Panasnya Bunga Mekar Jilid 27

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Namun dalam pada itu, ternyata saudagar kulit itu sendiri tidak mau berdiam diri. Ketika ia melihat arena, dan menganggap bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan masuk ke dalam rumahnya dan mengganggui keluarganya, maka ia pun telah keluar pintu pringgitan dengan senjata di tangannya.

Dengan serta merta ia telah menggabungkan diri dengan dua orang penjaga rumahnya melawan seorang perampok yang sudah siap memasuki rumahnya itu.

Meskipun saudagar itu bukan seorang berilmu tinggi, tetapi kehadirannya dapat membantu kedua orang penjaga rumahnya melawan perampok yang garang itu. Bahkan dengan kehadirannya maka perampok itu mulai terdesak. Bagaimanapun juga, ujung tombak orang itu harus diperhitungkan oleh perampok itu.

Demikianlah, halaman rumah saudagar kulit itu, benar-benar telah terbakar oleh api pertempuran yang sengit. Tubuh yang berlumuran darah mulai terbaring berserakan. Bahkan ada di antara mereka yang sudah tidak bernyawa lagi.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan akhirnya telah sampai di tempat yang semakin tinggi. Karena itulah, maka ia mulai mendesak lawannya. Bagaimanapun juga pemimpin perampok itu harus mengakui bahwa Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya.

Karena itulah, maka pemimpin perampok itu telah bergeser menepi pendapa. Ia sadar, bahwa jumlah orang-orangnya lebih banyak dari jumlah lawan mereka. Karena itu, maka ia ingin berada di antara mereka, sehingga ia akan mendapat satu dua orang kawan untuk melawan Mahisa Bungalan.

Sebenarnyalah Mahisa Bungalan mendesaknya terus. Namun jumlah yang banyak di halaman masih belum teratasi. Pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya, meskipun Mahisa Agni dan Witantra berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.

Sementara itu, dalam hiruk-pikuk pertempuran itu, tiba-tiba telah terdengar sorak yang gegap gempita. Sejenak kemudian, udara di luar dinding halaman rumah itu bagaikan terbakar oleh beberapa puluh obor yang menyala.

Pemimpin perampok itu terkejut. Dengan serta merta ia meloncat panjang mengambil jarak dari Mahisa Bungalan. Ia berusaha untuk melihat apa yang telah terjadi di luar halaman.

Ternyata Mahisa Bungalan sengaja memberi kesempatan kepada lawannya itu untuk menilai keadaan. Mahisa Bungalan sendiri tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi. Tetapi menilik suasananya, maka agaknya anak-anak muda padukuhan itu telah mulai bergerak.

Witantra lah yang mengerti dengan pasti apa yang telah terjadi, sehingga karena itu, maka ia pun berteriak nyaring mengatasi dentang senjata beradu, “He, para perampok yang malang. Lihatlah, kawan-kawan kami dalam jumlah yang tidak terhitung telah mengepung halaman rumah ini. Kami yang berada di halaman ini dalam jumlah yang lebih kecil dari kalian, tentulah dapat menahan dan bahkan lambat laun akan mengalahkan kalian. Apalagi jika pemimpin padukuhan ini memerintahkan kepada semua orang untuk memasuki halaman ini.”

Sejenak suasana menjadi hening. Baik pada perampok maupun para pengawal berusaha mendengarkan kata-kata Witantra. Karena itu, pertempuran itu pun seolah-olah telah dihentikan.

Sementara itu, Witantra yang mengerti, bahwa kata-katanya masih kurang dimengerti telah mengulanginya, lebih keras dari semula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan pun segera mengetahui, bahwa agaknya Witantra telah mengatur mereka. Setidak-tidaknya Witantra telah menyetujui atas apa yang telah terjadi. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun telah berkata pula kepada pemimpin perampok itu, “Nah, kau dengar keterangan kawanku itu?”

“Persetan,” geram pemimpin perampok, “yang kalian suruh membawa obor itu adalah perempuan dan anak-anak. Kalian menyangka bahwa kami akan menjadi ketakutan karenanya.”

“Bukankah kalian tidak cacat telinga? Jika demikian kalian akan dapat mendengar, bahwa suara yang cukup gempita itu bukan suara perempuan dan anak-anak.” sahut Mahisa Bungalan.

“Tetapi mereka pengecut seperti perempuan dan anak-anak.” teriak pemimpin perampok itu.

“Bagus. Bukankah dengan demikian kalian telah menantang, agar kawan-kawan kami itu memasuki regol ini?” jawab Witantra.

“Bagus,” sahut pemimpin perampok itu, “biarlah mereka masuk, agar pekerjaan akan lebih cepat selesai.”

“Omong kosong!” geram Witantra. Lalu, “Baiklah. Aku akan membawa mereka masuk dan kita akan menghancurkan mereka sampai lumat.”

Witantra tidak menunggu jawaban. Ia pun kemudian beringsut. Ketika seorang pengawal sudah mengambil alih tempatnya, maka ia pun segera meninggalkan arena, pergi keluar regol halaman.

Kepada kedua orang pengawal yang berada di luar regol ia berkata, “Mintalah obor kepada anak-anak muda itu. Kita bertiga akan memasuki halaman. Kemudian suruhlah sepuluh anak muda yang paling berani memasuki halaman itu. Tetapi tugas kita untuk melindungi mereka.”

Kedua pengawal itu pun kemudian menemui anak-anak muda itu. Keduanyalah yang kemudian membawa obor bersama Witantra memasuki halaman. Namun mereka pun telah berpesan, bahwa sesaat kemudian, sepuluh orang di antara anak-anak muda itu, yang dipilih berdasarkan suka rela, agar memasuki halaman dengan senjata di tangan. Mungkin mereka harus bertempur. Tetapi para pengawal akan berusaha melindungi mereka.

Demikianlah, maka tiga orang pembawa obor telah memasuki halaman itu, sehingga halaman itu menjadi sedikit terang. Tetapi cahaya tiga buah obor itu tidak dapat menjangkau terlalu jauh.

Sementara itu, para perampok itupun dengan serta merta telah berusaha menyerang mereka bertiga. Tetapi mereka telah terbentur oleh kemampuan ketiga orang itu. Dengan obor di tangan kiri, mereka mampu bertempur dengan tangan kanannya. Bahkan sekali-sekali api obor mereka itu pun dapat mereka pergunakan sebagai senjata.

“Itulah mereka,” desis Mahisa Bungalan, “mereka bukan perempuan dan anak-anak. Dan ternyata mereka pun mampu bertempur menghadapi anak buahmu.”

Pemimpin perampok itu menjadi bimbang. Ia benar-benar melihat dari pendapa, tiga orang pemegang obor itu mampu bertempur dengan kemampuan yang tinggi.

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba sepuluh anak muda telah memasuki halaman itu pula sambil membawa obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan. Namun agaknya para perampok itu pun menjadi semakin berhati-hati. Apalagi para pengawal yang lain pun telah berusaha untuk melihat setiap orang yang ingin menyerang anak-anak muda yang membawa obor itu.

Di luar halaman masih terdengar sorak yang gegap gempita. Ternyata sorak itu telah mempengaruhi tekad para perampok itu untuk bertempur terus. Dengan obor yang kemudian berada di halaman rumah itu, maka halaman itu pun menjadi semakin terang. Sebenarnyalah bahwa kemudian ternyata bahwa kekuatan para pengawal seolah-olah menjadi lebih besar dari kekuatan para perampok yang dengan cepat susut di sebelah menyebelah Mahisa Agni dan Witantra.

Dalam pada itu, sebenarnyalah kehadiran anak-anak muda itu sangat mempengaruhi keadaan. Tiga belas obor di halaman itu, rasa-rasanya bagaikan berpuluh-puluh orang yang datang untuk ikut melibatkan diri ke dalam pertempuran.

“Menyerahlah,” berkata Akuwu Suwelatama mengatasi segala hiruk-pikuk, “aku adalah pemimpin dari anak-anak muda yang datang memasuki halaman ini. Jika kalian menyerah, aku berjanji, untuk memerlakukan kalian dengan baik. Tetapi jika tidak, maka aku akan memerintahkan semua orang untuk masuk halaman ini.”

Perampok-perampok itu menjadi ragu-ragu. Ternyata mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan untuk bertempur. Mereka bukan orang-orang dungu yang hanya sekedar mengenal hulu pedang dan tangkai tombak, tetapi mereka benar-benar mampu mempergunakannya di medan.

Namun dalam pada itu, pemimpin perampok itu pun berteriak, “Jangan diperbodoh. Hanya satu dua orang saja di antara mereka yang mampu bertempur. Yang lain mereka sama sekali tidak berarti. Karena itu, hancurkan mereka.”

Para perampok yang semula ragu-ragu itu tiba-tiba telah dijalari oleh kemarahannya kembali. Teriakan pemimpinnya seolah-olah telah memanaskan kembali darah mereka yang hampir membeku.

Karena itu, maka senjata yang sudah mulai merunduk pun telah terangkat kembali. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran pun telah berkobar lagi dengan dahsyatnya.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra lah yang kemudian menempatkan diri di antara anak-anak muda yang membawa obor itu. Karena mereka mengerti, bahwa anak-anak muda itu akan mengalami kesulitan jika para perampok itu benar-benar menyerang mereka.

Sementara itu, beberapa orang pengawal pun telah berada pula di antara anak-anak muda itu. Bersama Mahisa Agni dan Witantra maka mereka telah siap menghadapi para perampok yang akan menyerang anak-anak muda yang membawa obor itu.

“Lawanlah setiap orang menyerangmu,” berkata Mahisa Agni kepada mereka, “kami akan selalu dekat bersama kalian.”

Anak-anak muda menjadi tenang, meskipun mereka merasa bahwa kemampuan mereka bertempur masih jauh dari tataran kemampuan para pengawal. Tetapi dengan senjata di tangan, mereka harus berusaha melindungi diri mereka sendiri bersama para pengawal yang berada di sekitar mereka.

Demikianlah ketika pertempuran telah berkobar lagi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah bekerja lebih keras. Ternyata mereka berharap bahwa dengan mengurangi lawan sebanyak-banyaknya pertempuran pun akan segera dapat dihentikan.

Karena itulah, maka setiap orang yang mendekati kedua orang itu telah terlempar dengan luka di tubuh. Bahkan luka-luka itu kadang-kadang benar-benar telah melumpuhkan kemampuan mereka dan membahayakan jiwa mereka.

Tetapi seperti kebiasaan para pengawal, para perampok pun selalu membawa obat-obat yang dapat mereka pergunakan untuk sementara. Setidak-tidaknya untuk mengurangi darah yang mengalir dari luka.

Sekali lagi para perampok itu merasa, bahwa mereka benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang berkemampuan. Sehingga mereka pun telah meragukan kata-kata pemimpin mereka, bahwa di antara lawan mereka hanya satu dua orang sajalah yang memiliki kemampuan olah kanuragan.

Dalam pada itu, pemimpin mereka sendiri itu pun telah mengalami kesulitan pula. Mahisa Bungalan semakin lama telah menekan pemimpin perampok itu semakin berat, sehingga akhirnya pemimpin perampok itu tidak dapat lagi lari dari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dengan susah payah ia telah berusaha menggeser diri dan kemudian bergabung di antara kawan-kawannya dengan harapan, bahwa satu atau dua orang kawannya akan dapat membantunya.

Tetapi jumlah perampok yang banyak itu ternyata telah jauh susut. Sebagian dari mereka telah terkapar di pinggir halaman dalam keadaan luka. Bahkan ada yang terlalu parah dan bahkan ada satu dua yang tidak akan tertolong lagi jiwanya.

“Kau tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa.” desis Mahisa Bungalan yang memburunya.

“Persetan!” geram pemimpin perampok itu.

Namun Mahisa Bungalan pun telah memaksanya untuk mengakui satu kenyataan baru, tiba-tiba saja lengannya telah tergores senjata.

“Gila!” geram pemimpin perampok itu.

“Jangan mengumpat-umpat,” desis Mahisa Bungalan, “kau harus mengakui kenyataan itu. Kau pun akan melihat, sebentar lagi pemimpin kami akan memerintahkan kawan-kawan kami yang berada di luar untuk masuk.”

“Omong kosong!” jawab pemimpin perampok itu. Tetapi kata-katanya telah patah, karena sekali lagi senjata Mahisa Bungalan telah mematuk pundaknya.

“Sebentar lagi kau akan terluka arang kranjang!” geram Mahisa Bungalan.

Tetapi pemimpin perampok itu masih mengumpat-umpat.

Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra pun mendengar kata-kata Mahisa Bungalan tentang anak-anak muda yang membawa obor di luar. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berbisik kepada salah searang pembawa obor, ”Suruh kawan-kawanmu masuk. Tetapi hati-hati. Kalian harus membawa senjata siap untuk dipergunakan. Jumlah kalian yang banyak, akan sangat berpengaruh. Sementara api obor kalian pun merupakan senjata yang dapat kalian pergunakan pula jika perlu.”

Demikianlah seorang anak muda telah meninggalkan halaman untuk memanggil kawan-kawan mereka. Yang sejenak kemudian, sambil berteriak gegap gempita, mereka telah memasuki halaman dan langsung berdiri memutari arena sambil mengacungkan senjata mereka di tangan kanan. Senjata apa saja yang dapat mereka bawa. Pedang, tombak, parang dan bahkan kapak dan dandang.

Namun dalam pada itu, kehadiran anak-anak muda itu benar-benar telah membuat hati para perampok yang garang itu menjadi kecut. Betapapun lemahnya mereka orang per orang, namun bersama-sama mereka akan merupakan kekuatan yang sulit untuk dilawan. Apalagi di antara mereka benar-benar terdapat kemampuan yang melampaui kemampuan para perampok itu sendiri.

Pemimpin para perampok itu termangu-mangu. Orang itu tidak banyak ambil peranan. Tetapi ternyata lawannya yang masih muda, yang memiliki ilmu yang melampaui kemampuannya itu tidak banyak membantah.

Dalam pada itu, pemimpin perampok itu pun terkejut. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa di padukuhan itu terdapat kekuatan yang seimbang dengan kekuatan orang-orangnya, ditambah dengan sejumlah anak-anak muda. Seandainya anak-anak muda itu tidak berkemampuan apa pun juga, namun bersama-sama dengan kekuatan yang terdahulu, maka mereka memang tidak akan terlawan.

Selagi pemimpin perampok itu termangu-mangu, maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Pikirkan masak-masak. Kau dapat membunuh diri dalam pertempuran ini. Tetapi jangan semua pengikutmu kau paksa untuk membunuh diri juga.”

“Persetan!” geram pemimpin perampok itu.

“Kau lihat keseimbangan pertempuran ini?” bertanya Mahisa Bungalan.

Pemimpin perampok itu terpaksa merenung. Dalam saat-saat yang demikian, ternyata Mahisa Bungalan tidak menyerangnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada pemimpin perampok itu untuk menilai keadaan.

Ternyata bahwa pemimpin perampok itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Para perampok itu tidak akan dapat melawan sejumlah orang yang memiliki ilmu yang cukup untuk melawan para perampok itu, selebihnya sejumlah anak-anak muda yang membawa obor di sekitar arena yang jumlahnya cukup banyak itu.

Karena itu, maka akhirnya ia pun harus mengakui kenyataan yang dihadapinya itu. Dengan berat hati, maka ia pun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk menghentikan perlawanan.

“Tidak ada gunanya lagi kita bertempur.” berkata pemimpin perampok itu.

“Tegaskan, bahwa kalian telah menyerah.” desak Mahisa Bungalan.

Pemimpin perampok itu tidak dapat ingkar. Maka katanya kemudian, “Kita menyerah.”

Pertempuran di halaman itu pun segera berhenti. Para perampok itu pun kemudian bergeser berkumpul di tengah-tengah halaman. Pemimpin perampok itu pun telah berada di antara mereka pula.

Tiba-tiba dalam pada itu terdengar perintah Pangeran Suwelatama, “Letakkan senjatamu.”

“Siapa kau?” bertanya pemimpin perampok itu.

“Aku pemimpin orang-orang padukuhan dan anak-anak muda ini.” jawab Akuwu Suwelatama.

Karena itu, maka pemimpin perampok itu pun kemudian melemparkan senjatanya diikuti oleh para perampok yang lain.

“Kalian menjadi tawananku.” berkata Akuwu Suwelatama.

Orang-orang yang sudah melemparkan senjatanya itu sama sekali tidak menjawab. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka akan diikat tangannya dan dipaksa duduk di pendapa itu sampai saatnya mereka akan dihadapkan kepada Akuwu.

“Tetapi jika terdapat orang-orang gila di padukuhan ini, kita akan dibantai besok.” berkata para perampok itu di dalam hatinya. Namun justru karena kawan mereka cukup banyak, maka mereka masih berpengharapan bahwa mereka tidak akan diperlakukan demikian.

Sebenarnyalah seperti yang mereka duga, maka para perampok itu pun telah diikat tangannya di belakang tubuhnya. Hanya beberapa orang saja yang dibiarkan lepas dari ikatan, namun mereka mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kawan-kawannya yang terbunuh di peperangan itu, sementara yang terluka harus mereka kumpulkan di pendapa.

Demikianlah, hampir semalam suntuk mereka membersihkan halaman rumah saudagar kulit itu. Sementara saudagar kulit itu pun telah menemui Akuwu Swelatama untuk mengucapkan terima kasih.

“Aku belum pernah mengenal Ki Sanak.” berkata Saudagar kulit itu. “Tetapi bahwa Ki Sanak telah datang dan memimpin sekelompok orang yang mampu mengalahkan para perampok ini tentu akan sangat membesarkan hati kita semuanya.”

Akuwu Suwelatama itu tersenyum. Katanya, “Apakah kau sudah mengenal kawan-kawanku yang lain?”

“Ada satu dua orang yang dapat aku kenal,” berkata saudagar itu, “mereka adalah orang-orang dari padukuhan lain yang sedang berkunjung kepada sanak keluarganya di sini. Atau?”

“Atau?” ulang Akuwu Suwelatama.

Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kepergian para pengawal dari padukuhan ini telah meninggalkan beberapa orang di antara mereka secara tersembunyi.”

“Ya.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Itukah kalian?” bertanya saudagar itu.

Akuwu Suwelatama tersenyum. Akhirnya ia berkata kepada anak-anak muda yang ada di halaman, kepada para perampok yang telah menyerah dan kepada saudagar itu, “Kami adalah para pengawal yang memang bertugas di daerah ini sepeninggal para pengawal yang dengan wajar tinggal di sini sebelumnya.”

“Gila!” geram para perampok. Baru mereka sadar, bahwa mereka telah dijebak oleh para pengawal itu.

Bagaimanapun juga para perampok itu harus membuat perhitungan. Sebelum anak-anak muda yang membawa obor itu memasuki halaman, mereka sudah mengalami kesulitan. Karena itu, kehadiran anak-anak muda yang membawa obor itu, tentu akan sangat besar pengaruhnya karena jumlah mereka cukup banyak.

Para perampok itu pun kemudian mengerti, bahwa kepergian para pengawal dengan mengadakan pertemuan pelepasan yang sengaja dibuat cukup meriah itu adalah untuk memancing agar mereka datang ke padukuhan itu, karena mereka tentu menganggap bahwa mereka tidak akan dihalangi lagi oleh para pengawal.

Namun ternyata bahwa secara tersembunyi, para pengawal itu masih tinggal di padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu, sehingga pada saatnya para perampok itu datang, maka mereka telah benar-benar masuk ke dalam jebakan, dan tidak dapat lagi melepaskan diri.

Dalam pada itu, Akuwu Suwelatama berkata selanjutnya, “Nampaknya kalian memang belum pernah mengenal aku dengan baik meskipun namaku mungkin sudah kalian kenal.”

“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?” saudagar itulah yang bertanya, sementara para perampok pun segera ingin tahu, dengan siapa ia berhadapan.

“Aku adalah Suwelatama. Akuwu Suwelatama.” jawab Akuwu itu.

“Akuwu Suwelatama.” hampir setiap mulut berdesis. Bahkan saudagar itu pun tiba-tiba telah berjongkok di hadapan Akuwu sambil berkata sendat, “Ampun, Akuwu. Sebenarnyalah hamba tidak tahu, bahwa hamba berhadapan dengan Akuwu Pangeran Suwelatama.”

Akuwu Suwelatama menarik bahu saudagar itu sambil berkata, “Berdirilah. Adalah menjadi kewajibanku untuk melakukan tugas seperti ini. Namun selain aku, di antara kami terdapat tiga orang prajurit Singasari. Mereka justru para Senopati yang mempunyai kegemaran khusus, menangani sendiri persoalan seperti yang terjadi di sini. Mereka adalah Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra.”

Ketika Akuwu menunjuk ketiga orang itu, maka pemimpin perampok itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada orang yang berada di dekatnya, “Karena itu ia memiliki ilmu iblis yang tidak dapat aku atasi.”

Tetapi justru karena itu, maka para perampok itu dapat menempatkan dirinya. Mereka menyesal bahwa mereka terlalu bodoh sehingga terjebak. Namun bahwa mereka harus kalah dari para pengawal dan bahkan di antara mereka terdapat Senopati dari Singasari, adalah wajar sekali.

Karena itu, maka kemudian sama sekali tidak ada niat sepercik pun untuk berusaha melepaskan diri, karena yang demikian itu tentu hanya akan sia-sia. Dan bahkan akan dapat membuat mereka semakin sulit.

Dalam pada itu, maka Akuwu Suwelatama pun segera membenahi pasukannya. Di hari berikutnya, ia telah memeriksa pemimpin perampok itu dan beberapa orang di antara mereka. Akuwu ingin meyakinkan, apakah yang datang itu merupakan bagian kecil saja dari gerombolan perampok yang berada di daerah Kedung Sertu, atau merupakan sebagian besar sehingga yang tersisa tidak lagi berbahaya bagi padukuhan itu.

Seorang perampok yang masih muda ketika dihadapkan kepada Pangeran Suwelatama telah menjawab segala pertanyaan dengan jujur, karena ia sama sekali tidak mempunyai harapan apa pun lagi. Sementara itu, pemimpin perampok itu sendiri telah mengatakan sebagian besar sesuai dengan kenyataan, meskipun masih terasa bahwa ia berusaha untuk melindungi sarang mereka yang sebenarnya.

Tetapi perampok muda dalam pemeriksaan terpisah mengatakan, “Tempat itu dapat dicapai dengan jalan darat. Jika kami setiap kali menghilang di dalam rawa-rawa dengan rakit-rakit khusus itu sebenarnya hanya sekedar untuk mengelabui para pengawal. Namun ternyata bahwa kini kami telah terjebak dan tidak mungkin untuk dapat bangkit lagi. Kawan-kawan kami yang tersisa tinggal sedikit. Di antara mereka tidak ada seorang pun yang akan mampu memimpin kelompok kecil yang tinggal itu.”

“Apakah kau dapat menunjukkan jalan darat itu?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Tentu.” jawab perampok yang masih muda itu. Sebenarnyalah Akuwu Suwelatama berniat untuk menghancurkan gerombolan perampok itu sampai tuntas. Meskipun yang tersisa itu hanya kecil, tetapi yang kecil itu akan dapat menjadi benih yang tumbuh, sehingga akan menjadi sebatang pohon yang besar dan yang akar-akarnya akan menghisap makanan di sekitarnya.

Karena itu, berdasarkan beberapa keterangan dari para perampok itu, maka Akuwu Suwelatama pun telah menyusun sepasukan pengawal yang ada padanya untuk datang langsung ke sarang para perampok yang tersisa itu, sekaligus untuk mengetahui apa saja yang telah tersimpan di dalam sarang itu.

“Kita harus bekerja cepat, sebelum berita tertangkapnya para perampok ini sampai ke telinga mereka.” berkata Akuwu Suwelatama.

Dengan demikian, maka Akuwu Suwelatama telah menyerahkan para perampok yang sudah tidak berdaya itu untuk di simpan di dalam tempat-tempat khusus dengan tangan terikat kepada anak-anak muda di padukuhan itu. Ia sendiri akan memimpin para pengawal untuk langsung datang ke sarang para perampok itu, meskipun ada beberapa orang yang diperintahkannya untuk tinggal bersama anak-anak muda padukuhan itu mengawasi para perampok yang telah menyerah.

“Kita akan segera berangkat,” berkata Akuwu, “sebenarnya jarak yang akan kita tempuh tidak terlalu jauh, meskipun jalan memang agak sulit.”

Dengan petunjuk seorang perampok yang masih muda itu, maka pasukan pengawal itu pun telah berangkat menuju ke sarang para perampok yang masih tersisa.

Ternyata perjalanan menuju ke tempat tujuan memang sangat sulit. Mereka melalui hutan yang lebat dan tanah yang berair. Meskipun mereka dapat menempuhnya tanpa rakit, tetapi langkah mereka tersendat-sendat oleh alam yang masih sangat buas.

“Kenapa kalian memilih tinggal di tempat seperti ini?” bertanya Mahisa Bungalan kepada perampok muda itu.

“Tentu kami memilih tempat yang sulit dijangkau oleh orang lain.” jawab perampok itu.

“Lalu, apakah arti dari hidupmu? Kau merampok harta benda dengan taruhan nyawa. Kemudian kau sembunyikan harta benda itu di tempat yang sulit dicapai. Kau pun tinggal di tempat itu pula. Apakah dengan demikian harta benda yang kau rampok dengan taruhan nyawa itu dapat berarti bagi hidupmu? Apakah harta benda itu cukup kau taruh di alas pembaringanmu tanpa dipergunakan untuk apapun?” bertanya Mahisa Bungalan.

Perampok itu termangu-mangu. Pertanyaan itu memang terdengar aneh di telinganya.

“Jadi untuk apa sebenarnya harta benda yang kau rampok itu?” desak Mahisa Bungalan.

“Bukankah harta benda itu sangat tinggi nilainya?” bertanya perampok itu.

“Sesuatu akan menjadi tinggi nilainya jika sesuatu itu berarti bagi kehidupan,” jawab Mahisa Bungalan, “harta benda yang tertimbun tanpa dipergunakan untuk apa pun juga, nilainya tidak lebih dari setumpuk jerami bagi alas tidur. Atau nilainya sama dengan seonggok batu padas di pinggir rawa-rawa itu. Renungkan.”

Perampok itu termangu-mangu. Namun kepalanya terangguk-angguk kecil. Ia mulai mengerti, bahwa harta benda yang tertumpuk itu memang tidak mempunyai nilai apa pun juga selama harta benda itu tidak dipergunakan. Emas dan perak memang tidak lebih dari batu dan padas yang berserakkan jika emas dan perak itu hanya disembunyikan di dalam goa.

“Sementara itu hidupmu terlantar, kau makan apa yang dapat kau tangkap di hutan-hutan dan air di rawa-rawa.” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “Sementara itu orang lain yang mempunyai harta benda yang tidak berarti dapat menikmati makanan yang jarang pernah kau makan dan tidur dengan hangat bersama sanak keluarga di rumahnya yang tidak jauh dari rumah sesamanya, sehingga mereka dapat hidup dalam satu lingkungan yang menyenangkan.”

Perampok itu mengangguk-angguk. Baru kemudian ia merasakan arti dari kata-kata Mahisa Bungalan itu.

Tetapi ia tidak dapat menjawabnya. Ia hidup dalam satu lingkungan tanpa banyak mempersoalkan kehidupan itu sendiri.

Dalam pada itu, maka kelompok pengawal yang dipimpin langsung Akuwu Suwelatama itu pun semakin lama menjadi semakin dalam memasuki daerah yang lebat, liar dan basah. Setiap kali perampok muda itu memperingatkan, agar mereka berhati-hati terhadap ular air. Ular yang hidup di daerah rawa-rawa dan mempunyai bisa yang sangat tajam.

“Ular itu mirip dengan ranting-ranting kering,” berkata perampok muda itu, “kadang-kadang kita tidak dapat membedakannya dengan ranting-ranting yang melentang di hadapan kita. Tetapi jika kaki menginjak, maka ular itu pun segera mematuk. Jika ular itu berhasil menggigit kulit kita, maka harapan untuk dapat hidup kecil sekali.”

Akuwu pun selalu meneruskan peringatan itu kepada para pengawal. Dengan demikian, maka mereka selalu berhati-hati. Setiap langkah selalu diperhitungkan dengan waspada. Karena banyak kemungkinan dapat terjadi. Tergelincir jatuh membentur batang pepohonan, batu-batu padas, atau menginjak kaki ular air dan binatang air yang lain.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berada di belakang bersama Witantra, berjalan dengan hati-hati pula. Namun rasa-rasanya ia pernah hidup di daerah berawa-rawa seperti itu. Daerah yang di kelilingi oleh binatang-binatang air yang berbahaya. Buaya kerdil dan ular air yang ganas.

Jarak tidak terlalu jauh itu ternyata telah ditempuh untuk waktu yang sangat lama. Bahkan hampir sehari penuh. Sehingga karena itu, maka mereka pun harus bermalam semalam di daerah yang garang itu, karena baru pagi harinya mereka dapat mendatangi sarang perampok itu. Mereka tidak akan dapat bertindak di malam hari, karena para perampok itu mengenal daerah mereka jauh lebih baik dari para pengawal.

Untuk menemukan tempat yang dapat mereka pergunakan untuk bermalam, maka mereka harus memasuki hutan lebih dalam. Mereka memanjat pepohonan dan mencari cabang-cabang yang dapat mereka pergunakan untuk beristirahat dan tidur. Meskipun mereka tidak perlu mencari cabang yang terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah, karena kadang-kadang air di rawa-rawa itu sempat naik dan mengangkat binatang-binatang di dalamnya pada permukaannya.

Untunglah bahwa para pengawal itu telah mendapat tempaan yang luar biasa lahir dan batin, sehingga meskipun mereka mengeluh di dalam hati, tetapi mereka tetap tabah menghadapinya.

Dengan bekal yang ada pada mereka, maka mereka sempat menahan lapar. Namun seekor kijang yang sempat mereka tangkap menjelang senja, dapat membantu mereka untuk bertahan terhadap lembabnya udara.

Dengan perapian yang tidak begitu besar, mereka mematangkan kijang itu. Baru kemudian, maka mereka mulai memanjat pepohonan ketika malam menjadi sangat gelap.

Pagi-pagi benar mereka telah bersiap. Setelah mereka menghitung jumlah mereka dan ternyata tidak ada yang kurang dan mengalami kesulitan, barulah mereka melanjutkan perjalanan.

Ternyata perjalanan itu pun menjadi semakin berat. Meskipun mereka adalah orang-orang yang terlatih, namun satu dua orang di antara mereka telah mulai mengeluh.

“Apakah anak itu tidak sengaja menyesatkan kita?” desis salah seorang pengawal.

“Menilik keadaannya, ia tidak akan berbuat demikian,” jawab kawannya, “tetapi siapa tahu. Kadang-kadang yang kita lihat agak berbeda dari kenyataan yang sebenarnya.”

“Jika ia menipu kami,” sahut yang lain, “kita ikat dan kita lemparkan saja ke rawa-rawa itu.”

Namun dalam pada itu mereka berjalan terus. Akuwu Suwelatama yang berada di belakang anak muda itu pun bertanya, “Apakah tujuan masih jauh?”

“Tidak. Kita sudah dekat,” jawab perampok muda itu, “memang lebih mudah lewat jalan air. Dengan rakit kita akan dapat mengambil jalan yang tidak terlalu banyak hambatan.”

“Binatang air? Buaya misalnya?” bertanya Akuwu Suwelatama.

Namun dalam pada itu, iring-iringan itu pun tiba-tiba telah berhenti. Mereka melihat di hadapan mereka, seekor ular berwarna hijau coklat sebesar pohon pucang melintas dengan tenangnya. Sekali binatang itu berhenti, mengangkat kepalanya untuk melihat ke sebelah menyebelah.

Rasa-rasanya tengkuk para pengawal itu meremang, jika ular itu menyerang mereka, maka mereka akan mengalami kesulitan. Meskipun mereka bersenjata, tetapi melawan seekor ular raksasa yang muncul dari dalam kabut di atas rawa-rawa adalah pekerjaan yang sangat berat. Dengan ekornya saja ular itu akan dapat menyapu mereka. Ketika ular itu telah berlalu, maka perampok muda itu berkata, “Ada tiga ekor ular raksasa di daerah rawa-rawa itu menurut penglihatan kami.”

“Tiga ekor?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Ya. Seekor yang hijau kecoklatan itu,” jawab perampok muda itu, “yang lain sering muncul dari dalam air. Kepalanya sebesar kepala kerbau. Bertanduk meskipun tidak sepanjang tanduk kerbau.”

”Warnanya?” bertanya salah seorang pengawal.

“Hitam kelam,” jawab perampok muda itu, “aku pernah melihatnya sekali. Ketika rakit kami melintasi sebatang pohon air yang mirip dengan sebatang pohon beringin, dengan akar-akar yang bagaikan mecengkam jauh ke dalam tanah dibawah air, tiba-tiba di sebelah pohon itu muncul sebuah kepala binatang air yang kami kira adalah seekor ular.”

“Mengerikan,” desis seorang pengawal, “dan kalian masih juga berkeliaran di daerah itu?”

“Binatang itu tidak mengganggu.” jawab perampok muda itu.

“Dan yang seekor lagi?” bertanya pengawal yang lain.

“Itulah yang nampaknya mengerikan, meskipun yang seekor itu pun tidak pernah mengganggu pula.” jawab perampok muda itu, “Yang seekor itu kepalanya warna kemerah-merahan. Tubuhnya bergelang-gelang merah dan kuning. Besarnya hampir sama dengan ular melintas itu. Tetapi matanya seakan-akan memancarkan api. Di telinganya seolah-olah terdapat gambar sumping, sehingga menurut dugaan kami, ular yang berwarna kemerah-merahan itu adalah raja dari segala jenis ular di daerah ini, meskipun bukan ular itulah yang terbesar, karena ular bertanduk yang berwarna hitam itu agaknya lebih besar.”

Para pengawal itu memang merasa ngeri mendengarkan keterangan perampok muda itu. Perampok itu tentu tidak berbohong atau sengaja menakut-nakutinya, karena mereka telah melihat salah seekor dari ular yang disebutkannya. Ular yang berwarna hijau kecoklatan, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Namun demikian, iring-iringan itu berjalan terus. Rawa-rawa itu nampaknya menjadi semakin liar. Tetapi perampok muda itu mengatakan, bahwa mereka sudah dekat dengan sarang yang mereka tuju.

Beberapa puluh tonggak kemudian, mereka memasuki sebuah hutan yang semakin lama semakin kering. Agaknya mereka telah menjauhi daerah rawa-rawa.

“Jika kami mempergunakan rakit, maka kami berhenti di daerah yang berair di bawah pohon raksasa itu,” berkata perampok muda itu, “di sekitar pohon itu terdapat sarang buaya yang ganas. Tetapi kami sudah mengusai medan, sehingga kami dapat menempuh jalur yang paling aman.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di atas tanah yang kering. Bahkan kemudian mereka sampai ke daerah yang berbatu padas.

Perampok muda itu tiba-tiba memberikan isyarat agar mereka berhenti. Kemudian katanya kepada Pangeran Suwelatama, “Kami tinggal di belakang batu karang itu. Di sana masih ada beberapa orang kawan yang menjaga harta benda yang kami simpan.”

“Hasil rampokan?” bertanya Akuwu.

“Ya.” jawab perampok muda itu.

“Kalian menyimpan harta benda yang tidak terkira banyaknya. Tetapi kalian hidup di dalam lingkungan yang buas dan penuh dengan ancaman maut.” desis Akuwu Suwelatama.

Perampok muda itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu para pengawal pun telah berkumpul dan bersiap-siap menghadapi tugas mereka yang sebenarnya. Memasuki sarang para perampok yang selalu mengganggu rakyat di sekitar daerah rawa-rawa Kedung Sertu yang buas itu.

“Kita beristirahat sejenak,” berkata Akuwu, “kita siapkan diri kita untuk memasuki sarang itu. Meskipun menurut keterangan yang kita dapatkan, orang-orang yang tinggal bukan orang yang berbahaya, tetapi kita harus berhati-hati.”

Demikianlah maka Akuwu Suwelatama itu pun menyusun pasukannya sebaik-baiknya. Setelah mereka beristirahat, maka atas petunjuk perampok yang masih muda itu, mereka telah bergerak.

Dengan hati-hati Akuwu Suwelatama membawa pasukannya melintasi daerah berbatu-batu padas. Mereka melingkari sebuah onggokan batu barang berwarna keputih-putihan dan mengandung kapur. Menurut perampok yang muda itu, maka di belakang batu karang berkapur itulah, kawan-kawannya yang tersisa tinggal.

Demikianlah mereka sampai ke sebelah batu karang itu, mereka telah melihat satu daerah yang tidak terlalu liar. Semacam sebuah halaman yang tidak terlalu luas membentang di hadapan mereka.

“Itukah?” desis Akuwu Suwelatama.

“Ya.” jawab perampok muda itu.

Akuwu Suwelatama memberi isyarat kepada para pengawalnya. Sementara itu Mahisa Bungalan berada di belakangnya dan Mahisa Agni serta Witantra justru berada di belakang.

Dengan isyarat, maka pasukan itu telah menebar. Mereka akan mendekati sarang perampok itu yang dibuat di antara dua bongkah batu karang berkapur. Di dalam batu berkapur itu terdapat sebuah goa, sementara di hadapan goa itu, mereka telah membuat sebuah barak memanjang, yang mereka pergunakan sebagai tempat tinggal.

“Kita akan menyergap dari depan.” berkata Akuwu Suwelatama.

Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian dibagi untuk berada di kedua ujung pasukan itu, sementara Akuwu Suwelatama dan Mahisa Bungalan berada di tengah-tengah.

“Jika isyarat aku berikan, kalian harus segera menempati tempat masing-masing.” berkata Akuwu, ”Sekali lagi, kita akan menyergap dari depan.”

Sejenak kemudian mereka menunggu. Demikian Akuwu itu memberikan isyarat, maka para pengawal itu pun segera berlari-larian menebar dan menyusun sebuah gelar kecil menghadap ke arah batu karang. Sementara itu, dua orang pengawal mendapat tugas khusus untuk mengamati perampok muda yang mereka bawa dalam pasukan itu.

Kehadiran para pengawal itu telah mengejutkan para perampok yang tinggal di celah-celah dua bongkah batu karang berkapur itu. Dengan serta merta, seorang di antara mereka yang kebetulan berada di depan baraknya telah memberikan isyarat.

Isyarat itu telah mengejutkan kawan-kawannya. Dengan tergesa-gesa para perampok yang berada di dalam barak itu telah berlari-larian keluar dengan senjata di tangan.

Pada saat yang bersamaan, pasukan Akuwu Suwelatama telah maju mendekati barak itu. Yang berdiri di paling depan adalah Akuwu Suwelatama sendiri. Kemudian di belakangnya adalah Mahisa Bungalan.

“Gila!” geram orang yang tertua diantara para perampok itu. “Siapakah kalian he?”

Akuwu Suwelatama yang berdiri dipaling depan itu menjawab, “Kami adalah para pengawal dari Pakuwon Kabanaran. Kau kenal Pakuwon Kabanaran?”

“Persetan dengan Pakuwon Kabanaran,” jawab orang tertua diantara para perampok itu, “aku tidak terikat pada Pakuwon manapun juga.”

“Kau berada di dalam daerah kekuasaan Pakuwon Kabanaran meskipun daerah ini belum pernah kami datangi karena alam yang masih terlalu buas.” jawab Akuwu Suwelatama.

“Aku tidak perduli!” jawab orang itu.

“Aku pun tidak peduli,” berkata Akuwu, “mengakui atau tidak mengakui, kami datang untuk menangkap kalian, karena kalian selalu mengganggu padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu ini.”

“Kau kira kalian mempunyai kekuasaan untuk melakukan hal itu?” bertanya perampok itu.

“Aku adalah Akuwu Kabanaran!” jawab Akuwu Suwelatama.

Tetapi jawab perampok itu mendebarkan, “Sudah aku katakan. Aku tidak peduli dengan Pakuwon Kabanaran. Pergilah, atau kalian akan menjadi mangsa buaya-buaya di rawa-rawa itu.”

“Kami akan menangkap kalian. Kawan-kawan kalian yang mendatangi padukuhan-padukuhan di sebelah rawa-rawa itu telah kami tangkap semuanya.” jawab akuwu.

“Omong kosong!” teriak perampok itu.

“Jangan menyangkal. Tanpa menangkap kawan-kawanmu itu, kami tidak akan dapat sampai ke tempat ini.” berkata Akuwu Suwelatama. Lalu, “Karena itu menyerah sajalah. Kami akan menangkap kalian dan mengambil semua harta benda yang ada di sini. Adalah tugas kami untuk menghapuskan segala macam kejahatan.”

Orang tertua di antara para perampok itu melihat, bahwa orang-orang yang datang dan menyebut pengawal Pakuwon Kabanaran dan dipimpin oleh Akuwu Kabanaran itu, berjumlah lebih banyak dari sisa kawan-kawannya yang tinggal. Tetapi orang itu terlalu percaya akan kemampuan mereka, serta tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka oleh pemimpin mereka. Karena itu, maka jawabnya, “Kalian telah datang melalui jalan yang sangat berbahaya sekedar untuk mengantar nyawa kalian. Baiklah. Kita bertempur di sini.”

“Tidak ada gunanya,” berkata Akuwu Suwelatama, “menyerah sajalah. Jumlah kami lebih banyak. Sementara kemampuan kami secara pribadi adalah jauh lebih besar dari kalian.”

“Pembual yang bodoh,” teriak orang tertua itu, “kami hidup dari ujung senjata kami. Kami akan membunuh kalian dalam sekejap. Kemudian melemparkan mayat kalian ke daerah rawa-rawa yang penuh dengan buaya itu. Mereka akan bersantap dengan mengucap terima kasih kepada kami.”

“Bagaimana jika terjadi sebaliknya?” bertanya Akuwu, “Mayat kalianlah yang kami lempar ke rawa-rawa itu?”

Orang tertua di antara para perampok itu menggeram. Kemarahan yang menghentak di dadanya, membuat matanya bagaikan menyalakan api.

Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama itu pun berkata, “Semua kawan-kawanmu yang menyerang padukuhan, dan akan merampok saudagar kulit itu telah kami kalahkan dan kami tawan semuanya. Seorang di antara merekalah yang membawa kami kemari.”

“Persetan!” geram orang tertua itu, “Jangan membual.”

“Jadi kalian tidak ingin menyerah?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Jangan gila. Aku sudah mengatakan, jangan gila membayangkan bahwa kami akan menyerah. Kami akan membunuh kalian dan seperti yang sudah kami katakan, kami melempar mayat kalian ke rawa-rawa.” berkata pemimpin perampok itu.

Sementara itu, Mahisa Bungalan telah berbisik, “Biarlah perampok muda itu membujuk kawan-kawannya.”

“Apakah kita akan melepaskannya?” bertanya Akuwu, ”Jika ia lari, maka kami akan mendapat kesulitan untuk keluar dari daerah ini.”

“Kita tidak akan melepaskannya.” jawab Mahisa Mahisa Bungalan, “Biarlah ia berbicara pada jarak ini.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berkata kepada dua orang pengawalnya yang menjaga perampok muda itu di belakang jajaran para pengawalnya, “Bawa anak itu kemari.”

Kedua pengawal itu pun membawa anak muda itu kepada Akuwu Suwelatama. Kemudian Akuwu itu pun berkata, “Beritahukan kepada kawan-kawanmu dari tempat ini, apa yang sudah terjadi sebenarnya pada gerombolanmu yang terperangkap di padukuhan itu.”

Perampok muda itu ragu-ragu. Namun ketika kedua pengawal itu membawanya ke dekat Akuwu Suwelatama, maka ia pun tidak dapat berbuat lain.

“Kawan-kawan,” teriak perampok muda itu, “sebenarnyalah bahwa pemimpin kami telah tertangkap. Kawan-kawan kami sebagian telah tertawan pula, sementara ada beberapa di antara mereka yang terluka parah dan bahkan terbunuh.”

“Suruh mereka menyerah.” desis Akuwu.

“Karena itu,” lanjut anak muda itu, “menyerah sajalah. Mereka akan memperlakukan kita dengan baik.”

Para perampok itu terdiam sejenak. Agaknya mereka masih mencoba memperhatikan, siapakah yang sedang berbicara itu. Namun akhirnya, setelah mereka mengenalinya, orang tertua di antara mereka itu pun berkata, “Pengkhianat. Apa keuntunganmu membawa mereka kemari? Mereka akan mati, dan kau akan aku lempar hidup-hidup ke mulut buaya.”

“Aku tidak berkhianat,” jawab anak muda itu, “tetapi karena pemimpin kami menyerah, maka kami semuaknya telah menyerah. Karena itu, menyerah sajalah. Mereka terlalu kuat buat kita. Apalagi jumlah kalian sedikit. Kami yang berjumlah lebih banyak pada waktu itu tidak dapat melawan mereka.”

“Jangan banyak berbicara. Kau akan mengalami nasib yang paling buruk dari para pengkhianat yang lain dan orang-orang yang datang untuk membunuh diri itu.” jawab seorang perampok yang datang berjambang panjang, “Kau kira bahwa kau begitu mudah menipu kami, he?”

Perampok muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berpaling ia berkata, “Mereka tidak mau mendengarkan lagi. Terserah kepada kalian.”

Akuwu Suwelatama maju selangkah dan berkata kepada para perampok, “Baiklah. Jika kalian tidak mau menyerah, kami terpaksa mempergunakan kekerasan. Aku kira kekuatan kalian sama sekali tidak memadai. Karena itu, tugas kami pun akan segera dapat kami selesaikan. Yang menjadi persoalan adalah, jika ada di antara kalian atau kami yang terluka parah. Sementara kami berjalan membawa tubuh kami masing-masing, kami sudah mengalami kesulitan. Apalagi jika kami harus membawa orang-orang yang terluka.”

“Tidak ada yang terluka,” teriak orang tertua di antara para perampok itu, “tetapi kalian akan kami tumpas habis.”

Akuwu Suwelatama tidak sabar lagi. Karena itu, maka ia pun telah meneriakkan perintah, “Bersiaplah.”

Para pengawal pun segera bersiap. Dua orang pengawal yang bertugas telah menarik perampok muda itu dan membawanya ke belakang garis pasukan para pengawal.....


“Aku terpaksa mengikatmu.” berkata pengawal itu.

“Jangan,” minta pengawal itu, “jika kalian mengikat kau maka yang akan membunuhku bukan dari antara kalian. Tetapi salah seorang kawan dari kawan-kawanku itu tentu akan menyelinap dan kemudian membunuh aku. Tetapi jika aku tidak terikat, mungkin aku sempat menyelamatkan diri.”

“Jangan membohongi kami.” bentak pengawal itu.

“Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika kalian berkeras, maka sebaiknya aku tetap kalian lindungi meskipun terikat.” berkata perampok muda itu.

Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka berkeputusan untuk mengikat perampok muda itu agar pada saat-saat tertentu, jika keduanya lengah, ia tidak melarikan diri.

Namun demikian, seperti yang diminta oleh perampok muda itu bahwa keduanya akan melindungi perampok muda itu dari kemungkinan pembalasan dendam kawan-kawannya, yang menganggap bahwa ia telah berkhianat.

Dalam pada itu, maka Akuwu Suwelatama tidak mempunyai pilihan lain. Maka ia pun segera menjatuhkan perintah, sehingga para pengawal itu pun telah bergerak dengan senjata di tangan mendekati celah-celah batu padas berkapur itu.

Sementara itu, para perampok pun telah bersiap pula menyambut kedatangan para pengawal itu dengan kemarahan yang meluap.

Demikianlah sejenak kemudian, kedua belah pihak itu pun telah berbenturan. Pasukan pengawal dari Pakuwon Kabanaran berjumlah lebih banyak. Apalagi mereka memiliki kemampuan tempur lebih tinggi dari para perampok yang hanya berbekal keberanian dan sedikit kemampuan bermain senjata.

Karena itu, maka dalam waktu yang pendek, mereka pun telah kehilangan kesempatan untuk mendesak lawannya yang berusaha untuk mengurung mereka pada celah-celah batu padas.

“Mereka tentu menyembunyikan harta benda yang pernah mereka rampas di dalam barak di celah-celah batu padas itu.” berkata Akuwu Suwelatama di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, para perampok itu tidak banyak dapat bergerak. Mereka segera terdesak ke barak mereka. Bahkan seolah-olah mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat mempertahankan diri.

Sebenarnyalah Akuwu Suwelatama benar-benar ingin menyelesaikan masalah itu dengan tuntas. Karena itu, maka ia pun mendesak terus. Ia memaksa para perampok itu untuk menyerah dan menunjukkan sarangnya yang sebenarnya.

Dalam pada itu, maka perampok itu pun akhirnya merasa bahwa mereka memang tidak akan dapat melawan. Jika para pengawal itu berniat, maka mereka akan dapat membunuh mereka seorang demi seorang dan melemparkan mayat mereka ke dalam rawa-rawa seperti yang dikatakan oleh pemimpin para pengawal itu.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain, bahwa mereka harus menyerah jika mereka tidak mati dan menjadi makanan buaya-buaya yang buas di dalam rawa-rawa.

Demikianlah ketika mereka telah terdesak dan tidak mungkin untuk mengelakkan kematian jika pertempuran itu berlangsung terus, maka orang tertua itu pun telah berteriak nyaring, ”Kami menyerah.”

Akuwu Suwelatama mendengar teriakan itu. Karena itu, maka ia pun segera memberikan isyarat kepada para pengawal untuk menghentikan pertempuran.

Sebenarnyalah para pengawal itu pun berusaha untuk menahan diri. Satu dua di antara mereka telah terluka. Tetapi di antara para perampok pun telah beberapa orang yang mengalirkan darah. Bahkan ada di antara mereka yang terluka parah.

“Kalian menyerah?” Akuwu Suwelatama menegaskan.

“Ya. Kami menyerah.” jawab orang tertua sambil melemparkan senjatanya diikuti oleh kawan-kawannya.

Para pengawal pun kemudian mendesak para perampok itu untuk berdiri berjajar menghadap ke batu karang berkapur itu. Beberapa orang pengawal menjaga mereka dengan senjata terhunus.

Dalam pada itu, Akuwu Suwelatama pun memanggil orang tertua di antara mereka dan bertanya, “Nah, jika kalian telah menyerah, maka kalian akan mengatakan apa saja yang ingin aku ketahui.”

Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia bertanya, “Apa yang ingin kau ketahui?”

Akuwu Suwelatama termangu-mangu sejenak. Kemudian bersama Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra, ia membawa orang tertua itu ke dalam barak mereka di celah-celah batu kapur itu.

“Apakah tidak ada orang lain lagi?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Tidak ada.” jawab orang tertua itu.

“Baik,” berkata Akuwu itu, “kami akan membawa kalian ke Pakuwon. Kalian adalah tawanan kami.”

“Ya. Kami mengerti.” jawab orang tertua itu.

“Kalian telah mempersulit perjalanan kami. Ada beberapa orang-orangmu yang terluka. Sengaja atau tidak sengaja, senjata di dalam pertempuran kadang-kadang tidak dapat memilih arah.”

“Ya.” jawab orang tertua itu.

“Tetapi, baiklah kalian tunjukkan, di manakah kalian menyimpan barang-barang yang telah kalian kumpulkan selama kalian menjadi perampok.” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Barang-barang apa?” bertanya orang tertua itu.

“Jangan mulai berpura-pura. Kau sudah menjawab segala pertanyaanku dengan baik. Tetapi kini kau mulai akan ingkar.” desak Akuwu Suwelatama.

“Aku tidak ingkar. Tetapi aku memang tidak tahu. Aku kira selama aku berada di sini, kami tidak pernah menyimpan sesuatu.” berkata orang tertua itu.

“Kau mulai ingkar,” berkata Akuwu, “bawa perampok muda itu kemari.”

Perampok muda yang telah menunjukkan jalan ke sarang mereka itu pun telah dibawa masuk pula. Demikian orang tertua itu melihat kawannya yang muda itu, maka wajahnya telah menjadi tegang.

“Katakan!” desak Akuwu tanpa bertanya kepada anak muda itu.

Orang tertua itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Yang aku ketahui adalah isi barak ini. Tidak lebih dan tidak kurang.”

Akuwu memperhatikan anak muda itu. Kemudian ia pun bertanya, “Kau dapat mengatakan yang sebenarnya.”

“Ya. Memang ada harta benda yang disimpan. Tetapi tidak semua orang boleh tahu.” jawab anak muda itu. Ia nampak bersungguh-sungguh dan jujur.

“Kau tidak mengetahuinya?” bertanya Akuwu.

“Tidak. Tetapi orang tua itu mengetahuinya.” jawab anak muda itu.

“Tutup mulutmu!” bentak orang tua itu, “aku juga tidak tahu di mana barang-barang itu disimpan, jika memang ada barang-barang berharga itu.”

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang tua itu sambil berkata, “Kau sudah kehilangan akalmu. Jika demikian kenapa kau menyerah? Kenapa kau tidak bertempur saja sampai orang terakhir mati?”

Orang tua itu tidak menjawab.

Sementara itu Akuwu Suwelatama telah kehilangan kesabaran. Maka katanya, “Dengar. Kami datang dari jarak yang jauh melalui jalan yang sangat sulit. Karena itu, jangan mencoba mempermainkan kami. Kami mempunyai cara yang khusus untuk memaksamu berbicara.”

Wajah orang tua itu menjadi tegang. Namun Akuwu tidak menghiraukannya lagi. Dengan lantang ia berkata, “Jawab setiap pertanyaanku, atau aku akan memerasmu.”

Orang itu menjadi semakin tegang. Namun mulutnya bagaikan membeku. Sebenarnyalah ia merasa sangat bingung. Para perampok itu mempunyai paugeran tersendiri di dalam hidup mereka.

Ketika Akuwu kemudian berdiri, dan memandang orang tua itu dengan mata yang menyala, maka orang itu pun berkata dengan suara gemetar, “Ki Sanak. Kami bersumpah, bahwa kami tidak akan membuka rahasia kami kepada siapapun juga dalam keadaan apa pun juga. Karena itu, kasihani aku.”

”Kau dapat membatalkan sumpahnya untuk tujuan yang lebih baik. Sumpahmu tidak akan mengutukmu.” bentak akuwu.

“Tetapi aku takut.” desis orang itu.

“Terserahlah kepadamu,” jawab Akuwu, “apakah kau lebih takut terhadap sumpahmu, atau kepadaku.”

“Jangan paksa aku memilih seperti itu.” mohon orang itu.

Akuwu menjadi semakin marah. Dengan lantang ia membentak, “Aku akan memaksamu berbicara. Seorang demi seorang.”

Orang itu gemetar, tetapi mulutnya masih tetap terbungkam.

Sementara itu, selagi Akuwu kehilangan kesabaran dan sudah siap memaksa orang itu berbicara, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di sebelah bukit karang berkapur itu. Semua orang terkejut karenanya. Rasa-rasanya tanah pun mulai berguncang.

“Apa?” bertanya Akuwu dengan serta merta. Tetapi orang tertua itu pun merasa ngeri mendengar suara itu. Katanya, “Aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.”

“Prahara!” terdengar seseorang berteriak di luar barak yang terdapat di celah-celah batu-batu padas berkapur itu.

Akuwu pun segera meloncat keluar. Sebenarnyalah ia melihat pepohonan hutan bagaikan diguncang oleh prahara. Tetapi tentu bukan prahara. Bukan pula badai dan angin pusaran, karena tidak seluruh hutan itu diguncang.

Baru kemudian seorang di antara mereka berteriak, “Ular raksasa itu!”

Sebenarnyalah, seekor ular raksasa telah mengamuk. Ular raksasa yang mereka jumpai melintas jalan, berwarna hijau kecoklatan.

“Ular itu!” yang lain pun berteriak.

Para pengawal itu pun menjadi ribut. Mereka menarik senjata masing-masing. Namun apakah arti pedang-pedang di tangan mereka. Ular raksasa itu akan mampu menyapu mereka dengan ekor dan membunuh mereka dengan racun yang disemburkan dari mulutnya.

Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas. Sementara itu, perampok yang tertua dengan pucat berdiri di belakang Akuwu Suwelatama, “Ki Sanak,” desis perampok tertua itu, “ular itu telah mencium darah. Menurut pendengaranku, bau darah membuatnya menjadi buas. Bukan hanya yang berwarna hijau itu saja, tetapi yang bertanduk itu pun akan berbuat serupa. Mereka selama ini tidak pernah mengganggu kami meskipun kami sering berjumpa. Tetapi agaknya benar kata orang, bau darah dari antara kita yang terluka di peperangan ini.”

Wajah Akuwu menjadi tegang. Setelah ia berhasil melakukan tugasnya yang hampir diselesaikan seluruhnya itu, tiba-tiba telah muncul sesuatu yang tidak masuk dalam perhitungannya. Dan yang tidak termasuk dalam hitungannya itu, tidak akan mungkin dilawannya.

Dalam pada itu, suara yang seperti badai itu menjadi semakin keras. Ketika mereka memperhatikan ular berwarna hijau yang semakin dekat itu, tiba-tiba yang bagaikan badai itu menjadi semakin keras. Pepohonan raksasa di hutan itu pun terguncang semakin dahsyat

Tiba-tiba saja mereka melihat warna yang lain dalam satu pergulatan. Baru kemudian mereka menyadari, dua ekor Uar raksasa itu ternyata sedang bergulat. Ular raksasa yang berwarna hijau kecoklatan dengan ular raksasa yang bertanduk dan berwarna hitam lekam.

Pergulatan antara dua ekor ular itu benar-benar merupakan peristiwa yang sangat dahsyat. Agaknya keduanya benar-benar menjadi liar dan buas ketika mereka mencium bau darah.

Ketika ujung ekor ular yang hitam itu menyapu pepohonan di depan barak itu, terasa betapa sangat mengerikan. Beberapa batang pohon telah tumbang. Sementara itu, kepala kedua ekor ular itu bagaikan saling berbenturan, bergelut dan tubuh-tubuh mereka saling melilit. Suara yang terlontar dari mulut-mulut ular yang menganga itu melampaui suara badai di samodra yang paling garang.

Dalam kecemasan itu, maka Akuwu berteriak, “Kita mencari jalan keluar dari daerah maut ini.”

“Tidak ada jalan,” desis Mahisa Agni, “sebentar lagi semuanya akan digilas sampai lumat.”

Mahisa Agni termangu-mangu. Dipandanginya batu-batu karang yang kokoh itu. Namun ia tidak segera menemukan tempat untuk bersembunyi. Namun demikian, mungkin mereka akan dapat berada di celah-celah batu karang itu.

Memang tidak ada jalan keluar dari tempat itu. Akuwu pun melihat betapa kedua ekor ular itu bertempur dengan dahsyatnya. Semakin lama semakin mendekat batu-batu karang berkapur itu.

“Jika kita mencoba untuk menyingkir, maka kita justru akan menjadi korban. Tetapi bukan berarti bahwa kita akan pasrah untuk disapu oleh tubuh kedua ekor ular raksasa yang sedang berkelahi itu. Mungkin batu-batu karang itu akan dapat memberikan perlindungan.” berkata Mahisa Agni.

Untuk sesaat, para pengawal dan para perampok itu berdiri termangu-mangu. Senjata mereka tidak berarti apa-apa di hadapan dua ekor ular raksasa itu. Apalagi keduanya telah menjadi buas dan liar karena telah mencium bau darah.

Dalam pada itu, tiba-tiba orang tertua di antara para perampok itu berkata, “Aku tahu sebuah lubang yang menghubungkan celah-celah batu karang itu dengan sebuah goa di bawah tanah.”

“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Akuwu.

“Ya. Aku berkata sebenarnya. Tetapi dengan demikian aku sudah berkhianat terhadap pemimpinku.” jawab orang itu.

“Pemimpinmu sudah aku tangkap,” bentak Akuwu, “cepat, tunjukkan lubang goa itu.”

Orang tertua itu pun ragu-ragu sejenak. Namun pertempuran yang dahsyat itu menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba saja Akuwu menyambar lengan orang itu sambil berkata, “Tunjukkan. Atau kaulah yang pertama-tama aku lemparkan ke tempat pertempuran itu.”

Orang tertua itu pun tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun sebenarnya menjadi sangat ngeri melihat perkelahian itu.

Karena itu, maka ia pun telah membawa para pengawal yang diikuti oleh para perampok itu ke belakang barak yang terdapat di celah-celah batu karang itu. Mereka mendapatkan sebuah batu karang yang besar tergolek di antara batu-batu karang yang lebih kecil.

“Kita harus menyingkirkan batu itu.” berkata orang tertua itu.

“Apakah batu itu merupakan pintu masuk ke dalam goa?” bertanya Akuwu.

“Ya.” jawab orang tua itu.

“Cepat. Kita akan memindahkan batu itu.”

Para pengawal pun kemudian mencoba memindahkan batu yang besar itu. Tetapi batu itu hanya beringsut sedikit sekali.

“Bagaimana pemimpinmu membuka pintu ini? Dengan tenaga gaib?” bertanya Akuwu.

“Tidak. Kita bersama-sama. Khususnya orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan.” jawab orang tertua itu.

“Demikian beratnya?” desak Akuwu.

“Ya, memang hanya sedikit demi sedikit. Kadang-kadang kita memerlukan waktu yang lama untuk membukanya. Orang-orang yang belum waktunya mengetahui rahasia itu, mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan di luar lingkungan barak ini, sementara kami berusaha untuk membuka dan menyimpan barang-barang di dalamnya. Baru setelah pintu itu tertutup, maka orang-orang yang belum mendapat hak untuk mengetahui rahasia itu, boleh memasuki barak.”

Akuwu tidak menjawab lagi. Tetapi bersama-sama dengan para pengawal dan beberapa orang perampok mereka berusaha untuk membuka pintu itu. Namun seperti semula, pintu itu beringsut sedikit demi sedikit.

Sementara itu, debu yang terhambur dari arena perkelahian itu telah memenuhi udara. Tanah dan batu-batu padas yang terlempar telah mengenai mereka. Bahkan kadang-kadang ekor salah satu dari kedua ekor ular raksasa yang bertempur itu bagaikan terayun di atas kepala mereka.

“Cepat!” orang tertua itu mendesak.

Tetapi tenaga mereka sangat terbatas. Mereka tidak dapat berebutan bersama-sama mendorong batu itu, karena tempat yang sempit justru karena batu karang itu berada di celah-celah.

Akhirnya Mahisa Agni tidak telaten, karena bahaya menjadi semakin dekat. Karena itu, maka katanya, ”Minggirlah. Biarlah aku dan Witantra membukanya.”

Witantra mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengerti bahwa ia harus menggunakan kekuatan puncaknya.

Akuwu tidak segera mengetahui maksud Mahisa Agni. Meskipun demikian, maka ia pun kemudian memerintahkan orang-orang itu menepi.

Demikianlah, Mahisa Agni dan Witantra berdiri tegak di hadapan sebongkah batu padas yang menyumbat goa itu. Sejenak mereka memusatkan segala kemampuan mereka.

Dengan isyarat, maka Mahisa Agni pun kemudian memberikan aba-aba. Berbareng keduanya meloncat, dan berbareng keduanya menghantam batu padas itu.

Batu padas itu bagaikan meledak. Ternyata kekuatan dua orang itu mampu memecahkan sebongkah batu padas, meskipun batu padas itu menjadi debu. Tetapi hampir separo dari pintu goa itu telah terbuka.

“Masuklah,” berkata Mahisa Agni kemudian, “meskipun dengan merangkak, kalian dapat bersembunyi di dalam goa, jika goa itu cukup besar memuat kalian.”

“Cukup,” kata perampok yang tertua. ”Setelah masuk ke dalam beberapa puluh langkah, maka ada lubang yang turun ke dalam tanah.”

Dalam pada itu, bumi rasanya telah berguncang. Rasa-rasanya mereka yang berjejal-jejal berdiri di celah-celah.

“Cepat!” teriak Akuwu.

Demikianlah seorang demi seorang, mereka merangkak memasuki lubang yang tidak terlalu besar itu.

Lubang goa itu memang sempit. Para pengawal dan perampok itu telah berebut dahulu memasuki lubang itu. Mereka telah melupakan permusuhan yang baru saja mereka lakukan.

Ternyata mereka yang memasuki goa itu memang masih harus merangkak beberapa puluh langkah lagi. Akan tetapi lubang itu semakin lama menjadi semakin besar, sehingga kemudian mereka dapat berdiri tegak.

Dengan demikian maka mereka maju semakin cepat. Namun demikian rasa-rasanya orang-orang yang berada di belakang masih selalu mendesak mereka untuk maju lebih cepat.

Yang berada di paling depan adalah orang tertua di antara para perampok itu. Ia ternyata mengenal jalur goa itu dengan baiknya. Beberapa saat kemudian, mereka telah mencapai tangga dan dalam kegelapan mereka mulai merayap turun, ke ruang di bawah tanah yang luas.

Di mulut goa masih saja para pengawal dan perampok yang tersisa berjejalan. Namun satu persatu mereka berhasil memasuki lubang itu. Yang terakhir dari mereka adalah Akuwu Suwelatama, Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni.

Hampir saja Mahisa Agni terlambat. Demikian ia hilang di lubang gua itu, maka ekor dari ular raksasa yang berwarna hitam lekam itu menyapu barak di celah-celah batu karang itu. Bahkan segumpal batu karang telah runtuh dan menutup lubang goa yang sempit itu. Namun lubang itu tidak tersumbat seluruhnya, sehingga dari dalam goa masih nampak cahaya udara di luar goa.

“Hampir saja.” desis Witantra.

“Hampir saja,” sahut Mahisa Agni, “melawan ular raksasa itu, aku tidak akan sempat mempergunakan Aji Gundala Sasra. Ular itu bergerak terlalu cepat dan ter- (??? Dari naskah aslinya memang tidak ada sambungannya)

Dalam pada itu, maka para perampok dan para pengawal itu pun telah berada di sebuah ruang yang besar di dalam tanah. Ada beberapa ruang yang tersekat oleh batu batu karang. Nampaknya goa itu tidak dibuat oleh tangan. Tetapi airlah yang telah memahat goa itu dalam waktu beratus-ratus tahun.

Sementara itu, orang tertua dari para perampok itu telah membuat api dari batu thithikan dengan emput serabut aren. Kemudian dengan dibauri oleh sebangsa belereng, maka emput itu dapat menyala.

“Ambil obor itu.” desis orang tertua itu.

Seorang perampok telah mengambil obor yang tersedia. Kemudian obor itu pun dinyalakannya, sehingga ruangan itu menjadi sedikit terang.

Namun demikian obor itu menyala, hampir semua orang yang berada di tempat itu terkejut. Ternyata di sebuah lubang tersendiri di dalam ruangan di bawah tanah itu nampak beberapa buah peti yang tertimbun rapi.

Baik para pengawal, maupun para perampok yang belum pernah mendapat kesempatan untuk memasuki ruangan itu segera mengetahui, bahwa yang berada di dalam peti-peti itu adalah harta benda yang sangat mahal nilainya.

Namun dalam pada itu, orang-orang itu tidak sempat menyatakan keheranannya. Ruang itu pun bagaikan telah diguncang oleh gempa beberapa kali. Sementara itu, desis yang keras telah mendebarkan jantung.

Kedua ekor ular raksasa itu pun masih saja bertempur dengan dahsyatnya. Pepohonan pun menjadi beserakkan. Batu-batu karang telah pecah sebongkah demi sebongkah dan terlempar kian kemari.

“Jika bukit ini pecah, kita akan tertimbun di sini.” berkata Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Tetapi untuk memecahkan batu karang berkapur ini pun tidak mudah. Betapa tinggi kekuatan kedua ekor ular raksasa itu, tetapi agaknya bukit karang ini tidak akan dengan mudah dilumatkan.”

Untuk beberapa saat orang-orang itu tidak sempat memikirkan peti-peti yang terdapat di sebuah lubang di dalam goa itu. Mereka pun tidak sempat memperbincangkan sikap mereka yang telah menyerah. Perhatian mereka sepenuhnya adalah pada gemuruh perkelahian yang mengerikan itu. Guncangan demi guncangan telah membuat mereka semakin tegang. Rasa-rasanya dinding-dinding goa di bawah tanah itu akan runtuh.

Sementara itu, pertarungan antara dua ekor ular raksasa itu menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihannya masing-masing. Meskipun ular berwarna hitam legam itu lebih besar dari ular yang berwarna hijau kecoklat-coklatan, tetapi ternyata kekuatan mereka tidak berselisih.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja orang tertua di antara para perampok itu berdesis, “Tiga orang kawan kita terluka. Kita tidak sempat membawa mereka.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Mereka membayangkan peristiwa yang sangat mengerikan telah terjadi. Mungkin mereka tergilas menjadi lumat. Tetapi mungkin pada kesempatan salah seekor ular raksasa itu telah mematuk mereka dan menelannya.

“Tidak sempat.” desis seseorang kepada dirinya sendiri.

Gemuruh itu masih juga belum mereda. Sementara itu, Mahisa Agni mulai memperhatikan keadaan di dalam goa itu. Ruang demi ruang diperhatikannya dengan seksama. Ketika ia mendapatkan lagi sebuah obor, maka obor itu pun dinyalakannya pula.

“Ruangan ini tidak menjadi penuh asap obor.” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Lalu, “Tentu ada lubang-lubang lain dari lubang yang satu itu. Mungkin lubang-lubang itu kecil, tetapi tidak hanya satu.”

Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam. Namun demikian, agaknya Witantra pun sedang memperhatikannya pula.

Dalam pada itu, untuk beberapa saat mereka masih tetap menunggu. Suara gemuruh itu masih belum juga mereda. Bahkan dinding goa di bawah tanah itu kadang-kadang bergetar dan debu pun berhamburan.

“Apakah bukit karang kecil ini akan runtuh?” desis seorang di antara para perampok itu.

Orang tertua di antara mereka itu pun menjadi tegang. Bagaimanapun ia bertahan untuk tidak membuka rahasia, namun akhirnya ia tidak dapat ingkar lagi, justru karena kedua ekor ular raksasa yang sedang bergulat itu.

Ketegangan masih tetap mencengkam. Sementara Mahisa Agni memperhatikan keadaan goa itu dengan teliti. Selain pintu sempit tempat mereka masuk, tentu terdapat lubang-lubang lain yang menghubungkan ruang itu dengan udara di luar.

Meskipun demikian setiap kali Mahisa Agni pun telah menjadi berdebar-debar karena getar dinding goa. Jika goa itu runtuh, maka ruang di bawah lanah itu akan menjadi sebuah kuburan yang besar yang tidak akan pernah diketemukan orang.

Dalam pada itu, selagi orang-orang di dalam goa itu dicengkam oleh kecemasan, maka telah terdengar suara lain dari gemuruhnya ular-ular raksasa yang sedang bertempur itu. Terdengar seolah-olah kuak seekor binatang yang sangat dahsyat. Kemudian terdengar deru yang sangat dahsyat.

Sekali lagi goa itu bergetar. Namun yang mengguncangkan jantung mereka yang ada di dalamnya adalah perubahan suhu udara yang tiba-tiba. Dari beberapa arah seakan-akan telah bertiup udara yang panas dan menyesakkan.

Setiap orang di dalam gua itu menjadi semakin tegang. Mereka berdiri mematung. Ujung jari mereka pun seakan-akan tidak dapat lagi mereka gerakkan.

Sekali lagi terdengar kuak yang mengerikan. Keras sekali dan gemanya terdengar susul menyusul dari dalam goa itu.

“Apalagi yang telah terjadi?” desis Akuwu.

Itu pun mereda. Namun yang terdengar kemudian adalah suara menguak yang berulang-ulang. Kemudian terdengar suara menderu di atas bukit karang itu.

Beberapa bongkah batu padas pun berjatuhan. Akan tbeetapi ternyata bukit karang itu tidak runtuh.

“Ular itu melintas di atas bukit karang berkapur ini.” desis orang tertua di antara para perampok itu.

“Hanya seekor.” berkata yang lain.

“Pertempuran itu sudah selesai.” jawab orang tertua itu.

“Apakah yang lain sudah mati?” bertanya Akuwu.

“Tidak,” jawab orang tertua itu, “suara menguak yang dahsyat itu adalah suara ular yang berwarna merah dengan jamang di telinganya, yang menurut dugaan kami adalah raja dari segala ular meskipun ular itu bukan ular yang terbesar. Kedua ekor ular yang sedang bertempur itu tentu sudah diusirnya.”

“Kedua ekor ular yang lain itu takut terhadap ular berkepala merah itu?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Ya. Dan kini agaknya telah terbukti.” jawab orang tertua itu, “Semula kami hanya mendengar dari beberapa ceritera, dan menduga-duga menilik sifat ular-ular itu. Udara panas itu tentu disebabkan oleh api yang memancar dari mulut ular berkepala merah itu.”

“Kalian pernah melihat api itu?” bertanya Witantra.

“Melihat belum. Tetapi kami pernah melihat bekas-bekasnya. Kami melihat bagian hutan yang menjadi kering akibat api yang tersembur dari mulut ular itu. Binatang-binatang hutan yang kebetulan berada di daerah itu menjadi kering.” berkata orang tertua itu.

Mahisa Agni termangu-mangu. Orang-orang di dalam goa itu masih mendengar beberapa kali ular itu menguak. Namun kemudian sepi, setelah terdengar deru yang semakin lama menjadi semakin jauh.

“Mereka telah pergi.” berkata Mahisa Agni.

“Ya. Mereka telah pergi.” berkata orang tertua itu.

Dengan demikian, maka mereka pun mulai menyadari tentang keadaan mereka. Di antara mereka terdapat para perampok dan para pengawal yang akan menangkap mereka.

Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama pun kemudian berkata lantang, “Kita sudah terlepas dari amuk ular-ular raksasa itu. Tetapi kita masih tetap dalam keadaan kita. Para perampok telah menyerah. Siapa yang berusaha untuk berbuat yang dapat mengganggu keadaan itu, akan kami tindak dengan tegas.”

Orang tertua di antara para perampok itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi para perampok itu memang tidak akan dapat berbuat apa-apa.

“Berkumpullah.” perintah Akuwu Suwelatama. Para perampok itu pun kemudian berkumpul. Dua pengawallah yang kemudian memegangi obor, sementara Mahisa Agni berkata, “ Kita akan melihat, apakah pintu itu masih tetap terbuka.”

Akuwu pun kemudian memerintahkan dua orang pengawal untuk melihat, apakah mereka masih mungkin keluar dari mulut goa, yang mereka lalui ketika mereka merangkak masuk.

Seperti ketika mereka masuk, maka kedua pengawal itu memang harus merangkak untuk mendekati mulut goa. Namun demikian mereka sampai ke mulut goa, ternyata mulut goa itu sudah tertutup rapat. Nampaknya mulut goa itu telah pecah dan justru karena itu, reruntuhan batu karang itu pun telah menyumbat mulut goa.

“Sulit untuk keluar.” berkata salah seorang dari kedua pengawal itu.

“Kita akan melapor. Mungkin kita memang harus mati di dalam goa ini.” sahut yang lain.

Kedua orang pengawal itu pun kemudian kembali ke tempat kawan-kawannya berkumpul. Mereka telah melaporkan bahwa mulut goa itu telah tersumbat oleh reruntuhan batu-batu karang.

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Apakah reruntuhan itu tidak dapat disingkirkan?”

“Kami tidak tahu, apakah cukup waktu untuk melakukannya.” jawab pengawal itu.

Akuwu itu pun termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu maka Mahisa Agni pun berkata, ”Kita akan mencari jalan lain.”

“Aku tidak tahu, apakah ada jalan lain untuk keluar dari goa ini.” berkata orang tertua di antara para perampok itu.

Beberapa orang menjadi tegang. Jika mereka tidak dapat keluar dari dalam goa itu, maka akan berarti satu bencana yang sangat dahsyat. Mereka akan mati perlahan-lahan di dalam goa itu. Mungkin karena mereka tidak akan dapat bernafas lagi. Mungkin kelaparan dan kehausan.

Tetapi sementara orang-orang itu kecemasan, Mahisa Agni berkata, “Aku kira ada lubang-lubang lain yang menghubungkan ruang ini dengan udara di luar. Api-api obor itu tetap menyala. Ruang ini tidak menjadi sesak dan penuh dengan asap obor itu.”

“Ya,” tiba-tiba saja Akuwu Suwelatama menyahut, “kita tidak akan berputus asa.”

“Aku melihat cahaya betapa pun lemahnya.” berkata Witantra sambil menunjuk pada sebuah lubang di dinding goa itu.

Bersama Mahisa Agni keduanya mendekati lubang di langit-langit goa di bawah tanah itu. Ternyata mereka memang melihat cahaya yang meskipun sangat lemah, tetapi lebih terang dari kegelapan di dalam goa di bawah tanah itu.

“Marilah kita lihat.” berkata Mahisa Agni.

Witantra pun kemudian bersiap-siap. Mahisa Bungalan yang mendekat pula berkata, “Aku akan memasuki lubang itu.”

Mahisa Bungalan pun kemudian naik ke pundak Mahisa Agni untuk menggapai bibir lubang itu. Ketika tangannya sempat berpegangan pada bibir goa itu, maka ia pun telah mengangkat kedua kakinya dan berusaha untuk memasuki lubang itu.

“Tunggu di situ.” berkata Mahisa Agni.

Witantra kemudian naik pula menyusul Mahisa Bungalan. Sementara itu, Mahisa Agni yang memanggil seorang pengawal untuk alas loncatannya, telah memasuki lubang itu pula.

Bertiga mereka kemudian merangkak menyelusuri lubang itu yang semakin lama menjadi semakin sempit. Namun ternyata mereka menjadi semakin berpengharapan karena cahaya yang mereka lihat itu semakin lama menjadi semakin jelas.

Namun akhirnya lubang itu menjadi sangat sempit. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan berhasil menerobos lubang yang nampaknya memang tidak pernah dilalui oleh seseorang.

Batu-batu karang yang runcing telah menghambat gerak mereka. Meskipun demikian, akhirnya mereka benar-benar melihat cahaya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun bergerak lebih cepat, meskipun ia bukan saja harus merangkak, tetapi bergeser maju sambil menelungkup di atas batu karang yang kadang-kadang terasa tajam.

Akhirnya, Mahisa Bungalan itu pun berhasil keluar dari sebuah lubang di wajah batu karang yang berseberangan dengan celah-celah batu karang saat mereka masuk. Demikian ia keluar dari lubang itu, maka ternyata bahwa beberapa bagian tubuhnya telah berdarah oleh tajamnya batu-batu karang.

“Kita masih berkesempatan untuk menghirup udara.” berkata Mahisa Bungalan, ketika kedua pamannya itu pun telah berada di luar pula.

Namun dalam pada itu, maka mereka pun sempat menyaksikan jejak ular raksasa yang melintas di atas batu karang berkapur itu.

“Bukan main.” desis Mahisa Bungalan.

“Apa yang terjadi di sebelah?” desis Witantra.

Ketiga orang itu pun kemudian memanjat naik ke puncak bukit karang kecil yang agak memanjang itu. Demikian mereka melihat bekas perkelahian antara kedua ular raksasa dan kehadiran ular ketiga itu, maka bulu-bulu tengkuk mereka telah meremang.

Sebagian hutan telah menjadi berserakan. Namun yang lebih mengerikan adalah bekas api yang telah menjilat pepohonan yang agaknya memang sudah tumbang karena pertempuran yang sengit.

Daun-daun telah menjadi abu dan pepohonan pun menjadi arang. Masih nampak asap mengepul dan bara yang menyala.

“Bukain main,” desis Mahisa Agni, “untunglah lubang itu terdapat di sisi yang lain dari batu karang ini. Jika lubang-lubang semacam itu terdapat di sini sebelah menghadap arena pertempuran itu, maka semburan api itu akan dapat membakar udara di dalam goa itu.”

“Kami merasakan udara panas itu.” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi tidak langsung,” jawab Witantra, “dan beruntung pulalah bahwa lubang tempat kami masuk justru telah tersumbat.”

“Tetapi kita akan mendapat kesulitan jika kita ingin membawa harta benda hasil rampokan itu dan menyerahkannya sebagai kekayaan Pakuwon ini yang akan dipergunakan untuk kepentingan orang banyak.” berkata Mahisa Agni.

“Ya. Maksud itu tentu baik,” desis Witantra, “tetapi aku kira, selagi kita belum menemukan jalan yang lebih baik, setidak-tidaknya lubang tempat kita masuk, kita tidak akan dapat membawa peti-peti itu keluar.”

“Kita akan mencari jalan kemudian,” sahut Mahisa Agni pula, “marilah, kita kembali kepada orang-orang yang mungkin menjadi bingung di ruang itu.”

Dengan hati-hati ketiga orang itu pun kemudian turun pula di lereng sebelah. Ternyata yang mereka lihat, tidak hanya ada satu lubang yang menghubungkan udara di luar dengan ruang di bawah tanah. Mereka melihat lebih dari tiga buah lubang, termasuk lubang-lubang yang lebih kecil yang menyalurkan asap obor keluar dari ruang di bawah tanah itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Agni dan Witantra tidak cemas lagi, bahwa orang-orang yang berada di bawah tanah itu akan menjadi lemas kehabisan udara yang bersih. Dari lubang yang banyak jumlahnya itu, akan dapat mengalir udara yang segar. Meskipun di dalam goa itu gelap gulita. Namun kegelapan itu pun dapat membuat udara rasa-rasanya menjadi sangat pengab.

Dengan hati-hati, maka mereka yang berada di atas bukit karang itu pun memasuki kembali lubang yang telah mereka lalui untuk merangkak keluar. Dalam pada itu, mereka pun sadar, bahwa goresan-goresan karang yang runcing akan menjadi semakin banyak mengoyak kulit mereka sehingga darah pun akan mengembun pula dari luka-luka yang dangkal itu. Namun oleh keringat yang mengalir, luka-luka itu pun terasa menjadi pedih.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki lubang di bawah tanah tempat para pengawal dan para perampok berkumpul. Ternyata obor yang masih menyala tinggal sebuah, karena yang lain sudah kehabisan minyak.

“Tidak ada obor lain?” bertanya Mahisa Agni.

Namun tiba-tiba orang tertua di antara para perampok itu berkata, “Aku menyimpan biji jarak kering.”

“Di mana?” bertanya Mahisa Agni.

Orang tertua itu pun kemudian mengambil biji jarak kering dari sebuah bakul yang diletakkannya di sudut goa itu. Beberapa di antara biji jarak itu sudah dirangkai dengan lidi.

Sebelum obor kedua itu padam, maka orang tertua itu sudah menyalakan biji jarak yang dirangkai cukup panjang sebagai pengganti obor. Bahkan sekaligus tiga orang telah menyalakannya pula.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun memberitahukan kepada Akuwu Suwelatama bahwa mereka masih mungkin untuk keluar meskipun mereka tidak akan dapat membawa barang-barang hasil rampokan itu.

“Baiklah,” berkata Akuwu Suwelatama, “tetapi biarlah aku melihat, apa saja yang telah di simpan di bawah tanah ini.”

Diantar oleh orang tertua di antara para perampok itu, maka Akuwu Suwelatama pun melihat isi peti-peti yang tersusun rapi itu. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa jenis perhiasan dari emas, perak dan permata. Bahkan di sebuah peti yang terpisah terdapat beberapa buah pendok emas bertretes berlian.

“Di mana kalian mendapatkan semua ini?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Kami tidak dapat mengingat lagi satu persatu.” berkata orang itu.

Akuwu itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah barang-barang ini tetap berada di sini.”

Tetapi dalam pada itu, selagi Akuwu akan meninggalkan barang-barang itu langkahnya tertegun. Ia melihat sebuah peti yang ditempatkan di tempat yang terpisah, dibayangi oleh sebongkah batu padas. Karena itu, maka Akuwu itu pun segera mendekatinya.

Ketika di luar sadarnya Akuwu berpaling kepada orang tertua di antara para perampok itu, ia melihat wajah orang itu menjadi tegang. Namun orang tua itu tidak akan dapat mencegah apa yang akan dilakukan oleh Akuwu Suwelatama.

Dengan ragu-ragu Akuwu itu pun kemudian mendekati peti itu. Perlahan-lahan ia menggapai tutup peti itu dan perlahan-lahan pula ia membukanya.

Ketika peti itu terbuka, maka jantung Akuwu itu pun menjadi berdebar-debar. Dalam cahaya obor yang lemah, Akuwu melihat dua buah patung yang berwarna kekuning-kuningan tergolek di dalam peti itu. Patung yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi terbuat dari emas.

“Dua buah patung.” desisnya.

Mahisa Agni dan Witantra pun mendekatinya. Mereka pun kemudian mengambil patung itu dan mengamatinya.

“Dari mana kau dapat barang ini?” bertanya Akuwu, “Jangan kau jawab bahwa kau sudah lupa. Untuk barang-barang yang khusus seperti ini, kau tentu tidak akan pernah lupa.”

“Bukan aku yang mendapatkannya.” jawab orang itu.

“Kau memang pandai mengelak. Tetapi siapa pun yang mendapatkannya, kau tentu tahu, darimana asalnya?” desak Akuwu.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya memang tidak ada gunanya lagi untuk mengelakkan pertanyaan semacam itu. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Aku tidak ikut pada waktu kami mendapatkan barang itu. Tetapi menurut pendengaranku, barang itu didapat pada sebuah iring-iringan kecil dari sebuah padepokan yang jauh menuju ke Kediri. Mereka akan mempersembahkan kedua patung itu kepada Raja di Kediri. Tetapi sepasang patung itu telah kami ambil. Dalam pertempuran yang terjadi, maka kami telah membunuh semua orang yang mengawal patung itu, karena mereka telah mempertahankannya sampai orang terakhir.”

Wajah Akuwu itu menegang. Namun kemudian katanya, “Baik. Aku akan membawa patung ini. Tetapi karena kita mengalami kesulitan untuk keluar, maka kita akan keluar dahulu. Baru kemudian mencari jalan untuk dapat membawa barang-barang ini keluar.”

Demikianlah, maka orang-orang yang berada di dalam goa itu pun bersiap-siap untuk keluar. Tidak ada sepotong barang pun yang akan mereka bawa. Mereka akan sampai di luar lebih dahulu, baru kemudian mereka akan mencari jalan yang lebih baik untuk mengambil barang-barang yang ada di dalam lubang itu. Mungkin justru akan didapatkannya jalan yang lebih baik lagi.

Karena itulah, maka akhirnya seorang demi seorang mereka telah meloncat ke lubang di langit-langit itu untuk kemudian menyelusurinya. Akuwu dan beberapa orang pengawal berada di paling depan. Kemudian beberapa orang perampok yang sudah menyerah itu. Diikuti oleh para pengawal lagi. Yang terakhir dari mereka adalah Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

Beberapa saat lamanya mereka berdiri termangu-mangu di atas batu-batu karang berkapur itu. Akuwu Suwelatama masih saja tergetar hatinya melihat sisa-sisa dari pertempuran yang mengerikan itu. Seandainya mereka tidak segera berhasil bersembunyi di dalam lubang di bawah tanah di batu karang itu, maka mereka pun tentu akan lumat disapu oleh tubuh ketiga ekor yang menjadi buas dan liar. Mungkin ular-ular itu tidak sengaja melakukannya. Tetapi mungkin pula ular-ular itu memang sedang berebut tubuh berdarah yang baunya telah membuat mereka gila.

Dalam pada itu, maka mereka pun kemudian dengan hati-hati menuruni tebing. Beberapa orang yang terluka berat yang tidak sempat dibawa masuk ke dalam goa telah lenyap. Mungkin mereka telah dipatuk oleh ular-ular yang menjadi buas, atau dengan tidak sengaja telah tersapu dalam pertempuran yang mengerikan itu.

“Ada di antara kita yang masih berbau darah,” kata Akuwu Suwelatama memperingatkan, “Meskipun tidak banyak, tetapi mungkin masih akan mengundang ular-ular itu lagi.”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu menjadi termangu-mangu. Namun orang tertua di antara para perampok itu berkata, “Ular yang berkepala merah itu sudah turut campur. Mungkin mereka tidak akan kembali lagi. Kecuali ular berkepala merah itu sendiri. Tetapi nampaknya ular itu justru tidak begitu tertarik kepada bau darah jika ia datang, adalah karena kedua ekor ular yang lain itu telah berkelahi.”

Akuwu mengangguk-angguk. Orang tertua di antara para perampok itu telah lama berada di tempat yang sering dilalui oleh ular-ular raksasa itu, sehingga orang itu pun tentu lebih mengenalinya daripada dirinya.

“Kita akan melihat-lihat, apakah kita akan dapat menemukan jalan yang lebih baik untuk mengambil barang-barang yang ada di dalam bukit karang itu.” berkata Akuwu Suwelatama.

Mahisa Agni termangu-mangu. Lubang di celah-celah batu karang yang mereka gunakan untuk merangkak masuk itu sudah tertimbun reruntuhan batu-batu karang. Lubang itu agaknya cukup besar untuk membawa beberapa buah peti yang terisi oleh barang-barang berharga hasil rampokan itu. Meskipun mereka harus merangkak, tetapi mereka akan dapat membawanya sebagaimana para perampok itu telah membawanya masuk.....

Tetapi rasa-rasanya tidak mungkin lagi untuk membuka lubang itu. Betapa dahsyat kekuatan Mahisa Agni dan Witantra, namun kekuatan itu tidak akan dapat dipergunakannya untuk menyingkirkan reruntuhan batu-batu padas yang tertimbun di mulut goa itu.

“Apakah ular itu akan kembali?” bertanya Akuwu.

“Agaknya tidak,” jawab orang tertua, “suara itu jauh sekali. Agaknya ular itu masih marah karena kedua ekor yang lain telah berkelahi.”

Akuwu mengangguk-angguk. Ia pun sependapat, bahwa suara itu terdengar cukup jauh. Meskipun demikian, suara itu telah membuat setiap jantung berdebar-debar.

Untuk beberapa saat lamanya Akuwu Suwelatama dan Mahisa Agni masih sibuk mencari kemungkinan untuk memasuki goa itu. Tetapi mereka tidak melihat kesempatan untuk berbuat demikian, satu-satunya jalan adalah jalan yang mereka lalui untuk keluar. Lewat jalan itu, mereka tidak akan dapat membawa apa pun juga, karena untuk badan mereka sendiri dan selembar senjata, terasa sulit sekali.

Di tempat terpisah Akuwu Suwelatama telah berbicara dengan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan. Ternyata mereka tidak mungkin untuk membawa barang-barang itu pada saat itu juga.

”Tetapi, apakah pada saat yang lain kita akan dapat melakukannya?” bertanya Akuwu.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Tidak mudah untuk melakukannya. Di saat lain kita harus mengadakan kesempatan khusus untuk datang lagi ke tempat itu. Mungkin kita akan bertemu lagi dengan ketiga ekor ular itu. Atau bertemu dengan kesulitan-kesulitan lain yang tidak kita duga.”

“Tetapi untuk membawa sekarang, juga tidak mungkin.” sahut Witantra, “Kita tidak akan dapat mengambilnya dari goa itu.”

Akuwu termangu-mangu. Namun akhirnya Mahisa Bungalan berkata, “Kita tinggalkan barang-barang itu. Kita sudah tahu, bahwa barang-barang itu tersimpan di bukit kapur. Jika pada suatu saat ada kesempatan untuk mengambilnya, biarlah Akuwu mengambilnya bagi kesejahteraan Pakuwonnya. Uang yang dirampas dari tangan rakyat Pakuwon Kabanaran itu biarlah dipergunakan bagi rakyat Kabanaran. Tetapi apabila hal itu tidak mungkin, maka perampok di tempat ini telah dapat ditundukan sampai tuntas. Itu sudah merupakan hasil yang sangat besar. Sementara harta benda itu akan tinggal menjadi harta karun di dalam tanah di bawah bukit itu.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat menunda-nunda lagi. Tiba-tiba saja mereka mendengar sekali lagi ular raksasa itu menguak. Lebih keras dari semula.

“Kedengarannya menjadi semakin dekat.” desis Akuwu.

“Kita tinggalkan tempat ini.” berkata Mahisa Bungalan.

Akuwu segera kembali kepada pengawal-pengawalnya yang menjaga para perampok yang tertawan. Katanya kemudian, “Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Biarlah harta benda itu tertimbun di dalam tanah. Itu lebih baik daripada kita akan hangus dibakar oleh hembusan api dari mulut ular raksasa itu.”

“Ular agaknya menjadi semakin dekat,” berkata orang tertua di antara para perampok, “mungkin perhitunganku keliru.”

Akuwu pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Sejenak kemudian mereka pun telah siap untuk meninggalkan tempat yang mengerikan itu.

Ketika mereka mendengar ular itu sekali lagi menguak, maka Akuwu pun segera memerintahkan para pengawalnya membawa para perampok meninggalkan tempat itu. Mereka menelusuri jalan setapak yang semakin lama menjadi semakin basah.

“Apakah jalan lewat air lebih mudah dari jalan lewat darat ini?” bertanya Akuwu.

“Ya.” jawab orang tertua di antara para perampok.

“Apakah kita akan menempuh jalan air?” bertanya Mahisa Bungalan.

Akuwu masih nampak berpikir. Agaknya ia masih belum dapat mempercayai orang itu sepenuhnya. Orang itu telah mencoba merahasiakan lubang di bawah bukit karang berkapur itu. Seandainya saat itu tidak ada dua ekor ular naga yang bertempur itu, mungkin orang tertua itu masih tetap ingkar.

Meskipun demikian, Akuwu itu pun bertanya Jika kita akan melalui jalan air di rawa-rawa itu, di mana kita akan turun?”

“Sebentar lagi kita akan sampai,” jawab orang tertua itu, “di sela-sela pepohonan air itu terdapat beberapa buah rakit. Sebagian besar dari rakit kita sedang dipergunakan oleh sekelompok yang besar yang pergi ke padukuhan.”

“Sudah aku katakan,” jawab Akuwu, “mereka sudah kami tangkap.”

Orang tertua itu tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya ia memang membawa iring-iringan itu ke tempat yang dikatakannya.

Dalam pada itu, sekali lagi terdengar kuak ular yang menjadi semakin keras. Agaknya ular yang berkepala merah itu benar-benar akan kembali ke bukit karang. Mungkin masih tercium bau darah, atau ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan membuatnya marah.

Namun orang tertua itu terkejut ketika ia melihat sesuatu di dalam air di rawa-rawa itu. Air yang biasanya tenang itu pun nampak bergejolak. Seakan-akan telah terdapat pusaran air yang memutar isi rawa itu.

Ketika sekali nampak gelombang yang besar beriak di wajah rawa itu, maka orang-orang yang berada di tepi rawa-rawa itu pun melihat seekor ular raksasa berwarna hitam sedang menggeliat. Kemudian nampak warna merah mengambang di wajah rawa-rawa itu.

“Ular itu.” geram orang tertua di antara para perampok.

Orang-orang itu pun segera melangkah surut. Namun sejenak kemudian muncullah kepala ular bertanduk itu ke atas permukaan.

“Matilah kita sekarang.” desis orang tertua.

“Cepat, menyingkir!” desis Mahisa Agni.

Ternyata ular itu sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Di kepalanya yang bertanduk itu sedang meleleh darah bercampur air lumpur. Agaknya ular itu masih sedang mengatasi perasaan sakit setelah bertempur melawan ular berwarna kehijau-hijauan itu.

Karena itu, maka ular berwarna hitam lekam dan bertanduk di kepalanya itu sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berada di pinggir rawa-rawa itu.

“Kita tidak dapat mengikuti jalan melalui air.” berkata orang tertua sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

Iring-iringan itu pun kemudian menelusuri jalan setapak, yang mereka lalui pada saat mereka pergi ke bukit karang iju. Mereka telah memutuskan untuk tidak mencoba melalui jalan air. Ular hitam yang kesakitan itu agaknya akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka. Pada saat-saat lain, ular itu memang tidak pernah mengganggu mereka. Sekali kepala ular itu muncul di sebelah pohon raksasa itu, memandangi iring-iringan rakit yang kebetulan lewat. Kemudian hilang lagi ke dalam air. Namun meski pun ular itu tidak dengan sengaja mengganggu mereka, tetapi dalam keadaan kesakitan itu, sentuhan tubuhnya akan dapat menghancurkan rakit-rakit yang lewat.

Dengan tergesa-gesa iring-iringan itu pun kemudian meninggalkan tempat itu semakin jauh. Mereka melalui hutan yang basah oleh air yang meluap dari rawa-rawa di sebelah. Meskipun mereka tidak akan bertemu dengan ular bertanduk itu, namun mereka pun harus berhati-hati terhadap ular-ular kecil yang berkeliaran di tempat yang basah. Ular air yang sebesar jari pun akan dapat membunuh mereka karena bisanya yang tajam.

Beberapa saat kemudian, ternyata mereka tertegun sejenak ketika mereka melihat hutan yang rusak. Pepohonan yang tumbang malang melintang, menjelujur panjang menuju ke ujung lain dari rawa-rawa itu.

“Nampaknya ular hijau yang kesakitan itu.” desis orang tertua di antara para perampok itu.

Sebenarnyalah ular yang berwarna hijau ke coklat-coklatan itu pun telah berusaha untuk menyingkir. Namun oleh perasaan sakitnya, nampaknya ular itu telah merusak hutan yang dilaluinya.

Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ular berkepala merah itu menguak. Tidak terlalu dekat. Nampaknya ular itu berhenti di suatu tempat.

Semakin lama iring-iringan itu pun menjadi semakin jauh. Namun demikian, mereka terkejut ketika mereka melihat api yang menjilat ke udara. Meskipun agak jauh, namun darah mereka rasa-rasanya memang membeku di dalam jantung.

“Kenapa ular itu marah lagi?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Entahlah,” jawab orang tertua itu, “agaknya ia masih mencium bau darah. Atau mungkin karena sebab-sebab yang lain.”

Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka justru berjalan lebih cepat menyusup pepohonan. Orang tertua di antara para perampok itu, seperti juga anak muda yang bersama para pengawal sebagai penunjuk jalan ketika mereka datang, nampaknya telah mengenal jalan itu sebaik-baiknya.

Dengan demikian, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh dari bukit karang berkapur itu, sehingga mereka pun menjadi semakin jauh pula dari ular-ular raksasa yang membuat mereka menjadi sangat ngeri.

Ketika mereka kemudian berpapasan dengan seekor ular yang besarnya melampaui betis kaki, maka mereka sama sekali tidak terkejut. Ketika ular itu berhenti dan mengangkat kepalanya memandangi orang-orang yang Lewat itu, maka mereka tidak menghiraukannya. Karena ular sebesar betis sudah terlalu sering mereka jumpai.

Meskipun demikian, justru ular-ular yang jauh lebih kecillah yang mendapat perhatian. Ular yang tidak segera dapat mereka lihat, bahkan mungkin akan dapat terinjak kaki di atas tanah basah berlumpur di antara semak-semak dan ilalang yang liar.

Ternyata bahwa mereka tidak dapat berjalan terlalu jauh, karena malam segera mulai turun menyelimuti hutan berawa-rawa itu. Seperti ketika mereka berangkat, maka mereka pun berusaha mencari tempat untuk beristirahat pada dahan pepohonan.

Beberapa orang di antara para perampok yang sudah menyerah itu kadang-kadang telah diusik pula oleh satu keinginan untuk melarikan diri. Namun ternyata mereka tidak akan mendapat kesempatan. Mereka menyadari, bahwa para pengawal yang datang ke sarang mereka adalah para pengawal terpilih yang tidak dapat mereka anggap telah lengah pada saat-saat mereka beristirahat.

Karena itu, ketika fajar menyingsing, dan pasukan itu siap untuk melanjutkan perjalanan, tidak seorang pun di antara mereka yang kurang.

Akhirnya, mereka pun telah sampai ke padukuhan di sebelah rawa-rawa yang disebut Kedung Sertu. Mereka segera dikumpulkan dengan kawan-kawan mereka. Dengan demikian mereka tidak dapat lagi menganggap bahwa para pengawal, termasuk Akuwu Suwelatama itu hanya sekedar menipu mereka, dengan mengatakan bahwa pemimpin mereka telah tertangkap.

“Temuilah mereka.” berkata Akuwu Suwelatama kepada para perampok yang dibawanya dari bukit karang berkapur itu.

Orang tertua di antara para perampok itu pun segera menemui pemimpinnya. Mereka sempat saling menceriterakan, bagaimana mereka dapat tertangkap oleh Akuwu Suwelatama.

“Akuwu itu memang cerdik.” desis perampok itu.

“Tetapi kami hampir saja dibinasakan oleh ular-ular raksasa itu,” berkata orang tertua di antara para perampok yang tinggal, “karena itu, aku tidak dapat merahasiakan lagi lubang yang memasuki goa di bawah tanah itu.”

Wajah pemimpin perampok itu menjadi merah. Katanya, “Kau sudah berkhianat.”

“Tidak,” jawab orang tertua itu, “aku tidak mempunyai pilihan lain. Jika pada waktu itu kami tidak memasuki lubang itu, maka kami akan dilumatkan oleh pertarungan antara ular-ular raksasa itu.”

”Dan kau sempat membuka penutup lubang itu? Bukankah untuk membuka bongkahan batu sumbat itu diperlukan waktu?” bertanya pemimpin perampok itu.

“Itulah yang mendebarkan jantung,” berkata orang tertua di antara para perampok yang menunggui sarangnya, “dua orang di antara para pengawal itu ternyata memiliki ilmu iblis. Mereka dapat memecah batu penyumbat itu dengan tangannya.”

“Jangan mengigau. Apakah kau sudah menjadi gila karena kau melihat ular itu bertempur?” geram pemimpinnya.

“Sebaiknya kau melihat sendiri. Ia akan dapat memecahkan kepala seseorang dengan sentuhan tangannya. Tidak usah dengan mengerahkan segenap kemampuannya.” berkata orang tertua itu.

“Tetapi ia tidak melakukannya. Ketika kami bertempur, tidak seorang pun yang kepalanya pecah. Yang terbunuh, adalah karena dadanya koyak oleh pedang, atau lambungnya robek oleh ujung tombak.” berkata pemimpin perampok itu

“Nampaknya orang itu tidak ingin berbuat demikian. Ketika kami bertempur, orang itu pun tidak menunjukkan kelebihannya itu. Tetapi dalam keadaan memaksa, maka dua di antara mereka telah memecahkan batu padas yang menyumbat lubang goa itu.” sahut orang tertua itu, “Dengan demikian kami dapat menyelamatkan diri dari kepunahan. Tetapi dengan demikian orang-orang itu melihat isi goa di bawah tanah itu.”

“Apakah mereka membawanya?” bertanya pemimpin perampok itu.

Orang tertua itu dapat menceriterakan, segala sesuatunya yang terjadi, sehingga semua barang-barang masih tetap berada di dalam goa.

“Entahlah, jika ular berkepala merah itu akan menghancurkan batu karang itu. Ketika kami pergi, ular itu telah marah lagi tanpa sebab.” berkata orang tertua itu.

Pemimpin perampok itu mengangguk-angguk. Memang tidak dapat diingkari, bahwa orang tertua itu, tidak mempunyai pilihan lain.

Namun dalam pada itu, pemimpin perampok itu merasa agak lega dan masih berpengharapan, bahwa pada suatu saat ia akan dapat kembali ke bukit karang berkapur itu untuk mengambil barang-barang yang disimpannya. Meskipun ia tidak mempunyai gambaran, bagaimana ia akan mengambil barang-barang itu dari bawah bukit karang itu.

Apalagi jika ketiga ekor ular raksasa itu masih saja berkeliaran di sekitar bukit itu atau di rawa-rawa di sebelah bukit. Bagaimana juga, ular-ular raksasa itu memang harus diperhitungkan, karena ular-ular itu akan dapat berbuat banyak terhadap siapa pun juga yang mendekati bukit karang itu.

Tetapi selain ular-ular raksasa itu, maka pemimpin perampok itu pun harus berfikir, sampai kapan ia akan berada di tangan Akuwu Suwelatama. Bahkan mungkin ia tidak akan pernah dilepaskan lagi, atau bahkan demikian mereka berada di Pakuwon Kabanaran, para perampok itu akan digantung di alun-alun.

Namun menilik sifat beberapa orang pemimpin dalam pasukan para pengawal itu, pemimpin perampok itu masih mempunyai harapan untuk hidup dan menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah yang disembunyikannya di bawah bukit.

Tetapi kecemasan lain mulai membayang. Jika ada satu dua orang yang telah mendapat kepercayaannya memasuki goa itu ternyata kemudian mendapatkan kebebasannya lebih dahulu, maka orang itulah yang akan mengambil harta benda yang tidak ternilai harganya itu.

Dengan demikian, maka dalam keadaannya itu, pemimpin perampok itu dibayangi oleh berbagai macam bayangan yang muram. Bahkan ia mulai membayangkan, bagaimana ia akan saling memburu dengan kawan-kawannya beberapa tahun mendatang. Mungkin sekali, kawanan perampok itu akan justru saling menyingkirkan kawan-kawannya. Saling memburu dan saling membunuh.

“Persetan!” pemimpin perampok itu menggeram, “itu akan terjadi beberapa tahun mendatang. Sekarang aku menghadapi hukuman yang berat karena perbuatanku itu. Bahkan mungkin hukuman mati.”

Dalam pada itu, untuk beberapa hari mereka masih tetap berada di Padukuhan di sekitar Kedung Sertu. Namun sementara itu Akuwu telah menyiapkan para pengawalnya untuk membawa tawanan mereka kembali ke Pakuwon. Tidak mudah untuk menggiring para perampok yang jumlahnya cukup banyak itu. Meskipun mereka sudah menyerah dan tidak bersenjata, tetapi dalam keadaan yang khusus, mungkin sekali mereka akan melarikan diri.

Tetapi Akuwu tidak mau mengalami kesulitan seperti itu di perjalanan yang panjang. Jumlah yang terlalu banyak dan dendam yang mungkin masih bergejolak di dalam dada para perampok yang tertangkap itu.

Karena itu, maka Akuwu telah mengambil keputusan, untuk memanggil sepasukan pengawal lagi dari Pakuwon Kabanaran, sehingga akan terdapat cukup banyak pengawal yang akan membawa para perampok yang jumlahnya lebih besar dari pengawal yang ada itu.

Demikianlah, Akuwu telah menugaskan tiga orang pengawal untuk pergi ke Pakuwon. Dengan kuda-kuda yang cukup tegar mereka berpacu menuju ke Pakuwon Kabanaran.

Para Senopati yang memimpin pemerintahan selama Akuwu tidak ada, telah mendapat laporan dari ketiga orang pengawal itu. Karena itu, maka mereka pun segera menyiapkan sepasukan pengawal untuk menjemput Akuwu Suwelatama.

Meskipun demikian, para Senopati itu tidak mengabaikan peristiwa yang belum lama telah menimpa Pakuwon Kabanaran. Ketika pasukan beberapa orang Pangeran telah melanda Pakuwon itu seperti banjir, sehingga Akuwu Suwelatama terpaksa menyingkir untuk beberapa saat. Jika saat itu pasukan pengawal dari Kedung Sertu masih belum dapat meninggalkan tugasnya, maka para pengawal itu tidak dapat ikut mempertahankan Pakuwonnya.

“Para Pangeran itu untuk beberapa saat tidak akan berbuat apa-apa.” berkata salah seorang Senopati yang ikut mempertahankan kota Pakuwon pada waktu itu.

“Tetapi mungkin sekali mereka mempunyai perhitungan lain,” jawab kawannya, “justru mereka pun sadar, bahwa kita menganggap mereka tidak akan kembali dalam waktu singkat.”

“Memang perhitungan itu mungkin sekali,” jawab Senopati yang pertama, “tetapi mereka tidak sempat untuk mengumpulkan pasukan yang cukup. Beberapa orang terpenting di antara mereka telah terbunuh. Bahkan salah seorang yang paling diharapkan untuk ikut serta dalam gerakan mereka, ternyata telah berpihak kepada Akuwu Suwelatama.”

Namun dalam pada itu, seorang Senopati yang lebih tua berkata, “Memang kemungkinan bagi para Pangeran itu untuk melakukan gerakan yang besar seperti yang pernah dilakukan adalah kecil sekali. Meskipun demikian, apa salahnya kita berhati-hati. Kadang-kadang kita memang dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak terduga-duga. Memang mungkin para Pangeran itu dapat menghimpun orang-orang yang kurang mengetahui persoalannya dari padepokan-padepokan. Sementara mereka mendapat pengetahuan dan ilmu olah kanuragan dari para pemimpin padepokan itu. Namun kemungkinan yang demikian memang kecil sekali.”

Para Senopati itu pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan dari pihak manapun juga.

Demikianlah, setelah diperhitungkan dengan saksama, maka di bawah pimpinan seorang Senopati, sepasukan pengawal telah meninggalkan kota Pakuwon menuju ke daerah berawa-rawa di Kedung Sertu.

Perjalanan itu sendiri bukannya perjalanan yang sulit. Tidak ada hambatan apa pun di perjalanan. Memang agak berbeda dengan perjalanan dari padukuhan di sekitar rawa-rawa di Kedung Sertu itu menuju ke bukit karang berkapur sarang para perampok itu. Dibanding dengan perjalanan menuju ke bukit karang, maka perjalanan para pengawal dari Pakuwon Kabanaran itu tidak imbang sama sekali. Perjalanan dari kota Pakuwon itu bagaikan perjalanan tamasya yang mengasyikkan.

Meskipun demikian, ketika para pengawal yang menjemput mereka menceriterakan pengalamannya ke sarang para perampok itu, maka kawan-kawannya sulit dapat membayangkannya. Bahkan mereka menganggap kawannya itu sedang bergurau atau membual.

Tetapi ketika para pengawal di bawah Seorang Senopati itu sampai ke padukuhan di daerah Kedung Sertu, maka setiap orang pengawal yang pernah mengikuti sergapan yang mengerikan ke sarang perampok di bukit karang berkapur itu telah menceriterakan hal yang serupa.

“Jadi hal itu benar-benar telah terjadi?” bertanya seorang pengawal.

“Kau kira aku berbohong?” desis kawannya yang ikufmemasuki sarang perampok itu.

“Jadi ular-ular raksasa itu benar-benar ada?” bertanya pengawal itu.

“Ya. Dan mereka benar-benar bertempur di antara mereka.” jawab kawannya, “Jadi selama ini kau anggap kami sekedar membual.”

“Aku kira demikian,” jawab pengawal itu, “tetapi aku dengar Akuwu pun mengatakannya pula. Bahkan Mahisa Bungalan juga berceritera tentang ular-ular raksasa itu.”

“Anak setan,” geram pengawal yang ikut memasuki sarang perampok itu, “selama ini kau anggap kami berbohong atau sekedar mengungkapkan sebuah dongeng menjelang tidur.”

Pengawal itu tertawa. “Aku minta maaf. Tetapi dengan demikian maka kalian telah melakukan satu tugas yang mengerikan.”

“Ya. Pada saatnya akan datang giliranmu.” berkata kawannya pula.

“Tidak. Lebih baik aku tidak mendapat tugas memasuki daerah neraka berawa-rawa itu.” jawabnya.

“Pada suatu saat, Akuwu tentu akan kembali ke tempat itu. Di dalam goa, di bawah bukit karang berkapur itu terdapat harta benda yang tidak ternilai harganya. Harta benda yang telah dikumpulkan oleh para perampok itu bertahun-tahun lamanya. Barang-barang yang terbuat dari emas dengan permata intan berlian. Pendok, timang dan bahkan terdapat sepasang patung emas murni.”

“Dari mana kau tahu bahwa patung itu terbuat dari emas murni?” bertanya kawannya.

“Nampaknya memang demikian,” jawab pengawal yang ikut serta memasuki sarang perampok itu, “tetapi aku tidak tahu, apakah benar patung itu terbuat dari emas murni.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mulai membayangkan, bahwa memang mungkin pada suatu saat, ia akan ditunjuk untuk ikut serta memasuki neraka yang mengerikan itu. Ia tidak akan gentar menghadapi sepasukan prajurit pilihan. Namun menghadapi ular-ular naga raksasa itu, tentu tengkuknya akan meremang. Ular hitam legam bertanduk seperti seekor kerbau. Ular berwarna hijau kecoklat-coklatan dan seekor lagi berwarna merah membara dengan jamang dan sumping di telinganya dan api yang menyembur dari mulutnya,

Tetapi jika perintah itu benar-benar datang kepadanya, maka ia tidak akan mengelak. Apalagi Akuwu sendiri ikut pula dalam pasukan yang bakal disusun untuk kepentingan tersebut.

Dalam pada itu, maka ketika pasukan pengawal itu telah berada di padukuhan tempat para perampok itu ditahan, maka Akuwu segera menyusun pasukannya. Dengan teliti ia memperhitungkan keadaan. Mereka harus kembali sampai ke kota Pakuwon dengan utuh. Juga para tawanan itu harus mereka bawa seluruhnya tanpa seorang pun yang dapat melepaskan diri.

”Jika seorang saja di antara mereka terlepas, maka orang itu tentu akan berusaha untuk kembali ke sarangnya dan menemukan kembali harta benda yang tersimpan.” berkata Akuwu, “Sedangkan harta benda itu akan sangat penting artinya bagi rakyat Pakuwon Kabanaran. Dengan harta benda yang tidak ternilai jumlahnya itu akan dapat dibangun kepentingan rakyat Pakuwon Kabanaran. Tetapi jika harta benda itu jatuh kembali ke tangan para perampok, maka harta benda itu tidak akan mempunyai nilai dan tidak mempunyai arti sama sekali bagi rakyat Pakuwon ini.”

Dengan demikian, maka segala sesuatunya memang harus diperhitungkan dengan cermat. Sementara itu, Akuwu dan para pengawal pun mengetahui, bahwa para perampok itu sudah terbiasa hidup dalam tantangan keadaan yang sangat berat, sehingga mereka akan dapat berbuat sesuatu yang tidak diduga sama sekali.

Setelah segalanya dipersiapkan sebaik-baiknya, maka Akuwu Suwelatama itu pun telah minta diri kepada rakyat di padukuhan di sekitar Kedung Sertu. Sementara rakyat di daerah itu pun mengucapkan terima kasih atas hasil yang telah dicapai oleh Akuwu serta para pengawalnya di daerah itu. Dengan demikian maka mereka akan dapat hidup dengan tenang, tanpa gangguan dari para perampok yang untuk waktu yang cukup lama telah membayangi ketenangan hidup rakyat di daerah di sekitar Kedung Sertu. Bahkan sampai ke padukuhan-padukuhan yang agak jauh.

Seperti yang pernah dilakukan oleh rakyat di daerah Kedung Sertu, mereka mengadakan keramaian yang meriah. Jika beberapa saat yang lalu hal itu dilakukan untuk memancing para perampok agar menganggap bahwa para pengawal telah meninggalkan padukuhan-padukuhan itu, maka yang diselenggarakan kemudian itu benar-benar tumbuh dari satu ungkapan terima kasih terhadap Akuwu Suwelatama dengan para pengawal yang telah membebaskan mereka dari ketakutan dan kegelisahan.

Pemimpin perampok itu mengumpat di dalam hati. Dengan wajah membara ia mengumpat-umpat di dalam bilik tahanannya ketika ia mendengar keramaian di padukuhan itu.

“Aku terjebak oleh suasana seperti ini,” geram pemimpin perampok itu, “jika saat itu aku menyadari, aku tidak akan dikurung di dalam bilik pengab seperti ini.”

Tetapi segalanya telah terjadi. Dan pemimpin perampok itu tidak dapat mengingkari kenyataan itu.

Dengan demikian, maka para perampok itu, termasuk pemimpinnya tidak dapat mengelak, ketika di hari berikutnya, mereka digiring oleh para pengawal menuju ke kota Pakuwon Kabanaran. Karena mereka tidak berkuda, maka perjalanan mereka itu pun menjadi bertambah panjang.

Namun demikian mereka memasuki kota Pakuwon, maka rakyat telah menyambut kedatangan para pengawal dengan meriah. Mereka berdiri memagari jalan menuju ke istana Akuwu Suwelatama. Sambil bersorak-sorak mereka mengangkat tangan mereka melihat hasil yang gemilang dari tugas yang berat yang dipimpin oleh Akuwu suwelatama sendiri.

Sementara itu, para perampok yang merasa dirinya menjadi tontonan itu telah mengumpat-umpat. Bukan saja di dalam hati, tetapi ada di antara mereka yang tidak dapat menahan hati sehingga kemarahannya telah meledak.

“Jika saja tanganku tidak terikat.” geramnya.

Kawannya yang berjalan di sampingnya memandanginya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga, meskipun di dalam hati ia bertanya, “Ketika kita menyerah, bukankah tangan kami juga belum terikat?”

Demikianlah, maka satu tugas yang berat telah terselesaikan. Akuwu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa yang telah banyak memberikan bantuan, pikiran dan kemampuannya adalah Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra. Karena itu, maka secara khusus Akuwu pun telah menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka.

Namun dalam pada itu, Akuwu itu pun berkata, “Masih ada satu tugas yang sama beratnya. Menyelesaikan persoalan yang serupa di hutan perbatasan.”

“Ya. Tetapi aku kira kekuatan Pakuwon ini telah terkumpul. Semua kekuatan akan dapat dipusatkan di hutan perbatasan.” jawab Mahisa Bungalan, “Sementara itu, agaknya Pangeran Indrasunu masih belum mungkin untuk bergerak.”

“Aku kira memang demikian,” sahut Akuwu, “tentu kami tidak akan dapat menahan kalian terlalu lama di sini. Tetapi apa yang pernah kita lakukan di Kedung Sertu akan merupakan pelajaran yang sangat berharga. Meskipun mungkin para perampok di hutan perbatasan itu sudah mendengar pula tentang apa yang terjadi, sehingga mereka akan lebih berhati-hati.”

“Mungkin demikian,” berkata Mahisa Agni, “mungkin mereka tidak akan dapat terpancing lagi dengan cara yang kita lakukan di Kedung Sertu.”

“Harus dicari cara yang lain,” sambung Witantra, “tetapi aku yakin, Akuwu tidak akan kekurangan akal. Meskipun di hutan perbatasan itu Akuwu akan bersentuhan dengan Pakuwon tetangga.”

“Ya. Aku memang harus memperhitungkan kemungkinan itu.” berkata Akuwu Suwelatama.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra telah menganggap bantuan yang mereka berikan telah cukup. Mereka akan menyerahkan penyelesaian masalah para perampok di hutan perbatasan kepada Akuwu Suwelatama yang kekuatan para pengawalnya telah dapat dikumpulkan. Pengawalnya yang berada di daerah-daerah yang tersebar telah dapat ditarik, selain pasukan yang berada di hutan perbatasan itu sendiri, sehingga apabila diperlukan, maka seluruh kekuatan pasukan pengawal Pakuwon Kabanaran akan dapat berada di hutan perbatasan.

Tetapi ada kesulitan tersendiri di hutan perbatasan itu. Sarang para perampok tidak berada di tlatah Pakuwon Kabanaran itu sendiri, sehingga apabila mereka ingin langsung memasuki sarang para perampok, maka mereka harus memasuki daerah tetangga. Hal itulah yang akan dapat menumbuhkan kesulitan tersendiri.

“Sebenarnya kami masih sangat memerlukan bantuan kalian,” berkata Akuwu, “tetapi apa boleh buat. Kami sudah cukup membuat kalian mengalami banyak kesulitan. Dan selebihnya, kami harus mengakui, tanpa kalian, segala usaha kami telah gagal.”

”Tentu tidak,” jawab Mahisa Agni, “sebenarnya kami juga ingin ikut serta menyelesaikan segala masalah yang timbul. Tetapi kami sudah terlalu lama meninggalkan Singasari.”

“Baiklah,” berkata Akuwu, “menurut perhitunganku, penyelesaian masalah para perampok di hutan perbatasan perlahan-lahan akan dapat kami selesaikan. Kami akan menjajagi kemungkinan dengan mempergunakan cara yang sama seperti yang kita rencanakan sejak semula. Bahkan kita sudah pernah mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukannya atas hutan perbatasan itu lebih dahulu, sebelum Kedung Sertu. Tetapi akhirnya kita memutuskan untuk memasuki daerah rawa-rawa itu lebih dahulu.”

“Mungkin Akuwu dapat menempuh jalan lain,” berkata Mahisa Agni kemudian, “mungkin Akuwu dapat mempersoalkannya dengan Akuwu di Pakuwon seberang hutan perbatasan. Bukan sekedar pemimpin pasukan pengawal yang ada di daerah itu. Jika perlu Akuwu dapat memohon bantuan dari para pemimpin di Kediri untuk menyelesaikan masalah ini.”

Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Segala jalan akan aku tempuh. Mudah-mudahan aku berhasil. Bahkan aku akan mencoba membujuk Akuwu di seberang hutan perbatasan, bahwa mereka akan berhak memiliki harta benda yang tersimpan di daerah mereka yang akan dapat di pergunakan bagi kepentingan rakyat banyak.”

“Mungkin hal itu akan menarik pula, Akuwu.” sahut Witantra, “Akuwu akan dapat memberikan contoh apa yang terdapat di dalam goa itu. Sayang harta benda yang tidak ternilai harganya itu belum dapat kita angkat keluar.”

Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan, Witantra dan Mahisa Agni telah bersiap-siap untuk kembali ke Singasari, seorang utusan dari daerah hutan perbatasan telah datang menghadap Akuwu Suwelatama.

“Apakah ada yang penting yang akan kau laporkan?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Ampun Akuwu,” jawab penghubung itu, “ternyata bahwa para perampok yang memang mendapat perlindungan dari para pengawal di Pakuwon Watu Mas.”

“Kenapa kau berkata demikian?” bertanya Akuwu.

“Ketika para pengawal dari Kabanaran mengejar beberapa orang perampok sampai ke perbatasan, maka tiba-tiba saja kami sudah berhadapan dengan para pengawal dari Pakuwon Watu Mas.” jawab penghubung itu.

“Mungkin para pengawal dari Pakuwon sebelah belum mengerti, apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Kami sudah mengatakan, Sang Akuwu, bahwa kami sedang mengejar sekelompok perampok,” jawab penghubung itu, “tetapi pimimpin pengawal dari Watu Mas justru menuduh kami menyebarkan ketakutan dan kekalutan di daerah Pakuwon Watu Mas.”

“Mungkin terjadi salah paham,” berkata Akuwu Suwelatama, “karena itu, sampaikan perintahku. Agar untuk sementara semua kegiatan dilakukan di Pakuwon kita sendiri. Kita tidak akan memasuki Pakuwon sebelah sebelum aku dapat menemui Akuwu di Watu Mas.”

“Tetapi setiap kali kesempatan yang sudah ada di hadapan hidung kita terpaksa terlepas lagi, Sang Akuwu. Mereka selalu melarikan diri ke daerah seberang perbatasan.” jawab penghubung itu, “Seandainya Akuwu dari Pakuwon Watu Mas tidak dengan sengaja melindungi mereka, maka kami tentu akan dapat menangkap mereka. Setidak-tidaknya sebagian dari mereka. Atau justru pasukan pengawal dari Watu Mas menahan agar para perampok itu tidak memasuki wilayahnya untuk memberi kesempatan kami dapat menangkap mereka.”

“Sudahlah,” berkata Akuwu, “sampaikan saja perintahku.”

Penghubung itu termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat membantah lagi.

Meskipun demikian, tiba-tiba saja ia berkata, “Sang Akuwu. Kami mohon ampun, bahwa kami telah melakukan sesuatu mendahului perintah tuanku.”

“Apa yang sudah kalian lakukan?” bertanya Akuwu.

“Karena sebagian dari kami tidak dapat mengendalikan perasaan lagi, maka kami telah menugaskan dua orang petugas sandi untuk memasuki wilayah Pakuwon Watu Mas. Menurut pengamatan para petugas sandi, sebenarnyalah bahwa para perampok itu mendapat perlindungan dari para pengawal di Watu Mas. Para pengawal di Watu Mas itu ternyata mendapat sebagian dari hasil kejahatan para perampok itu.”

“Apakah Akuwu di Watu Mas mengetahuinya?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Semula Akuwu di Watu Mas itu memang tidak mengetahui. Kami masih berpengharapan bahwa pada suatu saat, apabila Akuwu di Watt Mas mengetahui perbuatan sebagian dari para pengawalnya itu, ia akan mengambil satu tindakan.” jawab penghubung itu, “Namun ternyata sesuatu perkembangan baru telah terjadi. Seorang Pangeran dari Kediri telah datang ke Pakuwon Watu Mas. Nampaknya sebelum terjadi hubungan antara Pangeran itu dengan Akuwu di Watu Mas, Pangeran itu telah lebih dahulu berhubungan dengan para pemimpin pengawal di perbatasan.”

“Siapakah nama Pangeran itu?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Pangeran Indrasunu.” jawab penghubung itu.

“Adimas Indrasunu.” desis Akuwu Suwelatama. Sementara itu Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra yang kemudian mendengar berita itu pula dari Akuwu telah menggeleng-gelengkan kepalanya.

Laporan itu memang sangat menarik perhatian. Ternyata api yang menyala di dalam dada Pangeran Indrasunu itu masih belum padam.

“Dari mana ia mendengar pertentangan yang terjadi di perbatasan itu?” desis Mahisa Agni.

“Ia mencari segala cara untuk mencari kepuasan dengan melepaskan dendamnya.” berkata Akuwu Suwelatama.

Karena peristiwa yang berkembang itulah, maka Akuwu tidak dapat menganggap bahwa penyelesaian dengan para perampok itu akan dapat diselesaikan sebagaimana mereka menyelesaikan para perampok di Kedung Sertu. Meskipun di Kedung Sertu mereka mengalami satu peristiwa yang sangat mengerikan, namun yang mereka hadapi waktu itu bukanlah hubungan dengan seseorang. Ular-ular raksasa itu tidak akan menganggap perkembangan persoalan yang terjadi akan menjadi semakin meluas. Yang sudah terjadi itu bukan merupakan persoalan lagi bagi ular-ular raksasa itu dengan Pakuwon Kabanaran. Tetapi tentu tidak demikian dengan Pakuwon Watu Mas yang telah berhubungan dengan Pangeran Indrasunu.

“Akuwu harus segera memberikan penjelasan.” berkata Mahisa Bungalan.

“Ya. Ternyata aku terlambat. Aku berusaha menyelesaikan persoalan yang berkembang di Kedung Sertu, karena aku tidak menduga sama sekali, bahwa adimas Indrasunu masih meneruskan pemanjaan dendamnya.” berkata Akuwu Suwelatama.

“Apakah Akuwu akan pergi ke Pakuwon Watu Mas?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. Secepatnya. Sementara aku memerintahkan agar para pengawal tetap menjaga diri dan menahan perasaan mereka.” berkata Akuwu Suwelatama.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia mulai memikirkan perkembangan baru yang terjadi. Sementara itu tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata, “Paman, jika paman berdua berkenan, biarlah aku tinggal di sini, sementara paman berdua dapat kembali ke Singasari.”

Mahisa Agni memandangi Witantra sekilas. Dalam pada itu, Witantra itu pun berkata, “Bukankah kita tidak berkeberatan?”

Mahisa Agni mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan dapat melaporkannya, bahwa terjadi satu perkembangan baru sehingga Mahisa Bungalan masih akan tinggal barang satu dua pekan di Pakuwon ini.”

“Aku akan sangat berterima kasih,” berkata Akuwu Suwelatama, “dengan demikian, aku akan mendapat kawan untuk berbincang tentang Pangeran Indresunu. Bakankah pangkal dari persoalan yang terjadi dengan Pangeran Indrasunu menyangkut juga Mahisa Bungalan.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Karena itu aku akan tinggal.”

Demikianlah, maka Mahisa Bungalan telah menggagalkan niatnya untuk kembali ke Singasari. Ia masih ingin untuk melibatkan diri dalam kegiatan Akuwu Suwelatama dalam hubungannya dengan Pakuwon tetangganya, yang ternyata telah disentuh pula oleh Pangeran Indrasunu.

Ketika di hari berikutnya Mahisa Agni dan Witantra siap untuk meninggalkan Pakuwon, maka Mahisa Bungalan dan Akuwu Suwelatama telah melepaskannya di regol istana Akuwu. Berkali-kali Akuwu mengucapkan terima kasih. Sementara Mahisa Agni danWitantra pun berpesan, agar Mahisa Bungalan tidak terlalu lama berada di Pakuwon itu.

“Jika persoalannya menjadi terang, kau harus segera kembali.” pesan Mahisa Agni.

“Ya, Paman,” jawab Mahisa Bungalan, “aku akan segera kembali.”

“Ada masalah yang menunggumu,” berkata Witantra, “bukan saja dalam hubungannya dengan kedudukanmu sebagai calon Senopati. Tetapi juga dalam hubungan dengan hidupmu sendiri.”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang Ken Padmi di rongga matanya. Namun yang akan dihadapinya itu pun semula bersumber pada persoalan Ken Padmi itu pula.

Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra pun kemudian meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Dua orang yang sudah menjadi semakin tua. Namun sebagai orang yang terbiasa menempa hidupnya dengan berbagai macam persoalan,maka keduanya masih nampak segar.

Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Akuwu Suwelatama pun telah mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Akuwu di Watu Mas. Mereka ingin menjelaskan persoalan yang sebernarnya. Jika mungkin, maka persoalan itu akan diselesaikan sebaik-baiknya tanpa kekerasan. Persoalan akan dikembalikan kepada masalah yang sebenarnya. Persoalan para perampok di perbatasan.

Dalam pada itu, sebelum Akuwu Suwelatama mengunjungi Akuwu di Watu Mas, maka ia telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk menghadap dan menyampaikan pesannya, bahwa Akuwu Suwelatama ingin bertemu dan berbincang tentang masalah yang berkembang antara kedua Pakuwon yang bertetangga itu.

Namun ternyata bahwa jawaban Akuwu di Watu Mas telah menggetarkan jantung Akuwu Suwelatama.

“Menurut Akuwu di Watu Mas,” berkata penghubungannya, “kedatangan Akuwu Suwelatama ke Watu Mas tidak akan ada gunanya. Tidak ada masalah yang perlu diperbincangkan, karena antara Kabanaran dan Watu Mas tidak ada persoalan apa-apa. Tetapi jika Akuwu di Kabanaran akan berkunjung ke Watu Mas, maka akan diterima dengan senang hati.”

Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Akuwu di Watu Mas tidak bersedia untuk berbicara. Tetapi, bagaimanapun juga ia ingin bertemu langsung. Bagaimanapun juga, maka kesempatan untuk bertemu itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.

“Bagaimana mungkin Akuwu di Watu Mas itu menganggap tidak ada persoalan antara Kabanaran dan Watu Mas?” berkata Mahisa Bungalan.

”Akuwu di Watu Mas akan mempertahankan keadaan seperti sekarang ini. Dan itu berarti kesulitan bagi kita untuk menghapus kejahatan itu sampai ke akarnya.” berkata Akuwu Suwelatama. Lalu, ”Tetapi kesediaannya untuk menerima kedatangan kita, sudah pantas untuk hargai.”

Pada hari yang ditentukan,maka Akuwu telah berangkat ke Watu Mas bersama Mahisa Bungalan dan ampat orang pengawal. Mereka telah mempersiapkan beberapa masalah yang akan mereka bicarakan dengan Akuwu di Watu Mas dengan tidak langsung, karena Akuwu di Watu Mas sudah mengatakan bahwa ia tidak merasa perlu untuk berbicara tentang apa pun juga dengan Akuwu Suwelatama.

Dalam pada itu, sebenarnyalah penerimaan Akuwu di Watu Mas terhadap kehadiran Akuwu Suwelatama terasa sangat sepi. Seoalah-olah yang datang itu bukanlah seorang Akuwu dari Pakuwon tetangga. Akuwu di Watu Mas menerima kehadiran Akuwu Suwelatama tidak dalam satu upacara penerimaan sebagaimana biasanya. Tetapi, Akuwu menerimanya sebagai salah seorang tamu biasa, bahkan mirip dengan keluarganya.

“Kakangmas Akuwu Suwelatama sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.” berkata Akuwu di Watu Mas.

Nampaknya sikap itu memang sangat akrab. Tetapi Akuwu Suwelatama mengerti, bahwa Akuwu di Watu Mas benar-benar tidak ingin berbicara tentang persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan antara kedua Pakuwon itu.

Tetapi Akuwu Suwelatama mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin. Bukan saja di medan peperangan, tetapi dalam hubungan antara pemimpin-pemimpin pemerintahan.

Karena itu, maka ia tetap tersenyum, betapapun hatinya merasa tersinggung. Bahkan katanya kemudian, “Aku tidak mengira, bahwa aku akan disambut demikian akrabnya. Karena itu sewajarnya aku mengucapkan beribu terima kasih.”

Dalam pada itu, Akuwu di Watu Mas menyambut tamu-tamunya tidak dengan para pemimpin pemerintahan Pakuwon Watu Mas. Tetapi yang menyambut Akuwu Suwelatama adalah anggauta keluarganya. Isterinya, anak-anaknya.

“Pamanmu Pangeran Suwelatama yang memegang kekuasaan di Pakuwon Kabanaran.” berkata Akuwu di Watu Mas kepada anak-anaknya. Lalu, “Yang lain adalah para pengawalnya. Bagaimanapun juga, seorang Akuwu memang memerlukan pengawalan yang sebaik-baiknya.”

Jantung Mahisa Bungalan berdegup semakin cepat. Namun demikian Akuwu Suwelatama masih juga tersenyum sambil menyahut, “Pamanmu memang seorang yang kurang lumrah. Baru kali ini pamanmu sempat datang kemari. Aku bertemu dengan ayahandamu justru pada saat-saat kami menghadap ke Kediri. Hampir setengah tahun sekali. Dalam pasowanan Agung. Karena pada saat-saat pasowanan yang lain, mungkin waktu kami tidak bersamaan. Dan di samping itu setahun sekali kami bertemu di Singasari.”

Anak-anak Akuwu di Watu Mas itu mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, Akuwu Suwelatama tidak segera kehilangan akal. Meskipun satu dua patah kata, ia masih ingin berbicara tentang para perampok di hutan perbatasan.

Dalam pembicaraan yang seolah-olah benar-benar akrab, maka Akuwu Suwelatama sempat bertanya tentang musim di Watu Mas.

“Musim kering kali ini, agaknya memang terlalu panjang.” jawab Akuwu di Watu Mas.

“Apakah hal itu tidak mempengaruhi kehidupan para petani?” bertanya Akuwu Suwelatama.

“Tentu, kakangmas,” jawab Akuwu di Watu Mas, ”hasil sawah tahun ini memang agak turun.”

“O,” Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk, “apakah adimas tidak berusaha untuk berbuat sesuatu bagi kepentingan para petani?”

“Yang dapat kami usahakan adalah menghemat air, memperbaiki bendungan dan mengatur penggunaan air itu.” jawab Akuwu di Watu Mas.

Akuwu Suwelatama mengangguk. Lalu katanya, “Memang menjadi kewajiban kita. Setiap kesulitan yang diderita oleh rakyat kita, adalah kesulitan kita. Setiap keluhan rasa-rasanya jantung kitalah yang telah berdesir. Hal yang serupa telah aku rasakan pula. Musim kering ini memang terlalu panjang. Apalagi di daerah Kabanaran arus sungai-sungai pun menjadi semakin kecil.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar