Panasnya Bunga Mekar Jilid 31 (Tamat)

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Tetapi semula Ken Padmi tidak mengatakannya kepada siapa pun juga. Dicobanya untuk menahan gejolak perasaannya itu di dalam dadanya sendiri.

Namun ternyata bahwa sikap dan warna wajahnya tidak dapat disembunyikannya terhadap Mahendra dan Witantra. Bahkan sebelum mereka bertanya, mereka telah dapat meraba, apa yang terjadi di dalam jantung anak gadis itu.

Karena itu, maka Mahendra merasa perlu untuk memberinya beberapa nasehat, agar perasaan itu tidak selalu mencekamnya, sehingga mempengaruhi bukan saja jiwanya, tetapi juga tubuhnya.

“Jika terjadi sesuatu, tentu sudah ada berita sampai kepadaku.” berkata Mahendra. Lalu, “Ia berada di satu tempat yang sudah kami kenal dan mengenal kami. Karena itu, jika perlu, maka Akuwu Suwelatama akan dapat menugaskan orang-orangnya untuk memberitahukan persoalannya kepadaku, atau kepada pamanmu Mahisa Agni di Singasari.”

Ken Padmi mengangguk-angguk. Ia pun mengerti berdasarkan pertimbangan nalarnya. Tetapi perasaannya masih saja menghentak-hentak di dalam dada.

Namun beberapa nasehat Mahendra berpengaruh juga atas perasaan gadis itu, meskipun ia tidak dapat melepaskan seluruhnya. Namun Ken Padmi kemudian berusaha menghalau kegelisahannya dengan kerja dan berlatih di dalam sanggar, sehingga dengan demikian, ia justru telah meningkatkan ilmunya.

Dalam pada itu, berangsur-angsur Pakuwon Kabanaran telah menjadi tenang kembali. Meskipun beberapa orang pengamat masih belum melepaskan pengawasan mereka seluruhnya terhadap Pakuwon Watu Mas yang masih mendendam. Tetapi nampaknya Pakuwon Watu Mas pun harus berpikir berulangkali jika mereka hendak melakukan sesuatu atas Kabanaran. Kegagalan mereka ternyata telah membuka mata mereka, bahwa Pakuwon Kabanaran tidak terlalu lemah seperti yang mereka sangka. Apalagi setelah Kabanaran berhasil mengatasi kesulitan mereka yang paling gawat. Para perampok di Kedung Sertu dan para perampok yang bersembunyi di tlatah Watu Mas telah dapat ditundukkan. Bahkan dari tangan para perampok itu telah berhasil dirampas, harta benda yang bernilai sangat tinggi, yang oleh Akuwu akan dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat Kabanaran, karena Akuwu tidak lagi dapat memisahkan dan mengenali para pemiliknya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun merasa, kehadirannya di Pakuwon Kabanaran telah cukup lama. Ia sempat melihat Akuwu mulai dengan kerja untuk membangun Pakuwon Kabanaran sebaik-baiknya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak akan dapat tinggal untuk waktu yang terlalu lama.

Dengan demikian, maka pada suatu saat Mahisa Bungalan pun telah minta diri kepada Akuwu Suwelatama untuk kembali ke Singasari.

“Kami mengucapkan terima kasih.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Tidak ada yang dapat aku lakukan di sini.” jawab Mahisa Bungalan.

“Banyak pendapatmu yang sangat menguntungkan bagi penyelesaian persoalan yang kita hadapi. Terutama para perampok di Kedung Serta dan di hutan perbatasan.” jawab Akuwu.

“Aku hanya seorang di antara sekian banyak orang di sini.” berkata Mahisa Bungalan. Lalu, “Aku mengucapkan selamat atas kerja yang sudah di mulai oleh Pakuwon ini. Namun demikian Akuwu tidak boleh lengah. Mungkin pada satu saat Watu Mas akan mengejutkan Pakuwon Kabanaran. Mungkin Pangeran Indrasunu akan datang kembali ke Pakuwon Watu Mas dan menggelitik Akuwu di Watu Mas untuk membalas dendam atas kekalahannya.”

“Kami akan berhati-hati,” jawab Akuwu Suwelatama, “kami akan tetap menempatkan pasukan di perbatasan, meskipun tidak sekuat yang pernah kita lakukan. Namun kami pun harus mempunyai sebuah pasukan khusus yang akan dapat bergerak cepat jika terjadi sesuatu.”

“Yang lebih penting, bagaimana mempergunakan harta benda yang besar itu untuk kesejahteraan Pakuwon Kabanaran.” berkata Mahisa Bungalan.

“Tentu.” jawab Akuwu Suwelatama. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata “Namun sebenarnyalah, kau berhak atas sebagian dari harta benda itu. Mungkin padukuhanmu juga memerlukan dana untuk kesejahteraan rakyatnya.”

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng sambil tersenyum. Katanya, “Para perampok itu mengambil harta benda dari Pakuwon Kabanaran. Jadi harta benda itu harus kembali ke Kabanaran. Jika Akuwu tidak lagi dapat menemukan para pemiliknya, maka Akuwu akan dapat mempergunakannya bagi kesejahteraan Pakuwon ini pada umumnya.”

“Tetapi kau membantu mendapatkan harta benda itu kembali.” jawab Akuwu.

Sekali lagi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya, “Jika harta benda ini kelak menjadi piranti kesejahteraan Pakuwon ini, aku sudah merasa berbahagia karenanya.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sejak semula ia memang sudah menduga bahwa Mahisa Bungalan tidak akan menerima sebagian dari harta benda yang dapat dibebaskan dari tangan para perampok itu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan benar-benar telah minta diri untuk meninggalkan Pakuwon itu. Ia sudah merasa cukup lama meninggalkan rumahnya. Sebagaimana ia pernah menyatakan kesanggupannya kepada Maharaja di Singasari, bahwa ia akan memasuki tugas keprajuritan. Sudah beberapa lama ia berada di Singasari, namun ia masih menawar lagi dalam petualangannya yang berbahaya di daerah Pakuwon Kabanaran.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan, Mahisa Bungalan pun meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Para pemimpin di Pakuwon itu beserta Akuwu Suwelatama sendiri mengantarkannya sampai ke gerbang kota. Kemudian mereka melepaskan Mahisa Bungalan berkuda menempuh jarak yang panjang.

“Semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu.” berkata Akuwu Suwelatama.

Mahisa Bungalan tersenyum. Sambil melambaikan tangannya ia berkuda meninggalkan pintu gerbang kota.

Semakin lama Mahisa Bungalan itu pun menjadi semakin jauh. Ia sadar, bahwa ia akan menempuh jalan yang panjang. Orang-orang yang datang bersamanya ke Pakuwon Kabanaran telah pulang mendahuluinya. Paman-pamannya pun telah mendahuluinya pula.

Ketika Mahisa Bungalan kemudian menatap jalan yang menjelujur di hadapannya, maka dilihatnya jalur yang panjang. Jalur yang akan membawanya kembali ke Singasari. Kepada janjinya untuk memasuki lingkungan keprajuritan. Dan kepada kampung halamannya yang sudah lama ditinggalkannya.

Tiba-tiba sekilas membayang wajah seorang gadis yang menunggunya. Ken Padmi. Gadis yang telah meninggalkan berbagai persoalan di luar kehendaknya sendiri.

“Aku sudah terlalu lama meninggalkannya.” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Dan kini, Mahisa Bungalan itu telah berada dalam perjalanan kembali.

“Aku akan segera memasuki tugas keprajuritan,” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri, “sehingga sudah sepantasnya aku mempunyai sisihan.”

Sebagai seorang petualang, maka perjalanan yang panjang tanpa seorang kawan pun telah merupakan satu kebiasaan bagi Mahisa Bungalan. Ia telah melakukannya berkali-kali. Kadang-kadang ia berada di perantauan dengan nama dan keadaan yang berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Namun kadang-kadang ia berada di petualangannya dengan namanya sendiri.

Karena itu, maka perjalanan kembali ke Singasari itu pun bukan satu pengalaman baru bagi Mahisa Bungalan. Namun demikian kadang-kadang ia harus memikirkan, apakah ia tidak akan bertemu dengan orang-orang yang mendendamnya selama ini.

Namun Mahisa Bungalan tidak akan berkecil hati menghadapi apapun juga. Ia sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga.

Di sepanjang jalan, Mahisa Bungalan ternyata tidak berhenti terlalu sering. Hanya jika kudanya merasa sangat letih, maka baru ia berhenti di pinggir tempat yang berair dan berumput hijau untuk memberi kesempatan kepada kudanya untuk minum dan makan rerumputan. Sementara itu, Mahisa Bungalan sendiri juga mendapat kesempatan untuk beristirahat.

Dalam pada itu, tanpa diduganya, ternyata beberapa orang telah menyusul perjalanan Mahisa Bungalan. Lima orang berkuda berderap dengan kecepatan yang tinggi. Mereka pun tidak pernah berhenti seperti Mahisa Bungalan, kecuali memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum dan makan rerumputan.

“Mudah-mudahan kita akan dapat menyusulnya sebelum ia sampai ke Singasari.” berkata salah seorang di antara mereka.

Namun perjalanan itu memang cukup panjang. Mahisa Bungalan tidak akan dapat mencapai Singasari sebelum matahari terbenam. Jika ia melanjutkan perjalanan di malam hari, maka ia memang tidak perlu bermalam di perjalanan, karena ia akan mencapai Singasari malam itu juga.

Karena itu, maka kelima orang yang menyusulnya ingin segera dapat menyusulnya.

“Mudah-mudahan orang itu tidak berbohong.” berkata salah satu dari mereka.

“Mudah-mudahan.” desis yang lain. Lalu, “Tetapi aku kira ia memang tidak akan berbohong, karena mereka tidak mengenal, siapa aku.”

“Ya. Aku kira ia mengatakan apa adanya.” berkata yang lain pula.

Dengan demikian maka kelima orang itu berpacu semakin cepat. Dari seorang penjaga istana Pangeran Suwelatama mereka mendapat keterangan, bahwa Mahisa Bungalan telah meninggalkan istana itu, ketika kelima orang itu datang.

“Baru saja.” berkata penjaga itu.

Karena itulah, maka kelima orang itu telah menyusulnya.

Sebenarnyalah, perjalanan kelima orang itu lebih cepat dari perjalanan Mahisa Bungalan. Karena itu, jarak di antara mereka pun semakin lama semakin dekat, meskipun kelima orang itu tidak cepat dapat menyusulnya.

“Ia seorang diri.” berkata salah seorang dari kelima orang itu.

“Ia terlalu berani untuk melakukannya.” sahut yang lain.

“Ia memang seorang pemberani, seorang petualang dan seorang prajurit sekaligus,” berkata yang lain, “tetapi itu tidak berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan. Jika ada yang berniat jahat, maka bukan tidak mustahil, bahwa Mahisa Bungalan mengalami bencana karena sikapnya sendiri.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tidak seorang pun yang menjawab.

Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan tidak sampai hati membiarkan kudanya menjadi terlampau letih. Ketika matahari turun ke Barat, maka ia berhenti cukup lama di pinggir sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Namun di tepian terdapat rerumputan yang hijau segar.

Agar kudanya sempat beristirahat agak panjang, maka Mahisa Bungalan telah duduk bersandar sebatang pohon yang besar. Silirnya angin telah membuatnya merasa mengantuk. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak ingin tidur. Ia ingin meneruskan perjalanan jika kudanya sudah tidak merasa letih lagi setelah beristirahat cukup lama.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan justru telah berdiri. Sambil menyilangkan tangannya di dada, ia telah berjalan hilir mudik di tepian. Sekali-sekali ia sempat memperhatikan beberapa jenis ikan yang berenang di air yang bening.

“Agaknya jarang ada orang mencari ikan di sungai ini.” berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

Sebenarnya bahwa di sungai itu memang terdapat cukup banyak ikan yang berkeliaran. Rasa-rasanya Mahisa Bungalan ingin turun dan menangkap ikan yang berkeliaran itu.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak melakukannya. Sekali-kali ia berpaling kepada kudanya. Nampaknya kudanya masih sibuk merenggut rerumputan hijau yang segar.

“Biarlah kuda itu cukup beristirahat.” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar derap beberapa ekor kuda. Sejenak ia termangu-mangu. Di tepian sungai, ia tidak segera dapat melihat orang-orang berkuda itu.

Ada niatnya memanjat pohon besar yang tumbuh di bawah tanggul. Namun derap kuda itu menjadi semakin dekat, sehingga niatnya itu pun diurungkannya. Yang dilakukannya kemudian hanyalah menunggu saja sampai orang-orang berkuda itu pun turun ke tepian.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian derap kuda-kuda itu pun menjadi semakin mendekati tanggul. Ketika Mahisa Bungalan kemudian menengadahkan wajahnya, maka ia pun segera melihat lima orang berkuda menuruni tebing.

Mahisa Bungalan terkejut melihat orang-orang itu. Sebagaimana orang itu pun terkejut ketika mereka melihat Mahisa Bungalan.

Dalam pada itu, di Pakuwon Kabanaran, beberapa orang Senapati menjadi termangu-mangu. Akuwu Suwelatama diiringi oleh sepuluh orang pengawal terbaiknya telah meninggalkan istana menyusul perjalanan Mahisa Bungalan.

“Akuwu sangat tergesa-gesa.” berkata seorang di antara para pengawal itu.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya yang lain.

“Beberapa saat sebelumnya, seorang pengawal telah memberikan keterangan kepada seseorang tentang Mahisa Bungalan. Pengawal itu mengatakan kepada seseorang yang ingin bertemu dengan Mahisa Bungalan. bahwa Mahisa Bungalan baru saja meninggalkan Pakuwon.” jawab kawannya, “Kemudian ternyata bahwa ada laporan, bahwa orang yang bertanya itu tidak hanya seorang diri. Ada beberapa orang kawannya yang sedang menunggu. Di antara mereka dikenal sebagai Pangeran Indrasunu meskipun ia mengenakan pakaian orang kebanyakan.”

“Jika demikian, bukankah ada kemungkinan yang gawat akan terjadi?” bertanya seorang Senapati.

“Ya. Kemungkinan itu memang ada.” jawab yang lain.

“Tetapi, kenapa Akuwu hanya membawa sepuluh pengawal. Meskipun pengawal terbaik?” bertanya Senapati itu.

“Akuwu sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin mendengar Mahisa Bungalan yang sudah memberikan banyak bantuan kepada kita itu mengalami bencana di perjalanan.” jawabnya.

“Tetapi bagaimana jika justru Akuwu sendiri?” berkata Senapati itu pula.

“Memang mungkin sekali keadaan akan menjadi sangat gawat.” sahut pengawal yang lain.

Senapati itu merenung sejenak. Kemudian ia telah mengambil keputusan untuk membawa sepuluh orang lagi menyusul Akuwu Suwelatama yang pergi dengan tergesa-gesa.

“Jarak ini belum terlalu panjang,” berkata Senapati itu, “mudah-mudahan aku dapat menyusulnya.”

Demikianlah maka Senapati itu menyusul bersama sepuluh orang terbaik, sehingga karena itu ada tiga iring-iringan orang berkuda yang menyusul perjalanan Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah orang yang telah berhasil menyusul Mahisa Bungalan itu adalah Pangeran Indrasunu bersama dua orang Pangeran yang bersamanya pergi ke rumah Mahisa Bungalan untuk mengambil Ken Padmi, sedangkan dua orang lainnya adalah guru kedua orang Pangeran itu.

Mahisa Bungalan menjadi tegang. Sementara itu, kelima orang itu pun untuk beberapa saat berdiri termangu-mangu.

Namun sejenak kemudian, Pangeran Indrasunu pun telah meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh keempat orang yang lain.

Mahisa Bungalan bergeser selangkah. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar. Pangeran Indrasunu memang bukan orang yang memiliki kemampuan yang melampauinya. Tetapi bersama empat orang lain maka ia harus berhati-hati.

Dalam pada itu, terdengar Pangeran Indrasunu menyapanya, “Mahisa Bungalan.”

“Ya, Pangeran.” jawab Mahisa Bungalan. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah yang kau kehendaki dengan menyusul perjalananku?”

Pangeran Indrasunu memandang wajah Mahisa Bungalan yang tegang. Beberapa langkah ia maju, sementara Mahisa Bungalan menjadi semakin bersiaga.

Namun Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar suara Pangeran itu yang lemah dan tidak mengandung pertentangan, “Mahisa Bungalan. Aku memang berusaha untuk dapat menemuimu secepatnya.”

“Sekarang kita sudah bertemu. Apakah maksudmu, Pangeran?” bertanya Mahisa Bungalan yang masih belum melupakan apa yang pernah terjadi dengan Pangeran itu.

Pangeran Indrasunu menarik nafas, dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin menemuimu di Kabanaran. Aku pun ingin bertemu dengan kakangmas Akuwu Suwelatama. Dengan demikian kita akan dapat berbincang agak panjang.”

“Tetapi kau telah menyusul aku dan bertemu di sini.” jawab Mahisa Bungalan.

“Bagaimana jika bersama-sama kembali ke Kabanaran?” bertanya Pangeran Indrasunu, “Kita akan berbicara panjang. Bukan hanya aku dan kau. Tetapi bersama kakangmas Akuwu Suwelatama.”

Wajah Mahisa Bungalan nampak semakin tegang. Meskipun Pangeran Indrasunu tidak bersikap bermusuhan, tetapi ajakannya itu sangat mencurigakan. Karena itu maka katanya, “Pangeran, aku sudah berniat meninggalkan Kabanaran untuk kembali ke Singasari. Karena itu, aku tidak akan kembali ke Kabanaran.”

“Aku minta dengan sangat, Mahisa Bungalan,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku ingin membersihkan persoalan yang pernah terjadi di antara kita. Di antara aku dan kau, di antara aku dan kakangmas Pangeran Suwelatama yang menjadi Akuwu di Kabanaran.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi ia tetap mencurigai sikap Pangeran Indrasunu. Katanya kemudian, “Jika memang demikian, kau dapat melakukannya sekarang. Kemudian kau pergi menghadap Pangeran Suwelatama yang menjadi Akuwu di Kabanaran.”

”Persoalannya saling berkaitan,” berkata Pangeran Indrasunu, “karena itu, aku minta dengan sangat.”

Tetapi Mahisa Bungalan yang tetap mencurigai Pangeran Indrasunu itu tetap berkeberatan. Katanya, “Maaf Aku sudah berniat untuk langsung pergi ke Singasari. Jangan paksa aku untuk kembali.”

Pangeran Indrasunu termangu-mangu. Sekilas ia berpaling kepada kedua orang Pangeran yang lain dan kepada guru mereka.

“Jika angger Mahisa Bungalan berkeberatan kembali ke Kabanaran, apa boleh buat.” berkata salah seorang guru dari kedua orang Pangeran itu.

“Apakah aku harus mengatakannya sekarang?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Ya. Terpaksa sekali.” jawab orang itu.

Mahisa Bungalan yang kurang mengerti tentang niat mereka, telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Jika terjadi sesuatu, maka ia sudah siap menghadapinya.

“Mungkin kau akan menganggap bahwa aku tidak mengenal unggah-unggah,” berkata Pangeran Indrasunu, ”tetapi aku kira, aku pun tidak dapat mengikutimu pergi ke Singasari meskipun jarak antara tempat ini ke Singasari dan Kabanaran tidak lagi terpaut banyak.”

“Apakah sebenarnya yang ingin kau lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan kemudian.

Pangeran Indrasunu masih termangu-mangu. Namun kemudian ia telah memaksa diri untuk berkata, “Mahisa Bungalan. Aku sebenarnya ingin berbicara dengan sungguh-sungguh. Tetapi jika kau tak berniat untuk kembali ke Kabanaran, maka biarlah aku berbicara di sini. Tetapi marilah, kita berbicara sambil duduk. Mungkin kata-kataku akan menjadi lebih teratur.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun ternyata Pangeran Indrasunu tidak menunggunya. Ialah yang kemudian duduk di bawah pohon, Sementara kedua orang Pangeran yang lain dan kedua orang gurunya telah mengikutinya pula.

Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian duduk pula di sebelah Pangeran Indrasunu meskipun ia masih tetap berhati-hati.

“Mahisa Bungalan,” berkata Pangeran Indrasunu kemudian, “aku tahu bahwa sampai saat ini kau masih tetap mencurigai aku. Bagimu aku adalah orang yang tidak dapat dipercaya lagi. Apa lagi apabila kau sudah mendengar apa yang aku lakukan atas keluargamu.”

“Apa yang telah kau lakukan?” Mahisa Bungalan justru bertanya.

Pangeran Indrasunu termenung sejenak. Seolah-olah ia sedang mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya.

Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kami telah datang ke rumahmu. Seandainya hal ini tidak aku katakan, maka kau akhirnya akan mendengarnya juga.”

“Apa yang telah kau lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan yang mulai menjadi tegang.

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mulai menceritakan, apa yang telah dilakukannya di rumah Mahendra.

Mahisa Bungalan mendengarkan dengan jantung yang berdebar-debar. Wajahnya menjadi panas dan jari-jarinya mulai bergetar.

Namun akhirnya Pangeran Indrasunu itu pun menceriterakan, bagaimana ia dihadapkan kepada sikap Mahendra yang telah meluluhkan segala macam sifat di dalam dirinya.

“Aku telah tersiksa oleh sikap itu,” berkata Pangeran Indrasunu, “rasa-rasanya hukuman yang diberikan oleh paman Mahendra itu adalah hukuman yang tidak ditanggungkan lagi.”

Mahisa Bungalan memandang wajah Pangeran Indrasunu sejenak. Rasa-rasanya ia memang melihat kelainan pada wajah Pangeran yang dibencinya itu. Sehingga karena itu, telah tumbuh pula kepercayaannya, bahwa Pangeran Indrasunu telah berbicara sebenarnya.

“Mahisa Bungalan,” berkata Pangeran Indrasunu kemudian, “aku berjanji untuk bertaubat. Aku tidak akan mengulangi lagi tingkah lakuku yang sesat itu. Selebihnya, paman Mahendra memang minta agar aku minta maaf kepadamu. Tetapi aku pun berpendirian, bahwa aku harus minta maaf juga kepada kakangmas Akuwu di Kabanaran.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah aku dapat mempercayaimu?”

“Mahisa Bungalan,” berkata Pangeran Indrasunu kemudian, “kedua orang ini adalah saudara-saudaraku. Dua orang Pangeran seperti aku. Sedang dua orang tua itu adalah guru mereka. Mereka adalah saksi dari kata-kataku. Mereka pun telah menganjurkan kepadaku dan kedua orang muridnya, untuk mengakhiri petualangan yang kasar ini, karena keduanya pun pernah mengalami pahitnya tingkah laku kami.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia semakin mempercayai kata-kata Pangeran Indrasunu meskipun bukan berarti bahwa ia harus meninggalkan kewaspadaannya. Bagaimanapun juga, sisa-sisa kecurigaan masih ada di dalam diri Mahisa Bungalan.

Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Lebih banyak dari derap kaki kelima ekor kuda yang telah menyusul Mahisa Bungalan sebelumnya.

“Siapa?” Mahisa Bungalan yang telah meloncat berdiri, “Apakah kau berbuat curang?”

“Sama sekali tidak.” Pangeran Indrasunu telah berdiri diikuti oleh orang-orang lain. Katanya lebih lanjut, “Jika mereka berniat buruk, aku berdiri di pihakmu.”

Mahisa Bungalan memandang Pangeran Indrasunu dengan tajamnya. Tetapi wajah itu memang sudah berubah. Ia melihat kejujuran pada sorot mata Pangeran itu, sehingga ia pun berdesis, “Terima kasih.”

Dengan tegang orang-orang yang berada di tepian telah menunggu. Semakin lama derap kaki kuda menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya sekelompok orang-orang berkuda telah menuruni tebing sungai yang agak landai.

Ternyata orang-orang berkuda itu segera melihat, beberapa orang yang berada di tepian itu, sebagaimana orang-orang yang berada di tepian segera melihat mereka.

Dalam pada itu, terdengar aba-aba di antara orang-orang berkuda itu, “Kepung mereka.”

Sepuluh orang berkuda kemudian langsung mengepung Mahisa Bungalan dan kelima orang yang datang menyusulnya, setelah mereka berloncatan turun.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Kemudian ia pun melangkah maju sambil berdesis, “Akuwu Suwelatama.”

“Ya, Mahisa Bungalan. Aku sudah mendengar laporan, bahwa adimas Indrasunu telah menyusul perjalananmu. Aku menjadi curiga bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi. Karena itu aku segera menyusulmu. Ternyata laporan itu benar. Agaknya adimas Pangeran Indrasunu telah berhasil menyusulmu. Untunglah bahwa belum terjadi sesuatu denganmu. Karena bagaimanapun juga, kau hanya seorang diri.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam Mahisa Bungalan berkata, “Terima kasih, Akuwu. Ternyata bahwa Akuwu sangat memperhatikan keselamatanku.”

“Telah banyak sekali yang kau berikan kepada Pakuwon Kabanaran.” berkata Akuwu.

Mahisa Bungalan termagu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi Akuwu, agaknya kali ini kita berhadapan dengan Pangeran Indrasunu dalam citra yang berbeda.”

“Maksudmu?” bertanya Pangeran Suwelatama.

“Pangeran Indrasunu. Bukankah Pangeran sebelumnya telah mengajak aku untuk menghadap Akuwu Suwelatama? Nah, ternyata sekarang kita sudah menghadap bersama-sama.” berkata Mahisa Bungalan.

Pangeran Indrasunu memandang Akuwu Suwelatama sejenak. Namun nampaknya ia masih tetap ragu-ragu.

“Jika Pangeran ingin mengatakannya, katakanlah.” berkata Mahisa Bungalan.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Pangeran Indrasunu masih saja nampak ragu-ragu. Namun kemudian, ia berkata, “Kakangmas, aku mohon kesempatan untuk menyatakan sesuatu. Aku pun mohon maaf, bahwa aku akan mengatakannya di sini. Seharusnya aku datang menghadap kangmas di Pakuwon Kabanaran.”

“Apa yang ingin adimas katakan?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Seperti yang baru saja aku katakan kepada Mahisa Bungalan. bahwa aku ingin mohon maaf kepada kakangmas Suwelatama atas segala tingkah laku kami selama ini.”

Wajah Akuwu itu menjadi semakin tegang. Dipandangnya Mahisa Bungalan sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Kau katakan itu kepadaku, setelah kau merasa gagal dengan rencanamu sekarang ini, atau kau memang akan berkata demikian?”

“Aku memang akan berkata demikian.” jawab Pangeran Indrasunu.

“Demikian tiba-tiba?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Bukan tiba-tiba. Sesuatu telah terjadi. Dan agaknya jiwaku telah berguncang karena peristiwa itu, sehingga aku memutuskan untuk mengambil satu sikap baru dalam hidupku yang tersisa.”

Akuwu Suwelatama tidak segera mempercayainya. Bahkan kemudian ia berkata kepada Mahisa Bungalan, “Jangan terlalu cepat mempercayainya. Yang dilakukan oleh adimas Indrasunu selama ini telah cukup membuat kepalaku pening.”

“Ia sudah menceriterakan apa yang telah terjadi atas dirinya,” berkata Mahisa Bungalan, “agaknya aku mulai mempercayainya.”

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Pangeran Indrasunu itu pun kemudian menceriterakan kembali, apa yang telah dialaminya di rumah Mahendra, sehingga peristiwa itu telah menggerakkan jiwanya untuk melihat jauh menghunjam ke dalam dirinya sendiri. Akhirnya ia menemukan, betapa kotornya dirinya.

“Aku telah berjanji. Bumi dan langit menjadi saksi.” berkata Pangeran Indrasunu.

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Nampaknya aku pun mulai percaya. Mudah-mudahan hatimu selalu mendapat terang dari Yang Maha Agung. Untunglah, segala peristiwa yang terjadi belum aku laporkan seutuhnya kepada para pemimpin di Kediri atau lebih-lebih lagi Singasari. Dengan demikian, maka adimas masih belum terlibat ke dalam keadaan yang gawat dalam hubungan adimas sebagai seorang bangsawan di Kediri.”

“Terima kasih, kakangmas. Sikap kakangmas itu pun menjadi cambuk bagiku. Bahwa tidak sepantasnya aku melakukan perbuatan-perbuatan yang kotor, sementara orang lain masih berusaha melindungi namaku. Sebenarnyalah bagi seorang kesatria, nama mempunyai arti yang penting seperti nyawanya.” berkata Pangeran Indrasunu. Lalu, “Dua orang saudaraku ini pun mempunyai sikap yang sama seperti aku, direstui oleh kedua orang gurunya. Guru merekalah yang banyak mendorong kami untuk memilih jalan ini, setelah dengan serta merta kami melakukannya di hadapan paman Mahendra.”

Akuwu Suwelatama melangkah maju mendekati Pangeran Indrasunu. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Aku telah menemukan saudara-saudaraku kembali.”

Pangeran Indrasunu menundukkan wajahnya. Rasa-rasanya tenggorokannya menjadi panas. Ternyata bahwa masih banyak orang yang mempunyai jiwa yang besar, yang yang dengan tulus hati memaafkan kesalahan orang lain dalam suasana yang tidak menentu.

“Dosaku memang terlalu besar.” desis Pangeran Indrasunu.

“Jika adimas sudah mengakui kesalahan itu dan bertaubat, maka betapapun besarnya kesalahan, tentu akan dimaafkan,” jawab Pangeran Suwelatama, “sebagaimana kau lihat, Mahisa Bungalan pun telah memaafkan kesalahanmu. Aku dan orang-orang Kabanaran pun akan memaafkanmu.”

Pangeran Indrasunu mengangguk. Kemudian katanya kepada kedua orang Pangeran yang lain, “Katakanlah. Aku sudah minta maaf atas nama kita bertiga. Tetapi sebaiknya kalian mengucapkannya dengan mulut kalian sendiri.”

Kedua orang Pangeran itu pun melakukannya seperti yang diminta oleh Pangeran Indrasunu. Betapapun beratnya, tetapi kedua orang Pangeran itu telah melakukannya.

Dalam pada itu, maka Pangeran Suwelatama pun berkata, “Baiklah. Jika demikian, aku ingin mempersilahkan kalian kembali ke Pakuwon Kabanaran. Aku akan menjamu kalian sebagai tamu-tamuku yang paling terhormat.”

“Terima kasih,” Mahisa Bungalanlah yang menjawab, “aku kira Pangeran Indrasunu dan saudara-saudara serta guru mereka akan bersedia. Tetapi aku sudah hampir separo jalan. Aku ingin meneruskan perjalanan ini ke Singasari.”

“Sayang sekali,” berkata Pangeran Indrasunu, “aku juga sudah minta kepada Mahisa Bungalan untuk kembali ke Kabanaran. Sebelum aku tahu bahwa kakangmas Akuwu akan menyusul aku, aku ingin menghadap, sekaligus menyampaikan kepada Mahisa Bungalan permintaan maaf atas segala tingkah lakuku yang sudah banyak mengganggu.”

“Aku sudah terlalu lama meninggalkan Singasari,” berkata Mahisa Bungalan, “keluargaku pun tentu sudah bertanya-tanya tentang keselamatanku. Sedangkan aku masih harus bertanggung jawab atas petualanganku ini kepada Maharaja Singasari, karena aku sudah beberapa kali menunda kesanggupanku untuk menjadi seorang prajurit di Singasari.”

“Jadi kau benar-benar tidak dapat kembali ke Kabanaran?” bertanya Akuwu di Kabanaran.

“Terima kasih, Akuwu. Bukan maksudku menolak. Tetapi aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.” jawab Mahisa Bungalan.

Akuwu di Kabanaran mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya bagi Kabanaran.”

“Tidak ada yang pernah aku lakukan dalam arti yang sebenarnya.” berkata Mahisa Bungalan.

Dengan demikian, maka mereka pun kemudian telah berpisah. Akuwu Suwelatama kembali ke Kabanaran bersama Pangeran Indrasunu, kedua Pangeran yang lain serta guru-guru mereka, sementara Mahisa Bungalan meneruskan perjalanannya ke Singasari.

Dalam pada itu, Akuwu Suwelatama dan iring-iringannya telah dikejutkan oleh iring-iringan yang lain lagi. Namun ternyata mereka adalah pengawal-pengawal yang setia yang mencemaskan keadaannya.

“Terima kasih,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi semuanya sudah selesai. Tidak ada kekerasan yang terjadi. Sedangkan aku telah menemukan saudara-saudaraku kembali.”

Senapati yang memimpin para pengawal yang menyusulnya itu kurang mengerti. Namun kemudian di perjalanan kembali ke Pakuwon, kawan-kawannya yang mengikuti Akuwu itu pun dapat menceriterakan apa yang telah terjadi.

Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, “sukurlah. Jika demikian, maka orang-orang Watu Mas tidak akan melanjutkan niatnya menyerang Kabanaran jika ia mendengar pengakuan Pangeran Indrasunu. Mereka tentu mengira bahwa Pangeran Indrasunu telah berubah sikap dan justru membantu Kabanaran. Dengan demikian maka kekuatan mereka harus mereka nilai kembali.”

“Mudah-mudahan.” sahut yang lain. Kemudian ia pun melanjutkan, “Tetapi Akuwu di Watu Mas adalah orang-orang yang keras hati. Ia akan dapat menilai kembali keuntungan atas dasar nalar dan mungkin melihat kembali persoalan yang sebenarnya dihadapi dalam hubungannya dengan Kabanaran, namun mungkin juga ia justru telah mendendam. Jika demikian maka ia akan membuat persiapan yang jauh lebih baik dari pernah yang dilakukannya.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Sebaiknya kita memang harus berhati-hati menghadapi Akuwu di Watu Mas. Kekerasan hatinya kadang-kadang telah melepaskannya dari penalaran yang bening, sehingga tingkah lakunya dikuasai oleh perasaan semata-mata.”

Yang lain mengangguk-angguk. Nampaknya penilaian mereka terhadap Akuwu di Watu Mas telah selesai.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah semua yang dipercakapkan itu sedang bergejolak pula di hati Akuwu di Kabanaran. Ia melihat Akuwu di Watu Mas dari segala segi. Kelemahannya tetapi juga kekerasan hatinya. Akuwu Suwelatama pun sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti yang sedang dipercakapkan oleh pengawal-pengawalnya itu. Namun ia tidak mengatakannya kepada orang lain. Ia masih berusaha untuk membuat pertimbangan-pertimbangan sendiri.

Sementara itu, Mahisa Bungalan pun sedang dalam perjalanan ke Singasari. Matahari yang turun ke Barat pun menjadi semakin rendah. Ketika langit menjadi buram, Mahisa Bungalan sedang berpacu semakin cepat menuju ke Singasari. Namun peristiwa yang baru saja terjadi, rasa-rasanya membuat hatinya menjadi semakin lapang. Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu yang sesat itu telah menemukan jalan kembali.

Namun dalam perjalanan kembali itu, Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan menuju ke Singasari dan langsung menghadap Sri Maharaja di Singasari, atau kembali ke rumahnya lebih dahulu.

Ceritera Pangeran Indrasunu rasa-rasanya telah mendorongnya untuk langsung pulang ke rumah untuk melihat apakah yang dikatakan oleh Pangeran Indrasunu benar. Tetapi menilik ceritera Pangeran itu, diketahuinya bahwa Mahisa Agni tidak berada di rumahnya.

Akhirnya Mahisa Bungalan memutuskan untuk singgah di Singasari, tetapi tidak langsung menghadap Sri Maharaja. Ia hanya akan menemui pamannya Mahisa Agni dan bertanya kepadanya, apakah ia mengetahui apa yang telah terjadi.

Didorong oleh keinginannya untuk segera menceriterakan peristiwa yang telah terjadi itu, maka ia pun kemudian memacu kudanya semakin cepat. Mahisa Bungalan rasa-rasanya tidak ingin berhenti sama sekali, seandainya ia tidak mengingat keadaan kudanya.

Namun dalam pada itu, kudanya yang berpacu telah banyak menarik perhatian orang yang melihatnya. Bahkan jika ia terpaksa melewati jalan-jalan padukuhan, meskipun setiap kali ia berusaha untuk memperlambat kudanya, namun masih juga menimbulkan berbagai pertanyaan.

Ketika malam turun, maka orang-orang yang sudah berada di balik pintu rumahnya, terkejut mendengar derap kuda yang berlari di sepanjang jalan di depan regol halaman rumah mereka.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memilih kemungkinan lain. Ia ingin segera tiba di Singasari dan bertemu dengan Mahisa Agni. Meskipun lewat tengah malam sekalipun.

Ternyata perjalanan Mahisa Bungalan tidak mengalami gangguan apapun. Ketika ia sampai di regol Kotaraja sebagaimana diperhitungkan, lewat tengah malam, maka para penjaga regol pun telah menghentikannya.

Namun ternyata bahwa ada di antara para prajurit itu yang telah mengenal Mahisa Bungalan. Karena itu, maka dengan heran ia bertanya, “Kau baru datang sekarang, Mahisa Bungalan?”

“Ya.” jawab Mahisa Bungalan.

“Orang lain telah datang beberapa lama.” berkata orang itu pula.

“Aku masih mempunyai kewajiban.” jawab Mahisa Bungalan.

“Dan sekarang tugasmu sudah selesai?”

Mahisa Bungalan menjadi gelisah. Jika orang itu bertanya berkepanjangan, maka ia akan tertahan di regol itu. Karena itu, maka ia pun menjawab,

“Kedatanganku ini dalam rangkaian tugasku. Aku harus segera menjumpai paman Mahisa Agni sekarang juga.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia mengerti, bahwa Mahisa Bungalan tergesa-gesa. Karena itu, maka katanya kemudian, “Nampaknya kau tergesa-gesa.”

“Ya. Aku tergesa-gesa.”

Prajurit itu pun tidak bertanya lagi. Bahkan ia pun mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk memasuki regol Kota raja.

Tetapi demikian Mahisa Bungalan lewat, seorang di antara para prajurit itu berkata, “Bukankah Mahisa Agni tidak ada di tempat?”

“O.” prajurit yang menyapa Mahisa Bungalan itu baru teringat. Katanya, “

Ya. Mahisa Agni memang tidak ada di tempat.”

“Mahisa Bungalan akan kecewa.” berkata seorang temannya.

“Biarlah. Nanti akan ada juga orang yang memberitahukan kepadanya.” desis prajurit yang menyapa Mahisa Bungalan itu.

Sebenarnyalah Mahisa Agni tidak ada di tempat. Ketika Mahisa Bungalan sampai ke regol butulan istana Singasari, maka prajurit yang bertugas pun terkejut melihat kehadirannya dengan tergesa-gesa.

“Mahisa Bungalan.” sapa prajurit itu.

“Ya.”

“Kau datang pada malam begini.” berkata prajurit itu.

“Ya. Aku harus segera menghadap paman Mahisa Agni.” jawab Mahisa Bungalan.

Prajurit itu pun kemudian mempersilahkan Mahisa Bungalan masuk. Namun katanya, “Tetapi Mahisa Agni tidak ada di biliknya.”

”Jadi paman Mahisa Agni sedang pergi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. pamanmu Mahisa Agni sedang pergi menengok saudaranya. Bukankah Mahendra itu ayahmu?” bertanya prajurit itu.

“Jadi paman Mahisa Agni mengunjungi ayah?”

“Ya. Sepengetahuanku, Mahisa Agni pergi ke rumah ayahmu.” jawab prajurit itu.

Mahisa Bungalan merenung sejenak. Sementara prajurit itu berkata, “Tetapi kau dapat bermalam di biliknya. Besok kau dapat menyusulnya.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan pergi malam ini juga. Ada yang penting harus aku lakukan.”

“Tetapi sekarang sudah lewat tengah malam. Kau dapat beristirahat pada sisa malam ini.”

Tetapi Mahisa Bungalan berkeras hati untuk menyusul Mahisa Agni yang sedang menengok ayahnya. Bahkan Mahisa Bungalan menduga, bahwa Mahisa Agni telah mendengar apa yang telah terjadi di rumahnya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak mau tinggal di sisa malam itu di bilik Mahisa Agni. Ia pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya.

Sebagai seorang yang telah menempa diri dalam olah kanuragan maka ia dapat mengatasi perasaan letihnya. Meskipun waktunya beristirahat terlalu sempit dibanding dengan perjalanannya, tetapi Mahisa Bungalan masih nampak tetap segar. Dan ia pun masih mampu berpacu secepatnya.

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak dapat memaksa kudanya untuk berlari terus. Kuda itu tentu lebih letih dari dirinya sendiri yang hanya duduk saja di punggungnya.

Dengan demikian, Mahisa Bungalan merasa perjalanannya menjadi sangat lamban. Ia terpaksa memberi kesempatan kudanya beristirahat justru pada saat ia ingin segera sampai ke tempat.

Namun akhirnya kampung halamannya pun menjadi semakin dekat pula sejalan dengan fajar yang mulai membayang. Dengan demikian pada dini hari, ia telah memasuki regol padukuhannya, pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mulai menyapu halaman, sementara Ken Padmi telah sibuk berada di dapur bersama dengan para pembantu rumah itu.

Kedatangan Mahisa Bungalan di pagi buta itu benar-benar telah mengejutkan. Karena itu, maka seisi rumah pun segera menyongsongnya. Kedua adiknya, ayahnya dan sebenarnyalah kedua pamannya berada di rumah itu pula. Witantra dan Mahisa Agni.

”Paman Mahisa Agni dan paman Witantra sudah ada di sini.” desis Mahisa Bungalan.

”Ya, Mahisa Bungalan,” Mahisa Agnilah yang menjawab, ”pamanmu Witantra sudah mendahului kami. Aku baru menyusul kemudian.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya,

”Paman tidak melihat peristiwa yang terjadi di sini?”

”Peristiwa apa?” bertanya Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun ayahnyalah yang kemudian mempersilahkannya, ”Marilah. Naiklah. Kita akan berbicara dengan tenang. Tetapi aku kira kau tidak perlu tergesa-gesa.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Sementara ayahnya bahkan berkata, ”Atau barangkali kau akan pergi ke pakiwan lebih dulu. Mungkin kau perlu membasahi tubuhmu serba sedikit. Kau dapat mencuci muka agar kau merasa segar, setelah kau berkuda sampai dini hari.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, ”Baiklah ayah. Aku berkuda sehari semalam.”

Mahisa Bungalan pun kemudian beringsut. Namun ia tertegun ketika ia melihat sesosok tubuh di seketeng. Ternyata Ken Padmi juga mendengar kehadirannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti saudara-saudara Mahisa Bungalan. Ia tidak dapat ikut menyongsong sambil berlari-lari. Kemudian berdiri bersama-sama mereka mengerumuninya. Justru karena ia masih orang lain di rumah itu.

Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Namun ia pun kemudian melangkah beberapa langkah mendekatinya. Dengan nada dalam ia bertanya, ”Bagaimana keadaanmu selama ini, Ken Padmi?”

Gadis itu menundukkan kepalanya. Namun terdengar jawabnya perlahan, ”Aku selamat, kakang. Bagaimana dengan kau?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Aku juga selamat, Ken Padmi, sebagaimana kau lihat.”

Ken Padmi mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera tunduk kembali.
”Aku akan membersihkan diri dahulu setelah sehari semalam menempuh perjalanan.” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

”Aku akan menyiapkan minuman panas untukmu, kakang.” desis Ken Padmi tanpa memandang wajah anak muda itu.

”Terima kasih.” sahut Mahisa Bungalan. Betapa kerinduan telah menghentak jantung anak-anak muda itu. Namun mereka masih tetap menyadari, bahwa mereka masih orang lain. Mereka masih dibatasi oleh unggah-ungguh dan tata kesopanan.

Ken Padmi pun kemudian beringsut masuk ke dalam seketeng. Sementara Mahisa Bungalan telah pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangannya. Ia tahu, bahwa justru karena semalam suntuk ia tidak tidur, maka tidak baik bagi tubuhnya jika ia langsung mandi.

Dalam pada itu, kedua adiknya pun telah mengambil sebungkus kecil pakaian Mahisa Bungalan yang terikat di punggung kudanya.

Ketika anak-anak muda itu masuk ke ruang dalam untuk menyimpan pakaian Mahisa Bungalan di dalam bilik yang sebelumnya memang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan, maka terasa bahwa bilik itu tidak akan sepi lagi.

Dari bilik itu keduanya pun telah pergi ke dapur. Dilihatnya Ken Padmi sibuk menyiapkan minuman bagi Mahisa Bungalan.

Kedua anak muda itu saling berpandangan. Ken Padmi bagi mereka sudah seperti saudara kandung sendiri. Gadis itu bukan saja gadis yang memiliki keterampilan di dalam olah kanuragan. Tetapi ia adalah gadis yang rajin. Sama sekali Ken Padmi tidak menunjukkan kemanjaannya meskipun ia adalah satu-satunya anak perempuan.

”Kemanjaan tidak memberikan manfaat apapun juga,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya, ”bahkan akan dapat menimbulkan keengganan pada orang lain.”

Ketika Mahisa Bungalan kemudian naik ke pendapa, maka kedua adiknya pun telah menemuinya pula. Sementara itu Ken Padmi telah menghidangkan minuman panas kepada mereka yang duduk di pendapa itu.

“Kau juga duduk di sini,” minta Mahendra kepada gadis itu, ”biarlah makan pagi disiapkan oleh para pembantu di dapur.”

Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian duduk pula dengan kepala tunduk.

“Mahisa Bungalan,” ayahnya bertanya, ”apakah kau ingin beristirahat dahulu, baru berbicara, atau kau lebih senang berbicara sekarang sambil menunggu nasi masak?”

Mahisa Bungalan memandang berkeliling. Di tempat itu duduk Witantra dan Mahisa Agni selain adiknya dan Ken Padmi. Agaknya lebih baik berbicara saja dengan mereka, daripada harus menunda-nunda. Ia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang jika ia masih harus menyimpan persoalan yang seharusnya sudah dapat dibicarakannya.

Karena itu, maka katanya, “Kita akan berbicara sekarang, ayah. Aku kira ayah akan berbicara serba sedikit tentang Pangeran Indrasunu yang telah datang ke rumah ini.”

Mahendra mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Dari mana kau mendengar persoalan itu?”

“Aku sudah berbicara dengan Pangeran Indrasunu.” jawab Mahisa Bungalan.

“Apa katanya?” bertanya Mahendra pula.

Mahisa Bungalan pun kemudian berceritera serba sedikit tentang pertemuannya dengan Mahisa Bungalan yang kemudian disusul oleh Akuwu Suwelatama dengan beberapa orang pengawalnya.

Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni yang mendengarkan ceritera itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka bertiga berdesis,

“Syukurlah.”

“Ya,” sahut Mahisa Bungalan, “aku pun merasa bersokur bahwa Pangeran itu telah menemukan jalannya kembali. Pangeran Suwelatama pun merasa bersokur pula.”

“Jika demikian, kami tidak perlu menceriterakan apapun juga kepadamu. Kau sudah mendengar segala-galanya dari Pangeran Indrasunu.” berkata Witantra.

“Ya, paman. Aku sudah mendengar semuanya.” jawab Mahisa Bungalan.

“Juga tentang dua orang yang terbunuh, yang menurut ayah adalah dua orang perampok yang dibunuh oleh tiga orang Pangeran itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Tentang dua orang dari padang Geneng itu.” jawab Mahisa Bungalan.

“Baiklah,” berkata Mahendra, “jika demikian tidak ada lagi yang akan kita bicarakan tentang kedua perampok itu. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada yang harus kita bicarakan.”

Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia mengerti, apa yang akan dikatakan oleh ayahnya. Tentu tentang Ken Padmi yang sudah beberapa lama berada di rumah itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa Agnilah yang berkata, “Mahisa Bungalan. Kami sudah cukup tua untuk melakukan kerja apapun juga. Karena itu sudah masanya, bahwa kau mulai terjun ke arena yang sudah kau sepakati sebelumnya. Dengan demikian, rasa-rasanya kami akan menjadi tenang jika kami pada suatu saat mengundurkan diri dari segala kegiatan, karena kau sudah menggantikan kami. Setidak-tidaknya kami akan dapat melihat kau berkembang maju dalam lapangan yang lebih pasti dari yang tempuh sekarang ini.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa pamannya Mahisa Agni telah menghendaki agar ia ingat kembali kesediaannya untuk memasuki lapangan keprajuritan.

Karena itu, maka katanya, “Paman, agaknya aku memang sudah ingin menyatakan diri untuk bersedia menerima pengangkatan itu. Agaknya apa yang pantas aku lakukan, sudah aku lakukan.”

“Sokurlah,” berkata Mahisa Agni, “kau akan segera pergi ke Singasari. Kau akan mendapat wisuda memangku jabatan dalam lingkungan keprajuritan.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku sudah siap, paman. Nampaknya aku sudah tidak ingin bertualang kembali setelah aku menyimpan beberapa pengalaman yang dapat memberikan landasan bagi hidupku kemudian.”

“Bagus,” desis Witantra, “dengan demikian maka kau akan dapat mulai dengan satu kehidupan baru. Karena dengan demikian maka bukan saja kau yang akan segera hidup mapan sebagaimana kebanyakan orang. Kau harus menyadari, seseorang telah menunggumu. Tetapi ia tidak dapat menerimamu sebagai seorang petualang. Kau harus mempunyai pegangan hidup yang mapan. Baru kau akan dapat hidup bersamanya.”

Mahisa Bungalan sudah menduga, bahwa akhirnya pembicaraan itu akan sampai ke masalah itu pula. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut. Setelah ia mengalami persoalan yang terakhir berhubungan dengan Pangeran Indrasunu, maka ia pun merasa bahwa petualangannya telah sampai kepada puncaknya, sehingga sudah sepantasnya ia tidak membiarkan Ken Padmi menunggu lebih lama lagi dalam keadaannya.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh pamannya, Witantra, bahwa seharusnya ia mempunyai pegangan hidup yang mapan.

Dengan demikian, maka segalanya menjadi pasti bagi Mahisa Bungalan. Kepada ketiga orang tua itu, ia memutuskan untuk menerima wisuda secepatnya, agar dengan demikian, maka ia pun akan segera pula dapat hidup bersama dengan Ken Padmi. Gadis yang rasa-rasanya telah membakar udara di sekitarnya saat-saat ia mulai mekar di padepokannya.

Mahendra tidak merasa perlu bertanya kepada Ken Padmi. Gadis itu masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi pembicaraan itu rasa-rasanya bagaikan sejuknya air wayu sewindu. Namun betapa kegembiraan dan harapan melonjak di hatinya, namun Ken Padmi sama sekali tidak menunjukkan dengan sikap dan apalagi dengan kata-kata.

Tidak ada lagi persoalan yang akan menghambat pelaksanaan ikatan antara Mahisa Bungalan dan Ken Padmi setelah Mahisa Bungalan mendapat wisuda. Segalanya akan berjalan rancak sebagaimana mereka harapkan.

“Baiklah,” berkata Mahendra kemudian, “kita akan berbicara lebih banyak lagi pada saatnya. Kita masih menunggu, apakah Mahisa Bungalan akan mendapat wisuda secepatnya.”

Namun hal itu harus dibicarakannya, bukan di rumah itu. Tetapi di Singasari. Mahisa Agni harus menyiapkan segala sesuatunya agar wisuda itu pun dapat segera dilakukan.

“Setelah di tunda beberapa kali, aku kira kali ini kau benar-benar akan menepati janjimu,” berkata Mahisa Agni, “karena kau akan menjadi sandaran hidup orang lain. Jika kau masih belum mempunyai pegangan yang pasti, maka kau akan menjadi sandaran yang rapuh, yang tidak seharusnya.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Ia pun menyadari, bahwa ia memang harus mempunyai pegangan. Karena ia adalah sandaran.

Karena itu, Mahisa Bungalan sendiri tidak tergesa-gesa. Semua pembicaraan sudah pasti. Karena itu, ia akan dapat dengan tenang menunggu kepastian wisudanya.

Tetapi dalam pada itu Mahendra pun berkata, “Mahisa Bungalan. Bukan maksudku untuk mengusirmu. Tetapi sebaiknya besok kau ikut pamanmu ke Singasari. Kau harus memastikan diri menerima kedudukanmu sebagai seorang prajurit. Namun yang penting, sebaiknya kau memang tidak ada di rumah ini. Biarlah Ken Padmi menunggu di sini. Justru karena ia menunggumu di sini, maka sebaiknya kaulah yang meninggalkan rumah ini sekaligus untuk mengurus hari wisuda itu.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menyadari bahwa tidak pantas baginya untuk tinggal bersama-sama dengan Ken Padmi meskipun semua persoalan sudah jelas, sudah pasti. Tetapi sebaiknya ia memang tidak berada di rumah itu. Apalagi agaknya kemungkinan-kemungkinan yang gawat tidak akan terjadi lagi atas gadis itu. Pangeran Indrasunu sudah menyatakan kepadanya, bahwa ia telah menyesali segala tingkah lakunya. Menilik sikap dan kata-katanya maka ia percaya bahwa yang dikatakannya itu benar-benar akan dilakukannya.

Demikianlah pada hari berikutnya, Mahisa Bungalan yang baru sehari berada di rumahnya telah bersiap-siap untuk pergi ke Singasari bersama Mahisa Agni. Ketika ia keluar dari regol rumahnya di belakang Mahisa Agni, kesan Mahisa Bungalan pun jauh berbeda dengan perjalanannya yang pernah dilakukan dalam petualangannya saat itu adalah perjalanan yang pendek dan pasti. Ada yang dituju dan ada yang dipersoalkan untuk satu kepentingan yang pasti pula.

“Agaknya memang sudah saatnya.” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Sementara itu, Mahendra, Witantra, kedua adiknya dan Ken Padmi melepaskannya dengan kesan yang berbeda. Mahisa Bungalan pergi untuk menyongsong harapan pada massa mendatang.

Demikianlah Mahisa Bungalan pun kemudian menyusuri jalan-jalan bulak menuju ke Singasari bersama Mahisa Agni. Terasa betapa cerahnya langit di beningnya cahaya pagi.

Ternyata perjalanan Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni sama sekali tidak menemui hambatan. Mereka sampai ke kota raja dengan selamat, langsung menuju ke istana Sri Maharaja di Singasari.

Seperti perjalanan Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni, maka segala pembicaraan pun berjalan dengan rancak. Tidak ada kesulitan apapun juga untuk mengangkat Mahisa Bungalan sebagai seorang prajurit. Selain ia memang sudah dipersiapkan sejak lama, maka tempat baginya pun seolah-olah sudah disediakan.

Dengan singkat Mahisa Bungalan memberikan laporan petualangannya yang terakhir. Kepada Sri Maharaja, Mahisa Bungalan menceriterakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atas Pakuwon Kabanaran dan atas tingkah laku Pangeran Indrasunu. Namun Mahisa Bungalan mengatakan, bahwa semuanya itu telah lampau. Pangeran Indrasunu telah menemukan jalan kembali, sehingga karena itu, maka tidak ada hukuman yang perlu diberikan kepadanya.

“Tetapi aku tidak pernah menerima laporan tentang sikap itu.” berkata Sri Maharaja.

“Memang tidak pernah ada laporan.” Mahisa Agni yang menjawab, “Akuwu Suwelatama masih berhasrat untuk menyelesaikannya dengan sikap seorang keluarga dan lebih-lebih lagi seorang saudara tua.”

Mahisa Agni pun ternyata kemudian mendapat titah untuk mengurus segala-galanya. Sejak persiapan wisuda sampai kepada pelaksanaannya.

Dengan demikian maka Mahisa Bungalan akan segera dapat menunaikan tugasnya sebagai seorang laki-laki bagi seorang perempuan. Ia telah mendapatkan pegangan hidupnya justru karena ia adalah sandaran bagi isterinya.

Sementara itu, maka tugas Mahendra kemudian adalah menghubungi orang tua Ken Padmi. Segalanya itu, akan berarti bahwa masa panasnya bunga mekar di sebuah padepokan kecil akan berakhir. Bunga itu akan segera dipetik dan udara di petamanan pun akan segera menjadi sejuk.

Namun dalam pada itu, selagi segalanya sedang meniti jalan penyelesaian, ternyata bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mulai mempunyai kegemarannya yang baru. Keduanya mulai sulit di kekang. Keduanya mulai ingin mengenali wajah dunia ini dan banyak segi.

Jika Mahisa Bungalan mulai tenang dan panasnya bunga mekar mulai tersiram sejuknya embun kasih sayang seorang anak muda, maka kedua anak muda yang lain pun mulai membara oleh gelora mudanya.

Dengan demikian, maka gejolak di hati Mahendra pun mulai bergeser. Ia tidak lagi gelisah oleh petualangan Mahisa Bungalan, tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Murtilah yang kemudian mulai menghangatkan perhatiannya. Perhatian orang tua terhadap anak-anaknya.

Maka mulailah saat-saat petualangan kedua adik Mahisa Bungalan itu.....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar