Badai Laut Selatan Jilid 17

Baik Pujo maupun Joko Wandiro sama sekali tidak tahu bahwa gerakan mereka sejak pagi tadi diawasi terus oleh sepasang mata yang bersinar tajam, sepasang mata milik seorang kakek yang menyembunyikan diri di balik batu karang sambil mengintai. Kakek ini berambut putih, bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo!

Setelah Pujo dan Joko Wandiro lenyap memasuki pondok yang tampak dari jauh, kakek ini duduk termenung di atas batu karang. Sejak kemarin ia mengintai dan jelas bahwa puterinya, Kartikosari tidak berada di situ, tiada bersama Pujo. Bocah yang tangkas dan memiliki bakat luar biasa itu, siapakah? Putera Pujo dan Kartikosarikah? Ataukah bocah ini adalah cucu Adipati Joyowiseso yang kabarnya diculik Pujo?

Banyak hal-hal aneh didengarnya selama ini. Mula-mula hal aneh didapatinya di pondoknya sendiri, ketika ia pulang ke Sungapan. Pondoknya, Bayuwismo, masih seperti biasa, akan tetapi enam orang cantriknya sudah tidak seperti biasa lagi, mereka kini telah menjadi tuli semua! Memang seorang di antara mereka, Wistoro adalah seorang yang tuli dan gagu sejak dahulu, akan tetapi lima orang cantriknya kini menjadi tuli semua.

Dan betapa heran dan penasaran hatinya ketika ia mendengar bahwa Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo sebagai utusan Adipati Selopenangkep, Joyowiseso, membawa pasukan dan mencari-cari dia dan Pujo, juga Kartikosari Bagaimanakah ini? Apakah yang telah terjadi?

Setelah mendengar laporan cantrik-cantriknya yang menangis, Resi Bhargowo menarik napas panjang untuk menekan kemarahan hatinya. Ia menghibur mereka, lalu langsung ia mengajarkan Aji Panca Kartika kepada lima orang cantriknya yang telah menjadi tuli, dan menurunkan Aji Gelap Musti kepada cantrik Wistoro.

Ilmu Panca Kartika adalah semacam ilmu silat yang dimainkan oleh lima orang, merupakan barisan yang kokoh kuat sehingga ketulian mereka dapat diganti dengan kerja sama dalam barisan sakti ini. Adapun cantrik Wistoro yang sejak kecilnya tuli gagu, tidaklah merasa rugi seperti kelima orang saudaranya, maka diberi Ilmu Gelap Musti. Setelah memesan mereka berenam agar berlatih dengan tekun sehingga kelak menjadi orang-orang yang tidak mudah menerima penghinaan orang lain.

Resi Bhargowo lalu berangkat menyelidiki ke Kadipaten Selopenangkep. Mulailah kakek sakti ini tenggelam ke dalam lautan rahasia yang aneh-aneh, teka-teki yang membuat hatinya menjadi terganggu, penuh penasaran dan pertanyaan, dan selanjutnya membuat ia selalu melakukan perbuatan secara diam-diam dan bersembunyi.

Di Kadipaten Selopenangkep yang ia selidiki secara diam-diam itu, ia mendapat dengar tentang penyerbuan Pujo ke kadipaten, tentang usaha Pujo membunuh sang adipati, kemudian betapa Pujo tertangkap dan dihukum perapat, namun malamnya dapat melarikan diri, bahkan membawa lari atau menculik Listyokumolo isteri Wisangjiwo serta puteranya yang baru berusia satu tahun! Hebat berita ini, membuat Resi Bhargowo makin gelisah hatinya, makin tak berani memperlihatkan diri kepada orang lain. Mulailah kakek ini mencari-cari puteri dan mantunya yang lenyap seperti ditelan bumi itu.

Inilah pula sebabnya mengapa ketika dalam usahanya mencari mereka itu ia berjumpa dengan Jokowanengpati di hutan lereng Gunung Lawu, kakek ini segera menyembunyikan mukanya di balik topeng getah karet! Makin terheran pula ketika tanpa disengaja ia berhasil merampas patung kencana berisi pusaka Brojol Luwuk yang menjadi pusaka keramat Mataram semenjak jaman dahulu!

Pusaka Mataram lenyap dari keraton! Alamat tidak baik! Keanehan demi keanehan dihadapi oleh kakek ini. Ia mendengar betapa banyak adipati, diantaranya dan terutama sekali Adipati Joyowiseso di Kadipaten Selopenangkep, mulai mengumpulkan orang-orang muda dan melatih mereka sebagai perajurit-perajurit!

Bahkan Adipati Joyowiseso mendatangkan orang-orang pandai seperti Cekel Aksomolo dan sepanjang pendengarannya, pernah datang pula orang-orang yang dianggap musuh Mataram seperti Ki Warok Gendroyono, Krendoyakso kepala rampok Begelen dan banyak tokoh-tokoh hitam lagi. Malah kabarnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga sering datang ke kadipaten! Inilah hebat. Tak salah lagi, tentu ada maksud-maksud jahat di Selopenangkep. Maksud memberontak!

Mendapat kenyataan yang mengejutkan ini, Resi Bhargowo seketika melupakan urusannya sendiri, dan menunda usahanya mencari puterinya. Ia lalu berangkat ke Kahuripan (Mataram) untuk melaporkan tentang usaha pemberontakan ini, juga sekalian bermaksud mengembalikan pusaka Mataram yang secara kebetulan terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi, sesampainya di kota raja, kembali ia terpukul oleh kenyataan-kenyataan yang mengherankan dan mengejutkan.

Ia mendengar bahwa Sang Prabu Airlangga telah mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan hidup sebagai seorang pendeta, berjuluk Sang Resi Gentayu (hal ini terjadi pada tahun 1041). Semenjak pengunduran diri Sang Prabu Airlangga inilah keadaan keraton Kahuripan menjadi medan persaingan dan perebutan kekuasaan antara para pangeran, keturunan permaisuri pertama yang kini menjadi pertapa pula berjuluk Sang Kili Suci, dan keturunan permaisuri ke dua Puteri Sriwijaya.

Biarpun Ki Patih Kanuruhan (Narotama) masih menjadi pembimbing dan penasehat, namun pengaruhnya kurang kuat untuk memadamkan api persaingan kekuasaan ini. Bukan hanya itu saja yang mengejutkan dan mengherankan hati Resi Bhargowo. Juga ia mendapat kenyataan bahwa putera Adipati Joyowiseso, yaitu Wisangjiwo, oleh ki patih malah diangkat menjadi seorang senopati muda! Benar-benar ia menjadi penasaran sekali dan mencurigai ki patih yang dianggapnya kurang bijaksana atau mungkin ada hubungan dengan mereka yang bermaksud memberontak!

Dengan itikad baik Resi Bhargowo langsung mengunjungi istana kepatihan untuk menegur ki patih dan melaporkan semua yang diketahuinya. Akan tetapi apa yang terjadi? Begitu memasuki kepatihan, ia lalu ditangkap dengan tuduhan pemberontak dan pengacau Kadipaten Selopenangkep, hendak membunuh seorang adipati. Adipati adalah ponggawa raja, oleh karena itu menyerangnya berarti pemberontakan!

Tanpa diberi kesempatan membela diri Resi Bhargowo terus saja ditangkap. Timbulkan kemarahan dan penasaran di hati pertapa yang biasanya tenang dan damai itu. Ia segera mempergunakan kesaktiannya, melepaskan diri dari sergapan, mengamuk lalu meninggalkan kota raja dengan hati murung. Pusaka Mataram tidak dikembalikan, dan mulai saat itulah Resi Bhargowo menjadi pemurung dan pemarah.

Hatinya yang tadinya tenang tenteram itu diombang-ambingkan kekecewaan dan penasaran. Ia bertekad untuk menyimpan pusaka ampuh itu, tidak hendak mengembalikannya kepada Mataram! Dan karena maklum bahwa semua orang pandai tentu berlomba untuk mendapatkan pusaka itu, maka ia tidak mau mempergunakan nama Resi Bhargowo lagi, namanya ia ubah menjadi Bhagawan Rukmoseto dan ia menjelajahi hutan-hutan dan gunung, pasisir-pasisir dan teluk, melanjutkan usahanya dahulu, mencari puteri dan mantunya.

Demikianlah, setelah sepuluh tahun lebih tak pernah mendengar tentang puteri dan mantunya, pada hari itu ia dapat menemukan Pujo di muara Sungai Lorog di pantai Laut Selatan. Akan tetapi oleh karena tidak tampak Kartikosari di tempat itu, ia tidak mau menemui Pujo, bahkan lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari puterinya, Kartikosari! Ia dapat menduga bahwa tentu Kartikosari belum mati, seperti Pujo, karena kalau hal ini terjadi, sudah tentu Pujo akan memberi laporan kepadanya di Sungapan.

Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang memisahkan Pujo dari Kartikosari, dan bahwa kedua orang itu sengaja hendak menyembunyikan kejadian itu dari padanya, sengaja tidak memberi tahu dan bahkan masing-masing pergi mengasingkan diri! Bahwasanya Pujo menyerbu Selopenangkep, tentu ada sangkut-pautnya dengan perpisahan mereka itu. Sementara itu Pujo yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa tadi ia diintai oleh guru atau ayah mertuanya, di dalam pondok makan ubi bakar bersama Joko Wandiro. Sejenak ia memandang anak yang makan dengan lahap itu. Anak yang ganteng, berbakat, dan menyenangkan, pikirnya. Sayang, dia putera Wisangjiwo!

Teringat ini, tiba-tiba Pujo tersedak. Ubi bakar memang makanan yang seret. Cepat-cepat ia menyambar kendi dan menuangkan air kendi ke dalam mulut untuk mendorong ubi yang mencekik tenggorokan.

"Ada apakah, ayah?" tanya Joko Wandiro, memandang heran kepada wajah ayahnya yang menjadi merah dan pandang matanya berbeda dari biasanya. Pula, ayahnya yang biasanya tenang sekali itu, mengapa pagi ini sampai tersedak ketika makan ubi?

Pujo menatap wajah muridnya yang diaku sebagai puteranya, lalu menghela napas panjang dan berkata, "Wandiro, masih ingatkah engkau akan nama musuh besar ayahmu?"

Joko Wandiro mengangguk. "Sampai mati takkan kulupakan nama itu, ayah. Dia Raden Wisangjiwo yang telah membunuh ibuku."

"Betul sekali, anakku. Dia seorang raden, putera Adipati Selopenangkep."

"Apakah dia sakti, ayah?" Joko Wandiro bertanya penuh perhatian.

"Dia cukup sakti karena dia murid Ni Durgogini seorang manusia siluman yang menguasai pegunungan sepanjang pantai Laut Selatan. Selain sakti la pun sangat curang dan licik, maka engkau harus selalu berhati-hati apabila kelak bertemu dengannya, Wandiro. Dia pandai menggunakan segala macam akal dan tenung (ilmu hitam)."

Keterangan ini diberikan oleh Pujo dengan sejujurnya. Masih menyesal hatinya kalau teringat peristiwa di dalam gua itu. Dalam pertandingan melawan Wisangjiwo, ia sudah memperoleh kemenangan, akan tetapi ia kurang hati-hati dan tidak mengira bahwa lawan yang sudah kalah itu amat curang, sehingga ia lengah dan terkena pukulan dahsyat dari belakang.

"Ayah begini kuat dan sakti. Apakah ayah kalah olehnya?"

"Tidak, Wandiro. Ayahmu tidak kalah oleh Wisangjiwo. Biar ada lima orang Wisangjiwo, agaknya aku takkan undur selangkah!" jawab Pujo dengan suara gemas dan penasaran.

"Kalau begitu, mengapa ayah tidak lekas-lekas mencarinya dan membalaskan kematian ibu?"

Sejenak Pujo memandang wajah anak itu penuh selidik, kemudian ia merangkul dan mengusap-usap kepalanya.

"Tidak begitu mudah, anakku. Sudah kukatakan tadi selain sakti, Wisangjiwo amatlah cerdik dan curang. Dia telah berhasil memperoleh kedudukan tinggi di kerajaan, menjadi seorang senopati dan di kerajaan terdapat banyak sekali orang sakti. Akan tetapi aku tidak takut. Aku terlambat sampai sekarang untuk membalasnya adalah karena engkau, anakku."

"Karena aku?"

"Ya, benar. Dahulu engkau masih kecil, bagaimana aku tega meninggalkanmu untuk mencari dan membalas musuh besar? Aku perlu memelihara dan mendidikmu. Nah, sekaranglah tiba saatnya bagiku untuk pergi mencari musuh besar kita itu. Engkau sudah besar, sudah boleh kutinggalkan sendiri..."

"Tidak, ayah! Aku akan ikut! Mari kita pergi berdua mencari musuh, aku sama sekali tidak takut."

Pujo tersenyum. Tidak sia-sia ia mendidik anak ini sejak kecil. Selain tubuhnya kuat bakatnya baik, juga nyalinya besar. "Tidak boleh, Wandiro. Pekerjaan ini amatlah berbahaya. Sudah kukatakan tadi, Wisangjiwo tidak berbahaya ilmunya, melainkan berbahaya sekali kelicikannya. Sekali ini ayahmu pergi mencarinya untuk mengadu nyawa. Dia atau aku yang mati. Kalau dia yang mati dan aku selamat, aku akan kembali ke sini dalam waktu seratus hari. Akan tetapi kalau dalam waktu seratus hari aku tidak pulang, berarti akulah yang tewas..."

"Ayah! Aku akan turut dan membantu ayah membunuh si laknat Wisangjiwo itu!"

Pujo menggeleng kepala. "Kepandaianmu belum cukup, usiamu belum cukup, Kalau kau ikut kemudian kau pun tewas bersamaku..."

"Tidak apa, ayah. Aku tidak takut, biar mati asal bersama ayah dan untuk membela ibu..."

"Ah, anak baik, sikapmu ini baik sekali. Akan tetapi tidak tepat. Kalau aku gagal membalas dan kita mati berdua, lalu siapa kelak yang akan membalaskan kematian ibumu? Akulah yang berangkat sendiri, syukur kalau berhasil. Andai kata gagal dan aku tewas, masih ada engkau yang kelak akan melanjutkah perjuangan kita ini. Dengarlah baik-baik, Wandiro. Tiga hari lagi adalah hari Respati dan aku akan berangkat pada hari itu mencari Wisangjiwo. Kau tinggal di sini atau kalau kesepian boleh kau tinggal bersama para nelayan di sana, dan tunggu aku sampai seratus hari. Kalau sampai seratus hari aku tidak pulang..."

"Kau akan pulang! Kau takkan kalah, ayah!" potong Joko Wandiro penuh semangat, matanya yang hitam itu berkilat-kilat.

"Kuharapkan demikian. Akan tetapi kalau sampai seratus hari aku tidak pulang, kau carilah kakek gurumu."

"Kakek guru...? Dia guru ayah...?"

"Benar, Wandiro. Kakek gurumu itu adalah Resi Bhargowo, seorang pertapa sakti mandraguna yang bertempat tinggal di Bayuwismo, di Sungapan pantai Laut Selatan. Kalau dari sini kau melakukan perjalanan terus menyusuri sepanjang pantai menuju ke barat, akhirnya kau akan tiba di Sungapan itu. Nah, setelah bertemu eyangmu Resi Bhargowo, kau katakan bahwa kau anak dan muridku, selanjutnya mohon petunjuknya dan ceritakan bahwa kau bercita-cita membalas dendam kepada Wisangjiwo yang telah membunuh ibumu dan membunuh ayahmu pula."

"Ayah..." Joko Wandiro kaget.

Pujo tersenyum. "Anak bodoh. Kalau dalam seratus hari aku tidak pulang, bukankah itu berarti aku telah kalah dan tewas?"

Joko Wandiro termenung. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya dengan suara tegas, "Ayah, aku hanya mendengar dari ayah bahwa ibu telah dibunuh oleh si laknat Wisangjiwo. Akan tetapi belum pernah ayah menceritakan kepadaku bagaimana terjadinya pembunuhan itu dan di mana pula adanya makam ibuku."

Pujo tercengang. Inilah sama sekali tak pernah disangkanya dan diperhitungkannya. Akan tetapi ia dapat menguasai hatinya, lalu menjawab, "Ketika itu ibumu dan aku sedang berlatih samadhi dalam sebuah gua, engkau baru berusia setahun dan engkau tidur di sudut gua. Tiba-tiba muncul Wisangjiwo yang tergila-gila kepada ibumu sehingga terjadi pertempuran. Aku berhasil merobohkan dia, akan tetapi karena ibumu terluka, aku melupakan dia dan menolong ibumu. Nah, dalam keadaan lengah itulah ia berlaku curang, menyerangku dari belakang sehingga aku roboh pingsan. Kemudian ia... ia... memperkosa ibumu lalu melarikan diri. Ibumu yang merasa dihina menjadi seperti gila lalu lari keluar gua dan... selanjutnya sampai kini aku tidak mendengar beritanya lagi. Agaknya ibumu telah tewas, dan kalau ia tewas, bukankah sama artinya dengan dibunuh oleh Wisangjiwo?"

Sejak mendengar cerita dari semula, wajah Joko Wandiro menjadi merah sekali, hidungnya berkembang-kempis dan dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya, kemudian ia bangkit berdiri, mengepal kedua tinju tangannya dan berbisik, "Jahanam Wisangjiwo...!"

Kemudian anak ini berdiri termenung seperti sebuah arca. Pujo melirik dan tersenyum senang. Berhasil ia memupuk kebencian dalam diri anak ini terhadap Wisangjiwo. Inilah harapannya, untuk membalas dendam yang tak kunjung padam dalam hatinya terhadap Wisangjiwo.

"Ayah, apakah ibu juga seorang wanita sakti?"

"Ibumu adalah puteri eyang gurumu, tentu saja ia pun sakti, hanya kalah setingkat oleh ayahmu ini."

"Kalau begitu, tentu ibu belum tewas!" Joko Wandiro bersorak. "Ayah, aku akan mencari ibu!"

"Ahh, andai kata belum tewas juga, ke mana engkau akan mencarinya? Sudahlah, kita membuat persiapan. Hari Respati esok lusa ayah berangkat dan kau sekarang boleh pergi ke dusun untuk mencarikan seekor kuda. Katakan saja kepada mereka bahwa aku hendak pergi ke kota raja, memerlukan seekor kuda tunggangan dan katakan pula bahwa kau hendak tinggal di sana selama aku pergi."

"Tidak, ayah. Aku akan tinggal saja di sini, biar seorang diri. Aku tidak takut."

Pujo tersenyum. "Begitupun lebih baik. Nah, tentang kuda itu, kalau ada cari yang pancai panggung, putih ujung keempat kakinya. Biar agak mahal harganya, tidak mengapa."

Joko Wandiro mentaati perintah ayahnya lalu berlari keluar pondok dan seperti seekor kijang muda, anak ini berlari-larian menuju ke dusun yang cukup jauh dari tempat itu, melalui sebuah hutan kecil di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kidul. Hari sudah siang ketika Joko Wandiro memasuki hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar suara hiruk-pikuk, diseling suara lengking tinggi yang memekakkan telinga dan suara-suara aneh lain. Suara-suara itu makin lama makin keras dan demikian hebatnya sehingga menimbulkan gema yang luar biasa. Joko Wandiro merasa tubuhnya menggigil, bukan karena takut melainkan karena pengaruh suara-suara yang aneh itu.

Dia seorang anak gemblengan sejak kecil, tentu saja ia tidak merasa takut. Suara gaduh yang luar biasa itu datangnya dari tengah hutan. Memang ada rasa ngeri di hatinya karena ia teringat akan dongeng-dongeng yang didengarnya dari anak-anak nelayan tentang setan dan iblis yang berkeliaran didalam hutan, setan dan iblis yang muncul dari dalam lautan di waktu malam bulan pernama. Malam tadi bulan purnama, apakah kini setan dan iblis itu kesiangan di dalam hutan dan beramai-ramai hendak kembali ke laut?

Namun, kengerian ini kalah oleh keinginan hatinya untuk menyaksikan apa gerangan yang menyebabkan suara-suara itu. Maka Joko Wandiro lalu berindap-indap menuju ke arah datangnya suara. Makin dekat, makin tergetarlah isi dadanya, maka cepat-cepat Joko Wandiro mengerahkan tenaga sakti seperti yang ia latih bersama ayahnya. Kemudian ia maju lagi. Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon tinggi, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan suara gaduh itu. Sama sekali bukan iblis atau setan yang bentuknya menakutkan. Andai kata benar iblis dan setan, akan tetapi iblis dan Setan ini berbentuk manusia biasa, manusia-manusia yang sedang bertanding mati-matian!

Demikian cepat gerakan mereka sehingga mata Joko Wandiro menjadi kabur dan ia segera dapat memaklumi bahwa yang tengah bertanding itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Ia khawatir kalau-kalau ia terlihat oleh mereka dan selain kekhawatiran ini, ia pun ingin sekali menonton pertandingan. Bagaimana akalnya? Ia memandang ke atas lalu cepat-cepat seperti seekor kera Joko Wandiro memanjat pohon, berloncatan dari dahan ke dahan sampai akhirnya ia berada di atas mereka yang sedang bertanding mati-matian.

Enak menonton di tempat itu dan jelas kelihatan mereka yang sedang beryuda. Ia memandang penuh perhatian, tetap mengerahkan tenaga dan hawa sakti karena suara berkeritik aneh membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Pertandingan itu tidak seimbang jumlahnya. Seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, bertangan kosong, dikeroyok oleh delapan orang! Dan di sekeliling tempat itu terdapat belasan orang lain yang mengepung dan menonton sambil bersorak memberi semangat kepada delapan orang yang mengeroyok itu!

"Tak pantas! Tak tahu malu!" Joko Wandiro memaki-maki di dalam hatinya, akan tetapi ia kagum bukan main menyaksikan sepak terjang orang tua yang dikeroyok itu. Gerakannya tangkas, matanya berkilat, tangannya ampuh dan kuat, dapat menangkis senjata-senjata tajam lawan yang menyambarnya bagaikan hujan.

Siapakah gerangan orang tua yang gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Rakyana Patih Kanuruhan atau Sang Narotama Patih Kahuripan yang gagah perkasa dan sakti mandraguna. Karena segala usaha yang dikerahkan untuk mendapatkan kembali pusaka keraton yang hilang, sang patih tiada bosannya ikut pula berusaha sendiri mencari dan pada hari itu ia pun tengah berkelana mencari pusaka itu. Akan tetapi setibanya di hutan ini ia telah dikurung oleh banyak orang.

Ia tentu saja tidak tahu bahwa memang sejak kepergiannya dari kerajaan, ia telah dibayangi dan di tempat ini dia sengaja dihadang oleh musuh-musuh ini. Dapat dibayangkan betapa heran hati sang patih ketika melihat di antara para penghadang yang bersikap mengancam dan bermusuhan ini, ia mengenal Ki Warok Gendroyono, yang pernah dihukum kemudian dibebaskan oleh Sang Prabu Airlangga, kemudian mengenal pula Ki Krendoyakso kepala perampok dari daerah Bagelen yang pernah dihancurkan gerombolannya oleh bala tentara Mataram.

Di samping dua orang sakti ini, ia melihat pula seorang berpakaian cantrik yang sudah tua sekali usianya, bertubuh tinggi kurus dan bongkok akan tetapi sikapnya membayangkan kesaktian yang tak boleh dipandang ringan, dan di sebelahnya berdiri pula seorang tua yang pucat wajahnya, bermata sipit dan berkulit kekuningan, di pinggangnya tergantung sepasang golok. Dua orang yang tidak dikenalnya ini jelas bukan orang sembarangan. Adapun mereka yang berdiri di belakang, belasan orang banyaknya, adalah orang-orang tinggi besar dan kasar, dipimpin oleh lima orang yang bercambang bauk, dan sikapnya seperti kepala perampok.

"Narotama, saat kematianmu tibalah sekarang!"

Demikianlah bentakan Ki Warok Gendroyono begitu mereka berjumpa. Narotama tersenyum. Sebutan namanya itu saja sudah membuktikan bahwa orang-orang ini menghendaki permusuhan, sama sekali tidak menganggapnya sebagai patih dalam yang terhormat dari Kahuripan.

"Wah, kiranya Ki Warok Gendroyono ini!" ujarnya sambil tersenyum tenang, "Juga Ki Krendoyakso dari Bagelen! Siapa gerangan paman cantrik dan kisanak yang lain ini?"

"Uuh-huh-huh, aku cantrik bukan sembarang cantrik, biar cekel juga cekel pilihan, gegeduk, benggolan dan pentolan di antara segala cekel! Akulah Cekel Aksomolo dari lereng Wilis!"

"Saya olang Salangan, nama saya Ki Tejolanu, sudah lama mendengal kesaktian ki patih, ingin coba-coba. Hayo lawan saya!" Begitu habis kata-katanya, Ki Tejoranu menggerakkan tangannya dan "syuuuttt!" dua sinar tampak dan tahu-tahu sepasang golok telah berada di tangannya. Langsung saja ia memasang kuda-kuda menghadapi Ki Patih Narotama!

Diam-diam Narotama terkejut juga mendengar nama Cekel Aksomolo yang sudah tersohor sakti, juga orang yang berbicara pelo ini, biarpun namanya belum pernah ia dengar, akan tetapi melihat gerakannya tadi benar-benar membuktikan keahlian bermain sepasang golok yang hebat. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan empat orang tokoh sakti. Belum lagi lima orang pimpinan gerombolan itu yang kelihatan kuat!

Namun ia bukanlah Sang Narotama manusia sakti mandraguna dari Bali-dwipa kalau ia gentar menghadapi ancaman ini. Sambil tersenyum tenang Narotama bertanya, "Kalian berempat ini orang-orang berilmu, ada keperluan apakah agaknya sengaja mencegat perjalananku di tempat ini?"

Mudah dimengerti bahwa mereka ini adalah sekutu Adipati Joyowiseso, dan memang menjadi sebuah di antara usaha mereka untuk melemahkan Kahuripan dengan jalan membunuhi tokoh-tokoh penting dan sakti, tentu saja terutama sekali Ki Patih Narotama yang semenjak Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, merupakan orang pertama yang paling disegani di seluruh Mataram. Akan tetapi karena mereka bekerja dengan hati-hati, mereka tidak mau mengakui hal ini.

Ki Warok Gendroyono yang menjawab dengan bentakan, "Lupakah engkau bahwa engkaulah orangnya yang menangkapku dahulu sehingga aku menerima penghinaan dengan hukum penggal?"

Narotama tersenyum lagi. "Ki Warok, sudah jamak orang salah dihukum. Mungkin ia dapat membebaskan diri dari pada hukum negara, namun hukum karma akan terus mengejarnya dan takkan melepaskannya sebelum ia menerima buah dari pada perbuatan sendiri. Engkau dahulu dijatuhi hukuman sudahlah tepat dengan hukum NGUNDHUH WOHING PAKARTI (memetik buah perbuatan pribadi). Akan tetapi sang prabu yang bijaksana membebaskanmu karena engkau ternyata dapat membebaskan diri dari pada hukuman itu. Mengapa engkau sekarang masih penasaran dan mendendam kepadaku, Ki Warok?"

"Hukuman bisa bebas, namun penghinaan tak pernah bebas dari hatiku sebelum aku mampu membalasmu, Narotama!"

"Wah, wah, nyata engkau orang nekat yang mendasari kebenaran sendiri dengan pengumbaran hawa nafsu. Dan engkau, Ki Krendoyakso? Juga mendendam kepadaku karena gerombolan perampok yang kau pimpin dahulu diobrak-abrik?"

"Masih bertanya lagi, ki patih? Hutang sakit bayar sakit, hutang nyawa bayar nyawa!"

"Waduh, waduh! Seperti lupa saja bahwa gerombolanmu telah membunuh rakyat tak berdosa entah berapa banyaknya, merampok harta benda dan mengganggu anak bini orang. Hemm, paman Cekel Aksomolo yang sudah begini sepuh, apakah juga ada petunjuk untuk saya? Seingat saya, belum pernah saya mendapat kehormatan bertemu dengan paman Cekel, apa pula yang menyebabkan dan mendorong paman saat ini ikut mencegat saya?"

"Luh-luh-luh! Pakai tanya-tanya segala seperti hakim. Aku hanya membantu sahabat-sahabatku dan pula... hemm, aku mendengar bahwa kau adalah seorang patih gemblengan, patih jagoan, patih yang kemlinti (sombong), mengandalkan kepandaian yang kau bawa dari Bali-dwipa. Huh-huh-huh, aku paling tidak suka melihat orang yang angkuh dan sombong!"

Narotama menggoyang-goyang kepalanya. Benar-benar orang aneh kakek tua renta ini, pikirnya. Aneh seperti anak kecil saja, mudah mendengar hasutan dan omongan orang yang tentu saja ada yang suka ada pula yang membencinya. Apakah benar anggapan bahwa orang yang sudah terlalu tua itu kembali menjadi seperti kanak-kanak lagi? Kalau benar demikian, contoh dan buktinya adalah cekel tua ini! Ia menoleh kepada orang bermata sipit pelo yang masih memasang kuda-kuda dan memegang kedua goloknya. "Dan engkau bagaimana, kisanak? Siapa namamu tadi? Ki Tejolanu? Tejolanu ataukah Tejoranu?"

"Tejolanu!"

"Hmmm, agaknya kau pelo dan melihat kulit serta mripatmu (matamu), agaknya engkau ini seorang dari Negeri Cina. Apa pula sebabnya engkau ikut mencegatku padahal di antara kita tidak pernah ada hubungan sesuatu?"

"Saya... saya ingin menantang pibu (mengadu ilmu) dengan ki patih! Saya paling senang pibu dengan olang-olang pandai. Mati dalam pibu adalah matinya olang gagah!"

Narotama makin terheran. Ini lebih aneh lagi, pikirnya. Apakah orang mempelajari ilmu hanya untuk saling uji? Ilmu lain boleh saja diuji dan diperlombakan, akan tetapi ilmu berkelahi? Bisa mati konyol. Akan tetapi orang ini menganggap mati konyol dalam adu ilmu adalah matinya seorang gagah!

"Hemm, paman Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan kau Ki Tejoranu, kalau suka mendengarkan kata-kataku, harap kalian ini menarik kembali tantangan kalian dan menghabiskan segala urusan. Untuk apa melanjutkan niat yang tiada gunanya ini? Aku sama sekali tidak ingin berkelahi dengan kalian, sungguhpun hal ini bukan berarti aku takut. Kita sudah sama-sama tua, apakah hendak bersikap seperti kanak-kanak?"

"Ha-ha-ha! Narotama, kalau kau takut, mungkin kami akan dapat membebaskanmu!" Ki Warok Gendroyono mengejek.

"Takut atau tidak, dia harus mampus!" kata Ki Krendoyakso yang suaranya besar. Kepala perampok Bagelen ini sudah meraba senjatanya, penggada yang hitam dan besar itu.

"Jagad Dewa Batara! Agaknya kalian tak dapat lagi mengekang nafsu. Sudah kukatakan tadi, aku tidak takut. Kalau kalian memaksa, apa boleh buat. Nah, siapa hendak maju?" Dengan tangkas Narotama melompat ke belakang dan siap menghadapi lawan, sikapnya tenang, matanya tajam berkilat dan seluruh urat syaraf dalam tubuhnya menegang siap.

"Hayo pibu melawan aku lebih dulu!" Ki Tejoranu membentak, disusul seruannya keras, "Awas golok!" Lalu tubuhnya menenang maju bagaikan seekor jengkerik menerjang lawan, dua sinar berkelebat dan "syuuut-sing-singsing!" Sepasang goloknya berciutan dan berdesing menyambar-nyambar ganas mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama!

"Bagus sekali!" Narotama mau tak mau memuji karena memang gerakan sepasang golok itu luar biasa dahsyatnya. Cepat ia mengerahkan ajinya, yaitu ilmu silat tangan kosong Kukilo Sakti.

Tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya laksana seekor burung garuda. Sabetan dan bacokan sepasang golok yang berubah menjadi dua gulung sinar itu dapat dielakkannya dengan lompatan ke atas, lalu menyelinap di antara sinar-sinar itu sambil membalas dengan pukulan yang disertai Aji Bojro Dahono. Hawa panas keluar dari sepasang tangannya sehingga Ki Tejoranu berseru kaget dan meloncat jauh setiap kali hawa panas menyambar.

"Serbu! Bunuh orang sudra ini!" teriak Ki Krendoyakso dengan suara garang.

Serentak mereka maju. Ki Krendoyakso dengan penggada Wojo Irengnya, Ki Warok Gendroyono yang sudah melepas kolor saktinya, dan Cekel Aksomolo yang mengayun tasbihnya. Juga lima orang kepala rampok, anak buah Ki Krendoyakso, ikut menyerbu pula dengan senjata golok dan ruyung mereka yang besar-besar mengerikan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar