakanya terlempar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terangkat dan terbanting di atas pasir. Matanya berkunang, kepalanya pening dan sejenak Pujo tidak mampu bangun.

"Kakangmas Pujo...!"

Jerit ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu seorang wanita cantik muncul di depan Resi Telomoyo. Dia ini bukan lain adalah Kartikosari. Melihat suaminya menggeletak tak berdaya dan kakek yang wajahnya buruk menyeramkan berdiri di situ sedangkan seorang wanita cantik menangis tak jauh dari situ, Kartikosari langsung menerjang Resi Telomoyo.

Resi ini tadinya terkesima karena tidak mengenal siapa wanita yang luar biasa cantiknya ini sehingga ia memandang rendah. Pukulan dari Kartikosari adalah pukulan dengan Aji Gelap Musti, dilakukan cepat sekali karena selama waktu sepuluh tahun ini Kartikosari memperdalam ilmunya dan berhasil menciptakan gerakan yang diambil dari gerakan burung camar di tepi laut.

"Plak! Desssssss!"

Resi Telomoyo yang tidak menyangka-nyangka wanita itu sedemikian hebatnya, kena ditampar lehernya dan ditonjok perutnya. Ia gelayaran (sempoyongan), jatuh terduduk dan melongo saking herannya. "Waduh, galak dan tangkas!" Ia memuji.

Kartikosari sejenak melongo juga. Pukulannya tadi adalah pukulan Gelap Musti dan jangankan perut seorang manusia kalau tidak pecah atau remuk isinya, batu karang sekali pun terkena hantamannya tadi akan remuk! Akan tetapi kakek aneh itu hanya jatuh terduduk, dan matanya kethap-kethip seperti orang terheran saja, sama sekali tidak seperti orang habis dipukul. Maklumlah ia bahwa kakek ini seorang sakti, maka cepat ia berlutut dekat suaminya yang sudah dapat bangun duduk.

"Bagaimana, kakangmas? Kau... kau terluka...?"

Pujo serasa mimpi. Benar-benar Kartikosari sekarang yang berada di dekatnya, memeluk pundaknya dan dengan wajah yang gelisah bertanya kalau-kalau ia terluka. Tanda kasih sayang terbayang jelas di wajahnya yang selalu dirindukannya itu. Tak dapat lagi ia menahan hasrat hatinya. Dirangkulnya leher isterinya, dibelai dan hendak diciumnya! Kartikosari membuang muka mengelak.

"Hussshh, orang lain melihat...!"

Barulah Pujo teringat dan sadar cepat ia menarik tubuh Kartikosari bangun dan berdiri. Resi Telomoyo sudah berdiri pula, memandang dan menyeringai.

"Ho-ho-ho! Kebetulan sekali! engkau isterinya? Engkau isteri Pujo? Kalau begitu engkau tentu puteri Resi Bhargowo! Ha-ha, sungguh kebetulan.dengarlah engkau akan kelakuan suamimu yang bagus itu! Dia telah meng... "

"Bapa guru, diam!" Tiba-tiba Roro Luhito menjerit meloncat berdiri dan menubruk gurunya sambil menangis. "Bapa guru, haruskah aku menderita malu dan terhina di depan banyak orang lain? Biarlah aku yang menghadapi Pujo!"

Roro Luhito adalah seorang wanita yang berwatak keras. Sebentar saja ia sudah berhasil menekan perasaannya. Matanya masih merah, akan tetapi tidak ada air mata mengalir turun. Dengan pandang mata penuh benci dan dendam. Ia memandang Pujo, dan hanya mengerling sejenak ke arah Kartikosari yang diam-diam ia puji kecantikannya.

"Pujo, kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai permusuhan dengan aku. Sekarang, aku minta engkau sebagai seorang ksatria jantan, sebagai laki-laki sejati, di depan isterimu, kau ceritakanlah apa yang terjadi di Kadipaten Selopenangkep sepuluh tahun yang lalu! Kalau kau menceritakan kesemuanya dan memang tepat, biar aku mengalah dan pergi. Akan tetapi kalau sebaliknya aku pasti akan mengadu nyawa denganmu!"

