Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 26

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Tetapi pada pagi hari berikutnya, Empu Baladatu ternyata telah minta diri. Ia sama sekali tidak menanyakan tentang harta benda itu. Setiap kali ia hanya berpesan, agar orang-orang Serigala Putih merubah sikapnya terhadap perempuan dan anak-anak mereka yang kebetulan lahir perempuan pula.

“Aku akan pergi” berkata Empu Baladatu, “pada saat-saat yang belum dapat aku katakan, aku akan datang. Kalian tidak boleh bertengkar lagi dengan orang-orang Macan Kumbang. Aku akan singgah di padepokan mereka dan memberikan pesan yang sama. Selebihnya, berhati-hatilah terhadap orang-orang yang bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Keduanya adalah musuh yang paling buas bagi orang-orang yang mereka sebut berilmu hitam. Yang mereka maksud sudah tentu adalah kita sekalian.”

Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu mengangguk-angguk.

“Hati-hatilah menjaga diri” berkata Empu Baladatu kemudian.

“Tetapi Empu” tiba-tiba saja orang yang dianggap memiliki ilmu tertua dan tertinggi itu bertanya, “bagaimanakah sikapku terhadap Empu Sanggadaru dan penguasa di Singasari yang ternyata adalah dua orang anak muda yang baik hati itu?”

Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia memang sulit sekali untuk menentukan sikap Terhadap kedua pemimpin Singasari itu ia sama sekali tidak ragu-ragu. Meskipun keduanya adalah orang yang baik hati dan pemurah, tetapi baginya, sifat yang dianggapnya lemah itu justru menguntungkannya, meskipun kedua anak-anak muda itu memiliki ilmu yang luar biasa.

Tetapi untuk menentukan sikap terhadap Empu Sanggadaru memang terlampau sulit baginya. Ia sadar, bahwa kakaknya tentu tidak akan bersedia berdiri di pihaknya. Tetapi untuk memusuhinya, rasa-rasanya masih ada perasaan segan, meskipun sudah terbayang pula di dalam angan-angannya, jika Empu Sanggadaru itu kelak akan menjadi penghalang bagi cita-citanya, maka ia tidak akan ragu-ragu untuk mengambil sikap.

Apalagi Empu Baladatu merasa, bahwa ilmu kakaknya tidak terpaut banyak dari ilmunya sendiri.

“Jika aku berhasil menambah tingkat ilmuku selapis lagi, maka aku akan menjadi orang yang akan mampu melakukan apa saja.” berkata Empu Baladatu di dalam hati.

Namun dalam pada itu, ia harus menjawab pertanyaan orang dari gerombolan Serigala Putih itu, sehingga kemudian katanya, “Empu Sanggadaru adalah orang yang baik. Ia tidak akan mengganggu kita. Dan kita pun tidak akan mengganggunya. Ia adalah kakak kandungku yang mengerti apa yang aku inginkan, meskipun kami akan mengambil jalan yang berbeda.” ia berhenti sejenak, lalu, “dan bukankah persoalan gerombolan Serigala Putih dan Empu Sanggadaru sudah selesai? Kematian pemimpinmu merupakan akhir dari pertentangan yang berkepanjangan.”

Orang tertua itu mengangguk-angguk.

“Apakah kalian masih tetap mendendam terhadap kakang Sanggadaru yang telah menyebabkan kematian pemimpinmu?”

Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak Empu, aku tidak mendendamnya.”

“Tetapi meskipun demikian, tanpa aku, jangan membuat hubungan dengan Empu Sanggadaru. Jika terjadi sesuatu akibat kelengahanmu, aku tidak bertanggung jawab.”

Orang tertua itu mengangguk-angguk.

“Nah, hati-hatilah. Aku akan kembali ke padepokanku. Pada saatnya aku akan datang. Sebelumnya mungkin sekali aku akan mengirimkan orang-orangku untuk melakukan hubungan-hubungan jika aku berhalangan.”

“Baiklah Empu” berkata orang tertua, “kami akan menunggu, apakah yang harus kami lakukan.”

“Baiklah. Untuk sementara, kaulah yang harus memimpin kawan-kawanmu. Usahakan agar ilmu mereka meningkat dengan caramu, karena pada suatu saat, aku akan mempergunakan caraku bagi kepentingan kalian.”

“Kami menunggu” jawab orang tertua itu.

Demikianlah Empu Baladatu pun meninggalkan padepokan Serigala Putih untuk kembali ke padepokannya. Ia merasa usahanya untuk menguasai gerombolan yang kehilangan pemimpin itu berhasil. Sejak ia melihat kematian pemimpin Serigala Putih, maka ia sudah mempunyai pertimbangan tersendiri, sehingga sikapnya yang nampaknya lunak dan baik telah berhasil membawanya ke dalam lingkungan Serigala Putih dan bahkan sekaligus, tanpa diperhitungkan lebih dahulu, bahkan gerombolan Macan Kumbang. Hanya karena kecepatannya menentukan sikap sajalah, maka kedua gerombolan itu berada di bawah kekuasaannya, dan setiap saat akan dapat dipergunakannya.

Dalam perjalanan kembali itulah Empu Baladatu singgah sejenak di padepokan gerombolan Macan Kumbang yang suasana serta keadaannya tidak banyak berbeda dengan padepokan Serigala Putih. Orang-orang di padepokan gerombolan Macan Kumbang pun sama sekali tidak menghargai perempuan-perempuan yang ada di padepokan mereka. Dan seperti di padepokan gerombolan Serigala Putih, maka Empu Baladatu pun menghembuskan nafas kehidupan yang berbeda.

Namun dalam pada itu, kedua-duanya benar-benar telah berada di bawah pengaruhnya. Kengerian dan harapan adalah ikatan yang tidak dapat mereka lepaskan lagi.

Empu Baladatu hanya berada semalam di padepokan gerombolan Macan Kumbang. Setelah memberikan beberapa petunjuk dan menetapkan orang yang untuk sementara memegang pimpinan selama ia tidak berada di padepokan itu, maka Empu Baladatu pun segera kembali ke padepokannya.

”Semuanya harus direncanakan dengan baik” berkata Empu Baladatu kepada para pengawalnya.

“Ya Empu. Tetapi apakah Empu tidak curiga bahwa sepeninggal Empu mereka akan menentukan sikap yang lain?”

“Mereka tidak mempunyai kekuatan cukup untuk berbuat demikian. Mereka merasa kehilangan pemimpin sehingga secara jiwani, mereka menjadi lemah sekali, meskipun sebenarnya mereka masih cukup kuat secara badani. Jika aku berhasil, maka kedua padepokan itu akan dapat menjadi landasan kekuatan yang berbahaya bagi Singasari.”

Pengawalnya mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa jika rencana itu berhasil, maka kemungkinan-kemungkinan yang cerah akan dapat terjadi.

“Tetapi kita harus dapat dengan cepat menguasai daerah diluar Singasari sendiri sebelum daerah-daerah itu menentukan sikap. Dan untuk itu harus ada perencanaan sebaik-baiknya. Dalam pada itu, para pemimpin pemerintahan di setiap daerah, para Raja, para Akuwu dan Buyut akan ikut menentukan. Jika kita kurang memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi, maka kita akan sesat.”

Pengawalnya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Tetapi mereka dapat membayangkan keterangan Empu Baladatu,,

“Kemenangan Akuwu Tumapel yang kecil saat itu atas Kediri dapat dipakai sebagai cermin. Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa dapat memperhitungkan waktu dan keadaan sebaik-baiknya. Ketidak puasan para brahmana dipergunakannya sebaik-baiknya untuk melaksanakan rencananya menguasai Kediri yang besar.”

Para pengawalnya masih mengangguk-angguk.

“Nah, kita harus menemukan kelemahan Singasari. Kita harus dapat menumbuhkan ketidak puasan pada sebagian dari rakyat Singasari agar pada suatu saat ketidak puasan itu akan dapat kita manfaatkan sebaik-baiknya.”

Pengawalnya masih mengangguk-angguk.

“Itulah sebabnya, aku masih harus memikirkannya. Masih banyak hal yang harus diperhitungkan. Bukan sekedar menyusun kekuatan dan bertempur di arena.”

Demikianlah Empu Baladatu telah memberikan beberapa landasan sikap kepada para pengawalnya yang terperdaya. Namun yang masih belum diketemukan oleh Empu Baladatu adalah orang-orang yang dapat diajaknya berpikir, membuat pertimbangan dan menentukan sikap.

“Tetapi jika tidak ada orang lain” katanya di dalam hati, “aku sendiri agaknya akan mampu melakukannya. Kakang Sanggadaru agaknya tidak sejalan dengan rencanaku. Bahkan nampaknya ia terlampau mengagumi kedua anak muda yang kini sedang memegang pemerintahan.”

Sekilas terbayang wajah-wajah yang tegang dari orang-orang yang bernama Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Namun Empu Baladatu kemudian menggeretakkan giginya sambil berkata, “Keduanya adalah orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan apapun di belakangnya. Mungkin mereka mempunyai beberapa kawan atau saudara seperguruan. Tetapi mereka bukan kekuatan yang perlu dicemaskan.” Namun kemudian, “tetapi perlu diperhitungkan usaha mereka menjumpai orang-orangku seorang demi seorang atau sekelompok kecil demi sekelompok kecil yang akhirnya benar-benar dapat mengurangi kekuatan dalam keseluruhan.”

Dalam usahanya untuk mengatasi kemungkinan itu, maka Empu Baladatu berniat untuk mengirimkan beberapa orangnya khusus untuk mengetahui lebih banyak dari kedua orang itu, tanpa menimbulkan kemungkinan benturan, karena Empu Baladatu masih menganggap bahwa orang-orang yang menamakan diri pembunuh orang berilmu hitam itu benar-benar memiliki kelebihan dari orang-orangnya.

“Aku harus mengirimkan beberapa orang dalam tugas sandi tanpa memperkenalkan ciri-ciri perguruan yang disebut ilmu hitam” berkata Empu Baladatu di dalam hatinya.

Demikianlah, ternyata Empu Baladatu benar-benar melakukan seperti yang dikehendakinya itu. Ketika ia sampai di padepokannya dan berbicara dengan orang-orang terdekat, maka ia pun kemudian memutuskan untuk melepaskan beberapa orang untuk mencari keterangan lebih jauh tentang Mahisa Bungalan anak Mahendra dan Linggadadi..

“Tetapi kalian tidak boleh sama sekali menunjukkan ciri-ciri dan tanda-tanda yang dapat menjebak kalian. Bukan kalian yang dapat mengenali Linggadadi dan Mahisa Bungalan, namun sebaliknya, merekalah yang akan berhasil menjebak kalian.”“

Orang-orang itu mengangguk-angguk.

“Kalian pergi sebagai orang-orang yang tidak memiliki kemampuan apapun yang dapat kalian banggakan. Kalian adalah perantau-perantau miskin yang mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Tugas kalian, mengetahui dengan lebih jelas lagi tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Bukan merekalah yang mengetahui lebih banyak tentang kalian dan bahkan membunuh kalian.”

Dengan demikian maka Empu Baladatu pun telah mempersiapkan beberapa orangnya untuk tugas itu. Dengan sungguh-sungguh ia memberikan beberapa petunjuk dan pesan.

“Tugas kalian tidak termasuk tugas yang berat. Kalian pergi menjelajahi daerah Singasari dan sekitarnya. Kalian tidak harus melakukan sesuatu selain mendengarkan berita. Kalian tidak harus berkelahi atau melakukan kekerasan apapun. Hanya jika jiwa kalian terancam, kalian boleh melakukan perlawanan. Itu pun harus kalian jaga, agar kalian tidak menunjukkan ciri perguruan kita.”

Enam orang telah disiapkan untuk tugas itu. Mereka mendapat latihan khusus dalam tata perkelahian yang agak menyimpang dari ciri-ciri perguruan mereka.

Setelah Empu Baladatu yakin bahwa mereka akan dapat menyamar diri, maka keenam orang itu pun kemudian dilepaskannya meninggalkan padepokan dengan pesan, agar mereka selain mendapatkan keterangan tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi, juga mencari keterangan tentang gerombolan yang disebut berilmu hitam, aliran yang manapun juga. Mereka akan dapat diserap untuk menjadi pengikut yang baik seperti gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang.

Dengan pakaian dan sikap seorang perantau maka keenam orang itu pun kemudian pergi memencar menempuh jalannya masing-masing. Dari padepokan mereka membawa bekal yang cukup, karena mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Mereka membawa beberapa keping perak yang dapat mereka pergunakan jika perlu sekali. Namun bagi makan dan minum mereka sehari-hari, mereka sudah berbekal pakaian seorang perantau yang dapat mereka pergunakan untuk menumbuhkan belas kasihan orang lain.

Dalam pada itu, keenam orang itu pun merasa bahwa tugasnya bukanlah tugas yang berat dalam arti benturan-benturan jasmaniah. Mereka hanya harus melakukan dengan tekun, telaten dan tidak segera menjadi jemu dan apalagi putus asa.

Sepeninggal keenam orang itu, maka Empu Baladatu pun memerintahkan beberapa orang yang pernah ikut bersamanya ke padepokan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Atas namanya orang-orang itu harus mengatur, agar orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang selalu merasa bahwa Empu Baladatu adalah pemimpinnya sehingga semua perintahnya harus ditaati, selain harus melakukan pengawasan atas perkembangan padepokan itu selanjutnya.

Namun dalam pada itu, tidak semua orang di dalam kedua lingkungan itu dapat menahan diri. Bagaimanapun juga rahasia itu mereka simpan, namun orang-orang yang tidak terlalu puas dengan keadaan terakhir, diluar sadarnya telah berceritera kepada orang-orang lain yang pernah berhubungan dengan mereka. Orang-orang yang kadang-kadang mereka jumpai untuk membeli bahan makanan atau bahan pakaian, sehingga betapapun lambatnya, tetapi akhirnya beberapa orang pun mengetahui pula, bahwa kedua gerombolan itu telah berada di bawah pimpinan orang baru. Dan diantara beberapa orang itu termasuk orang yang bernama Linggadadi.

“Gerombolan itu sudah lama aku dengar” berkata Linggadadi kepada kakaknya.

“Mereka berada di bawah pimpinan seseorang yang memiliki ilmu hitam.” sahut Linggapati.

Keduanya termenung sejenak. Baru kemudian Linggapati berkata, “Kita tidak dapat bertindak tergesa-gesa. Kita harus berada di antara orang-orang kita untuk menyusun kekuatan. Kedua gerombolan ditambah dengan kekuatan Empu Baladatu sendiri, merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Linggadadi mengangguk-angguk.

“Kita tidak dapat menghadapi mereka seperti yang kita lakukan sebelumnya” berkata Linggadadi, “apalagi jika kita berhadapan dengan gerombolan-gerombolan yang karena sesuatu hal telah menggabungkan diri menjadi satu lingkungan. Agaknya Empu Baladatu dapat memanfaatkan kedua gerombolan perampok itu menjadi kekuatan yang lain, yang langsung atau tidak langsung merupakan kekuatan yang perlu kita perhatikan, jangka pendek dan jangka panjang.”

Linggapati mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian bersepakat untuk berada di dalam lingkungannya dan menempa diri lebih tekun lagi.

“Tetapi kita tidak boleh berada dalam lingkungan yang mati sehingga kita tidak mengetahui perkembangan keadaan” desis Linggapati.

Linggadadi mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya bahwa padepokannya harus selalu mengikuti perkembangan keadaan terutama tentang kedua gerombolan yang telah diikat oleh seorang pemimpin dari keduanya.

Demikianlah, maka Linggapati dan Linggadadi pun kemudian berusaha untuk menempa diri bersama kekuatan yang ada padanya. Mereka tidak lagi merantau mencari orang-orang berilmu hitam dan sekaligus membinasakan mereka. Kini mereka ternyata berhadapan dengan gerombolan yang semakin lama menjadi semakin besar dan meluas.

Perlahan-lahan namun pasti, padepokan Linggapati dan Linggadadi pun semakin berkembang. Dalam kehidupan sehari-hari keduanya mempunyai pengaruh yang besar atas pemerintahan di Mahibit, sehingga keduanya seakan-akan mempunyai kekuasaan yang khusus melalui kekuasaan yang berada di tangan Akuwu.

“Jika pada suatu saat Akuwu Tumapel mampu mengalahkan kekuatan di Kediri yang besar, maka tidak mustahil bahwa Akuwu di Mahibit pun akan dapat mengalahkan kekuasaan di Singasari” berkata Linggapati kepada adiknya dan seluruh kekuasaan yang ada padanya.

Dengan hadirnya beberapa orang bekas prajurit yang berpengalaman di dalam lingkungannya, maka Linggapati dapat menyusun kekuatan yang semakin lama semakin berkembang. Beberapa orang yang telah terhimpun di dalam padepokannya pun mendapat tempaan lahir dan batin.

“Tanpa orang-orang berilmu hitam kita tidak perlu tergesa-gesa” berkata Linggapati, “tetapi kini kita harus bersikap lain. Orang-orang berilmu hitam itu akan dapat mendahului atau mengganggu usaha kita.”

Adiknya yang sependapat, berusaha sekuat-kuatnya untuk meningkatkan ilmu, bukan saja orang-orangnya, tetapi juga dirinya sendiri.

Namun dalam pada itu, berita tentang kekuasaan Empu Baladatu yang telah menembus ke dalam lingkungan gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang pun terdengar pula oleh para petugas sandi di Singasari. Orang-orang yang tidak terlalu puas dengan keadaan di dalam lingkungan mereka, ternyata tidak berhasil menyimpan rahasia itu serapat-rapatnya.

“Kedua gerombolan itu memiliki kekuatan yang cukup” seorang petugas sandi melaporkan kepada Lembu Ampal

Lembu Ampal termangu-mangu. Menurut pendengarannya, orang yang bernama Empu Baladatu itu adalah saudara Empu Sanggadaru, sehingga karena itu, maka ia pun menjadi ragu-ragu.

“Benarkah yang kau dengar?” bertanya Lembu Ampal.

“Sepanjang pendengaranku, benarlah demikian. Tetapi aku masih belum membuktikannya karena yang disebut bernama Empu Baladatu itu kini tidak berada di kedua padepokan itu.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi keterangan itu di terimanya dengan penuh keragu-raguan.

“Aku akan menemui Empu Sanggadaru” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.

Karena keragu-raguannya itulah maka Lembu Ampal masih belum menyampaikannya kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia ingin mendapat keterangan yang lebih pasti, selebihnya menunggu kedatangan Mahisa Agni yang masih belum kembali dari pengembaraannya bersama Mahisa Bungalan dan Witantra.

“Baiklah” berkata Lembu Ampal kemudian, “aku pun akan berusaha mendapatkan keterangan. Tetapi jika pendengaranmu benar, maka kita memang harus berhati-hati menghadapinya. Soalnya tentu bukan sekedar bermain-main.”

“Apakah sebaiknya kita mendekati kedua padepokan itu untuk mendapatkan kepastian?” bertanya petugas sandi itu.

“Jangan berbuat apapun juga. Aku sendiri akan mencari jalan.”

Petugas sandi itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan. Mudah-mudahan segera berhasil.”

Dengan demikian maka Lembu Ampal pun kemudian berusaha untuk mendapat keterangan lebih jauh tentang Empu Baladatu. Sumber yang mungkin dapat memberikan keterangan kepadanya adalah Empu Sanggadaru yang menurut pengertiannya adalah saudara kandung Empu Baladatu.

Dengan diam-diam maka Lembu Ampal pun kemudian pergi ke padepokan Empu Sanggadaru. Bahkan ia sama sekali tidak mengatakan kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia hanya mengatakan bahwa ia mohon ijin untuk pergi dalam sehari karena ada persoalan keluarga yang harus diselesaikan.

Dengan dua orang pengawalnya Lembu Ampal mengunjungi padepokan Empu Sanggadaru. Kedatangannya ternyata telah mengejutkan seisi padepokan, karena Lembu Ampal datang dengan diam-diam tanpa memberitahukannya lebih dahulu.

“Kami terkejut sekali” berkata Empu Sanggadaru.

“Maaf Empu, kami tidak sempat memberitahukan lebih dahulu akan kedatangan kami. Tiba-tiba saja kami didera oleh suatu kepentingan yang sangat mendesak.”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah menduga bahwa persoalan adikku agaknya telah terdengar sampai ke istana, “

Lembu Ampal pun tersenyum pula. Jawabnya,, “Dugaan Empu tepat sekali. Aku memang ingin mengetahui lebih banyak tentang Empu Baladatu.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia sadar bahwa saat seperti itu pasti akan datang, namun ia masih juga menjadi berdebar-debar.

Tetapi Empu Sanggadaru masih sempat berkata, “Baiklah. Aku memang tidak akan dapat ingkar dari pertanyaan tentang adikku itu. Tetapi aku ingin mempersilahkan Senapati untuk duduk lebih dahulu sambil melihat-lihat hasil buruanku. Setelah para cantrik menghidangkan seteguk air untuk menghapus dahaga, aku akan mengatakan serba sedikit yang aku ketahui tentang adikku itu.”

Lembu Ampal tidak menolak. Sambil memandang hasil buruan Empu Sanggadaru yang sudah dikeringkan di dalam ruang itu, ia meneguk air hangat dengan sepotong gula kelapa.

“Yang menarik” berkata Lembu Ampal, “adalah ular raksasa di luar bilik ini.”

Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, “Adikku juga mengagumi ular itu. Tetapi sudah tentu bagi Senapati, ular itu tidak ada artinya.”

Lembu Ampal tersenyum. Dan ia masih bertanya tentang beberapa jenis binatang buruan yang terdapat di dalam dan yang dilihatnya diluar bilik itu.

Baru sejenak kemudian ia mengulangi pertanyaannya tentang Empu Baladatu.

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar sebuah desah yang meluncur dari sela-sela bibirnya.

“Senapati, sebenarnyalah aku menjadi sangat prihatin mendengar berita tentang adikku. Aku tidak menyangka, bahwa adikku yang sudah lama tidak bertemu itu, terjerumus ke dalam ilmu yang disebut ilmu hitam itu.”

“Apakah yang kau ketahui tentang sifat-sifatnya sejak kanak-kanak?”

“Ia memang keras kepala. Tetapi ia cerdas dan penuh kemauan untuk menguasai keadaan.”

“Sifat itulah yang mendorongnya untuk melakukan tindakannya yang nampaknya agak berbahaya sekarang ini.”

“Ya. Yang aku dengar, ia telah berhasil menguasai gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang. Dua gerombolan yang menurut penyelidikanku lewat orang-orangku adalah gerombolan yang cukup besar. Aku pernah terlibat persoalan dengan gerombolan Serigala Putih dan yang membuatku untuk sangat berhati-hati. Membuat banyak rahasia di dalam padepokanku dan bahkan kadang-kadang membuat orang lain bingung menghadapi para, cantrik-cantrik di padepokan ini karena sikap yang terlampau hati-hati itu.”

“Dan ternyata bahwa pemimpin gerombolan itu terbunuh di hutan perburuan.”

“Ya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Baladatu sebaik-baiknya.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam.

“Agaknya kedatangannya ke padepokan ini pada waktu itu” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “adalah dalam rangka usahanya menyeret aku ke dalam lingkungannya. Untunglah bahwa sikapku waktu itu meragukannya, sehingga ia tidak menyampaikan maksudnya kepadaku.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya, “Jika ia menyampaikan maksudnya, apakah yang akan Empu lakukan?”

“Aku berada dalam kesulitan. Meskipun sudah tentu aku menolak, namun tindakan selanjutnya pasti membuat aku kebingungan. Aku tidak akan dapat membiarkan ia melanjutkan rencananya, tetapi aku juga tidak akan dapat menghentikannya, karena tindakan kekerasan berarti pertengkaran antara aku dan Baladatu, satu-satunya saudaraku.”

Lembu Ampal masih mengangguk-angguk.

“Senapati” berkata Empu Sanggadaru kemudian, “bahkan untuk selanjutnya, aku pun mohon, agar aku dibebaskan dari suatu tuntutan kuwajiban apapun atas adikku. Aku berjanji bahwa aku tidak akan memberikan bantuan apapun juga dari semua perbuatan yang akan dilakukan selanjutnya. Mungkin ia akan mempergunakan kedua gerombolan itu untuk tindakan kejahatan, tetapi mungkin untuk kepentingan yang belum dapat kita bayangkan. Namun yang pasti bahwa tiga padepokan yang kini dikuasainya, merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan, justru karena mereka adalah orang-orang yang dikuasai oleh ilmu hitam.”

Lembu Ampal memandang wajah Empu Sanggadaru yang tegang. Namun ia mempercayai semua yang dikatakannya. Dari sorot matanya, Lembu Ampal dapat melihat kejujuran di hati orang tua itu.

“Empu” berkata Lembu Ampal, “aku memang tidak berniat untuk melibatkan Empu pada persoalan yang mungkin akan berkembang. Tetapi aku ingin agar Empu sudi memberikan beberapa keterangan tentang Empu Baladatu jika ternyata kemudian Empu mendengar segala sesuatu tentang dirinya“

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam. Katanya, “Aku bersedia. Aku akan memberikan keterangan sejauh yang aku ketahui” ia berhenti sejenak, lalu, “namun Senapati. Bagaimanapun juga aku tetap dikuasai oleh perasaan curiga meskipun terhadap adikku sendiri. Jika ada sisa dendam pada gerombolan Serigala Putih dan kecurigaan dari Baladatu bahwa aku akan menghambat usahanya, maka pertemuan dari keduanya akan dapat berarti bencana bagi padepokanku yang kecil ini.”

Lembu Ampal terdiam sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku dapat mengerti Empu. Tetapi Empu mempunyai cantrik yang sudah mendapatkan dasar-dasar ilmu kanuragan.”

“Tidak sekuat gerombolan Serigala Putih dalam keseluruhan. Seandainya demikian, tentu tidak bersama Macan kumbang.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti bahwa Empu Sanggadaru tidak membuat padepokannya sekuat padepokan gerombolan-gerombolan seperti Serigala Putih dan Macan Kumbang karena tujuan lahirnya sebuah padepokan memang sudah berbeda. Meskipun demikian, Lembu Ampal pun dapat memperhitungkan menurut keterangan yang pernah didengarnya tentang perselisihan antara Empu Sanggadaru dengan orang-orang dari gerombolan Serigala Putih, bahwa padepokan Empu Sanggadaru bukanlah padepokan yang lemah, meskipun bukan maksudnya untuk membangunkan kekuatan dengan maksud tertentu.

“Empu” berkata Lembu Ampal kemudian, “dengan hadirnya Empu Baladatu di kedua padepokan itu, maka bukanlah dengan demikian dendam itu akan terhapuskan pula?”

“Aku mengharap demikian meskipun bukan satu-satunya kemungkinan” jawab Empu Sanggadaru.

“Mudah-mudahan memang demikian. Namun apakah yang akan Empu lakukan dalam keadaan sekarang ini menghadapi gerombolan orang berilmu hitam yang meskipun dipimpin oleh adik Empu sendiri?”

“Tidak apa-apa. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan melakukan kebiasaanku sehari-hari.”

“Termasuk kecurigaan dan sikap hati-hati yang dapat membuat orang lain menjadi heran dan kebingungan menghadapi cantrik-cantrik dari padepokan ini?”

Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Mungkin kau benar Senapati. Mungkin aku masih tetap dalam sikapku sehari-hari lengkap dengan kecurigaan dan ketakutan.”

“Empu” Lembu Ampal mengangguk-angguk, “tidak ada salahnya Empu berhati-hati. Bahkan, aku sebenarnya ingin minta ijin yang barang kali dapat Empu kabulkan.”

Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak.

“Tetapi sebelumnya aku mohon maaf” Lembu Ampal melanjutkan, “kami melakukannya tanpa maksud apa-apa atas padepokan ini. Benar. Dan aku harap Empu mempercayai aku.”

“Apakah yang sebenarnya akan Senapati lakukan? Senapati adalah seorang petugas istana. Sebenarnya apapun yang akan berlaku atas padepokanku, aku tidak akan dapat menolak apapun yang akan terjadi dengan maksud apapun juga.”

Lembu Ampal menarik nafas. Ia mempercayai kata-kata Empu Sanggadaru, bahwa kesediaan itu adalah ucapan yang jujur, bukannya sekedar berpura-pura atau dengan maksud tertentu.

“Empu” berkata Lembu Ampal, “Empu adalah kakak kandung Empu Baladatu. Karena itu, bagaimanapun juga, akan mungkin terjadi hubungan antara Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu. Apakah hubungan itu akan berlangsung baik sebagaimana dua orang kakak beradik, atau hubungan yang buram antara dua orang yang berbeda pendirian dan sikap.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk.

“Empu” berkata Lembu Ampal dengan hati-hati, “jangan salah mengerti. Bukan maksudku untuk minta ijin mengadakan pengawasan atas padepokan ini, tetapi semata-mata karena kami ingin mengetahui apakah yang akan dilakukan oleh Empu Baladatu selanjutnya.”

“Aku belum mengerti maksud Senapati.”

“Jika Empu tidak berkeberatan, apakah aku diperbolehkan menempatkan beberapa orang pengawal di padepokan ini? Menurut perhitunganku, kapan pun waktunya, Empu Baladatu tentu akan datang kemari. Nah, dengan demikian maka Empu Sanggadaru akan dapat memberikan keterangan dan hubungan dengan aku lewat orang-orangku yang aku titipkan disini.”

Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Nampak sesuatu yang agak buram membayang di wajahnya, sehingga dengan serta merta Lembu Ampal menyambung, “Tetapi itu hanyalah sesuatu permintaan Empu. Jika Empu berkeberatan, aku tidak memaksa.”

Empu Sanggadaru termenung sejenak. Lalu katanya, “Memang agak berat untuk menerimanya. Meskipun Senapati mengatakan bahwa itu bukanlah suatu usaha untuk mengawasi padepokanku.”

“Sebenarnyalah Empu. Aku percaya kepada setiap kata yang Empu katakan. Demikian juga aku percaya akan ketetapan hati Empu. Tetapi jika Empu mempercayai aku seperti aku mempercayai Empu, maka yang ingin aku lakukan benar-benar sekedar usaha untuk mengetahui perkembangan keadaan dan perkembangan hubungan antara padepokan ini dengan padepokan gerombolan Serigala Putih yang kini dipimpin oleh Empu Baladatu yang mempunyai seribu satu macam sifat dan watak sehingga yang dilakukan itu benar-benar merupakan watak yang bertentangan sama sekali dengan sifat dan watak yang pernah aku lihat di hutan perburuan.”

“Bukan demikian Senapati. Bukan watak dan sifatnya yang berubah-rubah, tetapi ia adalah seorang yang paling cakap memainkan peranan yang berwatak dan bersifat saling berbeda dan bahkan bertentangan.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Dan ternyata bahwa ia berhasil dengan caranya itu untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi permintaan Lembu Ampal untuk menempatkan orang-orangnya di padepokannya memang dapat menimbulkan keragu-raguan.

Agaknya Lembu Ampal pun memakluminya, sehingga untuk beberapa saat ia terdiam untuk memberi kesempatan Empu Sanggadaru memikirkannya.

Untuk beberapa saat Empu Sanggadaru merenungkan permintaan Lembu Ampal. Dengan hati-hati ia mencoba menimbang buruk baiknya.

Namun akhirnya ia berkata, “Senapati, agaknya aku dapat mengerti, bahwa Senapati ingin selalu mengikuti perkembangan keadaan dalam hubungannya dengan Baladatu. Karena itu, baiklah. Aku tidak berkeberatan memenuhi keinginan Senapati untuk menempatkan beberapa orang prajurit di padepokan ini.”

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih. Jika aku kembali ke Kota Raja, maka aku segera menyiapkan beberapa orang petugas sandi yang untuk beberapa saat lamanya akan menjadi cantrik di padepokan ini. Benar-benar akan melakukan tugas-tugas seorang cantrik, sehingga karena itu, maka jika mereka membantah atau bahkan menolak perintah yang Empu berikan, aku akan mengambil tindakan atas mereka.”

Empu Sanggadaru tersenyum. Jawabnya, “Bagaimana mungkin aku dapat berbuat demikian. Meskipun aku dapat berpura-pura, tetapi aku tidak dapat mengelabui hatiku sendiri, bahwa sebenarnya mereka memang bukan cantrik dari padepokanku.”:

Lembu Ampal pun tersenyum. Katanya, “Yang pura-pura itu pun memadailah asal nampaknya seperti bersungguh-sungguh.”

Keduanya tertawa. Sambil mengangguk-angguk Empu Sanggadaru mengangguk, “Baiklah. Aku akan mengatur segala-galanya. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk menganggap mereka sebagai kadang di padepokan ini.”

Lembu Ampal mengangguk-angguk. Nampaknya pembicaraan mereka menemukan kesepakatan, sehingga setelah dijamu secukupnya maka Lembu Ampal pun minta diri.

“Begitu tergesa-gesa Senapati?” bertanya Empu Sanggadaru.

“Aku akan menyiapkan beberapa orang yang akan aku kirim kemari. Mereka akan mendapat pesan-pesan khusus dan aku berharap, bahwa Empu pun akan memberikan beberapa petunjuk apa yang seharusnya mereka lakukan di sini.”

“Aku akan mencoba. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan padepokanku yang kecil ini. Aku masih berharap bahwa adikku masih tetap menganggap aku sebagai saudara tuanya meskipun kami sudah lama saling berpisah dan tidak menemukan persamaan cara untuk mencapai kepuasan lahir dan batin.”

“Mudah-mudahan. Tetapi perlu Empu perhatikan, bahwa yang dilakukan oleh Empu Baladatu sampai saat ini telah membahayakan ketenteraman, bukan saja bagi Singasari yang biasanya terbatas dengan pengertian Kota Raja, tetapi juga rakyat Singasari dalam keseluruhan.”

Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa adiknya memang dapat kehilangan nalar dan bertindak bertentangan dengan kewajiban sebagai seorang warga yang baik,

Lembu Ampal pun kemudian meninggalkan padepokan itu. Ia berharap bahwa dalam waktu singkat ia akan dapat mengirimkan beberapa orang prajurit pilihan ke padepokan itu dalam tugas sandi.

Baru setelah mendapat keterangan dari padepokan Empu Sanggadaru, Lembu Ampal menyampaikan hal itu kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Dengan sedikit keterangan dan berita yang didengarnya, Lembu Ampal mencoba memberikan gambaran, apa yang dapat terjadi dengan tingkah laku Empu Baladatu itu.

“Hamba telah minta kepada Empu Sanggadaru untuk menempatkan beberapa orang prajurit dalam tugas sandi di padepokannya” berkata Lembu Ampal.

Ranggawuni mengangguk-angguk. Katanya, “Paman sudah menentukan sikap yang benar menghadapi Empu Baladatu, Meskipun kita tidak dapat mutlak tanpa bukti menuduh bahwa ia akan melakukan tindak kekerasan terhadap Singasari namun aku tidak berkeberatan paman berhati-hati. Tetapi untuk sementara tidak lebih dari suatu sikap berhati-hati, karena kita tidak akan dapat menentukan kesalahan Empu Baladatu hanya karena prasangka saja.”

Lembu Ampal mengangguk dalam-dalam sambil menyahut, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah demikian. Yang hamba lakukan hanyalah sekedar sikap hati-hati berdasarkan perhitungan dan pertimbangan. Tetapi juga mungkin sekedar prasangka”

“Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Kau dapat memilih prajurit-prajurit yang kau anggap akan dapat melakukan tugasnya dengan baik.”

Dengan ijin Ranggawuni maka Lembu Ampal pun kemudian memilih sepuluh orang prajurit pilihan. Untuk beberapa hari mereka mendapat petunjuk-petunjuk khusus dari Lembu Ampal sendiri menghadapi tugasnya yang tidak dapat ditentukan waktunya.

“Kalian berada dalam tugas sandi” pesan Lembu Ampal, “karena itu kalian harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkunganmu. Semua tindakan harus kalian pertimbangkan masak-masak, agar kalian tidak melakukan kesalahan yang dapat merugikan tugas kalian, dan terlebih-lebih merugikan orang yang telah bersedia membantu kita semuanya.”

Para prajurit itu mendengarkan semua pesan dan petunjuk dengan seksama.

Setelah tiga hari mereka mendapat latihan khusus untuk menjadi seorang cantrik yang baik, maka mereka pun kemudian diserahkan kepada Empu Sanggadaru di padepokannya. Agar kedatangan mereka tidak menimbulkan kesan yang mencurigakan bagi orang-orang di sepanjang jalan menuju ke padepokan itu, maka kesepuluh orang itu tidak datang bersama-sama. Yang terdahulu adalah Lembu Ampal bersama tiga orang prajurit. Di hari berikutnya empat orang lagi, dan di hari ketiga adalah sisanya.

Empu Sanggadaru menerima mereka dengan senang hati meskipun ada juga percikan-percikan keragu-raguan. Tetapi Empu Sanggadaru menganggap bahwa Lembu Ampal bukannya orang yang berpura-pura di dalam tindakannya. Apalagi dalam tugas keprajuritannya.

Karena itulah maka Empu Sanggadaru pun kemudian berusaha untuk menghapus segala macam prasangka yang telah mengganggunya.

“Empu” berkata Lembu Ampal setelah prajurit-prajuritnya seluruhnya ada di padepokan itu, “aku sudah bermalam di padepokan ini sambil menunggu petugas-petugas sandi yang kini sudah lengkap. Karena itu, maka aku pun akan segera minta diri.”

“Demikian tergesa-gesa Senapati?” bertanya Empu Sanggadaru.

“Sudah cukup lama aku meninggalkan istana. Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sedang memerlukan kawan, karena orang-orang tua di istana sedang dalam perjalanan.” sahut Lembu Ampal, lalu, “Mudah-mudahan orang-orangku berguna di sini. Terlebih-lebih lagi tidak justru menimbulkan gangguan yang dapat merubah suasana padepokan yang tenang dan damai ini.”

“Tentu tidak” jawab Empu Sanggadaru, “nampaknya mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan disini.”

“Selebihnya terserah kepada Empu. Jika perlu Empu dapat memerintahkan salah seorang atau lebih untuk pergi ke Singasari menghubungi aku dalam segala keperluan.”

Empu Sanggadaru mengangguk. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang terjadi.”

Demikianlah setelah menitipkan kesepuluh orang-orangnya dan setelah memberikan pesan-pesan terakhir, maka Lembu Ampal pun segera meninggalkan padepokan itu.

Ketika ia sampai di kota Raja dan menghadap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka ia pun terkejut karena Mahendra telah menghadap pula.

“Kau” sapa Lembu Ampal. Mahendra tertawa.

Setelah menyampaikan beberapa hasil kepergiannya sebagai laporan kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka Lembu Ampal atas perkenan Ranggawuni berkesempatan mendengarkan ceritera Mahendra tentang perjalanan yang pernah ditempuhnya, dan sebaliknya Lembu Ampal pun berceritera tentang seseorang yang bernama Empu Baladatu dan usahanya untuk menguasai dua gerombolan yang saling bertentangan meskipun bersumber pada ilmu yang sama.

Mahendra mendengarkan ceritera itu dengan penuh minat. Baginya orang-orang berilmu hitam memang sangat menarik perhatiannya. Di perjalanannya, telah dijumpainya pula beberapa orang yang disebut berilmu hitam itu. Bahkan kedua anak-anaknya pernah mengalami benturan kekerasan.

“Kekuatan orang-orang berilmu hitam itu ternyata tersebar sampai ke tempat yang jauh” berkata Mahendra.

“Meskipun mereka mempunyai sumber yang sama, tetapi di dalam perkembangannya, ilmu hitam itu pun memiliki berbagai macam bentuk. Yang masih dekat sekali bentuknya adalah gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang. Meskipun demikian, dengan tata gerak Empu Baladatu, pada beberapa hal masih juga dapat dijumpai persamaan watak betapapun Empu Baladatu berusaha untuk menyembunyikannya.” sahut Lembu Ampal, kemudian, “pada saat aku menyaksikan tata gerak Empu Baladatu di hutan perburuan itu, aku sama sekali tidak memperhatikannya. Tetapi baru kemudian, setelah aku mendengar bagaimana ia berhasil menguasai kedua gerombolan itu, barulah aku berusaha mengingat apa saja yang pernah dilakukannya di hutan perburuan itu.”

Mahendra mengangguk-angguk. Katanya kemudian” Ternyata yang sudah dilakukan itu sangat berbahaya, “

Lembu Ampal mengangguk. Kemudian sambil membungkuk hormat ia menghadap kepada Ranggawuni sambil berkata

“Mudah-mudahan orang-orang yang hamba tempatkan di padepokan itu pada suatu saat dapat memberikan keterangan yang hamba perlukan.”

Ranggawuni mengangguk. Jawabnya, “Semua usaha pantas dijalankan. Sudah tentu dengan berhati-hati dan tidak tergesa-gesa karena semuanya masih harus dibuktikan.”

“Hamba tuanku” sahut Lembu Ampal, “hamba sudah memberikan pesan-pesan yang penting bagi mereka.”

“Mudah-mudahan mereka dapat mengerti dan tidak terpengaruh oleh perasaan mereka apabila pada suatu saat mereka harus menghadapi suatu keadaan yang Tiba-tiba dengan orang-orang berilmu hitam itu” berkata Mahisa Cempaka, “bukankah menurut perhitunganmu, Empu Baladatu atau orang-orangnya, akan kembali mengunjungi padepokan kakaknya itu?”

“Hamba tuanku” jawab Lembu Ampal, “hamba berharap, bahwa mereka tidak berbuat apa-apa selain menangkap perkembangan keadaan itu, kecuali jika jiwa mereka sendiri terancam.”

Mahendra pun mengangguk-angguk pula. Bahkan kemudian ia berkata, “Apakah tuanku tidak berkeberatan, jika hamba menempatkan kedua anak-anak hamba dipadepokan itu pula?”

Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Lembu Ampal, seolah-olah ia minta pertimbangannya.

Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika keduanya memang berkeinginan, hamba kira, tidak ada keberatannya tuanku.”

Ranggawuni pun ternyata tidak berkeberatan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah paman Mahendra. Aku tidak berkeberatan. Biarlah paman Lembu Ampal yang membawa kedua puteramu itu ke padepokan Empu Sanggadaru. Tetapi seperti yang lain, keduanya memerlukan petunjuk-petunjuk agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dipadepokan itu.”

“Terima kasih tuanku,” berkata Mahendra kemudian, “hamba ingin, agar anak-anak hamba dapat mengenal segi-segi kehidupan yang lain dari cara-cara hidup di rumahnya sendiri, di perjalanan bersama ayahnya atau keperluan-keperluan lain yang masih dalam lingkungan keluarga saja.”

Ranggawuni mengangguk-angguk pula. Katanya, “Serahkanlah kedua anak-anakmu kepada paman Lembu Ampal.”

Seperti yang dititahkan oleh Ranggawuni, maka di hari berikutnya Mahendra menyerahkan kedua anak-anaknya kepada Lembu Ampal. Seperti para prajurit, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun mengalami latihan-latihan dan petunjuk-petunjuk apa yang harus dilakukannya di padepokan itu, apalagi menghadapi orang-orang berilmu hitam yang memang mungkin sekali datang kepadepokannya setiap saat.

Kehadiran Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menambah padepokan Empu Sanggadaru menjadi bertambah segar. Keduanya adalah anak-anak muda yang mulai meningkat dewasa, yang memiliki gairah hidup yang cerah. Keduanya segera menyesuaikan diri dengan kerja yang dilakukan oleh anak-anak muda sebayanya di padepokan itu. Bahkan kelakarnya yang segar dapat menambah kegembiraan para cantrik yang sebaya umurnya.

Seperti yang dipesankan oleh Lembu Ampal, maka kedua anak Mahendra itu sama sekali tidak menyombongkan kelebihan ilmunya dari para cantrik. Bahkan keduanya pun dengan tekun mengikuti latihan-latihan yang diberikan oleh beberapa orang yang telah mendapat wewenang untuk melakukannya, meskipun pada umumnya sudah mengetahui, bahwa kedua anak muda itu memang sudah memiliki ilmu dari perguruan yang lain.

Begitu pula sepuluh orang prajurit dalam tugas sandi yang ditempatkan dipadepokan itu. Baik para prajurit maupun para cantrik berusaha untuk saling menyesuaikan diri sehingga lambat laun mereka dapat luluh seolah-olah mereka memang lahir dari satu perguruan.....

Sementara itu, selagi padepokan Empu Sanggadaru sedang mekar, karena ketekunan para cantriknya, maka gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang pun mengalami peningkatan ilmu pula. Empu Baladatu benar-benar telah mengirim beberapa orang yang mulai menusukkan cara-cara yang dianutnya untuk mengembangkan ilmu orang-orangnya yang baru.

Pada mulanya orang-orang gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang menjadi ragu-ragu. Akan tetapi lambat laun rasa-rasanya ilmu mereka memang meningkat lebih cepat.

“Bukan karena darah korban itu,” desis seorang tua yang merasa sangat kesulitan untuk menyesuaikan dirinya dengan cara-cara yang ditempuh oleh orang-orang yang dikirim ke padepokan itu oleh Empu Baladatu.

“Jadi?”

“Upacara itu memang mencengkam, sehingga kita semuanya menjadi lebih bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya. Kita seolah-olah telah memusatkan segala-galanya ke dalam pematangan ilmu itu, sehingga dengan demikian, kemajuan kita memang nampak lebih pesat.”

Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ragu-ragu ia berkata, “Agaknya kau benar juga. Pemusatan pikiran memang dapat mendorong kita untuk melakukan apa saja.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu, jangan terlampau terpengaruh oleh cara-cara baru yang mengerikan itu. Setiap bulan bulat, maka akan dikurbankan seseorang. He, dengarlah, setahun ada dua belas orang yang akan mati sebagai korban.”

Kawannya tergetar hatinya sehingga bulu kuduknya meremang.

Namun, kawannya itu menjadi sangat ketakutan, ketika di hari berikutnya, ketika fajar menyingsing, orang-orang dipadepokan itu menemukan orang tua yang kurang menyetujui cara-cara baru yang ditempuh itu mati terbujur di pembaringannya. Nampaknya ia mati membeku karena tidak ada bekas luka sama sekali di tubuhnya dan bekas-bekas yang lain yang dapat menunjukkan ciri-ciri pembunuhan.

“Kematian yang aneh” desis seseorang. Adalah kebetulan orang yang diajak berbincang tentang cara-cara baru dari ilmu hitam oleh orang yang mati itu mendengarnya.

“Mungkin ia telah salah ucap dan terdorong kata” diluar sadarnya orang itu menyambung.

“Apa maksudmu?”

“O” orang itu tergagap, “tidak. Aku tidak bermaksud mengatakan apa-apa.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Hampir berbisik ia bertanya, “Apakah kau mengetahui sesuatu hal yang ada hubunganya dengan kematian itu?”

Orang itu menggeleng, “Tidak. Tidak. Aku tidak tahu apa-apa.”

Kawan-kawannya justru menjadi curiga, sehingga mereka mendesaknya, “Tidak. Kau tentu mengetahui apakah yang telah terjadi dengan orang tua itu.”

Tetapi ia menggeleng lemah. Jawabnya, “Jangan mendesak. Aku sudah cukup menderita dengan kematiannya.”

“Kau gila” geram seorang kawannya, “kau sengaja membuat hati kami panas. Katakan.”

“Aku tidak berani.”

Kawannya yang lain Tiba-tiba saja telah mencengkam pundaknya sambil menggeram, “Jika kau tidak mau mengatakan, aku akan mencekikmu.”

“Jangan. Aku tidak mau mati dengan cara apapun juga. Aku tidak mau mati seperti orang tua itu, tetapi juga tidak mau mati karena dicekik.”

“Aku tidak peduli. Aku akan mencekikmu.”

“Jangan memaksa” desis orang itu, “jika kau mempergunakan kekerasan, aku pun akan mempertahankan diri.”

Keduanya Tiba-tiba saja sudah siap untuk berkelahi. Tetapi seorang yang lebih tua telah mencegahnya sambil berkata, “Jika kalian berkelahi, maka kalian berdua akan mati. Pemimpin kita yang baru atau orang yang ditugaskan di sini itu akan mengambil tindakan yang tidak tanggung-tanggung terhadap kita semuanya jika kita saling bertengkar.”

Yang lain memandang orang itu sejenak. Lalu salah seorang berkata, “Kita dapat menentukan sikap kita tanpa memperhatikan orang-orang baru itu.“

“Tidak mungkin” jawab yang lain, “mereka mempunyai kekuasaan di sini. Dan bagiku, kita sekarang memang sudah banyak mengalami kemajuan.“

“Bukan karena darah korban itu” desis seorang yang berdahi lebar, “tetapi karena pengaruh kesungguhan kita sendiri. Korban adalah sekedar cara untuk memaksa kita masing-masing memusatkan perhatian tanpa gangguan apapun juga. Dengan korban darah, kita merasa berada dalam suatu keadaan yang benar-benar penting dan berarti.”

“Cukup, cukup” teriak orang yang pernah diajak berbincang dengan orang tua yang terdapat mati dibiliknya.

“Kenapa?” Orang itu ragu-ragu.

“Kenapa?” bentak yang lain. Orang itu masih ragu-ragu.

“Baiklah” berkata yang lain lagi, “kami yakin bahwa kau mengetahui tentang sesuatu. Tetapi kau tidak mau mengatakannya.”

“Aku tidak berani. Tetapi barangkali kalian akan dapat menilai setiap kata yang akan kau ucapkan. Kematian itu jangan terulang lagi.”

Orang-orang yang mendengarnya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka meloncat maju sambil bertanya, “Jadi apakah karena orang tua itu terdorong kata sehingga ia mengalami nasib buruk?”

Orang itu tidak menjawab.

“Cepat, jawab” desak yang lain.

Orang itu tetap berdiam diri. Bahkan ia pun kemudian berdiri dan melangkah pergi sambil berkata, “Aku tidak ikut campur. Jika ada kutuk yang menimpa, janganlah menimpa diriku;, “

Orang-orang yang ditinggalkan itu pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian sambil mengangkat bahu seseorang bangkit berdiri dan melangkah pergi dan bergumam, “Aku tidak mengerti, apakah yang sedang kita hadapi sekarang.”

“Persetan” geram orang yang berdahi lebar, “jika kutuk itu ada, biarlah aku yang mengalaminya, karena memang akulah yang mengatakan bahwa cara yang ditempuh sekarang ini untuk mengembangkan ilmu memang berhasil, tetapi terlalu mahal.”

Tidak ada yang menyahut. Satu-satu mereka meninggalkan tempat itu dan kembali ke dalam bilik masing-masing.

Ketika malam turun, peristiwa yang baru terjadi itu pun telah membayang lagi pada orang yang berdahi lebar. Tetapi sekali lagi ia berkata, “Persetan. Aku tidak peduli.”

Ketika kemudian ia duduk seorang diri di serambi, maka orang yang mencegahnya berbicara tentang cara-cara baru untuk menuntut ilmu dan yang kebetulan juga berbicara dengan orang tua yang mati itu datang mendekat sambil berkata perlahan, “Aku mencemaskan nasibmu.”

“Kenapa?”

“Orang tua yang mati itu juga berbicara tentang cara-cara baru yang sedang kita lakukan sekarang. Ia mati tanpa diketahui sebabnya.”

“Aku tidak peduli.”

“Mudahkan tidak terjadi sesuatu atasmu.”

Orang berdahi lebar sama sekali tidak menghiraukannya.

Karena itulah maka pembicaraan mereka pun kemudian bergeser dari satu persoalan dan persoalan lain. Seolah-olah diluar sadarnya mereka telah mengunyah kacang yang digoreng sangan, yang dibawa oleh orang yang datang kemudian.

Namun dalam pada itu, terasa sesuatu terjadi pada orang berdahi lebar itu. Rasa-rasanya tubuhnya mulai gemetar dan mulutnya bagaikan membeku.

“Aku, aku, kenapa?” desisnya terbata-bata.

“Kenapa kau?” bertanya kawannya itu.

“Lidahku, tanganku, kakiku. Rasa-rasanya aku menjadi beku.”

Sejenak keduanya nampak gelisah. Orang berdahi lebar itu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Namun semakin lama semakin terasa kelainan pada tubuhnya yang kekar itu.

“Aku, aku” desisnya, “lidahnya menjadi semakin beku.

Tiba-tiba saja kawannya tertawa sambil berkata, “Jangan bergurau.”

“Aku, aku tidak bergurau. Tetapi………” suaranya semakin sendat.

“Nah” Tiba-tiba kawannya berdiri, “sudah aku peringatkan, kau jangan mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan usaha memperbaiki keadaan kita di sini sekarang.”

Orang, berdahi lebar itu memandang kawannya dengan tatapan mata putus asa.

“Kau sudah kena kutuk.”

Orang berdahi lebar itu tidak menyahut. Tetapi tubuhnya benar-benar terasa membeku.

“Aku menyesal bahwa telah terjadi malapetaka ini atasmu. Tetapi aku tidak dapat mengelak lagi. Meskipun kau kawanku, tetapi karena kau tidak sejalan dengan pimpinan kita, maka kau harus dimusnakan. Jika tidak, maka sikapmu akan membahayakan padepokan yang sudah mulai berkembang ini. Meskipun yang kau katakan itu benar, bahwa darah seseorang yang dibunuh untuk menjadi, korban itu sama sekali tidak berpengaruh, kecuali sebagai suatu usaha untuk membangunkan suasana kesungguhan, bukan sekedar bermain-main dan dapat dilakukan dengan sikap acuh tidak acuh karena seseorang sudah dikorbankan dihadapan mereka, namun kesadaran itu tidak boleh berkembang.”

“Jadi, kau, kau?” katanya sudah tidak jelas lagi.

“Ya. Aku. Yang membunuh orang tua itu juga aku dengan cara dan racun yang sama.”

Orang itu memancarkan sorot kemarahan yang tidak terhingga. Namun agaknya racun yang bekerja di tubuhnya sudah menjadi semakin tajam menusuk ke pusat jantung dan otak, sehingga orang itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

“Tidurlah dengan nyenyak. Besok orang-orang yang menemukan kau mati dengan selimut yang seolah-olah tidak tergeser di serambi ini akan menjadi gempar. Mereka mengetahui apa yang sudah kau lakukan, sehingga tidak seorang pun yang akan berani menyebarkan pendapat seperti yang kau katakan, dan yang dikatakan oleh orang tua yang mati itu pula.”

Tubuh orang berdahi lebar itu benar-benar sudah membeku. Dengan hati-hati kawannya menolong membaringkannya seperti saat ia tidur sambil berbisik, “Kau telah menelan racun karena kacang yang kau makan telah aku rendam ke dalam racun yang tajam. Aku masih mempunyai banyak sekali kacang yang demikian. Nah, selamat tidur. Kau ketahui sekarang bahwa aku adalah pengikut yang paling setia dari Empu Baladatu, dan dengan sadar sepenuhnya akan arti dan maknanya, akan menerima cara yang dipergunakannya. Membunuh di setiap bulan bulat untuk membangunkan suasana kesungguhan. Agaknya memang mahal sekali nilai ilmu yang akan kita miliki bersama. Sayang kau sudah tidak dapat melihat, bagaimana padepokan ini bersama dengan orang-orang yang sejalan, pada suatu saat merebut istana Singasari dari tangan kedua anak-anak ingusan itu.”

Orang berdahi lebar itu sudah tidak dapat menjawab, karena lidahnya benar-benar telah membeku. Demikian juga anggauta tubuhnya sehingga ia hanya dapat berbaring diam betapapun batinnya serasa dibakar oleh kemarahan.

Namun kemarahan itu pun semakin lama menjadi semakin pudar sejalan dengan kepudaran nalar dan perasaannya.

“Tidurlah dengan nyenyak. Jika kau masih bertanya di dalam hatimu kenapa aku tidak mati, maka jawabnya, aku dapat membedakan, yang manakah yang dapat aku makan, dan yang manakah yang tidak.”

Orang berdahi lebar itu sudah tidak mendengar lagi ketika orang yang membunuhnya itu tertawa pendek. Bahkan matanya pun kemudian menjadi kabur. Rasa-rasanya ingin ia meronta dan meneriakkan kemarahannya, tetapi seolah-olah ia sudah tidak kuasa lagi atas dirinya sendiri.

Sejenak kemudian, maka semuanya pun menjadi gelap dan tidak ada lagi yang dapat didengarnya. Kematian telah datang terlampau cepat.

Seperti yang diperhitungkan, maka tidak sampai matahari terbit di pagi harinya, padepokan itu telah menjadi gempar sekali lagi karena kematian yang aneh. Seseorang yang melihatnya di dini hari, mendekatinya dan menegurnya. Tetapi orang berdahi lebar itu sudah tidak mendengarnya.

“He, kenapa kau tidur disini? Udara sangat dingin. Apakah kau sedang menunggu lintang alihan.”

Pertanyaan itu tidak terjawab. Berulang kali, sehingga akhirnya tubuh itu pun diguncangnya. Tetapi tubuh itu telah membeku.

Dalam kegemparan itulah beberapa orang menjadi tegang dan saling berbisik, “Apakah kematiannya ini ada hubungan nya dengan kata-katanya kemarin?”

Tidak seorang pun yang dapat menegaskan. Tetapi orang yang membunuhnya itu dengan gemetar berbisik, “Aku sudah memperingatkannya. Kematian yang terdahulu karena ucapan-ucapan yang terdorong seperti itu.”

“Darimana kau tahu?”

“Aku, aku akulah yang mendengarnya. Tetapi aku menjadi takut sekali.”

Yang lain menarik nafas. Tetapi seseorang berdesis, “Jika kau berterus terang, peristiwa ini tidak akan terjadi.”

Orang yang membunuh dengan racun pada biji-biji kacang itu mengerutkan lehernya. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya sambil berdesis, “Tidak. Aku tidak berkata apa-apa. Aku tidak berkata apa-apa.”

Kawan-kawannya pun mulai dibayangi oleh perasaan takut pula sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Sudahlah. Marilah, kita sampaikan hal ini kepada yang berwenang mengusutnya.”

Beberapa orang di antara mereka pun kemudian memberitahukan kematian orang berdahi lebar itu kepada orang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu berada dipadepokan itu dan memimpin upacara menurut kepercayaannya.

“Ki Lurah” salah seorang dari mereka berdesis dengan suara gemetar, “kematian yang serupa telah terulang lagi.”

Orang yang mewakili Empu Baladatu itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada yang datar ia bertanya, “Apakah tidak ada tanda-tanda kematiannya seperti orang tua itu?”

“Ya Ki Lurah.”

Yang disebut Ki Lurah itu pun kemudian berdiri sambil berkata, “Aku akan melihatnya.”

Orang-orang yang mengerumuni mayat orang berdahi lebar itu pun menyibak. Terdengar mereka saling berdesis, “Kiai Dulang telah datang.”

Kiai Dulang mendekati perlahan-lahan. Dipandanginya mayat yang terbujur itu. Perlahan ia meraba tubuh yang telah membeku itu pada dahinya.

“Tepat seperti kematian yang telah menerkam orang tua itu. Ada kesamaan pada gejala-gejalanya. Tetapi aku tidak tahu apa sebabnya. Keduanya tidak nampak tanda-tanda pembunuhan, penganiayaan, maupun sejenis penyakit yang dapat membunuhnya dengan cepat.” Ia berhenti sejenak, lalu ia pun bertanya, “bukankah kemarin orang itu masih nampak sehat-sehat saja?”

“Ya. Kami masih berbicara lewat senja.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Kemudian desisnya, “Ada tanda aneh pada urat-uratnya. Seperti juga orang tua yang mati itu.”

“Tanda-tanda apakah itu Ki Lurah.”

“Urat-uratnya telah membeku terlebih dahulu dari pada kematiannya.”

“Tetapi ia mengerti, apakah sebabnya” Tiba-tiba orang yang berdiri di belakangnya menyahut.

“Jika kau mengerti, katakanlah.”

Orang yang telah membunuh orang berdahi lebar itu ternyata memiliki kemampuan untuk berpura-pura. Dengan suara gemetar ia berkata, “Tetapi, tetapi aku tidak berani mengatakan. Aku takut mengalami nasib serupa.”

“Katakanlah.”

“Tidak. Aku tidak berani. Ada sesuatu yang rasa-rasanya mencegah aku mengatakannya. Tetapi aku tidak tahu.”

Kiai Dulang mendekatinya. Kemudian dipegangnya kepala orang itu sambil berkata, “Katakanlah.”

“Aku takut. Aku takut.”

“Kau hanya mengatakan apa yang sudah terjadi. Kau tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Apakah kedua orang itu mati karena mengatakan apa yang sudah terjadi?”

Orang itu ragu-ragu. Lalu mengangguk kecil. “Ya. ia mengadakan apa yang sudah terjadi.”

“Tentu tidak. Kau bohong.”

“Aku berkata sebenarnya.”

“Jika kau berbohong, aku gantung kau di regol padepokan ini.”

“Tidak, aku tidak berbohong. Kedua orang itu memang mengatakan sesuatu yang telah terjadi. Tentang perguruan ini.”

Orang yang sebenarnya telah membunuh itu berpura-pura bingung sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika sesuatu terjadi, maka itu bukanya tanggung jawabku.”

“Aku akan mempertanggung jawabkan” sahut Kiai Dulang.

Orang itu termenung sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi sekali lagi aku katakan, semua kutuk jangan mengenai diriku. Jauhkan semua mara bahaya, karena aku sekedar melakukan bukan kehendakku sendiri.”

“Jadi. penyakit jenis yang manakah yang telah membunuhnya itu?”

Kiai Dulang menggeleng, “Aku tidak tahu. Tetapi yang terjadi benar-benar bukan sewajarnya. Ada sesuatu diluar daya nalar kita. Ada kekuatan diluar kekuatan lahiriah.”

“Kutuk barangkali?” seseorang bertanya dengan ragu-ragu.

Kiai Dulang memandang orang itu sejenak. Lalu, “Siapakah yang pernah mengutuknya? Atau mungkin ia sudah melakukan kesalahan?”

Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Dan Tiba-tiba saja tiga empat orang telah memandang orang yang sebenarnya telah membunuh orang berdahi lebar itu. Salah seorang berbisik, “Katakan. Katakanlah, “

“Kenapa aku? Banyak orang yang dapat menjadi saksi dari peristiwa itu.”

“Tetapi kau sudah menyaksikannya dua kali.”

Orang itu menggeleng. Namun sebelum yang lain memaksanya, Kiai Dulang telah bertanya, “Kenapa dengan orang itu.”

Salah seorang menyahut” Ia menyaksikan dua kali Ki Lurah.”

“Apakah yang dua kali?”

“Kematian itu.”

“Kematian yang mana?”

“Orang tua itu, dan orang berdahi lebar ini.” Kiai Dulang termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang berat ia bertanya, “Apakah benar kau menyaksikannya kedua kematian itu?”

“Tidak, tidak Ki Lurah. Aku sama sekali tidak menyaksikannya.”

“Cepat, katakan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diceriterakannya apa yang pernah didengarnya dari kedua orang yang telah terbunuh itu. bahwa mereka kurang mempercayai cara-cara yang sekarang dilakukan dipadepokan ini untuk meningkatkan ilmu.”

“He” Kiai Dulang terbelalak, “jadi kau tidak mempercayai upacara yang harus dilakukan dalam penerimaan ilmu ini.?”

“Bukan, bukan aku. Bukan aku yang tidak percaya. Tetapi kedua orang mati itu.”

Kiai Dulang maju perlahan-lahan. Kemudian digenggamnya rambut orang itu sambil mengguncang-guncangnya, “Jadi kau berani mengatakan hal itu di hadapanku?”

“Bukan aku. Aku sudah mengatakan, bahwa tanggung jawab ini ada pada Kiai. Ada pada Kiai Dulang. Tidak padaku.”

Kiai Dulang menarik nafas. Katanya, “Ya. Aku bertanggung jawab. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku percaya Kiai, aku percaya.”

Kiai Dulang itu pun kemudian berdiri menengadahkan kepalanya dan memandang berkeliling. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Terserahlah kepada kalian. Percaya atau tidak percaya. Aku tidak akan menghukum seseorang karena ia tidak percaya. Kepercayaan bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan. Kepercayaan harus tumbuh dari hati sendiri. Yang dapat dilakukan oleh orang lain adalah memaksakan kepercayaan menilik pengakuan lahirlah saja. Tetapi bukanya kepercayaan yang sebenarnya, yang tumbuh dari dalam hati.”

Orang-orang yang ada di sekitarnya terdiam.

“Kedua orang itu harus memetik buah dari tanamannya sendiri. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan memilih nasib serupa itu, atau kalian akan bersikap lain.”

Tidak ada jawaban, tetapi wajah-wajah yang tegang itu nampaknya mengucapkan pengakuan yang sama bahwa mereka tidak dapat memilih yang lain kecuali mempercayainya, karena mereka tidak mau mengalami nasib serupa dengan kedua orang yang telah mati dengan cara yang aneh. Seolah-olah mereka telah mati tanpa sebab.

Sejenak kemudian, maka Kiai Dulang pun meninggalkan tempat itu. Sekilas dipandanginya wajah orang yang telah melakukan perannya dengan baik sekali, sehingga seolah-olah apa yang terjadi itu bukannya sekedar sikap pura-pura.

Sepeninggal Kiai Dulang, maka orang-orang yang sedang dicengkam oleh kegelisahan itu pun bagaikan membeku. Mereka seakan-akan telah dicengkam oleh perasaan ngeri dan cemas.

Namun di dalam setiap hati kemudian terbersit, “Jika aku akan selamat, sedangkan ilmuku pun akan segera meningkat.”

Setelah mayat orang yang terbunuh itu diselenggarakan semestinya, maka tidak ada seorang pun lagi yang berani mempersoalkan upacara yang berlaku dalam lingkungan ilmu hitam itu. Setiap orang telah terikat pada suatu kepercayaan yang tidak dapat mereka ingkari lagi. Karena mereka berpendapat, bahwa ingkar dari kepercayaan itu, berarti kematian yang diliputi oleh rahasia yang mendebarkan.

Sementara itu, orang yang telah berhasil mempercayakan kawan-kawannya itu merasa bangga bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik dan berhasil. Itulah sebabnya maka ia memasuki sebuah bilik dengan dada tengadah ketika Kiai Dulang mengundangnya.

“Kau pantas mendapat anugerah dari Empu Baladatu” berkata Kiai Dulang.

“Ah, apa yang aku lakukan adalah suatu kuwajiban.”

“Ya. Dan kau sudah melakukan kuwajibanmu dengan baik sekali.”

“Mereka sekarang tidak lagi ragu-ragu. Mereka percaya sepenuhnya bahwa korban darah itu dapat mempengaruhi kecepatan penyadapan ilmu itu.“

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Lalu, “Seharusnya kita memang mempercayainya. Meskipun pembunuhan itu di lakukan oleh seseorang. dalam hal ini olehmu, tetapi sebenarnyalah kita harus mempercayainya bahwa upacara itu harus dilakukan. Darah yang memercik pada saat-saat upacara itu berlangsung berarti memercikkan kekuatan yang ada pada korban itu kepada setiap orang yang ikut serta dalam upacara itu.”

Orang yang telah melajukan pembunuhan itu mengangguk-angguk. Akhirnya ia pun berkata, “Aku memang mempercayainya.”

“Bagus. Jika demikian maka kau adalah orang yang paling dapat dipercaya dipadepokan ini. Kau memiliki kesempatan yang luas untuk memegang pimpinan dipadepokan ini jika aku tahu orang-orang yang mewakili Empu Baladatu sedang berhalangan.”

Orang itu tersenyum-senyum.

“Lain kali aku akan mengusulkan agar kau mendapat tanda jasa itu. Sekarang, kita akan merayakan kemenangan ini dengan cara kita.”

Orang itu tersenyum-senyum. Jarang sekali ia mendapat kesempatan untuk makan bersama Kiai Dulang. Bahkan selama hidupnya hanya akan didapatinya sekali itu saja.

Karena itulah maka orang itu telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sambil mengunyah makanan dan meneguk minuman, ia mendengarkan Kiai Dulang memujikan seolah-olah tidak ada habis-habisnya.

“Sekarang setiap orang dipadepokan ini akan menganut kepercayaan pada upacara itu tanpa ragu-ragu lagi” berkata Kiai Dulang, “dengan demikian semuanya akan berjalan lebih lancar dan rencana yang besar itu pun akan segera dapat diujudkan.”

Orang yang merasa dirinya berjasa itu pun mengangguk-angguk sambil tersenyum bangga.

“Sekarang” berkata Kiai Dulang, “aku ingin menunjukkan kepadamu suatu keajaiban yang barangkali tidak pernah kau duga sebelumnya. Jika kau sendiri masih juga ragu-ragu, maka kau akan segera yakin, bahwa yang kau lakukan bukannya sekedar menakut-nakuti dan memaksa orang lain percaya karena tipu muslihat. Tetapi sebenarnyalah yang kita lakukan mempunyai kemungkinan yang tidak terbatas oleh kemampuan nalar manusia. Dengan demikian maka kadang-kadang kita ragu-ragu, bahwa pada suatu saat kita akan sampai kepada suatu tingkat yang tidak dapat dipecahkan dengan akal.”

Orang itu termangu-mangu sejenak.

“Marilah” berkata Kiai Dulang sambil berdiri, “kita pergi ke Sanggar. Tidak ada orang lain yang akan mendapat kesempatan serupa. Kau adalah satu-satunya orang diluar perguruan Empu Baladatu yang boleh mengetahui rahasia itu.”

“Aku sekarang berada di dalam lingkungan perguruan Empu Baladatu.”

Kiai Dulang tertawa. Jawabnya, “Baik. Baik. Kau sekarang memang berada di dalam lingkungan perguruan Empu Baladatu.”

Demikianlah maka keduanya pun kemudian meninggalkan bilik itu.

“Jangan ada orang lain yang melihat kita” berkata Kiai Dulang, “karena itu, hal ini kita lakukan setelah gelap.”

Orang itu mengangguk-angguk. Padepokan itu memang sudah menjadi gelap, dan lampu-lampu minyak sudah mulai dipasang. Obor-obor yang besar pun telah dipancangkan di regol meskipun di setiap malam obor itu hanya akan menyala sampai saatnya orang-orang pergi tidur sebelum tengah malam.

Dengan hati-hati keduanya pergi ke ruang belakang yang untuk sementara telah dipergunakan sebagai sanggar. Di muka ruang itu, menghadap ke belakang, upacara yang mendebarkan itu dilakukan setiap bulan purnama. Sementara di saat-saat sebelumnya korban yang akan disajikan dalam upacara itu telah disimpan di dalam sanggar itu.

“Kau akan melihat sesuatu yang menarik di dalam sanggar itu.”

Orang itu tidak menjawab.

Sejenak kemudian, maka mereka pun lelah berada di depan ruang yang khusus itu. Tidak setiap orang boleh memasuki sanggar upacara itu selain Kiai Dulang dan satu dua orang yang dibawanya dari padepokan Empu Baladatu sebagai pengantar setiap upacara di saat bulan penuh.

“Kita akan memasuki ruangan itu” berkata Kiai Dulang, “kau harus membersihkan dirimu dan hatimu. Kau harus melihat apa yang tampak tidak saja dengan mata wadagmu tetapi dengan mata hatimu.”

Orang itu menjadi berdebar-debar. Bukan saja hatinya, tetapi tubuhnya pun serasa menjadi gemetar.

“Kau nampak pucat sekali” desis Kiai Dulang.

“Tidak Kiai. Tidak apa-apa.” jawabnya. Tetapi dalam pada itu tubuhya serasa menjadi semakin gemetar.

Kiai Dulang tersenyum. Katanya, “Aku pun pernah mengalami keadaan serupa. Ketika pertama kali aku memasuki sanggar agung bersama Empu Baladatu, maka aku pun menjadi gemetar. Rasa-rasanya aku tidak dapat mengangkat kakiku untuk melangkahi tlundak pintu.”

“Ya Kiai.”

“Cobalah menguasai diri. Tidak ada yang aneh jika kau benar-benar mempersiapkan dirimu. Jika kau melihat sesuatu yang tidak dapat kau urai dengan nalar, terima sajalah hal itu sebagai suatu keajaiban.”

Orang itu mengangguk. Tetapi tubuhnya terasa menjadi semakin lemah, bagaimanapun juga ia mencoba menguasai perasaannya, sehingga akhirnya ia tidak dapat menyembunyikan keadaannya lagi.

Terdengar suaranya yang gemetar, “Kiai. Aku menjadi sangat lemah dan seolah-olah aku tidak mempunyai kekuatan lagi untuk berdiri.”

“Duduklah. Kau benar-benar telah dipengaruhi oleh perasaanmu.”

Orang itu pun kemudian duduk di sudut di muka ruang yang dikeramatkan itu. Peluhnya mengalir semakin deras dan nafasnya seolah-olah menjadi semakin pepat.

“Aku tidak tahu, apakah yang terjadi atas diriku.”

“Tidak apa-apa. Jika kau berhasil menguasai perasanmu, maka semua itu akan hilang dengan sendirinya dan kau akan mendapat kesempatan melihat sesuatu yang belum pernah kau lihat sebelumnya.”

“Tubuhku menjadi gemetar. Seolah-olah tulang-tulangku telah terlepas pada sendi-sendinya.

“Cobalah menarik nafas. Dan cobalah menyadari apa yang terjadi. Kau terlampau bangga dan barangkali terlalu berpengharapan.”

Orang itu memandang Kiai Dulang dengan wajah yang pucat dan berkeringat. Namun ia mencoba juga untuk menarik nafas panjang sekali. Beberapa kali. Dicobanya untuk menguasai dirinya dengan kesadaran bahwa yang terjadi itu bukannya karena kelainan pada tubuhnya, tetapi semata-mata karena perasaannya. Tetapi ternyata bahwa ia tidak berhasil. Ia masih merasa dirinya lemah dan nafasnya menjadi sesak.

Bahkan kemudian seakan-akan ia tidak mampu lagi menahan tubuhnya untuk tetap duduk meskipun sambil bersandar dinding.

“Aku menjadi lemah sekali” desisnya.

Tiba-tiba saja sisa-sisa kesadarannya tersentak ketika ia melihat Kiai Dulang tertawa meskipun tidak cukup keras.

“Kiai tertawa” orang itu bertanya.

“Aku tertawa melihat wajahmu yang pucat, tubuhmu yang gemetar, dan ketakutan yang mencengkam.”

“Aku sungguh-sungguh merasa bahwa sesuatu telah terjadi pada diriku Kiai.”

“Tentu. Aku tidak membantah. Kau telah tersentuh oleh racun seperti yang pernah kau berikan kepada orang lain. Kepada kedua orang yang telah mati kau bunuh itu.”

“He” mata orang itu terbelalak. Tubuhnya masih dapat menyentak sejenak. Namun kemudian ia terbaring di lantai tanpa dapat bergerak lagi selain matanya yang berkeredip dan nafasnya yang tersengal-sengal.

“Tidurlah pahlawan” desis Kiai Dulang, “kau sudah berjasa kepada Empu Baladatu dan para pengikutnya. Juga kepada padepokan ini. Kau pantas mendapat tanda penghargaan yang paling tinggi dari Empu Baladatu, yaitu kematian lewat tanganku.”

“Kenapa, kenapa hal ini Kiai lakukan?” suaranya tersendat-sendat.

“Tugasmu sudah selesai. Kau sudah cukup meyakinkan orang-orang dipadepokan ini. Dua orang sudah cukup, dan bahkan tiga dengan dirimu sendiri.”

“Kenapa aku?”

“Kau menjadi sangat berbahaya bagi kami. Kau mengetahui rahasia kematian kedua orang itu. Karena itu, kau pun harus mati. Kematianmu merupakan jasamu yang terakhir, karena dengan demikian orang-orang dipadepokan ini akan menjadi semakin yakin dan percaya, bahwa kau dan kedua orang yang terdahulu mati karena kepercayaannya yang goyah. Kau sudah berani menyebut-nyebut sebab kematian kedua orang itu di hadapan banyak orang.”

“Tetapi bukankah Kiai sendiri yang menyuruhku” suaranya menjadi semakin lambat meskipun ia masih memaksa diri untuk tetap sadar.”

Kiai Dulang tertawa lagi. Perlahan-lahan. Tetapi nada suaranya bagaikan suara hantu dari dalam panasnya api.

“Semuanya sudah aku atur. Dan ternyata aku berhasil menyelesaikan tugasku dengan baik. Tetapi aku tidak takut mengalami nasib seperti nasibmu karena Empu Baladatu terlalu percaya kepadaku. Bukan saja sejak kemarin atau sejak setahun yang lalu. Tetapi sudah bertahun-tahun. Dan sekarang aku dapat membuktikan bahwa aku berhasil sekali lagi menjalankan tugasku.”

“Gila” tiba-tiba orang itu menggeram. Sisa kesadarannya masih dapat menangkap makna dari peristiwa itu.

Tetapi semuanya sudah terlambat. Tubuhnya sudah menjadi terlampau lemah, sehingga pandangan matanya pun semakin lama menjadi semakin pudar. Cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan itu pun rasa-rasanya telah berubah menjadi semakin hitam, semakin pekat, dan akhirnya semuanya hilang dari pandangan matanya sejalan dengan lenyapnya kesadarannya tentang diri dan adanya. Kematian itu tidak dapat dielakkannya lagi.

Kiai Dulang tertawa perlahan-lahan. Dibetulkannya letak tubuh yang membeku itu, seolah-olah sedang tidur lelap di muka pintu sanggar.

“Besok tentu ada orang yang menemukannya mati di sini.”

Kiai Dulang pun kemudian meninggalkan tempat itu dengan hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang menyaksikannya.

Seperti yang diperhitungkan, maka menjelang pagi hari, seseorang yang tanpa dengan sengaja lewat di tempat itu sebelah membersihkan halaman dan masuk ke ruang dalam, melihat sesosok tubuh yang terbaring. Senada ia pun menduga bahwa seseorang telah tertidur. Karena itu, maka ia pun kemudian mendekatinya.

“He, kenapa kau tidur disini” desisnya sambil mengguncang tubuh itu.

Namun ternyata bahwa tubuh itu telah membeku. Terasa dadanya bagaikan dihentakkan oleh ketakutan ketika ia sadar, bahwa tubuh yang terbaring itu tidak akan dapat mendengar suaranya lagi. Mati.

Sejenak ia justru bagaikan membeku pula seperti tubuh yang terbaring itu. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia pun segera bangkit dan berlari keluar ruangan itu sambil berteriak seperti orang yang kehilangan ingatan.

Sekali lagi padepokan itu menjadi gempar. Dan sekali setiap orang telah dicengkam oleh ketakutan.

Kiai Dulang yang kemudian datang pula di tempat itu dengan suara yang dalam dan wajah yang sedih berkata, “Aku akan menyelenggarakan upacara untuk mohon pengampunan agar peristiwa seperti ini tidak terulang sekali lagi.”

Padepokan yang semula dihuni oleh sebuah gerombolan yang bernama Serigala Putih dan Macan Kumbang itu, ternyata benar-benar telah dicengkam oleh suatu kepercayaan baru tentang ilmu yang disebut ilmu hitam. Tidak seorang pun lagi yang berani membicarakan tentang kepercayaan baru itu. Apalagi menyatakan ketidak percayaan.

“Tiga orang telah mati” berkata Kiai Dulang, “dan aku tidak boleh berdiam diri. Hanya dengan upacara permohonan ampun, maka hal yang serupa akan dapat dicegah.”

“Apakah yang harus kami lakukan dalam upacara itu Kiai?” bertanya salah seorang.

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kematian itu terjadi dengan cara yang sama, sehingga tidak dapat di sangsikan lagi bahwa sebab kematian itu pun tentu sama pula. Meskipun orang yang terakhir itu nampaknya hanya sekedar menceriterakan apa yang diketahuinya, namun ternyata bahwa hatinya sendiri dihinggapi oleh keragu-raguan, sehingga nyawanya pun telah diambilnya pula.”

“Siapakah yang telah mengambil nyawa itu Kiai?” bertanya seseorang.

Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Kau meragukannya?”

“Tidak. Tentu tidak Kiai” dengan serta merta orang itu menyahut, “aku sama sekali tidak meragukannya.”

Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, “Kita harus mengadakan korban khusus.”

“Korban khusus?” hampir berbareng beberapa orang telah bertanya.
“Ya. Kita harus menemukan korban yang mempunyai nilai sama dengan kemarahan kekuatan yang tersimpan, dan yang perlahan-lahan mengalir ke dalam diri kita.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi wajah mereka menjadi tegang dan bahkan cemas.

“Kita harus menemukannya. Jika tidak, maka kemarahan ini akan berlarut-larut dan berkepanjangan.” ia berhenti sejenak, lalu, “mungkin setiap saat kita akan kehilangan seorang kawan kita meskipun tidak seorang pun di antara kita yang menyatakan pendapat kita tentang kekuatan yang tidak kita lihat dalam ujudnya dengan indera wadag kita. Nampaknya kemarahan itu sudah terlalu parah.”

“Jadi apakah yang harus kita lakukan?”

“Menemukan korban itu.”

Beberapa orang menjadi ketakutan. Jika Kiai Dulang mengambil korban di antara mereka, maka salah seorang dari mereka akan diperas darahnya untuk upacara yang mendebarkan jantung itu.

Namun mereka tidak berani menyatakan sesuatu, karena mereka tidak mau mengalami nasib yang sangat buruk itu.

“Nah” bertanya Kiai Dulang kemudian, “apakah kata kalian jika kalian mendapat tugas untuk menemukan korban yang paling baik untuk upacara permohonan ampun itu.”

Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang seharusnya mereka lakukan.

Dalam pada itu, Kiai Dulang pun melanjutkannya, “Kalian tidak dapat memilih selain melakukan tugas itu. Jika kalian tidak dapat menemukannya, maka nasib kita disini akan menjadi semakin buruk. Tentu tidak bagiku, tetapi bagi kalian. Aku dapat begitu saja pergi meninggalkan padepokan ini kembali ke padepokan Empu Baladatu dan melaporkan apa yang telah terjadi disini. Tetapi kalian yang aku tinggalkan, seorang demi seorang akan diterkam oleh kemurkaan itu. Kalian tidak akan dapat mengungsi kemanapun juga, karena maut itu akan dapat menikam kalian dimanapun juga.”

Tidak seorang pun yang menyatakan pendapatnya. Mereka bagaikan patung yang berdiri tegak mendengarkan keterangan Kiai Dulang. Namun dalam pada itu, jantung mereka serasa berdentangan saat mereka mendengarkan setiap patah kata yang diucapkannya dengan nada yang dalam.

“Aku ingin jawaban kalian” berkata Kiai Dulang, “jika kalian sanggup, katakanlah. Jika tidak, katakanlah pula.”

Masih belum ada jawaban.

“Ucapkanlah” desak Kiai Dulang, “jika kalian tidak menjawab, maka tidak ada yang dapat aku lakukan, karena pernyataan hati kalianlah yang menjadi dasar usahaku kemudian.”

Keragu-raguan masih tetap mencengkam hati setiap orang, sehingga akhirnya Kiai Dulang berteriak, “Jawablah. Apakah kalian bersedia atau tidak? Aku tidak akan bertanya lagi. Pertanyaanku ini adalah pertanyaanku yang terakhir. Jawablah. Bersedia atau tidak.”

Pertanyaan itu ternyata telah menghentakkan setiap orang dari keragu-raguannya. Betapapun juga mereka harus menjawab. Dan mereka tidak mempunyai jawaban lain kecuali bersama-sama menyatakan, “Kami bersedia.”

Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagus. Aku percaya bahwa kalian memang berusaha untuk melakukan sesuatu yang kalian anggap berguna bagi padepokan kalian ini.”

Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.

“Nah, jika demikian kalian harus mencari orang itu. Orang yang dapat dianggap seimbang dengan kemurkaan dari kekuasaan ilmu hitam yang paling tinggi.”

Wajah-wajah yang mendengarnya itu pun menjadi tegang.

“Dengarlah. Aku akan menunjukkan beberapa nama yang aku anggap memenuhi syarat untuk kepentingan itu.”

Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Mereka sudah membayangkan bahwa nama-nama itu tentu nama-nama orang yang memiliki suatu kelebihan.

Tiba-tiba saja Kiai Dulang tertawa sehingga orang-orang yang mendengarnya menjadi saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati.

“Dengarlah” berkata Kiai Dulang, “mungkin nama-nama itu akan membuat kalian pingsan. Tetapi kalian memang tidak harus bertindak apa-apa. Kalian hanya berkewajiban untuk mengetahui dimanakah mereka berada, dan keadaan mereka sehari-hari.”

Orang-orang yang mendengarnya menjadi semakin heran. Dan Kiai Dulang melanjutkannya, “Nah, apakah kalian dapat mengerti? Jika kalian telah mendapatkan orang yang harus kalian cari, maka kalian tinggal melaporkannya kepadaku. Itulah tugas kalian. Hanya melaporkan kepadaku.”

Orang-orang yang mendengarnya mulai dapat membayangkan tugas yang dihadapinya. Tetapi mereka belum mengetahui nama yang harus mereka cari.

“Dengarlah baik-baik” berkata Kiai Dulang kemudian, “kalian harus dapat menunjukkan kepadaku tempat, keadaan dan kemungkinan dari salah seorang yang akan aku sebut namanya. Jika kita gagal mendapatkan salah seorang dari mereka untuk korban penebusan atas kesalahan-lahan kita, maka kematian-kematian itu akan berlangsung terus.”

Orang-orang yang mendengarkannya menjadi semakin berdebar-debar.

“Dengarlah. Nama yang pertama dan kedua adalah nama yang tidak mungkin dapat kita pergunakan, justru karena kebesarannya. Yaitu Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”

Ternyata kedua nama itu bagaikan mengguncang jantung setiap orang yang mendengarnya, karena mereka sadar, bahwa kedua nama itu adalah nama orang-orang yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas Tanah Singasari.

“Jangan bingung. Aku sadari, bahwa kedua nama itu tidak akan mungkin dapat kita sentuh karena mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang tiada terjangkau oleh kemampuan kita.” berkata Kiai Dulang selanjutnya, “karena itu dengarlah nama-nama berikutnya.

Rasa-rasanya setiap hati menjadi semakin tegang.

“Nama yang kemudian ini pun hampir tidak mungkin kita sebut-sebut. Tetapi baiklah kau dengar sebagai tataran yang berikutnya. Karena apabila pada suatu saat, entah karena sesuatu sebab, nama-nama itu dapat kita korbankan, maka sudah tentu ilmu yang kalian miliki akan meningkat dengan suatu loncatan yang jauh. Kalian akan menjadi orang yang tidak ada duanya, karena kemampuan kalian akan setingkat dengan kemampuan para korban itu ditambah dengan kemampuan yang telah kalian miliki sebelumnya.”

Orang-orang yang mendengarnya menjadi heran. Ada ketidak wajaran pada keterangan itu. Tetapi ketika mereka menyadari bahwa ketidak percayaan akan dapat mengantar mereka kepada kematian yang aneh, maka setiap orang pun dengan serta merta segera mempercayainya.

“Nama-nama itu adalah” berkata Kiai Dulang selanjutnya, “Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra.”

Sekali lagi dada setiap orang itu terguncang. Mereka pernah mendengar nama-nama itu. Dan mereka pun mengetahui bahwa orang-orang itu adalah orang-orang besar yang tidak mudah di sentuh karena kemampuan mereka yang hampir tidak ada imbangannya.

Tetapi Kiai Dulang berkata selanjutnya, “Namun demikian tugas kalian tetap seperti yang aku katakan. Jika kalian mengetahui sesuatu tentang mereka, kalian wajib memberitahukannya kepadaku. Meskipun ketiga nama itu adalah nama-nama yang seakan-akan tidak dapat disentuh dengan ilmu yang manapun juga, namun Empu Baladatu pun memiliki segalanya untuk mencapai kemungkinan yang hampir tidak terjangkau itu.”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk.

“Nama-nama yang lain yang mulai dapat disentuh oleh kemungkinan kemampuan kita bersama-sama adalah, Lembu Ampal dan Empu Sanggadaru.“

“Empu Sanggadaru” desis beberapa orang hampir bersamaan.

“Ya. Empu Sanggadaru. Kalian tentu heran, bahwa aku berani menyebut namanya, karena ia adalah saudara Empu Baladatu sendiri.”

Yang mendengarkannya mengangguk-angguk.

“Tetapi dengarlah. Meskipun ia adalah saudara Empu Baladatu, tetapi mereka berselisih jalan. Empu Sanggadaru adalah seorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Tetapi ia tertidur dalam keadaannya sekarang tanpa cita-cita dan kemungkinan yang lebih baik di masa depan. Bahkan Empu Sanggadaru yang telah membunuh pemimpin dari gerombolan Serigala Putih itu tentu akan merupakan penghalang yang paling besar dari usaha Empu Baladatu untuk mencapai puncak tertinggi dari kekuasaan yang ada di Singasari. Dan usaha ini kebetulan sekali sejalan dengan usaha kita untuk mencari pengampunan atas segala kesalahan yang telah kita lakukan. Adalah tebusan yang sangat murah apabila kita hanya cukup menunjukkan nama-nama itu dengan sedikit gambaran tentang kehidupannya, sedang yang akan bertindak adalah Empu Baladatu sendiri dengan beberapa orang pengawalnya.....

“Akan tetapi, bukankah Empu Baladatu mengetahui segala sesuatunya tentang Empu Sanggadaru?” Tiba-tiba saja seorang bertanya.

Kiai Dulang tertawa. Dengan nada datar ia berkata, “Sudah tentu Empu Baladatu tahu segala-galanya tentang Empu Sanggadaru. Akan tetapi Empu Baladatu tidak mengetahui perkembangan terakhir dari keadaan kakaknya itu. Oleh karena itulah maka kalian wajib memberitahukan apa yang kau ketahui tentang dirinya.”

Orang-orang yang mendengarnya itu pun mengangguk-angguk.

“Selanjutnya, orang-orang lain yang tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendapatkannya, tetapi sudah cukup nilainya untuk mengadakan korban pengampunan itu adalah orang-orang yang namanya justru sudah dikenal oleh orang-orang dari lingkungan ilmu hitam. Sebut sajalah nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang dengan sombong menyebut dirinya pembunuh orang-orang berilmu hitam. Jika kita dapat menangkap kedua-duanya, maka nilainya tentu sudah sama dengan apabila kita mengorbankan orang-orang terpenting yang aku sebut. Mahisa Agni misalnya.”

Orang-orang yang mendengarnya menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar sepenuhnya, meskipun mereka tidak ditugaskan untuk menangkap orang-orang yang disebut namanya, karena Kiai Dulang dan Empu Baladatu menyadari, bahwa jika tugas itu dibebankan kepada mereka, justru hanya akan menimbulkan korban yang tidak berarti, namun yang harus mereka lakukan itu sudah cukup mendebarkan jantung.

Tetapi Kiai Dulang berkata, “Mungkin ada keragu-raguan di antara kalian, apakah kalian dapat melakukan tugas itu dengan baik. Namun tidak ada pilihan lain. Korban pengampunan itu harus ada. Jika tidak, maka kitalah yang akan menjadi korban. Seorang demi seorang. Sedangkan tugas yang diberikan kepada kalian tidaklah seimbang beratnya dengan kesalahan yang pernah kalian lakukan sehingga menimbulkan kemurkaan itu. Yang kemudian ternyata justru mendapat tugas yang paling berat untuk membebaskan kalian nanti adalah Empu Baladatu sendiri dan orang-orang yang ditunjuknya.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Mereka melihat imbangan tugas yang harus mereka lakukan.

“Kita hanya mencari keterangan dan segera melaporkan setiap perkembangan keadaan yang kita lihat” desis salah seorang dari mereka.

Kawannya mengangguk. Jawabnya, “Empu Baladatu ternyata tidak memberikan perintah sewenang-wenang. Ia sudah memperhitungkan kemampuan kita, dan ia sendiri tidak segan melakukan tugas yang berat itu demi kepentingan kita.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyebut perasaan apakah yang sebenarnya bergejolak di dalam hatinya. Apakah ia berbangga atau justru kecewa dan menyesali tingkah laku Empu Baladatu, ia sama sekali tidak berani menyebutnya, karena menurut kepercayaannya, jika ada sedikit terpercik sangkalan tentang kesetiaan dan kepercayaannya tentang Empu Baladatu dan kekuasaan yang ada di belakangnya, maka ia akan mengalami nasib yang buruk sekali.

Demikianlah, maka setelah Kiai Dulang memberikan keterangan itu dihadapan orang-orangnya, maka mulailah kedua kelompok yang mendapat pengaruh dengan cara yang sama itu mulai menyebar orang-orangnya. Kedua kelompok yang semula bermusuhan yang dipimpin yang sekelompok oleh Kiai Dulang sedang yang lain oleh Kiai Ungkih telah melaksanakan semua perintah Empu Baladatu sebaik-baiknya. Mereka harus mencari keterangan tentang beberapa orang yang dianggap cukup bernilai untuk dikorbankan sebagai tebusan kemarahan kekuasaan yang ada di belakang kekuatan ilmu hitam itu.

Tetapi yang sebenarnya dicari oleh Empu Baladatu adalah keterangan sebanyak-banyaknya tentang Linggadadi dan Mahisa Bungalan. Meskipun ada beberapa bagian yang sudah diketahuinya, namun ia masih memerlukan penjelasan lebih jauh dari keduanya.

Sejak saat itu, maka kedua kelompok itu pun telah berpencar. Masing-masing menyebar ke segala penjuru untuk mendapatkan keterangan yang mereka perlukan tentang beberapa nama yang pernah disebut oleh pemimpin mereka yang mewakili Empu Baladatu.

“Tetapi tugas kita memang tidak terlalu berat” desis dua orang yang mendapat tugas bersama.

“Tetapi apakah yang dapat kita lakukan berdua? Berjalan siang dan malam, mendengarkan setiap pembicaraan dan menyadap kemungkinan untuk dapat mengetahui serba sedikit tentang orang-orang yang tidak kita kenal?”

“Mungkin begitu. Tetapi kita tidak perlu cemas. Kita dapat hidup dengan pengembaraan yang lajim dilakukan orang. Kita membawa tempurung untuk mendapatkan belas kasihan orang di sepanjang jalan. Atau barangkali………” ia terdiam karena kawannya segera memotong, “Kita mendapat pesan, bahwa selama perjalanan kita, kita tidak boleh melakukan kejahatan. Setiap kejahatan akan dapat menimbulkan kecurigaan dan barangkali tindakan yang dapat merugikan kita dalam keseluruhan yang tersebar itu.”

Kawannya menarik nafas. Lalu katanya, “Apakah kita akan dapat bertahan untuk waktu yang cukup lama dengan minta-minta itu?”

“Memang tidak. Tetapi itu tergantung pada akal kita. Kita dapat mencari bekal dengan bekerja satu dua pekan kepada seseorang untuk perjalanan sepekan dua pekan pula. Demikian kita akan berhenti setiap kali dan melanjutkan pula perjalanan kita.”

“O” desis yang lain, “berapa bulan kita akan dapat menyelesaikan tugas ini?”

Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun tertawa sambil berkata, “Apakah kita tergantung kepada waktu? Jika kita tidak berhasil menemukan orang-orang yang kita cari, atau setidak-tidaknya memberikan keterangan tentang mereka, maka orang lain akan berhasil. Setiap tiga bulan, menurut perintah itu, kita harus berkumpul, berhasil atau tidak berhasil. Jika ternyata seseorang telah memenuhi tugasnya dan dapat memberikan banyak keterangan, maka tugas kita akan selesai.”

“Tetapi siapakah yang akan memberikan kerja kepada kita barang satu dua pekan? Bahkan yang akan kita temukan di sepanjang perjalanan adalah kecurigaan.”

Kawannya mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah kita pulang ke rumah kita masing-masing untuk mengambil bekal apa saja yang ada bagi perjalanan kita. Kita tidak memerlukan banyak bekal, karena kita akan menjadi pengemis di sepanjang jalan.”

“Pengemis yang muda dan bertubuh sehat kekar.”

Keduanya tertawa, betapapun kecutnya. Namun mereka tidak dapat ingkar akan tugas itu, meskipun bagi mereka agaknya lebih baik merampok daripada mengemis. Tetapi pemimpinnya yang baru, yang mewakili Empu Baladatu berpesan, bahwa mereka tidak boleh menumbuhkan keadaan yang dapat mempersempit usaha mereka. Bahkan pemimpin-pemimpin mereka itu pun berpesan agar mereka menghindarkan diri dari kemungkinan mempergunakan kekerasan, kecuali semata-mata karena terpaksa untuk menyelamatkan nyawanya.

Demikianlah maka orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang itu pun segera memencar. Mereka mendapat tanda-tanda dan kata-kata sandi yang diketahui oleh kedua gerombolan itu, sehingga apabila dua orang dari gerombolan yang berbeda bertemu, mereka tidak akan terlibat dalam pertengkaran.

Para pemimpin dari gerombolan-gerombolan itu sama sekali tidak memberikan tugas tertentu kepada orang-orangnya yang tersebar. Mereka dapat mencari keterangan tentang siapa saja. Tetapi hampir semua orang diantara mereka, bahwa yang paling menarik adalah mencari orang-orang yang bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi, karena keduanya disebut sebagai orang-orang yang memusuhi ilmu hitam dan bahkan disebut sebagai pembunuh orang-orang berilmu hitam.

Meskipun mereka tidak diberi wewenang untuk langsung melakukan suatu tindakan karena mereka tidak akan mampu mengatasi kemampuan orang-orang itu, namun satu dua di antara mereka ada yang langsung ingin melihat dan mendengar beberapa keterangan tentang mereka, karena tidak semua orang langsung mengakui bahwa orang-orang yang disebut pembunuh orang-orang berilmu hitam itu benar-benar memiliki kemampuan yang tidak ada taranya.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Linggadadi pun tidak sekedar berdiam diri. Meskipun ia tidak mengetahui dengan pasti, namun ia sudah menduga bahwa gerombolan orang-orang berilmu hitam itu tentu mencari keterangan tentang dirinya, tentang orang yang disebut pembunuh orang-orang berilmu hitam seperti juga Mahisa Bungalan.

“Diluar segala kemungkinan tentang diriku” berkata Linggadadi kepada kakaknya, Linggapati, “kakang Linggapati harus menyiapkan kekuatan yang cukup. Tidak mustahil bahwa pada suatu saat orang-orang berilmu hitam itu akan datang dan apabila mereka merasa kuat, mereka akan melakukan kekerasan terhadap kita. Apakah kita akan dapat mengelakkannya, sebenarnya tergantung kepada kita sendiri.”

Linggapati tersenyum. Katanya, “Kita sudah dapat mengetahui kekuatan mereka. Gerombolan Serigala Putih dan gerombolan Macan Kumbang itu bersama-sama tidak akan mampu menggetarkan kekuatan kita disini meskipun kekuatan kita pada dasarnya tetap tersembunyi.”

“Kedua kekuatan itu memang bukan apa-apa kakang. Tetapi kita harus mempertimbangkan kekuatan orang yang di sebut Empu Baladatu, yang kemudian menguasai kedua gerombolan itu.”

Linggapati masih tetap tersenyum.

Namun dalam pada itu, dua orang dari gerombolan orang berilmu hitam sudah berada dilingkungan daerah pengaruh Linggapati. Tetapi kedua orang itu bukannya orang dari gerombolan Serigala Putih atau gerombolan Macan Kumbang. Kedua orang itu adalah dua orang yang dikirim langsung oleh Empu Baladatu. Agaknya mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.

“Ternyata bahwa Linggadadi memiliki kekuatan yang terpisah dari Mahisa Bungalan” desis salah seorang dari keduanya.

Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi nampaknya akan lebih mudah untuk menguasai Mahisa Bungalan lebih dahulu sebelum Linggadadi, karena nampaknya Linggadadi berada dalam satu lingkungan kekuatan yang tidak kita ketahui dengan pasti.”

“Pada suatu saat kita akan mendapatkannya” desis salah seorang dari mereka.

“Tetapi itu bukan tugas yang mudah” jawab yang lain, “meskipun demikian, kita tidak boleh berputus asa. Kita harus melakukan dengan teliti. Dalam keadaan tertentu kita mendapat wewenang untuk menghubungi Kiai Dulang dan Kiai Ungkih. Mereka mempunyai kekuatan yang meskipun barangkali masih harus diperkuat.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi kedua orang itu pun mendapat wewenang dari Empu Baladatu untuk mengetahui sesuatu tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang disebut pembunuh orang berilmu hitam. Pada suatu saat, orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang pun akan berkeliaran pula.”

“Bukankah mereka sudah mendapat penjelasan tentang isyarat sandi di antara mereka?”

“Seharusnya Kiai Dalang dan Kiai Ungkih membekali mereka dengan isyarat itu. Jika ada orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang belum mengetahui isyarat yang sudah ditentukan, maka itu adalah kesalahan Kiai Dulang dan Kiai Ungkih.”

Keduanya mengangguk-angguk.

“Kita tidak usah menunggu mereka. Kita akan segera berada di sekitar Kota Raja.”

“Mahisa Bungalan adalah anak Mahendra.”

“Tetapi ia sering berada di Kota Raja.”

Kedua orang itu pun kemudian memutuskan untuk berada di Kota Raja. Dengan cara yang paling samar, mereka selalu bertanya tentang Mahisa Bungalan kepada orang-orang yang dijumpainya di warung-warung atau di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang. Demikian samarnya, sehingga tidak seorang pun yang mencurigainya.

Namun keterangan yang mereka dengar ternyata telah mengecewakan mereka.

“Mahisa Bungalan sudah agak lama tidak kelihatan di Kota Raja” berkata salah seorang prajurit yang kebetulan bertemu dan bersama-sama berada di dalam satu tempat pemberhentian dengan kedua orang petugas sandi Empu Baladatu.

“Apakah ia sedang bertugas?”

“Resminya Mahisa Bungalan bukanlah sedang bertugas, karena ia sekedar ingin mengadakan perjalanan keliling dengan Senapati Agung Singasari, Mahisa Agni.”

Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun mereka pun kemudian mengangguk-angguk.

Setelah keduanya berpisah dengan prajurit itu, maka salah seorang pun berkata, “Mahisa Bungalan sedang dalam perjalanan perburuan.”

“Tetapi ia tidak akan menemukan orang-orang berilmu hitam di sarangnya. Empu Baladatu pun tidak. Bahkan ia tidak akan mendapat jejaknya sekalipun.”

Yang lain menarik nafas. Namun kesimpulan mereka adalah, bahwa mereka harus meninggalkan Kota Raja dan mencari keterangan tentang Linggadadi.

“Salah seorang dari mereka akan kita selesaikan lebih dahulu. Jika kali ini kita tidak dapat menjumpai Mahisa Bungalan, maka kita harus mempergunakan waktu ini sebaik-baiknya. Kita akan mencari keterangan tentang Linggadadi.”

Setelah beberapa hari keduanya berada di Kota Raja dan tidak berhasil mendapat keterangan tentang Mahisa Bungalan, maka mereka pun segera meninggalkan Kota Raja itu. Bahkan salah seorang dari mereka masih sempat berkata, “Mudah-mudahan perjalanan Mahisa Bungalan pada suatu saat bertemu dengan orang-orang kita yang langsung dapat menyelesaikannya.”

Tetapi yang lain menggeleng. Katanya, “Tidak mungkin. Kecuali jika segelar sepapan.”

Namun dalam pada itu, selagi keduanya dalam perjalanan mencari keterangan tentang Linggadadi, Tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh peristiwa yang sama sekali tidak diharapkan.

Dalam perjalanan di sebuah padukuhan, kedua orang itu dikejutkan oleh sikap yang curiga. Bahkan beberapa orang laki-laki telah mengerumuninya dengan senjata di tangan.

“Kau berani memasuki padukuhan di siang hari he?” teriak seorang yang bertubuh kekar. “Apakah kau memang merasa terlalu kuat untuk melawan kami? Kalian memang dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus, tetapi sekarang kami tidak hanya berjumlah sepuluh.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini? Kami baru sekali ini menginjakkan kaki di padukuhan ini.”

“Kalian tentu akan ingkar. Tetapi perampokan itu telah terjadi tidak hanya sekali. Memang sekali di padukuhan ini, tetapi beberapa kali di padukuhan tetangga. Bahkan ketika sekelompok peronda menjumpai kalian, maka kalian telah membunuh lebih dari lima orang di antara mereka.“

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Kalian salah paham. Tetapi hal itu dapat kami mengerti. Cobalah, beri kami kesempatan. Jika perampokan itu terjadi lagi di padukuhan ini, dan aku tidak dapat menangkap mereka, maka biarlah aku digantung di regol padukuhan ini.”

“Jangan mencari kesempatan untuk meloloskan diri.”

“Percayalah. Kalian harus percaya akan niat baik kami, karena kami sebenarnya adalah petugas sandi dari Singasari. Seandainya kalian tidak percaya, maka kalian pun tidak akan mampu berbuat apa-apa atas kami, karena kami mampu tidak hanya membunuh sepuluh orang sekaligus. Sebagai prajurit pilihan yang dipercaya untuk melakukan tugas sandi, kami dapat melawan dan membunuh seluruh penghuni padukuhan ini dengan cara kami, meskipun kami hanya berdua. Keterangan ini hanya aku berikan, justru karena telah terjadi salah paham, karena sebenarnyalah tugas kami bersifat sandi.”

Orang-orang itu termangu-mangu. Nampak keragu-raguan membayang di setiap wajah. Bahkan beberapa orang saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati tentang kedua orang yang mengaku petugas sandi dari Singasari itu.

Selagi orang-orang itu kebingunan, maka salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kata-kata kalian dapat kami percaya?”

“Kami akan membuktikan. Kami akan tinggal di sekitar daerah ini untuk beberapa hari. Jika terjadi perampokan itu lagi, kami akan mencoba menyelesaikan menurut cara kami. Agar kalian tidak mencurigai kami, maka biarlah kami tinggal di tempat yang langsung dapat kalian awasi setiap saat.”

Beberapa orang mengangguk-angguk. Lalu salah seorang berkata, “Baiklah. Tinggallah di banjar.”

“Terima kasih. Tetapi aku berharap bahwa di setiap padukuhan disediakan alat-alat yang dapat memberikan isyarat. Kentongan misalnva atau panah sendaren. Sehingga jika terjadi sesuatu, kami akan dapat segera datang.”

“Ya. Kami akan menghubungi setiap padukuhan di sekitar tempat ini.”

“Tetapi ingat, jangan seorang pun dari padukuhan lain yang mendengar, bahwa aku disini. Jika kehadiranku disini didengar oleh orang lain, dan kemudian merambat sampai ke telinga para penjahat itu, maka mereka tentu tidak akan melakukannya lagi, sehingga aku tidak akan berhasil menangkapnya.”

Demikianlah keduanya kemudian ditempatkan di banjar padukuhan. Mereka mendapat pelayanan yang baik dari orang-orang di padukuhan itu. Mereka mendapat minum dan makan secukupnya, karena setiap orang menganggap bahwa keduanya adalah prajurit-prajurit sandi dari Singasari.

“Mudah-mudahan orang-orang yang melakukan kejahatan itu bukan orang-orang dari gerombolan yang sudah dikuasai oleh Empu Baladatu itu” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Bagaimana kalau demikian?”

“Justru kita menjadi semakin sulit. Tetapi seperti pesan Empu Baladatu, untuk sementara kita jangan mengundang persoalan yang akan dapat menghadapkan kita langsung kepada prajurit-prajurit Singasari. Karena itu, jika mereka tidak mau menurut perintah kami, maka menjadi kewajiban kami melaksanakan perintah Empu Baladatu.”

Yang lain mengangguk-angguk. Empu Baladatu memang sedang membatasi diri, seperti juga yang ternyata dilakukan oleh Linggapati. Mereka merasa diri masing-masing belum siap menghadapi tugas yang besar. Yang bukan saja memerlukan kekuatan, tetapi juga perhitungan dan kewibawaan pada lingkungan tertentu. Yang dapat mereka lakukan, barulah memberikan pengaruh jiwani kepada orang-orang Singasari untuk menumbuhkan suasana kejiwaan tertentu sebelum pada suatu saat mereka melakukan tindakan kekerasan.

Karena itu, maka mereka tidak boleh menumbuhkan kekecewaan, apalagi kebencian dari rakyat Singasari.

Untuk beberapa hari, kedua orang itu tinggal di banjar padukuhan. Namun yang beberapa hari itu terasa tidak ada sesuatu yang terjadi, sehingga keduanya menjadi gelisah. Mereka cemas, bahwa akan timbul prasangka, setelah mereka berdua tinggal dalam pengawasan, maka tidak ada lagi kerusuhan yang terjadi.

Tetapi pada malam berikutnya, padukuhan itu telah dikejutkan oleh suara kentongan yang menjalar dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.

Kedua orang itu terkejut. Namun mereka cukup berpengalaman menghadapi peristiwa apapun juga, sehingga sesaat kemudian mereka pun telah berada di atas punggung kuda mereka.

“Kemanakah aku harus pergi” bertanya salah seorang dari keduanya, “isyarat itu seakan-akan sudah merata.”

“Sumber bunyi itu dari arah padukuhan di ujung bulak panjang di sebelah utara padukuhan ini, “jawab salah seorang yang bertugas ronda malam itu.

Kedua orang itu pun segera berpacu. Mereka melintasi bulak panjang dalam keremangan malam. Namun keduanya seolah-olah memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan.

Ketika keduanya sampai di padukuhan yang baru saja mengalami perampokan, maka ia pun segera mendapat keterangan, bahwa perampokan itu telah menghilang menuju ke hutan kecil di sebelah utara padukuhan itu.

“Kalian tidak mengejar mereka?” bertanya salah seorang dari keduanya.

“Terlampau berbahaya. Mereka mampu membunuh beberapa orang sekaligus.”

“Bukankah kalian terdiri dari banyak laki-laki.”

“Dalam pengejaran kami akan terpencar.”

Keduanya tidak bertanya lebih banyak lagi. Salah seorang dari keduanya berkata, “Aku akan mencoba menangkap mereka jika aku masih sempat menemukan.”

“Mereka belum terlalu jauh. Dan mereka tidak mempergunakan kuda.”

“Justru karena itu. Mereka akan sempat menyusup ke jalan setapak. Dan barangkali sepanjang pematang.”

Namun keduanya masih juga ingin mencoba. Mereka memacu kuda mereka di tengah-tengah bulak berikutnya, menyelusur jalan kecil yang menuju ke hutan.

“Mudah-mudahan kita dapat menemukan mereka” desis salah seorang dari keduanya.

Baru kemudian setelah kedua orang itu hilang dalam gelapnya malam, salah seorang dari mereka yang berkerumun itu bertanya, “Siapakah kedua orang berkuda itu?”

Tiba-tiba saja pertanyaan itu telah mengejutkan setiap orang yang sedang berkumpul itu. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kedua orang itulah yang telah merampok di rumah saudagar ternak itu?”

“Ya, mereka juga berdua. Jika demikian, kita sudah dikelabuinya.”

Tetapi salah seorang dari mereka menyahut, “Aku yakin, bukan mereka. Aku melihat kedua orang perampok itu dengan tenang keluar dari rumah saudagar itu. Dan keduanya bukannya penunggang-penunggang kuda yang baru saja lewat itu. Bukan menurut bentuk tubuhnya dan bukan pula menurut pakaiannya.”

Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Ya, agaknya memang bukan. Menilik sikapnya keduanya tidak sedang membohongi kita. Keduanya benar sedang berusaha mencari perampok-perampok itu.”

Meskipun orang-orang yang berkerumun itu masih tetap ragu-ragu, namun mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu perkembangan keadaan selanjutnya.

Dalam pada itu, kedua orang berkuda itu berpacu terus mengikuti jalan ke hutan. Mereka masih tetap berharap untuk menemukan kedua perampok itu sebelum mereka hilang di dalam lebatnya dedaunan hutan di waktu malam.

Ternyata bahwa kedua orang yang telah melakukan perampokan itu, berjalan seenaknya menuju ke hutan seperti yang diduga. Keduanya sama sekali tidak merasa cemas, bahwa orang-orang padukuhan akan mengejarnya. Keduanya yakin bahwa orang-orang di sekitar padukuhan itu, telah pernah mendengar bahwa kedua orang perampok itu mampu membunuh sepuluh orang sekaligus dalam satu arena perkelahian.

Tetapi keduanya mengerutkan kening ketika mereka mendengar derap kaki kuda menyusul mereka. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata, “Apakah kita akan bersembunyi?”

Yang lain termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian dalam keragu-raguan, “Siapakah yang telah berani menyusul kita?”

“Mungkin bebahu padukuhan, atau orang yang mereka undang khusus untuk menghadapi kita.”

“Biarlah mereka sadar, dengan siapa mereka berhadapan.”

“Jadi kita tidak menghindar?”

“Kita akan membunuh orang-orang berkuda itu, agar tidak lagi ada orang yang berani menghalang-halangi kita di hari berikutnya.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka berpaling maka mereka melihat bayangan dua ekor kuda yang beriringan mendekati mereka.

“Mereka telah dekat” desis salah seorang dari kedua rang yang sedang berjalan itu.

Tiba-tiba saja orang berkuda itu menarik kekang kudanya, yang seorang dari keduanya yang berada di depan bahkan segera meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Ki Sanak. Apakah Ki Sanak menyadari, kenapa kami berdua menyusul sampai ke tempat ini?”

Salah seorang dari kedua orang perampok itu langsung menjawab sambil menengadahkan dadanya, “Kami mengerti, bukankah kalian ingin menangkap dua orang perampok?”

“Ya. Kami memang ingin menangkap kalian berdua jika kalian berdua memang perampok-perampok itu.”

Hampir berbareng keduanya tertawa. Salah seorang dari keduanya menjawab, “Apakah kalian terlampau yakin bahwa kalian akan dapat melakukannya?”

“Kami akan mencoba. Daerah ini biasanya tidak pernah dijamah oleh kejahatan. Kini Tiba-tiba saja kalian telah membuat daerah ini menjadi gelisah dan ketakutan.”

Keduanya tertawa. Katanya, “Sudahlah. Itu sudah menjadi nasib daerah ini. He, siapakah kalian berdua?”

Kedua orang yang sudah turun dari kuda mereka itu saling berpandangan sejenak. Baru kemudian salah seorang menarik nafas sambil berkata, “Apakah kalian berdua ingin mengenal kami? Baiklah. Kami datang dari ujung bukit, di kaki bintang silang dibawa ujung bintang waluku.”

Tiba-tiba saja kedua orang perampok itu terkejut bukan buatan. Bahkan salah seorang dari mereka bergeser surut.

“Nah, apakah kalian berdua mengenal kami?”Keduanya tidak segera dapat menjawab. Tetapi nampak kegelisahan yang mencengkam.

“Menilik gelagat, kalian mengenal kami setelah kami memperkenalkan diri. Karena itu, maka kami pun telah mengenal kalian. Kalian tentu akan menyebut diri kalian seperti aku menyebut diriku.”

Keduanya masih terdiam. Tetapi keringat dingin mulai membasahi punggung mereka.

“Sudahlah. Sebut sajalah, apakah kalian datang dari gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang.”

Keduanya tidak segera menjawab.

“Kami tahu, bahwa kedua gerombolan yang sudah berada di bawah pimpinan Empu Baladatu itu mendapat tugas seperti yang harus aku jalankan. Tetapi tidak untuk merampok dan menimbulkan kekacauan yang lain. Sebab dengan demikian berarti akan mengundang persoalan dengan prajurit- prajurit Singasari. Itulah sebabnya kami segera menghubungi kalian sebelum terlambat.”

Kedua orang yang telah merampok itu termangu-mangu. Bahkan perasaan cemas mulai merayapi jantung. Mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan pemimpin yang tidak dapat membiarkan mereka merajuk, dan kemudian memanjakan yang mereka hadapi adalah orang yang mendapat tugas dari Empu Baladatu untuk menjalankan tugas yang keras dan sama sekali tanpa pertimbangan kebijaksanaan.

“Cepatlah. Sebutlah, apakah kalian berasal dari gerombolan Serigala Putih atau Macan Kumbang.”

“Kami tidak akan mengambil sikap apapun juga. Kami hanya akan mengantar kalian kembali ke padepokan, karena kami tidak mendapat tugas untuk mengambil tindakan apapun terhadap kalian. Tetapi karena yang kalian lakukan itu membahayakan kedudukan kita semuanya, maka kami merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah pengamanan.”

Kedua orang yang telah merampok itu masih termangu-mangu sehingga keduanya masih belum mengambil sikap apapun juga.

“Cepatlah. Kenapa kalian ragu-ragu? Aku kira tidak ada jalan yang lebih baik bagi kalian daripada berterus terang. Dengan demikian, pimpinan kalian akan dapat mempertimbangkan pengampunan. Tetapi jika kalian berkeras kepala, maka mungkin sekali kalian akan mendapat hukuman. Hukuman yang paling berat sekalipun, karena menurut kepercayaan kita semuanya, tidak ada larangan untuk mengorbankan seseorang pada saat upacara penyerapan ilmu itu, meskipun dari kalangan sendiri.”

Terasa bulu tengkuk kedua perampok itu bagaikan berdiri. Ancaman itu membuat dada keduanya benar-benar tergetar.

“Jawablah pertanyaanku” desak salah seorang dari kedua orang yang menyusul itu.

Namun Tiba-tiba saja salah seorang dari kedua perampok itu melangkah maju sambil mengangkat wajahnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi aku kira, kami tidak akan dapat melakukannya. Jika kami menyerah, maka leher kami tentu akan menjadi taruhan. Mungkin benar yang kau katakan, bahwa purnama mendatang, salah seorang dari kami berdua akan menjadi korban, sedangkan yang lain di bulan berikutnya.”

“Jadi apakah yang kau kehendaki sebenarnya?”

“Kami menghendaki kebebasan dari tuntutan semacam itu.”

“Karena itu, ikutlah kami. Kami akan menyerahkan kalian dan barangkali kami dapat memberikan beberapa keterangan yang dapat meringankan kesalahanmu. Aku tahu, bahwa kalian memerlukan bekal di perjalanan kalian yang tidak terbatas waktunya. Mudah-mudahan hal itu dapat dimengerti, sehingga kalian tidak akan mendapatkan hukuman yang terlampau berat.”

Sejenak kedua orang yang telah merampok itu termangu-mangu.

Namun Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak mau mengalami nasib yang paling buruk.”

“Jadi apakah yang akan kalian lakukan? Bukankah kau katakan bahwa kalian tidak mempunyai pilihan lain?”

“Jika kami menghadap pimpinan kami yang memerintah padepokan kami atas nama Empu Baladatu, bersama dengan kalian.”

“Jadi?”

“Tidak ada orang lain yang mengetahui perbuatan kami kecuali kalian berdua.”

Kata-kata itu telah mengejutkan kedua orang yang menyusul kedua perampok itu. Dengan ragu-ragu salah seorang dari mereka bertanya, “Apa maksudmu?”

“Ki Sanak” berkata salah seorang dari kedua perampok itu, “aku tahu bahwa kau bukannya dari gerombolan Serigala Putih dan bukan pula dari gerombolan Macan Kumbang. Kami berdua sama sekali belum pernah melihat kalian. Tetapi pengenalan sandi itu menunjukkan kepada kami bahwa kalian pun tentu anak buah Empu Baladatu.”

“Kau benar. Tetapi aku tidak tahu maksudmu sebenarnya.”

“Maaf Ki Sanak. Seperti yang aku katakan, bahwa tidak ada orang lain dari lingkungan Empu Baladatu yang mengetahui, apa yang sudah kami lakukan berdua. Alasan kami memang seperti yang kau katakan. Kami tidak mempunyai bekal sama sekali untuk melakukan tugas kami. Nah, itulah sebabnya maka kami terpaksa mencarinya.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku mengerti.”

“Tidak cukup untuk sekedar mengerti.”

“Aku berjanji bahwa aku akan berusaha meringankan tuduhan apapun bagi kalian.”

“Itu juga tidak cukup.”

“Jadi apa yang harus kami lakukan?”

“Kalian tidak harus melakukan apa-apa. Itulah yang sebenarnya kami kehendaki. Kalian jangan melakukan apa-apa. Tetapi peringatan itu pun tidak cukup. Terus terang, kami bermaksud meyakinkan diri kami, bahwa kalian tidak akan dapat lagi menyampaikan hal ini kepada siapapun juga.”

“Gila” geram salah seorang dari kedua orang yang menyusul mereka, “aku jelas sekarang. Kalian berdua ingin membunuh kami? Bukankah begitu?”

“Terpaksa harus kami lakukan.”

“Jangan menjadi gila Ki Sanak. Seandainya kalian berhasil, namun kalian tidak akan dapat ingkar dari kekuasaan di belakang setiap upacara penyerapan ilmu. Setiap orang yang melanggar ketentuannya, akan binasa dengan cara apapun juga.”

Kata-kata itu ternyata dapat mempengaruhi pikiran kedua orang yang telah merampok itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat melangkah surut lagi sehingga salah seorang dari keduanya berkata, “Menyesal sekali. Upacara penyerapan ilmu itu, tentu sekedar berlaku dalam penyerapan ilmu itu sendiri. Jika salah seorang dari kami tidak percaya kuasa dari pada kekuasaan di belakang upacara itu, maka siapa yang tidak percaya itu akan binasa seperti yang pernah terjadi. Tetapi aku percaya sepenuhnya, dan karena itu, maka ilmuku pun menjadi semakin meningkat. Karena itu, maka tidak ada lagi hubungannya dengan perampokan yang kami lakukan, karena kami sama sekali tidak menolak kepercayaan itu.”

“Kau memang picik” jawab salah seorang dari kedua orang yang menyusul, “tetapi baiklah. Jika memang demikian yang kau kehendaki, apa boleh buat. Tetapi kalian harus sadar, bahwa aku akan melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupku. Dan kalian pun harus menyadari, siapakah yang kalian hadapi sekarang.”

“Kami sadar, yang kami hadapi sekarang adalah orang-orang yang ingin mendapat pujian dengan mengorbankan orang lain tanpa pertimbangan lagi.”

Kedua orang pengikut Empu Baladatu yang menyusul kedua orang perampok itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka mereka pun kemudian mengikat kuda mereka pada batang-batang perdu sambil berkata, “Jika kau berhasil membunuh kami berdua, maka kalian akan mendapatkan kuda kami dengan semua perlengkapannya.”

“Terima kasih” jawab salah seorang dari kedua orang yang merampok itu.

Sejenak kemudian, setelah kedua ekor kuda itu terikat, maka keempat orang itu pun mulai mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kedua pengikut Empu Baladatu yang menyusul kemudian itu merasa bahwa mereka adalah murid-murid Empu Baladatu yang memiliki masa penyadapan ilmu yang lebih lama. Sedangkan kedua orang yang telah merampok itu merasa, bahwa mereka sudah memiliki bekal yang cukup, dan yang kemudian diperkaya dengan ilmu yang diterimanya dari orang-orang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu.

Dengan demikian maka keempat orang itu merasa bahwa masing-masing memiliki bekal yang cukup untuk mempertahankan diri dan bahkan membinasakan lawannya.

Para pengikut Empu Baladatu yang menyusul kedua perampok itu mulai memencar. Tetapi mereka sudah mendapatkan pesan, agar mereka tidak meninggalkan bekas-bekas ilmu yang disebut ilmu hitam, seperti juga kedua orang yang karena memerlukan bekal perjalanan, telah melakukan perampokan itu.

Kedua belah pihak pun kemudian telah memilih lawan. Satu-satu mereka berdiri saling berhadapan.

“Jadi, tidak ada cara lain kecuali cara ini?” bertanya pengikut Empu Baladatu yang menyusul kedua perampok itu.

Salah seorang dari keduanya menjawab, “Sayang. Bagi kami, jalan yang paling baik adalah membunuh kalian, karena jika kami tidak melakukannya, kamilah yang akan menjadi korban karena perbuatan kami. Meskipun yang kami lakukan sebenarnya juga untuk kepentingan padepokan kami.”

“Sebutlah, barangkali kami tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendengar, dari padepokan manakah kalian berdua.”

Salah seorang dari kedua perampok itu tertawa. Jawabnya, “Kau sudah berputus asa. Baiklah, kami berdua datang dari Padepokan Macan Kumbang. Kami akan meneruskan tugas kami setelah kami membunuh kalian dan menguburkan di pinggir jalan ini sehingga tidak seorang pun yang mengetahui apa yang telah terjadi. Kami sebenarnya tidak memerlukan kedua ekor kuda kalian, tetapi kami pun tidak mau mengalami akibat buruk karenanya. Jika ada orang yang mengenal kuda itu sebagai milik kalian, maka akan datang persoalan yang sama sekali tidak kami kehendaki. Karena itu, yang paling baik bagi kami adalah membawa kuda kalian dan mengikatnya di tengah-tengah hutan. Jika ada seekor harimau membunuhnya, itu adalah hal yang paling baik.

Kedua pengikut Empu Baladatu itu mengerutkan keningnya. Kemarahan yang melonjak di dadanya, hampir-hampir tidak dapat dikendalikannya lagi. Namun mereka masih tetap berusaha untuk tenang dan tidak kehilangan akal.

Namun demikian keduanya sudah bersiap untuk berbuat sesuatu melawan kedua orang dari gerombolan Macan Kumbang itu.

“Nah, bersiaplah. Sudah tiba waktunya bagi kami untuk melenyapkan semua bekas kejahatan yang kali ini kami lakukan, karena Empu Baladatu tidak menghendakinya, karena sebenarnyalah merampok adalah pekerjaan kami sehari-hari sebelum Macan Kumbang dipersatukan dengan ilmu hitam yang bersumber pada cabang perguruan Empu Baladatu.”

“Sayang” jawab salah seorang pengikut Empu Baladatu, “tetapi baiklah kita saling menjajagi, apakah kalian benar-benar sudah memiliki ilmu dari cabang perguruan Empu Baladatu itu.”

Orang-orang Macan Kumbang itu tidak menjawab. Tetapi mereka sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak mereka masih berdiri termangu-mangu. Namun salah seorang pengikut Empu Baladatu itu pun agaknya sudah tidak sabar lagi. Dengan hati-hati ia mulai melangkah maju, melontarkan serangan meskipun tidak terlampau keras.

Tetapi gerak yang hati-hati itu telah menjadi isyarat bahwa keempat orang itu segera terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru.

Ternyata bahwa orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu bukannya orang-orang kebanyakan. Mereka telah memiliki bekal yang cukup selama mereka mengembara di dalam lingkungan yang gelap berdasarkan ilmu hitam meskipun dalam perkembangannya menjadi berbeda dengan ilmu hitam cabang perguruan Empu Baladatu.

Sejenak mereka bertempur dengan sengitnya. Masing-masing mencoba menjajagi kelemahan lawannya.

Namun demikian, para pengikut Empu Baladatu masih mencoba untuk menyembunyikan ilmu mereka yang sebenarnya seperti yang dipesankan kepadanya. Tetapi justru karena ada sesuatu yang harus disimpan, maka para pengikut Empu Baladatu itu tidak dapat melepaskah kemampuannya sekuat-kuat tingkat ilmunya. Meskipun demikian, tetapi pertempuran digelapnya malam itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing mulai menunjukkan sikap dan sifat mereka masing-masing. Semakin lama menjadi semakin kasar.

Satu-satu teriakan telah terlontar dari mulut keempat orang itu. Mereka berloncatan diantara tanggul dan pematang ketika arena perkelahian mereka menjadi semakin luas. Jalan di tengah bulak itu rasa-rasanya menjadi terlampau sempit dan sangat membatasi tata gerak mereka.

Para pengikut Empu Baladatu ternyata telah terbentur pada kekuatan yang tidak terduga. Gabungan antara ilmu hitam yang memang pada dasarnya dianut oleh orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang dan dasar-dasar ilmu Empu Baladatu, nampaknya membuat orang-orang Macan Kumbang memiliki sesuatu yang dapat mereka banggakan.

“Sulit untuk mengalahkan orang-orang ini” berkata salah seorang dari pengikut Empu Baladatu di dalam hatinya.

Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa mereka mulai mengalami kesulitan. Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikan apapun juga yang ada pada mereka dalam tata gerak dan ilmunya.

“Tidak ada yang perlu disembunyikan” berkata mereka itu kepada diri sendiri, “mereka sudah tahu siapakah kita, dan karena itu, cara apapun juga dapat ditempuh.”

Berbeda dengan mereka, para pengikut Empu Baladatu masih saja terikat pesan, bahwa mereka tidak dibenarkan untuk menunjukkan ciri-ciri tentang perguruannya.

Namun akhirnya, seperti juga orang-orang Macan Kumbang, akhirnya mereka pun sampai pula pada suatu kesimpulan, bahwa diantara mereka tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan pada lawannya, karena lawannya itu pun sudah mengetahui sepenuhnya tentang diri mereka berdua.

“Apakah artinya kami merahasiakan kemampuan kami terhadap kedua orang dari gerombolan Macan Kumbang ini, “Tiba-tiba salah seorang dari kedua orang itu berteriak.

“Ya. Dengan demikian kita akan terdesak terus, karena ada sesuatu yang tidak kita pergunakan untuk melawan ilmu iblis yang disadap dari tingkah laku harimau kumbang yang buas dan liar.”

“Kami adalah murid-murid Empu Baladatu” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang gerombolan Macan Kumbang itu menyahut.

“Ya. Murid yang sama sekali tidak patuh kepada gurunya. Dan itu merupakan pantangan yang tidak terampuni.”

“Hanya jika masih ada orang yang merendahkan dirinya, menjilat kaki sekedar untuk mendapatkan pujian.”

“Gila” teriak salah seorang pengikut Empu Baladatu

“Jadi itukah sikapmu dalam perguruan Empu Baladatu? Baiklah. Sikap itu sudah cukup menjadi alasan, bahwa murid yang demikian harus dimusnahkan.”

Salah seorang pengikut Empu Baladatu itu pun Tiba-tiba saja menggeram. Ketika terdengar sebuah hentakkan gigi, maka tata geraknya perlahan-lahan mulai berubah.

Kedua orang pengikut Empu Baladatu itu ternyata tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan ilmunya yang dapat menjadi ciri perguruannya. Salah seorang dari mereka berkata

“Hanya kepada orang lain kami harus menyembunyikan diri, agar jika terjadi sesuatu, mereka tidak langsung melemparkan kesalahan kepada orang-orang yang mereka anggap berilmu hitam. Tetapi terhadap murid-murid yang gila seperti ini, maka tidak ada pilihan lain, justru dengan menunjukkan kebesaran ilmu dari perguruan Empu Baladatu itu sendiri.”

Kata-kata itu telah menyentuh perasaan kedua orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Bahkan mereka pun kemudian mencoba membesarkan hati masing-masing, “Ilmu yang mereka miliki bukannya ilmu iblis yang tidak terkalahkan. Ilmu itu sudah kami kenal pula pada beberapa bagiannya dengan penyadapan yang dilandasi korban-korban darah. Tetapi kami masih memiliki kelebihan dari ilmu itu, karena kami sudah mempelajari dasar ilmu kanuragan sebelumnya.”

Sejenak kemudian masing-masing pihak mulai dipengaruhi oleh pengerahan ilmu masing-masing. Diantara mereka memang terdapat beberapa persamaan ditingkat yang lebih tinggi.

Namun dengan demikian, perkelahian itu pun menjadi semakin keras dan kasar. Masing-masing pihak mulai menampakkan kemampuan mereka yang sebenarnya berdasarkan ilmu yang mereka miliki.

Kedua belah pihak telah mempelajari dasar-dasar ilmu Empu Baladatu meskipun dalam ramuan yang berbeda, karena orang-orang Macan Kumbang memiliki dasar yang berbeda. Tetapi perkembangan seterusnya, keduanya mempunyai banyak persamaan. Kedua belah pihak mulai mengarah kepada gerak-gerak putaran dengan ujung-ujung pisau belati yang dapat menyayat kulit bagaikan terkelupas.

“Tidak ada yang akan mengetahui akhir dari perkelahian ini kecuali yang akan tetap hidup” mereka telah mendapatkan kepastian di dalam diri, “yang mati akan mati dan akan dikuburkan tanpa diketahui oleh orang lain.”

Itulah sebabnya mereka bertempur dengan mempertaruhkan segalanya yang ada, pada mereka.

Namun ternyata bahwa orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang akhirnya mengalami kesulitan. Ternyata para pengikut Empu Baladatu mempunyai dasar pengalaman yang lebih luas di dalam penggunaan ilmu hitam itu.

Ketika tubuh mereka mulai berkeringat, maka putaran-putaran yang semakin cepat pun telah terjadi. Semua pihak mencoba melibat lawannya dalam putaran angin pusaran. Tetapi orang-orang yang menyusul para perampok dari padepokan Macan Kumbang itu berhasil menguasai lawannya dan ujung pisaunya mulai menyentuh lawannya.

Orang-orang dari padepokan Macan Kumbang merasa bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk bertahan dalam putaran yang demikian. Itulah sebabnya ,mereka mulai mencari kemungkinan lain dalam pertempuran yang semakin sengit itu.

Dengan serta merta salah seorang dari kedua orang gerombolan Macan Kumbang itu meloncat sejauh-jauhnya menghindari putaran lawannya yang semakin cepat. Sambil berteriak nyaring ia mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang.

Lawannya terkejut melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu. Namun, ia pun segera mulai dengan ungkapan ilmunya, Dengan serta merta ia pun mulai mencoba melingkari lawannya dengan pisau belati teracung.

Tetapi lawannya menyadarinya. Dengan cepatnya ia meloncat memotong setiap usaha untuk mengitarinya. Bahkan dengan serangan yang Tiba-tiba.

Pengikut Empu Baladatu menjadi semakin marah. Ketika ia mencoba melihat kawannya, ia masih tetap berhasil menguasai lawannya dalam putaran yang semakin lama menjadi semakin sempit.

“Lawanku mulai menjadi gila dan liar” geramnya. Karena itulah maka ia pun harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.

Tetapi lawannya pun tidak membiarkan dirinya terkurung lagi. Itulah sebabnya maka ia pun selalu berusaha memecahkan ilmu lawannya yang juga diketahuinya dengan pasti, karena ia sendiri pun pernah mempelajarinya. Bahkan seperti juga lawannya, ia mempelajari ilmu dari cabang perguruan Empu Baladatu dalam upacaranya yang lengkap dan bersungguh-sungguh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar