S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Tidak seorang pun yang dapat dituduh menjadi orang berkerudung putih. Mereka adalah penduduk yang sederhana. Jika mereka menemukan anak muda yang gagah, baik di rumahnya maupun di gardu peronda, maka mereka mencoba melihat, apakah anak muda itu berkeringat dan menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Tetapi mereka tidak menemukannya.
Seperti yang dikatakan oleh Senapati, maka desa itu tidak segera dilepaskan dari kepungan. Ketika hari menjadi siang, maka pencaharian pun menjadi semakin teliti. Tetapi mereka tidak dapat menemukannya. Kecurigaan terhadap seseorang pun tidak.
Sekali lagi para prajurit Singasari gagal. Dan mereka pun sadar, bahwa kegagalan-kegagalan serupa itu akan berlangsung berulang kali. Orang berkerudung putih itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tiada taranya.
“Kecuali jika Mahisa Agni mau mencoba menangkapnya.” berkata salah seorang Senapati.
“Tidak ada gunanya memaksa orang itu untuk berbuat sesuatu.” jawab yang lain, “Ia sudah kehilangan semua harapan masa depannya. Ia tidak ubahnya seperti seekor kepompong di dalam bilik itu.”
“Kau salah. Ia adalah orang yang paling mencintai Singasari. Jika tidak demikian, kematian tuanku Anusapati tentu akan dapat mendorongnya untuk menyobek jantung Singasari dari Kediri. Ia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Tetapi ia taat memenuhi panggilan tuanku Tohjaya. Ia datang dan membiarkan dirinya berada di dalam bilik itu, meskipun ia tetap berada di bilik itu bersama beberapa orang pengawalnya dengan selembar kain putih di lehernya.”
“Sungguh tidak dapat dimengerti. Apakah arti dari perbuatannya itu. Tetapi aku justru menjadi curiga akan kediamannya itu.”
“Sudah berkali-kali dibuktikan, bahwa orang yang berkerudung itu tentu bukan Mahisa Agni.”
“Ya. Tetapi siapa tahu, ia mempunyai kawan-kawan yang dapat berbuat demikian.”
Kawannya berbicara tidak menjawab. Bagi Singasari orang berkerudung putih itu memang sebuah teka-teki yang cukup besar.
Meskipun demikian, betapapun kemungkinan untuk menangkapnya terlampau tipis, tetapi para Senapati tidak menjadi berputus asa. Adalah kuwajiban mereka untuk melakukannya. Betapapun sulit dan berbahayanya.
Tetapi agaknya orang-orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih itu telah menyiapkan rencana yang lain. Witantra dan Mahendra merasa sudah cukup banyak membuat orang-orang Singasari menjadi bingung.
Karena itulah maka sampai saatnya Lembu Ampal lah yang harus berbuat sesuatu untuk menambah kecurigaan antara prajurit Singasari sendiri. Antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain.
“Tetapi hati-hatilah.” pesan Witantra kepada Lembu Ampai ketika ia akan mulai dengan rencananya.
“Tetapi aku terpaksa mengorbankan satu dua orang prajurit untuk mencapai maksud itu.”
Witantra mengerutkan keningnya. Nampak wajahnya menjadi termangu penuh kebimbangan.
“Tidak ada jalan lain.” berkata Lembu Ampal, “Karena kuatnya dua golongan itulah yang merupakan pendukung paling kuat dari tuanku Tohjaya sekarang ini.”
“Maksudmu pasukan Pengawal yang kebanyakan terdiri dari golongan Rajasa dan Pelayan Dalam dari golongan Sindir?”
“Ya.” Lembu Ampal menganggukkan kepalanya.
“Kadang-kadang kita memang tidak dapat menghindarkan jatuhnya korban.” berkata Mahendra kemudian, “Kematian Kebo Ijo adalah korban yang lebih menyedihkan lagi. Bahkan Empu Gandring sendiri. Terakhir adalah Akuwu Tunggul Ametung baru kemudian Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa dapat menduduki tahta.” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Setelah mereka itu, jatuh pula korban yang disebut Pangalasan dari Batil dan Sri Rajasa Sendiri sebelum Anusapati sendiri menjadi korban pola. Korban-korban itu memang masih akan berjatuhan, sampai saatnya tahta kembali kepada yang berhak sesuai dengan keturunannya.”
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang tidak ada jalan lain untuk mencapai tujuan tanpa jatuhnya korban.
“Mereka adalah lawan kita.” berkata Lembu Ampal.
“Tetapi kita belum turun ke medan peperangan.”
“Aku tidak dapat melihat jalan lain.” desis Lembu Ampal.
Akhirnya Witantra tidak dapat menolak lagi. Memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh. Jalan yang direncanakan Lembu Ampal adalah jalan yang paling sedikit menelan korban. Sebab dengan jalan lain, dengan jalan kekerasan saja, korban akan berjatuhan semakin banyak.
“Tetapi mereka yang kebetulan sekali diumpankan sebagai korban itu adalah orang-orang yang nasibnya sangat malang.”
Lembu Ampal tidak menyahut. Jika ia tenggelam dalam keibaan seperti Witantra, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi untuk mengembalikan tahta kepada keturunan Ken Dedes.
Tetapi ternyata Witantra tidak melarangnya. Bahkan ke mudian Witantra berkata, “Tetapi terserah kepadamu lembu Ampal. Aku yakin bahwa kau pun cukup bijaksana.”
“Aku akan mencoba sebaik-baiknya.” sahut Lembu Ampal, “Memang agaknya selama ini Kesatria Putih memang tidak merampas korban jiwa sama sekali. Hanya beberapa orang menjadi luka-luka. Tetapi kali ini aku terpaksa sekali harus mengambil korban jiwa.” Lembu Ampal berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi jika aku gagal, maka jiwakulah yang akan diambil oleh para prajurit Singasari.”
“Kami akan mencoba mengawasi dan sejauh mungkin membantumu jika kau berada dalam kesulitan.”
“Terima kasih. Sebenarnyalah bahwa kau berdua telah berbuat jauh lebih banyak dari yang akan aku lakukan.”
Demikianlah maka Lembu Ampal pun telah menyiapkan rencananya sebaik-baiknya. Setelah beberapa lama ia bergaul dengan Witantra dan Mahendra, dan tanpa malu-malu ia belajar dari keduanya, maka ilmu Lembu Ampal pun telah jauh bertambah. Jika semula ia adalah seorang Senapati kepercayaan dengan ilmu yang dianggap cukup baik di antara para Senapati, maka setelah ilmunya meningkat, Lembu Ampal menjadi semakin banyak memiliki kelebihan dari para prajurit pada umumnya, bahkan dengan para Senapati.
Dalam pada itu, peristiwa yang telah terjadi berturut-turut di Singasari telah banyak menimbulkan persoalan pada para pemimpin pemerintahan, para Panglima dan para Senapati.
Rasa-rasanya kecurigaan di antara mereka semakin lama menjadi semakin tajam mengorek jantung masing-masing. Bagi para prajurit semakin tajam mengorek jantung masing- masing. Bagi para prajurit, adalah mustahil jika orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih itu dapat lenyap begitu saja beberapa kali, dan berhasil melepaskan diri, jika tidak ada di antara para prajurit itu sendiri yang dengan sengaja melindunginya.
“Yang menyebut dirinya Kesatria Putih itu tentu bukan hantu.” berkata salah seorang Senapati, “Karena itu tidak mungkin ia menghilang begitu saja, atau bahkan menjadi dua atau tiga atau sepasukan Kesatria Putih yang berbaris di sepanjang jalan kota.”
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi di antara mereka tidak dapat melenyapkan kecurigaan yang sudah terlanjur tertatanam di dalam hati.
“Jika pada suatu saat aku dapat menemukan.” geram seorang Senapati muda, “Maka akan terbongkarlah sekelompok pengkhianat yang selama ini dapat bekerja dengan rapi sekali.”
Kawannya berbicara memandanginya sejenak. Lalu katanya, “Apakah kau yakin bahwa yang melakukan itu sekelompok pengkhianat yang tersusun dalam suatu kerja sama yang rapi atau hanya satu dua orang saja.”
“Tentu sekelompok orang.” tiba-tiba seorang prajurit yang lain menyahut.
Ketika kedua prajurit yang sedang berbicara itu berpaling, dilihatnya seorang Senapati dari pasukan yang lain duduk di belakang mereka. Seperti acuh tidak acuh saja Senapati itu meneruskan, “Bahkan mungkin dipimpin oleh orang yang berkedudukan penting di Singasari.”
Kedua prajurit yang semula bercakap-cakap itu memandang Senapati yang tanpa diduga berada di belakangnya itu dengan sorot mata yang aneh. Namun pada sorot mata itu terpancar kecurigaan.
Tetapi keduanya tidak menanggapinya. Keduanya akhirnya berdiam diri tanpa menjawab lagi.
Namun demikian, ternyata di bagian lain dari istana Singasari, ketika para peronda di malam hari nganglang di taman, sekelompok Pelayan Dalam memandang dua orang dari Pasukan Pengawal yang melintas di hadapan mereka dengan pandangan mata yang penuh kecurigaan pula.
“Aku tidak dapat mempercayai Pasukan Pengawal lagi.” berkata salah seorang Pelayan Dalam, “Ternyata mereka hampir tidak berbuat apa-apa dalam keadaan yang tegang ini. Mereka sama sekali tidak tergerak untuk menangkap orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih.”
“Mereka merasa bahwa tugas mereka adalah mengawal istana dan keluarga Maharaja.” sahut yang lain, “Seperti kita pun tidak akan berbuat lain kecuali bertugas di dalam istana melayani Tuanku Tohjaya dan keluarganya meskipun kita juga seorang prajurit.”
“Tetapi pasukan pengawal mempunyai tugas pengamanan langsung atau tidak langsung. Ia tidak boleh membiarkan prajurit-prajurit Singasari yang lain bergerak sendiri dalam kesulitan tanpa berbuat apa-apa.”
“Menurut pendengaranku, sekelompok Pasukan Pengawal berkuda telah ikut mencari Kesatria Putih.”
“Tetapi mereka tidak akan menemukan. Pasukan Pengawal itu nampaknya semakin lama semakin jauh dari tuanku Tohjaya.”
“Itu tidak mungkin.” desis yang lain lagi. “Mereka adalah Pasukan kinasih.”
“Kau ingat saat terbunuhnya tuanku Anusapati? Pasukan Pengawal baginya saat itu adalah justru sekelompok pembunuh yang mengerikan, meskipun keris yang menikam tubuhnya berada di tangan tuanku Tohjaya.”
Kawannya saling berdiam diri. Selama ini Pasukan Pengawal memang kehilangan arti. Mereka tidak berhasil menyelamatkan Sri Rajasa pada jaman pemerintahannya. Merekapun kemudian tidak berhasil melindungi Anusapati. Seharusnya pasukan pengawallah yang bertugas untuk menjaga dan melindungi Maharaja Singasari. Tetapi dua orang Maharaja telah terbunuh.
“Dan sekarang. Pasukan Pangawal Singasari itu pun tampaknya tidak meyakinkan.” Pelayan Dalam itu berkata di dalam hati masing-masing.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun prajurit-prajurit yang khusus yang mendapat tugas langsung di dalam istana. Mereka adalah prajurit-prajurit yang lebih dekat kepada Maharaja pada masa pemerintahan siapa pun juga. Tetapi di luar istana, mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa.
Seperti anggauta Pasukan Pengawal, maka Pelayan Dalam pun adalah prajurit-prajurit terpilih. Mereka memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit kebanyakan karena tugas mereka yang khusus.
Dalam pada itu, sebaliknya anggota Pasukan Pengawal yang melintas, dan melihat sekelompok Pelayan Dalam duduk bercakap-cakap itu pun membicarakannya pula. Seorang yang bertubuh tinggi berkata kepada kawannya, “Apakah sebenarnya mereka lakukan di dalam masa yang penuh teka teki ini? Duduk berkelompok, makan, minum, dan saling berebutan jika tuanku Tohjaya memberikan sesuatu. Bahkan sisa makannya sekalipun.”
“Ah, kau terlampau berprasangka. Mereka mempunyai tugasnya sendiri.” sahut kawannya yang agak pendek tetapi berdada bidang.
“Aku tahu. Tetapi mereka pun bertanggung jawab atas keselamatan Singasari dan tuanku Tohjaya. Apakah kau ingat, saat meninggalnya Sri Rajasa di bagian belakang bangsalnya. Sebenarnya yang harus mengetahui persoalannya adalah Pelayan Dalam. Mereka bertugas di dalam bangsal-bangsal istana. Sedang kami bertugas di luar, di pintu gerbang dan di sudut istana ini.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Bahkan ia masih sempat berpaling dan melihat Pelayan Dalam itu masih saja duduk di tempatnya.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Pelayan Dalam yang juga bersenjata itu memang mempunyai persoalan yang khusus dan kuwajiban yang khusus.
Demikianlah, keduanya pun saling berdiam diri sambil berjalan menuju ke gardu tempat mereka bertugas. Namun masih terasa berapa ketegangan rasanya semakin mencengkam bukan saja halaman istana, tetapi seluruh Singasari.
“Gila.” desis salah seorang Pengawal itu tiba-tiba, “Seorang atau dua orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih ternyata mampu menggoncangkan Singasari.”
Kawannya tidak menyahut lagi. Ketika mereka sampai di gardu maka mereka pun segera melaporkan pengamatan mereka selama mereka nganglang. Kemudian setelah itu, keduanya duduk tanpa berbicara lagi. Tetapi rasa-rasanya angan-angan merekalah yang nganglang mengelilingi seluruh daerah Singasari dan melihat kekacauan yang timbul di mana-mana. Jika Kesatria Putih yang dahulu menumbuhkan ketenangan dan perlindungan, maka yang sekarang sebaliknya.
“Bagi pengikut-pengikut Tohjaya.” tiba-tiba sesuatu terdengar di dasar hati prajurit-prajurit itu, “Tetapi mereka sebenarnya juga pelindung dan menumbuhkan ketegangan di hati rakyat kebanyakan.”
Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Dan sebuah pertanyaan yang lain telah timbul, “Kenapa sikap rakyat berbeda dengan para pengikut Tohjaya?”
Ada sepercik pengakuan bahwa sebenarnya Tohjaya tidak berakar di hati rakyat Singasari. Namun demikian adalah suatu kenyataan bahwa Tohjaya duduk di atas tahta setelah berhasil membunuh Anusapati.
Demikianlah maka para pengawal itu meronda dengan persoalan di hati masing-masing. Bahkan hampir di setiap hati prajurit Singasari. Meskipun bentuknya berbeda-beda, tetapi persoalannya hampir serupa.
Kecurigaan di antara para prajurit tu rasa-rasanya memang semakin meningkat. Tetapi mereka masih tetap membatasi persoalannya, karena mereka sama sekali tidak dapat menemukan bukti-bukti apapun bahwa keduanya harus saling mencurigai.
Semalam suntuk para peronda hampir tidak dapat memejamkan matanya meskipun bergantian seperti malam-malam yang lewat. Setiap saat mereka dibayangi oleh kehadiran orang berkerudung putih dengan tiba-tiba, dan yang dengan tiba-tiba pula lenyap seperti hantu.
Tetapi sampai menjelang pagi hari, malam itu para prajurit tidak menjumpai orang berkerudung putih.
Dipagi hari, maka para pengawal yang sedang bertugas itu pun bergantian pergi ke sungai. Mereka membersihkan diri dan bahkan ada yang mandi agar tubuh mereka merasa menjadi segar.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk dengan diri masing-masing, maka terdengar seorang prajurit berteriak tertahan. Sebuah perkelahian pendek terjadi beberapa langkah dari mereka yang sedang mandi.
Dalam keremangan pagi, para prajurit yang sedang mandi itu pun melihat kedua orang prajurit yang sedang bertempur itu. Tetapi tidak terlampau lama, karena yang seorang dari mereka pun segera terkulai di tanah.
Ketika yang lain berlari-lari mendekatinya dengan ragu-ragu, maka yang seorang telah hilang di dalam gerumbul-gerumbul liar di tepi sungai itu.
Betapa prajurit yang pertama-tama mencapainya itu terkejut ketika ia melihat bahwa yang terkulai di tanah itu adalah kawannya sendiri. Dengan jantung berdebaran prajurit itu mencoba mengangkat kepala kawannya yang sudah menjadi sangat lemah itu.
“Orang Sinelir.” desis prajurit yang telah menjadi sangat lemah itu.
Ketika kawanya yang lain mendekatinya, maka prajurit itu sudah tidak dapat bertahan lagi. Nafasnya menjadi sendat, dan akhirnya ia pun kehilangan nyawanya.
Tetapi suaranya telah didengar. Yang membunuhnya adalah orang Sinelir.
“Gila.” teriak prajurit dari pasukan pengawal yang terdiri dari golongan Rajasa itu.
“Orang-orang itu memang gila.” teriak yang lain, “Apakah mereka mengira bahwa pasukan Pelayan Dalam cukup mampu melawan Pasukan Pengawal.”
Prajurit-prajurit yang ada di tepian itu pun kemudian segera berkemas. Dengan kemarahan yang tertahan di dalam dada, mereka pun membawa kawannya yang terbunuh itu kembali ke tempat mereka bertugas.
Kedatangan prajurit-prajurit yang membawa seorang kawannya yang mati terbunuh dengan luka senjata di dadanya itu telah menggemparkan. Berita itu segera menjalar ke telinga setiap prajurit dari pasukan pengawal.
“Apakah artinya ini.” seorang Senapati yang bertugas dan bertanggung jawab di malam itu pun dengan wajah merah padam menyaksikan mayat yang terbujur di gardu peronda.
“Seorang dari pasukan Pelayan Dalam.” desis seorang prajurit.
“Kau yakin?” Senapati itu hampir berteriak.
“Ya. Yang terbunuh itu sendiri menyebutnya sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.”
Wajah Senapati itu bagaikan menyala. Tetapi ia masih mencoba menahan diri sebagai seorang Senapati, la tidak boleh bertindak tergesa-gesa sehingga dengan demikian akan dapat menimbulkan persoalan yang lebih rumit.
“Aku akan melaporkannya kepada Panglima agar Panglima Pelayan Dalam dapat mengambil tindakan terhadap anak buahnya.”
“Kita kepung barak orang Sinelir.” teriak prajurit yang masih muda.
Betapapun Senapati itu menjadi marah, tetapi ia berkata, “Jangan bertindak sendiri. Aku akan menyelesaikan persoalan ini lewat jalur yang seharusnya. Mungkin persoalannya adalah persoalan pribadi sehingga tidak sepantasnya kita ikut mencampurinya secara beramai-ramai.”
Prajuritnya terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Kata-kata Senapatinya itu memang dapat diterima. Jika persoalannya adalah persoalan pribadi, maka tidak sepantasnya jika yang lain pun ikut pula di dalam persoalan itu.
Meskipun demikian, masih juga ada sepercik dendam di dalam hati para prajurit dari pasukan Pengawal itu. Apalagi mereka yang melihat langsung perkelahian yang tidak lama itu. Mereka melihat, meskipun tidak dari permulaan sekali namun mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa Pelayan Dalam itu menyerang dengan tiba-tiba sehingga prajurit yang terbunuh itu sama sekali tidak sempat mempertahankan diri.
Tetapi mereka masih harus tunduk kepada Senapatinya. Betapapun juga mereka masih bersedia menunggu apakah yang harus mereka lakukan.
Namun demikian, di hari berikutnya, maka ketegangan telah mencengkam hati setiap prajurit. Ternyata prajurit-prajurit dari kesatuan yang lain pun telah mendengar pula, sehingga mereka harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang sama.
Kecurigaan di Singasari menjadi semakin memuncak. Ketika hal itu didengar oleh para Pelayan Dalam, maka mereka pun terkejut pula. Menurut penilaian mereka, tentu tidak ada seorang pun yang akan berbuat demikian. Namun demikian, dilandasi oleh kecurigaan yang memang sudah menyala di hati, mereka pun segera mempersiapkan diri. Pelayan Dalam adalah prajurit terpilih dalam bentuknya tersendiri. Merekalah sebenarnya yang mendapat kepercayaan langsung berada di dalam bangsal-bangsal istana. Bahkan sampai ke bilik-bilik mengawasi para pelayan yang lain. Mengawasi juru panebah, para emban dan setiap pekerja di dalam istana. Karena itu mereka adalah prajurit-prajurit yang memiliki ketajaman pengawasan firasat dan kemampuan bertempur baik secara sendiri maupun dalam kelompok-kelompok. Itulah sebabnya maka para Pelayan Dalam itu pun merasa bahwa mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri jika diperlukan, meskipun mereka harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal. Juga pasukan pilihan. Adalah orang-orang yang khusus yang sudah melewati pendadaran yang berlapis sajalah yang dapat diterima menjadi prajurit Pengawal.
Demikianlah kedua kesatuan yang terdiri dari orang-orang pilihan itu telah menjadi saling mencurigai. Karena itu setiap orang, maupun setiap kelompok yang berpapasan di halaman istana, memercikkan ketegangan yang tertahan-tahan.
Laporan mengenai terbunuhnya seorang prajurit Pengawal dari golongan Rajasa itu telah sampai kepada Panglima. Berita itu ternyata menjadi berita yang paling mengejutkan di dalam keadaan yang kalut itu. Lebih mengejutkan dari kehadiran orang yang menyebut dirinya bernama Kesatria Putih itu.
Demikianlah akhirnya Panglima Pasukan Pengawal itu pun telah menemui Panglima Pelayan Dalam. Seperti juga pemimpin-pemimpin yang lain, mereka dapat berbicara lebih tenang dari para prajurit dan Senapati-senapati muda.
Dari hasil pembicaraan itu, maka Panglima Pelayan Dalam telah memerintahkan untuk menemukan prajurit yang telah bersalah, dan mencari latar belakang dari persoalan itu. Sementara itu, mereka telah melaporkan pula kepada Tohjaya tentang peristiwa yang sangat tidak diharapkan terjadi itu.
Seperti yang sudah diduga, Tohjaya pun kemudian menjadi marah sekali. Dengan wajah merah padam ia berteriak, “Tangkap pembunuh itu. Aku perintahkan untuk menjatuhkan hukuman picis terhadapnya.”
“Tuanku.” semua orang yang mendengar terkejut karenanya dan Panglima Pelayan Dalam pun berkata, “Hukuman itu terlampau berat baginya. Apalagi apabila persoalannya adalah persoalan pribadi. Jika tuanku menghendaki, prajurit itu memang dapat dihukum mati. Tetapi bukan hukuman picis. Hamba mohon agar tuanku menjatuhkan jenis hukuman yang lain, meskipun juga berakibat mati.”
“Tutup mulutmu.” teriak Tohjaya, “Jika kau keberatan orang itu dihukum picis, maka kaulah yang akan mengalaminya.”
Panglima itu menelan ludahnya. Agaknya perasaan keadilannya benar-benar telat tersinggung. Hukuman picis adalah hukuman yang paling berat dan sama sekali tidak mengenal perikemanusiaan. Hanya pengkhianat yang paling jahat, dan mereka yang telah mengorbankan negara sajalah yang pantas dihukum picis. Itu pun sebaiknya dihindari.
Sementara itu Panglima Pasukan Pengawal pun memberanikan diri berkata, “Tuanku. Hukuman yang paling pantas untuk pembunuh itu tentu bukan hukuman yang paling berat. Aku adalah Panglima yang telah kehilangan seorang prajurit. Tetapi hampir setiap saksi mengatakan bahwa telah terjadi perkelahian meskipun hanya sebentar dan mungkin juga berarti suatu sergapan yang licik. Tetapi jika tuanku sependapat dengan hamba, hukuman pancung adalah hukuman yang paling tepat baginya. Hukuman yang mengerikan, tetapi tidak menimbulkan siksaan yang teramat pedih bagi yang menjalaninya.”
“Tidak. Tidak. Jika orang itu tertangkap, aku menghendakinya dihukum picis. Ia harus diikat di perempatan yang paling ramai. Setiap orang yang lewat harus menyayat kulitnya dan menaburinya dengan garam yang sudah dilumatkan dan memercikkan air asam dan jeruk pada luka itu. Biarkan ia terikat dan hidup sampai tiga hari tiga malam. Di hari terakhir biarkan ia mati diterik panas matahari.”
Para Panglima dan perwira yang mendengar keputusan Tuanku Tohjaya itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka tidak akan dapat lagi melunakkan hati yang sudah membatu itu.
“Apakah yang membuatnya menjadi begitu keras hati.” bertanya setiap orang yang ada di ruangan itu.
Para prajurit memang sudah mengerti bahwa Tohjaya adalah seorang yang keras hati. Ia adalah orang yang sulit diketahui jalan pikirannya. Bahwa ibundanya terlampau memanjakannya, adalah kesalahan yang paling menentukan. Tetapi akhir-akhir ini hatinya serasa menjadi semakin keras sekeras batu hitam.
Selagi para prajurit itu termangu, maka Tohjaya pun kemudian berteriak, “Cepat, apakah yang kalian tunggu?”
Prajurit-prajurit itu terkejut. Mereka saling berpandangan. Mereka tidak tahu, apakah yang dimaksud oleh Tohjaya.
“Pergi, cepat cari orang itu, dan ikat di perempatan.”
Barulah para Panglima dan Senapati itu menyadari perintah yang mengerikan itu.
Demikianlah maka para prajurit itu pun meninggalkan Tohjaya di bangsalnya. Para pemimpin pemerintahan yang masih tinggal, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang wajah Tohjaya yang bagaikan membara.
Tetapi para pemimpin itu pun tidak terlalu lama tinggal di bangsal itu, karena mereka pun segera diusir pula oleh Tohjaya.
Sejak saat itu, Tohjaya menjadi semakin bingung. la memperkuat penjagaan bangsalnya semakin kuat. Bukan saja para prajurit Pengawal yang dipercayanya saja menjaga bangsalnya tetapi Tohjaya telah memerintahkan seorang Senapati kepercayaannya untuk menarik sepasukan prajurit dari pasukan tempur untuk berada di sekitar bangsalnya pula.
Panglima dari pasukan tempur itu tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya dapat memberitahukan kepada Panglima Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, bahwa sepasukan prajuritnya telah ditarik masuk ke halaman istana. Bukan atas kehendaknya, tetapi atas perintah Tohjaya.
Maka kecurigaan dikalangan para prajurit pun menjadi semakin meluas. Ternyata Tohjaya sudah tidak percaya lagi kepada pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, sehingga ia telah menarik pasukan yang lain ke dalam lingkungan istana. Pasukan yang sebenarnya mempuyai kuwajiban tersendiri.
Tetapi karena perintah itu langsung keluar dari mulut Tohjaya, Maharaja Singasari, maka tidak seorang pun yang dapat menolaknya.
Dengan demikian maka selain kaum Rajasa dan Sinelir, di halaman istana telah berjaga-jaga pula pasukan tamtama yang terbiasa hidup di medan perang. Meskipun secara pribadi, mereka tidak terlatih sebaik prajurit-prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, namun di dalam kelompok yang cukup besar, mereka adalah prajurit-prajurit yang sangat berbahaya. Senjata mereka hampir membeku melihat luka yang silang menyilang di tubuh lawannya.
Dengan demikian, maka setiap kelompok dari prajurit prajurit yang ada di halaman itu pun menjadi semakin saling mencurigai, sehingga di dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik prajurit dari Pasukan Pengawal, dari Pelayan Dalam dan prajurit-prajurit yang terbiasa berada di medan itu, selalu di bayangi oleh kewaspadaan yang besar. Tidak seorang pun dari mereka yang pernah terpisah dari senjata dan bahkan setiap kelompok yang bertugas di halaman itu, tidak pernah membiarkan kelompok mereka terpisah tanpa saling berjanji untuk saling memberikan isyarat jika diperlukan sesuai dengan persetujuan masing masing.
Pasukan Pengawal yang merasa dirinya paling berhak untuk menjaga keamanan di halaman, tidak pernah membiarkan tugasnya diambil oleh pasukan yang lain. Meskipun di halaman itu bertebaran prajurit-prajurit tamtama, namun setiap saat sekelompok Pasukan Pengawal masih selalu meronda berkeliling. Tetapi mereka tidak lagi meronda berdua setiap kali, tetapi kelompok mereka menjadi lima orang.
Kebencian para prajurit dari Pasukan Pengawal kepada orang Sinelir rasa-rasanya masih menyala di dada, maka mereka tidak senang sekali melihat sikap para prajurit yang biasa hidup di medan perang itu berada di halaman tanpa menghiraukan tata cara.
Sementara itu, orang-orang Sinelir yang merasa menjadi sasaran dendam orang orang Rajasa pun selalu bersiaga sepenuhnya. Bahkan kini mereka rasa-rasanya dihadapkan pula pada sekelompok pasukan yang lain, yang tidak mengenal suba sita.
“Kita harus bertindak tegas.” berkata seorang Senapati dari Pelayan Dalam, “Baik para Pengawal maupun prajurit prajurit liar itu, tidak boleh memasuki pakiwan bagi para kesatria dan apalagi para puteri. Itu adalah kuwajiban kita. Jika mereka memaksa, maka kita harus bertindak. Kita adalah prajurit-prajurit yang membawa senjata pula.”
Para prajurit yang mendengar perintah itu pun menjadi semakin mantap akan tugas mereka. Mereka sama sekali tidak takut menghadapi apapun juga di dalam menjalankan tugas.
“Jika orang-orang Rajasa itu masih tetap mendendam, maka kita harus menanggapinya.” berkata seorang Pelayan Dalam yang berjambang segenggam.
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka harus tetap menjunjung tinggi panji-panji pasukan masing-masing.
Dengan demikian, maka kecurigaan, kebencian dan dendam rasa-rasanya semakin menyala di halaman istana Singasari. Dan itu adalah gambaran dari Singasari keseluruhan.
Prajurit-prajurit yang ditarik dari luar istana, dan merasa mereka adalah petugas-petugas yang langsung ditempatkan oleh Maharaja Singasari pun merasa diri mereka berkuasa. Itulah sebabnya maka kadang-kadang mereka berbuat sesuka hati tanpa menghiraukan batas-batas kekuasaan dari kesatuan yang lain.
Dalam pada itu, Lembu Ampal pun tidak berhenti sampai pada batas itu. Ia masih ingin melanjutkan rencananya, ia ingin memanfaatkan keadaan yang sedang panas itu.
“Apalagi yang akan kau kerjakan Lembu Ampal?” bertanya Mahendra.
“Seperi rencana semula.” berkata Lembu Ampal, “Keadaan menjadi semakin panas. Kesempatan agaknya sudah terbuka sekarang.”
“Tetapi kau mengorbankan orang yang sama sekali tidak bersalah.”
“Mereka adalah prajurit. Setiap prajurit seharusnya sudah memperhitungkan kemungkinan untuk mati tertusuk senjata. Bukan hanya sekedar untuk menengadahkan kepalanya karena kedudukannya itu. Karena itu, maka jika justru akulah yang kemudian mati terbunuh dalam rencanaku, aku pun tidak menyesal karena aku pun seorang prajurit.”
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia memang melihat bahwa agaknya rencana Lembu Ampal akan berhasil.
Dalam pada itu. Mahisa Agni yang masih tetap tinggal di halaman istana merasakan juga udara yang semakin panas. Semakin banyak prajurit yang bertebaran di halaman, ia pun menjadi semakin sulit untuk berhubungan dengan Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal. Hanya karena kelebihan mereka sajalah, sekali-kali mereka dapat juga saling berhubungan.
Namun dalam pada itu, setiap pengawal khusus di bangsal Mahisa Agni pun sudah mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Mereka semakin meningkatkan kesiagaan. Apalagi mereka sadar, bahwa tatapan mata para prajurit itu terhadap mereka, bagaikan sorot api yang memancarkan kebencian tiada taranya.
Selain Mahisa Agni dan para pengawalnya, maka Mahisa Wonga Teleng dan adik-adiknya pun selalu bersiaga pula. Mereka bersama Mahisa Agni adalah pihak yang lain sama sekali dengan pihak-pihak yang sedang saling mencurigai, meskipun agaknya semua pihak telah mencurigai mereka pula.
Di bangsal Mahisa Wonga Teleng, beberapa orang pelayan yang serta selalu menyediakan senjata pula meskipun tidak semata-mata mereka sandang di lambung seperti para prajurit. Tetapi meskipun mereka bukan prajurit, namun serba sedikit mereka pun mampu mempergunakan senjata. Apalagi adik-adik Mahisa Wonga Teleng.
Sementara itu, ibu Ranggawuni pun telah berada di bangsal Mahisa Wonga Teleng pula karena ia tidak dapat tinggal sendiri di bangsalnya tanpa anaknya yang sangat dikasihinya.
Tetapi Mahisa Wonga Teleng telah saling berjanji dengan Mahisa Agni. Jika terjadi sesuatu, maka mereka akan saling memberikan isyarat. Meskipun jumlah mereka tidak terlampau banyak, tetapi mereka tidak akan menyediakan diri untuk pasrah begitu saja tanpa memberikan perlawanan.
Dalam pada itu. Lembu Ampal pun berjalan terus dengan rencananya. Seperti yang sudah diaturnya sebaik-baiknya, maka Lembu Ampal berusaha untuk dapat melakukan rencananya di dalam istana.
Ia tahu benar, bahwa tugas Pelayan Dalam sebagian besar dilakukan di dalam bangsal di istana.
“Aku harus melakukannya di tempat yang paling berbahaya.” berkata Lembu Ampal kepada Witantra.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tugas itu memang tugas yang sangat berat. Jika Lembu Ampal gagal, akibatnya akan menjadi luas. Keributan yang timbul di halaman istana yang diliputi oleh ketegangan itu akan dapat menimbulkan huru hara yang dapat menyentuh Mahisa Agni dan bahkan mungkin Ken Dedes yang sudah hampir tidak dapat berbuat sesuatu selain duduk dan bercakap-cakap dengan para emban yang menjaganya.
Karena itu, maka Witantra pun kemudian berkata, “Aku dan Mahendra tidak akan dapat membiarkan kau melakukan rencanamu sendiri.”
“Maksudmu?”
“Biarlah kami berjaga-jaga. Jika terjadi kerusuhan di dalam halaman apapun sebabnya, kami akan memasukinya.”
“Tetapi bagaimana jika hal itu timbul tanpa hubungan apapun dengan rencanaku.”
“Memang sulit untuk membedakan. Tetapi apa boleh buat. Tetapi aku akan berusaha memasuki halaman tanpa diketahui orang lain.”
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih. Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik, sehingga akan segera datang saatnya tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kembali ke istana.”
“Aku pun akan menyiapkan pasukan pengawal Ranggawuni yang datang dari Kediri itu tidak terlampau jauh dari istana. Jika perlu aku dapat memberikan isyarat kepada mereka.”
Witantra berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jika demikian, maka perang telah terjadi di Singasari. Sedang golongan Rajasa dan Sinelir akan bersatu untuk melawan kita semua.”
Lembu Ampal termenung sejenak, jika yang terjadi adalah perang yang akan mengoyak Singasari menjadi debu, maka segala usaha yang selama ini dilakukan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra akan menjadi sia-sia. Mereka tidak ingin melihat Singasari menjadi ajang perang di antara saudara sendiri yang dapat membakar Singasari menjadi arang. Tetapi mereka pun tidak dapat membiarkan kelaliman tetap berada di atas tahta. Itulah sebabnya maka mereka mencari cara yang paling baik untuk merubah keadaan tanpa korban yang tidak berarti.
“Jika ada korban yang jatuh, harus diusahakan sekecil-kecilnya.” berkata Witantra setiap kali, “Jika kita tidak memikirkan korban yang bakal jatuh dan rakyat kecil yang akan mengalami bencana, maka kita telah memukul Tohjaya dengan perang.”
Demikianlah maka Lembu Ampal telah dibekali oleh berbagai macam pertimbangan untuk melakukan rencananya. Karena itu, maka tanggung jawab yang dipikulnya adalah tanggung jawab yang sangat berat.
Ketika saat yang ditunggunya tiba, maka Lembu Ampal pun segera mempersiapkan diri. Di malam yang kelam, dengan sangat berhati-hati Lembu Ampal berusaha memasuki halaman istana Singasari. Tetapi bukan hanya Lembu Ampal seorang diri, ternyata bahwa Witantra dan Mahendra pun telah ikut pula memasuki istana.
Ternyata bahwa halaman istana Singasari itu mendapat pengawasan yang luar biasa ketatnya. Hampir di setiap tempat terdapat prajurit. Di gerbang-gerbang bangsal dan gerbang petamanan, di regol-regol halaman dan di tempat-tempat yang penting. Pasukan Pengawal tetap berada di tempatnya. Sedang di dalam bangsal-bangsal yang bertebaran di halaman, dibangsal perbendaharaan, dan di longkang air, prajurit dari kesatuan Pelayan Dalam selalu bersiaga menghadapi setiap, kemungkinan yang bakal terjadi. Sedang hampir di setiap tempat, prajurit-prajurit tempur yang merasa dirinya mendapat tugas langsung dari Tohyaja pun merasa bertanggung jawab terhadap keadaan seluruhnya di dalam halaman itu.
Karena itu, maka Lembu Ampal harus berhati-hati sekali. Setiap langkah ia akan berpapasan dengan prajurit peronda dari pasukan yang berbeda.
“Bukan main.” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya, “Benar-benar suatu pameran kekuatan atau pameran ketakutan.”
Tetapi Lembu Ampal sama sekali tidak berniat untuk mengurungkan niatnya. Bahkan dengan keberanian yang luar biasa Lembu Ampal sempat memberikan isyarat kepada Mahisa Agni.
Ketika terdengar angkup berdesah bagaikan desah perawan yang ditinggal kekasih, Mahisa Agni sadar, bahwa suara itu adalah suara isyarat yang ternyata dari iramanya yang ajeg seperti yang sudah saling mereka setujui.
“Mereka ada di halaman.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menyiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Ia menyadari bahwa Lembu Ampal telah menyusun rencana tertentu yang akan dilaksanakannya untuk mengusir Tohjaya dari kedudukannya.
Mahisa Agni yang menyadari keadaan sepenuhnya itu pun segera memberitahukan kepada para pengawalnya yang ada di bangsalnya. Meskipun jumlah mereka tidak seimbang sama sekali dibandingkan dengan prajurit yang bertebaran di halaman istana, namun tenaga para pengawal terpilih yang hanya sedikit itu bersama dengan Mahisa Agni dan beberapa orang yang telah mengirimkan isyarat itu, ditambah dengan Mahisa Wonga Teleng bersama adik-adik dan pelayan-pelayan yang setia, akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh prajurit-prajurit yang ada di halaman itu.
Para pengawal yang sudah berbaring di atas tikar yang di bentangkan di ruang dalam itu pun segera terbangun. Mereka membenahi pakaian mereka, dan menggantungkan senjata di lambung. Sedang di leher mereka masih tetap tersangkut sehelai kain berwarna putih sebadai pertanda kesediaan mereka untuk berkorban demi kesetiaan mereka terhadap keyakinan mereka.
Dalam pada itu, Lembu Ampal yang yakin bahwa Mahisa Agni telah mendengar isyaratnya itu pun segera merayap semakin dalam. Ia merangkak di balik gerumbul-gerumbul perdu dan kadang-kadang harus bersembunyi di antara dedaunan di petamanan, jika beberapa orang prajurit kebetulan lewat.
“Aku harus menemukan kesempatan itu.” ia berkata di dalam hati.
Namun kesediaan Witantra dan Mahendra untuk berada di halaman istana itu, menambah kemantapannya untuk melakukan tugasnya.
Sementara itu, para prajurit yang berjaga-berjaga di halaman istana dan dicengkam oleh ketegangan itu merasakan betapa malam menjadi sangat sepi dan lengang. Namun, kadang-kadang naluri keprajuritan mereka merasakan, bahwa malam yang sepi itu bagaikan mengandung gejolak yang tersembunyi, yang setiap saat dapat meledak dengan dahsyatnya.
Tetapi, para prajurit itu tidak tahu dari manakah sumber ledakan itu. Kecurigaan mereka yang semakin menyala di dalam setiap hati membuat mereka selalu bersiaga. Mereka selalu berada di dalam kelompok-kelompok yang siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam suasana yang demikian itulah, Lembu Ampal ingin melaksanakan rencananya yang telah matang.
Untuk beberapa saat lamanya Lembu Ampal menunggu kesempatan dengan bersembunyi di balik gerumbul perdu. Sekali-kali ia menebarkan pandangan matanya ke segenap arah. Tetapi ia tidak dapat melihat Witantra maupun Mahendra.
“Aku tidak tahu dimanakah keduanya berada. Tetapi aku yakin bahwa keduanya telah berada di dalam halaman ini pula.” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Di langit bintang geminlang telah bergeser kebarat dan angin yang dingin berhembus perlahan-lahan.
Para prajurit yang berada di halaman istana itu pun merasakan betapa malam menjadi sangat dingin.
Karena ternyata tidak ada tanda-tanda yang memberi petunjuk bahwa sesuatu akan terjadi, maka para prajurit itu pun tidak lagi merasa diburu oleh ketegangan. Mereka merasa bahwa mereka telah dicengkam oleh kecemasan sehingga mereka seakan-akan merasa berada di ujung bahaya.
“Kita terpengaruh oleh keadaan.” berkata seorang prajurit kepada kawannya, “Rasa-rasanya jantungku berdetak semakin cepat. Namun agaknya, tidak akan terjadi sesuatu.”
“Macammu.” desis kawannya yang lain, “Kau selalu gelisah dan bahkan kadang-kadang kau telah menarik pedangmu tanpa sebab.”
“Sore tadi. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Biasanya malam memang sesepi ini. Tetapi kali ini kita sendirilah yang membuat malam seakan-akan menjadi sangat garang di dalam kesepiannya.”
Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya kawannya yang lain yang bertugas di regol. Lalu katanya, “Biarlah mereka bertugas. Kita mendapat kesempatan untuk tidur saat ini. Jika kita tidak tidur sekarang, maka kita akan segera menggantikan tugas mereka. Dan itu adalah alamat bahwa semalam suntuk kita tidak akan tidur.”
“Kau bicara berkepanjangan. Bagaimana mungkin aku dapat tidur.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Prajurit-prajurit itu mencoba untuk dapat tidur barang sejenak, sebelum mereka menggantikan tugas kawan-kawannya di regol.
Demikian pula prajurit-prajurit dari kesatuan yang lain. Perlahan-lahan mereka kehilangan kesiagaan karena mereka tidak menjumpai peristiwa apapun. Apalagi semakin malam maka seakan-akan halaman itu menjadi semakin tenang. Tetapi kesepian yang justru semakin memuncak kadang-kadang terasa meremang di tengkuk.
Lembu Ampal dari persembunyiannya pun melihat bahwa kesibukan para prajurit itu pun semakin lama menjadi semakin surut. Bahkan kemudian beberapa orang di antara mereka sudah menjadi acuh tidak acuh lagi.
Agaknya para prajurit dari kesatuan-kesatuan yang lain pun demikian pula keadaannya. Para Pengawal yang berjaga-jaga di bangsal dan para Pelayan Dalam yang ada di dalam bangsal dan longkangan-longkangan sudah tidak lagi bersiap-siap dalam keadaan yang tegang.
Lembu Ampal yang bersembunyi di balik pohon-pohon perdu itu pun merasa bahwa saatnya sudah menjadi semakin dekat. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri. Ia harus menemukan seorang dari golongan Sinelir.
Ketika halaman itu menjadi semakin lengang, maka lembu Ampal pun merayap lebih dalam lagi. Bahkan ia pun kemudian mendekati bangsal yang berada di lingkungan halaman yang seakan-akan terpisah dari yang lain. Bangsal yang di huni oleh Ken Umang.
Bangsal itu nampaknya memang sedang suram. Tidak lagi nampak kegembiraan yang berlebih-lebihan seperti beberapa saat sebelumnya, justru ketika Tohjaya belum menjadi seorang Maharaja.
Beberapa orang pemimpin Singasari memang sedang dicengkam oleh teka-teki tentang sifat Ken Umang dan Tohjaya, justru setelah Tohjaya menjabat kedudukan tertinggi di Singasari.
“Mungkin mereka tidak sependapat di dalam olah pemerintahan.” berkata seorang prajurit.
“Tentu tidak. Jika demikian, maka akibatnya tidak akan berlarut-larut.” sahut kawannya.
Namun, yang terjadi kemudian jarak antara ibunda Maharaja di Singasari itu rasa-rasanya menjadi semakin jauh.
Dalam pada itu, Lembu Ampal pun telah berada di sekitar bangsal Ken Umang yang dilingkungi oleh sebuah kebun bunga yang rimbun. Tetapi kebun itu pun nampaknya tidak lagi secerah beberapa saat sebelumnya. Batangnya tidak lagi nampak segar dan terpelihara. Meskipun para juru taman masih tidak meninggalkan tugas mereka, tetapi karena Ken Umang hampir tidak pernah menengok tanaman-tanaman itu, maka juru taman pun tidak lagi bekerja dengan sepenuh gairah.
Perlahan-lahan Lembu Ampal merayap makin dekat. Ia melihat beberapa orang pasukan pengawal bersiap-siap di dekat bangsal itu. Dan bahkan hampir di setiap sudut dan pintu.....
Akan tetapi Lembu Ampal tidak memerlukan mereka. Ia kemudian mengendap di bawah sebatang pohon yang besar di petamanan.
“Dari atas dahan itu aku akan dapat melihat ke dalam longkangan di belakang bangsal itu.” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya. Dan ia pun kemudian benar-benar ingin mencoba memanjat.
Sejenak Lembu Ampal pun memperhatikan keadaan, ketika ia yakin bahwa ia akan dapat memanjat tanpa diketahui oleh seorang pun dari para penjaga, maka ia pun segera bersiap.
Dengan sangat hati-hati, Lembu Ampal pun kemudian melekatkan diri pada batang pohon itu. Ternyata Lembu Ampal memang memiliki kecakapan memanjat. Hampir tidak dapat dilihat, ia sudah bergeser naik. Tubuhnya melekat pada batang pohon yang besar itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Apalagi ketika Lembu Ampal sudah sampai pada dahan-dahan yang berdaun.
Seperti yang diduganya, Lembu Ampal dapat melihat ke dalam longkangan di belakang bangsal. Para Pelayan Dalam yang berjaga-jaga di dalam, tidak berkelompok sebanyak para Pengawal dan prajurit-prajurit yang lain.
“Hanya ada dua orang yang nampak dari sini.” desis Lembu Ampal kepada diri sendiri. Lalu, “Tetapi di dalam bangsal itu tentu ada beberapa orang yang lain yang bersiaga penuh. Jika ada sesuatu yang mencurigakan maka salah seorang dari Pelayan Dalam itu dapat memberikan isyarat dan mereka pun akan segera bersiaga sepenuhnya.”
Karena itu Lembu Ampal harus berpikir sejenak. Ia harus dapat bertindak tanpa menimbulkan keributan agar ia tidak terjebak di dalam istana dan tidak dapat meloncat keluar.
Beberapa saat lamanya Lembu Ampal bagaikan melekat pada sebatang dahan. Namun ia pun kemudian merayap seperti seekor cicak maju mendekati dinding longkangan.
Dengan kewaspadaan yang tinggi, Lembu Ampal kemudian berusaha untuk turun perlahan-lahan dan ketika tidak seorang pun yang kebetulan berada di dekatnya, maka ia pun segera meloncat dan menelungkup datar pada dinding.
Dua orang prajurit pengawal di regol tidak melihatnya sama sekali. Demikian juga prajurit-prajurit Pengawal yang ada di gardu. Demikian juga yang berada di sudut luar dinding.
Beberapa saat lamanya Lembu Ampal mematung. Dua Pelayan Dalam yang ada di longkangan pun seakan-akan tidak menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Mereka duduk di tangga serambi menghadap kelongkangan yang kosong dan sepi.
“Pada suatu saat yang seorang dari keduanya tentu akan pergi meskipun hanya beberapa langkah. Jika keduanya terpisah, maka akan datang saatnya aku bertindak, supaya aku tidak harus membunuh keduanya.”
Dengan sabar Lembu Ampal menunggu. Sekali-kali ia menengadahkan kepalanya melihat bintang-bintang di langit. Tetapi agaknya ia tidak terlampau tergesa-gesa.
Ternyata akhirnya yang diharapkannya itu datang. Yang seorang, yang agaknya sudah jemu duduk berdiam diri, segera berdiri sambil menggeliat.
“Kantuk ini selalu mengganggu.” desisnya.
“Kau mau kemana?” bertanya yang seorang.
“Berjalan-jalan mengelilingi longkangan daripada kantuk. Di luar dinding ini prajurit-prajurit dari kesatuan Pengawal sedang berjaga-jaga juga. Sedang di halaman berkeliaran prajurit dari pasukan tempur yang ditarik masuk ke dalam istana ini.”
“Dan di sini kita bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Kawannya yang sudah berdiri itu tertawa. Katanya, “Jika terjadi sesuatu, maka yang pertama-tama akan hancur adalah istana ini. Jika pecah keributan di antara pasukan yang ada di dalam istana, maka bangsal-bangsal tentu akan hancur. Meskipun mungkin Pelayan Dalam jumlahnya paling sedikit, tetapi kita tidak akan dapat dianggap paling lemah.”
Yang lain pun tertawa pula. Tetapi orang itu tidak menjawabnya. Dengan tergesa-gesa ia menutup mulutnya yang sedang menguap dengan telapak tangannya.
“Setan.” desisnya, “Aku pun menjadi kantuk sekali. Tidak pernah aku dihinggapi perasaan seperti ini.”
“Sebentar lagi akan datang giliran orang lain.” kawannya itu terdiam sejenak, lalu, “Biarlah aku melihat, apakah yang berjaga-jaga di serambi samping juga diganggu oleh perasaan seperti ini.”
“Kemana kau?”
“Ke serambi sebelah. Hanya lima langkah dari sudut itu.”
“Cepat kembali, jika kau terlampau lama, kantukku tentu tidak dapat aku tahankan lagi, karena tidak ada kawanku berbicara sama sekali.”
“Baiklah. Mudah-mudahan para penjaga di serambi yang lain pun tidak menjadi kantuk pula.”
Pelayan Dalam yang seorang itu pun kemudian pergi ke serambi samping.
Lembu Ampal seolah-olah mendapat kesempatan untuk melakukan rencananya. Tetapi ia harus cepat bertindak, jika ia terlambat, dan Pelayan Dalam yang seorang itu kembali dan melihat apa yang terjadi, maka ia tentu akan sempat melontarkan isyarat. Halaman ini akan menjadi kacau dan para penjaga pun akan segera bersiaga dan mengepung halaman ini rapat-rapat. Bukan saja ia tidak dapat keluar halaman, tetapi tentu juga Witantra dan Mahendra. Sudah barang tentu keduanya tidak akan menyerahkan dirinya tanpa perlawanan. Sedangkan perlawanan berarti perang apabila Witantra melepaskan isyarat bagi para pengawal yang datang dari Kediri dan yang sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Witantra di batas kota.
Karena itu, Lembu Ampal harus melaksanakan tugasnya dengan cermat, hati-hati dan sekaligus berhasil. Tugasnya kali ini bukannya tugas yang dapat diulang dua kali.
Sejenak Lembu Ampal masih menunggu. Ketika Pelayan Dalam yang seorang lagi sudah tidak nampak, maka mulailah ia beringsut sedikit.
Sebagai bekas seorang prajurit Lembu Ampal mengetahui, bahwa di bangsal itu tentu terdapat sekelompok Pelayan Dalam yang tugasnya terpencar. Hampir di setiap ruangan terdapat satu atau dua orang di dalam keadaan yang panas ini. Sedang di ruang yang khusus akan terdapat Pelayan Dalam yang sedang tidak bertugas. Mereka biasanya tertidur nyenyak sebelum saat bertugas bagi mereka datang.
“Yang satu ini terpaksa dikorbankan.” berkata Lembu Ampal di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, setelah ia mempersiapkan diri untuk tugas yang berat itu, Lembu Ampal pun tiba-tiba saja meloncat ke dalam longkangan.
Pelayan Dalam itu terkejut. Dengan gerak naluriah ia meloncat berdiri.
Tetapi ia tidak sempat berbuat apa-apa. Ketika ia menyadari keadaan, maka perutnya telah tertembus oleh keris Lembu Ampal.
“Maaf Ki Sanak.” terdengar Lembu Ampal berdesis, “Aku terpaksa melakukan untuk suatu tujuan yang lebih besar. Tetapi jangan menganggap dirimu tidak bersalah, karena kau adalah salah seorang pendukung tuanku Tohjaya yang kini memiliki tahta yang sebenarnya bukan haknya, dan yang direbutnya dengan mengorbankan jiwa tuanku Anusapati.”
Tetapi Pelayan Dalam itu sudah tidak dapat menjawab. Bahkan pendengarannya sudah tidak utuh lagi.
Lembu Ampal pun kemudian melepaskannya. Tetapi Pelayan Dalam itu sudah tidak mampu lagi untuk tetap berdiri. Sehingga ia pun kemudian jatuh menelungkup dengan darah yang bagaikan menyembur dari lukanya.
Lembu Ampal merenungi mayat itu sejenak. Kemudian dilepasnya sehelai kain yang dibawanya dan sebuah ikat pinggang. Dilemparkannya ikat pinggang itu beberapa langkah, dari mayat yang sudah terkapar di tanah itu, dan kemudian di dekat dinding kainnya pun ditinggalkannya pula.
Sejenak kemudian maka Lembu Ampal itu pun meninggalkan halaman bangsal itu.
Ketika Lembu Ampal kemudian hilang di dalam kegelapan maka terdengarlah suara burung kedasih yang ngelangut. Suara burung yang melontar dari mulut Lembu Ampal. Dengan suara itu, ia memberi isyarat kepada Witantra, Mahendra dan Mahisa Agni, bahwa ia telah berhasil melakukan tugasnya. Isyarat yang memang sudah disepakati sebelumnya.
Dengan demikian, maka hampir bersamaan waktunya, Lembu Ampal, Witantra dan Mahendra pun dengan sangat hati-hati telah meloncat ke luar dinding halaman istana. Mereka berjanji untuk bertemu di tempat yang telah mereka tentukan bersama sambil menunggu perkembangan kaadaan.
Sesaat ketika mereka telah bertemu, maka Lembu Ampal pun segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya.
Witantra menarik nafas dalam-dalam, sedang Mahendra duduk tepekur sambil mengangguk-angguk.
“Mudah-mudahan korban berikutnya dapat dibatasi sekecil-kecilnya.” berkata Witantra.
“Menurut perhitunganku, jalan ini adalah jalan yang paling sedikit menuntut korban.”
Witantra memandang Lembu Ampal sejenak. lalu, “Mudah-mudahan perhitunganmu benar. Tetapi jika malam ini orang-orang Sinelir tidak dapat menahan diri dan terjadi benturan senjata dengan golongan Rajasa, maka keadaan akan menjadi kacau. Tentu akan terjadi perang segitiga di halaman istana. Orang-orang Sinelir, orang Rajasa dan para prajurit yang ditarik masuk ke halaman istana atas perintah tuanku Tohjaya.”
Lembu Ampal mengusap keringatnya. Keadaan yang demikian memang dapat terjadi. Tetapi bagi Lembu Ampal, itu agaknya lebih baik daripada jika mereka justru bersatu.
Namun Lembu Ampal tidak mengatakannya.
“Kita akan menunggu perkembangan yang terjadi.” berkata Mahendra.
Lembu Ampal dan Witantra mengangguk kecil.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Pelayan Dalam yang pergi ke serambi sebelah menemukan dua orang kawannya sedang duduk di serambi. Agaknya keduanya dicengkam oleh suasana yang terasa asing sehingga keduanya selalu bersiaga dengan senjata mereka. Dan bahkan sesuai dengan kegelisahan itu, mereka berdua duduk pada jarak yang agak berjauhan dengan senjata telanjang di tangan.
“Kalian nampak gelisah.” berkata Pelayan Dalam yang datang melihat keadaan kedua kawannya itu.
“Bukan gelisah, tetapi bersiaga. Rasa-rasanya ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”
“Kami berdua di serambi sebelah merasa kantuk sekali. Karena itulah maka aku datang kemari. Sekedar menghilangkan perasaan kantuk, karena petugas yang akan menggantikan kami masih akan datang nanti.”
Kedua Pelayan Dalam yang duduk di seramhi itu mengangguk. Namun salah seorang berkata, “Jangan terlampau lama kau tinggalkan kawanmu. Kembalilah. Keadaan ini agaknya tidak wajar. Aku mendengar suara burung kedasih.”
“Hampir setiap malam aku mendengar suara burung kedasih Begitulah agaknya bunyi burung itu. Tidak ada mengandung makna apapun.”
“Mungkin. Tetapi kembalilah.”
Pelayan Dalam dari serambi sebelah itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil tertawa. Katanya, “Kalian tentu akan segera tidur. Atau barangkali suara burung itu membuat kalian ketakutan. Tetapi bukankah kehadiranku di sini dapat membuat kalian mempunyai kawan tambahan.”
“Kau memang bodoh.” jawab kawannya, “Kembalilah. Kawanmu hanya seorang diri. Jika kau tinggalkan ia terlalu lama, maka ialah yang akan ketakutan oleh bunyi burung kedasih itu.”
“Kawanku adalah seorang prajurit yang tangguh. Ia tidak ketakutan mendengar suara apapun. Suara harimau atau suara garuda sekalipun.”
Kedua Pelayan Dalam yang bertugas di seramhi itu tidak menyahut lagi. Tetapi mereka juga tidak mengacuhkan lagi kawannya yang masih berada di penjagaannya itu.
“Baiklah.” berkata Pelayan Dalam yang datang dari serambi sebelah, “Aku akan segera kembali. Jika kalian akan tidur, silahkan tidur. Tetapi jika Pelayan Dalam yang akan menggantikan kalian datang, dan kalian masih tidur nyenyak maka besok kalian akan dipecat.”
Kedua kawannya sama sekali tidak menyahut. Dibiarkannya saja Pelayan Dalam itu berbicara sambil melangkah pergi.
Ketika ia kembali ketempatnya, ia menjadi heran bahwa kawannya sudah tidak ada ditempatnya lagi. Sejenak ia mengamati keadaan di sekelilingnya. Namun darahnya serasa terhenti ketika ia melihat kawannya terbaring diam, sedang darah bagaikan membanjir di sekitarnya.
Dengan dada berdebar-debar ia mendekatinya. Kemudian meraba tubuhnya. Tetapi tubuh itu sudah dingin membeku.
Pelayan Dalam itu hampir kehilangan akal. Sekilas terdengar suara kawannya terngiang, “Aku mendengar suara burung kedasih.”
Dengan serta-merta Pelayan Dalam itu pun segera berlari. Dipukulnya kentongan kecil untuk memberikan isyarat bahwa di tempatnya telah terjadi pembunuhan. Pembunuhan atas seorang prajurit yang sedang melakukan tugasnya.
Sejenak kemudian halaman itu telah menjadi ribut. Beberapa orang Pelayan Dalam berlarian ke tempat pembunuhan itu terjadi. Bahkan bukan saja para Pelayan Dalam. Tetapi para prajurit dari pasukan yang lain pun menjadi terkejut dan segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi justru dalam keadaan bahaya, mereka saling menjaga diri untuk tidak saling melintasi kekuasaan masing-masing.
Karena itulah, maka yang kemudian berada di longkangan belakang adalah para Pelayan Dalam dengan senjata telanjang di tangan. Sedang para Pengawal pun telah bersiaga di depan regol bangsal dan bahkan di depan setiap pintu gerbang. Beberapa orang di antara mereka segera memencar menutup segala lubang yang dapat ditembus oleh seseorang untuk keluar dari halaman. Karena itu, maka hampir di setiap jengkal di dinding halaman istana itu mendapat pengawasan yang ketat.
Sementara itu, para prajurit yang ditarik ke dalam istana pun telah bersiaga pula. Mereka pun telah berada di gardu-gardu yang khusus bagi mereka, terpencar di seluruh halaman.
Sejenak halaman itu menjadi tegang Pelayan Dalam yang ada di setiap bangsal di halaman istana itu telah menggenggam senjata di tangan. Jika isyarat berikutnya berbunyi, maka mereka harus bertempur, siapa pun lawan mereka. Karena itu, maka setiap kelompok di setiap bangsal, segera mempersiapkan diri menunggu kemungkinan yang masih akan berkembang.
Dalam pada itu. Senapati yang sedang memimpin tugas para Pelayan Dalam di seluruh istana, dikawal oleh sekelompok pengawal terpilih, segera datang ketempat pembunuhan terjadi. Sejenak mereka mengamati keadaan. Namun kemudian hati setiap orang itu hampir meledak karenanya. Ternyata di antara mereka telah menemukan sebuah ikat pinggang dan sehelai kain panjang.
“Orang-orang Rajasa.” teriak Pelayan Dalam yang menemukan ikat pinggang dengan ciri khusus itu.
Sejenak para Pelayan Dalam itu diam mematung. Namun kemudian seorang dari antara mereka berteriak, “Kita bunuh orang-orang Rajasa. Mereka telah menfitnah kita, dengan menuduh bahwa salah seorang dari kita telah membunuh kawan mereka. Itu tidak benar. Tidak seorang pun di antara kita yang telah membunuh mereka. Tetapi ternyata itu hanya alasan saja dari orang-orang Rajasa untuk melakukan tindakan biadab ini.”
“Ya, kita serang saja mereka malam ini. Kita sudah siap. Di setiap bangsal di istana ini terdapat sekelompok Pelayan Dalam. Pasukan Pengawal yang ada malam ini akan musna dalam sekejap.”
Tetapi Senapati yang telah hadir di antara mereka itu pun kemudian berkata, “Tunggu. Aku sependapat dengan kalian tetapi aku tidak dapat berbuat tergesa-gesa seperti itu. Aku harus menyampaikan hal ini kepada Panglima. Malam ini juga kami akan menghadap tuanku Tohjaya. Jika tuanku Tohjaya tidak dapat memberikan ketegasan apapun, kita akan segera bertindak. Apapun yang akan terjadi.”
“Itu tidak perlu.” teriak seorang Pelayan Dalam.
“Perlu, agar kita tidak disebut pasukan liar. Tetapi kita harus bersiaga sepenuhnya. Mungkin kita benar-benar harus bertempur malam ini.”
“Tetapi mereka akan bersiaga.”
“Aku akan melakukan secepatnya sebelum sempat mereka lakukan.”
Beberapa orang Pelayan Dalam bagaikan tidak dapat menahan diri lagi. Mereka berdesakkan menghadap Senapati itu. Salah seorang berkata, “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Aku yang akan melakukannya. Kalian menunggu di sini dalam kesiagaan sepenuhnya. Selama ini orang-orang Rajasa tentu tidak tahu pasti apa yang telah terjadi karena itu jangan kau kabarkan lebih dahulu apa yang telah terjadi.” berkata Senapati itu. “Jika mereka mengetahuinya, maka mereka pun akan bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Seorang Pelayan Dalam yang tidak sabar lagi berkata, “Cepat. Silahkan menyampaikannya kepada Panglima.”
Senapati itu pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Di luar dilihatnya kesatuan-kesatuan yang lain memang sudah bersiaga.
“Apa yang terjadi.” bertanya seorang Senapati dari pasukan Pengawal.
“Sebuah kesalahan kecil.” jawab Senapati itu.
“Tetapi isyarat itu telah mengemparkan seluruh istana.”
“Aku akan menghadap Panglima. Baru persoalannya akan terang bagi kalian.”
Senapati itu segera pergi dengan meninggalkan kesan yang aneh. Tetapi salah seorang pengawal pun kemudian berbisik di antara kawannya. “Mungkin ada orang-orang dari lingkungan Pelayan Dalam yang saling berkelahi dan saling membunuh.”
Kesimpulan itulah yang untuk sementara mereka anggap paling mungkin.
Dalam pada itu. Senapati Pelayan Dalam itu pun segera menghadap Panglimanya. Dengan wajah yang merah tegang ia mengatakan apa yang telah terjadi di longkangan belakang bangsal itu.
Panglima Pelayan Dalam itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Orang-orang Rajasa menganggap bahwa salah seorang dari kami telah membunuh kawan mereka bahkan tuanku Tohjaya telah menjatuhkan perintah yang mengerikan. Jika pembunuh itu tertangkap, ia harus dihukum picis di perempatan jalan.”
“Tetapi tidak seorang pun dari kami yang telah melakukannya.” sahut Senapati itu.
“Aku akan menghadap tuanku Tohjaya bersama Panglima pasukan Pengawal.”
“Tetapi malam ini suasana harus dapat dikuasai, jika tidak, maka orang-orang Sinelir tidak lagi dapat mengendalikan diri. Mungkin mereka akan bertindak sendiri-sendiri, karena mereka pun merasa, bahwa mereka memiliki kemampuan tempur tidak kalah dari para Pengawal. Baik dalam kelompok maupun secara pribadi.”
“Aku akan menghadap tuanku Tohjaya sekarang bersama Panglima Pasukan Pengawal.”
Panglima Pelayan Dalam itu pun kemudian menemui Panglima Pasukan Pengawal dan bersama-sama menghadap tuanku Tohjaya.
Ternyata Tohjaya pun telah terbangun mendengar bunyi isyarat dan keributan yang terjadi di halaman istana. Dengan dada yang berdebar-debar, maka diperintahkannya semua prajurit yang ada di sekitar bangsalnya bersiap sepenuhnya. Prajurit dari segala pasakan. Tetapi agaknya kepercayaan Tohjaya baru tertumpah kepada prajurit-prajurit tempur yang dipanggilnya masuk ke dalatn istana itu.
Kehadiran kedua Panglima di malam hari itu tidak mengejutkannya. Tetapi ia tidak senang melihat keduanya datang menghadap untuk menyampaikan keluhan-keluhan.
“Kami akan memberikan laporan.” berkata Panglima Pelayan Dalam.
“Apakah orangmu yang membunuh itu sudah tertangkap?”
“Ampun tuanku. Yang terjadi adalah sebaliknya.”
“Maksudmu?”
“Seorang Pelayan Dalam telah terbunuh oleh seorang dari lingkungan Pasukan Pengawal.”
“Gila.” Tohjaya berteriak. Namun Panglima itu berkata seterusnya, “Tuanku harus mengambil langkah-langkah kebijaksanaan dan memerintahkan kepada kami untuk melaksanakannya. Jika tidak, maka dendamlah yang akan berbicara dan kami akan menjadi sulit untuk menguasai keadaan.”
“Gila. Itu perbuatan gila. Kalian harus menangkap kedua pembunuh itu malam ini. Aku akan menghukum keduanya dengan hukuman picis.”
“Kami akan melakukan penyelidikan tuanku.”
“Sekarang. Sekarang kau dengar.”
Kedua Panglima itu menjadi bingung. Dan Tohjaya masih saja berteriak, “Kalian adalah Panglima. Kalian harus dapat melakukan perintahku sebaik-baiknya.”
“Tetapi untuk menangkap malam ini adalah sulit sekali tuanku. Yang penting bagi kami adalah mencegah pembunuhan yang dapat terjadi lagi. Bahkan mungkin pembunuhan yang lebih mengerikan lagi karena kedua belah pihak tidak dapat mengendalikan diri.”
“Aku tidak peduli. Kau berdua harus menghadapkan kedua pembunuh itu malam ini.”
“Tuanku.” berkata Panglima Pasukan Pengawal, “Sebaiknya hamba berkata sekarang dihadapan tuanku bahwa hamba tidak akan mungkin dapat melakukannya. Bukan karena hamba tidak mau menjalankan perintah tuanku, tetapi kemampuan hamba adalah sangat terbatas. Demikian juga agaknya bagi Panglima Pelayan Dalam.”
“Aku tidak mau mendengar alasan apapun juga. Sekarang kalian pergi dan membawa orang-orang itu kemari.”
Para Panglima itu menjadi bingung. Bagaimana mungkin mereka dapat membawa orang-orang yang belum dapat mereka ketahui untuk menghadap. Karena itu, untuk beberapa saat mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Karena kedua Panglima itu masih saja berada di tempatnya, maka sekali lagi Tohjaya berteriak, “He, kenapa kalian diam saja? Kenapa kalian tidak segera melaksanakan perintahku.”
Bagaimanapun juga kedua Panglima itu harus memberi penjelasan bahwa perintah itu tidak mungkin dapat dilaksanakan.
“Tuanku.” berkata Panglima Pelayan Dalam, “Orang-orang yang harus hamba hadapkan itu masih belum dapat diketemukan. Hamba dan para Senapati masih harus mencari, siapakah yang bersalah dan yang harus menerima hukuman itu.”
“Aku tidak peduli, aku tidak peduli.” Tohjaya berteriak semakin keras.
“Ampun tuanku.” Panglima Pasukan Pengawal itulah yang kemudian berkata, “Jika keduanya tidak ada di tangan kami, lalu siapakah yang harus hamba hadapkan?”
Tohjaya menjadi tegang. Tiba-tiba matanya bagaikan menyala. Dengan suara gemetar ia menggeram, “Jadi kalian tidak dapat menangkap kedua pembunuh itu?”
“Belum tuanku. Hamba sedang berusaha dengan sekuat tenaga.”
Tohjaya menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia berkata, “Siapakah yang bertanggung jawab pada hari-hari peristiwa itu terjadi?”
“Para Senapati tuanku.” jawab kedua Panglima itu hampir berbareng.
“Jika demikian panggilah Senapati yang bertanggung jawab pada saat pembunuhan itu terjadi. Senapati dari golongan Sinelir pada saat orang Sinelir membunuh orang Rajasa dan Senapati yang bertanggung jawab atas orang-orang Rajasa sekarang ini, pada saat seorang Sinelir mati terbunuh.”
Kedua Panglima itu menjadi bingung.
“Panggil mereka kemari.”
“Apakah yang akan tuanku lakukan atas mereka?”
Kemarahan Tohjaya bagaikan tidak tertahankan lagi, sehingga ketika ia berteriak justru suaranya tidak begitu jelas terdengar, “Jadi, kau mulai berkuasa atas aku?”
“Tidak tuanku. Bukan maksudku.”
“Kenapa kalian bertanya apa yang akan aku lakukan atas kedua Senapati itu.”
“Tuanku.” berkata Panglima pasukan Pengawal, “Senapati itu berada di bawah perintah hamba. Jadi hambalah yang bertanggung jawab atasnya.”
“Aku tidak peduli. Panggil Senapati itu. Aku ingin mendengar keterangannya. Aku akan mengusut sendiri pembunuhan itu dan mencari pembunuhya.”
Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak Lalu, Panglima Pelayan Dalam itu berkata, “Tidak banyak yang dapat dikatakannya tuanku.”
“Panggil keduanya, atau aku akan pergi sendiri?” Kedua Panglima itu tidak dapat berbuat lain. Maka keduanya pun kemudian minta diri untuk mencari Senapati yang bertugas pada saat pembunuhan terjadi.
Beberapa saat kemudian maka kedua Panglima itu telah berada di halaman istana pula bersama kedua Senapati itu.
“Apakah kehendak tuanku Tohjaya yang sebenarnya?” bertanya Panglima Pelayan Dalam.
“Aku tidak tahu.”
Kedua Panglima itu termangu-mangu. Untuk beberapa saat lamanya keduanya termenung membayangkan api yang kira-kira bakal terjadi.
Sementara itu, dari kejauhan, beberapa kelompok prajurit menyaksikan dengan tegang. Mereka yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan telah mempersiapkan diri. Mereka dari Pasukan Pengawal dan para Pelayan Dalam yang menyaksikan pembicaraan itu dari bangsal-bangsal di sekitarnya.
“Apakah para Senapati itu memang harus menghadap?” Panglima Pelayan Dalam itu bertanya.
“Memang mencurigakan. Kemarahan tuanku Tohjaya agaknya tidak terkendalikan.” jawab Panglima Pasukan Pengawal.
“Apakah yang dicemaskan?” bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal, “Aku dapat mempertanggung jawabkan apapun juga. Malam ini tidak ada seorang pun dari lingkungan kami yang tidak diketahui tingkah lakunya oleh setiap pemimpin kelompok.”
“Demikian juga para Pelayan Dalam.” Senapati Pelayan Dalam itu tiba-tiba saja telah menyahut, “Kami mengetahui setiap langkah dari orang-orang kami. Aku dapat menjelaskan kepada tuanku Tohjaya.”
“Tetapi pembunuhan itu telah terjadi. Orang-orangku melihat orang Sinelir selagi mereka masih berkelahi. Orang Sinelir itu langsung menyergap dengan licik.”
“Dan jika kau melihat kematian Pelayan Dalam yang ada dilongkangan itu.”
“Kau menuduh orang Rajasa.”
“Cukup.” kedua Panglima itu hampir berbareng berteriak, lalu, Panglima Pasukan Pengawal itu berkata, “Kita akan menghadap bersama-sama. Kita akan menjelaskan persoalannya. Yang penting adalah mengatasi ketegangan yang sekarang terjadi. Bukan menambah kalut lagi.”
Kedua Senapati itu terdiam. Tetapi dari kedua pasang mata itu masih membara dendam sampai kepusat jantung.
Demikianlah maka kedua Panglima itu pun akhirnya memutuskan untuk membawa para Senapati menghadap. Apalagi karena kedua Senapati itu agaknya masih selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian.
“Jika tuanku Tohjaya ingin mendengar, biarlah ia mendengar kata hati setiap orang di dalam lingkungan prajuritnya. Agaknya kekalutan dan kecurigaan telah berakar pada setiap dada.”
Tanpa ragu-ragu, kedua Senapati itu pun mengikuti Panglima masing-masing untuk menghadap. Mereka sudah mempersiapkan pembelaan yang sejauh-sejauhnya dan tuduhan-tuduhan yang pasti, bahwa lawan mereka telah berdosa sampai ke ujung ubun-ubun.
Ketika kedua Panglima itu sampai di bangsal tuanku, beberapa orang prajurit bukan dari pasukan Pengawal dan bukan Pelayan Dalam telah terada di ambang pintu. Bahkan ketika mereka masuk ke dalam, dua orang Senapati ada di belakang tuanku Tohjaya, duduk tepekur sambil menundukkan kepala.
“Apakah artinya ini?” bertanya kedua Panglima itu di dalam hati.
Tetapi agaknya kedua Senapati yang sedang diamuk oleh dendam itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan mereka dengan wajah yang tegang memasuki sidang.
“Kemarilah.” panggil tuanku Tohjaya ketika mereka sudah duduk menekur.
Panglima dan Senapati itu ragu-ragu. Namun mereka pun kemudian bergeser maju.
“Aku ingin mendengar peristiwa yang sebenarnya telah terjadi.”
Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak, lalu Panglima Pelayan Dalam itu pun berkata, “Inilah kedua Senapati itu tuanku.”
“Bagus. Majulah mendekat.”
Tanpa prasangka apapun kedua Senapati itu mendekat.
“Siapakah di antara kalian yang dapat mengatakan apa yang terjadi sebenarnya?” bertanya Tohjaya.
“Hamba tuanku.” jawab keduanya hampir berbareng.
“Nah, kau.” berkata Tohjaya sambi menunjuk Senapati dari pasukan Pengawal, “Katakan apakah yang kau ketahui tentang kematian orangmu.”
Senapati itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi atas orang Rajasa yang terbunuh di pinggir kali.
Tohjaya mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Jadi yang membunuh seorang Pelayan Dalam?”
“Hamba tuanku.”
“Bohong tuanku.” potong Senapati Pelayan Dalam.
“Diam kau.” Tohjaya menjerit, “Aku tidak bertanya kepadamu.”
Senapati itu terkejut, sehingga ia tergeser setapak surut. Dengan serta merta ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Teruskan.” berkata Tohjaya kepada Senapati dari Pasukan Pengawal itu, “Ceriterakan bagaimana orangmu mendendam dan membunuh orang Sinelir.”
“Ampun tuanku. Orangku tidak akan berbuat demikian.”
“Ceriterakan bagaimana ia membunuh.” bentak Tohjaya. Senapati itu menjadi bingung.
“Kau bodoh.” geram Tohjaya, lalu katanya kepada Senapati Pelayan Dalam, “Nah, sekarang kaulah yang berceritera. Siapa yang terbunuh dan siapa yang membunuh.”
Senapati itu pun ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi. Seorang Pelayan Dalam telah mati terbunuh, dan telah diketemukan pula ikat pinggang dan kain panjang seorang prajurit Rajasa yang agaknya telah terlepas ketika mereka sedang berkelahi.
Tohjaya memandang kedua Senapati itu berganti-ganti. Lalu dengan wajah tegang ia berkata, “Sekarang sebutkan, siapakah dari orang-orang Sinelir yang telah membunuh seorang dari Pasukan Pengawal di pinggir kali itu?”
“Tentu bukan orang-orang Sinelir tuanku. Hamba yakin.”
“Sebut namanya.” teriak Tohjaya. Kemudian sambil memandang Senapati dari Pasukan Pengawal ia pun berteriak pula, “Kau juga harus menunjuk salah seorang dari anak buahmu. Siapa yang membunuh Pelayan Dalam itu.”
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Bukan dari anak buah hamba tuanku. Itu tentu sekedar fitnah.”
“Sebut namanya. Sebut namanya.” suara Tohjaya melengking semakin tinggi.
Senapati itu menjadi semakin bingung.
“Aku akan menghukum pembunuh-pembunuh itu dengan hukuman picis. Keduanya harus diikat di simpang empat dekat alun-alun. Setiap orang harus melukai dengan pisau yang tidak tajam atau dengan welat pering wulung. Kemudian pada luka itu harus dibubuhi sejumput garam yang sudah dilumatkan dan setetes air asam atau jeruk pecel. Orang itu harus tetap hidup sampai tiga hari. Di hari keempat ia baru boleh mati di terik matahari. Jika ia mati sebelum hari ketiga, maka orang yang bertanggung jawab atas hukuman itu akan menggantikannya sampai hari ketiga itu.”
“Mengerikan sekali.” setiap orang yang mendengar menjadi ngeri. Tetapi masih ada juga orang yang tersenyum mendengar keputusan itu. Dua orang Senapati yang duduk di belakang Tohjaya itu justru menjadi gembira karenanya.
Karena kedua Senapati itu masih berdiam diri, maka sekali lagi Tohjaya menggeram, “Aku beri waktu kau sampai hitungan kesepuluh untuk menyebut namanya.” Tohjaya terdiam sejenak, lalu mulailah ia menghitung perlahan-lahan.
Semua orang yang ada di ruang itu menjadi tegang. Mereka mengikuti dengan dada yang berdebar-debar hitungan yang diucapkan oleh Tohjaya.
“Satu, dua, tiga, empat,…”
“Tuanku.” tiba-tiba Panglima Pasukan Pengawal memotong, “Apa yang dapat mereka sebutkan jika mereka benar-benar tidak mengetahui siapakah yang telah melakukannya.”
Tohjaya tertegun sejenak. Lalu katanya, “Aku tidak peduli. la harus menyebut satu nama. Nama siapa saja. Dan orang itulah yang akan menjalani hukuman picis.”
Suasana menjadi semakin tegang. Dan Tohjaya berkata pula, “Aku akan mengulangi. Siapa yang memotong hitungan yang aku ucapkan, orang itu pun akan dihukum picis.”
“Tetapi.” Panglima Pelayan Dalam menyela, “Ampun tuanku.” Selagi menelan ludahnya, lalu, “Bagaimana jika karena terpaksa mereka menyebut nama orang yang tidak bersalah.”
“Aku tidak peduli.”
“Tetapi itu tidak adil.”
“Diam kau.” Tohjaya berteriak keras sekali sehingga ruangan itu seakan-akan bergetar karenanya.
Panglima itu pun terdiam. Sekilas ia melihat wajah dua orang Senapati yang berada di belakang Tohjaya menjadi tegang. Dan Panglima itu pun mulai menyadari keadaan yang sebenarnya.
“Aku akan mulai menghitung.” berkata Tohjaya. Lalu, “Dan kau berdua harus menyebut suatu nama.”
Sekali lagi Tohjaya mulai menghitung. Setiap bilangan yang diucapkan rasa-rasanya seperti gelegar guntur yang meledak di langit.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, . . .” tidak seorang pun yang berani memotong hitungan itu.
Akhirnya Tohjaya sampai pada hitungan yang ke sepuluh. Terasa ketegangan yang memuncak di dalam ruangan itu. Setiap wajah bagaikan membeku yang terdengar hanyalah degup jantung yang berdentangan di setiap dada.
“Nah.” berkata Tohjaya, “Aku akan menunjuk salah seorang dari kalian. Maka ia harus menyebut lebih dahulu. Kemudian yang lain harus menyebut sebuah nama pula.”
Suasana benar-benar diliputi oleh kegelisahan yang mencengkam. Tidak seorang pun yang tahu apakah yang akan terjadi kemudian. Jika kedua Senapati itu menyebut nama orang yang sebenarnya tidak bersalah, maka nasib orang itu ternyata terlampau malang. Ia akan mengalami hukuman yang paling mengerikan sepanjang peradaban manusia Hukuman picis di perapatan.
Sejenak Tohjaya memandang kedua Senapati itu berganti-ganti. Keduanya menunduk dalam-dalam, seolah-olah kedua menghindarkan diri dari sambaran sorot mata Tohjaya.
Namun akhirnya Tohjaya menunjuk kepada Senapati Pelayan Dalam sambil berkata, “Nah, katakan, siapa yang telah melakukan pembunuhan itu.”
Senapati itu menjadi pucat. Tetapi ia menengadahkan wajahnya sambil bertanya, “Ampun tuanku, apakah nama siapa pun yang hamba sebut akan menjalani hukuman itu?”
“Ya.” sahut Tohjaya.
Jawaban itu benar-benar mengguncangkan setiap dada. Senapati itu dapat menyebut nama siapapun. Nama orang yang paling dibencinya akan dapat diumpankannya.
Tetapi Senapati itu tidak segera menjawab.
“Cepat.” teriak Tohjaya.
“Ampun tuanku.” berkata Senapati itu, “Karena sebenarnya hamba tidak mengetahui nama seseorang yang telah bersalah, dan hamba tidak dapat menyebut nama orang lain yang tidak berdosa, maka biarlah hamba tidak mengucapkan nama siapa pun juga.”
“Gila. Itu akan berarti kaulah yang harus menjalani hukuman itu.”
“Tuanku. Jika memang hamba harus menggantikan hukuman itu, maka hamba mohon agar tuanku sudi meringankan hukuman itu sedikit. Hamba akan bersedia menjalani hukuman apapun juga yang lain sampai mati sekalipun.”
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Lalu dipandanginya wajah Senapati yang seorang lagi Senapati dari Pasukan Pengawal. Katanya, “Ia tidak dapat menyebut sebuah nama. Karena itu ia akan segera mati. Sekarang, cobalah kau mengatakan, siapakah yang pantas dihukum picis.”
Senapati itu menjadi tegang. Sepercik kekaguman telah menyentuh jantungnya. Meskipun ia membenci orang-orang Sinelir sampai keujung rambut. Tetapi sikap jantan Senapati dari Pelayan Dalam itu telah mempengaruhinya.
“Cepat, apakah kau juga harus menjalani hukuman mati?”
Senapati itu membungkuk dalam-dalam. Kemudian katanya dengan suara parau, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah hamba sudah menyiapkan nama yang tuanku kehendaki.”
“Nah, ternyata kau bersikap kesatria. Kau dapat menjalankan perintah Maharajamu dengan sempurna.”
Sepercik keheranan telah menyentuh setiap hati. Apakah artinya sikap kesatria itu bagi Tohjaya. Jika Senapati itu menyebut nama orang yang sama sekali tidak berdosa, apakah itu juga sifat kesatria.
Dalam kebimbangan itu terdengar Tohjaya berkata, “Cepat, sebut namanya. Aku ingin segera mendengar dan memerintahkan mengikatnya pada sebuah tiang di simpang empat yang paling ramai bersama Senapati yang bodoh itu.”
Senapati itu menjadi tegang. Sejenak ia memalingkan wajahnya memandang Senapati yang tidak bersedia mengorbankan orang lain itu dengan membiarkan dirinya sendiri dihukum. Senapati dari Pasukan Pengawal itu melihat, betapa Senapati Pelayan Dalam memandangnya dengan sorot mata kebencian dan lebih dari itu penuh penghinaan karena agaknya ia sudah bersedia menyebut nama seseorang yang barangkali tidak bersalah sama sekali.
“He, kenapa kau tidak segera berbicara?” bentak Tohjaya.
“Ampun tuanku. Adapun pembunuh yang paling keji di seluruh Singasari dan yang pantas mendapat hukuman picis itu tidak lain adalah Tohjaya sendiri. Ia bukan saja membunuh seorang prajurit, tetapi ia telah membunuh Maharaja yang sebenarnya berhak atas tahta, tuanku Anusapati.”
Jawaban itu bagaikan halilintar yang meledak di ruangan itu. Sejenak setiap orang terpukau oleh cengkaman perasaan yang sangat asing.
Namun sejenak kemudian terdengar Tohjaya berteriak nyaring, “Gila, ternyata kau lebih gila dari kawanmu yang dungu itu.”
“Sebenarnyalah tuanku seorang pembunuh. Apalagi jika tuanku menghukum mati orang-orang yang tidak berdosa seperti kami hanya karena kami tidak mau mengorbankan orang lain untuk menjalani hukuman yang tidak berperikemanusiaan itu.”
Senapati itu agaknya masih akan mengucapkan kata-kata. Tetapi suaranya terputus karena Tohjaya yang tidak dapat mengendalikan perasaannya itu telah meloncat dari singgasananya, langsung menarik rambut orang itu dan hampir di luar pengamatan mata, kerisnya telah terhunjam di dada Senapati yang malang itu.
Sejenak orang-orang yang menyaksikan darah menyembur dari luka itu mematung. Namun sekejap kemudian Senapati Pelayan Dalam itu meloncat berdiri. Kerisnya telah tertarik dari wrangkanya. Baginya Tohjaya memang seorang pembunuh yang sangat keji sehingga justru karena itu, ia telah kehilangan semua kewibawaannya di hadapan Senapati itu.
Tetapi Senapati itu tidak sempat berbuat apa-apa. Sekejap kemudian tiga buah anak panah telah terhunjam di punggungnya.
Tohjaya yang tidak dapat mengendalikan perasaannya itu telah meloncat dari singgasananya, langsung menarik rambut orang itu dan hampir di luar pengamatan mata, kerisnya telah terhunjam di dada Senapati yang malang itu.
Para Panglima yang hadir sempat melihat anak panah itu meluncur. Ternyata di balik warana kayu yang membatasi ruangan itu dengan ruangan yang lain, telah siap beberapa orang prajurit yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Dalam keadaan yang kalut itu mereka sempat meloncat dan sekaligus membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai punggung Senapati itu, yang sekaligus rebah di lantai.
Tetapi Senapati itu masih sempat berkata, “Bagiku kematian ini jauh lebih baik dari hukum picis itu. Dan sebenarnyalah bahwa Tohjaya adalah pembunuh yang paling bengis. Ialah yang pantas mendapatkan hukuman picis itu.”
Senapati itu tidak sempat meneruskan kata-katanya. Ia pun mati di hadapan Tohjaya yang menjadi sangat marah. Matanya menjadi merah seperti bara, sedang giginya gemeretak bagaikan berpatahan.
Kedua Panglima yang ada di ruangan itu pun hampir di bawah sadar mereka telah berdiri pula. Namun mereka masih dapat mencegah perasaan mereka yang melonjak. Ternyata di ruangan itu kemudian telah berdiri berderet-deret beberapa orang prajurit dan Senapati. Bukan dari Pasukan Pengawal dan bukan pula Pelayan Dalam. Mereka adalah prajurit tempur yang ditarik oleh Tohjaya untuk menjaga dan melindungi dirinya.
Kedua Panglima itu hanya dapat menggeram. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian Tohjaya yang wajahnya bagaikan menyala itu pun berteriak, “Ayo, siapa lagi yang akan mencemarkan nama Tohjaya, Maharaja yang paling berkuasa di Singasari.”
Tidak seorang pun yang berani menjawab. Bahkan kedua panglima yang berdiri itu pun telah terduduk kembali dengan lemahnya.
“Lemparkan kedua Senapati itu ke sungai jangan rawat mayatnya. Keduanya adalah contoh dari pengkhianatan yang paling hina. Senapati yang wajib menjadi contoh bagi para prajurit, ternyata keduanya adalah orang-orang yang paling licik, pengecut dan gila.”
Tidak seorang pun yang berbuat sesuatu. Yang ada di ruangan itu bagaikan patung baru yang mati.
“Cepat, ambil mayat itu, dan lemparkan ke sungai. Keduanya pantas menjadi makanan burung-burung gagak atau kadal pemakan bangkai. Keduanya tidak pantas mendapat perawatan sebagaimana manusia yang lain meninggal dunia dalam keadaan yang wajar.”
Perintah itu tidak perlu diulangi. Prajurit-prajurit yang Sedang mendapat kepercayaan Tohjaya itu pun segera bertindak, dan dilemparkannya ke halaman. Sedang orang lain di halaman telah siap membawa mereka, dan benar-benar akan mereka lemparkan begitu saja di sungai.
Sejenak kemudian maka Tohjaya yang masih berdiri sambil memegang keris yang berlumuran darah di tangannya itu pun berkata, “Peristiwa ini merupakan contoh yang baik bagi setiap prajurit yang mencoba mengingkari kekuasaanku, kekuasaan Maharaja Singasari putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Kuasaku tidak bedanya dengan kuasa ayahanda. Bahkan jauh lebih besar lagi daripadanya.”
Orang-orang yang ada di ruang itu hanya dapat menundukkan kepala tanpa berbuat sesuatu. Namun setiap hati agaknya telah terluka pula oleh tindakan Tohjaya itu.
Beberapa saat lamanya, ruangan itu masih saja dicengkam oleh suasana maut. Darah yang berceceran dan ujung senjata yang berwarna merah.
Dan tiba-tiba saja Tohjaya berteriak, “Sekarang, kalian pergi semua dari ruang ini. Kalian dapat melihat kedua mayat yang akan menjadi makanan burung gagak itu. Aku melarang setiap orang yang berusaha untuk mengambil dan menyelenggarakan upacara kematian mereka. Siapa yang melanggar perintah ini pun akan aku bunuh seperti keduanya.”
Tidak seorang pun yang berkata barang sepatah kata. Semua kepala tertunduk. Tetapi di setiap hati bergetar gejolak perasaan yang melonjak-lonjak.
Demikianlah mereka meninggalkan ruangan itu dengan penuh persoalan di dalam hati. Kedua Panglima yang telah membawa kedua Senapati itu pun menyesal. Kenapa bukan mereka sendiri yang berkorban seperti keteguhan hati kedua Senapati yang gugur itu.
“Aku tidak tahu, bahwa demikianlah akhir dari persoalan ini.” berkata Panglima Pasukan Pengawal di dalam hatinya. Sedang Panglima yang lain berkata di dalam hati pula, “Jika aku tahu maka aku tidak akan membawanya menghadap.”
Demikianlah, seperti yang diharapkan Tohjaya, berita tentang kematian kedua Senapati itu pun telah sampai ke setiap telinga di Singasari. Berita yang benar-benar mengejutkan setiap hati. Bahkan Lembu Ampal sendiri tak menduga bahwa hal serupa itu akan terjadi. Ia hanya mengharap kedua belah pihak mendapat hukuman dari Tohjaya sehingga dapat menumbuhkan kebencian mereka kepada Maharaja itu. Namun ternyata Tohjaya sudah bertindak lebih jauh. Ia telah membunuh dua orang pemimpin dari dua belah pihak dengan cara yang mengerikan sekali.....
Namun sebenarnyalah tindakan Tohjaya itu sangat menguntungkan rencana Lembu Ampal. Ia harus segera bertindak selagi para pemimpin Pasukan Pengawal Pelayan Dalam masih didera oleh perasaan mereka masing-masing.
“Aku akan menjumpai kedua Panglima itu.” berkata Lembu Ampal kepada Witantra dan Mahendra.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan membujuk mereka. Setidak-tidaknya mereka jangan membantu dan melindungi Tohjaya lagi. Peristiwa yang telah terjadi benar-benar telah menyakitkan hati kedua golongan itu, sehingga kedua belah pihak akan dengan mudah aku seret ke dalam rencana kita.”
“Apakah kau yakin?”
“Aku akan mencoba.”
Witantra termenung sejenak. Kemudian, “Baiklah kau mencoba. Tetapi hati-hatilah. Sebab yang terjadi mungkin sekali sebaliknya dari yang kita harapkan. Kedua Panglima itu dapat menjadi penjilat yang paling berbahaya. Apabila keduanya berhati lemah, maka jiwa mereka tentu akan terguncang melihat peristiwa yang terjadi itu, sehingga keduanya akan menjadi pengecut yang paling memuakkan.”
“Aku yakin tidak. Aku mengenal serba sedikit tentang kedua Panglima itu.”
Witantra mengangguk-angguk. Ia mengenal Panglima Pelayan Dalam selagi Panglima itu mendapat tugas ke Kediri sambil membawa tunggul Kerajaan. Karena itu katanya, “Mungkin kau benar Panglima Pelayan Dalam itu agaknya memiliki sikap seorang prajurit, meskipun agaknya masih belum cukup dewasa. Tetapi ia pun bukannya seorang pengecut.”
“Aku akan segera menghubungi keduanya.” berkata Lembu Ampal.
“Berhati-hatilah.”
“Aku harus segera berhasil sebelum keduanya sempat berpikir lebih banyak lagi.”
“Lakukanlah. Aku akan menghubungi Mahisa Agni. Jika saatnya bertindak, ia harus sudah siap melindungi orang-orang yang ada di dalam halaman istana.”
“Kedua Panglima itu akan membantu. Mereka dapat menempatkan orang-orangnya seperti saat mereka menempatkan orang-orang mereka pada saat Tohjaya membunuh tuanku Anusapati.”
Dengan demikian, maka Lembu Ampal pun telah sampai pada puncak rencananya. Berhasil atau gagal akan segera nampak pada tindakannya yang terakhir itu.
Pada saat yang ditentukan, maka Witantra pun berhasil menghubungi Mahisa Agni dan mengatakan rencana terakhir yang sudah siap dilakukan oleh Lembu Ampal.
“Cerdas juga akal orang ini.” berkata Mahisa Agni, “Tetapi kita memang harus berhati-hati. Agaknya pertempuran memang tidak dapat dihindarkan lagi karena Tohjaya berhasil menarik sekelompok prajurit unuk melindunginya selain pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang sudah menjadi semakin jauh dari padanya. Agaknya Tohjaya pun sudah mulai berprasangka sehingga ia tidak lagi percaya kepada kedua golongan itu.”
“Kita harus pandai mempergunakan keadaan ini Agni.” berkata Witantra.
“Baiklah. Aku menunggu kelanjutan dari rencana ini. Lembu Ampal harus memberitahukan apakah ia berhasil atau tidak secepatnya, sehingga aku tahu. apakah Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang ada di sekitarku ini dapat aku percaya atau sebaliknya.”
“Baiklah Agni. Lembu Ampal tentu mengerti, jalur manakah yang harus ditempuhnya, sehingga orang-orang yang dapat dipercaya di istana ini akan menghubungimu dan kau akan segera dapat menyusun rencana penyelamatan tuan puteri Ken Dedes, ibunda tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng.”
Mahisa Agni menangguk-angguk. Sudah terbayang di angan-angannya bahwa akan terjadi peperangan di Singasari. Namun demikian ia masih berkata, “Aku mengharap bahwa korban dapat dibatasi sekecil-kecilnya. Terutama rakyat yang selalu dibingungkan oleh peristiwa peristiwa yang mengerikan sejak terbunuhnya Sri Rajasa.”
Witantra merenung sejenak. Memang tidak menyenangkan melihat mayat berhamburan di sepanjang jalan. Namun kadang kadang perang memang sulit dihindari. Jika jalan itu tidak ditempuh maka keadaan akan menjadi semakin memburuk.
Demikianlah Witantra meninggalkan Mahisa Agni dengan membawa pesan-pesan untuk Lembu Ampal dan untuk Witantra sendiri. Untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi, maka Witantra telah menarik beberapa kelompok prajurit Singasari yng ada di Kediri bersama dengan para pengawal Ranggawuni yang memang sudah berada di Singasari lebih dahulu. Terapi Wirantra pun tidak dapat meninggalkan kewaspadaan karena, di Kediri keluarga Maharaja yang lelah dikalahkan oleh Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa masih mempunyai pengaruh yang cukup. Jika Singasari terlampau sibuk dengan persoalan sendiri, maka di Kediri akan bangkit kekuatan yang akan dapat memutuskan ikatan kesatuan yang telah berhasil dibuat oleh Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Lembu Ampal yang telah memikirkan rencananya masak-masak mulai bertindak lebih jauh lagi. Dengan hati-hati sekali ia berusaha untuk dapat menjumpai kedua Panglima dari pasukan yang telah dibuat sakit hati oleh Tohjaya.
Sebagai seorang prajurit yang telah berhasil meningkatkan dirinya justru pada saat ia harus menyingkir dari lingkungannya, maka Lembu Ampal memiliki beberapa kelebihan. Dengan cara yang khusus ia telah berhasil memasuki halaman rumah Panglima Pasukan Pengawal. Seperti pada saat-saat ia memasuki halaman istana, maka ia pun dengan diam-diam memanjat dinding dan hilang di dalam lindungan pohon-pohon perdu di halaman rumah Panglima, yang sudah dikenalnya dengan baik, karena sebelumnya Lembu Ampal memang pernah berkunjung ke rumah itu.
Jika ia berhasil menyusup di antara para penjaga di halaman istana, maka ia tidak banyak mengalami kesulitan untuk menerobos penjagaan para prajurit yang mengawal rumah Panglimanya. Meskipun pada saat-saat terakhir rumah itu dikawal semakin rapat, namun Lembu Ampal masih juga berhasil memasukinya.
Lembu Ampal memang sudah memperhitungkan bahwa pada saat itu Panglima Pasukan Pengawal itu tidak sedang berada di rumahnya. Ia sedang berada di halaman istana untuk mengawasi keadaan. Ia tidak sampai hati membiarkan prajurit-prajurit berada di dalam ketegangan tanpa kehadirannya. Meskipun ia tidak dapat bertindak sesuatu pada saat itu, tetapi kehadirannya akan dapat membuat prajurit-prajurit menjadi agak tenang.
Demikian juga Panglima Pelayan Dalam. Ia pun berada pula di halaman istana di antara anak buahnya. Tanpa menghiraukan tatapan mata dari pasukan-pasukan yang lain, Panglima Pelayan Dalam itu mengunjungi setiap bangsal untuk menemui para Pelayan Dalam yang sedang bertugas di dalam kelompok-kelompok yang sudah bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi, Panglima-panglima itu tidak berada di halaman istana sepanjang malam, jika mereka menganggap keadaan menjadi tenang, mereka pun biasanya kembali ke rumah masing-masing, meskipun setiap saat mereka selalu bersiap untuk pergi ke halaman istana.
Dengan demikian maka halaman istana itu agaknya telah menjadi pusat pergolakan dari setiap golongan yang sedang diamuk oleh ketegangan.
Dengan sabar ia menunggu sambil bersembunyi di balik dedaunan. Jika para pengawal rumah itu menemukannya, maka semua rencananya akan gagal. Para pengawal itu tentu tidak akan dapat diajaknya berbicara dengan baik. Karena itu, maka ia harus dapat langsung bertemu dengan Panglima.
Lembu Ampal tidak akan mempergunakan cara yang wajar, karena ia adalah seorang prajurit yang telah melarikan diri. Prajurit-prajuit yang menjumpainya, mungkin juga para pengawal rumah Panglima ini pun tentu akan mencurigainya dan langsung menangkapnya.
Lewat tengah malam, terdengar iring-iringan kuda memasuki halaman rumah itu. Lembu Ampal menduga bahwa mereka adalah Panglima bersama para pengawalnya.
Ternyata dugaannya benar. Ia melihat dari persembunyiannya, Panglima turun dari kudanya dan menyerahkan kepada pengawalnya, sementara ia pun kemudian melangkah ke tangga rumahnya.
Pada saat itulah Lembu Ampal menampakkan dirinya. Tanpa mengejutkan para pengawal ia melangkah ke halaman seolah-olah ia memang sewajarnya berjalan di halaman itu.
Baru kemudian para pengawal terkejut ketika Lembu Ampal sudah berdiri beberapa langkah dari Panglima. Bahkan setelah Lembu Ampal menyapanya.
Panglima itu pun terkejut pula. Tanpa disadarinya ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, sedang para pengawalnya pun telah bergeser mendekati Lembu Ampal.
Tetapi Lembu Ampal tersenyum. Ia sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan. Bahkan ternyata Lembu Ampal sama sekali tidak membawa senjata apapun juga.
“Panglima.” berkata Lembu Ampal, “Aku memang akan menghadap. Aku mempunyai beberapa persoalan yang apabila Panglima tidak berkeberatan, akan aku sampaikan.”
Suasana menjadi tegang. Panglima Pasukan Pengawal itu memandang Lembu Ampal seperti memandang hantu. Tetapi karena sikap lembu Ampal yang sama sekali tidak menunjukkan ketegangan, maka Panglima itu pun menjadi agak lunak pula sikapnya.
“Bukankah kau Lembu Ampal?” bertanya Panglima itu.
“Ya. Aku Lembu Ampal. Mungkin Panglima terkejut bahwa tiba-tiba saja aku berada di sini setelah sekian lamanya aku hilang dari Singasari.”
“Dan sekarang apakah yang kau kehendaki?”
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Lalu sambil tertawa ia berkata, “Sikap Panglima menjadi jauh berbeda dengan sikapmu yang dahulu. Apakah aku sudah menjadi lain sama sekali?”
Panglima Pasukan Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kedatanganmu tidak pada saat yang baik, dan setelah kau hilang untuk beberapa saat lamanya, maka tiba-tiba saja kau berada di halaman rumahku.”
“Panglima.” berkata Lembu Ampal, “Itulah yang akan aku ceriterakan. Apakah Panglima tidak berkeheratan?”
“Cepat katakan.”
“O.” Lembu Ampal menyahut, “Tentu tidak, dapat aku katakan sekarang. Aku ingin mendapat kesemparan bertemu dengan Panglima seorang diri.”
Panglima itu menjadi ragu-ragu sejenak. Seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis sekepal mendekatinya. Tetapi sebelum orang itu berkata sesuatu, Lembu Ampal sudah mendahuluinya, “Panglima, adalah wajar sekali jika aku sekarang dicurigai. Tetapi jika aku berada di dalam suatu ruangan bersama Panglima, apakah yang dapat aku lakukan? Apakah seandainya aku bermaksud jahat, akan berani melakukannya di dalam keadaan yang demikian, karena aku merasa bahwa kemampuanku tidak lebih baik dari seorang Panglima.”
Panglima Pasukan Pengawal itu mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga harga dirinya telah tersentuh. Jika ia menolak Lembu Ampal untuk bertemu berdua, maka apakah itu berarti bahwa ia berada dalam ketakutan.
Tiba-tiba saja ketegangan telah melonjak kembali di dada Panglima Pasukan itu. Tetapi setelah mempertimbangkan sejenak, ia pun berkata, “Baiklah Lembu Ampal. Aku berikesempatan kau berbicara kepadaku seorang diri seperti yang kau kehendaki. Tetapi waktuku tidak terlampau lama karena itu, cepatlah sedikit. Kau tahu, keadaan sekarang agak berbeda dengan saat-saat yang lampau.”
“O, apakah ada sesuatu yang terjadi?”
“Katakanlah lebih, dahulu keperluanmu. Marilah masuklah ke ruang dalam.”
Lembu Ampal memandang wajah-wajah para pengawal yang memancarkan kecurigaan. Tetapi itu adalah sewajarnya karena itu ia pun tidak menghiraukan mereka lagi.
Ketika Panglima Pasukan Pengawal itu memasuki rumahnya, maka Lembu Ampal pun mengikutinya.
Di ruang tengah, Lembu Ampal dipersilahkan duduk di atas sehelai tikar pandan, sedang Panglima Pasukan Pengawal itu pun duduk pula beberapa langkah di hadapan Lembu Ampal.
Lembu Ampal mengerti, bahwa Panglima itu harus berhati-hati menghadapinya, sehingga karena itu maka Panglima itu sudah membatasi dirinya pada jarak yang cukup, jika tiba-tiba saja Lembu Ampal berbuat sesuatu, maka ia masih mempunyai kesempatan untuk membela diri.
“Lembu Ampal.” berkata Panglima itu, “Sekarang katakanlah. Bukan karena aku tidak mau menerima kunjungan ini dengan baik, karena sebelum kau hilang, kau pernah juga berkunjung ke rumah ini dan aku terima dengan sepantasnya. Tetapi karena keadaan kini agak berbeda, maka caraku menerimamu agak berbeda.”
“Baiklah.” berkata Lembu Ampal, “Sebaiknya aku memang mengatakan keperluanku.”
“Sebutlah.”
“Aku sekarang adalah utusan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”
“Ha.” Panglima Pasukan Pengawal itu terkejut. Wajahnya menjadi merah. Tetapi segera ia berusaha menguasai perasaannya. Lalu, “Apa maksudnya mengutus kau datang kemari. Apakah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka mempunyai tuntutan atas diriku?”
“Tidak. Bukan suatu tuntutan. Tetapi tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka sekedar memberitahukan bahwa keduanya telah siap untuk masuk ke dalam istana Singasari. Menurut penilaian tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka, yang paling berkepentingan atas istana seisinya adalah pasukan-pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Karena itu, tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka memerintahkan aku untuk menemui Panglima-Panglimanya dan minta ijin untuk memasuki istana sebagai pewaris yang sah atas tahta yang telah direbut dengan kekerasan oleh tuanku Tohjaya setelah membunuh tuanku Anusapati di arena sabung ayam.”
“Kenapa tuanku Ranggawuni memberitahukan hal ini kepadaku?” bertanya Panglima itu, “Apakah ini berarti suatu tantangan?”
“Sama sekali bukan. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka ingin mengetahui, siapakah sebenarnya menurut pendapat Panglima yang sewajarnya harus duduk di atas tahta. Jika menurut Panglima memang seharusnya tuanku Tohjaya yang berhak atas tahta, maka mungkin tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan mengambil sikap yang lain.”
Panglima Pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Ia merasa bahwa kedudukan Singasari memang menjadi bertambah sulit dengan kehadiran Lembu Ampal yang menyebut dirinya utusan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dalam pada itu Lembu Ampal pun berkata, “Nah, sebaiknya kau memberikan tanggapan yang sewajarnya, sesuai dengan hati nuranimu. Kini tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sedang menyingkir dari ancaman tuanku Tohjaya.”
“Bukankah keduanya telah dilarikan orang? Karena selama ini kau juga hilang, maka orang yang paling pantas untuk dituduh melarikan keduanya adalah kau.”
“Aku tidak melarikan keduanya. Keduanya lari atas pertolongan orang lain karena tuanku Tohjaya berusaha untuk membunuhnya. Aku kemudian menyusul dan menjadi pengikutnya karena aku yakin bahwa tuanku Ranggawuni lah orang yang paling berhak atas tahta Singasari saat ini.”
Panglima itu terdiam. Kekecewaannya atas Tohjaya dengan sikapnya yang kasar terhadap seorang Senapatinya dan bahkan kemudian membunuhnya, membuat hatinya menjadi ragu-ragu menghadapi keadaan yang tiba-tiba telah diperagakan di hadapannya.
Panglima itu mulai membuat pertimbangan dan penilaian. Sejak Anusapati meninggal, dan pimpinan pemerintahan dipegang oleh Tohjaya selama kira-kira setahun, tidak ada suatu pun yang dapat dibanggakan. Bahkan harapan-harapan yang semula dijanjikan oleh Tohjaya, sama sekali tidak membayang.
“Memang agak berbeda dengan masa pemerintahan tuanku Anusapati.” katanya di dalam hati, “Meskipun masa pemerintahan tuanku Anusapati juga hanya singkat, tetapi sudah ada di antaranya yang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Singasari.”
Namun tiba-tiba sesuatu bergejolak di dalam dirinya. Dan seakan-akan ia melihat dirinya sendiri menjulurkan jari telunjuknya ke depan hidungnya. “Kau sudah memihak tuanku Tohjaya pada saat tuanku Anusapati terbunuh. Kau tentu tahu bahwa tuanku Ranggawuni adalah putera terkasih dari tuanku Anusapati. Apakah itu dapat kau terima?”
Tiba-tiba Lembu Ampal terkejut ketika Panglima itu menggeram, “Kau sedang menjebak aku Lembu Ampal. Kau tahu bahwa benar atau tidak, setiap orang dapat menuduh aku terlibat dalam pembunuhan tuanku Anusapati saat itu.”
“Bukan sekedar tuduhan.” sahut Lembu Ampal, “Aku tahu pasti bahwa kau terlibat Panglima.”
“Dan sekarang kau sedang menggiring aku ketiang gantungan dengan menyerahkan aku kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?”
“Kau salah. Aku pun terlibat pula pada saat tuanku Tohjaya membunuh tuanku Anusapati. Tetapi aku tidak digantung oleh tuanku Ranggawuni.”
Panglima itu merenung sejenak. Lalu, “Itu karena kau sekarang sedang diperlukan. Jika saatnya kau tidak dipakainya lagi, maka kau akan dibunuhnya. Sekarang tuanku Ranggawuni masih memerlukan kau untuk menghubungi aku dan barangkali orang-orang lain. Tetapi itu hanya bersifat sementara.”
“Kau salah Panglima. Sebenarnya tuanku Ranggawuni tidak memerlukan aku. Tidak pula memerlukan kau. Jika tuanku Ranggawuni tidak memperhitungkan kemungkinan untuk memperkecil korban yang dapat jatuh di dalam pengambilan haknya itu, maka aku memang tidak diperlukan sama sekali. Kau pun tidak. Saat ini tuanku Ranggawuni telah memiliki kekuatan yang tidak ada taranya. Barangkali kau pernah mendengar dari Panglima Pelayan Dalam atau dari orang lain, bahwa kekuatan Singasari yang ada di Kediri seluruhnya dapat digerakkan. Bahkan kelompok-kelompok pasukan keamanan yang diperkenankan disusun oleh orang-orang Kediri sendiri. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, Tetapi jumlah itu harus diperhitungkan di samping kekuatan Singasari sendiri.” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, “Dan barangkali kau juga mengetahui bahwa di halaman istana itu ada Mahisa Agni. Kau sendiri dapat menduga, dimana ia berdiri. Mahisa Wonga Teleng. Adik-adik Anusapati yang lain. Bahkan beberapa orang pengawal khusus yang dibawa oleh Mahisa Agni itu sendiri. Selain mereka, kau harus mengenal nama-nama seperti Witantra yang juga disebut Panji Pati-pati. Ia adalah seorang Panglima pada masa kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung.”
“Ia sudah terlalu tua.” potong Panglima itu.
“Setua Mahisa Agni Tetapi ia memiliki kemampuan setinggi Mahisa Agni pula di samping adik seperguruannya yang bernama Mahendra.”
“Kau sengaja menakut-nakuti aku.”
“Tidak. Aku minta kau membuat pertimbangan-pertimbangan Panglima. Rakyat Singasari akan segera terpengaruh oleh kehadiran Ranggawuni dengan pasukannya. Rakyat Singasari tentu akan segera teringat kepada Kesatria Putih.”
“Jadi tuanku Ranggawuni kah yang selama ini telah membuat Singasari menjadi gaduh dengan kuda putih dan pakaian putih itu?”
“Kedua-duanya. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.”
Panglima itu menggeram. Ia melihat di dalam angan-angannya sebuah kekuatan yang besar dan tersusun rapi di bawah pimpinan anak-anak muda yang perkasa.
“Nah, pertimbangkan Panglima. Jika Panglima bersedia memperkecil jumlah korban yang dapat jatuh, maka aku yakin bahwa tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak akan berbuat apa-apa terhadap Panglima bahkan mereka akan mengucapkan terima kasih kepadamu.”
Panglima Pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Terbayang pertentangan yang semakin gawat di Singasari. Kecurigaan di antara para prajurit yang semula merupakan pendukung-pendukung terbaik dari Tohjaya. Kemudian tiba-tiba saja Lembu Ampal datang sebagai utusan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, yang seakan-akan mendesaknya ke dalam suatu sudut tanpa pilihan.
“Kenapa tuanku Ranggawuni menganggap bahwa aku dapat memperkecil korban yang jatuh?”
“Jika kau tidak memperluas pertentangan, maka tentu tidak akan banyak korban yang tidak berarti di dalam pertentangan ini.”
“Maksudmu, aku haras menyingkir?”
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Hampir serupa itu. Tetapi bukan berarti bahwa kau harus pergi. Kau dapat berdiri di tempat yang khusus. Kau membiarkan saja tuanku Ranggawuni masuk ke istana atau kau justru mengawalnya. Bukankah suasana istana itu sekarang telah dipenuhi oleh ketidak tentuan?”
“Dari mana kau tahu?”
“Setiap orang mengatakan. Setiap orang di Singasari mendengar bahwa tuanku Tohjaya telah menyinggung harga diri kaum Rajasa dan Sinelir dengan membunuh dua orang pemimpin yang berpengaruh dan bahkan melemparkan mayatnya begitu saja ke sungai. Tidak seorang pun yang berani mengambil mayat itu. Terapi akhirnya mayat itu hilang dari sungai.”
“Kenapa hilang?”
“Ada orang yang tidak sampai hati membiarkan mayat itu dikerumuni oleh burung-burung gagak dan binatang-binatang buas yang lain.”
“Siapa?”
“Tidak ada orang lain yang berani melakukannya selain Kesatria Putih.”
“Kesatria Putih.” ulang Panglima itu, “Maksudmu tuanku Ranggawuni?”
Lembu Ampal mengangguk sambil berdesis, “Ya. Dan mayat kedua orang Senapati yang rela mengorbankan dirinya daripada mengorbankan orang lain itu pantas mendapat penghormatan.”
Panglima itu menundukkan kepalanya. Ia merasa bahwa seharusnya ialah yang melakukannya apa pun akibatnya. Namun ternyata bahwa justru Ranggawuni telah mendahuluinya.
Dalam keragu-raguan itu Lembu Ampal mendesaknya, “Katakan keputusanmu. Aku juga akan menghadap Panglima Pelayan Dalam. Karena sebenarnyalah bahwa istana itu berada di dalam tangan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam.”
“Tetapi prajurit-prajurit yang lain sekarang ada di istana pula. Justru merekalah yang memegang peran terpenting di dalam keadaan yang kalut ini. Tuanku Tohjaya kini lebih banyak berbicara dengan mereka daripada dengan kami.”
“Tentu semakin lama kekuasaan mereka akan semakin berkembang. Dan akhirnya akan tamatlah kesatuan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam. Akan lenyap pulalah golongan Rajasa dan Sinelir di dalam lingkungan keprajuritan Singasari.”
Panglima itu merenung sejenak. Lalu katanya, “Kau jangan mengambil keuntungan dari pertentangan di dalam lingkungan keprajuritan di Singasari. Aku tahu, tuanku Ranggawuni tentu dengan sengaja memilih waktu seperti ini. Selagi kecurigaan dan dendam sedang membakar hati para prajurit.”
“Bukankah itu wajar? Tetapi jika tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak berbuat sesuatu sekarang ini, maka Singasari akan menjadi semakin buruk. Apabila kelak tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terpaksa mengambil alih kekuasaan dengan kekerasan, maka korban tidak akan dapat dihitung lagi.”
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang akhirnya aku menyadari, bahwa ketidak pastian, dan tanpa pendirian dan sikap yang teguh seperti aku, sepantasnya hanya akan menjadi alat dan dimanfaatkan oleh orang-orang lain.”
“Jangan merasa demikian. Kau pun belum terlambat untuk bersikap sekarang ini. Seandainya kau memutuskan untuk mendukung kekuasaan tuanku Tohjaya, maka kau pun akan mendapat kesempatan. Sebaliknya jika kau mengambil sikap lain, maka kau masih mempunyai kemungkinan pula.”
Panglima Pasukan Pengawal itu menarik nafas dalam- dalam. Katanya dalam nada yang datar, “Aku memang tidak mempunyai, pilihan Lembu Ampal. Aku sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu di bawah perintah tuanku Tohjaya. Memang, sejak semula aku berpikir berlandaskan kepentingan pribadi dan pamrih semata-mata. Sekarang aku pun masih belum dapat melepaskan perhitungan pribadi itu. Agaknya akan lebih menguntungkan bagiku untuk berpihak kepada tuanku Ranggawuni meskipun seandainya tuanku Ranggawuni kelak mengambil keputusan untuk menggantung aku di alun-alun. Karena menurut perhitunganku, tuanku Tohjaya pun pada suatu saat akan berbuat demikian atasku. Dan menurut perhitunganku pula, jika datang hukuman mati, yang akan dilakukan oleh tuanku Ranggawuni tentu lebih baik daripada tuanku Tohjaya.”
“Pertimbanganmu terlampau jauh Panglima.”
“Aku harus memperhitungkan segala kemungkinan.”
“Jadi apa keputusanmu? Jika kau bersedia maka marilah kira bersama-sama pergi menghadap Panglima Pelayan Dalam.”
Panglima Pasukan Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Apakah aku tidak mendapat kesempatan untuk berpikir?”
Pertanyaan ini memang wajar sekali. Tetapi Lembu Ampal tidak ingin memberikan kesempatan itu, jika Panglima itu sempat merenungi keadaannya, maka ada kemungkinan bahwa ia akan mengambil sikap lain.
Karena itu, maka Lembu Ampal pun kemudian berkata, “Panglima. Kita jangan terombang ambing oleh keadaan ini terlampau lama. Mungkin besok atau lusa akan jatuh korban lagi seperti kedua Senapati itu. Bahkan mungkin pada suatu saat Panglima sendiri akan ditikam di hadapan para pemimpin di paseban.”
Panglima itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia menggeram penuh dendam.
“Meskipun demikian.” berkata Lembu Ampal selanjutnya, “Terserah kepada Panglima, apakah Panglima masih dapat berpangku tangan dalam keadaan seperti sekarang ini.”
Panglima itu merenung sejenak. Kemudian, “Baiklah. Marilah kita pergi ke rumah Panglima Pelayan Dalam. Aku kira ia pun belum lama datang dari istana.”
“Tentu Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam masih tetap saling mencurigai. Siapa tahu, bahwa sebenarnya pihak lainlah yang dengan sengaja memancing kekeruhan ini.”
“Aku sudah menduga.” sahut Panglima Pasukan Pengawal.
“Dan akibatnya sekarang terasa bahwa kekuasaan di dalam halaman istana sudah bergeser dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam kepada prajurit-prajurit itu.”
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Marilah. Aku harus sudah kembali sebelum pagi. Mungkin tuanku Tohjaya memerlukan aku dan memanggil setiap saat.”
Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera pergi bersama Lembu Ampal. Namun ia tidak dapat melepaskan kecurigaannnya, sehingga ia masih juga membawa beberapa orang pengawal pilihan. Seandainya Lembu Ampal tidak berbuat apa-apa, maka di perjalanan dapat saja timbul persoalan dengan prajurit-prajurit dan Senapati dari kesatuan yang lain, yang memang sedang dalam keadaan yang tegang dan saling mencurigai.
Ternyata bahwa sikap Lembu Ampal di sepanjang jalan, seakan-akan memberikan keyakinan kepada Panglima Pasukan Pengawal itu, bahwa Lembu Ampal tidak berbohong. Itulah sebabnya maka ia pun menjadi semakin mantap untuk melakukan tindakan yang dapat memberikan harapan bagi dirinya dan bagi Singasari.
Kedatangan Panglima Pengawal di rumah Panglima Pelayan Dalam disambut dengan penuh kecurigaan. Para pengawal di rumah itu pun segera bersiap. Para penjaga regol segera berloncatan dengan senjata di tangan.
“Aku ingin bertemu dengan Panglimamu.” berkata Panglima Pasukan Pengawal.
Seorang Senapati yang berada di regol dan yang malam itu bertanggung jawab penjagaan di rumah Panglimanya, melangkah maju sambil bertanya, “Apakah ada keperluan penting sekali sehingga Panglima datang di malam hari?”
“Penting sekali. Katakan kepada Panglimamu, aku datang bersama Lembu Ampal.”
“Lembu Ampal.” para prajurit itu berdesis dan serentak mereka mencari di antara wajah-wajah para pengawal Panglima Pasukan Pengawal itu.
Lembu Ampal justru maju sambil tersenyum. Katanya, “Ya, aku mengikuti Panglima Pasukan Pengawal datang untuk menghadap Panglimamu.”
Senapati yang bertugas di regol itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan menyampaikannya kepada Panglima, apakah ia dapat menerima.” Ia terdiam, lalu katanya, “Tetapi bukankah Lembu Ampal itu sudah beberapa lama lenyap dari Singasari?”
“Aku tetap berada di Singasari. Tetapi tidak di dalam kota.”
“Ya. Begitulah maksudku.”
“Kepergianku merupakan bagian dari persoalan yang akan aku sampaikan kepada Panglimamu sekarang ini.”
Senapati itu memandang Lembu Ampal sejenak. Lalu, “Baiklah. Tunggulah sebentar.”
Senapati itu pun kemudian menghadap kepada Panglimanya yang baru saja masuk ke dalam biliknya. Mula-mula ia terkejut mendengar laporan bahwa Panglima Pasukan Pengawal telah datang dengan beberapa orang pengawal, termasuk Lembu Ampal.
“Apa katanya?”
“Ada persoalan penting yang akan dibicarakan.”
Penglima Pelayan Dalam itu termangu-mangu sejenak. Ia mempunyai banyak pertimbangan. Tetapi juga prasangka.
“Mungkin ia ingin menentukan sikap bersama setelah terjadi peristiwa yang mengerikan itu.” berkata Panglima itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Persilahkan mereka masuk. Yang aku terima di ruang dalam hanyalah Panglima Pasukan dan Lembu Ampal.”
Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal dan Lembu Ampal itu pun kemudian masuk ke ruang dalam ditemui oleh Panglima Pelayan Dalam dengan penuh pertanyaan yang membayang di sorot matanya.
Lembu Ampal lah yanng kemudian mulai berbicara. Seperti yang dikatakannya kepada Panglima Pasukan Pengawal ia menawarkan kerja sama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah bersiap untuk memasuki istana Singasari.
Panglima Pelayan Dalam itu termangu-mangu. Ia pun diamuk oleh kebimbangan seperti yang dialami oleh Panglima Pasukan Pengawal.
Namun Lembu Ampal berkata, “Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak bertindak atas dasar dendam karena kematian tuanku Anusapati yang telah di bunuh oleh tuanku Tohjaya. Tetapi yang mereka lakukan didasari rasa tanggung jawab atas perkembangan Singasari. Seandainya tuanku Tohjaya dapat memerintah Singasari seperti tuanku Sri Rajasa, maka aku kira tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak akan pernah memikirkan untuk merebut tahta.” Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnyalah bahwa yang dikehendaki oleh tuanku Ranggawuni bukanlah sekedar kedudukannya, tetapi justru tanggung jawabnya.”
Panglima Pelayan Dalam masih tetap merenung.
“Itulah sebabnya maka tuanku Ranggawuni tidak akan menghiraukan apakah para Panglima pernah mendukung tuanku Tohjaya atau tidak. Yang penting, siapakah yang ingin bekerja bersama akan diterima dengan kedua belah tangannya. Tetapi jika tidak, maka kedua anak-anak muda itu akan menghadapi mereka sebagai lawan yang harus dibinasakan.”
“Kau mengancam?” bertanya Panglima Pelayan Dalam.
“Tentu tidak. Aku tahu ancaman bagi Panglima tidak ada gunanya. Bahkan bagi setiap prajurit. Tetapi yang aku katakan adalah rencana tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Siapa yang berjalan seiring, akan dibimbingnya. Tetapi yang melintang akan dipatahkannya. Dan ini bukannya sebuah ancaman. Tetapi demikianlah yang akan dilakukan, meskipun barangkali kedua anak-anak muda itu akan menjumpai kegagalan karena ternyata pendukung Tohjaya terlampau kuat.”
Panglima Pelayan Dalam itu menjadi semakin bimbang. Sehingga akhirnya ia bertanya kepada Panglima Pasukan Pengawal, “Apa keputusanmu?”
“Aku menjadi bingung.” sahut Panglima Pasukan Pengawal, “Tetapi aku tidak dapat menutup kenyataan bahwa tuanku Tohjaya benar-benar sudah tidak dapat diharapkan. Apalagi karena pasukanku dan pasukanmu kini sudah tidak berarti sama sekali, bahkan mungkin dalam waktu dekat, pasukan kita akan dihapuskan. Para pemimpinnya akan mengalami nasib serupa dengan kedua Senapati yang telah dibunuh dan dilemparkan begitu saja ke sungai, sehingga tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang memerintahkan untuk mengambil kedua mayat itu, karena tidak ada orang lain yang berani melakukannya.”
Panglima Pelayan Dalam itu pun kemudian menyahut, “Aku juga sudah kehilangan harapan. Bagiku tuanku Tohjaya sudah tidak berarti lagi di dalam perjuangan buat masa depan Singasari.”
Lembu Ampal memandang kedua Panglima itu berganti-ganti. Ia tidak perlu berbicara lagi. Yang dilakukannya kemudian adalah menunggu saja perkembangan pendapat kedua Panglima itu.
Sejenak kemudian Panglima Pelayan Dalam pun berkata, “Tunggulah. Akan berbicara dengan beberapa orang Senapati yang terpercaya yang kebetulan bertugas di sini sekarang. Mungkin mereka akan dapat memberikan pendapat.”
“Aku memutuskannya sendiri.” berkata Panglima Pasukan Pengawal.
“Tetapi biarlah aku meyakinkan pikiranku.”
“Tetapi dengan kemungkinan yang sangat buruk bagiku.” berkata Lembu Ampal.
“Kenapa?”
“Jika para Senapati menolak, maka aku tidak akan dapat keluar lagi dari tempat ini.”
Panglima Pelayan Dalam itu merenung sejenak, lalu, “Kau memang pantas ditangkap karena kau menghilang justru setelah tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lenyap. Kau meninggalkan tugasmu sebagai seorang prajurit tanpa izin. Tetapi kali ini biarlah aku yang menanggung keselamatanmu selama kau menjadi tamuku. Namun demikian di luar halaman rumah ini, itu terserah kepadamu sendiri.”
Lembu Ampal tersenyum. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dalam pada itu Panglima Pelayan Dalam itu pun segera memanggil dua orang Senapati yang terpercaya untuk ikut serta berbicara dengan Panglima Pasukan Pengawal dan Lembu Ampal.
“Melihat perkembangan terakhir, agaknya kita memang sedang dibenturkan satu dengan yang lain.” berkata seorang Senapati, “Tentu ada petugas sandi yang sengaja memancing kekeruhan. Merekalah agaknya yang membunuh orang Rajasa dengan pakaian orang Sinelir. Kemudian membunuh orang Sinelir dengan meninggalkan ciri-ciri orang Rajasa. Dengan demikian kita akan berbenturan yang satu dengan yang lain, sementara itu tuanku Tohjaya telah menjatuhkan hukuman yang sangat mengerikan meskipun itu lebih baik dari hukuman picis.”
Panglima Pelayan Dalam mengangguk-angguk. Lalu dipandanginya Senapati yang lain dengan tajamnya.
Senapati itu bergeser setapak. Kemudian katanya, “Aku sependapat. Apa artinya pengabdian yang kita berikan jika kita tidak dapat mengharapkan Singasari menjadi semakin baik. Ternyata bahwa pamrih pribadi yang kita harapkan dengan mendukung tuanku Tohjaya tidak terpenuhi seperti yang dijanjikan. Apalagi kita Singasari seakan-akan menjadi buram. Waktu yang singkat selama pemerintahan Tuanku Tohjaya telah menyeret Singasari ke dalam suasana yang sangat gelap.”
Panglima Pelayan Dalam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang membayangkan keragu-raguan.
Sebelum Panglima itu berkata sesuatu, Lembu Ampal telah mendahuluinya berkata, “Baiklah. Kalian dapat membuktikan, bahwa aku tidak berkata tanpa arah. Jika kalian kehendaki, aku dapat membawa kalian kepada tuanku Ranggawuni. Kini tempatnya bukannya suatu rahasia lagi, karena tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”
“Lembu Ampal.” berkata Panglima Pasukan Pengawal, “Aku percaya kepadamu. Tetapi tentu aku tidak sebodoh yang kau sangka, bahwa aku akan pergi bersamamu ketempat yang tidak aku ketahui.”
Lembu Ampal tertawa. Katanya, “Memang sewajarnya. Aku memang tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Aku merasa bahwa sudah ada kepercayaan yang diberikan kepadaku, tetapi masih belum sejauh itu.” Lembu Ampal berhenti sejenak, “Baiklah. Jika kalian masih ragu-ragu untuk pergi menemui ngirimkan masing-masing seorang Senapati untuk bertemu langsung dengan tuanku Ranggawuni.”
Kedua Panglima itu termangu-mangu sejenak. Agaknya mereka masih tetap ragu-ragu.
“Tetapi terserahlah kepada kalian.” berkata Lembu Ampal. “Mungkin kalian memilih menggabungkan diri setelah tuanku Ranggawuni menduduki istana.”
Panglima Pelayan Dalam menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang seorang Senapatinya, maka Senapati itu berkata, “Jika aku mendapat perintah, aku akan pergi bersama Lembu Ampal.”
Panglima Pelayan Dalam itu termenung sejenak, lalu ia ia pun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Jika Panglima Pasukan Pengawal sependapat, kau akan pergi bersama Lembu Ampal.”
Ternyata Panglima Pasukan Pengawal itu pun tidak berkeberatan. Ia pun kemudian menunjuk seorang Senapati yang mengawalnya untuk pergi bersama Lembu Ampal menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
“Nah, jika demikian, kita akan segera pergi. Jika kita lambat, maka akan ada prajurit dari golongan lain yang melihat kita. Dan kita tidak akan pernah dapat kembali.”
Demikianlah ketika kemudian Panglima Pasukan Pengawal kembali ke rumahnya, maka Lembu Ampal dan dua orang Senapati telah pergi untuk menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dengan hati-hati mereka mencari jalan untuk keluar dari kota, tanpa diketahui oleh para penjaga. di setiap jalan, lorong bahkan jalan-jalan setapak, telah mendapat pengawasan yang sangat ketat dari para prajurit Singasari.
Namun dengan pengalaman Lembu Ampal keluar masuk kedalam kota, maka mereka pun dapat sampai keluar kota dengan selamat.
“Kita akan berjalan semalam suntuk?” bertanya Senapati dari golongan Rajasa.
“Tidak. Tidak terlampau jauh.” jawab Lembu Ampal.
“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Senapati dari golongan Sinelir.
“Aku tidak berbohong.”
Ketiganya pun kemudian berjalan semakin cepat. Mereka memilih jalan melintas, menyusur pematang dan jalan-jalan sempit.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah padukuhan kecil di tengah-tengah bulak yang luas. Sambil memandang padukuhan itu Lembu Ampal berkata, “Di situlah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka bersembunyi.”
“Selama ini?” bertanya kedua Senapati itu hampir berbareng.
“Ya.” jawab Lembu Ampal.
“Aku tidak percaya.” berkata Senapati dari golongan Rajasa.
Lembu Ampal tertawa. Katanya, “Kadang-kadang keduanya ada di padukuhan itu.”
Kedua Senapati itu menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak berniat untuk mengurungkan maksudnya.
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki padukuhan kecil yang terpencil itu. Di regol padukuhan kedua Senapati itu terkejut. Mereka melihat sepasukan prajurit Singasari yang lengkap berada di sepanjang jalan. Sebagian dari mereka berada di gardu dan yang lain bertebaran di dalam kegelapan.
“Inilah prajurit-prajurit Singasari yang berpihak kepada tuanku Ranggawuni?” bertanya Senapati dari golongan Sinelir.
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat menjawab, ketika seorang dari prajurit itu mendekatnya sambil bertanya, “Siapakah yang datang bersamamu Lembu Ampal?”
“Dua orang Senapati dari Singasari. Seorang Senapati dari Pasukan Pengawal dan yang lain Pelayan Dalam.”
Orang yang bertanya itu memandang kedua Senapati itu sejenak. Kemudian dengan isyarat ia mempersilahkan Lembu Ampal berjalan terus.
“Kau kira pasukanmu ini cukup untuk menguasai istana saja?” bertanya Senapati dari golongan Rajasa, “Apalagi untuk menguasai seluruh kota. Prajurit Singasari yang berada di halaman kini segelar sepapan, sedang yang ada di sekitar istana hampir tidak terhitung lagi.”
Lembu Ampal tertawa, katanya, “Yang kau lihat adalah sebagian kecil. Jumlah prajurit tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka benar-benar tidak terhitung. Seluruh rakyat Singasari akan berada dipihaknya.”
Kedua Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak dapat menolak pendapat Lembu Ampal itu. Ketidak puasan rakyat Singasari terhadap Tohjaya akan dengan mudah menumbuhkan keinginan untuk menghirup udara baru, meskipun mereka belum tahu pasti bahwa yang baru itu akan lebih baik dari yang telah ditolaknya. Yang penting bagi mereka adalah suatu perubahan.
Apalagi jika yang baru itu benar-benar dapat memberikan harapan kepada mereka. Memberikan bayangan masa depan yang lebih baik.
Karena itu maka kedua Senapati itu tidak bertanya lagi. Mereka berjalan saja dengan tegang di antara prajurit yang berserakan.
Namun semakin dalam mereka memasuki padukuhan kecil itu, mereka melihat bahwa prajurit yang ada di padukuhan itu pun cukup banyak.
“Kita akan menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.” berkata Lembu Ampal.
Kedua Senapati itu mengangguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan aku mendapatkan kepercayaan atas keduanya sehingga aku akan dapat memberikan pertimbangan kepada Panglima untuk mengambil keputusan seperti yang kau harapkan.”
Lembu Ampal tersenyum. Katanya, “Maksud tuanku Ranggawuni dan tuanku, Mahisa Cempaka, hal itu semata-mata untuk mengurangi jumlah korban di kedua belah pihak.”
“Kau masih tetap sombong.”
“Sudah aku katakan. Bukan kesombongan, tetapi sekedar rencana yang telah dibuat oleh tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.”
“Kesombonganmu adalah karena kau terlalu yakin bahwa rencana itu akan berhasil.”
“Siapa yang mengatakan bahwa rencana itu pasti akan berhasil? Aku sudah mengatakan, mungkin rencana itu akan gagal karena kekuatan pendukung tuanku Tohjaya ternyata melampaui dugaanku.” sahut Lembu Ampal, lalu, “Nah, kau berdualah yang akan dapat memberikan pertimbangan, apakah kami akan berhasil atau tidak. Kami sudah melihat sebagian dari prajurit-prajurit Singasari yang berpihak kepada tuanku Ranggawuni kemudian kalian akan bertemu langsung dengan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka sendiri.”
Kedua Senapati itu tidak menyahut. Mereka menjadi tegang ketika mereka kemudian memasuki sebuah regol halaman yang meskipun tidak begitu luas, tetapi nampak mendapat penjagaan yang khusus.
“Kedua anak muda itu tentu berada di rumah ini.” berkata kedua Senapati itu di dalam hatinya.
Ternyata dugaan mereka itu benar. Di rumah itu sudah menunggu tuanku Ranggawuni dari tuanku Mahisa Cempaka.
Dengan ragu-ragu kedua Senapati itu mengikuti Lembu Ampal memasuki rumah yang tidak begitu besar itu. Mereka tertegun sejenak di pintu. Meskipun malam telah menjelang dini hari, namun di ruangan itu masih nampak beberapa orang duduk di sebuah ambin yang besar seolah-olah sengaja sedang menunggu kedatangannya.
Ketika tatapan mata kedua Senapati itu bertemu dengan sorot mata Ranggawuni dan kemudian Mahisa Cempaka yang masih muda itu, namun benar terasa betapa besar pengaruh wibawa mereka, sehingga kedua Senapati itu pun kemudian menundukkan kepalannya sebelum mereka sempat melihat orang lain yang ada di daIam ruangan itu.
“Masukklah Senapati,” terdengar suara Ranggawuni mempersilahkan keduanya.
“Marilah.” Lembu Ampal pun mempersilahkan pula. Keduanya pun kemudian melangkah masuk.Beberapa saat keduanya ragu-ragu. Baru kemudian Lembu Ampal berkata, “Duduklah di ambin itu pula.”
Keduanya pun kemudian duduk di ambin itu pula, Sejenak mereka mendapat ketempatan untuk melihat orang-orang yang duduk di sekitarnya.
Terasa mereka berdesir ketika mereka melihat seorang yang duduk dengan tenangnya di sudut ambin itu, di sebelah tuanku Ranggawuni. Bahkan orang itu kemudian tersenyum ketika pandangannya bertemu dengan tatapan mata kedua Senapati itu.
“Mahisa Agni.” desis kedua Senapati itu di dalam hatinya. Mereka menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni yang nampaknya tidak pernah keluar dari bangsalnya itu kini berada di tempat itu.
“Selamat datang kalian berdua.” berkata Mahisa Agni dengan nada yang datar.
Kedua Senapati itu tergagap karenanya. Namun kemudian salah seorang menjawab, “Demikianlah. Kami berdua selamat sampai di tempat ini.”
“Majulah.” Mahisa Cempaka mempersilahkan mereka bergeser mendekat.