Panasnya Bunga Mekar Jilid 26

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Ketika Pangeran Suwelatama sampai di tempat persembunyiannya, maka keadaannya masih belum berubah. Tapi para pengawalnya mulai memperingatkan bahwa persediaan makanan akan menjadi semakin tipis di hari-hari mendatang.

“Apabila keadaan tidak segera dapat diatasi, maka kemungkinan kita akan kehabisan persediaan makanan.” lapor seorang petugas.

Pangeran Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan dalam waktu dekat, kita akan dapat kembali ke kota Pakuwon kita. ”

“Berapa hari lagi kita akan menunggu?” bertanya seorang Senopati.

“Dua hari lagi pasukan Singasari itu akan datang,” jawab Pangeran Suwelatama, “dua hari satu malam. Mereka datang tidak untuk menumpas pemberontakan. Tetapi mereka akan berusaha mengusir para penjahat yang telah berani mengganggu ketenangan Pakuwon Kabanaran.”

Para Senopati itu pun mengerti, bahwa Pangeran Suwelatama masih belum sanggup menyebut adik-adiknya itu sebagai pemberontak yang harus dibinasakan sebagai pengkhianat.

Dua hari adalah waktu yang terasa terlalu panjang. Namun pada hari pertama menjelang kedatangan pasukan Singasari, pasukan dari padang Padiangan telah datang lebih dahulu.

Senopati yang memimpin pasukan itu dengan serta merta menghadap Akuwu Suwelatama dan mohon diperintahkan untuk merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran.

“Kami sanggup melakukannya, Sang Akuwu.” Senopati itu menjelaskan.

Tetapi Akuwu Suwelatama menggeleng. Katanya, “Kau belum melihat kekuatan mereka. Memang sangat mengejutkan. Menurut perhitungan kami, kalian tidak akan sanggup merebut kembali meskipun kalian akan membawa pasukan yang tersisa di sini. Pasukan di daerah perbatasan masih belum dapat meninggalkan tugas mereka, demikian pula pasukan yang berada di sekitar Kedung Sertu.”

Senopati itu menjadi kecewa. Namun ia masih bertanya, “Apakah kekuatan mereka demikian besarnya?”

“Ya. Kekuatan mereka cukup besar. Apalagi mereka kini sempat membujuk anak-anak muda dengan janji yang manis dan dengan pemberian yang dapat menyenangkan hati mereka, sehingga mereka bersedia untuk memperkuat pasukan Pangeran Indrasunu dan Resi Damar Pamali.”

“Resi Damar Pamali?” ulang Senopati itu.

“Ya. Kau dapat membayangkan kemampuan Resi Damar Pamali dan dua orang pemimpin padepokan lainnya. Sementara itu, ampat orang Pangeran telah menyediakan beaya untuk tingkah laku mereka yang membosankan itu.”

“Jadi, apakah kita hanya akan menunggu?” bertanya Senopati itu.

“Tidak. Aku sudah mendapat persetujuan dari Senopati di Singasari. Tetapi mereka akan datang bukan untuk membinasakan sebuah pemberontakan. Aku masih berusaha menjaga nama baik keempat Pangeran yang masih muda itu. Pasukan Singasari datang untuk membersihkan Pakuwon ini dari tindak kejahatan.”

“Tetapi bukankah dengan demikian, seolah-olah Pakuwon ini tidak dapat mengatasi kesulitannya sendiri?” bertanya Senopati itu.

“Sebenarnyalah aku dalam kesulitan. Aku tidak sampai hati menarik pasukanku yang berada di daerah yang rakyatnya terancam langsung oleh kejahatan itu.” jawab Akuwu, “Karena itu, aku mohon sepasukan kecil prajurit Singasari dan sekelompok kecil pula pasukan pengawal kakangmas Wirapaksi. Selanjutnya bersama dengan kalian, mereka akan merebut kembali kota Pakuwon yang kini diduduki oleh Pangeran Indrasunu dan saudara-saudaranya.”

Senopati itu mengangguk-angguk. Tetapi menunggu sampai keesokan harinya adalah pekerjaan yang sangat membosankan.

Namun kehadiran mereka membuat Akuwu menjadi semakin tenang. Jika Pangeran Indrasunu mengetahui persembunyian mereka, maka dengan kekuatan yang ada, pasukan Akuwu tidak akan dengan mudah dibinasakan. Meskipun dengan pasukan yang ada itu, mereka masih belum mungkin untuk merebut kota kembali.

Betapapun mereka menahan diri, namun akhirnya pasukan yang mereka tunggu itu pun datang. Pasukan itu memang tidak begitu besar, dipimpin oleh Mahisa Bungalan, yang didalamnya terdapat Mahisa Agni dan Witantra. Sementara itu pasukan lain yang lebih kecil lagi, dipimpin oleh Pangeran Wirapaksi sendiri berada pula bersama dengan pasukan Singasari itu.

“Pasukan kami memang tidak terlalu besar,” berkata Mahisa Bungalan ketika ia menghadap Pangeran Suwelatama, “tetapi kami berharap bahwa kami akan dapat membantu.”

“Terima kasih,” jawab Pangeran Suwelatama, ”meskipun pasukan itu tidak terlalu besar, tetapi kami mengerti, nilai kemampuan pasukan itu.”

Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, “Tidak terlalu baik. Tetapi aku akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya sehingga segalanya akan cepat berakhir.”

Demikianlah maka Mahisa Bungalan pun kemudian mengadakan pembicaraan-pembicaraan khusus dengan Akuwu Suwelatama dan para pemimpin dari Pakuwon Kabanaran, di antaranya Senopati yang memimpin pasukan Pakuwon itu ke padang Padiangan.

“Apakah kita akan memasuki kota itu besok?” bertanya Senopati yang tidak sabar lagi itu.

“Segalanya terserah kepada Akuwu,” jawab Mahisa Bungalan, “aku kurang menguasai medan, sehingga aku memerlukan banyak keterangan dan petunjuk sehingga pasukanku akan dapat menempatkan diri sebaik-baiknya. Kami pun memerlukan waktu untuk mengenal siapakah kawan-kawan kami di dalam pertempuran yang bakal terjadi, agar pada saat-saat yang gawat tidak akan terjadi salah paham.”

“Baiklah,” berkata Akuwu, “kita akan menentukan segalanya. Kita akan menunjukkan siapakah yang akan berada di pasukan ini dengan ciri-ciri yang dapat segera dikenal.”

“Dengan demikian, maka kita akan dengan rancak merebut kembali daerah yang sudah diduduki oleh Pangeran Indrasunu.” berkata Mahisa Bungalan.

Karena itulah, maka mereka tidak segera dapat menuju ke medan pada hari berikutnya. Pangeran Suwelatama masih harus mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya untuk saling mengenal dengan pasukan yang datang dari Singasari dengan ciri-ciri yang tidak akan dapat menimbulkan salah paham. Mereka pun telah memperkenalkan cara yang akan mereka pergunakan bagi masing-masing bagian dari pasukan itu dan gelar yang akan mereka pilih

Akhirnya Pangeran Suwelatama telah menentukan, bahwa mereka akan mempergunakan gelar yang melebar apabila mereka mendekati kota. Mereka akan berusaha memancing pertempuran di luar kota, agar tidak terlalu banyak menimbulkan kerusakan.

“Gelar Cakra Byuha,” berkata Pangeran Suwelatama, “aku sendiri akan berada di pusat gelar. Dan aku berharap bahwa para Senopati dari pasukan Singasari pun akan berada bersamaku. Terutama Mahisa Bungalan dan Wasi Sambuja.”

Mahisa Bungalan mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Pangeran. Aku akan berada bersama Pangeran. Aku berharap dapat bertemu dengan Pangeran Indrasunu.”

“Baik. Sementara itu, aku berharap bahwa Wasi Sambuja akan dapat menahan pemimpin padepokan yang nampaknya telah dibekali dengan ketidakpuasan sejak ia sebelum mengasingkan diri. Resi Damar Pamali.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, Pangeran. Aku akan menemui orang tua yang hatinya patah itu. Aku akan berusaha untuk mencegahnya berbuat terlalu banyak. Mudah-mudahan aku dapat menemuinya di medan.”

Sementara itu, Pangeran Suwelatama telah menunjuk Mahisa Agni dan Witantra untuk berada di sayap pasukannya. Sementara itu ia berharap agar pasukan Pangeran Wirapaksi dapat berada di induk pasukan bersama sebagian dari pasukan pengawal Akuwu sendiri. Pasukan terpilih yang tidak terpisah daripadanya. Sedangkan pasukannya yang lain telah dibagi di kedua sayap, sebagaimana pasukan Singasari yang terbagi pula. Dua orang Senopati telah mendapat perintah dari Akuwu untuk berada bersama Mahisa Agni dan Witantra masing-masing di sayap kiri dan kanan.

Demikianlah ketika gambaran gelar itu sudah siap dan mantap, maka bersiaplah pasukan Akuwu Suwelatama untuk merebut kembali kota Pakuwon yang telah berada di tangan Pangeran Indrasunu bersama tiga orang Pangeran yang lain dibantu oleh Resi Damar Pamali.

Namun sekali lagi Pangeran Suwelatama mengharap agar pasukan Singasari tidak menganggap Pangeran-Pangeran muda itu sebagai pemberontak. Mereka masih dapat diarahkan sesuai dengan umur mereka yang masih muda.

Baru pada hari berikutnya, maka pasukan Akuwu Suwelatama itu mulai bergerak. Dengan sengaja Akuwu telah memerintahkan sepasukan kecil mendahului pasukan induknya, agar dengan demikian, petugas sandi yang melihat kedatangan pasukan itu, akan memberikan laporan dan memancing pasukan lawan untuk menyongsong pasukannya di luar kota.

Ternyata bahwa usaha Akuwu itu berhasil. Beberapa orang pengawas melihat sepasukan kecil menelusuri jalan setapak menuju ke gerbang kota. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa laporan pun segera sampai kepada para petugas di pintu gerbang.

Sejenak kemudian, maka telah terdengar isyarat yang mengumandang di seluruh kota.

Isyarat itu memang telah mengejutkan Pangeran Indrasunu dan ketiga saudaranya. Bahkan Resi Damar Pamali menjadi ragu-ragu, apakah isyarat itu benar sebagaimana didengarnya.

Namun akhirnya telah datang menghadap seorang petugas sandi yang melaporkan bahwa pasukan Akuwu Suwelatama telah mendekati gerbang kota.

Pangeran Indrasunu yang kurang mempercayainya itu pun segera bertanya, “Apakah pasukan itu cukup kuat untuk melawan pasukan kita?”

Petugas itu menggeleng. Katanya, “Menurut laporan, pasukan itu tidak terlalu kuat. Bahkan terlalu kecil. Tetapi apakah pasukan itu sudah merupakan pasukan dalam keseluruhan, atau sekedar sebagian dari pasukan yang lebih besar, masih belum diketahui.”

Resi Damar Pamali pun kemudian berkata, “Kita jangan terjebak. Mungkin pasukan itu nampaknya adalah pasukan yang tidak terlalu kuat. Namun apabila kita menyongsong dengan kekuatan seimbang, mereka akan menjebak kita.”

“Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya Pangeran Indrasunu.

“Kita siapkan pasukan untuk menahan mereka, namun pasukan yang kuat pun harus dipersiapkan pula.” jawab Resi Damar Pamali.

Dengan demikian maka para pemimpin laskar yang telah menduduki Kabanaran itu pun segera mempersiapkan pasukan masing-masing. Sebagian dari mereka harus lebih dahulu keluar pintu gerbang kota untuk menahan pasukan yang telah menyerang.

Ternyata bahwa pasukan Pangeran Suwelatama itu tidak langsung mendekati pintu gerbang. Mereka menunggu beberapa ratus tonggak dari batas kota.

Sebagaimana diharapkan, maka pasukan Pangeran Indrasunu pun telah keluar dari kota. Ternyata bahwa yang menyongsong pasukan kecil itu hanya pasukan yang seimbang dengan kekuatan yang datang.

“Mereka memang sombong.” berkata Senopati yang memimpin pasukan kecil itu.

“Tetapi kita harus berhati-hati,” jawab Senopati pembantunya, “mungkin di belakang pasukan itu telah disiapkan pasukan yang lebih besar, namun untuk itu diperlukan waktu, sehingga untuk sementara mereka mengirimkan pasukan yang dapat mereka siapkan dalam sekejap dengan imbangan kekuatan yang tidak terpaut banyak. Baru kemudian yang lain akan datang dan menumpas kita.”

Senopati yang memimpin pasukan kecil itu mengangguk-angguk. Namun tugas mereka adalah memancing pertempuran di luar kota. Karena itu, maka setelah pertempuran terjadi, maka kekuatan induk pasukan Akuwu Suwelatama itu pun akan segera datang.

Demikianlah, maka pasukan kecil itu pun segera terlibat dalam pertempuran. Pasukan Pangeran Suwelatama adalah pasukan pengawal yang terlatih, sehingga dalam banyak hal nampak mereka memiliki kelebihan dari lawan-lawannya. Meskipun demikian bukan berarti bahwa pasukan yang keluar dari gerbang kota itu tidak memiliki orang-orang yang berilmu tinggi. Beberapa orang ternyata mampu membuat para pengawal menjadi kebingungan, sehingga mereka harus berpasangan menghadapinya.

Seorang putut ternyata telah mengacaukan beberapa orang pengawal di dalam pasukan Pangeran Suwelatama. Sehingga dengan demikian, maka Senopati pasukan kecil itu harus mengambil langkah khusus untuk menghadapinya.

Dalam pada itu, pasukan Pangeran Suwelatama dalam, gelar Cakra Byuha telah mendekati arena. Seorang penghubung telah melaporkan, bahwa pasukan kecil yang memancing pasukan lawan keluar dari gerbang kota telah terlibat dalam pertempuran. Tetapi lawan mereka pun tidak terlalu banyak, sehingga kedua pasukan itu pun nampaknya seimbang.

Karena itu, maka Pangeran Suwelatama merasa perlu untuk mengejutkan lawannya. Beberapa orang pengawal telah diminta untuk membunyikan sangkakala. Dengan demikian, maka kedatangan induk pasukan Pangeran Suwelatama itu akan mempunyai pengaruh yang besar pada ketahanan perasaan lawan.

Suara Sangkakala itu benar-benar telah mempengaruhi perasaan pasukan Pangeran Indrasunu. Rasa-rasanya bulu-bulu mereka telah meremang. Seakan-akan sudah terbayang kedatangan satu pasukan yang sangat besar.

Karena itu, maka dua orang penghubung dengan tergesa-gesa telah memasuki gerbang kota dan melaporkan, bahwa pasukan yang lebih besar telah datang.

Ternyata Resi Damar Pamali pun sudah siap. Dengan kekuatan yang besar, ia memimpin pasukannya keluar dari gerbang kota.

“Apakah lawan yang datang telah memasang gelar?” bertanya Resi Damar Pamali

“Nampaknya mereka menebar.” jawab penghubung itu.

“Kita akan membuat gelar yang serupa untuk mengimbangi mereka. Kita akan membuat gelar yang menebar. Garuda Nglayang.” berkata Resi Damar Pamali.

Resi Damar Pamali sendiri akan berada di paruh pasukannya. Kemudian dua Pangeran akan bersamanya sebagai Senopati Pengapit. Sementara dua orang Pangeran yang lain bersama guru mereka akan berada di sayap. Mereka akan memimpin sayap kiri dan sayap kanan.

“Kita akan melihat, gelar apakah yang mereka pergunakan,” berkata Resi Damar Pamali, “jika perlu kita akan merubah gelar ini untuk menyesuaikan diri.”

Demikianlah pasukan itu pun berjalan mendekati arena. Mereka tidak menghiraukan lagi sawah yang sedang ditumbuhi oleh batang padi yang hijau. Mereka maju dalam gelar yang sudah siap untuk bertempur.

“Kita akan menarik pasukan kecil itu untuk memasuki gelar,” berkata Resi Damar Pamali, “sayap kiri akan terbuka, dan pasukan itu akan memasuki gelar ini, langsung berada di induk pasukan. Jika ada lawan yang berusaha mengejar, biarlah mereka memasuki pintu sayap itu pula. Kita akan membaurkan gelar ini dengan gelar jurang grawah. Lawan yang memasuki gelar ini, akan terhisap dan hancur berserakkan. Pasukan yang ada di dalam gelar harus membinasakan mereka.”

Para Senopati pun mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka mereka pun telah siap dengan tugas masing-masing.

Sejenak kemudian telah terdengar tanda dari induk Pasukan yang dipimpin olah Resi Damar Pamali. Seperti yang telah direncanakan, maka tanda itu telah menarik pasukan kecil yang telah bertempur itu mulai menarik diri. Meskipun mereka terpaksa mengorbankan beberapa orang yang tidak mampu mempertahankan hidup mereka, namun mereka akan melakukan satu gerakan dalam hubungan dengan gelar dalam keseluruhan.

Sayap kiri dari gelar yang dipimpin oleh Resi Damar Pamali itu telah terbuka, sehingga pasukan kecil yang menarik diri itu langsung menuju ke pintu di sayap yang terbuka itu.

“Bukan main,” desis Senopati yang memimpin pasukan kecil yang mendahului pasukan Akuwu Suwelatama, “ternyata mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Gelar itu dapat dilakukan dengan hampir sempurna. Mereka dapat menarik pasukan kecil yang telah dilontarkan lebih dahulu, dan kemudian menyatu dalam gelar yang besar.”

Tetapi Senopati itu pun tidak terlalu bodoh untuk mengejarnya dan membenturkan diri dengan kekuatan yang tidak imbang. Bahkan pasukan kecil itu pun segera mengundurkan diri pula dan membenamkan diri ke dalam satu gelar yang meluas, yang dipimpin langsung oleh Akuwu Suwelatama.

Dengan demikian maka dua gelar yang kuat itu pun telah saling mendekati.

Resi Damar Pamali dan para Pangeran itu pun terkejut ketika mereka melihat kekuatan Pangeran Suwelatama. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa Pangeran Suwelatama sempat menghimpun kekuatan yang demikian besarnya. Dengan tanda kebesaran Pakuwon Kabanaran, panji-panji, rontek, serta tunggul-tunggul, dan diiringi oleh sangkakala, pasukan itu pun maju semakin mendekat.

“Gila,” geram Pangeran Indrasunu, “ternyata masih juga banyak orang-orang dungu yang berpihak kepadanya.”

“Jangan cemas,” sahut Resi Damar Pamali, “Akuwu Suwelatama tentu telah mengumpulkan orang-orang yang tidak berarti dan dipaksanya untuk memasuki tugas keprajuritan. Jika pertempuran ini nanti mulai menyala, akan segera kelihatan, bahwa yang ada di hadapan kita hanyalah jumlah. Tetapi mereka sama sekali tidak berkemampuan.”

Berbeda dengan tanggapan Pangeran Indrasunu dan para Senapatinya, maka Pangeran Suwelatama telah mengagumi gelar pasukan lawannya.

“Mereka terlatih dengan baik,” berkata Akuwu Suwelatama, “ternyata mereka benar-benar telah mempersiapkan diri pada saat mereka melakukan rencana mereka.”

Justru dengan demikian, maka setiap orang di dalam pasukan Akuwu Suwelatama menjadi berhati-hati menghadapi lawan mereka, karena menilik gelar yang mereka hadapi, maka lawan mereka memiliki kemampuan sebagaimana kemampuan para prajurit.

Demikianlah, beberapa saat kemudian kedua gelar itu saling mendekati. Ternyata bahwa ujung pasukan Pangeran Suwelatama dalam gelar Cakra Byuha tidak selebar pasukan Resi Damar Pamali yang mempergunakan gelar Garuda Nglayang. Karena gelar yang dipergunakan Akuwu Suwelatama memusatkan kekuatannya pada pusat dari induk pasukannya. Kemudian pada tebaran yang merupakan sayap pasukannya akan segera berkisar bila benturan telah terjadi. Gelar Cakra Byuha akan menjadi semacam sebuah lingkaran yang bergigi, yang akan langsung menghantam pusat pertahanan lawan.

Karena itu, maka Resi Damar Pamali pun menganggap bahwa gelarnya tidak sesuai dengan gelar lawan yang tidak seperti yang diduganya. Karena itu, maka Resi Damar Pamali segera memberikan isyarat kepada petugas penghubungnya untuk memberikan tanda agar gelar itu dirubah menjadi gelar Sapit Urang.

“Kita akan menyerang gelar lawan dari tiga jurusan.” berkata Resi Damar Pamali. “Induk pasukan akan menghadapi gelar Cakra Byuha itu. Kemudian sapit kiri akan menyerang dari arah kiri dan sapit kanan akan menyerang dari arah kanan.”

Sementara itu Akuwu Suwelatama telah menyempurnakan gelarnya. Masih gelar Cakra Byuha. Kedua Senopati pengapitnya berada pada ujung-ujung gerigi dekat dengan pusat pimpinan gelar, sementara pada gerigi yang lain Mahisa Agni dan Witantra yang akan menghadapi sayap pasukan lawan yang telah berubah menjadi sapit kanan dan sapit kiri. Sementara gerigi di paling belakang dipimpin oleh kedua orang Senopati dari pasukan pengawal Pangeran Suwelatama.

Dengan demikian maka tebaran gelar Cakra Byuha itu menjadi semakin menyempit, namun semakin padat, dengan tujuh ujung gerigi yang siap menghadapi lawan.

Namun dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu menjadi berdebar-debar. Semakin dekat kedua gelar itu, maka Pangeran Indrasunu pun mulai melihat orang-orang yang berada di pusat gelar lawan. Di antara mereka terdapat dua orang yang mendebarkan jantungnya selain Pangeran Suwelatama sendiri. Ternyata di pusat gelar lawan itu terdapat Mahisa Bungalan dan Wasi Sambuja.

“Gila!” Pangeran Indrasunu itu hampir berteriak.

Resi Damar Pamali yang mendengar pengapitnya berkata lantang itu pun berpaling. Ia melihat kecemasan membayang di wajah Pangeran Indrasunu.

“Kenapa?” bertanya Resi Damar Pamali.

Pangeran Indrasunu telah meninggalkan tempatnya sejenak mendekati Resi Damar Pamali dan mengatakan siapakah kedua orang itu.

“Ya. Aku mengenal Wasi Sambuja,” berkata Damar Pamali, “kenapa kau menjadi cemas? Aku akan menghadapinya.”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia adalah guruku.”

“Aku sudah tahu. Pangeran pernah mengatakan bahwa Wasi Sambuja tidak dapat ikut bersama Pangeran karena keadaannya. Ia terluka di dalam perang tanding melawan Witantra. Namun ternyata bahwa ia berada di pihak lawan.” jawab Resi Damar Pamali. Lalu, “Tetapi itu tidak apa-apa. Bukankah dengan demikian sudah menjadi jelas, bahwa ia telah melawan Angger Pangeran. Karena itu, ia harus dibinasakan. Aku mengerti, ia memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi justru aku mengenalnya maka aku tahu bahwa ilmunya tidak terlalu tinggi seperti yang angger duga. Bukankah di Singasari ia dikalahkan oleh Witantra?”

“Ya.” jawab Pangeran Indrasunu. “Apakah Resi mengenal Witantra?”

“Tentu aku mengenalnya. Tetapi aku belum melihat bukti kelebihannya.” jawab Resi Damar Pamali.

Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis, “Anak muda itu bernama Mahisa Bungalan. Orang itulah yang telah mengalahkan aku.”

Resi Damar Pamali tersenyum. Katanya, “Dua orang Putut dari padepokan ada di samping Pangeran. Mereka akan menyelesaikan semua persoalan. Sementara dua orang Pututku yang lain ada di sisi Pangeran itu. Ia akan menghadapi Pangeran Suwelatama, sementara aku akan berhadapan dengan orang yang kau sebut guru itu.”

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa dua orang murid terpercaya Resi Damar Pamali ada di sampingnya. Karena itu, maka ia pun menjadi lebih mantap menghadapi medan, meskipun ia melihat Mahisa Bungalan ada di antara pasukan lawan.

Sebenarnyalah bahwa jumlah prajurit Singasari dan para pengawal Kabanaran lebih kecil dibanding dengan pasukan Pangeran Indrasunu. Namun kemauan yang menyala di hati Pangeran Suwelatama dan para pengawalnya, telah mendorong pasukan yang lebih kecil jumlahnya itu menghadapi lawan dengan dada tengadah.

“Jika aku tidak berhasil,” berkata Pangeran Suwelatama kepada diri sendiri, “maka akan segera terlibat pasukan Singasari yang sebenarnya. Adimas Pangeran yang ampat itu tidak akan dapat mengelakkan diri lagi dari satu tuduhan pemberontakan sehingga nasibnya pun akan menjadi sangat buruk.”

Demikianlah gelar Cakra Byuha yang tidak melebar sebagaimana yang diduga sebelumnya, telah dihadapi dengan gelar yang mapan dengan jumlah orang yang lebih banyak, Sapit urang. Ujung-ujung gerigi di sisi akan dihadapi oleh pasukan yang akan datang dari arah samping sebelah menyebelah. Sementara di hadapan gelar Cakra Byuha itu telah menunggu pasukan induk dengan jumlah pasukan yang besar dan kuat.

Meskipun para Senopati yang akan memimpin induk pasukan dan sapit di sebelah menyebelah tidak imbang dengan para Senapati dari gelar Cakra Byuha yang bergerigi itu, namun pasukan yang besar pun akan ikut menentukan.

Demikianlah Pangeran Suwelatama yang menyadari jumlah pasukannya yang lebih kecil telah mempersempit gelarnya. Kekuatannya harus terpusat, dan dengan demikian akan mempunyai arti menghadapi lawannya.

Pangeran itu pun percaya, bahwa gerigi gelar di sisi terdapat Witantra dan Mahisa Agni di samping para Senopatinya. Kedua orang itu memiliki kemampuan dan pengetahuan melampaui setiap orang yang ada di kedua gelar itu. Melampaui dirinya sendiri.

Beberapa saat, menjelang kedua pasukan itu bertemu, maka Pangeran Suwelatama telah menghentikan gerak gelarnya. Dengan lantang ia berkata, “Adimas Pangeran Indrasunu, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara. Apakah adimas benar-benar sudah kehilangan nalar yang bening?”

Tetapi jawaban Pangeran Indrasunu, “Apakah kau cemas melihat kekuatan kami? Jika demikian, sebaiknya kakangmas menyerah saja. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi dengan demikian kakangmas tidak akan berarti apa-apa lagi di Pakuwon ini, yang kemudian akan menjadi pacatan langkah-langkah kami selanjutnya.”

“Jangan berkata begitu, adimas. Di sini ada sekelompok kecil pasukan Singasari yang sebenarnya bertugas untuk mengamankan satu daerah dari para penjahat, para perampok dan brandal. Mereka berada di sini dengan satu tugas mengatasi kekalutan yang terjadi di sini. Kalian masih dianggap sebagai orang-orang yang sekedar membuat kekacauan. Belum dianggap sebagai sekelompok orang yang memberontak. Jika kalian tidak menyerah saat ini, sikap Singasari akan berubah menghadapi kalian. Jika pada suatu saat, Singasari menganggap kalian sebagai pemberontak, maka kalian akan menyesal.”

Pangeran Indrasunu menjadi termangu-mangu. Jika perkembangan keadaan berlangsung begitu cepat, maka apakah ia akan sempat menyusun kekuatan untuk melawan Singasari.

Namun dalam pada itu, Resi Damar Pamali lah yang menjawab, “Kita sudah berhadapan di medan perang. Mulailah. Jika besok pasukan Singasari datang dan menganggap kami sebagai pemberontak, maka sebenarnyalah kekuatan kami telah tersusun rapi, dan dengan mudah kami akan dapat mengimbangi kekuatan Singasari. Tidak tedeng aling-aling, kami memang akan menumbangkan kekuasaan Singasari yang serakah dan tamak. He, pengikut Singasari, bersiaplah untuk berlutut di bawah telapak kaki para Pangeran yang masih sempat berpikir bening. Wasi Sambuja yang mengkhianati muridnya sendiri, kau masih mempunyai kesempatan untuk menikmati kejayaan Kediri setelah Singasari runtuh apabila kau menyadari kesalahanmu sekarang.”

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Sebuah pertanyaan telah terlontar dari mulutnya, “Siapakah yang sebenarnya telah berkhianat?”

Pertanyaan Wasi Sambuja itu memang menggetarkan jantung Pangeran Indrasunu. Tetapi agaknya sikapnya memang sudah benar-benar dikaburkan oleh gejolak di dalam jiwanya, yang dimulainya dari perasaan kecewa semata, namun yang kemudian berkembang menjadi gejolak yang menggetarkan Kediri.

Namun dalam pada itu, Resi Damar Pamali sudah tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya kemudian, “Kita tidak datang ke tempat ini untuk banyak berbicara. Kami tidak akan mempunyai belas kasihan lagi jika pertempuran sudah dimulai. Pasukan kami yang lebih banyak serta kemampuan kami yang lebih tinggi akan segera menghancurkan kalian. Kami mengerti, bahwa kalian lelah memilih gelar yang memungkinkan kalian memusatkan kekuatan kalian yang kecil. Tetapi dengan gelar kami, maka kami akan menghancurkan kalian dari tiga arah dengan kekuatan yang tidak akan dapat kalian lawan.”

Wasi Sambuja tidak menjawab lagi. Ketika ia berpaling ke arah Pangeran Suwelatama, maka Pangeran itu pun sedang memandanginya.

Wasi Sambuja itu pun mengangguk kecil sebagai satu isyarat, bahwa memang tidak ada jalan lain kecuali jalan kekerasan.

Pangeran Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah kekerasan. Karena itu maka ia pun kemudian memberikan isyarat kepada Mahisa Bungalan untuk bersiap. Dan sejenak kemudian, maka terdengarlah Pangeran Suwelatama itu memberikan perintah kepada para Senapati di dalam pasukannya untuk mulai bergerak.

Perintah itu pun segera menjalar sampai kepada orang yang berada di paling jauh dari pasukan lawan. Di gerigi yang paling belakang, para pengawal dan prajurit Singasari merupakan tenaga yang akan memukul di saat terakhir. Pada keadaan tertentu, mungkin sekali Panglima pasukan akan memutar gelar, sehingga terjadi pergeseran Senopati. Terutama jika kekuatan lawan tidak seimbang dengan kemampuan gelar Cakra Byuha itu pada sisi-sisi tertentu.

Demikianlah, maka gelar itu pun mulai bergerak maju. Sementara itu, Resi Damar Pamali pun telah memerintahkan gelarnya bergerak pula. Bagaikan seekor udang raksasa dengan sapitnya yang kuat bergerak dari arah yang berlawanan seolah-olah akan menjepit gelar lawannya, sementara induk pasukannya pun telah bergerak maju di bawah pimpinan langsung Panglimanya dan dua orang Senopati Pengapit. Sementara itu, masih ada pasukan cadangan di bagian ekor gelar yang pada setiap saat akan dapat bertindak untuk kepentingan yang khusus.

Gelar Cakra Byuha yang dipimpin oleh Pangeran Suwelatama itu memang menyempitkan diri untuk memusatkan segenap kekuatan. Namun dengan demikian, maka yang bertemu di medan itu seolah-olah seekor udang raksasa tengah berusaha menerkam sebuah lingkaran untuk diremas dan dihancurkan.

Kedua sapit di kiri dan di kanan itu pun bergerak semakin dekat, sementara induk pasukan Resi Damar Pamali pun maju pula menyongsong gelar Cakra Byuha yang mendekat pula.

Ternyata yang menyentuh gelar pasukan Pangeran Suwelatama bukannya induk pasukannya. Tetapi sapit kiri dari gelar Sapit Urang itu telah mulai dengan sergapannya langsung menusuk ke lambung gelar Cakra Byuha.

Namun dalam pada itu, pasukan Singasari yang tidak terlalu banyak, ditambah dengan para pengawal Pangeran Wirapaksi dan pengawal Pakuwon Kabanaran sendiri, telah menyongsong pasukan lawan.

Ternyata dalam benturan pertama itu telah terasa, bahwa kekuatan Resi Damar Pamali memang cukup besar. Tetapi hanya dalam jumlah. Ternyata bahwa secara pribadi, maka prajurit Singasari dan para pengawal masih mempunyai beberapa kelebihan. Ketika satu dua orang putut menunjukkan kelebihannya, maka mereka pun segera tertahan oleh para prajurit Singasari yang terlatih baik. Di dalam perang gelar, maupun ditilik dari kemampuan mereka orang seorang.

Selebihnya di bagian kiri dari gelar Cakra Byuha itu terdapat Mahisa Agni. Karena itu, maka dengan cermat Mahisa Agni pun mengikuti perkembangan pertempuran itu selanjutnya.

Dalam pada itu, induk pasukan dalam gelar Sapit Urang itu pun telah mulai membentur pasukan Pangeran Suwelatama. Dalam jumlah yang lebih besar, maka untuk sesaat pasukan induk gelar Sapit Urang itu berhasil mendorong beberapa langkah gelar Cakra Byuha itu surut.

Tetapi di saat kemudian keadaan pun segera berubah. Para Senopati pun kemudian telah terikat dalam pertempuran di antara mereka. Wasi Sambuja memang sudah bersedia bertemu dengan Resi Damar Pamali, sementara Mahisa Bungalan ingin mengulangi perang tanding yang pernah terjadi. Sedangkan Pangeran Wirapaksi telah berhadapan dengan seorang Pangeran muda yang lain yang berada di dalam gelar lawan, sebagai Senopati pengapit. Sementara itu Pangeran Suwelatama sendiri langsung memimpin seluruh pasukannya. Bahkan ia pun telah bertempur di antara para prajurit di induk pasukan.

Tetapi justru karena Pangeran Suwelatama tidak terikat di dalam pertempuran Senopati, maka ia mampu memberikan penilaian selengkapnya atas benturan yang telah terjadi itu.

Sentuhan yang terakhir terjadi di sayap kanan. Sapit dalam gelar Cakra Byuha itu agaknya lebih lamban di banding dengan sapit kirinya. Namun ternyata bahwa Senopatinya mempunyai perhitungan yang cermat. Senopati di sapit kanan yang terdiri dari salah seorang Pangeran saudara Pangeran Indrasunu itu telah membuka gelar sapitnya melebar. Karena itu maka khususnya di sapit kanan itu, telah terjadi pertempuran yang memancing lawan untuk membuka ajang perang lebih luas.

Tetapi yang berada di hadapan sapit kanan gelar Sapit Urang itu adalah Witantra. Ia memiliki pengalaman yang luas dan mapan menghadapi segala jenis medan. Karena itu, maka ia tidak menjadi bingung menghadapi sapit yang tiba-tiba telah menganga dan siap menjepit gelar lawannya.

Witantra tidak membuka gerigi gelarnya. Dengan demikian maka akan terjadi kekosongan dan merupakan lubang yang dapat diselusupi oleh lawannya, tetapi Witantra justru memerintahkan lewat Senopati yang berada di gerigi sebelahnya untuk merapat. Meskipun gelar itu sendiri tidak berputar, tetapi dua ujung gerigi yang menghadapi sapit kanan gelar Sapit Urang itu merupakan dua ujung yang siap melawan bagaikan sepasang tanduk yang tajam runcing. Benturan yang terjadi memang sangat mengejutkan. Sapit yang meluas itu ternyata justru menipis. Karena itu, maka ujung gerigi Cakra Byuha itu seolah-olah telah menusuk menembus gelar lawan, sehingga tembus.

Namun tangkai sapit pada gelar lawan itu pun segera mengambil bagian. Mereka langsung menyerang ujung gerigi yang berhasil menembus gelar Sapit Urang itu.

Meskipun demikian usaha itu tidak berhasil. Gerigi gelar Cakra Byuha yang menyempit itu justru menjadi sangat kuat dan berbahaya.

Mahisa Agni di sisi yang lain pun segera mengusai keadaan. Ujung-ujung gerigi yang terisi oleh para Senopati dari tataran masing-masing, telah membingungkan lawan, apalagi bagian yang berhadapan dengan sapit kiri itu.

Mahisa Agni pun segera telah membingungkan lawannya. Seorang Pangeran yang bingung menghadapinya telah bergeser oleh kehadiran seorang tua yang nampaknya memiliki ilmu yang tinggi.

“Sebaiknya kau jangan menakuti anak-anak,” berkata orang tua itu, “marilah. Barangkali yang tua-tua ini pun masih ingin juga bermain-main.”

“Siapa kau?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku adalah gurunya.” jawab orang tua itu, “Pangeran itu memang masih terlalu muda untuk melawanmu. He, siapakah kau sebenarnya?”

“Namaku Mahisa Agni.” jawab Mahisa Agni. Wajah orang itu tiba-tiba menegang. Dengan suara sarat ia bertanya, “Aku pernah mendengar namamu. Apakah kau pernah berada di Kediri?”

“Ya. Aku pernah berada di Kediri meskipun tidak terlalu lama.” jawab Mahisa Agni.

Orang tua itu pun termangu-mangu sejenak, sementara pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya.

“Jadi kaulah yang bernama Mahisa Agni, yang atas nama kekuasaan Singasari berada di Kediri. Dan kau jugalah yang agaknya telah mengalahkan Wasi Sambuja.” geram orang tua itu.

Mahisa Agni mengangguk. Kataknya, “Aku memang pernah berada di Kediri. Tetapi bukan aku yang mengalahkan Wasi Sambuja, tetapi orang lain yang juga pernah berada di Kediri sebagaimana aku lakukan. Namanya Witantra.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Jika kau belum dapat mengalahkan Wasi Sambuja, maka kau tidak akan berarti apa-apa bagiku. Seandainya kau mampu mengalahkannya, kau masih harus melihat kenyataan, bahwa kemampuan Wasi Sambuja berada jauh di bawah lapisan ilmuku.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin memang begitu, tetapi sebaiknya kita akan mencoba, siapakah yang akan dapat keluar dari pertempuran ini.”

“Persetan!” geram orang itu. Lalu, “Kau jangan terlalu sombong. Apakah kau tidak berpikir untuk memilih jalan yang paling baik? Berpihak kepada Pangeran Indrasunu dan Resi Damar Pamali?”

Mahisa Agni tertawa pendek. Katanya, “Perang telah berkobar. Lihat, pasukanku yang lebih kecil telah mendesak pasukanmu yang jumlahnya jauh lebih banyak tetapi tanpa kemampuan pribadi untuk mengatasi kekalutan yang timbul.”

Orang itu menjadi semakin marah. Maka tiba-tiba saja ia menggeram sambil berkata, “Kau akan menyesal. Pakailah senjata apa saja yang kau miliki. Tumpahkan segala jenis ilmu dan pasukanmu. Maka kau bagiku hanyalah debu yang tidak berarti apa-apa.”

Mahisa Agni masih sempat tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya. Namun bukan berarti bahwa ia mengabaikan lawannya. Ia pun yakin, bahwa lawannya bukannya bohong sepenuhnya. Ia tentu memiliki ilmu yang dapat diandalkannya di samping usahanya untuk menggertak dan menguncupkan hati lawan.

Sejenak kemudian, di antara pertempuran yang riuh, Mahisa Agni telah bertempur dengan guru salah seorang dari keempat Pangeran yang telah sepakat untuk mengadakan perubahan dalam tatanan pemerintahan di Kediri dan kemudian di Singasari.

Ternyata bahwa ia memang memiliki ilmu yang tinggi. Namun betapapun juga orang itu tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa Agni. Sehingga beberapa saat kemudian, maka orang itu telah terdesak pula. Ternyata meskipun jumlahnya cukup banyak, tetapi sebagian dari mereka adalah orang-orang yang baru yang masih belum mempunyai pengalaman sama sekali, sehingga ketika mereka benar-benar berada di medan perang, maka mereka pun telah menggigil ketakutan. Apalagi ketika mereka melihat darah yang mengalir dari tubuh seseorang.

Bagi mereka, pertempuran ternyata bukan sesuatu yang menarik seperti yang mereka duga semula, tetapi ternyata adalah sesuatu yang sangat mengerikan dan mendebarkan jantung, sehingga rasa-rasanya mereka akan membeku karenanya.

Pada saat mereka datang ke Pakuwon Kabanaran, mereka dengan tidak banyak kesulitan berhasil mendesak para pengawal Pakuwon. Mereka seolah-olah tidak mengalami perlawanan yang berarti karena Akuwu Suwelatama telah menarik diri dan bersembunyi di tempat yang tidak diketahui.

Dengan demikian, mereka menyangka, bahwa perang yang demikian adalah menyenangkan sekali dan memberikan kebanggaan bagi mereka, tanpa berbuat apa-apa mereka berderap memasuki kota dengan senjata telanjang di tangan. Dengan garang mereka menakuti penduduk yang bersembunyi di rumah masing-masing. Seperti menghalau binatang liar mereka mengejar orang-orang yang mengungsi.

Tetapi yang dijumpainya kemudian adalah berbeda sekali dengan apa yang terjadi terdahulu. Yang kemudian dihadapinya adalah prajurit yang tidak meninggalkan medan sebelum bertempur seperti yang dilakukan oleh pengawal Pakuwon itu sebenarnya.

Karena itu ketika mereka melihat, bagaimana para prajurit Singasari bertempur, serta para pengawal yang tidak lagi mendapat perintah untuk mundur dan bahkan para pengawal yang datang dari padang Padiangan dengan kemarahan yang membakar jantung, maka mereka yang mencoba untuk ikut serta dalam peperangan itu pun menjadi ngeri.

Tetapi di antara pasukan Pangeran Indrasunu terdapat juga orang-orang yang memiliki kemampuan pribadi yang mengagumkan. Beberapa orang cantrik, jejanggan dan putut yang ada di antara mereka, mampu mengimbangi para prajurit Singasari dan para pengawal pangeran Wirapaksi dan para pengawal Pakuwon Kabanaran. Namun jumlah mereka tidak terlalu banyak.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Ternyata bahwa jumlah yang lebih banyak itu pun berpengaruh pula. Ternyata bahwa pasukan Pangeran Indrasunu masih tetap bertahan. Serangan-serangan mereka masih juga terasa di kedua sapit kanan dan kiri, sementara induk pasukan mereka pun menekan pusat gelar Cakra Byuha semakin kuat.

Tetapi perlawanan dari gelar yang lebih memusat itu pun telah mendebarkan Resi Damar Pamali yang kemudian bertempur melawan Wasi Sambuja. Dua orang pemimpin padepokan yang memiliki bekal ilmu yang cukup tinggi, namun yang ternyata berbeda sikap dan pendirian.

Sementara itu, Pangeran Indrasunu tidak bertempur seorang diri. Ia merasa bahwa ia tidak akan dapat menandingi Mahisa Bungalan yang memimpin sepasukan kecil prajurit Singasari. Karena itu, maka ia pun telah bertempur bersama seorang putut, murid Resi Damar Pamali yang sudah mendapat kepercayaan untuk membantunya menuntun para cantrik yang baru datang.

Karena jumlah mereka memang terlalu banyak, maka Mahisa Bungalan pun harus menerima kehadiran kedua lawannya yang bertempur berpasangan. Tetapi karena keduanya berasal dari sumber yang berbeda, maka mereka masih harus berusaha untuk menyesuaikan diri.

Mahisa Bungalan menyadari, bahwa ia harus memeras tenaganya untuk melawan keduanya jika keduanya berhasil saling mengisi. Karena itu, maka justru sebelum mereka sempat menempatkan diri masing-masing dalam pasangan yang serasi, maka Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap ilmunya untuk menyerang mereka.

Pangeran Indrasunu memang pernah membenturkan ilmunya melawan Mahisa Bungalan. Dan ia merasa bahwa ia tidak mampu mengimbanginya. Namun dalam pertempuran itu, bersama seorang putut ia telah melawan Mahisa Bungalan dengan ilmu pedangnya yang mapan.

Tetapi ternyata Mahisa Bungalan pun memiliki ilmu pedang yang tinggi. Selagi kedua orang lawannya berusaha saling mengisi, maka serangan Mahisa Bungalan datang bagaikan banjir bandang.

Karena itulah, maka kedua orang itu justru mengalami kesulitan pada benturan pertama. Mahisa Bungalan benar-benar memanfaatkan keadaan itu. Senjatanya berputaran seperti baling-baling, sementara kakinya berloncatan seperti kaki kijang di padang rumput luas.

Dalam pada itu, justru sebelum Pangeran Indrasunu dan putut dari padepokan Resi Damar Pamali itu sempat menyesuaikan diri, maka ternyata bahwa ujung pedang Mahisa Bungalan telah berhasil menyentuh lengan putut itu, justru lengannya sebelah kanan.

Dengan demikian, maka sentuhan itu langsung mempengaruhi ilmu pedang putut itu.

Namun ternyata bahwa kedua tangan putut itu dapat dipergunakannya dengan tataran yang hampir sama. Karena tangan kanannya terluka, maka pedang di tangan kirinya, hampir tidak berbeda sebagaimana ketrampilan tangan kanannya.

Meskipun demikian, luka itu telah memberikan satu kesan kelebihan ilmu Mahisa Bungalan. Sementara itu, Pangeran Indrasunu perlahan-lahan telah berhasil menyesuaikan dirinya. Meskipun kawannya bertempur dengan tangan kirinya, namun kedua orang yang berhasil saling mengisi itu menjadi berbahaya bagi Mahisa Bungalan.

Semakin lama keduanya menjadi semakin mapan. Pangeran Indrasunu mempergunakan kekuatannya untuk menekan Mahisa Bungalan, sementara lawannya yang memegang pedang di tangan kiri, berusaha mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Bungalan. Sehingga demikian, maka Mahisa Bungalan harus mengimbangi keduanya.

Dalam pada itu, pertempuran antara dua gelar itu pun menjadi semakin sengit. Tenaga cadangan pada gelar Sapit Urang itu pun telah mulai bergerak maju.

Di sisi lain pada pasukan pengapit, Pangeran Wirapaksi memimpin langsung beberapa orang pengawalnya. Seorang Pangeran yang kemudian menghadapinya telah mencacinya sebagai penjilat yang tahu diri.

“Kakangmas Wirapaksi tidak pantas disebut dalam deretan para bangsawan di Kediri. Agaknya bagi kakangmas Singasari telah memberikan kesenangan yang melimpah.” berkata Pangeran itu.

Tetapi Pangeran wirapaksi tidak cepat kehilangan kesabarannya meskipun ia sudah betempur. Katanya, “Sebaiknya kalian melihat ke dalam diri kalian sendiri. Apakah yang kalian lakukan ini menguntungkan bagi Kediri atau justru sebaliknya.”

Lawannya tidak menjawab. Tetapi ia bertempur semakin sengit. Namun ternyata bahwa Pangeran Wirapaksi memang mempunyai kelebihan, sehingga Pangeran itu tidak dapat segera mendesaknya. Apalagi seorang putut yang berada di sayap pengapit itu tidak dapat membantunya dan bertempur berpasangan sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Indrasunu, karena demikian putut itu berusaha menempatkan dirinya di samping Pangeran itu, seorang pengawal pilihan Pangeran Wirapaksi telah dengan langsung melawannya.

Dalam pada itu, meskipun jumlah lawan lebih banyak, tetapi seperti di bagian lain dari medan pertempuran itu, maka para pengawal Pangeran Wirapaksi mempunyai beberapa kelebihan, sehingga karena itu, maka jumlah yang banyak itu sulit untuk dapat mendesak.

Secara keseluruhan pertempuran itu menjadi semakin seru. Namun ketika para prajurit Singasari itu sudah mulai basah oleh keringat, maka seolah-olah tandang mereka mulai berubah. Wajah mereka menjadi berkerut, dan tatapan mereka menjadi semakin tajam. Karena itulah maka senjata di tangan mereka itu pun menjadi berbahaya.....

“Goresan demi goresan telah melukai pasukanmu, Resi Damar Pamali,” berkata Wasi Sambuja, ”pada suatu saat, maka pasukanmu akan pecah tidak karuan.”

“Jangan meramal sesuatu yang tidak akan terjadi,” berkata Resi Damar Pamali, “kita akan melihat dari pertempuran ini. Seandainya aku sampai hati membunuhmu, maka aku ingin membiarkan kau tetap hidup sampai suatu saat kau melihat keseluruhan dari hasil pertempuran ini. Aku ingin membiarkan kau melihat orang terakhir mati di medan, sebelum kau sendiri akan mati.”

Tetapi, Wasi Sambuja justru tertawa. Katanya, ”Baiklah. Mudah-mudahan kita masing-masing sempat menyaksikan apa yang bakal terjadi. Tetapi jika Akuwu Suwelatama ini menjadi jemu, maka ia pun akan segera memasuki arena. Jika ia mulai dengan satu sikap yang tidak menguntungkan bagimu, maka kau akan menyesal, meskipun sesaat kemudian kau akan mati.”

Resi Damar Pamali itu menggeram. Kemarahannya benar-benar telah membakar kepalanya, tetapi ia tidak dapat berbuat banyak atas lawannya, Wasi Sambuja.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Witantra telah banyak berbuat dengan pasukannya. Bahkan ia telah berhasil mendesak lawan meskipun jumlahnya lebih banyak. Tetapi Witantra tidak dapat melepaskan diri dari gelar, sehingga karena itu maka ia tidak mendesaknya lebih jauh.

Namun dalam pada itu, lawannya kurang berpengalaman, menganggap bahwa Witantra tidak mempunyai kesempatan. Karena itu ia tetap dalam lingkungan pasukannya.

Dalam pada itu, seorang yang kira-kira sebaya dengan Witantra berada pula di antara pasukan lawan. Ternyata ia adalah seorang pemimpin padepokan, guru dari salah seorang Pangeran yang bersama dengan Pangeran Indrasunu telah mengusai Pakuwon Kabanaran.

Dengan nada dalam yang menghadapi Witantra itu berkata, “Kaulah orang yang telah mencerai-beraikan anak-anak di sayap ini.”

“O,” witantra mengangguk-angguk, “nampaknya memang demikian, tetapi sebenarnya aku tidak ingin sekedar menakuti mereka.”

“Baiklah kita selesaikan persoalan ini di antara orang-orang tua.” berkata orang itu.

Witantra tidak menjawab. Orang itu pun kemudian menyerang dengan garangnya, sehingga pertempuran menjadi semakin seru. Namun demikian, para prajurit Singasari telah berhasil membingungkan lawan-lawannya yang sebagian besar kurang berpengalaman dalam perang gelar, meskipun mereka mengusai gelar gelar itu sendiri. Seorang Pangeran yang berada di sapit itu, dalam gelar Sapit Urang yang hampir sempurna, sama sekali tidak berdaya. Setiap kali pasukannya melanda gerigi-gerigi dalam gelar Cakra Byuha, maka mereka bagaikan tertusuk oleh ujung-ujung gerigi, sehingga luka di dalam gelar mereka menjadi semakin parah.

Meskipun demikian, pasukan Singasari itu tidak melepaskan keterikatan mereka di dalam gelar sehingga gelar Cakra Byuha itu masih nampak utuh dan mapan.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa tidak ada korban yang jatuh di antara para prajurit Singasari, para pengawal Pangeran Wirapaksi dan para Pengawal Pakuwon Kabanaran. Namun dibanding dengan lawan mereka, maka seakan-akan Cakra Byuha itu benar-benar masih utuh.

Dalam pada itu, yang paling garang di antara pasukan dalam gelar Cakra Byuha itu adalah para pengawal Pakuwon Kabanaran sendiri. Para pengawal yang datang dari padang Padiangan merasa ditikam dari belakang, sehingga Akuwu Suwelatama harus menyingkir. Kemarahan mereka nampaknya semakin membakar jantung ketika mereka melihat lawan yang jumlahnya lebih banyak menghadapi mereka di luar kota Pakuwon mereka.

Demikianlah, maka dua gelar itu mengalami akibat yang semakin jauh berbeda. Gelar Sapit Urang yang besar itu benar-benar telah menjadi jauh susut, sementara gelar Cakra Byuha yang meskipun lebih kecil, namun masih nampak utuh dan segar.

Dengan demikian, maka keseimbangan pun kemudian menjadi semakin cepat berubah. Jika keduanya dalam keadaan yang sama-sama segar, dapat menumbuhkan geseran keseimbangan, maka selagi gelar Sapit Urang itu sudah hampir pecah, maka akhir dari pertempuran itu sudah dapat membayang.

Perlahan-lahan gelar Cakra Byuha itu dalam kebulatan telah mendesak gelar Sapit Urang yang sudah susut kekuatannya itu. Semakin lama semakin jauh mendekati gerbang kota Pakuwon Kabanaran. Bahkan beberapa orang penghubung telah masuk ke dalam kota untuk memanggil pasukan cadangan yang ditinggalkan oleh Resi Damar Pamali.

Meskipun Pasukan cadangan yang keluar dari kota itu sudah menggabungkan diri dengan pasukan induk gelar Sapit Urang itu, namun mereka sama sekali tidak berhasil mempengaruhi pertempuran. Gelar Cakra Byuha itu benar-benar berhasil mendesak maju.

Sementara itu, Wasi Sambuja dan Resi Damar Pamali terlibat dalam pertempuran yang semakin lama semakin sengit. Keduanya adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, memiliki pengalaman yang luas dan keyakinannya masing-masing. Latar belakang kehidupan dan pandangan hidup Resi Damar Pamali memang dapat mendorongnya untuk memaksa diri bertempur melawan pasukan Pakuwon Kabanaran, pasukan Kediri dan apalagi dari Singasari.

Namun yang kemudian dihadapinya adalah Wasi Sambuja, betapapun ia merasa kecewa bahwa pasukannya justru telah terdesak. Namun betapa dendam dan kemarahan menyala di hatinya, sehingga ia bertekad untuk bertempur melawan Wasi Sambuja sampai kesempatan yang terakhir.

Karena itu, maka Resi Damar Pamali itu seolah-olah tidak menghiraukan lagi pertempuran itu dalam keseluruhan. Yang ada di hadapannya itu seakan-akan seseorang yang berdiri dalam perang tanding. Ia tidak mau tahu apa yang terjadi di seluruh medan, karena perhatiannya seluruhnya telah tertumpah kepada Wasi Sambuja.

Dengan demikian maka gelar Sapit Urang itu semakin lama menjadi semakin berserakkan. Setiap orang yang menjadi Senopati dari segala tataran telah berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri.

Dalam pada itu, maka pertempuran antara Resi Damar Pamali dan Wasi Sambuja itu telah sampai ke puncaknya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tidak ada pikiran lain kecuali menghancurkan lawan secepat-cepatnya dengan cara apapun juga.

Karena itulah, maka akhirnya Resi Damar Pamali pun sampai pada ilmu pamungkasnya. Tanpa menghiraukan apapun lagi, maka ia pun segera mengambil ancang-ancang untuk melepaskan puncak ilmunya.

Namun Wasi Sambuja menyadari arti dari sikap lawannya. Karena itu, ia pun justru telah bersikap pula. Dengan segenap kekuatan lahir batinnya, maka Wasi Sambuja telah siap membentur kekuatan puncak dari Resi Damar Pamali.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Resi Damar Pamali itu telah meloncat mengayunkan ilmunya lewat telapak tangannya, sementara Wasi Sambuja pun telah siap menerimanya dengan kedua tangannya yang bersilang.

Yang terjadi kemudian adalah benturan yang dahsyat sekali. Keduanya telah terlempar dan jatuh di tanah. Wasi Sambuja dengan cepat telah disambar oleh Akuwu Suwelatama, sementara Resi Damar Pamali yang sempat jatuh terbanting di tanah, segera dikerumuni oleh beberapa orang muridnya.

Namun agaknya keadaan Resi Damar Pamali tidak kalah parahnya dari Wasi Sambuja. Namun justru karena Wasi Sambuja menjadi pingsan, maka ia tidak terlalu banyak berbuat sesuatu.

Resi Damar Pamali ternyata tidak menjadi pingsan. Namun luka di dalam dadanya agaknya menjadi sangat parah.

Apalagi ia tidak mau melihat kenyataan tentang dirinya itu, sehingga ia pun telah meronta-ronta untuk bangkit dan berteriak-teriak meskipun dari mulutnya mengalir darah, “Lepaskan, lepaskan Aku. Akan aku bunuh kelinci gila itu.”

Bagaimanapun murid-muridnya berusaha untuk menahannya, tetapi nampaknya Resi Damar Pamali sudah tidak menghiraukannya lagi.

Dalam pada itu, Pangeran yang bertubuh kecil, murid Resi Damar Pamali itu, tiba-tiba saja telah meninggalkan lawannya dan menyerahkannya kepada seorang Putut yang kemudian bertempur bersama beberapa orang melawan Pangeran Wirapaksi.

Tetapi agaknya Pangeran Wirapaksi memang tidak bersungguh-sungguh untuk berusaha membinasakan lawannya. Karena itu, maka ia dengan sengaja membiarkan Pangeran bertubuh kecil itu meninggalkannya untuk melihat keadaan gurunya.

Justru karena Resi Damar Pamali selalu meronta-ronta dan tidak dapat mengendalikan diri itulah, maka keadaannya menjadi semakin parah. Bahkan akhirnya tenaganya seolah-olah telah lenyap sama sekali. Matanya yang menjadi redup memandang muridnya yang bersimpuh di hadapannya.

“Pangeran,” suaranya menjadi parau, “aku tidak berhasil kali ini. Tetapi ini bukan akhir dari segalanya. Aku harap Pangeran akan melanjutkan dendam yang menyala di dalam hati ini. Pangeran dapat bekerja bersama Pangeran Indrasunu, murid si iblis itu sendiri. Bawalah pesanku, agar kau lepaskan dendamku kepadanya.”

Pangeran bertubuh kecil itu tidak sempat menjawab. Sekali lagi Damar Pamali mengumpat. Namun kemudian matanya pun telah selama-selamanya.

Murid-muridnya yang melihat gurunya telah meninggal itu, hatinya menjadi kecut. Mereka seolah-olah sudah tidak mempunyai sandaran lagi. Itulah sebabnya, maka nafsu mereka untuk bertempur telah larut sama sekali.

Dengan hati yang patah, maka murid-muridnya berusaha untuk membawa tubuh Resi Damar Pamali ke belakang garis perang. Bahkan terlalu banyak murid-murid dan pengikutnya yang mengikutinya sehingga medan pun telah berubah sama sekali.

Kekuatan di induk pasukan itu pun telah susut dengan cepat. Akuwu Suwelatama, Pangeran Wirapaksi dan Mahisa Bungalan melihat keadaan itu. Namun sebenarnyalah mereka bukan orang-orang yang bertempur dengan nafsu membunuh yang tidak terkendali. Itulah sebabnya, maka mereka tidak banyak berbuat ketika lawan mereka menjadi semakin terpecah-pecah. Hanya pasukan yang marah yang ditarik dari padang Padiangan sajalah yang agaknya bertindak lebih keras dari kesatuan-kesatuan yang lain.

Mahisa Agni dan Witantra pun nampaknya sekedar berusaha untuk mendesak lawan. Mereka memiliki cara yang mapan untuk membuat lawan mereka menjadi bingung. Guru dari para Pangeran yang berada di dalam sapit gelar itu pun tidak banyak berarti menghadapi Mahisa Agni dan Witantra.

Dalam keadaan yang pahit itulah, maka Pangeran Suwelatama mengurai gelarnya. Di rubahnya gelarnya yang melingkar dan bergerigi itu menjadi gelar yang lebih besar. Gelar Wulan Tumanggal.

Perubahan itu semakin membingungkan lawannya. Gelar itu ternyata telah mencakup arena yang panjang, karena kekuatan lawan tidak lagi berbahaya. Karena itu gelar yang tipis dan melebar itu tidak lagi dicemaskan akan pecah.

Perlahan-lahan gelar Wulan Punanggal itu pun mendesak maju. Gelar Sapit Urang dari pasukan Pangeran Indrasunu benar-benar telah kehilangan kekuatannya. Mereka terdesak menuju ke gerbang kota.

Sepeninggal Resi Damar Pamali serta murid-muridnya yang terpercaya karena menyingkirkan tubuhnya, kekuatan gelar Sapit Urang itu sebenarnyalah telah pecah. Karena itu, ketika pasukan itu semakin dekat dengan gerbang kota, maka sebagian dari mereka tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta sebagian dari mereka pun telah berlari-larian memasuki pintu gerbang. Bahkan Pangeran Indrasunu pun tidak lagi berharap untuk dapat memenangkan pertempuran itu, sehingga ia pun telah berusaha meninggalkan lawannya dan berlari masuk ke dalam pintu gerbang.

Demikian Pangeran Indrasunu memasuki gerbang, ternyata bahwa kedua Pangeran yang lain bersama guru mereka pun telah berlari-lari memasuki pintu itu pula. Bahkan mereka menjadi berjejal-jejal dan saling mendesak di antara mereka sendiri.

“Tutup pintu gerbang!” teriak Pangeran Indrasunu.

Perintah itu tidak perlu diulang. Karena kedua orang Pangeran yang lain bersama guru mereka yang semula berada di sapit dalam gelar sapit urang telah memasuki gerbang pula, sementara Pangeran yang bertubuh kecil telah bersama-sama dengan tubuh Resi Damar Pamali masuk lebih dahulu, maka orang-orang yang berada di dalam pintu gerbang itu pun telah berusaha menutup pintu itu.

“Tunggu! Tunggu!” teriak orang-orang yang masih ada di luar. Tetapi orang-orang yang di dalam tidak menghiraukannya lagi. Jika mereka menunggu, maka yang kemudian akan masuk bukan lagi kawan-kawannya, tetapi mungkin sekali adalah justru pasukan lawan.

Karena itu, maka pintu gerbang itu pun kemudian telah ditutup rapat. Sebuah selarak yang besar telah menyilang pintu gerbang itu. Dengan demikian, maka tidak seorang pun lagi yang akan dapat masuk lewat pintu gerbang itu.

“Jika mereka akan memaksa memasuki kota lewat pintu gerbang yang lain, mereka tentu memerlukan waktu. Selama itu kita sudah dapat menerobos keluar lewat pintu gerbang yang lain atau bersembunyi di dalam kota, di rumah-rumah penduduk yang tidak tahu menahu tentang peperangan ini.” berkata salah seorang di antara mereka.

Sebenarnyalah, keempat Pangeran itu pun segera saling mencari dan berbincang. Atas petunjuk beberapa orang tua termasuk dua orang guru dari dua orang Pangeran di antara mereka, menasehatkan agar mereka segera meninggalkan kota.

Ternyata keempat Pangeran itu pun sepakat. Mereka segera berusaha mengumpulkan pengawal-pengawal mereka yang paling setia. Dengan mengerahkan kuda yang ada di dalam kota sekitar jalan yang mereka lalui, maka akhirnya mereka pun melarikan diri melalui pintu gerbang yang lain, setelah para pengawal mereka berusaha menahan setiap gerakan untuk menahan mereka yang berusaha melarikan diri itu. Namun akhirnya para pengawal itu sendiri tidak sempat berbuat sesuatu, karena pasukan Pangeran Suwelatama telah berada di dalam kota itu pula. Mereka tidak perlu memecah pintu gerbang, meskipun mereka harus melingkari jalan yang agak panjang, memasuki kota lewat jalan-jalan butulan.

Namun sebenarnyalah mereka datang terlambat. Keempat Pangeran itu telah melarikan diri dari kota Pakuwon Kabanaran yang telah mereka rebut beberapa saat yang lewat.

Sementara itu, selebihnya dari sisa pasukan Pangeran Indrasunu ternyata telah menyerah. Beberapa bagian kecil di antara mereka telah melarikan diri bercerai-berai.

Dengan demikian, maka Akuwu Suwelatama telah berhasil merebut kembali tempat kedudukannya, meskipun ia harus mendapat bantuan dari Singasari. Bukan karena Akuwu itu terlalu lemah, tetapi ia tidak sampai hati menarik pasukannya dari daerah yang mulai menjadi gawat oleh kelompok-kelompok penjahat.

Dalam pada itu Pangeran indrasunu telah meninggalkan Pakuwon Kabanaran dengan tergesa-gesa. Tidak banyak pengawalnya yang menyertainya. Bahkan yang sedikit itu pun nampaknya bukan pengawal yang setia. Sebagian dari mereka telah dengan diam-diam memisahkan diri untuk mencari hidup masing-masing.

Bahkan, Pangeran yang bertubuh kecil yang telah kehilangan gurunya itu pun telah menemui Pangeran Indrasunu. Dengan nada menyesal ia berkata, “Aku sudah kehilangan segala-galanya. Karena itu, untuk sementara aku ingin menyendiri sambil membawa tubuh guruku kembali ke padepokannya.”

“Perjuangan kita masih panjang.” berkata Pangeran Indrasunu.

“Aku tahu. Tetapi aku perlu beristirahat sepeninggal guru. Jika hatiku telah pulih kembali, aku akan menentukan sikap.” berkata Pangeran bertubuh kecil, murid Resi Damar Pamali yang terbunuh di peperangan.

Pangeran Indrasunu tidak dapat mencegahnya. Katanya, “Baiklah. Beristirahatlah. Pada saatnya aku akan dapat menjemputmu.”

Pangeran bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah Pangeran bertubuh kecil itu telah memisahkan diri. Sementara itu ketiga Pangeran yang lain pun akhirnya merasa bahwa mereka memang harus beristirahat untuk menyusun rencana yang lebih baik. Kegagalan mereka itu, harus mereka jadikan dasar pengalaman untuk melakukan tindakan-tindakan selanjutnya.

Tetapi para Pangeran itu tidak mau kembali ke Kediri. Jika persoalan mereka sudah didengar oleh para petugas di Kediri, maka kedatangan mereka ke Kediri hanya akan mengundang bencana.

Karena itu, maka para Pangeran itu telah memilih untuk kembali ke padepokan, ke tempat mereka berguru. Tetapi karena Pangeran Indrasunu tidak akan dapat kembali kepada gurunya, maka ia pun telah memilih salah satu dari kedua padepokan tempat saudaranya berguru.

“Kita memang tidak boleh tergesa-gesa.” berkata guru salah seorang dari kedua Pangeran itu, “Kali ini kita telah gagal. Tetapi pada kesempatan lain, kita akan memenangkan pertempuran seperti ini.”

Para Pangeran itu hanya mengangguk-angguk saja. Namun gambaran mereka tentang masa depan mereka, tiba-tiba telah menjadi buram.

Sementara itu, dendam Pangeran Indrasunu justru tertuju paling banyak kepada seorang gadis yang bernama Ken Padmi. Bagi Pangeran Indrasunu, gadis itu menjadi sumber dari malapetaka yang telah dialaminya. Jika ia pada suatu malam tidak melihat gadis itu di perapian dalam perjalanannya ke Singasari, serta kemudian gadis itu tidak menolaknya dengan seribu macam alasan dan cara, maka agaknya ia tidak terlempar ke dalam keadaan seperti yang dialaminya saat ini.

Namun selebihnya ia pun telah mendendam kepada Akuwu Suwelatama yang dianggapnya menipu serta mengkhianatinya.

Dendam selanjutnya ditujukan kepada gurunya sendiri, Wasi Sambuja.

“Mudah-mudahan ia pun mati dalam benturan itu.” geramnya.

Namun dalam pada itu, ternyata Wasi Sambuja yang justru menjadi pingsan, tidak terlalu banyak menghambur-hamburkan sisa kekuatannya. Ia justru telah terbaring tenang, juga pada saat ia telah sadar kembali.

“Apa yang terjadi?” bertanya Wasi Sambuja.

Akuwu Suwelatama yang berdiri di samping pembaringannya pun kemudian mendekat. Perlahan-lahan ia menyahut, “Kau pingsan ketika terjadi benturan dengan Resi Damar Pamali.”

“O,” Wasi Sambuja menganguk-angguk, “ternyata ilmunya bertambah maju di hari-hari tuanya. “Apakah ia kemudian telah merusak gelar Akuwu?”

”Tidak. Tentu tidak. Sebab ketika Wasi Sambuja membentur ilmu Resi Damar Pamali, Wasi Sambuja menjadi pingsan. Tetapi Resi Damar Pamali telah terbunuh dalam benturan itu.” jawab Akuwu.

“O.” Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Bukan maksudku membunuhnya. Tetapi ia mati karena pokalnya sendiri. Jika aku ikut dalam arus kekecewaan muridku, aku pun akan mati seperti Resi Damar Pamali.” Wasi Sambuja berhenti sejenak, lalu, “Tetapi di mana aku sekarang?”

“Kita sudah merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran.” jawab Pangeran Suwelatama.

“Syukur. Syukurlah.” Wasi Sambuja itu menyahut. Meskipun ia masih nampak sangat lemah, tetapi sorot matanya membayangkan kegembiraannya.

“Tetapi di mana para Pangeran itu sekarang?” bertanya Wasi Sambuja.

“Mereka melarikan diri. Kami belum berhasil menemukan jejaknya. Nampaknya pasukan mereka menjadi bercerai-berai meskipun ada juga sekelompok kecil yang tetap berada dalam satu ikatan. Yang lain telah terkepung dan menyerah kepada pasukan kami.”

“Syukurlah,” jawab Wasi Sambuja, “jika demikian maka perang ini sudah selesai.”

“Mudah-mudahan para Pangeran itu tidak membuat onar lagi dengan cara lain. Namun agaknya jika mereka akan bertindak lagi, mereka harus mempertimbangkan pengalaman ini, sehingga mereka tidak akan terperosok lagi ke dalam kesulitan yang semakin parah.”

“Mudah-mudahan mereka mengerti arti dari pengalamannya,” sahut Wasi Sambuja, “bukan berakibat sebaliknya. Dendam yang tidak berkesudahan.”

Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk melihat tabiat saudara-saudaranya itu seorang demi seorang. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Mudah-mudahan. Pengalaman mereka kali ini cukup pahit bagi mereka. Tetapi kadang-kadang aku masih dibayangi oleh keragu-raguan justru aku mengenal sifal-sifat mereka. Kali ini aku berusaha untuk mengalasi kekalutan ini sebagaimana kita mengatasi kekacauan biasa. Bukan satu pemberontakan. Karena akibatnya akan berbeda. Tetapi jika ia mengulangi lagi, mungkin aku sudah tidak dapat lagi membatasi tuduhan, bahwa yang mereka lakukan benar-benar satu pemberontakan.”

“Adalah bodoh sekali jika mereka tidak mengetahui akan hal itu.” sahut Wasi Sambuja, ”Akuwu sudah berbuat lembut terhadap mereka.” Wasi Sambuja berhenti sejenak, lalu, “Tetapi agaknya memang sulit untuk menjajagi perasaan seseorang.”

Demikianlah maka Akuwu Suwelatama pun berusaha untuk menegakkan kembali pemerintah di Pakuwonnya.

Orang-orang yang terlibat dalam pertempuran itu pun mendapat perhatiannya sepenuhnya. Mereka yang dengan sadar memihak Pangeran-pangeran yang melawannya, diperlakukan berbeda dengan mereka yang kurang mengerti persoalannya meskipun mereka ikut berperang. Tetapi untuk membedakan sikap itu pada setiap orang tentu akan banyak mengalami kesulitan.

Meskipun demikian Akuwu Suwelatama pun telah memerintahkannya demikian. Ia membuat beberapa ketentuan yang akan dapat menjadi petunjuk para pembantunya untuk melakukan pengusutan.

Namun dalam pada itu, tidak dapat diingkari bahwa sikap pribadi setiap orang akan berbeda, sehingga tanggapan mereka terhadap orang-orang yang akan menglami pengusutan itu pun akan berbeda pula.

Dalam pada itu, untuk beberapa saat pasukan Singasari masih tetap berada di Pakuwon Kabanaran. Bahkan Akuwu minta agar mereka sempat mengikuti perkembangan keadaan di Pakuwon itu untuk beberapa lama. Bukan saja pulihnya tata pemerintahan, tetapi juga perkembangan keadaan di daerah yang gawat. Di daerah hutan perbatasan dan di Kedung Sertu yang masih selalu dibayangi oleh kejahatan yang belum dapat diatasi.

“Apakah mereka terlalu kuat?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Tidak karena mereka terlalu kuat,” jawab Akuwu Suwelatama, “tetapi juga bukan berarti mereka dapat diabaikan kekuatannya. Yang paling menyulitkan adalah kedudukan mereka. Bagi mereka yang berada di hutan perbatasan, maka mereka bersarang di daerah seberang perbatasan. Sementara di daerah rawa-rawa Kedung Sertu, mereka mempunyai cara yang sulit untuk ditiru bagaimana mereka menyusup di antara pepohonan air dan menghilang. Kedung Serta adalah daerah rawa-rawa yang hampir setiap saat di selubungi oleh kabut yang tebal, sehingga sulit untuk dapat mengejar para perampok yang sudah lebih menguasai medan di daerah yang berawa-rawa itu.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, daerah itu nampaknya memang daerah yang sulit untuk di jamah. Meskipun Mahisa Bungalan belum pernah melihat daerah itu, tetapi ia dapat membayangkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pasukan Akuwu di daerah itu.

“Sebenarnyalah korban yang kita berikan sudah cukup mahal untuk mengatasinya. Tetapi kita masih belum dapat dengan pasti menghancurkan mereka. Selama pasukan kita berada di daerah itu, seolah-olah segala kegiatannya sudah dihentikan. Namun pada saat-saat pasukan itu lengah maka tiba-tiba saja mereka menyergap dan merampok orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu berkecukupan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu. Namun bahwa di antara rakyat di daerah rawa-rawa itu semula dengan berhasil, mengusahakan kulit ular dan kulit buaya bagi perhiasan dan perlengkapan khusus, maka mereka sempat menabung barang sedikit.” Akuwu Suwelatama menjelaskan.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk mengatasi mereka yang mempunyai daerah perlindungan yang mapan.

“Tetapi Akuwu,” bertanya Mahisa Bungalan, “apakah Akuwu pernah berbicara dengan Pakuwon di seberang hutan perbatasan, untuk mendapat ijin memasuki daerah itu dan langsung menghancurkan pasukan perampok itu di sarangnya?”

“Pemimpin pasukan pengawal di hutan perbatasan itu pernah mencoba melakukannya. Tetapi pemimpin pasukan pengawal Pakuwon sebelah, menganggap bahwa pernyataan itu terlalu dibuat-buat.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun ia pun tidak berkeberatan untuk menunda barang beberapa hari untuk kembali ke Singasari. Namun Mahisa Bungalan telah mengirimkan penghubungnya untuk melaporkan perkembangan keadaan dengan para pemimpin prajurit di Singasari. Bahkan ketika Pangeran Wirapaksi kemudian terpaksa mendahului bersama para pengawalnya, maka pesan Mahisa Bungalan itu pun telah diulangi.

Memang ada juga beberapa orang prajurit Singasari yang mengeluh. Calon perwira mereka itu adalah seorang petualangan dan pengembara yang tidak akan pernah pulang, desis seorang prajurit.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi menarik juga. Jika aku tidak terlalu rindu pada anakku yang bungsu, maka aku kira senang juga mengembara ke tempat-tempat yang belum pernah di ambah.”

Ternyata bahwa keluh-kesah itu telah didengar oleh Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia pun segera menemui Mahisa Agni dan Witantra untuk membicarakannya.

“Aku tidak sampai hati untuk meninggalkan Pakuwon ini begitu saja,” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi aku pun mengerti, prajurit-prajurit itu sudah terlalu lama meninggalkan keluarganya dalam hubungannya dengan tugasnya kali ini.”

Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Kemudian Mahisa Agni pun berkata, “Seorang prajurit kadang-kadang harus meninggalkan keluarganya sampai berbulan-bulan. Yang mereka lakukan belum apa apa. Mereka seolah-olah baru kemarin sampai di daerah ini. Kau sudah memikirkan keluh-kesah mereka. Prajurit-prajurit yang masih muda memang memerlukan pengalaman.”

“Untuk peperangan yang besar, mungkin mereka memang harus berbulan-bulan meninggalkan keluarga mereka. Namun yang mereka hadapi sekarang bukan persoalan yang terlalu besar. Dan mereka pun merasa bahwa tugas yang dibebankan kepada mereka telah selesai.” jawab Mahisa Bungalan.

“Jadi bagaimana maksudmu yang sebenarnya?” bertanya Witantra.

“Biarlah mereka kembali ke kesatuan mereka. Biarlah mereka melaporkan bahwa ada beberapa orang yang terpaksa tidak dapat kembali pulang. Selain yang masih harus dirawat.” berkata Mahisa Bungalan, “Sementara itu, aku masih akan melanjutkan tugas yang masih belum diselesaikan oleh Akuwu Suwelatama. Para perampok yang menghantui daerah hutan perbatasan, serta daerah rawa-rawa di Kedung Sertu itu memerlukan pemecahan.”

Mahisa Agni mwngangguk-angguk kecil, katanya, ”Aku mengerti maksudmu, Mahisa Bungalan. Ternyata kau masih belum dapat melepaskan diri dari jiwa pengembaraanmu. Tetapi bahwa kau tidak dapat mendengarkan keluhan seseorang tanpa berbuat sesuatu adalah satu sikap yang sesuai dengan sikap seorang kesatria.”

“Jadi paman sependapat dengan rencanaku?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan memberi pertanda kepada mereka, bahwa mereka kembali atas perintah. Bukan karena mereka meninggalkan tugas.” berkata Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jika pasukan itu sudah kembali, maka ia akan dapat membantu Akuwu Suwelatama untuk menjebak para perampok itu.

Demikianlah, maka Mahisa Agni pun kemudian memberikan pertanda kepada para prajurit Singasari. Senapa tertua di antara mereka telah membawa rontal dari Mahisa Agni, yang menyebutkan bahwa prajurit-prajurit itu memang sudah selesai bertugas dan diperintahkan kembali ke dalam pasukan induknya, sementara Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra masih akan tinggal di Pakuwon Kabanaran untuk menyelesaikan persoalan kekisruhan di Pakuwon itu sampai tuntas.

Sepeninggal para prajurit, maka Mahisa Bungalan pun telah mengusulkan kepada Akuwu Suwelatama untuk menjebak para perampok itu. Pasukan yang berada di hutan perbatasan itu, agar diperintahkan untuk menarik kembali. Demikian pula bergantian akan dilakukan bagi pasukan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu.

Akuwu Suwelatama menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa justru ditarik kembali?”

“Hanya sebagian dari mereka harus meninggalkan tempat itu. Tetapi pada kesempatan yang tidak mudah diketahui oleh para perampok itu, sebagian pengawal yang tersisa, akan tinggal bersama rakyat di padukuhan-padukuhan yang terpencil itu. Dengan demikian, jika para perampok itu datang kepada mereka, maka yang akan melawan mereka adalah para pengawal yang tersembunyi. Aku akan berada di antara mereka.” sahut Mahisa Bungalan.

“Menarik sekali!” desis Akuwu Suwelatama, “Baiklah. Kita akan mulai dengan daerah rawa-rawa Kedung Sertu. Aku akan ikut pula dalam rencana itu. Aku kira, kita untuk sementara tidak usah mencemaskan keadaan kota Pakuwon ini. Adimas Pangeran berempat itu tentu memerlukan waktu yang lama untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.”

Demikianlah rencana itu disusun sebaik-baiknya. Akuwu Suwelatama, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra akan ikut bersama mereka. Bersama para pengawal yang akan membaurkan diri dengan rakyat di daerah yang sering menjadi sasaran perampokan apabila ditinggalkan oleh para pengawal.

Setelah rencana itu disusun sebaik-baiknya, maka Akuwu telah memanggil Senopati yang memimpin pasukan di daerah rawa-rawa Kedung Sertu untuk mendengar penjelasannya.
Senopati yang kemudian datang menghadap itu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Akuwu Suwelatama.

“Kembalilah, dan aturlah seperti yang kita rencanakan. Jika kami kemudian dengan diam-diam tiba, maka sebagian dari para pengawal yang telah kau sisihkan, akan meninggalkan tempat itu.”

Dalam pada itu, sebelum Senopati itu kembali ke tugasnya ia masih sempat melihat akibat dari perebutan kekuasaan yang berlangsung hanya dalam waktu singkat itu. Sayang ia tidak dapat ikut serta mempertahankan kota Pakuwon. Namun ternyata ia pun menyadari, bahwa tugasnya tidak kalah pentingnya dengan tugas untuk merebut kembali kota Pakuwon itu.

Ketika beberapa hari kemudian, segalanya sudah siap, serta dengan diam-diam orang-orang terpenting dari Pakuwon Kabanaran dan Singasari telah ada di antara rakyat Kedung Sertu, maka Senopati itu pun telah memerintahkan sebagian dari para pengawal untuk berbaur pula di antara rakyat. Sedangkan sebagian lagi dari mereka telah diperintahkan untuk meninggalkan daerah itu. Upacara melepaskan para pengawal itu dilakukan dengan meriah. Hampir semalam suntuk mereka bersuka-ria. Dengan demikian maka yang terjadi itu telah memancing perhatian para perampok yang tersembunyi. Berita pelepasan itu akhirnya telah sampai pula ke telinga mereka. Sehingga mereka mengira bahwa para pengawal memang telah jemu berada di Kedung Sertu.

Orang-orang yang dengan ikhlas atau tidak, sering memberikan keterangan tentang keadaan para pengawal, telah mengatakan kepada para perampok yang tersembunyi, bahwa para pengawal telah ditarik.

“Kau yakin?” bertanya salah seorang perampok yang dengan sandi memasuki padukuhan.

“Lihat saja sendiri.” jawab orang yang memberikan keterangan itu.

Untuk beberapa hari perampok-perampok itu berusaha untuk meyakinkan diri. Dua tiga orang di antara mereka yang dengan tidak menarik perhatian melintasi padukuhan-padukuhan yang menjadi daerah sasaran mereka, memang sudah tidak melihat lagi adanya para pengawal yang sering berkeliaran di padukuhan itu.

Bahkan di pasar-pasar, mereka mendengar bahwa pelepasan para pengawal itu telah dilakukan dengan meriah. Mereka mengadakan kembul bujana dengan rakyat yang akan mereka tinggalkan, sebagai ucapan terima kasih atas sikap dan bantuan rakyat terhadap mereka. Sebaliknya rakyat pun mengucapkan terima kasih atas perlindungan mereka selama mereka berada di padukuhan itu.

“Bodoh sekali.” desis salah seorang di antara mereka yang mendengar ceritera itu dari seorang penjual nasi di sudut pasar. Lalu katanya, “Ternyata merekalah yang jemu lebih dahulu. Mungkin mereka mengira bahwa kita sudah kehilangan kekuatan, atau bahkan mereka mengira bahwa kita sudah musnah karena kelaparan.”

“Ya. Bodoh sekali,” sahut kawannya, “dengan mengadakan keramaian itu, mereka telah memberikan tanda kepada kita, agar kita mulai melakukan tugas kita kembali.”

Dalam pada itu, para perampok itu sama sekali tidak menyadari, bahwa masih ada sebagian dari para pengawal yang berada di padukuhan itu dengan membaurkan diri bersama rakyat. Mereka tinggal di rumah-rumah rakyat dan tersebar di berbagai tempat.

Namun mereka telah melakukan satu usaha untuk mengajari rakyat di daerah Kedung Sertu itu untuk berusaha menjaga diri mereka sendiri. Para pengawal yang tinggal telah mengajak anak-anak muda dan orang-orang yang lebih tua tetapi masih mampu melakukannya, untuk meronda di malam hari. Mereka membuat gardu-gardu dan kentongan-kentongan yang mereka pasang tidak hanya di gardu-gardu. Tetapi juga di setiap rumah.

Perkembangan baru itu ternyata mendapat sambutan yang baik dari rakyat di daerah Kedung Sertu. Anak-anak mudanya telah berbuat lebih banyak dari masa-masa yang lewat. Mereka mulai berusaha untuk mengenal senjata dan mempergunakannya sebaik-baiknya.

Gardu-gardu dan kentongan-kentongan itu telah menarik perhatian para perampok yang bersembunyi di seberang rawa. Namun setiap orang di padukuhan-padukuhan itu telah mendapat pesan, terutama yang di rumahnya tinggal pengawal yang membaurkan diri di antara rakyat, agar mereka mengatakan bahwa yang tinggal di rumah itu adalah saudaranya yang datang dari jauh. Saudaranya yang sudah lama tidak saling berkunjung.

Tidak banyak yang menghiraukan, bahwa di padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu banyak menerima tamu. Namun karena mereka tinggal pada rumah yang berpencar, maka kehadiran mereka tidak begitu menarik perhatian.

Ternyata usaha Mahisa Bungalan untuk memancing para perampok mulai nampak akan berhasil. Para perampok itu tidak senang melihat gardu-gardu yang mulai terisi oleh anak-anak muda dan laki-laki yang meskipun sudah lebih tua, tetapi masih sanggup melakukannya.

Karena itu, maka mereka pun memutuskan untuk segera bertindak untuk menakut-nakuti rakyat di padukuhan itu. Bahkan sekaligus merampok orang-orang yang mereka anggap cukup berada.

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, sekelompok perampok mulai merayap mendekati padukuhan yang paling besar di antara beberapa padukuhan di sekitar daerah rawa-rawa Kedung Sertu. Mereka mengenal seorang saudagar kulit yang cukup mampu, sehingga para perampok itu menduga bahwa di dalam rumah itu terdapat perhiasan emas dan permata simpanan saudagar yang mereka anggap cukup mampu itu.

“Kita sekaligus menunjukan kepada rakyat yang sombong itu, bahwa usaha mereka sia-sia. Para pengawal yang telah meninggalkan tempat itu agaknya telah berpesan, agar mereka mulai dengan menjaga ketentraman daerah mereka sendiri.”

“Mereka akan menyesali kesombongan mereka. Mungkin kesombongan mereka itu pulalah yang menyebabkan para pengawal meninggalkan tempat itu. Rakyat yang sombong itu merasa dirinya sudah cukup kuat, hanya oleh latihan-latihan sekedarnya.” sahut seorang kawannya.

Kawan-kawannya yang lain tertawa. Mereka menganggap bahwa permainan yang akan mereka lakukan tentu akan menggembirakan.

“Sebenarnya kita tidak perlu membawa pasukan sebesar ini.” desis salah seorang di antara mereka.

“Kita akan mengajari rakyat di padukuhan-padukuhan itu untuk mengenal diri mereka sendiri,” berkata pemimpin perampok itu, “meskipun demikian, kita tidak boleh lengah. Siapa tahu ada perubahan yang memang telah terjadi di padukuhan-padukuhan itu, sehingga jika demikian kita tidak akan terjebak karenanya.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu mereka sudah mendekati padukuhan yang mereka pilih sebagai sasaran mereka malam itu.

Dalam pada itu, malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Meskipun di langit terdapat bintang-bintang yang berkeredipan, tetapi malam terasa sangat gelap.

Namun demikian, di padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu, gardu-gardu pun mulai diterangi dengan obor-obor. Anak-anak muda mulai turun dari rumahnya dan sebagian dari mereka telah berkumpul di gardu-gardu untuk berkelakar.

Namun di antara mereka terdapat orang-orang yang sedang mengunjungi sanak kadang mereka di padukuhan itu. Tiga ampat orang tamu itu pun telah bertemu dan berkumpul di gardu-gardu itu, sedangkan beberapa orang lainnya, berkumpul di gardu yang lain.

Tetapi tidak semua pengawal yang membaurkan diri di antara rakyat itu keluar di gardu-gardu. Agar tidak segera mudah menimbulkan kecurigaan, maka mereka telah membuat giliran dengan diam-diam di antara mereka sendiri.

Gardu yang berada di mulut lorong, tiba-tiba telah dikejutkan oleh seseorang yang berlari-lari dari sawah.

Dengan terengah-engah orang itu berusaha berbicara kepada orang-orang yang berada di dalam gardu itu.

“Tenangkan sedikit hatimu.” berkata orang yang sudah separo baya yang juga berada di gardu itu.

“Di sawah. Mereka menuju kemari.” katanya gugup.

“Apa yang di sawah? Dan sipakah yang menuju kemari?” bertanya yang lain.

“Sekelompok orang yang tidak aku kenal.” berkata orang itu. “Cepat menyingkir. Mereka terlalu kuat.”

“Siapa?” desak kawannya yang duduk terkantuk-kantuk di gardu, namun yang tiba-tiba matanya menjadi terbelalak.

“Aku kira sepasukan perampok,” berkata orang itu, “cepat berbuatlah sesuatu. Mereka berada dekat di belakangku. Untunglah mereka tidak melihat aku berlari-lari mendahului lewat pematang.”

Seorang yang bukan penduduk Kedung Sertu itu tiba-tiba meloncat turun dari gardu, “Kau tidak berbohong?”

“Tentu tidak. Biar apa aku harus berbohong?” jawabnya. Karena itu, orang yang meloncat dari gardu itu pun berkata, “Cepat bersiaga. Aku akan melihat ke luar regol.”

“Aku ikut bersamamu.” desis seorang yang lain, yang juga bukan orang padukuhan itu.

Dua orang itu pun segera meninggalkan gardu itu. Dengan hati-hati mereka pun telah keluar dari gerbang padukuhan. Namun jatung mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa sekelompok orang-orang yang berjalan dalam gelap benar-benar telah mendekati padukuhan itu.

Karena itu, maka orang itu pun tidak telaten lagi, sementara orang-orang yang datang itu telah mencapai regol padukuhan.

Dengan tangkasnya orang itu pun segera meloncat menyambat pemukul kentongan. Sekejap kemudian, telah terdengar isyarat bunyi kentongan itu mengumandang seluruh padukuhan.

Sambil memukul kentongan orang itu berkata, “Cepat menyingkir. Jangan main-main. Taruhannya adalah lehermu. Jika kalian diketemukan di gardu ini, maka kalian akan dicincang sampai lumat.”

Barulah orang-orang yang berada di gardu itu sadar, bahwa mereka benar-benar menghadapi bahaya. Karena itu, maka mereka pun dengan serta-merta telah berloncatan dan hilang di dalam gelap.

Sementara itu, sekelompok orang yang memasuki regol itu pun mendengar suara kentongan. Tetapi mereka sama sekali tidak menjadi gentar, biar pun orang seluruh padukuhan atau dari padukuhan di sekitar tempat itu datang seluruhnya, mereka tidak akan cemas.

Orang yang memukul kentongan itu pun menjadi gelisah. Belum ada satu pun kentongan di tempat lain yang menyahut. Sementara itu ia pun yakin bahwa sekelompok orang-orang yang datang ke padukuhan itu telah sampai ke pintu gerbang.

“Gila!” geramnya, “Apakah orang padukuhan ini telah tertidur semua?”

Karena itulah maka ia telah memukul kentongan semakin lama semakin keras.

“Mereka sudah terlalu dekat.” desis seorang.

“Hampir tidak ada waktu. Kita harus mengundang kawan-kawan kita yang tersebar. Di padukuhan ini hanya ada enam orang di antara kita dan orang yang bernama Mahisa Bungalan itu, yang dikirim oleh Akuwu Suwelatama untuk bergabung dengan kita.”

“Apakah orang itu benar-benar mempunyai kemampuan sebagaimana seorang pengawal seperti kita?” bertanya yang seorang.

“Kita akan membuktikannya malam ini.” jawab yang lain, “Tetapi kita harus bertindak cepat sekarang. Pergilah ke gardu. Segalanya harus dilakukan dengan cepat. Termasuk isyarat. Karena yang datang berjumlah begitu banyak.”

Waktu memang hanya sedikit sekali. Orang-orang itu sudah menjadi semakin dekat. Sedangkan jumlah mereka cukup mendebarkan.

Sementara itu, seorang dari kedua orang yang keluar dari gerbang itu pun telah kembali ke gardu dengan nafas yang terengah-engah. Dengan sendat, seperti orang yang terdahulu, ia berkata, “Mereka hampir memasuki gerbang. Tidak ada waktu. Menyingkirlah dan bersiaplah. Kita akan membunyikan isyarat.”

“Apakah kau tidak bermimpi?” bertanya salah seorang di antara mereka yang berada di gardu itu.

“Cepatlah, tidak ada waktu untuk berbincang dalam keadaan seperti ini.” geram orang itu.

Ternyata orang-orang yang masih berada di gardu itu tidak dapat mengikuti kehendak orang itu. Mereka terlalu lamban dan membuat seribu macam pertimbangan.

Tetapi ia bertekad untuk tidak berhenti memukul kentongan sehingga ada meskipun hanya satu, suara kentongan yang menyahut dan yang akan memanggil orang lain untuk membunyikannya pula.

Dalam pada itu, orang-orang yang datang ke padukuhan itu benar-benar sudah berada di dalam regol. Untunglah, tepat pada waktunya, terdengar suara kentongan meskipun agak jauh, menyahut suara kentongan pertama.

Demikian suara kentongan yang lain itu berbunyi, maka suara ketongan yang pertama itu pun terdiam, karena penabuhnya dengan tergesa-gesa telah menyusup menghilang di dalam gelap, tepat pada saat orang-orang yang memasuki regol itu mendekatinya gardunya.

“Kosong,” desis orang-orang itu, “mereka telah pergi. Baru saja. Lihat, kentongan itu masih terayun.”

Kawannya tertawa. Jawabnya, “Orang-orang yang sombong. Ternyata mereka tidak berbuat apa-apa ketika kami datang.”

“Belum tentu.” berkata yang lain lagi. Lalu, “Dengar suara kentongan yang lain telah menyahut.”

Tetapi yang tertawa itu masih juga tertawa. Katanya, “Mereka pun akan segera melarikan diri, demikian kita mendekati.”

Demikianlah maka orang-orang itu telah memasuki padukuhan itu semakin dalam. Mereka sama sekali tidak menghiraukan rumah-rumah dengan pintu tertutup rapat. Yang ingin mereka datangi, kecuali gardu-gardu adalah rumah seorang saudagar kulit buaya yang cukup kaya. Yang mereka duga menyimpan barang-barang berharga yang pantas untuk mereka ambil.

Dalam pada itu, suara kentongan di kejauhan masih terdengar. Tetapi seperti suara kentongan yang pertama, maka suara yang lain pun tidak segera menyahut.

Baru kemudian terdengar suara kentongan yang lain, agak lebih dekat dari suara kentongan yang jauh itu.

Ternyata bahwa pemukul kentongan yang pada waktunya berhasil menyelinap itu telah menemukan sebuah kentongan tergantung di serambi sebuah rumah. Tanpa minta ijin dahulu, maka ia pun telah memukul kentongan itu sekeras-kerasnya.

Sebenarnyalah, orang-orang padukuhan itu menjadi ngeri mendengar suara kentongan itu. Sebagian besar dari mereka, justru telah kehilangan keberanian mereka untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk memukul kentongan pun rasa-rasanya mereka menjadi ketakutan.

Namun akhirnya, selain dua buah kentongan itu, ada juga kentongan di ujung padukuhan yang lain telah menyambut. Suaranya cukup lantang sehingga terdengar dari padukuhan di seberang bulak yang tidak terlalu panjang.....

Karena itulah, maka padukuhan di seberang bulak itu pun telah terdengar pula suara kentongan yang justru sahut menyahut. Hampir setiap kentongan di gardu-gardu telah dibunyikan. Justru karena mereka menganggap bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terdapat di padukuhan mereka.

Dengan tanda-tanda khusus dari bunyi kentongan, maka para penghuni padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu mengenal dengan pasti, sumber dari suara kentongan itu. Demikian juga kentongan yang mulai merayap di padukuhan-padukuhan yang lain itu pun telah memberikan isyarat, dari manakah sumber bunyi kentongan itu. Pukulan rangkap yang berulang terus-menerus telah mengoyak senyapnya malam di padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu yang biasanya memang senyap.

“Orang-orang gila,” geram para perampok itu, “apa yang dapat mereka lakukan dengan suara kentongan yang bising itu?”

Sebenarnyalah untuk beberapa saat lamanya, tidak ada sesuatu yang dapat menggangu para perampok itu.

Mereka dengan leluasa telah mendatangi gardu-gardu yang kosong. Ada satu dua kentongan yang nampaknya memang baru saja dibunyikan. Namun orang-orang yang membunyikannya telah hilang di dalam gelapnya malam.

“Persetan!” geram pemimpin perampok itu. “Kita akan pergi ke rumah saudagar kulit sekarang. Nanti kita akan melihat-lihat kentongan di gardu di padukuhan-padukuhan lain yang berteriak-teriak seperti telah gila itu. Kita akan membungkamnya dan kita akan segera memusnahkan semua gardu yang ada di padukuhan-padukuhan itu.”

“Kita apakan gardu-gardu itu?” bertanya salah seorang perampok.

“Kita akan membakarnya.” jawab pemimpin perampok itu.

“Bagus sekali. Aku ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang padukuhan yang sombong itu, yang seolah-olah telah menyatakan dirinya berani melawan kita.”

Pemimpin perampok itu pun kemudian membawa orang-orangnya menuju ke rumah saudara kulit yang yang dimaksudkan. Mereka ingin menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Kemudian seperti yang sudah mereka katakan, bahwa mereka akan membakar gardu-gardu yang ada.

Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berada di padukuhan itu telah berkumpul. Enam orang pengawal dan Mahisa Bungalan.

“Orang itu menuju ke rumah saudagar kulit itu.” berkata salah seorang pengawal.

“Kita akan mencegah mereka. Kita akan pergi ke rumah itu pula.” sahut Mahisa bungalan.

“Jangan bodoh. Mereka terdiri dari sekelompok orang yang cukup banyak dan mempunyai kemampuan tinggi. Kita bertujuh tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Kawan-kawan kita akan berdatangan dari padukuhau-padukuhan lain. Selebihnya, apakah anak-anak muda dari padukuhan ini tidak dapat dikerahkan?”

“Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika mereka tampil, mereka akan menjadi korban yang tidak berarti sama sekali.”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia mengerti, bahwa anak-anak muda padukuhan itu tidak akan dapat mengimbangi kemampuan para perampok itu. Tetapi pada suatu saat, anak-anak muda itu pun harus mendapatkan kesempatan untuk percaya kepada kemampuan mereka. Jika hal itu tidak segera dimulai, maka mereka tidak akan pernah dapat menjaga diri mereka sendiri.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun berkata, “Kita akan berada di paling depan. Biarlah anak-anak muda itu dalam jumlah yang besar mempengaruhi perlawanan para perampok itu.”

“Mereka belum siap untuk melakukannya.” jawab salah seorang pengawal.

Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Ia memang tidak dapat memaksa para pengawal mengerahkan anak-anak muda yang memang belum siap. Tetapi Mahisa Bungalan pun tidak akan dapat membiarkan tingkah laku para perampok itu.

Karena itu, maka katanya, “Kita akan mengganggu mereka sambil menunggu kawan-kawan kita yang tentu akan segera datang.”

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya salah seorang pengawal.

“Kita ikuti mereka dari kegelapan. Tetapi kita harus memberikan kesan, bahwa kita memang mengikutinya,” jawab Mahisa Bungalan, “dengan demikian maka mereka akan memperhitungkan kehadiran kita. Jika kita berpencar, maka kesannya, kita terdiri dari banyak orang yang mengintai mereka dari dalam gelap.”

Para pengawal itu pun mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat dengan Mahisa Bungalan.

Karena itu, maka mereka pun segera mencari orang-orang yang telah memasuki padukuhan itu sambil berpencar. Usaha itu tidak begitu sulit. Sambil menyusup di halaman dan pekarangan, mereka kadang-kadang menemukan anak-anak muda yang sedang bersembunyi.

Anak-anak muda yang bersembunyi itulah yang dapat memberikan petunjuk, kemana para perampok itu pergi.

“Agaknya mereka pergi ke rumah saudagar kulit itu desis salah seorang anak muda yang bersembunyi di serambi rumah di pinggir jalan padukuhan.

Demikianlah para pengawal dan Mahisa Bungalan itu pun akhirnya menemukan mereka. Mahisa Bungalanlah yang pertama-tama dengan sengaja menampakan diri. Namun ia pun segera menghilang ke dalam gelap.

“Anak setan,” geram para perampok, “ada juga anak-anak yang mengikuti kita.”

“Hanya seorang.” desis para perampok itu. Namun ternyata mereka telah melihat gerumbul yang berguncang di halaman sebelah. Dua orang di antara para perampok itu segera meloncat memasuki halaman itu. Namun seorang pengawal telah hilang pula dalam kegelapan.

Gangguan yang serupa telah terjadi pula di arah yang lain. Sehingga dengan demikian, seperti yang dikehendaki, maka seolah-olah para perampok itu telah diintai oleh berpuluh-puluh pasang mata dari balik gerumbul dan kegelapan.

“Persetan!” berkata pemimpin perampok itu. “Mereka hanya berani mengintai. Jangan pedulikan. Kita datangi rumah itu dan kita rampas harta bendanya.”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya Orang-orang itu tidak menghiraukan gangguan mereka lagi. Mereka berjalan terus menuju ke rumah saudagar kulit yang cukup kaya itu.

Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Ia pun menjadi semakin berani menganggu. Sekali-sekali maka mulailah Mahisa Bungalan melempari iring-iringan itu dengan batu.

Jika batu dilemparkan oleh anak-anak muda padukuhan itu dan mengenai seseorang, maka orang itu akan menyeringai kesakitan. Tetapi jika yang melemparkan batu itu adalah Mahisa Bungalan, maka seseorang yang dikenainya telah menjadi pingsan.

“Gila!” geram seorang perampok, “Kita cari tikus itu dan kita cincang sampai lumat.”

Tetapi Mahisa Bungalan telah menghilang di balik pagar-pagar batu yang mengelilingi halaman-halaman rumah.

Sementara itu, para pengawal yang berada di padukuhan-padukuhan yang lain, telah dengan tergesa-gesa menuju ke padukuhan yang telah memberikan isyarat yang pertama. Namun sementara itu, isyarat yang masih mengumandang di padukuhan-padukuhan lain, justru di padukuhan yang pertama itu sekali telah berhenti.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terdengar suara kentongan yang mengejut di gardu di ujung lorong, menghadap ke pintu gerbang. Semakin lama semakin keras.

“Mereka telah datang,” desis Mahisa Bungalan kepada seorang pengawal yang berada di dekatnya, “yang membunyikan isyarat itu tentu bukan anak-anak muda di padukuhan ini.”

“Ya. Aku juga berpendapat demikian.” desis pengawal itu.

“Carilah hubungan.” desis Mahisa Bungalan. Pengawal itu pun segera menyusup di dalam rimbunnya tetanaman di kebun dan pekarangan. Dengan tergesa-gesa ia meloncati pagar dan dinding halaman, menuju ke gardu yang masih saja mengumandangkan suara kentongan.

“Orang-orang itu telah menjadi gila.” geram para perampok.

Tetapi pemimpin perampok itu membentak, “Kita akan terus. Setelah kita berhasil, maka seluruh padukuhan ini akan kita bakar sampai lumat menjadi debu.”

Para perampok yang lain pun mengikutinya. Seorang di antara mereka telah membawa kawannya yang pingsan itu.

Sementara itu Mahisa Bungalan pun mengikutinya bersama para pengawal yang lain. Tetapi mereka tidak mengganggunya lagi. Jika orang-orang itu menjadi marah, maka mereka akan benar-benar kehilangan akal dan membakar setiap rumah di sekitar jalan padukuhan itu.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan harus menunggu. Jika kawan-kawannya dari padukuhan-padukuhan lain telah berkumpul, meskipun jumlahnya tidak sebanyak para perampok yang telah berada di padukuhan itu, barulah ia akan bertindak.

Ternyata suara kentongan yang mengejutkan itu telah menjadi pertanda bagi para pengawal yang datang dari padukuhan-padukuhan yang berbeda. Mereka pun secara naluriah, telah mencari hubungan dengan orang yang membunyikan kentongan itu. Karena sudah pasti bagi mereka, bahwa yang membunyikan itu bukan para perampok yang mendatangi padukuhan itu.

Pengawal yang memisahkan diri dari Mahisa Bungalan itulah yang kemudian memberikan penjelasan apa yang telah terjadi. Sementara itu, Mahisa Bungalan dan para pengawal yang berada di padukuhan itu telah mengikuti para perampok yang memang sudah mereka perhitungkan, akan mendatangi rumah saudagar kulit yang cukup kaya itu.

“Kita harus bertindak cepat,” berkata pengawal itu, “mereka sudah mendekati rumah itu.”

“Kita akan segera mencegahnya.” desis pemimpin pengawal yang berada di padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu. Namun demikian ia memandang Mahisa Agni dan Witantra yang berada di tempat itu pula untuk mendapatkan pertimbangan. Namun ternyata bahwa keduanya tidak mengambil keputusan. Bahkan mereka telah mendekati seseorang yang nampaknya tidak ada bedanya dengan para pengawal yang lain, karena orang itu pun mempergunakan pakaian sehari-hari sebagaimana dipakai oleh rakyat di padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu.

“Bagaimana pendapat Akuwu?” bertanya Mahisa Agni.

“Kita akan melakukan secepatnya.” jawab Akuwu Suwelatama yang ternyata telah ikut serta di dalam lingkungan para pengawal itu.

Demikianlah maka para pengawal yang kemudian dipimpin langsung oleh Akuwu Suwelatama itu pun telah dengan tergesa-gesa pergi ke rumah saudagar kulit yang cukup kaya, yang pada malam itu berada di dalam bahaya.

Sementara itu, ternyata para perampok itu telah berada di depan regol rumah saudagar kulit itu. Untuk beberapa saat mereka berkumpul di luar regol. Sementara pemimpin mereka telah berusaha untuk membuka regol yang diselarak dari dalam.

“Satu atau dua orang memanjat dinding,” perintahnya, “jika ada penjaga di dalam regol dan agaknya orang itu akan mengganggu, kalian aku beri wewenang untuk bertindak apa saja yang baik menurut kalian.”

Perintah itu tidak usah diulang. Dua orang di antara mereka pun segera meloncat dmding. Ternyata bahwa di dalam regol itu tidak terdapat seorang penjagapun.

Namun sebenarnyalah bahwa ada dua orang yang diupah oleh saudagar kulit itu untuk menjaga rumahnya. Tetapi karena yang datang itu jumlahnya jauh berlipat ganda, maka keduanya sama sekali tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Ketika keduanya mendengar suara kentongan, maka mereka pun sudah menduga, bahwa sasaran yang pertama setelah pasukan pengawal ditarik dari daerah itu, adalah rumah saudagar kaya itu.

Karena itu, maka seorang dari keduanya telah berusaha mengamati jalan yang menuju ke rumah saudagar, itu. Ternyata yang mereka lihat sangat mendebarkan. Jumlahnya terlalu banyak, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Dengan demikian, maka dengan tergesa-gesa orang itu pun kembali menemui kawannya. Kemudian keduanya menyelarak pintu dan dengan tergesa-gesa mereka telah mengetuk pintu dan memberitahukan apa yang akan terjadi.

“Jadi bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya saudagar itu.

“Mereka akan segera datang,” jawab salah satu dari kedua penjaga itu, “jika sempat, kita sebaiknya meninggalkan tempat ini.”

“Tetapi bagaimana dengan perempuan dan anak-anak yang sudah tidur lelap?” bertanya saudagar itu.

Kedua penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tentu tidak mungkin untuk membawa mereka. Sedangkan jika mereka harus dibangunkan, waktunya pun terlalu sempit.

Dalam keragu-raguan itu mereka telah mendengar selarak pintu regol dibuka. Sejenak kemudian mereka pun mendengar orang-orang yang ribut di halaman rumah.

“Mereka telah datang,” berkata penjaga itu, “tidak ada waktu lagi untuk menyingkir.”

Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku terpaksa menyerahkan apa saja yang pernah aku miliki sebagai hasil jerih payahku selama ini. Agaknya itu akan lebih baik daripada aku harus mempertahankan nyawaku. Apalagi jika kemarahan orang-orang itu akan menyentuh anak istriku.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Ternyata para pengawal tidak lagi memegang teguh janji mereka untuk melindungi rakyatnya. Aku tahu, satu dua orang tinggal di padukuhan ini. Namun dalam keadaan gawat ini, mereka tidak dapat berbuat apa-apa.”

Kedua penjaga itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun menjadi cemas akan nasib mereka sendiri. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku terpaksa melepaskan senjataku. Dengan senjata di lambung, maka mereka akan berprasangka buruk, seolah-olah aku akan melawan mereka.”

“Terserah kepada kalian,” berkata saudagar itu, “ tidak ada pilihan apa pun juga.”

Kedua penjaga itu pun kemudian melepaskan pedang di lambungnya, dan menyembunyikannya di bawah amben yang besar.

Sementara itu, demikian pintu regol terbuka, maka para perampok itu pun telah memasuki halaman yang cukup luas. Mereka pun segera berpencar sebelum pemimpin mereka memberikan perintah.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dengan para pengawal yang mengikuti para perampok itu pun telah berada di sekitar halaman itu pula. Mereka masih menunggu, apakah para pengawal yang berada di padukuhan sebelah-menyebelah sempat juga datang.

“Jika mereka tidak datang, apa boleh buat,” desis Mahisa Bungalan, “tetapi jika kami yang ada di sini harus melawan perampok yang banyak itu, maka korban akan terlalu banyak jatuh. Aku harus membunuh sebanyak-banyaknya sebelum aku sendiri akan mereka lumatkan di sini.”

Tetapi Mahisa Bungalan tentu tidak akan dapat membiarkan perampokan itu terjadi di hadapan matanya.

Namun dalam pada itu, selagi para perampok itu sibuk mengatur diri di halaman, maka Akuwu Suwelatama telah menjadi semakin dekat. Meskipun pengawal yang dibawanya jumlahnya tidak cukup banyak dibanding dengan perampok yang datang dengan jumlah yang besar itu, namun Akuwu berpendapat, bahwa kesempatan itu tidak boleh disia-siakan.

Sementara itu, anak-anak muda padukuhan itu yang sedang bersembunyi, ketika mereka melihat sekelompok orang menelusuri jalan padukuhannya menuju ke arah para perampok yang mendatangi rumah saudagar kaya itu menjadi termangu-mangu. Di antara mereka justru menyangka, bahwa orang-orang itu adalah kawanan perampok itu pula yang menyusul kemudian. Namun ada di antara anak-anak muda itu berpendapat lain. Bahkan ketika iring-iringan itu lewat di depan gardu di simpang empat, maka seorang anak muda yang bersembunyi di balik gardu itu sempat melihat, bahwa di antara mereka adalah laki-laki yang pernah ikut serta membantu membuat gardu-gardu.

“Mereka adalah orang-orang yang selama ini tinggal di antara kami.” berkata anak muda itu di dalam hatinya. Karena itu maka ia pun yakin, bahwa iring-iringan kecil itu adalah iring-iringan orang-orang yang tinggal di padukuhan padukuhan itu dengan maksud baik. Dan karena itulah, maka timbul pula harapannya bahwa perampokan itu akan dapat dicegah.

Karena itulah, maka ia pun kemudian berusaha menemukan kawan-kawannya yang bersembunyi. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Mereka akan membantu kami. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah bersama saudara-saudara kami di padukuhan itu.”

“Mereka yang mencoba mempengaruhi cara hidup kami? Mereka yang mendesak kami untuk membuat gardu-gardu dan kentongan?” bertanya seorang kawannya.

“Ya.” jawab anak muda yang sempat memperhatikan iring-iringan itu.

“Apakah termasuk orang-orang asing yang berada di antara kita di padukuhan ini?” bertanya anak muda yang lain.

“Aku belum melihat. Tetapi mereka juga tidak ada di antara kita yang sedang bersembunyi. Mungkin mereka telah mengambil sikap sendiri atas para perampok itu.” jawab anak muda yang melihat iring-iringan itu.

Anak-anak muda itu pun kemudian berbincang di antara mereka. Sehingga akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk melihat apa yang akan terjadi.

“Jika terjadi benturan kekuatan, maka kita akan membantu. Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, maka apa yang akan kita lakukan itu pun tentu sia-sia. Kita tidak akan dapat melawan para perampok itu tanpa bantuan orang-orang yang memiliki kemampuan cukup untuk mengimbangi mereka.” berkata seorang anak muda.

Kawannya sependapat. Karena itu maka katanya, “Kita akan mengumpulkan kawan-kawan kita. Kita akan melihat perkembangan keadaan.”

Demikianlah, maka anak-anak muda itu pun telah mencari kawan-kawan mereka. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga laki-laki yang masih sanggup untuk berbuat sesuatu bersama mereka.

Karena itulah, maka dengan senjata yang ada, mereka telah berkumpul. Sementara itu, mereka telah menugaskan dua orang anak muda yang paling berani untuk melihat apa yang terjadi di rumah saudagar kulit itu.

Dalam pada itu, maka para perampok di halaman rumah saudagar itu pun sudah siap untuk bertindak. Pemimpinnya telah naik ke pendapa mendekati pintu peringgitan yang tertutup.

Dalam keremangan lampu di pendapa itu, maka Mahisa Bungalan melihat, perampok yang garang itu telah mendekati pintu peringgitan dan siap untuk mengetuknya.

Mahisa Bungalan pun menjadi termangu-mangu. Sementara itu ia belum melihat para pengawal mendekati halaman itu.

Karena itu, maka ia merasa wajib untuk mencegahnya. Jika satu atau dua orang perampok telah berhasil masuk ke dalam rumah itu, maka orang-orang yang ada di dalam akan dapat dipergunakan sebagai perisai dengan mengancam akan menumpas mereka jika para pengawal tidak mengikuti perintah-perintah mereka.

Karena itu, ketika perampok itu sudah siap untuk mengetuk pintu, terdengar Mahisa Bungalan justru tertawa di belakang dinding halaman rumah saudagar yang kaya itu.

Pemimpin perampok yang sudah siap mengetuk pintu itu terkejut. Ketika ia berpaling, terdengar suara Mahisa Bungalan yang mengikuti tingkah laku pemimpin perampok itu dari sebatang pohon di luar halaman, “Kerjamu sia-sia.”

“Siapa kau?” teriak pemimpin perampok itu.

“Kau tidak akan dapat mengenal aku,” berkata Mahisa Bungalan, “tetapi dengan mudah aku akan dapat mengenalmu. Kau adalah pemimpin perampok yang bodoh dan tidak tahu diri.”

Sejenak pemimpin perampok itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab lantang, “Orang gila. Apakah kau kira caramu itu akan berhasil?”

“Tentu,” jawab Mahisa Bungalan, “kami sudah siap menumpas kalian.”

“Omong kosong!” pemimpin perampok itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka katanya kemudian kepada orang-orangnya, “Cepat, cari orang itu di luar halaman.”

“Gila!” geram Mahisa Bungalan. “Orang itu termasuk orang yang keras kepala.”

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun berkata pula, “Kau melakukan kebodohan yang kedua. Kau suruh anak buahmu untuk keluar regol dan membunuh dirinya sendiri. Kami sudah siap.”

“Omong kosong,” teriak pemimpin perampok, “jangan hiraukan. Cari dan tangkap orang itu. Tentu orang itu pula yang telah melempar salah seorang di antara kita dengan batu. Bawa orang itu kepadaku. Aku akan memenggal lehernya di pendapa ini. Jangan mudah ditakut-takuti. Jika ia mempunyai sekelompok orang yang cukup kuat melawan kami, mereka tidak akan berbuat dengan bersembunyi-sembunyi seperti itu. Cepat, sebelum orang itu lari.”

Tiga orang di antara para perampok itu segera bergeser menuju ke regol halaman.

Namun dalam pada itu, para pengawal di padukuhan itu yang tinggal berjumlah lima orang itu pun telah mendengar dan mengetahui apa yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan. Karena itu, maka salah seorang dari mereka berdesis, “Anak muda itu memang berani. Karena itu ia dikirim oleh Akuwu untuk berada di sini.”

“Dengar,” pengawal yang lain, “perampok itu pun keras kepala. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk mencari Mahisa Bungalan.”

Ternyata bahwa para pengawal itu pun dengan cepat menyesuaikan dirinya. Ia mendengar Mahisa Bungalan mengancam jika ada orang yang berani keluar regol halaman. Justru karena itu, maka mereka pun telah berusaha melakukan seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu.

Dengan hati-hati mereka merayap ke regol halaman. Seperti yang sudah mereka perhitungkan, maka beberapa orang telah keluar dari regol dan memburu ke arah suara Mahisa Bungalan.

Selagi Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar, ternyata para pengawal itu telah menyerang ketiga orang itu dengan tiba-tiba. Selain jumlah pengawal itu lebih banyak, juga karena para pengawal itu pun memiliki kemampuan yang cukup. Sehingga dengan demikian, maka tanpa sempat melawan, ketiga orang perampok itu telah terkapar di luar dinding halaman.

Mahisa Bungalan yang masih berada di cabang sebatang pohon itu pun melihat. Karena itu, maka ia pun kemudian berdesis, “Terima kasih.”

Para pengawal itu sempat memandanginya sejenak. Seorang diantara mereka menjawab, “Teruskan permainan ini. Agaknya cukup menarik sambil menunggu kawan-kawan kita yang lain.”

Mahisa Bungalan mengangguk. Sementara itu, ia melihat pemimpin perampok masih berada di pendapa. Agaknya ia tidak menghiraukan lagi orang-orangnya yang sedang mencari Mahisa Bungalan, sehingga perhatiannya telah tertuju kembali kepada pintu yang masih tertutup.

Dalam pada itu saudagar kulit yang berada di dalam rumah itu menjadi bingung. Ia pun mendengar suara dari luar halamannya. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia pasti, bahwa ada kekuatan lain yang berusaha mencegah tingkah laku para perampok itu.

“Kau dengar suara itu?” bisik saudagar itu kepada kedua orang pengawalnya.

“Ya.” desis kedua orang pengawal itu.

“Bagaimana sikap kita?” bertanya saudagar itu pula. Kedua pengawal itu menjadi bimbang. Mereka telah meletakkan dan bahkan menyembunyikan senjata mereka.

Sementara itu, mereka mendengar pula suara Mahisa Bungalan di luar halaman, “He, pemimpin perampok yang dungu. Orang-orang yang kau perintahkan untuk mencari aku, ternyata tidak akan kembali lagi kepadamu. Bukankah aku sudah memperingatkan. Mereka terkapar di luar halaman. Tetapi mereka belum mati. Kami tidak sampai hati membunuh mereka, karena sebenarnyalah kau yang harus bertanggung jawab.”

Wajah pemimpin perampok itu menjadi tegang. Dengan lantang ia berteriak, “Bohong!”

“Kau tidak percaya? Lihatlah sendiri. Atau tentu kau tahu, bahwa seharusnya keduanya telah menangkap aku. Tetapi mereka tidak sempat melakukannya.” jawab Mahisa Bungalan.

Pemimpin perampok yang marah itu ternyata telah kehilangan kesabarannya. Dengan lantang ia berkata, “Kita akan keluar halaman. Kita akan melihat siapakah orang-orang gila yang telah berusaha mengganggu kita.”

Perintah itu memang mendebarkan. Jika mereka benar-benar menghambur keluar, maka lima orang pengawal dan Mahisa Bungalan sendiri, tentu tidak akan mampu melawan mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu Suwelatama mendengar suara Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Aku akan mencarinya.”

“Akuwu jangan terpisah dari pasukan ini,” desis Mahisa Agni, “biar aku sajalah yang menemuinya.”

Akuwu tidak membantah. Sementara itu Mahisa Agni pun telah mendahului mencari hubungan dengan Mahisa Bungalan. Memang tidak begitu sukar, karena ketajaman pendengarannya segera dapat menuntunnya ke arah suara Mahisa Bungalan itu.

Kehadiran Mahisa Agni telah membuat Mahisa Bungalan semakin yakin bahwa pasukan pengawal di padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu akan dapat menyelesaikan tugasnya. Karena itu maka katanya, “Sebaiknya kita membuka pertempuran sebelum satu atau dua orang di antara mereka memasuki rumah itu.”

Mahisa Agni pun ternyata sependapat. Karena itu, katanya, “Jika demikian, kami akan langsung menuju ke regol.”

“Silahkan, paman. Aku akan meloncat kedinding dan mengganggu mereka, sementara paman dan para pengawal mendekati dinding. Seterusnya terserah kepada paman.” berkata Mahisa Bungalan.

“Akuwu Suwelatama sendiri memimpin pasukan pengawal.”

“Bagus. Silahkan.” sahut Mahisa Bungalan. Mahisa Agni pun segera kembali ke pasukannya dan melaporkannya kepada Akuwu Suwelatama. Karena itu, maka Akuwu itu pun segera membawa pasukannya menuju ke pintu gerbang halaman rumah saudagar kulit yang cukup kaya itu.

Lima orang pengawal yang berada di padukuhan itu pun segera menggabungkan diri pula bersama mereka. Meskipun jumlah mereka tidak sebanyak para perampok di padukuhan itu, tetapi para pengawal itu yakin akan dapat mengatasi keadaan. Apalagi di antara mereka terdapat Akuwu Suwelatama sendiri yang dengan diam-diam telah berada di padukuhan itu pula.

Demikianlah maka sejenak kemudian, para pengawal sudah berada di hadapan regol halaman. Sementara itu Mahisa Bungalan pun telah meloncat ke atas dinding halaman sambil berkata, “He, para perampok yang dungu. Kalian tidak akan mendapat kesempatan sama sekali. Kami sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Meskipun demikian, jika kalian bersedia berdiri di halaman dan meletakan senjata bersama-sama, masih ada kesempatan untuk mohon ampun kepada Akuwu Suwelatama. Kalian akan mendapat pengampunan meskipun kalian akan tetap dihukum. Namun hukuman kalian bukan hukuman gantung sebagaimana jika kalian ditangkap dalam pertempuran.”

Pemimpin perampok itu menjadi tegang. Dengan wajah yang membara ia berkata lantang “Bunuh orang itu!”

Beberapa orang berlari-lari ke arah Mahisa Bungalan sambil mengacukan pedang. Ujung pedang itu akan dapat mengenai tubuhnya jika ia tetap berdiri di tempat itu.

Tetapi orang-orang itu telah dikejutkan oleh sikap Mahisa Bungalan. Ia tidak melarikan diri atau meloncat keluar. Ketika orang-orang yang membawa pedang itu semakin dekat, Mahisa Bungalan justru meloncat ke halaman.

Orang-orang yang berlari-lari mendekatinya itu terkejut. Karena itu, justru mereka terhenti beberapa langkah di hadapan Mahisa Bungalan, sementara Mahisa Bungalan pun telah mencabut pedangnya pula.

“Marilah,” berkata Mahisa Bungalan, “aku tidak akan lari. Justru sebentar lagi kawan-kawanku akan memasuki halaman ini.”

Orang-orang yang memburunya itu pun termangu-mangu. Namun kemudian pemimpin mereka yang mendengar kata-kata Mahisa Bugalan itu pun berteriak, “Bunuh orang itu!”

Orang-orang yang mendekati Mahisa Bungalan bagaikan termangu. Mereka pun mulai beringsut.

Namun pada saat itu, tiba-tiba saja pintu halaman itu pun telah terbuka selebar-lebarnya. Beberapa orang pun telah menerobos masuk langsung berpencar. Tidak hanya satu atau dua orang. Tetapi sekelompok orang dalam pakaian sebagaimana orang-orang padukuhan itu.

”Nah,” berkata Mahisa Bungalan, ”bukankah aku tidak membual.”

Pemimpin perampok itu mengeram. Dipandanginya orang-orang yang berpencar di halaman, sebagaimana orang-orangnya sendiri.

“Gila! Apakah kalian sudah ingin mati?” berteriak pemimpin perampok itu.

“Tentu tidak.” sahut Akuwu Suwelatama yang juga dalam pakaian orang kebanyakan, “Kami sudah lama menunggu kedatangan kalian. Sekarang kita bertemu. Mudah-mudahan kami sempat membuat penyelesaian.”

“Bagus,” berkata pemimpin perampok itu, “semula , kami ingin menyelesaikan pekerjaan kami. Baru kemudian kami akan memancing kalian jika kalian mempunyai keberanian. Ternyata kalian memang orang-orang yang berani. He, apakah hanya sekian banyak orang padukuhan ini yang berani keluar?”

“Sudah cukup banyak,” jawab Akuwu Suwelatama, “di luar tinggal ada dua orang kami yang menunggui regol dan mengamati keadaan.”

“Jika demikian, kami akan menyelesaikan kalian dengan cepat.” berkata pemimpin perampok itu.

Namun dalam pada itu, anak muda yang berusaha mencari hubungan dengan para pengawal itu pun telah menemui dua orang yang berada di regol. Seorang pengawal sedangkan yang seorang adalah Witantra sendiri.

“Anak-anak muda padukuhan ini akan dapat membantu.” berkata anak muda itu.

“Kalian mampu bertempur?” bertanya Witantra.

“Sejauh dapat aku lakukan.” jawab anak muda itu.

“Lawan itu sangat berbahaya,” berkata Witantra, ”karena itu kalian akan dapat membantu kami dengan cara yang khusus. Pulanglah ambillah obor sebanyak-banyaknya. Kemudian kalian datang beramai-ramai mengepung halaman rumah ini di luar dinding. Dengan demikian maka kalian akan mempengaruhi keberanian para perampok itu meskipun kalian tidak akan bertempur secara langsung. Biarlah kami menghadapi mereka.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Baik. Aku akan segera kembali dengan obor-obor itu.”

Dengan tergesa-gesa anak muda itu pun meninggalkan Witantra kembali ke kawan-kawan mereka. Dengan gagap dan nafas terengah-engah anak muda itu menceriterakan apa yang dikatakan oleh Witantra.

“Bagus!” desis orang yang sudah melampaui masa mudanya, “Aku mengerti maksud orang itu. Aku setuju. Mari kita siapkan obor sebanyak-banyaknya. Obor minyak dan obor biji jarak yang kita beri tangkai bambu yang agak panjang. Kira-kira setinggi pagar halaman rumah saudagar itu.”

Anak-anak muda itu pun segera mengambur ke rumah masing-masing setelah mereka sepakat untuk berkumpul lagi di tempat itu. Adalah kebiasaan mereka menyimpan obor di rumah. Ada yang menyimpan obor minyak. Ada yang menyimpan biji jarak kering.

Dalam pada itu selagi anak-anak muda itu mengumpulkan obor, maka di halaman rumah saudagar kulit itu pun telah terjadi ketegangan yang semakin meningkat.

Akuwu Suwelatama telah menyiapkan para pengawal, termasuk Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni untuk bertempur menghadapi perampok yang jumlahnya lebih banyak. Sementara itu Witantra dan seorang pengawal berada di regol sambil mengamati keadaan.

“Aku memberi kalian kesempatan,” teriak pemimpin perampok itu, “jika kalian mohon maaf kepadaku, maka rakyat padukuhan ini akan aku ampuni. Tetapi justru karena tingkah laku kalian, maka kita akan mengambil penyelesaian yang tuntas. Upeti apa yang harus kalian serahkan kepadaku setiap sepekan satu kali.”

“Upeti yang sekarang sudah siap adalah ujung pedang.” jawab Akuwu Suwelatama, “He, apakah kami boleh menyerahkan upeti kami sekarang? Ujung pedang yang akan mengoyak perut kalian.”

“Orang yang tidak tahu diri,” geram pemimpin perampok, “jangan menunggu lagi. Musnahkan mereka, karena mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatku agar mereka mohon maaf kepadaku.”

Para perampok itu pun segera bersiap. Nampaknya perkelahian itu akan memberikan kegembiraan kepada mereka. Jumlah lawan mereka lebih sedikit dari jumlah para perampok. Apalagi mereka hanyalah orang padukuhan yang tidak terbiasa memegang senjata.

Dalam pada itu, dua orang pengawal saudagar yang berada di dalam rumah itu pun telah mengambil keputusan lain. Dengan tergesa-gesa mereka telah mengambil senjata mereka kembali. Bahkan saudagar kulit itu sendiri telah memungut tombaknya pula, meskipun ia bukan orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

“Tenangkan keluarga Ki Saudagar yang terbangun,” berkata kedua pengawalnya, “aku akan menunggui pintu depan. Jika mereka mencoba memaksa membuka pintu, maka kami berdua akan menghadapi. Nampaknya di luar mereka mendapat perlawanan yang cukup meyakinkan.”

Saudagar itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian pergi ke bilik tengah untuk menengok isteri dan anak-anaknya yang tidur nyenyak. Namun ternyata bahwa isteri saudagar itu telah terbangun meskipun ia tidak berani bergerak sama sekali.

“Kakang.” desisnya ketika ia melihat saudagar itu memasuki biliknya.

“Tenanglah,” berkata saudagar itu, “nampaknya kita tidak berdiri sendiri. Di luar nampaknya para perampok itu akan mendapat perlawanan. Sementara dua orang pengawal kita pun sudah siap.”

“Aku takut, kakang.” desis perempuan itu.

“Jangan takut. Jagalah anak-anak agar mereka tidak terbangun dan apalagi berteriak-teriak. Aku akan berada di ruang tengah.” berkata saudagar itu.

“Jangan tinggalkan kami.” desis perempuan itu.

“Tidak. Aku berada di ruang tengah dengan tombak ini di tangan.” jawab saudagar itu.

Isterinya terdiam. Namun kemudian ia pun berdesis, “Hati-hatilah, kakang.”

Saudagar itu kemudian pergi ke ruang tengah. Di belakang pintu pringgitan kedua orang pengawalnya telah bersiap-siap dengan pedang terhunus.

Dalam pada itu, telah mulai terdengar dentang senjata di halaman. Para perampok telah mulai menyerang para pengawal yang mereka sangka adalah rakyat padukuhan itu dan sekitarnya yang memiliki sedikit keberanian dan telah mendapat sedikit latihan kanuragan dari para pengawal yang telah meninggalkan padukuhan itu.

Para perampok itu menyangka bahwa dalam waktu singkat mereka akan menebas lawan mereka seperti menebas ilalang. Senjata mereka akan segera merah oleh darah. Dan mayat pun akan segera terbujur lintang di halaman.

“Seterusnya tidak seorang pun akan berani melakukannya lagi.” berkata para perampok itu di dalam hatinya.

Mereka sama sekali tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh sebanyak-banyaknya dan membuat mereka jera. Jika demikian, maka apa yang akan mereka lakukan seterusnya, tidak seorang pun yang akan berani menentang.

Tetapi ketika senjata mereka mulai membentur senjata orang-orang yang mereka sangka orang-orang yang sekedar sombong dan dungu, mereka menjadi terkejut. Benturan itu telah mengguncang tangan mereka. Bukan sekedar kebetulan. Tetapi tenaga orang-orang yang mereka anggap dungu itu terlalu kuat.

“Ada iblis yang merasuk ke tangan itu.” geram salah seorang perampok yang kebetulan telah menyerang Mahisa Agni. Namun yang lebih mengejutkan adalah orang yang menyerang Mahisa Bungalan.

Dengan tidak disangka-sangka Mahisa Bungalan telah memutar pedangnya pada saat benturan terjadi. Karena itu, maka pedang lawannya pun bagaikan telah terhisap oleh putaran itu, sehingga lawannya yang tidak menduga sama sekali akan hal itu, telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan pedangnya.

Orang itu meloncat surut ketika pedangnya terlepas dan terlempar beberapa langkah dari padanya.

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Kau terlalu merendahkan martabat kami dalam olah kanuragan. Kau sangka hanya para perampok saja yang mampu bermain senjata. Tetapi sekarang kau harus melihat kenyataan, bahwa rakyat padukuhan ini pun telah mampu meningkatkan dirinya dan mampu melawanmu.”

“Persetan!” geram orang yang kehilangan senjatanya, ”kau sangka bahwa kemenanganmu yang kebetulan itu dapat kau banggakan?”

“O,” desis Mahisa Bungalan, “jadi kau anggap yang telah terjadi ini hanya sekedar kebetulan? Baiklah. Aku beri kesempatan kau mengambil senjatamu. Kemudian lawan aku.”

“Kau terlalu sombong,” geram perampok yang kehilangan senjata itu, “apakah kau tidak memperhitungkan kemungkinan, bahwa dengan demikian aku akan dapat memenggal lehermu?”

Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Pertempuran telah membakar halaman ini. Marilah, jangan merajuk lagi.”

Kemarahan yang tidak tertahankan telah membakar jantung orang itu. Dengan ragu-ragu ia bergeser mendekati pedangnya. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak mencegahnya.

Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan menunggu orang itu mengambil pedangnya, ternyata pemimpin perampok itu telah melakukan sesuatu yang mendebarkan jantung Mahisa Bungalan.

Pemimpin perampok yang kurang memperhitungkan keadaan itu telah meninggalkan arena, karena menurut perhitungannya, orang-orangnya akan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Pemimpin perampok itu telah membuat langkah tersendiri. Selagi pertempuran itu berkobar, ia akan memasuki rumah saudagar kulit itu untuk merampas harta bendanya. Jika pertempuran itu selesai, maka ia pun telah selesai pula, sehingga semuanya dapat berlangsung cepat.

Karena itu, maka pemimpin perampok itu pun tidak menghiraukan lagi pertempuran yang sedang terjadi di halaman. Dengan tangkai pedangnya ia telah mengetuk pintu pringgitan rumah saudagar kulit itu.

Tetapi kedua orang penjaga yang berada di pringgitan tidak mau membukanya. Bahkan mereka telah menyiapkan diri untuk melawan siapa pun yang memasuki pintu itu.

Pemimpin perampok itu menjadi sangat marah. Karena itu, maka ia pun telah bertekad untuk memecahkan pintu itu. Meskipun ia mengerti bahwa pintu itu diselarak, tetapi ia yakin akan kekuatannya, bahwa ia akan dapat memecah pintu itu.

Karena itu, maka ia pun memerintahkan seorang pengikutnya untuk berjaga-jaga, sementara ia akan memecahkan pintu itu.

Mahisa Bungalan ternyata tidak sempat melayani perampok yang dengan ragu-ragu memungut pedangnya. Ketika ia melihat pemimpin perampok itu mundur dua langkah untuk mengambil ancang-ancang, maka Mahisa Bungalan pun telah bersiap-siap.

Sejenak kemudian maka pintu pringgitan rumah saudagar itu telah berderak. Ketika pintu itu pecah, maka Mahisa Bungalan pun segera meloncat memburunya, tepat pada saat perampok yang memungut pedangnya itu berhasil meraih senjatanya.

“Pengecut,” perampok itu berteriak, “jangan lari!”

Tetapi teriakan itu terputus ketika ia melihat, bahwa orang yang disangkanya melarikan diri itu justru telah mendekati pemimpinnya.

Pada saat pintu berderak, maka seorang perampok yang mengikuti pemimpinnya itu dengan serta merta telah menerobos masuk. Namun pada saat itu, dua ujung pedang telah menahannya sehingga orang itu terkejut dan meloncat surut.

Sementara itu, pemimpin perampok yang telah memecahkan pintu itu tidak sempat memasuki rumah saudagar kulit itu, karena Mahisa Bungalan telah berdiri di belakangnya sambil mengacukan senjatanya, “Jangan bodoh. Kau akan mati paling awal.”

“Gila!” geram pemimpin perampok itu, “Kau akan membunuh diri, he?”

“Tinggalkan pintu itu,” desak Mahisa Bungalan, “ jika kau ingin bertempur, marilah.”

Pemimpin perampok itu menjadi sangat marah. Maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut. Dengan serta merta, ia pun segera menyerang Mahisa Bungalan dengan kemarahan yang meluap-luap.

Tetapi ternyata pemimpin perampok itu telah membentur kekuatan yang tidak diduganya. Ia menyangka bahwa ia akan dapat dengan mudah menguasai lawannya. Kemudian membunuhnya dan meneruskan niatnya memasuki rumah yang pintunya telah dipecahkannya itu.

Tetapi ternyata anak muda yang telah mengganggunya itu mampu mengimbangi kecepatannya bergerak dan bahkan kekuatannya.

“Iblis buruk,” geramnya, “kau menyombongkan kemampuanmu yang tidak berarti itu?”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian membalas serangan itu dengan serangan pula.

Dalam pada itu, kedua penjaga rumah saudagar itu pun telah berhadapan dengan perampok yang seorang, yang telah melangkah surut ke pendapa ketika dua orang penjaga rumah itu mendesaknya dengan pedang teracu.

Perkelahian pun tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua orang penjaga rumah itu telah bertempur melawan perampok yang seorang.

Dalam pada itu, maka pertempuran telah berkobar dengan sengitnya. Ternyata jumlah para perampok yang banyak itu telah berpengaruh pula. Para pengawal yang memiliki bekal olah kanuragan itu pun harus mengerahkan segenap kemampuannya, karena sebagian besar dari mereka harus bertempur melawan dua orang lawan.

Witantra yang melihat kesulitan para pengawal pun kemudian memasuki arena pula, setelah ia minta agar salah seorang pengawal mengawasi pengawal yang lain mengawasi keadaan di luar regol.

“Jika kalian yakin akan ada apapun juga, masuklah, dan bantulah kawan-kawanmu,” berkata Witantra, “atau jika anak-anak muda padukuhan ini telah datang dengan obor di tangan.”

Pengawal itu mengangguk. Demikian ia meninggalkan halaman keluar, regol menemui seorang pengawal yang lain, Witantra telah terjun ke dalam arena pertempuran.

Seperti Mahisa Agni, Witantra berusaha mengurangi lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi seperti juga Mahisa Agni, Witantra hanya melumpuhkan lawannya, tetapi ia berusaha menghindari kematian. Para perampok itu sebaiknya ditundukkan tanpa mengorbankan hidup mereka. Tetapi dalam pertempuran seru, para pengawal tidak dapat dipersalahkan apabila mereka pun telah membunuh lawan-lawan mereka, sebagaimana para perampok itu juga berusaha untuk membunuh. Karena itu, maka keduanya pun telah bekerja keras di tempat yang terpisah.

Ternyata Akuwu Suwelatama sempat memperhatikan keduanya. Bagaimanapun juga ia menjadi sangat kagum melihat ketrampilan mereka bergerak meskipun keduanya telah menjadi semakin tua. Seolah-olah keduanya sama sekali tidak berbuat apa-apa. Lawan-lawan merekalah yang datang, kemudian terlempar keluar gelanggang oleh luka yang tergores di tubuh mereka.

Justru karena kehadiran Mahisa Agni dan Witantra itulah, maka lambat laun, para pengawal semakin mendapat kesempatan untuk menyesuaikan diri. Lawan mereka susut dengan cepat, meskipun jumlah para pengawal pun telah berkurang. Tetapi pada umumnya para pengawal memiliki kemampuan yang cukup untuk mempertahankan diri dalam pertempuran yang kalut itu. Jika seseorang terdesak oleh dua orang lawan, maka tiba-tiba saja pengawal yang lain telah mengisi tempatnya meskipun dengan demikian ia telah meninggalkan lawannya. Namun pada saat yang singkat, kedudukannya telah digantikan pula oleh kawanya yang lain pula.

Dengan demikian, maka para perampok itu kadang-kadang memang menjadi agak bingung. Kesempatan yang demikian itulah yang kemudian dipergunakan oleh para pengawal untuk menyesuaikan diri lebih mapan lagi.

Karena itulah maka setiap kali para perampok itu telah kehilangan korbannya. Bahkan kadang-kadang justru mereka sendirilah yang terjebak ke dalam ujung senjata.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun telah bertempur dengan sengitnya melawan pemimpin perampok itu di pendapa. Ternyata pemimpin perampok itu memang memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya. Untuk beberapa saat ia mampu mengimbangi kemampuan Mahisa Bungalan. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan memang belum sampai ke puncak kemampuannya.

Sementara itu, dua orang penjaga rumah saudagar kulit itu pun telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Ternyata bahwa keduanya harus berjuang untuk tetap dapat mempertahankan diri melawan seorang perampok yang garang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar