Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Jilid 02

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Walaupun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun terasa juga pengaruhnya. Prajurit yang memberontak itu tidak dapat mendesak lebih laju lagi. Usaha mereka menembus prajurit-prajurit yang menahan mereka terpaksa terhenti untuk beberapa lamanya. Namun demikian perwira yang memimpin mereka itu pun segera berteriak, “Pecahkan pertahanan ini. Di seberang padukuhan ini kita akan menemukan kebebasan. Semakin cepat semakin baik.”

Tetapi perwira yang memimpin pasukan lawannya berteriak pula, “Tidak! Kepungan ini berlapis-lapis. Kalian tidak akan berhasil.”

“Persetan!” teriak pemimpin prajurit yang memberontak itu, “marilah kita buktikan bahwa kita pun prajurit.”

Prajurit-prajurit yang ingin melarikan diri itu bertempur semakin kasar. Yang ada di dalam angan-angan mereka adalah hanya satu tujuan, lari. Lepas dari tangkapan prajurit Singasari dan dengan demikian lepas dari tiang gantungan.

Pertempuran menjadi semakin lama semakin sengit. Prajurit-prajurit Singasari yang harus bertahan terus-menerus itu pun telah menjadi semakin garang pula.

Ternyata bahwa panah-panah sendaren yang berloncatan di udara telah mendapat tanggapan dari setiap prajurit yang mendengarnya. Sambung menyambung, maka isyarat itu terdengar ke seluruhan daerah pengepungan, bahwa prajurit yang terkepung itu telah berusaha memecahkan kepungan dan melarikan diri.

Dalam pada itu, prajurit berkuda Singasari yang sedang menyusul prajurit yang lolos dari baraknya itu pun telah melihat panah sendaren pula. Dan jarak padukuhan itu telah menjadi semakin dekat pula.

Panah itu ternyata telah mempercepat laju kuda mereka. Dengan cepatnya pasukan itu meluncur menuju ke padukuhan yang sedang dibakar oleh api pertempuran itu.

Ternyata yang kemudian memasuki padukuhan itu bukan saja pasukan berkuda itu. Tetapi juga pasukan dari padukuhan sebelah menyebelah. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi karena kedatangan mereka yang hampir bersamaan dari beberapa jurusan, maka mereka pun menjadi semakin kuat pula.

Prajurit-prajurit Singasari itu pun segera menempatkan diri mereka. Mereka tidak semuanya berada di satu pihak. Tetapi karena perintah Anusapati bagi prajuritnya adalah menangkap pemimpin prajurit yang memberontak itu, maka mereka pun telah mengepung prajurit-prajurit yang memberontak itu dari segala arah.

Pasukan yang berdatangan semakin banyak, dan menempatkan diri dalam satu lingkaran, telah membuat prajurit-prajurit yang memberontak itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka yang hampir kehilangan akal itu menjadi semakin bingung. Dengan demikian maka tandang mereka pun menjadi semakin liar dan buas sehingga mereka benar-benar telah menjadi sepasukan prajurit yang mendebarkan jantung oleh keputusasaan.

Pertempuran di antara mereka pun berkobar semakin dahsyat. Pasukan Singasari berjumlah semakin banyak, sedang prajurit yang memberontak itu bertempur semakin liar dan tanpa pegangan.

Perwira dari pasukan berkuda, yang ternyata merupakan senapati tertua di antara setiap kelompok pasukan yang ada di arena itu pun kemudian berteriak mengatasi dentang senjata beradu, “Pasukan yang memberontak. Menyerahlah. Kalian sudah terkepung. Jangan mempersulit diri sendiri dengan perlawanan yang tiada berarti apa-apa ini selain korban yang akan berjatuhan.”

Tidak ada jawaban. Tetapi pertempuran berkobar semakin seru. Kedua belah pihak memeras tenaga semakin banyak sehingga suara senjata beradu semakin memekakkan telinga.

“Cepat menyerah!” teriak Senapati itu, “kami masih akan mempertimbangkan pengampunan seperti kawan-kawanmu yang telah menyerah lebih dahulu di barak. Jika kalian tidak menyerah, dan kalian tertangkap di dalam pertempuran, maka persoalan kalian akan menjadi lain.”

Namun yang didengar adalah jawaban senapati yang telah memberontak itu, “Jangan bujuk kami seperti membujuk anak-anak dengan gula kelapa. Kami adalah prajurit yang menyadari tindakan kami. Dan kami tahu hukuman apa yang akan kalian timpakan kepada kami. Karena itu, kami akan menebus kebebasan kami dengan darah dan nyawa kami.”

“Kalian telah dibayangi oleh perasaan putus asa. Dengarlah suaraku. Aku adalah pemegang perintah Tuanku Anusapati.”

“Jangan sebut-sebut lagi. Minggirlah, kami akan melalui padukuhan ini. Atau kalian ingin kami melangkahi mayat kalian?”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya prajurit-prajurit yang memberontak itu benar-benar telah kehilangan akal, sehingga mereka melakukan perlawanan itu semata-mata sebagai suatu tindakan untung-untungan antara dua pilihan. Mati atau lepas dari tangan prajurit-prajurit Singasari.

Dengan demikian maka prajurit-prajurit Singasari itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Mereka mengepung semakin rapat dalam jumlah yang semakin banyak.

Demikianlah selagi pertempuran itu berkobar semakin dahsyat, maka datanglah di padukuhan itu sepasukan berkuda yang lain. Bahkan di dalam pasukan ini terdapat beberapa tanda kebesaran Maharaja Singasari, karena Anusapati sendiri ada di dalam pasukan itu.

Dan daerah persawahan Anusapati melihat padukuhan yang dilanda oleh peperangan itu. Sejenak pasukan itu termangu-mangu. Namun kemudian Anusapati pun memerintah, “Kita masuk ke dalamnya. Kita melihat pertempuran yang telah terjadi itu.”

Dengan menyusuri jalan padukuhan, maka pasukan itu berhasil mendekati arena pertempuran yang menjadi semakin sempit karena kepungan yang semakin rapat.

Ternyata bahwa tanda kebesaran Maharaja Singasari itu mempengaruhi pertempuran yang sedang berkobar. Prajurit-prajurit yang melihat tanda-tanda kebesaran itu menjadi berdebar-debar. Yang berada di pihak Maharaja Anusapati menjadi semakin mantap, karena rasa-rasanya mereka bertempur di bawah lambaian panji-panji kebesaran. Sedang yang melawan Singasari menjadi semakin gelisah dan kecil hati.

Namun akibatnya menjadi semakin parah. Mereka menjadi semakin putus asa. Tidak ada lagi harapan untuk tetap hidup. Jika mereka tertangkap maka mereka akan digantung berderet-deret di alun-alun.

Dengan demikian maka mereka pun justru menjadi semakin liar dan garang.

Anusapati mengetahui apa yang sedang berkecamuk di dalam hati mereka. Jika pertempuran itu berkobar terus, maka korban akan semakin banyak berjatuhan di kedua belah pihak. Karena itu, maka ia pun maju beberapa langkah. Sambil duduk di atas kudanya ia berteriak, “Apakah kalian bersedia menghentikan perlawanan? Jika kalian bersedia, maka kami mempertimbangkan hukuman yang lebih ringan. Meskipun kami tetap akan menghukum yang bersalah, tetapi hukuman itu akan terbatas. Dan mereka yang sekedar terseret oleh arus tanpa menyadari dirinya akan dipertimbangkan pula.”

Suara Anusapati itu bagaikan bergema di seluruh daerah pertempuran. Meskipun senjata masih juga berdentingan, namun setiap telinga dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Anusapati.

Ternyata bahwa suara itu seolah-olah langsung meresap di dalam setiap hati. Beberapa orang prajurit yang semula tidak lagi dapat berpikir selain mati dan mati, mulai mempertimbangkan kata-kata Anusapati itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin kendur. Beberapa orang prajurit yang melakukan perlawanan itu mulai melepaskan perlawanannya selain berloncatan surut.

“Hentikan pertempuran!” tiba-tiba terdengar suara Anusapati bergema kembali, “Aku akan berbicara dengan mereka.”

Setiap prajurit yang mendengar perintah itu pun segera mematuhinya. Baik prajurit yang melakukan perlawanan, maupun yang akan menangkap mereka.

“Aku tahu bahwa kalian bukan berbuat karena kehendak kalian sendiri. Nah, jika demikian apakah kalian tidak mulai menyadari, bahwa perlawanan kalian tidak akan berarti? Janji yang tentu kalian terima sebagai imbalan tingkah laku kalian tidak akan pernah dapat terjadi jika kalian berdiri di bawah tiang gantungan. Karena itu sebaiknya kalian berpikir, bahwa sebaiknya kalian menyerah.”

Prajurit yang memberontak itu mengerutkan keningnya. Mereka benar-benar mulai berpikir.

“Nah, siapa yang menyerah, letakkanlah senjata. Sekali lagi aku memberikan jaminan, bahwa hukuman bagi kalian akan diperingan. Kalian tidak akan digantung dan dihukum mati dengan cara apapun.”

Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja pemimpin mereka, yang merasa bahwa baginya tentu tidak akan ada pengampunan itu pun berteriak, “Licik! Kalian telah membujuk kami.”

“Tetapi kami bukan membujuk kalian untuk melakukan perbuatan yang salah dengan menjanjikan upah atau derajat yang tinggi, namun kemudian menjerumuskan kalian ke dalam neraka ini. Kami membujuk kalian untuk menyadari kenyataan yang kalian hadapi.”

“Omong kosong! Kami sudah menentukan sikap.”

“Apakah kau sadar dengan siapa kau berbicara?” bertanya Anusapati.

Senapati itu terdiam sejenak. Namun agaknya hatinya telah benar-benar dilapisi oleh keputusasaan, sehingga ia menjawab, “ Ya. Aku kenal. Kau adalah penguasa tertinggi di Singasari. Nah apakah akan memaksakan kekuasaanmu untuk berbuat sewenang-wenang di sini?”

Jawaban itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang yang mendengarnya, termasuk Anusapati sendiri.

Tetapi Maharaja Singasari itu cukup bijaksana. Karena itu ia tidak segera terbakar hatinya dan menjatuhkan perintah yang berat bagi senapati yang dengan terus terang telah melawannya.

“Senapati,” berkata Anusapati, “jika aku menghentikan perlawananmu dan memberi kesempatan kau dan orang-orangmu menyerah dengan janji keringanan hukuman atas kesalahan kalian, apakah itu namanya sewenang-wenang?”

“Cukup!” potong Senapati itu, “kau mencoba mempengaruhi prajurit-prajuritku yang setia, yang telah menyatakan diri sehidup semati meskipun kami akan berhadapan dengan Maharaja Singasari sendiri. Karena kami sadar, bahwa Maharaja Singasari sekarang ini sebenarnya sama sekali tidak berhak atas tahta.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi dibiarkannya saja orang itu berbicara, agar ia mendapat bahan yang diperlukan. Adalah lebih baik orang itu berbicara atas kehendaknya sendiri daripada ia harus memaksanya.

“Kau telah membunuh Tuanku Sri Rajasa, agar kau mendapat kesempatan untuk menjadi raja.”

“Apakah begitu?” bertanya Anusapati, meskipun terasa dadanya berdesir juga, “setiap orang mengetahui bahwa aku adalah Pangeran Pati, yang berhak menggantikan kedudukan Ayahanda Sri Rajasa. Tetapi siapakah yang mengatakan hal itu kepadamu, Senapati?”

Senapati itu termangu-mangu. Lalu, “Aku mengerti karena aku dapat membuat perhitungan sebagai seorang prajurit. Kau memerintahkan Pengalasan dari Batil itu membunuh Sri Rajasa, lalu kau bunuh Pengalasan itu.”

“Tutup mulutmu!” geram panglima pasukan tempur Singasari yang menyertai Anusapati.

Tetapi Anusapati berdesis, “Biarlah ia mengatakan apa saja yang dikehendakinya. Kau tahu bahwa Ayahanda Sri Rajasa adalah seorang maharaja yang memiliki kemampuan tempur yang tidak ada duanya di muka bumi. Apakah Pengalasan dari Batil itu akan mampu membunuhnya seorang diri. Meskipun kita berpendapat demikian tetapi mungkin Pengalasan itu datang bersama satu dua orang sakti yang lain. Kesalahannya adalah karena ia datang seorang diri saja padaku, sehingga aku berhasil membunuhnya. Apabila senapati ini mempunyai cerita yang lain, tentu ia mempunyai sumber yang sengaja memutar balikkan kenyataan untuk tujuan tertentu.”

“Aku tidak mengerti bicaramu,” potong Senapati itu, “tetapi aku tidak akan menyerah kepadamu, kepada pembunuh Sri Rajasa meskipun kau meminjam tangan orang lain.”

“Jadi, kau tetap pada pendirianmu?” bertanya Anusapati.

“Aku tetap pada pendirianku.”

“Baiklah. Tetapi kau akan berdiri seorang diri. Lihat, prajurit-prajurit Singasari yang telah menyadari kesalahan akan meletakkan senjatanya. Bagaimana dengan kau?”

Senapati itu masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian sekali lagi ia menggeram, “Aku tetap pada pendirianku. Dan prajurit-prajuritku pun akan tetap pada pendiriannya.”

Sejenak Senapati itu berpaling, namun kemudian ia berteriak, “Marilah, kita sempurnakan tugas kita. Kita sudah berhadapan dengan pembunuh itu. Kita harus segera bertindak.”

Tidak seorang pun yang bergerak. Beberapa orang prajurit yang semula mengikuti jejaknya, kini berdiri saja termangu-mangu.

Yang terdengar kemudian adalah suara Anusapati, “Siapa yang mendengar suaraku, suara Maharaja Singasari yang memegang segala macam kekuasaan atas negeri ini, letakkan senjata kalian!”

Para prajurit itu masih termangu-mangu. Dan yang terdengar kemudian adalah senapati itu berteriak, “Jangan hiraukan! Cepat, angkat senjatamu. Hancurkan pembunuh itu!”

“Aku memberi kesempatan beberapa kejap mata lagi. Selebihnya, pasukanku akan bergerak. Siapa yang menyerah akan mendapat keringanan. Nah, siapakah yang meletakkan senjata?”

Prajurit-prajurit yang bingung itu bagaikan berdiri pada bibir sebuah lingkaran yang berputar. Semakin lama semakin cepat, semakin cepat, sehingga mereka bagaikan kehilangan kepribadian mereka sendiri.

Namun dalam pada itu, yang terdengar kemudian seakan-akan hanyalah suara Anusapati. Semakin lama semakin keras, semakin keras berdesing di telinganya. Sehingga dengan demikian, hampir di luar sadar, mereka pun segera melemparkan senjata mereka masing-masing.

Melihat sikap yang seolah-olah dalam mimpi itu, senapati yang memberontak itu berteriak keras-keras, “Gila! Kalian sudah gila! Kalian telah berkhianat. Berkhianat dua kali. Kita sudah bersepakat untuk mengkhianati pembunuh itu, namun sekarang kalian mengkhianati aku.”

Tidak ada jawaban. Orang-orang itu berdiri bagaikan patung dan seolah-olah telah kehilangan diri sendiri.

“Senapati,” berkata Anusapati kemudian, “kau sudah kehilangan semua kesempatan. Nah, sekarang lepaskan senjatamu.”

Tetapi senapati ini pun bagaikan sudah kehilangan akalnya pula. Sambil mengacu-acukan pedang dan kerisnya ia berkata, “Aku adalah seorang prajurit. Seorang prajurit jantan. Karena itu maka aku hanya berhenti bertempur jika nyawaku telah lepas dari tubuhku. Ayo, kerubut aku. Aku tidak gentar menghadapi pasukan Singasari yang manapun juga meskipun ia dipimpin oleh maharajanya, maharaja pembunuh itu.”

Wajah Anusapati menjadi merah, dan telinganya serasa panas. Lalu katanya, “Baiklah jika kau tidak mau menyerah. Kau benar-benar seorang prajurit jantan. Karena itu, maka kau pun akan mendapat kehormatan pula. Karena kau tinggal seorang diri, maka kami pun akan melawanmu dengan seorang diri. Nah, kau mendapat kesempatan memilih. Siapakah yang akan melawanmu seorang lawan seorang di antara para senapati yang datang menyertaiku.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menggeram menahan kemarahan yang menghentak-hentak dadanya.

“Pilihlah lawanmu. Mungkin yang kau anggap paling lemah di antara kami.”

“Persetan!” teriak senapati itu, “aku memilih lawan pembunuh Sri Rajasa.”

“Oh,” sahut Anusapati, “pembunuh Sri Rajasa sudah mati. Pilihlah yang ada di hadapanmu sekarang.”

“Kau, kau. Maharaja Singasari. Aku tidak yakin bahwa sebenarnya kau cukup sakti untuk menggantikan Sri Rajasa yang sudah berhasil menaklukkan Kediri dan membinasakan Maharaja Kediri waktu itu.”

“Aku?” Anusapati menjadi heran.

“Ya. Aku tidak yakin kemampuanmu yang sering menyebut dirinya Kesatria Putih itu benar-benar mampu mengimbangi senapati yang setia kepada Sri Rajasa ini.”

Anusapati tiba-tiba saja tersenyum. Katanya, “Kau dapat menyebut dirimu setia kepada Sri Rajasa. Tetapi kau telah memerintahkan dua kelompok prajurit yang kau samarkan untuk menimbulkan benturan dari golongan yang menyebut dirinya setia kepada Sri Rajasa dan golongan yang menyatakan diri sebagai pencinta Akuwu Tunggul Ametung yang terbunuh lebih dahulu. Nah, kenapa kau tidak menuduh pimpinan sekarang sebagai keturunan orang yang telah mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung sepeninggalnya? Atau apa saja yang dapat menimbulkan kesan seakan-akan bahwa kau bercita-cita tentang suatu susunan pemerintahan yang paling baik bagi Singasari?”

“Aku tidak peduli. Jika kau benar-benar memberi kesempatan aku memilih, aku memilih Maharaja Singasari sebagai lawanku.”

Anusapati termangu-mangu sejenak. Namun panglima prajurit Singasari yang menyertainya berkata, “Ampun Tuanku. Permintaan itu adalah tidak pantas sama sekali. Di sini ada beberapa orang senapati dan panglima. Jika Tuanku berkenan, biarlah hamba sajalah yang akan melayani orang yang sudah menjadi gila itu.”

“Persetan!” teriak Senapati itu, “Aku tidak gila. Aku masih sadar sepenuhnya. Aku masih dapat mengenal kau sebagai penjilat. Nah, apa katamu?”

Panglima prajurit Singasari itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Beri hamba kesempatan Tuanku. Hamba akan memaksa Senapati itu untuk menyadari dirinya.”

“Kau tidak pantas melawan aku. Hanya Maharaja Singasari sajalah yang pantas melawan aku, karena aku adalah jelmaan dari tuntutan keadilan. Nah, apakah orang yang bernama Anusapati berani melakukan perang tanding ini.”

Anusapati tidak segera menjawab. Ia benar-benar menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Karena Anusapati tidak segera menjawab, maka senapati yang seakan-akan sudah kehilangan nalarnya itu berteriak lagi, “Jangan menjadi ketakutan. Kau sekarang adalah seorang maharaja apapun caranya. Karena itu, sabdanya hanya satu kali. Dan kau memberi aku kesempatan memilih, dan aku sekarang sudah memilih. Jika kau tidak berani melakukan perang tanding, maka baiklah, aku akan melawan siapa saja yang akan kau tunjuk. Namun dengan pengertian, bahwa Maharaja Singasari sekarang adalah seorang pengecut. Tidak seperti Sri Rajasa yang agung, dan tidak seperti Akuwu Tunggul Ametung yang pernah memerintah Tumapel yang kecil, tetapi berjiwa sebesar seorang maharaja sejati.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tahu, bahwa kau menyebut Sri Rajasa yang agung dan Akuwu Tunggul Ametung untuk memaksa aku memenuhi tantangan.”

“Jangan hiraukan,” potong panglima prajurit Singasari itu, “perintahkanlah kepada hamba, agar hamba menyumbat mulutnya yang kasar itu.”

Tetapi Anusapati tersenyum. Katanya, “Bukan karena ejekannya aku memenuhi pilihannya. Tetapi aku sendiri memang sudah mengatakan, bahwa ia dapat memilih di antara kita. Dan ia benar sudah menjatuhkan pilihan.”

“Tetapi Tuanku adalah seorang maharaja.”

“Biarlah. Justru aku seorang maharaja maka aku akan memegang janji kata-kataku.”

Panglima itu tidak dapat berbuat lain. Dengan hati yang berdebar-debar ia memandang Anusapati yang melangkah mendekati senapati yang menggenggam dua pucuk senjata. Sebilah pedang dan sebilah keris.

“Beri aku senjata!” berkata Anusapati.

Seorang senapati dengan hati yang berdebar-debar maju mendekati sambil membawa pedang Maharaja Anusapati yang dibawanya.

“Nah Senapati,” berkata Anusapati, “aku sudah siap. Kau benar-benar mendapat kehormatan untuk bertempur melawan seorang Maharaja Singasari.”

“Jangan banyak bicara. Cepat!”

“Aku sudah siap.”

Senapati itu tidak menunggu lagi. Ia benar-benar sudah tidak dapat mengendalikan dirinya. Dengan cepat ia meloncat, seakan-akan hendak menerkam Anusapati yang berdiri menghadapinya.

Serangannya benar-benar berbahaya. Senapati itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Serangan itu bagaikan angin yang menyambar, dan bahkan sentuhannya seolah-olah terasa mengusap tubuh Anusapati.

Anusapati agak terkejut juga mengalami serangan itu. Demikian pula para senapati yang menyaksikannya. Panglima prajurit Singasari yang ada di pinggir arena itu pun terkejut pula sehingga ia bergeser melangkah maju.

Namun Anusapati pun segera berhasil menyesuaikan diri. Ketika senapati yang kehilangan nalar itu menyerangnya sekali lagi, Anusapati sudah berhasil menempatkan dirinya sebaik-baiknya.

Tetapi senapati itu bagaikan seekor harimau yang kelaparan. Bahkan mirip dengan harimau yang terluka. Tandangnya menjadi semakin liar dan kasar.

Anusapati harus mengimbanginya. Bagaimanapun juga ia harus berkelahi dengan keras pula. Benturan-benturan yang terjadi ke-mudian adalah benturan-benturan yang keras. Bukan sekedar usaha melontarkan bunga-bunga api.

Demikian perkelahian itu merupakan perkelahian yang mendebarkan hati. Senapati yang telah dicengkam oleh keputusasaan itu berkelahi dengan garangnya. Kedua senjata di kedua tangannya bergerak-gerak dengan cepatnya bagaikan dua buah baling-baling yang berputar saling susul-menyusul.

Namun, ternyata Anusapati cukup tangkas menghadapinya. Ia mampu berloncatan seperti kijang. Bahkan kadang-kadang lawannya yang putus asa itu menjadi bingung.

Beberapa saat kemudian, Anusapati merasa bahwa ia akan dapat menguasai lawannya. Jika saja lawannya bertempur dalam keadaan yang wajar, sehingga ia dapat mempergunakan nalar dan pertimbangan akalnya, maka senapati itu memang cukup tangguh. Tetapi karena hatinya yang gelap pekat, maka ia bertempur sekedar mempergunakan gerakan-gerakan naluri meskipun dilandasi oleh ilmu yang dimilikinya. Namun sama sekali tidak terarah. Namun demikian, gerakan-gerakan yang dilandasi oleh perasaan putus asa itu, kadang-kadang berbahaya juga bagi Anusapati.

Dalam pada itu, maka Anusapati kemudian sempat membuat pertimbangan. Ia ingin menangkap senapati itu hidup-hidup agar ia dapat menyadap keterangan darinya, siapakah sebenarnya yang berdiri di belakangnya. Meskipun para prajuritnya telah menyerah, namun agaknya mereka tidak banyak mengetahui, siapakah yang berdiri di balik keributan ini.

Karena itulah, maka Anusapati kemudian tidak lagi melayaninya mati-matian. Ia ingin memaksa lawannya menyerah, atau kehabisan nafas sehingga ia akan dapat ditangkap dengan mudah.

Karena itu untuk beberapa saat, Anusapati seakan-akan justru terdesak oleh lawannya. Beberapa orang senapati terkejut melihat hal itu. Namun sejenak kemudian mereka pun menarik nafas dalam-dalam.

Para senapati pun segera melihat bahwa sebenarnya Anusapati telah meyakini keadaannya. Dan mereka pun menyadari, bahwa tentu Anusapati ingin menangkap pemimpin prajurit yang telah memberontak itu hidup-hidup.

Tetapi senapati itu sendiri, yang melakukan perang tanding melawan Anusapati, tidak segera merasa bahwa sebenarnya Anusapati sedang berusaha menangkapnya hidup-hidup. Ketika ia merasa bahwa Anusapati mulai terdesak olehnya, maka ia pun berkata, “Nah, Anusapati. Jangan menyesal. Jika kau mati terbunuh di arena perang tanding ini, maka Singasari akan jatuh ke tangan yang berhak.”

“Siapakah yang berhak?” bertanya Anusapati.

Hampir saja mulut Senapati itu mengucapkan sebuah nama. Tetapi untunglah bahwa ia segera menyadari kekeliruannya. Maka jawabnya, “Sayang, bahwa kau tidak pantas mendengar namanya. Jangan menyesal.”

Anusapati tidak bertanya lagi. Ia masih saja sekedar bertahan dan menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya. Dan senapati yang sudah putus asa itu merasa dirinya mendapat kemenangan yang akan dapat menyelamatkannya, dan bahkan akan mengangkat derajatnya.

Namun semakin lama, terasa nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Meskipun rasa-rasanya ia masih saja menekan lawannya yang sama sekali tidak mendapat kesempatan menyerang, namun tekanannya sama sekali tidak menimbulkan gangguan apapun terhadap Anusapati.

Demikianlah maka semakin lama, nafas senapati itu pun menjadi semakin dalam. Bahkan kemudian terasa nafas itu semakin mengganggunya. Namun demikian, ia masih saja tidak berhasil melakukan serangan yang berbahaya dan apalagi melumpuhkan lawannya.

Akhirnya senapati itu mulai curiga terhadap perkelahian itu. Sedikit demi sedikit ia merasa, bahwa keadaan perkelahian itu agak aneh baginya. Meskipun ia selalu berhasil mendesak dan tidak memberi kesempatan kepada Anusapati, namun Anusapati rasa-rasanya masih saja tetap segar dan melakukan perlawanan dengan tangkasnya.

Senapati yang hampir kehabisan nafas itu pun akhirnya merasa sepenuhnya, bahwa perlawanannya sebenarnya adalah sia-sia saja. Ia kemudian menyadari, bahwa Anusapati memang tidak bertempur sepenuh kemampuannya dan dengan segera berusaha mengalahkannya. Ia sadar, bahwa selama itu agaknya Anusapati membiarkannya berloncatan, berputar dan bertempur seorang diri. Itulah sebenarnya, akhirnya nafasnya bagaikan terputus di kerongkongan.

Meskipun demikian, rasa-rasanya tidak mungkin lagi baginya untuk menyerah. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tetap bertempur terus, apapun yang akan terjadi. Bahkan sampai nafasnya putus sama sekali.

Tetapi ternyata bahwa kemampuannya memang terbatas. Sampai pada saatnya, tenaganya rasa-rasanya telah terkuras habis. Bahkan apabila ia mengayunkan pedangnya, maka ia akan terseret sendiri oleh ayunan pedang itu, sehingga terhuyung-huyung. Setiap langkah membuatnya kehilangan keseimbangan dan sekali-sekali senapati perang yang telah melawan kekuasaan Anusapati itu terseret oleh tenaganya sendiri dan terjatuh di tanah.

Anusapati sama sekali tidak berusaha menyerangnya. Dibiarkannya senapati itu dengan tertatih-tatih berusaha bangkit dengan kedua senjata di tangannya. Pedangnya masih tergenggam erat di tangan kanan, sedang di tangan kirinya dipegang kerisnya dengan eratnya.

“Apakah kita bertempur terus?” tiba-tiba Anusapati bertanya.

“Persetan!” senapati itu menggeram. Tetapi suaranya sudah tidak terdengar jelas lagi.

Anusapati tersenyum, katanya, “Kau memang berjiwa prajurit. Kau memiliki kejantanan yang cukup. Pantang menyerah. Tetapi sayang, bahwa kau dungu dan agak keras kepala sehingga kau tidak mau melihat kenyataan yang kau hadapi. Apakah kau masih belum mau mengerti keadaan yang sebenarnya dari pertempuran ini? Dan kemudian dari perang tanding ini?”

Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia justru menyerang dengan menusukkan pedangnya ke arah dada Anusapati.

Dengan menarik sebelah kakinya Anusapati menghindar sehingga orang itu terdorong oleh tenaganya sendiri. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun ia pun kemudian jatuh terjerembab mencium tanah.

“Kau masih keras kepala?”

Orang itu mencoba bangkit sambil bertelekan pedangnya. Namun karena ia sudah demikian lelahnya, sehingga ia seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengangkat lututnya.

Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya. Kemudian ditolongnya orang itu berdiri.

Namun demikian ia tegak, sekali lagi ia mengayunkan pedangnya langsung ke lambung Anusapati. Dan kali ini Anusapati tidak menghindar. Tetapi ditangkisnya pedang itu dengan senjatanya.

Terdengar suara kedua senjata itu beradu. Namun ternyata benturan senjata itu telah melemparkan senapati itu beberapa langkah dan kini ia jatuh terbanting.

Sejenak ia menelentang sambil menyeringai. Wajahnya jadi pucat seperti kapas. Namun ia masih belum menyerah. Ternyata ia masih berusaha bangkit meskipun ia tidak berhasil.

“Menyerahlah,” berkata Anusapati sambil mengacukan senjatanya di dada orang itu.

Tetapi senapati itu tidak menghiraukannya. Ia mencoba memukul senjata Anusapati dengan senjatanya.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Orang itu benar-benar sudah tidak berdaya. Bahkan ketika Anusapati kemudian membiarkannya, ia sudah tidak dapat segera berdiri lagi.

Meskipun demikian Anusapati belum memberikan perintah untuk menangkap orang itu. Jika demikian agaknya orang itu tidak akan segera membunuh dirinya. Karena itu, maka dibiarkannya saja orang itu dengan susah payah berusaha untuk berdiri lagi.

Akhirnya sambil bertelekan senjatanya, ia berhasil tertatih-tatih berdiri. Namun demikian ia berusaha untuk tegak, maka datanglah serangan Anusapati tanpa diduganya. Tetapi Anusapati sama sekali tidak menyerang tubuhnya, namun dengan senjatanya ia memukul senjata senapati itu sehingga kedua-duanya terlepas dari tangannya.

“Licik, licik,” suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan, “kau melepaskan senjataku.”

Anusapati tidak menanggapinya. Namun kemudian keluarlah perintah untuk menangkap orang itu hidup-hidup.

Hampir tidak ada perlawanan sama sekali. Ketika dua orang senapati kemudian menangkapnya, maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengumpat-umpat dan meronta beberapa saat. Namun kemudian tenaganya pun seolah-olah telah terserap habis sama sekali.

Meskipun demikian, orang itu terpaksa diikat tangannya. Bukan karena ia akan mendapat kesempatan menyerang tetapi yang paling dicemaskan adalah apabila ia membunuh dirinya, jika berkesempatan.

Demikianlah maka orang itu pun kemudian dengan susah payah dibawa ke Singasari. Orang itu sendiri sama sekali sudah tidak mau berbuat apapun juga. Ia sama sekali tidak lagi berusaha menyelamatkan dirinya dengan cara apapun juga.

Selain senapati itu, maka para prajurit yang telah dipengaruhinya, dibawa pula bersamanya ke Singasari. Namun bagi yang menyerah, prajurit-prajurit Singasari telah mengambil sikap yang lain. Apalagi mereka yang menyerah sejak mereka masih berada di barak.

Demikianlah usaha penangkapan prajurit-prajurit yang memberontak itu dapat dikatakan selesai. Bahkan satu dua yang sebenarnya masih mendapat kesempatan untuk lari pun telah menyerahkan diri pula, karena mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat hidup tenteram sebagai orang buruan.

Atas perintah Anusapati, maka senapati itu telah mendapat tempat di dalam halaman istana untuk menahannya. Di hari pertama ia sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga. Dan para petugas pun menyadari, bahwa darahnya tentu masih terasa mendidih. Karena itu, dibiarkannya saja senapati itu duduk diam di dalam ruang yang menyekapnya.

Dengan tertangkapnya sekelompok prajurit yang telah berusaha mengeruhkan pemerintahan Singasari itu, Anusapati ingin mendapat bukti dan saksi, siapakah yang sebenarnya telah mengganggu ketenteraman, sehingga apabila ia harus bertindak, maka tindakannya itu bukannya tidak beralasan.

“Kita akan mendapatkan bukti hidup, Paman,” berkata Anusapati kepada Mahisa Agni yang berada di Singasari.

“Ya. Tetapi kesaksiannya tidak dapat dijadikan bahan satu-satunya untuk bertindak terhadap seseorang. Meskipun demikian kesaksiannya akan sangat besar pengaruhnya bagi kukuhnya kedudukan Tuanku.”

“Aku akan berusaha mendengar pengakuannya meskipun aku tidak boleh segera mempercayainya. Mungkin ia sengaja membuat kesaksian palsu yang justru dapat mengacaukan pemerintahanku.”

“Tuanku benar. Dan apabila tidak berkeberatan dan diperkenankan, biarlah hamba ikut mendengarkan pengakuan itu.”

“Tentu tidak Paman. Aku mengharap Paman mendengarkan kesaksiannya. Dan aku pun mengharap Paman Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana akan ikut mempertimbangkan pengakuannya. Paman dapat memberitahukan pengakuan itu kepada mereka, dan mendengarkan apakah yang mereka katakan tentang pengakuan itu.”

“Hamba akan menghadap di dalam pemeriksaan itu kelak.”

“Biarlah orang itu mendapat kesempatan merenungi dirinya sendiri lebih dahulu. Mudah-mudahan ia menyesal.”

“Mudah-mudahan,” ulang Mahisa Agni.

Demikianlah maka hari itu, senapati yang telah memberontak itu dibiarkannya saja di dalam ruang tahanannya. Di sebelah senapati itu, dipisahkan oleh sekat yang tebal, adalah tempat untuk menahan para perwira di dalam kelompok itu yang barangkali juga mengetahui serba sedikit tentang usaha pengkhianatan yang mereka lakukan. Sedangkan para prajurit, yang dianggap tidak berbuat banyak kesalahan itu, ditahan di luar halaman istana, dan mereka akan segera mendapat keputusan keringanan hukuman atas kesalahan mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah dilakukan itu.

“Besok siang aku akan bertemu dengan senapati itu,” berkata Anusapati kepada seorang perwira yang bertugas menjaga senapati yang memberontak itu.

“Hamba Tuanku. Mudah-mudahan besok siang, senapati itu sudah dapat mengendapkan perasaannya dan menemukan dirinya sebagai seorang prajurit Singasari.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang mengharap bahwa segera ada kesaksian yang dapat dipakainya sebagai landasan untuk bertindak lebih jauh, meskipun ia masih harus selalu berhati-hati.

Ketika malam kemudian menyelimuti Singasari, rasa-rasanya hati Anusapati masih saja selalu terganggu. Ia ingin segera mendengar keterangan dari mulut senapati itu. Seakan-akan ia tidak dapat bersabar menunggu sampai besok.

Tetapi Anusapati harus mengekang dirinya. Ia harus menunggu sampai besok seperti yang sudah dikatakannya sendiri.

Namun dengan demikian hampir semalam suntuk ia tidak dapat tertidur. Jika sekilas ia terlena, maka ia pun segera diganggu oleh mimpi yang mengejutkan.

“Rasa-rasanya aku meninggalkan seorang bayi di tepi telaga,” berkata Anusapati di dalam hatinya.

Ketika ia mendengar suara burung hantu di kejauhan, hatinya menjadi berdebar-debar. Seolah-olah ia mendengar keluh yang memelas dari beberapa orang yang tidak dikenalnya.

“Ah, aku telah dipengaruhi oleh perasaan yang terlepas dari ikatan nalar,” berkata Anusapati, “seharusnya aku dapat tidur nyenyak malam ini, setelah sekelompok prajurit itu berhasil ditangkap. Malam ini tidak akan ada lagi tindakan-tindakan tercela yang dengan sengaja memancing kekeruhan di dalam pemerintahanku.”

Meskipun demikian, ia tidak berhasil mengusir kegelisahannya seakan-akan memang ada sesuatu yang terjadi.

Itulah sebabnya Anusapati keluar dari peraduannya dan hampir di luar sadarnya ia pun pergi ke tempat senapati itu ditahan.

Tiga orang pengawalnya menjadi heran. Ketika Anusapati turun dari bangsalnya, maka para pengawal itu pun menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ampun Tuanku. Sebaiknya Tuanku memerintahkan hamba untuk melakukan yang Tuanku kehendaki.”

Anusapati memandang para pengawal itu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan berjalan-jalan di halaman. Rasa-rasanya malam panas sekali.”

Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Salah seorang kemudian berkata, “Apakah ada perintah bagi hamba?”

Anusapati memandang pengawal itu sejenak, lalu, “Ikut aku!”

Ketika pengawal itu pun kemudian mengikutinya. Anusapati pun sadar, bahwa ia tidak dapat menolak pengawalnya. Ketika ia masih menjadi seorang Pangeran Pati, ia tidak pernah memerlukan pengawal. Memang agak berbeda dengan Tohjaya.

Tetapi sekarang ia tidak dapat berbuat demikian. Anusapati sadar, bahwa ia kini adalah seorang maharaja. Itulah sebabnya ia selalu membiarkan dirinya diikuti oleh pengawalnya. Tetapi ia kenal benar kepada pengawal-pengawal itu, karena ia sendirilah yang memilikinya.

Tanpa tujuan Anusapati melangkahkan kakinya di sepanjang halaman bangsalnya. Beberapa orang prajurit yang sedang bertugas menjadi heran melihatnya. Tetapi mereka menyadari bahwa Anusapati tentu sedang digelisahkan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Meskipun ia berhasil menangkap prajurit-prajurit itu, tetapi peristiwa itu agaknya sempat mengguncangkan hatinya.

Ketika Anusapati sampai di depan regol taman, terasa hatinya berdebar. Taman itu kini rasa-rasanya menjadi sangat sepi. Dahulu ia selalu pergi ke taman dan bercakap-cakap dengan seorang juru taman yang sangat baik. Tetapi orang yang dikenal sebagai pengalasan dari Batil itu sudah tidak ada lagi. Ia telah mengorbankan jiwanya, dan bahkan kemudian namanya untuk kepentingannya. Ia telah mati dengan sadar, bahwa ia telah berusaha menyelamatkan kedudukannya. Berbeda dengan pengorbanan yang pernah diberikan Kebo Ijo. Nyawanya dan namanya. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukan dan apa yang terjadi atasnya.

“Paman Sumekar yang baik itu,” berdesis Anusapati.

Pengawalnya mendengar desis itu. Tetapi tidak begitu jelas. Namun tidak seorang pun yang berani bertanya, apa yang dikatakan oleh Anusapati itu.

Dan tiba-tiba saja Anusapati yang sedang menahan gejolak perasaannya itu menggeram, “Aku akan melihat orang-orang yang sedang ditawan itu.”

Pengawalnya saling berpandangan. Namun mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti Anusapati pergi ke ruang tawanannya disimpan.

Prajurit yang bertugas menjaga para tawanan itu menjadi terkejut sekali melihat kehadiran Anusapati justru di malam hari. Dengan tergesa-gesa mereka menyambut kedatangannya dengan dada yang gelisah.

“Aku tidak mempunyai keperluan yang khusus,” katanya kepada para penjaga ketika ia melihat kegelisahan mereka.

“Hamba Tuanku,” sahut prajurit yang dengan gemetar berdiri memegang tombak panjang.

“Di manakah tawanan itu?”

“Di bilik itu Tuanku.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati bilik berdinding kayu yang tebal. Perlahan-lahan Anusapati mengangkat selarak pintu itu dan mendorong daun pintunya ke samping.

Para penjaga menjadi heran. Ketiga pengawalnya segera berloncatan di samping. Mereka bersiap menghadapi setiap ke-mungkinan apabila tawanan yang sudah berputus asa itu mengamuk.

Ternyata dugaan para pengawal itu benar. Ketika senapati yang berada di dalam ruangan itu melihat dalam cahaya lampu, siapakah yang berdiri di muka pintu, tiba-tiba saja ia meloncat meraih lampu minyak di dalam bilik itu. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan lampu itu ke wajah Anusapati.

Tetapi Anusapati pun sebenarnya sudah menduga bahwa sesuatu dapat terjadi atas dirinya. Karena itu, maka ia pun segera bergeser ke samping sambil memiringkan kepalanya.

Lampu minyak itu terbang setebal jari dari wajah Anusapati, sehingga panasnya masih terasa. Tetapi sejenak kemudian halaman bangsal tempat senapati itu ditawan segera menjadi terang benderang, karena lampu yang dilemparkan itu jatuh pada seonggok rumput yang mulai kering di musim kemarau. Minyaknya berhamburan dan api pun segera menyambarnya.

Tetapi Anusapati tidak menjadi bingung. Ia pun segera melangkah masuk ke dalam ruangan yang gelap. Tetapi karena ia memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan, maka ia pun dapat melihat senapati yang siap untuk menyerangnya.

Namun bukan saja Anusapati yang kemudian berada di dalam bilik itu, tetapi ketiga pengawalnya pun segera berloncatan masuk dengan senjata telanjang, sehingga senapati itu terpaksa mengurungkan niatnya.

“Kau benar-benar berjiwa prajurit,” desis Anusapati, “tetapi sayang, bahwa kau tidak dapat menempatkan dirimu pada tempat yang sebenarnya bagi seorang prajurit.”

Senapati itu tidak menjawab. Tetapi ia menggeram menahan kemarahan yang bergolak di dalam dadanya.

“Beristirahatlah,” berkata Anusapati kemudian, “baru besok kita akan berbicara. Tetapi agaknya sulit berbicara dengan seorang senapati yang dicengkam oleh perasaan putus asa dan bahkan berusaha untuk membunuh dirinya sendiri.”

“Persetan!” senapati itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena ujung senjata yang mengarah ke dadanya.

“Baiklah. Renungkanlah dirimu sendiri menjelang fajar menyingsing. Mudah-mudahan kau menemukan jalan yang jernih.”

Senapati itu tidak menjawab. Tetapi cahaya matanya bagaikan membara.

Ketika Anusapati kemudian keluar dari bilik itu, dilihatnya beberapa orang prajurit sedang berusaha memadamkan api yang membakar rerumputan. Dengan tanah dan pasir, maka sejenak kemudian api itu pun menjadi semakin surut, dan akhirnya padam sama sekali.

“Hati-hatilah dengan tawananmu,” berkata Anusapati kepada penjaga tawanan itu.

“Hamba Tuanku. Hamba akan menjaganya baik-baik.”

“Selarak pintu itu.”

“Hamba Tuanku.”

“Di manakah perwira-perwira yang lain?”

“Ada di bilik sebelah.”

“Mereka tidak akan seliar senapati yang sedang berputus asa ini. Biarlah mereka tidur. Jangan diganggu. Aku besok akan menemui mereka seorang demi seorang, termasuk senapati itu.”

Anusapati pun kemudian meninggalkan bilik tawanan itu dan berjalan menyusuri halaman dengan kepala tunduk.

Malam yang gelap rasa-rasanya menjadi semakin gelap. Ketika Anusapati menengadahkan kepalanya, dilihatnya bintang gemintang gemerlapan di langit yang biru hitam.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Anusapati bergumam, “Bintang Gubuk Penceng telah menjadi semakin condong.”

“Hamba Tuanku. Bintang Gubuk Penceng sudah condong ke barat.”

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”

“Hamba Tuanku.”

Anusapati tidak berbicara lagi. Ia pun kemudian memasuki bangsalnya kembali. Kepada para pengawalnya ia berkata, “Kalian dapat beristirahat. Biarlah para penjaga bangsal itu menggantikan tugasmu.”

“Hamba Tuanku,” jawab mereka hampir berbareng sambil menganggukkan kepalanya.

Ketika Anusapati sudah di balik pintu, maka ketiga pengawal itu pun menarik nafas dalam-dalam.

“Aku rasa, jarang sekali seorang raja yang bertingkah laku seperti Tuanku Anusapati,” desis salah seorang dari mereka.

“Kenapa?” bertanya yang lain.

“Tuanku Anusapati yang pernah menyebut dirinya, atau katakanlah disebut orang sebagai Kesatria Putih itu masih saja ingin menangani berbagai masalah langsung dengan tangannya sendiri.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepala. Katanya, “Sebenarnya itu sangat berbahaya bagi seorang maharaja. Mungkin hal itu tidak terlampau terasa selagi Tuanku Anusapati masih seorang Pangeran Pati. Tetapi seharusnya ia dapat mengendalikan dirinya sedikit selagi ia sudah menjadi seorang maharaja, karena kalau terjadi sesuatu, maka akibatnya akan terasa di seluruh negeri.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang dari mereka berkata, “Kita akan beristirahat di gardu. Biarlah para pengawal bangsal ini bertugas sampai fajar.”

Kawan-kawannya pun menganggukkan kepalanya. Dan mereka pun kemudian berbaring di gardu di depan regol. Sejenak mereka terlena. Namun rasa-rasanya mata mereka baru terpejam mereka sudah dibangunkan dengan tergesa-gesa.....

“Sesuatu telah terjadi dengan tawanan itu,” desis seorang prajurit dengan wajah yang tegang.

Para pengawal itu terbangun dengan dada yang berdebaran. Seakan-akan denyut jantung mereka menjadi semakin cepat. Ketika dilihatnya seorang prajurit penjaga berdiri di depan gardu salah seorang dari mereka bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Bertanyalah kepadanya,” jawab prajurit penjaga bangsal itu.

Hampir berbareng ketiganya turun dari gardu. Dengan gerak naluriah mereka telah menggenggam senjata masing-masing.

“Ada apa?” bertanya salah seorang dari mereka.

Seorang prajurit berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah yang tegang. Kegelisahan yang amat sangat tampak membayang disorot matanya.

“Ada apa?”

“Aku harus menghadap Tuanku Anusapati,” katanya dengan nafas terengah-engah.

“Ada apa?”

“Aku harus menyampaikan kabar yang mengejutkan meskipun kepalaku harus dipenggal.”

“Ya, tetapi ada apa?”

“Senapati yang kami tawan itu kedapatan mati di dalam biliknya.”

“He, mati?” para pengawal itu hampir berbareng mengulang.

Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan suara bergetar, “Aku harus menghadap Tuanku Anusapati.”

Berita itu benar-benar telah mengejutkan. Anusapati yang belum sempat tertidur itu terkejut mendengar seorang pelayan dalam menghadap di depan pintu bilik di bangsalnya.

“Ada apa?” bertanya Anusapati.

“Para pengawal akan menghadap Tuanku. Ada sesuatu yang sangat penting akan disampaikan kepada Tuanku,” jawab pelayan dalam dari luar pintu.

Ketika Anusapati kemudian keluar dari biliknya dan didapatkannya ketiga pengawalnya, maka mereka pun segera menyampaikan maksud seorang prajurit yang akan menghadap.

“Bawa kemari!”

Di hadapan Anusapati prajurit itu pun mengulang keterangannya, bahwa tawanan itu telah mati di dalam biliknya.

Anusapati pun terkejut bukan buatan, sehingga suaranya menjadi bernada tinggi, “Kenapa ia mati? Kenapa?”

“Itulah yang sedang hamba cari bersama dengan para penjaga Tuanku. Hamba masih belum menemukan sebab-sebab yang pasti atas kematiannya. Tetapi yang pasti adalah, bahwa senapati itu mati terbunuh. Bukan karena bunuh diri atau dicengkam oleh penyakit yang aneh.”

“Dibunuh? Bagaimana mungkin?”.

“Kami mendengar suara sesuatu terjatuh di dalam bilik itu Tuanku. Ketika kami membuka pintu, kami menemukan senapati itu sudah mati, sedang atap bilik itu terbuka sedikit.”

Terasa sesuatu menghentak dada Anusapati. Dengan serta-merta ia berkata sambil berdiri, “Aku akan berkemas. Kita pergi sebentar melihat tempat itu.”

Anusapati pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Sejenak ia membenahi pakaiannya dan menyambar sebilah keris yang tergantung di atas pembaringannya. Bersama para pengawal ia pun kemudian pergi ke bilik tawanannya.

Seperti yang dikatakan oleh prajurit penjaga itu, tawanan itu memang sudah mati terbunuh. Tubuhnya masih terbaring di tempatnya, sedang atap di atasnya masih juga tetap terbuka.

Perlahan-lahan Anusapati mendekati mayat yang masih tetap berada di tempatnya itu.

“Belum ada perubahan sama sekali Tuanku,” berkata perwira penjaga bangsal tawanan itu, “hamba hanya meraba tubuhnya yang dingin membeku untuk meyakinkan, apakah ia memang sudah meninggal.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tawanan ini memang sudah mati. Bawa lampu itu kemari.”

Seseorang pun kemudian membawa sebuah lampu minyak mendekat. Dengan demikian, maka mayat itu menjadi semakin tampak jelas.

“Darah di kepalanya Tuanku,” desis seorang perwira.

Anusapati pun melihat darah yang sudah membeku di kepala senapati itu. Ketika lampu minyak itu semakin dekat dengan titik-titik darah yang sudah menjadi ke-hitam-hitaman itu, maka Anusapati pun berdesis, “Paser beracun.”

“Ya,” desis beberapa orang hampir bersamaan.

Mengerikan sekali. Sebuah paser beracun telah menancap di ubun-ubun senapati itu, sehingga ia hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggeliat, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.

“Ampun Tuanku,” berkata perwira yang bertanggung jawab atas penjagaan bilik itu, “hamba agaknya telah lengah, sehingga pembunuh itu sempat memanjat atap tanpa kami ketahui.”

Anusapati tidak menyahut. Sekilas dipandanginya wajah perwira itu. Namun kemudian katanya, “Apa yang kau ketahui sebelum kau memasuki bilik ini?”

“Kami mendengar suara seseorang terjatuh. Ketika kami masuk, kami melihat mayat itu sudah terbaring di tempat itu, Tuanku.”

Anusapati menengadahkan kepalanya. Dilihatnya lubang di atas kepalanya. Agaknya seseorang telah membunuh tawanan itu dari lubang itu. Tetapi bahwa terdengar suara seseorang terjatuh itu telah menimbulkan dugaan, bahwa orang yang berada di dalam bilik itu sedang berusaha untuk memanjat ke atas.

Dengan demikian maka Anusapati mempunyai dugaan bahwa orang itu telah dipancing untuk memanjat. Sementara itu, kepalanya segera dibidik dengan sebuah paser beracun.

Sejenak kemudian maka Mahisa Agni dan para panglima pun telah berdatangan. Ternyata sebagian besar dari mereka telah mengambil kesimpulan yang sama.

“Baiklah salah seorang melihat ke atas atap itu,” berkata Mahisa Agni, “mungkin masih dapat dijumpai sesuatu yang akan dapat menjadi bahan mengurai masalah ini.”

Demikianlah salah seorang dari para senapati yang ada di depan bilik itu pun segera meloncat memanjat dinding. Ketika ia sampai di atas atap, maka dilihatnya seutas tali yang besar masih terkapar di atas atap itu.

“Benar juga dugaan itu,” berkata senapati itu di dalam hatinya, “ternyata orang itu telah dipancing untuk memanjat dan mencoba lari dari tahanan. Tetapi ketika ia sudah hampir mencapai atas rumah ini, maka kepalanya pun telah dikenai dengan sebuah paser beracun sehingga ia mati seketika.”

Perlahan-lahan dan hati-hati ia merayap di dalam kegelapan memungut tali itu.

Namun tiba-tiba ia pun terkejut bukan buatan ketika ia melihat lubang yang justru lebih besar di sebelah lubang di atas bilik itu.

Dengan serta-merta ia mencoba menjenguk ke dalam. Dilihatnya dalam cahaya lampu, beberapa orang terbaring diam di dalam bilik sebelah dari bilik senapati yang tertawan itu.

Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke lubang yang sebelah sambil berkata, “Ampun Tuanku. Hamba menemukan seutas tali yang besar. Namun lebih daripada itu, hamba melihat lubang yang besar di atas bilik sebelah.”

“He?” Anusapati menyahut dengan dada yang berdebaran, “kau lihat lubang di bilik sebelah?”

“Hamba Tuanku. Karena hamba tergesa-gesa ingin menyampaikan kepada Tuanku, hamba telah berteriak dari tempat ini. Hamba mohon ampun Tuanku.”

Terasa dada Anusapati bergetar. Sejenak kemudian ia bergumam, “Kita lihat bilik sebelah.”

Mereka yang ada di dalam bilik itu pun segera menyibak ketika Anusapati melangkah keluar dan pergi ke bilik sebelah. Seorang prajurit telah berlari-lari mendahuluinya dan membuka pintu bilik itu.

Demikian Anusapati melangkahkan kakinya memasuk bilik itu, dilihatnya beberapa sosok mayat terbaring membeku di atas lantai.

Dengan tergesa-gesa Anusapati mendekati salah seorang dari mereka, dan langsung ditemukannya sebatang paser di kepalanya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Sebuah paser. Tetapi tidak tepat di-ubun-ubun.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tentu orang ini tidak sempat dipancingnya. Paser itu dilontarkan pada saat orang itu sedang tidur nyenyak.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ia tentu hanya sempat menggeliat. Tetapi tidak sempat berteriak.”

“Ya, Paman,” berkata Anusapati kemudian, “mereka masih tetap berbaring di lantai meskipun barangkali mereka masih juga menggeliat sebelum direnggut oleh maut. Ternyata letak mereka yang terbujur silang. Tetapi jika tidak demikian mereka pasti sempat berteriak atau salah seorang dari mereka terbangun oleh keributan yang dapat timbul. Namun agaknya hal itu tidak sempat terjadi.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang terjadi itu adalah pertanda bahwa yang mereka cari berkeliaran di dalam istana. Setidak-tidaknya kaki tangannya ada di dalam halaman istana. Dengan demikian, maka bahaya akan selalu mengancam hidup Anusapati selanjutnya. Kali ini mereka hanya berusaha menghilangkan jejak. Tetapi lain kali mereka akan berusaha langsung membunuh Anusapati dan orang-orang yang dekat dengan maharaja itu.

Anusapati yang menyaksikan para tawanan yang sudah meninggal itu dengan hati yang bergejolak, berdesis kepada Mahisa Agni, “Kita telah kehilangan sumber keterangan, Paman.”

“Ya. Agaknya terlampau sulit untuk mendapatkan gantinya.”

“Semula, ketika aku melihat mayat senapati itu, aku masih mempunyai harapan, bahwa salah seorang perwiranya akan dapat memberikan keterangan. Tetapi mereka pun telah terbunuh semuanya. Sedang kita tidak akan dapat mengharapkan apapun dari prajurit dan perwira rendahan.”

“Ya, Tuanku. Persoalan ini akan merupakan persoalan yang akan tetap gelap untuk sementara. Mudah-mudahan kita menemukan cara lain untuk mengungkapkannya,.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku berharap demikian Paman. Dan aku harap Paman sekarang juga pergi ke bangsal. Aku ingin berbicara.”

Demikianlah maka Mahisa Agni pun mengikuti Anusapati memasuki bangsalnya. Ketika mereka duduk di ruang depan, maka Anusapati pun segera bertanya, “Apakah Pamanda menaruh kecurigaan kepada para penjaga?”

“Aku belum dapat menyebutkan Tuanku. Tetapi kita harus menyelidikinya. Namun yang pasti, mereka harus mendapat hukuman, setidak-tidaknya peringatan keras atas kelengahan mereka sehingga tawanan itu semuanya mati terbunuh.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kematian para tawanan itu adalah kehilangan yang besar baginya untuk mencari kesaksian atas rencana kekacauan yang sengaja, ditimbulkan di Singasari.

“Namun,” berkata Mahisa Agni selanjutnya, “untuk membeberkan kesalahan itu seluruhnya kepada para penjaga, tentu saja kita tidak akan sampai hati.”

“Baiklah Paman. Untuk sementara aku tidak akan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Aku hanya akan memberikan peringatan keras dan pembatasan atas tugas mereka. Tetapi sudah barang tentu kita akan mencari siapakah sebenarnya pembunuh dari para tawanan itu. Jika kita menemukannya, maka kita akan mendapat ganti yang telah mati di dalam tahanan.”

“Adalah demikian Tuanku, meskipun pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat berat. Menemukan pembunuhnya itu adalah usaha yang memerlukan waktu dan ketekunan, kemudian menyimpan orang itu agar tidak mati terbunuh merupakan pekerjaan lain yang cukup berat dan sulit. Sedang kemudian memaksanya untuk berbicara itu pun akan memerlukan suatu cara tersendiri.”

“Aku menyadari Paman. Tetapi aku harus melakukannya.”

“Hamba Tuanku. Tuanku memang harus melakukannya,” Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, “sudah pernah terjadi hal yang serupa pada masa kekuasaan Sri Rajasa. Ketika Tuanku harus berkelahi dan membinasakan Kiai Kisi, maka beberapa orang tawanan pun telah terbunuh pula di halaman ini.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira sumber perbuatan itu tidak berbeda. Tetapi kita memang memerlukan kesaksian yang meyakinkan untuk melontarkan tuduhan.”

“Agaknya memang demikian Tuanku.”

“Baiklah Paman. Aku akan segera melakukan tindakan-tindakan yang perlu. Agaknya kekuatan itu tidak hanya akan terhenti sampai sekian. Mungkin, di saat mendatang mereka akan memilih sasaran yang lain. Bukan saja pemerintahan Singasari yang akan mereka kacaukan dengan tujuan yang lebih luas, tetapi mungkin sekali mereka akan langsung memotong pokok dari kekuasaan Singasari.”

“Maksud Tuanku, akan ditujukan langsung terhadap Tuanku?”

“Ya Paman. Dan ada firasat padaku, bahwa demikianlah agaknya yang akan terjadi.”

“Tuanku, jika demikian, Tuanku memang harus berhati-hati. Tetapi bukan karena firasat itu Tuanku kehilangan gairah di dalam pemerintahan. Tuanku pernah disebut sebagai Kesatria Putih, sehingga Tuanku akan tetap memiliki jiwa Kesatria Putih itu untuk selanjutnya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian, “hamba mohon diri. Jika Tuanku memerlukan hamba, hamba akan segera menghadap. Karena peristiwa ini, jika berkenan di hati Tuanku, hamba akan tinggal untuk sementara di Istana Singasari. Mungkin hamba dapat berbuat sesuatu untuk membantu menjernihkan kegelapan ini.”

“Tentu paman. Aku tidak pernah berkeberatan jika Paman memang ingin tinggal di Singasari. Agaknya Kediri sudah jadi semakin baik, dan tidak perlu terlampau langsung mendapat pengawasan.”

“Terima kasih Tuanku.”

“Mungkin pada masa pemerintahan Ayahanda Sri Rajasa, Pamanda memang sengaja disingkirkan. Tetapi kini Pamanda justru aku perlukan. Bahkan menurut pertimbanganku, jika ada orang lain yang pantas menggantikan kedudukan Pamanda di Kediri, sebaiknya Pamanda tetap berada di istana Singasari.”

“Terima kasih Tuanku. Tetapi biarlah untuk sementara hamba berada di Kediri. Hamba harus menahan pertumbuhan Kediri yang pesat. Bukan dari segi kemakmuran rakyatnya, tetapi untuk menahan agar tidak dinyalakan kembali dendam yang masih saja ada di antara para bangsawan. Hamba masih harus meyakinkan bahwa kesatuan yang sudah ada sekarang, yang telah dibangunkan oleh Sri Rajasa harus dipertahankan.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepala. Katanya, “Terserahlah menurut pertimbangan Paman. Namun sementara ini memang sebaiknya Paman tetap berada di Singasari.”

Demikiankah maka Mahisa Agni pun kemudian mohon diri dan kembali ke bangsalnya. Di sepanjang halaman, dilihatnya para prajurit sedang sibuk berbincang tentang kematian yang aneh itu.

Ketika kemudian matahari terbit, berita tentang kematian itu tidak dapat dibatasi lagi. Dari mulut ke mulut, maka berita itu pun segera tersebar. Seluruh kota segera mendengar, bahwa tawanan yang tertangkap oleh Maharaja Singasari itu sendiri, ternyata mati di dalam biliknya, hanya beberapa saat saja setelah Anusapati sendiri menengoknya ke dalam bilik itu.

“Kami tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa kami pun akan tersentuh oleh kesalahan yang telah terjadi,” berkata seorang prajurit yang sedang bertugas di regol bangsal Mahisa Agni.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Inilah yang sering disebut terantuk di tanah datar, terbentur di kekosongan.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak ada hujan, tidak ada mendung di langit, tiba-tiba saja petir menyambar. Kita sama sekali tidak bermimpi akan mengalaminya. Tentu seluruh malam ini di seluruh halaman akan mengalami pemeriksaan yang keras.”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun menjadi cemas, jika mereka harus ikut bertanggung jawab, karena halaman istana ternyata telah dimasuki oleh orang-orang yang sengaja akan membuat kekisruhan. Bahkan kekisruhan itu sudah terjadi, dan kekisruhan yang sangat merugikan.

Berbeda dengan para prajurit yang menjadi cemas akan nasib masing-masing, karena mereka tidak akan dapat ingkar dari kesalahan, karena halaman istana telah dimasuki oleh orang yang ternyata telah membunuh para tawanan, maka Anusapati pun mencemaskan dirinya sendiri bukan karena kesalahan yang dilakukan, tetapi justru karena ancaman orang lain atas dirinya.

Kematian para tawanan itu memberikan kesadaran kepada Anusapati bahwa masih ada juga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi yang tidak menyukainya, terbukti dengan pembunuhan itu.

“Pada suatu saat, selagi aku tidur dengan nyenyaknya, maka atap bilikkulah yang akan dilubanginya dan kepalakulah yang akan di lubangi pula dengan paser beracun,” berkata Anusapati di dalam hatinya.

Sebenarnya Anusapati bukan seorang pengecut. Bahkan ia telah melakukan tindakan yang berdasarkan keberanian tiada taranya, yaitu menjadi salah seorang dari mereka yang disebut Kesatria Putih di antara beberapa orang yang lain. Yang dilakukannya sebagai Kesatria Putih adalah tindakan yang berani dan kadang-kadang sangat berbahaya.

Namun, tiba-tiba ia kini merasa dirinya selalu dibayangi oleh maut.

Anusapati tidak dapat ingkar, bahwa di dalam dirinya bergolak suatu perasaan bersalah atas kematian Sri Rajasa. Ia tidak dapat lari dari kenyataan bahwa tangannya yang memegang keris Empu Gandringlsah yang telah membinasakan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa. Sengaja atau tidak sengaja. Dan seolah-olah ia mendengar keris itu selalu berkidung tentang kematian. Seolah-olah keris yang pernah minum darah seseorang itu setiap kali menjadi haus.

“Oh,” Anusapati yang duduk seorang diri di dalam biliknya menjadi ngeri mengenangkan semua itu. Kematian Tunggul Ametung, Empu Gandring sendiri, dan kemudian Sri Rajasa dan selalu terbayang tentang dirinya sendiri.

“Apakah namaku juga akan dipasang berderet dengan nama-nama yang lain itu? Termasuk Paman Sumekar dan Kebo Ijo?” pertanyaan itu selalu melonjak di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa Anusapati lebih banyak dibayangi oleh perasaan bersalah daripada ketakutan itu sendiri. Dan kematian para tawanan itu seolah-olah merupakan peringatan baginya, bahwa sebenarnyalah masih ada kekuatan yang akan dapat membinasakannya, seperti ia menyingkirkan Sri Rajasa.

“Persetan!” Anusapati itu menggeram, “Aku bukan penakut. Aku tidak akan takut terhadap siapa pun. Di sini aku adalah seorang maharaja yang memiliki kekuasaan tertinggi. Di sini ada Pamanda Mahisa Agni. Bahkan Pamanda Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana akan dapat melindungi aku dari segala tindakan pengecut. Di luar dan di dalam istana aku mempunyai kekuatan, yang berujud prajurit-prajurit Singasari dan yang tidak nampak adalah orang-orang tua yang memiliki kelebihan itu.”

Namun demikian, jika Anusapati sempat memandang ke dirinya sendiri, sebenarnyalah ia selalu dicengkam oleh kecemasan itu.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat terlalu lama merenung di dalam biliknya. Hari itu ia menghadapi persoalan yang rumit. Yaitu kematian para tawanan itu.

Dengan resmi Anusapati membicarakan masalah itu dengan para pembantunya. Para pemimpin Singasari di dalam olah pemerintahan, panglima dan senapati prajurit.

Tidak seorang pun dari mereka yang dapat menyatakan sikapnya dengan pasti menghadapi persoalan itu. Yang dapat mereka bicarakan di dalam paseban adalah sekedar sikap terhadap pada penjaga yang langsung mengawasi para tawanan itu, dan bagi mereka yang malam itu bertugas di halaman.

“Aku tidak dapat menghukum mereka,” berkata Anusapati, “yang akan aku lakukan lewat panglima dari pasukan masing-masing yang sedang bertugas adalah peringatan yang keras. Jika hal yang serupa terjadi dalam bentuk apapun, maka barulah aku akan menjatuhkan hukuman yang berat terhadap mereka.”

Para panglima, senapati dan para pemimpin Singasari menundukkan kepalanya. Terasa betapa besar kemurahan hati Anusapati terhadap rakyatnya.

Namun demikian, Anusapati tidak dapat menyembunyikan rasa cemasnya sehingga ia berkata, “Tetapi, pengampunan ini harus diartikan sebagai cambuk bagi mereka, agar mereka lebih baik lagi berbuat bagi ketenangan halaman istana Singasari yang mulai diraba oleh tangan yang hitam. Sekarang yang menjadi korban adalah tawanan-tawanan yang bagi kita sangat penting artinya itu, namun lain kali adalah para panglima, para pemimpin Singasari dan bahkan aku sendiri seperti pada saat meninggalnya Ayahanda Sri Rajasa.”

Dan Anusapati pun tidak dapat menyembunyikan suatu tuduhan, “Tidak mustahil bahwa pembunuh dari para tawanan itu bukan seseorang yang memasuki halaman istana ini di malam hari dan berhasil mengelakkan diri dari pengawasan para penjaga. Tetapi orang itu adalah penghuni halaman ini sendiri. Hal yang serupa pernah terjadi beberapa saat yang lampau, ketika para prajurit yang mengemban tugas ke timur bersama aku membawa beberapa orang tawanan pula.”

Para pemimpin dan Panglima mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang dapat saja terjadi. Betapa para pemimpin Singasari dan para panglima itu menunaikan tugasnya sebaik-baiknya, namun bahwa mereka tidak akan dapat dengan cermat mengetahui hati seorang yang ada di dalam halaman istana itu. Namun sebenarnyalah bahwa sebagian besar di antara mereka mempunyai arah pandangan yang serupa di dalam hal itu.

Namun demikian Anusapati masih dapat menahan hatinya, sehingga ia tidak menjatuhkan tuduhan kepada seseorang.

Tetapi ketika paseban itu selesai, dan para panglima melakukan tugasnya masing-masing terhadap setiap orang di dalam pasukannya yang langsung atau tidak langsung terlibat di dalam kelengahan malam itu. Anusapati masih berbincang dengan Mahisa Agni di ruang dalam.

“Apa kata Pamanda tentang Tohjaya?” bertanya Anusapati.

“Tuanku memang harus berhati-hati terhadapnya.”

“Tampaknya ia pasrah diri dan menyesuaikan dengan keadaan. Tampaknya ia tidak lagi mempunyai banyak pamrih dan tingkah.”

“Apakah Tuanku menghubungkan namanya dengan peristiwa yang baru saja terjadi?”

“Aku mencoba untuk tidak berbuat demikian. Tetapi di luar kehendakku sendiri, nama itu selalu hadir setiap kali aku membayangkan persoalan yang sedang aku hadapi sekarang.”

“Dan kesimpulan yang akan Tuanku ambil?”

“Paman. Bagaimanapun juga aku mencurigainya. Aku tidak yakin bahwa tidak ada seorang pengikutnya yang dapat dibawanya berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka.”

“Ampun Tuanku. Sebenarnya hamba pun berpendapat demikian. Karena itulah maka hamba katakan bahwa Tuanku harus berhati-hati terhadap Tuanku Tohjaya. Meskipun nampaknya ia patuh terhadap semua perintah dan peraturan yang Tuanku jatuhkan, namun agaknya ia bukan seorang yang berhati lemah dan cepat luluh, apalagi ibundanya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah Pamanda, Karena itu aku mengharap Pamanda tinggal beberapa lama di halaman istana ini, sehingga dengan demikian Pamanda akan lebih mengenal apakah yang sebenarnya sedang bergejolak di Istana Singasari sekarang ini.”

Dalam pada itu, tindakan yang paling lunak telah dikenakan terhadap para petugas yang malam itu berada di halaman. Mereka yang tidak langsung terlibat hanya sekedar mendapat peringatan. Sedang mereka yang saat itu bertugas menjaga para tawanan yang terbunuh itu pun mendapat peringatan yang keras. Jika mereka mengulangi kesalahan yang serupa, maka mereka akan mendapat hukuman yang cukup berat.

Sejak peristiwa itu, Anusapati merasa selalu dibayangi oleh bahaya. Ia selalu merasa seakan-akan Sri Rajasa memandanginya dengan sikap yang tidak dimengerti. Kadang-kadang Sri Rajasa itu mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, namun kadang-kadang rasa-rasanya Sri Rajasa itu akan menerkamnya dengan penuh kemarahan. Dan dengan demikian setiap kali Tohjaya datang menghadapnya, hatinya pun menjadi berdebar-debar.

Namun Tohjaya tidak pernah menunjukkan sikap yang mencurigakan. Ia pun terkejut mendengar bahwa para tawanan yang berhasil ditangkap langsung oleh Anusapati itu terbunuh di bilik tawannya.

“Sayang sekali,” desahnya, “jika mereka tetap hidup, maka tidak akan ada orang yang berprasangka terhadap orang lain yang tidak disukainya. Dengan kesaksiannya, maka akan dapat ditunjuk dengan tegas, siapakah yang bersalah. Kini sepeninggal para tawanan itu, maka setiap orang dapat dicurigai. Perbuatan mereka akan dapat menjadi sumber fitnah yang tidak ada habis-habisnya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kakanda Anusapati,” berkata Tohjaya, “apakah para prajurit yang tertawan itu tidak dapat memberikan kesaksian apa-apa?”

“Tidak Adinda Tohjaya. Mereka hanya sekedar menjalankan perintah para perwira dengan janji yang menyenangkan. Tetapi mereka tidak mengetahui, siapakah yang berdiri di belakang para perwira yang memberikan janji kepada mereka itu.”

Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ampun Kakanda. Sebenarnyalah aku merasa ngeri mendengar hal itu terjadi. Di masa lampau, aku adalah saudara muda Kakanda yang paling bengal. Aku adalah anak yang sangat dimanjakan oleh Ibunda, sehingga kadang-kadang aku berbuat sesuatu yang aneh dan tidak dapat dimengerti nalar. Aku pernah menantang Kakanda berkelahi. Bahkan pernah terjadi kita berkelahi di arena, meskipun mula-mula aku tidak mengetahui bahwa Kesatria Putih itu adalah Kakanda. Karena itu, kenakalanku di masa lampau memberikan kesan yang sangat tidak baik kepadaku. Apalagi di dalam keadaan serupa ini.”

“Sudahlah Tohjaya,” berkata Anusapati, “kita tak akan saling menyalahkan atau mencari sasaran kesalahan dari peristiwa ini. Tetapi kita akan berusaha untuk menemukan bukti, siapakah yang sebenarnya bersalah. Selebihnya kita tidak akan dapat berbuat apa.”

“Terima kasih Kakanda. Ternyata Kakanda adalah seorang maharaja yang berjiwa besar. Yang sebelumnya tidak aku bayangkan. Aku mengucapkan terima kasih, bahwa tidak ada kecurigaan atasku dan saudaraku seibu.”

Tohjaya berhenti sejenak, lalu, “Aku pun mohon, agar perbedaan darah keturunan yang mengalir pada diri kita masing-masing, karena kita berbeda ibu tidak menjadikan Kakanda memandang aku orang lain.”

“Tidak Adinda. Aku telah berusaha menyingkirkan perasaan itu sejak lama. Sejak Ayahanda Sri Rajasa masih memerintah. Kau tidak ada bedanya dengan adik-adikku yang lain. Yang seibu, maupun yang bukan seibu.”

Tohjaya menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Bahkan Anusapati terkejut ketika ia kemudian melihat air yang membasahi pipi Tohjaya.

“Tohjaya,” desis Anusapati, “kenapa kau menangis?”

“Ampun Kakanda. Aku merasa sangat terharu akan kemurahan hati Kakanda. Justru karena itu, aku akan mengabdikan diriku sepanjang umurku kepada Kakanda.”

“Baiklah Adinda. Tetapi Adinda adalah seorang laki-laki. Dan tidak sepantasnya seorang laki-laki menitikkan air mata.”

“Aku tidak akan dapat menitikkan air mata meskipun seandainya aku dihukum picis di alun-alun. Tetapi justru karena Kakanda terlampau baik terhadap diriku yang sebenarnya pantas diusir dari halaman istana inilah, aku tidak dapat menahan air mataku lagi.”

“Kau sangat perasa. Sudahlah. Lupakanlah semuanya.”

Tohjaya pun kemudian mohon diri meninggalkan Kakandanya duduk termangu-mangu.

Sepeninggal Tohjaya, maka Mahisa Wonga Teleng lah yang kemudian menghadap. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah Kakanda Tohjaya baru saja menghadap Kakanda?”

“Ya. Adinda Tohjaya baru saja menghadap. Betapa lembut hatinya. Ketika ia mendengar aku melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukannya, ia menjadi terharu dan menitikkan air mata.”

Mahisa Wonga Teleng mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kakanda Tohjaya menangis?”

“Ya.”

“Aneh,” desisnya.

“Memang terasa aneh. Tohjaya adalah seseorang yang keras dan bahkan agak kasar. Tetapi ternyata hatinya sangat mudah tersentuh.”

“Bukan itu Kakanda. Bukan kelembutan hati Kakanda Tohjaya yang kasar,” Mahisa Wonga Teleng berhenti sejenak, lalu, “aku tanpa sengaja bertemu dengan Kakanda Tohjaya di luar regol. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan suatu perasaan yang kalut, atau bahkan suatu persoalan yang dalam di hatinya. Wajahnya justru tampak segar dan bahkan aku mendengar ia tertawa di antara pengawalnya. Baru ketika ia melihatku, wajahnya tiba-tiba berubah menjadi buram.”

Anusapati mengerutkan keningnya.

“Di regol ia bertanya kepadaku apakah aku akan menghadap Kakanda.”

“Apa saja yang dikatakannya?”

“Ia hanya bertanya apakah aku akan menghadap. Selebihnya tidak ada. Meskipun wajahnya menjadi buram, namun ia tetap seperti biasa. Angkuh.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sebaiknya kita berusaha menyingkirkan segala macam prasangka. Kita agaknya masih dibayangi oleh hubungan yang kurang baik dengan Adinda Tohjaya di masa lampau.”

“Mungkin aku masih saja dibayangi oleh prasangka. Tetapi sebaiknya Kakanda berhati-hati terhadap Kakanda Tohjaya. Mudah-mudahan prasangka yang tidak berhasil aku singkirkan ini sekedar bayangan kecemasan yang tidak berarti apa lagi kita.”

Mahisa Wonga Teleng berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ampun, Kakanda. Apakah Kakanda tidak pernah menghubungkan kematian para tawanan itu dengan Kakanda Tohjaya?”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Terngiang juga kata Mahisa Agni bahwa ia harus berhati-hati terhadap Tohjaya. Namun baru saja ia melihat sikap yang meyakinkan dari adiknya itu.

“Apakah Tohjaya mengerti bahwa ia sebenarnya tidak ada hubungan darah sama sekali dengan aku?” pertanyaan itu selalu mengganggu hatinya. Namun melihat titik air mata di pipi Tohjaya, rasa-rasanya ia melihat betapa penyesalan yang dalam telah mencengkam hati adiknya itu. Meskipun demikian peringatan yang didengarnya dari Mahisa Wonga Teleng itu sama sekali tidak dapat diabaikan. Bahkan setiap kali peringatan itu selalu bergema bersama sikap Pamandanya, Mahisa Agni.

“Kakanda,” berkata Mahisa Wonga Teleng kemudian, “kedatanganku menghadap Kakanda sebenarnya adalah justru untuk mohon kepada Kakanda agar Kakanda lebih banyak memperhatikan Ibunda Ken Umang. Nampaknya Ibunda Ken Umang terlampau sering berada di luar bangsalnya dan berhubungan dengan para abdinya. Tanpa aku sadari, aku sering mengawasinya dari sela-sela regol yang memisahkan bagian istana itu dengan istana ini. Ternyata bahwa bagian yang terpisah itu terlampau memberinya keleluasaan berbuat jika mereka menghendaki.”

“Adinda, ibunda Ken Umang pun telah pernah menyatakan kesetiaannya kepadaku.”

“Kakanda terlampau jujur menanggapi persoalan yang rumit ini. Menurut pengalaman, Kakanda, kita tidak akan dapat mempercayainya lagi. Jika suatu saat Kakanda melihat air mata di pelupuknya, maka Kakanda harus berhati-hati. Ada beberapa kemungkinan, apakah Kakanda Tohjaya benar-benar menyesal atau sekedar menyatakan dirinya seolah-olah menyesal. Mungkin akulah orang yang paling buruk hati. Tetapi rasa-rasanya jika Kakanda Tohjaya benar-benar menyesal di hadapan Kakanda Anusapati sekalipun, maka ia akan segera melupakannya dan melakukan perbuatan tercela itu lagi di hari mendatang.”

Anusapati menarik nafas. Katanya, “Aku akan berhati-hati Adinda. Aku akan mencoba melihat persoalan ini dengan hati yang bersih.”

Mahisa Wonga Teleng menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Kakanda. Memang sebagai seorang maharaja, Kakanda harus melihat segala sesuatu dengan adil. Namun demikian kadang-kadang kita kehilangan pegangan untuk menyebut manakah yang adil dan manakah yang sekedar karena kebaikan hati sehingga kesalahan dapat dilupakan.”

“Baiklah Adinda. Aku memang harus memperhatikan setiap segi. Tetapi peringatan Adinda merupakan bahan pertimbangan yang penting, karena apa yang kau katakan, sebenarnyalah aku juga melihatnya.”

Mahisa Wonga Teleng memandang Anusapati dengan berbagai macam perasaan yang agaknya tertahan di dalam dadanya. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kakanda, aku mohon diri. Setiap saat Kakanda dapat memanggil aku. Dan aku akan berbuat apa saja untuk kepentingan Kakanda dan tahta Singasari.”

Sepeninggal Mahisa Wonga Teleng, maka Anusapati pun mulai merenungi lagi keadaannya dan keadaan Singasari dalam ke seluruhan. Memang banyak persoalan yang harus dipertimbangkan, terutama sikap yang sebenarnya dari Tohjaya.

“Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Tohjaya,” berkata Anusapati di dalam hati ketika terkilas bayangan kematian para tawanannya dan usaha mereka untuk mengacaukan pemerintahan di Singasari. Namun jika terbayang wajah Tohjaya yang buram dan bahkan kemudian air mata yang menitik di pelupuknya, rasa-rasanya hatinya menjadi luluh.

Namun setiap kali terngiang kata-kata Mahisa Wonga Teleng, ‘Namun demikian kita kadang-kadang kehilangan pegangan untuk menyebut, manakah yang adil dan manakah yang sekedar karena kebaikan hati sehingga kesalahan dapat dilupakan’.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata kepada diri sendiri, “Aku harus berbuat sebaik-baiknya, justru untuk keutuhan Singasari.”

Meskipun demikian, Anusapati tidak dapat ingkar bahwa hatinya memang terlalu lemah untuk bersikap. Keadaan di masa kanak-kanaknya ternyata masih tetap mempengaruhi jalan hidupnya dan sikapnya di dalam mengambil keputusan. Keragu-raguan dan kadang-kadang hampir tidak berani menentukan apakah yang harus dilakukan.

Tetapi lebih dari itu, ternyata Anusapati mulai dijalari oleh perasaan bersalah. Bagaimanapun juga, sebelum Ayahanda Sri Rajasa terbunuh oleh keris Empu Gandring di tangannya, memang ada sepercik harapan, bahwa Sri Rajasa itu akan mengalami kematian seperti yang sudah terjadi. Dan ia tidak dapat bersembunyi dari dirinya sendiri, sebenarnyalah ia melihat suatu keinginan di dalam hatinya untuk melakukannya seperti yang terjadi.

Dengan demikian, maka dalam hidupnya sehari-hari, Anusapati tidak dapat melepaskan dirinya lagi dari perasaan itu.

Dalam pada itu, ternyata Tohjaya masih selalu menunjukkan sikap yang rendah hati. Ia tidak pernah berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaan.

Bahkan Tohjaya ternyata tenggelam ke dalam suatu kegemaran baru. Untuk melupakan persoalan yang dapat memberati hatinya sepeninggal ayahandanya, maka ia mulai tertarik dengan sabung ayam. Hampir setiap hari Tohjaya selalu menghabiskan waktunya di gelanggang sabung ayam. Bahkan kadang-kadang ia memanggil beberapa orang di sudut halaman belakang untuk menyabung ayam.

Kegemaran menyabung ayam itu ternyata semakin menjauhkan Anusapati dari berbagai macam prasangka. Agaknya, menurut dugaan Mahisa Agni, Tohjaya benar-benar sudah melupakan apa yang telah terjadi.

Tetapi jika ia terlena dalam angan-angannya, Mahisa Agni yang terlalu sering berada di Singasari selalu memperingatkan, agar ia tetap berhati-hati menghadapi keadaan yang nampaknya sudah mereda.

Apabila demikian, seakan-akan hati Anusapati menjadi tergugah kembali oleh perasaan yang sebenarnya tidak dikehendakinya sendiri. Yaitu perasaan bersalah.

“Paman,” berkata Anusapati ketika Mahisa Agni berada di Singasari, “sebaiknya aku tidak selalu diganggu oleh perasaan yang tidak menentu. Seandainya ada juga dendam di hati Adinda Tohjaya, bagaimanakah caranya agar aku tidak selalu harus dikejar oleh kecemasan. Agar aku dapat tidur nyenyak.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ada semacam isyarat di dalam hatinya, bahwa Anusapati memang perlu merasa dirinya tidak lagi dikejar-kejar oleh kecemasan tanpa meninggalkan kewaspadaan. Selama ini Anusapati yang merasa tidak memperhatikan lagi persoalan yang menyangkut pemerintahan, namun dengan demikian ia justru meninggalkan kewaspadaan. Tetapi jika Mahisa Agni atau Mahisa Wonga Teleng, memberinya peringatan, maka ia pun segera jatuh kedalam kecemasan yang dalam.

“Tuanku” berkata Mahisa Agni kemudian, “baiklah tuanku memikirkan sebuah benteng yang paling baik tanpa menumbuhkan kecurigaan apapun bagi orang lain. Dengan demikian tuanku dapat tidur nyenyak tanpa berprasangka, tetapi Tuanku pun akan dijauhkan dari kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi.”

“Penjagaan yang kuat maksud paman?”

“Semacam itu, tetapi yang tidak semata-mata”

Mahisa Agni memandang wajah Anusapati yang berkerut-merut seakan-akan ingin melihat tanggapan dari kata-katanya itu langsung ke dalam nurani.

Tetapi untuk beberapa saat Anusapati justru terdiam dengan kepala yang tunduk.

“Paman” katanya sejenak kemudian, “apakah aku merasa perlu untuk berlindung? Sebenarnyalah bahwa aku telah pasrah. Jika yang pernah terjadi itu suatu tindakan yang dibenarkan sebagai lantaran datangnya hasil perbuatan Ayahanda Sri Rajasa, maka aku akan terbebas dari segala macam usaha pembalasan dendam. Namun apabila perbuatanku ini adalah perbuatan tidak dapat dibenarkan, maka tentu akan datang saatnya bahwa akupun harus memetik hasil perbuatanku itu. Pembalasan itu tidak dapat terhindar dimanapun aku bersembunyi.”

“Tuanku benar” sahut Mahisa Agni, “tetapi manusia dibenarkan untuk melakukan usaha. Usaha melindungi diri sendiri seperti usaha untuk mendapatkan sesuap nasi di ladang bagi para petani. Meskipun makan dan minum kita seakan-akan telah disediakan, namun jika kita diam menunggu, maka tidak akan ada sebutir padi pun yang akan jatuh kepangkuan kite.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti paman. jadi bagaimanakah sebaiknya menurut paman?”

“Tuanku. Sebagaimana kita ketahui, tawanan itu terbunuh di hadapan hidung para penjaganya. Kita dapat mengetahui apa sebabnya. Seperti kita dapat memasuki longkangan belakang bangsal yang dipergunakan oleh Ayahanda Sri Rajasa pada waktu itu.”

Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Karena itu tuanku” berkata Mahisa Agni seterusnya, “kita harus berusaha, agar hal yang serupa itu tidak akan dapat terjadi atas Tuanku.”

“Apakah yang harus kita lakukan paman? Apakah di sekitar bangsal ini harus dibangun benteng yang tinggi?”

Mahisa Agni memandang Anusapati sejenak, lalu sambil menggeleng ia berkata, “Tidak tuanku. Tuanku tidak sepatutnya membangun dinding yang tinggi di sekitar bangsal ini, sehingga terdapat beberapa lapis dinding batu di halaman.”

“Jadi, apakah yang harus kita lakukan?”

“Tuanku dapat membuat dinding serupa itu tanpa menumbuhkan kecurigaan. Tuanku dapat membangun sebuah kolam di sekitar bangsal ini, seakan-akan tuanku sengaja membuat bangsal tuanku menjadi sebuah bangsal sang dikelilingi oleh air, bunga-bunga dan binatang air di dalam kolam itu.”

Sejenak Anusapati merenung. Lalu katanya, “Maksud paman, bahwa aku sebaiknya membangun sebuah taman yang khusus di sekitar bangsal ini. Katakanlah, taman yang dikelilingi oleh sebuah kolam yang dalam?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Benar Tuanku. Dengan kolam itu, maka bahaya yang dapat mendekati Tuanku rasa-rasanya semakin berkurang. Tuanku akan dikelilingi oleh pengaman yang sulit ditembus. Sementara itu, jika benar-benar Tuanku berada di dalam bahaya, maka rasa-rasanya bahaya itu telah jauh berkurang. Dengan kolam itu Tuanku tidak perlu berprasangka lagi seperti yang selalu hamba sebut-sebut terhadap Adinda Tuanku, Tuanku Tohjaya.”

“Ia tidak lagi berbuat sesuatu yang pantas menimbulkan prasangka. Aku rasa ia sudah menyesali semua tingkah lakunya.”

“Mudah-mudahan. Tetapi seandainya dugaan itu keliru, maka Tuanku tidak akan mudah diterkam oleh kelengahan.”

Anusapati merenung sejenak. Ia masih ragu-ragu menerima pendapat Mahisa Agni itu, akhirnya ia mengangguk kecil sambil berkata, “Baiklah paman. Tetapi aku tidak akan membangunnya sekaligus. Aku tidak mau menjadi seorang maharaja yang selalu dibayangi oleh kecurigaan dan apalagi ketakutan. Ilmu yang Pamanda berikan kepadaku merupakan salah satu benteng yang paling dapat aku banggakan dari semua alat pengaman yang ada di sekitarku. Para prajurit penjaga dan para pelayan dalam, rasa-rasanya masih belum merupakan imbangan yang pantas bagi kemurahan hati Pamanda.”

“Ah,” desis Mahisa Agni, “suatu ketika kita dapat lengah. Dan kita harus menjaga diri di dalam keadaan lengah sebelumnya hal itu terjadi.”

“Baiklah. Mulai besok aku akan melakukan pesan itu. Tetapi perlahan-lahan.”

Seperti yang dikatakan, maka Anusapati pun mulai menaruh perhatian terhadap taman-taman di sekitarnya. Pohon-pohon bunga menjadi semakin rimbun.

“Alangkah baiknya jika ada kolam di dekat gerumbul pohon soka itu,” berkata Anusapati kepada seorang juru taman yang sedang menyiangi tanamannya.”

“Ampun Tuanku,” juru taman itu mendekat sambil merunduk, “apakah Tuanku menghendaki hamba membuat sebuah kolam kecil di sebelah gerumbul pohon soka itu?”

“Buatlah. Jangan terlalu besar, tetapi jangan terlalu kecil. Kau dapat mengupah beberapa orang yang akan kau pekerjakan. Aku ingin kolam itu menyilang jalan samping bangsal ini. Dari sudut yang satu sampai sudut yang lain.”

“Oh, jadi kolam itu agak luas Tuanku.”

“Ya. Aku ingin memelihara binatang air dan binatang darat di taman ini. Aku ingin dapat melihat taman dari dalam bangsal, sehingga aku tidak perlu pergi ke taman di sisi halaman itu.”

“Hamba Tuanku. Jika memang itu yang Tuanku kehendaki.”

Demikianlah maka di sisi bangsal Anusapati itu pun kemudian digali sebuah kolam buatan. Karena Anusapati menghendaki kolam itu dari sudut bangsal yang satu sampai ke sudut bangsal yang lain, maka beberapa orang pekerja telah melakukan penggalian itu.....

Beberapa orang senapati prajurit dan pimpinan pemerintahan sama sekali tidak memiliki prasangka terhadap kolam itu. Apalagi kolam itu dibangun hanya sebelah dari bangsal itu, sehingga tidak menumbuhkan kecurigaan apapun.

“Tuanku Anusapati memang penggemar taman sejak mudanya,” berkata salah seorang senapati, “selagi ia masih seorang Pangeran Pati, hampir segenap waktunya dihabiskan di taman. Sayang, bahwa salah seorang sahabatnya, pengalasan dari Batil itu telah berkhianat. Menurut kawan-kawannya, pengalasan itu termasuk salah seorang yang sering kali mendapat pesan-pesan langsung jika Tuanku Anusapati memerlukan perbaikan taman di halaman bangsalnya, atau menghendaki sebatang pohon bunga yang baru.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Dan sekarang Tuanku Anusapati mendapat kesempatan untuk memuaskan dirinya dengan taman yang akan dibangun di sebelah bangsal itu. Tetapi itu lebih baik daripada kesenangan yang lain. Lebih baik daripada Tuanku Anusapati mengambil istri muda seperti Sri Rajasa, sehingga keturunannya akan merupakan ujung-ujung yang sulit dipertemukan.”

Demikianlah, maka para pekerja tidak saja menyiapkan sebuah kolam yang luas dan dalam. Tetapi mereka harus menggali sebuah parit untuk mengaliri kolam itu, karena tidak mungkin kolam seluas itu diisi dengan daun upih dari sumur di taman. Agaknya sampai sumur itu kering, kolam itu masih belum akan dapat penuh.

Meskipun tampaknya Anusapati hanya membangun sebuah taman yang sederhana, namun ternyata memerlukan tenaga dan biaya yang cukup banyak. Meskipun demikian Singasari yang besar itu sama sekali tidak akan terganggu oleh sebuah kolam yang seandainya mengelilingi seluruh halaman istana sekalipun.

Selain para pekerja yang menggali kolam, maka beberapa orang juru taman telah menyiapkan sebuah taman yang baik. Agaknya mereka mengerti bahwa Anusapati senang terhadap bunga soka yang berwarna putih. Sebuah pohon kemuning telah ditanam di ujung kolam yang sedang disiapkan itu, sedang bunga ceplok piring susun yang berwarna kapas ditanam dekat di sudut bangsal.

Ketika kolam itu sudah cukup luas dan pohon-pohon bunga yang ditanam di sekitarnya sudah mulai semi, maka air pun mulai dialirkan ke dalam kolam itu. Sebuah parit yang panjang telah digali dari luas halaman istana, menerobos di bawah dinding batu dengan jeruji pengaman, agar tidak seorang pun yang dapat memasuki halaman melalui parit di bawah dinding istana itu.

Sepekan kemudian, maka kolam dan taman itu sudah dapat dilihat dalam keseluruhan. Tetapi beberapa batang pohon yang meskipun sudah semi tetapi masih belum tampak segar. Meskipun demikian taman itu sudah merupakan taman yang cantik.

Mahisa Agni melihat taman yang mulai kelihatan hijau itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia memuji kebijaksanaan Anusapati sehingga kolam itu tidak semata-mata dibangun untuk melindungi bangsalnya. Apalagi Anusapati membangun kolam itu sedikit demi sedikit.

Ketika taman itu benar-benar sudah menjadi segar dan air di kolam itu sudah tampak jernih, maka mulailah Anusapati mengumpulkan berjenis-jenis burung. Di waktu senggang, ia berjalan-jalan di taman yang sempit di sebelah kolam itu dengan anak dan permaisurinya.

“Apakah hamba boleh mandi di kolam itu, Ayahanda?” bertanya anak laki-lakinya.

“Ah, tentu tidak,” ibundanyalah yang menyahut, “meskipun tampaknya jernih, tetapi air kolam itu kotor. Air itu mengalir dari parit di luar halaman istana ini. Kita tidak tahu, apa saja yang sudah masuk ke dalam air itu.”

Anak laki-lakinya yang bernama Ranggawuni itu memandang ayahandanya sejenak, seolah-olah ingin mendapat penjelasan dari kata-kata ibundanya. Tetapi sambil tersenyum Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dari hari ke hari taman itu menjadi semakin banyak dihuni binatang kecil. Terutama burung berkicau. Sangkar yang bagus berserakan di tepi kolam.

Apabila Anusapati berdiri di tepi kolam itu, maka ia pun mulai membayangkan, apakah jika kolam ini kelak telah penuh mengelilingi bangsalnya, benar-benar tidak mudah di seberangi. Meskipun kolam ini dalam, tetapi hampir setiap orang dapat berenang, sehingga dengan mudah akan dapat menyeberangi kolam itu.

“Tetapi para penjaga di empat sudut bangsal ini akan segera dapat melihat gejolak air,” berkata Anusapati kepada diri sendiri, “jauh lebih mudah daripada melihat seseorang yang merunduk di kegelapan, apabila di antara rumpun-rumpun bunga.”

Ketika Mahisa Agni datang menghadap, maka Anusapati pun bertanya, “Apakah menurut Paman, kolam itu sudah cukup luas?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Hamba Tuanku. Agaknya kolam itu sudah cukup lebar dan dalam. Apabila kolam itu sudah melingkari bangsal Tuanku.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun sebenarnya ia sendiri tidak menganggap bahwa kolam itu terlalu penting, namun ia tidak pernah mengabaikan pendapat Mahisa Agni karena ternyata sampai saat terakhir Mahisa Agni telah memberikan perlindungan yang tiada taranya. Apalagi kini Mahisa Agni sudah menjadi semakin tua, sehingga menurut penilaian Anusapati, pengalaman yang ada padanya, memang pantas untuk dihargai.

Untuk beberapa saat lamanya Anusapati membiarkan kolam yang baru sebelah itu. Ternyata para penghuni istana yang lain pun sangat senang berjalan-jalan di pinggir kolam yang dipagari pohon-pohon bunga. Bahkan para prajurit yang bertugas, selalu meronda lewat sebelah kolam itu. Jika mereka kebetulan lewat, mereka pun berhenti sejenak sambil memandangi ikan-ikan emas yang besar di dalam kolam itu berenang di antara bunga teratai yang bertebaran.

Tetapi ternyata untuk beberapa saat lamanya, Anusapati tidak melanjutkan pembuatan kolam itu. Agaknya ia telah melupakan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Karena sudah sekian lamanya tidak pernah terjadi sesuatu, maka ia tidak berniat lagi melanjutkan pembuatan kolam itu.

Namun, Mahisa Agnilah yang agaknya tidak melupakannya. Bahkan ia pun telah memberanikan diri menyampaikan peringatan bahwa sebaiknya pembuatan kolam itu dilanjutkan.

Anusapati memandang Mahisa Agni yang sudah tua itu dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Katanya, “Paman adalah orang yang paling banyak berjasa kepadaku. Semua nasihat Paman berguna bagiku, sehingga aku sampai pada kedudukanku yang sekarang. Dengan demikian maka semua nasihat Paman tentu aku hargai.”

Anusapati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah Paman tidak masih selalu dibayangi oleh pergolakan yang selalu terjadi di masa muda Paman, sehingga Paman harus menjadi sangat berhati-hati.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia kini memang sudah tua. Namun ia merasa bahwa firasatnya tidak menjadi susut.

Karena itu maka katanya, “Tuanku, mungkin hamba memang terlampau berhati-hati. Namun hamba masih memohon agar Tuanku mendengarkan permohonanku kali ini. Bukan saja mengenai kolam yang mengelilingi bangsal Tuanku, tetapi setiap hubungan dengan Adinda Tuanku Tohjaya.”

Anusapati tidak mau menyakiti hati Mahisa Agni. Maka katanya, “Baiklah Paman. Aku akan selalu berhati-hati.”

Namun karena kesibukan yang lain, Anusapati tidak segera sempat melanjutkan pembuatan kolam itu. Setiap ia melihat air yang jernih dan bunga-bunga teratai, ia selalu teringat pesan pamannya. Namun jika ia melihat kedamaian di wajah air itu, seolah-olah ia tidak lagi ingin membuatnya lebih besar lagi.

Dalam pada itu, Tohjaya masih saja tenggelam di dalam kesenangannya yang baru. Hampir setiap hari ia berada di lingkaran sabung ayam.

Namun agaknya sabung ayam itu telah menarik Mahisa Agni. Ternyata kadang-kadang ia berada pula di lingkungan sabung ayam itu. Bahkan beberapa kali Mahisa Agni membawa ayam sabungan yang cukup baik ke arena.

Tetapi Mahisa Agni tidak seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang cakap memilih ayam aduan yang paling baik, yang bahkan sekali-kali dapat memenangkan pertandingan melawan ayam Tohjaya sekalipun.

Namun agaknya Mahisa Agni tidak dapat memelihara hubungan baik dengan orang yang memiliki kemampuan memelihara ayam itu sehingga pada suatu saat Mahisa Agni menjadi sangat marah kepadanya justru selagi mereka berada di arena pertarungan.

“Kau jangan mencoba menipu aku,” bentak Mahisa Agni.

“Ampun tuan. Hamba tidak tahu maksud tuan,” jawab orang itu.

“Ayam yang kau bawa kemarin kepadaku sama sekali bukan ayam ini. Aku masih ingat jelas ketika aku menawarnya. Ayam itu sama sekali tidak mempunyai sehelai bulu pun yang berwarna kemerah-merahan. Apalagi ayam ini berdaun telinga putih dan bermata hitam kelam.”

“Tetapi hamba tidak bohong tuan. Sebaiknya tuan mencobanya di arena. Jika ayam ini mengecewakan, biarlah hamba tidak mendapat uang harga ayam hamba itu.”

“Aku tidak peduli apakah ayam ini baik atau buruk. Tetapi bahwa kau telah mencoba menipuku adalah perbuatan yang sangat disesalkan. Jika persoalannya bukan sekedar persoalan ayam, aku akan memilin kepalamu sampai lepas.”

“Ampun, Tuan. Ampun.”

Mahisa Agni yang marah itu tidak menjawab lagi. Dengan serta-merta ia melangkah meninggalkan arena itu sambil berkata, “Maaf, Tuanku Tohjaya. Aku telah dikecewakan oleh orang ini. Kali ini hamba tidak akan ikut serta di dalam sabungan ini.”

Sepeninggal Mahisa Agni, Tohjayalah yang kemudian mendekati orang itu sambil berkata, “Lihat ayammu.”

Sambil menyerahkan ayamnya orang itu berkata, “Tuanku Mahisa Agni benar- tidak dapat aku mengerti tabiatnya. Sudah agak lama hamba berhubungan tentang berbagai soal. Hamba adalah salah seorang dari mereka yang membuat kolam itu. Namun tiba-tiba saja Tuanku Mahisa Agni marah tanpa sebab.”

“Jangan menyesal. Jika ayam itu memang baik, biarlah aku membelinya.”

Demikianlah sejak saat itu, orang itu menjadi orang yang dekat dengan Tohjaya di dalam sabungan ayam itu.

Ternyata bahwa orang itu memang memiliki kemampuan memilih ayam aduan yang baik, sehingga setiap kali ia menjadi sangat dekat dengan Tohjaya di arena.

Meskipun sudah beberapa lama orang itu tidak lagi melayani Mahisa Agni, namun setiap kali ia melihat Mahisa Agni, ia menjadi ketakutan dan bersembunyi.

“Apakah orang itu masih datang kemari Tuanku,” bertanya Mahisa Agni.

Tohjaya tertawa sambil menjawab, “Sudahlah Paman. Sebaiknya Paman tidak mendendamnya lagi. Orang itu sudah merasa bersalah, dan sekarang ia menjadi seorang kawan hamba di dalam arena sabungan.”

“Oh,” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “tetapi jika melihat wajahnya, rasa-rasanya tangan hamba menjadi gatal.”

“Akulah yang minta maaf atas kesalahannya Paman.”

Mahisa Agni tidak menyahut lagi. Disabarkannya hatinya. Dan apabila ia melihat orang itu lagi, maka ia hanya menggeretakkan giginya saja karena ternyata orang itu berada di bawah perlindungan Tohjaya.

Namun agaknya karena itu, Mahisa Agni menjadi semakin jarang datang ke arena, sehingga pada suatu saat, hanya sekali-kali saja ia menengoknya.

Namun dalam pada itu, orang yang sering datang membawa ayam kepadanya, yang kemudian melayani kebutuhan Tohjaya itu, itulah yang hampir setiap kali ada di arena.

Sedikit demi sedikit kepercayaan Tohjaya tumbuh terhadap orang itu. Jika orang itu tidak datang ke arena pada saat sabungan ayam, Tohjaya selalu menunggunya dengan tidak sabar, karena setiap kali orang itu selalu membawa ayam yang baik.

Tetapi dengan demikian, maka orang itu sering mendengar persoalan-persoalan yang dianggapnya janggal di dalam arena itu. Persoalan-persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan sabung ayam. Namun karena ia tidak berkepentingan, maka seolah-olah ia sama sekali tidak menghiraukan.

Seperti Anusapati yang tidak berprasangka, maka Tohjaya pun sama sekali tidak berprasangka. Tohjaya bermimpi pun tidak bahwa orang yang selalu datang kepadanya membawa ayam sabung dengan pakaian yang kumal itu adalah bekas seorang pelayan dalam yang mengenal beberapa hal mengenai istana Tumapel dan kemudian Singasari. Orang itu adalah Kuda Sempana. Dan ternyata bahwa prajurit-prajurit yang tua sekali pun, tidak dapat mengenalnya lagi karena sudah terlalu lama Kuda Sempana tidak memperlihatkan diri.

Semula, ketika Mahisa Agni minta kepadanya untuk masuk ke dalam istana, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata ia meyakinkan, bahwa tidak seorang pun lagi yang dapat mengenalnya, apalagi dengan sengaja ia menyamarkan dirinya.

Karena itulah, maka ketika ia berhasil mendapatkan perlindungan dari Tohjaya, ia menjadi semakin sering datang ke halaman istana, bukan saja di saat-saat ada sabungan ayam, tetapi juga di saat-saat lain.

Dan karena kepercayaan Tohjaya menjadi semakin tebal terhadap orang itu, meskipun sekedar di dalam persoalan ayam aduan namun kadang-kadang Kuda Sempana sempat juga mendengar persoalan-persoalan yang mencurigakan, karena ternyata di antara mereka yang berkedok bersabung ayam itu adalah orang-orang yang sebenarnya mempunyai rencana tertentu terhadap pemerintahan Anusapati di Singasari.

Ketika pada suatu saat, Mahisa Agni menjumpainya di tempat yang tersembunyi, maka Kuda Sempana menyampaikan apa yang dapat disadap dari sabungan ayam itu.

“Memang ada hal-hal yang mencurigakan Agni,” berkata Kuda Sempana, “tetapi agaknya mereka memegang teguh rahasia hubungan mereka. Sekali-kali aku juga mendengar istilah-istilah yang aneh dan menumbuhkan prasangka, tetapi aku tidak tahu pasti, apakah sebenarnya yang sudah mereka lakukan.”

“Hati-hatilah,” berkata Mahisa Agni, “sebaiknya kau tetap berada di sana. Cobalah mengetahui, siapakah yang paling berpengaruh di antara mereka, sehingga apabila mungkin salah seorang dari kita akan menjajakinya.”

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun kerja itu adalah kerja yang berbahaya, tetapi ia ingin juga melaksanakan. Sepintas teringat olehnya, adik seperguruannya yang sudah mati terbunuh oleh Sri Rajasa. Bukan saja nyawanya dikorbankan, tetapi juga namanya.

Kuda Sempana menarik nafas dalam-dalam. Pengorbanan bagi keyakinan memang cukup mahal.

Demikianlah Kuda Sempana masih saja menjalankan kewajibannya menjadi orang yang semakin dipercaya oleh Tohjaya di dalam persoalan ayam sabungan. Namun kepercayaan Tohjaya benar-benar sangat terbatas. Tetapi ia jauh lebih baik daripada tanpa ada seorang pun yang berhasil mendekatinya.

“Mahisa Agni,” berkata Kuda Sempana pada suatu ketika, “aku melihat sesuatu yang aneh hari ini. Aku tidak tahu pasti, tetapi ada firasat bahwa sesuatu akan terjadi di istana Singasari.”

“Apa yang dapat aku lakukan?”

“Tuanku Anusapati adalah seseorang yang memiliki ilmu yang cukup meskipun belum setingkat dengan Sri Rajasa. Kita berharap bahwa apabila ia tekun, ia akan segera mencapainya. Karena itu, berilah ia peringatan untuk malam ini dan beberapa hari mendatang, agar ia sangat berhati-hati. Mungkin ada sesuatu akan terjadi menilik keadaan yang aku anggap dapat menimbulkan prasangka itu. Syukurlah jika tidak terjadi apa-apa. Tetapi sebaiknya kita sangat berhati-hati menghadapi keadaan ini.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membiarkan sesuatu terjadi atas Anusapati, sehingga karena itu maka katanya, “Aku akan berusaha meyakinkan Tuanku Anusapati bahwa sesuatu akan dapat terjadi di malam-malam mendatang. Agaknya Tuanku Anusapati menjadi semakin terlena oleh keadaan yang hening selama ini.”

Hari itu juga Mahisa Agni berusaha untuk menghadap Anusapati di bangsalnya. Meskipun kedatangannya agak mengganggu, namun Anusapati pun menerimanya juga, karena bagi Anusapati, Mahisa Agni adalah keluarganya terdekat.

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni kemudian, “hamba tidak dapat menyebutkan, apakah alasan hamba mohon kepada Tuanku, tetapi hamba mengharap bahwa Tuanku sudi mendengarkannya.”

“Hatiku menjadi berdebar-debar Paman,” sahut Anusapati sambil tersenyum.

“Hamba mohon, agar Tuanku sudi memperhatikannya meskipun barangkali hanya sekedar angan-angan seorang tua.”

“Baik Paman. Tetapi katakanlah. Barangkali kolam yang belum selesai itu? Atau soal yang lain?”

“Tidak Tuanku. Bukan persoalan kolam itu, meskipun hamba mohon agar kolam itu pada saatnya diselesaikan juga.”

“Baiklah. Katakanlah persoalan yang lain dari persoalan kolam itu.”

“Ampun Tuanku. Sebenarnyalah hamba mendapat firasat, bahwa di saat-saat terakhir ini Tuanku telah diancam bahaya. Seperti yang hamba katakan hamba tidak dapat mengatakan alasannya. Karena itu sebaiknya hamba menyebutnya sekedar firasat.”

“Oh,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tuanku, yang hamba katakan kali ini agak lebih bersungguh-sungguh dari kecemasan hamba selama ini.”

“Oh,” Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Baginya Anusapati hanya sekedar memberinya kepuasan saja. Tetapi pada wajahnya sama sekali tidak nampak kesungguhan dan apalagi kecemasan.

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “sebenarnyalah hamba menghargai sikap Tuanku, bahwa Tuanku tidak pernah berprasangka buruk kepada siapa pun. Juga kepada lawan-lawan Tuanku. Barangkali memang hambalah yang terlalu mengada-ada. Tetapi bahwa kali ini sesungguhnyalah hamba memohon kepada Tuanku untuk berhati-hati.”

“Baik, baik Paman. Aku akan berhati-hati. Di malam hari, aku akan menyediakan penjaga yang khusus di dalam ruang dalam. Dua orang pelayan dalam yang aku percaya. Setidak-tidaknya ia akan dapat membangunkan aku jika terjadi, sesuatu, bila aku baru terlena di dalam tidurku.”

“Baiklah Tuanku. Kedua orang yang Tuanku percaya itu akan sangat berarti. Bukan saya dapat dipercaya karena kesetiaannya, tetapi dapat dipercaya kemampuannya. Tentu tidak baik dilihat orang, jika Tuanku menerima hamba di bangsal Tuanku, atau orang-orang yang pernah bekerja bagi Tuanku atau atas nama Tuanku, tetapi mereka bukannya prajurit-prajurit Singasari. Kehadiran kami di bangsal Tuanku akan cepat menimbulkan prasangka dan kecurigaan. Karena kedua orang pelayan dalam itu adalah pilihan yang tepat bagi Tuanku. Sebenarnyalah jika terjadi sesuatu selain kedua pelayan dalam itu, Tuanku sendirilah yang akan dapat mengatasinya.

“Baiklah Paman. Sejak malam nanti aku akan menempatkan kedua pelayan dalam itu di ruang dalam meskipun aku harus menemukan alasan, yang tidak dapat menimbulkan pertanyaan bagi para prajurit yang bertugas di luar.”

“Tentu Tuanku akan mendapatkan alasan itu.”

“Tentu Paman.”

“Dan hamba akan selalu menyediakan diri hamba untuk setiap saat datang ke bangsal ini. Sebaiknya Tuanku memerintahkan memberikan isyarat, jika Tuanku memerlukan hamba.”

“Ya Paman.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Anusapati. Agaknya ia benar-benar yakin bahwa Tohjaya sudah tidak akan berbuat apapun juga setelah semakin lama ia berdiam diri.

Meskipun demikian, ternyata di malam hari berikutnya, Anusapati benar-benar memanggil dua orang kepercayaannya, yang bukan saja kesetiaannya, tetapi juga kemampuannya seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Keduanya adalah orang-orang yang khusus bagi Anusapati. Orang-orang yang akan bersedia mempertaruhkan apa saja yang ada pada mereka untuk kepentingan Singasari.

Ketika keduanya dipanggil oleh Anusapati, maka keduanya pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata keduanya hanya mendapat perintah untuk berjaga-jaga di ruang dalam.

“Badanku terasa sakit sejak kemarin,” berkata Anusapati kepada para prajurit, “pelayan dalam itu aku perlukan setiap saat sakitku tidak terkendali untuk memanggil tabib yang paling baik di Singasari. Di siang hari badanku terasa biasa saja. Tetapi di malam hari terasa betapa panasnya.”

Para prajurit tidak pernah mempersoalkan kedua pelayan dalam itu. Adalah kebiasaan seorang maharaja untuk menempatkan orang-orang yang khusus di dalam bangsalnya. Meskipun setiap saat pelayan dalam yang bertugas selalu siap menerima perintah, tetapi agaknya di dalam keadaan yang khusus, Anusapati memerlukan orang yang khusus pula.

Namun dalam pada itu, selagi keduanya ada di ruang dalam, keduanya sempat menduga, apakah sebenarnya yang dimaksud oleh Anusapati meskipun perintah tentang kesiagaan itu belum dijatuhkan atas mereka.

“Agaknya Tuanku Anusapati mulai berhati-hati,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tuanku Anusapati terlampau baik. Tidak seorang pun yang dicurigainya. Tetapi sikap itu sangat berbahaya bagi Tuanku Anusapati itu sendiri.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rasa-rasanya memang sesuatu akan terjadi.

“Mungkin justru karena perintah itu kita menjadi selalu merasa gelisah,” berkata salah seorang dari mereka pula.

“Mungkin. Tetapi orang yang sebersih Tuanku Anusapati itu, jika terasa sesuatu mengganggunya, biasanya bukannya sekedar sebuah kecemasan yang dibua-buat oleh bayangan sendiri.”

“Kita memang harus selalu bersiap meskipun sebenarnya kita tidak akan berarti apa-apa bagi Tuanku Anusapati selain untuk membangunkan apabila perlu itu pun agaknya kitalah yang akan dibangunkannya, indera Tuanku Anusapati yang melampaui ketajaman indera kita.”

Kawannya tersenyum, lalu, “Jadi apakah gunanya kita di sini?”

“Seperti yang dikatakan, jika Tuanku merasa badannya tidak enak di malam hari, kita akan memanggil tabib. itu saja. Selebihnya, kitalah yang akan mendapat perlindungan dari Tuanku Anusapati itu.”

Keduanya tersenyum. Dan keduanya memang merasa jauh lebih kecil dari Anusapati. Meskipun demikian kehadiran mereka memang terasa diperlukan.

Selama mereka berada di ruang dalam di malam hari, maka keduanya duduk di atas sebuah tikar di sudut ruangan. Berganti-ganti mereka berjaga-jaga sehingga semalam suntuk.

Namun justru karena ada dua orang yang bertugas itulah, maka untuk beberapa malam tidak terjadi sesuatu, sehingga akhirnya Anusapati menjadi jemu. Kehadiran kedua orang itu meskipun bukan anggota keluarganya yang dekat, namun agak terasa mengganggu. Kadang Ranggawuni tidak segera mau masuk ke dalam biliknya. Bahkan pernah terjadi, anak itu memaksa kedua pelayan dalam itu untuk pergi ke longkangan dan di malam hari itu pula, ditantangnya kedua pelayan dalam itu untuk berlatih.

Sebenarnya kedua pelayan dalam itu senang sekali melayaninya. Anak itu benar-benar seorang anak yang lucu dan lincah. Di dalam umur yang masih sangat muda, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia akan menjadi seorang yang mumpuni. Seperti Anusapati, maka Ranggawuni pun berlatih di bawah pengawasan Mahisa Agni, selain beberapa orang pembantu yang tepercaya yang sekedar melayaninya menjaga kemantapan badannya.

Tetapi bagi Anusapati, hal itu terasa sangat mengganggunya sehingga baginya kedua pelayan dalam itu sebenarnya tidak diperlukannya.

“Paman,” berkata Anusapati kepada Mahisa Agni pada suatu saat, “sudah beberapa malam aku menempatkan penjaga itu di ruang dalam. Tetapi selama itu tidak akan pernah terjadi sesuatu. Apakah aku masih harus mempertahankan kedua orang itu di bangsal? Rasa-rasanya aku selalu terganggu dengan kehadirannya.”

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “bagi hamba kesiagaan itu masih tetap diperlukan. Namun apabila kedua orang itu rasa-rasanya mengganggu, terserahlah kepada Tuanku. Hamba hanya ingin mengingatkan, bahwa hal serupa telah terjadi. Prajurit yang dengan sengaja menimbulkan kericuhan untuk mengganggu pemerintahan Tuanku. Dan sebenarnyalah bahwa kita sudah dapat menduga siapakah yang melakukannya.”

“Tentu ia tidak akan membuat kesalahan serupa.”

Mahisa Agni menari nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. Meskipun demikian ia masih berkata, “Tuanku. Pembunuhan atas tawanan-tawanan itu sebenarnya merupakan peringatan yang paling tajam.”

“Ya, ya. Aku selalu ingat Paman.”

Mahisa Agni terdiam. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya.

Di malam hari berikutnya, Anusapati benar-benar telah memerintahkan agar kedua pelayan dalam itu tidak lagi berada di ruang. Anusapati sudah tidak memerlukannya lagi.

“Aku sudah sehat.”

Namun agaknya kedua pelayan dalam itulah yang kemudian menjadi berdebar-debar. Mereka sudah terlanjur dihinggapi perasaan cemas oleh firasat yang buram.

Agaknya perasaan kedua pelayan dalam yang setia itu sesuai dengan perasaan Mahisa Agni. Karena itulah, maka yang mereka lakukan adalah pengawasan dengan diam-diam atas bangsal Anusapati.

“Tetapi tuan,” berkata pelayan dalam itu kepada Mahisa Agni, “tidak mustahil bahwa yang terjadi adalah benar-benar di luar dugaan. Sebenarnyalah hamba kurang mempercayai beberapa orang di dalam lingkungan hamba. Seperti yang terjadi, prajurit-prajurit itu pun dapat berbuat seperti yang pernah terjadi.”

Mahisa Agni meng-angguk-angguk. Tetapi terlampau sulit untuk melakukan pengawasan itu dari luar.

Sebenarnyalah, selagi kedua orang pelayan dalam itu tidak ada lagi di dalam bangsal itu, rencana yang tertunda karena kehadiran kedua pelayan dalam itu mulai disusun kembali. Tetapi mereka tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Mereka sadar bahwa kecurigaan Anusapati perlahan-lahan telah lenyap. Dan mereka harus dapat memanfaatkan sikap itu sebaik-baiknya untuk membinasakan Anusapati sendiri.

Yang pertama-tama memperingatkan Mahisa Agni adalah Kuda Sempana yang berada di dalam lingkungan Tohjaya. Sikap yang mencurigakan di antara mereka yang menyabung ayam itu benar-benar sangat menarik perhatiannya meskipun ia tidak tahu dengan pasti, apakah yang sebenarnya akan mereka lakukan.

“Tuanku Anusapati semakin tidak menghiraukan peringatanku Kuda Sempana. Ia merasa dirinya semakin kuat dan aman. Ini adalah kesalahannya yang terbesar.”

Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja melihat sesuatu yang mencurigakan di arena itu, Bahkan menurut penilaian Kuda Sempana, sabung ayam itu hanya sekedar alat untuk mempertemukan beberapa orang yang dianggap penting bagi Tohjaya.

“Itulah sebabnya aku berusaha agar kau dapat masuk ke dalam lingkungan mereka,” berkata Mahisa Agni kemudian.

“Tetapi jika Tuanku Anusapati tidak mau mendengarkan pendapatmu, aku kira adaku di antara mereka sama sekali tidak akan berarti, meskipun tidak banyak yang dapat aku ketahui tentang mereka, karena mereka sangat memegang teguh rahasia. Dan aku adalah sekedar seorang yang melayani Tuanku Tohjaya jika ia memerlukan seekor ayam yang baik.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku akan berusaha terus. Jika terjadi sesuatu atas Tuanku Anusapati, maka negara ini tidak akan segera tenang kembali.”

Seperti yang dikatakannya, Mahisa Agni pun setiap saat yang dianggapnya baik, selalu berusaha memperingatkan Anusapati bahwa bahaya masih selalu mengancamnya.

Tetapi seperti yang dikatakan, Anusapati menganggap bahwa Singasari telah aman.

“Jika aku tidak dibayangi oleh dendam Paman, maka tentu orang lain pun tidak akan mendendam,” berkata Anusapati kepada Mahisa Agni.

Dan Mahisa Agni pun tahu, bahwa perasaan kuat dan tenteram pada diri Anusapati, sama sekali bukan dilambari oleh perasaan sombong dan tinggi hati, tetapi justru karena ia sama sekali tidak berprasangka terhadap siapa pun.

Dan seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, itulah kesalahannya. Justru karena ia terlampau baik.

Selama itu, maka Mahisa Agnilah yang selalu dibayangi oleh kecemasan. Bahkan kadang-kadang Mahisa Agni bertanya kepada diri sendiri, “Apakah hatiku yang selalu dibayangi oleh angan-angan buruk?”

Namun, yang terjadi adalah seperti yang diduga oleh Mahisa Agni. Ketika di bangsal Anusapati tidak ada lagi dua orang pelayan dalam yang setia itu, justru pelayan dalam yang lainlah yang mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Seorang di antara beberapa orang pelayan dalam yang bertugas adalah orang baru. Dan karena orang itu baru, maka kehadirannya sudah menarik perhatian. Sejalan dengan peringatan Kuda Sempana, maka kehadiran kedua orang baru itu menumbuhkan pertanyaan pula pada kedua pelayan dalam yang pernah mendapat tugas di dalam bangsal Anusapati.

“Orang baru itu terlampau cepat mendapat kepercayaan untuk bertugas di dalam bangsal Tuanku Anusapati,” berkata salah seorang dari keduanya.

“Apakah ada hubungannya dengan kecurigaan Tuanku Mahisa Agni seperti yang sering dikatakan selama ini?”

“Mungkin sekali,” jawab kawannya, “karena itu sebaiknya kita menghubunginya.”

Kedua pelayan dalam itu pun kemudian menghubungi Mahisa Agni dan melaporkan tentang seseorang yang masih sangat baru yang bertugas di bangsal Anusapati.

“Apakah orang itu selalu berada di dalam.”

“Ia berada di bagian belakang bangsal. Memang jarang-jarang ia berada di luar.”

“Apakah tugasnya?”

“Menyiapkan keperluan Tuanku Anusapati. Menjalankan perintahnya jika ada keperluan-keperluan kecil yang tidak sepantasnya dilakukan oleh para emban. Baik keperluan Tuanku Anusapati sendiri, maupun keperluan-keperluan Tuanku Permaisuri dan Tuanku Ranggawuni.”

“Ada berapa orang pelayan dalam di bangsal itu?”

“Lima orang yang bertugas di dalam, selain para prajurit yang berada di luar.”

Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tetapi ia harus mencari akal, bahwa orang itu harus diawasi.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni mencari hubungan dengan Kuda Sempana. Kemudian setelah berjanji, Mahisa Agni pun masuk ke dalam bangsal.

“Hamba tidak mempunyai kepentingan yang harus mendapat perhatian Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “hamba hanya sekedar ingin bertemu dengan cucunda Ranggawuni.”

“Oh,” Anusapati mengerutkan keningnya. Memang hubungan antara Mahisa Agni dan Ranggawuni agak berbeda dengan hubungannya dengan Mahisa Agni di masa kanak-kanaknya. Ia sendiri di masa kanak-kanaknya hampir tidak ada seorang pun yang menghiraukan selain embannya yang kini melayani ibundanya yang sudah tua pula. Dengan demikian justru ia menjadi erat dengan Mahisa Agni dan berlatih olah kanuragan meskipun dengan rahasia. Tetapi kini Ranggawuni tidak lagi dibiarkannya berkeliaran. Sehingga dengan demikian, waktunya memang tidak terlampau banyak berhubungan dengan Mahisa Agni. Meskipun dengan keadaannya kini Ranggawuni tidak usah berlatih dengan diam-diam.

“Tuanku,” berkata Mahisa Agni, “hamba ingin mengajak cucunda Ranggawuni. Hamba mempunyai suatu permainan yang baik bagi cucunda, sebagai kelengkapan olah kanuragannya.”

“Oh, silakan Paman. Tetapi aku harap ia cepat kembali.”

“Baiklah Tuanku. Tetapi hamba mohon seseorang untuk mengantarkan cucunda, barangkali permainan itu dapat dibawanya kembali ke bangsal ini.”

“Oh,” Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “biarlah seseorang mengantarkannya.”

Atas petunjuk Mahisa Agni, maka Ranggawuni pun mengajak pelayan dalam yang baru itu untuk mengantarkannya.

“Apakah kau orang baru?” anak itu bertanya. Pelayan dalam yang baru itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Hamba Tuanku. Hamba adalah orang baru di sini. Hamba mendapat tugas bersama beberapa orang kawan-kawan hamba.”

“Apakah kau senang berada di Singasari?”

“Tentu Tuanku. Dan hamba memang orang Singasari.”

“Maksudku apakah kau senang menjadi seorang pelayan dalam?”

“Senang sekali Tuanku. Karena hamba memang ingin mengabdi kepada ayahanda Tuanku. Tuanku Anusapati adalah seorang maharaja yang adil dan bijaksana. Apalagi ternyata di sini ada Tuanku. Tuanku adalah seorang anak yang kuat, yang akan tumbuh menjadi seorang yang perkasa.”

Ranggawuni tertawa. Katanya, “Kau memuji. Tetapi terima kasih. Sekarang aku memerlukan kau. Antarkan aku ke rumah Pamanda Mahisa Agni untuk mengambil permainan.”

“Oh,” pelayan dalam itu mengerutkan keningnya, “maksud Tuanku, apakah hamba harus memanggil seorang prajurit pengawal?”

“Tidak perlu. Seperti Pamanda Mahisa Agni, seperti Ayahanda di masa mudanya, mereka tidak memerlukan pengawal.”

“Tetapi Tuanku Ranggawuni akan menjadi Pangeran Pati.”

“Ayahanda sudah menjadi Pangeran Pati. Namun Ayahanda sama sekali tidak memerlukan pengawal.”

Mahisa Agni yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ranggawuni yang masih terlampau muda itu, telah menunjukkan kelebihannya sebagai seorang yang apabila tidak ada rintangan, akan menggantikan kedudukan ayahanda melalui jabatan seorang Pangeran Pati.

Pelayan dalam itu tidak dapat ingkar lagi. Ia pun kemudian mengantarkan Ranggawuni yang pergi ke bangsal Mahisa Agni untuk mengambil permainan yang dikatakannya.

Demikianlah, setelah permainan itu diberikan, maka Mahisa Agni pun mempersilahkan Ranggawuni kembali ke bangsal ayahandanya.

Ternyata Ranggawuni senang sekali dengan permainan yang diberikan oleh Mahisa Agni itu. Dua buah lingkaran yang berat, terbuat dari kayu berlian, diikat pada ujung dan pangkal sebuah rantai besi.

“Besok hamba akan memberi tahu, bagaimana mempergunakan permainan itu Tuanku,” berkata Mahisa Agni kepada Ranggawuni yang sebelum ia meninggalkan bangsalnya.

Tetapi agaknya Ranggawuni yang cerdas itu telah dapat menduga, bagaimana mempergunakan permainan itu. Bahkan baginya bukan sekedar sebuah permainan, tetapi bentuk itu adalah bentuk yang lebih aman dari sebuah senjata.

Namun yang penting bagi Mahisa Agni, bukannya permainan yang sudah diberikan kepada Ranggawuni itu. Tetapi ketika Ranggawuni dan pengantarnya sudah kembali meninggalkan bangsalnya, maka dari ruang belakang seseorang muncul sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah benar orang itu termasuk salah seorang yang pernah kau lihat?”

Kuda Sempana masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Aku pernah melihatnya. Bahkan orang itu termasuk orang yang pantas mendapat perhatian, karena ia terlampau dekat dengan Tohjaya meskipun tidak dalam pakaian seorang prajurit.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kerut-merut di kening ia berkata, “Kuda Sempana. Tentu ada jalur yang menghubungkan Tohjaya dengan pimpinan pelayan dalam, sehingga orang itu tiba-tiba saja sudah terlempar ke dalam tugas di bangsal Maharaja Singasari. Biasanya untuk menunjuk pelayan dalam yang bertugas di dalam bangsal maharaja diperlukan penelitian yang seksama, dan hanya mereka yang sudah terbukti kesetiaannya. Tetapi orang itu adalah orang yang justru sangat meragukan.”

“Ya. Dan itulah yang mendebarkan hati. Apalagi agaknya Tuanku Anusapati sama sekali tidak menghiraukan masalah itu. Bahkan jika seseorang memberitahukan atau memperingatkannya, jangankan aku, sedangkan Adinda baginda, Tuanku Mahisa Wonga Teleng pun seakan-akan tidak diperhatikannya.”

“Jadi apa yang harus kita lakukan?”

“Apakah kau dapat memotongnya langsung di sabungan ayam karena alasan yang dapat kau buat?”

“Tentu berbahaya sekali. Orang-orang lain yang tidak tahu menahu persoalannya, akan menumpahkan semua kesalahan padaku. Apalagi jika ada yang dapat mengenalku sebagai Kuda Sempana.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kuda Sempana akan dapat dihukum mati dengan cara yang mengerikan jika ia membunuh seorang prajurit atau seorang pelayan dalam di dalam arena sabung ayam dengan alasan yang kurang mapan.

“Atau mungkin di saat yang lain?”

“Mahisa Agni,” berkata Kuda Sempana, “itu agaknya bukan cara yang dapat meyakinkan Tuanku Anusapati. Jika bahaya itu tidak tampak langsung pada Tuanku Anusapati, maka Tuanku Anusapati akan tetap hidup di dalam dunia yang damai dan tenang seperti sekarang tanpa melihat pergolakan di bawah permukaan air yang diam itu.”

“Aku mengerti. Jika orang itu hilang, maka yang paling mengalami kejutan adalah justru orang yang memasangnya dan mungkin Tohjaya. Tetapi ia akan dapat segera memasang orang baru di bangsal Tuanku Anusapati. Dan bahaya bagi Tuanku Anusapati masih tetap akan mengancam.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak segera menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk mengatasi kemungkinan yang paling buruk bagi Anusapati.

Namun demikian, Mahisa Agni tidak boleh berdiam diri. Apalagi ia sudah melihat kemungkinan bahwa sesuatu bakal terjadi.

Karena Mahisa Agni tidak dapat menemukan cara yang dapat ditempuh di luar pengetahuan Anusapati, maka diberanikannya sekali lagi menghadap, meskipun yang mula-mula dicarinya adalah Ranggawuni.

“Apakah Cucunda dapat mempergunakan permainan yang hamba berikan?” berkata Mahisa Agni.

“Aku sedang mencoba,” sahut Ranggawuni.

“Tetapi apakah Ayahanda ada di ruang dalam?”

“Apakah kau akan menghadap?”

“Hamba Cucunda.”

“Kenapa tidak di paseban?”

“Tidak. Hamba tidak akan membicarakan masalah-masalah penting bagi Singasari. Hamba hanya akan sekedar menghadap dan membicarakan persoalan-persoalan kecil saja.”

Ranggawuni kemudian memanggil seorang pelayan dalam yang menyampaikan keinginan Mahisa Agni untuk menghadap.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tetap menghormati Mahisa Agni. Tetapi bagi Anusapati, Mahisa Agni kadang-kadang terlalu banyak membutuhkan perhatian.

“Mungkin demikianlah agaknya setiap orang,” berkata Anusapati kepada diri sendiri, “semakin tua kadang-kadang semakin membosankan.”

Namun demikian dipanggilnya juga Mahisa Agni masuk.

“Ampun Tuanku. Agaknya sudah waktunya Tuanku beristirahat. Tetapi perkenankanlah hamba menyampaikan sedikit persoalan yang sepantasnya mendapat perhatian Tuanku.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam.

“Tuanku. Perkenankanlah hamba berkata terus terang.”

Anusapati mengangguk.

“Di dalam bangsal ini ada seorang pelayan dalam yang masih baru Tuanku.”

“Oh,” Anusapati masih menganggukkan kepalanya, “apa salahnya?”

Mahisa Agni pun kemudian mencoba menjelaskan, apa yang diketahui tentang pelayan dalam itu, dan kebiasaan yang berlaku sampai saat terakhir tentang penugasan seseorang di bangsal seorang maharaja.

Anusapati tertawa pendek. Katanya, “Terima kasih Paman. Paman memang terlampau berhati-hati. Paman sudah menjumpai peristiwa yang agaknya membuat hati Paman agak cemas menanggapi setiap perubahan. Paman, jika seorang pelayan dalam sudah tidak dapat bekerja lagi, maka tentu akan datang saatnya orang baru menggantikannya. Apakah hal itu bukannya hal yang biasa saja?”

“Memang Tuanku. Tetapi bahwa penggantian itu tidak melakukan cara-cara yang selama ini ditempuh adalah sangat mencurigakan.”

“Jika demikian,” Anusapati kemudian memotong, “apakah yang baik aku lakukan menurut Paman?”

“Tentu kita tidak dapat dengan serta-merta menuduhnya. Tetapi kita harus mempunyai bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa orang itu memang pantas dicurigai.”

“Caranya?”

“Tuanku, apakah Tuanku sempat untuk berjaga-jaga dalam waktu yang tidak tertentu?”

“Maksud Paman?”

“Sebenarnyalah bahwa Tuanku tentu akan sempat menolong diri sendiri jika terjadi sesuatu. Tetapi pada suatu saat tentu Tuanku akan lengah. Saat itulah yang ditunggunya.”

“Aku mengerti Paman. Tetapi lalu bagaimana? Apakah aku harus berjaga-jaga setiap hari sepanjang malam?”

“Seharusnya demikian. Tetapi karena hal itu tidak mungkin Tuanku lakukan, maka perkenankanlah kita menempuh jalan lain.”

“Sebutkan.”

“Biarlah hamba memasuki bangsal ini setiap malam Tuanku. Hamba akan mengambil jalan yang tidak mencurigakan. Hamba akan memasuki bangsal ini lewat atap.”

“Ah, mengapa Paman mencari kesulitan? Paman dapat masuk ke bangsal ini kapan saja Paman kehendaki.”

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar