Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
"Tidak bisa.... tidak mungkin.... tak bisa jadi!!”
Jawabannya demikian keras, cepat dan kaku hingga Maduraras memandangnya dengan kaget dan khawatir.
“Jadi kau tidak sudi, raden? Ah nasib.,, memang kau benar,,., apa perlunya menolong seorang gadis hina-dina seperti aku ini....? Biarlah.... biarlah aku mati saja..."
Dan Maduraras bangun berdiri dan lari ke arah tebing lagi! Jarot dengan sekali loncat menangkap lengannya dan menariknya kembali duduk di atas rumput.
"Jangan kau putus asa dulu, nona" katanya bingung.
"Jadi, maukah kau menerima aku raden Jarot, jangan kau khawatir, aku pandai masak, pandai mencuci, rajin bekerja dan aku pandai memijit urat-uratmu kalau kau lelah, aku pandai bernyanyi dan menari untuk menghiburmu kalau kau bersedih, sedangkan aku tak mengharap upah apa-apa...... hanya asal mendapat makan saja.... dan makanku....... makanku tidak banyak, raden....."
Mendengar kata-kata terakhir ini mau tak mau Jarot tertawa bergelak hingga sekali lagi Maduraras memandangnya heran.
"Ah, jangan kau anggap aku begitu kikir hingga penolakanku akan suwitamu adalah karena takut kau makan terlalu banyak! Tidak demikian, Maduraras, tapi ketahuilah, aku sendiri masih mondok di rumah orang lain. Sedangkan aku adalah seorang pemuda yang belum berumah tangga, seorang jejaka yang hidup sebatang kara, maka kalau aku terima suwitamu, apakah akan kata orang nanti?? Aku menolak suwitamu bukan karena aku tidak suka menolongmu, tapi karena hal ini memang tak mungkin kuterima."
Maduraras tunduk dengan muka muram.
"Tapi, bukan hal yang aneh kalau seorang muda seperti raden ini mengambil seorang dua orang selir sebelum kawin....."
"Aku.....? Mengambil selir.....??" Jarot mengulangi dengan mata terpentang lebar.
"Apa salahnya, raden? Gusti pangeran sendiripun telah mempunyai belasan orang selir sungguhpun beliau belum kawin...."
“Ah, gusti pangeran lain lagi halnya..."
"Barangkali aku terlampau buruk hingga kau tidak sudi menerimaku, raden..."
"Bukan..... bukan begitu, Maduraras. Kau cukup cantik bahkan sangat cantik..."
"Habis, mengapa kau tetap saja menolak?"
"Belum waktunya bagiku, Maduraras. Sekarang baiknya begini, adakah kau mempunyai keluarga atau kenalan yang kiranya bisa kau mintai tolong, dan yang suka menerimamu tinggal di pondoknya? Kalau ada, akulah yang akan memintakannya, dan berapa saja ia minta akan kubayar."
Setelah tunduk dan geleng-gelengkan kepala sambil berkali-kali menghela napas akhirnya Maduraras menangis lagi. Tubuhnya mulai menggigil dan cuaca makin gelap.
Melihat keadaan gadis itu, Jarot maklum betapa gadis itu menderita karena kedinginan. Dapat ia bayangkan betapa dinginnya dalam pakaian yang basah kuyup itu. Tiba-tiba ia mengambil keputusan.
“Berdirilah, Maduraras, dan marilah kau ikut aku!"
Gadis itu serentak bangun berdiri dan mengulurkan kedua lengan kepada Jarot sambil berkata lirih.
"Den-mas Jarot,..,. terima kasih,, terima kasih,...,"
Gadis itu sungguh cantik jelita dan keadaannya demikian mengharukan hingga Jarot seakan-akan terpesona dan kedua kakinya tak terasa lagi bertindak maju. Ketika gadis cantik itu maju menubruknya Jarot terima tubuh hangat itu dalam pelukan dan merangkul dengan terharu. Beberapa lama mereka diam dalam keadaan saling peluk, tak bergerak bagaikan patung. Kemudian setelah rasa haru agak reda menguasai kalbunya, Jarot lepaskan pelukannya dan berkata perlahan,
"Marilah kita pergi, pakaianmu basah semua, kau bisa terserang penyakit."
"Kangmas Jarot, kita..... kemana?" Jarot berdebar mendengar sebutan mesra ini.
"Akan kucoba minta tolong kepada Mbok Rondo Gendingan. Ia seorang janda yang baik hati dan hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Sulastri. lapun seorang gadis yang baik. Kau tentu suka tinggal disana."
"Tapi..... kau sendiri?"
"Aku tinggal di rumah Ki Galur."
"Jauhkah dari rumah mbok rondo itu?"
"Dekat saja. Masih sekampung."
Terdengar Maduraras menarik napas lega.
"Kau tentu akan sering datang menengokku ya, kangmas?"
Suaranya terdengar mesra dan manja, dan kembali dada Jarot berdebar, la hanya mengangguk dan percepat langkahnya sambil menggandeng tangan Maduraras yang hangat dan halus.
Bukan main herannya Mbok Rondo Gendingan dan Sulastri ketika mereka membuka pintu dan melihat Jarot datang dengan seorang gadis cantik yang berpakaian basah dan rambut basah kusut tak karuan. Tapi setelah dengan singkat Jarot menceritakan keadaan Maduraras, Mbok Rondo dan Sulastri segera memeluk gadis itu, bahkan ketika gadis itu menangis, Sulastri Juga ikut menangis.
Tentu saja mereka suka menerima Maduraras dengan suka hati hingga Jarot merasa terhibur dan lapanglah dadanya melihat persoalan ruwet itu akhirnya dapat terpecah dengan baik.
Ketika ia hendak tinggalkan mereka, Maduraras berkata padanya dengan suara yang halus merdu penuh perasaan,
"Kang mas Jarot, jangan lupa untuk sering datang menjenguk kesini."
Melihat pandang mata Sulastri berkilat menggoda, Jarot hanya mengangguk kepada Maduraras dan segera bertindak pergi cepat-cepat tanpa menengok lagi!
Sekarsari telah menanti-nanti dengan tidak sabar. Gadis itu telah siap dengan makan malam untuk Jarot. Ketika Jarot memasuki pintu Sekarsari biarpun ingin sekali bertanya, namun ditahannya perasaannya itu dan hanya melempar senyum lalu cepat pergi ke dapur menghangatkan sayur. Sebentar lagi keluarlah dia dan mengatur makanan di atas tikar.
"Makanlah, mas Jarot."
"Mana paman? Kita makan bersama," jawab Jarot.
"Ayah pergi ke rumah kawannya dan tadi sudah makan lebih dulu karena terlalu lama menunggu-nunggu kau."
Memang Jarot menghendaki agar Ki Galur tidak berlaku sungkan kepadanya dan menganggap ia seperti anak kemenakan sendiri. Maka tidak heran bila orang tua itu berani mendahului makan.
"Kau tidak makan, Sari?" Sekarsari menggeleng kepala dengan senyum, lalu berkata, "Lupakah kau ini hari apa, mas Jarot?"
Pemuda itu mengingat-ingat dan tahulah dia bahwa hari itu jatuh hari pasaran ketiga dan pada tiap hari ketiga dan kelima, Sekarsari selalu berpuasa sehari semalam penuh. Maka iapun tertawa.
"Mas Jarot, mengapa kau agak terlambat tadi? Kemanakah kau pergi setelah mandi, mas?" pertanyaan ini wajar dan tidak mengandung penyesalan sedikitpun.
"Aku telah menolong seseorang yang hampir mati tenggelam, Sari,"
Sekarsari terkejut dan ngeri,
"Aduh kasihan, siapakah dia, mas? Laki-laki atau perempuan?"
"Seorang gadis, Sari, seorang gadis dari kampung Duku."
"Ah, kasihan sekali. Kenapa ia sampai hampir tenggelam, mas? Mandikah dia? Atau sedang mencuci pakaian?"
"Tidak, Sari. Ia memang sengaja terjun dari tebing, sengaja hendak bunuh diri."
Sekarsari hampir menjerit dan menggunakan tangan menutup mulut. Matanya terbelalak memandang Jarot dengan ngeri.
"Bunuh diri? Kenapa, mas? Kenapa?”
Maka sekali lagi dengan singkat Jarot menceritakan riwayat Maduraras yang ditolongnya. Sekarsari mendengarkan dengan penuh perhatian dan sementara itu hatinya merasa tidak enak. Entah mengapa, tapi pikirannya menjadi kacau dan bimbang, kasihan, bangga, curiga dan cemburu mengaduk-aduk perasaan dan hatinya. Setelah Jarot habis bercerita, maka bertanyalah Sekarsari,
"Jadi Maduraras sekarang mondok di rumah Sulastri?" Jarot mengangguk. Sunyi sejenak, kemudian Sekarsari bertanya tiba-tiba,
"Cantikkah ia, mas?"
Mendengar pertanyaan tiba-tiba dan tak tersangka-¬sangka itu, Jarot agak gelagapan.
"Cantik? Siapa, Sari?"
"Siapa lagi? Itu, lho, Maduraras! Cantikkah dia, mas?"
Jarot yang masih belum sadar akan perasaan gadis itu, mengangguk membenarkan.
"Dia memang cantik, Sari.”
Sunyi lagi sejenak.
"Kasihan betul nasibnya, ya, mas?"
Kembali Jarot mengangguk.
"Memang kasihan. Sari."
"Dia tentu lebih cantik daripada aku, ya. mas?"
Kini Jarot dapat menangkap nada suara Sekarsari dan ia menengok. Ketika pandang mata mereka bertemu, Jarot terkejut sekali melihat betapa mata Sekarsari berkaca-kaca dan hampir meneteskan air mata!
"Sari..... kau kenapa, Sari...?"
Pertanyaan ini bagaikan mendorong keluar air mata dari mata Sekarsari. Gadis itu serentak bangun berdiri dan lari ke kamarnya!
Untuk kesekian kalinya semenjak pertemuannya dengan Maduraras, Jarot dibikin heran oleh wanita dan ia duduk bengong dengan muka bodoh, lebih bodoh daripada ketika dia menghadapi Maduraras tadi! Ia tak mengerti akan sikap Sekarsari. Maka ia lalu rebahkan diri telentang di atas balai-balai, sepasang matanya memandang langit-langit dan pikirannya melayang-¬layang jauh meninggalkan raganya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mandi, Sekarsari tidak membuang waktu lagi, segera mengunjungi Sulastri untuk melihat sendiri Maduraras, gadis yang bernasib buruk. Ketika dilihatnya bahwa benar-benar Maduraras adalah seorang gadis yang cantik jelita, hatinya makin cemburu dan khawatir. Tapi ia tak dapat membenci gadis itu yang menerimanya dengan ramah-tamah dan yang sebentar saja dapat memikat hati gadis-gadis lain dan menjadi kawan baik.
Mbok Rondo Gendingan yang berwatak peramah dan baik hati, menerima Maduraras dengan hati terbuka. Janda yang berkeadaan serba cukup dan punya sawah beberapa patok itu tidak mau menerima uang kerugian dari Jarot, bahkan ia menjawab tak senang.
"Gus Jarot mengapa demikian sungkan? Kau telah begitu baik untuk menolong seorang gadis yang sama sekali tidak kau kenal sebelumnya apa kau kira aku demikian kejam untuk menolak gadis yang demikian buruk nasibnya itu? Jasa baik jangan kau borong sendiri!" Jarot tak dapat membantah apa-apa hanya menyatakan terima kasihnya.
Maduraras ternyata seorang gadis lincah dan pandai bergaul hingga sebentar saja semua orang kenal padanya sebagai anak angkat Mbok Rondo Gendingan. Sulastri juga merasa suka dan bangga mempunyai seorang saudara yang selain cantik, juga pandai dalam seni tari dan seni suara, juga ahli dalam pekerjaan kerajinan tangan.
Dengan cepat Maduraras dapat menyenangkan hati Sekarsari dan segera mereka menjadi kawan baik. Hampir setiap hari Maduraras berkunjung ke rumah Sekarsari. Sikapnya kepada Jarot makin mesra dan secara terang-terangan ia perlihatkan perasaan hatinya kepada pemuda itu.