"Kakangmas, siapakah dia ini dan kakek itu? Jangan takut, biarlah kuhadapi mereka!"

Kartikosari hendak melangkah maju, akan tetapi Pujo memegang lengannya dan berkata halus, "Jangan, nimas. Urusan ini adalah urusan salah faham dan fitnah, memang harus dibikin terang agar jangan menjadi jadi." Pujo melarang isterinya karena ia tahu bahwa biarpun Kartikosari kini agaknya memperoleh kemajuan pesat dengan ilmunya, namun belum tentu dapat mengatasi Resi Telomoyo yang demikian saktinya. Selain itu, ia kini percaya bahwa betul-betul aib yang menimpa diri Roro Luhito dan bahwa di balik peristiwa ini tentu terselip rahasia yang harus dipecahkan.

Ia melangkah maju dan berdiri berhadapan dengan Resi Telomoyo dan Roro Luhito, terpisah dua meter saja jauhnya. Kartikosari masih digandengnya. Kemudian ia menarik napas panjang dan berkata, "Roro Luhito dan juga paman Resi Telomoyo, harap suka dengarkan baik-baik penuturanku. Aku bersumpah demi kehormatanku sebagai satria kepada Hyang Maha Pamungkas, bahwa apa yang kuceritakan ini adalah yang sebenar-benarnya, tidak lebih maupun kurang dari pada hal-hal yang sebenarnya terjadi."

Ia menarik napas panjang, mengajak isterinya duduk di atas pasir sambil mempersilakan kedua orang guru dan murid itu untuk duduk pula. Resi Telomoyo yang memang yakin bahwa orang muda di depannya ini bukan orang jahat, segera menjatuhkan diri duduk di pasir seenaknya, sedangkan Roro Luhito melihat tiga orang itu duduk, biarpun dengan ragu-ragu, akhirnya duduk pula bersimpuh, matanya menatap wajah Kartikosari yang cantik dan berwibawa. Diam-diam ia merasa iri betapa kedua suami isteri itu bergandeng tangan dengan sikap mesra, penuh cinta kasih.

"Sepuluh tahun yang lalu, aku mempunyai dendam sedalam lautan terhadap Wisangjiwo, dendam yang hanya dapat diselesaikan dengan menyabung nyawa. Oleh karena dendam itu semata maka pada malam hari itu aku menyerbu Kadipaten Selopenangkep. Maksud hatiku hendak mencari Wisangjiwo dan membunuhnya. Akan tetapi sayang sekali, Wisangjiwo tidak berada di kadipaten dan karena mata gelap saking besarnya rasa dendam kesumat, aku mengamuk, membunuh beberapa orang pengawal, melukai Adipati Joyowiseso, akan tetapi akhirnya aku tertangkap. Aku tetap tidak mau mengaku dendam apa yang kurasakan terhadap Wisangjiwo. Aku disiksa dan akhirnya dihukum perapat."

"Ohhh...!"

Kartikosari yang belum mendengar cerita ini berseru kaget dan jari-jari tangannya yang halus mencengkeram tangan suaminya. Pujo menoleh kepadanya dan mengangguk-angguk, mengerling kepada Roro Luhito dan Resi Telomoyo lalu berkata, "Lihat, isteriku sendiripun baru sekarang dapat mendengarkan ceritaku karena akibat perbuatan Wisangjiwo itu telah membuat kami suami isteri berpisah pula sampai sepuluh tahun!"

"Hemmm...!"

Resi Telomoyo mengangguk-angguk dan menggaruk-garuk punggung serta kepalanya. Sejak tadi Kartikosari memperhatikan gerak-gerik Resi Telomoyo ini dan di dalam hatinya ia merasa geli dan baru sekarang ia melihat betapa kakek ini mirip benar, baik muka maupun gerak-gerik, dengan seekor kera putih yang besar!

"Hukuman perapat tidak berhasil membunuhku dan akhirnya muncullah Jokowanengpati yang pada malam hari itu turun tangan dan membuat aku tertangkap."

"Jokowanengpati murid uwa guru Empu Bharodo?" Kartikosari tercengang Pujo mengangguk.

"Dia menjadi tamu kadipaten ketika itu dan membantu kadipaten sehingga aku tertangkap. Akan tetapi ketika hukum perapat dijalankan dan tidak berhasil membunuhku, kakang Jokowanengpati datang dan membawaku kembali ke dalam tahanan. Ternyata dia bermaksud baik terhadap aku, mengingat kita masih saudara seperguruan. Dia membalik terhadap kadipaten, malam itu ia membebaskan aku, malah dia pula yang membantu menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya, membantu aku keluar dari kadipaten dan setelah jauh baru dia menyuruhku cepat-cepat pergi membawa isteri Wisangjiwo dan puteranya."

"Ahhh, kau lakukan hal itu?" Suara Kartikosari benar-benar membayangkan hati kaget dan heran. Pujo menepuk-nepuk lengan isterinya, menyabarkan hatinya.

"Karena tidak berhasil mendapatkan Wisangjiwo, aku seperti kemasukan iblis saking kecewa dan marahku, maka kuculik isteri dan puteranya. Akan tetapi jangan salah sangka, demi Dewata Yang Agung, aku tidak melakukan hal-hal yang melanggar susila terhadap wanita itu, nimas."

Kemudian Pujo menoleh kepada dua orang bekas lawannya. Ia melihat betapa sepasang mata Roro Luhito terbelalak, pandang matanya liar dan sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut-kerut.

"Lalu bagaimana...? Lalu bagaimana...?" desak Roro Luhito, dadanya yang membusung tertutup kemben itu bergelombang turun-naik, napasnya agak terengah tanda bahwa di dalam hatinya timbul perasaan yang tegang.

"Kubawa mereka ke Gua Siluman, kutinggalkan isteri Wisangjiwo di dalam gua akan tetapi kubawa lari puteranya yang selanjutnya kujadikan muridku dan kuanggap anak sendiri..."

"Dia Joko Wandiro...?" Kini Kartikosari yang memegang lengan suaminya, bertanya, suaranya gugup.

"Benar. Eh, bagaimana kau bisa tahu, nimas?" tanya Pujo heran, menoleh kepada isterinya.

Akan tetapi, sebelum Kartikosari menjawab, Roro Luhito sudah melompat berdiri dengan gerakan cepat. Pujo, Kartikosari, dan juga Resi Telomoyo memandang kaget. Wajah gadis itu pucat sekali, matanya bergerak-gerak liar, hidungnya kembang-kempis, dadanya terengah-engah.

"Pujo... Pujo... kau bersumpahlah sekali lagi... bahwa apa yang kau ceritakan semua itu tadi adalah yang sebenarnya terjadi?"

"Aku bersumpah demi Dewata Agung!"

"Dan bukannya engkau terlepas karena bantuan gurumu Resi Bhargowo, kemudian gurumu membantumu menculik isteri dan putera kangmas Wisangjiwo dan engkau sendiri memasuki bilikku?"

"Tidak sama sekali! Dari mana datangnya fitnah itu?!?" Pujo melompat berdiri, juga Kartikosari dan Resi Telomoyo. Mereka sama-sama menjadi tegang.

"Kata kakangmas Jokowanengpati engkau memasuki bilikku... dan kau dibantu Resi Bhargowo maka dia tidak berdaya dan... aduh Jagad Dewa Batara...! Tahulah aku sekarang! Dialah orangnya! Dia si keparat Jokowanengpati... ya Dewa... Gusti Maha Agung, cabut sajalah nyawaku... bapa guru...!"

Roro Luhito menubruk gurunya dan rebah pingsan dalam pelukan Resi TeHomoyo. Resi Telomoyo memandang Pujo bingung, bertanya, "Anakmas, apa sebenarnya yang terjadi?"

Pujo menggeleng kepala.
"Aku sendiri bingung, paman. Bawalah dia ke pondok, dia perlu istirahat dan menenangkan perasaannya yang terguncang hebat."

Kakek itu mengangguk, memondong tubuh muridnya dan membawanya memasuki pondok Pujo. Pujo dan isterinya memandang sampai kakek itu lenyap di balik pintu pondok.

"Kakangmas! Jadi putera Wisangjiwo kah yang bernama Joko Wandiro?"

"Betul, nimas. Tadinya hendak kudidik dia agar kelak memusuhi ayahnya sendiri. Bagaimana kau bisa tahu?"

"Ah, kakangmas... celaka! Aku khawatir sekali. Dia dan... anak kita telah lenyap..."

Saking kagetnya Pujo melepaskan tangan Kartikosari yang memegang lengannya sambil melompat mundur sejauh lima meter lebih. Benar-benar kaget sekali dan tadi ia meloncat seperti menghindar kan diri dari serangan maut! Kini matanya terbelalak, kakinya bergerak lambat-lambat maju, bibirnya gemetar ketika ia bertanya,

"Anak... anak... kita...?"

Kartikosari tak dapat menahan diri lagi. Ia menjatuhkan dirinya bersimpuh di atas pasir, mengangguk-angguk sambil menangis, lalu keluar kata-katanya tersendat-sendat,

"Ketika... kita berpisah... aku... aku sudah mengandung aku... lari dan bersembunyi ke Karang Racuk... memelihara dan mendidiknya di sana..."

Pujo melompat dan menubruk isterinya, mendekapnya dan air mata membanjir di pipinya,
"Aduh Gusti... terima kasih! Nimas Sari, di mana anak kita...? Laki-laki atau perempuankah? Siapa namanya?"

"Kunamakan dia Endang Patibroto..."

Pujo terharu sekali mendengar nama ini, dipandangnya wajah isterinya, lalu didekapnya kepala itu ke dadanya,diciumnya.

"Ampunkan aku, Sari kau ampunkan aku yang bermata namun tak dapat melihat betapa engkau sesungguhnya seorang wanita sesuci-sucinya, seorang puteri yang patut menjadi tauladan. Aku bodoh bebal dan pengecut. Kau ampunkan aku, nimas..." Pujo lalu berlutut dan hendak meraih dan mencium jari kaki Kartikosari.

Naik sedu-sedan dari dada wanita itu dan cepat ia merangkul leher suaminya, melarang suaminya melakukan perbuatan itu. "Jangan, kakangmas! Tak baik seorang suami merendahkan diri macam ini! Aku tetap isterimu, aku selamanya tetap mencinta dan setia kepadamu, kakangmas."

Mereka berdekapan, merasa seakan-akan diterbangkan angin, terapung-apung di angkasa raya, penuh bahagia, menemukan kembali kehilangan yang sepuluh tahun membuat mereka merana.

"Di mana dia, nimas. Di mana Endang Patibroto anakku?"

Kartikosari tersentak kaget, lalu melepaskan diri dari pelukan. "Inilah sebabnya mengapa aku datang ke sini kakangmas. Ketika beberapa hari yang lalu aku bertemu Joko Wandiro dan mendengar tentang kau, aku lari ke sini, meninggalkan Joko Wandiro dan Endang Patibroto yang kusuruh kembali kepantai. Akan tetapi ketika aku kembali ke sana, mereka tidak ada. Mereka lenyap dan kulihat ada lima orang penjahat sudah menggeletak menjadi mayat. Aku gelisah sekali, kakangmas...entah di mana adanya mereka berdua..."

Pujo termenung dan juga cemas, Kiranya Joko Wandiro yang disuruhnya mencari kuda itu bertemu dengan Kartikosari. Pantas sampai kini belum pulang. Dan sekarang anak itu, bersama-sama anak kandungnya sendiri, mereka telah lenyap tak meninggalkan bekas! Ia bertemu isterinya akan tetapi berbareng kehilangan muridnya yang terkasih dan anak kandungnya yang belum pernah ia lihat!

Pada saat itu, Resi Telomoyo keluar dari pondok bersama Roro Luhito. Wanita itu tidak menangis lagi dan wajahnya amat pucat, rambutnya kusut, matanya sayu. Ia melangkah mendekati Pujo dan Kartikosari yang sudah bangkit berdiri, lalu berkata kepada Pujo, "Kakangmas Pujo, harap kau ampunkan kesalahanku yang telah menuduhmu. Aku mengerti sekarang. Jokowanengpati yang telah melakukan hal itu kemudian menjatuhkan fitnah kepadamu. Agar tiada awan gelap lagi mengeruhkan pikiran kita, bolehkah aku mengetahui, apa yang telah dilakukan oleh kakangmas Wisangjiwo maka engkau begitu membencinya?"

Pujo memandang isterinya yang juga menatapnya, kemudian Kartikosari yang menjawab, "Diajeng Roro Luhito, memang ada permusuhan antara kakakmu dengan kami suami isteri. Malah beberapa hari yang lalu kami telah berhasil menangkapnya. Akan tetapi ternyata kami telah salah duga. Sungguhpun kakakmu itu pernah memusuhi kami, akan tetapi bukan dialah orang yang sebenarnya kami cari. Kami juga telah salah duga, seperti engkau salah menduga suamiku tadi. Tidak ada urusan apa-apa lagi antara keluargamu dengan kami, diajeng. Bahkan keponakanmu, Joko Wandiro, juga dididik baik-baik oleh suamiku, malah menjadi muridnya. Sekarang dia bersama anak kami yang kusuruh menanti di Karang Racuk, telah lenyap entah ke mana. Kami sedang bingung memikirkannya dan hendak berusaha mencari mereka."

"Kalau begitu, kakakkupun terkena fitnah! Bagaimana kalian baru bisa tahu bahwa bukan kakangmas Wisangjiwo yang kalian cari? Ataukah inipun rahasia?" Roro Luhito bertanya.

"Yang kami cari adalah seorang lelaki yang kelingking tangan kirinya buntung, sedangkan Wisangjiwo masih lengkap jari tangannya."

"Kelingking kirinya buntung?" tanya Roro Luhito setengah menjerit. "Hyang Maha Agung yang menguasai jagad! Si keparat Jokowanengpati buntung kelingking kirinya!"

Tiba-tiba Pujo meloncat dan menampar kepalanya sendiri. "Ahhhhh...! Alangkah tolol aku! Benar... kelingking tangan kirinya buntung!"

Suami isteri itu saling pandang, mata mereka bersinar-sinar penuh kemarahan dan hampir berbareng mereka berseru, "Jokowanengpati iblis keparat!"

"Tahu aku sekarang!" Roro Luhito ikut bicara. "Jika kalian mencari orang yang melakukan fitnah terhadap kakangmas Wisangjiwo kepada kalian, tentu Jokowanengpati orangnya. Pantas saja dia bertindak seperti ular berkepala dua di kadipaten! Dia membantu ayah menangkapmu kakangmas Pujo, lalu dia membantumu membebaskan diri dan menculik isteri dan putera kakakku, kemudian dia membohongi ayah dan menyatakan bahwa kau kabur menculik serta melakukan perbuatan keji di kadipaten atas bantuan gurumu, Resi Bhargowo!"

"Tobat…! Tobat...! Kiranya ada manusia sejahat itu? Dia hendak mengadu domba antara Resi Bhargowo semuridnya dengan Kadipaten Selopenangkep! Dan aku pernah bertemu dengan manusia iblis itu. Sayang yang kucari adalah Pujo dan Resi Bhargowo, kalau aku tahu dia orangnya yang bersalah, tentu sudah kubekuk dia!"

Secara singkat Resi Telomoyo menceritakan pertemuan dan pertandingannya melawan Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo beserta pasukannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar