Panasnya Bunga Mekar Jilid 29

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Namun para pengawal itu tidak sekedar melindungi di tempat mereka berhenti. Tetapi dengan berani pasukan berperisai itu justru telah maju sambil melindungi diri mereka, mendekati para pengawal di lapisan pertama yang bersenjata anak panah itu, diikuti oleh para pengawal yang berada di lambung pasukan.

“Luar biasa,” desis Mahisa Bungalan, “mereka adalah pengawal yang berani.”

Namun sementara itu, Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa menarik diri. Pasukan di lapis pertama itu masih tetap menyerang. Mahisa Bungalan mengharap bahwa seorang Senopati di induk pasukan akan dapat mengambil sikap yang cepat dan tepat.

Ternyata bahwa pasukan di lapis berikutnya melihat bahwa ujung pasukan lawan telah menyimpang dari garis serangan untuk mendekati pasukan pengawal yang bersenjata anak panah itu.

Karena itulah, maka ia harus cepat mengambil sikap sebelum pasukan di lapis pertama itu mengalami kesulitan. Apalagi para pengawal di Watu Mas, benar-benar telah dibakar oleh kemarahan karena pada sentuhan pertama, beberapa orang di antara mereka telah menjadi korban.

Senopati itu pun segera memerintahkan pasukan yang ada di padukuhan yang menjadi sasaran itu untuk bergerak dalam gelar yang sudah ditentukan. Gelar yang tidak terlalu lebar, karena jumlah mereka memang tidak terlalu banyak. Namun dengan para pengawal dari padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah yang masih akan datang kemudian, Senopati itu berharap akan dapat menghadapi pasukan dari Watu Mas itu.

Tanpa menghubungi Mahisa Bungalan lebih dahulu, maka Senopati dari Kabanaran itu telah memerintahkan pasukannya dengan cepat bergerak maju. Sehingga dengan demikian, maka perhatian lawan pun mulai terpecah.

Tetapi Senopati yang memimpin pasukan dari Watu Mas itu ternyata tidak menarik kembali pasukannya yang dengan sengaja mendekati pasukan di lapis pertama. Mereka mulai mendaki gumuk-gumuk dengan perisai di tangan, sementara yang lain telah mendekati tanggul-tanggul. Sementara itu, justru lambung pasukannyalah yang kemudian bergeser dalam kesatuan gelar untuk menyongsong pasukan dari Kabanaran yang datang menyerang.

Mahisa Bungalan tidak dapat mengambil kebijaksanaan lain. Dengan tegas ia menjatuhkan perintah pada pasukan berpanah itu, “Lepaskan sejauh dapat kalian lepaskan anak panah yang kalian bawa. Kalian akan bertempur dengan pedang di jarak jangkau senjata pendek itu.”

Seperti yang dipesankan itulah, maka para pengawal itu telah menghamburkan anak panah mereka semakin banyak. Tidak saja terarah kepada orang-orang berperisai yang mendekat, tetapi juga melampaui pasukan itu menghujani lambung pasukannya yang sudah siap menghadapi serangan para pengawal di Kabanaran. Sementara itu, para pengawal yang bersenjata panah itu pun tidak menyerang membabi buta. Mereka membidik bagian tubuh lawan yang nampak disela-sela perisai mereka. Bahkan mereka sempat membidik kaki lawan yang dengan demikian dapat membuat mereka menjadi lumpuh.

Namun, meskipun demikian, beberapa orang di antara mereka teringat akan pesan Mahisa Bungalan, bahwa mereka benar-benar harus menarik pedangnya dan bertempur pada jarak jangkau senjata jarak pendek itu.

is serangan, pasukan pengawal Watu Mas. Benturan kedua pasukan itu benar-benar menggetarkan. Bukan saja di lapis pertama, tetapi induk pasukan Kabanaran pun telah membentur induk pasukan pengawal dari Watu Mas.

Dengan demikian, pertempuran di antara kedua pasukan pengawal itu pun telah berkobar. Kedua belah pihak adalah pengawal- pengawal yang terlatih. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, jumlah pasukan pengawal dari Kabanaran tidak cukup banyak untuk mengimbangi pasukan dari Watu Mas. Karena itu, maka gelar dari pasukan pengawal dari Kabanaran itu pun segera telah terdesak mundur.

Namun dalam pada itu, mereka yang bertempur melawan pasukan pengawal di lapis pertama, ternyata telah terkejut mengalami perlawanan yang sangat berat. Pasukan itu adalah pasukan yang telah dibentuk oleh Mahisa Bungalan untuk menamakan diri mereka perampok dari perbatasan yang sering memasuki Pakuwon di Watu Mas. Karena itu, mereka adalah para pengawal yang telah mendapat latihan-latihan khusus untuk meningkatkan kemampuan mereka.

Karena itulah, maka keterampilan bermain senjata dari para pengawal di lapis pertama itu telah melampaui kemampuan lawan-lawannya.

Di bawah pimpinan Mahisa Bungalan sendiri, mereka telah melawan para pengawal dari Watu Mas dengan sepenuh kemampuan. Mereka telah meletakkan busur di tangan, dan menggantinya dengan pedang dan yang lain dengan tombak-tombak pendek.

Karena itulah, maka pertempuran menjadi semakin lama semakin dahsyat. Bahkan Mahisa Bungalan yang ikut langsung dalam pertempuran itu telah berhasil mendesak lawannya.

Tetapi sementara itu, induk pasukan pengawal Watu Mas ternyata telah menguasai medan. Pasukan pengawal dari Kabanaran yang jumlahnya tidak sebanyak lawannya telah terdesak.

Namun dalam pada itu, pasukan Mahisa Bungalan yang mendesak lawannya telah mendorong mereka kembali ke induk pasukan. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dan pasukannya telah berhasil mengganggu pasukan lawan dari arah lambung, sehingga dengan demikian, pasukan Mahisa Bungalan itu telah menghambat laju pasukan Watu Mas.

“Cegah mereka,” berkata Senopati dari Watu Mas, “dan hancurkan mereka lebih dahulu agar mereka tidak mengganggu laju pasukan kita. Kita akan segera memasuki padukuhan-padukuhan itu. Kita akan menjadikan padukuhan- padukuhan itu karang abang. Baru kemudian kita kembali ke Watu Mas, setelah kita menghancurkan landasan pertahanan dan landasan para pengawal yang merampok ke Pakuwon Watu Mas.”

Beberapa orang pemimpin kelompok dari para pengawal di Watu Mas telah memerintahkan pasukannya untuk berada di lambung. Mereka pun segera memperkuat diri untuk menghancurkan Mahisa Bungalan dan pasukannya.

Sebenarnyalah jumlah yang lebih banyak itu ikut menentukan. Namun para pemimpin dari Kabanaran telah meneriakkan aba-aba, ”Tanah ini adalah tanah kalian. Jangan biarkan orang lain menginjak- injaknya.”

Teriakan itu telah membakar jantung setiap pengawal dari Kabanaran. Mereka pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menghalau orang-orang Watu Mas yang telah memasuki tlatah mereka.

Tetapi bagaimanapun juga, kemampuan mereka sangat terbatas. Jumlah orang-orang Watu Mas masih terlalu banyak.

Namun dalam pada itu, ternyata pasukan pengawal Kabanaran masih juga mengalir dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Mereka yang bergegas datang dari tempat yang agak jauh ternyata memerlukan waktu yang agak panjang. Sehingga karena itu, maka mereka tidak dapat datang bersama dengan para pengawal dari padukuhan yang lebih dekat.

Kehadiran para pengawal itu telah menumbuhkan nyala baru di dalam hati para pengawal di Kabanaran yang telah terdesak. Jika mereka terlambat datang, maka korban sudah akan berhamburan.

Ketika terdengar sorak para pengawal yang memasuki arena itu terdengar, maka rasa-rasanya pasukan Kabanaran menjadi segar kembali. Mereka yang telah merasa bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk bertahan, telah bangkit dengan harapan baru.

Kehadiran para pengawal itu telah merubah keseimbangan. Meskipun jumlah pasukan pengawal dari Watu Mas masih lebih banyak, tetapi selisih yang sedikit itu tidak terlalu terasa menekan. Dengan gelora perjuangan yang tinggi, maka perbedaan itu seolah-olah telah dapat terurai. Apalagi ketika pada gelombang berikutnya, meskipun hanya sepasukan kecil pengawal di Kabanaran yang datang memasuki arena. Sorak yang membahana benar-benar telah menumbangkan suasana yang berbeda.

Senopati dari Watu Mas yang melihat kehadiran para pengawal di Kabanaran yang bergelombang itu pun menjadi cemas. Jika gelombang itu masih saja berdatangan maka akhirnya jumlah mereka akan menjadi terlalu banyak untuk dilawan.

Meskipun demikian Senopati itu tidak segera mengalami keputusan. Ia masih melihat kemungkinan untuk mendesak pasukan pengawal di Kabanaran.

Dalam pada itu, pasukan dari Watu Mas tidak lagi mempunyai banyak kesempatan untuk menghancurkan pasukan yang menyerang lambung. Mereka harus menghadapi pasukan yang membentur dari depan dengan gelar yang semakin lama menjadi semakin besar.

Mahisa Bungalan yang melihat keadaan itu telah berusaha untuk memanfaatkan keadaan. Dengan pasukannya yang memiliki beberapa kelebihan, Mahisa Bungalan telah menekan lambung.

Semakin lama terasa semakin kuat, sehingga induk pasukan Watu Mas itu tidak dapat mengabaikan lagi.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Ternyata pasukan Watu Mas tidak segera dapat mengatasi lawannya.

Bahkan semakin lama, justru karena pasukan Kabanaran menjadi semakin kuat, maka pasukan Watu Mas itu pun mulai merasa betapa membentur pertahanan yang semakin kuat.

Senopati dari Watu Mas telah berusaha dengan kemampuannya. Setiap kali ia meneriakkan aba-aba untuk menambah dorongan gairah perjuangan para pengawal dari Watu Mas. Namun setiap kali para pemimpin pasukan dari Kabanaran pun berbuat serupa pula.

Tetapi betapapun juga, akhirnya ternyata bahwa para pengawal di Kabanaran telah mencapai jumlah yang seimbang. Dengan demikian maka pasukan Watu Mas tidak lagi dapat mendesak seperti yang telah terjadi. Bahkan pertempuran itu mulai berubah ketika pasukan Kabanaran justru berhasil mendesak lawannya.

Mahisa Bungalan yang menyerang lambung pun menekan semakin kuat. Mahisa Bungalan sendiri, dengan kemampuannya yang melampaui kemampuan setiap orang di dalam lingkungan pasukan lawan, telah berada di ujung pasukannya.

Senopati dari Watu Mas mengumpat sejadi-jadinya. Ia tidak memperhitungkan kemungkinan yang demikian. Ia merasa sudah membawa pasukan yang sangat kuat dalam jumlah yang besar. Namun ternyata pasukan Kabanaran telah berhasil menghimpun pengawal dalam jumlah yang mampu mengimbangi, meskipun berangsur-angsur.

“Jika semakin lama jumlah mereka menjadi semakin banyak, maka kami akan mengalami kesulitan.” berkata Senopati itu kepada diri sendiri.

Meskipun demikian Senopati itu masih meyakinkan, bahwa pasukannya akan dapat menekan pasukan Kabanaran.

Tetapi ia tidak berhasil. Pasukan Kabanaran mampu bertahan dan bahkan mendesak pasukan Watu Mas semakin surut.

Senopati dari Watu Mas itu tidak dapat mengabaikan kenyataan itu. Karena itu, ia tidak ingin mengorbankan orang-orangnya lebih banyak lagi. Kegagalan sudah membayang dalam pengamatannya yang tajam atas pertempuran itu dalam keseluruhan.

Karena itu, maka Senopati itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera memberikan isyarat untuk menarik pasukannya, selagi mereka belum terpecah bercerai berai sehingga korban tidak akan jatuh lebih banyak lagi.

Ternyata bahwa pasukan pengawal Watu Mas juga memiliki ikatan yang kuat. Isyarat itu tidak memecah pasukan Watu Mas untuk meninggalkan medan mencari hidup sendiri-sendiri. Tetapi mereka mundur dalam kesatuan yang utuh.

Para pengawal dari Kabanaran berusaha untuk mendesak dan memecah mereka. Tetapi tidak berhasil. Pasukan Watu Mas tetap merupakan kesatuan yang justru telah menyempit sambil menarik diri.

Akhirnya, Mahisa Bungalan yang membicarakannya dengan pemimpin pengawal dari Kabanaran berpendapat bahwa pasukan pengawal dari Kabanaran tidak perlu mengejarnya terus. Mereka pun akhirnya melepaskan pasukan Watu Mas itu menghilang ke dalam hutan dengan meninggalkan beberapa orang korban yang terbunuh dan terluka parah.

Sebagaimana pasukan yang memiliki paugeran yang kuat, maka para pengawal di Kabanaran tidak berbuat sekehendak mereka sendiri terhadap orang-orang Watu Mas. Yang terluka pun telah mendapat perawatan. Sedang yang terbunuh telah diselenggarakan sebagaimana seharusnya.

Namun dalam pada itu, yang terjadi merupakan satu pengalaman. Para pengawal yang berpencar, kadang-kadang menimbulkan kesulitan pula. Pada saat-saat yang gawat, jika terjadi sedikit kelambatan akan berarti kehancuran.

“Kita harus meninjau lagi cara-cara yang ditempuh Kabanaran untuk menjaga perbatasan.” berkata Mahisa Bungalan kepada Senopati dari Kabanaran.

“Kita akan melaporkannya kepada Akuwu.” berkata Senopati itu.

Namun dalam pada itu, penghubung-penghubung berkuda pun telah menebar. Mereka memberikan laporan kepada para Senopati yang berada di perbatasan. Bahwa perang yang sebenarnya sudah dimulai. Pasukan Watu Mas benar-benar telah mulai menyerang Kabanaran.

Para penghubung itu pun telah memberikan laporan terperinci mengenai jalannya pertempuran, sehingga dengan demikian maka para penghubung itu telah menyampaikan pesan, bahwa pasukan Kabanaran harus bersiap-siap melawan pasukan Watu Mas yang datang dalam jumlah yang besar.

“Serangan pertama itu telah mengejutkan kami,” pesan Senopati Kabanaran itu kepada para Senopati yang lain, “untunglah bahwa pasukan kami pun akhirnya mencapai jumlah yang seimbang. Tetapi jika terjadi kelambatan, maka akan binasa.”

Dengan demikian, maka para Senopati itu telah mendapat gambaran, apa yang telah terjadi. Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Watu Mas.

“Mereka memang bersungguh-sungguh.” berkata salah seorang Senopati kepada para pengawalnya. “Karena itu, maka kita pun harus bersungguh-sungguh pula.”

Dalam pada itu, pasukan Watu Mas yang mundur pun ternyata telah membuat laporan terperinci kepada Akuwu di Watu Mas. Mereka menggambarkan, bahwa semua pasukan di perbatasan, telah dipenuhi dengan para pengawal dari Kabanaran.

“Mereka mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh.” berkata Senopati yang memimpin pasukan Watu Mas menyerbu Kabanaran. Lalu, “Untuk selanjutnya kita harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.”

Dengan demikian, maka Akuwu di Watu Mas dan Akuwu di Kabanaran telah mendapat gambaran tentang benturan pertama antara pasukan Watu Mas dan pasukan Kabanaran. Mereka mulai menilai apa yang terjadi sebenarnya antara kedua Pakuwon yang bertentangan itu.

Dalam keadaan yang demikian, maka Akuwu di Kabanaran telah datang langsung ke perbatasan. Dipanggilnya para Senopati untuk membicarakan persoalan yang mereka hadapi.

Dalam pertemuan itu hadir juga Mahisa Bungalan yang meskipun bukan seorang Senopati dari Pakuwon Kabanaran, namun ia telah banyak memberikan bantuan yang sangat besar sejak pergolakan yang terjadi di Pakuwon itu.

“Kita harus menilai keadaan dengan sungguh-sungguh.” berkata Akuwu Suwelatama.

Ternyata bahwa para Senopati telah bertekad untuk mempertahankan Pakuwon Kabanaran dengan segenap kemampuan yang ada. Jika pergolakan itu bermula dari tingkah laku para pengawal Pakuwon Watu Mas yang melindungi para perampok yang datang dari Watu Mas dan melakukan kejahatan di Kabanaran, maka yang berkembang selanjutnya adalah permusuhan yang benar-benar antara kedua Pakuwon itu.

“Akuwu di Watu Mas sama sekali tidak bersedia dan melihat persoalannya dengan sungguh-sungguh,” berkata Akuwu Suwelatama, “karena itu, persoalannya tidak dapat dibatasi pada persoalan yang sebenarnya. Tetapi kita sudah bertekad bahwa Kabanaran tidak akan membiarkan daerahnya menjadi sasaran kejahatan dan pemerasan oleh para penjahat yang mendapat perlindungan di Watu Mas.”

“Nampaknya Pangeran Indrasunu juga harus ikut dipersoalkan.” berkata salah seorang Senopati.

Akuwu Suwelatama menarik nafas panjang. Dipandanginya Mahisa Bungalan sekilas. Namun nampaknya Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja.

Agaknya kekecewaan dan dendam yang membara di hati Pangeran yang masih muda itu, telah menghentak-hentaknya sehingga ia akan memanfaatkan peristiwa yang manapun juga untuk sekedar melepaskan sakit hatinya tanpa memilih sasaran. Ia telah berbuat tanpa tujuan tertentu, selain menimbulkan kegelisahan, bahkan benturan-benturan kekuatan dan kekacauan di mana-mana.

“Tetapi kita tidak akan membiarkan bumi kita menjadi sasaran dendamnya,” berkata seorang Senopati, “kita sudah pernah menjadi korbannya. Kabanaran pernah dikacaukannya sehingga Akuwu harus meninggalkan istana Pakuwon Kabanaran. Apakah kita masih akan membiarkan hal yang serupa itu terulang lagi?”

”Kini ia memperalat Akuwu di Watu Mas,” sahut Senopati yang lain, “tetapi Watu Mas sendiri memang telah ditumbuhi perasaan dengki atas perkembangan Kabanaran.”

Akuwu Suwelatama yang mendengarkan setiap pendapat Senopatinya dengan sungguh-sungguh dapat mengambil kesimpulan, bahwa pasukan pengawal Pakuwon Kabanaran benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka bersedia berbuat apa saja bagi kepentingan Pakuwon mereka, bahkan sampai mengorbankan hidup mereka.

Karena itu, maka akhirnya Akuwu berkata, “Aku mengucapkan terima kasih. Kita akan mempertahankan kampung halaman ini dengan segenap kemampuan yang ada pada kita.”

“Akuwu,” berkata salah seorang Senopati, “kita tidak terikat oleh segala macam paugeran yang menyangkut hubungan antara kedua Pakuwon ini justru karena Watu Mas sudah menyerang Kabanaran. Karena itu, jika perlu, kita akan dapat menghancurkan Watu Mas di sarang mereka sendiri, agar mereka tidak lagi mampu menyerang Kabanaran.”

“Kita akan melihat segala macam perkembangan keadaan,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi apabila perlu dan memungkinkan, kita akan melakukannya.”

Dengan demikian, maka sikap Kabanaran telah tegas. Mereka akan bertempur. Bahkan jika perlu merekalah yang akan memasuki Watu Mas. Bukan hanya sekedar menunggu serangan dari Watu Mas.

Dalam pada itu, Akuwu Watu Mas pun telah menilai keadaan. Serangan mereka yang pertama, yang tidak memberikan gambaran yang cerah bagi kelebihan Watu Mas, membuat Akuwu di Watu Mas menjadi sangat kecewa.

”Seharusnya kalian membuat perhitungan yang lebih cermat.” berkata Akuwu di Watu Mas kepada Senopati yang memimpin serangan itu.

“Kami terjerat karena kami tidak mengamati setiap padukuhan di sebelah hutan di perbatasan itu.” jawab Senopati yang memimpin serangan itu.

“Orang-orang Kabanaran merasa dirinya mendapat kemenangan. Karena itu, pada suatu saat yang pendek, kalian harus dapat menebus kekalahan itu.” berkata Akuwu lebih lanjut.

“Sebenarnya kami tidak kalah,” jawab Senopatinya, “tetapi dalam keseimbangan yang demikian, mereka akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan bantuan. Karena itu, maka kami pun menarik diri. Kami tidak terpecah dan lari bercerai berai. Tetapi kami memang mengundurkan diri.”

“Bukankah kalian mengakui, bahwa persiapan orang-orang Kabanaran cukup baik? Dan kalian berpendirian bahwa untuk selanjutnya kalian harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya?” bertanya Akuwu di Watu Mas.

Senopati itu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Akuwu.”

“Bukankah itu merupakan satu pengakuan, bahwa yang kalian lakukan sebelumnya untuk memperhitungkan keadaan masih kurang?” bertanya Akuwu pula.

Senopati dari Watu Mas itu mengangguk lagi sambil menjawab, ”Ya, Akuwu.”

“Nah, jika demikian, maka kita harus memperhitungkan segala-galanya.” berkata Akuwu di Watu Mas.

Dalam pada itu, maka pada waktu-waktu berikutnya, kedua belah pihak telah mempersiapkan diri semakin ketat. Pasukan Kabanaran dan pasukan Watu Mas menjadi se makin banyak berada di perbatasan.

Namun yang terjadi kemudian adalah sekedar persiapan-persiapan. Sekali-sekali terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara para peronda dari Watu Mas dengan para peronda dari Kabanaran.

Sementara itu, Akuwu dari Watu Mas telah membuat rencana yang lebih terperinci untuk memasuki daerah Kabanaran. Mereka memusatkan pasukannya pada sisi yang lain dari garis serangannya yang pertama. Pasukannya yang terbaik telah dikumpulkan dipimpin oleh para Senopati yang terbaik pula.

Dan di antara mereka terdapat Pangeran Indrasunu.

“Pasukan Watu Mas terlalu kuat bagi Kabanaran,” berkata Pangeran Indrasunu, “kami pernah memasuki Kabanaran dan mendudukinya. Tetapi kami sama sekali tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar memperingatkan Akuwu di Kabanaran agar menyadari dirinya. Setelah kami melihat dan meyakini bahwa Akuwu di Kabanaran telah melihat kenyataan dirinya, betapa kecilnya Kabanaran, sehingga tidak akan mungkin menunjukkan kesombongannya lagi, kami telah meninggalkan kota Pakuwon itu.” Pangeran Indrasunu berhenti sejenak, lalu, “Aku tidak menyangka sama sekali bahwa Akuwu di Kabanaran akan dijangkiti lagi oleh penyakitnya yang lama. Kesombongannya itulah yang pada suatu saat tentu akan menghancurkan dirinya sendiri.”

“Kami sudah berusaha menahan diri.” berkata Akuwu di Watu Mas.

“Ya, tentu,” jawab Pangeran Indrasunu, “semua orang mengerti, bahwa Kabanaran telah berusaha menghancurkan Watu Mas dengan caranya yang licik, seolah-olah Watu Mas telah dilanda oleh kejahatan.”

“Kami tidak dapat tinggal diam.” berkata Akuwu di Watu Mas.

“Itu adalah sikap jantan. Karena itu, aku membawa pasukan yang meskipun tidak cukup banyak, tetapi akan dapat membantu memberikan kesadaran sedalam-dalamnya kepada Akuwu di Kabanaran. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah aku lakukan, seolah-olah sikap Akuwu di Kabanaran telah berubah. Ternyata bahwa aku telah dijebak oleh sikapnya yang pura-pura.” berkata Pangeran Indrasunu.

Akuwu di Watu Mas mengangguk-angguk. Senopati yang mendengar pembicaraan itu pun mengangguk-angguk pula.

Namun sebenarnyalah ada di antara mereka yang tidak memahami pembicaraan itu. Mereka sama sekali tidak melihat kesombongan Akuwu di Kabanaran. Beberapa orang Senopati melihat, bahwa Akuwu di Watu Maslah yang menolak untuk berbicara, meskipun Akuwu di Kabanaran dengan rendah hati sudah bersedia datang.

Selebihnya, ada juga satu dua orang Senopati yang dengan tajam mengamati beberapa orang kawannya yang berada di perbatasan telah bekerja sama dengan segerombolan perampok yang sering memasuki daerah Kabanaran. Bahkan perampok-perampok itu telah membuat Kabanaran menjadi bingung dan kehilangan pegangan menghadapinya. Para pengawal di Kabanaran tidak diperkenankan menumpas perampok itu langsung ke sarangnya yang berada di daerah Watu Mas. Sementara itu, para pengawal di Watu Mas ikut menikmati hasil kejahatan yang didapat oleh para perampok itu.

Tetapi mereka terikat pada janji setia kepada Akuwu dan Pakuwon di Watu Mas, sehingga apapun juga yang dikatakan oleh Akuwu akan mereka lakukan sebaik-baiknya. Demikian juga mereka tidak akan ingkar apabila mereka mendapat perintah untuk menyerang Kabanaran.

Dengan demikian, maka persiapan untuk menyerang dengan pasukan yang besar itu pun dilaksanakan dengan teliti. Beberapa orang petugas sandi telah berusaha untuk melihat padukuhan-padukuhan di belakang hutan perbatasan. Mereka memang menemukan padukuhan-padukuhan itu hampir kosong. Yang ada di padukuhan-padukuhan itu adalah para pengawal.

Dengan cermat, para petugas sandi dari Pakuwon Watu Mas itu berusaha untuk mengetahui jumlah para pengawal yang berada di padukuhan di belakang garis perbatasan itu. Mereka memperhitungkan waktu yang diperlukan oleh para pengawal itu untuk berkumpul dalam satu gelar yang memadai untuk melawan gelar pasukan pengawal di Watu Mas.

Dengan dasar perhitungan-perhitungan itulah maka Akuwu di Watu Mas telah menentukan, bahwa serangan berikutnya akan dilakukan dari landasan yang telah ditentukan itu. Pasukan Watu Mas akan dibantu oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh Pangeran Indrasunu. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi para cantrik dari padepokan itu memiliki bekal ilmu yang lebih baik dari para pengawal, karena cantrik-cantrik itu memang dipersiapkan untuk menjadi seorang yang berilmu tinggi.

Hari-hari yang merambat terus, ditandai oleh persiapan yang semakin mapan. Bahkan akhirnya Akuwu di Watu Mas yang melihat sendiri persiapan itu berkata, “Berdasarkan pengamatan para petugas sandi dan perhitungan para Senopati, maka pasukan ini akan dapat melakukan tugasnya. Menghancurkan satu kubu pertahanan Pakuwon Kabanaran. Kemudian kembali ke pangkalan.”

Saat yang demikian itulah yang telah ditunggu-tunggu oleh para pengawal. Mereka sudah mempersiapkan diri beberapa lama serta mendapat keterangan tentang kedengkian orang-orang Kabanaran sehingga kebencian mereka telah memuncak. Apalagi karena mereka telah mendapat keterangan pula tentang kekalahan yang pernah dialami oleh para pengawal dari Watu Mas sehingga mereka terpaksa kembali membawa kegagalan pada saat mereka menyerang Kabanaran.

Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah dipersiapkan. Pemusatan pasukan dan persiapan-persiapan yang lain telah diperiksa dengan teliti sehingga tidak akan ada yang mengecewakan lagi. Beberapa pedati telah membawa peralatan perang untuk mengganti apabila peralatan mereka rusak. Sementara yang lain membawa perbekalan apabila mereka perlukan. Karena Akuwu memerintahkan menghancurkan satu kubu pertahanan, sehingga perlawanan mereka berhenti sama sekali. Mungkin sehari, tetapi mungkin dua atau tiga hari.

“Serangan ini adalah serangan yang sebenarnya. Dengan demikian kami akan menunjukkan kemampuan Watu Mas. Untuk selanjutnya Kabanaran tidak akan berani menyombongkan diri lagi.” berkata Akuwu di Watu Mas.

Dalam pada itu, maka Akuwu di Watu Mas dan para Senopati telah menentukan bahwa dua hari lagi mereka akan berangkat melewati perbatasan dan memecahkan kubu pertahanan orang-orang Kabanaran. Selanjutnya mereka akan menarik diri kembali ke pangkalan.

“Kami masih belum akan menduduki satu jengkal tanah pun di Kabanaran,” berkata Akuwu Watu Mas, ”jika saatnya datang, kami akan memasuki Kabanaran dan menduduki kota Pakuwon serta istana Akuwu Kabanaran yang sombong itu.”

Namun dalam pada itu, betapapun orang-orang Watu Mas merahasiakan rencana serangan mereka, namun para petugas sandi dari Kabanaran dapat mencium pula persiapan-persiapan besar-besaran yang telah mereka lakukan. Dengan berani beberapa petugas sandi dari Kabanaran telah berhasil melihat beberapa pedati yang dipersiapkan. Sementara itu mereka pun telah melihat pasukan yang kuat di perbatasan.

Karena itulah, maka mereka pun segera melaporkan ha itu kepada para Senopati di Kabanaran. Sehingga dengan demikian maka para Senopati di Kabanaran segera bertindak dengan cepat.

Menurut perhitungan para Senopati di Kabanaran, maka padukuhan yang menjadi sasaran serangan itu adalah padukuhan yang dipergunakan untuk mengendalikan kekuatan dari Pakuwon Kabanaran untuk daerah yang panjang di perbatasan. Dengan menghancurkan tempat itu, maka pasukan di Watu Mas akan dapat menguasai padukuhan yang penting di perbatasan.

Dengan demikian, maka Kabanaran pun telah mempersiapkan diri menghadapi arus banjir bandang yang akan menimpa pasukannya.

Akuwu yang langsung memimpin persiapan itu telah memerintahkan untuk menilik semua pasukan di perbatasan. Mungkin persiapan itu hanya sekedar untuk memancing perhatian yang kemudian akan dilakukan sergapan lewat bagian yang lain. Namun ternyata bahwa di tempat lain, tidak nampak persiapan yang dapat menumbuhkan kecurigaan apapun.

Dengan demikian maka Akuwu dan para Senopati berpendapat bahwa pertahanan terkuat akan diletakkan di padukuhan yang terpenting itu.

Beberapa Senopati pilihan telah ditarik dari daerah pertahanan dan diletakkan di sekitar padukuhan terpenting itu termasuk Mahisa Bungalan, yang meskipun bukan seorang Senopati dari Pakuwon Kabanaran, namun ia ternyata memiliki kemampuan melampaui para Senopati.

Demikianlah, dua kekuatan yang besar telah berhadap-hadapan. Kabanaran yang berhasil menduga jumlah pasukan lawan, telah mempersiapkan sejumlah itu pula. Bahkan Akuwu Kabanaran telah menghimpun pasukan cadangan, karena daerah perbatasan itu tidak akan dapat menarik semua pengawal yang ada di Kabanaran. Daerah perbatasan yang panjang masih tetap memerlukan pengawasan, sementara di seluruh Pakuwon keamanan dan perlindungan masih tetap diselenggarakan sebaik-baiknya.

Karena itu, maka anak-anak muda yang telah mengikuti latihan singkat namun mencukupi, telah dipersiapkan pula. Mereka tidak akan langsung dilibatkan dalam pertempuran. Namun pada saat tertentu, jika keadaan memaksa, mereka pun akan terlibat pula.

Karena itulah, maka dalam kesempatan yang sempit itu, pasukan cadangan itu pun, telah mempergunakan waktu mereka untuk memperdalam olah kanuragan.

Dalam pada itu, ternyata pasukan Kabanaran berhasil mengumpulkan pasukan pengawal sejumlah yang diperlukan. Bahkan mereka telah menempatkan para pengawal itu di padukuhan yang akan menjadi sasaran, siap untuk menyusun gelar.

Demikianlah pada hari yang sudah ditentukan, maka pasukan Watu Mas pun telah mempersiapkan diri. Pada tengah malam, pasukan segelar sepapan telah menyusun barisan. Mereka akan memasuki hutan perbatasan dan muncul di daerah Kabanaran pada saat matahari mulai memanjat langit.

Dengan obor pasukan Watu Mas memasuki hutan di perbatasan. Namun karena hutan itu bukan hutan yang pepat dan padat, maka mereka tidak banyak mengalami kesulitan di perjalanan. Bahkan menelusuri jalan setapak, pedati-pedati mereka dapat menyusup di antara pepohonan.

Dengan gempita pasukan itu sama sekali tidak mencemaskan,bahwa kehadirannya akan mengalami perlawanan yang memadai. Mereka menganggap bahwa pasukan Kabanaran di perbatasan tidak akan dapat mengimbangi jumlah mereka, meskipun orang Kabanaran mengetahuinya.

Bahkan menurut rencana mereka, pasukan dari Watu Mas itu akan berhenti sejenak, di seberang hutan perbatasan. Mengatur diri dalam gelar perang yang sempurna. Kemudian menempatkan beberapa bagian orang orang mereka untuk mempersiapkan perbekalan dalam satu perkemahan. Sementara pasukan yang lain akan maju memasuki padukuhan-padukuhan terpenting di daerah Kabanaran.

“Kita siapkan tenaga cadangan sebaik-baiknya,” berkata Senopati yang memimpin serangan itu, “kita tidak boleh kehilangan kekuatan justru setelah kita mengerahkannya pada benturan yang pertama. Tenaga cadangan itu harus dapat digerakkan setiap saat diperlukan.”

Iring-iringan dari Watu Mas dengan diterangi oleh berpuluh-puluh obor itu ternyata telah menggemparkan penghuni-penghuni hutan. Binatang-binatang salang tunjang. Burung-burung di pepohonan menjadi kebingungan.

Namun api-api obor itu sama sekali tidak mengganggu, binatang-binatang yang ketakutan itu.

Menjelang fajar, iring-iringan itu benar-benar telah keluar dari hutan perbatasan. Seperti yang mereka rencanakan, maka mereka pun segera membangun perkemahan. Pedati-pedati yang mereka bawa segera mereka tempatkan pada sisi sebelah menyebelah. Sekelompok dari antara para pengawal yang ditunjuk menjadi pasukan cadangan itu pun akan menjaga perkemahan. Selain tugasnya itu, maka pada saat tertentu jika diperlukan, maka pasukan cadangan ini pun akan turun ke arena.

Ternyata obor-obor yang muncul dari dalam hutan itu telah dilihat oleh para pengawas dari Kabanaran. Mereka pun segera melaporkan, bahwa pasukan lawan telah menyeberangi hutan perbatasan.

“Mereka kini bersiap-siap di pinggir hutan. Mereka telah membuat perkemahan dengan beberapa buah pedati yang mengangkut perbekalan dan senjata.” berkata pengawas itu.

“Mereka siap untuk melakukan perang berjangka.” berkata Senopati dari Kabanaran. Lalu, “Baiklah. Kita harus mengimbangi. Dalam pada itu, pasukan cadangan kita pun harus mendapat tempaan yang sebaik-baiknya. Lahir dan batin.”

Menjelang fajar, pasukan Kabanaran pun telah disiapkan pula dalam gelar. Jumlah mereka cukup memadai. Jika kedua pasukan itu bertemu, maka keduanya akan memiliki kekuatan yang seimbang.

Namun dalam pada itu, selagi semua perhatian dari Watu Mas dan Kabanaran ditujukan kepada pertempuran besar-besaran itu, maka Akuwu di Kabanaran pun telah bertindak cepat. Ia tidak melupakan sumber pertikaian.

Dengan cepat ia menghimpun para pengawal di sisi yang lain yang berhadapan dengan hutan perbatasan yang menyimpan sarang para perampok yang sering memasuki daerah Kabanaran.

Menurut perhitungan para pengamat, jumlah perampok itu sebenarnya tidak begitu banyak, sehingga mereka akan dapat dengan segara diselesaikan.

Karena itu, dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, Akuwu sendiri akan memimpin pasukan itu, sementara ia menyerahkan kepada seorang Senopati tua untuk menampung segala persoalan yang timbul. Juga persoalan yang timbul di daerah pertempuran melawan orang-orang Watu Mas.

“Siapkan sekelompok penghubung berkuda,” berkata Akuwu, “mereka akan menghubungi aku setiap saat di daerah perbatasan. Aku akan selalu memberikan keterangan tentang pasukanku.”

Demikianlah, Kabanaran telah membuka dua garis pertempuran. Namun agaknya menurut perhitungan Akuwu Suwelatama, segalanya akan diselesaikan sebaik-baiknya.

Pada saat yang bersamaan dengan gerakan pasukan Watu Mas, Akuwu Suwelatama memasuki hutan perbatasan langsung menuju ke sarang perampok yang mendapat perlindungan dari para pengawal. Namun agaknya para pengawal dari Watu Mas sedang memusatkan perhatiannya kepada pertempuran yang bakal pecah karena pasukan Watu Mas telah menusuk langsung ke dalam daerah Kabanaran dibantu oleh Pangeran Indrasunu yang masih saja selalu dibakar oleh dendam dan kecewa.

Pada saat yang hampir bersamaan pula, kedua pasukan itu memasuki garis perang meskipun dalam ujud yang berbeda. Pasukan Watu Mas yang segelar sepapan telah mendekati pusat pertahanan pasukan Kabanaran dalam gelar yang utuh. Mereka telah membuka gelar Garuda Nglayang dengan rangkaian kebesaran. Umbul-umbul, rontek dan panji-panji kebesaran Pakuwon Watu Mas telah dipasang di induk pasukannya. Sementara pada sayap gelar, Senopati pengapit telah mengibarkan panji-panji dengan tunggul masing-masing pasukan.

Para pengawas dari Kabanaran yang selalu mengikuti gerak pasukan Watu Mas itu pun selalu memberikan laporan terperinci. Sementara itu, pasukan Kabanaran pun telah turun dengan tanda-tanda kebesarannya pula, karena para Senopati sadar, tanda-tanda kebesaran itu akan memberikan pengaruh jiwani kepada para pengawal.

Demikianlah, kedua belah pihak menjadi berdebar-debar. Ketika matahari mulai memanjat langit, maka mereka pun mulai melihat dengan jelas, pasukan yang akan dihadapi.

Pasukan Kabanaran telah membuka gelar Sapit Urang untuk mengimbangi gelar lawannya yang melebar. Tetapi Kabanaran meletakkan sayap pasukannya agak ke depan. Kabanaran cukup percaya kepada para pengawal yang dipimpin oleh para Senopati pengapit.

Dalam pada itu, di induk pasukan Kabanaran terdapat pula Mahisa Bungalan.

Yang terdengar kemudian adalah gempitanya pasukan kedua belah pihak yang bersorak menjelang benturan kedua kekuatan itu. Para Senopati dan para pengawal telah menggenggam senjata masing-masing dan siap untuk bertempur.

Pada saat yang demikian itulah, Akuwu Suwelatama yang memimpin sendiri pasukannya yang tidak begitu besar, tetapi yakin dan percaya akan kemampuan diri sendiri, telah mendekati sarang para perampok yang memang sudah diketahui sebelumnya. Namun karena sarang perampok itu terletak di Pakuwon Watu Mas dan selalu mendapat pengawasan dari para pengawal di Watu Mas, maka para pengawal dari Kabanaran tidak dapat mencapainya, karena Kabanaran masih selalu menjaga diri, menghindari benturan kekuatan dengan Watu Mas. Namun karena persoalannya sudah semakin menjalar, maka Kabanaran tidak lagi merasa wajib untuk mengekang diri.

Sebenarnyalah sebagian besar para pengawal perbatasan Watu Mas telah ditarik dan dihimpun di dalam satu barisan yang besar. Pengawal yang tersisa, sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan gerakan pasukan pengawal Kabanaran memasuki Watu Mas di bagian lain dari perbatasan itu, dan langsung menusuk ke sarang para perampok yang untuk beberapa lamanya selalu mendapat perlindungan mereka para perampok itu selalu memberikan sebagian dari hasil mereka kepada para pengawal perbatasan yang mencegah pasukan pengawal Kabanaran mengejar mereka.

Namun pada saat itu, para perampok itu tidak berada di bawah perlindungan para pengawal yang sedang sibuk. Pengawal yang tersisa tidak terlalu banyak dan tidak menduga sama sekali bahwa Akuwu Suwelatama sendiri telah memasuki daerah Watu Mas.

Kehadiran para pengawal dari Kabanaran itu benar-benar telah mengejutkan para perampok yang merasa dirinya tidak dapat diganggu gugat. Bahkan para perampok itu pun mengerti, bahwa di bagian lain di perbatasan itu telah terjadi pertempuran yang besar antara pasukan pengawal perbatasan Watu Mas melawan pasukan perbatasan Kabanaran. Bahkan pemimpin perampok itu telah menghitung kemungkinan untuk memancing di air keruh. Selagi para pengawal terlibat dalam pertempuran besar, yang menurut perhitungannya tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dua tiga hari, maka ia akan dapat membawa para pengikutnya untuk memasuki Kabanaran dan merampok tanpa rintangan.

Namun tiba-tiba saja, selagi para perampok itu beristirahat tanpa memikirkan apapun juga, seorang di antara mereka yang kebetulan berada di luar sarang mereka, telah berlari-lari menemui pemimpinnya.

“Ada apa?” bertanya pemimpinnya.

“Pasukan pengawal Kabanaran.” jawabnya hampir berteriak.

“Jangan gila. Pasukan pengawal Kabanaran sebagian besar ditarik ke dalam perang yang besar itu.” jawab pemimpinnya.

“Tetapi pasukan itu menuju kemari.” orang menjelaskan.

Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Beberapa orang yang mendengar laporan itu pun kemudian mengerumuninya.

“Aku bersumpah. Pasukan itu akan datang.” katanya gagap.

Pemimpin perampok itu tidak berpikir lebih panjang lagi. Pengikutnya itu tentu tidak akan membohonginya. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “Bersiaplah. Kita akan menghadapi lawan.”

Para perampok itu pun segera berlari-larian mengambil senjata mereka. Beberapa orang yang telah bersiap lebih dahulu, telah berlari ke pintu gerbang sarang mereka.

Sebenarnyalah, pada saat itu telah muncul sepasukan pengawal dari Kabanaran yang dipimpin langsung oleh Akuwu Suwelatama.

Ketika Akuwu melihat para perampok sudah siap menunggu, maka ia pun segera memerintahkan pasukannya memencar. Akuwu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan isyarat ia pun langsung memerintahkan pasukannya untuk menyerbu.

Para pengawal pun bergerak cukup cepat. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Para pengawal yang berada di barisan paling depan langsung menyerbu para perampok yang keluar dari regol, sementara yang lain telah menebar dan memasuki sarang para perampok itu dengan meloncati dinding kayu di seputar barak mereka.

Serangan itu benar-benar tidak terduga pula. Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, beberapa orang pengawal telah berloncatan memasuki sarang para perampok itu dari segala arah.

Para perampok yang tidak bersiap sama sekali menghadapi serangan itu, dan cara yang telah dilakukan oleh para pengawal itu menjadi bingung. Beberapa orang di antara mereka tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan.

Tetapi sesaat kemudian, maka mereka pun mulai menyadari keadaan yang terjadi. Dengan senjata teracu maka mereka pun segera menyongsong pasukan pengawal Kabanaran yang terdekat.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang bertebaran di seluruh barak. Di longkangan-longkangan para pengawal telah bertempur dengan para perampok yang kebingungan.

Dengan demikian maka pada benturan pertama, para perampok telah melepaskan beberapa orang korban. Sementara para pengawal telah memasuki sarang para perampok itu sampai ke segala sudut.

Tidak seorang pun dari antara para perampok itu yang sempat melarikan diri. Semuanya terjebak ke dalam pertempuran yang sengit. Seorang lawan seorang di segala tempat di dalam sarang itu.

Ternyata bahwa kemampuan para pengawal memang melampaui kemampuan para perampok. Meskipun ada juga satu dua orang perampok yang mampu mendesak lawannya, namun sebagian terbesar dari para perampok itu tidak mampu bertahan.

Sebagaimana pesan Akuwu Suwelatama, maka para pengawal tidak boleh berbuat menurut kata hati mereka masing-masing.

Mereka datang tidak untuk melepaskan dendam dan membunuh tanpa pertimbangan. Tetapi mereka dengan satu tujuan tertentu. Menghancurkan gerombolan perampok itu. Dan menghancurkan mereka tidak berarti menumpas mereka semua.

Meskipun demikian, dalam pertempuran yang keras, maka tidak mudah untuk menahan diri dan kobaran nyala api di dalam dada yang membara. Para pengawal Kabanaran yang harus bertempur dengan sepenuh kemampuan itu kadang-kadang memang tidak lagi dapat memperhitungkan, seberapa dalam ia harus menghunjamkan pedangnya.

Karena itu, maka korban demi korban pun berjatuhan. Para perampok yang lengah sekejap, telah tertebas oleh tajamnya pedang para pengawal di Kabanaran yang dipimpin langsung oleh Akuwu Suwelatama.

Apalagi pertempuran itu berlangsung menebar. Karena itu, maka agak sulit bagi para pengawal untuk mengendalikan diri mereka masing-masing.

Pemimpin perampok yang berada di regol bersama sebagian besar orang-orangnya melihat, betapa para pengikutnya mengalami kesulitan. Ketika ia sendiri mengamuk dengan canggah di tangan, maka ia telah berhadapan langsung dengan Akuwu Suwelatama.

“Nampaknya kau adalah pemimpin gerombolan perampok ini?” bertanya Akuwu.

“Aku tidak ingkar. Siapa kau?” bertanya pemimpin perampok itu.

“Suwelatama.” jawab Akuwu dari Kabanaran itu.

“Kaukah Akuwu Suwelatama?” bertanya pemimpin perampok itu pula.

“Ya.” jawab Akuwu itu.

Tiba-tiba pemimpin perampok itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Bagus. Ternyata kau adalah Akuwu yang berani. Kau tidak berada di medan perang yang terjadi karena serangan para pengawal dari Watu Mas. Tetapi kau justru berada di sini. Kau menghindarkan diri dari peperangan yang besar, dan lebih senang memasuki hutan perbatasan yang tidak siap menerima kedatanganmu ini. Tetapi kau salah, Akuwu. Agaknya justru di sini kau akan mengalami nasib buruk.”

Akuwu tidak menjawab. Tetapi ia sudah mengacukan senjatanya. Ketika selangkah ia maju, maka pemimpin perampok itulah yang justru telah menyerangnya dengan canggahnya.

Tetapi Akuwu sudah siap melawannya. Karena itu, maka serangan tidak sempat menyentuhnya. Bahkan pemimpin perampok itu harus meloncat menjauh karena Akuwulah yang kemudian telah menyerangnya dengan cepat.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya memiliki bekal ilmu kanuragan yang tinggi.

Sementara itu, di bagian lain dari sarang para perampok itu, pengawal dari Kabanaran telah berhasil mengusai sebagian besar dari mereka. Beberapa orang perampok yang tidak mampu lagi melawan, telah meletakkan senjata mereka, selain yang terluka parah.

Karena itu, maka para pengawal yang telah menyelesaikan tugasnya itu pun telah bergeser ke halaman depan dari sarang itu, sehingga mereka, kecuali yang menjaga para lawanan, telah bergabung dengan para pengawal yang masih bertempur melawan para perampok.

Namun dalam pada itu, pemimpin perampok yang bertempur langsung melawan Akuwu itu pun tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Bahkan semakin lama, ia pun menjadi semakin terdesak dan kehilangan kesempatan. Canggahnya yang garang, tidak mampu mendesak Akuwu Suwelatama. Bahkan kadang-kadang senjata Akuwu telah terasa tergores di tubuhnya.

Apalagi ketika lawan para perampok di halaman itu seolah-olah menjadi semakin banyak, karena sebagian para pengawal yang semula menebar telah berkumpul. Sehingga karena itu, maka agaknya sudah tidak ada harapan lagi untuk dapat bertahan lebih lama lagi.

Karena itulah, maka pemimpin perampok itu pun kemudian tidak dapat mengingkari kenyataan. Dengan serta merta ia telah melemparkan senjatanya sambil berteriak nyaring, “Aku menyerah.”

Suara pemimpin perampok itu sekaligus menjadi pertanda dan perintah terhadap para pengikutnya. Mereka pun telah berloncatan menjauhi lawannya dan melepaskan senjata masing-masing.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah berakhir. Jauh lebih cepat dari pertempuran yang terjadi di bagian lain dari perbatasan antara Watu Mas dan Kabanaran.

Dalam pada itu, Akuwu pun segera mengumpulkan para perampok yang telah menyerah. Mengumpulkan senjata mereka dan menugaskan sebagian dari mereka merawat kawan-kawan mereka yang terluka.

“Kawan-kawan kalian yang terbunuh, harus kalian selenggarakan pemakamannya. Selanjutnya kalian akan ikut bersama kami ke Pakuwon Kabanaran.” berkata Akuwu Suwelatama, “Namun sebelumnya kalian harus menunjukkan, di mana kalian menyimpan harta benda hasil rampokan kalian di tlatah Kabanaran selama ini.”

Pemimpin perampok mengerutkan keningnya. Namun Akuwu pun berkata, “Aku dapat berbuat baik terhadap kalian, tetapi aku pun dapat berbuat kasar. Sebenarnya kami sudah kehilangan pertimbangan-pertimbangan bening selama ini. Namun kami masih akan berusaha jika kalian membantu.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara Akuwu berkata, ”Tetapi itu akan kami pikirkan nanti. Yang penting, rawatlah kawan-kawan kalian yang sakit dan selenggarakanlah kawan-kawan kalian yang terbunuh. Tetapi jika seorang saja di antara kalian yang berbuat aneh-aneh, maka kalian seluruhnya akan binasa.”

Demikianlah maka para perampok itu pun kemudian telah mengumpulkan dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka, sementara mereka pun telah mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di bawah pengawasan para pengawal dari Kabanaran.....

Ketika kerja para perampok itu telah selesai, maka mulailah Akuwu Kabanaran bertanya kepada pemimpin perampok itu, di mana mereka menyimpan harta benda hasil rampokan mereka yang selalu mereka lakukan di daerah Kabanaran.

“Aku dapat mengembalikan kepada yang berhak.” berkata Akuwu di Kabanaran, “Jika hal itu tidak mungkin lagi, maka aku akan dapat mempergunakan harta benda dari Kabanaran itu untuk kepentingan kesejahteraan rakyat di Kabanaran.”

“Apakah benar begitu?” bertanya perampok itu.

“Jika tidak demikian, apakah kau mempunyai dugaan lain?” bertanya Akuwu Kabanaran.

“Jangan ragu-ragu. Katakan.” desak Akuwu.

Pemimpin perampok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Memang mungkin terjadi tidak seperti yang Akuwu katakan. Mungkin harta benda itu justru akan jatuh ke tangan sebagian kecil saja dari para pemimpin di Kabanaran untuk kepentingan diri mereka sendiri.”

“Apakah hal seperti itu berlaku di Watu Mas?” bertanya Akuwu di Kabanaran.

Pemimpin perampok itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Kami mendapat perlindungan dari beberapa orang pemimpin pengawal. Tetapi kami harus menyerahkan sebagian dari hasil rampokan kami kepada mereka.”

“Aku tahu. Itulah sebabnya kami tidak dapat mengejar kalian sampai ke sarang. Dan persoalan itu pulalah antara lain sebab dari kemelut yang terjadi sekarang ini.” jawab Akuwu. Lalu, “Namun setelah pertempuran benar-benar pecah, kami tidak perlu lagi menghormati daerah kekuasaan Watu Mas yang dapat kalian pergunakan untuk berlindung selama ini.”

Pemimpin perampok itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Akuwu pun mendesak, “Sekarang, katakanlah. Di mana kau simpan barang-barangmu.”

“Aku tidak akan mengatakannya.” berkata pemimpin perampok itu.

“Jangan keras kepala!” geram Akuwu, “Jangan menunggu sampai aku kehilangan kesabaran.”

“Aku sudah bertekad untuk menutup mulutku.” jawab pemimpin perampok itu.

Wajah Akuwu menjadi tegang. Tiba-tiba saja Akuwu itu pun berdiri tegak sambil berkata lantang, “Bawalah semua orang berurutan lewat di hadapanku. Aku akan bertanya kepada mereka seorang demi seorang. Jika orang itu tidak mau mengatakan, di mana barang-barang mereka simpan, maka aku akan membunuh mereka. Satu demi satu. Biarlah aku membunuh sampai orang terakhir. Aku tidak memerlukan mereka lagi. Yang penting dendam ini telah terlepaskan.”

Wajah pemimpin perampok itu pun menjadi merah. Dengan nada dalam ia berkata, “Apakah kau dapat berbuat sekejam itu?”

”Aku tidak akan berbuat demikian terhadap rakyat Kabanaran. Tetapi terhadap musuh Kabanaran, aku dapat berbuat apa saja. Para pengawalku akan dengan suka rela melakukannya, karena mereka pun telah mendendam terhadap kalian sejak waktu yang sangat lama. Mereka menunggu kesempatan, sampai kapan, mereka dapat melepaskan dendam mereka terhadap kalian.”

“Itu bukan sifat seorang kesatria. Seorang kesatria tidak akan membunuh lawan yang menyerah.” jawab pemimpin perampok itu.

“Hanya lawan yang seimbang dalam ilmu dan derajadnya. Kalian adalah perampok-perampok yang memiliki martabat jauh lebih rendah dari seorang Akuwu dan pengawal-pengawalnya. Karena itu, seorang kesatria tidak terikat oleh kewajibannya untuk berbuat sebagaimana kau katakan.” jawab Akuwu, “Kecuali jika kalian benar-benar menunjukkan martabat kalian sebagai seorang laki-laki jantan yang berani bertanggung jawab atas segala perbuatan kalian.” geram Akuwu.

“Aku akan bertanggung jawab.” sahut pemimpin perampok itu.

“Jika demikian, katakan, di mana benda orang-orang Kabanaran yang kalian rampok? Kami wajib mengembalikannya atau mempergunakan bagi kesejahteraan rakyat Kabanaran.” jawab Akuwu, “Jika tidak, kami akan mendapat cukup kepuasan dengan membunuh kalian semua, atau justru dengan cara lain melepaskan kalian seorang demi seorang di padukuhan-padukuhan yang pernah mengalami perampokan.”

“Itu sangat keji.” jawab pemimpin perampok itu.

“Apa artinya kekejian seperti itu jika memang dapat mendatangkan kepuasan?” bertanya Akuwu.

“Itu tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang beradab.” pemimpin perampok itu hampir berteriak.

“Jangan berteriak. Aku dapat menjatuhkah hukum picis terhadapmu,” sahut Akuwu, “kecuali jika kau bersikap jantan.”

Tidak ada pilihan lain. Akhirnya pemimpin perampok itu pun berkata, ”Kau berhasil memeras kami. Aku tahu, yang kau katakan itu tidak akan kau lakukan. Tetapi biarlah aku mengatakan di mana barang-barang itu kami simpan, karena barang-barang itu tidak akan bermanfaat apapun juga bagi kami.”

Akuwu di Kabanaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jika kau berpendirian seperti itu, cepat katakan, di mana harta benda itu.”

Pemimpin perampok yang tidak dapat ingkar lagi itu pun kemudian membawa Akuwu dan dua orang pengawal ke tempat harta benda mereka sembunyikan, di dalam goa di bawah tanah.

“Kau memang iblis!” geram Akuwu ketika dilihatnya harta benda yang tidak ternilai harganya, ”Kau sudah merampok harta benda milik rakyatku di Kabanaran.”

Pemimpin perampok itu tidak menjawab. Tetapi dalam cahaya obor ia melihat, betapa wajah Akuwu memancarkan kemarahannya. Harta benda yang tersimpan itu adalah harta benda yang memang telah dirampoknya dari orang-orang Kabanaran.

“Biarlah harta benda itu kembali kepada orang-orang Kabanaran,” geram Akuwu, “meskipun sulit untuk mengembalikan seorang demi seorang, karena perampokan itu sudah berlangsung sejak lama sekali, namun aku dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang lain bagi Kabanaran.”

Pemimpin perampok itu tidak menjawab.

Dalam pada itu, maka Akuwu di Kabanaran itu pun kemudian memerintahkan pemimpin perampok itu memanggil kawan-kawannya untuk mengambil harta benda yang tersembunyi di dalam goa itu. Mereka pulalah yang harus membawa harta benda itu ke Pakuwon Kabanaran di bawah pengawalan yang kuat.

Segalanya itu dilakukan dengan cepat. Akuwu tidak menunggu persoalan itu berkembang. Meskipun perhatian orang-orang Watu Mas sebagian tertuju kepada peperangan yang terjadi di daerah lain dalam urutan perbatasan, namun tentu masih ada kelompok-kelompok pengawal yang tersisa di perbatasan itu.

Karena itulah, maka ketika segalanya sudah siap, Akuwu di Kabanaran tidak menunggu lebih lama lagi.

Demikianlah maka sebuah iring-iringan telah meninggalkan hutan perbatasan. Yang dibawa oleh para perampok itu selain harta bendanya, juga kawan-kawan mereka yang terluka parah, dengan anyaman tali pada dua batang kayu di sebelah menyebelah.

Dalam pada itu, di bagian lain dari perbatasan antara Watu Mas dan Kabanaran, telah terjadi pertempuran yang jauh lebih besar dari pertempuran yang terjadi antara para pengawal yang dipimpin oleh Akuwu melawan para perampok. Pertempuran yang telah melibatkan kekuatan puncak dari Pakuwon Watu Mas dan Pakuwon Kabanaran.

Yang terjadi adalah benturan dua gelar pasukan segelar sepapan dengan segala kelengkapan dan kebesarannya. Umbul-umbul, rontek, panji dan tunggul. Namun pada kedua pasukan itu tidak terdapat kelebet pertanda kehadiran Akuwu masing-masing.

Akuwu Watu Mas dengan berdebar-debar menunggu setiap berita yang datang dari medan perang. Sedangkan Akuwu di Kabanaran justru telah melakukan tugas yang penting, yang sebenarnya merupakan sumber dari segala pertentangan antara Pakuwon Kabanaran dan Pakuwon Watu Mas.

Dalam pada itu, ternyata bahwa benturan dua kekuatan yang besar itu telah menimbulkan pertempuran yang besar pula. Tidak dapat dihindari, bahwa dari kedua belah pihak telah jatuh korban. Kematian disusul dengan kematian. Yang terluka parah telah diangkut dan disingkirkan oleh kawan-kawan mereka. Sementara yang berada di belakang garis perang telah sibuk dengan perawatan dan juga menyediakan makan dan minum bagi mereka.

Dalam pada itu, ternyata pada hari yang pertama, pasukan dari Kabanaran telah terdesak mundur. Gelar Sapit Urang yang memberikan tekanan kekuatan kepada ujung-ujung sayap pasukan, telah mengalami kesulitan untuk melawan gelar Garuda Nglayang dari pasukan Watu Mas. Kekuatan pasukan Watu Mas memang berada pada induk pasukan mereka. Karena itulah, maka ketika induk pasukan Pasukan Kabanaran terdesak mundur, sayap-sayapnya pun ikut mundur pula, agar gelar mereka tidak terputus dan jika demikian, maka para pengawal Watu Mas akan berhasil memecahkan gelar para pengawal dari Kabanaran. Dalam keadaan yang demikian, maka keadaan pasukan Kabanaran akan menjadi lebih parah.

Karena itu, maka seluruh gelar telah ditarik meskipun perlahan-lahan. Sementara pasukan Kabanaran berusaha untuk menghimpun kekuatannya agar mereka tidak terdesak terus.

Dengan menarik beberapa bagian dari pasukannya yang berada di sayap, di bawah pimpinan Senopati pengapitnya, maka pasukan Kabanaran akhirnya dapat bertahan. Tetapi pasukan Kabanaran masih belum dapat mendesak maju.

Garis perang itu bertahan sampai matahari turun ke ujung Barat, sehingga akhirnya, ketika malam menjadi gelap, telah terdengar isyarat dari kedua belah pihak, bahwa pertempuran telah dihentikan.

Yang kemudian nampak di arena itu adalah beberapa orang sambil membawa obor berusaha untuk menemukan kawan-kawan mereka yang terluka parah. Yang sudah gugur, mereka memang harus mengikhlaskannya. Namun yang terluka memang wajib untuk mendapat pertolongan.

Kedua belah pihak sama sekali tidak saling mengganggu dalam tugas kemanusiaan itu. Meskipun kadang-kadang dua tiga pengawal berobor itu berpapasan. Namun mereka hanya saling memandang dengan penuh kebencian tanpa berbuat sesuatu.

Sementara itu, di padukuhan yang menjadi pusat kepemimpinan pasukan Kabanaran, telah terjadi kesibukan yang luar biasa. Para petugas telah dengan sigapnya melayani para pengawal. Mereka yang tergores senjata segera mendapat perawatan. Mereka yang lapar telah disediakan makan, sementara yang haus telah disediakan minuman.

Beberapa orang telah pergi ke tempat persediaan senjata, karena senjata yang mereka pergunakan telah cacat. Bahkan ada di antara mereka yang memilih senjata yang lain, yang menurut pertimbangannya lebih sesuai dipergunakan dalam perang yang besar itu.

Di seberang arena, orang-orang Watu Mas pun telah sibuk pula sebagaimana orang-orang Kabanaran. Mereka telah membuat perapian di pinggir hutan untuk menyiapkan makan dan minum bagi pasukan Watu Mas. Yang terluka pun telah mendapat perawatan. Ada di antara mereka yang harus segera kembali ke Watu Mas karena lukanya terlalu parah.

Dua buah pedati malam itu juga telah meninggalkan medan membawa orang-orang yang terluka terlalu parah.

Namun mendahului pedati yang kembali ke Watu Mas, empat orang penghubung dengan tergesa-gesa membawa laporan tentang keadaan medan.

Akuwu di Watu Mas menerima laporan itu pada larut malam. Namun pada saat yang hampir bersamaan, Akuwu di Watu Mas itu pun telah menerima laporan, bahwa pasukan Kabanaran telah memasuki wilayah Watu Mas di bagian lain di perbatasan, dan telah menghancurkan sarang perampok yang sejak semula menjadi masalah antara kedua Pakuwon itu.

“Gila,” geram Akuwu di Watu Mas, “orang-orang Kabanaran memang licik. Mereka mengambil kesempatan dari pertempuran itu untuk merampas harta benda yang telah berada di Watu Mas. Jika harta benda yang disimpan oleh para perampok itu kita ambil lebih dahulu, maka harta benda itu akan sangat bermanfaat bagi kita, khususnya bagi peperangan ini.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi seorang Senopati tidak dapat mengerti, bahwa kelincahan sikap Akuwu di Kabanaran itu disebutnya sebagai satu sikap yang licik.

“Akuwu Kabanaran justru telah berbuat sesuatu berdasarkan perhitungan yang cermat.” berkata Senopati itu di dalam hatinya. “Justru kamilah yang lengah. Sama sekali bukan satu kelicikan.”

Tetapi Senopati itu sama sekali tidak berani mengatakannya kepada Akuwu. Ia sadar, bahwa Akuwu tentu akan menjadi sangat marah.

Apalagi hampir bersamaan waktunya, telah datang pula para penghubung di medan perang yang menyatakan, bahwa pasukan Watu Mas masih bertahan.

”Kami dapat mendesak maju,” berkata penghubung itu, ”tetapi hampir tidak berarti, karena kami tidak dapat mencapai sebuah padukuhan pun. Ketika senja turun, pasukan Kabanaran masih berada di luar padukuhan yang menjadi induk kekuatan pengawal perbatasan.”

“Besok kalian harus memasuki padukuhan itu,” berkata Akuwu, “kalian harus menghancurkan segala isi padukuhan itu dan membuatnya karang abang. Tugas kalian adalah mencerai-beraikan pertahanan di perbatasan itu. Baru kemudian kalian akan kembali ke Watu Mas, sebelum kita menyiapkan sergapan yang sebenarnya langsung ke pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran.”

”Kenapa kita tidak mengambil keuntungan dari pertempuran ini?” berkata senopati yang hadir, “Jika Pasukan Kabanaran sudah berhasil dipecahkan, maka alangkah mudahnya untuk memasuki pusat pemerintahannya. Jika kita tarik kembali pasukan kita, dan kemudian berangkat lagi memasuki arena pertempuran, agaknya orang-orang Kabanaran telah dapat mempersiapkan diri mereka lagi.”

“Aku akan mempertimbangkannya,” berkata Akuwu, “tetapi perbekalan yang ada tidak akan mencukupi jika kita akan langsung memasuki pusat pemerintahan di Kabanaran.”

“Kenapa Akuwu mencemaskannya?” bertanya senopatinya, “Bukankah di Kabanaran, di sepanjang padukuhan tersedia perbekalan yang dapat mendukung gerak laju pasukan kita?”

Akuwu di Watu Mas itu pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Beri aku bahan-bahan keterangan secukupnya. Aku akan mempertimbangkan, setelah aku mendapat laporan pada hari yang kedua.”

Para penghubung itu pun segera kembali ke medan setelah mereka menukar kuda-kuda mereka dengan yang masih segar, serta setelah Akuwu memberikan pesan-pesan secukupnya.

Sementara itu, di Kabanaran, Akuwu Suwelatama tidak dapat menunggu laporan dari medan, karena ia sendiri berada dalam perjalanan kembali dari sarang para perampok. Namun ketika ia memasuki Kabuyutan yang masih utuh dengan para penghuninya, karena tidak berada terlalu dekat dengan perbatasan, maka Akuwu telah membagi tugas dengan pengiringnya.

“Bawa para perampok ini ke pusat pemerintahan malam ini juga. Simpan semua harta benda yang kita bawa. Aku akan langsung menuju ke medan perang.” berkata Akuwu Suwelatama.

Tugas yang sangat berat bagi para pengiringnya. Namun mereka akan melakukannya dengan penuh tanggung jawab. Justru karena mereka membawa harta benda yang tidak ternilai harganya.

Bersama tiga pengiringnya, maka Akuwu Suwelatama memisahkan diri menuju ke medan perang. Dengan kuda yang tegar mereka menempuh perjalanan yang cukup panjang menyusuri daerah perbatasan. Namun orang-orang yang sempat melihatnya tentu tidak akan mengatakan bahwa salah seorang dari keempat orang itu adalah Akuwu sendiri. Karena mereka berempat telah mengenakan pakaian sebagaimana para pengawal biasa. Tidak seorang pun yang mengenakan pakaian yang berbeda di antara mereka.

Perjalanan Akuwu cukup melelahkan. Baru saja ia bertempur melawan para perampok. Kemudian memisahkan diri dan menempuh perjalanan panjang setelah beristirahat untuk beberapa saat saja.

Lewat tengah malam, barulah Akuwu sampai ke daerah peperangan. Namun Akuwu menyadari, bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak tahu pasti, sampai di manakah gerak dari garis pertempuran.

Karena itu, maka Akuwu harus melingkar menjauhi medan dan mencari keterangan tentang gerak pasukan dari kedua belah pihak.

Ketika mereka mendekati sebuah padukuhan, maka mereka telah berhenti beberapa puluh langkah dan seorang di antara para pengawal telah dengan hati-hati mendekati gardu di ujung padukuhan. Namun ternyata yang berada di gardu itu adalah para pengawal dari Kabanaran.

Meskipun demikian, pengawal yang menyertai Akuwu itu tidak langsung membawa kawan-kawannya dan Akuwu ke gardu itu, karena beberapa hal akan dapat terjadi. Mungkin salah paham, mungkin satu jebakan.

Namun ketika pengawal itu mendekat, ternyata ada di antara para pengawal di gardu itu yang dikenalnya.

“Kau?” bertanya pengawal di gardu itu.

Yang baru datang itu pun kemudian mendekat sambil bertanya, “Apakah yang kalian lakukan di sini?”

“Apakah kau bermimpi? Bukankah kita berada di medan. Kami berjaga-jaga bergantian.” jawab kawannya yang di gardu itu.

“Di sini? Di manakah lawan malam ini berkemah?” bertanya pengawal yang menyertai Akuwu.

“Di hadapan padukuhan induk pertahanan,” jawab pengawal itu, “sudah ada pengawasan khusus. Meskipun demikian, di setiap padukuhan, meskipun tidak berada di garis pertama, harus mendapat pengawalan sebaik-baiknya. He, apakah kerjamu di sini? Bukankah kau tidak ikut dengan pasukan di perbatasan ini?”

“Aku juga bertugas di perbatasan. Tapi di bagian lain.” jawab pengawal itu.

“Jadi, apa kerjamu di sini?” bertanya kawannya.

”Aku mendapat tugas menghadap Senopati di induk pasukan. Apakah seseorang dapat mengantarkan aku? Aku membawa pesan dari Akuwu. Tetapi karena aku tidak mengetahui keadaan medan dengan pasti, maka aku telah dengan sangat berhati-hati mencari jalan menuju ke induk pasukan.” jawab pengawal itu.

“Kau sendiri?” bertanya yang berada di gardu.

“Aku bersama dengan tiga orang kawanku. Mungkin ada juga yang sudah kalian kenal di antara mereka.” jawab pengawal itu.

“Ajak mereka kemari. Aku akan mengantar kalian menghadap Senopati di induk pasukan atau orang yang sedang bertugas malam ini jika Senopati sedang beristirahat.”

Pengawal itu pun kemudian menemui Akuwu dan kedua orang pengawal yang lain. Berempat mereka mendekati gardu itu. Karena cahaya obor yang redup, maka tidak seorang pun para pengawal yang menyangka, bahwa seorang di antara para pengawal, dan yang justru berada di paling belakang dalam bayangan gelap itu adalah Akuwu sendiri.

Diantar oleh seorang pengawal, maka mereka telah pergi ke induk pasukan. Ketika mereka memasuki padukuhan yang menjadi induk pertahanan pasukan Kabanaran, maka mereka harus berhenti beberapa kali untuk menjawab beberapa macam pertanyaan. Namun karena mereka diantar oleh seorang pengawal dari pasukan yang berada di perbatasan itu pula, maka mereka tidak banyak mengalami kesulitan untuk pergi ke sebuah rumah yang cukup besar di padukuhan induk pertahanan itu.

Ketika seorang pengawal menyampaikan permintaan menghadap dari seorang pengawal yang mendapat pesan dari Akuwu, maka Senapati yang bertugas mengatakan, bahwa Senopati yang memimpin seluruh pasukan itu sedang beristirahat.

”Pengawal itu mengatakan, bahwa pesan itu penting sekali.” berkata pengawal yang menyampaikan pesan itu.

“Suruhlah orang itu menunggu barang sejenak. Baru saja Senopati itu tertidur. Besok tenaganya akan dipergunakan sepenuhnya. Jika pesan itu tidak menyangkut satu tindakan yang harus dilakukan sekarang, katakan, biarlah ia menunggu sampai menjelang fajar. Ia akan bangun dan mengatur pasukan ini seluruhnya.” berkata Senopati itu.

Ketika hal itu disampaikan kepada pengawal yang datang bersama Akuwu, hampir saja pengawal itu memaksa untuk dapat menghadap. Namun Akuwulah yang menggamitnya sambil berdesis, ”Kita akan menunggu.”

Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan menunggu. Tetapi kami memohon waktu barang sekejap besok sebelum Senopati sibuk dengan pasukannya.”

Tiga orang pengawal bersama Akuwu Suwelatama itu pun kemudian dipersilahkan untuk beristirahat. Karena mereka berada di medan, maka mereka berada di sembarang tempat. Berempat mereka duduk di bawah sebatang pohon manggis yang besar. Namun ternyata bahwa Akuwu sempat tidur sambil duduk bersandar pohon itu.

Pengawalnya menggelengkan kepalanya. Salah seorang berdesis, “Akuwu memang seorang prajurit.”

Para pengawalnya pun kemudian berusaha untuk dapat beristirahat pula. Namun yang seorang telah memisahkan diri dan mengamatinya dari sebatang pohon yang lain, beberapa langkah dari tempat Akuwu tertidur.

Dua orang pengawal yang lain pun beristirahat pula barang sekejap, sementara yang memisahkan diri mendapat tugas untuk mengamati keadaan Akuwu. Meskipun mereka berada di antara pasukan sendiri, namun sesuatu memang dapat terjadi.

Dalam pada itu, yang seorang itu pun sempat mendapat giliran untuk memejamkan matanya barang sekejap, ketika seorang dari dua orang kawannya terbangun dan menggantikan kedudukannya.

Menjelang fajar, ternyata di padukuhan yang dipergunakan sebagai induk pertahanan itu telah mulai sibuk. Mereka yang menyiapkan perbekalan telah bangun lebih dahulu dari para prajurit yang benar-benar harus menghemat tenaga menghadapi masa pertempuran yang panjang.

Seperti yang dikatakan oleh Senopati yang bertugas, maka Senopati yang memimpin pasukan itu pun telah bangun menjelang fajar. Namun ia pun segera menjadi sibuk mengatur segala persiapan menghadapi pertempuran yang akan sangat melelahkan.

Seorang pengawal yang datang bersama Akuwu pun telah berusaha untuk menghadap. Namun agaknya kesibukannya telah membuat pengawal itu kehilangan kesempatan.

Senopati itu telah memberikan perintah-perintah. Petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan kepada Senopati-senopati pembantunya. Mereka telah membicarakan gelar yang paling tepat untuk menghadapi lawan dan menunjuk siapakah yang akan menjadi Senopati pengapit dalam tugas yang akan menjadi semakin berat.

Pengawal yang datang bersama Akuwu itu pun berusaha untuk memohon waktu barang sejenak, sebagaimana disanggupkan oleh pengawal yang sebelumnya mendapat janji dari senopati yang bertugas semalam.

“Senopati sibuk sekali.” berkata pengawal yang menghubungi Senopati yang bertugas semalam.

“Tetapi pesan ini perlu sekali. Kami ingin menghadap barang sekejap. Justru sebelum pasukan ini berangkat ke medan.” berkata pengawal itu.

Pengawal itu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa pesan Akuwu tentu penting sekali. Karena itu, sekali lagi ia berusaha untuk mendapat waktu. Sekali ia berkata kepada senopati yang bertugas semalam, “ Pesan itu adalah pesan Akuwu.”

Senopati itu mengangguk-angguk. Sejenak ia menunggu. Ketika ia melihat kesempatan maka ia pun mengatakan kepada Senopati yang memimpin pasukan di perbatasan itu, “Ada pesan dari Akuwu.”

“Siapakah yang membawa pesan itu?” bertanya Senopati itu.

“Beberapa orang pengawal. Mereka ingin menyampaikan pesan itu sebelum kita berangkat ke medan.” berkata Senopati yang bertugas semalam.

“Kapan mereka datang?” bertanya Senopati yang memimpin seluruh pasukan.

“Semalam. Ketika aku sedang bertugas. Tetapi waktu itu Senopati baru saja tidur untuk beristirahat, sehingga aku memutuskan untuk mempersilahan mereka menunggu.”

“Bawa mereka kemari.” berkata Senopati itu.

Seorang pengawal kemudian telah memanggil pengawal yang datang berempat bersama Akuwu. Ketika mereka mendekat mula-mula tidak seorang pun yang menduga bahwa seorang di antara mereka dalam pakaian yang sama itu adalah Akuwu Suwelatama sendiri. Namun akhirnya Senopati yang memimpin seluruh pasukan di medan itu mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia mulai tegang.

“Akuwu.” tiba-tiba ia berdesis.

Para Senopati yang berada di ruang itu terkejut. Mereka mulai memperhatikan keempat orang pengawal yang datang itu. Sebenarnyalah, seorang di antara mereka adalah Akuwu Suwelatama sendiri.

Dengan tergopoh-gopoh Senopati besar yang memimpin seluruh pasukan itu pun kemudian mempersilahkan Akuwu duduk di antara para Senopati. Bahkan dengan nada dalam ia berkata, “Kami mohon ampun, bahwa kami telah mengabaikan kedatangan Akuwu di tempat ini.”

Akuwu yang tersenyum di antara para Senopati itu menjawab, “Aku melihat pelaksanaan tugas yang sebaik-baiknya di sini.”

Sementara itu, Senopati yang semalam menolak pengawal yang ingin bertemu dengan Senopati yang memimpin seluruh pasukan itu pun merasa bersalah pula. Tetapi sebelum ia mohon maaf, Akuwu berkata, “Kau sudah bertindak benar. Senopati yang sedang tidur itu memang memerlukan beristirahat. Jika ia tidak beristirahat sama sekali, maka di hari berikutnya, ia tidak akan dapat mempergunakan tenaganya sebaik-baiknya, justru menghadapi tugas yang sangat berat.”

Para Senopati itu pun mengangguk-angguk. Namun sementara itu, Akuwu berkata, “Waktu sudah semakin mendesak. Selesaikan tugas kalian. Sebentar lagi kalian akan turun ke medan.”

“Tetapi apakah ada perintah yang akan Akuwu berikan kepada kami?” bertanya Senopati itu.

“Tidak. Aku hanya ingin melihat medan.” jawab Akuwu, “Tetapi aku belum akan turun ke dalam gelar. Aku hanya akan menyaksikan. Tetapi sementara itu aku akan memberitahukan, bahwa aku telah melakukan sesuatu.”

Para Senopati itu pun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh ketika Akuwu menceriterakan dengan singkat, apa yang telah dilakukannya di hutan perbatasan di bagian yang lain.

“Jadi sarang perampok itu sudah dihancurkan?” bertanya Senopati di daerah peperangan itu.

“Ya. Tetapi ini tidak terlalu penting bagi kalian. Yang penting lakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Aku akan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk mendatangkan pasukan lebih besar lagi di tempat ini, jika tempat ini benar-benar akan menjadi penentu bagi masa depan hubungan antara Kabanaran dan Watu Mas.”

“Nampaknya memang demikian, Akuwu. Tetapi kita akan melihat setelah hari kedua.” jawab Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran.

Dalam pada itu, Akuwu pun kemudian memberi kesempatan kepada Senopati itu untuk melaksanakan tugasnya. Karena itu, maka Akuwu itu pun berkata, “Aku akan beristirahat di tempat ini. Di rumah ini. Mungkin aku akan pergi ke medan hari ini. Tetapi mungkin esok pagi. Biarlah kalian tidak berpikir tentang aku. Aku akan tetap dalam pakaian pengawal seperti ini.”

Senopati yang memimpin seluruh pasukan itu pun kemudian mempersilahkan Akuwu beristirahat, meskipun sebenarnya Akuwu hanya bergeser beberapa langkah dan duduk di tempat yang lain dalam ruang itu. Namun dengan demikian maka Senopati yang memimpin seluruh pasukan itu pun melanjutkan tugasnya mengatur pasukannya.

Ternyata bahwa pasukan itu masih mendapat kesempatan untuk makan. Mereka dipersilahkan untuk secukupnya. Pertempuran akan berlangsung sehari seperti yang terjadi kemarin. Ketika kemudian saatnya tiba, maka seluruh pasukan pun telah disiapkan. Para Senopati segera berada di dalam pasukan masing-masing. Meskipun Gelar Sapit Urang di hari pertama nampak kurang menguntungkan, namun pada hari itu, pasukan Kabanaran tetap mempergunakan gelar yang sama.

Dalam induk pasukan dalam gelar Sapit Urang itu terdapat pula Mahisa Bungalan dan Senopati yang langsung memimpin seluruh pasukan Kabanaran itu.

Sejenak sebelum pasukan itu maju ke medan, Akuwu masih sempat menemui Mahisa Bungalan sambil berkata, “Kau dapat membantu kami. Kau dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Senopati yang aku tugaskan memimpin seluruh pasukan ini.”

Mahisa Bungalan mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Di hari pertama, Senopati Akuwu itu tidak berbuat kesalahan sama sekali. Mudah-mudahan di hari ini pun ia tidak melakukan kesalahan pula.”

Ketika tiba saatnya pasukan itu maju ke medan, setelah langit menjadi terang, maka terdengar sangkakala berbunyi di induk pasukan.

Sejenak kemudian maka pasukan itu pun mulai bergerak. Dengan segala macam tanda kebesaran seperti pada hari pertama, pasukan Kabanaran telah maju ke medan, untuk menghadapi pasukan dari Watu Mas yang telah siap pula. Sebagaimana juga pasukan Kabanaran, maka pasukan Watu Mas pun telah mempergunakan segala macam ciri dan tanda kebesaran pasukan segelar sepapan. Namun keduanya masih belum memperlihatkan panji-panji kebesaran Akuwu dari Pakuwon masing-masing.

Sebenarnyalah meskipun Akuwu Kabanaran telah berada di medan, tetapi ia tidak tampil sebagaimana seorang Akuwu. Ia masih akan tetap berada di padukuhan induk pertahanan. Seandainya ia akan pergi juga ke medan, maka ia tidak akan turun ke gelanggang sebagai seorang Akuwu.

Demikianlah kedua pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika para Senopati memberikan aba-aba untuk menyerang, maka terdengarlah sorak yang bergemuruh dari kedua belah pihak.

Kedua pasukan itu masih mempergunakan gelar yang sama. Namun Kabanaran yang terdesak pada hari pertama, telah memperkuat induk pasukannya dengan beberapa kelompok pengawal yang terpilih. Sementara pada kedua sayap pasukan, diperintahkan oleh Senopati yang memimpin seluruh pasukan itu, untuk menyesuaikan diri dengan gerak induk pasukan.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu mulai berbenturan. Seperti pada hari pertama, kedua belah pihak telah bertempur dengan gigihnya. Desak-mendesak. Dorong-mendorong dan serang-menyerang.

Pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Matahari yang memanjat langit semakin tinggi dan melontarkan panasnya yang terik sama sekali tidak dihiraukannya.

Berbeda dengan hari pertama, pasukan Watu Mas tidak berhasil mendesak pasukan Kabanaran. Mereka sebenarnya merencanakan untuk mendesak pasukan Kabanaran sampai ke padukuhan yang mereka pergunakan sebagai tempat induk pertahanan dan menghancurkannya. Dengan demikian maka pasukan Kabanaran akan terpaksa menggeser induk pertahanannya. Jika Akuwu memerintahkan, maka pasukan Watu Mas akan mendesak pasukan Kabanaran selanjutnya. Bahkan apabila perlu, Watu Mas tidak perlu menarik pasukannya lagi, tetapi dengan bantuan pasukan baru, mereka akan terus menuju ke pusat pemerintahan Pakuwon Kabanaran dan mendudukinya.

Tetapi ternyata bahwa pasukan Kabanaran pada hari kedua mampu bertahan. Justru karena induk pasukannya telah diperkuat, maka pasukan Watu Mas tidak lagi dapat mendesak mereka. Meskipun pasukan Kabanaran juga tidak dapat mendesak pasukan Watu Mas, tetapi keadaannya sudah menjadi lebih baik dari hari yang pertama.

Sementara itu, Mahisa Bungalan yang berada di induk pasukan telah bertempur dengan sengitnya. Lawan-lawannya harus mengakui bahwa anak muda yang berada di induk pasukan itu mempunyai ilmu yang sulit diimbangi. Karena itulah, maka untuk melawan Mahisa Bungalan, para pengawal dari Watu Mas harus bertempur berpasangan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Akuwu Suwelatama telah berniat untuk melihat medan pertempuran dari dekat. Tetapi ia tidak ingin hadir sebagai Akuwu di Kabanaran. Ia akan hadir di pertempuran itu sebagai seorang pengawal kebanyakan.

Karena itulah, maka dengan dikawal oleh tiga orang pengawal kepercayaannya, maka ketika matahari mencapai puncak langit, Akuwu telah mendekati medan pertempuran. Meskipun Akuwu tidak langsung terjun dalam arena, namun ia dapat melihat betapa kerasnya benturan kekuatan antara pasukan Watu Mas dan pasukan Kabanaran itu.

Akuwu di Kabanaran itu melihat, betapa senjata yang beradu dengan dahsyatnya. Betapa desah kesakitan dan keluhan tertahan karena goresan senjata. Ia melihat betapa orang-orang yang terluka harus digeser dari medan.

Namun Akuwu pun melihat betapa para pengawal di Kabanaran dengan sepenuh hati telah mempertahankan tanah kelahirannya tanpa menghiraukan nilai diri sendiri.

Sentuhan kebanggaan telah melonjak di hati Akuwu di Kabanaran melihat pasukannya yang bertempur dengan beraninya. Meskipun demikian, maka Akuwu melihat, jumlah pengawal yang turun ke medan akan dapat diperbesar, sehingga dengan demikian maka kekuatan Kabanaran akan mampu mendesak pasukan Watu Mas sampai ke seberang hutan perbatasan. Karena menurut perhitungan Akuwu, tujuan pokok dan pangkal dari segala sengketa itu telah dapat diatasinya. Pasukan perampok itu sudah dikalahkan.

Karena itu, maka pada saat itu pula, tanpa menunggu akhir dari pertempuran di hari kedua, Akuwu yang kembali ke padukuhan induk pertahanan, telah memerintahkan dua orang penghubung untuk kembali ke kota Pakuwon. Pasukan yang baru saja kembali dari hutan perbatasan dan memasuki sarang perampok itu dipanggil ke medan bersama beberapa kelompok pasukan yang lain yang dapat ditarik dari daerah-daerah yang tidak terlalu rawan. Namun diawasi sebaik-baiknya.

“Malam nanti mereka harus sudah berada di medan,” berkata Akuwu, “besok mereka harus sudah dapat menggantikan pasukan cadangan, karena semua pasukan cadangan turun ke medan.”

Dengan berkuda para penghubung itu berpacu menuju ke kota Pakuwon. Mereka harus melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya.

Dalam pada itu, Akuwu di Watu Mas pun telah mendengar laporan bahwa pasukan Kabanaran telah memasuki daerah perbatasan dan langsung menyerang sarang para perampok. Mereka telah merampas harta benda yang tidak ternilai harganya yang terdapat di sarang perampok itu.

Kemarahan yang tidak tertahan telah mendorong Akuwu memerintahkan kepada para pengawalnya yang terpercaya untuk bersiap.

“Aku akan pergi ke medan. Orang-orang Kabanaran bukan saja telah memasuki daerah Watu Mas. tetapi mereka telah mengambil harta benda yang berada di Watu Mas. Tidak peduli harta benda milik siapa pun juga, tetapi harta benda itu sudah berada di Pakuwon Watu Mas.” berkata Akuwu di Watu Mas, “Karena itu, orang-orang Kabanaran memang harus dihukum.”

Dengan tergesa-gesa Akuwu di Watu Mas telah menyiapkan para pengawalnya yang terpilih. Bahkan kelompok pengawal yang sedang bertugas di luar Kota Pakuwon pun telah dipanggil. Mereka akan pergi ke medan dan dengan kekuatan yang bertambah, mereka akan menghukum orang-orang Kabanaran.

”Aku tidak perlu menunggu laporan berikutnya,” berkata Akuwu, “beberapa orang yang terluka dari medan itu sudah cukup memberikan gambaran apa yang terjadi. Pertempuran itu tentu merupakan pertempuran yang cukup besar.”

Demikianlah maka dengan pengawal yang kuat dan beberapa kelompok pengawal yang berhasil ditarik, Akuwu di Watu Mas telah menuju ke medan. Mereka dengan tergesa-gesa menyusup hutan. Meskipun Akuwu sendiri berkuda, tetapi karena tidak semua orang di dalam pasukan itu berkuda, maka laju pasukan itu pun menjadi tidak terlalu cepat.

Tetapi akhirnya Akuwu tidak telaten. Maka katanya kepada Senopati yang memimpin pasukannya, “Aku akan mendahului bersama kelompok pasukan berkuda. Yang lain agar berjalan lebih cepat menyusul kami.”

Demikianlah, maka Akuwu itu pun telah mendahului bersama beberapa orang pengawal berkuda. Di antara mereka adalah penghubung yang sudah mengetahui keadaan medan.

Karena itu, maka ketika Akuwu sampai ke medan, maka Akuwu itu pun segera berada di antara para pedati di perkemahan pasukan Watu Mas.

Kedatangan Akuwu di Watu Mas membuat orang-orang yang berasa di perkemahan menjadi berdebar hati. Sekelompok pengawal yang ditugaskan untuk menjaga perbekalan dan termasuk pasukan cadangan, menerima Akuwu dengan berbagai macam harapan.

“Pasukan yang lain akan menyusul,” berkata Akuwu, “besok, pada pertempuran di hari berikutnya, kita akan menghancurkan pasukan Kabanaran.”

“Ya,” jawab pemimpin kelompok dari pasukan cadangan, “besok kita akan menghancurkan mereka.”

Akuwu itu pun kemudian berbicara dengan beberapa orang kepercayaannya. Akhirnya Akuwu mengambil kesimpulan, “Aku tidak akan bertempur lagi dalam gelar yang utuh. Meskipun besok pasukan Watu Mas akan keluar lagi dengan gelar, tetapi gelar yang lebih kecil. Beberapa kelompok pasukan akan menerobos lewat jalan lain memasuki padukuhan induk pertahanan. Sebagian lagi akan menghantam gelar pasukan lawan dari arah belakang. Perhatian mereka akan terpecah, dan kita akan mencerai beraikan mereka.”

“Bagus,” desis seorang kepercayaannya, “jika kita dapat mencapai induk pertahanan, maka pasukan yang ada tentu tinggal pasukan pengawal yang kecil, karena agaknya Kabanaran telah menempatkan seluruh kekuatannya pada gelar Sapit Urangnya yang besar dan megah.”

“Aku akan mempergunakan cara yang tidak sewajarnya dalam perang beradu gelar,” berkata Akuwu di Watu Mas, “kita harus mempunyai akal agar kita dapat lebih cepat menghancurkan mereka.”

Namun Akuwu dari Watu Mas itu harus menunggu. Ketika matahari turun, maka pertempuran pun telah berhenti ketika terdengar sangkakala tertiup dari kedua belah pihak. Dengan letih kedua pasukan itu menarik diri, kembali ke induk pertahanan masing-masing. Yang luka pun segera mendapat perawatan, dan yang gugur pun harus dikumpulkan untuk dibawa ke belakang garis perang.

Pada saat yang demikian, kedua orang Akuwu itu melihat kerugian yang besar di pihak masing-masing. Seolah-olah berjanji maka kedua Akuwu itu mencari akal, bagaimana mereka dapat mempercepat menyelesaikan dari perang yang tengah berkobar antara dua Pakuwon yang bertentangan itu.

Namun dalam gejolak pertempuran yang membara itu, ternyata Pangeran Indrasunu sempat memperhatikan kehadiran Mahisa Bungalan di medan pertempuran itu.

Selagi Akuwu di Kabanaran dan Akuwu di Watu Mas mencari jalan untuk memenangkan perang, maka Pangeran Indrasunu telah menganyam sendiri.

Ketika ia melihat Mahisa Bungalan berada di medan, maka ia menduga, bahwa orang-orang yang pernah berada di Pakuwon Kabanaran pada saat Pakuwon itu didudukinya berada di medan itu pula.

Meskipun demikian, Pangeran Indrasunu masih bertahan berada di medan untuk melihat akhir dari benturan kekuatan antara Kabanaran dan Watu Mas, karena sebenarnyalah dendamnya kepada Akuwu Suwelatama menjadi sebesar dendamnya kepada Mahisa Bungalan karena kegagalannya merampas seorang gadis yang bernama Ken Padmi.

Dalam pada itu, di induk pertahanan pasukan Kabanaran dan di perkemahan pasukan Watu Mas telah terjadi kesibukan. Para tabib telah bekerja keras sementara orang-orang yang menyiapkan makan dan minuman bagi para prajurit yang sedang beristirahat.

Beberapa orang prajurit telah berendam di belik-belik kecil yang terdapat di hutan perbatasan dan di sungai-sungai yang mengalirkan air yang bening dari mata air di bawah pepohonan yang besar dan rimbun. Air yang segar di udara malam yang dingin membuat tubuh mereka menjadi segar. Keringat dan debu yang melekat di tubuh mereka rasa-rasanya telah larut ke dalam air yang menjadi keruh. Noda-noda darah yang kehitam-hitaman pun telah menjadi bersih dari tubuh mereka.

Meskipun goresan-goresan senjata di kulit mereka terasa sedikit pedih, namun kesegaran air itu rasa-rasanya telah memulihkan kekuatan mereka. Apalagi ketika kemudian mereka setelah berendam, makan nasi hangat dan minum minuman panas.

Sementara itu, Akuwu Watu Mas telah memanggil para pemimpin pasukannya untuk membicarakan kemungkinan yang akan mereka lakukan di hari kemudian.

Seperti yang sudah dikatakan, Akuwu di Watu Mas ingin memecah perhatian pasukan Kabanaran. Karena itu, maka disamping pasukan yang akan maju dalam gelar yang utuh, lengkap dengan tanda-tanda kebesaran seperti biasanya, namun jumlahnya yang menjadi lebih kecil, maka Akuwu telah memerintahkan untuk menyusun pasukan yang akan melingkari gelar lawan dan menghantam lawan dari arah belakang. Bahkan apabila mungkin, sekelompok yang lain akan langsung menuju ke induk pertahanan untuk menghancurkan perbekalan dan menjadikan padukuhan yang menjadi pusat pertahanan itu jadi lautan api.

“Mereka akan menjadi kecut dan kehilangan gairah perjuangan.” berkata Akuwu.

“Sebenarnya pasukan Kabanaran berhati kecil,” berkata Pangeran Indrasunu, “ketika aku memasuki kota Pakuwon, aku tidak banyak menemui kesulitan.”

“Pangeran memilih saat yang tepat. Saat pasukan Kabanaran sebagian besar berada di Kedung Sertu dan hutan perbatasan. Apalagi kedatangan Pangeran bersama pasukan yang kuat dari beberapa padepokan begitu tiba-tiba seperti banjir yang tidak terbendung.” jawab Akuwu di Watu Mas.

“Maksudku,” berkata Indrasunu, “jika mereka mengalami sedikit saja kekalahan, maka mereka akan kehilangan kemantapan bertempur,” jawab Pangeran Indrasunu, “karena itu, aku sependapat, bahwa sebagian dari pasukan Watu Mas menerobos melingkari gelar. Dan aku pun sependapat, bahwa pasukan ini selanjutnya akan terus menerobos memasuki kota Pakuwon. Kita tidak perlu mengulangi serangan yang akan memberikan peluang kepada orang-orang Kabanaran untuk bersiap-siap lagi. Sementara perbekalan dan perlengkapan kita, akan dapat menyusul.”

“Malam nanti sepasukan pengawal akan datang dengan beberapa perlengkapan dan perbekalan baru,” berkata Akuwu, “aku telah mendahului mereka untuk mempersiapkan satu rencana yang matang di sini.”

Sebenarnyalah malam itu, pasukan yang berangkat bersama Akuwu di Watu Mas, tetapi kemudian ditinggalkannya telah sampai ke medan. Mereka pun segera menempatkan diri dalam perkemahan yang segera mereka dirikan. Para pemimpinnya segera berkumpul untuk menyesuaikan diri dengan rencana yang telah disusun sebelumnya.

“Kalian masih sempat beristirahat,” berkata Akuwu, “besok pagi sebagian dari kalian akan memasuki arena. Karena itu, kalian harus menyiapkan diri lahir dan batin.”

Setelah makan dan minum, maka para pengawal yang datang kemudian itu pun segera beristirahat, karena besok mereka akan turun ke peperangan.

Dalam pada itu, di induk pertahanan pengawal dari Kabanaran, Akuwu Suwelatama pun sibuk memberikan perintah-perintah. Sebagaimana diharapkan, maka malam itu juga para penghubung telah kembali bersama sepasukan pengawal. Mereka adalah para pengawal yang telah memasuki sarang perampok di hutan perbatasan, sementara yang lain adalah para pengawal yang sempat ditarik dari beberapa tempat di sekitar Kota Pakuwon. Sedangkan sebagian yang lain adalah para pengawal yang semula berada di Kedung Sertu yang untuk sementara ditempatkan sebagai pengawal kota Pakuwon, sementara sebagian yang lain telah mendahului berada di medan. Tetapi ternyata bahwa Akuwu di Kabanaran telah mengambil satu kebijaksanaan lain dari yang pernah dipikirkannya sebelumnya. Karena pasukan yang datang itu masih belum mendapat kesempatan beristirahat secukupnya, maka sebagian saja dari pasukan cadangan yang di keesokan harinya akan turun ke medan.

“Jangan semua pasukan cadangan,” berkata Akuwu, “sebagian harus tetap berada di induk perbatasan ini, karena pasukan yang datang ini ternyata terlalu lambat, sehingga mereka belum mendapat kesempatan beristirahat secukupnya.”

Demikianlah, ketika fajar menyingsing, pasukan Kabanaran telah bersikap dengan gelar perangnya. Mereka menurunkan sebagian dari pasukan cadangannya untuk menggantikan para pengawal yang telah gugur dan terluka parah.

Sebagaimana hari-hari sebelumnya, maka pasukan Kabanaran berada dalam gelar yang utuh. Dengan tanda-tanda kebesaran pasukan Kabanaran telah siap maju ke medan.

Pasukan Kabanaran itu sama sekali tidak menduga, bahwa pasukan Watu Mas telah mengadakan perubahan cara menghadapi pasukan Kabanaran. Meskipun pasukan Watu Mas turun dengan gelar penuh dan tanda-tanda kebesaran seperti biasanya, namun mereka telah menerima perintah-perintah tertentu dari para Senopati mereka.

“Jika pasukan mulai berbenturan, maka sebagian dari mereka akan meninggalkan gelar, melingkari arena dan menyerang langsung ke belakang pertahanan lawan.” pesan Senopati yang mengatur peperangan di pihak Kabuyutan Watu Mas, “Orang-orang Kabanaran akan menjadi bingung, sehingga apabila mereka tidak bersiap-siap menghadapi cara yang kami tempuh, gelar mereka akan koyak pada pangkal sayapnya.”

Demikianlah, maka pada saatnya, kedua pasukan dalam gelar itu telah maju ke medan. Meskipun Akuwu di kedua belah pihak sudah berada di induk pertahanan masing-masing, tetapi gelar yang mereka lepaskan masih belum mempergunakan panji-panji kebesaran Akuwu di Pakuwon masing-masing.

Meskipun pasukan Watu Mas masih tetap mempergunakan gelar Garuda Nglayang, namun para Senopati yang berpengalaman dari pasukan Kabanaran melihat perbedaan pada susunan gelar itu. Mereka melihat sayap gelar Garuda Nglayang itu terlalu besar dan tidak seimbang dengan induk pasukannya.

“Mereka akan mematahkan sayap gelar Sapit Urang ini.” berkata Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran kepada Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Tetapi ia terbiasa melakukan petualangan secara pribadi. Pengalamannya dalam olah kanuragan lebih banyak ditentukan pada kemampuan seorang, meskipun bukan berarti bahwa ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan perang gelar. Namun karena itu, maka pengenalannya atas gelar lawan tidak setajam Senopati yang berada di induk pasukan itu.

Karena itu, maka kesan yang pertama dilihat oleh Mahisa Bungalan adalah sebagaimana dikatakan oleh Senopati itu. Kekuatan gelar lawan, justru di letakkan kepada sayap-sayap gelarnya.

Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran itu pun segera mengirimkan penghubung-penghubungnya kepada para Senopati pengapit dan Senopati yang memimpin ujung sayap. Penghubung itu menyampaikan kesan yang di berikan oleh Senopati tertinggi dari pasukan Kabanaran itu.

Dalam pada itu, ternyata para Senopati pun melihat kelainan pada gelar lawan. Karena itu, maka Senopati pengapit telah melepaskan beberapa kelompok pengawal dari Kabanaran untuk berada di sayap pasukan. Sehingga dengan demikian mereka akan mengimbangi kelainan gelar lawan.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu pun telah menjadi semakin dekat. Ketika saat benturan terjadi, maka terdengarlah sorak gemuruh dari kedua belah pihak.

Seperti hari-hari sebelumnya maka kedua pasukan itu pun segera terlibat dalam satu pertempuran sengit. Masing-masing pihak telah berusaha untuk mendesak lawannya. Pedang beradu pedang, tombak membentur perisai dan bindi pun terayun-ayun di udara.

Dalam pada itu, ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka mulailah terjadi perubahan pada pasukan Watu Mas. Gelar Garuda Nglayang itu pun mulai menunjukkan kelainannya.

Sebenarnyalah beberapa kelompok pengawal di ujung sayap pasukan Watu Mas mulai bergerak. Mereka seolah-olah telah meninggalkan pasukan mereka, bergeser menebar.

Senopati yang berada di sayap gelar pasukan Kabanaran menjadi bimbang menanggapi gerak lawan. Namun sebelum mendapat gambaran yang pasti dari tujuan gerak lawan yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ternyata Senopati di ujung sayap itu berpikir cukup cepat.

“Pergunakan kesempatan,” perintahnya, “sebelum kita menemukan pola perlawanan yang baru. Pasukan lawan menjadi semakin tipis.”

Sebenarnyalah pasukan Kabanaran berhasil menekan lawannya yang menebar. Namun kemudian mereka pun memaklumi bahwa beberapa kelompok pasukan Watu Mas dengan sengaja sudah melampaui ujung sayap gelar lawannya langsung melingkar ke belakang garis perang gelar.....

Sikap gelar lawan itu memang agak membingungkan para Senopati pasukan Kabanaran. Apalagi agaknya jumlah pasukan Watu Mas menjadi bertambah besar dibanding dengan kemungkinan yang dapat mereka lakukan di hari sebelumnya.

(……? dari naskah aslinya memang demikian) ngan “ Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran itu gumam kepada diri sendiri. Namun ia pun tidak mengingkari kemungkinan kedatangan pasukan baru dari Watu Mas.

Kelainan gelar lawan itu terasa menggoncangkan gelar pasukan Kabanaran. Namun untunglah Senopati yang terampil itu segara mengambil keputusan. Ia menarik sayap pasukan dari gelar Sapit Urang itu justru mendekati induk pasukan, sehingga gelar mereka menjadi sempit.

“Kita akan membuat perhitungan baru.” pesan Senopati itu kepada para pengapitnya lewat para penghubung.

Kesempatan untuk melingkari pasukan lawan memang menjadi semakin besar pada pasukan Watu Mas. Tetapi dengan perubahan gelar pada pasukan Kabanaran, mereka tidak dapat lagi berusaha memotong gelar lawan pada pangkal sayapnya.

Namun demikian, maka kelainan sikap gelar Garuda Nglayang itu telah berhasil menegangkan para pengawal dari Kabanaran. Suatu perhitungan yang memang dikehendaki oleh para Senopati di Watu Mas.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka sekelompok pengawal dari Watu mas yang memang mempunyai kelebihan dari pasukan Kabanaran, karena jumlah mereka yang lebih banyak, telah memisahkan diri dari gelar.

Sebagaimana mereka rencanakan, pasukan kecil itu akan menusuk langsung ke pusat pertahanan orang-orang Kabanaran untuk menghancurkan padukuhan yang menyimpan perbekalan dan menjadi induk pertahanan itu.

“Pasukan cadangan yang ada di padukuhan itu tidak akan mampu melawan kita.” berkata Senopati yang memimpin sekelompok pasukan pengawal dari Watu Mas itu.

Namun ternyata orang-orang Kabanaran melihat gerak yang sudah dapat mereka baca. Pasukan itu tentu akan menghancurkan dukungan kekuatan di belakang garis perang.

Karena itu, dua orang penghubung yang tidak sempat mendahului pasukan Watu Mas yang dengan cepat bergerak menuju ke padukuhan itu, telah mempergunakan isyarat. Mereka telah melontarkan panah sendaren ke arah padukuhan di belakang garis perang itu.

Dua buah panah sendaren telah mengaum di udara. Para pengawas di luar padukuhan induk pertahanan pasukan Kabanaran telah mendengar isyarat itu. Namun mereka tidak segera mengerti apa yang terjadi.

Meskipun demikian, maka para pengawas itu telah meneruskan isyarat itu ke padukuhan. Mereka pun telah melepaskan panah sendaren pula yang langsung jatuh ke dalam padukuhan induk pertahanan itu.

Isyarat itu telah mengejutkan para pengawal yang masih beristirahat karena mereka masih belum diikutsertakan dalam pertempuran di hari itu. Namun demikian mereka mendengar isyarat, maka mereka pun segera mempersiapkan diri bersama para pengawal dalam pasukan cadangan.

Sebenarnyalah bahwa pasukan cadangan yang tersisa menuang tidak begitu banyak. Tetapi orang-orang Watu Mas tidak memperhitungkan, bahwa Kabanaran telah memanggil pasukan baru untuk memperkuat kedudukan mereka.

Dengan cepat pasukan yang berada di induk pertahanan itu bersiap. Bukan saja para pengawal cadangan dan para pengawal yang masih belum dipersiapkan untuk bertempur hari itu, tetapi juga mereka yang bertugas di belakang garis perang. Mereka yang bertugas untuk menyediakan makan dan minum, mengurusi perbekalan dengan kegiatan-kegiatan yang lain. Namun sebenarnyalah mereka pun telah memiliki dasar-dasar ilmu perang.

Para pengawal dari Watu Mas pun telah mendengar isyarat yang dilontarkan oleh para penghubung pasukan Kabanaran. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan mereka telah mempercepat gerak mereka menuju ke padukuhan induk pertahanan pasukan Kabanaran.

Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran yang juga berada di medan itu pun mengetahui gerak pasukan Watu Mas. Namun ketika para penghubung telah memberikan isyarat, maka Senopati itu menjadi agak tenang, karena ia tahu, bahwa di padukuhan itu terdapat Akuwu Suwelatama itu sendiri bersama sepasukan pengawal.

Meskipun pasukan pengawal itu menurut rencana masih belum dipersiapkan untuk turun ke medan pada hari itu, namun mereka tentu akan mempertahankan padukuhan itu sebaik-baiknya.

Akuwu Suwelatama yang berada di padukuhan itu pun langsung mengatur para pengawalnya. Meskipun ia tidak mempergunakan pertanda kebesaran seorang Akuwu, namun ia telah bertindak sebagai Senopati perang untuk mempertahankan padukuhan induk pertahanan yang berisi perlengkapan perang dan perbekalan itu.

Ternyata bahwa Akuwu Suwelatama tidak menunggu pasukan lawan memasuki regol padukuhan. Justru pasukan Kabanaranlah yang telah bersiap untuk menyongsongnya.

Kepada mereka yang bertugas menyiapkan makanan dan minuman Akuwu berpasan, “Siapkan senjata kalian. Mungkin satu dua orang akan menerobos memasuki padukuhan ini. Adalah tugas kalian untuk menghalau atau membinasakan mereka.”

Sementara itu, kepada beberapa orang, Akuwu memerintahkan untuk mengawasi semua lorong yang memasuki padukuhan, sedangkan pasukan cadangan dan pasukan yang baru datang yang seharusnya masih mendapat kesempatan untuk beristirahat, telah dibawanya keluar dari padukuhan.

Tetapi Akuwu ingin menjebak lawannya. Ia memerintahkan pasukan yang baru datang untuk tetap berada di dalam regol. Mereka harus bersiap untuk bertindak pada saat yang ditentukan. Sementara pasukan cadangan yang kecil akan keluar regol bersama Akuwu Suwelatama sendiri.

Demikian pasukan Watu Mas mendekati regol padukuhan, maka mereka sudah bersiap untuk menebar. Mereka akan menyerang dan memasuki padukuhan itu tidak lewat pintu gerbang saja. Tetapi beberapa kelompok kecil akan memasuki padukuhan dengan meloncat dinding.

Namun sebelum mereka sempat menebar, pasukan Kabanaran yang dipimpin oleh seorang Senopati muda telah menyongsong mereka. Tidak seorang pun di antara orang-orang Watu Mas yang mengetahui bahwa yang memimpin pasukan Kabanaran itu adalah Akuwu Suwelatama sendiri.

Tetapi menurut pengamatan orang-orang Watu Mas, jumlah pasukan cadangan itu terlalu kecil untuk melawan mereka, sehingga bagi mereka, padukuhan itu pasti akan dapat dihancurkannya.

Namun agaknya Senopati yang memimpin pasukan cadangan yang kecil itu sama sekali tidak mengenal takut. Bersama pasukannya mereka memencar dalam tebaran yang tidak terlalu luas.

“Orang-orang Kabanaran itu sedang membunuh diri.” berkata Senopati yang memimpin pasukan Watu Mas itu.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Tetapi sebenarnyalah pasukan cadangan dari Kabanaran terlalu sedikit untuk melawan pasukan Watu Mas. Karena itu, maka dalam waktu yang pendek, mereka telah terdesak mundur ke regol padukuhan.

“Hancurkan mereka,” perintah Senopati dari Watu Mas, lalu, “atau desak mereka memasuki padukuhan yang akan kita jadikan karang abang. Padukuhan itu harus kita musnahkan dengan segala isinya. Jangan beri kesempatan mereka menyelamatkan perbekalan mereka.”

Akuwu Suwelatama yang memimpin pasukannya justru menarik diri dengan cepat. Sementara itu, pasukan lawan yang merasa pasti akan berhasil telah mendesak secepat orang-orang Kabanaran mengundurkan diri.

Dengan perlawanan yang kurang berarti, pasukan Kabanaran segera berusaha memasuki regol. Agaknya mereka ingin bersembunyi dan bertempur di antara dinding-dinding halaman di dalam padukuhan itu.

Tetapi ternyata bahwa orang-orang Watu Mas tidak telaten mendesak lawan mereka melalui regol padukuhan. Mereka yang tidak sempat melawan orang-orang Kabanaran dengan langsung karena medan yang sempit, tiba-tiba saja telah berusaha untuk meloncati dinding. Mereka menganggap bahwa di dalam dinding padukuhan mereka akan dapat langsung bertempur melawan orang-orang Kabanaran yang mengundurkan diri. Jika mereka segera berhasil membinasakan mereka, maka tugas mereka menghancurkan perbekalan akan segera dapat mereka lakukan.

Tetapi yang terjadi sungguh-sungguh di luar perhitungan mereka. Pada saat Akuwu Suwelatama melihat orang-orang Watu Mas berloncatan, maka ia pun segera memerintahkan penghubungnya untuk meneriakkan isyarat.

Meskipun penghubung itu sudah berada di mulut regol, namun sebagaimana telah disetujui bersama, maka penghubung itu telah melontarkan panah sendaren ke udara. Sambil melambung tinggi, panah sendaren itu bagaikan menjerit meneriakkan aba-aba, agar mereka yang berada di belakang regol bersiap menghadapi lawan yang datang.

Sebenarnyalah, suara panah sendaren itu telah menghentakkan orang-orang Kabanaran yang sedang menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Karena itu, demikian mereka mendengar isyarat, maka mereka pun segera berloncatan. Justru hampir bersamaan dengan orang-orang Watu Mas yang meloncati dinding memasuki padukuhan.

Ternyata sebagian dari orang-orang Watu Mas itu bernasib buruk. Demikian mereka meloncat turun, ujung senjata orang Kabanaran telah menyambutnya.

Sementara itu, para pengawal dari Kabanaran yang mundur melalui gerbang pun seluruhnya telah melewati regol. Akuwu adalah orang terakhir yang berdiri di pintu gerbang yang terbuka. Dengan pedang ia menahan orang-orang Watu Mas yang mendesak. Tetapi demikian beratnya tekanan orang-orang Watu Mas, maka Akuwu pun telah menarik pasukannya dengan cepat memasuki padukuhan.

Orang-orang Watu Mas tidak mau melepaskan buruan mereka. Mereka pun telah berlari-lari mengejar. Namun Senopati Watu Mas yang berada di depan dengan cepat dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pertempuran antara orang-orangnya yang meloncati dinding melawan para pengawal dari Kabanaran yang telah menunggu mereka. Apalagi ketika Senopati itu sempat melihat ujung-ujung senjata di balik dinding halaman dan pepohonan perdu.

Karena itu, maka ia pun memberikan isyarat agar orang-orangnya tidak dengan serta merta mengejar lawannya. Bahkan kemudian ia pun meneriakkan aba-aba, “Kita memasuki sebuah perangkap. Tetapi kita tidak akan mundur. Kita hancurkan orang-orang Kabanaran yang licik.”

Para pengawal yang memasuki padukuhan lewat regol itu pun telah menghentikan gerak majunya. Mereka kemudian menebar dekat dinding padukuhan. Di beberapa tempat, kawan-kawannya telah bertempur dengan orang-orang Kabanaran yang menunggu mereka di dalam dinding padukuhan.

Orang-orang Kabanaran mengumpat di dalam hati. Jika pasukan Watu Mas itu memburu lawannya di sepanjang lorong di induk pertahanan itu, maka dari sebelah menyebelah orang-orang Kabanaran akan dengan mudah menghancurkan mereka. Tetapi ternyata orang-orang Watu Mas itu tidak terlalu bodoh. Mereka sempat mengamati keadaan dan melakukan perlawanan sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi.

Sejenak kemudian telah berkobar pertempuran yang sengit. Rencana orang-orang Kabanaran tidak dapat mereka lakukan sebagaimana mereka harapkan. Ternyata bahwa mereka harus bertempur dalam satu perang bubruh yang kisruh. Kedua pasukan itu seolah-olah telah berbaur menjadi satu. Saling menusuk, saling menyerang dan saling membunuh.

Namun dalam keadaan yang demikian, yang melawan orang-orang Watu Mas bukan saja sekelompok kecil pengawal yang dipimpin oleh seorang Senopati muda yang tidak lain adalah Akuwu Suwelatama sendiri, tetapi pasukan pengawal yang datang kemudian, yang dianggap belum sempat beristirahat itu, telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Tetapi dengan demikian maka jumlah orang-orang Kabanaran ternyata lebih banyak dari orang-orang Watu Mas. Karena itu, maka sejenak kemudian, orang-orang Watu Mas segera merasa bahwa mereka telah salah langkah.

Tetapi orang-orang Watu Mas tidak berputus asa. Mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada. Bahkan Senopati yang memimpin sekelompok pengawal dari Watu Mas itu telah mengambil satu langkah yang ternyata mempunyai pengaruh yang besar.

Kepada dua orang pengawal ia berkata, “Jika kita berhasil membakar satu dua rumah, maka tentu akan berpengaruh pada peperangan di luar padukuhan ini.”

”Tetapi kita belum menemukan rumah tempat penyimpanan perbekalan, atau rumah yang manapun juga.”

”Asapnya akan sama saja warnanya dari medan perang.” jawab Senopati itu.

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian dengan diam-diam mereka pun telah meninggalkan arena pertempuran.

Keduanya pun kemudian memilih sebuah rumah yang besar yang telah kosong. Tidak ada seorang pengawal pun yang mengawasi rumah yang kosong itu. Penghuni padukuhan itu sudah lama dipindahkan sejak padukuhan itu menjadi pusat pertahanan pasukan Kabanaran.

Sejenak kemudian, maka api pun mulai menyala. Sebuah sudut yang terbuat dari anyaman bambu mulai mengepulkan asap. Api yang merambat perlahan-lahan mulai menelan seruas demi seruas.

Kedua pengawal itu tidak menunggu api berkobar lebih besar. Mereka pun segera berlari ke rumah di sebelah.

Rumah itu jauh lebih kecil. Tetapi hal itu memang tidak penting bagi orang-orang Watu Mas. Karena itu, maka sejenak kemudian rumah itupun telah dibakarnya pula.

Api ijuk dan dinding bambu membuat rumah-rumah itu cepat terbakar. Sejenak kemudian, ternyata api telah mulai menjilat atap, dan asap pun mulai berkobar.

Api itu memang sangat mengejutkan. Akuwu Suwelatama pun terkejut. Mereka mengira bahwa tempat penyimpanan perbekalan telah dibakar.

Dengan cepat, Akuwu memerintahkan penghubungnya untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka harus memberikan laporan segera, agar Akuwu dapat mengambil langkah.

Ternyata tempat penyimpanan perbekalan masih tetap utuh. Beberapa orang pengawal siap mengamankan rumah tempat penyimpanan itu. Bahkan di bagian dapur, orang-orang yang bekerja menyiapkan makan dan minum pun telah siap dengan senjata mereka.

”Gila,” desis Akuwu yang telah mendapat laporan, ”biarkan saja rumah kosong itu terbakar.”

“Tetapi bagaimana dengan para pengawal di medan?” bertanya penghubungnya.

“Aku mengerti,” jawab Akuwu, “asap dan api itu tentu akan berpengaruh. Tetapi jika api itu tidak meluas, maka mereka tentu akan membuat pertimbangan. Karena itu, beberapa orang pengawal harus mengadakan pengamatan keliling di seputar padukuhan ini. Bukan hanya tempat-tempat penting sajalah yang harus diawasi, karena orang-orang Watu Mas pun mempunyai banyak akal.”

Demikianlah, maka sekelompok orang-orang Kabanaran pun kemudian telah meninggalkan arena untuk meronda seluruh padukuhan. Kepada mereka yang berjaga-jaga di pintu-pintu lorong mendapat peringatan agar mereka pun berhati-hati.

Sementara itu, pertempuran di padukuhan itu pun mulai sampai pada tataran yang menentukan. Orang-orang Watu Mas yang jumlahnya lebih sedikit tidak lagi mampu bertahan terlalu lama. Ketika dua orang pengawal dari Watu Mas ingin membakar rumah yang lain, maka sekelompok peronda dari Kabanaran berhasil melihatnya, sehingga keduanya telah dapat ditangkap.

Akhirnya, betapapun juga orang-orang Watu Mas yang memasuki padukuhan itu bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, namun ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk tetap bertahan, sehingga untuk menghindari kemusnahan, maka mereka pun mulai menarik pasukannya. Bahkan ada di antara mereka yang dengan tergesa-gesa meloncati dinding dan berlari meninggalkan padukuhan. Orang-orang Watu Mas itu masih berharap untuk dapat lolos dari tangan orang-orang Kabanaran dan bergabung dengan induk pasukan mereka.

Dalam pada itu, api yang menyala, serta asap yang mengepul tinggi, membuat orang-orang Kabanaran menjadi bingung. Mereka mengira bahwa orang-orang Watu Mas berhasil menghancurkan perbekalan mereka. Sehingga justru karena itu, maka mereka pun telah terpengaruh karenanya.

Selain akibat kecemasan itu, maka orang-orang Watu Mas memang mempergunakan cara yang lain yang agak membingungkan orang-orang Kabanaran. Karena itu, maka untuk beberapa lamanya orang-orang Kabanaran masih harus berusaha menyesuaikan diri.

Hari itu, orang-orang Watu Mas berhasil mendesak orang-orang Kabanaran. Bahkan hampir saja gelar Sapit Urang orang-orang Kabanaran berhasil dipecah. Namun untunglah, bahwa ketangkasan dan kesigapan para Senopati gelar itu masih dapat bertahan.

Tetapi ketika asap membumbung sampai ke langit, rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang dari orang-orang Kabanaran itu. Pasukan mereka pun justru semakin terdesak mundur. Gejolak perjuangan yang membakar jantung mereka rasa-rasanya menjadi surut.

Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran itu dapat mengerti keadaan itu. Beberapa kali ia mencoba meneriakkan aba-aba yang disambung oleh para Senopati yang lain. Namun nampaknya kecemasan telah merayap di hati para pengawal di Kabanaran. Mereka merasa bahwa dukungan perbekalan dan peralatan telah musnah dimakan api, sementara para pengawal yang mempertahankannya telah binasa.

Sementara itu langit pun menjadi semakin merah. Matahari perlahan-lahan turun ke punggung bukit di arah Barat. Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran masih berpengharapan, bahwa senja akan dapat menyelamatkan pasukannya. Sementara pada malam harinya, ia akan mendapat kesempatan untuk memberikan beberapa penjelasan.

Yang harus dilakukannya adalah bertahan agar pasukan lawan dalam perang gelar itu tidak mendekati padukuhan induk meskipun padukuhan itu sudah terbakar.

Tetapi pasukan Watu Mas mendesak dengan dahsyatnya. Cara mereka memecah pasukan Kabanaran dengan cara yang lain itu benar-benar telah menyulitkan kedudukan orang-orang Kabanaran yang hatinya seolah-olah telah patah.

“Kita harus mencapai padukuhan itu,” teriak Senopati yang memimpin pasukan Watu Mas, “beberapa rumah telah dibakar oleh para pengawal yang mendahului kita. Kita harus merebutnya dan menghancurkan semuanya, sehingga orang-orang Kabanaran tidak lagi mempunyai tempat untuk berpijak.”

Sorak gemuruh telah mengobarkan api perlawanan yang dahsyat di hati orang-orang Watu Mas. Bahkan Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran mempunyai perhitungan, seandainya matahari turun dan tenggelam di balik bukit, namun jarak padukuhan induk pertahanan itu menjadi semakin dekat, maka pihak Watu Mas tidak akan menarik pengawalnya. Meskipun gelap turun mereka akan bertempur terus sampai mereka berhasil memasuki padukuhan yang sudah terbakar itu.

Namun yang terjadi kemudian, ternyata telah merubah segalanya. Di luar dugaan justru ketika perang gelar itu bergeser semakin dekat dengan padukuhan induk pertahanan orang-orang Kabanaran, telah terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Dalam keburaman menjelang senja, orang-orang Watu Mas yang berada di padukuhan itu telah terdesak keluar. Bahkan ada di antara mereka yang berlari bercerai berai ke arah perang gelar untuk mencari perlindungan.

“Apa yang telah terjadi?” pertanyaan itu rasa-rasanya telah mengetuk setiap hati para pengawal dari kedua belah pihak.

Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran melihat keadaan itu. Sebelum para pengawalnya mengambil kesimpulan yang berbeda-beda, maka ia pun telah berteriak, “Kita berhasil mengusir mereka. Para pengawal dari Kabanaran telah memenangkan perang di padukuhan itu.”

Orang-orang Kabanaran termangu-mangu sejenak. Ada sedikit harapan memercik di hati mereka. Apalagi ketika kemudian muncul pasukan Kabanaran yang mengejar orang-orang Watu Mas yang sedang menarik diri.

Sorak yang membahana telah menggetarkan langit di atas medan perang. Hati yang hampir patah, tiba-tiba telah bergejolak kembali. Orang-orang Kabanaran yang merasa kehilangan alas bagi pasukannya bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang menakutkan. Mereka seolah-olah telah melihat lagi cahaya harapan untuk mempertahankan diri dari orang-orang Watu Mas.

Sebaliknya orang-orang Watu Maslah yang kemudian menjadi bingung. Mereka melihat orang-orangnya yang memasuki padukuhan itu terdesak dengan dahsyatnya. Bahkan berhasil dicerai-beraikan.

Sebagian dari orang-orang Watu Mas yang berhasil lolos dari tangan orang-orang Kabanaran ternyata berhasil mencapai induk pasukannya. Apalagi gelar yang lain dari pasukan Watu Mas, yang memungkinkan orang-orangnya bergabung dengan para pengawal di Watu Mas yang berada di belakang garis perang.

Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang Kabanaran yang mengejar orang-orang Watu Mas tidak berhenti sampai di luar regol padukuhan. Mereka justru maju menyatu dengan gelar pasukan mereka yang terdesak.

Dengan demikian, maka para pengawal dari Kabanaran yang sebenarnya masih belum saatnya turun ke medan itu telah dengan langsung melibatkan diri. Sehingga betapapun juga, kehadiran mereka telah mempengaruhi keseimbangan di peperangan itu.

Dalam keadaan yang demikian, maka hati orang-orang Kabanaran bagaikan berkembang di dalam dadanya. Mereka dengan dahsyatnya telah mengerahkan tenaga untuk menggempur orang-orang Watu Mas yang kebingungan melihat suasana. Mereka semula memastikan bahwa padukuhan itu berhasil dikuasai. Tetapi ternyata perhitungan itu salah.

Benturan antara kedua gelar itu telah bergeser ke arah yang sebaliknya. Orang-orang Kabanaran berhasil mendesak orang-orang Watu Mas. Bahkan dalam beberapa hal, pasukan Watu Mas telah menjadi goyah. Kelainan gelar yang semula menguntungkan itu, justru menjadi sebaliknya.

Tetapi ternyata bahwa nasib mereka masih tidak terlalu buruk. Semakin mereka terdesak, maka langit pun menjadi semakin buram, sehingga ketika matahari terbenam, terdengarlah orang-orang Watu Mas meniup sangkakala.

Orang-orang Kabanaran tidak ingin berbuat curang. Meskipun kesempatan mereka saat itu lebih baik, tetapi mereka pun telah menghentikan perang dan menarik pasukannya ke padukuhan yang mereka sangka telah jatuh ke tangan orang-orang Watu Mas dan langsung dihancurkan.

Ketika mereka memasuki padukuhan itu, barulah mereka melihat bahwa yang terbakar bukanlah tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan. Tetapi yang terbakar adalah dua buah rumah yang kosong karena sudah lama ditinggalkan oleh penghuninya dan tidak dipergunakan oleh para pengawal.

“Gila,” geram Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran, “hampir saja kami menjadi korban perasaan kami yang tidak terkendali.”

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya orang-orang Kabanaran itu justru telah mendapat tempaan batin sehingga seakan-akan mereka justru menjadi yakin, bahwa mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang Watu Mas.

Setelah para Senopati beristirahat sejenak dan makan serta minum, maka Akuwu Suwelatama telah memanggil mereka untuk membicarakan pertempuran di hari mendatang.

“Sudah waktunya kita mengerahkan segenap kekuatan,” berkata Akuwu Suwelatama, ”orang-orang Watu Mas pun telah mengerahkan segenap kekuatan mereka. Bahkan mereka telah melakukan serangan khusus untuk menghancurkan perbekalan dan perlengkapan kita di induk pertahanan ini.”

“Ya, Akuwu,” jawab Senopati tertingginya, “bahkan kami telah mendapat laporan sejak pertama, pasukan Pangeran Indrasunu yang didatangkannya dari padepokan, merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mereka secara pribadi mempunyai beberapa kelebihan.”

Di luar sadarnya Akuwu Suwelatama berpaling kepada Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak akan dapat menjanjikan apa-apa dalam waktu dekat. Kecuali seperti yang dilakukan oleh Indrasunu. Sejak awal ia sudah membawa sepasukan pengawal atau bahkan prajurit dari Singasari.

Namun dalam waktu itu, Akuwu menjawab, “Tetapi dalam keseluruhan, kami masih mempunyai kelebihan. Karena itu, sebelum kita justru menjumpai persoalan-persoalan di luar kemampuan kita untuk menjawab, maka sebaiknya besok kita keluar dengan kekuatan penuh. Kita tidak akan bertempur terlalu jauh dari padukuhan ini, tetapi dengan penuh keyakinan, bahwa mereka tidak akan dapat mendesak kita. Kita masih akan tetap meninggalkan sekelompok kecil pasukan cadangan yang tinggal di padukuhan ini, tetapi juga sekelompok yang lain yang akan berada di dalam gelar, tetapi setiap saat akan dapat meninggalkan gelar untuk kepentingan khusus.”

Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran itu mengangguk. Sementara itu, Akuwu bertanya kepada Mahisa Bungalan, “Bagaimana pertimbanganmu, Mahisa Bungalan?”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku sependapat. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat membantu dengan pasukan, justru karena tidak ada waktu lagi.”

“Terima kasih,” sahut Akuwu, “bantuanmu sudah cukup besar. Mudah-mudahan kita akan cepat mengakhiri pertempuran. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini.”

“Kita sudah mendapat gambaran dari perhitungan kita selama beberapa hari peperangan ini.” berkata Mahisa Bungalan.

“Asal tidak ada kekuatan baru datang, besok kita akan dapat mendesak mereka masuk hutan.” berkata Akuwu. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Kibarkan panji-panji kebesaranku. Akuwu Kabanaran sudah berada di medan pedang.”

Dada para Senopati rasa-rasanya telah mengembang. Besok mereka akan bertempur di bawah pimpinan langsung Akuwu Suwelatama dalam pertanda kebesarannya.

Dalam pada itu, Akuwu Watu Mas pun telah berbicara dengan para Senopatinya. Mereka membicarakan kegagalan yang mereka alami. Hampir saja rencana itu berhasil. Namun di luar perhitungan mereka, ternyata di padukuhan itu masih terdapat sepasukan pengawal yang menunggu kedatangan mereka.

“Besok kita akan kembali ke dalam gelar seutuhnya,” berkata Akuwu, “baru di hari berikutnya kita akan mengambil cara yang lebih baik lagi.”

Para Senopati pun sependapat. Mereka tidak dapat menemukan cara yang lebih baik dari cara yang telah mereka pergunakan tetapi tidak berhasil.

Karena itu, maka yang kemudian dilakukan adalah beristirahat sebaik-baiknya. Sebagaimana perintah Akuwu, maka sebagian besar pasukan cadangan besok akan turun pula ke medan.

Namun dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu sedang membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Ia masih akan ikut berperang di hari berikutnya. Namun kehadiran Mahisa Bungalan yang dilihatnya sekilas memberikan suatu pikiran bagi kepentingannya sendiri.

“Anak itu biasanya datang bersama paman-pamannya,” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya, “jika demikian, maka aku akan dapat berbicara tentang Ken Padmi. Gadis itu telah ditinggalkan tanpa pengawalan secukupnya. Mungkin aku akan mendapat kesempatan untuk mengambilnya bersama kedua orang pemimpin padepokan itu.”

Sebenarnyalah Pangeran Indrasunu teringat kedua orang Pangeran yang telah bersamanya memerangi Pakuwon Kabanaran. “Kedua orang itu tentu akan bersedia ikut bersamaku. Jika aku berhasil mengambil gadis itu, maka sakit hatiku sudah terbalas. Gadis itu akan cacat seumur hidupnya sehingga Mahisa Bungalan pun akan ikut menderitanya.”

Ketika Pangeran Indrasunu berbaring di perkemahannya, maka ia masih saja menimbang-nimbang. Seorang dari tiga orang Pangeran yang telah berbuat bersamanya atas Kabanaran agaknya telah kehilangan masa depannya sepeninggalan gurunya. Ia seakan-akan berputus asa.

Tetapi kedua orang Pangeran yang lain, pasti masih akan dengan senang hati melakukannya. Sebagian dari pasukan yang dibawanya ke Watu Mas adalah pasukan dari kedua padepokan, yang dipimpin oleh guru kedua pangeran itu.

Tiba-tiba Pangeran Indrasunu itu tersenyum sendiri. Katanya, “Kebanggaannya akan segera lenyap. Salahnya sendiri, bahwa ia ikut mencampuri persoalan yang timbul antara Watu Mas dan Kabanaran. Ia akan mengorbankan gadis yang paling berharga di dalam hidupnya.”

Malam itu Pangeran Indrasunu tidur dengan mimpi cerah. Pertempuran itu sudah tidak menarik lagi baginya. Meskipun ia masih juga ingin melihat pasukan Kabanaran hancur, tetapi ia lebih senang dapat mengambil Ken Padmi dan menghinakannya agar hati Mahisa Bungalan hancur karenanya.

Pangeran Indrasunu bangun agak lambat. Tetapi ia pun dengan cepat segera menyesuaikan diri. Dengan tergesa-gesa ia makan pagi sebelum berangkat ke medan. Kemudian ia pun segera berada di antara pasukannya yang diperbantukannya kepada Akuwu di Watu Mas. Pasukan yang sudah menjadi semakin susut dari hari ke hari. Namun sebenarnyalah pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Indrasunu, adalah pasukan pilihan. Meskipun mereka bukan pengawal Watu Mas, namun justru karena mereka adalah para cantrik dari padepokan, maka mereka memiliki kemampuan secara pribadi cukup meyakinkan dibandingkan dengan para pengawal.

Ketika kedua pasukan sudah bersiap, maka tiba-tiba seorang pengawas dari Watu Mas telah menghadap Senopati tertinggi dari pasukan Watu Mas. Dengan sungguh-sungguh dilaporkannya, bahwa pada pasukan Kabanaran terdapat tunggul berwarna kuning emas dengan panji-panji kebesaran Akuwu di Kabanaran.

“Jadi Akuwu Suwelatama telah turun ke medan?” bertanya senopati dari Watu Mas itu.

“Ya. Panji-panji kebesarannya telah terpasang di antara segala macam panji-panji, rontek dan kelebet.” jawab pengawas itu.

Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, aku akan menyampaikannya kepada Akuwu di Watu Mas.”

Akuwu di Watu Mas merasa seakan-akan jantungnya diguncang. Dengan serta merta maka ia pun memerintahkan, “Pasang panji-panji kebesaran Akuwu di Watu Mas.”

Demikianlah, ketika pada saatnya kedua belah pihak bersiap berhadapan di medan, maka kedua belah pihak pun telah melihat tunggul dan panji panji kebesaran Akuwu dari kedua belah pihak.

Karena itu, maka kedua Senopati dari masing-masing Pakuwon pun merasa bahwa perang antara kedua Pakuwon itu sudah akan sampai ke puncaknya. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuannya dan tidak lagi berusaha untuk menahan diri. Bahkan kedua Akuwu dari masing-masing Pakuwon pun telah turun pula ke medan.

Sesaat kemudian, maka kedua pasukan dalam gelar yang lengkap pun telah saling mendekat. Hampir semua kekuatan telah dikerahkan. Namun di kedua belah pihak, pasukan cadangan masih selalu dipersiapkan untuk menjaga apabila lawan mempergunakan satu cara yang berbeda dari perang gelar pada umumnya.

Ternyata pada hari itu kedua belah pihak masih tetap mempergunakan gelar yang sama. Pasukan Watu Mas mempergunakan gelar Garuda Nglayang sementara orang-orang dari Kabanaran yang dipimpin oleh Akuwunya mempergunakan gelar Sapit Urang. Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama telah meletakkan Senopati yang semula menjadi pemimpin tertinggi pasukan Kabanaran itu menjadi Senopati pengapit bersama Mahisa Bungalan dan bertanggung jawab atas pasukan yang berada di sayap gelar.

Demikianlah, ketika pasukan itu menjadi semakin dekat, maka mulai terdengar sorak gemuruh dari kedua belah pihak. Masing-masing hadir dengan segenap gairah perjuangan, karena mereka telah dipimpin oleh Akuwu masing-masing.

Pangeran Indrasunu masih tetap berada di induk pasukan bersama sebagian dari pasukan yang dibawanya. Sebagian lain dari pasukannya telah diserahkan kepada kelompok-kelompok yang berada di sayap pasukan untuk memberikan tekanan-tekanan kepada sayap lawan.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan yang dipimpin langsung oleh Akuwu dari kedua Pakuwon yang bertetangga itu telah berbenturan. Kedua kekuatan yang besar itu segera terlibat ke dalam satu pergumulan yang sengit.

Akuwu Suwelatama dan Akuwu di Watu Mas yang memimpin pasukan masing-masing pun ternyata tidak sekedar hadir saja di medan. Keduanya telah dengan penuh tanggung jawab hadir di pertempuran sebagai seorang Akuwu. Sebagai Senopati tertinggi dari pasukan pengawal Pakuwon masing-masing.

Karena itu, baik Akuwu di Kabanaran maupun Akuwu di Watu Mas telah bertempur dengan garangnya di induk pasukannya.

Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa dengan hadirnya kedua orang pemimpin tertinggi dari kedua Pakuwon itu, maka pertempuran pun menjadi bertambah garang.

Di sayap merupakan sapit dari gelar Sapit Urang pasukan Kabanaran, Senopati yang semula memimpin seluruh pasukan Kabanaran itu telah berjuang dengan serunya. Tugasnya yang menjadi lebih sempit, telah membuatnya lebih cermat. Ia tidak harus mengamati seluruh medan, tetapi yang paling penting baginya, adalah sayap yang dipimpinnya.

Sementara di sayap yang lain, Mahisa Bungalan, yang meskipun bukan seorang perwira pengawal dari Kabanaran, namun rasa-rasanya telah menjadi keluarga sendiri. Para pengawal pun telah mengetahui tingkat kemampuannya, sehingga karena itu, maka dengan senang hati mereka menerima Mahisa Bungalan sebagai Senopati pengapit yang bertanggung jawab atas sayap yang dipimpinnya.

Kecermatan Mahisa Bungalan dan Senopati pengapit yang seorang lagi, sangat berpengaruh atas tugas dari sayap gelar Sapit Urang itu.

Bahkan keduanya masih sangat sempat menunjuk dua orang pemimpin kelompok di sayap masing-masing untuk bertempur terpisah, seolah-olah sebuah sapit yang mengembang.

Gelar yang cermat itu belum pernah di jumpai oleh pasukan Watu Mas sebelumnya. Karena itu, maka mereka segera [hilang] menyesuaikan diri, bertempur dengan [hilang] pula. Namun ternyata pasukan Kabanaran telah [hilang] lebih mapan.

Dengan demikian, maka dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, di bawah pimpinan Akuwu masing-masing, maka pasukan Kabanaran benar-benar menunjukkan kelebihan. Dari ujung-ujung gelar, pasukan Kabanaran telah mendesak selangkah demi selangkah. Kekuatan ujung sayap gelar kedua pasukan itu pun semakin jelas, bahwa Kabanaran memang mempunyai kelebihan.

Akuwu di Watu Mas tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Kemarahan yang menghendaki di dadanya, telah membuatnya semakin garang. Tetapi kegarangannya tidak banyak berpengaruh atas lawannya. Bahkan dengan demikian ia telah terlampau banyak menghentakkan tenaganya.

Dengan pesan yang keras Akuwu di Watu Mas telah memerintahkan penghubungnya, agar Senopati di kedua sayapnya berusaha untuk menahan desakan lawannya. Namun agaknya kekuatan yang saling berbenturan di ujung sayap itu memang berselisih meskipun hanya selapis. Tetapi pada pertempuran yang lama, selisih yang selapis itu nampak menjadi semakin jelas.

Akuwu di Watu Mas berusaha untuk mengimbangi tekanan lawan dengan kekuatannya di induk pasukan. Bersama pasukan Pangeran Indrasunu yang berada di induk pasukan itu, Akuwu di Watu Mas dengan segenap kekuatan yang ada telah menekan induk pasukan dari Kabanaran.

Tetapi pasukan Kabanaran yang kuat itu tidak dapat didesaknya. Semakin besar usaha orang-orang Watu Mas menekan lawannya yang mapan, maka semakin banyak korban yang jatuh di peperangan.

Beberapa orang Senopati dari Watu Mas tetap dalam kesadaran mereka, bahwa perang akan berlangsung lama. Setidaknya mereka akan bertempur sehari penuh. Dengan demikian maka mereka harus memperhitungkan kemampuan mereka, agar nafas mereka tidak patah di tengah, justru pada saat yang paling gawat.

Karena itu, beberapa orang Senopati dengan kelompoknya berusaha untuk bertempur dengan perhitungan tenaga bagi peperangan yang sehari penuh, sebelum mereka akan sempat beristirahat semalam suntuk.

Tetapi betapapun juga, pasukan Kabanaran di hari itu mempunyai kelebihan yang meyakinkan. Pasukannya yang sudah diturunkan hampir seluruhnya di medan perang memang berpengaruh. Jumlah yang lebih besar dan tenaga yang masih segar, ternyata tidak tertahan lagi oleh pasukan Watu Mas.

Dimulai dari kedua ujung sayap, maka pasukan Watu Mas perlahan-lahan telah terdesak Pertempuran di hari itu merupakan kebalikan dari pertempuran di hari pertama. Pasukan Kabanaran mendesak terus sejak matahari sampai ke puncak. Semakin rendah matahari turun ke Barat, maka semakin berat tekanan-tekanan yang diberikan oleh pasukan Kabanaran.

Dalam pada itu, maka Akuwu di Kabanaran telah memberikan perintah kepada kedua Senopati pengapitnya, “Kita harus mendesak pasukan Watu Mas keluar dari arena. Jika mereka ingin bertahan di hutan, biarlah ia berada di hutan perbatasan. Tetapi kita harus berhasil melampaui perkemahan mereka. Kita harus menghancurkannya, sehingga mereka tidak lagi mempunyai landasan perbekalan dan perlengkapan.”

Perintah itu yang diterima oleh kedua Senopati pengapit, telah diusahakan sekuat-kuatnya untuk dapat dilaksanakan. Senopati yang semula memimpin seluruh pasukan, sementara yang lain adalah Mahisa Bungalan, telah bertempur dengan gigihnya. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang mendebarkan.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan sendiri, yang menganggap bahwa perang itu sudah berkepanjangan dari hari ke hari, telah mengambil keputusan untuk membantu Akuwu Kabanaran, menyelesaikan secepatnya. Dalam keseimbangan di hari itu, Mahisa Bungalan memperhitungkan, apabila Kabanaran berhasil memanfaatkan keadaan, maka pertempuran akan berakhir. Tetapi jika Kabanaran gagal, maka Watu Mas akan sempat mengambil pasukan pengawalnya yang akan dapat memperkuat medan, sehingga dengan demikian, maka pertempuran akan menjadi semakin berlarut-larut. Arena pertempuran itu akan menjadi ajang pembantaian yang tidak berkeputusan.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah bertekad untuk menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia sama sekali tidak bermaksud membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi ia memang ingin mendesak lawan sejauh-jauhnya. Mungkin ia memang harus memakan dan menghentikan perlawanan orang-orang Watu Mas, tetapi itu tidak berarti harus membunuhnya.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan yang telah menerima pesan Akuwu Suwelatama untuk segera berusaha mengakhiri peperangan itu pun telah bertempur dengan garangnya.

Dengan kekuatan cadangannya yang tidak dapat diimbangi oleh orang-orang Watu Mas, maka Mahisa Bungalan telah berhasil memecah perlawanan orang-orang Watu Mas di sayap pasukan yang berhadapan dengan pasukannya. Sementara orang-orang Kabanaran yang menyaksikan kemampuan puncak Mahisa Bungalan, menjadi semakin bergairah untuk bertempur. Tenaga mereka yang terasa mulai susut, seolah-olah menjadi pulih kembali. Sorak yang membahana serasa akan membelah langit.

Senopati yang memimpin sayap gelar lawan dengan kemarahan yang memuncak telah berusaha untuk menghentikan Mahisa Bungalan. Namun dengan demikian Senopati itu telah terpancing dalam perang Senopati yang sangat berbahaya baginya. Kemampuan Mahisa Bungalan, ternyata tidak dapat diimbanginya.

Dua orang pengawal Watu Mas berusaha membantunya. Namun dalam keadaan yang gawat, kedua pengawal itu harus mempertahankan hidup mereka sendiri dari serangan pengawal pasukan Kabanaran.

Yang berhasil mendesak lawannya ternyata bukan saja di sayap yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan. Di sayap yang lain, pasukan Kabanaran mendapat kemajuan yang mengejutkan pula. Sementara di induk pasukan, pasukan Watu Mas sulit untuk mengimbangi kekuatan pasukan Kabanaran yang telah menurunkan hampir semua pasukan yang berada, termasuk pasukan yang datang kemudian, yang ditarik dari beberapa daerah, termasuk pasukan yang telah menghancurkan sarang para perampok di hutan perbatasan.

Akuwu Suwelatama memang berharap bahwa perang agar segera berakhir. Pasukan Watu Mas harus segera terusir dari bumi Kabanaran.

Meskipun demikian, Akuwu di Kabanaran pun menyadari, seandainya saat itu ia berhasil mengusir pasukan Watu Mas, bukan berarti bahwa orang-orang Watu Mas akan menerima kenyataan itu. Mungkin pada suatu saat, mereka akan melakukan sesuatu yang lebih berbahaya bagi Kabanaran. Namun Kabanaran memang harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Perlahan-lahan pasukan Kabanaran berhasil mendesak pasukan Watu Mas. Di kedua sayap pasukan, para pengawal dari Watu Mas mengalami kesulitan yang tidak teratasi, sehingga kedua sayap pasukan Watu Mas dalam gelar Garuda Nglayang itu telah terdesak bagaikan sayap yang tidak berdaya lagi.

Akuwu Watu Mas tidak dapat membiarkan kedua sayapnya patah. Untuk itu ia harus mengimbangi gerak mundur sayapnya. Sambil mengirimkan kelompok-kelompok kecil untuk membantu kedua sayapnya, Akuwu Watu Mas menarik pasukannya surut pada induk pasukan.

Kekuatan yang kecil itu berhasil membantu kesulitan pada kedua sayap gelar pasukan Watu Mas. Namun tidak dapat berlangsung lama, karena sebenarnyalah pasukan Kabanaran memiliki kelebihan. Terutama pada sayap yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan. Ia sendiri bagaikan hantu yang mengerikan. Betapapun juga Senopati di sayap lawan itu mengerahkan kemampuannya, namun akhirnya ia harus mengakui keunggulan Mahisa Bungalan.

Pada saat-saat yang sangat berbahaya, maka senjata Mahisa Bungalan justru telah menyentuhnya. Sebuah goresan memanjang melintang di dadanya. Goresan itu tidak begitu dalam. Tetapi darah yang mengalir di sepanjang luka itu memberikan kesan yang mengerikan.

Tetapi Senopati itu juga justru mengamuk dengan sengitnya. Dengan lantang ia justru berteriak. “Amuk. Amuk. Hancurkan pasukan Kabanaran yang tamak dan sombong ini.” Tetapi suaranya justru terputus. Sekali lagi senjata Mahisa Bungalan menyentuhnya. Lengan Senopati itulah yang kemudian menjadi merah karena darah.

Meskipun demikian, Senopati itu sama sekali tidak melangkah surut. Senjatanya justru diputarnya seperti baling-baling. Dengan garang ia meloncat menyerang Mahisa Bungalan dengan ayunan mendatar.

Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkan. Senjatanya sama sekali tidak mengenai Mahisa Bungalan. Namun justru senjatanya telah terlempar dari tangannya. Sambil mengaduh maka Senopati itu memegangi pergelangan tangannya. Ternyata justru ujung senjata Mahisa Bungalan yang telah mengenai pergelangan tangan Senopati itu, sehingga senjatanya terlepas.

Darah mengalir dari nadinya bagaikan terperas dari tubuhnya. Dengan cemas, Senopati itu berusaha untuk menahan arus darahnya, sehingga ia tidak lagi sempat memberikan perlawanan kepada Mahisa Bungalan.

Dua orang pengawal berusaha untuk melindunginya, sementara seorang pengawal yang lain telah menariknya dari medan.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia sempat melihat Senopati itu meninggalkannya. Tetapi ia tidak memburunya. Ia tahu pasti bahwa Senopati itu akan memerlukan waktu untuk mengobati lukanya. Jika tidak, maka arus darah dari nadi pergelangan tangannya itu akan dapat membunuhnya.

Sementara itu, Senopati bawahannya yang tertua di antara mereka, telah mengambil alih pimpinan sayap pasukan Watu Mas. Tetapi, ketika ia harus berhadapan juga dengan Mahisa Bungalan, maka ia tidak dapat bertahan sepenginang. Senjata Mahisa Bungalan segera menyentuh kulitnya, sehingga darah pun mulai menetes dari luka.

Beberapa orang pengawal berusaha untuk membantunya. Namun orang-orang yang mengerumuni Mahisa Bungalan itu tidak memberikan banyak arti. Bukan saja karena para pengawal dari Kabanaran pun berdatangan untuk membebaskan Mahisa Bungalan dari kepungan, maka Mahisa Bungalan sendiri merupakan orang yang sangat berbahaya bagi mereka.

Karena itulah, maka sayap yang langsung berhadapan dengan pasukan Kabanaran yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan itu sulit untuk diselamatkan. Kelemahan pada ujung sayap itu telah merambat di sepanjang tubuh sayap memanjang, sehingga akhirnya sayap itu tidak dapat diselamatkannya lagi.

Sekali lagi Akuwu di Watu Mas harus memperhitungkan keselamatan seluruh pasukannya. Ia tidak dapat membiarkan sayapnya patah dan hancur bercerai berai. Karena itulah, maka ia harus memilih jalan yang paling baik bagi seluruh pasukannya.
Sekali lagi ia memerintahkan menarik pasukannya mundur. Namun pasukan itu masih tetap utuh, sehingga dalam gerak surut, pasukan Watu Mas masih dapat memberikan perlawanan yang utuh.

Gerak mundur itu telah mencemaskan orang-orang yang berada di perkemahan. Senopati yang memimpin pasukan cadangan segera mendapat laporan dan mendapat perintah untuk turun ke medan dengan segenap orang yang ada.

Sejenak kemudian, maka beberapa kelompok pasukan cadangan telah bergerak menyusul ke medan yang menjadi semakin dekat, justru karena pasukan Watu Mas terdesak mundur.

Akuwu Suwelatama pun kemudian mendapat laporan, bahwa pasukan Watu Mas telah mengerahkan segenap pasukan cadangannya pada saat itu juga, sehingga dengan demikian maka jumlah pasukan Watu Mas akan bertambah.

“ Cepat. Kita harus menghancurkan pasukan itu. Sehingga jika pasukan cadangannya bergabung, maka kekuatan mereka tidak akan terasa bertambah. Kita tidak akan sempat memanggil pasukan cadangan kita yang tersisa. Jika kita terlambat mengambil sikap, maka kitalah yang akan terdesak.” perintah Akuwu Suwelatama.

Perintah itu sudah jelas. Perintah itu pun segera sampai ke ujung-ujung sayap. Karena itulah, maka setiap kelompok di dalam pasukan Kabanaran telah berusaha untuk dengan secepatnya memecah pertambahan lawan.

Terutama di ujung-ujung sayap. Mahisa Bungalan meningkatkan perlawanannya terhadap sayap lawan yang menjadi semakin lemah. Beberapa kali pasukan lawan menarik diri untuk menyelamatkan keutuhan gelarnya. Meskipun Mahisa Bungalan mengagumi kecepatan mengambil keputusan Akuwu di Watu Mas, namun Mahisa Bungalan tidak ingin membiarkan gelar lawan itu sempat diperbaiki. Karena itu, maka sebelum pasukan cadangan lawan berhasil menyatu dalam gelar, maka Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuan pasukannya untuk benar-benar memecahkan pasukan lawan.

Dengan demikian, maka betapapun juga sayap pasukan Watu Mas itu bertahan, namun mereka benar-benar mengalami kesulitan. Akuwu di Watu Mas telah memberikan perintah untuk dengan sisa-sisa tenaga yang ada berusaha untuk tetap utuh dalam gelar sampai saatnya pasukan cadangan memasuki arena. Namun sebenarnyalah, sayap pasukan Watu Mas yang berhadapan dengan pasukan Mahisa Bungalan tidak mampu lagi untuk tetap bertahan. Tetapi sayap itu tidak juga membiarkan dirinya berserakan. Dengan sisa-sisa orang yang ada, maka sayap itu pun seolah-olah telah melipat dirinya ke arah induk pasukan.

Pada saat yang gawat itulah, pasukan cadangan dari Watu Mas memasuki arena. Bukan saja pasukan cadangan, tetapi seakan-akan setiap orang yang ikut pergi ke medan telah turun dalam pertempuran. Mereka yang seharusnya menyiapkan perbekalan dan perlengkapan pun telah ikut pula memasuki gelar yang sudah kehilangan sebelah sayap.

Untuk beberapa saat, pasukan Akuwu di Watu Mas sempat bertahan. Pasukan Kabanaran tidak dapat mendorong maju lagi. Sejumlah pasukan cadangan yang segar telah membuat pasukan Watu Mas bertambah kuat.

Namun ternyata Mahisa Bungalan telah mengambil sikap sendiri sebelum Akuwu sempat menjatuhkan perintah. Sayapnya pun kemudian telah maju beberapa langkah mendahului pasukan induknya dan melipat menyerang lawan dari lambung yang telah kehilangan sayapnya.

Serangan pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan itu benar-benar mengacaukan pertahanan lawan yang sedang berusaha untuk menyusun kembali gelarnya. Sayap yang sedang dipersiapkan itu sama sekali tidak sempat menyesuaikan diri dengan gelar seutuhnya. Tetapi mereka justru harus menghadapi pasukan Mahisa Bungalan.

Ternyata bahwa sikap Mahisa Bungalan itu dapat dimengerti oleh Akuwu Suwelatama. Bahkan Akuwulah yang kemudian berusaha untuk menyesuaikan seluruh pasukannya.

Senopati yang berada di sayap yang lainnya telah mengerahkan segenap pengawal yang ada. Tetapi ia agak terlambat. Pasukan cadangan dari Watu Mas sempat memperkuat pasukan pada sayap yang terdesak, tetapi masih belum pecah itu.

Untuk beberapa saat pasukan Watu Mas mampu bertahan. Namun bagaimanapun juga, gelarnya yang tidak utuh lagi telah membuat pasukan itu terdesak bukan saja mundur, tetapi juga menyamping. Pasukan Mahisa Bungalan yang menyerang lambung, benar-benar membuat Akuwu di Watu Mas menjadi cemas.

Sebenarnyalah, pasukan Watu Mas pada akhirnya harus mengakui, bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Pasukan cadangan yang memasuki arena, hanya sempat membuat pasukan Watu Mas tidak bercerai berai. Namun mereka memang harus menarik pasukan itu mundur, justru sepanjang pasukan itu masih dapat dikuasai sebaik-baiknya.

Akhirnya Akuwu di Watu Mas memang tidak ada pilihan lain. Dengan sisa-sisa pasukannya, maka ia telah menarik diri perlahan-lahan. Bahkan ia pun telah memerintahkan kepada orang-orang yang tersisa di perkemahan. Mereka harus menyelamatkan, apa yang dapat diselamatkan. Yang tidak mungkin lagi diselamatkan, agar dihancurkannya sama sekali.

Pangeran Indrasunu yang berada di pasukan induknya tidak lagi bergairah untuk bertahan. Ia justru mempunyai pertimbangan tersendiri. Sebaliknya pasukan Watu Mas itu mundur dari medan dan menyusun kekuatan untuk satu kesempatan yang lain. Sementara itu, Mahisa Bungalan tentu masih akan tetap berada di Kabanaran untuk beberapa saat.

“Aku harus mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku harus mengambil gadis itu, dan memaksa Mahisa Bungalan menderita seumur hidupnya.” berkata Pangeran Indrasunu di dalam hati sambil mengikuti gerak mundur pasukan Watu Mas dalam keseluruhan.

Sebenarnyalah, semakin lama pasukan Kabanaran berhasil mendorong lawannya semakin cepat. Pasukan Watu Mas pun kemudian segera mempersiapkan diri untuk memasuki hutan perbatasan dalam gerak mundur mereka. Di antara pepohonan, mereka mendapat kesempatan berlindung lebih banyak lagi. Namun mereka harus menjaga, bahwa mereka tetap mundur dalam satu kesatuan. Jika pasukan itu pecah, maka keadaan akan menjadi semakin sulit bagi setiap pengawal dari Watu Mas.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar