Panasnya Bunga Mekar Jilid 12

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Perjalanan ke Kediri itu sendiri sudah merupakan perjalanan yang cukup jauh. Namun ternyata bahwa Ki Wastu pun seorang perantau yang berpengalaman pula. Karena itulah, maka meskipun perjalanan itu cukup jauh dan ditempuhnya seorang diri, namun ia sama sekali tidak menjadi segan karenanya. Apabila perjalanan itu adalah perjalanan yang dianggapnya sangat penting.

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti ternyata merengek pula untuk bisa ikut dalam perjalanan itu. Di Kediri mereka akan bertemu dengan kakaknya dan dengan paman-pamannya.

Tetapi Mahendra melarangnya. Ia masih belum sampai hati melepaskan kedua anak yang masih sangat muda itu. meskipun mereka pun telah dibekalinya dengan ilmu kanuragan.

Ketika Ki Wastu telah berada di Kediri pula, maka ia pun segera menawarkan maksudnya kepada Bungalan seperti yang dikatakan oleh Mahendra.

Ternyata dengan serta merta Mahisa Bungalan telah menerimanya, meskipun ia sadar, bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang berat, yang mungkin akan mengalami akibat yang gawat pula.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh ayahnya, maka ia ingin melengkapi pengalamannya sebelum ia memasuki tugas-tugas keprajuritan.

Ternyata Mahisa Agni dan Witantra pun tidak berkeberatan. Dengan beberapa pesan, maka mereka pun telah melepaskan Mahisa Bungalan untuk pergi bersama Ki Wastu.

“Berhati-hatilah“ pesan Pangeran Kuda Padmadata, “guruku adalah seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa”

“Mudah-mudahan kami tidak bertemu Pengeran” berkata Ki Wastu.

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk lemah. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia menjadi cemas. Jika di dalam perjalanan itu mereka bertemu dengen Ki Dukut Pakering, yang mungkin masih disertai satu dua pengikutnya, maka keduanya akan mengalamai nasib yeng kurang baik.

Tetapi Ki Wastu dan Mahisa Bungalan bukannya orang yang tidak berilmu. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan pula.

Demikianlah, maka kemudian Ki Wastu dan Mahisa Bungalan itu pun meninggalkan Kediri, manuju ke sebuah padepokan kecil yang agak jauh dari kota. Mereka harus berkuda melalui daerah pegunungan. Dan mereka pun harus bermalam sampai dua malam di perjalanan.

Tetapi keduanya sudah memiliki pengalaman perantauan. Karena itu perjalanan mereka, bukannya persoalan lagi. Perjalanan yang demikian sudah terlalu sering mereka lakukan, meskipun sesuai dengan jalur masing-masing. Bahkan pada permulaan perjalanan itu. Mahisa Bungalan telah mendapatkan kesegaran baru di dalam dirinya, Ketika ia memasuki daerah yang berlembah kehijau-hijauan di-atas tanah berpadas yang kemerah-merahan.

Mahisa Bungalan telah pernah menempuh perjalanan jauh. Berkuda, bahkan berjalan kaki. Namun ia tidak jemu-jamunya mengagumi alam yang cantik meskipun tidak terlalu ramah.

Sekali-sekali kuda-kuda mereka berjalan dengan hati-hati menuruni tebing. Namun kemudian berlari di lembah-lembah yang hijau menyusuri jalan yang rata. Agaknya jalur jalan antara padukuhan telah menjadi semakin ramai dilalui orang. Kadang-kadang mereka bertemu dengan pedati yang merangkak dengan lambannya. Namun kadang kadang mereka pun berpapasan dengan kuda yang berpacu dengan tergesa-gesa.

Tetapi mereka tidak selalu berjalan melalui jalan yang rata. Sekali-sekali mereka harus menempuh jalan sempit yang melintasi. Agaknya Ki Wastu sudah pernah menempuh perjalanan serupa sebelumnya. Ia pernah melintas dari Kediri sampai ke padepokan saudara seperguruannya itu.

Bahkan akhirnya Mahisa Bungalan bertanya, “Apakah Ki Wastu sudah mengenal jalan yang akan kita tempuh?“

“Tentu ngger. Aku memang pernah pergi ke Kediri pada saat-saat Pangeran Kuda Padmadata masih belum dicengkam oleh bayangan kekuasaan gurunya. Aku pernah melintasi jalan ini, dan agaknya aku masih dapat mengingat beberapa cirinya. Maskipun kadang-kadang aku menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya jalan yang kita tempuh sekarang adalah jalan yang benar” jawab Ki Wastu.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Bahkan seandainya jalan itu adalah jalan yang salah sekalipun, maka mereka berdua tentu akan dapat menemukan padepokan yang mereka cari.

Di malam pertama, keduanya harus bermalam di lereng sebuah bukit. Mereka tidak berusaha untuk sampai ke padukuhan dan mohon agar diperkenankan untuk bermalam di banjar. Agaknya sebuah lekuk di lereng bukit, telah dapat mereka pergunakan untuk beristirahat. Apalagi tidak jauh dari lekuk itu terdapat sebuah mata air yang meskipun hanya kecil saja, tetapi sudah cukup untuk memberi kuda mereka minum. Sementara rerumputan yang hijau di sekitarnya dapat memberi makan kuda-kuda mereka sekenyang-kenyangnya.

Meskipun tidak saling berjanji, namun kedua-duanya seakan-akan sudah saling bersetuju untuk tidur bergantian. Yang mula-mula tidur adalah Mahisa Bungalan. Baru ketika Mahisa Bungalan terjaga, maka Ki Wastu lah yang merebahkan dirinya di atas batu-batu padas.

Tetapi keduanya terkejut ketika mereka mendengar kuda mereka meringkik. Dengan sigapnya Mahisa Bungalan dan Ki Wastu bangkit dan meloncat keluar dari lekuk lereng gunung.

Tetapi mereka tidak melihat seseorang

“Tetapi seekor binatang buas” berkata Ki Wastu, “di lereng bukit ini, sering terdapat binatang buas yang barangkali terpaksa keluar dari hutan sebelah karena mereka tidak mendapat makan. Mungkin mereka tidak lagi dapat mengintai dan kemudian menerkam seekor kijang. Bahkan kelinci-kelinci pun telah lari bersembunyi sejak petang hari”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun percaya bahwa kuda-kuda mereka agaknya telah mencium bau binatang buas di sekitarnya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian tidak lagi berada di dalam lekuk lereng bukit. Betapapun terasa dingin menyentuh kulitnya, tetapi ia tidak akan menunggu sampai seekor harimau meloncat menerkam kudanya. Meskipun mungkin ia akan dapat mengusirnya, tetapi jika kudanya telah terluka, maka akibatnya akan dapat menyulitkannya.

Ki Wastu yang baru sempat beristirahat sejenak itu pun kemudian berbaring di luar lekuk bukit itu. Ia pun tidak sampai hati membiarkan kuda mereka ketakutan.

Sekali-sekali mereka masih mendengar kuda mereka meringkik dengan gelisahnya. Namun Mahisa Bungalan pun kemudian membelai surinya dan menenangkannya. Kedua ekor kuda itu seakan-akan mengerti, bahwa keduanya berada dibawah perlindungan tuannya. Karena itu, maka kuda-kuda itu pun menjadi tenang dan tidak lagi meringkik ketakutan.

Ketika fajar menyingsing, maka barulah kedua orang itu yakin, bahwa sebenarnyalah seekor harimau telah mendekati tempat itu. Mereka dapat melihat jejak kaki harimau itu di sekitar mata air tidak terlalu jauh dari tempat mereka bermalam.

“Agaknya harimau itu sedang haus” gumam Ki Wastu, “dan ternyata mata air ini adalah mata air yang terdekat dari hutan itu”

“Ah” sahut Mahisa Bungalan, “tentu di hutan itu ada juga mata air” jawab Mahisa Bungalan, “bahkan di bawah pohon-pohon raksasa itu biasanya terdapat belumbang meskipun kecil”

Ki Wastu mengangguk-angguk. Tetapi adalah satu, kenyataan, bahwa di sekitar mata air itu terdapat jejak harimau.

Namun Ki Wastu pun mengangguk-angguk ketika Mahisa Bungalan berkata, “Mungkin bau kuda-kuda itu tercium oleh seekor harimau. Ketika harimau itu mendekat, maka dijumpainya mata air itu”

Demikianlah setelah berbenah diri, maka keduanya pun segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka masih cukup jauh. Dan mereka pun masih harus bermalam di perjalanan.

Tetapi pada malam kedua, mereka tidak bermalam di lereng bukit, atau di tengah-tengah hutan. Tetapi keduanya memilih untuk bermalam di sebuah padukuhan. Dengan senang hati Ki Buyut memberikan tempat bagi mereka di banjar padukuhan.

Berbeda dengan saat-saat mereka bermalam di lekuk sebuah lereng bukit. Di banjar, mereka dapat bermalam dengan tenang, karena di banjar itu pula, beberapa orang anak muda berkumpul. Bahkan mereka berdua telah dijamu pula oleh Ki Buyut dengan makan dan minum secukupnya.

Demikianlah, dipagi hari berikutnya, Ki Wastu dan Mahisa Bungalan meninggalkan padukuhan itu dengan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ki Buyut dan isi padukuhan itu yang telah memberikan tempat bermalam bagi mereka.

Dalam pada itu, perjalanan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan pun manjadi semakin dekat dengan tujuan. Sebuah padepokan kecil yang terpencil, seolah-olah dengan sangaja memisahkan diri dari tata hubungan kehidupan sesama.

“Itu adalah padepokan Pucang Wungu” berkata Ki Wastu kepada Mahisa Bungalan ketika mereka menuruni bukit kecil, menghadap ke sebuah lembah yg subur. Sebuah padukuhan kecil terletak di tengah tengah bulak, dihubungkan dengan sebuah jalur jalan duri jalan yang mereka lalui.

“Itukah padepokan yang kita tuju?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. Ternyata aku masih dapat menemukannya meskipun sudah cukup lama aku tidak mengunjunginya” desis Ki Wastu.

“Apakah sudah lama sekali?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Sebetulnya juga belum. Tetapi karena aku telah terlibat dalam persoalan yang merampas segenap perhatianku, maka rasa-rasanya aku sudah lama sekali terpisah dari sanak kadang”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berdesis, “Padepokan yang sejuk. Tetapi kedatangan kita akan membawa udara yang panas bagi penghuninya”

“Apaboleh buat” berkata Ki Wastu, “agaknya itu lebih baik daripada tiba-tiba saja padepokan itu menjadi terbakar hangus”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun ia benar-benar merasa, betapa padepokan itu merupakan tempat yang tenang dan tenteram.

Demikianlah maka kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan mereka menuruni tebing bukit kecil itu menuju ke padepokan yang disebut padepokan Pucang Wungu.

Kedatangan Ki Wastu memang telah mengejutkan penghuninya. Seorang yang rambutnya telah memutih, namun yang tubuhnya masih nampak sigap dan tangkas, dengan tergesa-gesa telah mendatanginya.

“Kau Wastu” desisnya.

Ki Wastu mengangguk hormat. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku telah datang lagi ke padepokan yang tenang dan damai ini kakang”

“Marilah Wastu. Marilah. Naiklah ke pendapa. He, siapakah anak muda itu? Muridmu?“ bertanya saudara seperguruan Ki Wastu itu.

“Ah, bukan kakang. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang anak muda yang mumpuni. Yang memiliki ilmu yang lebih baik dari anak muda yang manapun” jawab Ki Wastu.

“Ah” sahut Mahisa Bungalan, “tentu tidak. Ki Wastu selalu memuji. Tetapi dengan demikian, aku akan kehilangan kenyataan tempat berpijak jika aku benar-benar merasa diriku terlalu besar”

“Siapakah namamu ngger?“ bertanya saudara seperguruan Ki Wastu.

“Namaku Mahisa Bungalan” jawab Mahisa Bungalan, lalu, “dengan sebutan apakah jika aku memanggil kakek?“

Orang tua berambut putih itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Wastu tertawa sambil berkata, “Ia juga memanggilku kakek ketika kami pertama kali bertemu“

Orang berambut putih itupun tertawa. Lalu jawabnya, “Panggil aku Ki Kasang Jati”

Mahisa Bungalan mengangguk sambil menyahut, “Terima kasih. Dengan demikian, aku tidak lagi akan memanggil kakek”

Orang tua itu tersenyum. Sekali lagi ia mempersilahkan, “Marilah, naiklah ke pendapa”

Mereka pun kemudian duduk di pendapa. Beberapa saat Ki Wastu dan Ki Kasang Jati saling menanyakan keselamatan masing-masing. Kemudian dengan nada penuh harap ia berkata, “Bukankah kau akan tinggal di padepokan ini untuk beberapa lama?“

Ki Wastu mengangguk. Meskipun terasa keragu-raguannya, namun ia menjawab, “Ya kakang. Aku berada di padepokanmu untuk beberapa lamanya”

“Baiklah. Baiklah. Jika demikian aku tidak akan bertanya keperluanmu datang ke padepokan ini. Tentu kau hanya sekedar ingin menengok aku” berkata Ki Kasang Jati.

“Ya. Aku hanya ingin sekedar bertamu. Sudah lama aku tidak berkunjung kemari. Bagiku, kakang adalah pengganti guru yang sudah tidak ada lagi”

“Ah, kau memang suka mumuji. Setelah unak muda itu, maka sekarang kau memuji aku. Mungkin aku dapat kau anggap sebagai pengganti guru, karena ketuaanku. Karena aku sudah terlalu lama hidup sehingga umurku pun semakin bertambah-tambah. Tetapi dalam hal ilmu, kita hampir tidak ada bedanya”

“Mungkin aku memang memuji. Tetapi kakang senang merendahkan diri seperti anuk muda ini pula.

Mereka pun tertawa. Pertemuan itu nampaknya benar benar memberikan kesan kegembiraan setelah cukup lama mereka berpisah.

Ki Wastu pun ternyata tidak tergesa-gesa menyampaikan maksudnya. Ia berada di padepokan itu bersama Mahisa Bungalan. Di hari pertama, sudah terasa, betapa tenangnya hidup di padepokan itu. Beberapa orang cantrik bekerja dengan rajin dan gembira. Tanaman pohon buah-buahan mereka pun nampak subur dan rimbun. Buahnya bergayutan seoleh-olah akan mamatahkan ranting dan dahan-dahannya.

Namun demikian, Ki Wastu yang gelisah oleh beban perasaannya, merasa masih, belum lapang dadanya, jika ia belum mengatakan keperluannya datang ke padepokan itu. Karena itulah, maka pada hari kedua, ketika mereka duduk di pendapa bersama Mahisa Bungalan, Ki Wastu berniat untuk menyampaikan.

“Apapun tanggapan kakang Kasang Jati” berkata Ki Wastu di dalam hatinya. Lalu, “Namun aku tidak akan dapat menyembunyikannya lebih lama lagi. Bukan saja karena kegelisahan perasaanku, namun ada kemungkinan lain yang dapat terjadi dengan tiba-tiba di padepokan ini”

Karena itu, maka Ki Wastupun kemudiun bertekad untuk segera menyampaikan keperluannya. Sebelum justru guru Pangeran Kuda Padmadata lah yang telah mendahului.

Dengan agak ragu-ragu, maka Ki Wastu pun kemudian berkata, “Kakang, sebenarnyalah bahwa kedatanganku kemari, selain berkunjung karena sudah terlalu lama aku tidak datang kemari, juga membawa pesan yang barangkali penting bagi kakang”

Ki Kasang Jati tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengira, bahwa kau tentu mempunyai keperluan, jika tidak, kau tentu sudah melupakan orang tua yang tidak berharga ini”

“Ah, jangan begitu kakang” jawab Ki Wastu, “kakang adalah orang tuaku, guruku dan tempat aku bersandar”

“Kau sudah memuji lagi. Tetapi baiklah. Katakan, apakah keperluanmu?“

Ki Wastu beringsut sejenak. Kemudian katanya, “Apa kah kakang masih ingat kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Orang tua itu mengerutkan keningnya, sementara, Ki Wastu menjelaskan, “Pangeran yang pernah mengambil anak perempuanku menjadi isterinya”

“O, tentu. Aku ingat. Nah, bagaimana kabarnya Pangeran itu sekarang?“ bertanya Ki Kasang Jati.

“Dan apakah kakang mengetahui bahwa Pangeran Kuda Padmadata itu murid Ki Dukut Pakering” bertanya Ki Wastu pula.

Ki kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku sudah mengetahuinya. Ia adalah murid Ki Dukut Pakering”

“Dan kakang masih ingat, hubungan yang buruk antara kakang dan Ki Dukut Pakering itu?“ bertanya Ki Wastu pula.

“Aku berusaha untuk melupakannya. Apakah arti permusuhan diantara orang tua-tua. yang pada saat yang pendek akan segera kembali kepada penciptanya” jawab Ki Kasang Jati.

Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ternyata tanggapan Ki Kasang Jati dan Ki Dukut Pakering agak bertentangan terhadap masa-masa lampau mereka. Agaknya Ki Dukut masih selalu mengingat permusuhan yang tajam sejak masa jauh sebelum mereka menjadi tua. Sedangkan Ki Kasang Jati telah berusaha untuk melupakannya.

Sejenak Ki Wastu termangu-mangu. Bahkan kebimbangan yang sangat telah mencekam jantungnya.

Tetapi kemudian ia bertekad untuk segera menyampaikannya, justru karena sikap Ki Kasang Jati. Jika orang tua itu tidak mengetahui sikap sebenarnya dari Ki Dukut, maka mungkin sekali pada suatu saat ia akan dihadapkan pada keadaan yang sangat membingungkan.

Karena itu, maka Ki Wastu pun kemudian berkata, “Kakang, kedatanganku kemari agaknya ada hubungannya dengan kedua orang murid dan guru itu”

“Kenapa dengan mereka?“ bertanya Ki Kasang dengan kerut-merut di kening.

Keragu-raguan masih nampak di wajah Ki Wastu. Sekilas ia memandang Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan tidak memberikan kesan apapun kepadanya.

Baru sejenak kemudian, Ki Wastu itupun berkata, “Kakang, mungkin terkejut mendengar ceriteraku. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak berbohong. Anak muda ini akan dapat menjadi saksi”

“Katakanlah” desis Ki Kasang Jati.

Ki Wastu bergeser lagi setapak. Kemudian dengan bahasa yang patah-patah iapun menceriterakan, apa yang diketahuinya tentang Ki Dukut Pakering serta sikapnya terhadap Pangeran Kuda Padmadata.

Ki Kasang Jati mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Setiap kali nampak kerut-merut dikeningnya. Bahkan kadang-kadang wajah itu menjadi sangat tegang.

Namun ketika Ki Wastu selesai dengan ceriteranya, maka Ki Kasang itu berkata, “Wastu. apakah kau bukan sekedar salah paham menanggapi peristwa itu? Darimana kau mengetahui bahwa Ki Dukut sudah bersikap demikian buruknya”

“Aku mendengar sebagian dari Pangeran Kuda Padmadata” jawab Ki Wastu.

“Dan kau mempercayainya begitu suja? Mungkin sebagian ceriteranya adalah benar, tetapi mungkin sebagian lagi hanyalah untuk mendukung ceritera yang sebenarnya itu”

“Tidak kakang. Bertanyalah kepada anak muda ini. Untunglah bahwa aku bersedia singgah di Kediri untuk membawanya serta. Jika tidak, mungkin aku sama sekali tidak mempunyai saksi untuk menyatakan kebenaran dari ceriteraku”

Ki Kasang mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Apakah benar ngger. Apa saja yang kau ketahui tentang Ki Dukut Pakering?“

“Maaf Ki Kasang Jati” jawab Mahisa Bungalan, “aku tidak tahu apapun juga tentang Ki Dukut Pakering. Tetapi aku mangetahui serba sedikit kebenaran ceritera Ki Wastu. Aku tahu bagaimana anak perempuannya mengalami perlakuan yang keji. Aku tahu bagaimana Ki Dukut telah membuat jaring-jaring yang sangat rapat. Dan aku tahu, apa yang dialami Pangeran Kuda Padmadata itu di istananya sendiri, karena paman Mahisa Agni telah mengabdi di istana itu pula”

“Dengan demikian, maka kalian sampai pada kesimpulan, bahwa yang berbuat demikian itu adalah Ki Dukut Pakering?“ bertanya Ki Kasang.

“Kakang” berkata Ki Wastu, “puteri yang ikut menjadi alat pemerasan itulah yang mula-mula mengatakannya. Kemudian diperkuat dengan gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh Pangeran Kuda Padmadata. Sehingga karena itu, maka aku percaya, bahwa sumber malapetaka itu adalah Ki Dukut Pakering. Namun selebihnya dari dendamnya yang tersimpan, iapun telah didorong oleh ketamakannya melihat kekayaan Pangeran Kuda Padmadata itu melimpah, yang kelak akan jatuh ke tangan orang yang dibencinya.

Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam, wajahnya menjadi muram. Dengan nada dalam, iapun kemudian berkata, ”Jika demikian, maka akulah yang paling bersalah sehingga anak perempuanmu itu mengalami nasib yang sangat buruk. Bahkan hampir saja merampas jiwanya”

“Tidak. Bukan maksudku menyalahkan kakang.” potong Ki Wastu dengan serta merta, “aku hanya mengatakan, bahwa kebencian Ki Dukut terhadap kakang Kasang telah mempengaruhi caranya berpikir menanggapi keadaan muridnya. Tetapi sudah barang tentu ada pengaruh lain yang harus diperhitungkan. Tentu adik Pangeran Kuda Padmadata itu pun mula-mula terkejut dan tidak mau melihat kenyataan bahwa kakaknya telah kawin dengan seorang pidak pedarakan. Kekecewaan ini bertemu dengan keangkuhan, ketamakan dan kedengkian.”

Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya kemudian hampir kepada diri sendiri, “Aku tidak mengira, bahwa permusuhan yang sudah aku usahakan untuk melupakan itu, masih saja berakibat buruk. Bukan atas diriku sendiri, tetapi atas orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah.”

“Kakang” bertanya Ki Wastu kemudian, “sebaiknya kakang tidak usah menyesali diri sendiri. Kini anakku telah bebas, dan bahkan mendapat perlindungan yang sangat baik di Istana Singasari, diawasi oleh Ki Mahendra, ayah angger Mahisa Bungalan ini.” Ki Wastu berhenti sejenak, lalu, “kedatanganku kakang, sebenarnya hanyalah ingin memberikan isyarat kepada kakang.”

“Terima kasih” jawab Ki Kasang Jati. Lalu, “Aku mengerti. Kegagalan Ki Dukut atas rencananya yang menyangkut muridnya, dan kegagalannya menyingkirkan puteri itu, mungkin akan menumbuhkan rencananya yang lain. Sasarannya adalah aku.”

“Ya, ya kakang. Aku memang ingin mengatakan demikian.”

“Terima kasih Wastu” desis Ki Kasang Jati, “aku sudah tua. Aku kira aku sudah tidak pantas lagi turun ke dalam arena perselisihan apapun sebabnya. Karena itu, jika Ki Dukut datang, biarkan ia mendapatkan apa yang dicarinya. Jika ia ingin melepaskan dendamnya, biarlah ia melakukannya.”

“Aku sudah mengira” berkata Ki Wastu, “Kakang adalah orang yang baik, murah hati dan barangkali seorang yang tidak banyak menghiraukan nasibnya sendiri.”

Tetapi, di samping itu kakang pun harus bertindak adil. Adil terhadap diri sendiri dan adil terhadap hubungan kakang dengan orang lain. Jika kakang membiarkan dendam itu membakar diri kakang, itu sama sekali bukan sikap yang adil. Kakang sudah membiarkan kejahatan berlaku atas seseorang, meskipun seseorang itu kakang sendiri. Tetapi mungkin kejahatan itu akan menjalar terhadap orang lain yang lebih buruk lagi, apabila orang itu sama sekali tidak tahu menahu. “

Ki Kasang Jati mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Kau pandai memaksa aku untuk berpikir Wastu. Tetapi dengan melepaskan dendamnya kepadaku, maka aku kira ia sudah puas. Ia tidak akan lagi mencari sasaran yang lain.”

“Tetapi dendamnya telah berkembang dengan ketamakan dan kedengkian. Ia tidak akan puas dengan pelepasan dendamnya yang lama saja. Ia kini tentu mendendam Pangeran Kuda Padmadata pula, serta keinginannya untuk menguasai harta bendanya tentu tidak akan dapat segera dilupakannya.”

Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenungi keadaannya. Sekilas terbayang, apa yang pernah terjadi, sehingga dendam telah menyala antara dirinya dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Ki Kasang Jati sama sekali tidak mengira, bahwa dendam itu justru akan membakar anak perempuan dari adik seperguruannya, sehingga hampir saja perempuan itu menjadi hangus bersama anak laki lakinya. Bahkan Pangeran Kuda Padmadata sendiri, hampir saja menjadi korban pula.

Kini nampaknya, kegagalan kegagalan itu telah menggiring Ki Dukut Pakering untuk menemukan sasarannya yang semula meskipun hanya sekedar untuk melepaskan amukan kekecewaan dan kebencian.

“Tetapi apakah benar, bahwa dendam itu akan terhenti sampai pada pelepasan atas diriku?” bertanya Ki Kasang Jati kepada diri sendiri.

Tetapi, pertanyaan itu telah membuka pertimbangan pertimbangannya yang lain. Justru itulah, yang dikehendaki oleh Ki Wastu, agar kejahatan yang membakar perasaan Ki Dukut Pakering itu tidak menjalar.

“Wastu,” berkata Ki Kasang Jati kemudian, “aku mengerti maksudmu. Tetapi apakah kata orang, jika orang-orang tua yang sudah berusaha untuk mendekatkan diri kepada asalnya, kepada Sangkan Paraning Dumadi ini masih harus berselisih dan bahkan mungkin masih harus mempergunakan kekerasan pula”

“Kakang” jawab Ki Wastu, “mungkin aku adalah orang yang lebih kasar dari Kakang. Aku sudah bertempur mempertahankan anak perempuanku. Bahkan angger Mahisa Bungalan ini serta ayah dan paman-pamannya telah mempergunakan pula untuk mencegah menjalarnya kejahatan”

“Mereka adalah orang-orang yang memang mempunyai kewajiban sebagai seorang Kesatria. Apalagi mereka adalah orang-orang yang berada dalam lingkungan keprajuritan”

“Tetapi apakah menurut pendapat kakang, membiarkan kejahatan itu terjadi, juga termasuk kebajikan? Juga termasuk jalan menuju ke Sangkan Paranging Dumadi? Apakah dengan demikian kakang sudah menunaikan tugas pengabdian kakang justru karena kakang mendapatkan kurnia kelebihan dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Wastu.

“Wastu” berkata Ki Kasang Jati, “sejak dahulu aku selalu merasa terdesak apabila aku harus berbantah dengan kau. Tetapi biarlah aku mengakuinya. Aku memang harus mendengarkan pendapatmu. Aku akan mencoba mempertimbangkannya”

“Kakang masih akan mempertimbangkannya?“ berkata Ki Wastu.

Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Kau selalu saja mendesak, Wastu. Baiklah. Baiklah. Aku tidak akan mempertimbangkannya lagi. Aku akan berbuat sesuatu untuk menjaga diri”

Ki Wastu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada dalam, hampir kepada diri sendiri, “Maaf kakang. Sebenarnya aku hanya didorong oleh kecemasanku, bahwa sesuatu telah terjadi atas kakang dan padepokan ini, tanpa ngetahuinya lebih dahulu”

Aku mengerti maksudmu Wastu” desis Ki Kasang Jati.

Ki Wastu tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya masih tertunduk. Sementara itu, Mahisa Bungalan hanya dapat mendengarkan percakapan dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Dalam pada itu, Ki Kasang Jati pun kemudian berkata, “Wastu, dengan demikian, maka aku justru minta agar kau tetap tinggal di sini untuk sementara. Mungkin yang kau katakan itu segera terjadi, sehingga kau sempat menyaksikannya. Mungkin kau akan dapat menemukan jalan keluar jika sebenarnyalah seperti yang kau katakan. Apalagi jika Ki Dukut membawa orang-orang lain yang sebenarnya tidak bersangkut paut dengan padepokan ini”

“Baiklah kakang, aku akan tinggal di sini untuk beberapa saat. Tetapi tentu tidak terlalu lama. Di Singasari anak perempuan dan cucuku tentu selalu menunggu, kapan mereka mendapat kesempatan untuk keluar dari lingkungan istana yang kurang dimengertinya. Meskipun ia mendapat perlindungan sebaik-baiknya, tentu ia akan lebih kerasan tinggal di luar lingkungan istana”

Ki Kasang Jati mengangguk. Jawabnya, “Jika yang kau perhitungkan itu benar-benar akan terjadi, maka tentu tidak akan terlalu lama lagi hal itu akan terjadi”

Dengan demikian, maka Ki Wastu dan Mahisa Bungalan masih tetap akan tinggal beberapa lama di padepokan kecil yang tenang itu. Namun yang karena kedatangan mereka, telah menjadi goncang. Meskipun Ki Kasang Jati sama sekali tidak memberitahukan apapun kepada cantrik-cantriknya, namun suasana itu nampaknya terasa oleh beberapa orang yang berada di padepokan itu pula.

Namun agaknya, apa yang dikatakan oleh Ki Wastu itu benar-benar mulai membayangi padepokan kecil itu. Pada suatu sore ternyata salah seorang cantrik melaporkan kepada Ki Kasang Jati, “Ki Kasang Jati, ketika aku pulang dari sawah, aku melihat dua orang yang melintas di jalan sebelah. Beberapa saat lamanya mereka berhenti mengamati padepokan ini dari jarak yang tidak terlalu dekat. Keduanya tidak mengetahui, bahwa aku yang bekerja di sawah dan sedang berada di dalam gubug, adalah penghuni padepokan ini. Atau barangkali keduanya justru tidak melihat aku, karena aku sudah duduk di dalam gubug.

“Apa salahnya” bertanya Ki Kasang Jati, “mungkin keduanya sedang mencari seseorang, atau bahkan keduanya mamang mencari padepokan ini. Mungkin sanak kadangnya ada yang tinggal di padepokan ini, atau untuk keperluan yang lain”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mungkin sekali. Aku tidak tahu, kenapa aku tiba-tiba saja telah mencurigainya”

Ki Kasang Jati mengerutkan keningnya. Agaknya seperti yang dirasakannya, suasana di padepokannya memang sudah berubah karena kehadiran Ki Wastu dan Mahisa Bungalan. Namun iapun mengerti, bahwa Ki Wastu dan Mahisa Bungalan datang ke padepokan itu dengan maksud yang baik.

Dengan demikian, maka Ki Kasang Jati memang harus mulai menyatakan sikapnya kepada para cantriknya. Ia tidak dapat membiarkan orang-orang yang tinggal di padepokan itu berteka-teki tanpa petunjuk arah sama sekali.

Karena itu, maka pada hari berikutnya, Ki Kasang Jati telah memanggil dua orang Pututnya untuk diajak berbincang bersama Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.

Dengan hati-hati Ki Kasang Jati memberikan kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan kecil itu. Sebenarnya ia sendiri sudah berusaha melupakan permusuhan yang sudah terlalu lama tanpa ujung pangkal itu. Namun pada suatu saat, ia memang harus melihat kenyataan, bahwa permusuhan itu belum padam sama sekali. Pada suatu saat, karena terpercik oleh peristiwa yang terjadi di Kediri, maka api yang telah tidak lagi berasap itu, bagaikan disiram dengan minyak.

Kedua Putut itu pun mendengarkan keterangan Ki Kasang Jati dengan saksama. Mereka menarik nafas dalam dalam ketika Ki Kasang Jati berkata, “Tetapi semuanya itu adalah salahku. Betapa hatiku ternyata telah ternoda oleh sikapku sendiri. Jika padepokan ini dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari segala macam kekasaran duniawi, maka aku masih juga mengajarkan olah kanuragan kepada kalian berdua. Ternyata pada suatu saat, seolah-olah kita semuanya telah dituntut untuk mampertanggung jawabkannya”

Kedua Putut itu mengangguk-angguk.

“Nah” berkata Ki Kasang Jati kemudian, “bagaimanapun juga kita tidak akan dapat ingkar, bahwa salah satu dari sifat kita, adalah mempertahankan hidup kita. Karena itu, kita tidak bersalah jika kita bertahan di dalam lingkungan kita sendiri, jika ada pihak yang ingin merusak ketenangan padepokan ini”

Kedua Putut itu masih mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Guru. Agaknya memang demikian. Kita berhak untuk mempertahankan diri, sebagaimana yang guru ajarkan. Seperti juga kita makan dan minum, agar kita akan tetap hidup”

Ki Kasang Jati tersenyum. Katanya, “Baiklah, jika kau memang menempatkan pengertian itu pada keadaan yang kita hadapi sekarang. Cobalah sampaikan kepada kawan-kawanmu dengan hati-hati, agar mereka tidak salah paham dan menjadi sangat gelisah karenanya”

“Ya guru. Aku akan mencoba. Tetapi sudah seharusnya kita bersiaga manghadapi kemungkinan yang betapapun pahitnya, yang memang jarang sekali terjadi atas padepokan ini” jawab salah seorang Pututnya.

Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Dua orang muridnya yang tertua itu dapat mengerti persoalannya dengan jelas. Tetapi beberapa orang cantrik yang lain, mungkin akan mempunyai tanggapan yang berbeda.

Tetapi kedua orang Putut itu akan dapat mewakilinya. Mereka dalam hidup sehari-hari adalah satu dengan para cantrik, meskipun sebenarnya kedua orang Putut itu dapat juga disebut guru dari para cantrik yang lain. Namun setiap orang padepokan itu menganggap bahwa guru mereka adalah Ki Kasang Jati. Sementara para Putut Itu adalah saudara tua mereka.

Demikianlah, padepokan kecil yang tenang itu benar-benar telah di panasi dengan ketegangan yang semakin memuncak. Ternyata cantrik-cantrik yang lain pun melaporkan bahwa mereka melihat orang-orang yang tidak dikenal dan mencurigakan di sekitar padepokan itu”

“Baiklah” berkata Ki Kasang Jati, “kalian harus menyadari, bahwa bukan Wastu dan angger Mahisa Bungalan inilah yang membawa ketegangan, di sini. Bahkan mereka telah mendahului datangnya ketegangan itu dengan memberitahukan kepada isi padepokan ini. Dengan demikian, maka datang atau tidak datang Wastu dan angger Mahisa Bungalan, kita akan menghadapi ketegangan ini dan sekaligus sentuhan yang kasar,” Ki Kasang Jati berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, “tetapi ingat, kalian tidak perlu mengatakan, bahwa ada dua orang tamu di padepokan ini. Anggaplah Wastu dan angger Mahisa Bungalan sebagai keluarga sendiri. Sebut sajalah mereka sebagai saudara-saudara kalian”

“Kenapa?” bertanya salah seorang dari para cantrik.

“Tidak apa-apa. Tetapi dengan demikian, maka tidak akan menimbulkan sikap khusus bagi mereka yang berniat buruk terhadap padepokan ini” jawab Ki Kasang Jati.

Para Putut dan cantrik itu pun mengerti maksud Ki Kasang Jati. Karena itu. maka mereka pun berusaha untuk tidak menyebut sama sekali tentang dua orang yang berada di padepokannya, yang mereka ketahui bahwa salah seorang dari kedua orang itu adalah adik seperguruan Ki Kasang Jati sendiri.

Sebenarnyalah bahwa perhitungan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan tidak terlalu jauh dari kebenaran. Ki Dukut Pakering benar-benar telah mendekati padepokan Ki Kasang Jati dengan dendam yang membara. Karena ia tidak mempunyai orang-orang yang dapat dipercaya lagi selain seorang pengikutnya saja, maka ia pun telah berhubungan dengan beberapa orang yang telah dikenalnya untuk membantunya.

“Ada seorang yang mumpuni di padepokan itu” berkata Ki Dukut, “ tetapi orang itu adalah musuhku. Musuh bebuyutan. Aku akan menyelesaikannya, sementara kalian dapat berbuat menurut kehendak kalian atas para pengikutnya. Mungkin ada satu dua Putut pilihan, tetapi jarak kemampuannya tentu terpaut panjang dari Ki Kasang Jati sendiri”

“Apakah Ki Dukut yakin?“ bertanya salah seorang yang bersedia membantunya.

“Kenapa tidak? Aku mengenal padepokan itu sejak lama” jawab Ki Dukut.

“Apakah tidak mungkin telah terjadi perubahan dengan cepat? Selama Ki Dukut tidak melihat padepokan ini, maka banyak peristiwa dapat terjadi?” bertanya orang lain yang diajaknya untuk melakukannya rencananya.

“Kita akan dapat mengamatinya untuk beberapa lama” jawab Ki Dukut, “agar kita dapat menyakinkan, bahwa kerja kita akan berhasil dengan baik”

“Itu adalah cara yang paling baik” berkata orang lain, “kita akan melihat padepokan itu dalam keadaannya sekarang. Bukan beberapa saat yang lampau”

Dengan damikian, maka Ki Dukut dan beberapa orang yang telah diajaknya melaksanakan rencananya, telah mengamati padepokan itu. Dengan cermat mereka berusaha untuk mengamati, apakah ada sesuatu yang dapat dianggapnya gawat

Ternyata bahwa kehadiran Ki Wastu dan Mahisa Bungalan yang lebih dahulu dari Ki Dukut, telah lepas dari pengamatan orang-orang yang bermaksud buruk itu.

Tetapi dalam pada itu, ternyata tidak semua orang yang berada dipihak Ki Dukut mengerti persoalan yang sebenarnya. Ada diantara mereka yang telah tertipu. Ternyata Ki Dukut yang mereka kenal mempunyai murid dua orang Pangeran itu dapat mempergunakan keadaannya itu untuk mengelabuhi beberapa orang pemimpin padepokan untuk berdiri dipihaknya.

Meskipun beberapa orang pemimpin padepokan itu bukannya orang yang dapat disebut memiliki ilmu yang pinunjul, namun dengan jumlah yang cukup banyak, maka Ki Dukut akan dapat dengan mudah menghancurkan padepokan itu, sementara orang-orang yang membantunya itupun pada saatnya akan mengalami nasib buruk pula.

Dengan janji yang memberikan banyak harapan, dan apalagi mereka yang merasa berkewajiban untuk melakukan kebajikan atas Pangeran Kuda Padmadata yang malang, maka beberapa orang telah bersedia berdiri dipihak Ki Dukut dengan rencananya yang gila. Menghancur kan padepokan itu dengan segenap penghuninya.

“Mereka telah menghancurkan keluarga Pangeran Kuda Padmadata” berkata Ki Dukut dengan orang-orang yang bersedia membantunya, “bahkan adiknya. Pangeran Kuda Rukmasanti telah terbunuh. Perampokan itu memang keji. Tetapi tentu bukan sekedar perampokan biasa. Ki Wastu, saudara seperguruan Ki Kasang Jati merasa kehilangan martabatnya ketika ia harus melihat kenyataan, bahwa anak perempuannya tidak diperlukan lagi oleh Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun Pengeran yang baik hati itu telah memberikan terlalu banyak pada saat isterinya itu ditinggalkannya di padukuhan, namun dendam telah menyala di hatinya. Dan ia berhasil menipu beberapa orang untuk membantunya. Kematian Pangeran Kuda Rukmasanti sangat menyakitkan hati kakaknya dan hatiku sendiri. Karena aku tidak mengetahui rumah Ki Wastu, maka aku akan membuat perhitungan dengan orang yang telah membantunya berbuat jahat”

Orang-orang yang sudah bersedia membantunya itu mendengarkan keterangan Ki Dukut dengan saksama. Tetapi mereka agak heran mendengar keterangan bahwa Ki Dukut masih belum mengetahui rumah Ki Wastu, yang anak perempuannya pernah menjadi isteri muridnya.

Agaknya Ki Dukut dapat melihat keragu-raguan itu. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti bahwa aku belum pernah melihat tempat tinggalnya, tetapi orang itu telah pergi meninggalkan rumah dan halamannya. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan sesuatu yang akan dapat menimbulkan persoalan pada dirinya, sehingga akhirnya ia talah bersembunyi Persembunyiannya itulah yang belum dapat aku ketemukan”

Orang-orang yang berada dipihak Ki Dukut tanpa mengerti keadaan yang sebenarnya itu mengangguk-angguk. Ceritera Ki Dukut nampaknya memang menyakinkan Bahkan Ki Dukut itu berkata kepada mereka, “Pangeran Kuda Padmadata tentu akan sangat berterima kasih kepada kalian. Sementara kalian mengetahui bahwa Pangeran itu adalah Pangeran yang kaya raya”

“Itu tidak penting” berkata seseorang, “tetapi membebaskan Pangeran itu dari kecemasan, bayangan-bayangan yang suram dan ketidak-pastian atas hari depannya itulah yang telah mendorong kami untuk membantu Ki Dukut. Bukan berarti bahwa kami memiliki kemampuan melampaui Ki Dukut Pakering sendiri, tetapi mungkin tenaga kami yang tidak berarti itu akan dapat meringankan tugas Ki Dukut di padukuhan itu”

“Terima kasih” sahut Ki Dukut, “betapapun tinggi ilmu orang yang menyebut dirinya Kasang Jati itu, maka biarlah aku akan melumpuhkannya. Sementara kalian akan dapat menguasai para cantriknya yang tidak banyak berarti”

Demikianlah maka rencana untuk memasuki padepokan kecil itu telah disusun dengan rapi. Menurut pengamatan mereka, tidak ada yang perlu mendapat perhatian khusus pada padepokan itu. Tidak ada kecemasan bahwa Ki Kasang Jati telah mendatangkan orang-orang yang kuat yang akan dapat melindungi padepokannya yang mulai dibayangi oleh keburaman itu.

“Kita tinggal menentukan waktu” berkata Ki Dukut Pakering.

“Jangan terlalu lama” berkata salah seorang yang bersedia membantunya, “aku tidak mempunyai waktu terlalu banyak, karena aku harus segera berada kembali di padepokanku”

“Ya“ yang lain menyahut, “kasihan Pengeran yang malang itu. Jika kita berhasil memasuki padepokan itu, mungkin kita akan dapat memaksa satu dua orang untuk menunjukkan, dimanakah rumah orang yang bernama Ki Wastu itu”

“Baiklah” berkata Ki Dukut Pakering, “semakin cepat memang semakin baik. Besok kita akan mengadakan pengamatan terakhir. Kita akan langsung menyusun rencana, kapan kita akan memasuki padepokan itu”

Demikianlah seperti yang dikatakan, di keesokan harinya, maka Ki Dukut dan seorang yang mewakili beberapa orang yang telah menyatakan bersedia membantu Ki Dukut telah mengadakan pengamatan terakhir pada padukuhan kecil itu. Seperti di hari-hari sebelumnya, maka mereka tidak melihat sesuatu yang baru pada padepokan itu. Mereka melihat beberapa orang cantrik bekerja seperti biasa. Mereka melihat, tidak seorang pun dari para cantrik yang menunjukkan kesiagaan yang berarti.

“Dengan demikian tugas kita tidak terlalu berat. Bukankah tugas kami hanyalah mencegah, agar Ki Dukut sempat berhadapan dengan Ki Kasang Jati?“ bertanya orang yang menyertainya.

“Ya. Tetapi jika diperlukan, maka kalian dapat membantu aku menangkap orang itu, karena aku ingin dapat menangkapnya hidup-hidup. Sudah barang tentu bahwa jika terpaksa sekali, aku akan membunuhnya. Namun apabila masih mungkin, aku ingin dapat mendengar beberapa jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan di dalam hati ini”

Orang yang menyertainya mengangguk-angguk. Ia semakin yakin akan kebersihan hati Ki Dukut, ketika Ki Dukut berkata, “Sebenarnyalah bahwa kematian bukan akhir dari persoalan ini. Aku, dan tentu juga Pangeran Kuda Padmadata tidak menginginkan kematiannya. Karena sebenarnyalah bahwa dendam bukanlah tujuan terakhir, meskipun betapa sakitnya hati Pangeran yang kehilangan adiknya itu, dan aku yang telah kehilangan muridku”

“Kita akan berusaha” jawab orang yang menyertainya, “tetapi kita tidak dapat menentukan“ ia berhenti sejenak, lalu jadi, apakah kita sudah dapat menentukan saat untuk memasuki padepokan itu?”

“Setelah kita amati beberapa hari. maka nampaknya kita akan segera dapat melakukannya. Aku akan berbicara dengan kawan-kawan kita, apakah sebaiknya malam nanti kita melakukannya” berkata Ki Dukut

“Aku tidak berkeberatan. Malam nanti kita memasuki padepokan kecil itu lewat regol. Kita minta Ki Kasang Jati menyerah dan mengakui kesalahannya, sehingga ia sebaiknya tidak melawan untuk dihadapkan kepada Pangeran Kuda Padmadata, serta sekaligus menunjukkan dimana Ki Wastu bersembunyi” berkata orang yang menyertainya, “mudah-mudahan Ki Dukut mengerti, bahwa dengan demikian, para cantriknya akan selamat”

“Bagus” sahut Ki Dukut. Namun ia berkata selanjutnya, “tetapi ia adalah orang yang keras hati dan kepala. Tetapi biarlah kita melihat”

“Kita harus segera membuat rencana sebaik-baiknya” berkata kawannya, “marilah, kita akan menyusunnya sekarang. Malam nanti kita masuki padepokan itu”

Ki Dukut pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Sayang bahwa kita harus mengguncang ketenangan padepokan itu. Tetapi yang isinya sama sekali bukanlah seperti wadah yang kasat mata”

Bersama dengan beberapa orang yang sudah menyatakan kesediaannya untuk membantu, maka Ki Dukut Pakering telah menyusun rencananya. Sebelum tengah malam mereka akan memasuki padepokan kecil itu. Ki Dukut Pakering sendiri akan menghadapi Ki Kasang Jati, agar ia dapat dengan hati-hati berusaha menangkapnya hidup-hidup.

“Tetapi jika ia berkeras hati untuk mempertahankan kesalahannya, apa boleh buat” berkata Ki Dukut, “namun, jika masih mungkin, sementara aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup. Aku akan memerlukan pertolongan kalian, justru karena aku menginginkannya, hidup-hidup“

“Kami sudah menyatakan kesediaan kami” jawab salah seorang dari mereka yang berada diantara Ki Dukut Pakering, “karena itu, kami akan membantunya apa saja yang kalian perlukan. Sebenarnyalah kami menganggap bahwa rencanamu untuk menangkap hidup-hidup adalah rencana yang paling baik”

“Ya. Marilah kita bersiap sambil berdoa. Semoga yang Maha Agung akan selalu berada bersama kita” berkata Ki Dukut, “sehingga apa yang kita kerjakan tidak ber tentangan dengan kehendaknya. Namun aku percaya, bahwa niat yang baik, akan mendapat jalan yang rancak pula”

Demikianlah, maka Ki Dukut dan kawan-kawannya pun telah bersiap menjelang gelap. Bagaimanapun juga. mereka harus mempersiapkan diri untuk bertempur. Mereka akan bertempur tanpa menjatuhkan korban jiwa apabila mungkin. Tetapi jika justru jiwa mereka sendiri terancam, maka mungkin sekali mereka terpaksa membunuh. Namun pembunuhan yang mereka lakukan telah mereka perhitungkan sebaik-baiknya, bahwa mereka telah melakukan satu tugas kemanusiaan yang besar. Jika Ki Kasang Jati itu tidak ditangkap, atau bahkan jika terpaksa dibunuh, maka tindakan-tindakannya yang melanggar segi peradaban manusia akan semakin menjalar. Bahkan ia sudah berani berbuat jahat terhadap seorang pangeran dari Kediri dan membunuh Pangeran Kuda Rukmasanti.

Dengan demikian, maka kawan-kawan Ki Dukut itu merasa diri mereka berpinjak pada alas kebenaran, sehingga mereka sama sekali tidak ragu-ragu untuk bertindak.

Ketika malam turun, maka Ki Dukut telah menentukan arah yang akan mereka tempuh. Menurut perhitungan Ki Dukut, maka mereka tidak perlu datang sambil mengendap-endap. Tetapi mereka akan dapat langsung memasuki regol dan menyerang padepokan itu dari depan dengan dada tengadah sebagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki.....

“Kita akan menjaga, agar tidak ada korban yang jatuh. Baik di antara kita, maupun di antara mereka. Tetapi kita sudah berpijak pada ujung tanduk. Mungkin kita akan terluka, tetapi mungkin pula kita terpaksa melukai” desis Ki Dukut pada saat mereka siap untuk berangkat.

Kawan-kawan Ki Dukut itu hanya mengangguk-angguk. Mereka menganggap bahwa Ki Dukut adalah orang yang paling mengetahui persoalannya, sehingga karena itu, maka mereka menyerahkan segala rencana sebagian terbesar kepada Ki Dukut.

Pada saat yang sudah ditentukan, maka sekelompok orang yang dipimpin oleh Ki Dukut Pakering telah menyusuri jalan-jalan setapak menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Ki Kasang Jati. Padepokan yang dalam keadaan sehari-hari nampak tenang dan tidak dibayangi oleh sifat-sifat permusuhan. Namun tiba-tiba beberapa orang bersenjata telah mendatangi padepokan itu dengan jantung yang panas.

Ki Dukut yang berjalan di paling depan pun masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Jika maksudnya tersingkap, maka ia akan kehilangan kepercayaan dari kawan-kawannya. Bahkan mungkin orang-orang itu akan dapat menjadi orang yang sangat berbaya baginya.

Semakin dekat mereka dengan padepokan kecil itu, maka jantung Ki Dukut Pakering itu pun berdegup semakin keras.

Dalam pada itu, padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Kasang Jati itupun tidak pernah meninggalkah kewaspadaan. Selama padepokan itu dibayangi oleh orang-orang yang tidak mereka kenal, yang nampaknya selalu mengamat-amati padepokan kecil itu, maka orang-orang di padepokan itupun merasa, bahwa mereka harus berhati-hati. Karena itulah, maka setiap malam, beberapa orang selalu berjaga-jaga di halaman depan, meskipun mereka sengaja tidak berada di regol. Bahkan mereka dengan sengaja berada di tempat yang terlindung dari cahaya lampu di pendapa dan di regol halaman.

Setiap malam, regol dan seluruh halaman itupun selalu mendapat mengawasan mereka. Kedua orang Putut di padepokan itu berganti-ganti memimpin para cantrik yang bertugas meronda. Setiap malam mereka berganti berjaga-jaga. Jika yang seorang tidur di gandok, maka yang lain berada diantara para cantrik yang bertugas.

Sementara itu, selain kedua orang Putut yang bertugas berganti-ganti itu, Mahisa Bungalan dan Ki Wastupun selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun Ki Kasang Jati sendiri nampaknya tidak begitu menghiraukan ketegangan yang setiap saat terasa semakin memuncak, namun iapun tidak meninggalkan kewaspadaan. Bahkan kadang-kadang Ki Kasang Jati sendiri keluar dari ruang dalam di tengah malam, berjalan menyusuri sudut-sudut halaman dan menyapa para peronda di serambi, atau di sudut-sudut yang terlindung,

Dengan demikian, maka setiap saat regol padepokan itu tidak pernah terlepas dari pengamatan para cantrik meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat. Namun lampu minyak regol itu cukup terang, apabila seseorang memasuki regol halaman itu, tentu akan dapat mereka lihat.

Karena itulah, maka ketika Ki Dukut mendekati regol dan menganggap regol itu sepi tidak terjaga, maka dengan dada yang berdebaran, para cantrik pun melihat dengan jelas, beberapa orang telah melangkahi tlundak pintu regol halaman padepokan itu.

Para cantrik yang mengamati regol itupun saling menggamit sebagai isyarat. Ternyata bahwa mereka semuanya telah melihat, beberapa orang memasuki halaman padepokannya.

“Bukan sekedar dugaan” berkata para cantrik itu di dalam hatinya.

Namun mereka terkejut ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Ki Kasang Jati telah berada di sebelah mereka sambil berbisik, “Aku akan menyapa mereka. Bangunkan kawan-kawanmu. Beritahukan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan yang berada di dalam”

Para cantrik itu tidak bertanya lagi. Beberapa orang pun kemudian berdiri dan tanpa ragu-ragu mereka melangkah ke gandok dan yang lain masuk ke ruang dalam.

Ternyata bayangan para cantrik itu dapat dilihat oleh Ki Dukut Pakering. Sejenak itu justru termangu-mangu. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa kedatangannya telah dilihat oleh beberapa orang penghuni padepokan itu.

“Gila” geramnya di dalam hati, “apakah ada iblis yang memberitahukan kepada meraka”

Namun kemudian iapun melanjutkan, “Persetan. Meskipun mereka mengetahui kehadiran kita, tidak akan ada kekuatan yang cukup untuk membendung kedatangan kita”

Karena itu, maka Ki Dukut pun sama sekali tidak merubah rencananya. Ia melangkah terus ke tengah-tengah halaman padepokan Ki Kasang Jati.

Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar seseorang menyapanya, “Selamat malam Ki Dukut Pakering. Kami sudah menunggu kedatanganmu di padepokan kecil ini”

Ki Dukut mengerutkan keningnya. Dari kegelapan ia melihat bayangan seseorang diikuti oleh dua orang di belakangnya. Beberapa langkah di hadapan Ki Dukut, orang itu berhenti samhil berkata lebih lanjut, “Kunjunganmu merupakan kehormatan yang sangat besar bagi kami”

“Persetan Kasang Jati. Aku datang untuk membuat perhitungan. Kau sudah terlalu banyak membuat aku menahan hati. Tetapi yang kau lakukan terakhir, sehingga aku harus mengorbankan muridku adalah sudah sampai pada batasnya. Aku datang untuk menghukummu. Bukan lagi untuk berbicara panjang lebar”

“Aku sudah mengerti apa yang telah terjadi” sahut Ki Kasang Jati, “apakah tidak ada cara yang lebih baik dari yang kau lakukan sekarang?“

“Menyerahlah Ki Kasang Jati” berkata Ki Dukut tanpa menjawab pertanyaan Ki Kasang Jati, “kau akan aku bawa menghadap pada pimpinan pemerintahan di Kediri. Kau harus mendapat pengadilan. Jika kau merasa tidak bersalah, kau tentu tidak akan berkeberatan, karena dengan demikian kau akan segera dilepaskan. Tetapi jika kau bersalah, maka hukuman akan menjadi jauh lebih ringan daripada kau berusaha hendak melawan”

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Ki Dukut Pakering” jawab Ki Kasang Jati, “karena itu, jelaskanlah, apa yang akan kau lakukan”

“Aku tidak akan banyak berbicara” geram Ki Dukut, “kesalahanmu kau dekap di dadamu. Sekarang menyerahlah. Perintahkan semua orang di dalam padepokan ini menyerah, agar aku dan kawan-kawanku yang sebenarnya tidak ingin mempergunakan kekerasan ini tidak perlu bertindak lebih kasar”

“Aku tidak berkeberatan” berkata Ki Kasang Jati, “tetapi sebut sebabnya”

“Persetan” berkata Ki Dukut. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Apa kita masih dapat menunggu lebih lama lagi dengan pembicaraan yang tidak berkeputusan, Atau kita tangkap saja orang ini, kemudian kita bawa ke Kediri?“

Ternyata ada juga diantara kawan-kawan Ki Dukut yang-tidak sabar. Katanya, “Marilah, kita tangkap saja orang ini. Tentu sulit untuk mendengarkan pengakuannya selagi ia masih bebas. Tetapi jika ia sudah tidak berdaya, apalagi di hadapan yang memerintah di Kediri, ia akan mengaku segala kesalahannya”

“Sebenarnya aku masih ingin berbuat lebih itu lagi” berkata Ki Dukut, “Tetapi apa boleh buat, ia memaksa aku mempergunakan kekerasan”

Sebenarnyalah Ki Dukut tidak ingin berbantah lebih lama. Dengan demikian, maka ia akan membuka kemungkinan bagi mereka yang datang bersamanya untuk menilik keadaan. Karena itu, maka kemudian katanya, “Baik. Jangan menyesal jika dalam usahaku menangkapmu, kulitmu tersentuh jari-jariku. Atau bahkan mungkin salah satu orang cantrikmu tergores oleh kuku kawan-kawanku yang datang bersamaku sekarang atas nama keadilan pemerintahan di Kediri”

Ki Kasang Jati masih akan menjawab. Tetapi Ki Du sudah meloncat mendekatinya. Katanya, “Marilah. Memencarlah. Orang-orang di padepokan ini tidak terlalu banyak”

Mereka yang datang bersama Ki Dukut pun segera bergeser. Meskipun ada satu dua orang yang terpaksa memikir kembali pembicaraan antara kedua orang itu, namun ternyata mereka tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak. Orang-orang yang menghuni padepokan pun ternyata sudah berpencar pula.

“Ki Dukut“ Ki Kasang masih ingin berbicara, “jangan tergesa-gesa”

“Hanya ada dua pilihan” sahut Ki Dukut denhan serta merta, “menyerahlah, atau kami terpaksa menangkapmu dan mengikatmu. Kami akan membawamu seperti membawa seorang penjahat yang paling buas. Meskipun sebenarnya kau lebih berbahaya dari penjahat itu, namun aku masih lebih hormat kepadamu”

Ki Kasang Jati masih akan menjawab. Tetapi sekali lagi Ki Dukut meloncat mendekat, sehingga Ki Kasang Jati terpaksa mengurungkan kata-kata yang sudah ada dibibirnya Ia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tiba-tiba saja dapat dilakukan oleh Ki Dukut Pakering.

Pada saat itu, maka kawan-kawan Ki Dukut pun segera memencar. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa ia telah mengambil langkah yang keliru, karena mereka terlalu percaya kepada Ki Dukut yang mereka anggap sebagai seorang yang selain memiliki ilmu yang tinggi ia seorang guru dari dua orang kakak beradik yang mempunyai pengaruh di Kediri. Sehingga karena itu, maka mustahil bahwa orang yang demikian akan menyesatkan mereka ke dalam kerja yang salah.

Demikianlah, ketika kawan-kawannya sudah berencar, maka Ki Dukut itupun berkata lantang, “Siapa yang ingin selamat, menyerah sajalah. Kami bermaksud baik. Kami hanya memerlukan Ki Kasang Jati. Tidak orang lain. Karena itu, siapa yang ingin selamat, jangan melibatkan diri ke dalam persoalan ini”

Namun yang terdengar adalah jawaban dari salah sorang Pututnya, “Kami adalah murid-muridnya. Kami akan berbuat apa saja bagi guru kami, dan bagi padepokan kami”

Ki Dukut kemudian menggeram. Tetapi jawaban itu kemungkinkannya untuk meneriakkan aba-aba, “Baiklah kawan-kawan. Kita sudah tahu, bagaimana sikap orang orang yang masih ingin aku hormati. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari sekelompok orang-orang yang telah jatuh ke dalam lumpur yang paling rendah. Tidak ada cara lain yang dapat kita tempuh selain menangkap mereka hidup-hidup, atau jika tidak ada cara lain. maka kematian adalah akibat yang sangat wajar dari sikap dan pandangan hidup mereka”

Ki Kasang Jati benar-benar tidak sempat untuk memberikan penjelasan. Tetapi ia sudah mulai curiga, bahwa orang-orang yang datang bersama Ki Dukut Pakering bukanlah orang-orang yang memang bermaksud jahat.

Namun, apabila mereka mempergunakan kekerasan juga, maka tidak ada cara lain kecuali menyelamatkan diri. Baru kemudian, apabila keselamatan itu telah didapatkannya, barulah akan datang kesempatan untuk memberikan penjelasan. Tetapi jika mereka tidak berhasil menyelamatkan diri. maka kesempatan untuk memberikan penjelasan itupun sama sekali tidak akan didapatkannya.

Demikianlah, maka para cantrik itu pun berpencar pula. Dua orang Putut yang terbaik di antara murid-murid Ki Kasang Jati itupun berpencar pula. Seorang di sisi kiri dari pendapa bersama beberapa orang cantrik, yang lain di sisi kanan.

Dalam pada itu, Ki Dukut ingin segera menyelesaikan rencananya. Ketika orang-orangnya telah berpencar, maka tiba-tiba saja ia sudah mulai menyerang Ki Kasang Jati sambil menggeram, “Sebaiknya kau menyerah”

Ki Kasang Jati mengelak. Ia masih sempat berbicara, “Aku tidak tahu, apakah yang sedang kau kerjakan sekarang”

Karena orang-orang yang berdiri di pihaknya sudah memencar, maka Ki Dukut itupun menggeram, “Dendam tidak akan dapat padam sebelum pecah nyawamu. Kau sumber bencana bagi perguruanku, sehingga akhirnya seorang dari kedua muridku itu terbunuh”

“Aku sudah tahu. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat mempengarui orang-orang itu, sehingga mereka masih juga berpihak kepadamu?“ bertanya Ki Kasar Jati.

“Mereka adalah orang-orang yang waskita. Mereka melihat kebenaran yang sejati” berkata Ki Dukut lantang, agar orang-orang yang tidak terlalu jauh daripadinya dapat mendengarkannya.

Ki Kasang Jati menggigit bibirnya, ia tidak dapat berteriak melampaui suara Ki Dukut Pakering. karena lawannya itu pun kemudian mengerahkan segenap kemampuanya untuk menyerangnya.

Ki Dukut Pakering, guru dari Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya. Kuda Rukmasanti, memang seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu bergerak secepat tatit di langit. Namun ia memiliki kekuatan seperti runtuhnya bukit-bukit batu menimpa jurang dan lurah yang dalam.

Karena itu. maka Ki Kasang Jati harus berhati-hati Pertempuran di antara keduanya bukannya baru terjadi untuk yang pertama kali. Keduanya telah bertempur beberapa kali. Setiap kali, tidak seorang pun yang dapat menyebut dirinya memenangkan perkelaian.

Tetapi kedatangan Ki Dukut itu bukanlah sendiri. Jika berhasil mengalahkan para cantrik dan murid-murid Kasang Jati dengan mempergunakan tangan beberapa orang yang bersedia membantunya itu, maka Ki Kasang tentu akan terpengaruh sehingga ia pun akan menyerah atau terbunuh.

Ki Dukut tidak begitu merisaukan para pengikutnya, musuh terbesarnya telah dapat diselesaikan, maka yang lain baginya tidak akan banyak berarti. Ia akan dapat menjumpai mereka seorang demi seorang. Jika ada diantara mereka yang menuntut pertanggungan jawabnya, maka orang itu justru akan diselesaikan sama sekali.

Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang ng memiliki ilmu yang tinggi dan yang saling mengenal menjajagi itu, dengan segera meningkat dengan dahsyatnya. Keduanya tidak lagi berusaha untuk mengetahui kuatan dan kelemahan lawannya, karena sebenarnyalah duanya telah saling mengetahuinya.

Yang mereka lakukan kemudian hanyalah menjaga, agar mereka tetap menyadari keadaan diri. Mereka tidak mudah terpancing oleh gejolak perasaan sehingga mereka akan melakukan sesuatu yang tidak perlu. Imbangan kekuatan sangat mereka perlukan, sehingga mereka tidak akan melepaskan tenaga mereka tanpa arti sama sekali.

Sementara itu, di halaman itu pun telah menyala berapa lingkaran pertempuran. Para cantrik memang tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Tetapi dua orang Putut yang terbaik dari antara murid Ki Kasang Jati itu memang harus diperhitungkan.

Tetapi kedua orang itu tidak dapat melawan semua orang yang kemudian menghambur di sebelah menyebelah pendapa. Meskipun kedua Putut itu dengan garangnya menahan lawan-lawannya, tetapi yang lainpun segera mendesak para cantrik sehingga mereka terdorong surut.

“Bertahanlah atas nama padepokan ini” teriak salah seorang Putut, “sebentar lagi aku akan datang membantu”

“Menyerahlah“ salah seorang lawannyapun berteriak, “itu akan lebih baik daripada kalian harus bertempur. Kemungkinan yang paling buruk pun dapat kita hindari”

“Kami berpijak di tempat kami sendiri” sahut salah seorang Putut, “jika kalian ingin berbicara dengan kami, keluarlah dari padepokan ini. Baru kita akan dapat berbicara dengan wajar dan dalam kedudukan yang sama”

Kawan-kawan Ki Dukut pun tidak menjawab lagi. Merekapun segera mendesak para cantrik semakin jauh. Tetapi mereka yang bertempur melawan kedua orang Putut itu pun harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Ternyata kedua orang Putut itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Mereka adalah murid-murid terbaik dari Ki Kasang jati yang mumpuni.

Tetapi para cantrik tidak dapat bertahan lebih lama. Lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, sehingga mereka pun segera terdesak semakin jauh, semakin jauh sampai ke seketeng.

Namun tiba-tiba imbangan pertempuran itu telah berubah. Di antara para cantrik itu tiba-tiba saja terdapat seseorang yang berilmu tinggi. Dengan garangnya orang itu bertempur. Dalam gelapnya malam, lawan-lawan mereka tidak dapat melihat, siapakah orang yang muncul dari seketeng dan langsung mendesak mereka dengan kemampuan yang mendebarkan.

Karena itu, maka pertempuran di depan seketeng itu pun berlangsung semakin sengit. Ternyata dua tiga orang sekaligus merasa mendapat tekanan karena salah seseorang yang tiba-tiba saja telah berada di depan seketeng.

“Siapa kau?“ bertanya salah seorang kawan Ki Dukut Pakering.

“Aku cantrik padepokan ini seperti saudara-saudaraku,” yang lain jawab orang itu.

”Tetapi adalah mustahil bahwa di antara para cantrik telah terdapat orang yang memiliki ilmu yang mengejutkan.”

Karena itu, maka pertempuran di dalam gelap di depan seketeng itupun berlangsung dengan sengitnya. Beberapa orang kawan Ki Dukut harus bertempur melawan orang yang memiliki ilmu yang mengejutkan itu. Orang itu mampu meloncat dengan cepat, menyerang dengan tiba-tiba dan bahkan kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah.

Para cantrik yang semula merasa terdesak itupun menjadi heran. Namun mereka pun segera mengerti, bahwa orang itu adalah tamu-tamu Ki Kasang Jati.

Sebenarnyalah bahwa Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah membagi diri. Yang seseorang berada di sebelah kanan pendapa, sedang lainnya berada di sebelah kiri. Ketika mereka melihat para cantrik terdesak, maka mereka pun segera turun ke arena lewat seketeng sebelah menyebelah.

Kawan-kawan Ki Dukut pun menjadi heran bahwa di antara para cantrik terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang mengejutkan. Dua orang Putut yang bertempur di sebelah pendapa itupun telah membuat mereka heran. Apalagi tiba-tiba saja di antara para cantrik terdapat orang-orang yang segera dapat mendesak mereka.

Karena itulah, maka baik Mahisa Bungalan maupun Ki Wastu segera berhadapan dengan lawan yang tidak hanya seorang. Sementara para cantrik berkesempatan untuk bertempur berpasangan.

Karena itu, maka para cantrik tidak lagi merasa terdesak dan tidak lagi merasa terlalu sulit untuk bertahan.

Mahisa Bungalan ternyata mendengar semua pembicaraan antara Ki Dukut dan Ki Kasang Jati. Ia memang menjadi curiga, apakah kawan-kawannya juga memiliki sifat seperti orang itu. Agaknya Ki Dukut telah menunjukkan sikap yang kurang wajar. Ia tidak berterus terang dengan segala peristiwa yang telah terjadi.

Karena itu, maka tiba-tiba saja ia bertanya kepada-lawannya, “Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki di padepokan ini?“

“Menyerahlah” geram lawannya, “kau akan mengetahui, apa yang pernah dilakukan oleh gurumu, jika kau benar-benar cantrik padepokan ini”

“Aku memang cantrik padepokan ini. Tetapi sebut kesalahan guruku” desis Mahisa Bungalan.

“Jangan memancing belas kasihan kami” berkata lawannya, “tetapi jika kau menyerah, maka kau akan mendapat perlakuan yang baik. Kami dapat berbuat baik, Tetapi kami dapat juga berbuat kasar Bahkan kami pun dapat berbuat sesuatu, sehingga akan jatuh korban. Mungkin kawan-kawanmu, tetapi mungkin korban itu adalah kau sendiri”

“Atau kau” desis Mahisa Bungalan, “jika jatuh korban di antara kami, maka kami adalah korban dalam tugas seorang cantrik yang setia kepada gurunya dan kepada padepokannya. Kami akan menjadi korban yang tidak sia-sia. Tetapi jika kau mati, apakah sebenarnya arti kematianmu”

“Persetan“ lawannya menyerang semakin dahsyat sambil menggeram, “Kau benar-benar tidak mau menyerah”

Tetapi Mahisa Bungalan pun ternyata mulai menjadi jemu. Karena itu, ketika ia bertempur semakin keras, maka lawannyapun menjadi semakin sulit menghadapinya, meskipun mereka sudah bertempur berpasangan.

“Gila” geram lawannya di dalam hati, “orang ini agak aneh“

Namun adalah suatu kenyataan, bahwa cantrik yang seorang itu adalah cantrik yang sangat mendebarkan jantung karena tata geraknya yang membayangkan ilmu yang tinggi dan mapan.

Tetapi di lingkaran pertempuran yang lain, terdapat pula seorang cantrik yang mumpuni. Meskipun nampaknya orang itu sudah agak tua. Tetapi ia sudah mengejutkan lawan-lawannya. Dengan tangkasnya ia bertempur di antara beberapa orang lawannya, sehingga para cantrik yang lain mempunyai kesempatan untuk membenahi diri setelah mereka terdesak beberapa saat lamanya.

Kehadiran Mahisa Bungalan dan Ki Wastu benar-benar telah mempengaruhi keadaan. Kawan-kawan Ki Dukut yang semula dengan cepat menguasai keadaan, rasa-rasanya telah membentur dinding pertahanan yang sangat kuat. Di samping dua orang Putut padepokan itu yang tangguh dan tanggon, maka masih ada dua orang cantrik yang bertempur ditempat terpisah, namun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan semakin lama kawan-kawan Ki Dukut menjadi ragu-ragu, apakah dua orang itu benar-benar cantrik dari padepokan kecil itu.

Namun dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Ki Dukut yang bertempur dengan penuh dendam, berusaha untuk dapat mendesak lawannya, meskipun ia sadar, bahwa untuk melakukannya, akan sangat terpengaruh oleh keadaan dalam keseluruhan. “Tetapi sebentar lagi, kawan-kawanku akan menguasai keadaan” berkata Ki Dukut di dalam hatinya, “ jika orang ini telah mati, maka tidak sulit bagiku untuk mengatasi tikus-tikus kecil ini, “

Ki Dukut merasa, bahwa usahanya akan segera berhasil. Kematian Ki Kasang Jati, akan mengurangi tekanan batinnya karena kegagalan rencananya, bahkan dengan terbunuhnya Pangeran Kuda Rukmasanti. Jika kawan-kawannya telah berhasil menghalau para cantrik, maka mereka tentu akan segera membantunya, atau setidak-tidaknya akan mempengaruhi tekad berlawanan Ki Kasang Jati.

Tetapi ternyata bahwa kawan-kawan Ki Dukut itu tidak segera dapat menguasai halaman padepokan kecil itu. Bahkan semakin lama pertempuran di halaman itu rasa-rasanya menjadi semakin sengit. Agak berbeda dengan apa yang diperhitungkan oleh Ki Dukut. Ia mengira bahwa yang akan terjadi, hanyalah sekedar menakut-nakuti, kemudian menangkapi atau menghalau cantrik-cantrik yang tidak berarti, meskipun sudah diperhitungkan pula bahwa ada satu dua diantara mereka yang akan nampu memberikan perlawanan.

“Putut-putut itu agaknya memiliki kemampuan yang tinggi pula” geram Ki Dukut di dalam hatinya.

Sebenarnya Putut-putut di padepokan itu memiliki kemampuan yang cukup untuk menahan lawan-lawannya. Tetapi jumlah lawan-lawannya memang cukup banyak, sehingga para cantrik untuk beberapa saat telah terlesak. Tetapi ternyata kemudian, bahwa kawan-kawan Ki Dukut Pakering itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka telah membentur kekuatan di luar kemampuan mereka.

Perlahan-lahan Mahisa Bungalan, Ki Wastu dan para cantrik telah berhasil mendesak lawannya. Demikian pula dua orang Putut dari padepokan itu pun mampu bertahan meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Sementara itu, ternyata Ki Dukut sendiri tidak berhasil mendesak lawannya. Ternyata keseimbangan kemampuan mereka masih tetap seperti yang beberapa tahun yang lalu. Masih seperti setiap kali mereka bertemu dan bertempur.

“Gila” geram Ki Dukut, “nampaknya kau masih juga ingat mempertahankan namamu”

“Tidak Ki Dukut. Tetapi adalah wajar bahwa aku ingin mempertahankan umurku”

“Persetan. Perguruanmu yang hampir punah ini tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Apabila apabila kau sekarang mati di halaman ini” desis Ki Dukut.

“Kau salah” sahut Ki Kasang, “jika aku mati, ada muridku yang akan melanjutkan cabang perguruan kecil ini. Ia akan segera datang dan tinggal di antara para cantrik. Sebelum muridku yang sudah sempurna memiliki ilmuku itu datang, kedua Putut yang hampir mencapai tingkat tertinggi itupun akan dapat bertahan untuk beberapa saat lamanya”

“Omong kosong” bentak Ki Dukut, “kedua cantrikmu itu pun akan mati pula sekarang, mungkin akan lebih dahulu daripadamu”

“Ia akan dapat bertahan” sahut Ki Kasang. Sekilas Ki Dukut memang melihat, bahwa pertempuran di sebelah-menyebelah pendapa itu masih berlangsung dengan sengitnya, Ia pun manyadari, bahwa kawan-kawannya tentu tidak segera dapat menguasai kedua Putut dan para cantrik, sehingga karena itu ia mengumpat di dalam hati, “Orang-orang dungu, jika mereka sudah berani menyebut dirinya pemimpin padepokan, kenapa mereka sama sekali tidak dapat menguasai dua orang Putut dan beberapa orang cantrik kecil”

Tetapi kenyataan itu sudah terjadi. Kawan-kawannya tidak segera berhasil menguasai cantrik-cantrik kecil yang dipimpin oleh dua orang Putut itu.

“Jangan menyesal kawan-kawanmu” berkata Ki Kasang Jati yang seolah-olah melihat kekesalan di hati lawannya, “mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Apalagi jika aku sempat memanggil muridku yang sudah putus segala macam ilmu, yang tidak jauh berbeda dengan aku sendiri, dan seorang muridku yang lain, yang meskipun belum sempurna seperti kakak seperguruannya, tetapi aku kira akan dapat dengan mudah menghalau orang-orangmu, karena ia telah memiliki ilmu jauh lebing tinggi dari kedua Putut yang sekarang ada disini”

“Persetan” geram Ki Dukut, “soalnya adalah waktu. Akhirnya akan datang saatnya, kau berlutut di bawah kakiku dengan kepala tunduk. Aku akan memenggal lehermu dengan tanganku sendiri”

Ki Kasang Jati tidak menjawab. Tetapi ia harus mengimbangi tekanan lawannya yang didorong oleh dendam dan kebencian yang tiada taranya.

Namun bagaimanapun juga. Ki Ki Dukut ternyata tidak mampu merubah dirinya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang melampaui lawannya yang telah menjadi bebuyutan.

Karena itu, maka pertempuran antara kedua orang itupun justru menjadi semakin dahsyat. Ternyata Ki Kasang Jati dan Ki Dukut Pakering adalah dua orang yang memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Demikian sengitnya pertempuran di antara keduanya, maka seolah-olah di halaman padepokan itu telah terjadi angin prahara yang berputaran. Dedaunan pun bagaikan diguncang, sehingga lembaran-lembaran yang mulai menguningpun telah berguguran di tanah.

“Luar biasa” desis Ki Wastu yang melihat pertempuran itu.

Ki Kasang Jati adalah saudara tua seperguruannya. Tetapi ternyata bahwa ia telah meninggalkan kemampuan ilmunya agak jauh. Agaknya Ki Kasang Jati dalam padepokannya telah sempat menyempurnakan ilmunya jauh lebih baik dari Ki Wastu. yang dalam waktu yang lama telah direpotkan oleh anak perempuannya.

Mahisa Bungalan yang sempat melihat pertempuran itu sekilas juga mengagumi kemampuan kedua orang yang sedang bertempur itu. Ia telah mengalami pertempuran dengan murid Ki Dukut Pakering. Meskipun ia berhasil mengalahkannya, tetapi iapun harus mengerahkan puncak ilmunya, sehingga dengan demikian ia dapat menduga, betapa tinggi tingkat ilmu Ki Dukut Pakering dan Ki Kasang Jati.

Namun demikian, Mahisa Bungalan masih yakin, seandainya pamannya Mahisa Agni dan Witantra atau ayahnya ada di tempat itu, maka mereka tidak akan berada di bawah tataran ilmu kedua orang yang sedang bertempur itu.

Dalam pada itu, oleh perhatiannya yang terpecah, maka Mahisa Bungalan tidak berusaha mendesak lawannya. Namun ketika ia hampir saja dikenai oleh lawannya yang bertempur tidak hanya seorang melawan seorang itupun bagaikan menjadi sadar akan keadaannya. Dengan serta merta iapun meloncat dan memperbaiki kedudukannya.

Mahisa Bungalan mulai memperhatikan lawannya seorang demi seorang. Meskipun malam terjadi semakin gelap, tetapi ia menjadi semakin jelas melihat lekuk-lekuk wajah lawannya.

Mahisa Bungalan terkejut ketika ia melihat seseorang meloncat menghadapinya bersama beberapa orang yang lain, setelah beberapa lamanya lawan lawannya tidak berhasil mendesaknya. Dengan suara berat orang itu berkata, “Yang seorang ini harus dapat kita kuasai lebih dahulu. Baru kita akan menguasai para cantrik yang tidak banyak berarti”

“Ya” sahut yang lain, “kita menangkap orang ini. Baru kita akan dangan mudah menundukkan para cantrik”

Sejenak Mahisa Bungalan harus memperkuat pertahanannya. Namun kemudian ia sempat memperhatikan orang yang baru dalam lingkaran pertempuran melawannya itu.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak segera menyapanya Ia ingin menyakinkan, apakah yang dilihatnya itu benar-benar orang yang pernah dikenalnya.

Namun dalam pada itu, orang itupun agaknya telah terkejut pula. Bahkan nampak pada tata geraknya, bahwa ia menjadi ragu-ragu. Tetapi seperti Mahisa Bungalan, orang itupun agaknya ingin menyakinkan, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya.

Dalam pada itu, Ki Wastupun bertempur dengan garangnya pula. Meskipun ia tidak segarang Ki Kasang Jati. Tetapi ia memiliki beberapa kesamaan. Tata geraknya dan langkah sikapnya. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, maka Ki Wastupun telah bertempur dengan dahsyatnya.

Lawan-lawannya menjadi semakin heran. Di padepokan itu ada seorang cantrik yang luar biasa. Yang jauh melampaui para cantrik yang lain, bahkan melampaui kedua Putut kebanggaan Ki Kasang Jati.

Tetapi lawan-lawan Ki Wastu tidak sempat terlalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Berbeda dengan Mahisa Bungalan, maka Ki Wastu sama sekali tidak terganggu oleh pengenalannya terhadap salah seorang lawannya.

Karena itu, maka ia pun kemudian justru berhasil mendesak lawannya yang bertempur berpasangan. Dengan loncatan-loncatan yang cepat, ia dapat membuat lawan-lawannya menjadi bingung. Bahkan ketika seorang lagi mendekatinya dan melibatkan diri, mereka masih tetap tidak dapat menguasainya.

Ki Wastu yang berloncatan itu sekali-kali sempat meninggalkan lawan-lawannya, membantu para cantrik yang harus berjuang dengan sepenuh kemampuannya melawan orang-orang yang tidak mereka kenal itu. Namun karena orang-orang terpilih telah bertempur melawan salah seorang dari tamu padepokan itu, maka tugas mereka pun tidak lagi terasa terlalu berat. Mereka masib mempunyai harapan untuk dapat tetap bertahan dalam keadaan mereka.

Ki Dukut dan Ki Kasang Jati benar-benar telah sampai kepuncak ilmu masing-masing. Tidak ada lagi yang dapat mengekang mereka melepaskan ilmu tertinggi mereka: Betapapun Ki Kasang Jati berusaha mengendalikan hatinya, tetapi menghadapi lawan yang benar-benar ingin membunuhnya, maka lambat laun kesabarannya pun menjadi semakin susut, sehingga akhirnya, Ki Kasang Jati tidak lagi berpikir untuk dapat mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.

“Jika aku masih saja dibayangi oleh keseganan dan sikap yang terlalu ramah terhadap tamu yang seorang ini, maka akulah yang benar-benar akan terbaring inati di halaman ini. Bahkan mungkin orang gila ini benar-benar akan memenggal leherku dan membawanya bagi pemuas dendamnya” berkata Ki Kasang Jati di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Agaknya ia memang memilih bertahan meskipun ia harus membunuh lawannya dari pada ia sendirilah yang akan terbunuh di dalam pertempuran yang sengit itu.

Pada saat pertempuran antara Ki Kasang Jati dan Ki Dukut Pakering menjadi semakin sengit, maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan meloncat mundur dari antara lawannya untuk mengambil jarak. Dengan suara bergetar ia kemudian menyebut sebuah nama, “Ki Selabajra”

Orang yang disebut Ki Selabajra itupun tertegun. Dengan ragu-ragu ia melangkah maju sambil berdesis, “Apakah benar penglihatanku. Bukankah kau angger Mahisa Bungalan”

“Ya. Aku Mahisa Bungalan”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pantas. Kami bertiga, berempat, bahkan sepuluh orang dari kami tidak akan dapat mengalahkannya.

“Ah. itu sangat berlebih-lebihan” desis Mahisa Bungalan.

Dengan serta merta pertempuran itu pun terhenti. Tidak saja mereka yang mengepung Mahisa Bungalan, tetapi mereka yang bertempur dengan para cantrikpun telah berhenti juga.

“Kenapa kau berada di padepokan ini ngger?“ bertanya Ki Selabajra, “jika aku belum mengenalmu, maka aku tidak akan heran bahwa seseorang dapat terlibat dalam perbuatan yang betapapun jahatnya. Tetapi karena aku sudah mengenalmu, maka aku menjadi heran, bahwa angger Mahisa Bungalan dapat terlibat disini, di-padepokan yang kotor dan penuh dengan dosa”

“Siapa yang mengatakannya Kiai?“ bertanya Mahisa Bungalan, “aku justru yang bertanya, kenapa Kiai terlibat ke dalam tindakan yang sama sekali tidak dilandasi oleh peradaban yang betapapun sederhananya”

“Apakah kau sudah jatuh ke dalam lembah yang hitam atau justru karena kau tidak mengetahui apa yang telah terjadi?“ bertanya Ki Selabajra.

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah yang Kiai maksud?“

“Ki Kasang Jati, orang yang sebelumnya sangat kami takuti dan kami hormati, meskipun kami tahu, betapa dendam menyala di hatinya terhadap Ki Dukut Pakering, ternyata adalah orang yang sama sekali tidak dilandasi oleh sifat-sifat kemanusiaan yang wajar”

“Kenapa?“ bertanya Mahisa Bungalan.

Namun dalam pada itu, sebelum Ki Selabajra menjawab, terdengar Ki Dukut berteriak, “Kenapa kalian berhenti? Tangkap semua orang di padepokan ini. Aku akan menangkap orang yang dianggap gegedug ini”

“Kami tidak mempunyai waktu ngger” berkata Ki Selabajra, “jika angger memang tidak ingin terlibat lebih jauh, aku mohon angger meninggalkan tempat ini. Sebab jika Ki Dukut telah menguasai Ki Kasang Jati, maka akan datang waktunya, kau harus melawannya”

“Ki Selabajra” berkata Mahisa Bungalan, “seandainya demikian, aku tidak pernah merasa gentar menghadapi Ki Dukut Pakering. Meskipun aku tahu, bahwa ia adalah orang yang pilih tanding. Tetapi coba katakan Kiai, kenapa Kiai berada dipihaknya? Apakah Kiai tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi di Kediri?“

“Kematian muridnya? Pangeran Kuda Rukmasanti?“ bertanya Ki Selabajra.

“Jadi Kiai tahu? Dan apakah Kiai juga tahu, siapa yang membunuhnya dan apa sebabnya?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Tentu sekelompok orang yang dipimpin oleh Ki Kasang Jati yang ditangisi oleh adik seperguruannya, karena Pangeran Kuda Padmadata tidak lagi dapat menganggap anak perempuan saudara seperguruan Ki Kasang Jati itu sebagai isterinya. Ketamakan itulah yang telah mendorongnya melakukan perbuatan melampaui batas kewajaran, karena persoalannya sebenarnya bukan menilai dengan pembunuhan yang kemudian dilakukannya” berkata Ki Selabajra.

Dada Mahisa Bungalan tergetar mendengar jawaban Ki Selabajra, katanya, “Bukan aku yang salah pilih Kiai. Tetapi Kiai dan barangkali kawan-kawan Kiai. Yang membunuh Pangeran Kuda Rukmasanti adalah dirinya sendiri, perbuatannya sendiri, meskipun aku adalah lantarannya, sehingga kepalanya telah membentur ompak batu”

“Jadi angger Mahisa Bungalan yang telah membunuhnya?“ bertanya Ki Selabajra.

“Ya. Dan aku tahu pasti persoalannya, karena yang aku lakukan justru demi keselamatan kakak kandungnya. Pangeran Kuda Padmadata” jawab Mahisa Bungalan.

“Bohong“ tiba-tiba saja Ki Dukut berteriak, “jangan dengar kata-katanya. Orang itu terlibat terlalu jauh dalam pembunuhan itu”

“Memang aku yang membunuhnya” sahut Mahisa Bungalan. Lalu, “Ki Selabajra. jika kau tidak percaya maka kau dapat bertanya kepada Pangeran Kuda Padmadata itu sendiri. Seorang Pangeran yang hampir saja menjadi korban ketamakan gurunya sendiri”

“Bohong. Bohong” teriak Ki Dukut.

Namun Ki Dukut tidak dapat mencegah Mahisa Bungalan berkata selanjutnya. Apalagi ketika Ki Kasang Jati justru menekannya semakin berat sambil berkata, “Teruskan ngger, biarlah semua orang mendengarnya. Wastu, berhentilah sebentar. Biarlah lawan-lawanmu mendengar penjelasan angger Mahisa Bungalan”

“Bohong, jangan percaya. Perbuatan licik semacam ini memang sudah aku duga sebelumnya” teriak Ki Dukut.

“Aku berkata sebenarnya” jawab Mahisa Bungalan, “sekarang Pangeran Kuda Padmadata masih hidup dan dalam keadaan segar bugar. Kalian dapat menemuinya dan bertanya, apakah yang pernah terjadi atasnya, di istananya dan atas orang-orang yang paling dekat dengan dirinya”

“Omong kosong“ Ki Dukut masih saja berteriak.

“Aku datang bersama mertua Pangeran Kuda Padmadata yang hampir saja menjadi korban ketamakan gurunya itu”

Ki Dukut Pakering bergetar semakin keras. Bukan saja karena ia harus mengerahkan segenap kemampuannya melawan musuh bebuyutan, tetapi kata-kata Mahisa Bungalan itu benar-benar telah mempengaruhi orang-orang yang datang bersamanya.

Ternyata bahwa berkembangnya keadaan itu telah mendebarkan jantung Ki Dukut Pakering. Rasa-rasanya tidak mungkin lagi baginya untuk mempertahankan kebohongannya di hadapan orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan, karena ternyata ia adalah orang yang telah membunuh Pangeran Kuda Rukamasanti yang bertempur di dalam sebuah ruangan di istana Pangeran Kuda Padmadata. Apalagi ternyata di padepokan itu terdapat juga mertua Pangeran Kuda Padmadata itu sendiri.

Dalam pada itu terdengar Mahisa Bungalan berkata seterusnya, “Marilah kita berbicara. Kita akan saling memberikan alasan atas sikap dan tindakan kita masing-masing”

“Persetan“ Ki Dukut Pakering berteriak. Ia mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan hentakkan yang kuat dan cepat ia menyerang Ki Kasang Jati yang agak terkejut karenanya. Namun ia masih sempat menghindar itu dengan loncatan panjang surut.

Tetapi yang terjadi kemudian adalah diluar dugaannya. Demikian Ki Kasang Jati meloncat surut, maka tiba-tiba saja Ki Dukut itupun telah meloncat sambil bersuit nyaring. Bagaimanapun juga ia masih teringat kepada seorang pengikut setianya. Dengan isyarat itu, maka ia telah memberitahukan kepadanya, agar ia meninggalkan arena yang rasa-rasanya akan menjadi semakin panas baginya.

Sejenak kemudian, maka Ki Dukut itupun telah meloncati dinding padepokan, karena ia tidak sempat berlari melalui regol. Demikian juga pengikutnya yang setia itupun segera menghilang dibalik dinding. Demikian” cepatnya, sehingga beberapa orang hanya dapat menyaksikannya saja.

Tetapi Ki Kasang Jati memang sengaja tidak mengejarnya. Meskipun mungkin ia akan dapat menyusulnya tetapi lebih baik baginya untuk membiarkan Ki Dukut Pakering itu pergi meninggalkan padepokannya.

Mahisa Bungalan dan Ki Wastu pun termangu-mangu. Meraka pun tidak mengejarnya pula, karena Ki Kasang Jati sama sekali juga tidak berusaha untuk menangkap lawannya itu.

“Biarlah ia pergi” berkata Ki Kasang Jati, “meskipun itu berarti bahwa aku harus selalu bersiap-siap menunggu kedatangannya”

Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang yang datang bersama Ki Dukut itupun menjadi semakin berdebar-debar. Jika orang-orang di padepokan itu kemudian meneruskan pertempuran, maka mereka tidak akan lagi mampu bertahan. Ki Kasang Jati yang memiliki ilmu yang luar biasa itu, tentu tidak akan terlawan oleh siapapun diantara mereka.

Namun dalam pada itu, terdengar Ki Selabajra bertanya kepada Mahisa Bungalan, “Angger Mahisa Bungalan. Ternyata Ki Dukut Pakering telah meninggalkan kami begitu saja. Hal ini memang menarik perhatian kami. Bahkan telah menumbuhkan kecurigaan kami. Sekarang, aku kira kami tidak mempunyai pilihan lain daripada berbicara dengan kalian”

“Bagus” berkata Mahisa Bungalan, “aku kira Ki Kasang Jati juga tidak akan berkeberatan, karena ia tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan kalian”

Ki Kasang Jati. yang mendengar percakapan itu pun menyahut, “Aku akan mempersilahkan kalian naik ke pendapa. Kita akan menyarungkan senjata kita, dan kita akan berbicara tentang persoalan yang sedang kita hadapi”

Sejenak suasana padepokan itu menjadi hening. Namun kemudian terdengar suara Mahisa Bungalan memecah kesepian, “Silahkan. Marilah kita berbicara”

Orang-orang yang menggenggam senjata itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun menyarungkan senjata mereka seperti yang dikatakan olah Ki Kasang Jati. Meskipun dengan ragu-ragu, namun mereka pun kemudian naik ke pendapa.

Meskipun demikian, masih ada juga kecurigaan di antara mereka. Tanpa diatur mereka telah duduk pada pihak mereka masing-masing.

Ki Kasang Jati yang agaknya telah dapat menduga, apa yang terjadi dengan orang-orang yang telah membantu Ki Dukut Pakering itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Agaknya kita telah terdorong ke dalam satu perbuatan yang tidak kita inginkan. Aku yakin bahwa Ki Sanak semuanya tidak akan bermaksud buruk dalam tindakan yang kalian lakukan ini. Tetapi sayang, bahwa kalian telah terperosok ke dalam kelicikan sikap Ki Dukut Pakering”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya seseorang yang bertubuh tinggi.

“Seperti yang sudah dikatakan oleh angger Mahisa Bungalan” jawab Ki Kasang Jati.

“Siapakah Mahisa Bungalan itu?“ orang itu bertanya pula.

“Inilah orangnya” jawab Ki Kasang Jati sambil menunjuk Mahisa Bungalan, “ia adalah orang yang paling tahu tentang peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata itu. Dan orang yang di sebelahnya adalah Ki Wastu, mertua Pangeran Kuda Padmadata yang dikatakan oleh Ki Dukut, seolah-olah ia telah merencanakan perbuatan keji terhadap Pengeran Kuda Padmadata dengan bantuanku”

“Apakah kalian tidak melakukannya?“ orang bertubuh tinggi itu mendesak.

“Jangan bernada mengadili kami” sahut Mahisa Bungalan, “kalian harus mendengar kebenaran dari peristiwa itu. Tetapi jangan bersikap seperti itu, seolah-olah kalian berhak berbuat demikian terhadap kami”

Orang bertubuh tinggi itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan tatapan mata yang tegang. Kata-kata Mahisa Bungalan itu terasa menyinggung perasaannya.

“Mahisa Bungalan” berkata orang itu, “kami datang untuk menghukum kalian. Kau, Ki Kasang Jati dan orang yang sebenarnya kami cari adalah Ki Wastu, mertua dari Pengeran Kuda Padmadata. Karena itu, maka untuk mengurungkan niat kami, kalian harus dapat memberikan bukti-bukti bahwa kalian memang tidak bersalah. Jika dengan demikian, kami telah mengadili kalian, maka sebenarnyalah kami ingin melakukannya sekarang. Baru jika ternyata kalian memang tidak bersalah, maka tidak akan melanjutkan niat kami menghukum kalian”

Jantung Mahisa Bungalan bergetar semakin cepat Tiba-tiba saja darah mudanya bergejolak, sehingga iapun menjawab, “Jika kalian memang datang untuk menghukum kami, lakukanlah. Baru kemudian setelah kami menyakinkan kalian, bahwa kalian tidak akan dapat berbuat demikian, baru kau akan berbicara, seperti seorang Senapati di hadapan prajurit-prajurit yang telah ditaklukan”

“Persetan” geram orang bertubuh tinggi itu.

“Apakah kalian akan mencoba?” bertanya Mahisa Bungalan. Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Namun tantangan Mahisa Bungalan itu benar-benar telah mendebarkan jantung. Di antara mereka tidak ada lagi orang yang akan mampu mengimbangi Ki Kasang Jati, meskipun seandainya ada di antara mereka, atau beberapa orang bersama-sama, dapat melawan Mahisa Bungalan.

Namun dalam pada itu, Ki Kasang Jati berkata, “Aku kira itu tidak perlu sama sekali. Baiklah kita mulai mengurai segala peristiwa yang pernah terjadi. Dangan demikian, barulah kita akan mengambil kesimpulan dan sikap. Jika setelah kami menceriterakan segala yang kami ketahui dan kalian menilainya, barulah kita akan menentukan, apakah kalian tetap pada pendirian kalinan untuk menghukum kami, atau kalian akan mengambil sikap lain”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Dangan nada datar ia berkata, “Memang sebaiknya kita melihat peristiwa yang telah terjadi. Aku adalah orang tua perempuan yang telah menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata yang tentu telah dihasut oleh Ki Dukut Pakering. Yang gagak disebutnya kuntul. dan yang kuntul disebutnya gagak. Karena itu, agar tidak seperti timbangan yang berat sebelah, maka jika kalian telah mendengar satu ceritera dari Ki Dukut, dengarkanlah kini ceritera lain dalam sentuhan yang sama”

Orang-orang yang berada di pendapa itu mengangguk. Meskipun orang bertubuh tinggi itu masih nampak tegang, namun ia tidak menyahut lagi.....

Ki Selabajra yang kemudian berkata, “Silahkan. Kami memang ingin mendengar ceritera dari pihak yang lain”

Ki Kasang Jati mengangguk-angguk sambil menjawab, “Demikianlah. Kalian tentu saja sudah cukup mempunyai pengalaman, sehingga akan dapat menimbang baik dan buruk. Biarlah angger Mahisa Bungalan sajalah yang menceriterakan, apa yang diketahuinya sejak awal sampai ia berada di padepokan ini”

“Silahkan ngger” desis Ki Selabajra, “aku masih mempunyai kepercayaan kepadamu”

Orang bertubuh tinggi di antara kawan-kawan Ki Dukut itu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang wajah Ki Selabajra. Kemudian iapun memandangi wajah Mahisa Bungalan yang tegang.

Sejenak kemudian, Mahisa Bungalan itupun segera berceritera tentang segala peristiwa yang berhubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata yang diketahuinya. Sejak tanpa sengaja ia telah terlibat langsung sampai akhirnya ia telah melibatkan pula paman-pamannya dan bahkan telah menitipkan anak perempuan Ki Wastu itu ke dalam lingkungan istana Singasari.

Orang-orang yang duduk di pendapa itu mendengarkan ceritera Mahisa Bungalan dengan hati yang bergejolak. Kadang-kadang tegang, kadang-kadang haru namun kadang-kadang mereka telah merasa tersinggung pula.

“Gila” geram salah seorang dari mereka, “ kita sudah ditipu oleh Ki Dukut”

Namun orang yang bertabuh tinggi itupun berdesis, “Apakah kalian percaya kepada ceritera anak muda ini?“

“Aku percaya“ Ki Selabajra lah yang menjawab, “Aku masih mempercayainya seperti yang sudah aku katakan”

“Apakah kau pernah mengenalnya sebelumnya?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.

“Pernah. Ia pernah tinggal di padepokanku meskipun tidak terlalu lama” jawab Ki Selabajra.

Orang bertubuh tinggi itu tertegun sejenak. Namun kemudian katanya, “Bagiku, ceritera itu akan dapat didasari oleh sikap dan kepentingan masing-masing. Lebih baik jika kita mendengar ceritera dari kedua belah pihak pada saat yang bersamaan. Maksudku kedua belah pihak berada di satu lingkaran pertemuan. Baru kita mendengar ceritera itu secara adil”

“Jangan bodoh” sahut seorang yang bertubuh gemuk, “dengan demikian yang ada bukannya sebuah pembicaraan, tetapi tentu sebuah perkelaian”

Orang bertubuh tinggi itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

“Begitulah Ki Sanak” berkata Ki Kasang Jati, “kalian sudah mendengar apa yang kami ketahui tentang peristiwa yang kalian dengar pula dari Ki Dukut tetapi dengan urutan kejadian dan desar berpijak yang berbeda. Terserah kepada kalian. Sebagian dari kalian telah menyatakan percaya kepada ceritera angger Mahisa Bungalan, sementara ada yang bersikap lain, kami tidak akan dapat memaksa. Terserahlah. Dan terserah pula sikap apa yang akan kalian ambil. Kami akan melayani dengan senang hati. Yang percaya, atau yang tidak percaya kepada ceritera itu”

Suasana telah menegang. Meskipun kata-kata Ki Kasang Jati itu diucapkan dengan ramah tamah dan senyum, tetapi tantangan bagi mereka yang masih berkeras hati untuk menganggap padepokan kecil itu telah melakukan banyak kesalahan, benar-benar telah mendebarkan.

Namun suasana itu pun kemudian telah dipecahkan dengan desah Ki Selabajra, “Kita telah tertipu”

Beberapa orang lainnya pun menarik nafas dalam-dalam pula. Bagi mereka yang melihat kenyataan di sekitar mereka, maka mereka akan menyadari bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan di padepokan itu, seandainya mereka tidak mempercayai ceritera Mahisa Bungalan. Namun bersama Ki Wastu dan Ki Kasang Jati, nampaknya yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu memang meyakinkan.

“Jika demikian, kita memang telah tertipu” berkata seorang yang bertubuh gemuk, “sehingga dengan demikian, apa salahnya jika mohon maaf kepada Ki Kasang Jati?“

“Ah” sahut Ki Kasang Jati, “kita masing-masing dapat saja membuat kekhilafan. Karena itu, jika hal itu sudah kita sadari, maka kita masing-masing tentu akan saling memaafkan”

“Terima kasih” desis Ki Selabajra, “untunglah bahwa di sini kami dapat bertemu dengan angger Mahisa Bungalan. Jika kami datang lebih dahulu daripadanya, mungkin keadaan akan berbeda”

“Ya. Mungkin kalian telah mencincang kami dan seisi padepokan ini” sahut Ki Kasang Jati.

“Bukan maksud kami” sahut orang yang bertubuh gemuk, “kami datang untuk menangkap Ki Kasang Jati dan membawanya kepada yang berhak untuk mengadili kesalahan yang kami kira benar-benar telah dilakukan oleh Ki Kasang Jati”

Tetapi orang bertubuh tinggi itu masih berkata, “Dan kita masih belum mendapat bukti yang meyakinkan, bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu benar”

Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan tegang. Katanya kemudian, “Apakah kau bersedia datang kepada Pangeran Kuda Padmadata?“

“Buat apa?“ desis orang bertubuh tinggi itu.

“Untuk mendengar keterangannya, apakah yang aku katakan ini benar atau justru keterangan Ki Dukut itulah yang benar” jawab Mahisa Bungalan.

“Aku tidak terlalu bodoh untuk mengumpankan kepalaku ke mulut seekor harimau” geram orang itu.

“Kenapa? Apakah kau takut Pangeran Kuda Padmadata akan berbuat sesuatu atasmu” bertanya Mahisa Bungalan.

“Bukan Pangeran itu. Tetapi di perjalanan menuju Kediri, kau dapat saja berbuat curang dan mencelakai aku” jawab orang bertubuh tinggi.

Mahisa Bungalan menggeretakkan giginya. Darah mudanya seakan-akan telah mendidih di jantungnya. Namun Ki Kasang Jati berkata menengahi, “Sudah aku katakan. Terserahlah kepada kalian. Percaya atau tidak percaya. Bahkan kamipun telah bersedia melayani sikap apapun yang akan kalian ambil”

Orang bertubuh tinggi itulah yang menggeram. Katanya, “Aku lebih percaya kepada Ki Dukut Pakering. Ia adalah guru Pangeran Kuda Padmadata. Dan yang dikatakannyapun lebih wajar dari ceritera Mahisa Bungalan yang seolah-olah dapat berbuat apa saja melampaui kewajaran orang lain. Aku tidak percaya bahwa Ki Dukut akan sampai hati mengorbankan muridnya. Yang lebih masuk akal bagiku adalah niat buruk Ki Wastu karena anak perempuannya tidak lagi dikehendaki oleh Pangeran Kuda Padmadata dan ditinggalkannya di padukuhan terpencil dari Kota Raja. Tetapi bahwa kemudian dengan bantuan Ki Kasang Jati telah membuat huru-hara itulah yang memang pantas untuk dihukum”

“Kau ternyata seorang yang teguh hati” sahut Ki Kasang Jati mendahului Mahisa Bungalan yang telah bergeser setapak, “aku menghargai sikapmu. Tetapi bahwa kau telah mengeraskan hati pada kekeliruan itulah pantas disesalkan. Namun demikian, aku tidak berkeberatan atas sikapmu. Pada suatu saat kau akan melihat kebenaran”

“Bukan keras hati” potong Mahisa Bungalan, “tetapi keras kepala. Jika kau yakin akan tanggapanmu atas segala peristiwa itu, apa yang akan kau lakukan?“

“Tidak ada” jawab orang bertubuh tinggi itu, “karena aku hanya seorang diri”

“Gila” geram Mahisa Bungalan, “yang berceritera tentang peristiwa yang tidak kau percaya itupun hanya aku seorang diri”

Wajah orang bertubuh tinggi itu menegang. Namun kemudian dengan geram ia berkata, “Kau akan bersikap seperti seorang laki-laki?“

“Aku sudah bersikap seperti seorang laki-laki. justru aku bertempur berhadapan dengan dua tiga orang sekaligus. Nah, apakah kau akan bersikap jantan pula“ Mahisa Bungalan sudah terlalu sulit mengendalikan perasaannya.

Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia berkata, “Persoalannya harus dibatasi. Tetapi sebenarnya kita tidak akan memaksa kalian untuk percaya”

“Aku harus meyakinkan, apakah orang yang bernama Mahisa Bungalan dan mengaku dapat membebaskan anak perempuan Ki Wastu ini benar-banar seorang laki-laki, atau hanya seorang pemimpin”

Mahisa Bungalan menggeram. Agaknya orang bertubuh tinggi itu tidak percaya akan kemampuannya.

“Apakah ia tidak berada di arena pertempuran melawan para cantrik, putut dan aku sendiri?“ bertanya Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun agaknya sikap itu menunjukkan, bahwa ia benar-benar ingin mengetahui tataran kemampuan Mahisa Bungalan yang sebenarnya.

“Apakah yang sebenarnya kau kehendaki?“ tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Dipandanginya Ki Kasang Jati dan Ki Wastu sejenak. Kemudian katanya, “Aku tidak akan menyangsikan lagi jika Ki Kasang Jati yang menceriterakan dan mengalami peristiwa itu. Mungkin hal itu juga dapat dilakukan oleh Ki Wastu, saudara seperguruan Ki Kasang Jati. Tetapi tidak oleh seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan, yang memang pernah aku dengar berada di padepokan Kenanga”

Mahisa Bungalan menggeretakkan giginya. Katanya dengan suara bergetar, “Kau siapa? Ternyata kau pernah mendengar namaku sebelumnya. Tatapi jika demikian, kenapa kau seolah-olah tidak mengenalku sama sekali?”

“Aku hanya mendengar namamu dari seorang gadis bernama Ken Padmi” desis orang bertubuh tinggi Itu.

“Cukup“ Ki Selabajra lah yang kemudian memotong, “masalahnya akan berkembang ke arah yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Ki Dukut Pakering dan Ki Kasang Jati di padepokan ini”

“Ada Ki Selabajra” berkata orang bertubuh tinggi itu, “aku benar-benar ingin mengetahui kebenaran berita tentang kebesaran namanya. Ternyata iapun telah dengan sombong menyebut kemampuan diri tanpa malu-malu”

“Bukan maksudku” geram Mahisa Bungalan, “jika aku menceriterakan semua peristiwa yang telah terjadi itu semata-mata karena aku ingin meyakinkan, bahwa yang dikatakan oleh Ki Dukut itu tidak benar”

“Apapun alasanmu” potong orang bertubuh tinggi itu, “tetapi kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku dengar dan yang pernah aku kenal namanya”

“Baiklah” jawab Mahisa Bungalan, “jika itu yang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan”

“Tidak ada gunanya” potong Ki Selabajra, “persoalan yang kau katakan, terlalu dicari-cari dan tidak akan berarti apa-apa”

“Biarlah aku melakukannya Ki Selabajra” jawab orang bertubuh tinggi itu, “dengan demikian, semua yang pernah aku dengar bukannya sekedar ceritera”

“Kaulah yang sombong” potong seorang yang bertubuh gemuk, “kau akan membuang waktu dan tenaga tanpa arti”

“Itu persoalanku sendiri” jawab orang bertubuh tinggi itu.

“Aku tahu” jawab orang bertubuh gemuk, “ tetapi terserahlah. Aku dan kawan-kawan yang lain tidak ikut campur”

“Ini adalah suatu sikap yang gila” geram Ki Selabajra, “kau ternyata lebih gila dari orang lain yang pernah dikenal di padepokan Kenanga”

“Mungkin Ki Selabajra. Tetapi dengan, demikian Ki Selabajra akan yakin terhadap kemampuanku” desis orang bertubuh tinggi itu, “aku tidak hanya sekedar dapat mengalahkan murid-murid Ki Selabajra yang tidak berarti apa-apa itu. Tetapi juga orang yang namanya pernah di sebut-sebut oleh orang-orang di padepokan Ki Selabajra dan yang agaknya tidak pernah dilupakan oleh Ken Padmi”

“Cukup” potong Ki Selabajra.

Namun ternyata bahwa perasaan Mahisa Bungalan telah tersinggung karenanya. Karena itu maka katanya, “Aku siap, apapun yang harus aku lakukan”

“Bagus” sahut orang bertubuh tinggi yang dengan serta merta telah bangkit dan melangkah turun dari tangga pendapa.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ki Wastu dan Ki Kasang Jati, “Maaf, agaknya aku telah terseret ke dalam satu persoalan yang kurang aku mengerti. Tetapi biarlah aku melayaninya”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menepuk bahu Mahisa Bungalan ia berkata, “Berhati-hatilah. Tanpa bekal apapun ia tidak akan berbuat demikian. Aku melihat betapa ia memiliki kemampuan dalam pertempuran melawan salah seorang Putut terpercaya dari padepokan ini”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang bertubuh tinggi itu telah bertempur melawan seorang Putut dari padepokan Ki Kasang Jati di lingkaran pertempuran yang terpisah dari arena, pertempuran Mahisa Bungalan.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan pun talah bangkit pula diikuti beberapa orang yang lain. Sementara Ki Selabajra mendekatinya sambil bergumam, “Buatlah ia jera. Tetapi aku mohon baginya, agar kesombongannya diampuni”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandang wajah Ki Selabajra, terbayang kecemasan yang sangat pada sorot matanya.

Tanpa menjawab sama sekali Mahisa Bungalan pun kemudian turun pula ke halaman diikuti oleh beberapa orang yang memasuki padepokan itu bersama Ki Dukut serta kedua orang Putut terpercaya dari padepokan itu. Para cantrikpun ternyata beringsut pula mendekat, berdiri pada sebuah lingkaran yang memagari Mahisa Bungalan dan orang yang bertubuh tinggi itu.

“Kalian menjadi saksi” berkata orang bertubuh tinggi itu, “aku akan menunjukkan kepada Mahisa Bungalan, bahwa nama yang ditinggalkan di padepokan Ki Selabajra bukanlah nama yang pantas dikagumi dan selalu dikenang oleh penghuni-penghuninya. Jika ia dapat sekedar menunjukkan, kelebihannya terhadap seorang gadis, maka bagiku, itu bukannya satu kelebihan yang sebenarnya bagi seorang laki-laki”

Mahisa Bungalan menggeram. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah bersiap. Betapapun dinginnya malam, namun dikening mereka telah mengembun keringat yang membasah.

Ki Kasang Jati yang berdiri di sebelah Ki Wastu menjadi berdebar-debar juga. Tetapi ia tidak mengerti, perkembangan apakan yang sebenarnya terjadi di hati mereka, sehingga tiba-tiba saja mereka seolah-olah telah berdiri sebagai lawan yang saling mendendam.

Ki Selabajra menjadi berdebar-debar. Ternyata ia lebih banyak mengetahui persoalan yang berkembang di dalam hati kedua orang itu. Apalagi karena orang bertubuh tinggi itu telah menyebut nama Ken Padmi.

“Tidak aku duga sama sekali” berkata Ki Selabajra di dalam hatinya, “bahwa aku akan menjumpai peristiwa ini”

Namun Ki Selabajra tidak dapat mencegahnya lagi. Kedua orang itu telah berkata berkeras hati untuk menunjukkan bahwa masing-masing adalah seorang laki-laki yang memiliki harga diri.

Sejenak kemudian, keduanya telah mulai bergeser. Ketika Mahisa Bungalan merendah, maka orang bertubuh tinggi itu telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Pertempuran yang sengitpun segera terjadi. Orang bertubuh tinggi itu ingin menyelesaikan pertempuran itu dalam waktu yang singkat. Semakin singkat maka ia akan semakin meyakinkan bagi orang lain, bahwa Mahisa Bungalan bukanlah orang yang harus di kagumi.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak membiarkan dadanya dipecahkan oleh lawannya. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk menghindari setiap serangan. Betapa cepatnya orang bertubuh tinggi itu bergerak namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan mampu mengimbanginya.

Agak berbeda dengan orang bertubuh tinggi itu, Mahisa Bungalan tidak bernafsu, untuk mengalahkan lawannya secepat-cepatnya. Meskipun ia juga ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari lawannya, tetapi ia mempunyai cara yang berbeda. Di hadapan Ki Wastu, Ki Kasang jati dan Ki Selabajra, Mahisa Bungalan tidak dapat membiarkan perasaannya bergejolak tidak terkendali. Bagaimanapun juga ia masih harus memperlihatkan, bahwa orang-orang itu akan menilai sikap dan perbuatannya. Bahkan bukan mereka sajalah yang akan menilainya, tetapi yang mereka lihat itu akan merambat lewat mulut kemulut, sehingga akan terdengar oleh banyak orang lain yang pernah mengenalnya Ki Wasku akan bercerita kepada paman-pamannya Mahisa Agni danWitantra, dan bahkan kepada ayahnya dan tentu akan terdengar pula oleh Pangeran Kuda Padmadata. Sedangkan lewat Ki Selabajra maka kemungkinan benar, seorang gadis yang disebut-sebut oleh orang bertubuh tinggi dan bernama Ken Padmi itupun akan mendengar pula, bagaimana ia mengalahkan lawannya tanpa bersikap kasar.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan telah mengambil sikap tersendiri. Ia tidak ingin mengalahkan lawannya dalam waktu yang singkat, tetapi ia ingin menunjukkan bahwa lawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu dapat dikalahkannya tanpa membasahi tubuhnya dengan keringat.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun kemudian tidak terlalu banyak membalas-serangan dengan serangan. Hanya pada saat-saat ia terdesak, maka ia pun berusaha untuk memperbaiki keadaannya dengan beberapa serangan. Selebihnya, ia lebih banyak bertahan dan menghindar.

Dengan caranya Mahisa Bungalan ingin membiarkan lawannya kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian maka setiap orang akan dapat menilai, bahwa bagi Mahisa Bungalan orang bertubuh tinggi itu tidak banyak berarti.

Namun ternyata orang bertubuh tinggi itu telah mengerahkan segenap kemampuannya pada serangan-serangan pertamanya. Seperti yang dikehendaki, ia ingin menjatuhkan lawannya dalam waktu sekejap. Kemudian dengan bangga ia akan menepuk dada sambil berkata, “Inilah Mahisa Bungalan yang disebut-sebut orang. ia dapat aku kalahkan sebelum sepenginang”

Tetapi ternyata bahwa usahanya itu tidak segera berhasil. Orang bertubuh tinggi itu merasa bahwa ia selalu berhasil mendesak lawannya. Hanya sekali-kali saja ia harus menghindar dan meloncat surut. Namun kemudian ia berhasil menekan lawannya tanpa banyak mendapat perlawanan kecuali loncatan-loncatan menghindar dan sekali-kali serangan balasan yang tidak berarti.

Ki Selabajra yang berdiri di tepi arena itu menjadi berdebar-debar. Ia memang melihat orang bertubuh tinggi iu selalu mendesak lawannya. Dan iapun melihat betapa Mahisa Bungalan berloncatan menghindar. Namun demikian tidak satu kalipun orang bertubuh tinggi itu berhasil menyentuh tubuh Mahisa Bungalan.

Untuk beberapa saat, orang bertubuh tinggi itu masih menunjukkan kemampuannya. Sekali-sekali Mahisa Bungalan dengan sengaja memberikan kemungkinan kepada lawannya. Namun apabila lawannya mulai menyerangnya, maka iapun segera bergeser menghindar.

Namun dalam pada itu, kemarahan lawannya bagaikan telah membakar rongga dadanya. Ia masih belum menyadari, apa yang sebenarnya terjadi. Yang bergejolak di hatinya adalah harga dirinya yang memaksanya untuk bertempur melawan Mahisa Bungalan.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun menurut perhitungannya, Mahisa Bungalan pun tidak dapat mengalahkan pula. Pada saat-saat terakhir, maka tenaganya benar-benar telah terkuras habis. Setiap kali mengayunkan tangan atau kakinya, maka iapun telah terhuyung-huyung sehingga orang bertubuh tinggi itu harus berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya.

Dengan demikian, maka orang itu akhirnya merasa, bahwa kesempatan untuk mengalahkan Mahisa Bungalan telah habis sama sekali. Apabila mengalahkan dengan cepat untuk membuktikan bahwa ia memiliki banyak kelebihan dari anak muda itu.

Tetapi bagaimana juga, ia masih mempunyai kebanggaan bahwa Mahisa Bungalan tidak dapat mengalahkannya. Sehingga dengan demikian, ia akan dapat menepuk dada. bahwa orang yang memiliki nama yang dikagumi di padepokan Kenaga itu sama sekali tidak lebih dari dirinya sendiri.

Meskipun demikian, keinginannya untuk mengalahkan lawannya ternyata tidak dapat dikekangnya. Ketika Mahisa Bungalan dengan dada terbuka tegak di hadapannya, maka dengan serta merta ia telah melangkah maju sambil menjulurkan tangannya menghantam dada anak muda yang nampaknya lengah itu.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak membiarkan dadanya dikenai lawannya. Karena itu, maka iapun bergeser hanya setapak surut, sehingga tangan orang bertubuh tinggi itu tidak mengenainya.

Namun karena jarak itu nampaknya hanya demikian dekatnya, maka orang bertubuh tinggi itu telah memburunya Selangkah ia memaksa kakinya melangkah dan sekali lagi ia mengayunkan tangannya dengan sisa tenaga yang ada padanya. Ia merasa bahwa serangan berikutnya itu tentu tidak akan luput lagi, sehingga karena itu, maka dikerahkannya segenap tenaga dan justru berat badannya.

Mahisa Bungalan tidak bergeser surut. Tetapi ia meloncat kesamping. Karena itulah maka orang bertubuh tinggi itu telah terseret oleh hentakkan tangannya dan berat badannya sendiri, sehingga iapun terhuyung-huyung jatuh tertelungkup.

Kedua tangannya berusaha menahan berat badannya. Tetapi ketelahan yang sangat telah memaksanya untuk menyentuh tanah dengan wajahnya yang berkeringat.

Ketika kemudian ia mengangkat wajah itu, maka wajah itu telah dilekati debu yang kelabu kehitam-hitaman.

Orang itu tertatih-tatih berdiri sambil menggeram. Dengan lengannya ia mengusap wajahnya yang kotor itu. Namun kemudian ia masih sempat menggeram, “Kita akan bertempur dengan sisa tenaga kita sampai salah seorang dari kita yakin telah memenangkan pertempuran ini”

Mahisa Bungalan yang berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya. Agaknya di mata orang bertubuh tinggi itu, Mahisa Bungalan pun telah kehabisan tenaga. Namun sebenarnyalah meskipun keringat Mahisa Bungalan juga membasahi seluruh tubuhnya, namun ia masih menyimpan sebagian besar dari tenaganya.

Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia bergeser selangkah ketika lawannya itu menyerangnya. Sekali lagi orang itu terjerembab. Dan sekali lagi ia berusaha untuk bangkit sambil menggeretakkan giginya.

“Apakah kau masih belum puas?“ tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“Kau menyerah?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.

“Jangan gila” geram Mahisa Bungalan, “seharusnya kau dapat menilai keadaan. Kaulah yang harus mengakui kekalahan. Kemudian perkelahian ini dapat kita hentikan”

“Jangan mengigau” geram orang bertubuh tinggi itu, “jika kau sudah tidak mampu lagi bergerak, menyerahlah. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau tidak lebih baik dari aku. dan bahwa kau sudah aku kalahkan”

“Ki Sanak” berkata Mahisa Bungalan, “sebenarnya aku tidak bernafsu untuk menunjukkan kemenanganku atasmu. Tetapi kau sudah menyebut nama seorang gadis di padepokan Kenanga. Kaupun telah menyebut berapa orang-orang padepokan itu mengenal namaku. Karena itu, aku memang wajib mempertahankannya. Dan ternyata kau adalah orang yang tidak tahu diri”

“Cukup. Jika kau masih berkicau lagi, aku akan menyobek mulutmu” bentak orang bertubuh tinggi itu.

“Ki Sanak. Cobalah melihat kenyataanmu. Dengan sentuhan jariku aku dapat membantingmu jatuh”

Orang itu ternyata menjadi semakin marah. Dengan serta merta ia berusaha menyerang Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa Bungalan yang sudah jemu bermain-main tidak membiarkan orang itu tersuruk dan jatuh. Namun demikian ia terhuyung-huyung di hadapannya, maka iapun segera menangkap tengkuknya sambil menggeram, “Cobalah melawan. Aku dapat membenturkan kepalamu pada dinding batu itu. Atau dengan satu pukulan aku dapat memecahkan tulang kepalamu ini”

Orang itu meronta. Tetapi tangkapan tangan Mahisa Bungalan bagaikan himpitan sebuah bukit padas. Bahkan terasa tangan itu semakin lama semakin menghimpit tengkuknya.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi kian tegang. Ada di antara mereka yang tidak mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi, sehingga merekapun telah terkejut melihat akhir dari pertempuran itu. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan pun telah menjadi sangat telah dan kehabisan, tenaga. Namun ternyata bahwa justru pada saat terakhir, Mahisa Bungalan telah berubah manjadi sangat garang.

Tetapi beberapa orang memang telah mengetahui, bahwa Mahisa Bungalan ingin mengalahkan lawannya dengan caranya. Ia ingin menunjukkan bahwa seolah-olah ia membiarkan saja lawannya sehingga ia telah menyerah kepada keadaan.

Sebenarnyalah bahwa orang bertubuh tinggi itu sudah tidak berdaya sama sekali. Ketika Mahisa Bungalan menggerakkan tengkuknya, tubuhnya bagaikan terombang-ambing tanpa dapat bertahan sama sekali.

Akhirnya Mahisa Bungalan pun melepaskannya dengan mendorongnya sedikit ke samping. Namun dorongan yang sedikit itu ternyata telah membantingnya jatuh.

Terdengar orang itu menyeringai. Namun kemudian sambil mengumpat ia berusaha untuk meloncat bangkit. Namun demikian ia berdiri pada lututnya, maka iapun telah teriatuh kembali dengan lemahnya.

“Bangkitlah” geram Mahisa. Bungalan yang berdiri tegak selangkah disampingnya, “apakah kau masih belum melihat kenyataan ini”

Sorot mata orang itu bagaikan bara api yang menyala oleh kemarahan yang tidak terkendali. Tetapi tubuhnya benar-benar telah kehabisan tenaga. Ia tidak lagi mampu bangkit, apalagi berdiri bertolak pinggang seperti Mahisa Bungalan.

“Aku dapat mematahkan lehermu setiap saat aku kehendaki” geram Mahisa Bungalan, “ tetapi aku ingin agar kau yakin, bahwa kau bukan apa-apa bagiku”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak muda itu benar-benar telah menjadi sangat marah. Ia tidak pernah melihat Mahisa Bungalan demikian sombongnya. Seakan-akan dengan sengaja ia ingin menunjukkan betapa dirinya adalah seorang anak muda yang luar biasa.

Dalam pada itu Ki Selabajra lah yang kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku tidak pernah sangsi, bahwa demikianlah akan jadinya. Tetapi agaknya anak itu tidak akan percaya sebelum ia mengalaminya”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat orang yang bertubuh tinggi itu seakan-akan telah kehabisan tenaga. Tulang belulangnya seakan-akan telah dilolosi dari tubuhnya. Namun demikian, sorot matanya masih memancarkan dendam dan kebencian, sehingga karena itulah, maka kemarahan Mahisa Bungalan tidak segera susut karenanya. Dengan jantung yang berdentangan ia menggeram, “Nah, katakan sekarang. Apa yang dapat kau lakukan? Apakah kau masih akan mengatakan, bahwa aku tidak berarti apa-apa bagimu?“

Orang bertubuh tinggi itu sama sekali tidak menjawab. Sementara Ki Selabajra yang berkata, “Maafkan anak itu ngger”

Wajah Mahisa Bungalan masih menegang. Justru sekilas ia membayangkan seorang gadis yang cantik, yang telah, dapat menyentuh perasaan. Seorang gadis padepokan yang bernama Ken Padmi, yang namanya justru telah disebut-sebut oleh orang bertubuh tinggi yang telah dikalahkannya itu.

Ki Selabajra kemudian mendekati orang bertubuh tinggi itu. Kemudian katanya, “Kau tidak dapat mengingkari kenyataan. Ternyata kau memang bukan apa-apa bagi Mahisa Bungalan. Lihatlah. Pada saat kau sudah kehabisan tenaga, angger Mahisa Bungalan sama sekali tidak nampak susut kemampuannya. Ia masih tetap seperti saat kalian mulai menjajagi kemampuan masing-masing”

Orang bertubuh tinggi itu tidak menjawab. Tetapi ketika Ki Selabajra membantunya untuk berdiri, maka orang bertubuh tinggi itu telah mengibaskan tangannya sambil menggeram, “Aku dapat berdiri sendiri”

“Cobalah” desis Ki Selabajra, “berdirilah”

Orang itu duduk sambil bertelekan pada kedua tangannya. Ketika ia memandang berkeliling, dan melihat wajah-wajah yang tegang, terdengarlah ia menggeram. Tetapi akhirnya ia benar-benar harus melihat kenyataan. Tenaganya benar-benar telah terkuras habis. Seandainya Mahisa Bungalan ingin berbuat sesuatu, ia benar-benar sudah tidak mampu melawannya lagi.

Tetapi ia tidak mau mengakuinya di hadapan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Apapun yang akan terjadi, ia tetap mengeraskan hatinya tanpa menyatakan kekalahannya.

Mahisa Bungalan masih berdiri tegak. Namun sikap Ki Selabajra telah mengurangi panasnya bara di dalam hatinya.

“Sudahlah ngger” desis Ki Wastu kemudian ditelinganya, “biarlah ia bertahan pada kesombongannya. Tetapi ia tidak dapat menipu dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa atas anak muda yang bernama Mahisa Bungalan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Terserahlah kepada orang itu. Kadang-kadang aku juga merasa perlu untuk menyombongkan diri”

“Angger benar” berkata Ki Wastu, “tetapi apakah setelah setiap orang mengetahui kemenangan angger, angger masih harus menyombongkan diri?“

Mahisa Bungalan termangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Orang itu terlalu tinggi hati. Aku merasa sangat kesal menghadapinya“

“Tetapi angger menghadapi masalah-masalah yang agaknya jauh lebih penting dari orang itu“ desis Ki Wastu, “agaknya Ki Kasang Jati juga menunggu, apakah perkelahian ini dapat dianggap sudah selesai”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia berhasil menenangkan hatinya. Sekilas dilihatnya orang yang keras hati dan keras kepala itu. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Aku tidak peduli lagi apa yang akan dilakukannya”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam.

“Jika demikian, kau dapat meninggalkan orang itu apapun yang dilakukannya” desis Ki Wastu.

Mahisa Bungalan bergeser setapak. Kemudian katanya kepada Ki Kasang Jati, “ Aku tidak mempunyai kepentingan lagi terhadapnya”

“Baiklah ngger” berkata Ki Kasang Jati, “marilah, aku mempersilahkan kalian naik ke pendapa. Kita dapat duduk dengan tenang, berbicara dengan baik tanpa prasangka. Kita sudah berhasil melenyapkan salah sangka yang ditimbulkan oleh Ki Dukut, sehingga kita tidak ingin terlibat ke dalam persoalan yang tidak ada artinya sama sekali”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara Ki Wastu berdesis, “Marilah, kita naik ke pendapa”

Ki Kasang Jati, Ki Wastu diikuti oleh beberapa orang yang ada di halaman itu naik ke pendapa, sementara Mahisa Bungalan untuk beberapa saat masih memandang lawannya yang ternyata tidak dapat melupakan sikapnya yang sangat menjengkelkan. Tetapi Mahisa Bungalan sudah bertekad untuk tidak mempedulikannya lagi.

Ki Selabajra lah yang terakhir naik ke pendapa. Ia masih berada di halaman bersama orang bertubuh tinggi itu. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Marilah, naiklah ke pendapa, perasaan apapun yang ada di dalam hatimu”

Orang itu tidak menjawab.

“Kita adalah tamu-tamu yang deksura dan tidak tahu diri. Kita datang dengan niat buruk. Tetapi kita sekarang mendapat tanggapan yang sangat baik dari Ki Kasang Jati. Sama sekali bukan karena wibawa kita, karena kita tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapannya, apalagi di sini ada angger Mahisa Bungalan dan saudara seperguruan Ki Kasang Jati itu”

Orang itu tetap tidak menjawab.

“Marilah” desak Ki Selabajra, “sikapmu dapat membuat hati orang yang betapapun sabarnya menjadi panas. Dan hal itu sama sekali tidak menguntungkanmu. Atau, kau akan terlempar ke dalam suatu keadaan yang asing di tempat ini karena pokalmu sendiri”

Orang itu sempat memikirkan kata-kata Ki Selabajra. Karena itu, maka iapun kemudian beringsut dan berdesis, “Silahkan naik. Aku akan menyusul”

“Kita naik ke pendapa bersama-sama” berkata Ki Selabajra.

Orang itu tidak membantah lagi. Iapun kemudian berjalan tertatih-tatih. Namun ia memaksa diri untuk tegak sebaik-baiknya, seolah-olah ia sama sekali tidak mengalami kesulitan karena kekalahannya. Sejenak kemudian orang-orang yang berdatangan di padepokan itu telah duduk di pendapa. Meskipun suasananya tidak begitu akrab, tetapi semakin lama mereka menjadi semakin mengerti yang satu dengan yang lain.

Orang-orang yang datang bersama Ki Dukut memang merasa, bahwa orang yang bernama Ki Kasang jati itu agaknya, tidak akan dapat melakukan seperti yang dikatakan oleh Ki Dukut Pakering. Menilik sikap dan kata-katanya, maka Ki Kasang adalah orang yang sudah jauh lebih mengendap dari pada mereka yang lain, yang berada di pendapa itu, termasuk juga Ki Dukut Pakering sendiri.

Untuk beberapa saat mereka masih berbincang dan melihat keadaan mereka dari berbagai segi. Akhirnya, mereka berkesimpulan untuk melupakan saja apa yang pernah terjadi.

“Tidak ada dendam dan pembalasan” berkata Ki Kasang Jati, “kami di sini mengerti, bahwa kalian tidak bermaksud buruk”

“Terima kasih” desis salah seorang dari mereka yang datang padepokan itu atas permintaan Ki Dukut, “kami merasa, betapa sejuk hati Ki Kasang Jati. Kami benar-benar merasa bersalah telah datang ke padepokan ini. Ketika kami mendengar permintaan Ki Dukut dengan alasan-alasannya yang nampaknya sangat kuat, ditambah karena menurut penglihatan kami, Ki Dukut adalah guru dari Pangeran Kuda Padmadata, maka kami sama sekali tidak mengira bahwa kami telah terjebak ke dalam suatu keadaan yang salah sama sekali”

“Sudahlah” berkata Ki Kasang Jati, “sekali lagi aku minta, agar semuanya dapat kita lupakan. Justru kehadiran kalian telah menambah jumlah saudara-saudara kami di sini. Yang semula kita sama sekali tidak saling mengenal, maka kini kami mempunyai saudara yang lebih banyak. Pada suatu perjalanan yang mungkin kami lakukan, maka kami akan mendapat tempat persinggahan yang lebih banyak dari masa sebelumnya”

“Sikap Ki Kasang Jati sangat menyentuh perasaan kami” berkata Ki Selabajra, “ternyata di sini kami menjumpai cermin yang dapat menunjukkan cacat di dalam hati kami. Betapa dungunya kami, dan betapa kasarnya sikap dan tindakan kami. Namun seperti yang Ki Kasang Jati katakan, kami akan sangat senang menerima Ki Kasang Jati apabila benar-benar Ki Kasang Jati sempat singgah di padepokan kami”

Ki Kasang Jati tertawa. Katanya, “Aku sudah tua. Tetapi sekali timbul keinginan di dalam hati untuk melakukan perjalanan agar di saat terakhir aku sempat melihat betapa luasnya bumi Kediri dan Singasari, dan terlebih-lebih lagi betapa besarnya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa”

“Kami menunggu” desis Ki Selabajra, “juga kami menunggu kehadiran angger Mahisa Bungalan. Aku sama sekali tidak menduga bahwa di sini kita akan bertemu.

Kehadiran orang-orang yang tidak diundang itu, akhirnya telah berada dalam suasana yang lain sama sekali dengan saat kedatangan mereka. Para cantrik yang semula telah terlihat ke dalam pertempuran, betapapun lemahnya mereka, kemudian harus menjamu mereka yang duduk di pendapa itu.

Tetapi karena Ki Kasang Jati nampaknya benar-benar telah melupakan apa yang baru saja terjadi, maka para cantrik pun telah berusaha pula melakukannya, meskipun ada satu dua diantara mereka yang telah terluka. Namun dengan obat-obatan yang ada di padepokan itu, mereka telah diobati sebaik-baiknya oleh kawan-kawan mereka.

Ternyata bahwa orang-orang yang semula bermaksud melakukan hukuman itu telah berada di pedukuhan itu dalam suasana yang sebaliknya. Mereka segera dapat menyesuaikan diri dan benar melupakan apa yang telah terjadi.

Namun, orang yang bertubuh tinggi itu benar-benar tidak dapat melupakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak dapat melupakan orang yang bernama Mahisa Bungalan itu. Persoalannya sama sekali tidak lagi berhubungan dengan Ki Kasang Jati. Tetapi persoalannya akan menyangkut nama seorang gadis. Ken Padmi.

Meskipun demikian, orang bertubuh tinggi itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia sudah dikalahkan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan iapun kemudian menangkap kesan dari pembicaraan setiap orang, bahwa Mahisa Bungalan tidak bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Jika Mahisa Bungalan berniat mengalahkannya dalam sekejap, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Hari berikutnya orang-orang itu masih tetap berada di rumah Ki Kasang Jati. Namun dalam pembicaraan merekapun menyadari bahwa dalam keadaan yang demikian Ki Dukut Pakering justru akan berkisar, mengarahkan dendamnya kepada mereka.

“Tetapi ia tidak mempunyai pengikut lagi” berkata Ki Selabajra, “jika kita mempersiapkan seisi padepokan kita masing-masing, maka kita berharap akan dapat bertahan melawannya. Betapapun juga ia bukan iblis yang tidak terkalahkan”

“Bagaimanapun juga, kita semuanya memang harus mempersiapkan diri” berkata salah seorang dari mereka, “pada suatu saat mungkin kita akan saling berhubungan. Agaknya Ki Dukut Pakering adalah orang yang licik dan dapat berbuat apa saja untuk kepentingannya tanpa menghiraukan orang lain”

Ki Kasang Jati akhirnya melihat, betapa orang yang bernama Ki Dukut Pakering itu dapat menimbulkan ketakutan di beberapa tempat. Bagaimanapun juga, ia adalah orang yang berbahaya. Orang yang merasa hidupnya telah diguncang oleh kegagalan demi kegagalan, sehingga apa yang dilakukan kemudian, tentu hanya sekedar luapan dendam dan kebencian.

“Orang itu akan menjadi seekor ular berbisa di sebuah taman yang banyak dikunjungi oleh mereka yang ingin menemukan ketenangan yang ceria” berkata Ki Kasang Jati kemudian, “atau seperti seekor harimau di hutan rindang yang dihuni oleh rusa dan kijang”

“Ya. Ki Kasang Jati benar“ orang yang bertubuh gemuk itu menyahut, “mungkin kita dapat mempersiapkan seluruh isi padepokan kami untuk menghadapinya. Tetapi sekali waktu kita dapat bertemu di perjalanan. Atau tiba-tiba saja ia menjumpai salah seorang dari kita di tengah-tengah sawah dan pategalan selagi kita bekerja”

“Kau benar Ki Sanak” sahut seorang yang lain.

Sementara itu, Ki Kasang Jati merasa betapa kecemasan telah tersebar. Maka dengan nada yang berat ia berkata, “Kita memang harus berburu di hutan rindang, tetapi sangat luas”

“Tepat” sahut Ki Wastu, “aku tidak berani mengatakannya, meskipun aku sudah memikirnya. Kita memang harus pergi berburu. Kita tidak dapat menunggu seekor demi seekor kijang dan rusa itu binasa diterkam oleh seekor harimau yang garang”

“Tetapi daerah perburuan itu terlampau luas” berkata Ki Kasang Jati.

“Kita tidak sendiri” sahut Mahisa Bungalan, “kita akan dapat membagi diri dalam beberapa kelompok. Terlebih-lebih lagi, Pangeran Kuda Padmadata di Kediri, tentu akan dapat membantu kita. Pasukan pengawalnya cukup banyak. Sementara paman-pamanku, paman Mahisa Agni, paman Witantra dan ayahku, Mahendra, tentu akan bersedia membantu dengan caranya. Mungkin tidak akan dapat melakukannya sepenuhnya seperti yang dapat kita lakukan. Tetapi di mana mereka berada akan dapat menjadi lubang-lubang jerat baginya”

Orang-orang yang berada di pendapa itu nampak tertarik sekali dengan pendapat Mahisa Bungalan. Apalagi ketika Mahisa Bungalan menyebut beberapa nama, bahkan nama Pangeran Kuda Padmadata, murid Ki Dukut Pakering sendiri.

Sebenarnyalah bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu dapat memberikan sedikit ketenangan bagi mereka yang dicemaskan oleh dendam Ki Dukut Pakering. jika benar beberapa nama itu akan dapat membantu mereka, maka Ki Dukut pun tentu memperhitungkan segala kemungkinan. Apalagi jika kemudian para pengawal di Kediri atau bahkan sepasukan prajurit Singasari akan dapat ikut serta menjaring ular berbisa itu.

“Kami akan segera kembali” berkata Mahisa Bungalan, “kami akan segera mulai dengan perburuan itu. Sebelumnya kami minta setiap padepokan dapat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan”

“Kami akan melakukannya” berkata Ki Selabajra, “meskipun aku seorang diri tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Dukut. Tetapi seluruh isi padepokan kami, mungkin masih harus diperhitungkan oleh orang yang luar biasa itu. Apalagi jika kita memang sudah benar-benar bersiap”

“Kita harus memperhitungkan waktu sebaik-baiknya” desis Ki Kasang Jati. Karena itu, maka angger Mahisa Bungalan pun harus segera bertindak”

Mahisa Bungalan mengerti, bahwa Ki Dukut bukan seorang yang bermalas-malas menunggu kesempatan datang kepadanya. Tetapi Ki Dukut Pakering adalah orang yang memburu kesempatan. Ia bertindak cepat dan tegas. Selebihnya, Ki Dukut sama sekali tidak mempertimbangkan cara apakah yang akan dipergunakannya untuk memenuhi maksudnya. Ia tidak mempunyai pertimbangan kemanusiaan dan apalagi pertanggungan jawab bagi masa langgengnya.

Karena itu, maka ia pun harus bertindak cepat pula untuk mengimbangi langkah yang akan diambil oleh Ki Dukut Pakering. Sehingga iapun memutuskan untuk segera kembali ke Kediri dan menyampaikan masalah yang dijumpainya di padepokan Ki Kasang Jati itu kepada Pangeran Kuda Padmadata.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah mulai diganggu lagi dengan nama seorang gadis yang pernah dijumpainya. Nama yang tiba-tiba telah disebut oleh seorang yang bertubuh tinggi, yang tanpa alasan yang dapat dimengertinya, seolah-olah telah mendendamnya.

Karena itulah, maka pada satu kesempatan yang khusus ia telah bertanya kepada Ki Selabajra. siapakah sebenarnya orang yang bertubuh tinggi itu.

Ki Selabajra sudah mengira, bahwa pada suatu kesempatan Maisa Bungalan tentu akan bertanya kepadanya tentang orang bertubuh tinggi, yang justru telah menyebut pula nama Ken Padmi.

Karena itu ketika pada saat mereka sempat berbicara berdua dan Mahisa Bungalan benar-benar bertanya tentang orang bertubuh tinggi itu, Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam sambil menjawab, “Ia orang baru di padepokanku. ngger”

“Apakah ia juga murid Ki Selabajra?“ bertanya Mahisa Bungalan kemudian.

“Bukan. Ia bukan muridku. Ia memiliki kemampuan yang hampir seimbang dengan kemampuanku” jawab Ki Selabajra.

“Jadi. siapakah orang itu?“ desak Mahisa Bungalan. Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Aku tidak tahu, di mana ia mengenal Ken Padmi. Tetapi akhirnya ia datang ke padepokanku. Ia memang mengatakan, bahwa ia ingin berguru kepadaku, tetapi aku mengerti, bahwa ia memiliki ilmu yang cukup tinggi menurut tataran padepokanku. Sehingga karena itu, maka aku minta ia berada di padepokan bukan sebagai murid”

“Ia berasal dari mana?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Ia juga anak padepokan. Tidak terlalu jauh dari padepokanku. Mungkin ia pernah melihat Ken Padmi di sawah, di pasar atau entah di mana. Keduanyapun kemudian berkenalan, juga entah di mana dan sejak kapan. Namun akhirnya orang bertubuh tinggi itu telah berusaha untuk selalu berada di dekat Ken Padmi” berkata Ki Selabajra.

Dan tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya, “Apakah Gemak Werdi masih sering beradu di padepokan?“

Pertanyaan itu ternyata teluh menyentuh perasaan Ki Selabajra. Bagaimanapun juga, agaknya Mahisa Bungalan masih juga dapat mengenang apa yang pernah dialaminya lahir dan batin di padepokannya.

Karena itu, dengan nada dalam ia bertanya, “Ia jarang sekali datang ke padepokan, ia merasa dirinya telah terasing karena kedatangan anak yang sombong itu”

Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Sementara itu, Ki Selabajra berkata, “Tetapi bagaimanapun juga yang telah terjadi, dan apapun yang sudah dikatakan oleh Ken Padmi tentang dirinya dan orang-orang yang berhubungan dalam sentuhan batin dengan gadis itu, namun ia masih tetap selalu menyebut nama angger Mahisa Bungalan” Ki Selabajra berhenti sejenak, lalu, “Aku mohon maaf ngger. Aku memang orang tua yang tidak tahu diri dan terlebih-lebih lagi tidak tahu malu. Aku sudah mengatakan sesuatu tentang anak gadisku, yang sebenarnya sama sekali tidak pantas. Tetapi aku ingin bersikap jujur menghadapi kenyataan jiwa anak gadisku itu. Angger tentu dapat meraba, bahwa orang yang sombong itu pernah mendengar nama angger dari Ken Padmi. Bukankah itu sudah pertanda, bahwa ia masih selalu menyebut nama angger”

“Mungkin sekali Ki Selabajra. Mungkin ia masih selalu menyebut namaku. Tetapi Mahisa Bungalan dalam ceriteranya adalah seorang yang berhati kelam, melampaui kelamnya malam tanpa bulan tanpa bintang”

“Jika demikian, maka orang itu tidak akan dengan serta merta membenci dan bahkan seolah-olah ia sudah mendendammu” jawab Ki Selabajra. Namun kemudian, “Tetapi sekali lagi aku minta maaf. Mungkin angger menganggap bahwa aku sudah merendahkan anak gadisku dengan menjajakannya kepada angger. Tidak ngger. Aku mengerti sikap angger. Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku ketahui tentang anak gadisku itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti pula apa yang dikatakan oleh Ki Selabajra. Namun iapun seolah-olah telah tersentuh kembali oleh getar perasaannya yang sudah didesaknya jauh kedasar hati.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar