Serial Pendekar Naga Putih eps 10 : Bunga Abadi Di Gunung Kembaran

SATU
"Kakang Panji...!"

Panji yang baru saja hendak memasuki mulut Hutan Randu Apus menghentikan langkahnya sejenak. Seketika urat-urat wajahnya menegang ketika mendengar suara panggilan yang amat dikenalnya. Jantung pemuda itu berdebar keras karena telah mengetahui secara pasti pemilik suara yang merdu dan lembut itu.

"Adik Kenanga...!" desis pemuda itu begitu melihat seorang gadis berpakaian serba hijau tengah berlari mendatanginya. Pemuda itu terpaksa berhenti sejenak, menunggu kedatangan gadis itu.

Gadis cantik berpakaian hijau terus berlari menghampiri Panji. Rambutnya yang panjang bergoyang mengikuti gerakannya. Anak rambutnya tampak berkibaran dipermainkan angin. Namun pemandangan itu justru semakin menambah daya tarik tersendiri pada diri gadis jelita yang laksana bidadari itu.

"Kakang...," desis Kenanga. Gadis berpakaian hijau itu segera menjatuhkan kepalanya ke dada Panji. Dua butir air bening bergulir dari sepasang bola mata indah melukiskan kebahagiaan dan keharuan hatinya.

"Adik Kenanga, maafkan aku...," desah Panji serak. Pemuda itupun hampir tak sanggup menahan keharuan yang menyeruak dalam rongga dadanya. Rambut gadis itu diusapnya mesra. Sesaat kemudian didorongnya tubuh gadis jelita itu perlahan. Lalu dipandanginya wajah Kenanga yang terlihat agak pucat.

"Ah, kau semakin kurus dan agak pucat, Adikku. Hhh... betapa berdosanya aku telah membuatmu menderita," ujar Panji. Hatinya terenyuh ketika melihat keadaan kekasihnya yang terlihat agak tak terurus.

"Kakang, mengapa kau begitu tega meninggalkan aku tanpa pesan? Apakah Kakang sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Kenanga sambil menengadahkan kepalanya. Suaranya terdengar begitu lembut hingga menimbulkan rasa iba yang semakin besar di hati Panji.

"Maafkan aku, Adikku. Bukan maksudku membuat mu susah. Tapi keadaanku inilah yang membuatku harus mengambil keputusan demi kebahagiaanmu. Usiaku mungkin tinggal delapan bulan lagi. Oleh karena itulah aku terpaksa meninggalkanmu dengan harapan agar kau dapat melupakanku," ujar Panji mengajukan alasan mengapa meninggalkan gadis itu begitu saja tanpa pamit ataupun pesan (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Penjagal Alam Akherat)

"Aku mengerti keadaanmu, Kang. Dan aku pun tahu alasanmu pergi meninggalkanku. Itu semua karena kau telah mendengar ucapan paman guruku, bukan? Hhh... kau hanya tahu itu saja tapi tidak tahu yang lainnya," sahut Kenanga.

Melihat cibiran kekasihnya, Panji tak sanggup lagi menatap pesona yang perlahan-lahan mulai menjeratnya. Wajahnya ditundukkan. Lalu dikecupnya bibir yang merekah itu dengan lembut. Sesaat Kenanga terkejut karena sama sekali tidak menyangka kalau Panji akan mengecupnya. Tubuh gadis itu bergetar dalam dekapan Panji sambil mengeluarkan rintihan halus dari kerongkongannya. Sesaat kemudian, Kenanga pun membalas kecupan kekasihnya tak kalah hangat

"Cukup.... Adikku... cukup...," ujar Panji dengan napas terengah-engah seraya melepaskan pelukan gadis itu. "Bisa-bisa kita terperosok nanti. Aku takut gara-gara daya pesonamu, hubungan kita melangkah terlalu jauh. Padahal kita belum resmi suami istri," desis Panji berusaha mengusai dirinya dari cengkeraman nafsu darah mudanya.

Kenanga tersipu malu mendengar ucapan tulus kekasihnya. Gadis itu sadar seandainya mereka telah terseret oleh kenikmatan tadi, bukan tidak mungkin keduanya tidak dapat menguasai diri lagi.

"Kakang, jangan tinggalkan aku lagi. Aku akan menemanimu kemanapun kau pergi," ujar Kenanga lirih. Panji hanya mengangguk mendengar ucapan kekasihnya.

Diam-diam hati Pendekar Naga Putih merasa bangga karena Kenanga bukan cantik lahiriah saja, tapi juga punya kesetiaan yang sukar ditemui pada gadis-gadis lain. "Adikku, apa maksud ucapanmu yang mengatakan kalau aku hanya tahu satu hal saja tapi tidak tahu lainnya?" tanya Panji ketika teringat ucapan gadis itu tadi kepadanya.

"Hm... mengenai penyakitmu, Kang. Paman Guruku mengatakan kalau masi hada seorang ahli pengobatan yang mungkin dapat menyembuhkan penyakitmu, Kakang," jelas Kenanga menceritakan apa yang pemah dikatakan paman gurunya mengenai penyakit Panji Penyakit yang diderita Pendekar Naga Putih disebabkan tenaga dalamnya yang liar dan sulit dikendalikan, akibat merasuknya 'Inti Tenaga Gerhana Bulan'. Dan hal ini sangat membahayakan keselamatan Panji, bila tidak ditemukan penangkal untuk tenaga liarnya! (Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyakit yang diderita Panji, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara)

"Hm.... Siapa orang itu dan dimana tinggalnya?" tanya Panji yang rupanya mulai tertarik mendengar keterangan kekasihnya.

"Mmm...namanya, Raja Obat. Tapi aku tidak tahu tempat tinggal beliau. Menurut paman guruku, tabib itu tidak punya tempat tinggal tetap. Dia selalu bepergian dan menolong orang-orang yang tengah mengalami kesulitan dalam perjalanannya," sahut Kenanga agak menyesal karena tidak mengetahui tempat tinggal Raja Obat itu.

"Wah, lalu ke mana kita harus mencarinya kalau kita sendiri tidak tahu tempat tinggalnya?" desah Panji lesu. Harapannya lenyap seketika begitu mendengar kalau Raja Obat itu tidak punya tempat tinggal tetap.

“Tapi kita bisa telusuri jejak tabib itu dan bertanya kepada siapa saja yang kita temui diperjalanan. Dan bukan tidak mungkin kalau suatu saat kita menjumpai orang yang tahu di mana Raja Obat berada," hibur Kenanga. Gadis itu mencoba membangkitkan semangat Panji agar tetap tabah.

"Ya! Tapi bagaimana kalau sampai batas usiaku, kita belum menemukan tabib itu?" ujar Panji agak putus asa.

"Lalu apa rencana Kakang sekarang?" akhirnya Kenanga menyerah.

"Kalau kau ingin ikut bersamaku, marilah kita pergi ke Bukit Gua Harimau. Aku telah memutuskan untuk menghabiskan sisa-sisa umurku di sana. Apakah kau bersedia, Adik Kenanga?" tanya Panji tersenyum.

"Aku bersedia ikut kemanapun, Kakang. Tapi kau harus berjanji tidak akan meninggalkan aku lagi!" sahut Kenanga mantap.

"Baik, aku berjanji!" ujar Panji tak kalah mantap.

Lalu keduanya pun tertawa bahagia. Kini kedua muda-mudi itu berjalan berdampingan dan mulai merambah Hutan Randu Apus yang merupakan jalan satu-satunya menuju Bukit Gua Harimau.

***

Hari masih pagi ketika sesosok tubuh mendaki Bukit Gua Harimau dengan langkah tertatih-tatih. Meskipun langkahnya lamban, namun tubuhnya bergerak cepat sehingga dalam waktu singkat sosok itu telah mencapai puncak bukit.

"Hoiii..., Tirta Yasa, apakah kau masih hidup?" teriak sosok itu lantang setibanya didepan sebuah pondok sederhana yang terbuat dari susunan batang-batang kayu bulat.

Panji dan Kenanga yang tengah berada dekat makam Eyang Tirta Yasa menjadi terkejut mendengar teriakan yang
mengandurig kekuatan tenaga sakti tinggi itu. Sejenak keduanya saling berpandangan. Sesaat kemudian tubuh kedua muda-mudi itu melesat untuk menemui orang yang baru datang. Kedua orang pendekar muda tertegun menatap seorang kakek tua yang mungkin usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun. Namun, yang membuat Panji terpana adalah tatapan kakek itu. Sinar matanya demikian lembut dan menyejukkan. Siapa saja yang memandangnya akan betah berlama-lama berhadapan dengan orang tua itu.

"Siapakah Eyang? Dan ada keperluan apa Eyang mencari guruku?" tanya Panji halus dan sopan. Melihat sorot matanya, Panji yakin kalau kakek itu tidak bermaksud jahat

"Hm... kau murid Tirta Yasa? Bagus... bagus... siapa namamu, Anak Muda?" kakek itu balik bertanya kepada Panji, seolah-olah tidak didengarnya pertanyaan pemuda itu.

"Namaku Panji, Eyang," jawab Panji tanpa berusaha untuk memperkenalkan Kenanga kepada orang tua itu. Panji pun
tidak lagi menanyakan keperluan kakek itu datang ke tempatnya. Pemuda itu hanya diam menunggu pertanyaan selanjutnya. Tapi meskipun telah menanti cukup lama, pertanyaan yang dinanti Panji tak kunjung keluar dari mulut kakek itu.

Sebaliknya laki-laki tua renta itu malah menatapnya sungguh-sungguh. Sepasang matanya menyipit, seolah tengah memperhatikan dan memastikan sesuatu. "He he he... bodoh sekali si Tirta Yasa! Apakah dia tidak tahu, kalau kau salah menghimpun tenaga dalam?" desah si kakek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hei, siapa namamu tadi, Anak Muda? Hm... ya, Panji. Apakah kau benar-benar murid Tirta Yasa yang berjuluk Malaikat Petir?"

"Benar, Kek! Mengapa kakek meragukannya." kali ini giliran Kenanga yang menyahut Sepasang alis gadis jelita itu berkerut, seolah-olah tengah berusaha mengingat sesuatu. Dan ketika mendengar desahan kakek itu, barulah Kenanga teringat siapa sebenarnya laki-laki yang berdiri di hadapannya.

"Benarkah kakek yang tersohor dengan julukan Raja Obat?" tanya Kenanga tiba-tiba. Sebelumnya ia pernah diberi tahu paman gurunya tentang ciri-ciri orang tua yang berjuluk Raja Obat Itulah sebabnya mengapa sejak tadi gadis itu hanya terdiam sambil terus menatap wajah kakek itu.

"He he he... siapa kau, Wanita Muda? Dari mana kau tahu, namaku?" ujar kakek tua itu terkekeh mendengar ucapan gadis jelita yang telah mengetahui siapa dia.

"Aku Kenanga, murid mendiang Raja Pedang Pemutus Urat!" jawab Kenanga cepat hati Kenanga diliputi rasa tidak
menentu dan tegang karena berhadapan dengan tokoh yang dicari-carinya selama ini. Ingin rasanya gadis itu segera berlutut di depan orang tua itu untuk memohon kesediaan Raja Obat mengobati Panji.

"Mendiang? Jadi gurumu telah tiada?" tanya kakek tua itu dengan kening berkerut

"Ya! Guruku telah lama tiada sebagaimana juga Eyang Tirta Yasa," jelas Kenanga.

"Eh, benarkah demikian. Jangan-jangan kalian hanya mempermainkan aku saja!" ucap Raja Obat sambil tertawa terkekeh. Tabib sakti ini belum sepenuhnya mempercayai ucapan Kenanga.

"Kalau kakek tidak percaya, marilah kutunjukkan makam beliau!" ajak Kenanga yang merasa tersinggung ketika kakek itu tidak mempercayai ucapannya.

"Hm... tidak perlu! Kalau hanya sekadar makam, akupun bisa membuatnya," ujar Raja Obat yang mau tidak mau membuat Kenanga menjadi panas hatinya.

"Hm... sekarang begini saja! Kalian boleh menyerangku sebanyak tiga jurus. Tapi ingat kalian harus memainkan jurus-jurus andalan kalian! Nah, dari jurus-jurus kalian baru aku tahu kalau kalian memang betul murid mereka atau bukan. Bagaimana?" tantang Raja Obat sambil tersenyum gembira.

"Bagaimana, Kakang?" Kenanga tidak segera mengambil keputusan. Gadis itu meminta pendapat kekasihnya.

"Sebenarnya aku tidak terialu berminat ikut permainanmu, Eyang. Kalau Eyang mau percaya, silakan! Tapi kalau tidak percaya, itu hak Eyang," tegas Panji yang tidak berminat meributkan soal itu. Meskipun pemuda itu sadar kalau hanya kakek inilah yang dapat menyelamatkan hidupnya, tapi dia sudah tidak peduli.

Mendengar perkataan Panji, Raja Obat tertegun sesaat Tapi tak lama kemudian terdengar kembali tawanya. "He he he... kau benar-benar mewarisi sifat-sifat gurumu, Anak Muda! Begitulah sifat Tirta Yasa waktu muda. Keras tapi tegas! He he he...," ujar Raja Obat Itu seraya terus tertawa senang. Pandangannya dialihkan pada Kenanga "Sudahlah! Ayo, kita mulai Kau setuju kan?"

"Baik, Kek! Aku sudah siap!" sahut Kenanga sambil mencabut pedang hitamnya. Tiba-tiba gadis itu telah melesat ke arah Raja Obat sambil berteriak nyaring, "Lihat pedang!"

Singngng!

"Hmm...."

Pedang hitam Kenanga meluncur cepat ke arah tenggorokan. Tapi aneh meskipun si Raja Obat sama sekali tak kelihatan mengelak atau menangkis, serangan gadis itu mengenai tempat kosong! Demikian pula dengan dua serangan berikutnya. Kedua serangan itu pun kembali mengenai tempat kosong, meskipun Raja Obat itu sama sekali tidak bergeser dari tempat dia berdiri. Tentu saja kejadian itu membuat Kenanga terkejut!

"Serangan kedua!" teriak Kenanga sambil menyilangkan pedang hitamnya didepan dada Sesaat kemudian tubuhnya
sudah berputar cepat seraya mengirimkan bacokan pedang yang hebat dan mengejutkan!

"Hmm... ilmu pedang hebat!" puji Raja Obat tulus. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu memang benar-benar hebat dan amat berbahaya! Kali ini si kakek tidak berani menganggap enteng jurus-jurus pedang Kenanga. Tubuh si Raja Obat itu bergerak ke kiri menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa mengerikan. Terdengar deru angin keras begitu pedang Kenanga mencecar Raja Obat

Wuttt! Wuttt!

Kembali dua kali tebasan pedang hitam berhasil dielakkan si Raja Obat meskipun agak kewalahan. Sampai pada jurus yang kedua itu pun, temyata Kenanga masih harus mengakui kehebatan si Raja Obat

"Hmm... dua kali seranganku gagal, Kek! Tapi pada jurus ketiga ini aku mohon kakek tidak hanya mengelak, tapi harus membalas, bagaimana?" usul Kenanga yang merasa tidak enak karena harus menyerang terus-menerus tanpa sekali pun mendapat balasan.

"He he he... kalau memang itu maumu, baiklah!" sahut Raja Obat itu terkekeh kegirangan. Rupanya sebagai seorang ahli obat Raja Obat pun tak terlepas dari penyakit suka akan ilmu silat. Dan meskipun usianya sudah lanjut, tapi semangat bertempurnya masih tetap menyala.

"Lihat serangan!" sentak Kenanga sambil melompat dan memutar pedangnya hingga membentuk sebuah sinar kehitaman yang bergulung-gulung. Kali ini gadis itu benar-benar mengerahkan jurus-jurus puncak ilmu pedang hitam yang paling tinggi, sehingga akibat yang dltimbulkan pun sangat dahsyat! Tubuh Kenanga telah menghilang di balik gulungan sinar pedang hitamnya yang bergerak cepat

"Bagus...! Bagus...!" puji Raja Obat setiap kali mengelak serangan Kenanga yang membuat jubahnya berkibaran tersambar angin pedang gadis itu.

"Haiiittt..!" Suatu ketika Kenanga berteriak nyaring dan langsung merubah gerakan pedang hitamnya. Dan tiba-tiba tubuh gadis itu telah melambung, seraya mengirimkan tusukan pedang hitam dengan kecepatan yang menggetarkan!

Singngng!

Brettt!

"Aaai...!" Hebat sekali akibat tusukan pedang gadis itu! Nyaris tubuh Raja Obat dirobek ujung pedang hitam, kalau saja dia tidak segera menggeser tubuhnya. Meskipun begitu kakek ini kelabakan juga melihat bajunya sedikit robek dekat lambung.

"He he he... cukup... cukup...! Kau benar-benar murid Raja Pedang Pemutus Urat!" seru Raja Obat sambil mundur
kemudian mengatur pemapasannya.

"Haihhh, ternyata gerakanku sudah tidak selincah dulu lagi!"

"Kakek benar-benar tadinya hebat aku hampir tak percaya kalau orang setua kakek dapat bergerak segesit tadi. Bahkan melebihi kecepatan gerakku yang masih muda ini," puji Kenanga bersungguh-sungguh, seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Raja Obat

"He he he... kau pintar sekali memuji, Cucuku! Sudahlah, jangan kau teruskan! Bisa-bisa kepalaku besar jadinya!" ujar Raja Obat itu terkekeh dengan wajah berseri-seri tanpa mempedulikan napasnya yang masih tersengal-sengal selesai uji tarung dengan Kenanga.

"Nah, sekarang giliranmu, Anak Muda! Apakah kau sudah siap menyerangku barang tiga jurus saja?" pinta Raja Obat kepada Panji yang kelihatan masih ragu-ragu.

Panji tidak segera menjawab permintaan kakek itu. Pemuda itu malah termenung memikirkan tantangan Raja Obat atau tidak. Tiba-tiba saja terngiang kembali ucapan gurunya, Eyang Tirta Yasa. "Panji, Cucuku. Kau tidak perlu heran kalau kau menemui tokoh-tokoh tua yang tanpa sebab-sebab yang jelas tahu-tahu menantang bertarung. Kebanyakkan tokoh-tokoh tua senang menguji pendekar-pendekar muda yang tangguh. Karena pertempuran dengan jago-jago muda, dapat menghidupkan kembali semangat hidup mereka dan seolah merasa muda kembali," demikian salah satu wejangan si Malaikat Petir.

Teringat pada ucapan gurunya, Panji menatap Raja Obat itu yang berdiri lima tombak di depannya dengan kening berkerut Dan Panji melihat betapa berserinya wajah Raja Obat setelah melakukan sedikit pertarungan dengan gadis jelita murid Raja Pedang Pemutus Urat

"Baiklah, Kek! Aku bersedia!" akhirnya Panji menuruti juga permintaan Raja Obat. “Tapi perlu kuingatkan, kalau saat ini aku sedang mengidap penyakit aneh akibat terlalu banyak tenaga liar yang tersimpan di tubuhku," tutur Panji mengingatkan, karena biar bagaimanapun dia tidak ingin kakek itu menjadi korban. Panji sadar setinggi apa pun tenaga dalam Raja Obat masih sepuluh kali lipat dibawah tenaganya. Dan tenaga dalam di tubuhnya tak dapat dikendalikan, dan berbahaya bila dipancing tenaga orang lain. Itulah yang dkemaskannya selama ini.

"Hmm...," Raja Obat hanya bergumam tak jelas. Meskipun telah menduga kalau Panji menderita keracunan akibat tenaganya sendiri, namun kakek itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga liar itu justru datang dari sumber yang sesungguhnya. Dari gerhana bulan yang dahsyat itu. Sayang Raja Obat itu tidak sempat memeriksanya terlebih dahulu.

"Jurus pertama...!" teriak Panji sambil melangkah maju dan langsung melancarkan serangkaian jurus cakar naga andalannya sesuai dengan permintaan Raja Obat

Wuttt! Wuttt!

Dua kali sambaran cakar naga Panji berhasil dielakkan dengan melakukan lompatan jauh ke belakang. Hal itu dilakukan Raja Obat karena ingin menghindari sambaran angin dingin dahsyat yang menyertai serangan pemuda
itu.

“Tunggu dulu, Anak Muda! Kau... kau.... Pendekar Naga Putih...?" tanya Raja Obat terperanjat dan minta berhenti sebentar. Rupa-rupanya Raja Obat itu tertarik dengan sambaran cakar naga Panji yang selalu di iringi dengan sambaran angin dingin yang menusuk tulang.

"Benar, Kek! Orang-orang persilatan menjulukiku Pendekar Naga Putih!" jawab Panji polos tanpa merasa bangga sedikitpun dengan julukan yang diberikan orang kepadanya.

"He he he... ini baru namanya jodoh! Sudah berbulan-bulan aku berkeliling mencari Pendekar Naga Putih. Eh, tak tahunya malah bertemu di sini. Bukankah ini namanya jodoh!" ujar Raja Obat terkekeh senang.

"Apa... apa maksud Kakek mencariku?" tanya Panji berdebar. Dalam hati kecilnya berharap kalau kakek sakti itu mencarinya karena sudah mengetahui penyakitnya.

"Namamu telah mengguncangkan dunia persilatan, dan jadi buah bibir dimana-mana. Bahkan orang setuaku ini dibuatnya jadi penasaran ingin menjajal sampai di mana kepandaian pendekar muda yang tersohor itu! He he he... akhirnya kita ketemu juga!" tandas Raja Obat itu tanpa mempedulikan perasaan Panji.

"Baiklah! Sekarang bersiap-siaplah melayani serangan keduaku!" ujar Panji sudah tidak mau lagi meladeni ucapan kakek itu yang sepertinya memang sangat keranjingan ilmu silat.

"He he he... silakan... silakan, Anak Muda! Kali ini aku memang harus lebih berhan-hati karena yang kuhadapi bukanlah tokoh sembarangan, melainkan seorang pendekar muda yang kesohor!" ujar Raja Obat terkekeh seperti mengejek Panji.

"Baiklah, Kek! Jagalah seranganku yang kedua Ini!" ujar Panji sambil merendahkan kuda-kudanya.

***
DUA
"Hiiiaaat..!"

Tubuh Panji melesat cepat dan langsung melancarkan beberapa sambaran bertubi-tubi. Sepasang tangannya membentuk cakar naga menyambar dahsyat disertai desiran hawa dingin yang mampu membekukan pembuluh darah.

Bettt! Bettt! Bettt!

"Aiiih...!" Raja Obat berseru tertahan ketika tiga kali sambaran cakar naga mencecar tubuhnya. Kali ini Raja Obat benar-benar terkejut bukan main. Kecepatan tangan pemuda itu sungguh luar biasa sekali. Kalau saja dia tidak cepat mengelak, pastilah salah satu cakar pendekar muda itu telah merenggut nyawanya. Bergegas kakek sakti itu melompat lima tombak kebelakang dengan wajah berubah pucat. Gerakan Panji pun tidak kalah cepat. Dikejarnya tubuh Raja Obat yang masih melambung ke belakang.

Wuttt! Wuttt!

Dua kali sambaran cakar naga menyambar cepat hingga menimbulkan suara mencicit tajam. Bukan main! Raja Obat berdecak kagum menyaksikan kedahsyatan sambaran cakar naga yang kecepatannya laksana kilat. Sadar kalau tidak mungkin menghindar, Raja Obat segera menjulurkan kedua belah tangannya. Kini seluruh urat-urat syarafnya menegang, menanti tibanya sambaran cakar naga Panji.

"Hiaaah...!"

Plakkk! Plakkk!

"Uhhh...!"

Tangan-tangan kokoh dua pendekar sakti itu beradu di udara hingga menimbulkan suara menggelegar yang
memekakkan telinga! Tubuh Raja Obat terpental keras seketika! Tangan kakek itu kalah kuat dengan tangan kekar Pendekar Naga Putih. Tubuh renta itu terpelanting di tanah berumput disertai keluhan pendek. Darah segar pun merembes dari sela-sela bibir Raja Obat yang memucat.

"Eyang...!"

"Kakek..!"

Panji dan Kenanga berteriak serempak Keduanya segera memburu tubuh Raja Obat yang terduduk lemas sambil mendekap dadanya. Kedua pendekar muda itu langsung bersimpuh di depan kakek yang amat mereka segani.

"Eyang... maafkan aku! Aku... aku telah bertindak terlalu kasar kepada Eyang," ujar Panji terbata-bata penuh sesal.

"He he he... tidak ada yang perlu kumaafkan, Cucuku. Aku tidak apa-apa, cuma dadaku terasa sedikit sesak Tidak kusangka, tenaga dalammu sangat hebat sekali Cucuku. Rasa-rasanya sepuluh orang setingkat aku pun masih sulit menandingi kekuatan tenaga dalammu," sahut Raja Obat tersenyum puas meskipun ada sedikit rasa heran mengusik benaknya.

"Yah, tapi tenaga dahsyat itu pulalah yang akan membawaku kepada kematian, Eyang" ucap Panji menunduk
sedih.

"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja Obat seraya mengamati wajah Panji penuh selidik. Dia sudah tidak merasakan lagi rasa sesak di dadanya.

"Meskipun sudah bisa kulihat dari wajah dan sinar matamu, namun aku tidak menduga kalau kekuatan yang meracuni tubuhmu itu sampai sedemikian dahsyat! Dapatkan kau ceritakan penyebabnya, Cucuku?" pinta Raja Obat dengan lemah-lembut seperti layaknya seorang kakek kepada cucunya. Pengalaman adu tanding dengan Panji telah menarik perhatian kakek sakti itu. Kekuatan tenaga dalam pemuda itu benar-benar di luar dugaannya. Kejadian langka inilah yang membuat Raja Obat penasaran ingin mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih sampai mendapatkannya. Selama berpuluh-puluh tahun mengembara, baru kali inilah Raja Obat bertemu dengan manusia yang memiliki tenaga dalam sehebat pemuda ini.

"Ceritanya cukup panjang, Eyang. Sebaiknya kita masuk ke pondok dulu. Nanti setelah Eyang sudah agak pulih, baru akan kuceritakan," jawab Panji seraya memapah Raja Obat masuk ke pondok.

***

"Jadi tenaga liar yang mengeram di tubuhmu adalah kekuatan alam dari tenaga 'Inti Gerhana Bulan'? Hmm... sebenarnya tenaga liar itu tidak akan berakibat buruk seandainya saat itu keadaanmu tidak sedang terluka. Inti kekuatan gerhana bulan yang merasuk ke dalam tubuhmu menjadi tidak terkendali hingga melebihi daya tahan manusia biasa meskipun sudah berlatih selama seratus tahun," ulas Raja Obat seusai mendengar penuturan Panji tentang asal mula mengendapnya tenaga liar dalam tubuhnya.

"Apakah akibat buruk kekuatan liar ini bisa disembuhkan, Eyang?" tanya Kenanga menyelak tak sabar.

"He he he.... Tuhan maha adil, Cucuku. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Dan kita sebagai manusia harus berusaha untuk mencari obat itu," jawab Raja Obat itu sambil tersenyum. Sebelumnya Raja Obat juga sudah diberi tahu kalau antara muda-mudi itu terjalin hubungan batin yang erat.

“Tapi, ke mana kira harus mencari obatnya, Eyang?" sergah Panji balik bertanya. Di wajah pemuda tampan itu
tersirat suatu kebulatan tekad untuk mencari obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. (Baca Pendekar Naga Putih dalam episode Raja Iblis dari Utara)

"Hm.... Beberapa puluh tahun yang silam, Guru Eyang pernah bercerita tentang adanya tumbuhan mukjizat yang
amat banyak sekali khasiatnya. Tumbuhan itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit Memperpanjang usia, dan juga dapat melipat gandakan kekuatan tenaga dalam. Tumbuhan itu berbunga sekali dalam setiap seratus tahun. Nah, kalau tidak salah pada bulan ketujuh hari kedua nanti, tumbuhan itu akan kembali berbunga. Itulah satu-satunya kesempatanmu, Cucuku," kata Raja Obat menutup ceritanya.

"Katakanlah tempat tumbuhan itu berada Eyang. Dimanapun tumbuhan itu berada, aku akan mencarinya sampai dapat!" desah Panji tidak sabar lagi.

"Hmm... tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir di saat tumbuhan itu berbunga, berbondong-bondong tokoh persilatan berdatangan ke sana, dan belum lagi gangguan binatang-binatang buas yang banyak berkeliaran. Kurasa kau tidak akan sanggup menghadapi rintangan-rintangan itu Cucuku." ujar Raja Obat dengan sorot mata menerawang jauh.

"Betapapun sulit dan berbahanya tempat itu, aku akan tetap ke sana, Eyang!" tandas Panji mantap.

"Baiklah, Cucuku!" sahut Raja Obat itu setelah menghela napas panjang. Lalu dijelaskannya tempatbtumbuhan itu berada.

"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang juga, Eyang. Biarlah Adik Kenanga menemani Eyang di sini selama aku pergi," ucap Panji setelah mendapat petunjuk tempat terdapatnya tumbuhan itu. Hari itu juga Panji segera mempersiapkan segala keperluannya selama dalam perjalanan.

"Aku mau ikut, Kang...," pinta Kenanga serak karena keharuan yang memenuhi rongga dadanya. Air mata bening
bergulir perlahan membasahi pipi Kenanga yang putih halus.

"Jangan, Adikku. Percayalah, aku mampu menjaga diri. Dan begitu mendapat bunga itu, aku akan kembali secepatnya. Kau di sini saja menemani Eyang," ujar Panji berusaha menahan keharuan. Sebenarnya dia pun tidak mau berpisah dengan wanita yang dicintainya ini. Tapi karena merasa lebih leluasa sendiri, Panji terpaksa meneguhkan keputusannya. Setelah mengecup lembut kening kekasihnya, Panji pun bergegas meninggalkan Bukit Gua Harimau.

***

Gunung Kembaran berdiri kokoh dengan angkernya di kejauhan. Puncaknya yang tinggi selalu diselimuti kabut tebal. Lereng-lerengnya yang licin dan curam membuat Gunung Kembaran hampir-hampir tidak pernah didatangi manusia. Namun di pagi itu, tampak belasan sosok mulai berlarian mendekati ke sana. Rata-rata mereka berilmu tinggi. Ini terlihat dari gerakan tubuh mereka yang melenting ringan dan gesit merayapi lereng gunung. Setibanya di tepi sebuah sungai yang mengalir dikaki gunung, orang terdepan menghentikan larinya. Sepasang matanya yang tajam mengamati daerah sekitarnya penuh waspada.

"Hm... tampaknya kitalah orang pertama yang tiba di tempat ini, Adi Badil," ucap orang itu kepada kawannya
yang berdiri di sebelahnya.

"Kurasa juga begitu, Kang!" jawab orang yang dipanggil Badil. Sementara sepasang matanya pun ikut diedarkan berkeliling mengawasi sekitarnya. Dua belas orang yang termasuk dalam rombongan itu ikut pula menghentikan larinya. Mereka berdiri berjajar dibelakang dua laki-laki yang sepertirrya menjadi pemimpin mereka.

"Kawan kawan! Kita istirahat di sini sebentar sambil menunggu kedatangan guru!" kata orang yang pertama itu memberitahukan kepada dua belas kawannya.

"Baik, Kakang Kanjawa!" jawab mereka serempak.

“Badil! Bawa dua kawanmu dan periksa sekitar tempat ini!" orang yang bernama Kanjawan kembali memberi perintah. Sepertinya belum merasa yakin kalau keadaan di sekitar tempat itu aman.

"Baik, Kakang!" jawab Badil cepat. Sesaat kemudian Badil segera pergi menyelidiki sekitar daerah itu bersama dua orang kawannya.

Setelah ketiga orang itu pergi, Kanjawa melangkahkan kaki menuruni tepian sungai. Seluruh wajahnya dibasuh dengan air sungai yang sejuk dan jernih itu. Ketika Kanjawa bergerak hendak naik kembali, tiba-tiba dikejutkan oleh suara jeritan yang membuat jantungnya berdebar hebat. Secepat kilat Kanjawa melambung. Alangkah kagetnya dia, begitu mendapatkan sepuluh rekannya telah rebah bermandi darah!

"Bangsat! Siapa yang telah berbuat sekejam ini! Hayo keluar! Tunjukkan dirimu!" teriak Kanjawa murka. Dengan pedang terhunus, matanya beredar liar merayapi seluruh pelosok tempat itu.

Namun tak satupun makhluk yang dilihatnya. Apalagi menjawab tantangannya. Setelah beberapa saat menanti, akhirnya Kanjawa bergegas mendekati kesepuluh mayat kawannya Wajah pemuda itu mendadak pucat menyaksikan sekujur kulit para korban berwarna kehitaman. Dan yang lebih mengherankan lagi, tak satu pun tampak luka senjata-senjata di tubuh mereka. Kanjawa yang semula hendak menyentuh tubuh salah seorang kawannya, cepat menarik tangannya ketika melihat kulit kawannya semakin menghitam.

"Racun..!" desis Kanjawa. Seketika itu juga tubuhnya mencelat bangkit dan bergegas menjauhi mayat kawannya. Mengerikan! Tiba-tiba saja mayat-mayat itu menciut. Makin lama makin mengecil dengan diiringi suara mendesis aneh.

"Kkk... kelabang... penghisap... darah...!" seru Kanjawa terbata-bata.

Tanpa sadar kedua kakinya mundur beberapa langkah. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya. Berbarengan dengan ucapan yang keluar dari mulut Kanjawa. Binatang yang disebutnya tadi mulai bersembulan dari dalam mayat kawan-kawannya. Binatang-binatang menjijikkan itu keluar dari lubang-lubang yang memenuhi sekujur daging mayat-mayat itu. Puluhan binatang berwarna merah darah itu meninggalkan tubuh korbannya dengan menimbulkan suara gemerisik ribut. Rupanya binatang-binatang itu sudah puas dengan pestanya di hari ini.

"He he he... kalian sudah puas, anak-anak manis," mendadak terdengar suara parau dan mendirikan bulu roma. Seiring dengan lenyapnya suara tadi, tahu-tahu sesosok tubuh melangkah perlahan mendatangi tempat itu.

"Kelabang Merah...!" desis Kanjawa sambil menji-lati bibirnya yang kering. Wajahnya semakin pucat bagai tak dialiri darah. Sepasang matanya membelalak ke arah sosok asing yang baru datang.

Sosok yang dijuluki Kelabang Merah itu benar-benar menyeramkan! Sekujur kulitnya berwarna kemerahan mirip binatang-binatang peliharaannya. Kepalanya gundul pelontos, berperawakan gemuk bulat dan hanya mengenakan cawat hitam sebagai penutup auratnya. Di kiri kanan pinggangnya tersampir sebuah bumbung bambu tempat menyimpan kelabang-kelabang berbisa peliharaannya.

"He he he... yang mampus itu saudara-saudaramu, ya?" ucap Kelabang Merah tanpa rasa berdosa sedikit pun!

Kanjawa diam membisu. Dia hanya mampu mengangguk di hadapan Kelabang Merah itu. Rasa kagetnya masih belum hilang seluruhnya.

"Hei! Apakah kau tuli? Aku tanya apakah mereka saudara seperguruanmu?" teriak Kelabang Merah mengulang pertanyaannya. Rupanya lelaki berkepala pelontos ini tak melihat anggukan kepala Kanjawa.

"Bbb... benar!" dengan susah payah akhirnya Kanjawa dapat juga mengeluarkan suaranya.

"He he he... anak-anakku tadi lapar sekali. Sengaja kulepaskan mereka, biar mencari makan sendiri. Kau tentunya tidak keberatan, bukan?" tanya orang itu seenaknya.

"Eh, ya... ya...! Aku tidak keberatan!" sahut Kanjawa seperti membeo.

"He he he... sudah kuduga kalau kau pasti orang baik! Eh... tapi, anak-anakku yang lain masih belum dapat bagian, apakah kau mau memberi mereka makan?" tanya Kelabang Merah lembut. Meskipun begitu, suaranya tetap terdengar kasar dan menyeramkan.

Mendengar permintaan Kelabang Merah, wajah Kanjawa semakin pucat dan gemetar ketakutan. Ia memang pernah mendengar dari gurunya, tentang seorang datuk sesat yang berjuluk Kelabang Merah. Meskipun tergolong tokoh sesat tetapi memiliki sifat yang berlawanan dengan penampilannya. Tokoh ini selalu bersikap lemah-Iembut kepada orang-orang yang ditemuinya. Dan yang lebih aneh lagi, laki-laki berkulit merah ini sama sekali tidak menganggap membunuh manusia untuk memberi makan binatang-binatang peliharaan sebagai perbuatan keji.

"Ah, tidak! Jangan! Aku... aku tidak mau!" ujar Kanjawa tersentak dari lamunannya sambil melangkah mundur begitu mendengar permintaan aneh Kelabang Merah. Karena yang dimaksud memberi makan oleh Kelabang Merah adalah merelakan dirinya dimangsa kelabang-kelabang merah penghisap darah. Karuan saja Kanjawa ketakutan.

"Eh, mengapa kau tidak mau? Kau senang ya kalau melihat anak-anakku mati kelaparan? Mengapa kau pelit sekali?" bentak Kelabang Merah gara-gara permintaannya ditolak. Tokoh aneh ini menuduh Kanjawa pelit karena dia tidak bersedia dimangsa binatang piaraannya. Rasa-rasanya hanya orang bosan hidup saja yang mau menuruti permintaan gila si Kelabang Merah.

Selagi kedua orang itu bersikeras hendak memaksakan keinginannya masing-masing, mendadak tiga sosok tubuh
berlari mendatangi mereka. Ketiga orang yang tidak lain adalah Badil dan dua orang kawannya menjadi terkejut mendapatkan teman-temannya telah menjadi mayat. Dan mereka semakin terkejut melihat Kanjawa mundur ketakutan dihampiri orang berkepala botak yang hanya mengenakan cawat hitam saja.

"Kakang Kanjawa...!" teriak Badil sambil berlari menghampiri Kanjawa. Orang yang bernama Badil itu semakin terkejut ketika melihat wajah kakak seperguruannya pucat pasi bagai tak dialiri darah. "Siapa... siapa orang itu, Kakang?" tanya Badil terheran-heran bercampur kaget melihat Kanjawa ketakutan berhadapan dengan orang nberkulit kemerahan yang hanya memakai cawat hitam.

"Dia... Kelabang Merah...," sahut Kanjawa. Rupa-rupanya kedatangan Badil dan dua orang kawannya membuat keberanian Kanjawa timbul kembali.

"He he he... rupanya anak-anakku sedang bernasib mujur hari ini," ujar Kelabang Merah begitu melihat kedatangan tiga orang lagi. "Hayo, anak-anak, makanan kalian sudah tersedia." Sambil berkata demikian, Kelabang Merah segera membuka tutup bumbung yang tergantung di pinggang kirinya.

"Hahhh!"

Badil dan dua orang kawannya serentak melompat mundur dengan wajah memucat. Sekilas saja mereka pun tahu kalau binatang-binatang itu pastilah sangat beracun. Kini mereka mulai dapat menduga penyebab kematian kawan-kawan mereka dan mengapa Kanjawa demikian ketakutan kepada laki-laki gemuk berkepala botak ini.

"Keparat! Jadi rupanya kau yang telah membunuh saudara-saudara kami, hah? Kubunuh kau, Bangsat Gundul!" bentak Badil marah. Sekejap saja pedangnya telah teihunus di tangan.

"Hiaaat..!" Tanpa mengenai rasa takut Badil yang tidak mengenai tokoh berkepala gundul itu langsung saja membabatkan pedangnya ke arah Kelabang Merah. Dua orang lainnya pun bergegas mencabut senjata maang-masing. Dan tanpa dikomando lagi, keduanya segera membantu Badil. Pedang di tangan mereka menderu tajam, mencecar titik kematian laki-laki bercawat hitam itu.

"Adi, jangan...!" Kanjawa yang mengetahui kalau tokoh itu bukan tandingan mereka berteriak mencegah. Namun sayang, teriakan Kanjawa terlambat! Pada saat itu juga makhluk-makhluk sebesar ibu jari yang berwarna merah sudah melesat dari bumbung bambu yang dipegang laki-laki berkulit kemerahan.

Ser! Ser! Sert!

Puluhan kelabang merah meluncur deras menuju tiga orang adik seperguruan Kanjawa yang tengah melesat menerjang. Gerakan puluhan binatang menjijikkan itu demikian cepat sehingga Badil dan kedua orang lainnya tak sempat lagi menghindar. Maka....

Crabbb! Crabbb!

"Aaa...!" Sekejap saja puluhan kelabang merah telah lenyap ke dalam tubuh tiga laki-laki itu. Cairan merah memercik ke mana-mana diiringi dengan robohnya tubuh mereka. Badil dan dua orang lainnya berkelojotan meregang nyawa!

Gemetar seluruh tubuh Kanjawa melihat ketika kawannya yang tengah sekarat itu. Rasa gentar dan kemarahan bercampur menjadi satu. Terdengar keluhan lirih dari kerongkongan Kanjawa. Sesaat kemudian, wajahnya merah padam! Sepasang matanya berputar liar bagai orang hilang pikiran.

"Iblis laknat! Kubunuh kau...!" rasa takut yang semula menguasai hati Kanjawa lenyap seketika. Disertai bentakan menggeledek, tubuhnya mencelat sambil menyabetkan pedangnya ke leher Kelabang Merah.

Wukkk! Wukkk!

Dua buah serangan beruntun yang dilancarkan Kanjawa dengan mudah dielakkan Kelabang Merah. Dan saat itu juga tangan lawan terulur ke arah perutnya.

Brettt!

"Uhhh...!" Jari-jari tangan datuk sesat yang berkuku panjang dan runcing itu tidak mengenai sasaran ketika Kanjawa menarik kakinya mundur. Tapi tak urung bajunya sempat tercabik kuku-kuku runcing itu.

"He he he... mengapa tergesa-gesa, Anak Muda? Tunggulah sebentar! Setelah anak-anakku selesai mengeringkan darah kawanmu, kau pun akan kebagian giliran!" ujar Kelabang Merah terkekeh kegirangan. 

Kanjawa yang kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun, tak mampu menjawab ejekan lawannya. Bagaikan banteng
teriuka, lawannya kembali diteriang. Kelabang Merah hanya tertawa cekakakan menantikan datangnya serangan Kanjawa.

***
TIGA
"Yiiaaat…"

Wukkk!

Tubuh Kelabang Merah yang bulat gemuk berlompatan lincah menghindari sabetan pedang Kanjawa. Sambil terus berloncatan, lelaki berkulit kemerahan ini sengaja memperdengarkan tawanya untuk membuat Kanjawa tak mampu memusatkan perhatian pada permainan jurus-jurus pedangnya.

Memasuki jurus kesepuluh, dengan penuh perhitungan tangan kanan Kelabang Merah dijulurkan ke atas. Datuk sesat itu bermaksud memapak tusukan pedang lawan. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menusuk dengan jari-jari terbuka mengarah ulu hati Kanjawa.

Plakkk! Crebbb!

"Aaakh...!" Pedang di tangan Kanjawa terpental ketika lengannya tertangkis lengan Kelabang Merah yang keras bagaikan baja. Dan pada saat yang bersamaan, jari-jari yang berkuku runcing menembus perut. Tubuh Kanjawa terhuyung kebelakang! Darah segar menyembur dari luka menganga di perutnya. Dan dengan mata membelalak, Kanjawa mendekap luka yang terus menyemburkan darah segar. Sesaat kemudian tubuhnya pun roboh dan berkelojotan untuk kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Sekujur kulit Kanjawa perlahan menghitam ketika racun yang berada pada kuku-kuku jari lawannya mulai bekerja.

"He he he.... Ayo, Anak-anak. Kita pergi dari tempat ini!" ucap Kelabang Merah sambil terkekeh seram.

Beberapa saat kemudian, dari mayat Badil dan dua orang kawannya mulai bermunculan puluhan kelabang yang masih berlumuran darah! Dan bagai anak-anak yang penurut, puluhan kelabang itu pun melesat ke dalam bumbung bambu yang telah diletakkan diatas tanah oleh majikannya. Sambil terus mengeluarkan tawanya yang seram, Kelabang Merah menutup bumbung dan menggantungkan kembali di pinggangnya. Dan tanpa menoleh lagi, laki-laki berkulit kemerahan itu berlenggang begitu saja. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa di tempat itu.

"Berhenti!"

Kelabang Merah menahan langkah kakinya ketika mendengar bentakan yang ditujukan kepadanya. Sesaat kemudian, laki-laki aneh itu kembali meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan teriakan itu. Belum lagi kakinya melangkah jauh, sesosok bayangan yang berambut riap-riapan berkelebat melewati kepalanya. Dan dengan sebuah putaran yang indah, sosok itu mendaratkan beberapa tombak di depan Kelabang Merah.

"He he he... mau apa kau menyuruhku berhenti? Apakah kau pun mau ikut-ikutan menyumbang darah?" ujar Kelabang Merah terkekeh menyebalkan.

"Hm... apakah binatang-binatang peliharaanmu yang menjijikkan itu suka dengan darah orang setua aku?" sahut orang berambut riap-riapan mengejek. Meskipun nada bicaranya terdengar lembut, namun sepasang mata laki-laki itu berkilat-kilat. Jelas sekali kalau laki-laki yang berusia kurang lebih sekitar enam puluh lima tahun itu tengah menahan luapan amarahnya.

"He he he... sebenarnya sih tidak suka. Apalagi dagingmu sudah alot dan berbau busuk! Tapi kalau memang kau mau memberi anak-anakku makan, aku pun tak keberatan," sahut Kelabang Merah sambil tetap tertawa terkekeh.

"Benar-benar rakus sekali binatang-binatang peliharaanmu. Sampai-sampai darah empat belas orang muridku pun masih belum cukup membuat mereka kenyang!" ucap laki-laki berambut riap-riapan dengan nada yang semakin meninggi.

"Eh, jadi mereka murid-muridmu! Wah... sungguh beruntung sekali kau, Kisanak. Murid-muridmu itu baik sekali Mereka berlomba-lomba menyumbangkan darahnya pada anak-anakku!" Laki-laki aneh itu sama sekali tidak merasa terkejut ataupun ketakutan. meskipun tahu kalau yang menghadangnya itu adalah guru dari orang-orang yang telah dibunuhnya. Malah dia tertawa-tawa kegirangan. Seolah-olah sama sekali tidak merasa bersalah kepada orang tua dihadapannya.

"Tentu saja aku sangat beruntung, Iblis Gundul! Eh, omong-omong aku merasa lapar sekali sekarang! Sudikah kau berikan peliharaanmu untuk kujadikan pengisi perut?" sadar kalau si gundul otaknya sudah tidak waras
akibat racun-racun yang dipelajarinya, maka kakek berambut riap-riapan itu pun mencoba mengimbanginya.

"Apa? Kau ingin menyantap anak-anakku? Tidakkah kau sadar, Orang Tua Gila! Dengar baik-baik! Permintaan gilamu itu sudah cukup menjadi alasanku untuk membunuhmu!" bentak Kelabang Merah yang menjadi marah mendengar permintaan lawan bicaranya.

"Hm... apakah kau pun sadar gundul gila? Dengan memberikan darah-darah muridku kepada binatang jelekmu telah membuatku ingin membunuhmu? Nah sekarang kau boleh pilih! Serahkan binatang jelekmu atau kepalamu kuremukkan dengan tongkat ini!" ancam kakek berambut riap-riapan dengan emosi yang meledak-ledak.

"Eh, oh... mengapa begitu? Tidak! Kedua-duanya aku tidak mau!" teriak Kelabang Merah membentak marah.

"Kalau kau tidak mau, aku akan memaksanya! Hmh!" sambil mendengus kasar, kakek berambut riap-riapan mengulurkan tangannya mencengkeram batok kepala Kelabang Merah yang pelontos.



Wuttt!
"Eit, tidak kena!" ejek Kelabang Merah sambil menarik tubuhnya ke belakang.

"Huh! Jangan takabur dulu, Gundul! Coba kau tahan ini! Heaaat...!" Disertai teriakan nyaring, kakek berambut riap-riapan memutar tongkat baja hitamnya hingga menimbulkan angin menderu-deru.

Werrr! Werrr!

"Eh!" Kelabang Merah berseru kaget ketika tahu-tahu saja ujung tongkat lawan telah mencecar tenggorokannya! Cepat laki-laki berkulit merah itu melesat kebelakang. Setelah bersalto beberapa kali di udara, sesaat kemudian kakinya sudah mendaratkan beberapa tombak didepan kakek berambut riap-riapan itu.

"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua Gila! Sepertinya aku pernah mengenai jurus-jurus tongkatmu?" tanya Kelabang Merah agak terkejut. Rupanya mata si gundul baru terbuka begitu melihat kehebatan jurus-jurus tongkat baja lawan.

"Buka matamu lebar-Iebar, Gundul Tengik! Ketahuilah! Saat ini kau berhadapan dengan Tongkat Pencabut Nyawa. Sekarang bersiaplah kau menerima kematian!" bentak orang tua berambut riap-riapan.

"He he he... jangan takabur Tongkat Pemukul Anjing! Apa kau kira aku takut melihat tongkat bututmu? Ayo majulah!" seru Kelabang Merah berusaha menutupi rasa terkejutnya.

Setelah berkata demikian, laki-laki aneh itu pun segera melepaskan tutup bumbung bambu yang menggantung dipinggang kirinya. Dari sini saja sudah dapat ditebak kalau kali ini Kelabang Merah bukanlah tokoh sembarangan.

"Hm... kalau begitu tahanlah tongkat pemukul anjingku ini, Anjing Gundul!" Begitu ucapannya selesai, orang tua yang berjuluk Tongkat Pencabut Nyawa segera melejit ke udara. Tongkatnya berputaran di atas kepala, sehingga membuat daerah sekitar tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat. Puluhan kelabang penghisap darah yang dilepaskan si gundul buyar tersapu angin putaran tongkat baja hitam!

Melihat binatang peliharaannya tak mampu menembus dinding angin yang diciptakan Tongkat Pencabut Nyawa. Kelabang Merah segera berseru nyaring seraya melontarkan pukulan beracunnya bertubi-tubi. Pertempuran pun semakin seru dan ramai! Dua tokoh sakti dari aliran yang bertolak belakang itu saling terjang dengan ganasnya. Keduanya sudah mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Maka dapat dibayangkan kedahsyatan pertempuran kedua tokoh sakti itu! Sampai lima puluh jurus, keduanya masih terlihat imbang. Namun memasuki jurus kelima puluh dua, Tongkat Pencabut Nyawa semakin memperhebat serangannya. Batu-batu kerikil ikut beterbangan terbawa putaran angin dahsyat yang diciptakan tongkat bajanya.

Wuttt!

"Aaaih...!" Kelabang Merah melompat ketika tongkat baja hitam membabat pinggangnya. Sabetan tongkat lawan memang berhasil dielakkan. Namun pada saat tubuh Kelabang Merah masih mengambang di udara, tahu-tahu Tongkat Pencabut Nyawa melompat sambil melakukan dua kali tendangan dengan menggunakan tongkatnya sebagai penunjang!

Desss! Desss!

"Huaaakh!" Darah segar kontan bermuncratan dari mulut laki-laki berkulit kemerahan hingga memercik ke pakaian lawannya. Datuk aneh itu terpental jauh ketika dua tendangan beruntun Tongkat Pencabut Nyawa bersarang telak di dada! Tubuh tambun itu mencium bumi hingga menimbulkan suara berdebuk keras!

"Ha ha ha... bersiaplah kau menerima kematianmu, Kelabang Busuk!" bentak laki-laki berambut meriap terbahak. Sesaat kemudian tongkat baja hitamnya terayun deras ke arah kepala gundul yang tengah tertunduk itu.

Wuttt!

Dapatlah dipastikan kalau sebentar lagi kepala gundul itu pastilah akan pecah berhamburan terhantam tongkat baja yang berat itu. Namun pada saat yang menegangkan, secepat kilat tangan kanan Kelabang Merah berkelebat melemparkan bumbung bambu dari pinggang kanannya. Berbarengan dengan itu, laki-laki berkulit kemerahan segera bergulingan menghindari ancaman maut.

Tongkat Pencabut Nyawa sempat terkejut melihat benda yang dilemparkan Kelabang Merah. Sekilas dilihatnya kalau benda yang dilempar lawan adalah bumbung kelabang merah. Kakek berambut riap-riapan tidak berani mengambil risiko. Apabila bumbung bambu itu pecah berantakan akibat hantaman tongkatnya, bukan tidak mungkin akan ada beberapa kelabang penghisap darah yang terlontar ke tubuhnya.

Bumm!

Debu mengepul tinggi ketika tongkat baja hitam menghantam batu sebesar kepala gajah yang berada di samping kiri Kelabang Merah. Sedangkan bumbung bambu yang tadi dilemparkan oleh Kelabang Merah, tergeletak di atas rerumputan dalam keadaan masih tertutup rapat. Tongkat Pencabut Nyawa menoleh kearah lawannya bergulingan. Namun ternyata di tempat itu sudah tak terlihat bayangan Kelabang Merah lagi.

"Keparat gundul! Sampai ke ujung langit pun kau akan kukejar!" teriak Tongkat Pencabut Nyawa ketika menyadari kalau lawan telah melarikan diri. Tongkat Pencabut Nyawa memungut bumbung bambu tempat penyimpanan kelabang penghisap darah. Lalu diletakkan keatas batu yang permukaannya datar.

"Hm... binatang pembawa celaka ini harus dimusnahkan agar tidak meminta korban lagi," ujar Tongkat Pencabut Nyawa geram. Diambilnya batu sebesar kepala kerbau dan ditimpakan tepat di atas bumbung. Dan....

Prakkk...!

"Mampuslah kau binatang celaka!" ucapnya tersenyum puas. Setelah memusnahkan kelabang berbisa, Tongkat Pencabut Nyawa pun bergegas meninggalkan tempat itu menuju Puncak Gunung Kembaran.

"Hm... kau berbicara dengan siapa, Kisanak?" tiba-tiba terdengar teguran yang membuat Tongkat Pencabut Nyawa menghentikan langkahnya. Dan sebelum gema teguran itu lenyap, dari kejauhan tampak sesosok tubuh berlari mendatangi.

"Ah, rupanya Ki Bagasti yang datang!" seru Tongkat Pencabut Nyawa dengan wajah berseri.

"Eh, bukankah itu mayat murid-muridmu, Jiwana?" tanya orang yang baru datang agak terkejut

"Benar, Ki!" sahut Tongkat Pencabut Nyawa yang temyata bernama Ki Jiwana. Dengan singkat, kakek berambut riap-riapan menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi.

"Hhh... setelah bertahun-tahun menghilang, ternyata dia mulai menebarkan bencana lagi. Tapi syukurlah kau telah membunuh semua binatang-binatang peliharaannya. Kalau tidak, bisa-bisa lebih ramai lagi keadaan di sana," ujar Ki Bagasti menimpali ucapan Ki Jiwana.

"Ha ha ha... jadi kedatanganmu kemari juga karena dongeng itu?" tanya Ki Jiwana tersenyum.

"Hm.... Bunga Abadi bukan hanya sekadar dongeng, Jiwana. Menurut guruku dulu bunga itu benar-benar memang ada. Kurasa, gurumu pun pasti sudah menceritakannya padamu. Kalau tidak, mengapa kau berada di sini juga?" tebak Ki Bagasti.

"Yah, seperti juga kau, aku pun ingin melihat seperti apa sebenarnya tumbuhan itu?" sahut Ki Jiwana tertawa tergelak.

"Eh, jadi niatmu ke sini hanya sekadar ingin melihat tumbuhan itu? Apa kau tak berniat memilikinya, Jiwana? Ingat, khasiat tumbuhan mukjizat itu bukan hanya dapat menyembuhkan berbagai penyakit ataupun sekadar penawar racun saja, apa kau tidak tahu?" desak Ki Bagasti yang merasa heran ketika mendengar Ki Jiwana hanya ingin melihat tumbuhan yang pada masa itu telah membuat geger kaum persilatan.

"Aku tidak pernah bermimpi untuk mendapatkannya, Ki? Lagi pula kepandaianku kalah jauh jika dibandingkan dengan ilmumu?" ujar Ki Jiwana merendah.

"Hm... kau terlalu merendah, Jiwana. Tak seorang pun tokoh persilatan yang tidak gentar mendengar kehebatan Tongkat Pencabut Nyawa. Dan siapa pula yang tidak pernah mendengar berapa banyak tokoh persilatan yang bertekuk lutut di bawah kesaktianmu," ucap Ki Bagasti sambil mengulap-ulapkan tangan bagaikan orang yang tengah bersajak.

"Ha ha ha... katakanlah apa yang kau ucapkan itu benar. Tapi sehebat-hebatnya Tongkat Pencabut Nyawa, mana mungkin dapat mengatasi kepandaian Ki Bagasti!" Ki Jiwana balas memuji sambil tertawa lepas.

"Aaah sudahlah! Apakah kau tidak ingin cepat sampai ke tempat itu?" ucap Ki Bagasti sambil mengibaskan tangannya pertanda tak ingin meneruskan pembicaraan itu.

"Ayolah!" sahut Ki Jiwana sambil mengjkuti langkah sahabatnya. Lalu kedua tokoh sakti itu pun melangkah beriringan menyeberangi sungai yang memisahkan Gunung Kembaran dengan dunia luar.

***

Hembusan angin bersilir lembut mengiringi langkah seorang gadis muda berwajah cantik. Gadis itu melangkah sambil menoleh ke kiri-kanan jalan yang dilaluinya. Sepertinya dia begitu menikmati pemandangan di sekelilingnya. Rambutnya yang ikal berhiaskan pita biru muda pada bagian tengah kepalanya. Kalau melihat dari pakaian yang dikenakannya yang berwana biru muda itu, sudah pasti kalau gadis cantik itu Ayuning-lah adanya. (Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis Ini silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Mencari Jejak Pembunuh)

Baru saja gadis itu hendak memasuki hutan kecil disebelah Timur Lereng Gunung Kembaran, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat langkahnya terhenti. Seketika bergegas Ayuning bersembunyi di balik semak-semak terdekat.

"He he he... rupanya hari ini kita benar-benar mujur. Lihat, Kang! Ada bidadari cantik menghampiri kita," ujar seorang lelaki bermuka hitam seraya tertawa terkekeh hingga memperlihatkan giginya yang kotor. Sepasang matanya jelalatan melahap sekujur tubuh Ayuning mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. 

"Hm... hati-hati, Adi! Saat ini, banyak orang sakti melintasi hutan ini. Kurasa gadis cantik ini bukan mangsa empuk," bisik kawannya memperingatkan. "Ayo, lebih baik kita kembali ketempat guru. Siapa tahu beliau mencari-cari kita," lanjut kawannya lagi.

"Ah, Kakang, mengapa tergesa-gesa. Bukankah guru sedang beristirahat Kupikir tak ada salahnya kalau kita mencari hiburan barang sejenak," ucap si muka hitam membandel.

"Jangan gegabah, Adi! Bukankah tadi sudah ku katakan kalau di tempat ini banyak berkumpul tokoh tokoh sakti berkepandaian tinggi. Lagi pula guru pun pernah berpesan agar kita harus membatasi semua tindakan agar tidak terjadi kesalahpahaman," kawannya yang lebih tua masih berusaha mengingatkan kalau tindakannya si muka hitam bisa merugikan mereka sendiri.

“Tapi, Kakang. Alangkah sayangnya kalau gadis secantik itu dibiarkan lewat begitu saja?" si muka hitam masih mencoba membantah.

"Ayolah!" ujar kawannya jengkel. Ditariknya lengan si muka hitam untuk segera melupakan nafsu bejatnya. Ayuning hanya mengawasi tingkah kedua orang itu tanpa beranjak dari persembunyiannya. Gadis berpakaian biru muda itu sempat mencuri dengar sedikit-sedikit apa yang sedang diributkan kedua laki-laki itu.

"Hm... sepertinya di sini telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang rupanya juga berminat pada tumbuhan mukjizat Wah kalau begini bisa ramai nih!" gumam gadis itu sambil tersenyum membayangkan seandainya dia bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan yang memburu tumbuhan mukjizat itu. Berpikir demikian, gadis itu pun bergegas mempercepat langkahnya menuju Gunung Kembaran. Karena menurut selentingan yang gurunya pernah dengar, konon di Gunung Kembaran itulah adanya tumbuhan mukjizat Tumbuhan Ajaib yang memiliki berbagai keistimewaan. Itulah sebabnya mengapa guru Ayuning menyuruh gadis ini menyelidiki kebenaran berita itu. Sekaligus juga, menimba pengalaman dalam dunia persilatan.

"Hm... mengapa kelihatannya sepi-sepi saja? Apakah para tokoh itu belum datang?" gumam Ayuning keheranan tatkala mendapati hutan itu masih sepi. Menurut perhitungan gurunya, saat ini tokoh-tokoh persilatan pasti sudah berkumpul di sana, tapi temyata tak seorang pun terlihat.

"Ah, mungkin karena waktunya masih dua hari lagi? Atau mungkin mereka masih dalam perjalanan?" gumam Ayuning menghibur dirinya sendiri.

Baru saja Ayuning hendak beranjak dari persembunyiannya, tiba-tiba terdengar siulan panjang yang melengking tinggi. Belum lagi gema siulan itu lenyap, mendadak berkelebat beberapa sosok bayangan menuruni lembah di bawah tempat persembunyian Ayuning. Ayuning menajamkan pandangannya mengamati keempat sosok berseragam hijau yang akhirnya berhenti tepat dibawahnya. Jarak dataran yang memisahkan mereka sekitar enam atau tujuh tombak tingginya Ayuning menarik napas lega ketika orang-orang itu tidak menyadari kehadirannya di tempat itu.

"Hm... kalian sudah temukan tempat itu?" tanya sebuah suara yang sepertinya berasal dari mulut seorang nenek tua.

"Sudah, Guru! Gua itu ada di lereng sebelah Selatan. Dan, ada beberapa tokoh yang sudah berdatangan kesana," lapor salah seorang di antara sosok berpakaian serba hijau singkat Suaranya bening, mirip suara seorang gadis remaja.

Merasa penasaran, Ayuning menjulurkan kepalanya, untuk memastikan kalau mereka itu terdiri dari para wanita. Baru saja gadis itu menjengukkan kepalanya sedikit, tiba-tiba dikejutkan oleh suara nenek berbaju hijau hingga terpaksa menarik kepalanya.

"Mari, kita pergi!" seru nenek yang juga berpakaian serba hijau. Hanya saja pakaiannya terbuat dari bahan yang bagus dan mahal. Setelah berkata demikian, nenek itu pun segera melesat. Nenek itu kemudian meneruskan perjalanan dikawal empat orang gadis manis berpakaian hijau. Perempuan tua ini ternyata guru mereka.

"Guru, mengapa Guru berkata terlalu keras? Bukankah pembicaraan kita bisa didengar saingan-saingan kita?" ujar salah seorang gadis berpakaian hijau mengingatkan gurunya agar tidak berbicara terlalu keras.

"Hm... dengar, Murid Bodoh! Kita memang telah menemukan gua itu. Tapi apakah kau tahu apa yang ada didalamnya?" sang Guru balas bertanya sambil menatap wajah muridnya tajam.

"Tidak, Guru. Kami belum memeriksa isi dalam gua," jawab gadis berpakaian hijau itu gugup.

"Bodoh! Tentu saja aku tidak segila itu menyuruh kalian masuk ke gua!" sahut gurunya ketus sambil terus berlari mendaki Lereng Gunung Kembaran. Meskipun Lereng Gunung Kembaran rata-rata curam dan licin, namun sepertinya semua itu bukan rintangan yang berarti bagi kelima wanita tadi. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa hebamya kepandaian wanita-wanita berpakaian hijau itu.

***
EMPAT
"Maaf Guru, kami masih belum paham maksud Guru?" tanya seorang murid lainnya karena memang belum mengerti maksud ucapan gurunya.

Meskipun kata-katanya terdengar ketus dan galak, namun sesungguhnya nenek itu sangat menyayangi keempat muridnya. Dan ketika mendengar pertanyaan muridnya, sang Guru menoleh sambil tersenyum memandang mereka bergantian. Wanita tua berpakaian serba hijau segera berhenti beriari. Keempat muridnya pun melakukan hal yang sama sambil memandang wajah gurunya penuh tanda tanya.

"Dengarlah, Murid-Murid Bodoh!" ujar nenek itu dengan nada suara yang lebih lunak. "Kalau aku menyuruh kalian memasuki gua itu, sama artinya aku membunuh kalian. Kalian tahu, di dalam gua itu banyak binatang-binatang berbisa."

Setelah berkata demikian, sang Guru pun kembali meneruskan larinya, mendengar penjelasan sang Guru wajah keempat wanita itu berubah pucat. Untunglah tempo hari mereka hanya menyelidiki di luar gua. Kalau saja waktu itu mereka nekat masuk, pastilah mereka tidak akan kembali. Setelah saling pandang sejenak, keempat wanita berpakaian serba hijau menyusul guru mereka yang sudah melesat beberapa tombak di depan.

"Sekarang aku baru tahu alasan guru berseru keras tadi," ujar seorang wanita yang usianya paling tua di antara mereka berempat

"Mengapa?" tanya salah seorang temannya masih belum mengerti.

"Ah, bodoh kau!" sahut yang lainnya menimpali. "Guru ingin memancing orang yang mendengar pembicaraan kita. Kalau guru tidak salah perhitungan, orang yang mendengar pembicaraan kita pasti akan mengikuti kita."

"Lalu guru akan membiarkan orang lain lebih dahulu masuk ke gua. Nah, kalau cerita tentang binatang binatang berbisa itu benar, kita tahu binatang macam apa yang ada di dalam itu dan sampai di mana kekuatan bisanya," ujar yang seorang lagi ikut menerangkan.

"Ahhh, benar-benar cerdik sekali guru kita," sahut wanita yang bertanya tadi tersenyum malu. Kini dia baru mengerti maksud guru mereka sebenarnya.

"Ayo, cepat kita susul guru! Kalau sampai terlambat bisa-bisa kita kena damprat!" ucap wanita yang paling tua mengajak teman-temannya segera pergi.

"Hm... di sanakah tempatnya?" tanya sang Guru sambil menunjuk tempat yang dimaksud begitu keempat muridnya berhasil menyusul.

"Benar, Guru!" jawab murid tertua.

"Ayo, kita cari tempat berlindung, biar kita intai dari jauh," ujar sang Guru sambil mengedarkan pandangan mencari tempat berlindung.

Setelah beberapa saat mengintai ditempat persembunyian. Akhirnya muncul tiga sosok manusia mendekati lubang gua. Dari gerakan ketiga pendatang itu, bisa ditebak kalau mereka bukan tokoh sembarangan. Gerakan mereka rata-rata begitu lincah dan ringan.

"Hm... tampaknya sudah ada yang kemari," kata nenek berpakaian hijau kepada keempat muridnya.

"Siapakah ketiga orang itu, Guru?" tanya murid termuda sekaligus paling cantik diantara saudara-saudara seperguruannya.

"Entahlah! Tapi yang jelas kepandaian mereka tidak dibawah kepandaian kalian. Bahkan mungkin orang yang paling depan itu jauh lebih lihai," jawab sang Guru menerangkan.

Setibanya di depan gua, ketiga laki-laki itu menghentikan langkahnya sejenak. Ketiganya memandang sekeliling seolah ingin memastikan kalau di sekitar gua hanya ada mereka bertiga.

"Kakang, rasanya suasana di sini mencurigakan?" ujar orang termuda dari ketiga laki-laki itu. Sorot matanya yang tajam berkeliling waspada. Nalurinya yang tajam membaui sesuatu yang mencurigakan.

"Hm... apa alasanmu berpikiran demikian, Adi Tantra?" tanya salah seorang berwajah bulat dan cacat mata kirinya.

"Sekarang coba kau pikir, Kakang! Masakan kita yang belum lama mendengar selentingan tentang Bunga Abadi dapat menemukan tempat ini. Kemana tokoh-tokoh yang memang sudah mengincar sejak dulu?" ucap orang termuda mengemukakan alasan kecurigaannya.

"Alasanmu cukup masuk akal, Adi Tantra. Tapi bukankah tumbuhan ajaib itu baru akan berbunga dua hari lagi? Bukan tidak mungkin orang-orang itu baru datang pada hari yang tepat." Kali ini orang tertua yang angkat bicara. Wajahnya yang penuh otot-otot, mengejang ketika mengutarakan pendapatnya. Ditangan kanannya yang buntung terpasang kaitan dari baja putih yang ujungnya runcing. Selain berfungsi sebagai pengganti tangan kanan, kaitan baja itu sekaligus menjadi senjata andalannya.

"Nah! Rasanya aku lebih setuju dengan alasan, Kakang!" sahut orang kedua sambil mengacungkan jempolnya dengan senyum terkembang.

"Ya! Tapi itu bukan berarti kita bisa berbuat seenaknya," ujar laki-laki termuda yang rupanya masih tetap mempertahankan kecurigaannya.

“Tentu saja! Aku sendiri berharap kita bertiga tetap waspada. Kurasa alasan Kakang Banjaran tepat" tukas orang yang kedua tetap tak mau kalah.

"Sudahlah! Tidak usah ribut-ribut!" sergah orang tertua yang bemama Banjaran sambil mengibaskan tangan. Rupanya
laki-laki itu agak kesal melihat kedua temannya bertengkar. "Yang penting kita harus masuk ke gua ini sebelum orang lain melihat kita!"

Setelah berkata demikian, Banjaran menggerakkan tangannya agar kedua kawannya mengikuti langkahnya. Namun baru beberapa tombak mereka melangkah, tiba-tiba melesat beberapa sosok bayangan yang langsung menghadang di mulut gua. Banjaran memandang dengan mata melotot kepada lima laki-laki yang menghadang di mulut gua. Gigi-giginya bergemeletuk menahan kegeraman yang sudah naik ke ubun-ubun.

"Hmh! Lima Siluman Bukit Setan! Apa maksud kalian menghadang kami? Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Banjaran dengan wajah merah padam menahan amarah. Banjaran memang pemberang. Laki-laki berlengan buntung itu mudah menurunkan tangan kejam meskipun hanya karena soal sepele.

"He he he.... Tiga Bajak Sungai Gandir! Apakah kalian pikir Bunga Abadi itu milik nenek moyang kalian?" bentak orang tertua dari Lima Siluman Bukit Setan tak kalah gertak. Rata-rata mereka bertopeng buruk. Sehingga suaranya terdengar agak bergema. Tak seorang pun tokoh-tokoh persilatan yang pernah melihat wajah asli Penguasa Bukit Setan itu.

"Hm... kalau begitu, tahanlah senjataku ini! Hiaaah!" Banjaran yang sudah meledak-ledak kemarahannya segera membentak sambil menyabetkan kait bajanya.

"Nah! Ini baru namanya laki-laki! Jangan hanya pintar mengumbar bacot saja!" sahut orang tertua dari Siluman Bukit Setan seraya meloloskan cambuk yang melilit pinggangnya.

Ctarrr! Ctarrr!

Ujung cambuk di tangan salah satu kawanan tokoh sesat itu meledak-ledak di angkasa hingga menimbulkan suara memekakkan telinga.

Wuttt!

Kaitan baja Banjaran nyaris menyambar leher. Tentu saja lawannya pun tidak tinggal diam. Lecutan ujung cambuknya mematuk-matuk dahsyat keberbagai titik kematian laki-laki berlengan buntung itu. Banjaran yang semula maju menyerang, terpaksa menghindar ke samping. Sambaran ujung cambuk yang disertai kepulan asap hanya mengenai tempat kosong!

Banjaran temyata cukup cerdik! Laki-laki berlengan buntung itu segera memutar badannya disertai sambaran kaitan baja yang mengancam lambung lawan. Suara kaitan itu berdesing tajam menandakan kuatnya tenaga dalam yang mendorong serangan.

Wuttt!

"Hai, luput!" ejek Siluman Bukit Setan yang segera melompat mundur begitu sambaran kait baja Banjaran hampir menyerempet perutnya. Hati Banjaran makin panas, sambaran-sambaran kait bajanya makin diperhebat. Perang tanding kedua tokoh itu berlangsung sengit! Keduanya saling serang menggunakan jurus-jurus maut untuk saling menjatuhkan secepat mungkin. Namun, sampai dua puluh tujuh jurus pertarungan masih berlangsung imbang!

Sementara itu, empat kawanan Siluman Bukit Setan lain sudah mengeroyok dua adik seperguruan Banjaran. Tentu saja pertempuran menjadi berat sebelah. Pertarungan dua lawan empat itu segera dikuasai empat kawanan Siluman Bukit Setan!

Di tengah ramainya pertarungan itu, mendadak muncul seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun yang dikawal dua orang pengikutnya.

"He he he... lihatlah, Guru! Delapan anjing buduk sedang bertempur memperebutkan sepotong tulang!" ujar pengiring si laki-laki tua mengejek.

Orang itu adalah laki-laki si bermuka hitam yang pernah berniat mengganggu Ayuning. Mendengar ejekan yang menyakitkan itu, orang-orang yang tengah bertempur segera menghentikan serangan. Kedelapan orang itu serentak menoleh ke arah orang yang melontarkan hinaan tadi.

Kakek itu tersentak kaget! Sungguh tak disangka kalau muridnya lancang menghina orang yang sedang bertarung. Sayang, semuanya sudah telanjur. Kini mau tak mau dia harus ikutmempertanggungjawabkan kata-kata muridnya.

"Ah, kau keterlaluan, Adi. Nah, sekarang kau lihat akibat kecerobohanmu. Mereka mengecam kita!" bentak kawannya yang merasa kesal dengan kecerobohan si muka hitam.

"Ah, mengapa kita harus takut? Habisi saja tikus-tikus itu!" sahut orang si bermuka hitam seenaknya. Kawannya hanya dapat mengurut dada dan tak mau melayani lagi.

"Kukira orang yang berani menghinaku itu raja iblis yang memiliki dua belas tangan! Tak tahunya hanya kutu busuk yang berteriak-teriak karena mukanya terbakar!" geram Banjaran sambil menatap si muka hitam dengan sikap menghina.

"He he he... kau benar, Kisanak! Rasanya kakiku sudah gatal ingin meremukkan kepala kutu busuk kurang ajar itu!" ancam orang tertua dari Lima Siluman Bukit Setan tak kalah geram. Dan begitu ucapannya selesai, siluman bertopeng itu pun segera menerjang sambil mengirimkan dua tendangan ke arah kepala si muka hitam. Tampaknya Siluman Bukit Setan ingin membuktikan ancamannya.

Namun sebelum tendangan siluman bertopeng mengenai sasaran, mendadak berkelebat sesosok bayangan memapak sambaran kaki itu dengan kekuatan tenaga dalam dahsyat! Tahan...!"

Plakkk! Plakkk!

"Heiit..!" Disertai teriakan keras kedua telapak tangan bayangan itu dua kali berturut-turut menepis tangan orang bertopeng buruk Siluman Bukit Setan memekik tertahan.

Penguasa Bukit Setan ini sama sekali tidak menduga kalau serangan balik lawan demikian cepat. Tubuh bayangan itu tergetar mundur akibat berbenturan dengan tendangan orang bertopeng ini. Sejenak dia terdiam untuk mengatur napasnya yang agak memburu. Kedua lengannya terasa kesemutan sehabis menangkis tendangan yang hampir saja merenggut nyawa si muka hitam. Sedangkan orang pertama dari Lima Siluman Bukit Setan juga tersentak ke belakang akibat tangkisan bayangan itu, namun dengan sekali berkelebat, orang bertopeng buruk ini sudah mendarat empuk di dekat keempat kawannya.

"Hm... rupanya kau, Setan Jari Seribu. Kau mau membela kutu busuk itu?" tegur orang tertua dari Lima Siluman
Bukit Setan.

"He he he... Siluman Bukit Setan! Bagaimana aku bisa berpangku tangan melihat muridku dalam bahaya?" jawab
sosok yang temyata berjuluk Setan Jari Seribu tetap tenang meskipun tahu kalau lawan yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Tokoh sakti ini sengaja memamerkan kehebatannya agar tidak dipandang rendah Lima Siluman Bukit Setan.

"Ha ha ha... pantas saja si muka pantat kuali berani kurang ajar! Tak tahunya si muka gosong murid maling tua hina dina ini!" ujar Banjaran tertawa terbahak-bahak.

Mendengar perkataan Banjaran, yang lainnya pun ikut tertawa bergelak sambil memegang perut saking mulesnya.

"Diam!" bentak Setan Jari Seribu menggelegar. Wajahnya berubah semerah udang rebus karena darahnya benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun.

"Hei! Kau menghinaku maling hina dina, tapi kau tak sadar siapa kau sebenarnya? Kau tak lebih dari buaya buruk pemakan bangkai!" teriak Setan Jari Seribu membalas hinaan Banjaran yang juga menjadi Kepala Bajak Sungai Gandir.

"Hm... lalu apa maumu, Maling Tua?" tantang Tantra orang termuda dari tiga Bajak Sungai Gandir sambil melangkah maju.

"He he he... kau tanya aku mau apa? Dengariah! Aku ingin menggaruk mukamu yang seperti serabi sampai rata! Ha ha ha..." balas Setan Jari Seribu. Selesai berkata demikian kakek itu dan dua orang muridnya tertawa terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk memegang perutnya.

"Bangsat! Kau makanlah golokku ini! Hiaaat...!" Tantra yang sudah terbakar amarahnya segera melompat maju sambil mengayunkan golok ke arah lambung Setan Jari Seribu yang masih terpingkal-pingkal.

Wuttt!

"Eit! Luput, Muka Serabi. Ha ha ha...!" sambil terus tertawa, Setan Jari Seribu berkelit menghindari bacokan golok Tantra hingga mengenai tempat kosong!

Tentu saja Tantra yang terus diejek semakin mendidih darahnya. Dengan kalap orang termuda dari Penguasa Sungai Gandir memperhebat sambaran-sambaran goloknya. Setan Jari Seribu yang sudah mendengar kelihaian Bajak Sungai Gandir tidak berani gegabah. Tubuhnya bergerak lincah menghindari sambaran mata golok sambil sesekali tangannya berkelebat bergantian melakukan serangan balasan.

Bettt! Bettt!

"Uhhh...!" Terdengar keluh tertahan ketika tubuh Tantra nyaris tersambar dua pukulan Setan Jari Seribu. Cepat-cepat pemuda itu melompat mundur sambil melintangkan goloknya dengan sikap waspada menjaga serangan susulan lawan. Tapi orang termuda dari Tiga Bajak Sungai Gandir ini kecele. Ternyata Setan Jari Seribu hanya berdiri memandangnya penuh ejekan.

"Guru...!" Setan Jari Seribu tersentak kaget mendengar teriakan muridnya. Laki-laki tua itu bertambah kaget lagi melihat dua muridnya tengah berusaha mati-matian meloloskan diri dari keroyokan Empat Siluman Bukit Setan.

Brettt!

Crakkk!

"Aaakh...!"

Terlambat! Saat itu juga dua golok pengeroyok menembus perut kedua murid Setan Jari Seribu yang bernasib sial. Keduanya langsung roboh bermandi darah! Sesaat keduanya masih sempat mengerang sambil berkelojotan menahan rasa sakit Namun akhirnya terkapar di tanah. Tewas!

"Biadab kau Lima Siluman Bukit Setan! Kalian harus menebus nyawa kedua muridku! Aku belum puas kalau tidak menghirup darah kalian!" Setan Jari Seribu berteriak-teriak penuh kemarahan. Sesekali dia mendengus dan menggeram. Rupanya orang tua itu benar-benar terpukul atas kematian dua murid kesayangannya.

"Heaaa...!"

Wuttt! Wukkk!

Entah dari mana asalnya tahu-tahu dua bilah belati sudah tergenggam di tangan kanan dan kiri Setan Jari Seribu. Senjata tajam itu berkilat-kilat menyambar kerongkongan dua tokoh sesat yang tadi telah membunuh kedua muridnya, menyadari kedahsyatan sambaran kakek yang sudah kalap itu, keduanya segera bergulingan menjauh sambil melemparkan beberapa buah jarum beracun. Dan....

Trang! Trang!

Jarum-jarum beracun rontok tersampok sepasang belati Setan Jari Seribu. Sesaat kemudian kakek yang sudah kalap itu kembali mengejar dua Siluman Bukit Setan yang sudah kembali berdiri tegak Dan, secara tiba-tiba, orang tua itu merendahkan kuda kudanya sambil menggerakkan sepasang senjatanya secara bersilangan.

Brettt! Brettt!

"Aaah...!"

Luar biasa kecepatan serangan Setan Jari Seribu Dua buah serangan yang sudah diperhitungkan masak itu tidak sia-sia. Mata belatinya berlumuran cairan darah milik korbannya. Dua orang Siluman Bukit Setan terperangah kaget Celana mereka robek di bagian bawah hingga menggores kulit. Meskipun tidak terlalu dalam, namun goresan luka terasa sangat perih.

"Ha ha ha... sebentar lagi kalian akan menggelepar seperti ayam disembelih, kalian telah terkena racun ganas dari mata belatiku! Tertawalah sepuas kalian sebelum ajal datang menjemput! Ha ha ha!" Setan Jari Seribu tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya karena telah berhasil menebus kematian muridnya yang terbunuh oleh kedua orang itu.

"Bangsat kau, Maling Tua! Cepat serahkan obat penawarnya! Kalau tidak, tubuhmu akan kucincang dan kujadikan santapan anjing hutan!" bentak orang tertua dari Lima Siluman Bukit Setan yang mengkhawatirkan keselamatan kawannya.

"He he he... kalian jangan bermimpi untuk mendapatkan obat penawar! Aku akan menghancurkan obat penawar ini!" sahut Setan Jari Seribu sambil menunjukkan botol sebesar ibu jari kaki orang dewasa yang digenggam tangan kanannya. Tiba-tiba Setan Jari Seribu membanting botol itu ke tanah dan menginjaknya kuat-kuat.

Krakkk!

Seketika botol sebesar ibu jari itu hancur berantakan tak berbentuk lagi. Tiga Siluman Bukit Setan yang masih segar bugar menjadi kalap. Dengan penuh kemarahan meluap, serentak tiga laki-laki bertopeng itu melompat sambil mengayunkan senjata.

Ctarrr! Ctarrr!

Cambuk kulit binatang milik orang pertama Penguasa Bukit Setan dilecutkan ke udara. Suaranya meledak-ledak memekakkan telinga disertai asap tipis yang mengepul setiap kali terdengar lecutan keras! Dua orang kawannya tidak mau ketinggalan. Pedang yang sejak tadi sudah diloloskan dari sarungnya berkelebat mancecar titik kelemahan lawan. Rupa-rupanya Tiga Siluman Bukit Setan ini benar-benar ingin membuktikan ucapannya untuk mencincang Setan Jari Seribu yang telah melukai dua orang saudara mereka dengan senjata beracun. Sehingga kedua orang saudaranya tewas dengan tubuh menghitam. Mengerikan!

Tentu saja Setan Jari Seribu maklum kalau ancaman itu bukanlah sekadar gertak kosong belaka. Kakek sakti ini memang sudah sering mendengar kekejaman Kelima Siluman Bukit Setan yang tak pernah berkedip jika membunuh musuh-musuhnya. Di tengah sibuknya Setan Jari Seribu menghindarkan senjata ketiga lawan, tiba-tiba terdengar jerit kematian merobek udara.

"Aaa...!" Berbarengan dengan teriakan itu, sesosok tubuh muncul dari mulut gua dengan berlumur darah! Berpuluh-puluh lubang besar kecil menghiasi sekujur tubuhnya.

"Hah...! Ke... kenapa kau?" seru keempat orang yang melihat tubuh orang tertua dari Tiga Bajak Sungai Gandir berkelojotan dari mulut gua, serentak orang yang tengah bertarung menghentikan gerakan mereka masing-masing. Wajah keempat orang tokoh itu berubah pucat ketika akhirnya Banjaran terbunuh oleh binatang beracun penghuni gua. Rupanya tiga Bajak Sungai Gandir yang sudah tidak sabar, mencuri kesempatan masuk ke dalam gua ketika ketiga Siluman Bukit Setan bentrok dengan Setan Jari Seribu. Dan inilah akibatnya!

“Gila!" teriak orang tertua dari ketiga Lima Siluman Bukit Setan sambil melompat mundur dengan wajah pucat Jauhi tubuh mayat itu! Bau tubuhnya bisa membuat kalian keracunan!" teriaknya memberi peringatan kepada kedua saudaranya.

Terlambat! Ketiga orang lainnya terhuyung mundur dengan kedua kaki goyah! Wajah-wajah mereka teriihat pucat
bagai tak dialiri darah!

"Huaaak...!"

Keempat tokoh persilatan golongan hitam itu memuntahkan isi perutnya yang terasa diaduk-aduk oleh bau busuk luar biasa. Napas mereka pun mulai memburu.

"Celaka! Kita keracunan!" teriak Setan Jari Seribu dengan wajah pucat ketika menyadari kalau dirinya telah
menghirup racun maut itu. Wajahnya yang pucat mulai berubah kehijauan seperti halnya kulit mayat Banjaran. Beberapa saat kemudian, tubuh Setan Jari Seribu pun tewas. Seluruh kulit tubuhnya berubah kehijauan.

"Aaah...!" Tiga orang Siluman Bukit Setan sangat terkejut melihat perubahan kulit tubuh Setan Jari Seribu. Mereka dicekam ketakutan. Tapi mereka agak keheranan ketika dirasakan dirinya ternyata tidak mengalami apa-apa.

"Hm... aku tahu sekarang. Kita tidak separah Setan Jari Seribu karena kita memakai topeng karet. Racun yang kita hirup lebih sedikit, jika dibandingkan dengan racun yang tersedot oleh Setan Jari Seribu!" ujar orang tertua di antara mereka dengan perasaan lega.

"Hiiih... ayo kita tinggalkan tempat celaka ini! Bisa bisa kita jadi bangkai di sini!" ujar orang tertua dari Siluman Bukit Setan lagi sambil berjalan.

“Tapi bagaimana dengan mayat dua teman kita?" tanya satunya sambil memandang mayat dua orang saudara mereka yang telah keracunan.

“Tinggalkan! Tubuh merekapun telah keracunan.” Jawab orang tertua sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu.

***
LIMA
Angin pegunungan bersilir lembut menyejukkan tubuh. Pagi itu, seorang pemuda berjubah putih berdiri tegak menatap Puncak Gunung Kembaran yang menjulang dihadapannya. Pemuda tampan itu adalah Panji alias Pendekar Naga Putih yang baru saja tiba di Kaki Gunung Kembaran. Tanpa mempedulikan keadaan disekeliling, Panji terus menatap puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal. Pemuda berjubah putih ini berdiri tegak di atas batu besar di tepi sungai yang memisahkan gunung itu dengan dunia luar.

"Hm... inilah Gunung Kembaran yang dimaksud Raja Obat Menurut beliau, Bunga Abadi ada di gua sebelah Selatan lereng gunung. Mudah-mudahan kedatanganku belum terlambat! Karena menurut Raja Obat, sebentar lagi pasti banyak sekali tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul ditempat ini," gumam Panji sambil terus mengamati puncak gunung berkabut tebal di kejauhan.

Setelah agak lama memperhatikan, pemuda tampan itu pun segera melintasi sungai di depannya. Tubuhnya bergerak lincah di antara tonjolan batu-batu yang banyak tersebar di permukaan sungai. Tak lama kemudian, Panji sudah berada diseberang sungai di Kaki Gunung Kembaran. Panji mengedarkan pandangannya berkeliling kererimbunan hutan dihadapannya. Pemuda itu menarik napas lega melihat keadaan sekitar hutan itu tampak sunyi. Hanya desir angin dan gemercik air sungai yang terdengar bagaikan nyanyian alam yang menemani Panji. Sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih sudah melesat mendaki lereng gunung yang licin dan berbatu-batu. Tanpa kesulitan sedikit pun pemuda berjubah putih itu berkelebat melintasi lereng gunung.

"Ah, ternyata tak begitu sulit untuk menemukan gua yang dimaksud Raja Obat!" gumam Panji ketika dari kejauhan sudah melihat mulut gua yang dicarinya. Pemuda itu berdiri di tanah datar yang agak tinggi, sehingga dengan mudah dapat mengawasi sekitar daerah itu. Dahi Panji berkerut dalam ketika melihat puluhan orang berkerumun di mulut gua.

"Hm... sudah banyak juga tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di sini," desah Panji menghela napas berat Panji pun bergegas melesat ke tempat dimana para tokoh itu berkumpul, karena tidak ingin kedahuluan.

"Pendekar Naga Putih...!" beberapa orang tokoh yang berada di sekitar mulut gua berseru serentak ketika melihat kehadiran seorang pemuda berjubah putih.

"Wah, rupanya pendekar muda yang tersohor itu pun menghendaki Bunga Abadi itu!" gumam seorang laki-laki berkumis tebal menghela napas kecewa. Laki-laki itu agak putus asa karena dengan kehadiran Pendekar Naga Putih, akan memperkecil peluangnya untuk merebut Bunga Abadi itu.

"He he he... bakal ramai nih!" ujar laki-laki gemuk pendek sambil mengelus-elus dagu dengan mata berbinar-binar. Menurut perhitungannya sebentar lagi di sekitar gua akan ramai dikunjungi orang.

Tanpa mempedulikan sorot mata tokoh-tokoh persilatan yang mengarah kepadanya, Panji terus melangkah lesu kearah pohon besar yang tidak terlalu jauh dari mulut gua. Dengan tenang pemuda itu menyandarkan badannya di bawah pohon.

"Kakang Panji..!"

Tiba-tiba terdengar dua orang gadis cantik yang serempak memanggil pemuda itu. Setelah saling tatap, keduanya sama-sama tersentak kaget karena tidak saling kenal. Kedua gadis cantik itu saling tatap penuh selidik untuk beberapa saat lamanya. Siapa lagi kedua orang gadis itu kalau bukan Ayuning dan Sundari atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewi Tangan Merah. Rupa-rupanya mereka pun sudah berada di tempat itu. Ayuning memasang muka cemberut setelah tahu ada gadis lain yang juga mengenai pemuda itu. Sesaat kemudian, gadis berpakaian biru itu pun bergegas mendekati Panji yang tengah mengawasi dirinya.

Sejenak Pendekar Naga Putih mengemtkan kening ketika mengenali gadis yang memanggilnya. "Ayuning...!" desah Panji menyebut nama gadis cantik murid Dewa Tanpa Bayangan itu lirih. Sesaat setelah menatap Ayuning, Sundari pun melangkah ke arah Panji.

Wajah gadis cantik berpakaian serba merah itu tampak berseri gembira karena memang sudah lama tidak berjumpa dengan Pendekar Naga Putih.

"Ayuning, apakah gurumu menugaskan kau untuk mendapatkan Bunga Abadi? Atau kau datang dengan keinginanmu sendiri?" tanya Panji begitu Ayuning telah berdiri di depannya.

Gadis cantik yang galak itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan Panji. Ayuning hanya berdiri memandang wajah Panji sambil memperiihatkan senyum manisnya.

"Ah, kasihan. Rupanya gadis cantik ini sudah tuli hingga sama sekali tidak mendengar pertanyaanku!" goda Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kurang ajar kau, Kakang! Kau bilang aku sudah tuli!" bentak gadis itu sambil mencibir. Tangan kanannya bergerak menampar bahu pemuda itu pelan.

"Habis aku sebal dengan sikapmu. Ditanya malah melotot seperti orang hilang akal!" ujar Panji membiarkan bahunya ditampar Ayuning. Pemuda ini tahu, kalau pukulan itu hanyalah tingkah manja gadis yang telah merasa akrab dengan dirinya. Panji yang tengah asyik berbicara dengan Ayuning, tidak memperhatikan lagi ketika seorang gadis cantik berpakaian serba merah datang menghampirinya. Serta merta gadis itu menegur dengan suaranya yang bening dan merdu.

"Apa kabar, Kakang Panji?"

"Adik Sundari...!" seru Panji ketika mengenali gadis berpakaian merah yang menegumya. "Kau... kau juga kemari? Apakah kau bersama gurumu?" Pendekar Naga Putih berseru gembira begitu melihat Sundari yang telah berdiri sambil tersenyum di sebelah Ayuning.

"Aku datang bersama guruku!" Kau sendiri dengan siapa?" Sundari balas bertanya sambil melirik ke arah Ayuning.

"Aku datang sendiri. Oh, ya, perkenalkan, ini Ayuning Temanku ini juga seperti aku, datang sendiri ke sini!" sahut Panji seraya menoleh ke arah Ayuning.

Kedua gadis itu sama-sama tersenyum begitu tahu kalau mereka orang segolongan. Kedua pendekar wanita itu cepat sekali akrab. Sepertinya mereka memang cocok satu sama lain.

"Waaa...!" Panji, Sundari dan Ayuning sama-sama menoleh ke arah mulut gua. Dari situlah teriakan ngeri tadi berasal. Dan tak lama kemudian tampak dua sosok tubuh yang berlumuran darah melangkah keluar dengan gerakan limbung. Mereka adatah adik seperguruan Banjaran yang bernasib sama dengan kakaknya.

"Hm... siapa mereka? Apakah mereka tidak tahu kalau gua itu penuh binatang berbisa?" gumam Panji ketika melihat kejadian yang mengerikan itu.

"Entahlah! Tapi yang jelas keduanya pasti dari golongan hitam. Mereka nekat masuk gua karena takut keduluan orang lain," jawab Sundari sambil menatap orang yang tengah berkelojotan meregang nyawa itu. Gadis berpakaian serba merah bergidik menyaksikan kedua orang itu keluar dari mulut gua dalam keadaan mengerikan.

"Mari kita lihat lebih dekat!" ajak Ayuning kepada Panji dan Sundari. Setelah berkata demikian, gadis berpakaian biru muda itu sudah melangkahkan kaki mendekati mulut gua.

"Ayuning! Jangan!" seru Sundari sambil melompat dan langsung menangkap pergelangan tangan gadis itu. "Mayat itu beracun. Kita tidak boleh mendekat kalau tidak ingin menghirup racun yang menyebar melalui uap mereka. Bisa-bisa kau akan mengalami nasib yang sama seperti mereka kalau kau menghirup racun itu!"

"Aaah...!" Ayuning terkejut mendengar keterangan Sundari. Wajahnya berubah pucat seketika. “Terima kasih Sundari. Untunglah kau ingatkan aku. Kalau tidak, mungkin aku bisa seperti mereka."

"Hm... lalu mengapa para tokoh lainnya belum juga bergerak? Apakah mereka juga khawatir dengan binatang-binatang berbisa itu?" tanya Panji kepada Sundari. Pendekar Naga Putih berharap kalau gadis berpakaian serba merah yang telah banyak makan asam garam dunia persilatan itu dapat menjelaskannya.

"Entahlah! Sepertinya mereka saling menunggu!" jawab Sundari.

"Hm... kalau begitu biarlah aku coba masuk!" ucap Panji yang kontan membuat kedua gadis itu serentak memandangnya pucat!

"Kakang, begitu pentingkah Bunga Abadi untukmu?" desak Sundari yang tidak tahu persoalan yang dihadapi pemuda itu. Sedangkan Ayuning yang lebih tahu daripada Sundari, hanya memandang pemuda itu penuh kecemasan. (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Mencari Jejak Pembunuh)

"Sangat penting sekali, Adik Sundari! Nantilah kau akan kuceritakan karena terlalu panjang kalau kuceritakan sekarang. Yang jelas saat ini aku sedang mengidap penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan Bunga Abadi," jawab Panji singkat tapi jelas.

"Ahhh... kalau begitu kau harus hati-hati, Kakang! Di dalam gua itu banyak binatang berbisa!" ucap Sundari mengingatkan.

“Terima kasih, Adik Sundari. Aku sudah dibekali sebutir obat yang dapat membuat semua jenis binatang berbisa tak akan berani menggangguku. Tapi sayang, obat ini hanya sebutir. Jadi aku tidak bisa mengajak kalian berdua," ucap Panji agak menyesal.

“Tidak apa, Kakang! Asal kau kembali dengan selamat, itu sudah lebih dari cukup bagi kami! Bukankah begitu Sundari?" kata Ayuning sambil memalingkan wajahnya ke arah Dewi Tangan Merah yang mengangguk sambil tersenyum getir.

“Tentu, Ayuning'" sahut Sundari sambil menyentuh bahu gadis berbaju biru muda yang juga tersenyum. Meskipun tersenyum, namun hati kedua gadis itu sebenarnya cemas luar biasa.

"Nah, aku pergi dulu, jagalah diri kalian baik-baik!" ujar Panji seraya melangkahkan kakinya kearah mulut gua.

"Hati-hati Kakang!" seru keduanya serempak.

***

Panji melangkah perlahan mendekati mulut gua. Obat penangkal racun pemberian Raja Obat ditelannya ketika ia mendekati mulut gua. Tokoh-tokoh persilatan yang berkerumun di mulut gua segera memberi Jalan kepada Pendekar Naga Putih. Tokoh-tokoh itu kagum pada keberanian Panji.

"Hm... Pendekar Naga Putih. Rupanya pendekar tersohor ini pun sudah tak sabar mendapatkan Bunga Abadi itu! Mungkinkah pemuda lihai ini berhasil?" ujar seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun dan berambut putih riap-riapan. Orang itu tidak lain adalah Tongkat Pencabut Nyawa yang rupanya juga telah berada di tempat itu.

"Sulit untuk memastikannya! Biarpun pendekar muda itu memiliki kepandaian setinggi langit belum tentu dia dapat lolos dari ancaman binatang-binatang berbisa yang sangat ganas itu," laki-laki di sebelahnya menyahuti. Dia tidak lain adalah Ki Bagasti, ikut mengawasi Pendekar Naga Putih yang sedang mendekati mulut gua.

Kira-kira dua tombak dari mulut gua, Panji menarik napasnya dalam-dalam. Sesaat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.

"Ck ck ck... hebat! Itu pasti ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang terkenal!" seru nenek berpakaian serba hijau yang dikawal empat wanita cantik yang sama-sama berpakaian serba hijau.

Kaki Panji mulai melangkahkan memasuki mulut gua yang sempit dan gelap. Untunglah seluruh tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan sehingga walaupun remang-remang cahaya itu cukup menerangi jalannya. Baru saja lima tombak pemuda itu melangkah, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh di sekeliling gua. Sambil terus melangkah, Pendekar Naga Putih menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Panji berjaga-jaga atas segala kemungkinan. Namun sampai sejauh ini pemuda itu masih belum menemukan sesuatu yang membahayakan jiwanya. Panji pun terus menelusuri lorong gua dengan hati-hati dan waspada.

Cittt! Cittt!

Seluruh otot di tubuh Panji menegang ketika mendengar suara mencicit yang bergemuruh disertai suara kepakan sayap ratusan kelelawar beracun. Sesaat tubuhnya gemetar dan berkeringat ketika tenaga saktinya bergolak dari pusarnya.

"Ingat, Cucuku! Jangan sekali-kali kau lepaskan pukulan selagi berada didalam gua! Yakinkan dirimu. Bila kau sudah menelan obatku niscaya tak seekor pun binatang beracun yang akan mengganggumu!" kata-kata Raja Obat ketika melepas kepergiannya kembali terngiang-ngiang di telinga Pendekar Naga Putih.

Panji berusaha menekan tenaga saktinya agar tidak bergolak. Ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Dan perlahan-lahan tenaga liar itu pun mereda dengan sendirinya. Sambil terus berusaha untuk meyakini kalau kelelawar-kelelawar beracun itu tak akan menyerangnya, Pendekar Naga Putih terus menelusuri lorong gua. Dan apa yang dikatakan Raja Obat memang menjadi kenyataan. Tak seekor pun dari ratusan kelelawar beracun yang menyerang Panji. Malah sebaliknya, binatang-binatang malam yang berbisa itu berusaha menghindarinya. Seobh-olah ada sesuatu yang ditakuti penghuni gua itu dari dalam diri Panji.

Setelah menyaksikan sendiri keampuhan obat pemberian Raja Obat, barulah Panji dapat sedikit menarik napas lega. Kini kakinya dilangkahkan dengan mantap. Semakin jauh Pendekar Naga Putih melangkah, gua itu pun tampak semakin lebar dan bertambah terang. Setelah beberapa saat, akhirnya Pendekar Naga Putih tiba di sebuah ruang lebar bercabang tujuh.

"Hm... menurut Raja Obat aku harus memilih lorong ketiga dari sebelah kiri," gumam Panji teringat pada ucapan kakek penolongnya.

Baru saja Panji hendak mengangkat kakinya, tiba-tiba terdengar desisan nyaring yang disertai munculnya raturan ular dari berbagai jenis. Ular-ular beracun itu merayap mendekatinya. Mata binatang-binatang melata itu mengeluarkan cahaya kekuningan, sehingga suasana gua menjadi terang benderang.

Ssszzz! Ssszzz!

Raturan ular itu mendesis seraya menjulur-julurkan lidahnya yang merah ke arah pemuda itu. Namun beberapa tombak sebelum menyentuh tubuh Panji, mendadak ular-ular itu berbalik dan langsung menghilang di lubang-lubang kecil yang banyak terdapat di dalam gua itu. Seketika suasana gua pun menjadi remang-remang kembali.

Panji menarik napas lega ketika melihat ular-ular beracun telah merayap pergi. Untunglah Panji bersikap tenang. Kalau tidak, tentu tenaga liarnya akan kembali bergolak. Begitu ular-ular itu pergi, Panji pun bergegas memasuki lorong ketiga dari sebelah kirinya. Tapi hampir saja isi perut pemuda itu tumpah keluar ketika mencium bau amis luar biasa yang keluar dari tubuh-tubuh ular itu. Dan ketika melongok ke dalam, tampaklah seberkas sinar warna-warni.

"Ah, itulah pancaran Bunga Abadi seperti yang dikatakan Raja Obat!" gumam Panji dengan wajah berseri-seri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu pun bergegas melesat ke dalam.

Grrraurh!

Baru saja Panji menjejakkan kakinya memasuki lorong, terdengar raungan yang menggetarkan langit-langit gua. Pemuda itu terbelalak ketika tiba-tiba dihadapannya terhampar lembah yang sangat indah.

"Hahhh!" Panji berseru tertahan dengan wajah pucat ketika melihat apa yang disaksikan dihadapannya. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di tengah-tengah lembah itu terdapat tumbuhan yang sedang berbunga. Dari setiap kelopak bunga berjumlah delapan helai itu memancarkan cahaya wama-warni. Bukan bunga itu saja yang membuat wajah Panji terpana! Ada sesuatu yang lain membuat Pendekar Naga Putih membelalak dengan mulut ternganga!

"Benarkah... itu... seekor naga...!?" desis pemuda itu dengan suara gemetar karena terkejut dan tegang.

Sesungguhnya apa yang disaksikan Panji saat ini memang benar-benar sebuah kenyataan. Naga raksasa yang berwara putih keperakan tampak tengah melingkari Bunga Abadi yang dicarinya. Naga itu sepertinya adalah penjaga Bunga Abadi itu. Dan raungan naga itulah yang tadi didengar Panji.

"Ah, bagaimana mungkin!? Mengapa Raja Obat tidak menceritakan kalau Bunga Abadi dijaga naga raksasa? Apakah beliau lupa?" pemuda itu tak habis mengerti. Pendekar Naga Putih yang sudah berada di dalam gua itu kembali melangkah mundur. Rupanya pemuda itu masih berpikir dua kali untuk mengambil bunga yang dijaga naga raksasa yang mengerikan itu. Baru suaranya saja sudah demikian menggetarkan apalagi tenaganya, pikir
Panji ragu.

"Hm... kalau aku tidak mendapat Bunga Abadi berarti aku harus menunggu kematian. Tapi kalau nekat mengambil bunga itu pun sama saja. Kedua-duanya sama menantang maut!" Berpikir demikian, Panji segera mencabut Pedang Sinar Rembulan yang selalu terselip dipinggangnya. Rupa-rupanya pemuda itu memilih kematian yang lebih terhormat! Kini perlahan-lahan dihampirinya naga raksasa yang tampaknya tengah tertidur nyenyak.

Graaaurh!

"Aaah...!" Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat ketika naga raksasa penjaga Bunga Abadi kembali meraung dahsyat. Namun alangkah terkejutnya hati pemuda itu ketika tiba-tiba saja tenaga liarnya bergolak semakin kuat hingga raungan ular naga raksasa tak lagi mengganggunya. Diam-diam Panji merasa bersyukur memiliki tenaga liar yang mengeram di dalam tubuhnya.

"Hm... apakah tenaga liarku sanggup menghadapi naga raksasa itu?" pikir Panji masih meragukan kekuatan yang tersembunyi dalam tubuhnya.

Tiba-tiba sang Naga terjaga dari tidurnya. Sepasang bola matanya yang berwarna merah menyala menatap Panji marah. Rupanya kedatangan Pendekar Naga Putih telah tercium olehnya. Disertai raungan hebat, ular naga raksasa mengibaskan ekomya ke arah Panji.

Wukkk! Blarrr!

"Aihhh...!" Panji berseru tertahan sambil melompat mundur menghindari sabetan ekor makhluk raksasa itu. Terdengar suara benturan kerasa ketika ekor naga menghantam mulut gua hingga batu-batu berguguran menutupinya. Dinding dan atap gua pun berguguran akibat getaran suara itu.

Tenaga 'Inti Gerhana Bulan' yang mengeram dalam tubuh Panji bergolak semakin kuat Seolah-olah tenaga liar itu tahu kalau kali ini ditantang menghadapi kekuatan raksasa yang sukar diukur. Tentu saja akibatnya pun mulai terasa oleh pemuda itu. Tangan dan kakinya mulai bergerak-gerak tak terkendali.

"Kreeeaaa...!" Mulut Panji mengeluarkan raungan hebat Pedangnya bergulung-gulung melindungi tubuhnya hingga menimbulkan deruan angin dingin. Sesaat kemudian, pemuda itu meluncur ke arah naga raksasa sambil mengayunkan Pedang Sinar Rembulannya.

***
ENAM
Wukkk!

Ayunan pedang Panji menimbulkan suara mengaung seraya menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Pedang Sinar Rembulan cepat menghantam tubuh naga raksasa.

Trakkk! Kraghhh!

"Aaah...!" Mata pedang Panji telak menghantam tubuh naga raksasa. Tapi kulitnya yang kenyal dan alot tidak tergores sedikit pun. Bahkan sebaliknya, tubuh Panji terpelanting beberapa tombak kebelakang! Setelah bersalto beberapa kali di udara, Panji mendaratkan kakinya sepuluh tombak dari makhluk raksasa itu. Naga raksasa meraung pendek Rupanya hantaman mata pedang Panji cukup menyakitkan dirinya. Saat itu juga, ekornya dikibaskan kembali ke arah Pendekar Naga Putih.

Wuttt!

Sambaran angin berbau amis yang memuakkan menyertai tibanya kibasan ekor naga.

"Hmh!" Kali ini Panji tidak berusaha mengelak. Sambaran ekor naga raksasa disambutnya dengan dorongan sepasang telapak tangan yang sudah dialiri seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

Wusss!

Angin dingin menderu-deru menyertai dorongan sepasang telapak tangan pemuda itu. Dan....

Bresss!

"Aaakh...!"

Hebat sekali akibat pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Bumi disekitar lembah bagai digoyang gempa hebat Dinding-dinding batu di sekeliling lembah berguguran akibat getaran pertemuan dua tenaga raksasa itu. Ekor makhluk raksasa membalik ketika bertemu dengan serangkum angin kuat yang meluncur dari telapak tangan Panji. Sang Naga meraungraung karena rasa nyeri yang mendera ekornya. Sepasang matanya semakin merah menyala menyiratkan kegusaran. Tubuh Panji sendiri terpental lima tombak ke belakang. Dan belum lagi pemuda itu memperbaiki posisi kuda-kudanya, tiba-tiba sabetan ekor penunggu Bunga Abadi sudah meluncur tiba. Dan....

Wuuut! Derrr!

"Hukh!" Sabetan ekor naga menyebabkan tubuh Panji meluncur cepat Daya luncur itu baru berhenti ketika membentur dinding batu cadas.

"Gila! Tenaga naga raksasa itu benar-benar luar biasa!" gumam Panji sambil menyeka darah yang mengalir disela-sela bibir dengan ujung bajunya.

"Aku harus mencari titik kelemahannya." Kini Panji tidak berani lagi menyerang membabi buta. Pemuda sakti itu hanya berani menunggu serang an binatang raksasa sambil mengamati titik kelemahannya. Sang Naga kembali meraung-raung keras. Suaranya terpantul ke seluruh dinding gua. Sesaat kemudian, kepala naga raksasa pun melesat dengan kecepatan tinggi.

Derrr!

Bumi bergoyang ketika moncong binatang itu menghantam tanah tempat Pendekar Naga Putih berpijak. Untunglah saat itu Panji sempat melenting kesamping. Kalau tidak, tubuhnya pasti sudah lumat tertimpa kepala naga yang sebesar gajah itu. Pendekar Naga Putih berdiri tegak sambil melintangkan Pedang Sinar Rembulan di depan dada. Sorot matanya menatap tajam, mengamati sekujur kepak naga raksasa. Tiba-tiba pemuda itu menyipitkan kedua matanya melihat seberkas sinar keemasan yang memancar diantara kedua bola mata binatang itu.

"Hm.... Aku harus mencecar matanya! Siapa tahu sinar itu adalah titik kelemahannya," gumam Panj sambil memusatkan perhatiannya ke arah sinar keemasan yang terpancar di antar kedua mata penuh Bunga Abadi.

"Heaaa...!" Panji berteriak seraya melambung keudara dan langsung meluncur dengan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.

Wungngng! Wungngng!

Tubuh Panji meluncur sambil memutar-mutar Pedang Sinar Rembulan melindungi tubuhnya. Sang Naga meraung gusar sambil memukulkan ekornya memapak luncuran tubuh pemuda itu.

Bukkk!

"Aaaurgh!" Kibasan ekor naga tepat menghantam tubuh Panji. Namun tenaga bar yang selama ini mengeram dalam tubuh Pendekar Naga Putih kembali menunjukkan kedahsyatannya. Ekor sang Naga terpental balik disertai dengan raungan kesakitan yang menggelegar. Tenaga alam yang berasal dari Inti Tenaga Gerhana Bulan ternyata mampu membendung tenaga pukulan ekor makhluk raksasa itu. Meskipun tubuh Panji teriempar cukup jauh, namun hantaman ekor ular raksasa sama sekali tidak membuatnya terluka. Setelah bersalto beberapa kali, tubuh pemuda itu kembali meluncur ke arah kepala sang Naga.

Wingngng!

Pedang Sinar Rembulan kembali membentuk lingkaran hingga menimbulkan suara mengaung bagaikan ratusan ekor lebah yang marah. Ujung pedangnya meluncur menuju bulatan yang memancarkan sinar keemasan tepat di tengah kedua bola mata penunggu Bunga Abadi.

Grottt!

"Graurrri" Ujung pedang Panji menancap telak pada sasaran. Dan seketika darah menyembur deras dari luka di tempat yang ternyata merupakan titik kelemahan ular raksasa. Rasa sakit yang luar biasa menyebabkan sang Naga mengamuk dahsyat! Debu dan batu-batu kerilkil beterbangan hingga membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi gelap!

Panji bergegas menyingkir dan bersandar pada dinding gua. Beberapa saat kemudian di tengah-tengah kepulan debu yang semakin menebal terdengar ledakan dahsyat yang mengguncangkan bumi! Ledakan yang disertai dengan pancaran sinar yang menyilaukan! Beberapa saat setelah ledakan, kepulan debu yang membumbung pun mulai menipis. Bergegas Panji menurunkan tangan yang semula digunakan untuk melindungi matanya dari sorotan sinar yang menyilaukan itu.

"Eh, ke mana perginya naga raksasa itu?" desah Panji sambil merayapi seluruh pelosok gua. Ketika kepulan debu pun sudah menipis, pemuda itu menjadi keheranan ketika tidak menemukan naga raksasa. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh pelosok gua, perlahan-lahan dihampirinya pohon Bunga Abadi. Panji terpaksa menyipitkan matanya ketika semakin dekat dengan Bunga Abadi yang memancarkan sinar warna-warni.

"Eh!?" Pendekar Naga Putih menahan langkahnya ketika disamping pohon Bunga Abadi tergeletak sebatang pedang. Pemuda itu menutupi sorot matanya dengan punggung tangan karena silau oleh sinar keemasan yang berpendar dari pedang itu. Untuk beberapa saat lamanya Panji hanya berdiri terpaku memandang pedang yang satu setengah kali lebih besar dari Pedang Sinar Rembulannya.

Perlahan-lahan tangannya diulurkan meraih pedang itu. Keheranan di wajah Pendekar Naga Putih semakin jelas ketika sinar keemasan mendadak lenyap saat pedang telah digenggamnya. Panji meneliti pedang yang berukuran lebih besar dan lebih berat dari pedang biasa dan mempunyai sarung ajaib yang mirip sisik ular naga tadi. Namun sampai sedemikian jauh memperhatikan, Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berniat untuk mengeluarkan pedang itu dari sarungnya.

"Hm... biarlah pedang ini kuserahkan pada Raja Obat, mudah-mudahan dia tahu riwayat pedang ini," Berpikir demikian, pemuda itu bergegas menyampirkan pedang itu di punggungnya. Pada saat tangannya terjulur hendak
memetik Bunga Abadi, Panji teringat kembali nasihat Raja Obat

"Ingat, Cucuku! Kau harus memetik Bunga Abadi tanpa merusak kelopak ataupun daun-daun pohonnya. Kalau kau sampai merusaknya, kau pasti akan celaka! Ketahuilah, sesungguhnya pohon maupun Bunga Abadi adalah racun yang tidak ada obatnya. Apabila kau telah menemukan Bunga Abadi, kau harus memetiknya tanpa perlu menyentuhnya. Pergunakanlah pedang dan seluruh tenaga dalammu untuk menebas tangkainya. Dan kau pun harus membungkus bunga itu sebelum menyentuh permukaan tanah! Ingat itu, Cucuku!" demikian pesan Raja Obat sebelum Panji meninggalkan Bukit Gua Harimau mencari Bunga Abadi.

Teringat pesan Raja Obat, Panji tidak jadi memetik dengan tangan. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya ketika teringat kehebatan racun yang terkandung dalam Bunga Abadi itu. Perlahan-lahan pemuda itu mundur beberapa langkah. Dengan memusatkan seluruh pikirannya, Panji segera mencabut Pedang Sinar Rembulan dari sarungnya. Sesaat kemudian....

"Haittt..!"

Wuttt! Tasss!

Bunga Abadi melambung beberapa tombak di atas permukaan tanah. Pada saat bersamaan, tubuh Panji pun melompat sambil membuka kain pengikat kepalanya. Dengan gerakan yang indah, kedua tangan pemuda itu melayang cepat, menangkap Bunga Abadi dengan kain pengikat kepalanya.

Tappp!

Sepasang kaki Pendekar Naga Putih mendarat ringan di atas permukaan tanah.

"Fuhhh...!" Sambil menghela napas lega, Pendekar Naga Putih mengusap keringat yang membasahi keningnya. "Sungguh berbahaya...!" gumamnya sambil menggantungkan bunga yang telah terbungkus rapi di pinggangnya. Setelah itu, dia pun bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Puluhan pasang mata membelalak takjub melihat Pendekar Naga Putih yang masih segar bugar melangkah keluar dari mulut gua.

"Apakah pemuda itu berhasil mendapatkan Bunga Abadi?" gumam laki-laki gendut berkepala botak Sepasang matanya liar menatap sekujur tubuh Panji.

"Hebat! Sepertinya anak muda itu memang telah mendapatkan Bunga Abadi itu, Adi Jiwana. Kau lihat buntalan yang tergantung di pinggang kirinya?" ujar Ki Bagasti menahan air liur yang hampir menitik. Diam-diam dia pun menginginkan Bunga Abadi yang tergantung di pinggang Pendekar Naga Putih.

Panji berdiri tegak dengan wajah tegang ketika puluhan tokoh persilatan bergerak mengepungnya. "Hm... mau apa kalian?" geram Panji melihat ketamakan tokoh-tokoh persilatan yang mengepungnya.

"He he he... tentu saja aku menginginkan Bunga Abadi yang tergantung di pinggangmu, Pendekar Naga Putih!" sahut seorang nenek tua berpakaian serba hijau yang diapit empat muridnya.

"Betul! Serahkan Bunga Abadi kepada kami! Dan kami berjanji tidak akan mengganggumu asal kau serahkan Bunga Abadi itu!" ancam laki-laki gendut berkepala botak menyeringai lebar.

Para pengepung Pendekar Naga Putih semakin merapat Dari mulut mereka terdengar tuntutan-tuntutan yang sama. Bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah bersiap-siap bertempur. Sepasang mata pendekar muda itu berkilat menyiratkan kegusaran hatinya. Panji benar-benar muak dengan sikap tokoh-tokoh persilatan itu.

"Hm... baiklah! Kalau kalian menginginkan Bunga Abadi ini, ayo, rebutlah dari tanganku!" ujar Panji sambil menghunus Pedang Sinar Rembulan.

Sringngng!

Seberkas sinar putih keperakan berkilatan dari mata pedang yang tergenggam di tangan pemuda perkasa itu. Beberapa orang yang berdekatan dengan Panji terpaksa mundur. Mata mereka tidak tahan melihat sinar menyilaukan yang dipancarkan Pedang Sinar Rembulan.

"Kakang, kami datang membantumu...!" seru suara merdu yang dibarengi berkelebatnya sesosok tubuh ramping berpakaian biru muda. Sosok ramping itu bersalto melewati kepala pengepung Panji, lalu mendarat dua tombak di sebelahnya.

“Terima kasih, Ayuning. Tapi, biar kuhadapi mereka sendiri. Aku tidak ingin kau terseret dalam masalah ini!" sahut Panji khawatir. Pemuda itu merasa lega karena Ayuning benar-benar tidak menginginkan Bunga Abadi. Namun tetap saja merasa khawatir akan keselamatan sahabatnya. Lawan-lawan yang bakal mereka hadapi kali ini adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang mempunyai ilmu-ilmu aneh yang sukar dicari tandingannya.

"Tidak, Kakang! Biarpun kau melarang, aku tetap membantumu. Aku sebal melihat tingkah mereka yang tamak!" sahut Ayuning seraya menghunus pedangnya.

Sementara kedua muda-mudi berdebat, sesosok bayangan merah melayang dan mendaratkan kakinya di antara Panji dan Ayuning.

"Aku pun akan membantumu, Kakang!" ujar bayangan merah yang tidak lain adalah Sundari atau lebih dikenal sebagai Dewi Tangan Merah.

Belum lagi Panji sempat menyahuti ucapan Dewi Tangan Merah, sesosok bayangan hitam berkelebat kearah mereka. "Sundari! Apa kau ingin melawan gurumu?" bentak seorang nenek berpakaian serba hitam marah. Sambil berkata demikian, nenek itu menarik tangan gadis itu.

"Tidak, Guru! Bukankah Guru selalu berkata kalau kita harus membela kebenaran dan keadilan. Dan bukankah tindakan orang-orang tamak ini telah menyimpang dari kebenaran dan keadilan? Jawablah Guru?" sahut Sundari membantah perintah gurunya.

“Tapi kali ini lain, Sundari! Orang-orang ini sangat mendambakan Bunga Abadi itu. Mereka rela mempertaruhkan nyawa asal dapat memiliki Bunga Abadi!" sahut gurunya berang.

"Jadi Guru pun menginginkan Bunga Abadi juga?" tanya Sundari mendesak gurunya.

"Ya! Dan itu kewajibanmu untuk membela kepentinganku!" bentak nenek berpakaian serba hitam semakin berang melihat kebandelan muridnya.

Sundari memandang wajah gurunya dengan muka pucat. Sungguh tak disangka kalau gurunya setamak tokoh-tokoh persilatan yang mengepung Panji. Seketika pikiran gadis itu terpecah antara membela kepentingan gurunya dan membela keadilan. Beberapa saat lamanya dia mengeluh dan terisak, lalu berlari meninggalkan tempat itu. Alangkah terpukulnya hati gadis itu melihat sikap gurunya.

"Sundari, tunggu...!" teriak nenek berpakaian serba hitam seraya menyusul muridnya.

Sepeninggal Sundari dan gurunya, Panji kembali mengalihkan pandangan kearah puluhan tokoh persilatan yang masih mengepungnya.

"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau lebih sayang Bunga Abadi itu ketimbang nyawamu!" bentak laki-laki
gemuk berkepala botak sambil melangkah maju. Tampaknya laki-laki ini sudah tidak sabar ingin merebut Bunga Abadi. Tangan kanannya bergerak mencabut senjata andalannya yang berbentuk tongkat berantai kembar tiga.

Wungngng! Wungngng!

Terdengar suara berdengung terasa ketika tongkat kembar tiga diputar-putar diatas kepala laki-laki gendut berkepala botak.

“Tunggu, Datuk Timur! Bukan kau saja yang berkepentingan dengan Bunga Abadi itu?" bentak nenek berpakaian serba hijau sambil melangkah maju. Sehelai selendang hijau di tangannya meliuk-liuk ditiup angin.

"Hm..., Nyi Ayu Kedasih pun rupanya tergiur dengan Bunga Abadi? Kalau begitu, mari kita berlomba mendapatkannya!" sahut laki-laki gendut berkepala botak yang ternyata seorang datuk sesat dari wilayah Timur.

"Serahkan Bunga Abadi itu!" bentak si berkepala botak seraya menerjang Panji sambil memutar-mutar senjatanya. Suara tongkat berantai kembar tiga mendengung memekakkan telinga.

Trangngng!

"Uhhh...! Bunga api berpijar ketika Pedang Sinar Rembulan beradu dengan senjata laki-laki gendut berkepala botak. Tubuh Datuk Timur terjajar mundur beberapa langkah kebelakang sambil mengeluarkan suara memekik tertahan.

"Bangsat! Pantas kau sombong, Pendekar Naga Putih! Rupanya kau memiliki kepandaian tinggi! Tapi jangan kira aku gentar menghadapimu. Nah, sambutlah seranganku yang kedua ini!" ucap Datuk Timur. Tubuh gendut itu kembali meturuk dengan disertai sambaran tiga tongkat berantai yang selalu mencecar ke manapun dia bergerak Panji tidak takabur. Lawan tandingnya tidak dapat dipandang remeh. Sesaat kemudian, kedua tokoh persilatan itu kembali bertarung dengan sengitnya! Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga.

Ctarrr! Ctarrr!

Sehelai selendang berwama hijau menyambar-nyambar di tengah pertarungan. Suaranya meledak-ledak dan mematuk-matuk, mengancam tubuh Panji sehingga pemuda itu terpaksa melesat kebelakang. Selendang maut itu temyata milik Nyi Ayu Kedasih, yang juga berjuluk Dewi Selendang Maut.

Prattt!

Pendekar Naga Putih kewalahan menghadapi setiap serangan tokoh sakti itu. Walau kedua orang itu tak ada ikatan perguruan, tapi mereka menyerang Panji didorong oleh kepentingan mereka masing-masing. Nyi Ayu Kedasih terdesak mundur akibat tangkisan tangan pemuda itu terlalu kuat untuk selendang andalannya. Nenek itu sendiri keteteran melindungi tubuhnya dengan selendang.

"Huh ternyata nama besar Pendekar Naga Putih ini betul betul bukan omong kosong belaka saja!" maki Dewi Selendang Maut gusar ketika merasakan tangannya kesemutan akibat tangkisan tangan pemuda itu. Panji yang sadar lawannya bukanlah orang-orang sembarangan, bersiap-siap mengeluarkan tenaga dalamnya, lalu menghirup napas dalam-dalam. Sesaat kemudian, sinar putih keperakan pun mulai menyelimuti dirinya.

***
TUJUH
“Tenaga Sakti Gerhana Bulan...!" seru Datuk Timur dan Nyi Ayu Kedasih berbarengan. Kedua tokoh sesat yang sudah pernah mendengar kedahsyatan tenaga sakti itu melangkah mundur sambil mempersiapkan jurus-jurus andalannya.

Tongkat Pencabut Nyawa, Ki Bagasti dan tokoh-tokoh lainnya tak mau ketinggalan. Mereka semakin merapatkan kepungan seraya mencabut senjata masing-masing. Meskipun di antara pengepung Panji terdapat beberapa tokoh golongan putih, namun Bunga Abadi yang tiada duanya itu membuat mereka lupa pada kebenaran yang selama ini mereka junjung tinggi.

"Heaaat...!"

Datuk Timur yang berkepala botak dan bertubuh gendut berteriak lantang. Tokoh sesat itu melompat sambil mengayunkan senjatanya ke leher Panji. Menghadapi puluhan tokoh sakti yang tidak mungkin dihadapinya sekaligus, Panji berusaha mencari jalan keluar untuk meloloskan diri dari kepungan mereka. Pedang Sinar Rembulan diputamya cepat hingga menciptakan seguhingan sinar yang melindungi tubuh Pendekar Naga Putih. Begitu sambaran tongkat berujung kembar tiga tiba mendekat. Maka....

"Yeaaat..!" Sambil berteriak nyaring, Panji menyambut serangan Datuk Timur yang juga dijuluki Tongkat Berantai.

Wukkk!

Sebelum dua tenaga raksasa itu bertemu, tiba-tiba tongkat baja Jiwana sudah lebih dahulu meluncur cepatNke arah lambung Panji. Melihat kelicikan tokoh-tokoh ini. Pendekar Naga Putih yang semula bermaksud memapak serangan Tongkat Berantai terpaksa mengurungkan niatnya. Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, pemuda itu segera menggeser tubuhnya ke kiri disertai ayunan Pedang Sinar Rembulan.

Singngng!

"Aaah...!" Tongkat Pencabut Nyawa dan Tongkat Berantai yang tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang demikian tiba-tiba menjadi terkejut. Kedua tokoh sesat yang sudah mendengar kehebatan tenaga dalam Pendekar Naga Putih buru-buru menarik pulang senjatanya. Tapi terlambat...

Trangngng!

"Aihhh...!" Terdengar suara benturan keras memekakkan telinga ketika Pedang Sinar Rembulan berbenturan sekaligus dengan tongkat baja Jiwana dan Tongkat Berantai Datuk Timur. Seketika kedua tokoh sesat itu terpental bagai disentakkao oleh tenaga liar yang amat kuat. Keduanya menggigil, menahan hawa dingin yang merasuk sampai ke tulang.

"Hiahhh!" Tongkat Pencabut Nyawa yang sudah lebih dah dapat menguasai rasa terkejutnya berseru keras. Kedua tangannya dikibas-kibaskan untuk mengusir pengaruh hawa dingin yang membuat tubuhnya seperti orang terserang demam. Begitu pengaruh hawa dingin lenyap, Jiwana kembali memutar-mutar tongkat baja hingga menimbulkan suara berkesiutan.

Sementara itu Pendekar Naga Putih sudah bertarung sengit mengimbangi keroyokan tokoh-tokoh sakti yang sudah mulai tak sabar. Demikian pula Ayuning. Kini gadis berpakaian bim muda ini sudah terlihat bertarung melawan empat orang wanita berpakaian hijau. Tubuh gadis cantik itu berkelebat lincah disertai dengan ayunan pedang yang menyambar-nyambar ganas.

Wuttt! Wuttt!

Dua buah sambaran yang dilancarkan murid Dewa Tanpa Bayangan ini benar-benar hebat Kedua lawannya terpaksa harus melempar tubuhnya kebelakang. Namun kedua murid Dewi Selendang Maut mendadak pucat ketika baru saja menjejakkan tanah, ujung pedang Ayuning sudah mengancam tenggorokan. Posisi kuda-kuda kedua gadis berpakaian hijau itu sudah tidak mungkin lagi menghindar atau menangkis sambaran pedang Ayuning. Tiba-tiba....

Trangngng! Trangngng!

Untunglah pada saat yang gawat itu berkelebat dua batang pedang lain memotong arah luncuran pedang Ayuning. Seketika tubuh ketiga wanita itu tergetar mundur akibat benturan yang amat keras! Kini di hadapan Ayuning telah berdiri empat murid Nyi Ayu Kedasih dengan sikap waspada.

"Siapa kau, Setan Betina! Mengapa kau bela pemuda itu? Apakah kau kekasih gelapnya?" maki salah seorang wanita berpakaian hijau marah.

"Hei! Dengarlah Manusia-Manusia Rakus! Aku Ratu Iblis yang ditugaskan mencabut nyawa manusia-manusia tak tahu malu seperti kalian!" sahut Ayuning tak kalah gertak

"Bangsat! Jangan takabur, Setan Betina! Kau pikir mudah mencabut nyawa kami?" ujar wanita lainnya membelalak marah.

"Hi hi hi... apa susahnya mencabut nyawa wanita-wanita busuk seperti kalian? Bagiku hal itu semudah membalik telapak tangan!" ejek Ayuning sambil bertolak pinggang dan mencibirkan bibirnya.

Bukan main berang keempat murid Dewi Selendang Maut mendengar ejekan Ayuning. Serentak mereka melompat maju dan menerjang membabi buta.

Wuttt! Wuttt!

"Aihhh... tidak kena!" ejek Ayuning sambil melompat mundur menghindari dua tusukan pedang yang mengarah leher dan ulu hati. Kemudian dengan gerakan yang tidak kalah cepat, Ayuning melancarkan serangan balasan bertubi-tubi mengarah jalan darah mematikan. Pertempuran empat lawan satu itu beriangsung seru. Ayuning yang punya kelebihan dalam hal ilmu meringankan tubuh, tentu saja memanfaatkan kelebihannya. Tubuh gadis itu berkelebat kian kemari. Kadang-kadang menyelinap diantara hujan sabetan pedang, tapi di lain saat tahu-tahu sudah melambung di atas kepala lawannya.

"Adik Ayuning! Cepat tinggalkan tempat ini! Tak ada gunanya kau layani orang-orang culas ini!" teriak Panji yang masih sempat memikirkan keselamatan sahabatnya pada saat dirinya sendiri menghadapi bahaya! Setelah berteriak demikian, tubuh Panji kembali berkelebat di sela-sela sambaran senjata pengepungnya. Meskipun harus terpontang-panting menghindari hujan senjata pengepungnya, namun Pendekar Naga Putih terus memutar otaknya untuk mencari peluang meloloskan diri.

"Yeaaaat...!" Panji berseru keras sambil menyabetkan pedangnya secara mendatar dengan kecepatan yang menggetarkan! Suara angin pedang yang merobek udara mengaung tajam!

Wuttt! Trangngng! Trakkk! Tringngng!

Tiga pedang yang mencoba menangkis serangan Panji berpatahan seketika. Belum lagi ketiga pengepungnya itu sempat berbuat sesuatu, pedang Panji kembali berkelebat!

Brettt! Brettt!

"Aaakh...!" Dua orang pengeroyok yang tak sempat menghindar terguling roboh! Seketika darah segar bermuncratan dari luka sabetan pedang Pendekar Naga Putih yang merobek dada. Untunglah nyawa mereka masih diampuni Panji. Pedang pemuda itu hanya menggores kulit saja.

"Kejar...!" teriak laki-laki gendut berkepala botak yang tidak lain adalah si Tongkat Berantai. Walaupun tubuhnya gendut, tapi gerakannya gesit seperti kijang.

Beberapa tokoh sakti yang berada dibelakang segera mengejar Panji. Dalam beberapa kali lompatan, empat tokoh yang tadi mengeroyok telah menghadang di depan Pendekar Naga Putih.

"Minggir kalian! Jangan paksa aku berbuat kejam!" seru Panji yang sudah hampir hilang kesabarannya.

"Huh! Jangan coba menggertak kami Pendekar Naga Putih. Serahkan dulu Bunga Abadi, baru kami mau menyingkir!" desak salah seorang dari keempat tokoh itu. Terdengar suara gemeretak ketika orang itu mengepalkan tinjunya dengan geram. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, kepalan orang itu langsung menyambar dada Pendekar Naga Putih.

Wuttt!

Panji segera menggeser kakinya ke samping, sehingga pukulan lawan mengenai angin kosong. Secepat itu juga Panji memutar tubuhnya setengah lingkaran sambil melepaskan tendangan kilat. Namun lawan dapat menebak gerakan Pendekar Naga Putih. Bergegas orang itu menggeser kaki kiri kebelakang sambil menarik tubuhnya. Begitu tendangan pemuda itu lewat, orang itu langsung melepaskan pukulan susulan ke arah perut. Ternyata Panji bukanlah pendekar kemarin sore. Tahu kalau tendangannya luput pemuda itu pun segera merendahkan kuda-kudanya seraya mengirimkan tendangan menyamping.

Desss!

"Aaargh!" Lawannya yang sudah telanjur melangkah maju, tak sempat lagi menghindari serangan kilat Panji yang menghantam dagu hingga orang itu terbanting keras ke tanah. Dengan mata merah dia berusaha bangkit sambil memegang dagu disertai erangan kesakitan.

"Fuihhh...!" Orang itu meludahkan beberapa benda putih bercampur darah. Rupanya tendangan yang cukup keras itu telah merontokkan beberapa buah giginya. Sebelum Panji bertindak lebih jauh, tokoh-tokoh yang lainnya pun sudah pula berdatangan mengepung. Kini kesempatan untuk lolos kembali tertutup.

"Hi hi hi... mau lari ke mana kau Pendekar Naga Putih? Lebih baik kau serahkan bunga itu padaku. Dan kutanggung kau dapat pergi dengan selamat!" bujuk Nyi Ayu Kedasih tersenyum licik

"Jangan dengarkan ucapan nenek gila itu, Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau berikan padaku. Dan kau kulindungi pergi dari sini," ujar Tongkat Berantai tak mau kalah.

"Hm... dengarlah, Manusia-Manusia Tamak! Kudapatkan Bunga Abadi ini dengan taruhan nyawa! Kalian pikir aku bodoh bila kuserahkan Bunga Abadi ini begitu saja kepada orang-orang tamak seperti kalian!" ucap Panji dengan hati yang semakin gusar melihat tokoh-tokoh persilatan itu masih terus mendesaknya.

"Kalau begitu, bukan hanya bunga itu saja akan kuambil. Tapi, nyawamu juga harus kucabut" sahut Nyi Ayu Kedasih mengancam.

"Nah seranglah! Jangan hanya pandai mengumbar mulut saja!" tantang Panji.

"Keparat! Kau memang harus kuberi pelajaran agar kau tidak besar kepala!" bentak Nyi Ayu Kedasih yang darahnya mulai mendidih mendengar sindiran Panji.

Wuttt! Ctarrr! Ctarrr!

Ujung selendang sakti meliuk-liuk mematuk dan meledak-ledak disertai kepulan asap tipis. Kecepatannya tidak dapat dilihat mata biasa. Bila dilihat sepintas, memang senjata si nenek seperti selendang biasa. Tapi karena dimainkan oleh tokoh yang sudah memiliki tenaga dalam tinggi, selendang itu berusaha menjadi senjata maut!

Bahkan berkali-kali Panji hampir terpatuk sambaran selendang. Pada saat yang sama, tongkat berantai Datuk Timur sudah mengancam Pendekar Naga Putih. Senjata tokoh sesat itu memancarkan sinar putih keperakan yang menyilaukan mata. Demikian pula tokoh-tokoh lainnya. Mereka sudah bertekad merebut Bunga Abadi dengan taruhan nyawa. Pertumpahan darah di Lereng Gunung Kembaran nampaknya tidak dapat dihindari lagi.

Pendekar Naga Putih kini sibuk berusaha menyelamatkan selembar nyawanya dari keroyokan puluhan tokoh-tokoh sakti itu. Tubuhnya terus berkelebatan menghindari tanpa sempat membalas. Belum lagi menghindari serangan lawan yang satu, serangan yang lain sudah menyusul sehingga kesempatan untuk membalas makin tertutup.

Bukkk! Desss!

"Aaa...!" Dua buah pukulan mengenai tubuh Panji dengan telak! Dalam keadaan terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat lagi menghindari Tapi pukulan telak dari dua tokoh itu justru berbalik menjadi malapetaka bagi mereka sendiri!

Tongkat Pencabut Nyawa dan salah seorang tokoh sesat yang berhasil menyarangkan pukulan di punggung dan dada Pendekar Naga Putih langsung menjerit kesakitan. Tubuh kedua tokoh itu terpental bagai disentakkan tenaga liar yang tak tampak!

Keduanya terbanting keras di atas permukaan tanah. Bahkan tongkat baja di tangan Jiwana pun sampai terpental dari genggaman. Dua buah pukulan mengenai tubuh Panji dengan telak! Dalam keadaan terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat lagi menghindari. Tapi pukulan telak dari dua tokoh itu justru berbalik menjadi malapetaka bagi mereka sendiri!

Puluhan tokoh persilatan yang mengeroyok Panji kontan berlompatan mundur melihat kedua tokoh itu berlompatan dan langsung tewas seketika! Dari mulut, telinga, dan hidung mereka mengalir darah segar.

"Gila! Ilmu apa yang dimiliki pemuda itu...?" seru Ki Bagasti dengan wajah pucat. Sepasang matanya bagai hendak melompat keluar. Kalau saja tidak menyaksikan sendiri, tentu dia tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Dengan mata kepala sendiri dilihatnya kalau kedua tokoh itu berhasil menyarangkan pukulan telak ke tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi, justru dua tokoh itulah yang terpental dan tewas seketika.

"Ilmu setan...!" seru Tongkat Berantai bergetar ngeri.

"Tidak mungkin...!" Nyi Ayu Kedasih pun berteriak kaget melihat kejadian yang belum pernah disaksikan seumur hidupnya. Nenek sakti ini memang sudah lama mendengar cerita kesaktian pemuda yang dijulukii Pendekar Naga Putih. Namun sama sekali tidak menyangka kalau kesaktian pemuda itu sampai begini dahsyat! Bagaimana mungkin dua orang sakti itu tewas sekaligus hanya karena pukulannya berbalik menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pikir nenek sakti itu tak habis mengerti.

Bukan hanya para tokoh persilatan yang mengeroyok saja yang terkejut setengah mati, tapi Panji pun terheran-heran. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka kalau tenaga liar yang mengeram dalam tubuhnya sampai sedahsyat itu. Sekarang Panji baru tahu betapa besarnya tenaga liar dalam dirinya. Tenaga liar itu baru akan menunjukkan kedahsyatannya apa bila tubuhnya dipukul orang lain. Semakin tinggi tenaga dalam orang yang menghantamnya, maka semakin hebat pula daya tolak tenaga liar itu.

Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, maka tenaga liar yang mengeram dalam tubuh Panji mulai bergolak! Pukulan Tongkat Pencabut Nyawa dan Datuk Timur menyebabkan tenaga raksasa itu kembali meronta-ronta laksana seekor harimau dibangunkan dari tidurnya. Seiring dengan bangkitnya tenaga sakti itu, Panji pun kembali didera penderitaan luar biasa. Tubuh anak muda itu bergetaran bagaikan orang terserang demam. Wajahnya berkerut-kerut menahan rasa sakit yang menjalari seluruh urat-urat syarafnya. Tenaga liar mulai meronta-ronta mencari jalan keluar! Panji yang sudah tidak sanggup menahan gejolak tenaga sakti yang menyentak-nyentak tenggorokannya berteriak mengguntur.

"Krrreaaahhh...!"

"Aaah...!" Beberapa tokoh persilatan yang tidak kuat menahan getaran tenaga liar yang luar biasa, jatuh bergulingan! Dari mulut, hidung dan telinga mereka menyembur darah segar! Tokoh-tokoh persilatan berilmu pas-pasan itu tewas seketika! Teriakan menggelegar yang keluar dari mulut Panji telah memecahkan pembuluh-pembuluh darah mereka!

Tentu saja kejadian itu semakin membuat pengeroyok Panji lainnya terkejut setengah mati! Wajah mereka semakin pucat bagai tak dialiri darah. Bebera saat para tokoh persilatan itu hanya dapat berdiri mematung. Bahkan ada beberapa di antaranya langsung bersila untuk mengerahkan tenaga dalamnya. Tanpa sadar, Panji yang sudah tidak sanggup lagi menahan gejolak tenaga liar yang menyentak-nyentak, mendorongkan sepasang telapak tangannya disertai bentakan keras!

"Heaaat..!"

Wusss!

Serangkum angin dingin yang membekukan tubuh berhembus keras disertai suara bergemuruh. Dan....

Blarrr!

"Aaargh...!"

Bumi di sekitar Lembar Gunung Kembaran bergetar hebat bagaikan diguncang gempa. Debu dan batu kerikil beterbangan memenuhi angkasa hingga menghalangi pandangan. Keempat tokoh persilatan yang tak sempat menghindar berpentalan ke segala penjuru. Keempat orang malang itu tewas seketika dengan tubuh hampir tak berbentuk lagi!

Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti dan beberapa orang yang memang sudah waspada sebelumnya berhasil meloloskan diri. Mereka terhindar dari pukulan maut Panji karena berlindung di balik gulungan sinar senjatanya. Tokoh-tokoh persilatan yang kini berjumlah menjadi dua puluh lima orang menjadi gentar menghadapi Panji. Wajah mereka pucat dan bersimbah keringat dingin!

Pendekar Naga Putih terus mengamuk membabi buta. Dia seperti orang kerasukan setan. Ayuning yang sejak tadi berdiri terpaku terpaksa pula harus menyingkir. Merinding bulu tengkuk gadis ini melihat kehebatan tenaga liar yang terus diumbar Panji

Duarrr...!

Para tokoh persilatan meleletkan lidah dengan rasa ngeri melihat akibat yang ditimbulkan pukulan yang nyaris menyambar mereka. Di tanah tempat para tokoh persilatan berdiri, tercipta lubang sebesar kubangan kerbau. Tentu saja hal itu membuat pengeroyok Panji semakin ciut!

"Huh! Lebih baik aku pergi daripada mati di tangan pemuda gila itu!" kata salah seorang pengeroyok seraya melesat meninggalkan tempat itu.

"Ya! Lebih baik kita pergi! Rasanya mustahil kalau kita dapat merebut Bunga Abadi. Pendekar Naga Putih benar-benar sudah kemasukan setan!" kata pengeroyok lainnya.

Selesai berkata demikian, orang itu lari terbirit-birit hingga lupa memungut pedangnya yang tadi terlempar ketika menghindari sambaran Panji. Satu demi satu tokoh persilatan yang sudah merasa gentar mulai meninggalkan Lembah Gunung Kembaran. Niat mereka yang semula hendak memiliki Bunga Abadi, mendadak sirna begitu menyaksikan kesaktian pemilik Bunga Abadi itu.

Sedangkan sembilan tokoh lain, termasuk Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih, dan Ki Bagasti, masih tetap bertahan. Walau bagaimanapun mereka tetap bersikeras hendak merebut Bunga Abadi dari tangan Panji. Kesembilan tokoh sakti segera mengelilingi pemuda yang tengah mengamuk dengan sikap waspada.

"Jangan takut! Kita pancing Pendekar Naga Putih terus menghamburkan tenaganya! Lama-kelamaan pasti tenaganya habis terkuras! Nah saat itulah baru kita rebut Bunga Abadi dari tangannya!" seru Tongkat Berantai yang rupanya cepat membaca situasi.

"Hi hi hi.... Tak kusangka kalau otakmu encer juga, Datuk Timur!" sahut Dewi Selendang Maut terkekeh gembira menanggapi usul Tongkat Berantai. Sembilan tokoh lainnya mengangguk-angguk menyetujui usul yang sangat baik itu. Sesaat kemudian, mereka pun bergerak mengitari Pendekar Naga Putih.

Panji yang hampir lenyap kesadarannya tidak memperhatikan ucapan pengeroyoknya. Yang memenuhi pikirannya saat ini adalah bagaimana membuang kekuatan tenaga liar sebanyak-banyaknya agar kesadarannya pulih kembali.

"Yeaaat..!" Diiringi teriakan membahana, Panji kembali mendorong sepasang telapak tangan ke arah dua pengeroyok di sebelah kirinya. Pendekar Naga Putih sudah tidak mempedulikan lagi ke mana jatuhnya Pedang Pusaka Sinar Rembulan pemberian eyang gurunya.

Blarrr!

Krrraaakh!

Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa hancur beserpihan tersambar angin pukulan nyasar. Dua tokoh yang lolos dari pukulan maut itu sama sama meleletkan lidah melihat pohon dibelakang mereka hancur lebur diterpa pukulan nyasar Pendekar Naga Putih. Kini keduanya kembali bersiap-siap menghindari pukulan nyasar lain yang sewaktu-waktu bisa mencuri nyawa mereka.

"Hhh... entah apa jadinya kalau pukulan tadi mengenai tubuhku?" desah salah seorang di antaranya sambil menarik napas lega.

"Jangan kau pikirkan hal itu, Kisanak! Pokoknya sekarang kita tidak boleh lengah!" ujar yang seorang lagi mengingatkan bahaya maut bila pikiran mereka terpecah-pecah.

***
DELAPAN
Apa yang diperhitungkan tokoh sakti dari Timur itu memang mulai menjadi kenyataan. Setelah sekian lama mengumbar pukulan tanpa hasil, Pendekar Naga Putih pun tampak mulai melemah. Kini pukulan-pukulan berikutnya tidak sedahsyat tadi

"Ha ha ha... lihatlah, kawan-kawan! Pendekar Naga Putih sudah tidak seganas tadi lagi! Tenaga pukulannya sudah jauh berkurang!" seru Tongkat Berantai tertawa senang.

Panji yang kesadarannya mulai pulih, terkejut mendengar ucapan laki-laki gendut berkepala botak itu. Pemuda itu sadar kalau kini keadaannya kembali terancam! Seluruh urat-urat tubuhnya yang mulai melemah membuat Panji cemas.

"Heaaat!" Sambil memekik nyaring kesembilan tokoh persilatan segera menerjang saling mendahului. Senjata dari berbagai jenis segera menghujani tubuh Pendekar Naga Putih dari segala arah.

Wukkk!

Panji bergegas menundukkan kepalanya menghindari sambaran tiga tongkat berantai Datuk Timur yang tiba lebih dahulu. Begitu hantaman tongkat berantainya lolos, tangan kiri tokoh sesat itu menyambar Bunga Abadi yang tergantung di pinggang Panji. Pendekar Naga Putih yang dapat membaca gerakan Datuk Timur masih sempat menyelamatkan Bunga Abadi itu dengan melempar tubuhnya ke belakang.

Wuttt!

Sebuah terkaman lain sudah menyongsong begitu Panji menjejak tanah. Pemuda sakti itu tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Kedua belah tangannya diangkat menangkis tamparan dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.

Plakkk!

"Uhhh...!"

Keduanya terjajar mundur begitu dua pasang telapak tangan beradu di udara dengan memperdengarkan suara nyaring. Ternyata meskipun keadaannya sudah lemah, namun pemuda itu masih sanggup memapak serangan lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat. Selagi Panji berusaha memperbaiki kuda-kudanya, beberapa pengeroyok kembali menerjang. Sungguh pun begitu gerakan pemuda itu masih cukup gesit menghindari setiap serangan kesembilan pengeroyok yang berusaha keras merobohkannya.

Sementara di arena lain, Ayuning manjadi cemas melihat Panji terus didesak lawan-lawannya. Rasa cemas membuat murid Dewa Tanpa Bayangan ini semakin memperhebat gerakan pedangnya. Karuan saja keempat murid Nyi Ayu Kedasih yang berpakaian serba hijau menjadi gugup melihat kecepatan gerak lawannya. Memasuki jurus ketujuh puluh, pedang-pedang lawan susul-menyusul mengancam berbagai bagjan tubuh Ayuning. Cepat gadis itu menggerakkan pedangnya dua kali berturut-turut.

Trangngng! Tringngng!

"Ihhh...!" Dua wanita berpakaian serba hijau berseru tertahan. Tubuh mereka terjajar mundur akibat tenaga tangkisan yang amat kuat.

Ayuning yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu kembali mencecar disertai ayunan pedang secara mendatar.

Singngng!

Brettt! Brettt!

"Aaakh...!" Tebasan pedang Ayuning yang dialiri tenaga sakti dahsyat tepat merobek perut kedua lawannya. Darah bermuncratan kemana-mana dari luka memanjang akibat sabetan pedang gadis itu. Dua wanita berpakaian serba hijau langsung ambruk dan tewas seketika.

Melihat temannya tewas, dua gadis lainnya tersentak kaget. Keduanya menatap mayat kedua saudara seperguruannya dengan wajah berubah pucat!

"Bangsat! Kubunuh kau, Iblis Betina! Yeaaat..!"

Dua pengeroyok Ayuning mengayunkan pedangnya dengan kemarahan yang meluap-luap.

Wuttt! Wuttt!

"Hi hi hi... tidak kena...." ejek Ayuning sambil melompat sejauh dua tombak ke belakang.

"Setan! Kuntilanak! Kucincang tubuhmu nanti!" maki kedua wanita itu sejadi-jadinya.

Keduanya mencecar Ayuning secara membabi buta. Ayuning sengaja memancing kemarahan dua orang lawannya dengan ejekan-ejekan yang memanaskan perut. Karena dengan semakin kalapnya mereka menyerang, maka akan semakin mudahlah gadis itu merobohkan mereka. Karena terus-menerus diejek, kemarahan mereka meledak-ledak. Serangan pedang mereka yang tak lagi terarah, sangat menguntungkan Ayuning.

"Heaaat..!"

Pada suatu kesempatan Ayuning berseru lantang hingga mengejutkan dua orang lawannya. Saat itu juga tubuh Ayuning melesat disertai sabetan pedang yang menimbulkan suara berdesing tajam.

Singngng!

Trangngng! Trangngng!

"Uhhh...!" Dua serangan Ayuning berturut-turut berhasil dipatahkan oleh dua murid Dewi Selendang Maut. Meskipun demikian, karena tenaga dalam kedua orang lawannya itu masih dua tingkat berada di bawah murid Dewa Tanpa Bayangan, maka keduanya pun terdorong beberapa langkah ke belakang

Tentu saja Ayuning memperhitungkan hal itu secara cermat. Seketika saja melesat bagai sebuah bayangan hantu yang menerkam mangsanya.

Brettt! Brettt!

"Aaah...!" Darah segar bermuncratan begitu pedang Ayuning merobek lambung dan tenggorokan lawan. Kedua murid Nyi Ayu Kedasih itu pun langsung roboh ke tanah. Mereka menggelepar-gelepar sebentar kemudian tewas, menyusul dua orang saudaranya yang lebih dahulu sudah pergi ke akhirat.

Setelah berhasil merobohkan keempat lawannya, tubuh Ayuning melesat ke arah Pendekar Naga Putih yang tengah mati-matian menghindari serangan-serangan pengeroyoknya.

"Haiiit..!"

Trangngng!

Begitu tiba, pedang Ayuning langsung memotong pedang lawan yang saat itu meluncur deras ke leher Pendekar Naga Putih. Meskipun berhasil menyelamatkan Panji, tubuh Ayuning terpental beberapa langkah ke belakang akibat benturan yang sangat keras.

"Siapa kau, Nisanak?" tegur kakek yang tersentak kaget mendapat serangan tiba-tiba. Kakek yang usianya kurang
lebih sekitar tujuh puluh tahun melotot gusar karena gadis itu menggagalkan serangannya yang hampir berhasil tadi.

"Hmh! Tidak periu kau tahu siapa aku, Kakek Tua! Melihat sikap dan penampilanmu, rasanya kau bukan dari
golongan sesat. Siapa kau sebenarnya?" Ayuning balas bertanya sambil bertolak pinggang.

Tentu saja kakek yang bukan lain adalah Ki Bagasti tertegun mendengar jawaban Ayuning yang sama sekali di luar dugaan. Sepasang mata tuanya meneliti sekujur tubuh Ayuning, seolah dengan berbuat begitu dia dapat mengetahui dari golongan mana gadis itu berasal.

"Huh! Dasar kakek mata keranjang! Mengapa kau malah memandangku seperti itu? Oh, aku tahu sekarang!" ucap Ayuning sambil tersenyum pahit. "Rupanya kau kakek tua yang masih suka dengan daun muda ya? Huh! Dasar kakek tidak tahu diri! Sudah mau masuk lubang kubur masih juga matanya jelalatan! Menyebalkan!" lanjut Ayuning sambil membuang muka dengan perasaan jijik

Bukan main terkejutnya Ki Bagasti mendengar ucapan gadis galak dan pandai bicara itu. Seketika wajahnya merah padam menahan malu karena tahu kalau ucapan Ayuning pasti didengar tokoh-tokoh lain. 

"Kurang ajar kau, Gadis Gila!" teriak Ki Bagasti sambil membanting kaki penuh kegeraman. "Kau kira aku ini orang tua macam apa? Ketahuilah, orang yang berada di hadapanmu adalah Ki Bagasti yang terpaksa keluar dari pertapaan untuk mencari Bunga Abadi. Siapakah kau, Nisanak? Dan mengapa kau menuduhku sekeji itu?" lanjut Ki Bagasti terpaksa memperkenalkan namanya.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Kakek Tua! Kalau kuberi tahu nanti kau akan bertanya siapa ibuku, siapa ayahku dan di mana tempat tinggalku dan setelah mengetahuinya kau akan datang melamarku untuk kau jadikan istrimu yang kedua puluh! Bukankah begitu, Kakek Tua? Hi hi hi...!" tanpa mempedulikan kemarahan Ki Bagasti, Ayuning terus saja menyudutkan Ki Bagasti hingga wajahnya menjadi semakin merah karena menahan kegeraman bercampur rasa malu yang amat sangat

Ki Bagasti berdiri mematung. Sekujur tubuhnya gemetar! Dia benar-benar kehabisan akal menghadapi gadis cantik yang pandai berbicara ini dan terpaksa diam menahan amarah yang hampir membuat dadanya pecah.

"Mengapa diam saja, Bandot Tua? Apakah kau malu karena aku sudah tahu maksud bejatmu?" tanpa rasa takut sedikit pun Ayuning terus melontarkan ejekan-ejekan kepada Ki Bagasti.

"Kulumat mulutmu yang jahat itu, Gadis Gila!" bentak Ki Bagasti seraya melompat disertai ayunan pedang yang menimbulkan suara mengaung tajam.

"Eh... eh, mengapa marah-marah, Bandot Tua? Bukankah aku belum tentu menolak lamaranmu?" seru Ayuning sambil melompat kebelakang, menghindari serangan maut Ki Bagasti.

Sesaat kemudian, kedua orang itu kembali bertempur hebat! Ayuning yang menyadari kalau kepandaian Ki Bagasti masih setingkat di atasnya, terpaksa harus menggunakan ilmu meringankan tubuh, guna mengimbangi kehebatan orang tua itu. Serangan-serangan Ki Bagasti yang bagaikan air bah akhimya berhasil juga mendesak Ayuning. Memasuki jurus keempat puluh lima. Ayuning tak dapat lagi menghindari sebuah tamparan yang mengarah pelipis.

Plakkk!

"Uhhh...!" Untunglah pada saat yang gawat. Ayuning sempat memiringkan tubuhnya, sehingga tamparan Ki Bagasti hanya menyerempet bahu kanannya. Tubuh gadis cantik itu berputar beberapa tombak kebelakang. Dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah kental!

Pada saat yang bersamaan, tubuh Panji pun terjatuh akibat sambaran pedang salah seorang lawan, tepat di
dekat Ayuning. Pemuda itu menderita luka di dada tersabet pedang musuh. Sebenarnya tenaga liar yang
mengendap di dalam tubuh Panji masih tetap bekerja seperti biasa. Tapi karena kondisi Panji sudah sangat lemah, maka tenaga liar itu pun tidak mampu untuk menggerakkan otot-otot yang memang sudah sangat lemah.

"Kau... kau terluka, Kakang?" desah Ayuning lirih yang juga menyeringai menahan rasa nyeri di bahunya.

"Tidak apa-apa, Ayuning, hanya sedikit tergores," sahut Panji terengah-engah. Luka pemuda itu tidak sampai menggoyahkan dadanya. Rupanya Tenaga Liar Gerhana Bulan masih melindungi bagian dalam tubuh Panji.

"Kakang, mengapa tidak kau gunakan pedang yang di punggungmu?" ujar Ayuning menunjuk pedang yang tersampir di punggung sahabatnya.

Mendengar ucapan Ayuning, Panji baru teringat pada pedang yang baru ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi. Perlahan-lahan tangannya meraba pedang yang tersampir di punggungnya.

"Ah, mengapa aku sampai lupa? Untung kau mengingatkan! Ayo, Ayuning! kita coba bertahan dengan menggunakan pedang ini," kata Panji sambil meloloskan pedang yang melebihi ukuran pedang biasa.

"Pedang apa itu, Kang? Mengapa demikian besar? Dari mana kau mendapatkannya?" serentetan pertanyaan meluncur dari mulut gadis itu karena heran melihat pedang yang melebihi ukuran pedang biasa itu.

"Entahlah, Ayuning? Aku menemukannya di dalam gua," jawab Panji sambil berusaha bangkit. Perlahan-lahan pedang itu dicabut dari sarungnya.

Begitu tercabut, pedang itu di acungkan ke langit, mendadak langit yang semula terang menjadi gelap gulita! Bahkan bukan itu saja! Kegelapan alam yang secara tiba-tiba itu pun dibarengi dengan sambaran-sambaran petir yang memekakkan telinga! Dalam sekejap suasana di sekitar Lembah Gunung Kembaran berubah menjadi hiruk-pikuk

Glarrr!

Kegelapan alam dan sambaran petir yang bersahut-sahutan diiringi pula dengan hembusan angin ribut!

"Aaah...!" Panji yang menggenggam pedang bergetar hebat. Kilatan-kilatan petir menyambar dan merasuk ke ujung pedang yang diacungkan ke angkasa. Dan dari ujung pedang, sinar petir berpendar-pendar ke segala arah. Pembahan keadaan itu benar-benar membuat Pendekar Naga Putih menjadi ngeri!

"Aaakh...!" Pekikan kengerian kembali terlontar dari mulut Panji ketika merasakan tenaga liar yang mengeram dalam tubunya kembali bergolak hebat. Tenaga liar itu akhirnya bertemu dengan tenaga inti petir yang terus merasuk ke dalam tubuhnya. Panji memekik dan meraung hebat ketika kedua tenaga liar yang berlainan jenis itu bergolak semakin hebat!

Beberapa saat kemudian tubuh Pendekar Naga Putih memancarkan cahaya putih keperakan yang bercampur dengan cahaya keemasan. Aneh! Meskipun tubuh pemuda itu bergetar demikian hebat namun sepasang kakinya bagai tertanam di dalam bumi sehingga Panji tetap berdiri tegak menggenggam pedang yang diacungkan ke langit.

Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti, Tongkat Berantai dan enam tokoh lain memandang kejadian yang luar biasa itu dengan sepasang mata tak berkedip. Mulut mereka ternganga menyaksikan kejadian yang bagaikan dalam dongeng.

"Apa... apa...? Bagaimana..?" Datuk Sesat Wilayah Timur yang berjuluk Tongkat Berantai sampai-sampai tak tahu harus mengatakan apa. Ucapannya pun tak jelas maknanya.

"Gila! Apa... apa yang terjadi dengan pemuda itu...?" desah Nyi Ayu Kedasih dengan suara menggeletar mirip
orang terserang demam!

"Luar biasa...!" desis Ki Bagasti seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tak lama kemudian, dua buah sinar yang menyelimuti tubuh Panji perlahan menipis dan kini hanya terdapat pada mata pedangnya. Dan pada saat berikutnya, kedua berkas sinar itu pun melesat melalui ujung pedang yang masih berada dalam genggaman Pendekar Naga Putih. Bersamaan dengan lenyapnya kedua berkas sinar itu, langit mendadak terang kembali. Tiupan angin keras dan sambaran petir yang bersahut-sahutan pun lenyap entah ke mana. Bumi di sekitar tempat itu kembali cerah seperti sediakala.

Seolah-olah peristiwa yang menakjubkan tadi tak pernah terjadi. Beberapa saat lamanya semua tokoh yang berada di tempat itu termasuk Panji dan Ayuning hanya berdiri terpaku. Tak seorang pun yang berbicara hingga suasana di sekitar Lembah Gunung Kembaran terasa hening dan mencekam.

"Kakang, mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak Ayuning ketika tersadar dari keterpakuannya. Cepat Ayuning menarik tangan Panji meninggalkan tempat itu sebelum para tokoh persilatan tersadar dari terpesona yang masih menguasai mereka.

Panji tersentak dari ketegangan begitu lengan Ayuning menariknya meninggalkan Lembah Gunung Kembaran. Tanpa banyak bertanya lagi, pemuda itu segera mengikuti tarikan tangan sahabatnya.

Sembilan tokoh persilatan segera bangkit dari keterpakuannya ketika mendengar suara Ayuning. Serentak para tokoh persilatan itu pun bergegas mengejar kedua muda-mudi yang telah melarikan diri sebelumnya. Namun mereka menjadi kecewa ketika bayangan Panji dan Ayuning sudah lenyap di balik rerimbunan pepohonan Lereng Gunung Kembaran. Dengan hati yang diliputi kekecewaan, sembilan tokoh persilatan itu berpencar meninggalkan Lereng Gunung Kembaran dengan tangan hampa.

***

"Ayuning, sebaiknya kita berpisah di sini saja. Terima kasih atas pertolonganmu!" ujar Panji ketika keduanya sudah jauh meninggalkan Kaki Gunung Kembaran.

"Ah, masih perlukah di antara kita terdapat rasa sungkan, Kakang? Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kutemui, sejak aku meninggalkan pertapaan guruku. Apakah kau tidak menganggapku sebagai sahabat baikmu, Kakang?" ucap Ayuning memperlihatkan senyum manisnya.

“Tentu Ayuning! Kau memang sahabat yang sangat baik. Dan rasanya sulit sekali mencari sahabat sepertimu!" sahut Panji juga tersenyum.

“Terima kasih, Kakang, aku senang sekali mendengamya," ujar Ayuning semakin melebarkan senyumnya.

"Selamat bcrpisah, Ayuning. Jagalah dirimu baik-baik!" ucap Panji terharu begitu teringat kebaikan gadis itu kepadanya. Setelah berkata demikian, Panji pun bergegas meninggalkan Ayuning.

"Kakang, tunggu..!" seru Ayuning sambil melompat mengejar Panji.

"Ada apa, Ayuning?" tanya Panji begitu gadis itu tiba di dekatnya.

Ayuning tersenyum sambil mengulurkan sebatang pedang yang sejak tadi dipegangnya. "Bukankah ini pedangmu, Kakang?"

"Ah, aku hampir lupa dengan pedang pemberian eyang guruku ini! Di mana kau menemukannya?" tanya Panji, seraya menerima Pedang Sinar Rembulan dari tangan Ayuning.

"Ketika aku terjatuh akibat pukulan Ki Bagasti, secara tak sengaja tanganku menyentuh benda ini. Dan ketika aku teringat kalau pedang ini adalah pedang yang selalu melingkar di pinggangmu, aku pun menyimpannya," jawab Ayuning menjelaskan mengapa pedang itu sampai ditangannya.

"Sekali lagi teri...."

"Ett... eit... Apakah kau sudah lupa dengan ucapanku tadi? Dasar kakek-kakek pikun!" protes Ayuning dengan wajah cemberut

"Ah, mengapa aku jadi pelupa!" seru Panji memegang keningnya.

"Baiklah, tanpa terima kasih. Selamat tinggal, Ayuning!" Tubuh Pendekar Naga Putih langsung berkelebat meninggalkan murid Dewa Tanpa Bayangan yang memandangi kepergiannya dengan senyum dikulum.

***

Matahari baru saja muncul di ufuk Timur ketika seorang pemuda berjubah putih berlari cepat mendaki Lereng Bukit Gua Harimau. Pada jubah bagian dadanya terlihat garis merah melintang. Garis merah itu adalah darah yang telah mengering. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji alias Pendekar Naga Putih. Dan luka memanjang pada dadanya adalah akibat sabetan pedang salah seorang pengeroyoknya ketika berusaha mempertahankan Bunga Abadi yang hendak direbut tokoh-tokoh persilatan. Peristiwa itu terjadi di Lembah Gunung Kembaran kemarin.

Tak lama kemudian, Pendekar Naga Putih tiba di sebuah dataran yang cukup luas di Puncak Bukit Gua Harimau. Panji mengerutkan keningnya ketika melihat dua orang berpakaian perwira kerajaan tengah berjaga didepan pintu pondok peninggalan Eyang Tirta Yasa.

"Berhenti! Siapa kau, Kisanak? Dan apa keperluanmu datang ke tempat ini?" tanya salah seorang dari mereka galak.

"Namaku Panji. Dan tempat ini adalah kediaman guruku. Apakah yang telah terjadi di sini, Tuan Perwira?" tanya Panji cemas.

"Ah, kalau begitu kaulah yang berjuluk Pendekar Naga Putih! Mari... mari silakan," seru salah seorang perwira dengan wajah gembira begitu tahu kalau pemuda yang berdiri di hadapannya adalah Pendekar Naga Putih.

"Kakek, Kenanga... apa... apa yang terjadi?" tanya Panji begitu memasuki pondok. Perasaan pemuda itu semakin tidak enak ketika melihat ada seorang perwira lagi yang tengah duduk di hadapan Raja Obat dan Kenanga.

"Panji, syukurlah kau sudah kembali! Bagaimana? Apakah kau sudah berhasil mendapatkan Bunga Abadi? Duduklah dulu, nanti kuceritakan!" ujar Raja Obat ketika melihat pemuda itu kebingungan dengan adanya seorang perwira kerajaan di dalam pondok.

"Sudah, Kek!" jawab Panji sambil menyerahkan kain pengikat kepala yang digunakan sebagai pembungkus Bunga Abadi.

Raja Obat tidak segera menerima bungkusan yang disodorkan, melainkan malah tertegun menatap wajah Panji. Setelah memperhatikan lebih teliti, akhirnya Raja Obat itu bertanya kepada Panji. "Cucuku, kau... kau sudah sembuh? Kesinilah, biar kuperiksa tubuhmu?" ucap Raja Obat tiba-tiba sehingga membuat Kenanga dan perwira kerajaan terheran-heran. Lebih-lebih Panji, pemuda itu menjadi keheranan ketika mendengar ucapan Raja Obat. Namun tanpa berkata sepatah pun, Panji membiarkan saja tubuhnya diperiksa oleh Raja Obat

"Ah... ah... ajaib! Kau benar-benar sudah sembuh, Cucuku!" seru Raja Obat tersenyum. Setelah memeriksa dan mengetuk-ngetuk tubuh Panji, kakek itu merasa yakin kalau Panji memang sudah benar-benar sembuh dari penyakitnya. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang penyakit yang diderita Pendekar Naga Putih, ada baiknya pembaca melihat episode Raja Iblis dari Utara)

"Benarkah, Eyang?" Kenanga yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan jantung berdebar tegang segera menghambur ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih. Gadis jelita itu menangis bahagia di dada kekasihnya yang menurut Raja Obat sudah sembuh.

"Ceritakanlah, Cucuku! Apa yang telah kau alami sejak kau meninggalkan Bukit Gua Harimau," pinta Raja Obat yang kelihatannya tidak sabar ingin segera mendengar cerita Panji.

Secara singkat dan jelas Panji pun menceritakan segala kejadian yang dialaminya selama mencari Bunga Abadi. Raja Obat Kenanga dan perwira kerajaan sampai berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan takjub ketika mendengar apa yang dialami oleh Panji.

"Wah... sungguh luar biasa segala yang kau alami, Saudara Panji! Kalau saja cerita ini tidak kudengar dari mulutmu sendiri, rasanya aku tak mungkin percaya!" ujar perwira kerajaan dengan suara yang masih terbawa oleh rasa takjub.

"Betul, Cucuku. Dan setelah mendengar ceritamu, Eyang yakin kalau sembuhnya penyakit yang kau derita disebabkan sambaran petir ketika engkau mencabut pedang itu dari sarungnya. Boleh kulihat pedang itu, Cucuku?" pinta Raja Obat kepada Panji.

"Tentu, tentu, Eyang...," sahut Panji sambil menyerahkan pedang yang ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.

Raja Obat meneliti pedang yang diberikan Panji dengan penuh takjub. Dan begitu meloloskan pedang dari sarungnya, terdengar seruan takjubnya. Begitu pula halnya dengan Kenanga dan perwira kerajaan. "Pedang Pusaka Naga Langit..!" seru Raja Obat begitu mengenali pedang yang ditemukan Panji.

"Pedang Naga Langit..?" seru Panji, Kenanga dan perwira kerajaan keheranan karena mereka belum pernah mendengar cerita tentang pedang pusaka itu.

"Ya! Pedang Naga Langit. Nantilah akan aku ceritakan asal-usul pedang ini. Nah, sekarang kau tidak memerlukan Bunga Abadi lagi, Cucuku," ucap Raja Obat yang lalu menceritakan maksud kedatangan perwira kerajaan ke Bukit Gua Harimau

"Jadi beberapa hari setelah kepergianku, Eyang dipanggil menghadap Gusti Prabu?" tanya Panji menegaskan.

"Betul, Cucuku! Saat ini Gusti Prabu tengah menderita sakit berat dan hampir tidak ada obatnya. Akhirnya aku dengan lancang menjanjikan akan mencarikan obat yang mujarab untuk kesembuhan sang Prabu. Kurasa kau sudah tahu apa yang kumaksudkan, Cucuku?" tanya Raja Obat sambil menatap wajah Panji dalam-dalam.

“Tahu, Eyang. Eyang pasti menjanjikan Bunga Abadi untuk mengobati penyakit, Gusti Prabu!" jawab Panji yang sudah dapat menebak maksud ucapan Raja Obat

"Nah, syukurlah. Sekarang kau sudah tak memerlukan Bunga Abadi lagi, karena memang benar-benar sudah sembuh secara ajaib! Bagaimana pendapatmu kalau Eyang meminta Bunga Abadi untuk obat penyakit, Gusti Prabu?" tanya Raja Obat hati-hati. Karena biar bagaimanapun Pendekar Naga Putih-lah yang berhak atas Bunga Abadi itu.

"Dengan senang hati aku akan merelakan Bunga Abadi ke tangan Eyang demi kesembuhan Gusti Prabu. Lagi pula kudengar Gusti Prabu adalah seorang raja yang adil dan bijaksana," jawab Panji tanpa ragu-ragu. Sejenak pemuda itu mengalihkan pandangannya kearah. kekasihnya yang tersenyum mengangguk.

“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kau memang benar-benar pendekar sejati yang lebih mementingkan keselamatan orang banyak ketimbang dirimu sendiri. Aku akan menyampaikan Bunga Abadi kepada Gusti Prabu. Sekarang kami mohon pamit dan akan membawa Raja Obat ke istana. Sekali lagi terimalah hormat dan terima kasihku ini, Pendekar Naga Putih," ujar perwira kerajaan yang belakangan baru Panji ketahui kalau dia adalah seorang Patih.

"Ah, Tuan Patih terlalu berlebihan. Apalah artinya pengorbananku bila dibandingkan dengan pengabdian, Tuan Patih," ujar Panji membungkuk hormat Kemudian Panji dan Kenanga mengantarkan kepergian mereka hingga keluar pondok.

"Sampai jumpa, Pendekar Naga Putih, Kenanga!" pamit patih kerajaan sambil melambaikan tangan ke arah dua orang pendekar muda itu.

"Selamat jalan, Eyang, Gusti Patih!" seru Panji dan Kenanga tersenyum sambil balas melambaikan tangan.

S E L E S A I

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar