Meraba Matahari Jilid 03

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Kau tentu pimpinan sekelompok brandal yang akan merampok rumah Ki Wiratenaya”

“Ya, namaku Ki Sura Branggah, nama yang ditakuti di daerah ini”

“Sayang, bahwa anak-anak muda Panjer tidak merasa takut mendengar nama Ki Sura Brandal”

“Ki Sura Branggah”

“Bukankah lebih tepat jika kau disebut Ki Sura Brandal”

“Persetan kau”

“Sura Brandal, kami anak-anak muda Panjer memang sudah menunggumu, kami sudah siap untuk menangkapmu, sudah hampir sebulan kami berlatih keras dibawah pimpinan Ki Demang, sekarang adalah waktunya untuk mengetrapkan hasil kerja keras kami”

Seorang perampok yang perutnya buncit tertawa berkepanjangan, katanya, “Apa yang kau dapatkan dengan latihan sebulan itu?, ternyata kalian adalah anak-anak muda yang lebih dungu daru yang aku duga”

“Inilah yang kami dapatkan dari latihan-latihan yang pernah kami lakukan” terdengar suara yang lain, orang-orang berjalan dari kegelapan sambil mendorong seseorang pula, katanya kemudian, “ini tentu kawanmu pula, seorang lagi telah kami bunuh di depan regol, dan inilah yang seorang lagi”

Ki Sura Branggah memang sangat terkejut, orang itu adalah orangnya yang ditugaskan mengawasi keadaan di depan regol, namun ternyata orang itu tidak berdaya, bahkan seorang dari dua orang yang ditugaskannya itu sudah terbunuh.

Bahkan orang yang membawa seorang perampok mendekati pendapa itu kemudian mendorongnya sambil berkata lantang, “Kau telah membunuh dua orang di padukuhan yang telah kau rampok sebelumnya, karena itu, maka dua orangmu harus dibunuh pula”

Sebelum Ki Sura Branggah sempat menjawab, maka tiba-tiba saja ujung keris yang bagaikan menyala kebiru-biruan telah menghunjam lambung perampok yang malang itu, terdengar teriakan yang menggelepar di malam yang gelap itu.

Orang yang berdiri di depan pendapa telah berteriak pula, “Jangan Kakang Rembana”

Tetapi orang yang menusuk dengan keris itu menjawab, “Kita tidak dapat beramah tamah dengan perampok”

Ketegangan pun segera mencengkam, perampok yang lambungnya tertusuk keris itu pun terjatuh di tanah, nafasnya yang terakhir pun telah dihembuskannya.

Orang yang berdiri di depan pendapa itu merasa jantungnya berdegup kencang, sementara itu Rembana pun berkata, “Tidak hanya kedua orangmu ini yang akan mati”

Orang yang berdiri di depan pendapa itu akhirnya harus bersikap, karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Ki Sura Branggah, baiklah kami berterus terang, diantara anak-anak muda kademangan Panjer sekarang ini, memang terdapat beberapa orang prajurit dari Paranganom, karena itu, maka aku minta kau dan orang-orangmu menyerah, maka kita akan dapat menghindari kematian, dua orang yang terbunuh itu sudah cukup”

Ki Sura Branggah pun bergetar oleh kemarahan yang menghimpit jantungnya.

“Jadi kau adalah prajurit Paranganom?”

“Ya” Rembanalah yang menjawab, “Yang ada diantara anak-anak muda kademangan Panjer adalah Raden Madyasta sendiri, selain itu disini ada tiga orang senapati yang namanya dikenal oleh semua orang, tidak hanya di Paranganom, tetapi juga di Kadipaten Kateguhan. Di Kadipaten Paranganom dan bahkan di seluruh tlatah Tegal Langkap, senapati yang telah memukul mundur pasukan yang sangat besar yang datang dari seberang Bengawan Rahina”

Suara Rembana yang lantang itu bagaikan menggelegar di seluruh halaman dan bahkan menggoyang rumah yang ditinggalkan penghuninya itu.

Tetapi Ki Sura Branggah adalah seorang pimpinan perampok yang mempunyai pengalaman yang sangat luas, ia seorang yang berilmu tinggi dan sudah kenyang makan pahit getirnya dunia kelamnya.

Karena itu, maka Ki Sura Branggah itu pun menyahut, “Persetan dengan igauanmu, jika kalian benar dapat mengalahkan pasukan yang besar yang datang dari seberang Bengawa Rahina itu, karena kalian membawa pasukan yang sangat besar pula, bukan saja dari Paranganom, tetapi juga dari semua Kadipaten yang berada dibawah naungan kuasa Tegal Langkap.

“Jadi kau mendengar juga berita tentang perang besar yang terjadi itu?”

“Ya”

“Kalau demikian, kau tentu pernah mendengar nama-nama Rembana, Sasangka dan Wismaya”

“Aku tidak perduli dengan nama-nama itu, jika kau salah seorang diantara mereka, maka aku akan menghancurkan namamu itu, bahkan kau akan menjadi mayat di halaman rumah ini, sebagaimana kedua orang kawanku yang telah kau bunuh”

“Persetan, kita akan membuktikannya”

Ki Sura Branggah pun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawankawannya untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman itu.

Namun sejenak kemudian, anak-anak muda kademangan Panjer pun berloncatan di halaman, ada yang meloncat dari dahan-dahan pohon, ada yang meloncat dari luar dinding halaman dan ada pula yang berlari-lari memasuki halaman lewat pintu regol yang telah terbuka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit di sekitar rumah Ki Wiratenaya yang kosong itu, enam orang prajurit Paranganom, tiga orang senapati muda yang pilih tanding telah melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Ternyata Ki Sura Branggah adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi, ia tidak mau mengikat diri menghadapi seorang lawan, tetapi ia berloncatan diantara orang-orangnya dengan parang yang besar berputaran mengerikan.

Anak-anak muda kademangan Panjer sempat bergetar jantungnya melihat cara para perampok itu bertempur, namun para prajurit Paranganom itu berusaha mengimbangi mereka, para prajurit itu pun berloncatan di seluruh medan, apalagi Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya.

Namun Raden Madyasta menjadi cemas melihat sikap Rembana, ia sama sekali tidak mengekang diri dalam pertempuran itu, it tidak pernah memberikan kesempatan kepada lawan-lawannya, kerisnya terayun-ayun sangat mengerikan, sehingga tanpa ampun, orang yang sempat menghadapinya akan terkapar mati dengan luka-lukanya yang parah.

Sasangka dan Wismaya serta para prajurit yang lain masih berusaha untuk mengendalikan diri, mereka tidak harus membunuh lawan yang datang kepada mereka.

Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, dengan dibayangi oleh kemampuan para prajurit Paranganom, maka anak-anak muda Panjer pun menjadi semakin berani, seperti pesar yang mereka terima, maka mereka tidak bertempur seorang melawan seorang, tetapi mereka sudah mempunyai kelompokkelompok kecil untuk menghadapi setiap perampok yang harus mereka hadapi.

Meskipun para perampok adalah orang-orang yang sudah terbiasa bertualang diantara ujung-ujung senjata, tetapi menghadapi para prajurit Paranganom dibawah para senapati pilihan, mereka pun mengalami kesulitan.

Tetapi Ki Sura Branggah sendiri adalah orang yang sangat garang, beberapa orang telah tersentuh tajam parangnya, namun setiap kali Ki Sura Branggah harus menghadapi kemampuan para prajurit Paranganom.

Namun akhirnya Ki Sura Branggah tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya, satu persatu orang-orangnya jatuh terkapar di tanah. Disana sini terdengar erangan kesakitan, desah yang tertahan, serta keluhan-keluhan panjang.

Ketika terdengar di kejauhan suara ayam jantan yang berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu, maka pertempuran di rumah Ki Wiratenaya itu pun sudah selesai, beberapa orang perampok terluka parah, ada juga diantara mereka yang terbunuh.

Namun ketika Raden Madyasta dan para senapati serta para prajurit berkumpul di depan pendapa dikelilingi oleh anak-anak muda kademangan Panjer, barulah ternyata bahwa pimpinan perampok yang bernama Ki Sura Branggah itu sempat meloloskan diri.

“Setan alasan” geram Rembana, “Jika Ki Sura Branggah itu tidak tertangkap, maka kita akan membunuh semua perampok yang tertinggal dan yang menyerah.”

“Kita tidak dapat melakukannya, Kakang” sahut Raden Madyasta.

“Sudah aku katakan, kita tidak dapat beramah-tamah dengan mereka, para perampok itu sudah membuat banyak sekali kerugian, bukan saja herta benda yang telah mereka rampok, tetapi mereka telah menimbulkan kegelisahan dan ketakutan, harga dari keresahan itu tidak akan dapat lunas dengan kematian mereka, sebelum Ki Sura Branggah sendiri digantung di alun-alun atau diketemukan mayatnya di pertempuran”

“Bukan wewenang kita untuk menghukum mereka”

“Di medan pertempuran, kita tidak bersalah jika kita membunuh lawan”

“Tetapi pertempuran sudah selesai” desis Raden Madyasta.

“Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, Raden, mereka tidak akan dapat menghentikan tingkah laku mereka, seandainya mereka dibawa menghadapi Kangjeng Adipati kemudian diadili dan dijatuhi hukuman, maka setelah mereka lepas dari hukuman, mereka akan mengulangi kejahatan yang pernah lakukan”

“Biarlah segala sesuatunya di putuskan kelak” jawab Raden Madyasta.

Rembana masih akan menjawab, tetapi Sasangka pun berkata, “Bukankah yang dikatakan oleh Raden Madyasta itu benar?”

“Kita akan menjadi prajurit yang cengeng”

“Kita terikat pada paugeran, Rembana” berkata Wismaya.

Rembana tidak menjawab lagi, tetapi dari raut wajahnya nampak bahwa jantungnya justru menjadi semakin bergejolak.

Raden Madyasta pun kemudian telah memerintahkan kepada anak-anak muda kademangan Panjer untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah menjadi korban dan gugur di pertempuran, bahkan bukan hanya kawan-kawan mereka yang terluka dan menjadi korban saja yang harus dikumpulkan, tetapi juga para perampok yang terluka dan terbunuh d pertempuran, sedangkan yang menyerah, telah diikat dan dibawa ke banjar.

Menjelang fajar, Ki Demang, para Bebahu, Raden Madyasta dan para senapati masih berbincang di banjar, semuanya menyatakan kekecewaan mereka, bahwa pimpinan brandal yang bernama Ki Sura Branggah itu tidak dapat tertangkap.

“Para berandal itu harus di hukum mati” geram Rembana, “Ada tiga orang prajurit Paranganom yang terluka, meskipun tidak terlalu parah, siapa yang melawan, apalagi melukai petugas, ia akan dihukum dengan hukuman yang paling berat, selain itu ada sebelas orang anak muda yang terluka, tiga diantaranya parah dan yang seorang telah gugur”

“Ada berapa orang perampok yang tertangkap?” bertanya Ki Demang.

“Yang menyerah ada enam belas orang Ki Demang. Ki Sura Branggah sendiri entah dengan berapa orang kawannya, berhasil meloloskan diri, yang terluka dan terbunuh”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, Raden Madyasta. bukankah dengan demikian, gerombolan perampok itu sudah dihancurkan, mereka tidak mempunyai kekuatan lagi untuk dapat melakukan kegiatan mereka dihari-hari mendatang. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini”

“Tetapi kami merasa kecewa, bahwa kami tidak dapat menangkap Ki Sura Branggah, pimpinan perampok itu, Ki Demang. kami sangat memerlukan keterangannya dalam hubungannya dengan gerakannya yang seakan-akan muncul dari Kadipaten Kateguhan”

“Ya, Raden, tetapi apaboleh buat, namun yang sudah Raden lakukan bersama para senapati dan para prajurit sudah merupakan satu keberhasilan, anak-anak muda kademangan Panjer, bukan saja mendapat pengalaman yang sangat berharga malam ini, tetapi mereka bukan lagi anak-anak muda yang gemetaran mendengar suara kentongan dalam irama titir, latihan-latihan yang sudah Raden berikan bersama para senapati dan para prajurit, akan dapat kita kembangkan, sehingga jika pimpinan perampok itu datang lagi dengan membawa dendam, maka anak-anak muda Panjer sudah tidak akan mengecewakan”

“Itulah yang kami harapkan, Ki Demang, mudah-mudahan anak-anak muda di kademangan tidak segera menjadi jemu justru karena mereka merasa sudah memiliki kemampuan yang cukup”

“Aku akan berusaha, Raden, sementara itu, kelak jika Raden akan meninggalkan kademangan ini, Raden dapat memberikan pesan kepada mereka”

Raden Madyasta mengangguk-anggguk sambil berdesis, “Ya, Ki Demang”

Dalam pada itu, di tempat yang jauh, di perbatasan antara Kadipaten Paranganom dan Kadipaten Kateguhan, Ki Sura Branggah memapah seorang anak muda yang terluka parah dibantu seorang anak buahnya.

“Kuatkan, angger. Sebentar lagi kita akan sampai di pondok itu. Ayah angger Ki Tumenggung Reksadrana tentu menunggu kita di pondok itu”

Anak muda itu mengerang kesakitan, sementara langit menjadi semakin terang, cahaya fajar sudah membayang di pungung pebukitan di arah timur.

“Aku tidak kuat lagi, paman”

“Jangan berkata begitu, ngger. Kau adalah anak muda yang jarang ada duanya, kau mempunyai daya tahan yang sangat tinggi, kau pun menjadi harapan ayah angger di masa mendatang.”

“Tetapi lukaku sangat parah, paman”

“Lihat, di depan kita adalah regol padukuhan, pondok kita terletak dekat pintu gerbang itu, sedikit berbelok ke kiri, di tempat yang kelihatan terpisah dari rumah-rumah yang lain karena halamannya yang luas serta kebun kosong di sebelahnya”

Anak muda itu tidak menjawab, yang terdengar adalah desah desah kesakitan.

Sebelum terang, mereka bertiga telah memasuki regol padukuhan yang masih sepi, mereka pun dengan cepat menyelinap memasuki lorong kecil kearah kiri, sejenak kemudian mereka pun telah memasuki sebuah halaman rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebun yang luas serta di sebelahnya terdapat kebun kosong yang cukup luas pula.

Karena pintu rumah sederhana itu masih tertutup, maka Ki Sura Branggah pun mengetuk pintunya perlahan-lahan.

Sekali dua kali tidak terdengar jawaban, sementara itu anak muda yang terluka itu masih saja mengerang kesakitan.

Karena itulah, maka Ki Sura Branggah pun mengetuk lebih keras lagi.

Di dalam rumah itu, Ki Tumenggung Reksadrana dan Ki Lurah Patrawangsa ternyata baru saja terlelap, semalam suntuk mereka bertahan menunggu Ki Sura Branggah itu kembali, tetapi sampai dini hari, mereka masih belum memasuki rumah sederhana yang terletak di perbatasan itu.

Namun justru ketika mereka baru saja terlelap, pintu rumah itu telah diketuk orang.

Ki Tumenggung Reksadrana yang terkejut dengan gagap memanggil Ki Lurah Patrawangsa, “Patrawangsa, kau dengar pintu diketuk orang?”

Ki Lurah Patrawangsa segera terbangun pula, sementara itu ketukan pintu itu pun menjadi semakin keras.

“Siapa itu?” bertanya Ki Lurah Patrawangsa sambil memutar kerisnya di lambung.

“Aku Ki Lurah”

“Sura Branggah?”

“Ya”

“Buka pintu itu cepat” bentak Ki Tumenggung yang tidak sabar.

Ki Lurah pun segera meloncat ke pintu sambil memegangi ujung wiron kain panjangnya yang terlepas karena terinjak kakinya sendiri.

Demikian pintu dibuka, maka Ki Sura Branggah pun segera bergerak masuk sambil memapah anak muda yang terluka itu, di belakangnya seorang anak buahnya mengikuti pula.

“Tutup kembali pintu itu, dungu” bentak Ki Lurah Patrawangsa.

Anak buah Ki Sura Branggah itu pun kemudian dengan tergesa-gesa menutup pintu yang masih terbuka.

Sementara itu, cahaya fajar pun menjadi semakin terang, ayam-ayam pun mulai turun dari kandangnya, seekor induk ayam berkotek memanggil anak-anaknya, ketika ia menemukan seekor cacing tanah yang gemuk.

“Anak itu terluka?” bertanya Ki Tumenggung Reksadrana.

“Ya, Ki Tumenggung”

“Siapa?”

Ki Sura Branggah menjadi ragu-ragu.

“Siapa?” bentak Ki Tumenggung Reksadrana.

Ki Sura Branggah pun kemudian membaringkan anak muda yang terluka itu di lantai.

“Prakosa” Ki Tumenggung Reksadrana hampir menjerit, “Jadi yang terluka itu anakku?”

Ki Sura Branggah mdk wajahnya, dengan nada dalam ia pun berdesis, “Ya Ki Tumenggung”

Ki Tumenggung Reksadrana segera meloncat dan berjongkok di sisinya.

“Prakosa, jadi kau yang terluka itu, ngger”

“Ayah” desis Prakosa.

“Kenapa kau ngger?”

“Lukaku parah, ayah”

“Biarlah Ki Lurah Patrawangsa memanggil tabib terbaik di Kateguhan”

“Tidak ada gunanya lagi, ayah”

“Jangan berkata begitu, Prakosa”

Ki Tumenggung itu pun kemudian mengangkat kepala anaknya dan diletakkannya di pangkuannya.

“Aku sudah tidak kuat lagi, ayah. Darahku terlalu banyak yang keluar”

“Siapa yang melukaimu, Prakosa?, orang-orang Panjer?”

“Tidak ayah, bukan orang-orang Panjer”

“Jadi siapa?”

“Ternyata di Panjer kami bertemu dengan sekelompok prajurit dari Paranganom, ayah”

“Prajurit dari Paranganom?”

“Ya, ayah, para prajurit yang dipimpin langsung oleh Raden Madyasta”

“Madyasta, Raden Madyasta anak Adipati Paranganom?”

“Ya, ayah”

“Kau tidak salah lihat, Prakosa, bukankah Madyasta tidak berada di Paranganom?”

“Tidak, ayah. Aku tidak salah lihat. Selain aku memang sudah mengenalnya sejak lama, seorang senapati pun telah menyebut namanya pula, disamping Madyasta, tiga orang senapati muda yang namanya mulai dikenal sejak pertempuran di sebelah Bengawan Rahina, Rembana, Sasangka dan Wismaya”

“Gila orang-orang Paranganom, tetapi jangan cemas Prakosa, kau akan segera sembuh, kau akan segera mendapat kesempatan untuk membalas dendam.”

“Ayah, aku tidak mampu lagi bertahan.”

“Patrawangsa” teriak Ki Tumenggung.

“Ya, Ki Tumenggung”

“Kenapa kau begitu dungu, cepat pangil tabib terbaik di Kateguhan”

“Dibawa kemari?”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Ya, bawa orang itu kemari”

“Tetapi, apakah tidak ada bahayanya jika tabib itu melihat rumah ini?”

“Aku tidak peduli, yang penting anakku dapat diselamatkan”

Namun terdengar suara Prakosa yang lemah, “Tidak usah ayah, tidak akan ada artinya”

“Prakosa”

Suara Prakosa menjadi semakin sendat, “Ayah”

“Prakosa”

Prakosa memandang ayahnya dengan mata yang semakin sayu, wajahnya menjadi sangat pucat seakan-akan tidak berdarah lagi, sementara itu darah yang mengalir dari lukanya membasahi lantai rumah itu, menggenang di kaki ayahnya.

“Ayah” suara Prakosa hampir tidak terdengar.

“Prakosa, dengar. Aku akan mengundang tabib itu, Prakosa”

Mata Prakosa menjadi semakin redup, sehingga akhirnya mata itu pun terpejam.

“Prakosa” Ki Tumenggung berteriak.

Namun Prakosa sudah tidak mendengarnya, nafasnya yang terakhir pun telah meluncur lewat lubang hidungnya.

Ki Tumenggung memeluk anaknya dan meletakkannya di dadanya, dengan suaranya yang bergetar ia pun berkata, “Prakosa, kenapa kau mendahului ayahmu, ngger. Aku ingin kau menjadi seorang besar, jauh lebih besar dari ayahmu. Aku ingin kau menjadi senapati yang selalu berada dekat dengan Kangjeng Adipati, tetapi kenapa kau justru mendahului aku”

Tetapi Prakosa sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan Ki Tumenggung meletakkan anak laki-lakinya yang sudah meninggal itu, kemudian ia pun bangkit dan bergeser mendekati Ki Sura Branggah, dengan sinar mata yang menyala, Ki Tumenggung mencengkam baju Ki Sura Branggah sambil membentak, “Apa kerjamu setan alasan. untuk apa kau pergi ke Panjer?, kenapa kau tidak dapat melindungi anakku, sehingga terbunuh di pertempuran melawan prajurit Paranganom?, ada berapa orang prajurit Paranganom yang berada di Panjer?, segelar sepapan? Seratus, lima puluh?”

Ki Sura Branggah tidak segera menjawab, mulutnya justru bagaikan terbungkam.

“Kau sudah menjadi tuli, he?, atau bisu?”

Ki Sura Branggah masih belum menjawab.

Namun tiba-tiba saja tangan Ki Tumenggung menyambar wajahnya sambil membentak, “Berapa, He?”

“Ampun, Ki Tumenggung. Ki Sura Branggah menjadi gagap, “Tidak jelas, kami tidak tahu ada berapa orang prajurit Paranganom di Panjer, mereka tidak mengenakan pakaian prajurit, agaknya mereka sengaja menjebak kami, sementara itu, anak-anak muda Panjer pun telah ikut pula bersama-sama mereka. jumlahnya tidak terhitung, bahkan mereka sudah pandai pula menempatkan diri untuk melawan kami”

Ki Tumenggung mengguncang baju Ki Sura Branggah yang dicengkamnya sambil membentak, “Jadi kau tidak dapat mengatasi anak-anak muda Panjer itu, He?

Mulutmu saja yang selalu sesumbar, tetapi apa yang terjadi?, anakku telah mati”

Ki Sura Branggah tidak menjawab, Ki Tumenggung yang kehilangan anaknya tentu sulit untuk menahan perasaannya yang bergejolak, karena itu, maka Ki Sura Branggah memilih untuk diam.

Ki Tumenggung itu pun kemudian melepaskan baju Ki Sura Branggah, kemudian ia mendekati pengikut Ki Sura Branggah yang membantunya membawa Prakosa pulang ke pondok itu.

Dengan kasar Ki Tumenggung mendorong pundak orang yang duduk di lantai itu dengan kakinya, sehingga orang itu jatuh terlentang.

“Kecoa pengecut, apa kerjamu di Panjer He?, Kau biarkan anakku mati?”

Orang itu pun tidak menjawab pula, ketika ia perlahan-lahan bangkit dan duduk kembali, maka Ki Tumenggung Reksadrana pun berkata, “Aku tidak mau menerima keadaan ini, orang-orang Paranganom telah terbutang nyawa, mereka harus membayar dengan nyawa pula, Madyasta, Rembana Sasangka dan Wismaya harus mati”

Suara Ki Tumenggung tergetar seakan-akan telah mengguncang dinding pondok kecil yang dipergunakannya itu.

“Kita akan membawa Prakosa pulang”

“Apa kata orang yang melihat keadaannya di sepanjang jalan?” desis Ki Lurah Patrawangsa.

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, dengan nanda berat ia pun bertanya, “Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”

“Ki Tumenggung” berkata Ki Lurah Patrawangsa, “Jika tubuh angger Prakosa dibawa pulang, akan dapat menimbulkan masalah, bukan saja di perjalanan, tetapi juga di katumenggungan. Seandainya akan diaadakan upacara pemakaman, apa yang dapat kita katakan kepada orang-orang yang datang melayat?, kecelakaan atau pembunuhan atau apa?, seandainya demikian, masih akan timbul pertanyaan panjang yang tidak berkeputusan, kita akan semakin lama akan menjadi semakin sulit untuk menjawabnya”

“Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?”

“Untuk sementara kita kuburkan saja disini, di halaman rumah ini”

“Disini?”

“Ya, tetapi kita akan memberinya tetenger yang tidak mudah hilang, besok pada saatnya, jika kadaan menjadi bertambah baik, kita akan menggalinya kembali dan dimakamkan sebagaimana mestinya”

“Kau gila, Patrawangsa, kau berniat untuk menguburkan anakku, anak Ki Tumenggung Reksadrana seperti mengubur seorang perampok yang mati dikeroyok orang?”

Hampir saja Ki Lurah Patrawangsa mengatakan, bahwa Prakosa memang terbunuh sebagai seorang perampok, tetapi untunglah bahwa ia segera menyadarinya, sehingga kata-katanya itu pun ditelannya kembali.

Yang kemudian diucapkan adalah justru sebuah pertanyaan, “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku akan membawa Prakosa pulang, aku akan mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan ketika Prakosa sedang mencoba seekor kuda yang baru saja aku beli, Prakosa terjerumus jurang sehingga terluka purah”

“Tetapi apakah angger Prakosa pantas mengenakan pakaian seperti itu?”

“Kita akan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang wajar”

“Apakah disini tersedia pakaian yang wajar itu?”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba saja ia pun berkata, “Aku memerlukan pakaianmu Ki Lurah”

“Pakaianku, lalu aku?”

“Kau tinggal disini untuk sementara sampai ada orang yang datang untuk mengantar pakaian bagimu”

Ki Lurah bersungut-sungut, ia harus menyerahkan pakaiannya yang akan dipakai oleh Prakosa yang sudah tidak bernyawa lagi, dengan demikian, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pakaiannya spengadeg itu kembali.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung itu pun berpaling kepada Ki Sura Branggah, “Apakah ada orang-orangmu yang tertangkap hidup atau menyerah?”

“Mungkin ada, Ki Tumenggung”

“Apa kata mereka tentang Prakosa?”

“Mereka tidak tahu, bahwa anak muda ini adalah anak Ki Tumenggung, yang mereka ketahui anak ini bernama Lorop, kemanakanku, kecoa ini pun baru tahu tadi, bahwa Lorop adalah putera Ki Tumenggung”

“Kau tidak berbohong?”

“Tidak Ki Tumenggung”

“Bagaimana dengan rumah ini?”

“Bukankah aku tidak pernah mengajak salah seorang dari pengikutku datang kemari?, mereka tidak tahu hubunganku dengan Ki Tumenggung, baru hari ini kecoa kecil ini mengetahuinya, tetapi ia tidak akan berbicara dengan siapapun, karena jika ia membuka mulutnya itu akan aku koyakkan sampai telinga.”

“Kau jamin bahwa rahasiaku tidak akan terbongkar di hadapan para prajurit Paranganom?, apalagi di hadapan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati”

“Aku jamin, Ki Tumenggung. taruhannya adalah leherku”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, tetapi ketika ia memandang tubuh anaknya yang terbaring diam, maka ia pun berkata lantang, “Sekali lagi aku berjanji untuk membalas kematian anakku atas orang-orang Paranganom. terutama Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, meskipun mereka dikagumi dalam perang di dekat Bengawan Rahina, tetapi aku tidak akan gentar menghadapi mereka bersama-sama, tidak hanya seorang-seorang”

Tidak seorang pun yang menyahut, suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan rumah sederhana itu seisinya.

Seperti yang dikatakan, maka setelah pakaian Prakosa yang disesuaikan dengan pakaian para perampok itu diganti, maka Ki Tumenggung Reksadrana pun telah membawa tubuhnya yang mulai membeku diatas punggung kudanya. dengan wajah yang muram, Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya pulang, beberapa orang yang menjumpainya di sepanjang jalan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan anak muda itu.

Ki Tumenggung Reksadrana telah menempuh perjalanan panjang, ketika ia memasuki pintu gerbang kota, sementara itu matahari pun telah condong ke barat.

Tubuh Ki Tumenggung menjadi basah kuyup oleh keringatnya, sementara itu kudanya pun nampak sangat letih.

“Apa yang terjadi atas Prakosa Ki Tumenggung?” bertanya seseorang yang sudah mengenalnya.

“Prakosa mengalami kecelakaan ketika ia mencoba kudaku yang baru. Anak ini terlempar dari punggung kuda dan ia terjerumus ke dalam jurang, sementara kudanya lari entah kemana”

“Kasihan anak muda itu, ia adalah anak muda yang mempunyai masa depan penuh harapan”

“Jangan katakan itu kepadaku dan kepada istriku, hatiku akan menjadi semakin tersayat”

“Maaf, Ki Tumenggung”

Namun dalam pada itu, berita tentang kecelakaan yang terjadi atas Prakosa itu telah tersebar, kawan-kawannya yang mendengar pun segera pergi menyusul ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana.

Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya masuk ke dalam rumahnya, Nyi Tumenggung yang melihatnya menjerit tinggi, setelah meletakkan Prakosa, Ki Tumenggung berusaha menenangkannya.

“Kenapa Kakang, kenapa?” teriak Nyi Tumenggung.

“Prakosa mengalami kecelakaan Nyi, apa yang terjadi tidak dapat dihindari, Yang Maha Agung sudah berkenan memanggilnya”

“Tetapi kenapa begitu cepat, Kakang, ia masih sangat muda, kecelakaan apa yang terjadi atasnya?”

Seperti kepada orang lain, maka Ki Tumenggung pun berkata, “Prakosa mencoba kuda yang baru aku beli, Nyi. tetapi agaknya ia belum begitu mengenal tabiat kuda itu, sehingga Prakosa telah terlempar dari punggungnya jatuh ke dalam jurang, sedangkan kudanya lari tanpa entah kemana”

“Anakku” Nyi Tumenggung memeeluk tubuh Prakosa yang sudah dingin dan beku, sejenak masih terdengar tangisnya, namun kemudian Nyi Tumenggung itu pun pingsan.

Sejenak kemudian di rumah Ki Tumenggung itu pun menjadi ramai, beberapa orang telah berdatangan, beberapa orang perempuan tua telah berusaha menghibur Nyi Tumenggung demikian ia sadar dari pingsannya.

Hari itu juga Prakosa dikuburkan dengan upacara yang seharusnya dilakukan. Kangjeng Adipati Yudapati juga datang menghadiri upacara pemakaman putera Ki Tumenggung Reksadrana itu.

“Aku ikut sedih atas kematian Prakosa, Ki Tumenggung” berkata Kangjeng Adipati, “Ia adalah anak yang baik, aku mengenalnya sejak Prakosa masih kanak-kanak, umurku dan umur Prakosa tidak bertaut banyak”

“Ya, Kangjeng” namun kemudian Ki Tumenggung itu pun berbisik, “Ia menjadi tumbal bagi gegayuhan Kangjeng Adipati”

Kangjeng Adipati mengerutkan dahinya, tetapi Kangjeng Adipati itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan nada rendah ia pun berkata, “Aku sudah mencoba mencegahmu, Ki Tumenggung”

Pembicaraan mereka pun terputus, ada beberapa orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa atas kematian Prakosa karena kecelakaan itu.

Hari itu di Panjer, anak-anak muda pun telah menjadi sibuk pula, ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka segala sesuatunya telah selesai pula.

Mereka harus menguburkan beberapa orang diantara para perampok yang terbunuh, sementara itu mereka pun telah mengadakan upacara pemakaman anak muda terbaik dari kademangan Panjer yang telah gugur.

Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya serta para prajurit Paranganom masih tetap bersama Ki Demang dan para Bebahu Panjer untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kemudian timbul dengan para tawanan, apalagi para tawanan yang terluka.

Di Kateguhan, ketika senja mulai membayang, maka mereka yang mengantar tubuh Prakosa ke pemakaman, telah berangsur-angsur meninggalkan makam, ketika orang yang terakhir beranjak dari gundukan tanah yang merah, orang itu sempat berkata kepada Ki Tumenggung, “Sudahlah, Ki Tumenggung, marilah kita pulang, ikhlaskan kepergian Prakosa yang memang sudah saatnya dipanggil oleh Yang Maha Pencipta. Sebentar lagi senja akan turun, kemudian makam ini akan menjadi gelap”

“Sebentar, kakang, silahkan dahulu”

Orang itu pun kemudian meninggalkan makam Ki Tumenggung Reksadrana sendiri, bahkan orang-orang terdekat, sanak kadangnya pun telah seluruhnya mendahuluinya.

Ketika makam itu menjadi sepi, maka langit pun menjadi buram, senja yang merah bagaikan memanggang langit.

Dari balik gerumbulan sesosok tubuh bergerak mendekati Ki Tumenggung yang tinggal sendiri.

Ki Tumenggung berpaling ketika ua mendengar desir langkah kaki mendekat.

“Apa kerjamu disini, Ki Sura Branggah?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku juga ingin menyaksikan putera Ki Tumenggung yang harus dimakamkan hari ini, aku juga ingin memberikan penghormatanku yang terakhir”

“Tetapi jika ada yang melihat dan mengenalmu sebagai seorang benggolan perampok, maka kehadiranmu akan mengotori upacara pemakaman yang khidmat ini”

“Bukankah aku tahu diri, Ki Tumenggung”

“Apakah Ki Lurah Patrawangsa juga datang?”

“Tentu tidak, Ki Tumenggung. Ia masih berada di pondok terpencil itu”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk, lalu katanya, “Cari pakaian dan berikan kepada Ki Lurah”

“Apakah aku harus ke katumenggungan?”

“Kau benar-benar dungu seperti kerbau, kehadiranmu akan memberikan kesan buruk padaku”

“Jadi?”

“Pergi ke pondok di belakang pasar itu, aku akan kesana nanti malam sambil membawa pakaian itu”

“Ya, Ki Tumenggung, aku akan menunggu di pondok di belakang pasar”

“Kawanmu itu juga ada disana?”

“Ya, Ki Tumenggung”

“Bukankah ia tidak akan membuka rahasia kepada siapa pun juga?”

“Aku jamin kesetiaannya, aku mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak, aku selamatkan ayahnya dari kematian, kemudian aku entaskan anak itu dari kelaparan”

“Kenapa kelaparan?”

“Ayahnya seorang penjudi yang tidak sempat merawat keluarganya, ketika ibunya meninggal, maka aku bawa anak itu dan tingal bersamaku, beberapa bulan kemudian ayahnya benar-benar mati ketika ia menyamun iring-iringan yang lewat di bulak panjang yang ternyata dturunya terdapat orang-orang berilmu, aku tidak bersamanya waktu itu, sehingga aku tidak dapat menyelamatkannya lagi”

Ki Tumenggung merenung sejenak, namun tiba-tiba saja ie menggeram, “Tetapi aku tetap tidak dapat menerima kenyataan ini, aku akan membalaskan dendam yang terkubur bersama tubuh anakku, tetapi selama aku masih hidup, maka aku akan berusaha untuk membunuh Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, siapa pun yang akan mati terdahulu”

Ki Tumenggung itu pun kemudian berjongkok disamping kuburan anaknya, ditepuknya tanah yang merah itu sambil berkata, “Aku berjanji Prakosa, aku akan membalas dendammu”

Suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan pohon-pohon kamboja yang tumbuh menebar di makam itu, bunganya yang putih bersih menebarkan bau yang menusuk.

Baru sejenak kemudian, Ki Tumenggung Reksadrana itu bangkit berdiri dan melangkah ke regol makam.

“Jangan mengikuti aku, aku sendiri di makam ini, aku pun akan pulang sendiri”

Sura Branggah memang tidak mengikutinya, ia berdiri saja di tempatnya memandang Ki Tumenggung Reksadrana yang melangkah diantara nisan-nisan yang berserakkan, semakin lama semakin kabur ditelan gelap malam yang mulai turun.

Sura Branggah berdiri termangu-mangu, sberaniyalah bahwa ia pun mendendam orang-orang yang telah menghancurkan gerombolannya, terutama kepada para prajurit Paranganom yang dipimpin oleh Raden Madyasta, Rembana, sasangka dan Wismaya.

“Aku pun akan membalas sakit hatiku, gerombolanku hancur terkoyak-koyak menjadi debu, bersama Ki Tumenggung Reksadrana, aku akan menghancurkan senapati-senapati muda Paranganom yang sombong itu, mereka mengira bahwa tidak ada orang yang lain yang memiliki keunggulan ilmu sebagaimana mereka itu”

Ketika bayangan Ki Tumenggung Reksadrana itu hilang di balik regol makam, maka Sura Branggah pun segera beringsut dari tempatnya, kulitnya mulai merasa gatal-gatal digigit nyamuk yang berterbangan di makam itu”

Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana menemui Ki Sura Branggah di sebuah pondok kecil di belakang pasar untuk memberikan pakaian yang harus diberikannya kepada Ki Lurah Patrawangsa.

“Untuk sementara, jangan berbuat sesuatu” berkata Ki Tumenggung Reksadrana, “Kita harus berpikir matang, apa yang selanjutnya harus kita lakukan”

“Apakah aku juga tidak diperkenankan mencari makan?, isteriku tiga orang, Ki Tumenggung, anakku tujuh belas”

“Berapa anakmu?”

“Tujuh belas”

“Tujuh belas apa?, tujuh belas tahun?”

“Tujuh belas orang”

“Kau gila Sura Branggah, aku saja seorang tumenggung isterinya Cuma satu, anakku satu, laki-laki, tetapi anak itu telah dibunuh oleh orang-orang Paranganom”

“Isteri Tumenggung memang hanya satu orang itu yang tinggal di Katumenggungan, yang tinggal disana sini?”

“Edan, aku sumbat mulutmu”

Ki Sura Branggah terdiam.

“Awas jika kau langgar perintahku, Ki Sura Branggah. untuk sementara jangan lakukan apa-apa, bukankah pemberianku cukup banyak untuk memberi makan isteri-isteri dan anak-anakmu itu?, selama ini kau mendapat kesempatan untuk mengambil apa saja yang kau inginkan di Paranganomm, hasil kejahatanmu itu tentu masih cukup banyak”

Sura Branggah mengangguk-angguk kecil, katanya, “Aku memang menyimpan beberapa barang yang dapat dijual, tetapi semakin lama akan menjadi semakin menipis juga”

“Ajab aku beri kau uang setiap akhir pekan”

“Terima kasih, Ki Tumenggung”

“Nah, pergilah menemui Ki Lurah Patrawangsa, jangan menyamun di sepanjang jalan meskipun kau berpapasan dengan orang yang membawa sekampil uang emas”

“Ya, Ki Tumenggung”

Malam itu juga Ki Sura Branggah telah pergi ke rumah sederhana di perbatasan untuk memberikan pakaian bagi Ki Lurah Patrawangsa, baju dan kain panjangnya telah dipinjam oleh Prakosa.

Namun seperti Ki Tumenggung Reksadrana, Ki Sura Branggah tidak berani melakukan kejahatan sampai ia menerima perintah baru.

Ketika Ki Sura Branggah sampai di pondok sederhana yang tersekat oleh kebun kosong dengan rumah sebelahnya, sehingga seolah-olah letaknya menjadi terpencil itu, Ki Lurah Patrawangsa sudah tertidur nyenyak berselimut tikar. Ia hanya mengenakan celananya yang berwarna kelabu sampai ke lutut, tetapi ia tidak mengenakan baju dan kain panjang.

Ki Lurah Patrawangsa terkejut ketika ia mendengar pintunya di ketuk lewat tengah malam, ketika ia bangkit berdiri, diraihnya pedangnya yang terletak di pembaringannya.

“Siapa?” bertanya Ki Lurah Patrawangsa.

“Aku”

Ki Lurah Patrawangsa mengenal suara Ki Sura Branggah, karena itu, maka ia pun segera mengangkat selarak pintu.

Demikian pintu terbuka dibawah cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat Sura Branggah berdiri termangu-mangu di depan pintu.

“Kau berkuda?”

“Ya Ki Lurah”

“Taruh kudamu di belakang”

“Ini pakaianmu, Ki Lurah” berkata Ki Sura Branggah sambil menyerahkan bungkusan kepada Ki Lurah.

“Kenapa baru sekarang, kenapa tidak sebelum malam, sehingga aku tidak kedinginan”

“Ki Tumenggung baru sibuk mengurus pemakaman anaknya, Ki Tumenggung tidak sempat memberikan pakaian kepadaku”

Ki Sura Branggah membawa kudanya ke belakang, ia pun kemudian masuk pula ke rumah itu serta menyelarak pintunya.

Ki Lurah yang sudah mengenakan pakaian itu pun bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung tentang anaknya?”

“Seperti yang direncanakan, anak itu terjatuh dari kudanya yang baru”

“Apakah orang-orang mempercayainya?”

“Nampaknya mereka percaya, tetapi entahlah, aku hanya sempat menjumpai Ki Tumenggung sebentar di makam ketika orang-orang yang ikut mengantar jenazah anak muda itu sudah meninggalkan makam, Ki Tumenggung tidak mau ada orang yang melihat bahwa aku telah berhubungan dengan kademangan, jika saja ada orang yang mengenalku, maka persoalannya tentu akan bergeser”

Ki Lurah itu pun mengangguk-angguk, katanya, “Ya, jika saja ada yang mengenalmu sebagai seorang gegedug brandal yang terkenal, tetapi sayang, bahwa kau justru terkenal pada sisi yang hitam”

“Tetapi aku ditakuti orang, Ki Lurah. Namaku akan menjadi bayangan maut bagi orang-orang yang mencoba menentangku”

“Kau berbangga karenanya?”

“Tentu, sebagai seorang lurah brandal, aku memerlukan kewibawaan, jika namaku tidak ditakuti, maka aku akan direndahkan, terutama oleh kelompokkelompok brandal yang lain. tetapi dengan pengaruh namaku sekarang, aku mampu menghimpun beberapa kelompok brandal sebagaimana dikehendakki oleh Ki Tumenggung Reksadrana”

“Namun yang kemudian dihancurkan oleh prajurit Paranganom”

“Bukankah wajar jika aku tidak mampu melawan Kangjeng Adipati?, namaku masih akan tetap ditakuti kelak bila aku muncul lagi dengan sebuah kelompok yang baru, tetapi aku memang memerlukan waktu”

Ki Lurah Patrawangsa tiba-tiba berkata, “Aku masih mengantuk, aku akan tidur lagi, kau akan tidur disini sempai esok, atau kau akan kembali ke Kateguhan?”

“Aku tidak tergesa-gesa kembali, aku akan tidur saja disini, esok aku akan pergi ke Kateguhan”

“Aku juga pergi ke Kateguhan, tetapi kita akan pergi sendiri-sendiri”

Sura Branggah tertawa, katanya, “Ki Lurah takut terpercik noda pada namaku seperti Ki Tumenggung Reksadrana?, tetapi kalian tetapi memerlukan aku untuk mencapai gegayuhan kalian”

“Bukan aku yang punya gegayuhan, tetapi Ki Tumenggung”

“Ki Lurah tentu juga punya pamrih”

“Tentu, apa yang dilakukan oleh seseorang, tentu mengandung pamrih”

Sura Branggah mengangguk-angguk, tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Lurah telah kembali berbaring dan memejamkan matanya.

Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun membaringkan tubuhnya pula diatas tikar yang dibentangkannya di lantai.....

Ki Lurah Patrawangsa itu bersungut-sungut ketika ia mendengar Ki Sura Branggah mendengkur keras sekali sebelum Ki Lurah itu sendiri tertidur.

Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana tidak dapat tidur nyenyak, di dini hari ia sempat terlelap beberapa saat, namun kemudian ia pun telah terbangun kembali.

Ketika matahari terbit, Ki Tumenggung Reksadrana sudah selesai berbenah diri, satu-satu masih ada sanak kadangnya yang datang untuk menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya Prakosa dalam kecelakaan.

Namun ketika matahari naik, Ki Tumenggung Reksadrana telah memberitahukan kepada Nyi Tumenggung bahwa ia akan menhadap Kangjeng Adipati.

“Apakah Kakang sudah harus menghadap? bukankah Kangjeng Adipati tahu, bahwa kita telah kehilangan anak kita?”

“Aku hanya sebentar Nyi, ada persoalan yang penting aku sampaikan, aku akan segera kembali, sementara aku pergi, temui sanak kadang yang datang untuk menyatakan keprihatinan mereka, kita sangat berterima kasih atas perhatian mereka”

“Tetapi aku minta Kakang segera kembali, jika Kakang pergi, maka rasa-rasanya aku sendiri di dunia ini”

Ki Tumenggung memandang isterinya dengan penuh iba, ia mengerti, betapa pedihnya perasaan perempuan itu, anaknya begitu saja meninggalkannya untuk selama-lamanya.

“Jika ia tahu, apa yang telah terjadi sebenarnyanya, perempuan itu akan dapat membunuh dirinya sendiri” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.

“Nyi” suara Ki Tumenggung merendah, “Aku hanya akan pergi sebentar, aku akan segera kembali, aku tahu, bahwa dalam keadaan yang berat ini, kau memerlukan aku selalu disisimu. Tetapi aku tidak dapat mengkesampingkan tugasku yang penting ini”

Nyi Tumenggung memang tidak menghalanginya, tetapi ketika Nyi Tumenggung melepasnya di tangga pendapa, ia masih berpesan, “Jangan terlalu lama Kakang, sanak kadang yang datang akan kecewa jika tidak dapat menemuimu”

Sejenak kemudian, maka kuda Ki Tumenggung itu sudah berlari menuju ke dalem Kadipaten.

“Aku kira Ki Tumenggung tidak datang menghadap hari ini. Di rumah Ki Tumenggung tentu masih ada orang tamu yang datang”

“Ya, Kangjeng, masih saja ada orang yang ikut menyatakan ikut berduka, isteri hamba masih dibayangi oleh kepedihan yang sangat menekan jiwanya”

“Karena itu, sudahlah Ki Tumenggung, sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa tidak akan ada gunanya. Rencana yang kau sampaikan kepadaku itu adalah rencana yang sangat berbahaya”

“Anak hamba telah terlanjur menjadi korban, anak hamba terbunuh oleh orang-orang Paranganom. Ia mati sebagai seorang perampok yang rendah. Untunglah, bahwa hamba masih sempat membersihkan namanya”

“Hentikan permainan yang berbahaya itu, Ki Tumenggung. Jika paman Adipati di Paranganom mengetahuinya, maka namaku pun akan senilai sampah yang hanya pantas untuk dibakar”

“Tetapi jika berhasil?”

“Apa yang berhasil”

“Seperti yang hamba sampaikan beberapa waktu yang lalu, Kangjeng Mahapatih di Tegallangkap telah wafat”

Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Ki Tumenggung ingin aku menggantikan kedudukan itu?”

“Ya, Kangjeng, seperti yang sudah hamba katakan, di Tegallangkap hanya ada dua orang Adipati yang dipandang pantas untuk menjadi Mahapatih di Tegalangkap”

“Tentu tidak Ki Tumenggung. ada beberapa orang Adipati yang sudah mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari pengalamanku, sebagaimana paman Kanjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, sementara aku masih belum cukup lama menjabat”

“Tetapi Kangjeng Adipati sudah menunjukkan kelebihan, hamba mendengar dari pimpinan di Tegalangkap, bahwa ada dua orang terkuat, Kangjeng Sultan di Tegalangkap adalah seorang Sultan yang masih muda. yang membuat Kangjeng Sultan di Tegalangkap bimbang adalah manakah yang terbaik, apakah Mahapatih yang akan mendampinginya itu seorang Adipati yang sudah tua dan cukup berpengalaman atau seorang Adipati yang masih muda yang akan dapat mengimbangi gejolak jiwa Kangjeng Sultan yang masih muda itu”

“Aku mengenal Kangjeng Sultan itu dengan baik, Ki Tumenggung, menurut pendapatku, yang paling tepapt mendampingi Kangjeng Sultan yang masih muda itu adalah paman Kanjeng Adipati Prangkusuma”

“Tidak, Kangjeng jangan mengalah, Kangjeng harus berjuang merebut kedudukan itu, itulah sebabnya aku telah membuat rencana untuk mengacaukan tlatah Paranganom. jika Paranganom menjadi kacau, penduduknya menjadi resah, maka pilihan Kangjeng Sultan tentu akan condong kepada Kangjeng Adipati”

“Condong kepadaku?”

“Ya, Kangjeng”

“Kau kira aku akan puas berada pada satu jabatan yang direbut dengan curang?”

“Tetapi gegayuhan, Kangjeng, seseorang mempunyai hak untuk nggayuh kemukten”

“Ki Tumenggung menganggap semua cara dapat ditempuh?, dengan cara yang curang, licik dan bahkan mengorbankan orang lain?”

“Jangan banyak pertimbangan, Kangjeng, pokoknya di Paranganom telah terjadi kerusuhan, dengan demikian, maka pilihan Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Sang Mahapatih yang wafat dan tidak berputera itu akan jatuh kepada Kangjeng Adipati dari Kateguhan”

“Ki Tumenggung, sudah aku katakan, bahwa aku tidak bermimpi menjabat Mahapatih di Tegalangkap, aku sudah puas dengan kedudukan sekarang, sebagai seorang Adipati, maka aku akan berada lebih dekat dengan rakyatku daripada seorang Mahapatih”

“Tetapi gelar kekuasaan seorang Mahapatih akan meliputi seluruh kerajaan Tegalangkap, bahkan kekuasaan yang sebenarnyanya atas pemerintahan terletak pada tangan Mahapatih”

“Ki Tumenggung, aku tidak mau mempergunakan caramu, aku adalah kemanakan paman Kanjeng Adipati Prangkusuma, aku pun sudah merasa puas dengan kedudukan sekarang, aku wajib mensyukuri kurnia-Nya ini. Tidak sepatutnya aku justru memfitnah pamanku sendiri”

“Kangjeng, ini adalah satu gegayuhan, Kangjeng tidak boleh berpuas-puas dengan kedudukan Kangjeng sekarang, jika Kangjeng Adipati melepaskan kesempatan ini, maka kesempatan seperti ini tidak akan pernah kembali lagi”

“Biarlah kesempatan itu berlalu, Ki Tumenggung”

“Kangjeng”

“Dengar perintahku, Ki Tumenggung, hentikan”

Ki Tumenggung masih akan berbicara, tetapi Kangjeng Adipati pun berkata, “Sudahlah, Ki Tumenggung, aku tidak ingin membicarakannya lagi”

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun kemudian berkata, “Kangjeng, hamba mohon diri, mungkin dalam dua hari ini hamba tidak datang menghadap, baru setelah lewat hati ketiga kematian Prakosa hamba akan menghadap lagi”

“Silahkan paman. Aku tahu bahwa kau tentu sangat sibuk lahir dan batinmu. Salam buat Nyi Tumenggung”

Hamba Kangjeng Adipati”

Ki Tumenggung pun kemudian telah meninggalkan dalem kadipaten. Di sepanjang jalan Ki Tumenggung masih saja bersungut.

“Anak dungu. Ia tidak mau mendengarkan pendapat orang tua. Anak-anak muda sekarang merasa dirinya Iebih pintar dan orang-orang tua yang sudah kenyang makan pahit manisnya kehidupan. Aku melihat jalan yang terbuka bagi Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya anak itu memang tidak mempunyai gegayuhan. Ia menerima saja apa adanya. Jiwanya sama sekali tidak setegar ayahnya yang mempuny ai cita-cita setinggi bintang di langit.”

Ki Tumenggung pun kemudian melarikan kudanya di sepanjang jalan yang ramai.

Kekecewaan Ki Tumenggung masih juga dibawanya sampai ke rumahnya. Namun ketika ia melihat beberapa orang duduk di pringgitan, maka Ki Tumenggung pun berusaha untuk mengekang perasaannya. Apalagi ketika ia melihat Nyi Tumenggung itu sedang menangis dihadapan bibi dan pamannya yang agaknya baru datang.

Ki Tumenggung yang kemudian duduk di sebelah isterinya pun bertanya dengan nada rendah, “Sudah lama paman dan bibi datang tadi? ?”

Belum Ki Turnenggung” jawab paman Nyi Tumenggung, “aku baru semalam mendengar kecelakaan yang menimpa angger Prakosa.”

“Maaf paman dan bibi, kemarin kami tidak mempunyai kesempatan, semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa, kami tidak ingin jasad Prakosa itu harus menginap di rumah ini karena keadaannya, karena itu, kami tidak sempat memberitahukan kepada sanak kadang, apalagi yang agak jauh, yang dekat pun ada pula yang tidak mendengar musibah ini”

“Tabahkan hati kalian, jika saatnya datang, tidak ada yang akan dapat menghalanginya”

“Ya, paman. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, tetapi kadang-kadang masih juga tersembul pertanyaan, kenapa bukan aku saja”

“Kita tidak dapat memilih, Ki Tumenggung”

“Ya, paman, tetapi sebenarnya akulah yang akan mencoba kuda yang baru aku beli itu, tetapi Prakosa berkeras untuk melakukannya, meskipun pemiliknya yang lama sudah memperingatkan, bahwa kuda itu kadang-kadang agak sulit dikuasai”

“Itulah yang disebut pepesten, Ki Tumenggung, kita tidak dapat menghindarinya”

“Ya, paman”

“Dimana kuda itu sekarang?”

“Aku tidak mengurusnya lagi paman, kuda itu berlari entah kemana. Biar saja kuda itu hilang dari pandangan mataku”

“Tetapi bukankah kuda itu harganya tinggi?”

“Aku ingin melupakan apa yang pernah terjadi atas Prakosa”

Pamannya mengangguk-angguk, namun ia tidak bertanya lagi tentang kuda yang hilang itu, yang dikatakan kemudian adalah beberapa nasehat baik bagi Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung, namun nasehat baik itu kadang-kadang justru bagaikan ujung duri yang menusuk jantung Ki Tumenggung Reksadrana yang tahu pasti, kenapa anaknya meninggal.

“Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya harus mati’ geramnya di dalam hati.

Hari itu, Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung masih banyak menerima kunjungan dari kerabat dekat dan jauh, sanak kadang yang tidak mendengar kabar meninggalnya Prakosa menyatakan penyesalan mereka. Karena mereka tidak dapat ikut memberikan penghormatan terakhir.

“Segala sesuatunya sudah berlangsung dengan baik” berkata Ki Tumenggung, “mudah-mudahan Prakosa tenag di alam baka”.

“Terima kasih, terima kasih”

Keikhlasan sanak kadang yang berdatangan itu dapat sedikit menghibur kepedihan yang mencengkam Nyi Tumenggung, namun kehadiran mereka, apalagi sanak kadang yang membawa anaknya seusia Prakosa, kadang-kadang membuat luka hati Nyi Tumenggung justru semakin pedih, namun setiap kali Nyi Tumenggung mendengar nasehat orang-orang tua yang datang mengunjunginya, hatinya menjadi sedikit tenang.

“Tidak ada seorang pun yang dapat melawan pepesten, Nyi Tumenggung” berkata seorang perempuan tua. Kata-kata itu pula yang diucapkan oleh banyak orang yang datang mengunjunginya.

Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung Reksadrana berkabung karena kehilangan seorang anak laki-lakinya, di kademangan Panjer, Raden Madyasta Rembana, Sasangka dan Wismaya pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan kademangan itu.

“Biarlah untuk sementara, mungkin sepekan dua pekan, enam orang prajurit Paranganom itu akan tetap berada disini, Ki Demang” berkata Raden Madyasta.

“Terima kasih, Raden. mereka akan melindungi kademangan ini, namun sekaligus meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang telah berlatih olah kanuragan, sehingga jika pada suatu saat kami benar-benar ditinggalkan, maka kami dapat melindungi diri kami sendiri”

Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Ki Demang mudah-mudahan kelebihan dari anak-anak muda Panjer dapat dipercikkan ke kademangankademangan yang lain. setidak-tidaknya jika terjadi sesuatu, anak-anak muda Panjer dapat membantu mereka.”

“Tentu, Raden. kami akan menyampaikan kepada para Demang tanpa memberikan kesan kesombongan.”

“Itu sulitnya membina keseimbangan dalam pergaulan ini, Ki Demang. Kita benarbenar berniat baik. orang lain akan dapat menganggap, betapa sombongnya kita ini. Tetapi jika kita berdiam diri, maka kita dianggap tidak peduli terhadap kehidupan antara sesama”

“Tetapi kami akan mencari jalan yang terbaik, Raden. jika mereka sudah mendengar, bahwa perampok itu telah dihancurkan di kademangan Panjer, maka mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru atas hubungan mereka dengan Kademangan Panjer”

“Baiklah, Ki Demang” berkata Raden Madyasta kemudian,, “Setelah beberapa hari kami berada di kademangan ini, maka kami, maksudku aku, kakang Rembana, kakang Sasangka, dan kakang Wismaya akan minta diri, besok kami akan kembali ke Paranganom untuk memberi laporan kepada ayahanda, bahwa gerombolan perampok itu telah kita hancurkan, sayang, bahwa pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu tidak dapat kami tangkap”

“Tetapi bahwa gerombolan itu benar-benar telah lumat, berarti bahwa setidak-tidaknya dalam waktu singkat ini, mereka tidak akan dapat segera bangkit kembali, Sura Branggah memerlukan waktu untuk menyusun kekuatan. Sementara itu, anak-anak muda kademangan ini, bahkan semua laki-laki yang masih memiliki tenaga serta keberanian, sudah siap untuk menghadapi mereka. Keberadaan Raden serta para prajurit di kademangan ini, apalagi beberapa orang diantara para prajurit itu akan tinggal, telah membentuk anak muda di kademangan ini menjadi lain”

“Ya, Ki Demang, mudah-mudahan mereka tetap berminat untuk meningkatkan ilmu mereka. Sementara itu, aku titipkan beberapa orang gerombolan yang tertangkap dan menyerah itu disini. Para prajurit yang kami tinggalkan akan bertanggung jawab terhadap para tawanan itu. Namun tentu saja mereka akan minta bantuan anak-anak muda di kademangan ini untuk ikut menjaga. Jika Sura Branggah masih ingat kepada mereka, mungkin ia akan berusaha mengambilnya. Tetapi dalam waktu dekat ini ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya, sementara itu, sekelompok prajurit dari Paranganom akan segera menjemput mereka”

“Baiklah, Raden, kami akan ikut mempertanggung-jawabkan para tawanan itu”

“Terima kasih, Ki Demang” Raden Madyasta mengangguk-angguk, namun kemudian ia pun berkata, “Ki Demang, besok kami bertiga akan berangkat pagi-pagi selagi matahari belum naik”

Sebenarnya kami ingin menahan untuk beberapa hari lagi, tetapi kami mengerti, bahwa Raden harus segera memberi laporan kepada Kangjeng Adipati di Paranganom”

“Ya, Ki Demang, karena itu, maka kami tidak dapat lebih lama lagi tinggal disini”

“Baiklah, Raden. sekali lagi, kami seisi kademangan ini mengucapkan terima kasih, biarlah aku beritahu para Bebahu agar agar nanti malam mereka datang menemui Raden dan ketiga orang senapati yang menyertai Raden. Biarlah nanti malam angger Rembana, Sasangka dan Wismaya berada di rumah ini pula, agar esok pagi pada saatnya berangkat, Raden dan para senapati dapat mempersiapkan diri bersama-sama”

‘Terima kasih, Ki Demang” sahut Wismaya pula.

Di hari terakhir Raden Madyasta berada di kademangan Panjer, diperlukannya untuk bertemu dan berbicara dengan Rara Menur, “Besok aku akan meninggalkan kademangan ini, Menur.”

Rara Menur menunduk, suaranya dalam sekali, “Raden tidak akan pernah datang lagi ke kademangan Panjer?”

“Tentu aku akan datang lagi, Menur, ada beberapa orang berandal yang masih ditahan disini, enam orang prajurit akan tinggal disini pula”

“Tentu tidak harus Raden yang mengurus mereka, mungkin seorang diantara ketiga orang senapati itu, atau bahkan orang lain sama sekali”

“Aku akan berusaha datang kembali ke kademangan ini, Menur. Bukan hanya sekedar tugasku yang memanggil”

Rara Menur terdiam.

Raden Madyasta pun termenung sesaat, ia melihat wajah sendu gadis Panjer itu.

Agaknya perkenalan mereka setelah Raden Madyasta berada di Panjer beberapa hari telah menundukkan perasaan yang semula terasa asing di hati kedua insan itu, mereka mulai merasakan, tali yang menjerat batin mereka masing-masing. semakin lama terasa menjadi semakin kuat membelit sehingga keduanya akan merasa sangat sulit untuk mengurainya kembali.

Tetapi Raden Madyasta harus meninggalkan Panjer, ia adalah putera Kangjeng Adipati Prangkusuma yang datang ke Panjer untuk menjalankan tugas ayahandanya. Meredam kegiatan sekelompok brandal yang mempunyai kekuatan yang sangat besar.

“Aku hanyalah seorang perempuan padesan, Raden. aku hanya akan pasrah dalam ketidak berdayaan, apakah Raden masih akan datang lagi atau tidak” desis Rara Menur kemudian.

“Aku berjanji, Menur”

“Jika Raden kemudian tenggelam dalam kehangatan pergaulan gadis-gadis kota, maka aku tidak akan berarti apa-apa lagi bagi Raden”

“Menur” suara Raden Madyasta merendah. “Meskipun aku putera seorang Adipati, tetapi aku terbiasa hidup di sebuah padepokan, aku bergaul diantara para cantrik dan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sekitar padepokanku. Ketika aku tumbuh dewasa, sejak lebih dari empat tahun yang lalu. Aku terpisah dari pergaulan kota”

“Tetapi seorang anak muda, putera Kangjeng Adipati pula, akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya”

“Mungkin kau benar, Menur. Aku memang harus segera menyesuaikan diri, terutama yang berhubungan dengan kedudukan serta tugas-tugasku. Tetapi ada nilai-nilai yang lain di jalan kehidupan ini, Menur”

Hening sejenak. Rara Menur itu menundukkan wajahnya.

Madyasta menarik nafas dalam-dalam, ketika, ketika ia berpaling memandang wajah gadis itu, ia melihat jari-jari tangan Menur mengusap titik-titik air yang mengembun di pelupuknya.

Namun kemudian Rara Menur itu mengangkat wajahnya. Senyumnya yang hambar mengembang di bibirnya, “Selamat jalan, Raden, aku berharap kita dapat bertemu lagi. Tetapi bukan aku yang menentukan, tetapi Raden. aku hanya dapat berharap, tidak lebih dari itu”

“Menur” desis Raden Madyasta.

“Maaf Raden. aku harus membantu ibu di dapur, kami harus menyiapkan makan siang bagi Raden dan para senapati yang berada disini hari ini. Besok mereka akan meninggalkan kademangan ini bersama Raden”

Raden Madyasta tidak sempat menjawab, Rara Menur itu pun segera pergi meninggalkannya.

Raden Madyasta itu pun termenung-menung sejenak. Ia tahu, bahwa Rara Menur adalah seorang gadis padesan, anak seorang Demang. Latar belakang kehidupannya diketahuinya pula, sawah, ladang, lumbung, lesung dan sekali-sekali mencuci pakaian ke sungai kecil yang tidak jauh dari rumah Ki Demang.

Tetapi Rara Menur itu telah menjerat hatinya, hari itu, para senapati yang semula berpencar di rumah beberapa orang di padukuhan induk untuk kepentingan penyelengaraan latihan-latihan yang tertutup, telah berada di kademangan. Esok mereka bersama-sama dengan Raden Madyasta akan meninggalkan Kademangan Panjer.

Hari itu, Raden Madyasta dan para senapati yang berada di rumah Ki Demang itu pun menerima banyak tamu, ketika para nebahu dan para sesepuh kademangan mendengar bahwa esok Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan itu telah memerlukan menemuinya untuk mengucapkan terima kasih serta selamat jalan.

“Kapan rencana Raden berangkat?”

“Esok pagi-pagi sekali” jawab Madyasta, “Selagi matahari belum terbit, kami akan menempuh perjalanan panjang”

“Ya” sahut Ki Demang, “Jarak dari panjer ke Paranganom dan Kateguhan tidak terpaut banyak”

“Bukankah kademangan ini dekat sekali dengan perbatasan?” sahut Ki Jagabaya.

“Ya, itulah sebabnya maka kita dapat saja menduga, bahwa sarang para perampok itu justru di Kateguhan. Tidak di Paranganom, meskipun daerah jelajah mereka justru di Paranganom” sahut Rembana.

“Tetapi ini hanya satu dugaan” sahut Raden Madyasta, “Kami tidak dapat menuduh bahwa Kateguhan terlibat, karena dapat saja terjadi, bahwa sarang para perampok itu berada di Paranganom, sementara itu, mereka juga merampok di daerah Kateguhan, mungkin kita sajalah yang belum mendengar berita dari seberang perbatasan”

Ki Demang mengangguk-angguk, ia sadar, bahwa Raden Madyasta sebagai putera Kangjeng Adipati memang harus berhati-hati mengucapkan kata-kata, apalagi yang menyangkut kadipaten yang lain.

Tetapi Rembana menyahut, “tidak mungkin mereka bersarang di Paranganom, Raden.”

“Banyak, kemungkinan dapat terjadi, kakang. Dari mereka yang tertangkap, kita tidak memperoleh keterangan yang cukup. Mereka adalah kelompok-kelompok yang semula berdiri sendiri-sendiri. Tetapi kemudian telah dihimpun oleh Sura Branggah. Mereka ada yang berasal dari Paranganom, ada yang berasal dari Kateguhan. Tetapi ada pula yang justru berasal dari jauh. Sedangkan mereka tidak tahu, sarang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, menurut mereka, mereka tidak dapat mengenalinya apakah mereka berada di tlatah Paranganom atau di Kateguhan. Mereka hanya tahu, bahwa mereka berada di satu tempat di sekitar perbatasan”

“Kita harus memaksa mereka berbicara”

“Kita sudah mencoba, tetapi mereka benar-benar tidak tahu banyak tentang gerombolan mereka sendiri, sementara itu, cara-cara yang kita gunakan untuk memaksa mereka berbicara kadang-kadang telah melampaui batas kewajaran”

Rembana masih akan menjawab, tetapi Wismaya telah mendahuluinya, “Kita sudah cukup berbicara dengan mereka, Raden. Aku justru mempercayai mereka tidak tahu apa-apa selain melaksanakan perntah Lurah Brandal itu”

“Ya” Raden Madyasta mengangguk-angguk, “Kita tidak usah mempermasalahkan hal itu lagi. Pada suatu saat para brandal yang tertangkap dan menyerah itu akan dibawa menghadap ayahanda, mungkin ada keterangan yang tertinggal dapat diungkap oleh ayahanda sendiri.”

Rembana terdiam meskipun rasa-rasanya masih ada yang tertahan di dadanya.

Dalam pada itu, Madyasta berusaha untuk membawa pembicaraan kembali pada arah semula. Para Bebahu itu datang untuk menemuinya serta para senapati yang esok akan meninggalkan kademangan Panjer.

Ketika Rara Menur bersama seorang pembantunya menyampaikan hidangan bagi para tamu, maka Raden Madyasta melihat tangan gadis itu gemetar, tetapi Raden Madyasta tidak bertanya apa pun kepadanya. Apalagi di hadapan banyak orang.

Sampai malam masih saja ada beberapa orang yang datang untuk menemui Raden Madyasta serta ketiga orang senapati yang berada di kademangan Panjer. Pada umumnya mereka menyampaikan terima kasih serta mengucapkan selamat jalan. Beberapa orang kaya telah datang untuk menyampaikan kenang-kenangan kadipaten Raden Madyasta beserta para senapati dan prajurit Paranganom yang telah menyelamatkan kademangan mereka. bahkan ada diantara mereka yang membawa barang-barang berharga.

“Terima kasih” berkata Raden Madyasta kepada mereka, “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat membawa ke Paranganom. Kami akan menitipkan semuanya itu kepada Ki Demang Panjer. Mungkin barang-barang itu lebih bermanfaat bagi rakyat Panjer sendiri. Kami hanya akan membawa satu saja diantara semua kenang-kenangan itu, yang kemudian akan kami serahkan kepada ayahanda untuk disimpan di kadipaten”

“Raden” berkata Ki Wiratenaya, “Kami menyerahkan semuanya ini dengan ikhlas, kami juga sudah berbicara dengan Ki Demang sebelumnya, karena itu, kami mohon Raden dapat menerimanya”

“Kami menerima dengan senang hati, Ki Wiratenaya. Tetapi kami titipkan semuanya itu di rumah Ki Demang Panjer, disini benda-benda itu akan selalu memperingatkan bagaimana rakyat kademangan itu telah bekerja sama dengan para prajurit untuk melindungi rakyatnya”

“Tetapi tanpa Raden Madyasta, para senapati dan para prajurit, maka kami tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Ki Wiratenaya dan saudara-saudaraku, bagi kami, pernyataan terima kasih kalian sangat membesarkan hati kami. Tetapi apa yang kami lakukan itu adalah memang tugas dan kewajiban kami. Sementara itu, rakyat Panjer sendiri dengan suka rela mempertaruhkan nyawa mereka. Nah jika saudara-saudaraku sependapat, disamping kenang-kenangan yang kalian berikan kepada kami, maka alangkah baiknya jika kalian juga memberikan kenang-kenangan kepada rakyat Panjer sendiri. Ada diantara anak-anak muda kita yang gugur. Mungkin kalian dapat membangun sebuah tugu peringatan di depan banjar. Tetapi mungkin pula untuk mengenang anak muda terbaik yang telah gugur itu kalian membangun sebuah bendungan yang akan dapat mengairi beberapa ratus bahu sawah, atau membangun jembatan yang akan dapat menjadi penghubung antara lingkungan terpencil di kademangan ini dengan lingkungan di sekitarnya yang akan dapat memberikan arti bagi kesejahteraan mereka. Jika air sungai menjadi besar karena hujan di lereng pegunungan, arus perdagangan dengan daerah terpencil itu tidak terputus, hasil bumi tidak tertahan dan bahkan membusuk karena tidak sempat dilemparkan ke pasar”

Orang-orang yang terhitung kaya dan berada, para pedagang dan para saudagar mendengarkan pesan Raden Madyasta itu sambil mengangguk-angguk, mereka menyadari, bahwa harta benda mereka tidak akan terlindungi, jika rakyat yang sehari-hari hidup dalam tataran kesejahteraan jauh berada di bawah kesejahteraan mereka tidak berbuat apa-apa.

Orang-orang yang terhitung kaya dan berada, para pedagang dan para saudagar mendengarkan pesan Raden Madyasta itu sambil mengangguk-angguk. Mereka menyadari, bahwa harta-benda mereka tidak akan terlindungi, jika rakyat yang sehari-hari hidup dalam tetaran kesejahteraan jauh berada di bawah kesejahteraan mereka tidakk berbuat apa-apa.

Raden Madyasta itu tiba-tiba saja teringat kepada pesan gurunya. Dengan gaya yang agak berbeda, maka ia pun mengulanginya, “Saudara-saudaraku. Dengan keberadaan kalian, maka kalian sebenarnya mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat bagi orang banyak yang bahkan ada diantara mereka yang kekurangan. Dalam hubungan timbal balik, maka sudah sepantasnya kalian mengulurkan tangan kalian. Ingat, yang gugur dalam pertempuran melawan para perampok itu bukanlah anak seorang yang kaya yang harus mempertahankan harta bendanya sendiri mati-matian. Ingat ini. Lalu apakah yang dapat kalian lakukan bagi mereka yang kekurangan?”

Orang-orang yang terhitung kaya dan berada di Kademangan Panjer itu mengangguk-angguk. Sementara Raden Madyasta masih saja menirukan pesan gurunya dangan kata-katanya sendiri, “Bahkan seandainya mereka tidak berbuat apa-apapun, adalah kewajiban kira untuk menolong mereka yang kekurangan. Jika kita mempunyai setumpuk baju, berikan selembar kepada mereka yang kedinginan. Jika kita mempunyai selumbung padi, berikan seikat kepada mereka yang kelaparan.”

Adalah diluar sadarnya, jika seorang diantara mereka menggangguk-angguk sambid berdesis, “Kami mengerti Raden.”

“Nah. Karena itulah, maka kami tidak akan membawa semua kenang-kenangan itu kembali ke Paranganom. Kami akan membawa satu saja. Yang lain akan kami serahkan kepada Ki Demang. Mungkin akan sangat berarti bagi rakyat kademangan ini meskipun harus dalam ujud yang berbeda. Aku minta sanak-kadang tidak tersinggung karenanya.”

Seorang yang lain pun berdesis pula, “Ya. Kami mengerti sepenuhnya maksud Raden Madyasta.”

“Nah, Ki Demang” berkata Raden Madyasta kemudian, “segala sesuatunya terserah kepada Ki Demang .”

“Baiklah, Raden. Aku akan menerimanya sebagaimana aku menerima beban tugas yang harus aku laksanakan.”

“Mudah-mudahan akan berguna bagi rakyat di kademangan ini.”

Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam, maka Ki Demang telah memeringatkan Raden Madyasta serta ketiga Senapati dari Paranganom itu untuk beristirahat.

“Besok Raden serta ketiga orang Senapati itu akan, berangkat pagi-pagi sekali. Karena itu, sebaiknya Raden serta para Senapati beristirahat sekarang.”

“Baik Ki Demang. Kami minta maaf kepada semuanya yang dengan sengaja datang untuk menemui kami di saat-saat terakhir kami berada di kademangan ini. Kami minta diri. Esok kami akan kemali ke Paranganom, menghadap ayahanda Kangjeng Adipati setelah kami melaksanakan tugas kami beberapa lama di kademangan ini.”

“Kami hanya dapat mengucapkan selamat jalan”
berkata Ki Jagabaya mewakili orang-orang yang masih berada di rumah Ki Demang.

“Terima-kasih. mungkin esok pagi kami tidak sempat minta diri. Kami minta maaf jika ada kesalahan yang kami lakukan selama kami berada disini. Sepeninggal kami masih ada enam orang prajurit yang akan tinggal di padukuhan ini untuk menuntaskan tugas kami. Kami titipkan mereka kepada rakyat kademangan Panjer yang mempunyai kepedulian yang sangat tinggi terhadap lingkungannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Raden Madyasta telah berada didalam biliknya. Demikian pula Rembana, Sasangka dan Wsmaya telah berada didalam satu bilik pula di gandok.

“Raden Madyasta ternyata terlalu lemah” berkata Rembana, “sikapnya kepada para brandal yang tertawan terlalu lembut seperti sikapnya kepada gadis yang sedang tumbuh dewasa.”

“Sudahlah” berkata Wismaya, “sebagai seorang putera Adipati, Raden Madyasta harus berpegang pada paugeran. Ia tidak dapat berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang sudah tidak berdaya.”

“Mungkin karena Raden Madyasta baru kasmaran terhadap gadis Panjer, sehingga ia ingin dianggap seorang laki-laki yang berhati sutera. Tetapi karena Raden Madyasta ini mendapat pujian dari seorang gadis, maka tugasnya sebagai seorang prajurit telah gagal.”

“Apakah kita gagal?” bertanya Wismaya.

Rembana tidak menjawab. Namun Sasangka lah yang menyahut, “Mungkin sikapnya terhadap para brandal yang telah menyerah itu dapat dimengerti. Tetapi ada sikapnya yang lain yang tidak aku mengerti.”

“Sikapnya yang mana?” bertanya Wismaya.

“Bukankah kenang-kenangan atau tanda terima kasih atau apapun namanya itu diserahkan dengan ikhlas oleh orang-orang Panjer.”

“Ya”.

“Kenapa Raden Madyasta telah menolaknya?”

“Sebagai seorang putera Adipati, Raden Madyasta pun harus menjaga harga dirinya. Tanda terima kasih itu memang tidak perlu. Kita menjalankan tugas kita sehingga apa yang kita lakukan itu benar-benar harus bersih.”

“Bukankah pemberian itu juga bersih? Mereka memberikan dengan ikhlas. Mereka tentu mempunyai perhitungan, jika saja rumah mereka dirampok, maka mereka akan kehilangan seratus kali lipat dari kenang-kenangan yang mereka berikan. Terus-terang. Aku senang mengumpulkan kenang-kenangan dari siapapun.”

“Sasangka” berkata Wismaya, “sikap yang diambil oleh Raden Madyasta sebagai putera seorang Adipati menurut pendapatku sudah tepat.”

“Aku mengerti. Raden Madyasta yang sudah memiliki apa saja di rumahnya memang tidak memerlukannya. Tetapi kami? Aku, kau dan Rembana? Kenang-kenangan itu dapat memberikan berbagai macam arti. Aku dapat meletakannya di bilik tidurku sebagai perhiasan. Tetapi kenang-kenangan itu ada yang bernilai uang. Sebagai seorang anak muda, uang mempunyai arti yang penting pula bagiku.”

“Aku setuju” tiba-tiba saja Rembana berdesis.

“Apakah itu bukannya yang disebut pamrih? Pantaskah jika kita menjalankan tugas kita berdasarkan pamrih.”

“Kau keliru menilai sikap kami, Wismaya” sahut Sasangka, “jika pada saat kita berangkat memang mengharapkan untuk mendapat kenang-kenangan atau tanda terima kasih ataupun apa namanya, lebih-lebih yang bernilai uang, itu berarti bahwa kita sudah salah langkah. Tetapi yang terjadi tidak begitu. Kita telah berjuang tanpa pamrih apa-apa. Tidak ada orang yang menjanjikan untuk memberikan tanda terima kasih, apalagi yang dapat bernilai uang. Tanpa janji itu kita telah melakukan tugas kita dengan sebaik-baiknya. Baru kemudian, setelah kita berhasil, kenang-kenangan itu mulai disebut-sebut. Nah, bukankah itu berarti bahwa saat-saat kita menjalankan tugas kita, kita benar­benar tanpa pamrih.”

“Aku mengerti, Sasangka. Tetapi jika kita menerima hadiah-hadiah itu, maka agaknya tugas yang kita lakukan itu sudah dibeli oleh orang-orang Panjer. Mereka tidak lagi merasa, bahwa mereka mendapat perlindungan dari prajurit Paranganom, tetapi mereka telah melunasinya dengan apapun yang dapat bernilai uang.”

“Kita bukan orang-orang yang berhati kapas, Wismaya. Mungkin karena Raden Madyasta lama tinggal di padepokan, maka ia merasa wajib untuk berbuat baik sebagaimana diajarkan oleh gurunya. Kau dengar apa yang dikatakannya kepada orang-orang yang datang untuk memberikan kenang-kenangan itu? Kata-kata, bahkan kalimat-kalimat yang diucapkan itu tentu kalimat-kalimat yang pernah diucapkan gurunya pula. Tetapi sebaiknya kita bersikap wajar-wajar saja, Wismaya.”

Wismaya menarik nafas panjang. Ia tidak ingin bebantah dengan kedua orang sahabatnya tentang sesuatu yang sulit untuk menemukan persesuaian pendapat. Bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham. Karena itu, maka Wismaya pun memilih untuk berdiam diri. Bahkan ia pun kemudian menguap sambil berkata, “Aku sudah mengantuk. Esok kita akan bangun pagi-pagi.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketiga orang Senapati itupun telah tertidur nyenyak.

Yang sulit untuk dapat tidur adalah Raden Madyasta, bukan lagi karena kegagalannya menangkap pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu. Bukan pula karena sikap orang-orang kaya di Panjer. Tetapi Raden Madyasta tidak segera dapat menyingkirkan wajah Rara Menur dari angan-angannya.

“Ia hanya seorang gadis padesan” berkata Raden Madyasta.

Tetapi yang menarik Raden Madyasta adalah justru sikapnya yang lugu tanpa dibuat-buat. Sedikit rikuh untuk bertemu dan berbicara berdua saja. Hubungannya yang terbatas dan kemauannya bekerja keras meskipun ada beberapa orang pembantu di rumahnya. Sifat yang jarang dimiliki oleh sebagian gadis-gadis kota yang manja yang hanya mampu merias diri.

“Bukankah pada kesempatan lain aku masih akan dapat berkunjung kemari” berkata Raden Madyasta kepada dirinya sendiri.

Tetapi, akhirnya Raden Madyasta itu pun tertidur pula.

Pagi-pagi sekali, seperti yang direncanakan, Raden Madyasta serta ketiga orang senapati Paranganom itu sudah bersiap, Ki Demang dan keluarganya melepas mereka sampai ke regol halaman. Rara Menur berdiri disamping ibundanya, ia mencoba tersenyum, tetapi senyumnya nampak masam.

“Aku masih akan datang kembali, Ki Demang” berkata Raden Madyasta tiba-tiba saja.

“Kami sangat mengharapkan Raden” sahut Ki Demang.

“Aku masih harus menyelesaikan persoalan tawanan itu sampai tuntas”

“Ya, Raden”

Tetapi diluar sadarnya, Raden Madyasta itu berpaling kepada Rara Menur yang sedang memandangnya, namun wajah gadis itu pun segera menunduk dalam-dalam.

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya telah minta diri sekali lagi sebelum kuda-kuda mereka berlari meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Panjer.

Ketika keempat orang berkuda itu keluar dari gerbang padukuhan induk Kademangan Panjer, butiran-butiran embun masih nampak melekat di ujung dedaunan seperti butir-butir mutiara yang bergayut di telinga seorang gadis.

Rerumputan masih basah, sementara langit yang cerah mulai membayangkan cahaya fajar yang merah.

Burung-burung liar terdengar bersiul bersahutan menyambut terbitnya matahari.

“Segarnya udara di padesan” gumam Raden Madyasta.

“Ya, Raden” sahut Wismaya.

Raden Madyasta benar-benar menikmati udara pagi, tidak terlalu jauh nampak sebagai pegunungan yang rendah membujur sejajar dengan jalan yang dilaluinya, hutan yang lebat nampak tumbuh dilerengnya yang memanjang.

Di belakang pegunungan itu terdapat perbatasan antara kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan. Dua kadipaten yang semula diperintah oleh dua orang bersaudara, namun kemudian Kadipaten Kateguhan sepeninggal Kangjeng Adipati Prawirayuda telah dipimpin oleh puteranya yang kemudian ditetapkan menjadi Adipati yang bergelar Kangjeng Adipati Yudapati.

Keempat orang berkuda yang melarikan kuda mereka semakin cepat, selagi masih pagi, mereka ingin menempuh jarak yang panjang.

Namun ketika mereka melalui sebuah padukuhan maka mereka harus memperlambatkan kuda mereka, pada saat matahari mulai membayang di langit, jalan-jalan di padukuhan mulai menjadi ramai pula, beberapa orang perempuan berjalan beriring pergi ke pasar dengan membawa bakul sayuran, ada yang berisi ubi dan hasil kebun lainnya, ada yang berisi daun pisang ada pula yang berisi pisang yang masih bertandan serta buah-buahan lainnya.

Namun ada juga perempuan yang menggendong kayu bakar, barang anyaman bambu, pandan dan mendong.

“Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang cukup ramai” berkata Sasangka yang berkuda di belakang bersama Rembana.

“Ya, kesibukannya sudah nampak sampai disini” sahut Raden Madyasta.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian mereka melewati sebuah pasar yang ramai. Pada saat matahari terbit, pasar itu seakan-akan sudah tidak dapat memuat kesibukan dari orant-orang yang berjual beli. Bahkan, ada para penjual yang menggelar dagangannya diluar pintu gerbang pasar.

Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya justru turun dari kuda mereka, mereka menuntun kuda mereka melintas di kerumunan orang-orang yang masih berada di depan pintu gerbang pasar.

Ketika mereka melintas di dekat beberapa orang yang berkerumunan, Sasangka sempat bertanya, “Apakah pasar ini demikian ramainya setiap hari?”

“Hari ini hari pasaran, Ki Sanak” jawab orang itu.

“Di setiap hari pasaran, pasar ini tidak dapat memuat kesibukannya seperti hari ini?”

“Di setiap hari pasaran, pasar ini memang ramai sekali, tetapi tidak seperti hari ini. mungkin orang-orang yang berjualan dan berbelanja di pasar ini tidak lagi dihantui oleh orang-orang yang sering melakukan kejahatan”

“Kenapa?, apakah penjahatnya sudah tertangkap?”

“Ya”

“Apakah penjahatnya hanya satu?”

“Banyak, tetapi gerombolan mereka telah dihancurkan di Kademangan Panjer, sehingga orang-orang ini merasa tenang pergi ke pasar, kami pun jarang sekali pergi ke pasar. Tetapi hari ini kami memerlukan pergi untuk melihat-lihat keadaan setelah gerombolan perampok itu dihancurkan”

“Apakah yang sering terjadi?”

“Mereka menyamun dan bahkan kadang-kadang merampas di tempat ramai”

“Apakah orang-orang yang sering menyamun dan merampas itu termasuk gerombolan yang dihancurkan di kademangan Panjer?”

“Tentu, orang-orang itu sering menyebut-nyebut nama Sura Branggah, sedangkan pemimpin gerombolan di Panjer itu juga bernama Sura Branggah”

Namun kawannya segera menggamitnya. Katanya, “Jangan sebut nama itu. Orang itu masih belum tertangkap. Jika ia mendengar kau menyebut namanya, maka kau akan didatanginya meskipun ia sendiri.”

“Tidak. Aku tidak menyebut namanya.”

“Kau kira apa yang sudah terucapkan itu dapat dihapus.”

“Jangan katakan kepada siapapun kalau aku pemah mengucapkan namanya” orang itu pun menjadi berkeringat.

Namun Sasangka pun tertawa. Katanya, “Akulah Sura Branggah itu. Tetapi aku tidak marah. Jangan takut. Aku hanya marah terhadap seorang pengecut yang cengeng.”

Orang-orang yang mendengarnya terkejut. Wajah mereka menjadi pucat serta keringat mulai mengalir di punggung.....

Tiba-tiba Rembana pun ikut pula berbicara, “Bagaimana ujud Sura Branggah itu menurut angan-anganmu? Berwajah garang, berkumis tebal menyilang diatas mulutnya. Ada segores bekas luka di kening. Matanya merah dan giginya agak lebih mancung dari bibirnya? Begitu?”

Orang itu tidak ada yang berani menjawab, sementara Rembana sambil tertawa berkata, “Kalian keliru, ternyata Ki Sura Branggah adalah seorang anak muda yang tampan. Nah kalian harus minta maaf, karena kalian telah menghinanya meskipun baru di dalam bayangan kalian”

Tetapi Wismaya tiba-tiba saja berkata, “Marilah, matahari telah naik semakin tinggi”

Meskipun demikian Rembana masih saja berkata, “Sudahlah, jangan pikirkan Sura Branggah, Sura Branggah sendiri akan melupakan kalian, demikian kami lepas dari kerumunan orang-orang yang tidak sempat masuk ke dalam pasar ini, kami sedang memburu seorang saudagar emas berlian”

Jantung orang-orang itu menjadi semakin cepat berdetak, sementara Sasangka pun berkata, “Sudahlah beritahu aku jika kalian melihat atau bertemu orang-orang kaya yang berkeliaran. Tetapi para prajurit Paranganom itu telah merusak semua rencanaku, mereka tidak terkalahkan, gerombolanku telah dihancur lumatkan menjadi debu”

Rembana tidak berkata apa-apa lagi, namun ia pun bergegas sambil menuntun kudanya. Di belakangnya Sasangka pun mengikutinya menyusul Wismaya dan Raden Madyasta yang sudah semakin jauh.

Lewat kerumunan orang banyak di depan pasar itu, maka keempat orang itu pun telah meloncat ke punggung kuda mereka.

“Kau takut-takuti orang-orang itu, justru saat gerombolan perampok itu sudah kita hancurkan.”

“Aku mengatakan kepada mereka, bahwa yang ditakuti oleh Sura Branggah adalah prajurit Paranganom” sahut Sasangka.

“Kau katakan kepada mereka bahwa gerombolan Sura Branggah telah dihancurkan?”

“Ya. Aku katakan bahwa gerombolanku telah dilumatkan.”

Wismaya tersenyum. Katanya, “Kelakar yang tentu menggelisahkan orang-orang itu.”

Rembana tertawa. Katanya, “Sasangka memang dapat saja membuat persoalan-persoalan yang berat menjadi bahan kelakar. Aku hanya menumpang saja. Kadang-kadang kelakar Sasangka dapat juga memberikan sedikit kesenangan.”

Sasangkapun tertawa pula.

Sambil tersenyum Raden Madyasta pun berkata, “Mudah-mudahan kelakar kakang tidak meninggalkan jejak yang menggelisahkan di hati mereka.”

Rembana masih saja tertawa. Sementara Sasangka menjawab, “Aku memang benci kepada orang-orang yang pengecut.”

“Itu wajar, karena kakang adalah seorang prajurit. Tetapi bukankah perasaan takut itu pada dasamya ada pada setiap orang? Apakah kakang belum pernah merasakann betapa ketakutan itu mencengkam diri kita?”

Sasangka terdiam. Rembana tidak lagi tertawa.

Sejenak kemudian, kuda-kuda mereka pun berlari di jalan bulak yang tidak begitu ramai. Semakin lama, ketika jalan terasa semakin sepi, derap kaki kuda merekapun menjadi semakin cepat.

Matahari memanjat langit semakin tinggi, sinarnya yang semakin panas terasa menusuk kulit. Selembar awan mengalir tertiup angin dari arah lautan terdorong kearah pegunungan.

Udara yang terbakar oleh panasnya matahari nampak mengeliat seperti uap air yang mendidih, mengambang diatas jalan yang akan mereka lalui.

Rembana yang kepanasan membuka bajunya dibagian dadanya.

Raden Madyasta yang berkuda di paling depan pun sambil bertanya, “Bagaimana dengan kuda-kuda kita?”

“Sudah waktunya beristirahat, Raden” Sahut Sasangka.

“Kau tahu kudamu yang sudah waktunya beristirahat?” bertanya Rembana.

“Kedua-kduanya” jawab Sasangka.

Raden Madyasta dan Wismaya hanya tersenyum saja. Namun mereka pun menyadari, bahwa setelah lewat tengah hari, maka sebaiknya mereka pun berhenti untuk beristirahat, kuda-kuda mereka pun nampak letih dan haus.

Karena itu, ketika mereka menjumpai sederet kedai di dekat sebuah pasar yang sudah mulai sepi, mereka pun berhenti.

Kepada seorang yang memang bertugas untuk merawat kuda bagi mereka yang masuk dan makan serta minum di kedai itu, Wismaya berpesan, “Tolong beri minum dan makan kuda-kuda kami”

Orang itu mengangguk hormat.

Setelah mereka beristirahat secukupnya, maka Raden Madyasta membayar harga makanan serta minuman mereka termasuk perawatan kuda mereka sekaligus minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Terima kasih, Ki Sanak” berkata pemilik kedai itu sambil menerima uangnya.

Ketika keempat orang itu keluar dari pintu kedai itu, mereka melihat dua orang yang sedang mengamati kuda Raden Madyasta, kuda yang besar dan tegar, memang jarang terdapat kuda sebesar dan setegar kuda Raden Madyasta.

Raden Madyasta membiarkan kedua orang itu mengamati kudanya, ia tidak tergesa-gesa membawa kudanya pergi.

Namun beberapa saat kemudian, telah datang lagi empat orang berkuda, namun kuda-kuda mereka tidak ada yang sebaik kuda Raden Madyasta.

Seorang yang berwajah tampan, berkumis tipis dan bermata tajam, bertanya kepada Raden Madyasta, “Apakah ini kudamu anak muda?”

“Ya, Ki Sanak” jawab Raden Madyasta sambil tersenyum.

“Kudamu bagus sekali, apakah kau blantik kuda?”

“Bukan, Ki Sanak. Jawab Raden Madyasta.

“Apakah kerjamu sehingga kau dapat membeli kuda sebagus ini. lebih bagus dari kuda kawan-kawanmu dan bahkan lebih bagus dari kudaku”

“Ayahku seorang petani, Ki Sanak”

“Tentu petani kaya”

“Bukan Ki Sanak, ayahku seorang petani kebanyakan, kuda ini kami miliki bukan karena orang tuaku kaya, tetapi karena kuda ini aku terima sebagai hadiah dari pamanku yang kebetulan juga calon mertuaku”

“Jadi, calon mertuamulah yang kaya?”

“Sebenarnya juga tidak kaya, Ki Sanak. Tetapi pamanku adalah penggemar kuda. Ketiga orang ini adalah calon iparku”

Orang itu memandang Wismaya, Sasangka dan Rembana berganti-ganti, diluar sadarnya ia pun bertanya, “Mereka bertiga?”

“Wajah mereka tidak mirip yang satu dengan yang lainnya?”

Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Semula ia tidak berpikir sedemikian jauhnya. Namun agaknya orang yang mengajaknya berbicara itu termasuk orang yang teliti mengamati sesuatu.

Namun Rembana lah yang menjawab, “Kami berbeda ibu, Ki Sanak. Kami bertiga mempunyai tiga orang ibu’ Kami lahir hampir berbareng”

Orang itu itu mengerutkan dahinya, sementara Sasangka pun menyahut, “Ibukulah yang paling cantik”

Wismaya memandang Sasangka dengan kerut di dahi. Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Rembana lah yang berbisik ditelinga Wismaya, “Kau keberatan kalau Sasangka mengatakan ibunya yang paling cantik?”

“Tidak” jawab Wismaya pendek, “tetapi diantara tiga anak isteri ayah itu, akulah yang paling tampan.”

Rembana lcrtawa tertahan. Katanya, “Ternyata sekali-sekali kau dapat juga berkelakar.”

Sasangka lah yang berpaling kepada keduanya sambil berkata, “jangan iri. Ibuku memang paling cantik. Adik perempuan kita yang akan menjadi isteri saudara kita ini adalah adikku seibu.”

Orang yang berwajah tampan dan bermata tajam itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kalian adalah gambaran dari anak-anak muda yang tidak tahu unggah-ungguh. Kau berbicara dengan orang yang lebih tua, anak-anak muda.”

“Kami mohon maaf” Raden Madyasta lah yang menyahut. Kawan-kawannya itu adalah senapati yang di medan pertempuran dapat bersikap bersungguh-sungguh. Mereka telah terbiasa membawahi sepasukan prajurit, sehingga di barak mereka masing-masing, mereka adalah Senapati yang berwibawa. Tetapi sebagai anak-anak muda, maka di, luar barak mereka, kadang-kadang muncul juga sifat-sifat kemudaan mereka.

Orang yang berwajah tampan itu mengerutkan keningnya, dengan nada dalam ia pun berkata, “Kalian tahu, aku adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas di daerah Pasiraman Barat, daerah yang diperintah oleh Ki Panji Wirasentika”

“Pasiraman Barat, bukankah Pasiraman Barat itu termasuk wilayah Paranganom?”

“Ya, aku adalah orang yang dituakan disana, mungkin karena beberapa kelebihan daridaku, tetapi mungkin juga karena aku seorang saudagar yang berkecukupan, itulah sebabnya aku bertanya kepada kalian, apakah kalian blantik kua. Jika kalian blantik kuda, aku ingin membeli kuda ini”

“Maaf, Ki Sanak” berkata Raden Madyasta, “Aku tidak menjual kudaku ini”

“Dimanakah rumah kalian?” bertanya kwb orang yang berwajah tampan itu.

“Kami tinggal di Kaduwang”

“Kaduwang, tlatah Kateguhan”

“Ya”

Kalian akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Paranganom, menengok seorang paman kami yang tinggal di Paranganom”

Orang itu mengangguk, namun tiba-tiba seorang lain yang baru datang kemudian, bertanya, “Jadi kau orang Kateguhan?”

“Ya, kenapa?”

“Banyak wilayah Paranganom yang telah didatangi perampok, banyak pula jalan-jalan di Paranganom yang menjadi daerah perburuan bagi para penyamun, semuanya itu terjadi di dekat perbatasan dengan Kadipaten Kateguhan”

Raden Madyasta termenung-menung sejenak, jika pembicaraan itu berkepanjangan, maka Raden Madyasta terlanjur mengaku orang Kateguhan.

Karena itu, Raden Madyasta tidak ingin terlibat lebih dalam pembicaran yang sulit, maka ia pun berkata, “Mungkin Ki Sanak. Tetapi daerah perbatasan di tlatah Kateguhan pun banyak terjadi kejahatan pula sebagaimana di Paranganom. Mudah-mudahan segera ada kerja sama antara Kadipaten Kateguhan dan Kadipaten Paranganom untuk mengatasi kejahatan itu. Menurut pendengaranku, sudah ada usaha dari kedua belah pihak untuk menjepit daerah yang banyak dibayangi oleh kejahatan itu.”

“Kau berlagak seperti seorang Tumenggung di Kateguhan” seorang yang lain menyela, “Apa yang kau tahu tentang kejahatan itu?”

“Aku tidak tahu apa-apa, Ki Sanak. Yang aku tahu hanyalah kata orang”

Orang yang berwajah tampan itu tersenyum, katanya, “Sudahlah, sebaiknya kau jual saja kudamu kepadaku, maksudku, kita bertukar kuda, berapa aku harus menambah?”

“Tidak, Ki Sanak. Aku tidak akan menjual atau menukarkan kudaku. Kuda itu adalah kuda pemberian”

“Apalagi kuda itu adalah kuda pemberian”

“Aku harus menghargai pemberiannya”

Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi mendekati Raden Madyasta sambil bertanya, “Kau dapat darimana kudamu itu, He?. Kuda yang baik tentu dapat dikenali asal usulnya, karena kudamu termasuk kuda yang baik, maka kau tentu mengerti asal usulnya.”

“Sudahlah” berkata Raden Madyasta, “Biarlah aku melanjutkan perjalanan”

“Nanti dulu” berkata orang yang bertubuh tinggi itu, “Kau harus menyebut asal-usul dan keturunan dari kudamu itu, atau kau mengambil kuda itu dari orang lain”

“Aku curi maksudmu?” bertanya Raden Madyasta

“Ya”

Tetapi orang yang bertubuh tinggi itu terkejut, sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya yang besar itu terdorong surut, dengan wajah merah Rembana berkata, “Jangan asal membuka mulutmu Ki Sanak. Siapa pun kami, tetapi kami tidak mau dihina. Jika sekali lagi kau menuduh saudaraku mencuri, maka aku akan menampar mulutmu”

Sikap Rembana itu memang mengejutkan, bahkan Raden Madyasta terkejut pula, karena itu, maka dengan serta merta ia pun berkata, “Sudahlah, marilah kita melanjutkan perjalanan”

Tetapi yang dilakukan oleh Rembana itu merupakan api yang sudah menyulut ujung obor belarak, sulit untuk segera dapat dipadamkan.

Orang yang bertubuh tinggi besar itu sudah menjadi marah pula. Dengan geram ia pun berkata, “Kau telah melakukan satu tindakan yang bodoh, kau orang Kateguhan yang tidak tahu diri, aku akan melumatkan kepalamu. Tidak ada orang yang akan menyalahkan aku, banyak saksi yang akan dapat mengakatakan, bahwa kau telah mendahului melakukan serangan kewadagan”

“Tetapi juga banyak saksi yang dapat mengatakan bahwa kau sudah menghina kami dengan tuduhan mencuri”

“Aku hanya bertanya”

“Itu pertanyaan gila, karena itu kau harus minta maaf kepada saudaraku”

“Sudahlah, kakang” berkata Raden Madyasta. “Marilah kita meneruskan perjalanan, jarak perjalanan kita masih panjang”

“Tetapi aku tidak mau dihina seperti ini”

“Persetan” geram orang bertubuh tinggi besar itu, “Aku akan mematahkan tanganmu”

“Jika kau ingin mencoba, aku tidak berkeberatan” suara Rembana bergetar oleh kemarahan yang bergejolak di jantungnya.

Orang yang berwajah tampan, yang ingin membeli kuda Raden Madyasta itu sama sekali tidak menahan kawannya itu, bahkan sambil tersenyum ia pun berdesis, “Nasibmu buruk orang Kateguhan, kau sudah berani bermain-main dengan Deriji Wesi”

Ternyata nama orang itu membuat hati Rembana semakin panas, dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Deriji Wesi?, kau kira nama yang bagaimana pun juga seramnya dapat membuat hatinya kuncup?”

“Bersiaplah” Deriji Wesi itu pun menggeram, “Aku akan melumatkan kepalamu dengan jari-jariku”

Raden Madyasta menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sudah tidak mungkin dapat mencegah benturan kekerasan yang akan timbul.

Sementara itu, orang yang berwajah tampan yang mengaku saudagar kaya raya dari Pasiraman Barat itu berkata, “Sentuhan jari-jarinya akan sama dengan sentuhan bindi baja, tulang-tulangmu dapat diremukkannya, kecuali jika kau minta maaf kepadanya. Ia bukan pendendam, tetapi ia juga bukan orang yang dapat membiarkan begitu saja orang-orang yang telah menyinggung perasaannya.”

“Cukup” Rembana telah membentaknya, “Aku sudah bersiap, kau mau apa?”

“Kau akan menyesal anak muda” berkata orang berwajah tampan, “sayang kau belum mengenal Deriji Wesi.”

“Tidak ada orang Paranganom yang pantas ditakuti. Seandainya raksasa dungu ini mempunyai kemampuan, ia dan kawan-kawannya tentu mampu mengusir para perampok yang disebutnya sering datang ke Paranganom. Tetapi ternyata para perampok itu seakan-akan tidak ada yang mencegahnya. Berbeda dengan orang-orang Kateguhan. Itulah agaknya, kenapa para perampok itu lebih senang bermain-main di Paranganom daripada di Kateguhan.”

“Anak Iblis” geram Deriji Wesi.

“Jangan marah. Sudah aku katakan setiap kali, jangan tenggelam dalam arus perasaanmu” berkata orang berwajah tampan, “jika kau marah, maka pandangan matamu akan menjadi kabur. Layani anak muda itu sambil tersenyum, Deriji Wesi.”

“Bagus” Sasangka sudah menahan dirinya dengan susah payah untuk tidak terlibat, “sebaiknya kau jangan marah Deriji Buntung. Kemarahan hanya menunjukkan kekerdilan jiwa. Tetapi kalau tidak marah itu sekedar dibuat-buat atau berpura-pura, maka pandangan matamu akan tetap saja kabur.”

“Diam” bentak raksasa itu, “akan datang giliranmu nanti. Mulutmu pun akan aku koyakkan”

“Mereka belum mengenalmu Deriji Wesi” berkata saudagar itu, “Tetapi harap kalian mengetahui, bahwa Pasiraman Kulon sama sekali belum pernah dijamah tangan perampok yang mana pun juga”

“Itu bukan karena kelebihan dan kemampuan orang ini, tetapi tentu saja karena pengaruh nama Ki Panji Wirasentika”

Saudagar itu tertawa, katanya, “Wirasentika itu berada di bawah pengaruhku, aku ingin mempersilahkan kalian berempat bersamaku menemui Ki Panji Wirasentika, kalian akan melihat, seberapa besar pengaruhku atas dirinya”

Sasangka pun menjadi panas pula, katanya, “Kenapa kalian membual di hadapanku?, aku tidak peduli dengan pengaruhmu, aku tidak ada sangkut pautnya dengan orang orang Paranganom serta para perampok itu”

“Sudahlah” meskipun Raden Madyasta menyadari, bahwa persoalan sudah terlalu jauh, namun ia masih berkata, “Jika kalian tidak berkeberatan kami pergi, maka tidak akan ada persilisihan diantara kita”

“Tidak, kalian tidak boleh pergi begitu saja”

“Cukup” potong Rembana, “Aku sudah bersiap”

Orang bertubuh raksasa itupun bergeser. Kawan-kawannya berdiri berkelompdk sambil berbicara yang satu dengan yang lain. Ada diantara mereka yang tersenyum-senyum, ada yang justru menjadi tegang. Sementara itu, saudagar yang berwajah tampan meskipun umurnya sudah merambat mendekati pertengahan abad itu, berkata sambil tertawa, “Buat anak itu jera. Nanti, kita persilahkan mereka singgah dan bermalam di rumahku. Bukankah mereka akan melewati lingkungan Pasiraman Kulon dalam perjalanan mereka ke Paranganom. Jika mereka terluka, biarlah aku panggil tabib yang paling baik di Pasiraman untuk mengobatinya. Tetapi dengan mengenal aku dan keluargaku lebih dalam, maka mereka akan tahu, siapakah aku sebenarnya. Bahkan mungkin ada yang diinginkan dari antara benda-benda berharga yang aku miliki untuk ditukar dengan kudanya itu.

Orang bertubuh raksasa dan yang disebutnya Deriji Wesi itupun segera melangkah semakin dekat dengan Rembana. Namun Rembana yang darahnya cepat mendidih itu tiba-tiba saja telah meloncat menyerangnya.

Orang bertubuh raksasa itu terkejut. Ia mencoba bergeser untuk menghindari serangan itu. Tetapi Deriji Wesi itu tidak mampu lepas dari garis serangan Rembana.

Dengan derasnya kaki Rembana telah mengenai pundak orang itu, sehingga Deriji Wesi itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

“Bocah edan” geram Deriji Wesi yang hampir saja kehilangan keseimbangannya, namun dengan cepat ia pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Deriji Wesi yang ternyata adalah pengawal saudagar itu, memang mempunyai kekuatan yang sangat besar, sesuai dengan nama sebutannya, maka jari-jari orang itu memang sangat berbahaya, sehingga karena itu, maka perhatian Rembana tertuju kepada jari-jari lawannya.

Namun dengan keyakinan yang besar atas kekuatan jari-jarinya itu, maka serangan-serangan Deriji Wesi itu yang paling berbahaya adalah serangan jari-jarinya yang selalu mengembang.

Tetapi dengan demikian, dengan cepat Rembana dapat menemukan kelemahan Deriji Wesi itu, bagian-bagian dari tubuhnya yang lain, sama sekali tidak berbahaya, orang itu kurang memanfaatkan kakinya, lututnya dan bahkan ada orang yang justru dahinya sangat berbahaya.

Karena tu, maka Rembana tinggal berusaha menjinakkan jari-jari tangan orang yang mendapat sebutan Deriji Wesi.

Beberapa saat kemudian, pertempuran semakin menjadi sengit. Namun raksasa itu seakan-akan telah berada didalam batasan bingkai yang telah dipasang oleh Rembana.

Madyasta yang menjadi cemas oleh sifat dan watak Rembana telah berbisik kepada Wismaya dan Sasangka, “jaga agar Rembana jangan membunuh.”

Wismaya dan Sasangka mengerti maksudnya. Karena itu, mereka pun telah bergeser agak menjauh yang satu dengan yang lain. Demikian pula dengan Raden Madyasta, sehingga salah seorang dari mereka akan dapat menggapai Rembana dari tempat mereka masing-masing.

Namun dengan menguasai kelemahan lawan, rasa-rasanya api yang menyala di dada Rembana telah menjadi surut. Apabila ketika Rembana itu pun kemudian yakin, akan, mampu menguasai lawannya.

Ketika sekali-sekali Rembana berusaha menjajagi kemampuan jari-jari lawannya yang disebut Deriji Wesi itu, maka Rembanapun yakin, bahwa kekuatan jari-jari lawannya itu masih belum berada diatas batas kemampuannya.

Dengan demikian, maka semakin lama orang bertubuh raksasa itupun menjadi semakin terdesak. Jika orang itu berusaha untuk menangkap bagian tubuh Rembana dengan jari-jarinya, maka pergelangan tangannya selalu terasa menjadi nyeri dan sakit. Rembana selalu berhasil memukul pergelangan tangan orang itu dengan sisi telapak tangannya, sehingga orang itu selalu menyeringai menahan sakit.

Karena itu, maka orang itu semakin lama menjadi semakin marah. Serangan-serangan menjadi semakin cepat dan semakin garang. Ayunan tangannya telah menimbulkan desing bagaikan suara angin yang bertiup disela-sela pepohonan.

Tetapi bagaimanapun juga, serangan-serangannya tetap berpusat pada jari-jari tangannya.

Namun Rembana benar-benar tangkas. Jari-jarinya tidak pernah berhasil menyentuh sasaran. Jika sekali-sekali jari-jari tangannya menyentuh tubuh Rembana, semata­mata karena Rembana ingin selalu menjajagi sampai seberapa jauh lawannya mengerahkan ilmunya.

Ternyata bagi Rembana, apa yang disebut Deriji Wesi itu tidak mencemaskannya. Bahkan semakin lama, Rembana semakin berani membentur serangan-serangan tangan raksasa itu.

Bahkan sekali ketika orang yang mendapat sebut Deriji Wesi itu mengayunkan tangannya dengan jari-jari terbuka yang menebas mengarah ke dadanya, Rembana telah membentur serangan itu. Dengan kedua tangannya Rombana dengan sengaja menahan serangan itu pada pergelangan tangannya

Ketika benturan itu terjadi, maka Deriji Wesi itu sempat mengaduh tertahan, namun kemudian sambil menggeliat ia menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka untuk mencengkeram leher.

Rembana sempat mengelak dengan sedikit merendah dan bergeser kesamping, namun kemudian dengan cepat, Rembana menjulurkan kakinya mengarah ke lambung.

Orang bertubuh raksasa itu ternyata tidak sempat mengelak, dengan kerasnya kaki Rembana menghantam lambungnya, sehingga orang itu terpental beberapa langkah surut.

Orang itu terhuyung-huyung, hampir saja ia terjatuh, tetapi ternyata ia masih mampu untuk tegak berdiri.

Orang itu menggeram, nampak di wajahnya, bahwa serangan Rembana itu benar-benar menyakitinya, bahkan kemudian nafasnya terasa menjadi agak sesak, tetapi sejenak kemudian ia pun sudah berdiri tegak siap untuk melanjutkan pertempuran.

Wajah Rembana menjadi tegang, serangan-serangannya memang dapat mengenai lawannya, tetapi daya tahan orang itu ternyata demikian tingginya, sehingga ia masih mampu mengatasinya.

Karena itu, maka Rembana yang sempat sedikit mengedepankan gejolak kemarahannya, justru karena ia dapat menemukan kelemahan lawannya, telah menjadi semakin panas. Beberapa kali ia berhasil mengenai lawannya di bagian tubuhnya yang lemah sekalipun, namun orang itu masih saja tetap berdiri sambil memberikan perlawanan dengan gigihnya.

Serangan-serangan Rembana yang mengenai tubuhnya dan membuatnya kesakitan, seakan-akan hanya terasa beberapa saat saja. Kemudian perasaan sakit itu seolah-olah telah hilang tidak berbekas.

“Apakah orang ini kepanjingan iblis” Rembana pun menggeram.

Meskipun Madyasta tidak mendengar dengan jelas, tetapi ia menangkap kesan kemarahan Rembana. Sehingga dengan demikian Raden Madyasta itu menjadi semakin mencemas anak muda itu. Jika jantungnya menjadi hangus terbakar oleh kemarahannya, maka orang bertubuh raksasa itu akan dapat benar-benar terbunuh dalam pertempuran itu.

Sasangka dan Wismaya juga melihat kemarahan yang membuat jantung mereka berdebaran. Seperti Madyasta, mereka menjadi cemas, bahwa Rembana akan kehilangan kendali perasaannya.

Orang berwajah tampan dan mengaku saudagar itupun menjadi cemas pula. Orang bertubuh raksasa itu adalah kepercayaannya. Para pengawalnya yang lain tidak ada yang dapat menyamai kelebihan orang itu. Apalagi ujud kewadagannya pun sangat mendukungnya, sehingga orang itu benar-benar menjadi orang yang ditakuti di pasiraman Barat.

Tetapi melawan anak muda itu, orang bertubuh raksasa itu bagaikan kehilangan, segenap kemampuannya. Serangan-serangannya menjadi seakan-akan tidak berarti karena tidak pemah mengenai sasarannya. Anak muda yang mengaku tinggal di Kateguhan itu seakan-akan dapat menebak, apa saja yang akan dilakukan oleh lawannya yang bertubuh raksasa itu. Hampir semua gerak dan serangannya seakan-akan dapat dipatahkannya, bahkan kadang-kadang anak muda itu justru sempat mendahuluinya.

“Gila orang keteguhan ini” berkata orang berwajah tampan itu di dalam hatinya.

Dalam kegelisahan itu, maka iapun telah memberi isyarat kepada seorang kawannya untuk mendekat. Dengan gelisah orang itu bertanya, “Bagaimana menurut penglihatanmu?”

“Anak muda itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, Ki Sudagar” jawab kawannya.

Orang yang mengaku saudagar itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya pertempuran yang, berlangsung sengit itu dengan saksama.

“Apakah kau juga mencemaskannya?” bertanya Ki Sudagar.

“Ya. Aku mencemaskannya.”

“Jika perlu kita akan membantunya. Setidak-tidaknya kita akan menyelamatkannya.”

Kawannya itupun termangu-mangu. Tetapi orang itu tidak segera menjawab.

Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itu seakan-akan memang telah kehilangna kesempatan. Serangan-serangannya menjadi jarang, bahkan semakin jauh dari sasaran, yang diandalkannya kemudian adalah daya tahan tubuhnya serta kemungkinan lawannya membuat kesalahan, sehingga raksasa itu dapat menangkap aggota badan anak muda itu.

Tetapi Rembana cekatan seperti burung sikatan menyambar bilalang, betapapun Deriji Wesi itu bergerak dengan cepatnya, namun ia tidak mampu menangkap anggota badan Rembana.

Meskipun demikian, Rembana tidak segera dapat menghentikan perlawanan orang bertubuh raksasa itu. Beberapa kali serangannya mengenai dadanya. Namun orang itu masih juga memberikan perlawanan. Ia masih juga bergerak maju. Sekali-sekali menyerang dengan kedua tangannya dengan jari-jarinya yang mengembang.

Dengan demikian, maka kemarahan Rembanapun bagaikan membakar jantungnya. Ditingkatkannya kemampuannya sampai ke puncak.

Serangan-serangannya menjadi semakin garang sehingga lawannya benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk bergerak. ‘

Sambil memutar tubuhnya, Rembana meloncat dan mengayunkan kakinya dengan derasnya menghantam kening.

Lawannya itupun terhuyung-huyung selangkah, surut. Namun demikian ia berdiri tegak, serangan Rembanapun telah meluncur pula dengan cepatnya. Sekali lagi Rembana meloncat sambil berputar. Sekali lagi kakinya terayun mengenai kening.

Malah pada kesempatan lain, Rembana meloncat sambil memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya dengan derasnya menghantam tubuh Deriji Wesi.

Lawannya itu pun terhuyung-huyung selangkah surut. Namun demikian ia berdiri tegak kembali, serangan Rembana pun telah meluncur pula dengan cepatnya. Sekali lagi Rembana meloncat sambil berputar. Sekali lagi kakinya terayun mengenai kening.

Deriji Wesi mencoba bertahan, tetapi Rembana bagaikan anak panah yang meluncur, menyerang orang itu dengan tendangan menyamping kearah dadanya.

Raksasa itu ternyata tidak mampu bertahan tetap berdiri, ia pun terdorong surut beberapa langkah, kemudian tubuhnya jatuh terguling di tanah.

Rembana yang marah itu siap meloncat memburu tubuh yang sudah tidak berdaya lagi, namun Raden Madyasta telah mendahuluinya, meloncat dan berdiri disisinya.

“Cukup, sudah selesai sampai disini” desis Raden Madyasta

“Kesombongannya harus diakhiri”

“Sudah cukup, ini sudah berakhir” sahut Raden Madyasta

Rembana menggeram, ia ingin meloncat dan mematahkan jari-jari Deriji Wesi itu.

“Aku ingin membuktikan, bahwa jari-jarinya sama sekali tidak berarti bagiku, meskipun ia disebut Deriji Wesi”

“Sudahlah” berkata Raden Madyasta, lalu katanya kepada orang yang mengaku saudagar itu, “Bawa kawanmu ini pergi, jangan mencoba menemui kami lagi”

Orang itu memandang Raden Madyasta dengan sorot mata menyala, beberapa orang kawannya pun agaknya menjadi marah, namun mereka memang ragu-ragu untuk bertindak, kawannya yang paling diandalkan itu ternyata tidak mampu melawan salah seorang dari keempat orang anak muda itu.

Karena orang-orang itu masih saja berdiri termenung-menung, maka Sasangka pun kemudian berkata, “Apakah kalian ingin melibatkan diri?”

Orang-orang itu terdiam, namun Raden Madyastalah yang berkata selanjutnya, “Pergilah selagi aku masih dapat mengendalikan saudara- saudaraku, sebaiknya kita tidak bertemu lagi agar kebencian tidak terungkit di hati kia masing-masing”

Orang yang berwajah tampan berkumis dan bermata tajam, dalam usianya yang merambat menjelang har-hari tuanya itu pun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.

Dua diantara mereka pun mendekati Deriji Wesi yang berusaha untuk bangkit itu, kemudian menuntunnya ke kudanya.

“Naiklah” berkata salah seorang kawannya, kemudian membantunya naik ke punggung kuda.

Yang lain pun kemudian telah meloncat naik pula, demikian saudagar itu duduk di punggung kudanya, ia pun berkata, “Pertemuan ini memberi kesan buruk kepadaku anak-anak muda” berkata orang itu.

“Apakah ini merupakan ancaman?” bertanya Sasangka.

“Mudah-mudahan kalian tidak tidak berniat lewat Pasiraman Barat dalam perjalanan kalian ke Paranganom”

Rembana lah yang menyahut dengan lantangnya, “Siapkan orang-orangmu, aku akan pergi ke Paranganom lewat Pasiraman Kulon”

“Suaramu seperti geludug mangsa ketiga, tetapi aku yakin, bahwa hujan tidak akan turun.”

“Bukankah kau sengaja memancing agar kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon?, kau berusaha menyinggung perasaan kami, agar dengan hati yang panas kami benar-benar lewat Pasiraman Kulon, agaknya kau berhasil Ki Sanak, kami benar-benar merasa tersinggung, kami tidak mau dikatakan menjadi puas, karena pancinganmu berhasil, kau tentu mengira betapa dungunya kami.”

Wajah saudagar itu menjadi tegang, tetapi pada sorot matanya nampak betapa kemarahan telah menyala di dadanya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, maka orang itu pun memberi isyarat kepada kawankawannya untuk bergerak meninggalkan tempat itu.

Raden Madyasta serta ketiga senapati muda itu pun memandang mereka sampai menghilang di tikungan.

“Sebaiknya kita mengambil jalan lain, kakang” berkata Raden Madyasta.

“Tidak Raden” jawab Rembana, “Kita akan meneruskan perjalanan kita lewat Pasiraman Kulon”

“Agaknya orang-orang itu benar-benar tidak akan membiarkan kita lewat tanpa mengganggu, sementara itu, perjalanan kita masih cukup jauh, jika kita harus berhenti lagi di Pasiraman Kulon, maka kita akan kemalaman di jalan”

“Kita dapat bermalam dimana saja, Raden”

“Apakah kita merasa perlu melayani orang-orang itu?”

“Raden, ada dua alasan, kenapa aku mengusulkan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon, sebenarnya bukan semata-mata karena kita tersinggung oleh ancamannya, tetapi kita akan dapat mengetahui apakah benar Ki Panji Wirasentika berada di bawah pengaruh orang itu, jika benar, maka Ki Panji Wirasentika sudah tidak lagi menjalankan tugasnya dengan baik, bukankah hal seperti itu harus diketahui oleh Kangjeng Adipati di Paranganom”

Raden Madyasta itu pun mengangguk-angguk, katanya, “Ya, kau benar kakang, dalam kedudukannya, Ki Panji Wirasentika tidak boleh berada di bawah pengaruh siapa pun juga, ia harus berdiri tegak pada kedudukannya itu, jika ia sudah berada di bawah pengaruh seseorang, maka jalan pemerintahannya pun akan menjadi timpang”

“Karena itu, bukankah sebaiknya kita meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon?”

Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya, “Ya, kita akan meneruskan perjalanan lewat Pasiraman Kulon”

Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta dan ketiga senapati muda itu pun sudah bersiap, tetapi mereka masih sempat minta diri kepada pemilik kedai yang masih saja gemetar itu.

“Maaf Ki Sanak” berkata Raden Madyasta, “Kami sudah membuat keributan disini, tetapi itu bukan maksud kami. Kami sudah mencoba mengelak, tetapi kami tidak mempunyai pilihan”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, Ki Sanak. Agaknya memang bukan salah kalian”

“Terima kasih atas pengertian Ki Sanak” desis Raden Madyasta kemudian.

Demikianlah, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu pun segera meninggalkan kedai itu, mereka benar-benar sengaja menempuh perjalanan lewat Pasiraman Kulon meskipun mereka tahu, bahwa saudagar tadi itu akan dapat mengganggu perjalanan mereka.

Dalam pada itu, orang yang berwajah tampan yang mengaku saudagar itu telah memacu kudanya diikuti oleh orang-orangnya, mereka ingin segera sampai di Pasiraman Kulon untuk mempersiapkan penyambutan yang meriah terhadap keempat orang yang mengaku orang Kateguhan itu.

“Mereka harus ditangkap, kita akan minta Ki Panji Wirasentika untuk menangkap mereka, mereka dapat saja dicurigai menjadi perintis jalan bagi para perampok yang sering menimbulkan kerusuhan di Paranganom.”

“Apakah kita dapat membuktikannya?”

“Biarlah mereka membuktikan bahwa mereka bukan petugas sandi dari para perampok. Biarlah mereka menyebutkan siapa mereka sebenarnyanya. Jika mereka akan menengok pamannya di Paranganom, siapa pula nama pamannya dan di padukuhan mana pamannya itu tinggal. Dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, maka akan segera dapat diketahui apakah mereka berkata sebenarnya.”

“Jika mereka berkata sebenarnya?”

“Tuduhannya adalah, mereka telah menyerang kita, jika perlu biarlah Ki Panji Wirasentika memanggil pemilik kedai itu serta orang-orang yang dapat menjadi saksi, bahwa mereka telah menyerang kita, pemilik kedai itu tentu akan mengiakannya, apalagi di depan Ki Panji Wirasentika”

Apakah Ki Panji Wirasentika bersedia melakukannya?”

“Kau tahu pengaruhku atas Ki Panji Wirasentika?”

“Ya. Aku tahu”

“Apakah kira-kira Ki Panji Wirasentika akan menolak?”

Orang itu menggeleng, katanya, “Tidak”

“Nah, orang-orang itu tidak akan luput dari hukuman, aku tentu dapat mengusulkan hukuman yang pantas bagi mereka”

Demikianlah orang-orang berkuda itu memacu kuda mereka dengan kecepatan tinggi,

mereka tidak ingin disusul oleh keempat anak muda yang akan mereka jerumuskan ke dalam tangan Ki Panji Wirasentika.

Ketika mereka memasuki lingkungan Pasiraman Kulon, maka mereka pun langsung menuju kr rumah Ki Panji Wirasentika.

Dalam pada itu, saudagar tampan itu langsung dapat diterima oleh Ki Panji Wirasentika di pringgitan rumahnya.

“Silahkan duduk Ki Saudagar Kertaderma. Biarlah aku berbenah diri sebentar, aku baru memandikan ayam jago yang Ki Saudagar berikan itu”

“Ki Panji, aku tergesa-gesa”

“Ada apa?”

“Ada yang penting, aku ingin Ki Panji menangkap empat orang anak muda dari Kateguhan yang sebentar lagi akan lewat jalan ini”

“Kenapa?”

“Aku curiga, bahwa mereka adalah orang-orang yang di kirim oleh gerombolan perampok yang sedang berkeliaran di perbatasan untuk melihat-lihat keadaan lingkungan itu dan bahkan tempat kedudukan Kangjeng Adipati di Paranganom”

“Apakah mereka akan lewat jalan di rumah ini?”

“Ya, aku sudah bertemu dengan mereka, mereka justru telah menyerang kami, menurut kata mereka. mereka berempat akan pergi ke Paranganom.”

“Maksud Ki Saudagar, mereka akan pergi ke pusat pemerintahan Paranganom?”

“Nanti kita akan tahu, tetapi aku minta Ki Panji Wirasentika menghentikan mereka dan menahannya. Nanti kita akan berbicara dengan mereka lebih mendalam”

“Tetapi apakah dasarnya aku menangkap mereka?”

“Sudahlah Ki Panji, aku minta Ki Panji menangkap mereka lebih dahulu, nanti kita akan berbicara dengan mereka”

“Baiklah, aku akan memerintahkan para pengawal menghentikan mereka dan membawanya kemari”

“Sudah ada empat orangku di depan regol halaman rumah ini”

Ki Panji Wirasentika pun segera memanggil pemimpin pengawal yang sedang bertugas di rumahnya, ia pun segera memerintahkan untuk menghentikan empat orang anak muda dari Kateguhan.

“Bawa mereka ke pringgitan. Aku akan berbicara dengan mereka, di depan regol sudah ada empat orang pengawal Ki Saudagar Kertaderma, tetapi mereka bukan petugas yang dapat memaksa keempat orang itu berhenti”

“Baik, Ki Panji”

“Bawa kawan-kawanmu, mungkin orang itu akan menolak perintahmu dan akan melawan”

Dalam waktu yang singkat, enam orang pengawal Ki Panji Wirasentika telah berada di jalan di depan rumahnya. Mereka membawa pedang yang telanjang, seorang diantara mereka membawa tombak pendek dengan sebuah kelebet kecil yang diikat pada landeannya, sebagai pertanda, bahwa mereka adalah petugas yang sedang menjalankan tugas mereka, sementara itu empat orang pengawal Ki Saudagar masih juga berada di depan regol dan bahkan bergabung dengan para pengawal Ki Panji Wirasentika.

Sejenak kemudian, maka seorang dari keempat pengawal Ki Saudagar itu pun berkata, “Itulah mereka, mereka benar-benar lewat jalan ini”

“Sombongnya mereka” geram yang lain.

Pemimpin pengawal yang membawa tombak pendek dengan kelebet kecil itu pun bertanya, “Apakah orang-orang berkuda itu yang kalian maksud?”

“Ya” jawab salah seorang pengawal Ki Saudagar.

Pemimpin pengawal itu segera berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tombaknya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar