Badai Laut Selatan Jilid 09

Tiba-tiba Pujo melompat menyambar tubuh Joko Wandiro, kemudian memondongnya dan membawanya lari keluar guha.

"Jangan...! Anakku... aahhh...!"

Listyokumolo terguling roboh lagi oleh tendangan Pujo ketika ibu ini berusaha menghadang. Ketika ia bangkit kembali dan lari keluar guha, Pujo dan puteranya sudah lenyap tak tampak lagi bayangannya. Hanya masih terdengar tangis anaknya dari jauh, dari balik batu karang akan tetapi hanya sebentar, lalu sunyi. Hanya debur ombak menghantam karang yang terdengar, menelan suara jerit tangis Listyokumolo yang kemudian menggeletak pingsan di dalam Gua Siluman.

Angin laut bertiup keras, ombakpun makin mengganas, seakan-akan ombak dan angin ikut pula murka dan berduka menyaksikan polah-tingkah manusia yang ditakdirkan menjadi mahkluk termulia di antara segala mahkluk di dalam dunia ini. Di bawah ombak yang mengganas, ikan besar menelan ikan kecil, dan yang kecil menelan yang lebih kecil lagi. Menelan bulat-bulat. Ikan menelan ikan lain karena desakan kebutuhan hidup, karena lapar dan karena sudah semestinya. Manusia melakukan kejahatan terhadap sesamanya untuk menuruti nafsu!

Lewat tengah hari, sepasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati menuruni gunung karang yang amat curam itu menuju ke Gua Siluman. Memang disengaja oleh Jokowanengpati yang dapat menduga ke mana perginya Pujo dengan ibu dan anak yang diculiknya. Sengaja ia memperlambat pengejaran sehingga baru setelah lewat tengah hari mereka tiba di pantai karang depan Guha Siluman. Dan di antara batu karang itulah mereka mendapatkan Listyokumolo, dengan pakaian setengah telanjang, menjerit-jerit dan menangis memanggil-manggil nama Joko Wandiro. Tidak tampak adanya Pujo dan Joko Wandiro.

Ketika wanita itu ditegur, Listyokumolo menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri sambil menjerit-jerit. Terpaksa para pengawal menggunakan kekerasan menangkapnya dan dengan paksa membawanya naik untuk pulang kembali ke Selopenangkep. Listyokumolo terguncang batinnya dan ia menjadi setengah gila!

Ketika pasukan pengawal yang dipimpin Jokowanengpati tiba di Kadipaten Selopenangkep membawa Listyokumolo yang kadang-kadang menjerit-jerit dan meronta-ronta, kadang-kadang tertawa dan berlagak dengan genitnya itu, suasana kadipaten sedang diliputi kabut kedukaan. Ternyata kemudian oleh Jokowanengpati bahwa Roro Luhito telah minggat dari kadipaten tanpa meninggalkan jejak!

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batin yang diderita Adipati Joyowiseso dan keluarganya ketika mereka menyaksikan keadaan Listyokumolo yang terganggu otaknya itu. Dan semua ini gara-gara perbuatan Pujo, nama yang dikutuk oleh keluarga kadipaten, dibenci dan diancam. Adipati Joyowiseso sendiri sampai hampir gila oleh amarah. Setelah Listyokumolo dipaksa masuk ke dalam kamar oleh ibu mertuanya, Adipati Joyowiseso menghunus kerisnya, mencak-mencak dan berteriak-teriak ke arah pintu kadipaten yang kosong.

"Iblis laknat Pujo! Ke sinilah kamu, mari hadapi aku, Adipati Joyowiseso! Kita bertanding sampai seorang di antara kita mati! Jangan mengganggu wanita, keparat!"

Matanya melotot lebar hampir terlompat keluar dari pelupuknya, sepasang kumis tebal bergerak-gerak, giginya berkerot, tangan yang memegang keris gemetar. Sikap sang adipati benar-benar menyeramkan dan andai kata Pujo ada di depannya, pasti akan diterjangnya mati-matian. Para pengawal hanya menundukkan muka, tidak ada yang berani menentang pandang mata sang adipati.

Hanya Jokowanengpati seorang yang berani mendekati Adipati Joyowiseso. Pemuda inipun merasa terpukul dan agak kecewa mendengar betapa Roro Luhito telah lolos dari kadipaten, padahal sudah pasti dara jelita itu akan terjatuh ke dalam pelukannya. Banyak sudah ia memperoleh wanita, baik gadis maupun janda, baik suka rela maupun paksa, akan tetapi belum pernah hatinya terguncang seperti terhadap puteri adipati ini. Belum pernah Jokowanengpati merindukan seorang wanita untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini, entah mengapa ia ingin selalu mendampingi Roro Luhito, tak ingin berpisah lagi. Hatinya sama sekali tidak peduli melihat kenyataan betapa seluruh keluarga kadipaten terbenam dalam kedukaan akibat perbuatannya, akan tetapi mendengar akan perginya Roro Luhito dari kadipaten, hatinya yang sekeras baja menjadi lunak oleh kekecewaan dan kekhawatiran.

"Paman adipati, harap suka tenang dan bersabar," Jokowanengpati membujuk.

"Mana aku bisa tenang sebelum mencacah isi perut Pujo si jahanam?!?" Adipati Joyowiseso membentak.

"Tenanglah, paman, dan harap suka sarungkan keris paman. Saya berjanji untuk mencari dan mendapatkan kembali diajeng Roro Luhito."

"Bukan hanya Luhito yang menjadikan hatiku berduka."

Adipati Joyowiseso menarik napas panjang dan kembali duduk di atas kursi, Jokowanengpati duduk menghadapinya. Dengan gerak tangannya adipati itu menyuruh semua orang mundur agar ia dapat bicara berdua dengan pemuda yang menjadi harapannya.

Setelah semua orang pergi ia berkata, "Anakmas Jokowanengpati, engkaulah satu-satunya orang yang kupercaya dan kepadamulah kutumpahkan harapanku. Anakmas tahu, Joko Wandiro adalah cucuku satu-satunya, cucu laki-laki. Dia terculik oleh si keparat Pujo. Ah, ke mana perginya anak kurang ajar Wisangjiwo? Dia ngelayap (keluyuran) tak tentu rimbanya! Kalau dia berada di rumah, dengan bantuanmu tentu akan cukup kuat mencegah terjadinya malapetaka ini."

"Kurasa percuma, paman. Kalau hanya Pujo seorang, saya pun cukup kuat untuk menghadapinya. Akan tetapi karena paman Resi Bhargowo ikut campur tangan, saya kira biarpun ada kangmas Wisangjiwo di sini, kita takkan kuat melawannya."

"Hehhh... kalau begitu, bagaimana baiknya?"

"Harap paman tenang. Saya kira si laknat Pujo tidak akan membunuh Joko Wandiro. Tentu niatnya menculik kakang mbok Listyokumolo hanya untuk... hemm, si keparat jahanam! Tentu hanya untuk menggagahinya seperti yang telah ia lakukan, setan!" Jokowanengpati sengaja mengucapkan kata-kata fitnah ini sungguhpun sebagai seorang laki-laki yang sudah berpengalaman ia dapat menduga bahwa Pujo tidak melakukan perkosaan terhadap isteri Wisangjiwo. Ia sengaja mengemukakan hal ini untuk menambah api sakit hati pada Adipati Joyowiseso. Dan memang usahanya ini berhasil baik karena muka si adipati menjadi merah sekali, tangan kanannya mengepal dan meninju meja.

"Kalau kudapatkan dia, akan kuhancurkan kepalanya dengan tanganku sendiri!" desis adipati itu.

"Kakangmbok Listyokumolo sudah pulang dengan selamat biarpun tercemar dan terganggu batinnya. Adapun Joko Wandiro yang terculik, saya rasa Pujo tidak akan membunuhnya. Andai kata ada niat jahat itu di hatinya, mengapa tidak ia bunuh di sini atau di dalam guha? Tentu ada maksud tersembunyi dan Joko Wandiro masih selamat. Akan tetapi untuk menghadapi Pujo, terutama sekali Resi Bhargowo yang sakti mandraguna itu, tidak ada jalan lain kecuali melaporkan mereka sebagai pemberontak-pemberontak ke Mataram. Hanya para Empu di Mataram yang agaknya akan sanggup menghadapi dan menangkap Resi Bhargowo."

Adipati Joyowiseso mengangguk-angguk akan tetapi keningnya berkerut. Minta bantuan ke Mataram? Sungguh berlawanan dengan rencananya, rencana rahasia di dalam hati yang selama ini ia pendam, yang sudah hampir ia matangkan dengan beberapa orang tokoh di utara dan barat, yang sudah mulai dipersiapkan, yaitu rencana memberontak terhadap Mataram! Akan tetapi, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo seorang tokoh Mataram, tentu seorang yang berpihak Mataram. Bagaimana ia dapat mengutarakan rahasia hatinya?

"Urusan ini biarpun amat besar bagi kami sekeluarga, namun tetap merupakan urusan pribadi yang tentu tidak ada artinya bagi Mataram.

Agaknya belum tentu mendapat perhatian sang prabu di Mataram," katanya.

"Kalau kita laporkan bahwa Pujo dan Resi Bhargowo mempunyai niat memberontak, tentu akan mendapat perhatian besar," bantah Jokowanengpati.

"Akan tetapi, lebih baik aku minta bantuan beberapa orang sahabat yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi Resi Bhargowo. Guru Wisangjiwo, Ni Durgogini amat sakti, sungguhpun dia merupakan seorang pertapa aneh yang tidak mau mencampuri urusan dunia, namun apabila Wisangjiwo yang minta, kiraku Ni Durgogini akan mau turun tangan. Di sampingnya masih ada Ni Nogogini yang terkenal sebagai wanita sakti di Laut Selatan. Juga, apabila aku mengundang arok Gendroyono, tentu ia akan suka membantu."

Jokowanengpati tersenyum lebar. "Kiranya paman adipati mempunyai sahabat-sahabat yang demikian sakti. Nama besar ketiga orang tokoh itu tentu saja pernah saya dengar. Agaknya paman ragu-ragu untuk minta bantuan Mataram. Apakah hal ini ada hubungannya dengan ucapan Pujo ketika hendak dihukum perapat?"

Berubah wajah Adipati Joyowiseso. Ia menatap wajah tamunya dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Apa maksud anakmas? Ucapan yang mana?"

"Ucapan bahwa penaklukan paman adipati terhadap Mataram hanya pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya.menentang."

Serentak Adipati Joyowiseso bangkit berdiri, tangan kanannya meraba gagang kerisnya dan mulutnya sudah siap meneriaki pengawal.

"Itu bohong! Apakah anakmas lebih percaya pada mulut seorang jahat seperti Pujo?!" Sepasang mata adipati itu seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Jokowanengpati.

Pemuda itu tenang-tenang saja bahkan tersenyum melihat sikap sang adipati. Kini ia mengangguk dan berkata, "Aku percaya akan apa yang diucapkan Pujo itu dan aku amat girang karenanya."

Adipati Joyowiseso terkejut bukan main, akan tetapi ekor kalimat itu membuatnya terheran.

"Apa... apa maksud anakmas...?"

"Harap paman adipati suka menyarungkan kembali keris itu dan marilah duduk dengan tenang. Saya bukanlah musuh paman, dan terutama sekali dalam hal menghadapi Mataram kita berada di satu pihak. Saya sendiripun ingin sekali melihat jatuhnya Mataram, paman adipati "

Namun, Adipati Joyowiseso bukanlah seorang yang bodoh dan sembrono. Ia cukup maklum akan bahayanya percakapan seperti ini, apalagi mengingat bahwa pemuda di depannya adalah murid Empu Bharodo yang menjadi tokoh di Mataram, ia tidak mau mempercaya keterangan aneh ini begitu saja.

Setelah duduk ia lalu berkata, "Harap anakmas jangan berkelakar. Saya adalah seorang adipati di Selopenangkep yang menerima anugerah gusti prabu di Mataram menjadi penguasa di sini, sedangkan anakmas adalah seorang senopati (panglima) muda yang telah berjasa dalam perang. Bagaimana anakmas dapat bercakap-cakap dengan saya tentang hal-hal yang tidak semestinya itu?"

Senyum di bibir Jokowanengpati melebar. "Paman adipati, harap paman jangan khawatir, karena kita sehaluan. Terus terang saja saya mengaku di depan paman, bahwa saya sendiri merasa sakit hati kepada Mataram dan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Saya benci kepada Sang Prabu Airlangga dan Sang Patih Narotama yang pilih kasih dan tidak pandai menghargai jasa orang!"


"Saya harap pamanda adipati tidak berpura-pura lagi. Saya pun sudah berterus terang. Seperti paman ketahui, dalam perang yang terakhir, saya ikut berjuang membela Mataram, apalagi dalam usaha menundukkan raja-raja muda di pantai utara. Akan tetatpi, setelah perang berakhir dan semua pejuang menerima pahala, saya seorang dilupakan oleh sang prabu. Bahkan ketika saya mengadukan hal ini kepada guru saya, Empu Bharodo malah memarahi dan mengusir saya. Saya tahu, hal itu adalah gara-gara sang patih yang memang menaruh iri hati kepada saya. Oleh karena itu, sebelum berhasil meruntuhkan Mataram dan melihat Patih Kanuruhan serta sang prabu terjungkal dari tahta, belum puas hati saya!"

Mendengar ini, Adipati Selopenangkep itu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia memegang lengan tangan Jokowanengpati dan berkata girang, "Ah, siapa kira, kita bersatu haluan, anakmas! Akan tetapi, agaknya sakit hati dan cita-cita kita ini hanya akan tetap tinggal menjadi penyakit di dalam hati. Satu-satunya harapanku tadinya adalah Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh lama Mataram Akan tetapi setelah Sang Prabu Airlangga memperisteri puteri dari Kerajaan Sriwijaya, lenyaplah harapanku. Di antara kedua kerajaan itu telah ada ikatan keluarga, maka tidak mungkin kita mengharapkan. Kerajaan Sriwijaya lagi."

"Memang wawasan pamanda adipati benar. Akan tetapi, masih banyak jalan menuju ke terlaksananya cita-cita kita. Bukan hanya Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh Mataram. Para raja muda di pantai utara, para adipati yang ditundukkan dengan kekerasan oleh Mataram, tidak semua di antara mereka takluk dengan tulus ikhlas, tepat seperti kata-kata orang cerdik pandai, bahwa orang ditundukkan oleh perang, hanya tunduk karena kalah, tunduk pura-pura yang tidak dapat dipercaya. Nah, kalau kita mengadakan sekutu dengan mereka, keadaan kita akan cukup kuat, paman adipati."

Adipati Joyowiseso tertawa gembira dan menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Ah, alangkah senang hatiku menemukan seorang sekutu seperti anakmas yang luas pengetahuan lebar pandangan dan tinggi ilmu kesaktian. Ternyata cocok sekali pendapat kita.

Aku pun sudah mengadakan hubungan dengan banyak tokoh penting, anakmas, di antaranya seperti telah kusebutkan tadi adalah Warok Gendroyono dari Ponorogo yang pernah menerima hukuman dari Mataram sehingga mengandung dendam, dan selain guru puteraku sendiri Ni Durgogini dan Ni Nogogini adiknya, masih ada lagi seorang tokoh yang siap menjadi tulang punggung, yaitu Ki Krendroyakso di Bagelen!"

"Wah, hebat! Ki Krendoyakso raja sekalian bajak begal dan maling dengan anak buahnya yang ribuan orang banyaknya!Bagus sekali, paman. Semua pembantu itu dapat ditambah dengan banyak senopati dan raja muda taklukan Mataram yang ingin memberontak, dan untuk memperlengkap deretan orang sakti yang membantu, saya dapat mengajukan seorang sakti mandraguna yang tak seorangpun mengenal nama aslinya, hanya dikenal dengan nama julukan Cekel Aksomolo (Cantrik Bertasbih) yang bertapa di hutan Wredo di lereng Gunung Wilis."

Adipati Joyowiseso merasa girang bukan main. Diperintahkannya para pelayan untuk mengeluarkan minuman keras dan makanan, dijamunya pemuda itu dengan keakraban baru karena pemuda ini selain penolong dan calon mantu, juga merupakan seorang sekutu yang boleh diandalkan. Agak terhiburlah hatinya yang tadi penuh amarah dan duka oleh malapetaka yang menimpa keluarganya.

"Nah, kau mengerti sekarang mengapa aku merasa ragu untuk minta bantuan Mataram dalam menghadapi Pujo, anakmas."

"Paman adipati, saya rasa paman keliru dalam hal ini. Kita harus mengerti bahwa Pujo dan Resi Bhargowo adalah orang-orang yang setia kepada Mataram. Buktinya dahulu ketika paman melawan barisan Mataram, orang-orang Sungapan itu tidak mau membantu, kan? Dan memang tidak aneh karena Resi Bhargowo adalah adik seperguruan guru saya, Empu Bharodo. Jadi terang bahwa mereka guru dan murid adalah orang Mataram. Kita bercita-cita membalas dan memukul Mataram, juga mempunyai dendam terhadap Pujo dan gurunya. Adakah jalan yang lebih sempurna dari pada mengadu domba mereka satu kepada yang lain? Biarlah mereka saling hantam, karena kalau mereka saling hantam, berarti akan melemahkan kedudukan mereka sehingga mudah bagi kita mencari kesempatan baik. Sebaliknya kalau mereka tidak diadu domba, kita akan harus menghadapi mereka bersama, tentu amat berat. Mengertikah paman adipati akan maksud saya?"

Wajah Adipati Joyowiseso berseri-seri dan ia memandang kagum kepada wajah yang tampan itu. "Aku mengerti, anakmas. Memang tepat dan betul sekali rencanamu itu."

Dua orang sekutu ini bercakap-cakap dan mengatur siasat untuk melaksanakan niat pemberontakan mereka. Karena maklum betapa besar dan kuatnya bala tentara Mataram, maka dengan cerdik Jokowanengpati mengajukan siasat untuk melemahkan Mataram lebih dahulu dengan cara mengadu domba dan memecah-belah, kalau perlu menundukkan atau membunuh ara tokohnya yang berkepandaian tinggi dengan dalih urusan pribadi. Karena hanya dengan cara mengalahkan, menundukkan, atau membunuh tokoh-tokoh sakti pembela Mataram sajalah kerajaan itu dapat dilemahkan dan mudah dipukul kelak kalau saatnya yang baik tiba!

Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertarik dan kagumlah hati Adipati Joyowiseso akan kecakapan pemuda ini yang bukan hanya memiliki kesaktian hebat, juga ternyata memiliki kecerdikan dan siasat serta tipu muslihat yang amat berguna bagi pemberontakannya. Setiap hari mereka bercakap-cakap dan berunding sambil menantikan pulangnya Raden Wisanghjiwo.

Setengah bulan kemudian datanglah Raden Wisangjiwo. Wajahnya berseri-seri ketika ia memasuki pendopo kadipaten dan melompat turun dari kudanya yang besar, yang segera disambut oleh para penjaga dan pelayan. Akan tetapi kegembiraannya segera lenyap seperti kabut disapu panas ketika ia bertemu ayahnya di ruang dalam. Ayahnya tengah duduk semeja dengan Jokowanengpati, dan melihat kedatangannya, ayahnya itu bangkit berdiri dengan mata melotot dan mulut melontarkan teguran keras.

"Bocah durhaka! Kau telah keluyuran ke mana saja? Mengapa masih ingat akan pulang? Kalau kau sudah tidak membutuhkan orang serumah ini, mengapa kau masih mau pulang?"

Merah wajah Wisangjiwo. Dimarahi ayahnya yang galak bukan apa-apa baginya, akan tetapi kali ini ia dimarahi di depan Jokowanengpati yang hanya seorang kenalan, berarti seorang tamu atau orang luar.

"Kanjeng rama (ayah), saya baru pulang dari kota raja..."

"Hemm, kau keluyuran ke sana mau apa? Enak ya bersenang-senang di kota raja sedangkan di rumah tertimpa malapetaka hebat!"

"Malapetaka? Apakah yang terjadi?"

"Pujo si pengecut datang mengamuk, ayahmu ini hampir terbunuh olehnya, kemudian anak isterimu diculiknya, isterimu sudah didapatkan kembali akan tetapi anakmu sampai sekarang lenyap. Adikmu Roro Luhito minggat. Semua itu terjadi dan kau berfoya-foya di kota raja!"

Muka yang tadinya berseri itu kini menjadi pucat. Tanpa menjawab lagi Wisangjiwo melompat lari menuju ke kamarnya untuk mendapatkan isterinya. Di situ ia disambut tangis ibunya dan para selir ayahnya. Listyokumolo, istrinya, rebah telentang dengan mata tak bergerak-gerak, bahkan ketika mata melirik ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya lagi. Bagi Wisangjiwo, Listyokumolo adalah seorang wanita cantik, seorang di antara wanita-wanita cantik yang lain yang menjadi kekasihnya.

Bagi dia, isteri, selir maupun kekasih diluar, semua wanita bagaikan barang permainan yang menyenangkan, dan yang bertugas semata-mata sebagai pemuas nafsu, pelipur hati, pelepas dahaga. Lain tidak! Oleh karena wataknya inilah maka Listyokumolo merasai penderitaan batin setelah menjadi isteri putera adipati ini, dan oleh karena watak ini pula maka Wisangjiwo tidak menaruh perhatian akan nasib yang menimpa diri isterinya. Yang membuat ia gelisah adalah tentang puteranya.

"Nimas Listyokumolo!" Ia cepat-cepat menegur sambil memegang tangan isterinya, tidak mempedulikan para ibunya yang berada di situ, "Di mana adanya Joko Wandiro anakku?"

Karena tangannya dipegang erat-erat dan diguncang-guncang, Listyokumolo menjadi terkejut. Ia menoleh, memandang aneh lalu menangis sambil berteriak-teriak, "Kembalikan anakku...! Kembalikan dan jangan ganggu anakku... kau boleh perbuat sesukamu atas diriku, aku menyerahkan seluruh ragaku kepadamu... tapi jangan ganggu Wandiro...!"

Lalu menangis menggerung-gerung di atas pembaringan. "Listyokumolo, di mana Joko Wandiro? Di mana dia?" Wisangjiwo mengguncang-guncang tubuh isterirya, namun jawaban Listyokumolo selalu sama. Akhirnya ibunya datang memegang pundaknya dan berkata lembut, "Tiada gunanya kau membentak-bentak anakku. Isterimu mengalami pukulan batin dan yang selalu diucapkan hanya itu-itu juga. Lebih baik kau lekas berunding dengan ayahmu dan cepat-cepat mencari sampai dapat puteramu Joko Wandiro."

Isteri adipati itu mengakhiri kata-katanya, dengan isak ditahan. Wisangjiwo menjadi lemas dan keluar dari kamar itu tanpa menoleh kepada isterinya lagi. Ia menuju ke ruangan tengah dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di depan ayahnya, lalu menarik napas panjang.

"Kanjeng rama, apakah yang telah terjadi selama saya pergi? Dan saya lihat adimas Jokowanengpati hadir di sini, sudah lamakah, dimas?"

Jokowanengpati memandang tajam dan bibirnya sudah berkomat-kamit hendak menjawab, akan tetapi didahului Adipati Joyowiseso, "Jika tidak ada anakmas Jokowanengpati, ramamu sudah menjadi jenazah sekarang!" Adipati Joyowiseso lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga kadipaten. Kemudian ia memandang puteranya dengan tajam sambil bertanya, "Wisangjiwo, sebetulnya apakah yang terjadi antara engkau dan Pujo? Mengapa ia memusuhimu seperti itu?"

Sampai lama Wisangjiwo tidak dapat menjawab. Ia menjadi marah sekali. Mendengar betapa adik perempuannya diperkosa sehingga mungkin saking malu adiknya itu sampai lolos minggat dari kadipaten, mendengar betapa isterinya diculik dan menurut dugaan ayahnya juga diperkosa, hatinya menjadi panas. Tentang isterinya dirusak kehormatannya, ia dapat mencari lain wanita. Akan tetapi penghinaan itu sendiri yang membuat hatinya panas, apalagi penghinaan yang ditimpakan atas diri adiknya.

Semua ini masih ditambah lagi dengan diculiknya Joko Wandiro, puteranya, benar-benar membuat dadanya bergolak dan sukar bagi orang muda ini untuk mengeluarkan suara menjawab pertanyaan ayahnya. "Si keparat Pujo!" desisnya di antara dua baris gigi yang dirapatkan, kedua tangannya mengepal "Akan kuhancurkan engkau!"

Adipati Joyowiseso tak sabar lagi. "Wisangjiwo, simpan dulu kemarahanmu, tiada gunanya sekarang, sudah terlambat. Permusuhan apakah yang timbul antara engkau dan Pujo?"

Wisangjiwo menarik napas panjang. "Sayang sekali, kanjeng rama, tidak kupadamkan saja api hidupnya pada waktu itu, padahal dia sudah berada di tangan saya, kalau saya mau membunuhnya tinggal mengayun tangan saja. Ah, mengapa saya bertindak kepalang tanggung waktu itu?"

"Hayo tuturkan, jangan putar-putar macam itu!" Ayahnya menegur kesal.

"Secara kebetulan sekali saya pergi ke Guha Siluman pada senja hari itu dan bertemu dengan Pujo dan isterinya yang bertapa di dalam gua dalam keadaan aneh sekali, yaitu mereka bertapa berhadapan bertelanjang bulat! Saya menegurnya dan kami bertanding. Isterinya, Kartikosari puteri Resi Bhargowo membantu suaminya. Untung sekali saya dapat mendahului mereka sehingga saya dapat memukul mereka pingsan!"

Adipati Joyowiseso mengerutkan keningnya. Tentu saja ia dapat mengenal watak dan kesukaan puteranya yang tidak jauh bedanya dengan kesukaannya sendiri!

"Hemm, aku mendengar bahwa puteri Resi Bhargowo itu cantik. Kau lalu mengganggu isteri Pujo, bukan?"

Akan tetapi Wisangjiwo menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Kalau saya tahu bahwa si laknat itu akan melakukan perbuatan keji di sini, tidak saja isterinya akan saya perhina, bahkan mereka tentu akan kubunuh lebih dulu! Tidak, kanjeng rama, sungguhpun saya amat terpesona oleh kecantikan Kartikosari dalam keadaan menggairahkan seperti itu, namun saya... saya tidak mengganggunya. Saya masih ingat akan Resi Bhargowo yang sakti dan tidak ingin bermusuh dengannya. Maka setelah mereka roboh, saya lalu pergi dari gua itu meninggalkan mereka."

Jokowanengpati mendengarkan penuh perhatian. Terbayang olehnya semua peristiwa itu. "Kangmas Wisangjiwo. Maafkan pertanyaanku ini. Benar-benar kau tidak menggagahi Kartikosari yang cantik jelita? Melihat sepak terjang Pujo, agaknya ia amat sakit hati kepadamu dan agaknya masuk akal dendamnya itu kalau kau telah memperkosa isterinya."

"Tidak, dimas Jokowanengpati, demi para dewata yang menjadi saksi, aku tidak... eh, dimas, kelingking kirimu itu mengapa...?"

Bukan main kagetnya hati Jokowanengpati. Pikirannya sedang berpusat pada peristiwa itu dan kelingkingnya justru buntung setengahnya dalam peristiwa itu, maka pertanyaan yang tak tersangka-sangka itu bagaikan serangan kilat yang membuat wajahnya menjadi pucat. Kalau saja bukan dia yang ditanya serentak seperti itu, tentu akan menjadi panik dan gugup. Namun Jokowanengpati adalah seorang yang amat cerdik.

Dalam keadaan terpepet itu ia masih sempat mengerjakan otaknya dan jawabannya tenang cepat tanpa ragu, "Ooohhh, inikah? Sebelum aku datang berkunjung ke sini, aku bertemu dengan gerombolan pengacau di tepi Kali Solo. Aku berhasil membasmi mereka dan membunuh kepalanya, akan tetapi kepala gerombolan itu lumayan kepandaiannya, sehingga dalam pengeroyokan itu jari kelingkingku ini terkena bacokan golok dan putus. Akan tetapi tidak apa-apa, kangmas."

"Untung hanya jari kelingking, anak-mas," Joyowiseso ikut bicara, "kalau ibu jari yang terkena bisa celaka karena ibu jari merupakan bagian paling penting dari tangan." Kemudian sambungnya sambil memandang puteranya, "Lanjutkan ceritamu, mengapa selama ini kau pergi!"

"Karena pertempuran itu, saya khawatir akan menghadapi kemarahan Resi Bhargowo, maka saya langsung pergi menghadap guru saya Ni Durgogini di Girilimut. Akan tetapi disana saya bertemu dengan paman Patih Kanuruhan... "

"Rakyana Patih Kanuruhan di sana?" Jokowanengpati berseru kaget. "Ada apakah beliau berada di sana?" Mendengar nama patih yang sakti itu, diam-diam Jokowanengpati merasa gentar.

"Agaknya beliau dahulu sahabat baik guruku, dimas, dan sengaja datang berkunjung sungguhpun beliau berkata secara kebetulan saja. Entah, aku tidak tahu sebabnya. Akan tetapi pertemuan itu membawa keuntungan bagiku karena aku sekarang mendapatkan kedudukan baik di kota raja berkat perantaraan beliau."

Wisangjiwo lalu menceritakan semua pengalamannya, bahkan ia menceritakan bagaimana ia dicoba kepandaiannya oleh patih sakti itu, kemudian ia berangkat ke kota raja, diterima baik dan ditetapkan menjadi perajurit pilihan calon pengawal istana!

Mendengar ini Adipati Joyowiseso menggebrak meja dengan alis berdiri. "Bodoh! Bodoh sekali! Bagaimana kau malah menjadi calon pengawal Raja Mataram?"

Wisangjiwo membelalakkan mata, melirik ke arah Jokowanengpati dan berseru kepada ayahnya, nadanya mencela, "Kangjeng rama...!"

Adipati Joyowiseso maklum akan teguran puteranya, maka ia lalu menepuk bahu Jokowanengpati yang tersenyum-senyum saja itu sambil berkata, "Anakmas Jokowanengpati juga memusuhi Raja Bali, mendukung cita-citaku. Apakah engkau puteraku sendiri malah ingin menjadi gedibal (hamba rendah) orang Bali?"

Orang-orang yang pada waktu itu membenci Raja Airlangga, memakinya sebagai raja atau orang Bali, dan memang sesungguhnya Airlangga adalah seorang putera Bali, sungguhpun darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah raja Bali yang masih ada pertalian darah pula dengan Raja Mataram. Wajah Wisangjiwo menjadi terang mendengar keterangan ayahnya bahwa Jokowanengpati telah menjadi sekutu ayahnya.

"Bagus!" Ia memegang lengan Jokowanengpati. "senang sekali mendengar hal ini, dimas! Ayah, memang saya sengaja mengusahakan agar dapat menjadi pengawal istana, karena kalau hal itu terjadi, bahkan akan banyak menolong usaha terlaksananya cita-cita kita."

"Eh, apa maksudmu?"

"Paman adipati, saya mendukung rencana kakangmas Wisangjiwo. Kalau dia bekerja di dalam istana, berarti kita selalu akan dapat mengetahui gerak-gerik mereka, pula kalau sudah tiba masanya, bantuan dari dalam merupakan hal yang amat berguna, bahkan tidak dilebih-lebihkan kalau dikatakan merupakan syarat mutlak ke arah tercapainya gerakan kita."

Mata sang adipati melebar, kemudian ia tertawa bergelak-gelak, lalu merangkul pundak puteranya. "Ah, kau pintar, puteraku! Maafkan ayahmu yang salah sangka! Benar sekali, kau bertugas di sana mengawasi gerak-gerik mereka tentang usaha kita, kalau-kalau mereka menaruh curiga. Kemudian kita atur rencana dari sini untuk mengacaukan pertahanan mereka. Akan tetapi sebelum kau kembali ke sana, kau harus menghubungi dulu gurumu Ni Durgogini, menyampaikan permintaanku agar mereka suka membantu gerakan kita ini."

"Baik, kanjeng rama, akan tetapi bagaimana dengan anakku Joko Wandiro? Dan bagaimana pula dengan adikku Roro Luhito...?"

"Jangan kau khawatir, kakangmas. Aku siap untuk mencari Pujo, membawa kembali puteramu dan sedapat mungkin akan kucari diajeng Roro Luhito."

"Wisangjiwo, kita berhutang budi banyak sekali kepada anakmas Jokowanengpati, calon adik iparmu ini."

"Adik... ipar...?" Wisangjiwo menoleh kepada Jokowanengpati.

"Dia,... dia telah begitu baik untuk bersedia mengawini adikmu Roro Luhito, agar tertutup noda dan aib..."

"Tidak hanya demikian, paman adipati, melainkan karena saya merasa kasihan kepada diajeng Roro Luhito, dan juga...suka kepadanya..."

"Aduh, kau benar-benar sahabat sejati!", Wisangjiwo memeluk Jokowanengpati, kemudian berkata khawatir, "Akan tetapi, dimas. Kau bilang sendiri bahwa si laknat Pujo dibantu gurunya. Bagaimana kau dapat menandingi Resi Bhargowo yang sakti mandraguna?"

Yang ditanya tersenyum tenang. "Aku sendiri tentu belum kuat melawan sang resi, akan tetapi sebelum mencari mereka, aku akan pergi menemui eyang Cekel Aksomolo di hutan Wredo yang terletak di lereng Gunung Wilis. Bersama dia, aku tidak takut lagi menghadapi Resi Bhargowo."

Secara singkat ia lalu menceritakan kehebatan dan kesaktian Cekel Aksomolo yang dipujinya setinggi langit dan dikatakannya tiada keduanya di dunia ini! Giranglah hati Wisangjiwo dan ayahnya, dan agak terhiburlah hati mereka oleh malapetaka yang menimpa keluarga Kadipaten Selopenangkep. Semalam suntuk hari itu mereka tiada hentinya bercakap-cakap mengatur rencana, karena pada keesokan harinya Jokowanengpati akan berangkat ke Gunung Wilis sedangkan Wisangjiwo akan pergi mencari guru dan bibi gurunya…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar