Pelangi Di Langit Singasari Jilid 37

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Kebo Sindet itu menggeram di dalam hatinya. Ia menyesal bahwa Mahisa Agni kurang mendapat pengawasannya. Ia terlalu berbangga dan menganggap bahwa ia sudah dapat mematahkan kebesaran hati Mahisa Agni. Kebo Sindet selama ini melihat Mahisa Agni tidak lebih dari seekor tikus clurut yang tidak berarti sama sekali.

Tapi apa yang dilihatnya itu ternyata telah mengejutkannya. Seperti orang yang bermimpi, kini ia terbangun. Dihadapinya sebuah kenyataan yang tidak disangka-sangkanya. Mahisa Agni selama ini ternyata sempat melatih dirinya sehingga membuatnya menjadi semakin tangguh dan tangkas. Yang lebih menggoncangkan hatinya adalah pengenalan Mahisa Agni atas ilmu Empu Sada.

Sementara itu Mahisa Agni masih saja berkelahi. Ia masih berusaha untuk membuat keseimbangan di antara mereka. Akan tetapi setiap kali Kebo Sindet yang mempunyaii pengalaman dan pengetahuan jauh lebih tinggi dari pada Kuda Sempana, segera dapat mengenal bahwa Mahisa Agni tidak berkelahi dengan sewajarnya.

Sesaat terbersit suatu pikiran yang mendebarkan jantungnya. Empu Sada pasti belum mati.

“Apakah setan itu berhasil masuk ke dalam daerah ini tanpa setahuku dan berusaha membalas dendam lewat anak yang bernama Mahisa Agni ini?”

Jantung Kebo Sindet menjadi semakin berdebaran. Dugaan itu semakin lama menjadi semakin kuat.

“Tetapi, tidak seorang pun dapat memasuki daerah ini tanpa aku sendiri” ia mencoba untuk menenangkan hatinya, tetapi hatinya berkata pula, “Apakah mungkin ia selalu mengintip aku apabila aku lewat daerah rawa-rawa ini dan kemudian mencari jejakku untuk mencoba menyeberang?”

Kebo Sindet yang berwajah beku itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya “Mustahil. Tikus tua itu pasti akan menjadi santapan buaya-buaya kerdil itu atau ular air hijau yang sangat berbisa. Ia tidak banyak mengenal tabiat rawa-rawa yang ganas ini. Atau mungkin ia sudah terbenam di dalam Lumpur.”

Namun, bagaimanapun juga, tata gerak Mahisa Agni yang sengaja ditunjukkannya kepada Kuda Sempana dan Kebo Sindet itu telah mendebarkan dadanya.

“Aku harus segera mendapat kejelasan,” Kebo Sindet itu bergumam di dalam hatinya. ”Segera.”

Kebo Sindet melangkah semakin dekat lagi. Wajahnya yang beku itu tiba-tiba menegang.

Mahisa Agni yang melihat Kebo Sindet berdiri hanya beberapa langkah dari arena dengan wajah yang tegang, segera merasa, bahwa saatnya segera akan datang. Ia harus segera mempersiapkan dirinya tidak sekedar bermain-main dengan Kuda Sempana. Tidak sekedar berpura-pura terlempar surut dan berpura-pura terbanting di atas tanah. Ia harus benar-benar menghapi Kebo Sindet dengan seluruh ilmu yang dimilikinya. Mungkin ia akan benar-benar terlempar beberapa langkah dan benar-benar terbanting di atas tanah dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menjadi lebih parah.

Karena itu, maka perhatian Mahisa Agni kemudian sebagian terbesar ditunjukannya kepada Kebo Sindet. Meskipun ia masih tetap berkelahi melawan Kuda Sempana, namun kewaspadaannya terhadap Kebo Sindet ternyata cukup tinggi. Mahisa Agni memperhitungkan, bahwa Kebo Sindet dapat berbuat apa saja yang tidak diduga-duganya sebelumnya. Orang semacam Kebo Sindet sama sekali tidak memperhatikan lagi tata kesopanan dalam berbagai macam hal. Juga dalam perkelahian semacam itu. Ia menganggap cara apapun dapat dipergunakan dan dibenarkan untuk mencapai tujuannya.

Dengan demikian maka Mahisa Agni selalu berusaha untuk tidak berada dalam keadaan yang berbabaya baginya apabila setiap saat Kebo Sindet berbuat sesuatu. Kini Mahisa Agni telah yakin, bahwa Kebo Sindet telah dapat mengenal ilmunya dan menganggap bahwa ilmu itu berbahaya bagi dirinya.

Kebo Sindet yang berdiri hanya beberapa langkah dari arena itu pun menjadi semakin tegang, seperti juga Kuda Sempana menjadi semakin berdebar-debar. Semakin lama ia tidak semakin menguasai lawannya, tetapi ternyata lawannya menjadi semakin lincah dan tangguh. Bahkan Kuda Sempana kadang-kadang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Meskipun demikian, serangan-serangan Mahisa Agni tampaknya selalu tidak berbahaya baginya.

Mahisa Agni masih saja berusaha untuk melayani Kuda Sempana. Setiap kali ia bergeser menjauhi Kebo Sindet. Dan setiap kali pula Kebo Sindet yang memegang ikat pinggang kulit itu selalu berkisar mendekatinya.

“Ikat pinggang itu berbahaya” desis Mahisa Agni di dalam hatinya “Kemarin Kebo Sindet melecutku dengan ikat pinggang itu, tetapi hanya dengan sebagian kecil saja dari tenaganya. Tetapi sekarang pasti akan lain. Mungkin sekaligus ia ingin mematahkan tulang belakangku dengan ikat pinggang itu.”

Namun dalam pada itu, karena perhatiannya sebagian besar tertuju kepada Kebo Sindet, permainan dalam perkelahiannya melawan Kuda Sempana menjadi kurang baik. Kadang-kadang ia berbuat sesuatu yang sangat membingungkan lawannya. Bahkan kadang-kadang Kuda Sempana hanya berdiri saja keheranan melihat serangan Mahisa Agni yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Tetapi ternyata ketika serangan yang tak terelakkan itu menyentuh tubuhnya, maka ia sama sekali tidak mengalami cidera apapun. Bahkan seakan-akan Mahisa Agni sama sekali sudah kehabisan tenaga untuk dapat menyakitinya.

Hal-hal yang serupa itulah yang kemudian membuat kemarahan Kebo Sindet semakin membakar jantungnya. Sedangkan Kuda Sempana sendiri tidak tahu bagaimana ia harus menanggapinya. Ia berkelahi saja dengan bersungguh-sungguh. Itu sudah dilakukannya.

Tetapi Kuda Sempana itu terkejut ketika ia mendengar Kebo Sindet berteriak nyaring, “Cukup. Cukup Mahisa Agni. Permainanmu memang baik sekali. Kau tidak dapat dikalahkan oleh Kuda Sempana. Apalagi seorang Kuda Sempana, lima Kuda Sempana pun tidak akan dapat mengalahkan kau.”

Dengan serta merta maka perkelahian antara Kuda Sempana dan Mahisa Agni itu pun terhenti. Kuda Sempana meloncat beberapa langkah surut. Wajahnya memancarkan beribu macam pertanyaan yang mengguncang-guncang hati “Apakah maksud Kebo Sindet sebenarnya? Apakah aku dianggapnya kurang bersungguh-sungguh atau dianggapnya aku sudah tidak berguna lagi sehingga lima Kuda Sempana tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni?”

Dalam kegelisahan itu Kuda Sempana memandangi wajah Mahisa Agni yang menegang. Dilihatnya anak muda itu berdiri kaku di tempatnya.

Tetapi, dalam pada itu dada Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar pula. Di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya kini telah sampai saatnya aku berbuat sesuatu.”

Mahisa Agni itu megerutkan keningnya ketika ia melihat Kebo Sindet melangkah maju sambil berkata, “Kau benar-benar dahsyat Agni. Kau adalah orang yang paling licik di seluruh dunia. Jauh lebih licik dari Jajar gemuk yang aku panggang di dalam api di rumahnya sendiri.”

Dada Mahisa Agni berdesir. Ia tidak tahu, siapakah yang dimaksud dengan Jajar yang gemuk Tetapi bahwa orang itu telah dipanggang di dalam api di rumahnya sendiri, benar-benar telah membuatnya semakin berdebar-debar.

“Kau mungkin belum pernah mendengar apa yang telah terjadi itu” berkata Keto Sindet “tetapi baiklah, aku akan mengatakannya. Jajar itu telah mencoba berbohong kepadaku. Ketika ia menyanggupkan diri mencari tebusan untuk membebaskanmu dari Ken Dedes, ia telah berusaha membunuhku dengan lima belas kawan-kawannya atau bahkan lebih. Tetapi akhir dari pada hidupnya adalah mati ditelan api. Menyenangkan sekali. Aku ikat ia pada tiang rumahnya yang terbakar perlahan-lahan.” Dan tiba-tiba saja Kebo Sindet yang wajahnya selama ini membeku seperti wajah mayat itu terangkat perlahan-lahan. Kemudian meledaklah suara tertawa yang mengerikan. Suara tertawa yang belum pernah didengarnya. Bergetar mengumandang di seluruh daerah hutan berrawa-rawa ini. Seolah-olah suara tertawa itu telah mengguncangkan ranting-ranting pepohonan dan menggugurkan dedaunan. Burung-burung berterbangan menjauh, dan wajah air yang buram di sekitar neraka itupun seolah-olah telah bergolak.

“Bukan main” desis Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia seolah-olah mendengar suara hantu yang paling gila dari liang kuburnya. Tetapi kemudian berubah menjadi seribu guruh yang meledak bersama-sama di langit yang mendung. “Setan ini benar-benar menakjubkan.”

Suara tertawa Kebo Sindet itu pun semakin lama menjadi semakin mereda. Perlahan-lahan suara itu hilang seakan-akan menyusup ke dalam tanah yang lembab, mengendap untuk setiap saat mengguncangkan daerah itu kembali.

Ketika suara tertawa itu mereda, maka terdengar Kebo Sindet itu berkata dengan suaranya yang parau, “Mahisa Agni. Aku ingin melihat apa yang terjadi itu terulang di sini. Meskipun aku tidak akan membakar sebuah rumah, tetapi rerumputan dan dedaunan yang kering akan cukup panas untuk mematangkan dagingmu.”

Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya. Ia kini telah yakin, bahwa saat-saat yang ditunggunya telah tiba.

“Sayang Agni, bahwa nasibmu memang terlampau jelek. Sebenarnya aku memang sudah tidak memerlukan kau lagi. Aku memang ingin membunuhmu dan membuang mayatmu ke dalam rawa-rawa. Buaya-buaya kerdil itu akan sangat berterima kasih kepadaku. Tetapi kemudian timbullah belas kasianku. Kau masih tetap aku hidupi. Kau dan Kuda Sempana akan dapat menjadi hiburan yang baik di dalam duniaku yang sepi ini. Tetapi kau sudah membuat kesalahan. Caramu berkelahi melawan Kuda Sempana telah menumbuhkan keinginanku untuk membunuhmu. Bahkan aku ingin berbuat sesuatu yang paling menyenangkan bagiku dengan akhir hidupmu itu.”

Dada Mahisa Agni manjadi semakin berdebar-debar. Tetapi sesuatu yang menyentuh dadanya adalah pengakuan Kebo Sindet, bahwa dunianya terlampau sepi. Kesepian itulah agaknya yang telah mendorongnya menjadi semakin tersesat.

“Bersiaplah Mahisa Agni? Apakah kau ingin melawan?” Mahisa Agni masih berdiam diri.

“Kau mengecewakan aku. Kau tidak bersedia menemani aku dengan cara yang telah aku pilih. Bahkan kau mencoba menyombongkan dirimu, membuat Kuda Sempana bingung karena unsur-unsur gerak yang serupa. He, darimana kau pelajari ilmu yang mirip dengan ilmu Kuda Sempana itu? Apakah kau sendiri yang menciptakannya?”

Mahisa Agni tidak menjawab.

“Apakah ada setan belang yang datang dan mengajarimu he?”

Tidak terdengar jawaban.

“Baiklah, ternyata kau telah memaksa aku untuk berbuat sesuatu. Kau tidak sekedar menemani aku dalam duniaku yang sepi ini dengan permainan-permainan yang mengasyikkan bersama Kuda Sempana. Tetapi ternyata aku sendiri harus ikut bermain-main.” Kebo Sindet itu berhenti sebentar, lalu “Ayo, apakah kau akan melawan atau menyerah saja supaya aku menaruh sedikit belas kasihan pada saat-saat terakhirmu? Tetapi apabila kau memang terlampau sombong, dan merasa bahwa ilmumu itu mampu mengimbangi ilmu Kebo Sindet, marilah, kita lihat, apakah yang akan terjadi atasmu.”

Mahisa Agni sama sekali tidak menjawab.

“Apakah kau sudah menjadi bisu he?” Kebo Sindet itu kemulian berpaling kearah Kuda Sempana, “Kuda Sempana, kau akan kehilangan kawan. Tetapi jangan takut. Ternyata pikiran untuk membuat permainan adu orang itu sangat menarik. Tetapi kali ini aku terpaksa melenyapkan kawan bermainmu. Namun aku akan segera mencarikan gantinya.”

Jantung Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Semakin lama Kebo Sindet pasti akan menjadi semakin buas. Dalam dunianya yang asing, ia kehilangan segala macam bentuk, sifat dan watak kemanusiaannya. Sifat-sifat yang aneh dan tidak wajar akan menguasainya, sehingga dengan demikian ia akan menjadi semakin berbahaya. Kesenangannya menimbun harta benda tanpa mengetahui penggunaannya, kesenangannya pada perbuatan yang keras dan kejam dan hal-hal yang serupa, menjadikannya benar-benar iblis yang berbahaya.

Karena itu, maka Mahisa Agni pun segera membulatkan tekadnya untuk memulai dengan perjuangannya melepaskan diri dari bayangan iblis Kemundungan itu dan sekaligus melenyapkannya. Bukan sekedar melenyapkan Kebo Sindet karena dendam yang membara di dalam dadanya, namun yang terpenting baginya, lenyapnya Kebo Sindet akan mengurangi kekisruhan yang terjadi di tanah Tumapel.

Dengan demikian maka debar di dada Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin reda. Sejenak kemudian ia sudah menemukan ketenangannya kembali. Meskipun demikian, maka serasa tanah tempatnya berpijak menjadi terlampau panas. Pancaran mata Kebo Sindet masih juga mempengaruhinya. Mata yang menyala di dalam lingkungan wajah yang sebeku mayat.

Karena Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, terdengar Kebo Sindet berkata pula “He Mahisa Agni. Katakan pilihanmu. Apakah kau akan menyerah atau melawan.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat terus-menerus berdiam diri. Ia harus menjawab. Karena itu maka terdengar suaranya dalam “Aku sudah siap Kebo Sindet. Selama ini aku menunggu bahwa saat serupa ini akan datang.”

Wajah yang beku itu kini menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian kembali meledak suara tertawanya yang mengerikan itu. Suara itu berkumandang di seluruh hutan, menghalau binatang-binatang yang sedang asyik makan dedaunan. Harimau-harimau yang sedang tidur nyenyak, serentak terbangun dan mengaum bersahut-sahutan. Burung-burung berterbangan menghindari getaran udara yang seakan-akan menghimpit dada.

Mahisa Agni pun merasakan, betapa dahsyat lontaran suara tertawa itu. Bukan saja pengaruh kedahsyatan tenaga yang telah menggetarkan hutan dan rawa-rawa itu, tetapi juga pengaruh perbawanya yang besar telah menggetarkan hati Mahisa Agni.

“Aku harus menyadari keadaan” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya “aku tidak boleh terpengaruh oleh perasaanku. Aku bukan budak dan bukan reh-rehan Kebo Sindet. Aku berada dalam tataran yang sama. Karena itu maka aku pun harus dapat berbuat serupa itu pula.”

Tetapi Mahisa Agni tidak ingin memamerkan kemampuannya melontarkan tenaganya lewat getaran-getaran suara. Suara apapun. Mungkin suara tertawa, suara teriakan atau bentakan-bentakan yang keras dan menggoncangkan dada.

Ketika suara itu mereda, maka Mahisa Agni sempat memandangi Kuda Sempana. Wajah yang menjadi pucat pasi. Tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Lututnya beradu dan giginya menjadi gemeretak tanpa disadarinya sendiri.

“Alangkah dahsyat pengaruh suara tertawa itu” berkata Mahisa Agni pula di dalam hatinya. Namun ia tidak sempat berangan-angan lagi ketika ia mendengar Kebo Sindet itu berkata “Apakah kau masih dapat menyombongkan dirimu dihadapanku Agni? Kasihan, nasibmu memang terlampau jelek. Kau akan mati dalam keadaan yang paling menyenangkan buatku.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah Kebo Sindet dengan tajamnya.

Karena Mahisa Agni tidak segera menjawab, maka Kebo Sindet itu berkata pula, “Ada dua kemungkinan yang paling menarik. Memanggang kau hidup-hidup di atas api sampai dagingmu matang, atau mengikat kau dengan seutas tambang dan menggantungkannya di atas rawa-rawa itu, sementara kulitmu harus dilukai supaya menitikkan darah. Maka pasti akan terjadi peristiwa yang paling menarik yang pernah aku lihat selama aku tinggal di daerah rawa-rawa ini. Di bawah tempat kau bergantung, akan penuh dengan segala macam binatang air yang buas itu. Tetapi yang paling menarik, bagaimana buaya-buaya kerdil melonjak-lonjak menggapai tubuhmu yang terkatung-katung diatasnya. Sampai pada suatu saat salah seekor dari padanya akan berhasil merobek tubuhmu dan menyeretmu kedasar rawa-rawa yang keruh itu.”

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri, Tetapi terasa juga hatinya bergetar mendengar ancaman itu. Seandainya ya, seandainya hal itu terjadi, maka apakah yang akan di perbuatnya? Berteriak-teriak memaki atau menangis melolong-lolong minta belas kasihan, atau diam sambil mengatupkan mulut rapat-rapat dan menggeretakkan gigi menahan sakit dan ngeri?

“Orang ini benar-benar buas” gumam Mahisa Agni di dalam hatinya. Namun dengan demikian maka hasratnya. untuk melenyapkan Kebo Sindet itu menjadi semakin besar pula.

“Sekarang bersiaplah. Apakah kau benar-benar menguasai ilmu Empu Sada seperti orangnya sendiri? He, apakah kau juga memiliki tongkat panjang seperti milik Empu Sada dan senjata semacam yang disebut rangkapannya?”

Mahisa Agni tetap membisu.

“Setan kecil” Kebo Sindet hampir berteriak “bersiaplah. Sudah sampai saatnya kau mati dalam keadaan yang paling menyedihkan.”

Mahisa Agni sama sekali tidak mengucapkan kata-kata. Tetapi kini ia berkisar selangkah mempersiapkan dirinya.

Dilihatnya Kebo Sindet telah bersiap pula menghadapi setiap kemungkinan.

Mahisa Agni akhirnya menjadi muak mendengar suara Kebo Sindet itu, sehingga tanpa sesadarnya ia menjawab “Berbuatlah menurut kehendakmu. Akupun akan berbuat sesuai dengan kehendakku sendiri.”

“O, kau benar-benar telah menjadi gila. Mungkin pengalamanmu di sini telah benar-benar membuatmu kehilangan keseimbangan. Tetapi meskipun demikian kau harus tahu, bahwa menyerah akan menjadi jauh lebih baik dari pada mencoba mengadakan perlawanan yang pasti juga tidak akan berarti apa-apa kecuali menambah kemarahanku saja.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Dalam saat-saat terakhir itu ia mencoba mengingat segala pesan gurunya. Ia tidak boleh tenggelam dan kehilangan akal menghadapi segala macam sikap Kebo Sindet. Kekasaran dan kebuasannya harus dihadapinya dengan tenang. Caranya memperkecil hati lawan dan melemahkan daya perlawanannya.

Kebo Sindetlah yang kemudian bertanya-tanya di dalam hatinya. Ia melihat sikap Mahisa Agni, yang agaknya cukup yakin akan dirinya. Tenang dan mantap. Wajah anak muda itu kini sama sekali tidak membayangkan ketakutan dan kecemasan seperti yang dilihatnya setiap hari. Dengan demikian maka Kebo Sindet kini yakin, bukan Mahisa Agni lah yang menjadi kehilangan kepribadiannya, tetapi ia sendirilah yang telah terkecoh oleh anak itu.

Terdengar Kebo Sindet menggeram. Katanya berdesis “Kau memang bodoh Agni. Atau kau memang mencoba membunuh diri? Tetapi cara membunuh diri yang kau pilih adalah cara yang salah.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Kini ia berdiri tegak menghadap kearah Kebo Sindet dengan kaki merenggang. Ia melihat ditangan Kebo Sindet itu tergenggam sehelai ikat pinggang kulit yang tebal. Sebuah senjata yang cukup baik bagi lawannya. Sedang dipinggangnya tergantung sebuah golok yang besar.

“Senjata-senjata itu harus mendapat perhatian” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Mahisa Agni itu merendah ketika ia melihat Kebo Sindet berjalan mendekatinya. Tubuhnya kemudian dimiringkannya. Satu kakinya ditariknya setapak kebelakang.

“He, kau sudah siap untuk berkelahi?” berkata Kebo Sindet yang menjadi semakin dekat, “kau memang gila.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi mestinya berdesir ketika ia melihat Kebo Sindet memutar ikat pinggang kulitnya.

“Bagus” berkata iblis dari Kemundungan itu “kita akan segera mulai. Sebutlah nama ibu, bapa dan gurumu. Atau setan, iblis dan tetekan, yang barangkali selama ini telah memberimu ilmu yang ajaib” Kebo Sindet itu berhenti sebentar, lalu “Tetapi sebelum mati, katakanlah, siapakah yang telah mengajari kau memahami ilmu Empu Sada?”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap untuk meloncat menyerang, atau melawan serangan lawannya. Sementara itu ikat pinggang Kebo Sindet masih saja berputar di atas kepalanya. Semakin lama semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling.

“Kau tidak mau menyebut sebuah nama?” Mahisa Agni masih tetap membisu.

“Oh, kau benar-benar anak setan” geram Kebo Sindet. Matanya menjadi semakin membara diwajahnya yang beku. Selangkah ia maju dan kini putaran ikat pinggangnya menjadi condong. Mahisa Agni berkisar setapak.

Sekali lagi dadanya berdesir, ketika tiba-tiba saja ia melihat Kebo Sindet meloncat sambil berteriak nyaring. Suaranya bergema di seluruh hutan dan mengguncangkan pepohonan. Iblis dari Kemundungan itu sudah mulai.

Meskipun Mahisa Agni telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan, namun serangan itu hampir-hampir saja telah mematahkan tulang lehernya ketika ikat pinggang kulit itu berdesing beberapa nyari saja dari kepalanya.

“Bukan main” dengan serta merta Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya. Kini ia benar-benar harus berhati-hati. Ia tidak hanya sekedar bermain-main dengan Kuda Sempana. Tetapi ia sedang berkelahi dengan Kebo Sindet. Seorang yang mengerikan, yang memiliki ilmu dan pengalaman terlampau banyak.

Sejak ilmunya meningkat dalam asuhan gurunya sendiri dan Empu Sada, Mahisa Agni sama sekali belum pernah mempergunakan dalam sebuah perkelahian yang sungguh-sungguh, selain latihan-latihan saja bersama kedua orang tua itu. Dan kini, yang pertama dihadapinya adalah seorang iblis yang bernama Kebo Sindet. Iblis yang ditakuti oleh hampir setiap orang yang pernah mendengar namanya.

Kebo Sindet yang melihat bahwa Mahisa Agni berhasil menghindari serangannya itu tidak segera menyerangnya pula. Tetapi justru ia surut selangkah. Terdengar suaranya parau, “Kau telah benar-benar membuat aku heran. Ayo, katakan, siapa yang datang ketempat ini dan memberi kau ilmu demit itu?”

Mahisa Agni tidak menyahut. Debar dadanya kini telah mereda. Tetapi matanya tidak berkisar dari tangan Kebo Sindet yang menggenggam ikat pinggangnya itu.

“Kau tidak mau menyebutkan?”

Mahisa Agni tidak menyebutkan. Tetapi dadanya tergetar karena tiba-tiba ia mendengar suara menggelegar dilangit. Guruh. Sekilas ia menenangadahkan wajahnya. Dilihatnya awan yang hitam mengalir dengan cepatnya ke Barat.

“Hem” katanya di dalam hati “mendung itu terlampau tebal. Kalau hujan turun di lereng gunung, maka kali-kali akan banjir. Bagaimana kira-kira dengan Bendungan Karautan sekarang?”

Tiba-tiba saja keinginannya untuk segera melihat bendungan itu telah melonjak di dalam hatinya. Sentuhan perasaan itu di dadanya telah membuatnya semakin bernafsu untuk segera keluar dari sarang hantu ini. Ia ingin segera melihat bendungan di Padang Karautan dan segera ingin bertemu dengan orang-orang lain. Sekilas terbayang wajah pamannya, Empu Gandring yang mencoba melindunginya. Tetapi karena yang dihadapinya waktu itu sepasang iblis dari Kemundungan, maka adalah diluar kemampuannya untuk menyelamatkannya.

“Alangkah senangnya kalau paman Empu Gandring ada disini pula” katanya di dalam hati. Ia memang pernah mendengar ceritera gurunya tentang pamannya yang tidak dapat langsung menemuinya karena permintaan gurunya itu.

Meskipun angan-angan Mahisa Agni itu menjelajahi masa-masa lampaunya dan masa-masa yang akan dihadapinya, tetapi ia sama sekali tidak lengah. Segera ia melihat tangan Kebo Sindet yang memutar ikat pinggangnya itu bergerak. Secepat itu pula ia melihat Kebo Sindet meloncat menyerangnya pula. Kini serangan iblis itu mendatar rendah mengarah ke dada Mahisa Agni.

Dengan sigapnya pula Mahisa Agni mengelakkan dirinya. Selangkah ia meloncat surut. Ia ingin membalas serangan itu dengan serangan pula. Tetapi ternyata gerak Kebo Sindet cukup cepat untuk menyusulnya dengan sebuah serangan pula.

Adalah suatu keuntungan bagi Mahisa Agni, bahwa sampai saat itu Kebo Sindet belum menjajagi ketinggian ilmu Mahisa Agni, sehingga Kebo Sindet masih menganggap bahwa Mahisa Agni tidak lebih dari seorang anak muda yang sombong, yang terlalu merasa dirinya cukup mampu untuk melawannya. Dengan demikian maka Kebo Sindet masih belum sampai pada puncak ilmunya. Kecepatan dan kekuatannya masih belum dikerahkannya seluruhnya.

Karena itu, maka sekali lagi Mahisa Agni yang tidak menyangka, bahwa serangan Kebo Sindet akan datang beruntun, yang telah dikejutkan oleh gerak yang tidak diduga-duganya, masih sempat mengelakkan dirinya, dengan sebuah loncatan yang panjang. Namun dengan demikian ia sadar sepenuhnya, bahwa ia berhadapan dengan Kebo Sindet, seorang iblis yang memiliki pengalaman yang cakup banyak dan beraneka-macam.

Tetapi bahwa sekali lagi Mahisa Agni dapat melepaskan diri dari serangannya, telah benar-benar mengejutkan Kebo Sindet. Sejenak ia berdiri saja dengan sorot mata bertanya-tanya. Diawasinya Mahisa Agni yang kini telah berhasil berdiri tegak di atas tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh kuat. Matanya kini memancarkan sinar yang membara, seperti hatinya yang telah membara pula.

“Anak setan” terdengar Kebo Sindet memggeram, “dari mana kau memiliki ilmu yang memungkinkan kau lolos dari seranganku?”

Mahisa Agni tidak menjawab.

“Katakan. Katakanlah supaya kesalahanmu berkurang di mataku. Supaya aku dapat membuat parhitungan dengan orang itu, karena ialah sumber dari segala pengkhianatanmu ini.”

Mulut Mahisa Agni masih terkatub rapat-rapat. Yang terdengar justru gemeretak giginya beradu.

“Baik. Baiklah kalau kau ingin tetap membisu. Kalau aku cincang tubuhmu, maka orang itu pasti akan datang juga.”

Wajah kebo Sindet yang beku itu menjadi semakin menegang. Matanya menjadi merah seperti api. Tangannya yang menggenggam ikat pinggang kulit itu menjadi gemetar.

Selangkah ia maju. Kebuasan yang mengerikan kini membayang semakin nyata di wajahnya.

Ketika guruh meledak di langit, Kebo Sindet itu meloncat secepat kilat menyerang Mahisa Agni dengan ayunan ikat pinggangnya. Suara yang berdesing telah menyambar telinga Mahisa Agni. Namun ia masih sempat menghindarkan kepalanya dari sentuhan ikat pinggang kulit itu. Ia kini sadar sepenuhnya, bahwa Kebo Sindet sudah sampai kepuncak kemarahannya. Ia harus menjadi semakin berhati-hati. Meskipun gurunya menganggap bahwa ilmunya sudah cukup baik untuk melawan ilmu Kebo Sindet, namun pengalaman dan kelicikan akal Kebo Sindet agaknya akan ikut serta menentukan akhir dari perkelahian itu.

Karena Mahisa Agni berhasil menghindari serangannya pula, maka Kebo Sindet menjadi benar-benar terbakar hatinya. Ia semakin mendapat gambaran tentang kemampuan lawannya yang selama ini dianggapnya sudah lumpuh sama sekali. Ternyata ia masih berhasil menghindari serangannya beberapa kali.

Dengan demikian, maka Kebo Sindet berpendapat, bahwa Mahisa Agni telah benar-benar menemukan suatu kekuatan yang dapat dibanggakannya, sehingga ia telah berani langsung melawannya.

Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet berusaha memperbaiki keadaannya. Ia tidak lagi menganggap bahwa Mahisa Agni hanya sekedar menyombongkan dirinya karena ia tidak mampu memperhitungkan kekuatan Kebo Sindet yang sebenarnya. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni memiliki kemampuan yang cukup, bahkan di luar dugaannya.

Tetapi Mahisa Agni pun telah memperhitungkan segala kemungkinan sehingga ia pun segera menyesuaikan dirinya. Ketika ia melihat mata Kebo Sindet seakan-akan telah menyala, maka sampailah Mahisa Agni pada kesimpulan, bahwa perkelahian itu akan segera sampai pada puncaknya.

Demikianlah sebenarnya yang terjadi. Ketika Kebo Sindet dengan darah yang mendidih berusaha segera melumpuhkan lawannya, maka Mahisa Agni pun segera menuangkan segala ilmunya untuk melawan.

Dengan demikian maka perkelahian itupun segera meningkat menjadi semakin seru. Kebo Sindet dengan garangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung alap-alap. Cepat dan mendebarkan jantung. Namun Mahisa Agni pun mampu melawannya dengan kecepatan yang seimbang. Tubuhnya seakan-akan menjadi seringan kapas, namun tenaganya menjadi sekuat banteng ketaton.

Tetapi ternyata ikat pinggang kulit di tangan Kebo Sindet itu benar-benar telah mengganggu keseimbangan. Mahisa Agni tidak dapat membiarkan dirinya disentuh oleh ikat pinggang kulit itu. Setiap sentuhan pasti akan dapat mengelupaskan kulitnya. Karena itu, maka setiap kali Mahisa Agni masih harus selalu meloncat menghindari lecutan ikat pinggang kulit itu, yang ternyata semakin lama menjadi semakin cepat berputar. Bahkan kemudian Mahisa Agni seakan-akan melihat gumpalan asap yang kemerah-merahan berusaha melibat dirinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa gumpalan yang tampaknya seperti asap itu adalah ayunan ikat pinggang Kebo Sindet. Kalau asap itu berhasil melibatnya, maka ia pasti tidak akan dapat keluar lagi.

Dengan demikian, betapapun Mahisa Agni mampu bergerak secepat tatit yang meloncat dilangit, namun ia tidak akan dapat menembus gumpalan asap itu. Sehingga mustahil baginya untuk dapat menyentuh tubuh Kebo Sindet yang seakan-akan dilindungi oleh gumpalan asap itu.

Terdengar Mahisa Agni kemudian menggeretakkan giginya. Betapapun ia mencoba memutar otaknya, namun ia melihat kesulitan yang tak tertembus olehnya. Seandainya kemampuan mereka berimbang, namun Kebo Sindet menggenggam senjata di tangannya, maka keseimbangan itupun pasti akan terganggu.

Meskipun demikian Mahisa Agni tidak boleh kehilangan akal. Yang dapat dilakukan sementara adalah menghindari sentuhan ikat pinggang kulit itu. Tetapi ikat pinggang kulit itu seolah-olah mempunyai beberapa pasang mata, sehingga kemanapun ia menghindar, maka ikat pinggang itu selalu menyambarnya, mematuk dan berusaha melibatnya.

Mahisa Agni kemudian berdesah di dalam hatinya. Ternyata ia benar-benar mendapat kesulitan. Sudah tentu tidak akan menyenangkan baginya, apabila ia hanya mendapat kesempatan untuk menghindar dan berloncatan mundur.

Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, telah dicobanya untuk menembus putaran ikat pinggang kulit itu. Namun Mahisa Agni tidak segera berhasil, karena yang dilawannya itu adalah seorang yang luar biasa pula, yang mempunyai banyak kelebihan dari orang kebanyakan.

Tetapi Kebo Sindet sendiri menjadi sangat heran menyaksikan Mahisa Agni kini. Anak muda itu ternyata benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk melawannya. Adalah tidak masuk akal, bahwa Mahisa Agni masih saja dapat menghindarkan dirinya, meskipun ia telah berusaha sejauh-jauhnya melihat anak muda itu dengan putaran ikat pinggang kulitnya. Meskipun Mahisa Agni agaknya mengalami kesulitan, namun ia masih saja mampu melepaskan dirinya. Bahkan kadang-kadang masih juga berusaha menyerang menemhus perisai yang dibuatnya.

“Setan kecil ini benar-benar mengherankan” desis Kebo Sindet di dalam hatinya. Namun dengan demikian kemarahannya menjadi kian memuncak pula.

“Aku harus dapat membunuhnya. Membunuh dengan cara yang paling gila” katanya di dalam hati pula.

Maka semakin lama tandang Kebo Sindet pun menjadi semakin garang. Ikat pinggangnya berputar semakin cepat. Dengan penuh nafsu Kebo Sindet memutar senjatanya dan menyerang lawannya seperti angin prahara. Sedang Mahisa Agni, masih belum menemukan kesempatan yang baik untuk membalas menyerangnya. Dengan segala macam cara, Mahisa Agni mencoba mencari titik-titik kelemahan lawannya. Namun ia tidak segera menemukannya. Dengan lincahnya Mahisa Agni mencoba menyerang dari segala macam arah. Beberapa kali ia berloncatan memutari lawannya. Namun Kebo Sindet bukan anak-anak yang mudah dibingungkannya. Kebo Sindet adalah seorang yang tanggon, yang menyimpan pengalaman tiada taranya di dalam dirinya.

Bahkan serangan Kebo Sindet semakin lama menjadi semakin dahsyat pula. Gumpalan putaran senjatanya selalu mengejarnya kemanapun ia pergi. Sehingga berkali-kali Mahisa Agni harus meloncat surut.

Ketika Mahisa Agni kemudian menyadari dirinya, tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Ternyata perkelahian itu telah berkisar beberapa langkah dari titik arena semula. Ketajaman tanggapan Mahisa Agni mengatakan kepadanya, bahwa memang Kebo Sindet dengan sengaja menggeser arena perkelahian itu ke arah yang dikehendaki. Kebo Sindet telah mencoba mendesak Mahisa Agni mendekati daerah rawa-rawa.

“Iblis ini benar-benar licik” geram Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia kemudian menyadari keadaannya. Kebo Sindet pasti akan mendesaknya masuk ke dalam rawa-rawa, dan akan melakukan apa yang dikatakannya. Setidaknya ia akan melihat, tubuhnya terpelanting masuk ke dalam rawa-rawa yang coklat berlumpur itu, yang kemudian pasti akan menjadi makanan buaya-buaya kerdil dan binatang-binatang air lainnya.

Mahisa Agni itu pun menggeram. Dihentakkannya segenap kekuatan dan kemampuannyaa untuk mencoba menembus senjata lawannya. Namun ternyata ia masih belum mendapat kesempatan.

“Aku tidak boleh menjadi korban karenanya” Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, “aku harus dapat menembus senjatanya yang gila itu.”

Mahisa Agni kemudian benar-benar tidak membiarkan dirinya didesak terus masuk ke dalam rawa-rawa. Ketika ia merasa, bahwa kakinya telah menginjak tanah yang basah, maka ia berkata pula di dalam hati, “Aku tidak akan berbuat licik. Aku kira adalah wajar, bahwa akupun harus bersenjata.”

Tetapi Mahisa Agni tidak segera melihat kesempatan untuk mendapatkan senjata. Perlahan-lahan ia berloncatan ke arah sebatang beringin yang rimbun. Ia ingin mendapat sehelai sulur untuk melawan senjata Kebo Sindet itu. Atau sepotong dahan, atau apapun. Tetapi yang ada di sekitarnya hanyalah pohon-pohon perdu yang tidak akan berarti.

Agaknya Kebo Sindet mengerti juga maksud Mahisa Agni. Itulah sebabnya dengan senjata yang ada padanya, serta kemampuan yang luar biasa, ia mendesak Mahisa Agni terus, dan mencegahnya mendekat batang beringin yang dapat memberinya kemungkinan untuk mempergunakan sulur-salurnya sebagai senjata.

“Demit yang licik” Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya. Apalagi ketika terasa, bahwa tanah-tanah yang diinjaknya telah mulai gembur.

Adalah nyata sekali dalam pertempuran itu, meskipun Mahisa Agni memiliki ilmu dan kekuatan yang tidak kalah dari Kebo Sindet, namun pengalaman setan Kemundungan itu jauh lebih banyak dari Mahisa Agni sendiri. Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet masih mempunyai kesempatan untuk mendesak lawannya, dan meskipun tidak langsung dapat menguasainya dan lambat namun hampir dapat dipastikan ia akan menyelesaikan perkelahian itu sesuai dengan kehendaknya.

Bahkan sejenak kemudian terdengar suaranya mengguntur, “Nah, Agni. Berpalinglah. Beberapa langkah di belakangmu adalah rawa-rawa yang didiami oleh buaya-buaya kerdil itu. Sebentar lagi tubuhmu pasti akan menjadi santapan yang segar. Terimalah nasibmu yang malang karena kesombonganmu.”

Mahisa Agni menggeretakkan giginya. Tetapi pohon beringin itu masih cukup jauh. Apalagi agaknya Kebo Sindet mendorongnya ke arah yang lain, kearah semakin jauh.

Dengan segala kemampuan Mahisa Agni telah mencoba melawan. Tetapi senjata lawannya benar-benar telah merubah keseimbangan. Meskipun Kebo Sindet tidak berhasil menguasainya langsung, tetapi ia seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Bahkan kini ia telah didesak hampir sampai ke bibir rawa-rawa yang gembur berlumpur, yang akan dapat menelannya hidup-hidup.

Dengan sekuat tenaga Mahisa Agni mencoba mempertahankan dirinya supaya tidak terdesak semakin dekat ke tepi rawa-rawa. Namun libatan ayunan ikat pinggang Kebo Sindet benar-benar telah mendesaknya. Berkali-kali Mahisa Agni mencoba untuk menghindar ke samping dan mencari kesempatan untuk meloncat ke arah yang lain, supaya ia tidak terjerumus ke dalam rawa-rawa, tetapi Kebo Sindet pun berusaha mati-matian, agar lawannya tidak berkesempatan lolos.

Ternyata bahwa senjata Kebo Sindet itu benar-benar bermanfaat pada saat-saat yang demikian. Pada saat mereka berada pada puncak ilmu masing-masing, dimana mereka seakan-akan berada pada titik keseimbangan, maka setitik debu yang paling kecilpun akan dapat merubah keseimbangan itu.

Tetapi Mahisa Agni harus menghadapi kenyataan itu. Karena itu ia bertahan untuk tidak berkisar semakin dekat lagi ke arah rawa-rawa. Ia harus mengerahkan setiap kemungkinan yang dimilikinya untuk melawan. Meskipun demikian, maka terasa ikat pinggang kulit Kebo Sindet itu mulai menyentuhnya.

Mahisa Agni menyeringai menahan pedih yang menyengat kulitnya ketika ujung ikat pinggang lawannya menyinggung pundaknya. Tepat seperti dugaannya, ujung ikat pinggang itu benar-benar dapat mengelupas kulitnya, sehingga terasa bahwa darahnya mulai mengalir.

”Ha” berteriak Kebo Sindet, “darahmu mulai menetes dari lukamu. Setitik darah telah cukup untuk memanggil buaya-buaya kerdil itu. Pekerjaanku sekarang tinggal mendorongmu masuk ke dalam rawa itu dan menyaksikan tubuhmu disobek-sobek oleh buaya-buaya kerdil yang rakus.”

Mahisa Agni menggeram. Tetapi adalah sebuah kenyataan pula bahwa pundaknya telah terluka dan darah memang telah meleleh dari luka itu, meskipun luka itu tidak terlampau dalam.

Meskipun demikian, keadaan itu telah membuat Mahisa Agni disentuh oleh perasaan cemas. Bukan karena ia takut mengalami akibat yang paling pahit. Mati. Namun yang paling menggelisahkan adalah, bahwa dengan demikian Kebo Sindet masih akan mendapat kesempatan untuk berbuat sekehendak hatinya.

Sekilas terbayang wajah kedua orang yang selama ini mengasuhnya. Empu Purwa dan Empu Sada. Keduanya pasti akan dapat membinasakan iblis dari Kemundungan ini. Tetapi bahwa ia gagal, maka kedua orang tua itu pasti akan kecewa. Kecewa sekali.

Dan kini ia masih harus bekerja terlampau keras. Ia tidak boleh berputus asa.

Dada Mahisa Agni berdesir ketika tanpa disengajanya pada saat ia meloncat menghindari cambuk ikat pinggang Kebo Sindet, terasa kakinya menyentuh batu. Batu. ya, satu-satunya yang didapatkannya di daerah itu adalah batu.

Tanpa membuang waktu lagi, Mahisa Agni segera memungut batu itu. Tidak hanya satu, tetapi ia mendapatkan dua buah batu sebesar telur.

“Apa boleh buat” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “tidak seorang pun dapat menuduhku curang. Sebab lawanku pun bersenjata pula.”

Kebo Sindet yang melihat Mahisa Agni memungut batu, segera menyadari bahwa Mahisa Agni akan mempergunakannya senjata. Karena itu, maka dengan kecepatannya yang luar biasa ia menyerangnya. Ia mencoba memotong kesempatan Mahisa Agni mengambil kedua butir batu itu.

Serangan itu benar-benar mengejutkan Mahisa Agni. Selagi tangannya hampir menyentuh batu yang sebutir lagi, setelah yang sebutir digenggamnya, ikat pinggang Kebo Sindet terayun dengan derasnya seolah-olah tatit yang meloncat di langit.

Kesempatan untuk meloncat menghindari serangan itu terlampau sempit, ia dapat dengan serta-merta menghindar, tetapi ia harus melepaskan batu yang sebutir itu.

Dalam kesempatan yang terlampau pendek, Mahisa Agni harus msngambil keputusan. Dan keputusan yang diambilnya adalah, “Mendapatkan batu itu.”

Tetapi dengan demikian maka kesempatannya untuk menghindari semakin sempit. Karena itu maka sekali lagi ujung ikat pinggang Kebo Sindet itu menyentuh tubuhnya, kali ini di punggungnya.

Sekali lagi Mahisa Agni menyeringai. Dijatuhkannya tubuhnya, kemudian dengan sekuat tenaganya ia melontarkan diri berguling menjauhi lawannya. Namun dengan demikian Mahisa Agni kurang dapat memperhitungkan arah, sehingga justru ia menjadi semakin dekat ke tepi rawa-rawa.

Kebo Sindet tidak memberinya kesempatan. Ia memburu terus dengan ayunan ikat pinggang kulitnya. Ia menggeretakkan giginya ketika ia melihat Mahisa Agni sempat meloncat berdiri. Tetapi, tanah yang diinjaknya terlampau licin, sehingga Mahisa Agni tergelincir dan jatuh berlutut.

“Sekarang, datanglah saat yang paling mengerikan itu” teriak Kebo Sindet “setapak lagi aku mendorongmu, kau akan terjerumus ke dalam tanah yang gembur. Kau tidak akan dapat keluar lagi sampai datang saatnya buaya-buaya itu menjamahmu dengan gigi-giginya.”

Tetapi Mahisa Agni benar-benar tidak berputus asa. Ia belum mengalami perkelahian yang sebenarnya. Ia masih belum marasa bertempur beradu ilmu yang. Sebaik-baiknya dengan iblis dari Kemundungan itu. Karena itu, ia tidak mau ditelan oleh lumpur rawa itu.

Ketika Kebo Sindet meloncat maju, maka sambil berlutut ia mengadakan perlawanan dalam usahanya terakhir. Ia harus mendapat kesempatan meloncat menghindari arah yang mendebarkan jantung.

Mahisa Agni memang tidak berusaha untuk segera berdiri. Ia kini mengerahkan segenap tenaganya dalam perlawanannya. Ia harus dapat melakukannya dalam keadaanya itu. Berlutut. Kalau ia mencoba berdiri, maka ia akan kehilangan waktu sekejap. Dan yang sekejap itu pasti sudah dapat dipergunakan oleh Kebo Sindet sebaik-baiknya, untuk melemparkannya ke dalam rawa-rawa.

Ketika Kebo Sindet meloncat maju, maka dibidikkannya sebutir batunya ke arah iblis itu.

Tetapi apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu ternyata sangat tergesa-gesa. Sebab Kebo Sindet yang mengetahui, apa yang sedang diperbuat oleh Mahisa Agni itu segera berusaha membuat tekanan-tekanan yang semakin ketat.

Namun kali ini Mahisa Agni sempat melepaskan batunya meskipun hanya dengan sebagian kecil dari kemampuannya karena ia tidak sempat menunggu lebih lama lagi.

Meskipun demikian batu yang mengarah ke pelipis Kebo Sindet itu telah menghentikan gerakan iblis dari Kemudungan itu. Sambil menggeram Kebo Sindet memukul batu itu dengan senjatanya, dengan ikat pinggang kulitnya, sehingga batu itu terpelanting jauh-jauh ke dalam rawa-rawa tanpa menyentuh sehelai bulunya pun.

Tetapi memang itulah yang diharapkan oleh Mahisa Agni. Ia memang sudah memperhitungkan bahwa batu itu tidak akan menyentuh lawannya. Tetapi dengan demikian Mahisa Agnilah yang kini mendapat waktu meskipun hanya sekejap. Maka yang sekejap itu dipergunakan baik-baik.

Ketika Kebo Sindet sudah siap untuk menyerang lawannya lagi, maka kini ia telah melihat Mahisa Agni berdiri tegak di atas sepasang kakinya dengan kokohnya, seolah-olah kakinya itu berakar masuk ke dalam bumi. Wajahnya yang menyala menjadi semakin tegang. Sepasang matanya menyorotkan api kemarahan yang tiada taranya.

Kebo Sindet tertegun melihat sikap itu. Selama ini hanya melihat Mahisa Agni yang ketakutan seperti seekor tikus yang melihat kucing. Tetapi kini ia melihat Mahisa Agni benar-benar seperti banteng ketaton. Tabah tangguh menghadapi setiap bahaya yang mengancamnya.

Tetapi Kebo Sindet juga bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak. Ia adalah iblis yang paling mengerikan diseluruh tanah Tumapel. Karena itu, maka betapapun Mahisa Agni telah membuatnya keheranan, namun ia sudah bertekad untuk membunuhnya, melemparkannya ke dalam rawa-rawa untuk menjadi santapan buaya-buaya kerdil yang sangat rakus. Apalagi dari tubuh Mahisa Agni telah menetes darah.

Perlahan-lahan Kebo Sindet itu melangkah maju semakin dekat. Ikat pinggangnya masih berputar menamengi dirinya. Ia tahu benar bahwa Mahisa Agni pasti akan membidiknya dan melemparnya dengan batu yang digenggamnya. Tetapi Kebo Sindet pun yakin, bahwa ia pasti akan berhasil memukul batu itu seperti batu yang pertama.

Meskipun Kebo Sindet melangkah maju, tetapi kini Mahisa Agni tidak melangkah surut. Ia berdiri tegak ditempatnya. Dibiarkannya Kebo Sindet menjadi semakin dekat.

Ketika Kebo Sindet itu sudah berdiri beberapa langkah saja dihadapannya, maka ia mulai mengangkat tangannya. Perlahan-lahan. Kini dikerahkannya, segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir baginya untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan berikutnya, karena iapun sadar, bahwa Kebo Sindet pasti akan dapat menangkis serangannya dengan batu itu. Kalau kali ini ia gagal, maka ia akan benar-benar didorong masuk ke dalam sarang buaya kerdil itu.

Melihat sikap Mahisa Agni, maka Kebo Sindet menghentikan langkahnya. Iapun kini bersiap untuk menangkis serangan Mahisa Agni. Diputarnya ikat pinggangnya semakin cepat sehingga tidak ada lubang seujung jarum pun yang akan dapat disusupi apalagi oleh batu Mahisa Agni yang sebesar telur itu.

Tetapi Mahisa Agni tidak terpengaruh karenanya. Sesaat kemudian ia membidik kening lawannya. Perlaban-lahan kaki kirinya bergerak maju. Dan bersamaan itu, maka batu yang ada di tangannya itu pun meluncur dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata.

Bagaimanapun juga, maka terasa desir di dada Kebo Sindet. Sebelum ia menyentuh batu itu dengan ikat pinggangnya, ia ternyata dikejutkan oleh lontaran yang dilambari dengan kekuatan yang dahsyat, yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Kebo Sindet.

Itulah sebabnya maka Kebo Sindet tidak dapat sekedar menangkisnya. Iapun harus mengerahkan segenap tenaganya dan memusatkan segenap kemampuannya untuk dapat memukul batu yang meluncur seperti tatit itu.

Tetapi Kebo Sindet yang menyimpan pengalaman yang terlampau banyak di dalam dirinya itu, segera mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia tidak akan dapat melawan batu itu dengan putaran ikat pinggangnya karena kesempatannya untuk mengerahkan tenaganya tidak cukup banyak. Tetapi, ia tidak kehilangan cara untuk menghindarinya. Dengan lincahnya ia meloncat setapak ke samping. Diusahakannya memukul batu itu sekedar untuk membelokkan arahnya, supaya tidak menyentuh tubuhnya.

Meskipun dengan dada yang berdebar-debar, tetapi ternyata usaha Kebo Sindet itu berhasil. Ia berhasil memukul batu yang menyambarnya itu sambil menghindar setapak ke samping. Meskipun sedikit namun batu itu memang berbelok arah dan sama sekali tidak menyentuhnya.

Namun dengan demikian, karena Kebo Sindet itu tidak mendapat waktu untuk mengerahkan segenap kemampuannya maka terasa tangannya bergetar. Cambuk kulitnya itu hampir-hampir lepas dari tangannya. Namun, meskipun ia berhasil menahan pangkal ikat pinggangnya, tetapi ujung ikat pinggangnya itu rantas karena sentuhan batu Mahisa Agni yang dilemparkan dengan sekuat tenaganya.

Mengalami peristiwa itu, Kebo Sindet menggeram keras-keras. Kemarahannya seakan-akan meluap lewat ubun-ubunnya. Dengan cepatnya ia berusaha memperbaiki keadaannya dan melemparkan ikat pinggangnya yang sudah rantas itu ke tanah. Sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai golok yang besar. Golok yang hampir tidak pernah terpisah dari tubuhnya.

Mahisa Agni memang sudah memperhitungkan apa yang terjadi itu. la memang tidak akan berhasil menjatuhkan lawannya hanya dengan dua butir batu, seperti yang kemudian ternyata terjadi. Kebo Sindet sama sekali tidak terluka. Bahkan kini ia telah mengganti senjata daruratnya dengan goloknya yang besar. Golok yang baru saja kering dari darah korban-korbannya, kawan-kawan juru taman yang bodoh yang mencoba menjebaknya.....

Tetapi ketika ia menyadari kedudukannya dan kedudukan lawannya, maka Kebo Sindet itu menggeram. Kemarahannya sudah tidak dapat ditampungnya lagi di dalam hatinya, sehingga sejenak kemudian terdengar ia berteriak nyaring untuk mengurangi kepepatan dadanya, “Kau licik setan kecil. Kau licik seperti demit.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia telah berhasil mempergunakan kesempatannya yang terakhir untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan berikutnya yang masih harus diperjuangkan.

Pada saat-saat Kebo Sindet sibuk menghindarkan diri dari sambaran batu Mahisa Agni, pada saat tangannya digetarkan oleh benturan dua kekuatan yang dahsyat, pada saat ia dikejutkan oleh ujung ikat pinggang yang rantas, pada saat itulah Mahisa Agni segera mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Saat yang hanya sekejap itu digunakannya untuk melenting, menjauhi Kebo. Sindet dan kemudian menempatkan dirinya pada arah yang berlawanan dengan arah rawa-rawa yang gembur berlumpur.

Kalau semula ia telah berdiri beberapa langkah saja dari bibir rawa-rawa itu, bahkan kakinya telah menginjak bagian-bagian yang mulai gembur dan lembab basah, maka kini ia telah agak jauh dari padanya. Lebih dari pada itu, ia berdiri berseberangan dengan tanah lumpur yang dapat menyeretnya kemulut-mulut buaya-buaya kerdil.

“Kau licik” ia masih mendengar Kebo Sindet berteriak-teriak, “kau licik melampaui Jajar yang gila itu. Karena itu pun maka kematianmu harus lebih pedih lagi dari Jajar itu.”

Mahisa Agni sama sekali tidak menyahut. Tetapi kesempatan yang lebih baik yang telah terbuka baginya, membuat ketenangannya menjadi semakin mantap.

Namun dengan demikian, Mahisa Agni sempat menyadari kesalahannya. Seperti pesan gurunya, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa dan memperhitungkan setiap kemungkinan masak-masak dalam menghadapi iblis dari Kemundungan ini. Ini ternyata ia tidak melakukannya dengan baik. Nafsunya yang tidak tertahankan lagi, telah membuatnya tergesa-gesa dan kurang berhati-hati. Kini ia kalah selapis dari lawannya, justru karena lawannya bersenjata.

“Aku kurang memperhitungkan keadaan itu” desisnya di dalam hati, “aku tidak menyiapkan diri dengan baik. Sekarang, akibatnya dari kelengahan itu terasa sekali.

Tanpa disengajanya Mahisa Agni meraba pundaknya yang terluka. Ketika ia memandangi telapak tangannya, maka tangannya itu seakan-akan sedang membara. Merah.

Dada anak muda itu berdesir. Ternyata darah yang merah, yang mewarnai tangannya itu membuatnya semakin menyala dibakar oleh gairah perjuangannya.

“Aku harus melepaskan diri dari tangan iblis ini” Mahisa Agni menggeram di dalam hatinya “Lebih daripada itu aku harus melenyapkannya demi kepentingan bebrayan pada umumnya di Tumapel.”

Tiba-tiba Mahisa Agni itupun menggeram. Ditatapnya Kebo Sindet seutuhnya tanpa berkedip. Dari ubun-ubun sampai keujung kakinya. Tubuhnya yang kekar, wajahnya yang beku, matanya yang menyala dan sepasang tangannya yang kokoh kuat, seperti tangan orang hutan, apalagi tangan itu kini menggenggam golok, senjata yang selama ini telah dipergunakannya untuk mengisap darah beratus-ratus orang.

Tetapi orang ini harus dibinasakannya. Tidak ada pilihan la in. Tidak ada cara lain daripada itu.

Tetapi, Mahisa Agni masih tetap dalam kesadarannya. Ia tidak dapat menuruti hawa nafsunya dan berbuat tanpa perhitungan. Sekali matanya membentur kilatan pantulan sinar dari batang golok Kebo Sindet yang masih kemerah-merahan.

“Mahisa Agni” terdengar Kebo Sindet itu menggeram “apapun yang kau lakukan, tetapi kau pasti akan menjadi santapan buaya-buaya kerdil itu. Tempat ini dikelilingi oleh rawa-rawa disegala arah. Arah manapun yang kau pilih, maka kau akan terperosok masuk ke dalamnya. Arah yang sekarang ini pun akan mengantarkanmu ke dalam mulut buaya itu. Cepat atau lambat. Apalagi aku tidak mempergunakan ikat pinggang kulit itu lagi. Tetapi aku mempergunakan senjataku yang sebenarnya. Nah, bersiaplah untuk mati dengan cara yang paling tidak menyenangkan.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi mulutnya sajalah yang gemeretak. Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Kebo Sindet itu benar. Kemanapun ia pergi, ia akan mengarah ke bibir rawa-rawa. Tetapi arahnya kali ini adalah panjang, sebelum ia sampai kepada tanah gembur. Ia akan dapat mempergunakan setiap kesempatan yang terbuka untuk mendapatkan senjata. Sulur-sulur kaju atau cabang-cabang pepohonan. Kalau perlu batu-batuan atau gumpalan-gumpalan padas. Baginya memang tidak ada pilihan lain lagi daripada mempergunakan senjata apa saja yang diketemukan. Dan kedua orang-orang tua yang mengasuhnya di saat-saat terakhir telah menunjukkannya pula kepadanya, bagaimana ia harus mempergunakan segala macam benda untuk senjata.

Mahisa Agni kemudian melihat Kebo Sindet itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Golok ditangannya telah digerak-gerakannya mendatar.

Mau tidak mau dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar pula. Yang ditangan Kebo Sindet kali ini bukan sekedar ikat pinggang kulit. Tetapi sebatang golok baja yang besar dan tajam. Meskipun seandainya tajam golok itu tidak menyamai pisau dapur sekalipun, bahkan punggungnya sama sekali, namun yang ajunan tangan Kebo Sindet akan cukup kuat untuk mematahkan seluruh tulang-tulang iganya sekaligus.

Kini, ujung golok itu telah diangkat setinggi dada Mahisa Agni. Golok yang terjulur itu semakin lama menjadi semakin dekat kepadanya.

Tanpa disengajanya Mahisa Agni menebarkan pandangan matanya di sekitarnya, mumpung Kebo Sindet masih belum dekat benar. Kalau-kalau ia menemukan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk melawan golok iblis dari Kemundungan itu.

Mahisa Agni menghentakkan giginya, ketika ia mendengar suara Kebo Sindet “Kau tidak akan menemukan sesuatu, Agni. Kau takkan mendapat kesempatan untuk menemukan Senjata.”

Memang di sekitar Mahisa Agni berdiri, tidak ada sesuatu yang mungkin akan dapat dipergunakan untuk senjata. Tetapi ia tidak akan terpancang di tempat itu. Ia akan berkisar ke tempat yang memungkinkannya. Mahisa Agni sadar, bahwa Kebo Sindet pasti akan berusaha untuk menguasainya dan mendorong seorang yang dikehendaki. Tetapi arena kini menjadi lebih lapang bagi Mahisa Agni. Kesempatan untuk bergeser dan berkisar semakin luas.

“Tetapi apakah aku hanya akan sekedar berkisar dan bergeser saja tanpa berlawanan yang berarti?” desisnya di dalam hati.

Sementara itu Kebo Sindet sudah menjadi semakin dekat. Matanya yang merah menyala seperti soga, menyorotkan kemarahan yang tidak terkira. Sejenak iblis dari Kemundungan itu berhenti, namun matanya memandang Mahisa Agni dengan tanpa berkedip.

Mahisa Agni sadar, bahwa segera ia akan dilibat oleh serangan-serangan senjata yang mengerikan di tangan iblis yang mengerikan pula.

Perhitungan Mahisa Agni itu ternyata benar-benar terjadi. Sesaat kemudian dengan teriakan yang memekakkan telinga, Kebo Sindet meloncat menyerang Mahisa Agni. Pedangnya terjulur lurus, namun kemudian bergerak mendatar.

Serangan itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Kebo Sindet ternyata telah benar-benar sampai ke puncak usahanya untuk mengalahkan dan melumpuhkan lawannya, sebelum diseretnya dan dilemparkannya ke mulut binatang-binatang air yang buas.

Dengan sepenuh tenaga pula Mahisa Agni berusaha menghindarkan dirinya. Ia tidak boleh lengah, sehingga ujung senjata itu melukai kulitnya seperti ikat pinggang kulit itu. Kalau kali ini golok itu menyentuhnya, maka bukan sekedar kulitnya yang terkelupas, tetapi dagingnya pun akan robek pula karenanya. Bahkan mungkin urat atau otot bebayunya akan terputus.

Saat-saat selanjutnya adalah saat yang menegangkan. Kebo Sindet yang marah itu menyambar-nyambar seperti seekor alap-alap dengan kukunya yang dahsyat, melibat dari segenap arah. Sedang Mahisa Agni hanya dapat berusaha menghindar dan menghindar terus. Ia masih belum metnpunyai kesempatan untuk menyerang lawannya karena keseimbangan diantara mereka masih terganggu oleh golok Kebo Sindet.

Setiap kali Mahisa Agni bergeser menjauhi rawa-rawa itu supaya Kebo Sindet pada suatu saat tidak menemukan kesempatan seperti yang pernah terjadi, mendesaknya ketepi. Seandainya demikian yang dikehendakinya, mendesaknya ketepi yang lain, maka pasti masih akan diperlukan waktu yang panjang, sehingga kesempatan-kesempatan yang tidak terduga mungkin akan datang.

Namun semakin dahsyat serangan-serangan yang datang dari Kebo Sindet, maka kemungkinan Mahisa Agni untuk mendapat senjata menjadi semakin tipis. Ia semakin terdesak ke dalam keadaan yang sulit.

Tetapi Mahisa Agni cukup lincah mempergunakan loncatan-loncatan panjang untuk mengatur jarak yang dikehendakinya dari lawannya, supaya ia tidak ditelan oleh putaran golok Kebo Sindet. Dan cara Mahisa Agni itu ternyata menjengkelkan sekali bagi Kebo Sindet, sehingga ia berteriak, “Kenapa kau tidak lari saja menjauh? Pengecut, ternyata kau tidak sedang berkelahi. Kau hanya sekedar berlari-larian dan berloncat-loncatanan. Apakah aku harus melayanimu? Sebaiknya kau lari saja. Tetapi ingat, kemanapun kau lari, kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini sehingga akan datang juga saatnya kau terikat dan terlempar ke mulut binatang-binatang air itu.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi sebenarnya bahwa lari itu pun telah masuk di dalam angan-angannya. Ia memang akan berlari menjauh pada suatu saat apabila diperlukan. Bukan karena takut untuk melakukan perlawanan sampai tarikan nafasnya yang terakhir, bukan pula karena sifat pengecut telah tumbuh di dalam hatinya, tetapi lari akan bermanfaat baginya untuk mendapatkan kesempatan, melakukan perlawanan yang lebih baik. Mahisa Agni memang ingin berlari ke arah sebatang pohon beringin, untuk mengambil beberapa helai sulur yang akan dapat membantunya melawan Kebo Sindet yang seolah-olah telah menjadi gila itu.

Bahkan angan-angan itu menjadi semakin nyata ketika ia menjadi semakin terdesak., “Aku tidak dapat berkelahi dengan cara ini” katanya di dalam hati “Ternyata aku sekarang memang tidak sedang bertempur, tetapi aku sekedar bermain-main dengan nyawaku.”

Mahisa Agni itu pun kemudian membulatkan niatnya. Apapun yang akan dikatakan oleh Kebo Sindet tentang dirinya.

Maka ketika kesempatan itu terbuka, ketika Mahisa Agni herhasil meloncat beberapa langkah menjauh, dipergunakannya kesempatan itu. Dengan serta merta ia berlari meninggalkan Kebo Sindet.

Kebo Sindet justru terkejut melihat lawannya tiba-tiba berlari seperti dikejar hantu, menilik sikap dan perlawanan yang diberikan selama ini, maka Mahisa Agni agaknya akan melawan sampai akhir hayatnya. Tetapi tiba-tiba saja anak itu berlari sipat kuping.

Tetapi ketika ia melihat arah lari Mahisa Agni, segera Kebo Sindet menyadari, bahwa Mabisa Agni tidak akan meniggalkannya. Ia kini dapat menangkap maksud anak muda itu. Mendapatkan sulur-sulur beringin untuk melawannya.

Karena itu maka Kebo Sindet itupun segera meloncat mengejarnya. Ia tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk menemukan keseimbangan di dalam perkelahian itu.

Agak jauh dari arena perkelahian itu, Kuda Sempana berdiri dengan mulut ternganga. Seperti bermimpi ia menyaksikan apa yang telah terjadi. Pada saat permulaan dari perkelahian antara Mahisa Agni dan Kebo Sindet, Kuda Sempana hampir-hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Betapa mungkin ia melihat, Mahisa Agni itu berkelahi melawan Kebo Sindet. Lebih-lebih lagi Kebo Sindet itu memegang senjata ditangannya, sedang Mahisa Agni sama sekali tidak.

Semula Kuda Sempana mencoba menganggap bahwa hal itu terjadi secara kebetulan. Tetapi kebetulan tidak akan terjadi terus menerus, seperti apa yang disaksikannya kemudian.

Belum beberapa lama ia sendiri berkelahi melawan Mahisa Agni. Ia merasa, bahwa kekuatan Mahisa Agni tidak telampau banyak terpaut daripadanya. Bahkan kadang-kadang ia berhasil melemparkan dan bahkan mendorong anak muda itu sehingga jatuh di tanah. Tetapi kini ia melihat Mahisa Agni itu bertempur dengan Kebo Sindet yang seolah-olah dalam keadaan berimbang.

“Apakah Kebo Sindet itu sebenarnya memang tidak terlampau jauh daripada Mahisa Agni dan dari padaku sendiri?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Tetapi ketika ia melihat perkelahian Mahisa Agni dan Kebo Sindet itu selanjutnya, maka katanya di dalam hati “Aku sudah hampir gila, aku sudah tidak dapat mengenal lagi tingkat ilmu seseorang.”

Kuda Sempana itu kemudian melihat pertempuran menjadi semakin seru. Hatinya menjadi ikut berdebar-debar tanpa setahunya sendiri pada saat ia melihat Mahisa Agni terdorong hampir terperosok ke dalam rawa-rawa. Sebab Kuda Sempana tahu isi dari pada rawa-rawa itu. Namun menjadi berlega hati pula, pada saat ia melihat Mahisa Agni berhasil melepaskan dirinya dari kemungkinan yang mengerikan itu.

Sejenak Kuda Sempana kehilangan tanggapan atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Sejak lama ia menyimpan dendam kepada Mahisa Agni. Sejak ia menyadari bahwa Mahisa Agnilah penghalang utama dari setiap usahanya untuk mendapatkan Ken Dedes. Karena itu pulalah ia terdorong semakin jauh ke dalam kegelapan dan bahkan akhirnya ia terjerumus ke dalam sarang iblis ini setelah ia kehilangan hampir segalanya, bahkan dirinya sendiri. Tetapi selain dendamnya yang seakan-akan telah berakar di dalam dadanya, ia melihat pula, bahwa ia hampir tidak dapat memperhitungkan apa yang kira-kira terjadi dengan dirinya, apabila ia tetap berada disarang iblis ini. Ia hampir-hampir tidak dapat lagi mengenal pribadinya. Bahkan ia menjadi acuh tak acuh terhadap semua peristiwa dan persoalan, meskipun itu akan menyangkut dirinya sendiri.

Tetapi, ketika ia melihat Mahisa Agni bangkit untuk melawan Kebo Sindet, timbullah berbagai macam pikiran di dalam dirinya. Mahisa Agni yang disangkanya sudah kehilangan semua watak-wataknya, ternyata pada suatu saat telah menentukan sikap. Bahkan tidak masuk akal bahwa Mahisa Agni itu ternyata mampu melawan Kebo Sindet dalam perkelahian seorang lawan seorang.

Terasa sebuah getaran yang tajam melanda jantungnya, sehingga darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Dalam waktu yang hanya sesaat itu, bergolaklah semua isi dadanya. Tumbuhlah suatu sikap yang selama ini tidak pernah dikenalnya lagi. Harga diri.

“Kenapa aku selama ini membiarkan diriku menjadi alat mati dari Kebo Sindet? Kenapa aku tidak pernah membuat suatu sikap seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni?”

Tetapi sekali lagi dadanya dilanda oleh suatu pertanyaan “Kenapa Mahisa Agni kini mampu melakukan perlawanan itu?”

Teringat pula olehnya, bahwa Mahisa Agni dapat melakukan hampir semua unsur gerak yang khusus dari perguruannya. Bahkan lebih baik dari pada dirinya sendiri.

“Hem”, desahnya “apakah ada setan iblis yang datang dan memberinya petunjuk mengenai ilmu itu? Tidak ada orang kedua yang mampu berbuat serupa itu kecuali guru. Murid-muridnya pasti tidak akan dapat berbuat demikian, menuangkan ilmu sampai tingkat itu meskipun pada dasarnya Mahisa Agni sendiri telah memiliki ilmu yang cukup.”

Pertanyaan itu ternyata telah membuat Kuda Sempana bingung. Seolah-olah telah terjadi suatu keajaiban atas diri Mahisa Agni itu.

Namun kemudian ia harus menahan nafasnya ketika ia memperhatikan perkelahian antara Mahisa Agni dan Kebo Sindet. Kini ia melihat Mahisa Agni itu berlari kencang-kencang meninggalkan lawannya.

Tanpa sesadarnya Kuda Sempana itu menjadi berdebar debar, “Kenapa tiba-tiba saja Mahisa Agni itu lari?” Dan ia menjadi semakin berdebar-debar pula ketika ia melihat Kebo Sindet segera mengejarnya dengan golok terhunus.

Adalah diluar kesadarannya, dan bahkan kemudian menimbulkan keheranan pada dirinya sendiri, apabila tiba-tiba saja Kuda Sempana itu berpihak kepada Mahisa Agni. Di dalam hatinya ia mengharap bahwa Mahisa Agni akan dapat menyelamatkan dirinya. Melepaskan diri dari iblis Kemundungan yang ganas ini.

“Tetapi daerah ini dikelilingi oleh rawa-rawa berlumpur. Apabila Mahisa Agni kehilangan pertimbangan dan mencoba lari masuk ke dalam rawa, maka sudah dapat dipastikan, bahwa ia akan menjadi makanan yang sedap bagi binatang-binatang air itu.

Kuda Sempana menahan nafasnya ketika ia melihat Kebo Sindet itu berteriak sambil mengacu-acukan senjatanya, “He, kau tidak akan dapat lepas lagi tikus yang sombong.”

Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak menyahut, dan sama sekali tidak berpaling. Ia mencoba mempercepat langkah untuk segera sampai pada sebatang pohon beringin yang tumbuh subur dengan ratusan sulur-sulur yang menjutai sampai ketanah.

Kuda Sempana yang sedang berdebar-debar itu, tanpa disengaja pula telah melangkah maju. Bahkan kemudian ia berjalan semakin cepat ke arah kedua orang yang sedang berkejaran. Namun baru beberapa langkah, ia tertegun. Kini ia menyadari apa yang sedang dilakukan oleh Mahisa Agni. Sama sekali bukan sedang melarikan diri.

Ketika Mahisa Agni itu sampai dibawah pohon beringin segera ia meloncat meraih sehelai sulur yang berjuntai dari sebatang dahan yang cukup tinggi. Ternyata Mahisa Agni tidak segera mematahkan sulur itu dengan kekuatannya yang luar biasa yang tersimpan di dalam dirinya, karena Kebo Sindet berada tidak terlampau jauh dari padanya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan dan sebelum siap benar, pedang lawan akan menyentuh tubuhnya.

Itulah sebabnya maka ketika tangannya telah menangkap sulur beringin itu, ia justru meloncat naik semakin tinggi. Seperti seekor tupai Mahisa Agni memanjat keatas dan hinggap pada sebatang dahan yang tinggi. Dari tempatnya ia dapat melihat Kebo Sindet yang berdiri dibawahnya dengan golok terhunus. Kebo Sindet yang berdiri termangu-mangu itu tidak segera mengejarnya dengan memanjat pohon itu pula, karena beberapa keragu-raguan yang mengganggu kepalanya.

“Apakah yang akan dilakukan oleh anak setan itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam dadanya, ketika ternyata Mahisa Agni tidak segera mengambil sehelai sulur untuk senjata.

Tetapi segera Kebo Sindet tahu maksud Mahisa Agni itu. Karena itu maka iapun mengumpat, “Iblis kecil, bagai manapun kau mencoba memilih, tetapi kau tidak akan mendapat senjata yang baik untuk melawan golokku.”

Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak mempedulikannya. Ketika didapatnya sehelai sulur yang sesuai dengan kehendaknya maka segera sulur itu dipatahkannya. Dipotongnya sulur itu sepanjang yang dikehendakinya. Ternyata ia tidak hanya memegang sehelai sulur ditangan kanannya, tetapi ditangan kirinya, Mahisa Agni memegang sepotong dahan kayu untuk merangkapi senjatanya.

“He, cepat turun kau anak setan. Kau sangka aku tidak dapat mengejarmu dan membunuhmu diatas dahan-dahan itu?”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar meloncat ke dahan yang lebih rendah lagi. Ia harus membuat perhitungan sebaik-baiknya sehingga ia tidak terjun keujung golok Kebo Sindet.

Karena itulah maka tanpa disangka-sangka, justru Mahisa Agni itu meloncat ke tanah, di balik pohon tempat Kebo Sindet berdiri. Ia harus memperhitungkan waktu yang hanya sekejap sekalipun, karena lawannya adalah Kebo Sindet.

Kebo Sindet menggeram. Ketika ia melihat Mahisa Agni terjun, segera ia mengejarnya dengan pedang terhunus. Ia harus mempergunakan kesempatan itu sebelum Mahisa Agni tegak benar di atas kedua kakinya. Seperti Mahisa Agni Kebo Sindet pun memperhitungkan waktu yang hanya sekejap sekalipun.

Namun, dengan sulur yang panjangnya hampir dua depa, Mahisa Agni segera melindungi dirinya yang belum berdiri tegak. Kini Mahisa Agnilah yang memutar sulur itu di sekeliling tubuhnya seperti baling-baling.

“Setan kecil yang licik” sekali lagi Kebo Sindet menggeram.

Sulur itu lebih panjang dari goloknya, sehingga dalam keadaan itu, ia tidak segera dapat mendekat.

Dengan marahnya, Kebo Sindet pun kemudian menggerakkan goloknya. Ia yakin bahwa ia akan mampu memotong sulur Mahisa Agni dengan goloknya sehingga senjata lawannya itu akan menjadi semakin pendek.

Tetapi Mahisa Agni telah terlatih mempergunakan segala macam senjata yang diketemukannya. Itulah sebabnya, maka segera ia merubah gerak senjatanya. Kini tidak berputar, tetapi melenting dan kemudian sendal pancing.

Sekali lagi Kebo Sindet mengumpat di dalam hatinya. Sekali lagi ia harus melihat, bahwa Mahisa Agni bukan sekedar seorang anak muda yang sombong dan telah kehilangan pengamatan diri. Kini semakin nyata baginya, bahwa Mahisa Agni benar-benar memiliki kemampuan untuk melawannya.

Sejenak kemudian, di bawah pohon beringin tua yang rimbun itu telah berlangsung perkelahian yang semakin dahsyat. Dengan sepasang senjatanya Mahisa Agni kini mampu memberikan perlawanan yang lebih berarti. Sulur beringinnya berputar, melecut dan mamatuk dari segenap arah. Sedang sepotong kayu di tangan kirinya memberikan tekanan-tekanan yang membuat Kebo Sindet menitikkan keringat di segenap wajah kulitnya.

“Oh, anak setan ini benar-benar mampu melakukan perlawanan itu.” Kebo Sindet berdesis di dalam hatinya, “tetapi siapakah yang telah menuntunnya itu?”

Sejenak kemudian, Kebo Sindet pun harus bekerja mati-matian untuk mempertahankan dirinya. Setiap saat ia tidak dapat lengah. Tubuhnya seakan-akan kini diputari oleh ujung sulur Mahisa Agni, seperti ribuan lebah yang siap untuk menyengatnya dari segenap arah.

Tetapi Kebo Sindet bukan anak kemarin sore yang masih belum hilang pupuk diubun-ubunnya. Kebo Sindet adalah seorang iblis yang dipenuhi oleh pengalaman. Itulah sebabnya maka sejenak kemudian ia telah berhasil menyesuaikan dirinya menghadapi sepasang senjata Mahisa Agni itu. Ia yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan berani berbenturan senjata. Dengan demikian senjata anak muda itu pasti akan terpotong. Itulah sebabnya, maka Kebo Sindet kemudian menjadi lebih garang. Serangannya kini tidak ditekankan pada tusukan-tusukan yang mengarah kebagian-bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi Kebo Sindet mengayun-ayunkan senjatanya mendatar, miring dan bahkan tegak keatas.

Di bawah pohon beringin itu kini benar-benar telah ditegangkan oleh perkelahian yang paling dahsyat yang pernah dilihat oleh Kuda Sempana yang berdiri membeku. Meskipun pengalamannya pun cukup banyak, dan meskipun telah seribu kali disaksikannya perkelahian-perkelahian yang paling seru, tetapi kali ini ia benar-benar terpukau seolah-olah mati kehilangan kesadaran diri. Apalagi yang sedang berkelahi itu adalah Mahisa Agni. Mahisa Agni yang sehari-hari dilihatnya seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan unsur gerak satupun lagi dengan sempurna.

Tetapi, dada Kuda Sempana itu kemudian terguncang ketika ia melihat perkelahian itu. Meskipun ia tidak dapat mengukur dengan pengetahuannya, namun ia merasakan sebuah keseimbangan di dalam perkelahian itu. Tetapi ternyata pengalaman Kebo Sindet masih lebih baik dari Mahisa Agni, apalagi senjata Kebo Sindet pun lebih baik pula. Karena itu, maka ketika Mahisa Agni terlambat menarik senjatanya, sebuah ajunan golok yang mendatar, telah berhasil menyentuh senjatanya itu, sehingga Mahisa Agni terpaksa melontar beberapa langkah surut ketika ia menyadari bahwa sulurnya telah terpotong hampir separo.

Kebo Sindet yang melihat pula bahwa senjata Mahisa Agni telah terpotong dan anak muda itu meloncat surut, sengaja tidak segera mengejarnya. Dibiarkannya Mahisa Agni itu kemudian berdiri termangu-mangu sambil sekali-sekali memandangi ujung sulurnya yang telah terpotong itu.

“Jangan kau sesali anak manis” terdengar suara Kebo Sindet seakan-akan melingkar-lingkar di dalam perutnya, “senjatamu telah terpotong. Tetapi lihatlah, bahwa pada pohon beringin itu masih bergantungan beratus-ratus macam senjata seperti senjatamu itu. Apakah kau akan mengambilnya pula? Meloncat dan hinggap pada dahan yang tinggi untuk mendapat kesempatan memilih sepotong sulur yang paling setua menurut seleramu?”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak.

“Cepat sedikit” berkata Kebo Sindet kemudian “ambillah sulur-sulur yang lain.”

Mahisa Agni masih berdiam diri. Ia tidak akan berbuat begitu bodoh untuk menarik sebuah sulur yang lain. Dengan demikian maka berarti ia telah menyerahkan dirinya untuk dibantai oleh lawannya. Karena itu ia masih tetap tegak di tempatnya. Ia masih cukup kuat untuk melindungi dirinya dengan sulur yang tinggal sepotong itu dan sepotong lagi dahan kayu ditangan kirinya.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya Kebo Sindet “aku beri kau waktu untuk memilih sulur-sulur itu.”

Mahisa Agni yang seakan-akan membeku itu masih membeku.

“Bagus, kalau kau tidak bersedia untuk mengambil senjata yang baru, maka bersedialah untuk mati.”

Mahisa Agni mundur selangkah ketika ia melihat Kebo Sindet mendekatinya dengan golok terjulur lurus kedadanya. Ia harus menjadi semakin berhati-hati. Selanjutnya kini hanya lebih panjang sedikit saja dari senjata lawannya. Sedang sudah pasti bahwa ia tidak akan membenturkan senjatanya itu langsung dengan senjata Kebo Sindet. Dengan demikian ia akan berarti memotong senjatanya lebih pendek lagi.

Sejenak kemudian Kebo Sindet itu telah meloncat menyerbu. Kini ia menjadi kian garang. Mahisa Agni sudah tidak dapat menyerangnya dari jarak yang jauh lebih panjang dari goloknya. Ia kini dapat berdiri lebih dekat, dan bahkan ujung goloknya yang berputaran itu kadang-kadang hampir menyentuh kulit Mahisa Agni.

Tetapi Mahisa Agni itu pun telah bekerja mati-matian. Dengan sepasang senjatanya ia mencoba melawan sekuat-kuat tenaganya. Sehingga dengan demikian perkelahian itu kian menjadi sengit. Keduanya berloncatan, berputaran dan saling mendesak.

Dengan segenap kemampuan yang ada, Mahisa Agni telah mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi pengalamannya yang lebih sempit dari lawannya sering membuatnya terdesak beberapa langkah. Ternyata perkelahian yang sebenarnya mempunyai watak yang berbeda dengan latihan-latihan yang sering dilakukannya dengan gurunya dan Empu Sada. Meskipun kadang-kadang Mahisa Agni harus bertempur melawan kedua orang tua-tua itu, namun keduanya bukanlah lawan yang benar-benar ingin membinasakannya.

Tetapi apa yang dilakukan oleh Kebo Sindet itu jauh berbeda dari pada kedua orang-orang tua itu. Kebo Sindet ternyata benar-benar seperti apa yang dikatakan gurunya. Kasar dan bahkan hampir dapat dikatakan buas.

Itulah sebabnya maka kadang-kadang Mahisa Agni mengalami kesulitan. Kadang-kadang ia benar-benar harus meloncat jauh-jauh untuk mempersiapkan diri dalam perlawanannya yang berikutnya.

Golok Kebo Sindet ternyata terlampau mengerikan. Ayunan yang keras membuat udara berdesing, seakan-akan suara kidung yang melagukan iringan tarian maut. Sedang senjata Mahisa Agni hanyalah sepotong sulur dan sepotong kayu yang terlampau lunak dibandingkan dengan golok baja yang berkilat-kilat itu.

Semakin lama Mahisa Agni menjadi semakin terdesak. Betapa ia bergerak dengan lincah dan tangkas, tetapi senjata Kebo Sindet selalu mengejarnya, tanpa dapat melawan dengan benturan. Yang dapat dilakukan hanyalah menghindar dan menyerang dengan tiba-tiba. Tetapi apabila Kebo Sindet kemudian menangkis dengan goloknya, Mahisa Agni harus dengan tergesa-gesa menarik serangannya.

Keringat Mahisa Agni benar-benar telah hampir terperas tuntas. Tubuhnya menjadi basah dan mengkilat. Debu yang kotor, lumpur yang kehitam-hitaman dan kotoran-kotoran yang lain telah melekat pada tubuhnya yang basah itu.

Perlahan-lahan Kebo Sindet berusaha mendesak Mabisa Agni sekali lagi kearah yang dikehendakinya. Apabila sekali-sekali Mahisa Agni berusaha mengambil arah yang lain, maka Kebo Sindet segera berusaha untuk menahannya dan menguasainya pada arah yang diinginkannya.

“Iblis yang licik” Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya. Tetapi mulutnya tetap terkatup rapat. Tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Namun terdengar giginya bergemeretak.

Kuda Sempana menyaksikan perkelahian itu dengan nafas yang tertahan-tahan. Kadang-kadang ia menjadi cemas melihat Mahisa Agni yang selalu terdesak. Tetapi kadang-kadang ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku tidak berkepentingan dengan keduanya. Apabila salah seorang dari mereka mati, aku tidak akan kehilangan. Bahkan aku seharusnya menjadi bersenang hati karenanya. Baik Mahisa Agni, maupun Kebo Sindet. Keduanya adalah orang-orang yang memuakkan. Mahisa Agni adalah orang yang paling gila, yang telah menjerumuskan aku ke dalam neraka ini. Sedang Kebo Sindet adalah orang yang paling buas yang pernah aku temui dimuka bumi ini.”

Kuda Sempana itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi matanya terbelalak ketika ia melihat sebuah goresan di pundak kiri Mahisa Agni. “Kebo Sindet telah melukainya lagi” desisnya.

Dan sejenak kemudian ia melihat Mahisa Agni menjadi semakin terdesak. Kini sulurnya yang pendek itu sekali lagi terpotong semakin pendek. Hampir tidak berarti lagi dalam perlawanannya atas golok Kebo Sindet yang besar itu. Dengan demikian maka potongan kayunya lah yang kini berpindah ketangan kanannya, dan sulur yang tinggal sepotong pendek itu masih tetap digenggamnya di tangan kiri.

Sekali lagi Kebo Sindet menghentikan serangannya. Sambil mengacung-acungkan goloknya ia berkata lantang, “Ha, lihat Mahisa Agni. Senjatamu menjadi semakin pendek. Sebentar lagi kau akan kehilangan alat untuk mempertahankan dirimu. Kalau senjatamu itu menjadi semakin pendek lagi, maka kemudian tanganmulah yang akan menjadi semakin pendek pula. Sekarang sudah tidak ada jalan kembali buatmu. Aku sama sekali tidak akan mempertimbangkan memberi ampun kepadamu. Yang dapat aku lakukan hanyalah memperingan penderitaan sebelum matimu. Hanya itu. Coba katakanlah bahwa kau menyerah. Kau akan mengurangi penderitaanmu sendiri pada saat-saat terakhir.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram.

“Ayo, berlutut dan katakanlah bahwa kau menyerah.” Mahisa Agni masih mematung.

“Bagus. Jadi kau benar-benar keras kepala. Bukan hanya kau yang akan menderita disaat-saat matimu, tetapi Ken Dedes pun akan menderita dan tersiksa pula. Ia harus tahu apa yang terjadi atasmu di sini.”

Dada Mabisa Agni berdesir. Ternyata kata-kata itu telah menggoreskan kecemasan di dinding hatinya. Apabila benar demikian, maka alangkah tersiksanya adiknya itu.

“Nah, apa katamu?”

Tetapi tidak ada sepercik ingatan pun di kepala Mahisa Agni, bahwa ia akan menyerahkan dirinya untuk dijadikan umpan buaya-buaya kerdil di dalam rawa-rawa itu. Karena itu maka ia masih tetap berdiri tegak ditempatnya dengan sepasarg senjata ditangannya. Sepotong kayu dan sepotong sulur yang telah menjadi terlampau pendek. Sedang dibeberapa tempat darahnya masih juga menitik perlahan-lahan. Namun oleh keringatnya, tampaklah warna merah di pundak dan punggungnya seakan-akan meleleh dari luka yang dalam.

“Kau sudah meneteskan darah.” berkata Kebo Sindet, “semakin banyak kau bergerak, maka darah itu akan menjadi semakin banyak mengalir. Meskipun aku tidak berhasil menusuk dadamu dengan golokku ini, kau pasti akan mati kehabisan darah.”

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia tahu, bahwa lukanya tidak terlampau parah. Luka itu hanya sekedar pada kulitnya yang terkelupas oleh sabetan ikat pinggang kulit dan sebuah goresan yang tidak dalam. Tetapi ia harus memperhitungkannya pula, bahwa lambat laun, luka-luka itu akan benar-benar berpengaruh.

“Bagaimana?” Kebo Sindet bertanya dengan penuh penghinaan “apakah kau tidak bertekuk lutut saja sambil menyembah aku?”

Tak ada jawaban.

“Baik. Baik. Aku akan segera mulai. Kesempatan ini sudah kau lewatkan.”

Setapak Kebo Sindet itu maju. Goloknya terayun-ayun di sisi tubuhnya, namun kemudian golok itu terjulur kedepan, “Sebutlah nama gurumu. Kau akan mati hari ini.”

Belum lagi mulut Kebo Sindet itu terkatub, ia menjadi sangat terkejut. Tanpa diduga-duganya Mahisa Agni yang menjadi semakin muak itu, meloncat dengan kecepatan yang tidak terkirakan, menyerangnya dengan potongan kayunya.

Kebo Sindet yang tidak menyangkanya, sekejap menjadi agak bingung. Namun gerak naluriahnya, telah mendorongnya untuk meloncat menghindar. Mahisa Agni yang dibakar oleh kemarahannya itu segera memburunya, menyerangnya seperti badai. Potongan kayunya terayun deras sekali kearah kepala lawannya.

Tetapi kini Kebo Sindet tidak ingin meloncat menghindar lagi. Ketika ia sudah agak mapan, maka segera ia berusaha untuk menangkis serangan itu dengan goloknya. Ia mengharap dapat mematahkan potongan kayu Mahisa Agni itu.

Namun agaknya Mahisa Agni telah memperhitungkannya. Segera ia menarik serangannya, dan tanpa diduga-duga pula tangan kirinya menyambar lengan Kebo Sindet dengan ujung sulurnya. Terasa oleh Kebo Sindet, senjata lawannya itu mematuknya, dan sebuah goresan merah menyilang pada lengannya.

“Anak setan” Kebo Sindet itu mengumpat keras-keras. Ternyata bahwa ujung sulur Mahisa Agni mampu juga melukai kulitnya meskipun hampir tidak banyak berarti. Tetapi darah Kebo Sindet pun telah meleleh dari lukanya itu pula.

Titik darah itu bagaikan minyak yang menyiram api kemarahan iblis yang ganas itu. Terdengar ia berteriak tinggi. Sebuah serangan yang paling kasar segera dilakukannya sambil memutar goloknya seperti baling-baling. Namun Mahisa Agni pun telah sampai pada puncak kemarahannya. Ia hampir tidak tahan lagi. Ia menjadi muak dan jemu. Tetapi ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya begitu saja. Kebo Sindet pun menjadi jemu pula pada permainan itu sehingga dengan dada yang bergelora ia ingin segera menyelesaikannya.

Ketika perkelaian meningkat semakin seru, maka tampaklah bahwa kedudukan Mahisa Agni menjadi semakin sulit. Senjatanya hampir-hampir tidak berarti lagi. Ia tidak mau langsung membenturkan senjatanya itu melawan golok lawannya. Dengan demikian maka senjatanya akan menjadi semakin pendek lagi. Tetapi betapa ia menggenggarn senjata, namun apabila tidak dapat dipergunakannya, maka senjata itupun sama sekali tidak berarti lagi baginya.

Mahisa Agni itupun kemudian tidak dapat berbuat lain. Desakan lawannya menjadi semakin ketat, sehingga mau tidak mau ia harus sekali-sekali menangkis golok Kebo Sindet. Beberapa kali ia berhasil memukul senjata lawannya itu pada sisinya, namun Kebo Sindet selalu berusaha untuk membentur pada tajam goloknya.

Maka ketika pada suatu saat serangan Kebo Sindet yang tanpa disangka-sangkanya melayang kearahnya, dan kesempatan lain tidak ada lagi baginya, maka dengan terpaksa sekali Mahisa Agni menangkis serangan itu dengan potongan kayunya sambil bergeser setapak kesamping. Akibat dari benturan itu ternyata mengejutkannya pula. Benturan dari kekuatan yang dahsyat akibatnya potongan kayunyalah yang benar-benar terpotong hampir pada pangkalnya. Hanya beberapa nyari saja dari gemgaman tangannya.

Dada Mahisa Agni berdesir melihat senjatanya terpotong sehingga tinggal tidak lebih dari secengkak. Sedang lawannya telah menjadi semakin buas. Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Dilihatnya kini Kebo Sindet berdiri tegak sambil memandangi potongan kayunya yang menjadi terlampau pendek.

Selagi Mahisa Agni masih berdesis menahan nyeri tangannya, terdengar Kebo Sindet itu tiba-tiba tertawa menyeramkan. Suara mengguntur menghantam gerumbul-gerumbul perdu disekitar nya. Seakan-akan sudah mendapatkan suatu keyakinan bahwa sebentar lagi lawannya pasti akan dapat dimusnakan.

Disela-sela suara tertawanya iblis itu berkata, “Ayo, carilah kayu, batu dan apa saja sebanyak-banyaknya. Kau harus tahu, bahwa yang berdiri dihadapanmu sekarang adalah Kebo Sindet.”

Mahisa Agni masih tetap berdiam diri. Ia harus menjadi semakin waspada. Tidak ada waktu sekejappun untuk lengah, sebab dengan demikian, umurnya akan menjadi semakin pendek.

Bukan kematiannya yang sebenarnya dicemaskannya. Tetapi bahwa ia tidak berhasil dalam usahanya membinasakan iblis itulah yang mengecewakannya dan mengecewakan kedua orang-orang tua yang selama ini mengasuhnya, membibingnya, dan meletakkan harapan mereka kepadanya.

Tiba-tiba Mahisa Agni itu menggeram. Betapapun juga ia harus melawan dan membinasakan iblis itu. Tetapi iblis itu berpendirian demikian pula, lawannya itu harus ditangkapnya dan diumpankannya kepada buaya-buaya kerdil selagi ia masih dapat merasakan kengerian yang paling dahsyat.

Sejenak kedua orang itu masih berdiri ditempat masing-masing. Kebo Sindet masih belum beranjak dari tempatnya. Suara tertawanya masih menggema diseputar daerah yang lembab itu. Sekali lagi terdengar ia berkata diantaranya tertawanya “Adalah menyenangkan sekali melihat wajahmu kini Mahisa Agni. Aku memang tidak akan segera mendorongmu ke dalam rawa-rawa itu. Aku senang sekali melihat kau dicengkam oleh ketakutan, kegelisahan, dendam yang tersimpan di dalam hati, kemarahan dan segala macam perasaan yang harus kau telan kembali. Perasaan yang demikian memang sangat menyakitkan hati. Nah, kini nikmatilah siksaan perasaanmu itu sebelum kau merasakan siksaan yang paling ngeri bagi tubuhmu.”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram dan menggeretakkan giginya.

Sementara itu Kuda Sempana pun masih juga berdiri sebagai patung. Ia melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Agni. Senjata anak muda itu sudah tidak berarti lagi baginya.

“Sebentar lagi anak itu akan terlempar ke dalam rawa-rawa” berkata Kuda Sempana di dalam hatinya “dan terbalaslah sebagian dari dendamku? Ia telah menghinakan aku selama ini, sehingga aku terpaksa menempuh jalan yang menyesatkan aku ke daerah ini.”

Tetapi Kuda Sempana tidak berhasil mengelabuhi perasaan sendiri. Betapa ia mencoba membangkitkan perasaan dendamnya yang telah tertimbun oleh berbagai macam peristiwa dan persoalan, namun sebenarnya ia menjadi cemas melihat kenyataan itu. Ia tidak dapat ingkar, bahwa pada saat-saat terakhir ia merasa, bahwa nasibnya pun kelak tidak akan lebih baik dari nasib Mahisa Agni itu. Seandainya Mahisa Agni hari ini terbunuh, maka pada saat berikutnya ia akan menjadi bulan-bulanan yang akan menampung segala macam sifat dan tabiat Kebo Sindet. Kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam sifat dan watak iblisnya.

Kuda Sempana masih berdiri tegak seperti patung. Namun di dalam dirinya terjadi pergolakan yang dahsyat menanggapi keadaan. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa sebenarnya ia ingin agar Mahisa Agni memenangkan perkelahian itu.

“Tetapi akibatnya akan sama saja baginya. Kalau Agni menang maka akupun akan dibunuhnya pula” Kuda Sempana masih mencoba memenangkan hatinya yang sebenarnya telah dicemaskan dan digelisahkan oleh keadaan Mahisa Agni yang semakin terdesak, “biar sajalah Mahisa Agni itu terbunuh dengan cara apapun.”

Namun kemudian jauh di dasar hatinya terdengar suara “Sebenarnya lebih baik Kebo Sindet sajalah yang mati dalam perkelahian itu Mahisa Agni pasti akan jauh lebih baik dari iblis itu. Dalam perkelahian yang dipaksakan oleh Kebo Sindet itupun Mahisa Agni sama sekali tidak bernafsu untuk mencelakaiku.” Lalu ia menggeram di dalam hatinya “Tetapi apakah yang dapat aku lakukan? Aku sama sekali pasti tidak akan berarti apa-apa apabila aku ikut dalam perkelahian itu. Sebuah sentuhan tangan atau kaki Kebo Sindet pasti telah dapat membunuhku kalau dikehendakinya.”

Kuda Sempana itu kemudian berdiri saja termangu-mangu. Ia masih mendengar suara tertawa Kebo Sindet. Tetapi suara itu semakin lama menjadi semakin menurun.

Kalau suara tertawa itu berhenti, maka akan sampailah saatnya Mahisa Agni terdorong ke dalam mulut buaya-buaya kerdil yang rakus itu.

Tiba-tiba Kuda Sempana menjadi ngeri. Terbayang di rongga matanya Mahisa Agni menggelepar dimulut buaya-buaya itu, namun anak muda itu pasti tidak akan dapat melepaskan diri dari gigi-gigi yang mengerikan.

Tanpa dikehendakinya sendiri Kuda Sempana memutar tubuhnya. Lebih baik untuk tidak melihat akhir dari perkelahian itu daripada ia menyiksa perasaan sendiri. Perasaan yang selama ini seolah-olah telah mati dan membeku.

Tetapi tiba-tiba mata Kuda Sempana itu terbelalak. Pada sebuah batu ia melihat pedangnya tersandar. Pedang yang tadi diminta oleh Kebo Sindet pada saat ia dipaksa berkelahi melawan Mahisa Agni. Ternyata pedang itu diletakkan disana.

Dada anak muda itu menjadi berdebar-debar. Pedang itu telah benar-benar menarik perhatiannya. Sesuatu tiba-tiba tumbuh di dalam dadanya.

Tiba-tiba ia berpaling. Suara tertawa Kebo Sindet sudah hampir hilang.”Aku harus berbuat sesuatu” barkata Kuda Sempana itu di dalam dirinya, “Cepat sebelum aku terlambat.”

Kuda Sempana itupun segera berlari ke arah pedangnya yang bersandar pada sebongkah batu. Ia sudah tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi atas dirinya. Apakah yang dilakukannya itu akan menguntungkannya atau justru sebaliknya.

Ketika tangannya kemudian meraih pedang itu, maka ia sudah tidak mendengar lagi mara tertawa Kebo Sindet. Dengan dada yang berdebaran ia berpaling, memandangi mereka yang sedang berhadapan, siap untuk membuat perhitungan terakhir.

Pada saat itu Mahisa Agni berada di dalam puncak ketegangannya. Ia kini telah hampir sampai pada keadaan seperti sebelum ia melepaskan diri untuk berlari kepohon beringin itu. Kini ia telah terdesak lagi ketepi rawa-rawa berlumpur. Sedang ditangan Kebo Sindet kini tergenggam goloknya, bukan sekedar sebuah ikat pinggang kulit.

Mahisa Agni pun menyadari keadaan yang dihadapinya. Kebo Sindet agaknya telah jemu pula pada perkelahian itu, sehingga saat-saat berikutnya adalah saat-saat yang menentukan. Kini Mahisa Agni melihat Kebo Sindet itu telah bersiap pula. Wajahnya menjadi semakin buas dan tatapan matanya yang merah menjadi semakin liar. Wajah itu telah benar-benar berubah menjadi wajah iblis yang paling mengerikan.

Tetapi Mahisa Agni sudah bertekad untuk tidak berputus asa betapapun keadaannya. Ia harus berjuang dengan kemampuan yang setinggi-tingginya.

“Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan yang bagaimanapun juga.”

Mahisa Agni itu kemudian menggeram ketika ia melihat Kebo Sindet maju setapak demi setapak. Dengan sorot mata penuh kebencian, iblis dari Kemundungan itu mendekati lawannya. Goloknya bergetar seperti getar di dadanya.

“Kau tidak akan dapat mengelabui aku lagi setan kecil” terdengar suara Kebo Sindet seakan-akan bergulung di dalam perutnya, “kau tidak akan dapat lari lagi dari tanganku meskipun aku tahu bahwa kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Tetapi kau telah benar-benar menjemukan sehingga kau harus segera mendapat hukumanmu. Disini kau tidak akan mendapat kesempatan untuk mencari senjata apapun juga. Batu pun tidak.”

Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak dengan kaki merenggang. Ketika Kebo Sindet menjadi semakin dekat, maka Mahisa Agni itu pun merendahkan badannya siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

“Apakah kau anggap bahwa sepotong kayu dan sulur ditanganmu itu masih berguna ?” terdengar suara Kebo Sindet penuh hinaan.

Tetapi Mahisa Agni tetap membisu. Hanya matanya sajalah yang menyalakan kemarahan yang membara didadanya.

Pada saat-saat yang demikian itulah terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga sebelumnya. Mereka berdua yang sedang berhadap-hadapan dalam puncak ketegangan itu mendengar langkah seseorang berlari-lari. Betapa mereka terikat dalam saat-saat yang paling berbahaya, namun mereka berpaling juga tanpa meninggalkan kewaspadaan. Yang mereka lihat benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Kuda Sempana lah yang berlari-lari mendekati arena perkelahian itu dengan pedang ditangan. Dan tanpa mereka duga-duga pula, bahkan sama sekali di luar nalar mereka, apalagi Kebo Sindet, apabila Kuda-Sempana itu tiba-tiba saja telah melontarkan pedangnya sambil berkata, “Perkelahian ini sama sekali tidak adil. Nah, Agni, pergunakan pedangku supaya aku dapat melihat pertempuran antara dua orang laki-laki jantan.”

Sejenak mereka berdua menjadi termangu-mangu. Kebo Sindet dan Mahisa Agni terpaku di tempatnya seperti patung yang beku. Hanya mata mereka sajalah yang sejenak hingap pada waljah Kuda Sempana dan sejenak kemudian ke pada pedang yang meluncur ke arena.

Namun sesaat berikutnya keduanya segera menyadari keadaan. Kebo Sindet segera sadar, bahkan Kuda Sempana telah berkhianat kepadanya. Pada saat yang pendek itu, Kebo Sindet telah dilanda oleh kekecewaan yang tiada taranya. Ia tidak berhasil mengawasi Mahisa Agni sehingga tiba-tiba ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ilmu anak itu telah mengimbanginya. Kini Kuda Sempana yang disangkanya menyimpan dendam tiada taranya atas Mahisa Agni itu ternyata justru berkhianat kepadanya. Dugaannya sampai saat terakhir bahwa Kuda Sempana masih berusaha untuk membunuh Mahisa Agni dengan tangannya ternyata jauh dari kebenaran yang dihadapinya kini.

Tetapi keduanya kini dihadapkan pada kenyataan itu. Dan keduanya harus segera memberikan tanggapan yang sewajarnya. Sudah pasti bahwa Kebo Sindet akan berusaha untuk mencegah Mahisa Agni mendapatkan pedang itu, dan sebaliknya Mihisa Agni harus segera menemukan cara untuk menguasainya supaya ia tidak menjadi semakin sulit apabila Kebo Sindet mempergunakan senjata rangkap.

Arah pedang Kula Sempana memang menuju kepada Mahisa Agni. Tetapi dalam saat yang pendek Kebo Sindet telah menemukan sikap, ia harus segera meloncat menyerang supaya Mahisa Agni tidak sempat menerima pedang itu.

Namun Mahisa Agni pun telah mememukan sikap pula untuk menguasai pedang itu. Ia menyadari bahwa Kebo Sindet pasti akan berusaha menghalang-halanginya.

Sejenak kemudian terdengar teriakan nyaring dari mulut iblis Kemundungan itu, dibarengi dengan sebuah serangan yang dahyat. Goloknya terjulur terus ke depan langsung menikam dada Mahisa Agni.....

Tetapi Mahisa Agni telah bersiap pula. Ditangannya masih tergenggam sepotong sulur. Karena itu, maka segera kedua seajatanya yang sudah tidak berarti itu dilemparkannya dengan sekuat tenaganya menyongsong serangan Kebo Sindet. Sepotong mengarah ke dahinya dan sepotong lagi mengarah kedadanya. Untuk memberi tekanan pada serangannya itu Mahisa Agni berteriak pula, “Nah, Kebo Sindet, sepotong sulurku ini harus dapat menghunjam ke dalam matamu dan sepotong kayu ini akan melubangi dadamu.”

Lemparan Mahisa Agni itu benar-benar telah mengejutkan Kebo Sindet. Pada saat ia sedang dibakar oleh nafsunya untuk menyerang, untuk mencegah Mahisa Agni dapat menguasai pedang yang dilemparkan oleh Kuda Sempana, ternyata Mahisa Agni telah menyerangnya pula dengan caranya sendiri.

Dengan demikian maka sejenak Kebo Sindet menjadi gugup. Lemparan Mahisa Agni terlampau keras, cepat dan kuat. Karena itu maka Kebo Sindet harus melawannya dengan segenap kemampuannya pula. Apabila sepotong sulur itu menyentuh matanya, maka sulur itu pasti benar-benar akan menghunjam sampai kepusat kepalanya. Sedang potongan kaju yang dilemparkan ke dadanya, akan dapat meretakkan segenap tulang-tulang iganya.

Tak ada jalan lain bagi Kebo Sindet, dari pada menangkis atau menghindari kedua serangan itu. Tetapi ia tidak mempunyai waktu yang cukup. Karena itu, maka keduanya dilakukan bersama-sama. Dengan pedangnya ia menukul sepotong sulur yang mengarah kedahinya, dan dengan sebuah geseran kecil ia menghindari serangan ke arah dadanya. Ia harus menghemat waktu sebaik-baiknya, supaya ia tidak gagal mencegah usaha Mahisa Agni untuk mendapatkan senjata yang diberikan oleh Kuda Sempana yang mengkhianatinya.

Tetapi perhitungan Mahisa Agni pun ternyata telah matang. Meskipun waktu yang diperlukan oleh Kebo Sindet hanya sekejap, namun tanpa diduga-duga oleh Kebo Sindet, Mahisa Agni mampu meloncat secepat tatit.

Pada saat Mahisa Agni melontarkan dirinya, pedang itu telah jatuh di tanah beberapa langkah dari padanya. Dipergunakannya waktu sebaik-baiknya seperti yang dilakukan oleh Kebo Sindet. Ternyata Mahisa Agni mendapat beberapa keuntungan. Keadaannya lebih baik dari pada lawannya. Pedang itu jatuh lebih dekat kepadanya dari pada Kebo Sindet, dan ia berhasil pula memperlambat usaha lawannya untuk mencegahnya.

Tetapi perbedaan waktu itu tidak lebih dari kejapan mata. Begitu tangan Mahisa Agni menyambar tangkai pedang itu, maka golok Kebo Sindet telah berdesing menyambarnya.

Waktu yang dapat dipergunakan oleh Mahisa Agni terlampau pendek untuk dapat menangkis serangan itu dengan baik. Namun kini tangannya telah menggenggam pedang. Karena itu seakan-akan digerakkan oleh nalurinya, maka tangannya segera terangkat dan menangkis serangan itu dengan pedang yang baru saja dipungutnya.

Terjadilah benturan yang dahsyat. Dua kekuatan telah beradu. Namun agaknya Kebo Sindet lebih banyak mendapat kesempatan untuk mengerahkan tenaga dan kemampuannya, sehingga di dalam benturan itu, terasa tangan Mahisa Agni menjadi terlampau pedih. Hampir saja pedang yang baru dipungutnya itu terlepas dari tangannya. Namun. dengan susah payah ia berhasil mempertahankannya. Meskipun demikian, maka Mahisa Agni merasakannya, bahwa ia tidak akan mampu untuk melawan benturan sekali lagi apabila Kebo Sindet segera menyerangnya.

Karena itu, maka Mahisa Agni segera melontarkan dirinya sejauh-jauhnya dari lawannya.

Meskipun Mahisa Agni sadar, bahwa Kebo Sindet tidak akan memberinya kesempatan, tetapi seandainya ia berada di dalam lontaran loncatannya, ia telah berhasil memperbaiki genggaman pedangnya.

Ternyata perhitungan Mahisa Agni itu benar. Begitu ia menjejakkan kakinya di tanah, maka Kebo Sindet telah mematuk dengan ujung goloknya. Namun Mahisa Agni telah bersedia untuk menghadapinya, meskipun ia masih harus meloncat pula menghindari. Dan loncatannya kali ini menjadi semakin panjang, semakin jauh dari lawannya. Bahkan tidak hanya dengan satu loncatan, tetapi dua, tiga loncatan.

“Licik” teriak Kebo Sindet sambil mengejarnya.

Namun pada saatnya Mahisa Agni telah menemukan keseimbangan yang mantap untuk melakukan perlawanan.

Sejenak ia mendapat kesempatan untuk menilai diri. Kini ia berdiri tegak dengan pedang ditangan. Ia tidak lagi harus berlari-lari untuk mencari senjata yang mungkin dapat dipergunakan. Namun ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan dan menjawab pertanyaan yang tumbuh di dalam hatinya, kenapa tiba-tiba saja Kuda Sempana telah berusaha membantunya. Hanya seleret ia sempat mengingat, bahwa sikap Kuda Sempana memang telah berubah.

Saat-saat seterusnya Mahisa Agni sudah tenggelam lagi di dalam perlawanannya atas Kebo Sindet yang menyerangnya seperti banjir menghantam tebing.

Namun kini Mahisa Agni merasa telah mendapat kesempatan untuk benar-benar melakukan perlawanan. Ia akan mendapat kesempatan untuk benar-benar berkelahi melawan Kebo Sindet. Ia tidak hanya sekedar harus menghindar dan berlari-larian.

“Saat ini akbirnya datang juga” katanya di dalam hati, “sekarang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menutupi segala kemungkinan yang akan menjadi kenyataan, di dalam segala keadaan. Seandainya aku kalah, maka aku memang masih belum mampu menyusul kemampuan Kebo Sindet. Akibat dari kekalahan itu adalah kegagalan mutlak. Kekalahan itu adalah benar-benar kekalahan, yang tidak dapat dicari-cari sebabnya lagi.”

Tetapi apabila benar-benar ia telah memiliki ilmu yang cukup seimbang dengan Kebo Sindet, maka kesempatan itu telah datang. Dan Mahisa Agni benar-benar akan menilai dirinya sendiri.

Dalam perkelahian yang semakin sengit itulah kemudian Mahisa Agni menyadari keadaan dirinya. Pada saat-saat yang merampas segenap perhatiannya untuk mendapatkan pedang Kuda Sempana, serta dalam usahanya untuk memperbaiki keadaannya, sehingga ia terpaksa berloncat-loncatan, ia sama sekali tidak dapat lagi mempertimbangkan kemana ia harus memilih arah. Kini, ketika perkelahian menjadi semakin sengit, baru terasa olehnya, bahwa kakinya telah berjejak diatas tanah yang sudah mulai gembur. Ia telah berada beberapa langkah saja dari bibir rawa-rawa.

Namun demikian, hati Mahisa Agni kini menjadi semakin tatag. Di tangannya kini tergenggam sehelai pedang yang akan dapat melawan golok Kebo Sindet yang garang itu.

Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang sebenarnya merupakan perkelahian yang dahsyat. Dengan pedang di tangan Mahisa Agni mencoba menunjukkan kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan yang tumurun dari gurunya dan dari Empu Sada, guru Kuda Sempana yang berusaha untuk sedikit mengurangi kesalahan yang pernah dibuatnya. Lebih dari pada itu, Kebo Sindet telah menanamkan sakit hati yang tiada taranya di dalam hatinya, sehingga Empu Sada itu pun kemudian sampai pula pada kesimpulan, bahwa seharusnyalah memang orang-orang semacam Kebo Sindet itu dimusnahkan.

Ternyata dengan pedang di tangan Mahisa Agni tidak mengecewakan. Tandangnya semakin mantap dan kuat. Meskipun darahnya masih juga menitik dari luka-luka ditubuhnya, namun justru telah membuatnya seperti banteng yang terluka.

Kebo Sindet pun menjadi semakin waringuten. Tata geraknya menjadi semakin liar dan buas. Matanya menyala seperti api dalam ketegangan wajahnya yang kasar dan ganas.

Golok Kebo Sindet menyambar-nyambar seperti burung alap-alap di udara. Cepat dan garang. Dan kemudian mematuk seperti seribu ular bandotan dari segala arah.

Tetapi pedang Mahisa Agni telah mampu menamengi dirinya. Tidak seujung jarum pun dapat ditembus oleh serangan lawan. Ilmu pedang yang diterimanya dari gurunya dan dari Empu Sada, telah benar-benar menempatkannya pada keadaan yang lebih baik. Pedang yang diterimanya dari Kuda Sempana itu terayun-ayun seperti lesus yang melibat lawannya dalam pusaran yang membingungkan.

Sekali-kali terdengar Kebo Sindet mengumpat keras-keras. Ia berhadapan dengan seorang anak muda yang benar-benar tangguh. Ilmu yang dipergunakan oleh Mahisa Agni ternyata sebagian dapat dikenal oleh lawannya. Ilmu dalam tingkat tertinggi dari perguruan Mahisa Agni itu sendiri. Bahkan kadang-kadang Kebo Sindet telah dibingungkan oleh tata gerak yang aneh, yang mencerminkan perpaduan dari kedua cabang perguruan itu.

“Gila” teriaknya, “kedua setan itu bergabung dalam dirimu.” Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi, ia kagum juga atas pengamatan lawannya yang dapat menebaknya dengan tepat apa yang telah terjadi atas dirinya.

“He, Mahisa Agni” teriak Kebo Sindet pula “apakah kedua setan tua itu pernah menemuimu?”

Mahisa Agni sama sekali tidak berhasrat untuk menjawab. Ia justru memperketat serangannya. Pedangnya menyambar-nyambar seperti tatit diudara.

“Setan kecil” Kebo Sindet mengumpat pula. Kemarahannya yang meluap-luap telah membuatnya semakin buas.

Perkelahian itu ternyata merupakan perkelahian yang terlampau dahsyat. Perkelahian yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Kuda Sempana. Meskipun Kuda Sempana sendiri telah mendapat lambaran yang cukup, tetapi ketika ia dihadapkan pada puncak ilmu itu, ia hanya dapat berdiri saja memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Ia hampir-hampir tidak dapat mengenal sama sekali, apakah yang sedang disaksikannya itu. Gerak yang terlampau cepat, keras dan kadang-kadang membingungkan. Putaran-putaran senjata dan benturan-benturan yang terjadi membuatnya menjadi pening.

Hatinya berdesir tajam apabila ia mendengar dentang kedua senjata itu beradu. Benturan antara golok Kebo Sindet dan pedang di tangan Mahisa Agni kadang-kadang telah melemparkan bunga-bunga api yang memercik diudara. Benturan antara dua kekuatan raksasa yang sedang diamuk oleh kemarahan di dalam hati masing-masing.

Tetapi perkelahian itu tidak bergeser dari tanah yang lembab, bahkan telah menjadi agak gembur itu. Hanya beberapa langkah saja mereka akan terdorong ke dalam air yang keruh, yang di dalamnya bersarang berbagai macam binatang-binatang air yang buas dan rakus.

Ternyata Kebo Sindet masih tetap berusaha untuk menekan Mahisa Agni, dan mendorongnya ke dalam rawa-rawa itu. Tetapi kini usahanya tidak lagi dapat dilakukannya dengan mudah seperti pada saat Mahisa Agni belum bersenjata. Kini ternyata kekuatan mereka banar-benar menjadi seimbang.

Bukan Mahisa Agni lah yang selalu dapat didesak oleh lawannya tetapi mereka seakan-akan mendapat kesempatan yang sama untuk mendorong lawannya. Kadang-kadang Mahisa Agni berada dalam keadaan yang sulit dan berdiri pada arah rawa-rawa itu. Seakan-akan Kebo Sindet tinggal mendesaknya beberapa langkah, kemudian mendorongnya masuk ke dalam air yang keruh itu. Tetapi tiba kesempatan itupun bergeser. Mahisa Agni berhasil menekan lawannya sehingga Kebo Sindet terpaksa mengumpat keras-keras.

Kedua orang yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar dari orang-orang kebanyakan. Tenaga mereka dalam cak-cakan ilmu yang hampir sempurna, benar-benar merupakan kekuatan-kekuatan yang dahsyat. Dan kedua kekuatan yang dahsyat itu kini sedang beradu dengan dahsyatnya pula.

Ketika matahari menjadi semakin jauh melampaui puncak langit, maka keringat mereka yang sedang berkelahi itu seakan-akan telah terperas sehingga tuntas. Tubuh-tubuh mereka yang basah dan kotor menjadi mengkilap seperti tembaga.

Namun kini tubuh-tubuh mereka telah mulai diwarnai oleh warna darah masing-masing. Sekali-kali mereka tidak berhasil menangkis dan menghindari serangan lawan yang membadai, sehingga ujung-ujung senjata itu telah berhasil menyentuh kulit mereka. Mereka menggeram dan kadang-kadang berdesis pendek, apabila terasa kulit mereka tergores oleh tajamnya senjata.

Tetapi kedahsyatan mereka tidak menjadi cair. Mereka masih tetap dalam tingkat yang hampir sempurna. Meskipun tata gerak mereka mempunyai watak yang berbeda. Mahisa Agni yang sudah dapat pesan dari kedua orang-orang tua yang menuntunnya, tidak dapat dikejutkan oleh tata gerak lawannya yang kasar dan buas, yang kadang-kadang hampir tidak terduga-duga.

Demikianlah, maka perkelahian itu menjadi semakin dahsyat, Kuda Sempana sudah tidak mampu lagi menilai apakah yang sebenarnya terjadi atas kedua orang yang sedang bertempur itu, sehingga ia masih saja berdiri mematung dengan dada yang berdebaran. Namun sebenarnyalah bahwa ia telah melibatkan diri dalam perkelahian itu pada saat ia melontarkan pedangnya, sehingga meskipun ia masih tetap berdiri di tempatnya, tetapi sebenarnya ia memang telah berpihak.

Dengan demikian maka dengan harap-harap cemas ia menyaksikan pertempuran itu. Ia ingin melihat Mahisa Agni memenangkan perkelahian itu. Kalau Mahisa Agni kemudian ternyata dapat dikalahkan, maka nasibnya pun akan tergantung di ujung jari Kebo Sindet pula. Disadarinya bahwa yang akan terjadi atasnya adalah suatu peristiwa yang pasti belum pernah dilihatnya.

Dada Mahisa Agni itu berdesir ketika langit yang cerah menjadi semakin lama semakm suram. Awan yang hitam mengalir dari ujung langit. menebar semakin luas. Sekali-kali dikejauhan terdengar guruh meledak dan tatit menyambar-nyambar.

Sejenak ingatan Mahisa Agni lari ke Padang Karautan. Namun sejenak kemudian ia berhasil mengekang dirinya. Katanya di dalam hati “Biarlah apa yang terjadi di Padang Karautan. Mudah-mudahan Ken Arok dapat mengatasinya. Yang penting bagiku sekarang adalah keluar dari neraka iblis ini.”

Dengan demikian maka Mahisa Agni segera menemukan kemantapannya kembali, ia ternyata telah berhasil menyingkirkan segala persoalan yang lain, kecuali melenyapkan iblis dari Kemundungan ini.

Ketika mereka berdua tenggelam semakin dalam di arena pertempuran itu, maka para prajurit Tumapel di Padang Karautan dan orang-orang Panawijen sedang di cemaskan oleh mendung yang semakin menebal di arah ujung sungai. Ken Arok yang memimpin pembuatan bendungan itu menjadi berdebar-debar. Seandainya pada saat itu banjir datang, apakah bendungannya sudah dapat menahannya?

Kesibukan Ken Arok sejak semalam menjadi kian meningkat. Sejak kehadiran Akuwu Tunggul Ametung yang sedang berusaha untuk mencari Mahisa Agni.

Hari ini seharusnya mereka akan berangkat ke Kemundungan. Tetapi awan yang hitam di langit telah meragukan Ken Arok. Apabila banjir datang, dan ia tidak ada di padang ini menunggui bendungan yang sudah hampir siap itu, maka hatinya pasti tidak akan dapat menjadi tenang.

“Tuanku” berkata Ken Arok, “apakah perjalanan ini dapat ditunda?”

“Taruhannya adalah nyawa Mahisa Agni” sahut Akuwu Tunggul Ametung. “Sehari akan sangat berarti bagi Kebo Sindet. Keterlambatan yang sehari itu akan dapat membuat kita menyesal.”

Ken Arok menjadi ragu-ragu. Kedua-duanya teramat penting baginya. Ia berminat sekali untuk berusaha melepaskan Mahisa Agni. Ia melihat bagaimana Mahisa Agni itu hilang, sehingga ia akan mendapat kepuasan apabila ia dapat turut menemukannya. Tetapi bendungan ini terasa memberatinya untuk meninggalkan Padang Karautan. Seolah-olah ia mendapat kepercayaan sepenuhnya justru dari Mahisa Agni, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulainya. Seandainya langit masih selalu bersih, ia akan dengan tenang ikut di dalam rombongan Akuwu Tunggul Ametung. mencari Mahisa Agni, langsung di sarang iblis dari Kemundungan itu.

Dalam keragu-raguan itu terdengar Ken Arok berdesis, “Tetapi bendungan ini? Seandainya hamba tidak dicemaskan oleh banjir, maka hamba sama sekali tidak berkeberatan untuk meninggalkannya.”

Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keberatan Ken Arok untuk meninggalkan bendungan itu. Karena itu maka katanya, “Nanti, aku akan mengambil keputusan setelah senja. Aku menunda perjalananku sampai sore. Apabila memungkinkan kau dapat ikut. Kalau tidak. aku akan pergi dengan pasukan kecil ini. Aku merasa cukup kuat. Meskipun seandainya Kebo Sindet mempunyai pasukan segelar sepapan.”

Sambil menunggu sampai senja, Akuwu berkesempatan untuk melihat petamanan yang telah disiapkan oleh Ken Arok. Sehingga Akuwu sendiri kemudian menjadi ragu-ragu. Apakah kehadirannya di Padang Karautan itu karena ia memerlukan sekali membawa Ken Arok serta, ataukah sekedar ingin melihat sendiri, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh prajurit-prajuritnya di padang yang luas itu.

Ternyata Akuwu Tunggul Ametung mengagumi apa yang telah dilihatnya. Parit-parit yang panjang menjelujur membelah tanah yang kering, kemudian berleret-leret seolah-olah jari-jari yang berpuluh-puluh jumlahnya menyengkam Padang Karautan dikedua belah sisi sungai. Sedang agak jauh di tengah-tengah, di ujung parit induk, telah menjadi hijau dan segar oleh tanaman-tanaman yang merupakan bagian dari taman yang dikehendakinya. Sebuah telaga buatan yang cukup luas untuk menampung air, yang kemudian disalurkan lewat parit-parit untuk melepaskan sisa-sisa air kembali ke dalam sungai agak jauh di bawah.

“Sebuah perencanaan yang luar biasa” desis Akuwu Tunggul Ametung di dalam hatinya, “gabungan pengetahuan antara Mahisa Agni dibidang pertanian dan kecerdasan serta keprigelan Ken Arok dibidang pelaksanaannya. Ternyata anak itu mempunyai selera yang matang pula dalam pembuatan taman yang indah ini.

Akuwu Tunggul Ametung terkejut ketika ia mendengar guntur yang meledak di langit seolah-olah terlampau dekat diatas kepalanya. Seleret sinar tatit menyala menyilaukan matanya.

Ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit dilihatnya awan menjadi semakin gelap, dan lebih gelap lagi diarah ujung sungai yang membelah Padang Karautan itu.

“Hujan itu telah jatuh di sana” desisnya. Bersama beberapa orang pengawalnya, Akuwu kemudian berjalan kembali ke perkemahan. Ketika ia sampai, maka dilihatnya perkemahan itu terlampau sepi.

“Kemana orang-orang itu?” ia bertanya kepada seorang yang dijumpainya.

Orang itu adalah orang Panawijen yang mendapat tugas untuk menunggu perkemahan mereka dan menyiapkan rangsum bagi orang-orang Panawijen.

Sambil berlutut dan menundukkan kepalanya dalam-dalam ia menjawab, “Ampun tuanku. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sedang pergi ke bendungan.”

“Seluruhnya?” bertanya Akuwu pula “biasanya ada beberapa orang yang tinggal dan beristirahat untuk melakukan pekerjaan di malam hari.”

“Mereka semuanya telah dipanggil pergi ke bendungan itu.”

“Kenapa?”

“Air mulai naik Tuanku. Agaknya hujan di ujung sungai akan menyebabkan banjir.”

Dada Akuwu Tunggul Ametung itu berdesir. Ia tidak tahu benar kekuatan bendungan yang telah ada itu. Tetapi banjir memang sesuatu yang mendebarkan dalam pekerjaan serupa itu. Bukan saja bendungan dan tanah persawahan yang telah dipersiapkan, dan bahkan sebagian telah mulai dikerjakan sambil menunggu air naik, tetapi apabila bendungan itu gagal oleh banjir, maka pertamanan yang sudah mulai tampak asri itupun akan gagal pula.

Karena itu, maka hati Akuwu Tunggul Ametung pun dirayapi pula oleh kecemasan, sehingga dengan serta-merta ia berkata kepada Witantra, “Kita pergi ke bendungan.”

“Marilah Tuanku” jawab Witantra yang selalu siap disamping Akuwu.

Dengan tergesa-gesa Akuwu Tunggul Ametung dan pengawalnya pun segera pergi ke bendungan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dari jauh telah tampak orang-orang yang berkerumun di pinggir sungai. Berjajar-jajar dan bersiap. Agaknya perhatian mereka benar-benar tercurah kepada bendungan mereka yang belum siap benar menghadapi banjir yang pertama.

Di ujung bendungan itu berdiri Ken Arok, Kebo Ijo, Ki Buyut Panawijen dan beberapa orang-orang tua. Tampaklah membayang di wajah-wajah mereka, kecemasan hati. Air sungai itu semakin lama menjadi semakin keruh.

“Hujan menjadi semakin lebat diujung sungai” terdengar Ken Arok bergumam.

Ki Buyut Panawijen menganggukkan kepalanya. Desisnya “Mudah-mudahan banjir tidak menjadi semakin besar.”

“Tetapi kita harus bersiap. Kita harus dapat mengatasi banjir yang betapapun besarnya.”

Kebo Ijo yang tegang, tiba-tiba tertawa pendek. Katanya “Apakah yang dapat kita lakukan sekarang, justru air sudah mulai naik dan deras?”

“Apapun,” desis Ken Arok “kita akan kehilangan segala-galanya. Tanah persawahan dan parit-parit itu akan muspra. Atau kita harus mulai lagi dari permulaan sekali membangun bendungan yang besar ini? Belum lagi kita perhitungkan petamanan yang sudah mulai tampak hijau, justru Akuwu Tunggul Ametung sedang berada di Padang Karautan ini.”

Kebo Ijo itu tersenyum hambar. Katanya perlahan hampir berbisik, “Akuwu Tunggul Ametung adalah suatu gambaran dari orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Perhatiannya sama sekali tidak tertuju kepada bendungan ini, tetapi yang mendapat perhatiannya paling besar adalah petamanan yang dikehendakinya.”

“Ah jangan begitu adi Kebo Ijo. Kalau Akuwu tidak menaruh perhatian atas bendungan ini, maka ia tidak akan mengirimkan aku dan kau kemari bersama pasukan kita masing-masing.”

“Apa kau sangka itu bukan sekedar kepentingan diri? Ia ingin mendapat pujian dari isterinya yang datang dari Panawijan.”

“Ssst” desis Ken Arok, “jangan terlampau keras.”

Kebo Ijo berpaling memandangi wajah Ki Buyut Panawijen. Tetapi, perhatian Ki Buyut seluruhnya tertumpah ke pada bendungan dan air yang semakin keruh.

“Sekarang,” Kebo Ijo meneruskan, “ia datang untuk membawa kita mencari Kebo Sindet. Untuk melepaskan Mahisa Agni. Kau tahu apakah hubungan Mahisa Agni dengan Akuwu? Apakah itu bukan sekedar kepentingan sendiri.”

“Ah, kau terlampau berprasangka.”

Kebo Ijo tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya. Dengan pandangan matanya ia menunjuk kepada rombongan Akuwu Tunggul Ametung yang menjadi semakin dekat, “Akuwu datang kemari.”

“Ya” sahut Ken Arok.

“Kau harus memberi keputusan, apakah kau akan bersedia untuk pergi.”

“Akuwu adalah seorang prajurit. Aku hanya dapat memberi pertimbangan kepada perintah yang aku terima. Tetapi keputusannya ada pada Akuwu. Terserahlah, apakah aku akan diperintahkannya ikut serta, atau aku diperkenankan tinggal.”

“Kalau kau boleh memilih?”

“Aku akan tinggal di sini sampai aku melihat nasib bendungan ini.”

Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata sepatahpun karena Akuwu sudah menjadi semakin dekat, dan bahkan langsung pergi ke ujung bendungan.

Wajahnya tampak berkerut-merut. Air yang keruh itu ternyata benar-benar telah menarik perhatiannya.

“Ia tidak akan berbuat apa-apa” desis Kebo Ijo, “mungkin ia akan berteriak-teriak. Lalu pergi membawa kau ke Kemundungan.”

Ken Arok tidak menyahut. Ia membungkukkan kepalanya sambil berkata “Tuanku, air menjadi semakin besar.”

“Dan kalian berkumpul saja di sini tanpa berbuat sesuatu?” Ken Arok mengerutkan dahinya. Apakah yang dapat dilakukannya?

“Selagi kalian masih sempat. Ayo, sebagian pergi keseberangan meniti di atas bendungan ini. Hati-hati. Bawalah patok-patok bambu dan tali ijuk.”

Beberapa orang yang mendengar perintah Akuwu itu sejenak menjadi bingung. Mereka tidak segera mengerti maksudnya, sehingga ia masih saja berdiri termangu-mangu.

Tetapi Ken Arok segera tanggap akan maksud itu. Ia sendiri memang sudah sudah memikirkannya sebelumnya, sehingga ia telah menyediakan tali-tali dan beberapa buah patok. Karena itu perintah Akuwu itu telah mendorongnya untuk segera melakukannya.

Ken Arok itu segera berteriak kepada orang-orangnya, “He, sebagian dari kalian pergi ke seberangan membawa beberapa buah patok dan tali-tali ijuk. Mari, bersama aku, meniti di atas bendungan ini selagi air belum menjadi semakin besar.”

Beberapa orang masih berdiri kebingungan ketika Ken Arok mengulangi “Ayo cepat, jangan berdiri termangu-mangu.”

Meskipun para prajurit itu sebagian masih belum mengerti maksud itu, namun mereka segera berlari-lari mengambil beberapa buah patok bambu dan tali-tali ijuk.

“Bawa saja seluruhnya” berkata Akuwu Tunggul Ametung, “semua patok yang ada. Disini masih tersedia banyak bambu sehingga kami yang di sini akan dapat membuatnya.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Ternyata Akuwu itu benar-benar mampu berpikir cepat, meskipun kadang-kadang orang itu sama sekali segan untuk berpikir. Biasanya Akuwu berbuat apa saja yang teringat olehnya. Namun dalam hal yang penting serupa ini, agaknya ia telah mempergunakan kecerdasan dan kecepatannya berpikir.

Karena maka Ken Arok itupun mengulangi, “Ya, bawalah semua patok yang ada. Bawa beberapa macam alat-alat, kelewang, cangkul, dan yang lain-lain.”

Beberapa orang prajurit segera melakukannya dengan cepat, sedang Ken Arok sendiri akan ikut serta menyeberang sungai yang sedang banjir itu.

“Hamba akan ke seberang Tuanku, biarlah di sini adi Kebo Ijo memimpin para prajurit yang tersisa dan orang-orang Panawijen.”

“Pergilah” sahut Akuwu Tunggul Ametung, “cepat, sebelum bendungan itu dadal.”

Daia Ken Arok berdesir. Air ternyata menjadi semakin tinggi. Terlampau cepat menurut perhitungannya. Sehingga dengan demikian Ken Arok tidak sempat untuk berbicara lagi, untuk memberi terlampau banyak pesan kepada Kebo Ijo. Ia mengharap bahwa Kebo Ijo akan mengerti dengan sendirinya, apakah yang harus dilakukannya.

Ken Arok diikuti oleh beberapa orang prajurit segera menyeberang meniti bendungan. Air sudah menjadi tinggi, hampir meluap di atas bendungan itu.

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tetap menyadari apa yang harus dilakukannya. Meskipun air sungai itu menjadi semakin keruh dan bergulung-gulung dengan derasnya, namun Ken Arok masih sempat juga berhenti di atas bendungan itu. Kepada beberapa orang prajurit ia berteriak, “ikatkan tali-tali itu pada brunjung-brunjung yang ringkih. Yang lain cepat meloncat ke tepi. Tancapkan patok-patok itu kuat-kuat.”

Kini para prajurit itu mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian dari mereka yang membawa patok-patok bambu segera berlari ketepi seberang dan dengan cepat menancapkan patok-patok bambu. Mereka yang tidak sempat membawa alat-alat yang cukup, segera mencari batu-batu besar untuk alat pemukul, sedang yang lain mempergunakan ganden-ganden kayu yang memang telah mereka siapkan sebelumnya.

Langitnya yang mendung menjadi semakin mendung. Titik-titik air telah berjatuhan satu-satu. Semakin lama semakin sering, seperti hati Ken Arok yang semakin berdebar-debar.

Ketika ia memandangi orang-orang yang masih berada di seberang, ia melihat kesibukan yang sama. Bukan saja Kebo Ijo yang berlari-lari kian kemari, tetapi ternyata Akuwu Tunggul Ametung sendiri ikut serta dalam kerja yang ribut itu. Beberapa orang dengan tergesa-gesa membuat patok-patok bambu, sedang yang lain turun ke bendungan, dan seperti yang dilakukan oleh Ken Arok, mereka mengikat brunjung-brunjung yang ringkih dengan tali-tali ijuk yang kuat, kemudian menambatkannya pada patok-patok di tebing.

Pekerjaan itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang sangat darurat. Tetapi mereka bertekad untuk menyelamatkan bendungan itu dari banjir yang pertama.

Hujan pun semakin lama menjadi semakin deras, tetapi orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel sama sekali tidak meninggalkan pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang telah langsung turun ke bendungan, untuk menanam patok-patok bambu dan mengikat patok-patok itu pada patok-patok yang berada ditebing.

Setiap hati menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat air menjadi semakin tinggi. Bahkan kemudian sedikit demi sedikit telah mencapai puncak bendungan yang belum siap benar. Apabila air itu kemudian melampauinya, maka bahaya bagi bendungan itu menjadi semakin besar. Sedikit demi sedikit, air itu akan mendorong bendungan yang masih belum mantap benar. Bahkan orang-orang yang berdiri di sisi sungai itu seolah-olah melihat bendungan itu bergoyang.

“Tambatkan semua tali yang ada” teriak Ken Arok.

Suaranya telah menggerakkan setiap orang untuk melakukan pekerjaan apa saja. Patok-patok bambu, tali ijuk dan tali-tali tambang yang lain telah terikat pada brunjung-brunjung yang tampak ringkih. Beberapa orang mencoba mengikat brunjung-brunjung itu dengan brunjung-brunjung yang lain yang lebih kuat kedudukannya. Mereka harus mencegah supaya tidak ada satu brunjung pun yang terlempar oleh air yang membanjir itu. Sebab dengan demikian, maka satu-satu demi satu brunjung-brunjung yang lainpun akan terlempar pula. Air yang meluap akan menjadi semakin banyak. Dan apabila demikian, besok sebelum fajar, mereka akan menemukan bendungan itu menjadi brunjung-brunjung yang berserakan.

Dengan demikian, maka kesibukan di bendungan itu pun menjadi semakin meningkat, seperti ketegangan di dalam setiap dada orang-orang yang menyaksikan, air menjadi semakin tinggi merayap mencapai puncak bendungan. Sedang hujan pun semakin lama menjadi semakin deras seperti ditumpahkan dari langit. Angin yang kencang bertiup dari Selatan menggoyangkan dedaunan dan pepohonan yang sedang menghijau di taman yang belum siap benar itu.

Ken Arok dengan dahi yang berkerut-merut berdiri tegak di ujung bendungan. Dadanya berdebaran seperti hendak meledak. Ditatapnya air yang bergulung-gulung semakin keruh dan semakin tinggi itu.

“Air ini harus mendapat saluran” desisnya, “kalau tidak maka bendungan ini tidak akan kuat menahannya.”

Tetapi Ken Arok masih belum menemukan cara untuk menyalurkan air yang semakin menanjak.

Sekali lagi orang-orang Panawijen itu seakan-akan melihat bendungan itu berguncang. Namun dada mereka berguncang lebih dahsyat lagi. Apalagi dada Ken Arok.

Para prajurit dan orang-orang Panawijen kini sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Setiap tali yang ada telah terikat pada patok-patok bambu di pinggir bendungan. Segala usaha telah dilakukan, dan segala cara telah ditempuh. Kini, di dalam hujan yang lebat itu mereka hanya tinggal menunggu, apakah yang akan terjadi atas bendungan yang sudah sekian lama mereka kerjakan. Menelan banyak sekali tenaga dan beaya yang telah diberikan oleh Akuwu Tunggul Ametung.

Agaknya hujan yang lebat itu turun diseluruh permukaan bumi. Ternyata di Kemundungan pun hujan menjadi kian lebat. Tatit dan guruh meledak bersahut-sahutan di langit, seakan-akan sedang bersabung.

Sedang di pinggir rawa-rawa yang gembur, Mahisa Agni dan Kebo Sindet masih juga menyabung nyawa. Semakin lama semakin seru. Hujan dan petir sama sekali sudah tidak mereka hiraukan lagi. Apalagi mereka yang sedang bertempur sedangkan Kuda Sempana pun berdiri saja tanpa beranjak dari tempatnya, meskipun hujan seakan-akan tertumpah dari langit. Tetapi ia hanya dapat menyaksikan saja perkelahian itu tanpa dapat berbuat sesuatu. Ia sudah tidak dapat berusaha apapun lagi setelah melemparkan pedangnya kepada Mahisa Agni. Namun pedang itu ternyata sangat bermanfaat baginya. Sehingga dengan pedang itu Mahisa Agni mampu membuat keseimbangan di dalam perang tanding yang sedang berlangsung dengan sengitnya dibawah hujan yang sangat lebat, sehingga titik air hujan yang terlampau padat itu, seolah-olah merupakan pedut yang gelap.

Tetapi hujan itu sama sekali tidak terpengaruh atas kedahsyatan perkelahian itu. Setiap kali Kuda Sempana menahan nafasnya apabila seleret warna merah tergores pada kulit salah seorang dari mereka yang sedang bertempur itu. Namun air hujan segera menghapusnya. Meskipun demikian, darah masih juga mewarnai tetesan air yang mengusap tubuh mereka menjadi kemerah-merahan.

Namun betapapun lebatnya hujan, itu tidak mampu memadamkan api yang berkobar di dalam dada masing-masing. Bahkan air hujan itu serasa minyak yang disiramkan ke dalam api yang sedang menyala-nyala.

Tetapi, oleh air hujan yang melimpah ruah dari langit, tanah di tepi rawa-rawa yang lembab menjadi semakin basah, sehingga dengan demikian menjadi bertambah licin. Setiap kali kedua orang yang sedang berkelahi itu harus mempertahankan keseimbangan mereka apabila mereka hampir-hampir tergelincir. Setiap kali mereka harus membagi perhatian mereka. Selain pedang lawan, maka tanah yang basah itu telah menjadi lawan yang ikut menentukan.

Meskipun ke dua belah pihak mengalami, tetapi agaknya tanah yang licin telah agak terbiasa bagi Kebo Sindet. Berbeda dengan Mahisa Agni, maka tanah yang licin menjadi lawan yang harus mendapat perhatian. Sehingga dengan demikian, maka ternyata Mahisa Agni harus bekerja lebih keras dari lawannya.

Setiap kali Mahisa Agni harus berusaha untuk mendapat kan tempat berpinjak yang mapan supaya ia tidak tergelincir jatuh. Namun usaha itupun telah memerlukan sebagian dari perhatiannya yang seharusnya ditumpahkannya seluruhnya kepada perlawanannya atas Kebo Sindet, sehingga dengan demikian maka kadang-kadang Mahisa Agni terdesak dalam kesulitan. Bahkan ujung golok lawannya menjadi semakin sering berhasil menyentuh kulitnya, meskipun hanya seujung jarum. Tetapi yang seujung jarum itu telah menitikkan setitik darah.

Di Pandang Karautan orang-orang Panawijen dan prajurit-prajurit Tumapel menjadi semakin tegang. Air benar-benar hampir melonjak melampaui bendungan. Ken Arok yang berdiri tegak seperti patung, selalu berkata di dalam hatinya, bahkan kemudian berguman “Air harus mendapat saluran yang mapan, supaya tidak menecah bendungan itu atau melemparkan brunjung-brunjung itu satu demi satu.

“Tetapi bagaimana?”

Ken Arok semakin lama menjadi semakin tegang. Tiba-tiba terdengar giginya gemeretak. Terdengar di antara derak hujan ia berteriak, “Aku akan pergi ke seberang.”

“Air sudah mulai naik” teriak seorang prajurit.

“Sebelum air meluap.”

“Jangan, pekerjaan itu terlampau berbahaya.”

Tetapi Ken Arok tidak mendengarkannya, diikatkannya kain panjangnya, dan dengan hentakan yang kuat itu meloncat ke atas bendungan yang basah.

“Ken Arok” teriak prajurit yang lain yang kemudian disusul oleh teriakan kawannya. Tetapi Ken Arok berlari terus meniti jembatan.

Orang-orang yang berdiri di seberangpun menjadi tegang. Merekapun berteriak-teriak pula “Ken Arok. Jangan.” Dan suara Tunggul Amecng melengking “He, apakah kau gila?”

Tetapi ken Arok tidak kembali. Bahkan ia berteriak sambil berlari “Air harus segera mendapat saluran.”

Orang yang menyaksikan Ken Arok meloncat dari brunjung ke brunjung yang sedang dilanda banjir itu menjadi berdebar-debar. Tetapi betapa mereka mencoba memperingatkan, namun Ken Arok berlari terus.

Tunggul Ametung berdiri terpaku di tempatnya sambil menahan nafasnya, sedang Kebo Ijo seakan-akan membeku dengan mulut ternganga dan mata yang tidak berkedip meskipun air hujan meleleh di seluruh wajahnya.

Ken Arok sendiri sama sekali sudah tidak sempat memikirkan keselamatannya. Meskipun demikian hatinya berdesir ketika terasa oleh kakinya, segumpal air yang meloncati bendungan. Bukan dirinya sendiri yang dicemaskannya, tetapi bendungan yang sedang diinjaknya. Maka sekali lagi ia berteriak sebelum mencapai tepi yang lain, “Air harus mendapat saluran.”

Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Ia langsung dapat menangkap maksud Ken Arok. Memang air harus mendapat saluran. Meskipun demikian ia masih belum beranjak dari tempatnya, dipukau oleh ketegangan hatinya melihat Ken Arok sedang meniti bendungan yang kadang-kadang seolah-olah tampak berguncang itu.

Namun akhirnya Ken Arok sampai juga ke tepi seberang dengan selamat. Bendungan itu masih berada ditempatnya, dan air tidak segera meluap menyeret Ken Arok dalam ulekan yang mematikan.

“Tuanku” nafas Ken Arok memburu di lubang hidungnya, “air harus mendapat saluran yang cukup. Parit pembuangan air itu terlampau kecil, sehingga tidak dapat menampung arus air yang semakin deras mengalir.”

Akuwu Tunggul Ametung berpikir sejenak, lalu katanya, “Ya, kita harus berusaha mendapatkan saluran yang dapat melepaskan air cukup banyak.”

“Bagaimana kalau . . . : suara Ken Arok tertahan.

“Parit induk maksudmu?”

“Hamba Tuanku.”

“Ya, parit induk itu harus dibedah. Kita harus menggali tanah dimulut parit induk itu supaya air dapat naik kedalamnya. Dengan demikian bahaya atas bendungan itu akan jauh berkurang.”

“Tetapi, tetapi…”

“Kenapa tetapi?”

“Saluran parit induk itu belum siap benar Tuanku. Apalagi untuk menerima banjir. Di ujung parit induk itu terdapat petamanan yang juga masih belum siap juga. Kalau sendang buatan itu meluap maka sebagian dari petamanan itu akan rusak.”

“Bukankah ada saluran yang dapat melepaskan air dari belumbang itu.”

“Semuanya masih belum siap benar. Tebingnya masih mudah sekali runtuh”

“Aku tidak peduli. Taman itu tidak sepenting bendungan ini. Ayo, kerjakan apa yang ingin kau kerjakan.”

Hati Ken Arok menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar Akuwu itu berteriak “Kenapa kau berdiri saja seperti patung. Cepat, lakukanlah yang baik menurut pertimbanganmu. Apakah kau menunggu bendungan itu pecah?”

“Hamba Tuanku” jawab Ken Arok. Tanpa dikehendakinya ia berpaling kepada Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo itu segera melemparkan pandangan matanya ke samping. Meskipun demikian seakan-akan ia mendengar Ken Arok berkata “Akuwu Tunggul Ametung bukan seorang yang terlampau mementingkan diri sendiri.”

Sejenak kemudian maka mereka pun segera berlari-larian kemulut saluran induk yang memang belum digali. Menurut perhitungan Ken Arok, tebing aluran itu harus siap dahulu, dan sendang buatan di ujung saluran induk itu pun harus sudah siap pula untuk menerima air sebelum limpahannya disalurkan kembali kesungai dibagian bawah. Tetapi keadaan telah memaksanya menggali mulut saluran induk itu untuk menyelamatkan bendungannya.

Beberapa orang segera bekerja tanpa mengenal lelah. Di bawah hujan yang lebat, mereka menggali untuk menyalurkan air kesusukan induk.

Akuwu sendiri ikut serta menunggui orang-orang yang sedang bekerja itu. Kepada beberapa orang yang berdiri kebingungan, Akuwu berkata, “He, kenapa kau hanya nonton saja. Cepat, berbuatlah sesuatu.”

Seperti tersadar dari mimpi merekapun segera berbuat apa saja untuk membedah sebuah saluran air yang dapat mengurangi bahaya atas bendungan yang sedang dilanda banjir.

“Dari sebelah ini” teriak Ken Arok “jangan dari mulutnya supaya kalian tidak terganggu oleh air yang segera melimpah ke parit ini. Apabila sudah cukup, larilah ujungnya kita pecahkan.”

Semua tenaga telah dicurahkan. Tidak ada seorang pun yang tidak melakukan kerja.

Di seberang yang lain, orang-orang yang melihat apa yang dilakukan oleh Ken Arok, segera berbuat serupa. Tetapi parit-parit di seberang tidak sebesar parit induk itu. Meskipun demikian, sedikit banyak akan dapat membantu mengurangi dorongan air atas bendungan itu.

Tetapi, betapapun mereka memeras tenaga mereka, namun kerja itu terasa terlampau lamban. Sepercik-percik air sudah mulai melampaui puncak bendungan. Sebentar lagi air pasti akan melimpah-limpah dan bahayapun akan menjadi semakin besar.

Pada saat yang bersamaan, Mahisa Agni sedang berjuang sekuat-kuat tenaganya, setinggi-tinggi ilmunya untuk melawan Kebo Sindet. Tanah yang menjadi semakin licin telah membuatnya sedikit terganggu. Untunglah, bahwa Kuda Sempana telah memberikan pedang kepadanya. Seandainya tidak, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi, dan tubuhnya akan hancur di mulut buaya-buaya kerdil yang buas dan rakus.

Tetapi, kini ia menghadapi lawan yang baru, yang seakan-akan membantu Kebo Sindet dalam perkelahian itu. Tanah yang licin.

Sedang Kuda Sempana masih tegak di tempatnya. Hanya kadang-kadang saja ia menahan nafasnya, tetapi kemudian dilepaskan tarikan nafasnya yang panjang. Kini ia tidak dapat berpura-pura lagi. Ia menjadi cemas apabila keadaan Mahisa Agni dalam bahaya. Tetapi kecemasan itupun beralasan berdasarkan apa yang telah dilakukan.

Bagi Kuda Sempana pertempuran itu hampir tidak dapat dimengertinya. Meskipun demikian ia dapat melihat bahwa kaki Mahisa Agni kadang-kadang terganggu oleh tanah yang semakin licin oleh hujan yang tercurah dari langit. Tetapi Kuda Sempana tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun Mahisa Agni sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Ia masih cukup kuat bertahan dari desakan Kebo Sindet meskipun ujung golok lawannya itu kadang-kadang menyentuh kulitnya. Tetapi pedangnya sendiri pun mampu juga melukai kulit lawannya. Membuat goresan-goresan yang menitikkan darah. Sehingga tubuh mereka yang berkelahi, yang basah oleh air hujan dan keringat, menjadi semakin diwarnai oleh darah mereka sendiri.

Di Padang Karautan, orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel pun telah bekerja memeras tenaga mereka. Dengan tergesa-gesa mereka menggali mulut susukan induk untuk membantu mengurangi tekanan air yang semakin tinggi. Parit yang telah dipersiapkan untuk kepentingan itu ternyata terlampau kecil, sehingga tidak dapat diharapkan lagi.

Semakin lama galian(?) orang-orang Panawijen dan para prajurit itu menjadi semakin dalam dan lebar. Setapak demi setapak parit itu merayap kepinggir sungai.

“Hati-hati,” teriak Ken Arok “air itu akan memecah tanah yang semakin tipis. Jangan sampai ada di antara kalian yang diseret oleh luapan yang pertama.”

Suara itu segera disahut oleh beberapa orarg yang meneriakkan peringatan serupa. Beberapa orang yang bekerja di ujung susukan itu menyadari, bahwa apabila mereka lengah, mereka akan diseret oleh luapan air yang pertama kali akan melimpah ke parit induk itu.

“Beri saja jalan secukupnya” Akuwu Tunggul Ametunglah yang kemudian berteriak, “kemudian air itu akan membuat jalannya sendiri menurut kekuatannya.”

“Ya, kita hanya cukup membuka jalan sedikit saja” ulang Kebo Ijo.

Ken Arok sendiri kemudian berlari kebagian paling ujung dari susukan induk itu. Setelah tanah yang mereka gali cukup dalam dan lebar, maka segera ia teriak “Pergi. Kalian harus menyingkir. Aku akan memecahkan mulut susukan ini.”

Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel itu segera menepi, Yang tinggal adalah Ken Arok sendiri dengan sebuah cangkul di tangan.

“Hati-hati” teriak Akuwu Tunggul Ametung.

Sesaat Ken Arok memandangi air yang bergulung-gulung semakin tinggi. Digenggamnya cangkulnya erat-erat seperti saat-saat ia menggenggam pedang. Kini ia tidak sedang bertempur melawan lawannya, tetapi ia sedang berjuang melawan air.

Meskipun demikian anak muda itu telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya. Terasa bahwa saat-saat yang demikian itu sama sekali tidak ubahnya seperti pada saat-saat ia bertempur. Akibat dari usahanya itu akan besar sekali artinya, tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi seluruh orang-orang Panawijen yang meletakkan harapannya pada bendungan itu, dan selebihnya bagi orang-orang padukuhan disekitarnya yang akan dilimpahi juga oleh hasil kerja ini, bahkan bagi seluruh Tumapel akan terpercik juga hasilnya. Itulah sebabnya dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk menyelamatkan bendungan ini.

Semakin tipis tanah yang tersisa di mulut susukan itu, orang-orang Panawijen, para prajurit, Kebo Ijo dan Akuwu Tunggul Ametung menjadi kian berdebar-debar. Sebuah sobekan yang kecil telah cukup untuk memberi kesempatan kepada air yang meluap itu melimpah dengan derasnya dan seterusnya pasti akan membuat jalannya sendiri, merobek mulut susukan itu menjadi semakin lebar.

Saat yang demikian itulah yang menegangkan setiap wajah yang sedang berdiri disekitar susukan induk itu.

Ken Arok dengan sepenuh perhatian, sedikit demi sedikit mulai menyentuh bibir susukan itu. Dan pada ajunan yang kemudian, sepercik air telah mengalir masuk. Seterusnya, sebuah arus yang dahsyat meloncat pada bibir susukan yang sobek oleh ayunan cangkul Ken Arok, terasa kaki Ken Arok bergetar sesaat oleh desakan air yang memukul seperti ayunan pukulan seseorang yang paling sakti. Namun Ken Arok adalah seseorang yang menyimpan kekuatan yang tidak tersangka-sangka di dalam tubuhnya. Sejenak ia bertahan, supaya tidak hanyut oleh desakan arus air yang menghantamnya, semakin lama semakin tinggi.

“Cepat, cepat” Akuwu berteriak.

Tetapi Ken Arok tidak segera dapat meloncat. Ia harus mempertahankan dirinya, sebelum ia berkesempatan mengumpulkan tenaganya untuk mendorongnya dengan suatu loncatan.

Pada saat yang demikian Ken Arok harus berbuat sejauh dapat dilakukan. Pemusatan kekuatan, pemusatan segenap getar di dalam dirinya untuk melawan maut yang telah menyentuhnya, sedang orang-orang yang menyaksikannya sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.

Pada saat yang demikian, Kuda Sempana pun hanya berdiri saja dengan tegangnya tanpa dapat berbuat sesuatu. Ternyata Kebo Sindet memanfaatkan tanah yang licin itu dengan liciknya. Karena kakinya telah terbiasa, maka pengaruh tanah yang licin itu tidak terlampau banyak baginya, sehingga dalam perkelahian berikutnya, dipergunakannya cara yang paling licik. Ia berloncat-loncatan dan berputar-putar dengan gerak yang panjang. Dengan demikian ia mergharap bahwa Mahisa Agni tidak akan dapat mengimbanginya. Ternyata usaha itu agaknya memberikan harapan baru baginya.

Sekali-kali Mahisa Agni terpaksa bertahan untuk tidak tergelincir jatuh. Dan dalam saat-saat yang demikian itulah maka serangan Kebo Sindet datang menghantamnya seperti banjir yang dengan dahsyatnya menghantam bendungan.

Namun dalam saat-saat yang demikian, Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha lain kecuali menangkis serangan lawannya. Ia harus mempergunakan segenap kekuatannya dan dipusatkannya pada ujung tangannya yang menggenggam pedang.

Meskipun demikian, namun gerak Mahisa Agni menjadi sennkin terbatas. Untunglah bahwa Mahisa Agni tidak kehilangan akal, sehingga ia mampu mengatasi setiap usaha dan cara lawannya untuk membinasakannya. Sehingga betapa Kebo Sindet mencari akal namun ia tidak dapat segera melakukan maksudnya, mendorong Mahisa Agni jatuh ke dalam mulut binatang-binatang air.

Betapa perkelahian itu menjadi semakin seru. Kebo Sindet yang menggeram, menerkam dengan ujung goloknya seperti harimau lapar, barus menghadapi lawannya yang tangguh seperti banteng ketaton.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar