Meraba Matahari Jilid 04

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Sebenarnyalah yang berkuda menuju kearah mereka itu adalah Raden Madyasta bersama ketiga senapati muda yang menyertainya.

“Kau lihat kelebet kecil itu, kakang” bertanya Raden Madyasta kepada Wismaya yang berkuda di sebelahnya.

“Ya, Raden”

“Itu adalah pertanda bahwa mereka adalah para petugas yang sedang menjalankan tugas mereka”

“Ya” Raden

“Kita harus berhenti”

“Ya”

Sementara itu, Rembana justru menyahut, “Kita memang akan berhenti Raden, tanpa pertanda itupun kita akan berhenti”

Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian, keempat orang berkuda itu telah menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika, karena itu, maka Raden Madyasta yang berkuda di paling depan telah memberikan isyarat agar mereka berhenti.

Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil di landeannya itupun melangkah maju sambil bertanya, “Apakah kalian anak-anak muda dari Kateguhan?”

Raden Madyasta meloncat turun dari kudanya, demikian pula ketiga senapati muda itu. Sehingga dengan demikian, akan timbul kesan pada para pengawal Ki Panji Wirasentika bahwa keempat orang itu mengenal dan telah mengetrap unggah-ungguh. Mereka menghormati para petugas yang sedang menjalankan tugasnya.

Karena itu, maka pemimpin pengawal itu, diluar sadarnya telah mengangguk hormat pula.

“Ya, Ki Sanak” jawab Raden Madyasta, kami datang dari Kateguhan”

“Maaf, Ki Sanak. Kami minta Ki Sanak singgah di rumah Ki Panji Wirasentika”

“Ada apa?” bertanya Raden Madyasta.

Ki Panji Wirasentika sendiri yang akan mengatakannya kepada Ki Sanak berempat”

“Baiklah” jawab Raden Madyasta, “Kami akan singgah, kami tidak akan dapat menolak perintah itu”

Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu pun kemudian telah menuntun kuda mereka, memasuki regol halaman rumah Ki Panji Wirasentika.

Ki Panji Wirasentika yang telah selesai berbenah diri, telah duduk di pringgitan bersama Ki Saudagar Kertaderma dan seorang pengawalnya.

Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda tidak terkejut melihat kehadiran Ki Saudagar Kertaderma itu.

“Biarlah mereka naik” berkata Ki Panji Wirasentika kepada pengawalnya.

“Silahkan naik, Ki Sanak” berkata pengawal yang membawa tombak pendek itu.

Setelah menambatkan kudanya, maka keempat orang anak muda yang mengaku datang dari Kateguhan itupun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan pula menghadap Ki Panji Wirasentika.

“Anak-anak muda” berkata Ki Panji Wirasentika, “Apakah kau sudah mengetahui alasannya, kenapa kalian harus singgah di rumahku”

“Sudah Ki Panji” jawab Raden Madyasta.

“Sudah?, jadi kau sudah tahu alasannya?”

“Sudah Ki Panji, karena aku melihat orang itu berada disini”

“Orang itu adalah Ki Saudagar Kertaderma, ia seorang yang berpengaruh disini, seorang yang kaya raya dan banyak memberikan sumbangan bagi kesejahteraan rakyat Pasiraman Kulon”

“Sukurlah, kalau begitu”

“Nah, jika Ki Saudagar Kertaderma berada disini, kenapa kau langsung mengetahui alasannya, kenapa kalian dihadapkan kepadaku?”

“Ki Panji” berkata Raden Madyasta, “Ki Saudagar Kertaderma itu tentu sudah bercerita meskipun perlu dikaji kebenarannya, nah justru aku yang ingin tahu, apa yang telah dikatakan oleh Ki Saudagar Kertaderma itu kepada Ki Panji”

Wajah Ki Panji Wirasentika menjadi tegang, sikap anak muda itu menimbulkan kesan tersendiri, anak muda itu nampaknya terlalu percaya diri.

“Benar anak muda” berkata Ki Panji Wirasentika, “Ki Saudagar Kertaderma memberitahukan kepadaku, bahwa kalian telah membuat Ki Saudagar Kertaderma itu curiga, selama ini telah banyak sekali terjadi tindak kejahatan di Kadipaten Paranganom, kejahatan yang sebelumnya belum pernah ada”

“Kenapa hal itu terjadi di Paranganom?, Ki Saudagar Kertaderma telah menyalahkan orang-orang Kateguhan, bukankah itu tidak adil?, justru orang-orang Paranganom sendirilah yang harus bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa akhir-akhir ini telah banyak sekali terjadi kejahatan?, perampokan, penyamun di bulak-bulak yang sepi, pencurian dan kejahatan-kejahatan yang lain, bukankah itu membuktikan bahwa Paranganom tidak mampu menjaga ketenangan dan ketentraman hidup rakyatnya?, bahwa para para petugas di Paranganom tidak mampu melindungi kawula yang tidak berdaya”

“Cukup” bentak Ki Panji Wirasentika, “Kau jangan mencoba menggurui aku, aku adalah Panji Wirasentika yang berkuasa di Pasiraman Kulon, kalian tidak dapat bersikap seperti itu terhadap penguasa, jika semula aku masih ingin meyakinkan pengaduan Ki Saudagar Kertaderma, maka sekarang aku sudah yakin, bahwa kalian memang harus ditangkap”

“Ki Saudagar Kertaderma lah yang harus ditangkap, ia sudah menghina kami, ia menuduh kami mencuri kuda karena kami tidak mau menjual kuda kami kepadanya”

“Omong kosong” sahut Ki Saudagar Kertaderma, “Kau tidak usah mengada-ada, Ki Panji Wirasentika sendiri menjadi saksi atas sikapmu itu”

“Pemilik kedai itu dapat menjadi saksi”

“Baiklah, Ki Panji Wirasentika tentu akan memanggil pemilik kedai itu untuk bersaksi”

Tiba-tiba Rembana memotong pembicaraan itu, katanya, “Asal kalian tidak menakut-nakuti, ia harus bersaksi dengan jujur”

Ki Saudagar Kertaderma itu tertawa, katanya, “Tentu, ia akan bersaksi dengan jujur”

Sebelum Rembana menyahut, Ki Saudagar Kertaderma itu pun berkata kepada Ki Panji Wirasentika, “Ki Panji, perintahkan orang-orangmu memanggil pemilik kedai itu”

Ki Panji Wirasentika termenung-menung sejenak, namun kemudian iapun berkata, “Baiklah, aku akan memerintahkan prajurit untuk memanggilnya”

“Ki Panji” berkata Raden Madyasta, “Apakah Ki Saudagar Kertaderma berwenang memerintahkan Ki Panji Wirasentika, sedangkan Ki Panji Wirasentika adalah orang yang memerintah daerah ini atas nama Kangjeng Adipati Prangkusuma?”

Wajah Ki Panji Wirasentika menjadi tegang, dipandanginya Raden Madyasta dengan tajamnya, dengan suara yang bergetar iapun berkata, “Aku tidak diperintah, aku memang akan memanggil pemilik kedai itu untuk bersaksi”

Namun Ki Saudagar Kertaderma itupun berkata, “Nah, kau lihat sekarang, siapa aku. Aku dapat bekerja sama sebaik-baiknya dengan Ki Panji Wirasentika yang berkuasa atas nama Kangjeng Adipati Prangkusuma, karena itu, kau akan menyesali kebodohanmu anak-anak muda Kateguhan”

“Ki Panji” berkata Raden Madyasta seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Saudagar Kertaderma, “Ki Panji tidak usah memanggil pemilik kedai itu. ia tidak akan dapat besaksi dengan jujur. Ia tentu akan mengiakan saka jawaban-jawaban yang diinginkan oleh Ki Saudagar Kertaderma”

“Tidak, aku akan memanggilnya”

“Biarkan saja Ki Panji memanggilnya” berkata Sasangka, “Kita akan melihat sejauh manakah kebenaran ditegakkan di Pasiraman Kulon yang merupakan bagian dari Kadipaten Paranganom itu. Apakah disini kebenaran benar-benar dijunjung sebagaimana berita yang terdengar di Kateguhan, atau hanya sekedar dongeng ngayawara yang dihembuskan oleh angin mangsa ketiga”

“Sikapnya semakin menyakitkan hati” berkata Ki Saudagar Kertaderma, “Kau kira kau dapat berlindung di bawah kuasa Kangjeng Adipati Kateguhan?, kau telah membuat kesalahan di Paranganom, maka para pemimpin di Paranganom lah yang akan menentukan nasibmu”

“Anak-anak muda yang tidak tahu diri” geram Ki Wirasentika, “Jika benar kau akan pergi ke Paranganom untuk menengok pamanmu, siapakah nama pamanmu itu dan dimana ia tinggal, jika kalian berdusta, maka hukuman kalian akan berlipat”

Ternyata Raden Madyasta telah menjadi jemu untuk berbicara berkepanjangan, sementara itu perjalanan mereka masih jauh, karena itu, maka ia pun menjawab, “Kami akan pergi menemui Kangjeng Adipati di Paranganom”

“Bocah edan, kau sadari apa yang kau katakan?” bentak Ki Panji Wirasentika.

“Apakah Ki Panji tidak percaya, bahwa aku menghadap Kangjeng Adipati di Paranganom?”

Wajah Ki Panji tiba-tiba menjadi tegang, sementara Ki Saudagar Kertaderma pun menyela, “Jangan mengada-ada, kebohonganmu tidak akan dapat menyelamatkanmu”

“Ki Panji, biarlah aku melanjutkan perjalanan. Panggil pemilik kedai itu dan berbicaralah baik-baik dengan orang itu”

“Jangan beri kesempatan Ki Saudagar Kertaderma untuk ikut berbicara dengan pemilik kedai itu, nanti Ki Panji akan mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, siapakah yang bersalah, jika salah seorang saudara kami telah berkelahi dengan salah seorang pengawalnya”

“Apa hakmu berbicara seperti itu?” bentak Ki Saudagar Kertaderma, “Ki Panji dapat berbuat apa saja menurut kebijaksanaannya”

“Aku setuju, karena itu aku mengusulkan kepada Ki Panji untuk menempuh kebijaksanaan sebagaimana aku katakan, kau tidak boleh meracuni kebijaksanaan Ki Panji dalam menjalankan kewajibnya, Ki Panji pun tidak boleh berada di bawah pengaruh siapapun juga, meskipun ia seorang kaya yang dapat mempergunakan uangnya untuk memaksakan kehendaknya, jika Ki Saudagar itu berbuat baik, memberi dana bagi daerah ini, membantu kegiatan dihargai. Tetapi semua yang dilakukannya itu bukannya tanpa pamrih”

“Cukup” bentak Ki Saudagar Kertaderma, “Kau dapat dihukum seberat-beratnya”

“Yang berhak menjatuhkan hukuman disini adalah Ki Panji Wirasentika”

“Siapa namamu” tiba-tiba saja Ki Panji Wirasentika itu bertanya kepada Raden Madyasta.

“Namaku Madyasta”

“Madyasta, Raden Madyasta maksudmu?”

“Ki Panji pernah mendengar nama itu”

“Nanti dulu, apakah Raden putera Kangjeng Adipati Prangkusuma?”

“Ya”

“He” Ki Saudagar Kertaderma terkejut, seakan ia mendengar petir yang meledak diatas kepalanya.

“Nanti dulu, Raden, bukankah Raden Madyasta tidak berada di kadipaten?”

“Lebih empat tahun aku tinggal di sebuah perguruan terpencil, belum lama aku pulang”

“Jadi” kata-kata Ki Panji Wirasentika terputus. Ia pun kemudian mengangguk hormat sehingga wajahnya hampir menyentuh tikar pandan yang digelar di pringgitan. Sambil menunduk ia pun berkata, “Ampun Raden, alangkah bodohnya aku, mataku sudah lamur sehingga aku tidak mengenali Raden lagi, dahulu sebelum Raden berangkat ke padepokan itu, aku sudah pernah mengenal Raden”

“Ya, demikian aku naik ke pendapa ini, akupun segera mengenali Ki Panji. Tetapi aku baru tahu, bahwa nama Ki Panji sudah berubah”

“Ya, Raden. sejak aku diangkat menjadi Panji, aku mendapat nama baru, Wirasentika”

“Aku mengenal Ki Lurah Panji Wiradadi”

“Raden benar, namaku dahulu memang Wiradadi”

“Jadi Ki Panji sekarang sudah mengenali aku kembali”

“Sudah Raden, sudah”

“Ki Panji yakin bahwa aku adalah Madyasta, putera ayahanda Adipati Paranganom?”

“Ya, ya. Aku yakin, Raden”

“Syukurlah”

“Tetapi Raden telah menyebutkan bahwa Raden berempat berasal dari Keduwang, tlaltah Kadipaten Kateguhan”

“Aku berniat untuk memperpendek persoalan, Ki Saudagar Kertaderma berniat membeli kudaku. Mula-mula ia menganggap bahwa kami adalah blantik kuda sebelum Ki Saudagar Kertaderma bertanya, siapakah kami berempat, bahkan agak memaksa”

Nampaknya Rembana tidak dapat bertahan untuk berdiam diri saja, karena itu, maka iapun berkata, “Bahkan pengawalnya yang disebutnya Deriji Wesi itu menuduh Raden Madyasta mencuri kudanya itu. Bukankah sangat menyakitkan?, aku tidak dapat membiarkan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati Prangkusuma itu direndahkan”

“Aku mohon ampun, Raden. aku tidak tahu, bahwa aku berhadapan dengan putera Kangjeng Adipati Prangkusuma” berkata Ki Saudagar Kertaderma.

“Jadi, kalau kau berhadapan dengan orang kebanyakan yang tidak berdaya, akan kau perlakukan dengan sewenang-wenang?”

“Tidak, bukan maksudku”

“Raden” bertanya Ki Panji Wirasentika, “Siapakah ketiga anak-anak muda yang menyertai Raden ini?”

“Mereka adalah tiga orang senapati muda pilihan di Paranganom, mereka adalah senapati yang telah mengangkat nama baik Paranganom di mata Kangjeng Sultan di Tegal Langkap. Bersama pasukan mereka, ketiga orang senapati muda ini telah menempatkan diri di tempat terhormat ketika terjadi perang besar di tepi Bengawan Rahina, mereka adalah Ki Lurah Rembana Ki Lurah Sasangka dan Ki Lurah Wismaya”

“Aku pernah mendengar nama-nama itu disebut” berkata Ki Panji Wirasentika, “Tetapi baru sekarang aku dapat mengenal ketiga orang senapati ini”

“Kami hanya sekedar menjalankan tugas, Ki Panji” sahut Wismaya.

“Tetapi jika Raden berkenan menjawab, dari manakah Raden bersama ketiga orang senapati muda ini?”

“Kami baru kembali dari Panjer, Ki Panji”

“Panjer?”

“Kami baru saja mengatasi gerombolan brandal yang selalu membuat kekacauan di tlatah Paranganom”

“Aku sudah mendengar kerusuhan di kademangan Panjer, bahkan kami di Pasiraman Kulon, sempat menjadi cemas menanggapi perkembangan kejahatan yang terjadi di Paranganom akhir-akhir ini”

“Sekarang Ki Panji tidak perlu cemas lagi, meskipun pemimpin gerombolan perampok itu belum tertangkap, tetapi gerombolan itu sendiri telah dapat dihancurkan. Setidak-tidaknya untuk beberapa lama, gerombolan yang telah dihancurkan itu tidak akan mampu berbuat apa-apa, sementara itu, setiap kademangan sempat mempersiakan diri sebaik-baiknya untuk menghadap kemungkinan mendatang”

“Raden hanya berempat?”

“Tidak, selain kami berempat, masih ada enam orang prajurit yang menyertai kami. Kami masih meninggalkan mereka di kademangan Panjer”

“Hanya sepuluh orang?, menurut pendengaran kami, gerombolan perampok itu jumlahnya cukup banyak. Mereka adalah orang-orang yang tidak lagi menghargai jiwa sesamanya”

“Anak-anak muda Kademangan Panjer ternyata memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, bersama-sama mereka, kami dapat menghancurkan gerombolan itu”

Ki Panji Wirasentika mengangguk-angguk, sekali lagi iapun berkata, “Raden, kami mohon ampun, kami telah melakukan kesalahan yang besar sekali, bahwa kami telah mengganggu perjalanan Raden”

“Yang penting bukan hambatan terhadap perjalanan kami, tetapi tegaknya kedudukan Ki Panji”

“Aku mengerti maksud Raden”

“Ki Panji telah jatuh ke bawah pengaruh seorang yang nampaknya menggelar uangnya untuk mendapatkan kesan, bahwa ia seorang yang murah hati, tetapi di balik gelar itu, ia meneguk keuntungan yang jauh lebih besar dari taburan kemurahan hatinya itu”

“Ampun Raden” desis Ki Panji Wirasentika.

Masih ada kesempatan bagi Ki Panji, ayahanda bukan seorang yang tidak mau membuat pertimbangan yang adil, sementara itu, Ki Saudagar Kertaderma perlu mendapat peringatan pula atas sikap dan tingkah lakunya”

“Akupun mohon ampun Raden”

“Baiklah” berkata Raden Madyasta, “Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang”

“Apakah Raden tidak bermalam disini saja?, jika Raden melanjutkan perjalanan, maka Raden tentu akan kemalaman di jalan”

“Tidak apa-apa, Ki Panji. Kami adalah prajurit. kami sudah siap menghadap segala medan”

“Tetapi bukankah lebih baik bermalam disini daripada di tempat terbuka”

“Bukankah disetiap padukuhan terdapat banjar?, kami dapat bermalam di banjar-banjar padukuhan”

“Ki Panji, kami mohon diri, tetapi sebaiknya besok lusa, Ki Panji pergi ke Paranganom menghadap ayahanda untuk menjelaskan perkembangan daerah ini”

“Baik Raden, besok lusa aku akan menghadap Kangjeng Adipati Prangkusuma”

“Aku akan mengatakannya kepada ayahanda”

“Terima kasih Raden”

“Kami akan memantau perubahan sikap Ki Saudagar Kertaderma, hubungan antara Ki Saudagar Kertaderma dengan rakyat Pasiraman Kulon serta hubungan Ki Saudagar Kertaderma dengan Ki Panji Wirasentika”

“Aku berjanji Raden”

Demikianlah, sejenak kemudian, Raden Madyasta serta ketiga orang senapati muda itu sudah memacu kudanya meninggalkan rumah Ki Panji Wirasentika.

Sementara itu, sepeninggal Raden Madyasta, Ki Panji Wirasentikapun berkata dengan nada berat, “Habislah aku sekarang, kenapa Ki Saudagar Kertaderma telah terjerumus dalam perselisihan dengan putera Kangjeng Adipati?”

“Aku belum pernah mengenal wajah Raden Madyasta, sementara itu Ki Panji Wirasentika sendiri juga tidak segera dapat mengenalinya”

“Banyak perubahan telah terjadi, empat tahun lamanya Raden Madyasta berada di padepokan, kulitnya menjadi kehitam-hitaman dibakar terik matahari, tubuhnya pun tumbuh dengan cepat, ia sekarang menjadi seorang anak muda yang tampan dan kekar, meskipun ia kehilangan warna kulitnya yang kuning bersih, aku tidak akan dapat mengenalinya jika saja anak muda itu tidak menyebut dirinya”

“Besok lusa aku akan menghadap, aku akan mohon ampun”

“Aku ikut, Ki Panji” berkata Ki Saudagar Kertaderma, “Aku akan menawarkan apa saja yang dikehendaki oleh Kangjeng Adipati. Bahkan jika Kangjeng Adipati menginginkan sebuah pasanggrahan di Pasiraman Kulon, di dekat danau Wilis, akan aku buatkan”

“Jika Ki Saudagar Kertaderma berani menawarkannya kepada Kangjeng Adipati, maka persoalan akan cepat selesai”

“Benar?”

“Ya, karena Ki Saudagar Kertaderma akan segera diusir dari Kadipaten Paranganom”

“Jadi?”

“Jangan mencoba menyuap Kangjeng Adipati sebagaimana Ki Saudagar Kertaderma menyuap aku. Yang Ki Sudagar lakukan itu adalah kesalahan terbesar dari seorang yang kaya raya seperti Ki Sudagar, yang menganggap bahwa semua persoalan dapat diselesaikan dengan uang. Meskipun kau lebih kaya dari Kangjeng Adipati, tetapi kau tidak akan dapat membelinya.”

“Jadi, Apa yang harus aku lakukan?”

“Jika Ki Saudagar Kertaderma ingin menghadap bersamaku, maka satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah mohon ampun. Hanya itu”

Ki Sudagar itu pun mengangguk-angguk, meskipun nampaknya ia tidak begitu ikhlas. Ki Sudagar Kertaderma merasa dirinya seseorang yang banyak memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Ia menginginkan untuk terlepas dari segala tatanan dan paugeran. Bahkan ia ingin uangnya akan dapat membeli tatanan dan paugeran itu.

Namun tiba-tiba saja Ki Sudagar Kertaderma itu berbisik, “Apakah aku perlu membawa seorang perempuan yang paling cantik di Paranganom.”

Wajah Ki Panji menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, “Jika kau mencobanya, maka Kangjeng Adipati akan dapat mengetrapkan kuasanya dengan memenggal kepalamu.”

“Maksudku bagi puteranya tadi.”

“Jangan menjadi gila.”

Ki Sudagar Kertaderma itupun terdiam. Agaknya Kangjeng Adipati adalah seorang yang tegak pada sikap seorang pemimpin di Paranganom, yang tidak mudah digelitik dengan cara apapun juga.

Karena itu, maka Ki Sudagar itupun kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Ki Panji. Besok aku akan ikut menghadap untuk mohon ampun”

Sementara itu, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda telah memacu kudanya. betapapun kuda mereka berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya, namun mereka benar-benar kemalaman di perjalanan.

“Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan” berkata Raden Madyasta, “bukan karena kita tidak sanggup, tetapi kuda kita sudah menjadi sangat letih”

“Ya Raden. Kita akan beristirahat. Terutama kuda-kuda kita yang perlu istirahat”

Ketika mereka bertiga sampai di sebuah tebing sungai yang landai, maka mereka pun telah membawa kuda-kuda mereka turun, membiarkan kuda mereka minum, kemudian makan rumput segar sambil beristirahat.

Keempat orang anak muda itupun kemudian telah duduk diatas batu-batu besar yang berserakan ditepian dan bahkan di tengah-tengah sungai yang tidak terlalu deras itu. Airnya yang jemih gemericik dengan iramanya tersendiri.

“Kita dapat tidur di sini” berkata Sasangka.

Tetapi Raden Madyasta menyahut, “Sebaiknya kita pergi ke padukuhan yang nampak diseberang bulak itu. Kita minta ijin untuk bermalam di banjar.”

“Berita tentang hancurnya gerombolan perampok yang sering mengganggu ketenangan daerah Paranganom masih belum tersebar, Raden. Jika kita memasuki padukuhan itu dan minta ijin untuk bermalam, penghuni padukuhan itu mungkin justru akan mencurigai kita” berkata Wismaya.

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menyahut, “Ya. Memang mungkin sekali. Kalau demikian maka aku setuju, kita bermalam di sini. Tetapi jangan di tebing yang landai ini. Kita bawa kuda kita sedikit ke hulu, ke tempat yang tidak akan dilewati mereka yang- akan menyeberangi sungai ini.”

“Nampaknya langit terang. Menurut peihitungan tidak akan ada hujan di ujung sungai ini sehingga dapat menimbulkan banjir.”

Mereka berempat pun kemudian menuntun kudanya di tepian menjauhi tempat penyeberangan itu agar tidak mudah ditemui orang seandainya ada yang lewat dan menyeberangi sungai yang tidak terlalu deras airnya itu.

Beberapa puluh langkah dari tebing yang landai itu, mereka berhenti. Merekapun segera mencari batu yang terbesar dan yang paling rata untuk membaringkan tubuh mereka tanpa menghiraukan basahnya embun malam.

Sebagai prajurit, mereka sudah terbiasa berada di medan yang berat. Bahkan Raden Madyasta sudah ditempa di sebuah perguruan, sehingga kesulitan kewadagan tidak terasa terlalu mengganggunya.

“Salah seorang diantara kita harus ada yang tidak tertidur” berkata Raden Madyasta.

“Kita akan berjaga jaga bergantian” sahut Wismaya.

“Akulah yang pertama” berkata Rembana, “menjelang tengah malam aku akan membangunkan Sasangka.”

“Baiklah. Di dini hari Wismaya aku berjaga jaga sampai pagi.”

“Kapan aku mendapatkan giliran?” bertanya Raden Madyasta.

“Besok, setelah matahari terbit” jawab Rembana.

Raden Madyasta tertawa. Yang lainpun tertawa pula.

Demikianlah, maka Rembanapun justru telah turun ke air ketika yang lain mulai memejamkan matanya. Dinginnya air sungai itu membuat Rembana kehilangan perasaan kantuknya.

Seperti yang direncanakan, maka malam itu Rembana, Sasangka dan Wismaya bergantian berjaga jaga. Menjelang fajar, Wismaya. telah membangunkan Rembana dan Sasangka. Sedangkan Raden Madyasta telah lebih dahulu terbangun dan bahkan telah mandi di sejuknya air sungai yang bening itu.

Beberapa saat kemudian, keempat orang anak muda itu telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Tidak ada lagi yang menghambat perjalanan mereka yang sudah menjadi semakin dekat dengan pusat pemerintahan di Kadipaten Paranganom.

“Kita akan menghadap ayahanda” berkata Raden Madyasta.

Ketiga orang senapati itu hanya mengiakannya saja.

“Kita memang sudah rapi” berkata Rembana kemudian, “Kita sudah mandi dan berbenah diri”

Yang lain tertawa, Sasangka lah yang menyahut, “Menurut pendapatmu, dengan pakaian ini kita sudah pantas menghadap?”

“Tentu, jika tidak, apakah kita harus kembali ke barak dan mengenakan pakaian dengan pertanda keprajuritan?”

“Tidak usah” sahut Raden Madyasta, “Ayahanda akan mengerti, bahwa kita baru pulang dari tugas yang menuntut agar kalian tidak mengenakan pakaian keprajuritan”

“Nah, kau dengar?” Rembana menyambung.

Sasangka mengangguk-angguk, katanya, “Tetapi jangan menjadi kebiasaan Rembana”

“Kebiasaan apa?”

“Menjalankan tugas tanpa mengenakan pakaian keprajuritan, dengan demikian kau akan terlalu sering berkeliaran di pasar”

Wismaya yang agak pendiam itu tersenyum sambil menyahut, “Jika demikian, maka ia akan dapat memungut upeti dari pada penjual nasi”

Suara tertawa pun terburai berkepanjangan.

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Raden Madyasta, maka mereka berempatpun langsung pergi ke dalem kadipaten untuk menghadap Kangjeng Adipati di Paranganom.

Mereka memasuki halaman kadipaten ketika matahari sudah mendekati puncak langit, beberapa orang pemimpin tertinggi di Paranganom baru saja hadir menghadap Kangjeng Adipati sebagaimana biasanya dilakukan dalam sepekan sekali, untuk membicarakan perkembangan keadaan terakhir di Kadipaten Paranganom. Membicarakan pelaksanaan tatanan dan paugeran yang berlaku. Membicarakan kesejahteraan rakyat Paranganom, ketentraman dan ketenangan hidup mereka serta persoalan-persoalan lain yang menyangkut sisi-sisi kehidupan yang lain.

“Apakah pertemuan itu sudah lama berakhir?” bertanya Raden Madyasta kepada prajurit yang bertugas.

“Belum lama Raden. Bahkan Tumengggung Wiradipa dan Tumengggung Sanggayuda masih berada di dalem kadipaten. Tetapi mereka sudah tidak berada di pendapa”

“Jadi paman Tumengggung Wiradipa dan Tumengggung Sanggayuda masih berada di dalam?”

“Ya, Raden”

“Terima kasih”

Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu pun kemudian telah mengikatkan kuda mereka pada patok-patok kayu di halaman. Kemudian merekapun melingkari pendapa masuk lewat pintu seketeng, langsung ke serambi kanan. Raden Madyasta tahu, bahwa di serambi itulah ayahandanya sering mengadakan pembicaraan-pembicaraan khusus dengan orang-orang terdekat, terutama Ki Tumengggung Wiradipa dan Ki Tumengggung Sanggayuda.

Kedatangan Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda yang tiba-tiba saja itu memang mengejutkan Kangjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom serta kedua orang Ki Tumenggung yang masih menghadap.

“Marilah, Madyasta” berkata Kangjeng Adipati, “Marilah Rembana, Sasangka dan Wismaya”

“Hamba menghadap ayahanda”

“Mendekatlah, kebetulan kedua orang pamanmu masih ada disini”

Raden Madyasta dan ketiga orang senapati mudapun kemudian bergeser mendekat.

“Kapan kalian datang dari perjalanan tugas kalian?”

“Baru saja, ayahanda. Kami langsung menghadap ayahanda”

“Jadi kalian baru saja datang?, kapan kalian berangkat dari sasaran tugas kalian?”

“Kemarin ayahanda, kami berhenti lama di perjalanan.”

“Semalam kau bermalam dimana?”

“Kami sengaja bermalam di tempat terbuka, ayahanda”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, namun kemudian ia pun bertanya, “Bukankah kalian selamat dalam perjalanan?”

“Hamba, ayahanda. Kami selamat dalam perjalanan, meskipun ada sedikit hambatan”

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati, “Jika kau dan ketiga senapati masih merasa letih, kalian aku perkenankan untuk beristirahat. Nanti kalian dapat menghadap lagi untuk memberikan keterangan tentang usaha kalian menghadapi kerusuhan terutama di daerah perbatasan”

“Kami tidak terlalu letih ayahanda. Kami dapat memberikan laporan sekarang”

Kangjeng Adipati Prangkusuma termenung-menung sejenak. Dipandanginya keempat anak muda pilihan itu, agaknya mereka memang tidak merasa terlalu letih. Sikap mereka masih tetap. Wajah mereka masih terang sekali, nampak senyum menghiasi bibir.

“Baiklah” berkata Kangjeng Adipati, “Jika kalian tidak merasa terlalu letih, aku pun tidak berkeberatan untuk mendengarkan laporan kalian” lalu Kangjeng Adipati itu pun berkata kepada Ki Tumengggung Wiradipa dan Ki Tumengggung Sanggayuda, “Kakang, aku minta kakang bersabar sebentar, kita dengarkan laporan Madyasta dan ketiga orang senapati itu”

“Hamba Kangjeng Adipati” jawab mereka bersamaan.

“Madyasta” berkata Kangjeng Adipati kemudian, “Jika kau memang tidak terlalu letih, berikan laporan itu sekarang, kami akan mendengarkannya”

Raden Madyasta kemudian dengan singkat memberikan laporan hasil perlawatannya ke Panjer untuk mengatasi kemelut yang ditimbulkan oleh gerombolan penjahat. Segerombolan penjahat yang sebenarnya terdiri dari beberapa kelompok kecil penjahat yang disegani.

Perampok, penyamun, pencuri yang tangguh, sehingga ada diantara mereka yang dikabarkan mempunyai aji penglimunan sehingga seakan-akan dapat melenyapkan diri, serta penjahat-penjahat yang sudah punya nama lainnya. Mereka telah dihimpun oleh seorang yang berilmu tinggi, yang pengaruhnya sangat besar atas para penjahat itu.

“Namanya Sura Branggah, ayahanda”

“Jadi para penjahat itu telah dihimpun oleh Sura Branggah”

“Ya. Ayahanda. Kami berhasil menghancurkan gerombolan itu. tetapi ampun ayahanda. Kami tidak berhasil menangkap pemimpinnya. Sura Branggah telah luput dari tangan kami”

Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk-angguk, dengan nada datar ia pun berkata, “Jadi pemimpin itu lepas dari tanganmu”

“Hamba ayahanda. Sehingga penulusuran kami terhadap gerombolan itu tidak dapat tuntas. Para penjahat itu ternyata tidak tahu apa-apa selain menjalankan perintah Sura Branggah”

“Apaboleh buat” desis Kangjeng Adipati. Meskipun hanya sepercik kecil, namun terasa ungkapan penyesalan Kangjeng Adipati Prangkusuma.

“Kami mohon ampun, ayahanda. Kami sudah bekerja sama dengan anak-anak muda serta para bebahu Kademangan Panjer yang mengepung rapat, sementara kami berempat melawan mereka, tetapi Sura Branggah itu tetap saja dapat lolos”

“Apakah kau sudah berbicara dengan para penjahat yang tertangkap?”

“Sudah ayahanda. Tetapi seperti yang hamba katakan, mereka tidak tahu apa-apa”

“Meskipun demikian, Madyasta, bagaimana menurut kesimpulan yang kau tarik. Apakah tindak kejahatan yang timbul kebanyakan di perbatasan dengan Kateguhan itu ada hubungannya dengan Kadipaten Kateguhan atau bahkan ada kesengajaan dari para pemimpin di Kateguhan dalam hubungan kehadiran bibimu Raden Ayu Prawirayuda serta Rantamsari di kadipaten ini?”

“Tidak seorang pun diantara mereka yang tertangkap menyebut hubungan dengan Kateguhan. Mungkin mereka benar-benar tidak berhubungan dengan orang-orang Kateguhan, tetapi mungkin juga karena mereka tidak mengetahuinya, itulah sebabnya, maka hamba sangat menyayangkan, bahwa pemimpin gerombolan perampok itu tidak dapat tertangkap”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk, tetapi kemudian ia pun berkata, “sudahlah, nyatanya pemimpin perampok itu tidak tertangkap, tetapi kekuatan gerombolan itu sudah dapat kau lumatkan, menurut pendapatku berdasarkan atas laporanmu, untuk beberapa lama gerombolanan tiu tidak akan segera dapat bangkit. Mereka memerlukan orang-orang baru yang dapat dihimpun. Orang-orang baru itu tentunya tidak akan sebaik orang-orang yang lama, karena orang-orang yang lama itu adalah orang-orang pada pilihan pertama”

“Ya. Ayahanda. Sementara itu, beberapa kademangan sudah sempat mempersiapkan diri. Enam orang prajurit yang kami tinggalkan di Panjer, akan dapat membantu mempersiapkan anak-anak mudanya, bahkan bukan hanya di Kademangan Panjer, tetapi juga kademangan-kademangan di sekitarnya”

“Baiklah, Madyasta. sebagian besar dari tugasmu sudah dapat kau selesaikan dengan baik. selanjutnya, adalah tugas kita semuanya untuk bersiap-siap menghadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Selama ini kita masih akan berusaha untuk menangkap pemimpin gerombolan perampok itu”

“Hamba, ayahanda”

“Nah, untuk sementara laporanmu sudah cukup. Jika kau dan para senapati sudah merasa letih, kalian dapat beristirahat. Aku mengucapkan terima kasih atas kehadiran kalian. Sejak semula aku memang yajin, bahwa bersama Rembana, Sasangka dan Wismaya, kau akan berhasil”

“Terima kasih atas pujian ini, kangjeng” Wismaya mengangguk hormat sambil menyembah, “Sebenarnyanyalah bahwa kami masih belum dapat memenuhi tugas kami, karena Sura Branggah sempat meloloskan diri”

“Bukankah kita tidak akan berhenti sampai sekian?” bertanya Kangjeng Adipati Prangkusuma.

“Ya Kangjeng Adipati” jawab Wismaya dengan nada dalam.

Demikianlah, maka Raden Madyasta kemudian telah minta diri bersama ketiga senapati muda itu. sementara Ki Tumengggung Wiradipa dan Ki Tumengggung Sanggayuda masih tetap bersama Kangjeng Adipati di serambi.

Sepeninggal Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu, Kangjeng Adipati pun bertanya kepada kedua Tumenggung yang masih menghadap itu, “Bagaimana pendapat kalian tentang laporan Madyasta”

Ki Tumengggung Wiradipa termenung-menung sejenak, dengan agak ragu-ragu, ia pun kemudian menjawab, “Kangjeng, semula aku menduga, bahwa kekacauan yang timbul itu ada hubungannya dengan orang-orang Kateguhan, mungkin para perampok, penyamun dan pencuri itu tidak tahu apa-apa. juga hubungan gerakan mereka dengan kepentingan orang-orang Kateguhan. Sayang sekali bahwa pemimpin gerombolan itu tidak tertangkap”

“Kangjeng” berkata Ki Tumengggung Sanggayuda, “Aku juga menduga bahwa ada hubungan antara gerakan itu dengan orang-orang Kateguhan, bahkan mungkin ada hubungannya pula dengan keberadaan Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari di Paranganom”

Agaknya sulit untuk mencari antara kekacauan itu dengan keberadaan kakangmbok Prawirayuda, tetapi kadang-kadang kita memang menghadap persoalan-persoalan yang tidak segera diketahui hubungannya yang satu dengan yang lain”

“Kangjeng, apakah tidak sebaiknya para perampok yang tertangkap itu dibawa kemari agar kita dapat berbicara dengan mereka?”

“Bukankah Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu sudah berbicara dengan mereka”

“Mungkin sikap mereka akan berbeda, jika mereka berhadapan langsung dengan Kangjeng Adipati”

Kangjeng Adipati tersenyum, katanya, “Baiklah, pada suatu saat aku akan menemui mereka setelah mereka semuanya dibawa kemari”

“Ya, Kangjeng”

“Tetapi kakang, sebenarnya ada yang penting yang ingin aku bicarakan dengan kakang berdua”

“Apakah ada perintah yang harus kami lakukan, Kangjeng?”

“Kakang, aku akan minta kakang berdua untuk pergi ke Kateguhan”

Kedua orang tumenggung itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Tumengggung Wiradipapun bertanya, “Apa yang harus kami lakukan di Kateguhan, Kangjeng Adipati?”

“Kalian menghadap angger Adipati Yudapati”

“Kangjeng Adipati Yudapati”

“Ya, kalian datang ke Kateguhan untuk memberitahukan bahwa ibunda angger Adipati Yudapati, meskipun hanya ibu tiri, berada di Paranganom”

Kedua Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk, sementara Kangjeng Adipati Prangkusuma berkata selanjutnya, “Tetapi dalam perbincangan kalian dengan angger Yudapati, kalian dapat menyinggung tentang kerusuhan yang terjadi di Paranganom, tetapi jangan semata-mata”

“Ya. Kangjeng. Kami tahu maksud Kangjeng Adipati”

“Nah, pergilah. Kakang berdua ke Kateguhan”

“Sandika. Kangjeng Adipati, kami berdua akan melaksanakan perintah Kangjeng Adipati”

“Hari ini kakang dapat bersiap-siap. Besok pagi kakang berdua berangkat. Aku minta kakang singgah barang sebentar di kadipaten”

“Hamba Kangjeng Adipati. hari ini kami akan bersiap-siap. Besok pagi kami berdua akan menghadap sebelum kami berangkat. Mohon ampun, barangkali Kangjeng akan terpaksa dibangunkan esok pagi”

Kangjeng Adipati Prangkusuma tersenyum, katanya, “Setiap hari aku bangun pagi-pagi. Bukankah kakang berdua mengetahui bahwa setiap pagi aku berjalan-jalan mengelilingi halaman kadipaten?”

“Ya, hamba tahu, Kangjeng Adipati. setiap pagi Kangjeng Adipati berjalan-jalan mengelilingi halaman kadipaten atau justru berada di sanggar untuk mengasah kemampuan Kangjeng Adipati yang sulit dicari duanya itu”

Kangjeng Adipati tertawa, katanya, “Kau terlalu memuji kakang, terima kasih”

Demikianlah, maka kedua Ki Tumenggung itupun segera mohon diri, namun Kangjeng Adipati masih berpesan, “Kakang berdua, temuilah Madyasta. mungkin kakang akan mendapat bekal dari padanya, karena ia langsung menghadap gerombolan perampok itu bersama ketiga senapati muda itu.

“Hamba Kangjeng Adipati, kami berdua malam nanti akan bertemu dan berbicara dengan Raden Madyasta”

“Baiklah, mudah-mudahan dengan perjalanan kakang berdua ke Kateguhan, kami mendapat bahan lebih banyak untuk melihat peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi di Paranganom”

Sejenak kemudian, kedua Ki Tumenggung itu telah meninggalkan kadipaten, mereka harus berkemas menjelang keberangkatan mereka esok pagi ke Kateguhan, karena jarak yang harus mereka tempuh memerlukan waktu perjalanan hampir sehari utuh.

Seperti pesan Kangjeng Adipati, maka malam itu kedua Ki Tumenggung menemui Raden Madyasta untuk mendengar lebih banyak lagi tentang keberhasilan Raden Madyasta menghancur-kan gerombolan perampok itu, namun tidak berhasil menangkap pemimpinnya.

“Tidak ada kesan sama sekali bahwa para perampok itu mempunyai hubungan dengan kakangmas Adipati Yudapati” berkata Raden Madyasta kemudian.

Ki Tumengggung Wiradipa dan Ki Tumengggung Sanggayuda mendengarkan keterangan Raden Madyasta sama sekali tidak melihat celah-celah yang dapat dipergunakan untuk mencari hubungan antara para perampok itu dengan orang-orang Kateguhan.....

“Justru para perampok yang tertangkap itu sebagian mengaku orang-orang Paranganom, bahkan mereka dapat menunjukkan tempat tinggal mereka jika diperlukan. Sebagian lagi memang orang-orang yang tinggal di Kateguhan. Tetapi mereka sama sekali terlepas dari kemungkinan bahwa mereka memang disusupkan untuk membuat keributan di Paranganom dengan alasan apapun juga oleh para pemimpin di Kateguhan” berkata Raden Madyasta lebih lanjut.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda hanya mengangguk-angguk saja.

Baru kemudian setelah pembicaraan itu dianggap cukup, maka Ki Tumenggung Wiradapapun berkata, “Baiklah Raden. Besok kami berdua akan pergi ke Kateguhan menjalankan perintah Kangjeng Adipati Prangkusuma”

Namun Raden Madyasta pun kemudian berkata, “Tetapi paman. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepada paman berdua. Ketika aku pulang dan langsung menghadap ayahanda, aku ragu-ragu untuk mengatakannya. Aku ingin pendapat paman, apakah sebaiknya aku berdiam diri saja atau aku harus melaporkannya kepada ayahanda”

“Tentang apa Raden?” bertanya Ki Tumenggung Wiradapa.

“Tentang Ki Panji Wirasentika”

“Kenapa dengan Ki Panji Wirasentika?”

Raden Madyasta pun kemudian menceritakan hambatan yang dialaminya di perjalanan pulang dari Panjer karena Raden Madyasta telah berpapasan dengan Ki Saudagar Kertaderma yang kaya raya.

Dengan kekayaannya itu Ki Saudagar Kertaderma telah mempengaruhi Ki Panji Wirasentika dalam menjalankan tugasnya.

“Menurut pendapatku, Ki Panji Wirasentika sudah menyadari kesalahannva Aku berharap bahwa Ki Panji tidak akan mengulangi kesalahan itu Sementara itu Ki Saudagar Kertadermapun akan dapat merubah sikapnya”

“Menurut pendapatku, Raden” sahut Ki Tumenggung Sang-gayuda, “sikap Ki Panji yang tidak pada tempatnya itu harus diketahui oleh Kangjeng Adipati”

“Tetapi apakah ayahanda akan marah dan menjatuhkan hukuman kepada Ki Panji Wirasentika yang menurut pendapatku, akan segera berubah itu?”

“Aku tidak dapat mengatakannya. Tetapi kesalahan seperti itu tidak dapat ditutup-tutupi. Jika kali ini Ki Panji Wirasentika tidak mendapat hukuman atau setidaknya teguran, maka ia merasa aman untuk menjalankan kesalahan yang sama di kemudian hari”

“Tetapi aku sudah memeringatkan bahwa kesalahan itu tidak boleh terulang. Jika Ki Panji melakukan kesalahan lagi, maka bukan saja kedudukannya akan terancam, tetapi ia akan dapat dihukum.”

“Tetapi sebaiknya angger melaporkannya kepada ayahanda” berkata Ki Tumenggung Wiradapa, “Kangjeng Adipati cukup bijaksana. Karena itu Raden tidak usah mencemaskan nasib Ki Panji Wirasentika dan Ki Saudagar Kertaderma.”

“Sebenamya aku sudah minta mereka, terutama Ki Panji untuk menghadap ayahanda langsung untuk memberikan laporan tentang dirinya sendiri, tentang pemerintahan yang dijalankan dan tentang penyalahgunaan kekuasaannya itu.”

“Apakah Ki Panji sanggup untuk datang menghadap?”

“Agaknya hari ini atau esok pagi Ki Panji akan menghadap. Ia tentu tidak akan berani ingkar akan kesediaannya itu”

“Raden” berkata Ki Wiradapa, “besok aku dan adi Sanggayuda akan pergi ke Kateguhan. Kami adalah orang-orang tua yang banyak diminta pertimbangan oleh Kangjeng Adipati. Karena kami berdua meninggalkan Kadipaten, sebaiknya Raden mendampingi ayahanda esok pagi jika Ki Panji Wirasentika itu menghadap. Mungkin beberapa orang pemimpin pemerintahan dan Senapati akan dapat memberikan pertimbangan. Namun sebaiknya angger sendiri hadir saat Ki Panji itu menghadap”

“Baik, paman.”

“Tetapi sebelumnya ada baiknya angger memberikan laporan lebih dahulu sebagai pengantar persoalannya kepada Kangjeng Adipati.”

“Baik, paman. Besok pagi-pagi aku akan ikut melepas paman berdua pergi ke Kateguhan, sekaligus memberikan laporan kepada ayahanda tentang Ki Panji Wirasentika”

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka kedua orang Tumenggung itu pun minta diri. Mereka harus mempersiapkan diri menempuh perjalanan panjang esok pagi.

Menjelang fajar dihari berikutnya, Madyasta telah selesai berbenah diri. Kedua orang Tumenggung yang akan pergi ke Kateguhan itu tentu juga akan berangkat pagi-pagi sekali, karena mereka akan menempuh perjalanan jauh.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, selagi langit dibayangi oleh wama yang kemerahan, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah datang ke dalem kadipaten.

Ketika Raden Madyasta menerima mereka, maka Ki Tumenggung Sanggayuda pun bertanya, “Raden sudah siap sepagi ini. Apakah Raden juga akan pergi”

“Tidak, paman. Tetapi bukankah aku berjanji untuk ikut melepas paman pagi ini, sekaligus memberikan laporan tentang Ki Panji Wirasentika?”

Kedua orang Tumenggung itu tertawa pendek.

Sementara itu, seorang abdi di dalem kadipaten telah memberitahukan kepada Kangjeng Adipati, bahwa Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah datang menghadap.

Kangjeng Adipati yang baru berjalan-jalan di halaman belakang kadipaten bersama Raden Wignyana pun segera pergi menemui Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Maaf kakang Tumenggung berdua. Aku sengaja tidak mandi lebih dahulu, agar kakang tidak terlalu lama menunggu.”

“Kami hanya datang untuk mohon diri, Kangjeng” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

“Baik. Selamat jalan, kakang Tumenggung berdua. Mudah-mudahan tidak ada hambatan di perjalanan. Salamku buat angger Adipati Yudapati serta rakyat Kadipaten Kateguhan”

“Akan kami sampaikan kepada Kangjeng Adipati Yudapati, Kangjeng”

Sebelum matahari terbit, keduanya telah meninggalkan gerbang dalem Kadipaten Paranganom, dilepas oleh Kangjeng Adipati sendiri, Raden Madyasta dan Raden Wignyana.

Sejenak kemudian kedua ekor kuda telah berderap menuju ke gerbang kota. Kemudian, setelah keduanya berada di luar pintu gerbang, kuda-kuda itu pun berlari semakin eepat. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang.

Dalam pada itu, setelah kedua orang penunggang kuda itu hilang di tikungan, maka Raden Madyasta berkata kepada ayahandanya, “Hamba mohon waktu, ayahanda”

“Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?”

“Ya, ayahanda”“

“Tentu tentang para perampok di kademangan Panjer?”

“Bukan ayahanda. Tetapi juga dalam hubungan perjalanan dari Panjer”

“Bukankah kau tidak akan pergi ke mana-mana? Apakah kau akan kembali ke barak para prajurit itu?”

“Tidak, ayahanda”

“Jika demikian, biariah aku mandi lebih dahulu.”

“Silahkan, ayahanda.”

Selama ayahandanya mandi, Raden Madyasta sempat bercerita kepada adiknya tentang tugas yang diembannya di Panjer.

“Sayang, kakangmas” berkata Wignyana, “Aku tidak boleh ikut”

“Kita baru saja pulang dimas. Ayahanda tentu ingin kita berada bersamanyanya. Jika mungkin tentu kita berdua. Tetapi karena tugas telah memanggil, maka salah seorang diantara kita harus pergi dan seorang yang lain bersama ayahanda di rumah”

Wignyana tidak menjawab.

Dalam pada itu, ketika Kangjeng Adipati telah selesai berbanah diri, maka dipanggilnya kedua orang puteranya untuk menghadap di serambi samping kanan.

Namun Wignyana berkata kepada ayahadanya, “Hamba mohon diri membersihkan diri lebih dahulu ayahanda, Hamba belum mandi”

Kangjeng Adipati tersenyum. Ia tahu bahwa sejak menjelang fajar Wignyana bersamanya di halaman belakang dalem kadipaten.

Yang kemudian duduk menghadap ayahanda di serambi tinggal Mayasta sendiri.

“Nah, sekarang katakan, apa yang terjadi dalam perjalananmu dari Panfer”

“Tentang seorang Panji yang bemama Panji Wirasentika.”

“Wirasentika dari Pasiraman Kulon maksudmu?”

“Ya, ayahanda”

“Kenapa dengannya?”

“Menurut keterangannya, ia akan menghadap ayahanda hari ini atau esok”

“Apakah Ki Panji Wirasentika mempunyai masalah yang tidak dapat dipecahkannya sendiri sehingga ia harus menghadap aku?”

“Ada masalah yang melibat Ki Panji”

“Katakan.”

“Madyasta pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Pasiraman Kulon. Ki Panji Wirasentika yang telah kehilangan wibawanya, serta berada di bawah pengaruh Ki Saudagar Kertaderma.

Kangjeng Adipati Prangkusuma mendengarkan laporan Raden Madyasta dengan sungguh-sungguh. Namun kemudian Raden Madyasta itupun berkata, “Tetapi peristiwa itu agaknya telah membuat Ki Panji menyadari kesalahannya. Nampaknya Ki Panji akan segera berubah”

“Kau yakin?”

“Ya, ayahanda. Karena itu, jika ayahanda berkenan, biarlah Ki Panji membuktikan janjinya”

Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memperhatikan pendapatmu, Madyasta. Jika ia benar-benar datang menghadap dan melaporkan persoalan yang menyangkut dirinya dengan jujur, aku akan memberikannya kesempatan. Tetapi jika sampai tiga hari ia tidak datang, maka aku akan memanggilnya dan memberikan peringatan yang keras kepadanya. Ia akan ditarik dari Pasiraman Kulon. Bukankah tanggapanku atas tingkah laku Ki Panji Wirasentika itu cukup adil?”

“Ya, ayah”

“Nah. Kita akan menunggunya”

“Jika demikian, hamba mohon diri lebih dahulu. Jika Ki Panji Wirasentika datang, hamba akan ikut menemuinya.”

“Baiklah. Jika ia datang, aku akan memberitahukan kepadamu nanti.”

Tetapi demikian Raden Madyasta keluar dari serambi, maka seorang abdi telah menghadap Kangjeng Adipati untuk memberitahukan bahwa dua orang telah datang untuk menghadap Kangjeng Adipati.

“Siapa?”

“Ki Panji Wirasentika”

“Ki Panji Wirasentika?”

“Hamba Kangjeng Adipati, bersama seorang lagi”

“Baik. Persilahkan mereka duduk di serambi sebelah kiri“

“Hamba Kangjeng”

“Kemudian panggil Madyasta. Katakan, bahwa Ki Panji Wirasentika sudah menghadap.”

“Hamba Kangjeng”

Demikianlah, sejenak kemudian, Kangjeng Adipati serta Kaden Madyasta sudah duduk di serambi, menemui Ki Panji Wirasentika serta Ki Saudagar Kertaderma.

Terbersit sedikit kelegaan di hati Raden Madyasta. Ayahandanya, Kangjeng Adipati Prangkusuma akan memberi kesempatan kepada Ki Panji jika ia bersedia datang menghadap dan memberikan laporan dengan jujur.

Ki Panji Wirasentika dan Ki Saudagar Kertaderma duduk sambil inenundukkan kepala mereka dalam-dalam. Keduanya sama sekali tidak berani memandang wajah Kangjeng Adipati Prangkusuma. Bahkan juga Raden Madyasta.

Dengan nada berat Kangjeng Adipati Prangkusuma berkata, “Ki Panji dan kau Ki Sanak. Selamat datang di Kadipaten Paranganom.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Hamba dan kawan hamba, Ki Saudagar Kertaderma telah menghadap. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas perkenan Kangjeng Adipati menerima kami berdua”

“Hari masih pagi sedangkan kalian berdua sudah berada disini”

“Hamba datang semalam, Kangjeng Adipati. Kami berdua bermalam di rumah saudara hamba”

“Nampaknya kalian mempunyai keperluan yang penting.”

“Raden Madyasta tenlu sudah memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati.”

“Ya. Tetapi aku ingin mendengar dari Ki Panji Wirasentika, agar dengan demikian aku dapat mendengar dari kedua belah pihak”

“Ampun, Kangjeng Adipati. Sebelumnya kami berdua mohon ampun”

“Katakan, Ki Panji”

Ternyata Ki Panji Wirasentika jujur. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi sehubungan dengan kehadiran Raden Madyasta di Pasiraman Kulon. Bahkan Ki Panji pun mengaku pula dengan jujur, hubungannya dengar, Ki Saudagar Kertaderma pengaruh uangnya, serta pemberian-pemberiannya sehingga mempenga-ruhi tegaknya jalan pemerintahan yang dipegangnya atas nama Kangjeng Adipati Prangkusuma.

“Kangjeng. Hamba datang bersama Ki Saudagar Kertaderma itu. Ki Saudagar pun akan menyatakan penyesalannya kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma”

“Ampun, Kangjeng Adipati, hamba mohon ampun” ternyata hanya itulah yang terloncat dari bibir Ki Saudagar Kertaderma.

Kangjeng Adipati tersenyum. Katanya, “Aku senang bahwa kalian berdua bersikap jujur. Berani mengakui kesalahan yang telah kalian lakukan bersama-sama. Ternyata apa yang dikatakan Madyasta sesuai dengan apa yang kalian katakan.”

“Hamba, Kangjeng. Kami berdua hanya dapat mohon ampun”

Kangjeng Adipati Prangkusuma mengangguk angguk. Katanya, “Aku hanya dapat memberi kesempaian kepada kalian sekali saja lagi. Terutama Ki Panji Wirasentika. Kau dapat mencoba lagi, Wirasentika. Kau akan tetap berada di Pasiraman Kulon. Tetapi jika sekali lagi kau tergelincir, maka kau akan tamat. Kau tidak akan lagi memimpin pemerintahan di satu daerah dimanapun di Paranganom”

“Hamba Kangjeng Adipati, hamba berjanji,”

“Aku juga memperingatkan kau, Ki Saudagar. Jika kau masih berbangga dengan uangmu dan mencoba mempengaruhi tatanan pemerintahan siapapun yang memegangnya, maka kau akan diusir dari Paranganom. Pengaruh burukmu itu tentu akan merambat. Kali ini kau dapat mempengaruhi Ki Panji Wirasentika, sehingga kau mendapat keuntungan jauh lebih besar dari suap atau apapun namanya yang telah kau berikan. Lain kali kau akan menyuap lebih banyak lagi petugas dan pemimpin pemerintahan, bukan saja di Pasiraman Kulon. Tetapi juga para pemimpin Kadipaten Paranganom. Kekayaanmu yang sudah kau miliki sekarang, akan kau pergunakan sebagal modal untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya apapun caranya. Sementara itu, tentu ada para pemimpin yang hatinya rapuh, seperti kayu tua yang dimakan rayap”

“Ampun Kangjeng Adipati. Hamba tidak akan melakukannya lagi.”

“Ki Kertaderma. Aku tidak akan mencegah kau memutar uangmu, Tetapi dengan cara yang jujur menurut tatanan dan paugeran”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

Dengan menurut tatanan dan paugeran, kau sudah akan mendapatkan keuntungan yang besar. Kau tidak perlu berbuat curang tanpa landasan niat baik dalam hubungan dengan sesamamu.”

“Sekali-sekali aku sendiri akan datang ke Pasiraman Kulon” Sahut Madyasta

“Hamba akan senang sekali menerima kedatangan Raden Madyasta ke Pasiraman Kulon. Hamba akan menyediakan semua kebutuhan Raden Madyasta jika ingin bercengkerama di Danau Wilis yang indah itu. Atau kebutuhan-kebutuhan yang lain”

Ki Panji Wiransentika menggamit Ki Saudagar Kertaderma. Ki Saudagar memang berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak tanggap. Bahkan iapun berkata, “Bahkan apa saja yang diperlukan Ki Panji Wirasentika tentu aku akan bersedia membantu menyelenggara-kannya”

Wajah Ki Panji Wirasentika menjadi tegang Kangjeng Adipati pun memandang Ki Saudagar dengan dahi yang berkerut

“Kau sudah mulai lagi, Ki Saudagar” sahut Raden Madyasta yang menjadi berdebar-debar pula mendengar pernyataan Ki Saudagar.

Ki Saudagar itupun terkejut. Wajahnya menjadi tegang, Tetapi nampaknya ia tidak tahu, kesalahan apa yang telah dilakukan. Karena itu, maka dipandanginya wajah Ki Panji Wirasentika dengan debar jantung yang semakin cepat.

Sementara itu Raden Madyasta berkata pula, “Kau sudah terbiasa melakukannya, Ki Saudagar. Kau tidak perlu menyediakan apa-apa buat aku atau orang lain atau siapapun yang datang ke Pasiraman Kulon dalam rangka tugasnya. Kau masih juga ingin menunjukkan pengaruhmu terhadap Ki Panji Wirasentika. Apakah Ki Panji Wirasentika akan bersedia menyambut kedatangan para petugas dari Paranganom atau tidak, itu bukan urusanmu. Jika Ki Panji berniat menyelenggarakan penyambutan, kaulah yang harus membantu. Bukan justru Ki Panji harus membantumu.”

Wajah Ki Saudagar tiba-tiba menjadi pucat. Sementara Raden Madyasta masih berkata selanjumya, “Sikapmu seperti itu harus kau singkirkan, Ki Saudagar. Kau berusaha menyenangkan hati para pejabat yang datang ke Pasiraman Kulon agar mereka tidak melihat atau sengaja tidak mau melihat kesalahan, kelicikan dan kecurangan-kecurangan yang kau lakukan. Itu adalah nodamu yang terbesar.”

“Ampun Raden. Aku mohon ampun. Tetapi kali Ini aku berkata dengan jujur sejujumya. Meskipun demikian. jika yang aku katakan itu salah, aku mohon ampun.”

“Karena kau sudah terbiasa melakukannya, maka kau tentu merasa tidak bersalah. Tetapi sejak sekarang. kau harus belajar bersikap. Ki Panji Wirasentika bukan pejabat yang harus melayanimu. Tetapi ia harus melayani orang banyak. Justru orang-orang yang hidup dalam tataran terendah yang harus mendapat pelayanan yang terbaik”

“Ya Raden”

Dalam pada itu, Kangjeng Adipatipun berkata, “Peringatan ini juga berlaku bagi Ki Panji Wirasentika. Aku sependapat dengan Madyasta. Rakyat kecillah yang harus mendapat pelayanan terbaik. Bukan orang-orang kaya karena orang orang kaya itu mampu memberikan upeti kepada Ki Panji.”

“Hamba mengerti Kangjeng, hamba akan mencobanya di hari-hari mendatang”

“Aku akan sangat memperhatikan perkembangan tatanan di Pasiraman Kulon. Bahkan bukan hanya Pasiraman Kulon. Tetapi aku juga akan melihat daerah daerah lain, apakah ada gejala atau bahkan sudah terjadi, bahwa seseorang yang memerintah atas namaku jatuh dibawah pengaruh suap seperti yang terjadi pada Ki Panji Wirasentika”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

“Baiklah, Ki Panji Wirasentika. Seperti yang aku katakan, aku akan memberi kesempatan kepada Ki Panji Wirasentika sekali lagi. Jika Ki Panji gagal, maka Ki Panji aku anggap melakukan kesalahan ganda”

Hamba mengucapkan beribu terima kasih, Kangjeng. Kesempatan ini akan hamba junjung tinggi.”

“Kau juga Ki Kertaderma. Jika kau melakukan kesalahan lagi, maka kau pun akan aku anggap melakukan kesalahan yang sangat besar.”

“Ampun Kangjeng. Jika hamba melakukan kesalahan yang sama, hamba pertaruhkan semua milik hamba. Hamba akan serahkan semua kekayaan hamba.”

“Jika dianggap adil, kami dapat mengambil semua kekayaanmu tanpa kau serahkan. Sementara itu, kau akan diusir pergi dari Paranganom tanpa bekal. Atau di masukkan kedalam penjara untuk waktu yang sangat lama”.

“Ampun Kangjeng Adipati hamba mohon ampun. Jangan lakukan itu. Apapun yang Kangjeng Adipati kehendaki, akan hamba penuhi.”

Ki Panji Wirasentikan tidak hanya menggenggamnya, tetapi Ki Panji Wirasentika telah memukul punggung Ki Saudagar.

Sementara Madyasta memotongnya dengan suara lantang, “Ki Saudagar. Ucapanmu itu sudah pantas untuk menjatuhkan hukuman dengan memotong lidahmu.”

Ki Saudagar memandang Raden Madyasta sekilas. Kemudian berpaling kepada Ki Panji Wirasentika dan kemudian membungkuk hormat dihadapan Raden Madyasta sambil berkata, “Ampun Raden, Jadi aku harus berbuat apa?”

“Ki Panji“ suara Raden Madyasta menjadi bergetar. Sejak pertemuannya dengan Ki Saudagar, rasa-rasanya Raden Madyasta sudah menjadi muak, “Ajari, apa yang sebaiknya ia lakukan. Jika sekali lagi ia menawarkan pemberian apapun juga, maka semua kesempatan baginya akan ditutup”

“Ampun Raden” lalu Ki Panji itu pun berpaling kepada Ki Saudagar, “Kau masih saja menyatakan akan menebus kesalahanmu dengan menawarkan pemberian berupa apapun juga. Janji-janji semacam itu akan dapat digolongkan suap atau pemberian dengan pamrih. Yang menerima pemberian itu akan dapat dipersalahkan menyalah gunakan jabatan untuk menerima pemberian, hadiah dan apapun namanya dari orang lain dengan maksud-maksud yang tersembunyi, meskipun kadang-kadang yang tersembunyi itu justru dijelaskan sejelas-jelasnya.”

“Tetapi aku ikhlas Ki Panji. Aku ikhlas tanpa mempunyai maksud apa-apa”

“Bukannya tidak mempunyai maksud apa-apa. Kau tawarkan apa saja yang dikehendaki oleh Kangjeng Adipati itu, tentu dengan maksud agar kesalahanmu dampuni atau setidak-tidaknya dianggap lebih ringan”

Keringat dingin mengalir di punggung Ki Saudagar Kertaderma. Dengan suara yang patah-patah iapun berkata, “Tidak. Sama sekali tidak.”

“Sebaiknya kau diam saja, Ki Saudagar. Semakin banyak kau bicara, aku menjadi semakin muak kepadamu.”

“Baik Raden. Hamba mohon ampun”

“Sudahlah” berkata Kangjeng Adipati selanjutnya, “semua laporan kalian sudah aku terima Aku melihat kesungguhan kalian untuk mempergunakan kesempatan yang aku berikan. Nah, apakah masih ada yang akan kau persoalkan lagi, Ki Panji Wirasentika?”

“Tidak, Kangjeng Adipati. Hamba datang khusus untuk memberikan pengakuan alas kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat. Untunglah bahwa Raden Madyasta sempat lewat di Pasiraman Kulon, sehingga yang terjadi di Pasiraman Kulon itu memberikan pengalaman yang sangat berarti bagi kami, sehingga kami tidak terjerumus lebih dalam lagi kedalam kenistaan.”

“Jika demikian, maka pembicaraan kita sudah selesai.”

“Hamba Kangjeng Adipati. Perkenankanlah kami berdua mohon diri”

“Baiklah. Berhati-hatilah. Pergunakan kesempatan yang aku berikan itu sebaikbaiknya. Jangan tersesat lagi.”

“Hamba Kangjeng Adipati.”

Keduanya pun kemudian telah mohon diri meninggalkan dalem kadipaten.

Sepeninggal keduanya, Kangjeng Adipati justru tertawa. Katanya, “Ki Saudagar itu sudah sangat terbiasa dengan cara yang rendah itu, sehingga setiap kali diluar sadarnya ia selalu melakukannya”

“Aku menjadi sangal muak, ayahanda”

“Aku mengerti. Tetapi aku melihat kesungguhan di wajahnya. Ia menjadi sangat ketakutan”

“Jantungnya yang berduri itu sulit untuk dibenahi?

“Ki Panji Wirasentika akan mengajarinya”

“Atau Ki Panji sendiri yang justru terseret ke dalam lumpur itu lagi”

“Aku berharap mereka akan menjadi baik.

“Mudah-mudahan ayahanda”

“Nah, Madyasta. Kita hanya dapat menunggu dan memantau jalannya pemerintahan di Pasiraman Kulon. Tetapi seperti yang aku katakan, jangan hanya Pasiraman Kulon. Tetapi kita harus mulai mengamati kelancaran jalannya pemerintahan di tempat-tempat yang lain. Apakah persoalan sebagaimana yang terjadi di Pasiraman kulon itu juga terjadi di tempat-tempat lain”

“Hamba ayahanda”

Aku akan berbicara dengan para pejabat pemerintahan di Paranganom. Jika besok atau lusa kakang Tumenggung Wiradapa dan kakang Tumenggung Sanggayuda kembali, persoalan ini akan aku angkat dalam pembicaraan di pertemuan besar yang diselenggarakan sepekan sekali itu”

Dalam pada itu, pada saat Ki Wlradapa dan Ki Sanggayuda berada dalam perjalanan ke Kadipaten Kateguhan. Kuda-kuda mereka berlari kencang. Apalagi jika mereka berada di jalan jalan yang sepi. Di bulak-bulak panjang atau di padang-padang rumput dan padang-padang perdu. Merekapun harus melewat lorong-lorong yang melintas didekat hutan yang lebat. Sekali-sekali mere-ka harus menuruni tebing sungai yang landai. Namun merekapun harus memanjat bukit-bukit berbatu padas, menuruni lurah yang dalam sampai ke ngarai yang sangat luas.

Sekali-sekali keduanya harus berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat, Ketika terik matahari serasa membakar tubuh, keduanya telah berhenti disebuah kedai yang cukup besar. Mereka menyerahkan kuda mereka kepada seorang yang memang ditugaskan untuk merawat setiap kuda yang berhenti di kedai itu, Memberi minum, makan dan mengikatnya dibawah sebalang pohon yang rindang,

Di kedai itu keduanya mendengar pembicaraan beberapa orang yang menyatakan kegembiraan mereka, bahwa Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati Paranganom telah berhasil menumpas para penjahat. Tetapi sayang, pemimpin penjahat itu tidak dapat di tangkap.

Seorang anak muda yang bertubuh tinggi, kekar dan seorang lagi yang berbadan agak gemuk, yang duduk di belakang orang-orang yang membicarakan keberhasilan Raden Madyasta itu ikut memperhatikan pembicaraan mereka dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda yang duduk di sebelah mereka pun memperhatikan pula, meskipun tidak semata-mata.

Namun tiba-tiba saja anak muda yang bertubuh tinggi kekar itupun memotong pembicaraan orang-orang itu. Sambil berdiri, anak muda itupun berkata, “Kau bicara tentang apa? Tentang keberhasilan Madyasta menghancurkan para perampok itu? Itu semua hanya omong kosong. Saudaraku tinggal di Panjer. Kemarin saudaraku itu datang menengok keluargaku. Paman itulah yang bercerita, bahwa sesungguhnya yang berhasil menghancurkan para perampok itu adalah orang-orang Panjer sendiri”

Orang-orang yang sedang berbicara im berpaling. Namun tiba-tiba saja mereka menjadi gelisah.

“Nah, apa katamu sekarang. Kalian tidak tahu keadaan yang sesungguhnya, kalian sudah membuat kesimpulan”

Namun seorang diantara mereka yang berbicara tentang ke-berhasilan Raden Madyasla itupun berkata, “Ki Sanak. Banyak orang yang mengatakan, bahwa tanpa kehadiran Raden Madyasta yang membawa beberapa orang prajurit dan Senapati-senapati muda yang perkasa, maka Panjer akan menjadi debu jika berani melawan.

Kakakku juga tinggal di Panjer. Bahkan bukan hanya kakakku, tetapi setiap orang Panjer telah mengatakannya demikian. Dua hari yang lain, aku baru saja pergi ke Panjer. Bahkan rasa-rasanya tanah di kademangan Panjer itu masih hangat oleh pertempuran antara para brandal dengan para prajurit dibantu oleh orang-orang kademangan Itu sendiri”

“Apakah sanak kadangmu ada yang menjadi prajurit yang bahkan telah datang ke Panjer?”

“Tidak ada Ki Sanak”

“Kenapa kau memuji keberhasilan para prajurit dan Raden Madyasta itu berlebihan?”

“Aku tidak memujinya berlebihan. Aku hanya mengatakan keberhasilan mereka. Kenapa? Apa salahnya?”

“Kau memang prajurit. Mungkin kau mempunyai saudara perempuan yang kau harapkan dapat menikah dengan seorang prajurit. Tetapi ketahuilah, bahwa para prajurit termasuk Madyasta itu tidak banyak berbuat. Mereka hanya berteriak-teriak memberikan aba-aba. Sementara yang harus bertempur melawan para perampok itu adalah orang-orang Panjer sendiri”

“Kenapa kau tidak mengakui keberhasilan mereka? Kenapa kau agaknya telah membenci para prajurit?”

“Aku tidak membencinya. Aku menanggapi keberadaan mereka dengan wajar. Kaulah yang menjilat mereka, sehingga bagimu, prajurit adalah sama dengan dewa”

“Aku tidak berbicara tentang dewa. Tetapi aku hanya menceritakan keberhasilan mereka saja”

“Setan kau“ geram orang yang bertubuh tinggi kekar sambil melangkah maju mendekat, “Kau jangan membuat persoalan dengan kami berdua. Kau kenal kami berdua?”

Justru seorang yang lain diantara mereka yang membicarakan keberhasilan para prajurit itu menjawab, “Maaf Ki Sanak. Kami tidak ingin terjadi persoalan. Baiklah. Ternyata pendapat kita tentang prajurit berbeda. Jika demikian, apa salahnya kita berpijak pada sikap dan pendirian kita masing-masing.

“Tidak. Aku tidak mau perbedaan sikap ini dibiarkan begitu saja. Kau harus mengakui bahwa para prajurit Paranganom itu kerjanya tidak lebih dari berlagak dan merasa dirinya sebagai pahlawan. Padahal mereka tidak berbuat apa-apa. Segala-galanya mereka serahkan kepada rakyat sendiri untuk membuat penyelesaian tentang persoalan-persoalan yang timbul diantara mereka.”

“Baiklah. Silahkan berpendapat menurut pengalaman Ki Sanak berdasarkan hubungan dan pengamatan kalian tentang prajurit Paranganom. Kami tidak akan mencampuri pendapat kalian. Tetapi jangan campuri pula pendapat kami”

“Tidak. Kau harus mengakui kebenaran pendapat kami. Kami juga harus mengakui kebenaran keterangan saudaraku yang tinggal di Panjer tentang prajurit-prajurit Paranganom itu”

“Jangan memaksa Ki Sanak”

“Aku memang memaksa. Kalian mau apa?”

Orang-orang yang berbicara tentang keberhasilan para prajurit Paranganom itu saling berpandangan sejenak. Agaknya merekapun tidak menjadi ketakutan meskipun mereka menjadi semakin gelisah.

Namun tiba-tiba saja kedua orang anak muda itu berkata lantang, “Aku tunggu kalian di halaman”

Kedua orang anak muda itu tidak menunggu jawaban. Tetapi keduanya segera melangkah ke pintu dan turun ke halaman.

Beberapa orang yang masih duduk di dalam kedai itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka berkata, “Apakah kita akan melayani orang-orang itu?”

“Kita tidak dapat memilih. Merekalah yang menentukan, apakah kita harus melayani mereka atau tidak” jawab yang lain.

“Aku tidak pemah berkelahi” berkata seorang yang lain, “Jumlah kita lebih banyak”

Ki Tumenggung Wiradapa yang tidak mengenakan pertanda jabatannya serta pakaian keprajuritannya mendengar pembicaraan mereka itu dengan gelisah pula. Sementara itu, Ki Sanggayuda justru sudah memberi isyarat kepada Ki Tumenggung Wiradapa. Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa tidak mengerti maksud isyarat Ki Tumenggung Sanggayuda.

Ki Tumenggung Wiradapa tidak sempat bertanya karena Ki Tumenggung Sanggayuda Segera bangkit berdiri dan mendekati orang-orang yang kebingungan itu.

“Siapakah mereka?“ bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

Kami belum mengenal mereka, Ki Sanak. Tetapi nampaknya mereka adalah anak-anak muda yang tidak mempunyai pegangan dalam hidupnya. Mereka tentu bagian dari anak-anak muda yang ketinggalan dari kawan-kawannya. Kemudian mencari kebangga-an lain yang dapat membuat mereka merasa sejajar dengan kawan-kawannya itu”

“Aku setuju dengan pendapat kalian. Karena itu, jika kalian tidak berkeberatan, biarkan kami berdua bergabung dengan kalian. Kami ingin menjelaskan kepada mereka, apa yang sebenamya telah terjadi Panjer”

“Apakah Ki Sanak orang Panjer? Kenapa aku belum pernah mengenal Ki Sanak? Aku sering pergi ke Panjer ketempat saudaraku yang sudah lama tinggal di Panjer.”

“Aku bukan orang Panjer, Ki Sanak. Tetapi ketika peristiwa itu terjadi, saat prajurit Paranganom menghancurkan para perampok, aku berada di Panjer. Aku juga hanya mengunjungi salah seorang pamanku yang tinggal di Panjer”

“Silahkan, Ki Sanak. Tetapi pada dasarnya kami bukan orang yang sering berkelahi. Meskipun demikian kami juga tidak mau harga diri kami terinjak-injak”

Ki Tumenggung Wiradapa baru tahu, apa yang dimaksud oleh Ki Sanggayuda. Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa meragukan kesabaran Ki Tumenggung Sanggayuda jika ia sudah berhadapan dengan anak-anak muda yang nampaknya agak bengal itu.

Demikianlah, maka orang-orang yang telah ditantang dan ditunggu di luar kedai itu pun bangkit berdiri dan bersama-sama melangkah ke pintu. Semuanya ada lima orang. Tetapi nampaknya lima orang itu tidak akan banyak berarti bagi kedua orang anak muda yang sudah terbiasa menganggap kekerasan sebagai kawan akrab di dalam hidup mereka.

“Bagus” teriak anak muda yang agak gemuk, “Ternyata kalian berani juga keluar”

“Kami bukan orang-orang yang senang berkelahi” jawab salah seorang dari mereka.

“Pengecut. Aku tantang kalian berlima”

“Sebenarnya tidak ada persoalan apa-apa diantara kita. Karena itu, kami menganggap bahwa perkelahian adalah penyelesaian yang berlebihan”

“Aku tidak peduli. Kami akan berkelahi.”

Yang menjawab adalah Ki Tumenggung Wiradapa yang juga sudah turun dari kedai itu, “Ki Sanak. Apakah yang kalian dapatkan dengan berkelahi?”

“Persetan. Kau tidak usah ikut campur kek”

“Mereka adalah kemanakanku” berkata Ki Tumenggung Sanggayuda, “aku sudah niinta kepada mereka, agar mereka tidak usah berkelahi”

“Aku akan berkelahi. Apakah mereka akan melawan atau tidak, itu adalah urusan mereka. Tetapi kami berdua tetap akan berkelahi”

“Agaknya kaliah telah mabuk tuak.”

“Aku tidak mabuk, kau dengar”

“Anak-anak muda“ berkata Ki Tumenggung Sanggayuda, “Aku hanya ingin menjelaskan apa yang telah terjadi di Panjer”

“Pergi. Pergi kalian atau kalian juga akan mengalami perlakuan buruk.”

“Aku ulang sekali lagi. Mereka adalah kemanakanku. Jika aku harus pergi, aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku akan membawa mereka pergi.”

“Bohong. Kau bohong. Aku melihat saat orang-orang cengeng itu datang dan memasuki kedai ini. Aku melihat kalian berdua datang. Kalian sama sekali tidak menyapa kelima orang pengecut itu. Tiba-tiba saja kau mengaku, bahwa mereka adalah kemanakanmu.”

Ki Tumenggung Sanggayuda tersenyum. Katanya, “Ternyata kau cerdas juga menangkap suasana. Baiklah. Mereka memang bukan kemanakanku. Tetapi sebaiknya kalian tidak berkelahi. Kami berdua adalah prajurit Paranganom. Kami tidak merasa sakit hati, meskipun kau tidak senang dan bahkan mencerca prajurit Paranganom. Namun adalah kewajibanku untuk mencegah perkelahian. Apalagi perkelahian tanpa sebab yang jelas seperti apa yang akan kalian lakukan.”

“Kalian tentu berbohong lagi. Kalian berdua tentu bukan prajurit. Seandainya benar bahwa kalian adalah prajurit, maka jangan ikut campur.”

Dengarkan kata-kataku. Bukankah persoalannya sekedar perbedaan pendapat tentang keberhasilan prajurit Paranganom memberantas sekelompok brandal di Panjer? Sudahlah. Jangan dipertajam. Kalau kau menganggap bahwa justru orang-orang Panjer sendiri yang telah berhasil menghancurkan gerombolan itu, silahkan. Karena pendapat itu tidak salah. Rakyat Panjer memang telah berjuang untuk menghancurkan gerombolan perampok itu. Jika orang lain berpendapat, bahwa prajurit Paranganom yang telah berhasil mengalahkan para perampok itupun benar pula, karena para prajurit Paranganom telah terlibat dalam pertempuran itu.”

“Tetapi Madyasta telah mengambil keuntungan dari peristiwa itu. Ia mengaku bahwa dirinyalah yang telah berhasil menghancurkan segerombolan perampok itu”

“Kalau kalian tidak mengakuinya, tidak apa-apa Jangan menjadi masalah yang dapat menyeret kalian kedalam perkelahian yang tidak berarti.”

“Masalahnya bukan sekedar Madyasta mengaku menjadi pahlawan di Panjer. Tetapi ia sudah melakukan kesalahan terbesar yang tidak dapat dimaafkan.”

“Kesalahan apa, Ki Sanak?”

“Sebenarnya apa yang aku ketahui tentang Panjer bukan sekedar ceritera saudaraku yang menengok keluarga. Tetapi aku sendiri menyaksikannya. Aku adalah kemanakan Demang Panjer.”

“Apakah Ki Demang yang mengatakan bahwa para prajurit Paranganom tidak berarti apa-apa pada saat benturan kekerasan melawan para brandal itu terjadi?”

“Paman Demang Panjer adalah orang yang tamak. Sebelumnya ia tidak pernah mempersoalkan hubunganku dengan anak perempuannya. Rara Menur. Tetapi setelah Madyasta berada di rumahnya, maka aku seakan-akan telah tersisih. Perhatian Rara Menur lebih banyak tertuju kepada Raden Madyasta, karena ia anak seorang Adipati. Meskipun demikian, aku tidak takut berhadapan dengan Raden Madyasta. Aku justru ingin menantangnya dalam perang tanding yang adil.”

Jangan kehilangan akal, Ki Sanak. Apakah kau yakin bahwa hubungan antara Raden Madyasta dengan anak Demang Panjer Itu bersungguh-sungguh”

“Ia sudah merampas hari depanku yang manis. Madyasta telah mengoyak mimpi-mimpiku yang indah. Rara Menur benar-benar telah memalingkan wajahnya dan bahkan menganggap bahwa aku tidak lebih dari sampah yang harus dibakar.”

“Tenanglah, anak muda. Raden Madyasta sekarang sudah berada di rumahnya, dalem Kadipaten Paranganom.”

“Dengan meninggalkan racun di jantung Rara Menur, Ki Sanak. Kemarin aku berada di Panjer. Rara Menur memalingkan wajahnya jika ia bertemu dengan aku. Padahal sebelumnya, Menur selalu menerima kedatanganku dengan akrab”

Ki Tumenggung Sanggayuda menarik nafas panjang. Sementara Ki Tumenggung Wiradapa pun berkata, “Anak muda. Biarlah aku menyampaikannya kepada Raden Madyasta.”

“Bagus. Kau kira aku akan menjadi ketakutan? Aku tantang ia berperang tanding sampai mati”

“Bukan begitu. Jika aku menyampaikannya kepada Raden Madyasta, mungkin Raden Madyasta akan dapat memilih jalan terbaik. Tanpa perang tanding, apalagi sampai mati”

“Aku adalah laki-laki seperti Madyasta pula”

“Tentu. Kau adalah laki-laki yang gagah berani Tetapi perkelahian tidak selalu dapat menyelesaikan masalah.”

“Sekarang bersiaplah. Aku tidak mau berbicara terlalu panjang.”

“Bersikap untuk apa?”

“Berkelahi. Aku benci kepada Madyasta. Aku benci kepada semua prajurit Paranganom. Karena disini tidak ada Madyasta, maka kau akan menjadi sasaran. Jika kau nanti terluka parah, maka biarlah Madyasta, marah dan datang mencari aku.”

“Jangan begitu anak muda. Nalarmu terlalu pendek, sehingga kesimpulan yang kau ambilpun tidak tepat.”

“Aku tidak peduli. Nalarku memang pendek. Bersiaplah. Cepat, Sebelum aku mulai”

“Sadari keadaanmu. Sadari pula ketentuan yang berlaku. Siapa yang melawan petugas akan mendapat hukuman yang berat”

“Jangan menakut-nakuti terus-menerus. Aku tidak percaya kalau kalian adalah prajurit. Orang-orang tua yang tidak tahu diri. Aku akan menghitung sampai sepuluh. Aku akan langsung menyerang”

“Ki Tumenggung Sanggayuda lah yang kemudian melangkah kedepan sambil berkata, “Sabar anak muda. Bersabarlah sedikit.”

Tetapi anak muda itu justru sudah mulai menghitung, “Satu, dua, tiga…”

“Tunggu anak muda”

Anak muda itu tidak mempedulikan lagi. Ia menghitung terus, ”Ampat, lima.”

Kelima orang yang semula berselisih dengan kedua orang anak muda itu pun menjadi tegang. Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa mendekati mereka sambil berdesis, “Jangan ikut campur, agar kedua orang anak muda itu tidak mendendam kepada kalian. Dendamnya akan dapat menumbuhkan sikap yang aneh-aneh”

Sementara itu anak muda itu masih menghitung terus.....

Tepat pada hitungan kesepuluh, anak muda itupun telah meloncat menyerang Ki Tumenggung Sanggayuda.

Namun Ki Tumenggung Sanggayuda telah bersikap menghadapinya. Ketika anak muda itu mengayunkan tangannya mengarah ke wajah Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung itu pun telah beringsut setapak sambil memaling wajahnya.

Oleh gerakan yang sederhana itu, anak muda itupun telah kehilangan sasaran. Tangannya sama sekali tidak menyentuh kulit Ki Tumenggung Sanggayuda.

Anak muda itu pun kemudian menggeram. Kakinyalah yang kemudian menyambar ke arah dada. Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung Sanggayuda beringsut, sehingga serangan anak muda itupun tidak mengenainya.

“Sudahlah“ berkata Ki Tumenggung Sanggayuda, “jangan membuang-buang waktu”

Tetapi anak muda itu tidak mendengarkannya. Bahkan anak muda itu pun berteriak kepada kawannya, “Kita buat orang yang mengaku prajurit ini menjadi jera”

Kawannya yang agak gemuk itupun mulai bergerak mendekati lingkaran perkelahian.

Kelima orang yang semula berselisih dengan kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Ia tidak melihat seorang yang lain dari kedua orang yang mengaku prajurit itu bersiap-siap untuk membantu kawannya.

Sebenarnyalah maka sejenak kemudian, anak muda yang agak gemuk itu pun telah melibatkan diri. Bersama-sama dengan anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu, mereka berkelahi melawan Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Kalian adalah anak-anak yang nakal“ berkata Ki Tumenggung Sanggayuda sambil meloncat mengambil jarak. ”Aku peringatkan sekali lagi, hentikan sikap kalian yang kalian landasi dengan penalaran yang pendek itu. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa kalian berhadapan dengan prajurit Paranganom. Karena itu, jangan melawan.”

Ki Tumenggung Sanggayuda kemudian menyingkapkan baju untuk menunjukkan timang ikat pinggangnya, pertanda keprajuritannya yang semula tertutup ujung bajunya yang, panjang

“Bohong. Kau mau berbohong lagi“ bentak anak muda yang bertubuh tinggi dan besar. Katanya selanjutnya, “Semula orang-orang itu kau aku sebagai kemanakanmu. Ternyata kau bohong. Kemudian kau mengaku prajurit. Itu pun bohong pula. Sedangkan timang pertanda keprajuritan itu dapat kau curi dimana-mana”

“Jangan begitu anak muda. Aku sudah memperingatkanmu beberapa kali.”

Kau tidak usah memeringatkan aku. Aku akan mematahkan kaki dan tanganmu. Kemudian aku akan mengirimmu kepada Madyasta, anak Adipati Prangkusuma yang telah merebut perawan Panjer dari sisiku”

Ki Tumenggung Sanggayuda bukan orang yang sabar. Ketika wajahnya menjadi merah, Ki Tumenggung Wiradapa pun sempat berbisik, ”Adi. Kau berhadapan dengan anak anak yang sedang merengek karena kehilangan mainan yang disenanginya”

Ki Tumenggung Sanggayuda menarik nafas dalam-dalam. Namun darahnya yang sudah naik sampai ke kening, agaknya telah mereda kembali. Dengan demikian, maka iapun sempat mengatur perasaannya sehingga Ki Tumenggung itu dapat mengendalikan dirinya.

Dalam pada itu, kedua anak muda itulah yang tidak dapat mengendalikan diri mereka lagi. Bersama-sama mereka berloncatan menyerang Ki Tumenggung Sanggayuda.

Namun perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ki Tumenggung Sanggayuda yang memiliki pengalaman yang panjang dalam dunia kanuragan, telah berhasil menyentuh beberapa simpul syaraf kedua orang anak muda itu. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, ketika tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi sangat lemah. Bahkan rasa-rasanya untuk berdiri tegak, mereka sudah tidak mampu lagi.

Ki Tumenggung Sanggayuda dan Ki Tumenggung Wiradapapun kemudian membantu kedua orang anak muda itu, memapah mereka dan meletakkan mereka duduk di sebuah dingklik panjang di depan kedai itu bersandar dinding.

“Nah, bukankah kita menjadi tontonan banyak orang?“ desis Ki Tumenggung Sanggayuda.

Kedua anak muda itu sudah tidak berdaya lagi. Bahkan rasa-rasanya mata mereka pun selalu akan terpejam.

Kepada kelima orang yang hampir saja dipaksa untuk berkelahi itu, Ki Tumenggung Wiradapa pun berkata, “Pergilah. Bayar harga makanan dan minuman yang kalian ambil, lalu tinggalkan kedai ini selagi keduanya tidak sepenuhnya sadar apa yang telah terjadi”

Kelima orang itupun mengangguk sambil berkata, “Terima kasih, Ki Sanak”

“Biarlah aku mengurus anak-anak itu”

Kelima orang itupun kemudian menemui pemilik kedai yang menjadi gemetar. Membayar makanan dan minuman mereka. Kemudian merekapun pergi meninggalkan kedai itu. Bahkan beberapa orang lain yang berada di kedai itu pun telah pergi pula setelah membayar harga makanan dan minuman yang mereka ambil. Bahkan ada diantara mereka yang sebenamya masih belum selesai.

Beberapa saat kemudian, kedai itu menjadi lengang. Tetapi masih saja ada yang berdiri agak di kejauhan untuk melihat apa yang terjadi dengan anak-anak muda yang seperti telah terbius itu.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun duduk pula di amben bambu panjang di depan kedai itu pula. Untuk beberapa saat mereka tidak berbuat apa-apa selain memandang berkeliling. Melihat orang-orang yang masih berdiri dalam kelompok-kelompok kecil agak jauh dari kedai itu.

“Perjalanan kita telah terhambat“ berkata ki Tumenggung Wiradapa

“Kita tidak dapat membiarkan mereka berkelahi dengan orang-orang yang tidak terbiasa melakukannya.”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis, “Tetapi apakah benar bahwa Raden Madyasta telah berhubungan dengan anak gadis Ki Demang di Panjer?”

Kita masih belum tahu apa yang terjadi sebenarnya kakang. Tetapi jika itu benar, tentu akan menjadi masalah bagi Kangjeng Adipati. Apakah Kangjeng Adipati akan membiarkan puteranya yang kelak akan menggantikannya berhubungan dengan seorang gadis anak seorang Demang?”

“Kita tidak akan dapat ikut campur” desis Ki Tumenggung Wiradapa.

“Kecuali jika Kangjeng Adipati minta pertimbangan kita”

“Ya. Dan itu adalah mungkin sekali”

“Aku juga seorang yang berasal dari padesan. Bahkan sebuah desa kecil di dekat hutan yang lebat. Aku merangkak dari lataran yang paling bawah”

“Adi Tumenggung memang sering merendahkan diri. Adi Tumenggung adalah murid utama dari sebuah padepokan yang mempunyai nama yang baik di Tegallangkap”

“Aku memang murid dari perguruan Sela Tangkep. Aku dapat memasuki padepokan itu, karena kebetulan aku diketemukan oleh seorang Putut yang berpengaruh di perguruan Sela Tangkep. Kebetulan saja kakang”

“Itu adalah pintu yang dibukakan oleh Yang Maha Agung bagi adi Tumenggung”

“Ya Waktu itu aku hampir mati kedinginan. Aku tidak berani pulang, karena aku diancam oleh ayah tiriku. Agaknya ancamannya itu bersungguh-sungguh. Adalah kebetulan, ketika tubuhku sudah tidak berdaya, menggigil dan bahkan rasa-rasanya tidak dapat lagi untuk bangkit dan mencari periindungan dari kejamnya udara dingin, Putut itu lewat”

“Bersyukurlah”

“Aku memang bersyukur bahwa umurku pun masih berkepanjangan sampai sekarang. Semoga aku diberiNya panjang umur”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk.

Sementara itu, kedua orang anak muda yang masih duduk disamping kedua orang Tumenggung itu sambil bersandar dinding, bahkan telah tertidur. Namun Ki Tumenggung Wiradapapun kemudian berkata, “Marilah kita melanjutkan perjalanan kita yang masih jauh ini”.

“Mari, kakang. Biarlah aku membangunkan anak-anak ini lebih dahulu. Kelima orang yang ditantangnya itu tentu sudah menjadi semakin jauh. Mudah-mudahan anak-anak ini tidak mendendam mereka berlima”

“Kedua orang anak muda ini mengetahui bahwa kitalah yang telah menjinakkan mereka”

Ki Tumenggung Sanggayuda pun mengangguk-angguk

Sejenak Ki Tumenggung Sanggayuda memandang berkeliling. Orang-orang yang menonton peristiwa yang menarik perhatian itu sudah banyak yang pergi. Hanya tinggal satu dua orang saja yang bertahan untuk melihat, apa yang akan terjadi kemudian dengan kedua orang anak muda itu.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Sanggayudapun segera bangkit berdiri dan melangkah mendekati kedua orang anak muda yang tertidur itu.

Ki Tumenggung Sanggayuda kemudian meraba pangkal leher kedua orang anak muda itu berganti-ganti.

Sesaat kemudian, maka kedua orang anak muda itu pun segera terbangun. Dengan sigapnya mereka meloncat turun dari amben bambu yang panjang. Namun mereka pun kemudian berdiri termangu-mangu melihat kedua orang yang mengaku prajurit itu duduk dengan tenangnya di amben panjang, di depan kedai.

“Pulanglah. Dimana rumahmu?” bertanya Ki Tumenggung Wiradapa

“Apakah yang terjadi7

“Kalian berdua tidur dengan nyenyak bersandar dinding” Orang yang bertubuh tinggi besar itupun berkata, “Aku harus mengakui keunggulan kalian. Kalian tentu sudah menyentuh simpul-simpul syarafku sehingga aku tertidur. Tetapi lain kali kalian tidak akan berhasil. Kau berhasil hanya karena kelengahanku saja”

“Aku tadi sudah berpikir, apakah kedua orang anak muda ini dibunuh saja disini. Tidak akan ada masalah. Kami adalah pra-jurit-prajurit dalam tugas, sehingga tindakan kami akan terlindung oleh hak dan wewenang kami di bawah saksi mata yang cukup banyak dan meyakinkan Kami memang menyesal, kenapa kan tidak melakukannya. Kami mengira bahwa masih ada jantung yang baik didadamu. Tetapi ternyata dadamu berisi bulu-bulu serigala yang jahat. Tetapi kami berdua belum terlambat Jika kalia masih ingin mencoba kemampuan kami, prajurit Paranganom silahkan. Jangan menjadi lengah lagi. Tetapi kali ini kami akan berbuat sesuai dengan kedudukan kami. Jika kami merasa perlu, kalian akan mati disini”

Anak-anak muda itu memang menjadi ragu-ragu. Sementara itu, Ki Tumenggung Wiradapapun berkata, “Apa yang aku lakukan, adalah bagian kecil dari apa yang mungkin dilakukan oleh Raden Madyasta. Tetapi aku tidak bermaksud bahwa Raden Madyasta dapat berbuat sekehendak hatinya. Kami akan bertemu dan berbicara dengan ki Demang di Panjer. Jika Raden Madyasta memang merebut perawan Panjer yang sebelumnya sudah dipertunangkan dengan kau, atau setidak-tidaknya anak perempuan Ki Demang itu sudah menyatakan kesediaan menerima kau yang kelak akan menjadi suaminya, maka kami akan melaporkan kepada Kangjeng Adipati.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Namun kemudian berkata lantang, “Itu tidak perlu”

“Kenapa. Tentu perlu sekali. Meskipun ia anak seorang Adipati, tetapi jika ia merebut milik orang lain, maka itu harus dicegah”

“Persetan dengan Madyasta” geram anak muda itu. namun kemudian ia pun memberi isyarat kepada kawannya untuk meninggalkan tempat itu.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun sepakat untuk melanjutkan perjalanan.

Keduanya pun segera minta diri kepada pemilik kedai setelah mereka membayar harga makanan yang mereka pesan.

“Terima kasih, Ki Sanak. Tidak usah. Kalian juga tidak sempat menikmati makanan dan minuman kami sebaik-baiknya”

Tetapi Ki Tumenggimg Waradapa meninggalkan uang sambil berkata, “Mungkin pada kesempatan lain aku akan singgah lagi di kedaimu.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah melanjutkan perjalan mereka. Kepada orang yang memberi makan dan minum serta merawat kuda mereka selama mereka berada di kedai itu, Ki Tumenggung Wiradapa juga memberinya uang sekedarnya.

Di perjalanan keduanya masih berbicara tentang Raden Madyasta yang hatinya telah tersangkut di Panjer. Dengan nada datar Ki Tumenggung Wiradapapun berkata, “Jika benar kata anak muda itu, maka persoalan yang menyangkut Raden Madyasta itu akan menjadi persoalan yang bersungguh-sungguh bagi Kangjeng Adipati.”

“Apakah kita akan melaporkannya kepada Kangjeng Adipati sebelum hubungan mereka terlanjur mendalam?”

“Nanti dulu, adi. Bukankah kita baru mendengar dari anak muda yang mabuk itu.“

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, kakang. Kita memang tidak seharusnya terlalu mencampuri persoalan yang terjadi pada keluarga Kangjeng Adipati.”

“Soalnya adalah karena Raden Madyasta kelak akan menggantikan kedudukan Kangjeng Adipati yang sudah menjadi semakin tua itu, sehingga dengan demikian, masalahnya bukan semata-mata masalah pribadi Kangjeng Adipati. Tetapi masalahnya akan menjadi masalah kaprajan.”

“Kecuali jika Kangjeng Adipati sendiri mengijinkan.”

“Ya. Mungkin kita sudah mencemaskan persoalan yang akan diangkat menjadi masalah kaprajan, temyata Kangjeng Adipati menganggap bahwa hal itu bukan masalah.”

Kedua orang Tumenggung itupun tertawa.

Demikianlah kuda-kuda itupun berlari semakin kencang. Mereka telah memilih jalan pintas untuk mencapai Kateguhan lebih cepat. Mereka melintasi jalan-jalan kecil dan lorong-lorong sempit Kadang-kadang mereka harus memanjat bukit-bukit kecil berbatu padas. Bahkan mereka juga melintas bukit kapur yang keputih-putihan. Bukit yang sedikit sekali ditumbuhi perpohonan.

Meskipun demikian, meskipun mereka sudah melintasi jalan pintas serta melarikan kuda mereka seperti anak panah, namun perjalanan mereka memang perjalanan yang panjang. Setiap kali, jika kuda-kuda mereka menjadi letih, maka mereka harus beristirahat.

Ketika senja turun, mereka baru memasuki jalan yang lebih besar, yang langsung menuju kepintu gerbang kota yang menjadi pusat pemerintahan bagi Kadipaten Keteguhan.

“Jika kita tidak mengambil jalan pintas, maka kita akan melewati jalan panjang ini. Jalan yang lebih baik dari jalan yang kita lewati” berkata Ki Tumenggung Sanggayuda

“Ya Tetapi jaraknya jauh lebih panjang dari jalan yang kita tempuh” jawab Ki Tumenggung Wiradapa

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk kecil. Kuda mereka berlari terus menuju ke pintu gerbang kota.

Ketika malam turun, keduanya masih berada di punggung kuda mereka. Jika mereka melewati sebuah padukuhan, maka lampu minyak sudah dinyalakan. Berkas-berkas sinarnya mencuat keluar lewat pintu-pintu yang belum tertutup rapat. Sementara satu dua oncor telah dipasang di regol-regol halaman rumah yang terhitung besar dan halaman luas milik orang-orang berada.

“Tidak banyak perbedaan antara Kateguhan dan Paranganom” berkata Ki Tumenggung Wiradapa.

“Ya. Bahkan kita tidak akan dapat menyebut perbedaan itu”

“Semula kedua Kadipaten ini diperintah oleh dua orang bersaudara, sehingga banyak hal nampak bersamaan”

Malam pun menjadi semakin dalam. Di bulak-bulak panjang mereka melihat tanaman padi yang subur sehagaimana tanan padi di Paranganom. Paritpun mengalir gemericik berseling dengan suara angin yang menguncang dedaunan.

Ki Rangga Wiradapa pun menengadahkan wajahnya Ternyata langit bersih. Bintang-bintang nampak gemerlapan.

“Angin yang kering” desis Ki Tumenggung Sanggayuda

“Ya. Nampaknya malam akan terasa hangat”

Keduanya memperlambat kuda mereka ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang terhitung besar. Dua buah oncor jarak menyala di gerbang padukuhan.

Di saat mereka memasuki padukuhan itu, suasananya terasa sepi. Dilangit memang tidak ada bulan, sehingga tidak ada anak-anak yang keluar yang bermain di halaman

Ketika mereka melewati sebuah gardu, temyata di gardu itu sudah ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk sambil berbincang.

Derap kaki kuda kedua orang Tumenggung dari Paranganom itu telah menarik perhatian orang-orang yang duduk di gardu itu. Demikian kedua orang penunggang kuda itu mendekat, maka mereka pun serentak meloneat turun dari gardu.

Seorang diantara mereka pun melangkah maju sambil mengangkat tangannya.

“Berhentilah, Ki Sanak” berkata orang itu.

Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda pun menghentikan kudanya.

“Kami orang-orang Paranganom Ki Sanak. Kami akan pergi ke Kateguhan”

Orang itu mengerutkan dahinya Sambil mengangkat wajahnya orang itu pun berkata, “Untuk apa orang Paranganom pergi ke Kateguhan?”

Kami ingin menengok saudara kami yang tinggal di Kateguhan Sudah agak lama kami tidak bertemu.”

Kenapa bukan saudaramu saja yang pergi ke Paranganom. Bukankah orang Paranganom merasa kakinya kotor dan gatal jika tersentuh tanah di Kateguhan?”

Kedua orang Tumenggung im terkejut. Hampir diluar sadarnya, Ki Tumenggung Sanggayudapun berkata, “Apa maksudmu, Ki Sanak?”

“Apakah pantas orang-orang Paranganom pergi ke Kateguhan? Bukankah orang-orang Paranganom merasa derajadnya lebih tinggi dari orang-orang Kateguhan?”

“Siapakah yang mengatakan seperti itu, Ki Sanak. Serta sejak kapan ada perasaan semacam im tumbuh di hati orang-orang Kateguhan”

“Bertanyalah kepada dirimu sendiri, Ki sanak. Sejak kapan kalian merasa bahwa kedudukan kalian lebih tinggi dari orang-orang Kateguhan?”

Ki Tumenggung Wiradapa menjawab dengan hati-hati, “Ki Sanak di Kateguhan. Kami, orang-orang Paranganom tidak pernah merasa bahwa kedudukan kami lebih tinggi dari siapapun juga. Bukan saja dari saudara-saudara kami di Kateguhan. Tetapi juga dari Kadipaten-kadipaten yang lain di Tegallangkap. Bahkan dengan rakyat diluar Tegallangkap sekalipun.”

Itu yang kau katakan sekarang, karena kau menjadi ketakutan berhadapan dengan kami.”

“Baik. Baik. Kami memang ketakutan. Tetapi tidak dalam ketakutan pun kami tidak pernah merasa lebih dari saudara-saudara kami.”

“Lewatlah. Ternyata bahwa orang-orang Paranganom adalah orang-orang yang berjiwa kerdil. Mereka hanya berani menyombongkan dirinya di kandang sendiri. Di Kateguhan mereka merasa diri mereka lebih kecil dari biji telasih.”

“Ki Sanak“ berkata Ki Tumenggung Sanggayuda, “kami tidak pernah merasa lebih besar dari siapapun. Tetapi kamipun tidak pernah merasa lebih kecil dari siapapun. Di hadapan Sang Pencipta, kami semua sederajad.”

Seorang yang berambut ubanan tiba tiba saja tertawa. Katanya, “Kalian memang licik, Dalam keadaan yang gawat kalian berusaha untuk menyelamatkan diri sekaligus menyelamatkan nama baik kalian. Tetapi ketahuilah, bahwa ternyata orang orang Paranganom adalah orang-orang yang tidak berharga di mata kami.”

Ki Tumenggung Wiradapa pun menggamit Ki Tumenggung Sanggayuda yang darahnya mulai menjadi panas. Kemudian Ki Tumenggung Wiradapa itupun berkata, “Baik, Ki Sanak. Persoalan ini akan aku bawa kepada Kangjeng Adipati di Kateguhan agar diketahui bahwa ada perasaan bermusuhan dari rakyat Keteguhan terhadap rakyat Paranganom. Tetapi itu bukan salah kalian. Tentu ada orang yang telah meracuni jiwa kalian, sehingga rasa permusuhan itu timbul. Tetapi ketahuilah, bahwa perasaan seperti yang kalian katakan itu, tidak ada sama sekali di hati kami. Di hati orang-orang Paranganom.”

Orang-orang Kateguhan itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Tumenggung Wiradapa berkata selanjutnya, “Kateguhan dan Paranganom pernah diperintah oleh dua orang bersaudara, sebelum Kangjeng Adipati Prawirayuda wafat, dan kemudian digantikan oleh puteranya Kengjeng Adipati Yudapati sekarang ini. Bagaimana mungkin kami, orang-orang Paranganom merasa lebih tinggi derajadnya dari orang-orang Kateguhan. Bahkan Kateguhan menurut abu dari pimpinan pemerintahannya lebih tua dari Paranganom.”

“Lewatlah” berkata orang berambut ubanan, “mumpung aku menganggap kata-katamu itu nalar. Tetapi mungkin pendapatku berubah, sehingga akan dapat menyulitkanmu.”

“Terima kasih, Ki Sanak.”

Kedua orang Paranganom itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Pintu gerbang kota sudah berada dihadapan hidung mereka. Namun malam pun menjadi semakin dalam.

Wayah sepi uwong mereka memasuki pintu gerbang. Jalan-jalan sudah sepi. Sebuah gardu berada beberapa langkah dari pintu gerbang. Beberapa orang prajurit berada di gardu itu. Ada yang duduk terkantuk-kantuk. Tetapi ada yang masih tetap segar mengawasi jalan yang melintasi pintu gerbang itu.

Seorang prajurit yang bertugas berdiri dibelakang pintu gerbang itu menghentikan Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Siapakah kalian Ki Sanak?” berkata prajurit itu.

Kepada para prajurit kedua orang Tumenggung itu berkata terus-terang. Ki Wiradapa lah yang menjawab setelah turun dari kudanya, “Aku Tumenggung Wiradapa dari Paranganom. Sedangkan kawanku ini adalah Tumenggung Sanggayuda. Kami mendapat tugas untuk menghadap Kangjeng Adipati Yudapati.”

“Sekarang?”

“Tentu tidak. Kami akan bermalam di rumah saudaraku yang tinggal di Kateguhan.”

Pemimpin sekelompok prajurit yang mendengar pembicaraan itu pun bangkit berdiri dan berjalan mendekat.

“Untuk apa Ki Tumenggung berdua menghadap Kangjeng Adipati di Kateguhan?“

“Ada sedikit persolan yang harus kami sampaikan, Ki Sanak.”

”Aku Lurah prajurit. Namaku Prasanta.”

“Ki Lurah Prasanta.”

“Ya, Ki Sanak. Apakah kedatangan Ki Tumenggung berdua menghadap Kangjeng Adipati diperintahkan untuk membawa surat penantang?”

“Maksud Ki Lurah?”

“Apakah Pranganom menantang Kateguhan untuk berperang?”

“Aku tidak mengerti maksud Ki Sanak. Bagaimana mungkin kami menantang perang. Bukankah baik Paranganom maupun Kateguhan itu termasuk wilayah Tegallangkap? Apakah salah satu diantara kami berani menantang perang terhadap tetangga kami? Bahkan saudara kami. Dengan demikian, maka siapapun yang memulainya berarti menantang kekuasaan Kangjeng Sultan di Tegallangkap”

Ki Lurah Prasanta itu tertawa. Katanya, “Ki Tumenggung masih menghargai hubungan kadang antara Kateguhan dan Paranganom.”

“Kenapa tidak? Sudah aku katakan, bahwa kita berada dalam satu ruang lingkup kekuasaan Tegallangkap.”

“Bagus. Masih ada juga orang Paranganom yang menyadari keberadaannya di tempat yang sewajarnya.”

“Ki Lurah“ berkata Ki Sanggayuda kemudian, “aku tidak mengerti, kenapa orang-orang Kateguhan bersikap bermusuhan dengan orang-orang Paranganom. Apa salah kami menurut pendapat Ki Sanak. Jika Ki Sanak bersedia memberitahukan kepada kami, mungkin kami akan dapat berubah sikap.”

“Sudahlah. Jangan berpura-pura. Bagi kami, Ki Tumenggung berdua orang diantara sedikit orang yang menyadari keberadaan dua kadipaten yang masih berada di dalam bingkai bersaudaraan. Silahkan berjalan terus”

Ki Wiradapa lah yang menyahut, “Terima kasih. Ki Lurah. Kami akan menghadap Kangjeng Adipati esok pagi, agar kami tidak melanggar tatanan.”

Demikian Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda lewat, maka Lurah praju itupun berkata, “Masih ada juga orang-orang Paranganom yang menghormati hubungan antara Paranganom dan Kateguhan.”

“Karena mereka berada di Kateguhan. Jika kami yang berdiri di gerbang kota Paranganom mungkin sikap mereka akan berubah.”

“Mungkin. Tetapi aku merasakan kesungguh kata-kata mereka berdua.”

Namun tiba-tiba seorang prajurit bertanya, “Ki Lurah. Kenapa tiba-tiba saja kita membenci orang-orang Paranganom? Isteriku berasal dari Paranganom. Anakku adalah keturunan Kateguhan separo dan keturunan Paranganom separo. Jika Paranganom dan Kateguhan harus bermusuhan, maka anakku akan bermusuhan dengan dirinya sendiri”

“Bodoh kau. Anakmu harus memilih. Menjadi orang Paranganom sepenuhnya atau menjadi orang Kateguhan yang bulat”

“Tetapi apa sebab sebenarnya, bahwa kita harus memusuhi Paranganom? Bukankah Paranganom tidak pernah berbuat apa-apa?”

Ki Lurah Prasanta memang menjadi bingung. Ia tidak tahu, apakah jawab yang harus diucapkan. Tetapi beberapa orang pemimpin di Kateguhan memang bersikap kurang ramah terhadap orang-orang Paranganom.

“Jika aku tahu alasannya yang masuk di akalku, maka aku akan menceraikan isteriku dan membuat anakku menjadi orang Kateguhan yang bulat”

“Jangan“ berkata Ki Lurah Prasanta, “jangan ceraikan isterimu meskipun ada alasan yang masuk di akalmu bahwa Kateguhan harus memusuhi Paranganom.”

“Jika demikian, apakah Kangjeng Sultan di Tegallangkap akan berdiam diri saja jika terjadi permusuhan antara dua kadipaten yang termasuk wilayahnya?”

“Itu urusan Kangjeng Sultan. Aku tidak tahu. Sekarang aku akan beristirahat di gardu”

Ki Lurah Prasanta tidak menunggu jawaban prajuritnya. Ia pun kemudian telah melangkah ke gardu kembali. Duduk diantara para prajurit yang bertugas. Yang kemudian duduk pula adalah prajurit yang isterinya orang Paranganom itu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda telah mendekati regol halaman rumah seorang panian dari Ki Tumenggung Wiradapa yang kebetulan tinggal di Kateguhan.

“Ada nada permusuhan di mulut orang-orang Kateguhan” berkata Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Ya. Itu terasa sekali sejak kita dihentikan oleh orang-orang yang duduk di gardu itu. Bahkan mungkin sebelumnya”

“Ada apa sebenarnya dengan orang-orang Kateguhan”

“Nanti aku akan dapat bericara dengan paman. Mudah-mudahan paman masih belum pikun. Aku sudah agak lama tidak singgah”

Sejenak kemudian, kedua orang Tumenggung itu su¬dah berada di depan regol halaman rumah yang tidak terlalu luas. Nampak sederhana tetapi terpelihara rapi.

“Inilah rumah pamanku itu. Mudah-mudahan ingatan paman yang sudah tua itu masih tetap terang, sehingga dapat memberikan beberapa keterangan”

“Apakah tidak ada orang lain di rumah itu?”

“Masih ada seorang anak perempuan dan menantunya di rumah paman. Yang lain sudah berumah tangga dan tinggal di rumah mereka masing-masing”

“Berapa anaknya semua?”

“Dua belas”

“Dua belas?”

“Ya”

“Dari seorang ibu?”

“Ya”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Bibi kakang seorang yang subur. Ia dapat memberikan duabelas orang anak kepada suaminya”

“Menyenangkan jika mereka berkumpul. Tetapi sebelumnya, paman dan bibi hampir menjadi putus asa untuk mendapatkan sumber penghasilan. Sawahnya tidak seberapa banyak. Sementara itu kebutuhannya setiap had menjadi meningkat semakin tinggi”

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Anakku juga banyak, kakang”.

“Berapa anakmu? Bukankah anakmu hanya lima? Kau seorang Tumenggung. Kau tidak akan niengalami kesulitan menghidupi isteri dan lima orang anak.”

“Aku memang tidak kesulitan memberi mereka makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Tetapi aku mengalami kesulitan mengurus mereka. Mengendalikan mereka dan mengarahkan hidup mereka”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah. Mudah-mudahan kedatangan kita tidak mengejutkannya”

“Aku juga mempunyai kadang disini, kakang. Jika perlu, kita dapat pergi kesana”

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk sambil menjawab, “Baik adi Tumenggung. Tetapi agaknya disinipun tidak akan ada masalah”

Sejenak kemudian maka Ki Tumenggung Wiradapa itu pun mengetuk pintu pringgitan rumah pamannya yung sudah tertutup rapat. Tetapi menilik lampu yang menyala di ruang dalam, yang sinarnya nampak dari celah-celah gebyok kayu, rumah itu tidak sedang kosong.

Sebenarnyalah sejenak kemudian terdengar suara dari dalam, “Siapa diluar?”

Ki Tumenggung Wiradapa mengenali suara Itu. Suara pamannya. Karena itu dengan serta-merta lapun menjawab, “Aku paman. Wiradapa”

“Wiradapa?”

“Ya, paman”

“Wiradapa dari Paranganom?”

“Ya, paman.”

Terdengar langkah kaki berdesir menuju ke pintu. Sementara itu terdengar suara yang lain, suara seorang perempuan, “Siapa yang di luar kang?”

“Anakmu, Wiradapa”

“Wiradapa? Benar Wiradapa?”

“Ya. Aku tidak melupakan suaranya”

Sejenak kemudian, selarak pintu pun telah diangkat. Demikian pintu terbuka, maka Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda melihat seorang laki-laki tua dan seorang perempuan tua berdiri di depan pintu.

“Wiradapa. Marilah, ngger. Marilah masuk”

“Aku datang bersama seorang kawanku, paman”

“Kawanmu?”

“Ya. Ki Tumenggung Sanggayuda”

“Seorang Tumenggung? Marilah Ki Tumenggung, marilah. Silahkan duduk. Tetapi maaf Ki Tumenggung. Rumahku kotor dan barangkali terlalu sempit dan pengap”

“Biarlah kami duduk di pringgitan saja paman”

“Jangan. Malam-malam begini anginnya sering menusuk tenggorokan. Masuk sajalah, Duduk di dalam”

Kedua orang Tumenggung itupun melangkah masuk ke ruang dalam. Sambil melangkah Ki Tumenggung Sanggayuda berbisik”

“Apakah mereka tidak tahu, bahwa kakang juga seorang Tumenggung di Paranganom?”

Ki Tumenggung Wiradapa tersenyum sambil menggeleng.

“Justru seorang Tumenggung Wreda”

Ki Tumenggung Wiradapa masih saja menggeleng. Ki Tumenggung Sanggayuda menarik nafas panjang. Namun ia tidak bertanya lagi.

Paman Ki Tumenggung Wiradapa itupun kemudian telah menyelarak pintunya kembali. Kemudian orang tua itu melangkah perlahan sambil mempersilakan mereka duduk.

“Silahkan Ki Tumenggung, silahkan. Kami minta maaf atas penerimaan yang tidak pantas ini”

Terima kasih, paman. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan paman meperima kami malam-malam begini“ sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Kami juga belum tidur, Ki Tumenggung. Rasa-rasanya ada sesuatu yang memaksa kami untuk tidak segera masuk kedalam bilik kami. Ternyata malam ini kami mendapat anugerah, menerima kehadiran seorang Tumenggung”

Ki Tumenggung Sanggayuda masih akan menjawab. Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa mendahuluinya, “Apakah Liring sudah tidur paman?”

“Liring tinggal bersama suaminya”

“Apakah ia sudah tidak tinggal di sini lagi?

“Rumah peninggalan orang tua suami Liring Itu kosong. Karena itu, mereka terpaksa pindah menunggui rumah itu. rumah yang tidak dihuni biasanya lekas rusak”

“Jadi paman dan bibi hanya berdua saja tinggal di rumah sebesar ini?” bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Rumah ini tidak terlalu besar, Ki Tumenggung, Rumah yang sederhana saja”

Tetapi rumah ini tentu berlebihan bagi paman dan bibi berdua”

Ada dua orang cucu tinggal disini menemani kami berdua”

“Sukurlah” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

“Wiradapa, seharusnya kau memberitahukan lebih dahulu kalau kau akan datang bersama seseorang sehingga aku dapat mempersiapkan tempat sebaik-baiknya. Apalagi sekarang kau datang bersama seorang Tumenggung”

Tidak apa-apa paman. Paman dan bibi jangan menjadi terlalu sibuk karena kedatangan kami. Apalagi Ki Tumenggung Sanggayuda adalah seorang Tumenggung yang baik. Ia lebih banyak berbaur dengan orang kebanyakan, sehingga Ki Tumenggung Sanggayuda akan segera dapat menyesuaikan dirinya”

Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang Tumenggung”

“Ya, paman. Tetapi selama ini sikapnya kepadaku pun selalu baik. Ia tentu akan bersikap baik pula kepada paman dan bibi. Ia akan menempatkan dirinya dimana ia berada”

“Baik. baik. Biarlah bibimu membersihkan bilik sebelah. Bilik yang sebelumnya dipakai oleh Liring dan suaminya. Ki Tumenggung akan dapat beristirahat di bilik itu nanti. Kau sendiri dapat tidur di sentong kiri. Ada bakul agak besar dibilik itu. Isinya mangkuk dan barang-barang bala pecah lainya. Tetapi tidak mengganggu”

“Itu sudah cukup, paman. Biarlah aku tidur bersama Ki Tumenggung di bilik itu saja. Bukankah ambennya cukup besar buat kami berdua”

“Jangan degsura Wiradapa. Apakah pantas kau tidur bersama seorang Tumenggung. Kecuali jika kau membentangkan tikar di lantai”

“Tidak apa-apa, paman. Kakang Wiradapa adalah sahabat baikku”

“Tidak Ki Tumenggung. Aku harus mengajarinya . unggah-ungguh. Ia memang nakal sejak kanak-nakak. Tetapi jangan degsura”

Ki Tumenggung Sanggayuda tidak menyahut. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa segan juga kepada Ki Tumenggung Wiradapa. Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa hanya tersenyum-senyum saja melihat sikap Ki Tumenggung Sanggayuda.

Ketika bibinya membawa tebah sapu lidi masuk ke dalam bilik sebelah, Ki Tumenggung Wiradapa pun segera menyusulnya sambil berkata, “Biarlah aku saja yang membersihkan nanti, bibi. Sekarang sudah malam. Sebaiknya bibi beristirahat saja. Bukankah tadi bibi sudah akan ke dalam bilik tidur”

“Tidak. Aku belum mengantuk”

Tetapi Ki Tumenggung Wiradapa mengambil tebah sapu lidi itu dari tangan bibinya sambil berkata, “Sudahlah bibi.”

Bibinya memang menyerahkan tebah sapu lidi itu Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kau membersihkan bilik ini, aku aku pergi ke dapur saja”

“Untuk apa?”

“Aku akan membuat minuman hangat”

“Tidak usah, bibi. Bibi tidak usah menjadi sibuk karena kedatangan kami”

“Tidak apa-apa, Wiradapa. Bukankah sudah sewajarnya jika aku menyuguhkan minuman bagi tamu-tamuku? Apalagi tamuku sekarang adalah seorang Tumenggung”

”Tetapi sudah terlalu malam bagi bibi untuk berada di dapur”

Bibinya justru tertawa. Tanpa berkata apa-apa lagi, bibinya melangkah meninggalkan Ki Tumenggung Wiradapa langsung pergi ke dapur.

Ki Tumenggung Wiradapa tidak segera membersihkan bilik itu. Tetapi bersama Ki Tumenggung Sanggayuda ia duduk di ruang dalam, ditemui oleh pamannya.

“Namaku Ki Partabawa, Ki Tumenggung. Aku adalah adik dari ibunya Wiradapa”

“Tetapi paman masih nampak tegar di usia tua. Berapa usia paman sekarang?”

“Umurku hampir delapan puluh tahun, Ki Tumenggung. Ketika Wiradapa lahir, umurku sudah sekitar duapuluh tahun. Aku lahir ketika Gunung Mawenang itu meletus. Sungai Kaulan itu banjir ladu”

“Maksud paman tentu saat Gunung Mawenang meletus terdahulu. Karena ketika aku berumur sekitar sepuluh tahun, Gunung Mawenang juga meletus”

“Hanya kecil-kecilan, Ki Tumenggung: Tetapi ketika aku lahir, umurku waktu itu baru selapan, Gunung Mawenang meletus dahsyat sekali. Seluruh alam rasa-rasanya telah terguncang. Sungai Kaulan banjir bandang. Banyak lembu, kerbau dan kambing hanyut. Korban manusia pada waktu itu lebih dari seratus orang”

“Dahsyat sekali, paman”

“Ya. Sedangkan ketika angger berumur sepuluh tahun, letusan Gunung Mawenang tidak begitu menakutkan. Aku ingat waktu itu aku berada di sawah. Memang turun hujan abu. Tetapi sedikit. Sedangkan pada saat aku lahir, hujan abu membuat hrin menjadi gelap melebihi malam”

“Mengerikan, paman”

“Ya. Ibunya Wiradapa itu sudah dapat berlari lari waktu itu. Sayang, ia meninggal lebih dahulu, Wiradapa sekarang menjadi yatim piatu. Akulah ganti orang tuanya”

“Ibu meninggal pada usia hampir delapan puluh. Sedang ayahku meninggal setahun kemudian” sahut Ki Tumenggung Wiradapa.

Ki Tumenggung Sanggayuda mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Tumenggung Sanggayuda itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Partabawa itu berkata, “Ki Tumenggung. Seumurku yang sudah hampir delapan puluh tahun ini, haru sekali ini aku dikunjungi oleh seorang Tumenggung. Baik dari Paranganom maupun dari Kateguhan. Tetapi kehormatan itu akhirnya datang juga. Seorang Tumenggung berkenan hadir dirumahku ini”

“Apakah kakang Wiradapa tidak sering datang kemari?“ bertanya Ki Tumenggung Sanggayuda.

“Ya. Wiradapa memang beberapa kali mengunjungi aku disini. Tetapi ia tidak datang bersama seorang Tu menggung seperti malam ini.”

Ki Tumenggung Sanggayuda itupun berpaling kepada Ki Tumenggung Wiradapa yang mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Namun Ki Tumenggung Wiradapa pun segera mengalihkan pembicaraan mereka. Ki Tumenggung Wiradapa mulai bertanya tentang adik-adik sepupunya yang sudah berumah tangga dan tinggal di rumah mereka masing-masing.

“Mereka sehat-sehat saja. Sana, adikmu yang sulung itu, anaknya sudah delapan. Tujuh laki-laki dan seorang perempuan. Justru yang bungsu. Ketika kau datang terakhir kalinya, anaknya baru enam.”

“Ya, paman. Tetapi istri Sana waktu itu sudah mengandung tua.”

“Anaknya yang ketujuh“

Ki Tumenggung Wiradapa mengangguk-angguk.

Ketika pembicaraan mereka tentang anak-anak Ki Partabawa masih berkepanjangan, Nyi Partabawa telah datang sambil membawa minuman hangat.

“Silahkan Ki Tumenggung “ Nyi Partabawa mempersilahkan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar