Kembang Kecubung Jilid 02

S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
“Ada yang menahan agar hamba tidak menyampaikannya di dalam pertemuan itu.”

“Siapa yang menahan?”

“Kata hatiku sendiri, Kangjeng Adipati.”

“Kakang. Aku sudah mengenal kakang sejak lama. Aku tahu bahwa kakang bukan seorang yang ragu-ragu untuk mengambil sikap. Tetapi kenapa sekarang, tiba-tiba kakang telah berubah. Seakan-akan kakang menjadi orang lain.”

“Ampun Kangjeng Adipati. Sebenarnyalah hamba ingin menyampaikan keberatan hamba terhadap rencana pengam-punan atas Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.”

“Hal itu sudah pernah kau sampaikan kakang.”

“Ya, Kangjeng. Sekarang hamba ingin mengulanginya. Di Pucang Kembar hamba mendapat keterangan, bahwa sebenarnya sikap Raden Tumenggung Wreda itu masih belum berubah. Jika Raden Tumenggung Wreda itu pulang, maka kemungkinan timbulnya keresahan masih tetap ada.”

“Kakang Rcksabawa. Apakah kakang tidak yakin akan kemampuan para petugas sandi kita serta kekuatan para prajurit di Sendang Arum? Kakang sendiri seorang prajurit. Seandainya kakangmas Tumenggung Reksayuda masih bertingkah macam-macam, maka aku akan dapat merintahkan seseorang saja, tanpa sekelompok prajurit, untuk menangkapnya.”

Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang.

“Seandainya yang seorang itu kakang Tumenggung, apakah kira-kira kakang Tumenggung Reksabawa tidak akan sanggup melakukannya?”

“Hamba akan menjalankan segala perintah apapun taruhannya. Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu.”

“Maksud kakang Reksabawa?”

“Hamba ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali kekuatan dari luar akan ikut campur.”

“Maksud kakang, kekuatan dari luar yang dengan diam-diam membantu kakangmas Reksayuda, begitu?”

“Hamba Kangjeng Adipati. Mungkin bantuan itu dapat berujud uang. Mungkin senjata. Tetapi bahkan mungkin pasukan.”

“Kakang” berkata Kangjeng Adipati, “kita mempunyai pasukan sandi yang terhitung baik. Kita tentu akan dapat mengetahui jika ada hubungan antara kakangmas Reksayuda dengan pihak luar. Seandainya ada bantuan yang di terima oleh kangmas Reksayuda, maka kita dengan cepat akan menghancurkannya apapun ujudnya.”

Ternyata Ki Tumenggung Reksayuda tidak berhenti sampai sekian. Meskipun dengan jantung yang berdebaran Ki Tumenggung berkata, “Aku tidak yakin, bahwa Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar itu bersikap jujur. Jika Kangjeng Adipati itu bersikap jujur, hamba tentu akan diperkenankan menemui Raden Tumenggung Reksayuda langsung.”

“Kakang Tumenggung. Kau jangan mementahkan lagi pembi-caraan yang sudah sampai pada satu kesimpulan. Kenapa kau tidak mengatakan hal itu pada waktu pertemuan tadi sehingga keteranganmu itu akan dapat menjadi bahan pertimbangan banyak orang.”

“Hamba mohon ampun, Kangjeng. Tetapi sebenarnyalah hamba mendengar dari seseorang yang dapat dipercaya di Pucang Kembar.”

“Siapa?”

“Orang itu tidak mau disebut namanya. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, karena keterangannya berbeda dengan keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara.”

“Kakang Tumenggung. Aku tidak mau mendengar keterangan dari bayangan yang tidak dikenal itu.”

“Hamba yakin akan kebenaran keterangannya, Kangjeng.”

“Kakang” nada suara Kangjeng Adipati meninggi, “aku tidak tahu apa maksudmu sebenarnya, bahwa kau dengan cara yang kurang mapan telah berusaha menggagalkan pengampunan terhadap kakang Tumenggung Reksayuda. Apakah sebenarnya pamrihmu? Apakah kau ingin agar jabatan kakangmas Reksayuda itu tetap kosong, sehingga kau akan dapat menggantikannya. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa jika kelak kakangmas Tumenggung itu pulang, ia tidak akan mendapatkan jabatannya kembali. Ia tidak akan menjadi salah seorang Tumenggung Wreda dengan kekuasaan apapun juga.”

“Ampun Kangjeng Adipati. HamDa sama sekali tidak berniat untuk membidik jabatan yang kosong itu. Hamba tahu diri, bahwa hamba bukan orang yang memiliki kelebihan. Bahkan sekarang hamba mendapat anugerah kedudukan sebagai seorang Tumenggung, hamba telah mengucap syukur.”

“Jika demikian, apakah karena perempuan itu? Kakang tidak ingin bahwa suami perempuan muda yang cantik itu pulang.”

“Ampun Kangjeng. Jika itu yang hamba inginkan, maka terkutuklah hamba. Hamba mempunyai seorang isteri yang setia, yang bersedia hidup bersama, tetapi juga bersedia mati bersama. Dalam keadaan apapun hamba tidak akan mengkhianati isteri hamba.”

“Jika demikian, lupakan saja kecemasan kakang itu, Biarlah besok aku nyalakan didalam sidang, bahwa aku telah mengampun-kan kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda. Tentu saja bersamaan dengan itu, aku akan memberikan perintah kepada Senapati pasukan sandi agar dengan hati-hati selalu mengawasi kakangmas Tumenggung, terutama hubungannya dengan orang yang tidak dikenal.”

Ki Tumenggung Reksabawa menundukkan kepalanya.

“Kakang Tumenggung. Aku terpaksa tidak dapat memenuhi keinginan kakang Tumenggung. Bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengarkan pendapat kakang Tumenggung. Bukankah selama ini aku hampir tidak pernah menolak dan mengkesampingkan pendapat kakang? Tetapi kali ini aku tidak dapat menerimanya, karena aku juga harus mendengarkan pendapat banyak orang yang ternyata condong untuk menerima kakangmas Tumenggung Wreda itu kembali ke Sendang Arum.”

“Hamba mengerti, Kangjeng Adipati.”

“Kau jangan menjadi sakit hati. Kau harus menerima kenyataan dalam perbedaan pendapat ini.”

“Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. Hamba sama sekali tidak menjadi sakit hati, meskipun hamba mengakui, bahwa hamba menjadi cemas. Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Hamba hanya melihat dengan mata perasaan hamba, bahwa sesuatu akan terjadi.”

“Jangan cemas. Kita harus percaya diri, bahwa kita sekarang cukup kuat untuk menghadapi banyak persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan hidup kita.”

“Hamba Kangjeng Adipati” sahut Ki Tumenggung Reksabawa yang kemudian mohon diri, “ampun Kangjeng. Jika demikian perkenankanlah hamba mengundurkan diri.”

“Silahkan, kakang.”

Ki Tumenggung Reksabawa pun kemudian meninggalkan serambi dalem Kadipaten.

Sepeninggal Ki Tumenggung, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk sendiri di serambi. Pandangan matanya menerawang jauh menembus pintu yang terbuka, menusuk ke panasnya sinar matahari di siang hari.

Kangjeng Adipati terkejut ketika ia mendengar suara lembut, yang rasa-rasanya seperti suara Raden Ayu Wirakusuma yang telah meninggal, ”Uwa Tumenggung Reksabawa benar.”

Kangjeng Adipati itupun segera bangkit. Ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya adalah anak perempuannya, Ririswari.

“Kau Riris” desis Kangjeng Adipati.

“Hamba ayahanda. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan oleh Uwa Tumenggung Reksabawa itu benar.”

Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Katanya, “Riris. Sudahlah. Sebaiknya kau tidak usah ikut memikirkan tata pemerintahan di Sendang Arum.”

“Ayahanda. Dahulu, ketika ibunda masih ada, ayahanda selalu bersedia mendengarkan pendapat ibunda meskipun kadang-kadang ayahanda tidak sependapat. Sekarang, aku mohon ayahanda bersedia juga mendengarkan pendapatku.”

“Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara tentang pemerintahan serta kebijaksanaan yang aku ambil, Riris.”

“Ayahanda” berkata Riris kemudian, “seperti yang pernah aku katakan, menurut pendapatku, bibi yang muda dan cantik itu tidak berbuat jujur. Jika bibi memohon pengampunan bagi uwa Tumenggung, itu hanya sekedar permainan yang belum kita ketahui maksudnya.”

“Kau berprasangka Riris.”

“Mungkin dengan memohon pengampunan itu, bibi mendapat kesempatan untuk dapat menghadap ayahanda berkali-kali.”

“Riris.”

“Bukankah bibi masih muda, cantik dan gelisah?”

“Kau memandangnya dari sisi yang lain dari sisi pandang Ki Tumenggung Reksabawa.”

“Bagi bibi, apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, sudah bukan masalah lagi.”

“Sudahlah. Jangan kau turutkan hatimu yang masih muram sepeninggal ibumu. Beristirahatlah.”

“Tetapi ayahanda, aku mohon ayahanda memperhatikan rerasan para putri serta para istri Tumenggung di Sendang Arum. Mereka menyebut bibi Reksayuda adalah seorang perempuan yang mendambakan derajad dan semat. Seorang perempuan yang haus kekuasaan, pujian dan kekayaan.”

“Jika sentuhan perasaanmu benar. Riris. Aku justru akan membiarkannya uwakmu kakangmas Tumenggung Reksayuda berada di pengasingan.”

“Uwa Tumenggung Reksayuda sudah tua. Ia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi, ayahanda.”

“Jika demikian, kau tidak perlu membenarkan pendapat Ki Tumenggung Reksabawa.”

“Ada yang sama dengan pendapatku, ayahanda.”

“Tidak. Jauh berbeda. Kakang Tumenggung Reksabawa memandang persoalan ini dari sisi pemerintahan, kau memandangnya dari sisi kekecewaan seorang gadis yang baru saja ditinggalkan oleh ibunya. Kepercayaanmu kepadaku goyah, Riris.”

“Ayahanda. Pendapatku yang sama dengan pendapat uwa Tumenggung Reksabawa adalah, bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang akan dapat mengguncang ketenangan dan kedamaian di kadipaten Sendang Arum.”

“Riris. Sebaiknya kau tenangkan hatimu. Beristirahatlah. Tidak akan terjadi apa-apa di kadipaten ini.”

Riris menarik nafas panjang. Namun gadis itupun kemudian meninggalkan ayahandanya yang berdiri termangu-mangu. Namun kangjeng Adipati pun kemudian duduk kembali. Pandangan matanya pun kembali menerawang kekejauhan.

Di hari berikutnya, Kangjeng Adipati duduk di pendapa Agung Kadipaten Sendang Arum, dihadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan di Sendang Arum. Para nayaka dan sentana.

Dalam pertemuan itu, Kangjeng Adipati pun berkata kepada semuanya yang hadir, “Para pemimpin di Sendang Arum, para sentana dan nayaka, aku, Adipati Sendang Arum, yang memegang kekuasaan tunggal, telah memutuskan, berdasarkan pembicaraan diantara para pemimpin, nayaka dan sentana kadipaten Sendang Arum, bahwa aku, Adipati Sendang Arum, telah memberikan pengampunan kepada Raden Tumenggung Reksayuda yang karena kesalahan yang telah dilakukannya, diasingkan ke luar tlatah Kekuasaan kadipaten Sendang Arum dan memilih untuk tinggal di Kadipaten Pucang Kembar selama lima tahun. Tetapi atas permohonan, atas pertimbangan dan pendapat para pemimpin, para nayaka dan sentana, maka setelah Raden Tumenggung Reksayuda menjalani hukuman sekitar tiga tahun, maka aku, Adipati Sendang Arum telah menetapkan, bahwa Raden Tumenggung Reksayuda tidak perlu menjalani sisa hukumannya. Karena itu, maka sejak saat ini, Raden Tumenggung Reksayuda sudah dibebaskan dari hukuman pengasingan itu.”

Semua yang hadir mendengarkan pernyataan Kangjeng Adipati Wirakusuma dengan sungguh-sungguh. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut lagi, karena persoalannya memang sudah dibicarakan sebelumnya. Meskipun ada satu dua orang yang berpendapat lain, tetapi sebagian terbesar dari para pemimpin, nayaka dan sentana tidak menaruh keberatan atas pengampunan itu.

Namun dalam pada itu, demikian Kangjeng Adipati selesai dengan pernyataannya itu, tangis Raden Ayu Reksayuda tidak tertahankan lagi. Sambil menyembah, disela-sela isak tangisnya, Raden Ayu Reksayuda itupun berkata patah-patah, “Terima kasih. Terima kasih dimas Adipati. Sebenarnyalah Dimas Adipati adalah seorang pemimpin yang berhati mulia. Dimas sudah menunjukkan sifat kepemimpinan yang sejati dari seorang Adipati. Seorang pemimpin yang adil yang memerintah dengan kasih. Yang Maha Agunglah yang akan menilai, betapa Dimas Adipati benar-benar telah menjalankan tugas didunia ini berdasarkan atas limpahan kuasa-Nya.”

“Sudahlah, kangmbok. Yang aku lakukan sama sekali bukan karena kelebihanku sebagai seorang titah yang kebetulan mendapat limpahan kuasa itu. Keputusanku itu didasari dengan pembicaraan diantara para pemimpin di Sendang Arum. Aku hanya mengambil kesimpulan dari pembicaran itu saja.”

“Tetapi jika kesimpulan itu tidak berkenan di hati Dimas Adipati, maka Dimas akan dapat mengambil keputusan yang lairi.”

“Aku sudah menyatakan keputusan itu. Selanjutnya terserah kepada kangmbok, kapan kangmbok akan menjemput kakangmas Reksayuda. Biarlah Kakang Tumenggung Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna membantu pelaksanaannya, sekaligus menjadi wakilku, menghadap kangmas Tumenggung Jayancgara di Pucang Kembar, menyampaikan keputusanku ini.”

“Terima kasih, Dimas Adipati. Sebelumnya aku minta bantuan kakang Tumenggung Jayataruna serta kakang Tumenggung Reksabawa, aku akan menghubungi puteraku, Jalawaja. Jika saja Jalawaja bersedia ikut serta menjemput ayahandanya.”

“Terserah saja kepada kangmbok Reksayuda” sahut Kangjeng Adipati, Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabawa, “Aku minta kakang Tumenggung berdua membantu pelaksanaan penjemputan kangmas Reksayuda.”

“Hamba Kangjeng” jawab keduanya hampir bersamaan.

“Nah, tidak ada lagi persoalan yang akan aku bicarakan hari ini. Dalam pertemuan ini, aku hanya ingin menyampaikan keputusanku tentang pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda” lalu katanya kepada Ki Tumenggung Reksabawa, “kakang Tumenggung. Bubarkan pertemuan ini.”

“Hamba Kangjeng.”

Sejenak kemudian, maka para pemimpin, nayaka dan sentana itupun meninggalkan pendapa agung kadipaten Sendang Arum. Demikian pula Raden Ayu Reksayuda.

Sementara itu, Kangjeng Adipati pun segera masuk keruang dalam.

Kanjeng Adipati tertegun ketika ia melihat Riris duduk seorang diri di ruang dalam itu.

“Riris.”

“Disini biasanya ibunda menunggu ayahanda jika ayahanda menyelenggarakan pasowanan seperti hari ini.”

“Ya, Riris” jawab Kangjeng Adipati sambil duduk pula disebelah anak gadisnya.

“Kadang-kadang ibunda dengan niat yang baik, menyampaikan pendapatnya tentang pembicaraan didalam pasowanan itu.”

”Ya. Riris.”

”Kadang-kadang ayah berkenan. Tetapi kadang-kadang ayah tidak berkenan. Tetapi ibunda tidak pernah menjadi kecewa pada saat-saat pendapatnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ayahanda sebagai penguasa tunggal di kadipaten ini.”

“Ya Riris.”

“Tetapi ibunda belum pernah melihat bibi Reksayuda hadir di pasowanan seperti tadi.”

“Kenapa dengan bibimu?”

“Aku tidak melihat kewajaran itu, ayah. Tetapi aku justru berpikiran lain. Yang terjadi adalah sekedar solah tingkah bibi yang muda dan cantik itu. Tetapi sudah aku katakan beberapa kali, bibi tidak jujur dengan sikapnya.”

“Kau masih dibayangi oleh perasaan curigamu itu, Riris. Tetapi kau akan melihat kenyataan di hari hari mendatang.”

Ririswari menarik nafas panjang. Katanya ”Baik, ayahanda. Meskipun demikian aku akan tetap berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu’yang dapat mengguncang kedamaian dikadipaten ini.”

Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti perasaan anak gadisnya yang belum lama ditinggalkan oleh ibunya. Ia tidak ingin melihat seorang perempuan lain yang mencoba merayap mengintai kedudukan ibundanya. Tetapi pada saatnya gadis itu akan melihat, bahwa segala sesuatunya berlangsung wajar. Keputusannya adalah keputusan seorang Adipati. Bukan keputusan seorang laki-laki yang jatuh kedalam pengaruh seorang perempuan cantik.

Dalam pada itu, Raden Ayu Prawirayuda telah minta tolong kepada Ki Tumenggung Jayataruna untuk pergi menjemput Jalawaja. Anak laki-laki Raden Tumenggung Reksayuda.

“Baiklah Raden Ayu. Besok aku akan menghadap Ki Ajar Anggara untuk minta agar Raden Jalawaya diperkenankan turun dari lereng gunung dan pergi menjemput ayahandanya dari pengasingan.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Pertolongan Ki Tumenggung tidak akan pernah aku lupakan.”

“Bukankah wajar sekali jika kita saling menolong?”

“Ki Tumenggung sudah menolong aku. Juga didalam pembicaraan di pasowanan sehingga para pemimpin, nayaka dan sentana sebagian besar menyetujui pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda.”

“Bukankah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kebaikan hati Raden Ayu?”

“Ah, jangan sebut itu kakang? Kebaikanku atau justru kebaikan kakang Tumenggung yang semakin bertimbun.”

“Kita memang saling berbaik hati” desis Ki Tumenggung Jayataruna sambil tertawa.

Raden Ayu Reksayuda pun tertawa tertahan. Jari-jarinya yang lentik menutupi bibirnya yang mekar.

“Sudahlah Raden Ayu.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kakang.”

“Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pondok di lereng gunung itu untuk menemui Raden Jalawaja.”

Sebenarnyalah, dikeesokan harinya, Ki Tumenggung Jayataruna telah memacu kudanya pergi ke sebuah pondok yang terasing di lereng Gunung. Sebuah pondok yang dihuni oleh Ki Ajar Anggara. Seorang yang telah menyisih dari kehidupan ramai, menyendiri dalam kehidupan yang sepi.

Sepeninggal anaknya perempuan, istri Raden Tumenggung Reksayuda, Ki Ajar Anggara merasa lebih tenang berada di keasingan. Meskipun Ki Ajar Anggara tidak memutuskan hubungannya dengan kehidupan masyarakat di padukuhan di lereng gunung itu, namun Ki Ajar memang lebih banyak menyatu dengan keheningan di lambung gunung.

Apalagi setelah Raden Tumenggung Reksayuda menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih muda dan cantik. Maka Ki Ajar menjadi semakin terpisah dari keramaian duniawi.

Namun tiba-tiba saja cucunya, putera Raden Tumenggung Reksayuda datang kepadanya serta memohon untuk dapat tinggal bersama eyangnya yang terasing itu.

Ketika Raden Jalawaja datang kepadanya, Ki Ajar mencoba untuk mencegahnya agar cucunya itu tetap berada di lingkungan yang memberinya tawaran yang lebih baik bagi masa depannya.

Tetapi cucunya merasa lebih mantap tinggal bersama eyangnya, di lambung gunung.

“Kau tidak berteman disini Jalawaja” berkata eyangnya.

“Dalam keadaanku sekarang eyang. Aku lebih senang berteman sepi.”

“Kau masih muda, Jalawaja. Hari-harimu masih panjang. Seharusnya kau mulai menganyam landasan buat masa depanmu.”

“Aku akan hidup disini, eyang. Aku berjanji untuk rajin pergi ke sawah. Mencari rumput buat binatang peliharaan eyang atau menggembalakannya. Aku berjanji untuk berbuat apa saja yang eyang perintahkan.”

Ki Ajar Anggara tidak dapat menolak keberadaan Jalawaja di pondoknya. Agaknya hubungan Jalawaja dengan ayahandanya agak kurang baik sepeninggal ibunya. Apalagi ketika ayahandanya berniat untuk menikah lagi.

“Biarlah untuk sementara Jalawaja ada disini” berkata Ki Ajar Anggara kepada diri sendiri, “mungkin setelah satu dua bulan lewat, hatinya akan dapat menemukan keseimbangannya kembali, sehingga anak itu bersedia pulang ke rumah ayahandanya.”

Tetapi Jalawaja tetap pada pendiriannya. Ia ingin tinggal bersama kakeknya. Apalagi setelah ayahandanya dianggap bersalah dan diasingkan keluar tlatah kadipaten Sendang Arum. Jalawaja seakan-akan menjadi semakin mapan tinggal bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.

“Tetapi keberadaanmu disini harus ada manfaatnya Jalawaja” berkata kakeknya kepada cucunya setelah cucunya beberapa lama berada di pondoknya.

“Apapun yang eyang perintahkan” jawab Jalawaja.

“Aku tetap berharap bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Sendang Arum.”

“Terlebih-lebih sekarang eyang. Ayahanda adalah orang buangan meskipun ayah masih mempunyai hubungan darah dengan paman Adipati di Sendang Arum.”

“Yang dianggap bersalah adalah ayahmu, Jalawaja. Bukan kau.”

“Tetapi orang-orang Sendang Arum memandang aku, putera Tumenggung Wreda Reksayuda sebagai anak orang buangan yang tidak mempunyai ani apa-apa lagi. Biarlah aku mencari arti hidupku disini, eyang. Jika aku dapat meningkatkan hasil panenan padi, jagung dan palawija dari lahan yang sama, maka aku telah menemukan arti dalam hidupku. Bila aku dapat melipatkan hasil pategalan atau menemukan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang lebih baik dari yang ada, maka disitulah letak arti dari hidupku. Peningkatan hasil panenan akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada orang-orang padukuhan yang mau bekerja keras serta berusaha.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah Jalawaja. Aku akan ikut berusaha dan bekerja keras. Tetapi disamping itu, ada ilmuku yang ingin aku wariskan kepadamu.”

“Ilmu apa yang eyang maksudkan?”

“Ilmu kanuragan.”

“Ilmu kanuragan” Jalawaja mengulang.

“Ya. Ilmu kanuragan.”

Jalawaja menarik nafas panjang. Ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Apapun yang eyang perintahkan, aku akan menjalaninya.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Sejak hari ini, kau akan memperdalam ilmu olah kanuragan. Aku tahu bahwa kau sudah memiliki dasar-dasamya. Sekarang, kau harus lebih mendalaminya.”

Jalawaja tidak ingkar. Bahkan semakin lama, semakin ternyata pada kakeknya, bahwa Jalawaja adalah seorang anak muda yang cerdas dan tangkas. Dengan cepat ia menerima dan memahami hal-hal yang baru didalam olah kanuragan. Sementara itu unsur kewadagannya pun sangat mendukung. Kesungguhannya dan kesediaan bekerja keras membuat ilmunya dengan cepat maju.

Jalawaja tidak pernah mengelakkan waktu-waktunya berlatih dengan keras di sanggar terbuka di padang yang agak luas di lambung bukit. Di udara yang kadang-kadang terasa dingin, dengan tidak mengenakan baju, Jalawaja menempa diri. Dengan alat-alat yang sederhana, Jalawaja meningkatkan kepekaan nalurinya. Namun dengan beban yang semakin hari semakin berat, Jalawaja sedikit demi sedikit meningkatkan kekuatan dan tenaganya.

Disamping itu dengan pemusatan nalar dan budinya, Jalawaja meningkatkan tenaga dalamnya serta daya tahan tubuhnya.

Kakeknya yang sudah tua itupun dengan tekun membimbingnya. Kadang-kadang Jalawaja harus berlatih dengan beban yang digantungkan pada tangan dan kakinya. Kadang-kadangnya dalam latihan-latihan keseimbangan yang berat, Jalawaja menapak pada palang-palang bambu dan kayu. Bahkan sambil mengusung beban yang cukup berat.

Disaat-saat lain, Jalawaja harus tenggelam dalam latihan-latihan olah tubuh, agar tubuhnya menjadi semakin lentur. Sehingga tubuh Jalawaja itu seolah-olah dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Jalawaja telah kehilangan seluruh waktunya untuk membajakan diri. Ia masih juga pergi ke sawah. Bukan sekedar mengerjakan apa yang sudah terbiasa dilakukan oleh para petani. Namun Jalawaja dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan terdekat, mencoba untuk meningkatkan hasil sawah mereka.

Tetapi kadang-kadang Jalawaja merasa kecewa, bahwa anak-anak muda itu tidak berpandangan jauh sebagaimana dirinya. Meskipun demikian, Jalawaja dapat menghargai kesediaan mereka untuk bekerja keras.

Dari hari ke hari, Jalawaja memanfaatkan waktu sepenuhnya. Seakan-akan tidak ada waktu tertuang baginya. Jika ia tidak berada di sanggar, maka ia berada di sawah atau pategalan. Baru setelah senja turun, ia berada di sumur untuk menimba air, mengisi jambangan, kemudian mandi.

Namun ada saatnya dimalam hari, Jalawaja pun berada di sanggar tertutup bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.

Dengan demikian, maka setelah beberapa lama Jalawaja berada di rumah kakeknya, maka kulitnya pun menjadi bertambah gelap oleh terik matahari. Tubuhnya menjadi semakin ramping.

Namun matanya menjadi semakin bercahaya. Langkahnya menjadi ringan dan geraknya menjadi semakin cekatan.

Ketika Ki Tumenggung Jayataruna pergi ke lereng bukit memenuhi permintaan Raden Ayu Reksayuda untuk memanggil Jalawaja pulang, Jalawaja dan kakeknya sedang tidak ada di pondoknya.

Seorang anak laki-laki remaja yang lewat sambil menggiring dua ekor kambing memberi tahukan bahwa Ki Ajar Anggara berada di sebelah gumuk kecil di lambung bukit itu.

“Kakang Jalawaja sedang berlatih?” berkata gembala itu.

“Berlatih apa?” bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.

“Olah kanuragan“ jawab gembala itu.

“Terima kasih”

Ki Tumenggung Jayataruna pun kemudian telah meloncat ke punggung kudanya pula. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah gumuk kecil.

Kuda Ki Tumenggung pun kemudian berjalan diantara bebatuan yang berserakkan. Batu-batu sebesar kuda itu sendiri.

Terasa denyut jantung Ki Tumenggung menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia berada di satu lingkungan yang pernah dikenalnya dalam mimpi.

Di seberang padang perdu yang dipenuhi dengan bebatuan yang besar-besar itu terdapat hutan yang lebat membelit lambung gunung.

Beberapa saat kemudian Ki Tumenggung itu melihat dikejauhan bayangan yang bergerak-gerak di antara bebatuan. Berloncatan dengan tangkasnya, melenting dan berputar di udara. Dengan kedua kakinya, bayangan itu hinggap dengan lunak diatas batu yang besar. Namun kemudian bayangan itu telah melenting lagi dengan cepatnya.

Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa yang sedang melakukan gerakan-gerakan yang mengagumkan itu adalah Raden Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.

Tidak jauh dari tempat berlatih Raden Jalawaja, Ki Tumenggung melihat seorang tua duduk di atas sebuah batu. Rambutnya yang terjurai dibawah ikat kepalanya, nampak sudah memutih. Demikian pula kumis dan janggutnya yang dipotong pendek.

Demikian Ki Ajar Anggara melihat Ki Tumenggung Jayataruna, maka iapun segera meloncat turun.

“Ki Tumenggung Jayataruna” Ki Ajar itu pun menyapanya.

“Ya, Ki Ajar” sahut Ki Jayataruna sambil tersenyum.

“Selamat datang di tempat yang sunyi ini, Ki Tumenggung”.

“Terima kasih, Ki Ajar.”

“Marilah, aku persilahkan Ki Tumenggung singgah di pondokku di sebelah gumuk kecil ini.”

“Aku sudah dari sana, Ki Ajar.”

“Tetapi aku dan Jalawaja ada disini. Nah, sekarang marilah, aku akan pulang. Demikian pula Jalawaja. Aku akan mengajaknya pulang.”

“Tetapi biarlah Raden Jalawaja menyelesaikan latihannya hari ini. Aku senang melihatnya. Tubuhnya menjadi seringan kapuk, sehingga seakan-akan begitu mudahnya dihanyutkan angin. Geraknya cepat cekatan, sedangkan keseimbangannya sangat mapan. Meskipun Raden Jalawaja berloncatan dan berputar diudara, namun demikian kakinya menyentuh sebuah batu, rasa-rasanya kaki itu pun segera melekat dan bahkan menghunjam ke dalamnya.”

“Ki Tumenggung pandai membesarkan hatiku dan tentu hati Jalawaja jika ia mendengarnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Jalawaja masih baru mulai. Segala sesuatunya masih belum mencapai batas kemapanan. Yang dikuasainya barulah dasar-dasar dari olah kanuragan.”

“Jika apa yang seperti dilakukan oleh Raden Jalawaja itu baru mulai, sedangkan yang dikuasainya baru dasar-dasarnya saja, lalu betapa dahsyatnya jika nanti pada suatu saat Raden Jalawaja itu tuntas dalam olah kanuragan. Aku tidak dapat membayangkan, apa saja yang dapat dilakukannya.”

Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu, Ki Tumenggung. Namun kami mohon restu, mudah-mudahan Jalawaja benar-benar dapat menguasai landasan bagi kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun disamping itu, akupun berharap bahwa perkembangan jiwanya-pun tetap seimbang, sehingga kemajuannya dalam olah kanuragan akan berarti bagi sesamanya.”

“Ya, Ki Ajar. Tetapi jika Raden Jalawaja tetap, saja berada di tempat terpencil ini, maka arti dari penguasaan ilmunya tidak akan terlalu banyak.”

“Aku berharap, bahwa pada suatu saat ia akan kembali memasuki kehidupan dunia ramai.“

Ki Tumenggung Jayataruna itupun mengangguk-angguk.

Sementara itu, Ki Ajarpun segera bertepuk tangan, memberi-kan aba-aba agar Jalawaja menghentikan latihannya.

Sejenak kemudian, maka tata gerak Jalawaja pun menjadi semakin lamban. Kemudian diletakannya seluruh tenaganya dan dilepasnya nafas-nafas panjang. Kedua belah tangannya-pun kemudian perlahan-lahan turun disisi tubuhnya.

“Jalawaja. Kemarilah, wayah” panggil kakeknya. Jalawaja mengusap keringat di keningnya dengan lengannya. Ketika ia kemudian melangkah mendekati ayahnya, dilihatnya Ki Tumenggung Jayataruna berdiri di sebelah ayahnya sambil memegangi kendali kudanya.

“Paman Tumenggung Jayataruna”

“Ya, Raden.”

“Selamat datang di lambung gunung ini, paman.”

“Terima kasih, Raden. Beruntunglah aku, bahwa aku sempat menyaksikan angger berlatih. Ternyata angger adalah seorang anak muda yang mumpuni dalam olah kanuragan.”

“Paman memujiku. Tetapi pujian paman membuat aku merasa semakin kecil. Aku baru mulai paman. Belum apa-apa.

“Aku sudah mengatakan tadi kepada Ki Ajar Anggara? Jika permulaannya saja sudah seperti itu, aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya nanti setelah Raden Jalawaja matang dalam ilmunya itu.”

“Paman menyanjung aku terlalu tinggi. Jika nanti paman lepaskan, aku akan jatuh terjerembab di bebatuan.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya, “Aku tidak sekedar menyanjung, Raden. Nah, katakan siapakah kawan-kawan Raden yang sebaya, yang mampu mengimbangi kemampuan Raden.”

“Tentu ada paman. Hanya saja aku belum dapat menyebutkan.”

Merekapun tertawa. Demikian pula Ki Ajar Anggara yang kemudian berkata, “Nah, marilah Ki Tumenggung. Singgah di gubukku. Gubug yang tidak lebih baik dari sebuah kandang di rumah para sentana dan nayaka di Sendang Arum.”

“Ki Ajar selalu merendahkan diri. Nampaknya sikap itu berpengaruh juga pada Raden Jalawaja.”

“Bukan merendahkan diri, Ki Tumenggung. Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya disini.“

Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriringan di jalan setapak menuju ke pondok Ki Ajar Anggara. Ki Ajar berjalan di paling depan. Kemudian Ki Tumenggung menuntun kudanya. Di paling belakang adalah Jalawaja yang tubuhnya masih basah oleh keringat.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk di serambi depan rumah Ki Ajar Anggara. Rumah yang nampaknya sederhana. Tetapi demikian mereka duduk di serambi, Ki Tumenggung Jayatarunapun berdesis, “Alangkah sejuknya, Ki Ajar. Rasa-rasanya aku segan pulang. Rumahku di sendang Arum terasa panas dan bahkan kadang-kadang udara yang panas itu terasa lembab. Angin yang bertiup tidak membuat tubuh menjadi sejuk. Tetapi rasa-rasanya angin itu mengandung uap air yang panas.”

“Bukankah di ruman paman ada beberapa batang pohon yang besar yang dapat melindungi halaman rumah paman dari teriknya panas matahari?”

“Ya. Tetapi pepohonan itu tidak dapat membuat udara di halaman rumahku sesejuk udara di halaman rumah ini.”

“Kita berada di kaki sebuah pegunungan, Ki Tumenggung” sahut Ki Ajar Anggara, “itulah agaknya yang membuat udara di lingkungan ini lebih sejuk.”

“Ya, ya, Ki Ajar” Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Jalawaja, “Ngger. Pamanmu Tumenggung Jayataruna datang untuk menemuimu. Mungkin ada hal-hal yang penting yang akan dikatakannya kepadamu, tetapi mungkin juga kepada kita berdua.”

Jalawaja mengangguk kecil sambil berdesis, “Apakah ada pesan dari paman Adipati? Atau barangkali paman Tumenggung mendapat perintah untuk menangkap aku karena aku anak seorang pemberontak yang sudah dibuang keluar tlatah Sendang Arum?”

“Jangan berprasangka begitu, Raden” sahut Ki Tumenggung Jayataruna dengan nada berat.

“Kau jangan merajuk seperti itu, Jalawaja” berkata Ki Ajar Anggara kemudian, “seharusnya apapun yang telah terjadi, kau jangan memandang dunia ini begitu buramnya.”

“Maaf, eyang. Aku tidak bermaksud berprasangka buruk. Aku hanya tidak dapat mengingkari tekanan perasaan yang seakan datang beruntun, sehingga warna sisi pandangku menjadi buram” Jalawaja berhenti sejenak, lalu katanya kepada Ki Tumenggung Jayataruna, “Aku minta maaf paman.”

“Sudahlah Raden. Barangkali lebih baik segera menyampaikan pesan kepada Raden Jalawaja.”

“Silahkan paman.”

“Kedatanganku kemari sebenarnyalah bukan atas perintah Kangjeng Adipati di Sendang Arum.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk, sementara Raden Jalawaja mendengarkannya dengan seksama.

“Tetapi aku datang menemui Raden Jalawaja karena aku diutus oleh Raden Ayu Reksayuda.”

“Raden Ayu Reksayuda?” ulang Ki Ajar Anggara.

“Ya, Ki Ajar.”

“Miranti maksud paman” sahut Jalawaja.

“Ya. Tetapi bukankah sekarang aku harus menyebutnya Raden Ayu Reksayuda?”

“Ya. Silahkan paman” nada suara Jalawaja mulai meninggi, “paman diutus apa?”

“Raden Jalawaja dipersilahkan pulang”

“Pulang?”

“Ya, Raden”

“Pulang ke Katumenggungan?”

“Ya, Raden. Raden Ayu Reksayuda minta agar Raden Jalawaja bersedia untuk pulang.”

Raden Jalawaja menarik nafas panjang. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Tidak, paman. Aku tidak akan pulang.”

“Jalawaja” Ki Ajar pun kemudian menyela, ”mungkin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh ibumu.”

“Eyang. Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan pulang. Aku akan tinggal disini, karena hidupku akan lebih berarti dari pada aku berada di Katumenggungan. Disini aku dapat bekerja keras bersama anak-anak muda di padukuhan sebelah untuk meningkatkan hasil sawah dan pategalan. Membuat parit-parit baru untuk mengairi sawah tadah udan, sementara di bagian lain di lereng bukit ini airnya melimpah. Memperbaiki jalur-jalur jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Membuat jembatan-jembatan bambu yang sederhana tetapi memenuhi kebutuhan. Sedangkan kalau aku berada di Katumenggungan, apa yang dapat aku kerjakan disini? Duduk-duduk, merenung makan dan minum, tidur dan apalagi?”

“Raden” berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian, “memang ada hal yang penting yang harus aku sampaikan kepada Raden, kenapa Raden Ayu Reksayuda memanggil Raden.”

Jalawaja memandang Ki Tumenggung Jayataruna dengan kerut di dahinya.

“Raden. Dalam waktu dekat. Mungkin pekan ini, ayahanda Raden Jalawaja, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan di jemput dari pengasingan.”

“Ayahanda akan dijemput?”

“Ya.”

“Untuk apa? Apakah ayahanda harus menjalani hukuman yang lebih berat di Sendang Arum?”

“Tidak, tidak, Raden. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah mendapatkan pengampunan setelah menjalani hukuman sekitar tiga tahun dan hukuman yang seharusnya dijalani selama lima tahun.”

Raden Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian anak muda itu menggeleng sambil menjawab, “Paman. Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang lagi, apapun alasannya.”

“Ngger” sahut Ki Ajar Anggara, “aku tahu bahwa kau merasa lebih kerasan disini daripada di Katumenggungan. Aku juga tidak berkeberatan kau tinggal disini. Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan pulang untuk keperluan-keperluan yang penting. Wayah. Bahwa ayahandamu diperkenankan pulang sebelum menjalani masa hukumannya sampai habis, adalah satu hal yang sangat penting didalam perjalanan hidupnya. Setelah pulang, ayahandamu akan dapat menjalani satu kehidupan yang wajar bersama ibumu.”

“Maaf eyang. Tetapi aku tidak dapat pulang. Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang selama Miranti masih berada di Katumenggungan.”

“Kenapa Raden. Ibunda Raden Jalawaja mengharap angger pulang. Ayahanda Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan sangat berbahagia jika Raden Jalawaja bersedia ikut menjemput ayahanda dari pengasingannya di Pucang Kembar.

“Tidak. Aku tidak akan pulang.”

“Jika Raden tidak ingin ikut menjemput ayahanda Raden di pengasingan, Raden dapat menunggunya di Dalem Katumenggungan bersama ibunda. Jika ayahanda Raden melihat Raden berada di Dalem Katumenggungan dan menunggu kehadirannya bersama ibunda, maka ayahanda tentu akan bergembira sekali.“

“Sudahlah paman. Aku sudah memutuskan untuk tidak pulang. Biarlah petugas menjemput ayahanda ke Pucang Kembar. Dan biarlah Rara Miranti menunggu kedatangan ayah itu di Dalem Katumenggungan, karena bagi ayahanda, keluarga satu-satunya tinggallah Rara Miranti.”

“Jalawaja” berkata Ki Ajar Anggara, “sebaiknya kau pulang ngger. Kau akan dapat membuat ayahandamu melupakan masa-masa pahit yang pernah dijalaninya di pengasingan.”

“Aku sudah tidak dihitung lagi oleh ayahanda, eyang. Aku sudah berada di luar bingkai kasih-sayangnya. Aku bagi ayahanda adalah anak yang tidak patuh dan karena itu tidak pantas untuk tetap berada di lingkungan keluarganya.”

“Keadaan tentu sudah berubah, Raden” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.

“Tidak. Selama Miranti masih berada di Dalem Katumenggungan keadaan tidak akan berubah. Selama itu pula aku tidak akan memberikan arti apa-apa bagi ayahanda. Karena itu, maka aku tidak merasa perlu untuk pulang serta menjemput ayahanda di pengasingannya.”

“Wayah” berkata Ki Ajar Anggara, “pulanglah ngger. Ayahmu akan dapat menjadi salah paham. Dikiranya akulah yang mengajarimu untuk tidak mengasihinya lagi. Kau tahu, bahwa ibumu yang sudah meninggal itu adalah anakku. Ayahandamu dapat menduga, bahwa karena ayahandamu menikah lagi dengan seorang perempuan yang lain, aku tidak merelakannya dan membujukmu untuk meninggalkannya.”

“Tidak, eyang. Eyang tahu, kenapa aku pergi meninggalkan ayahanda pada waktu itu.”

“Sekarang semuanya tentu akan berubah. Setelah ayahandamu menjalani hukuman selama kurang lebih tiga tahun dari hukuman yang seharusnya lima tahun itu.”

“Bukankah eyang tahu bahwa persoalannya tidak banyak berhubungan dengan masa hukuman yang harus ayahanda jalani?”

“Lupakan persoalan pribadimu dengan ayahandamu itu, Jalawaja.”

“Tidak, eyang. Aku tidak akan dapat mengkesampingkannya.”

“Jangan mengeraskan hatimu seperti itu Jalawaja.”

“Maaf eyang. Kali ini aku tidak dapat memenuhi keinginan eyang. Mungkin hal ini adalah satu-satunya keingkaranku terhadap janjiku untuk mematuhi segala petunjuk nasehat dan perintah eyang.”

“Raden. Apakah sebenarnya yang menghalangi angger untuk pulang. Apalagi menanggapi persoalan yang amat penting ini.”

“Paman. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada paman, karena persoalannya adalah persoalan yang sangat pribadi. Tetapi biarlah paman mengetahui, kenapa hatiku menjadi sekeras batu hitam di lereng gunung itu.”

“Apakah itu perlu ngger?”

“Biarlah eyang. Biarlah paman Jayataruna tidak menganggapku sebagai anak yang durhaka yang tidak mengasihi ayahandanya yang menjadi lantaran kelahiranku di dunia ini.”

Ki Ajar Anggara hanya dapat menarik nafas panjang.

“Paman. Pada waktu itu, ayahanda telah memanggilku menghadap”

Jalawaja pun mulai dengan ceritanya untuk meyakinkan Ki Tumenggung Jayataruna, bahwa ia mempunyai alasan untuk menolak panggilan ibu tirinya.

Menjelang tengah hari, Jalawaja telah menghadap ayahandanya. Namun Jalawaja itu terkejut ketika ia melihat seorang perempuan duduk bersama ayahandanya di ruang dalam.

“Miranti” desis Jalawaja.

“Jalawaja” polong ayahandanya, “kenapa kau sebut saja namanya? Kau harus menghormatinya. Perempuan itu adalah bakal ibumu.”

“Ibuku? Maksud ayahanda?”

“Duduklah ngger” berkata perempuan itu, “kau tentu belum mengetahuinya, bahwa aku memang calon ibumu.”

“Ayah” suara Jalawaja bergetar, “jadi ayah akan menikah lagi?”

“Ya, Jalawaja. Dan perempuan inilah calon ibumu itu.”

“Jadi ayah akan menikah dengan Miranti?”

“Jangan sebut namanya saja. Panggil perempuan itu ibu. Ia akan menjadi ibumu.”

“Aku sudah terbiasa memanggil namanya ayah.”

“Kau kenal dengan calon ibumu.”

“Sudah ayah. Itulah sebabnya aku hanya menyebut namanya.”

“Jika demikian, sejak sekarang kau harus belajar memanggilnya ibu. Jangan panggil namanya saja.”

“Biarlah kangmas. Angger Jalawaja tentu tidak dapat merubah kebiasaannya dengan serta-merta. Tetapi lambat laun ia akan terbiasa memanggilku ibu.”

“Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya.”

“Jalawaja.”

“Ayah. Apakah ayah sudah berpikir masak untuk menikah lagi dengan perempuan itu?”

“Sudah, Jalawaja. Aku sudah berpikir berulang kali.”

“Jadi kehadiran ibunda di Katumenggungan ini tidak lebih dari semilir angin yang bertiup. Terdapat sedikit kesejukan di hati ayahanda pada waktu itu. Tetapi setelah angin itu lewat, maka ayahanda telah melupakannya.”

“Tidak, Jalawaja, Aku tidak pernah melupakannya. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ibun-damu telah meninggal. Ia tidak akan pernah dapat hadir lagi di rumah ini. Aku tidak akan pernah dapat berbicara lagi dengan ibundamu.”

“Itukah batas kesetiaan ayahanda?”

“Aku setia sampai batas hidupnya. Yang Maha Agung lah yang telah memisahkan kami.”

“Batas kasih itu menurut ayahanda adalah akhir dari sebuah kebersamaan? Setelah ibunda tidak lagi bersama ayahanda, maka kasih dan kesetiaan itupun tidak lagi mengikat.”

“Sudah aku katakan, Jalawaja. Aku tidak pernah melupakan ibumu.”

“Kangmas” terdengar suara lembut Rara Miranti. Sambil mengusap matanya yang basah

Rara Miranti itupun berkata, “Aku menjadi sangat terharu mendengar sikap Angger Jalawaja. Hatinya yang terbuka memungkinkan aku melihat tembus kedalamnya. Angger Jalawaja adalah seorang anak muda yang sangat mengisihi ibundanya. Ia pun seorang anak muda yang setia. Kangmas aku dapat mengerti perasaannya.”

“Terima kasih, diajeng, jika kau dapat mengerti perasaan anakku.”

“Ayahanda: Ayahanda melihat air mata itu?”

“Ya, Jalawaja. Ia mengerti perasaanmu. Sebagai seorang perempuan iapun menghargai kesetiaan.”

Gigi Jalawaja terkatup rapat. Tetapi ia berkata didalam hatinya, “Air mata itu adalah air mata buaya. Betapa pandainya ia memainkan peranannya.”

Dalam pada itu, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu pun berkata, “Jalawaja. Ada hal lain yang perlu kau perhatikan. Jika aku kemudian menikah dengan calon ibumu itu, bukan hanya karena kecantikannya. Tetapi ternyata ibumu dapat mengerti gejolak perasaanku menanggapi sikap pamanmu Kangjeng Adipati di Sendang Arum. Pamanmu sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Caranya memegang pemerintahan sudah berubah. Ia tidak lagi mengikat diri kepada tatanan dan paugeran yang berlaku.”

“Siapakah yang mengatakan itu, ayahanda? Perempuan itu.”

“Angger Jalawaja” berkata Rara Miranti, “aku masih dapat mengerti, bahwa semua hal yang tidak kau sukai kau timpakan kepadaku. Aku tidak berkeberatan ngger. Tetapi ketahuilah, bahwa apa yang dikatakan oleh ayahandamu itu benar. Kangjeng Adipati sudah tidak lagi berdiri diatas landasan keadilan dan kebenaran. Kangjeng Adipati tidak lagi menghiraukan pendapat para sentana dan nayaka, termasuk ayahandamu. Padahal semua orang kadipaten ini tahu, siapakah ayahandamu Jalawaja.”

“Kau tidak usah berbicara tentang pemerintahan di Sendang Arum. Apalagi menyebarkan fitnah seolah-olah paman Adipati sudah kehilangan kendali sehingga pemerintahannya tidak lagi berlandaskan pada keadilan dan kebenaran.”.

“Jalawaja. Bersikaplah baik kepada ibumu.”

“Ayah. Tidak sepantasnya ia memfitnah paman Adipati.”

“Yang dikatakan itu bukan fitnah. Tetapi kenyataan yang ada sekarang di kadipaten ini.”

“Tidak. Aku tidak melihat bahwa paman Adipati telah meninggalkan jalur tatanan dan paugeran. Para nayaka dan sentana jika tidak menganggap seperti itu.”

“Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti. Tetapi itulah kenyataan yang ada di kadipaten ini. Karena itu, Jalawaja. Aku akan melanjutkan perjuanganku yang tertunda karena ibundamu meninggal.”

“Melanjutkan perjuangan yang mana? Ibunda tidak pernah sependapat dengan ayahanda tentang apa yang ayahanda sebut dengan perjuangan itu.”

“Bukan tidak sependapat. Tetapi ibundamu ingin hidup tenang dan damai, sehingga didalam dirinya tidak terdapat api perjuangan itu. Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa calon ibumu itu berbeda. Ada api didalam dadanya. Api untuk menyalakan perjuangan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.

“Omong-omong. Perempuan itu sama sekali tidak akan memperjuangan apa-apa bagi rakyat Sendang Arum. Tetapi ia ingin memperjuangkan bagi dirinya sendiri untuk mendapatkan pangkat, derajad dan kemudian semat.”

“Jalawaja” potong ayahnya, “kau harus menjaga kata-katamu.”

“Maaf ayahanda. Aku berkata sebenarnya.”

Mata Rara Miranti menjadi semakin basah. Titik-titik air jatuh satu-satu dipangkuannya.

“Gila perempuan itu” geram Jalawaja didalam hatinya.

Sementara itu Raden Tumenggung Wreda Reksayuda pun membentak Jalawaja., “Sadari, bahwa kata-katamu itu telah menusuk perasaan calon ibumu. Juga menusuk perasaanku.”

“Biarlah kakangmas. Aku tidak berkeberatan. Mungkin beban seperti inilah yang harus aku tanggungkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku didalam lingkungan keluarga kakangmas. Sejak kecil aku pun telah mendengar dongeng tentang seorang itu tiri yang merebus anaknya didalam sebuah belanga panjang.”

Raden Jalawaja menghentakkan tangannya. Tetapi anak muda itu masih berusaha mengendalikan sikapnya dihadapan ayahandanya.

“Jalawaja. Baiklah. Kita tidak berbicara tentang pemerintahan di Sendang Arum. Yang ingin aku bicarakan sekarang adalah rencanaku untuk menikah lagi dengan calon ibumu itu.”

“Jika ayahanda bertanya kepadaku, aku tidak setuju ayahanda.”

“Kenapa?”

“Aku sudah banyak menyatakan sikapku ayah.”

“Jalawaja. Jika demikian maka aku akan mempergunakan hakku sebagai seorang ayah. Aku beritahukan kepadamu, aku akan menikah lagi. Aku tidak merasa perlu minta persetujuanmu.”

“Jika itu yang ayahanda kehendaki, silahkan.”

“Jadi kau menurut perintah ayahandamu karena aku berkuasa untuk melakukannya? Bukan karena kau menyadari, siapakah aku dan siapakah kau. Bukan karena kau mengasihiku karena aku juga mengasihimu.”

“Ayahanda. Jika aku tidak mengasihi ayahanda, maka aku tidak akan peduli terhadap rencana ayahanda untuk menikah lagi. Tetapi karena aku mengasihi ayahanda, maka aku memberanikan diri untuk tidak menyetujui niat ayahanda itu.”

“Jalawaja. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus menerima kenyataan, bahwa aku akan menikah dengan Rara Miranti.”

“Silahkan ayahanda. Tetapi aku masih mempunyai pilihan. Aku akan pergi ke lereng gunung. Aku akan tinggal bersama eyang Ajar Anggara. Aku akan semakin mendekatkan diri dengan Kang Murbeng Dumadi sebagaimana eyang Ajar Anggara.”

“Jalawaja.”

“Aku akan tinggal bersama eyang di lereng gunung. Di pondok eyang yang tenang dan damai. Jauh dari rasa tamak, dengki, iri dan benci.”

“Jangan pergi, ngger.” berkata Rara Miranti di sela-sela isak tangisnya.

Tetapi isak tangis Miranti itu membuat Jalawaja semakin muak.

“Ayahanda. Aku tetap mengasihi ayahanda. Sepeninggal ibu, orang tuaku tinggal seorang, ayahanda. Tetapi sekarang terpaksa aku pergi meninggalkan ayahanda.”

Jalawaja pun kemudian meninggalkan Dalem Katumenggungan dengan janji di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di halaman rumahnya, jika Rara Miranti itu masih ada di rumah itu.

Ki Tumenggung Jayataruna mendengarkan ceritera Jalawaja itu sambil mengangguk-angguk. Kemudian iapun berkata, “Jika persoalannya demikian, maka aku tidak akan dapat mencampurinya. Segala sesuatunya terserah kepada Raden Jalawaja.”

“Seperti yang sudah aku katakan, paman. Aku tidak akan pulang.”

“Baiklah ngger. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Ayu Reksayuda. Tetapi meskipun demikian ngger. Ternyata Raden Ayu Reksayuda itu hatinya tidak seburam yang angger duga.”

“Meskipun hati Rara Miranti itu putih seperti kapas, aku tidak akan pulang.”

“Jika demikian, sebaiknya aku mohon diri. Ki Ajar, aku mohon diri.”

“Ki Tumenggung. Aku minta maaf atas sikap Jalawaja. Aku pun minta maaf, karena aku tidak mampu melunakkan hati cucuku. “.

“Aku tidak akan minta maaf kepada Miranti karena sikapku ini.”

“Baiklah, Raden. Segala sesuatunya nanti akan aku sampaikan kepada Raden Ayu Reksayuda.”

“Silahkan paman. Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.?”

“Aku juga mengucapkan selamat jalan, Ki Tumenggung.”

“Aku mohon diri Ki Ajar. Aku mohon diri Raden.”

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Jayataruna pun telah meninggalkan rumah Ki Ajar Anggara. Ki Ajar dan Jalawaja melepas mereka di regol halaman. Mereka memperhatikan kuda yang berlari di jalan setapak yang menuruni kaki pegunungan.

Debu yang putih mengepul tipis di belakang kuda yang berlari itu. Namun sejenak kemudian Ki Tumenggung Jayataruna itu telah hilang di tikungan.

Demikian Ki Tumenggung itu tidak nampak lagi, maka Ki Ajar Anggara dan Jalawaja pun telah masuk kembali ke regol halaman pondok Ki Ajar yang sederhana itu.

“Jalawaja” berkata Ki Ajar Anggara setelah keduanya du duk kembali di serambi, “ternyata hatimu keras sekali ngger.”

Jalawaja menundukkan kepalanya.

“Hatimu sama sekali tidak tergerak ketika kau mendengar bahwa ayahmu yang seharusnya diasingkan selama lima tahun itu, kini mendapat pengampunan meskipun ia baru menjalaninya selama tiga tahun.”

“Aku minta maaf, eyang.”

“Justru karena kau disini, Jalawaja. Sedangkan aku adalah ayah dari isteri Raden Tumenggung Wreda yang telah tidak ada, maka ayahmu akan dapat mempunyai dugaan yang keliru. Ayahmu akan dapat menduga, bahwa aku menjadi sakit hati karena ayahmu menikah lagi.”

“Tidak, eyang. Ayah tahu bahwa penolakan itu timbul dari dalam hatiku sendiri.”

“Memang kaulah yang mengatakannya kepada ayahmu. Tetapi mungkin ayahmu atau ibu tirimu atau siapapun akan dapat menduga, lain. Mereka dapat menganggap bahwa sikapmu itu dilandasi oleh hasutan-hasutanku.”

“Tidak eyang. Tidak. Eyang jangan menyalahkan diri sendiri. Jika sikapku ini salah, maka akulah yang bersalah. Bukan eyang.”

“Jalawaja. Kau harus menyadari, bahwa ayahandamu itu tetap saja ayahandamu meskipun kau tidak mengakuinya. Semua orang tahu bahwa kau adalah putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Meskipun kau membencinya apalagi setelah ayahmu itu diasingkan, kau tetap saja anaknya.”

“Aku tahu, eyang. Yang aku lakukan ini tidak ada hubung annya dengan hukuman yang harus disandang oleh ayahanda. Aku akan tetap menghormatinya dan akan tetap berbuat apa saja baginya meskipun ayahanda diasingkan. Tetapi yang tidak dapat aku terima adalah karena ayah telah menikah lagi dengan Rara Miranti.”

“Apapun yang dilakukan oleh ayahmu, Jalawaja. Setuju atau tidak setuju, kau tidak dapat ingkar, bahwa ayahandamu adalah lantaran dari Yang Maha Agung untuk menghadirkanmu di dunia ini. Memang itu bukan atas kehendakmu sendiri, Jalawaja, sehingga kau dapat menimpakan semua tanggung jawab kepada ayahandamu. Tetapi pada dasarnya, ayahmu telah mendapat kepercayaan Yang Maha Agung menjadi lantaran keberadaanmu di muka bumi ini. Karena itu, maka kau harus menghormati kepercayaan Yang Maha Agung itu.”

“Ya, eyang”

“Nah, mumpung Ki Tumenggung Jayataruna belum jauh. Susullah dan ikutlah bersamanya. Kudamu akan mampu mengimbangi kecepatan berlari kuda Ki Tumenggung.”

“Ampun eyang. Aku tidak dapat melakukannya.”

“Jalawaja” nada suara Ki Ajar Anggara pun meninggi, “kenapa kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, Jalawaja. Bukankah kau tahu, bahwa aku tidak akan menjerumuskanmu kedalam satu keadaan yang buruk bagimu? Apakah kau malu menampakkan dirimu di Sendang Arum karena ayahmu pernah dihukum? Bahkan diasingkan?”

“Eyang” Jalawaja itu beringsut sejengkal, “sebenarnya aku akan menyimpan rahasia yang satu ini didalam hatiku. Tetapi aku tidak ingin menjadi seorang anak yang durhaka di mata eyang. Akupun tidak ingin menjadi seorang anak yang tidak patuh dan berhatisekeras batu hitam”

Jalawaja berhenti sejenak. Lalu katanya, “Eyang. Seperti yang sudah aku katakan kepada ayahanda langsung, bahwa aku tetap mengasihi ayahanda. Aku memang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan darah itu, apapun yang terjadi dengan ayah, aku adalah tetap anaknya. Aku tidak akan merasa malu disebut sebagai anak seorang pengkhianat. Aku akan tetap menengadahkan wajahku meskipun aku anak seorang buangan.”

“Jadi apa yang menghalangimu pulang, Jalawaja? Karena kau tidak setuju ayahandamu menikah lagi?”

“Aku memang menjadi sangat kecewa bahwa ayahanda telah menikah lagi. Tetapi seandainya ayahanda tidak menikah dengan Rara Miranti, aku tidak akan berjanji untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku selama Rara Miranti itu masih ada di rumah.”

“Kenapa dengan Rara Miranti?”

“Eyang. Sebenarnya aku ingin menyimpan rahasia ini dalam-dalam. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya kepada si apapun. Juga kepada eyang.”

“Jika kau sudah memutuskan untuk membuka rahasia itu sekarang, katakan,”

“Eyang. Sebelum aku bertemu dengan Rara Miranti di ruang dalam rumahku pada saat Rara Miranti berdua dengan ayah, aku sudah mengenal gadis itu.”

“Kau sudah mengenalnya?”

“Ya. Aku sudah mengenalnya. Aku juga sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa aku sudah mengenalnya. Tetapi yang aku katakan juga hanya terbatas sampai disitu, meskipun sebenarnya aku mempunyai ceritera yang cukup panjang tentang Rara Miranti.”

Ki Ajar Anggara tidak menjawab. Ia menunggu Jalawaja itu menceriterakan rahasianya yang telah menghalanginya unluk pulang dalam keadaan apapun juga.

Dengan nada suara yang dalam, maka Jalawaja itupun bercerita.

Menjelang senja Jalawaja asyik duduk di bendungan dengan pancing di tangannya. Sudah sejak matahari turun, Jalawaja duduk di bendungan itu. Ia terbiasa berada di tempat itu untuk memancing ikan. Kadang-kadang dengan dua atau tiga orang kawannya. Bahkan kadang-kadang mereka berlomba, siapakah yang mendapat ikan terbanyak, dianggap menang. Dan berhak mendapatkan ikan kawan-kawannya yang lain. Apalagi sepeninggal ibunya, kadang-kadang Jalawaja duduk berlama-lama di bendungan itu. Kadang-kadang Jalawaja tidak menyadari, bahwa seekor ikan telah menyambar umpan pancingnya, karena Jalawaja sedang merenungi kepergian ibunya. Rasa-rasanya Jalawaja masih belum puas berada di bawah sayap kasih ibunya. Namun tiba-tiba ibunya harus dipanggil pulang oleh Penciptanya.

Senja itu Jalawaja terkejut ketika seorang gadis tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya.

“Kakang.”

Jawalaja berpaling. Yang duduk disampingnya adalah Rara Miranti.

“Miranti. Sebentar lagi hari akan gelap. Kenapa kau datang kemari? Jika ada orang yang melihat, maka orang itu akan mempunyai dugaan yang keliru tentang kita.”

“Tidak, kakang. Mereka tidak akan mempunyai dugaan yang keliru. Mereka tentu mengira bahwa kita berdua telah saling jatuh cinta. Kita berdua sudah berjanji untuk hidup bersama. Bukankah mereka tidak keliru?”

“Miranti” Jalawaja beringsut menjauh. Tetapi Miranti pun beringsut pula. Bahkan bersandar di bahu Jalawaja, ”kakang. Aku ingin jawabmu. Kapan kita akan menikah.”

“Miranti. Siapakah yang pernah mengatakan kepadamu bahwa kiia akan menikah”

“Aku mencintaimu, kakang.”

“Jangan berbicara tentang pernikahan, Miranti. Kita masih terlalu muda untuk berbicara rentang pernikahan.”

“Tidak. Kakang. Kita tidak terlalu muda lagi. Marintcn, yang dua tahun lebih muda dari aku, juga lelah menikah. Rebana yang yang lebih muda dari kakang, juga sudah menikah.”

“Tetapi aku masih belum ingin menikah, Miranti. Sementara itu hubungan diantara kita adalah hubungan wajar saja. Aku tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa suatu saat kita akan menikah.”

“Jangan bergurau kakang. Marilah kita berbicara dengan sungguh-sungguh.”

“Apa yang akan kita bicarakan?”

“Hari-hari yang akan kita jelang. Hari-hari yang indah seperti indahnya senja ini, kakang. Sebentar lagi matahari akan terbenam di balik bukit itu. Teiapi di seberang, bulan akan segera bangkit menghiasi langit. Dedaunan, air di sungai itu, kita berdua, akan ssegera mandi dengan cahayanya yang gemulai.”

“Sudahlah, Miranti. Jangan bermimpi, Bukankah kau tidak tidur?”

“Kita dapat tidur disini, kakang.”

Ketika Miranti mendesaknya lagi, Jalawaja pun segera bangkit berdiri. Digulungnya pancingnya sambil berkata, “Aku akan pulang, Miranti.”

Miranti tertawa. Ia pun bangkit berdiri sambil berkata, “Tidak ada seorang pun yang berada di sekitar kita, kakang. Hanya ada aku dan kau saja.”

“Miranti. Jangan mendesak. Kita akan mengurangi hari-hari mendatang dalam sibuk kita masing-masing. Kita tidak dapat berada di dalam satu biduk. Diantara kita tidak terdapat hubungan apa-apa selain hubungan sebagai kawan yang baik. Bahkan mungkin sebagai dua orang saudara.”

“Sudahlah. Jangan menggangguku lagi. kakang. Marilah kita berjanji, bahwa kita akan mengikat hidup kita sebagai suami isteri. Aku datang kepadamu sekarang dengan penyerahan yang utuh. Apapun yang akan terjadi di kemudian hari, aku tidak akan menyesalinya.”

“Jangan Miranti. Sebaiknya kita menempuh jalan hidup kita masing-masing. Kau dengan jalan hidupmu, aku dengan jalan hidupku sendiri. Sudah aku katakan kepadamu, bahwa aku masih belum menginginkan seorang perempuan yang akan hidup bersamaku kelak”

“Kakang. Apakah kakang bersungguh-sungguh?”

“Ya, Miranti.”

“Jadi apa yang kakang lakukan selama ini terhadap aku?”

“Apa yang aku lakukan? Bukankah aku tidak melakukan apa-apa? Kita memamng berkawan. Hanya itu. Tidak lebih. Seperti aku berkawan dengan gadis-gadis yang lain.”

“Jadi kakang telah menolak aku?”

“Kau salah paham Miranti”

“Kakang, jadi kakang benar-benar menolak aku.”

“Sudah aku katakan, bahwa belum waktunya aku berhubungan dengan seorang perempuan untuk membicarakan tentang pernikahan.”

“Kakang” wajah Miranti menjadi merah, “aku sudah meninggalkan trapsilaning wanita, kakang. Aku sudah mengorbankan harga diriku sebagai seorang perempuan. Aku datang kepadamu untuk menyerahkan jiwa dan ragaku dan bahkan apa saja yang kau kehendaki kakang. Tetapi ternyata kakang telah menyakiti hatiku.”

“Aku minta maaf, Miranti. Agaknya kau telah salah mengerti atas sikapku selama ini.”

“Kakang. Jadi kakang sekarang telah benar-benar berpaling kepada Ririswari? Tentu saja aku tidak akan mampu menyainginya jika kakang memperbandingkan aku dengan Ririswati. Riris adalah anak seorang Adipati. Ia memang memiliki beberapa kelebihan yang dapat membuat kakang menjadi silau.”

“Miranti. Sebenarnyalah bahwa aku masih belum berniat berbicara tentang perjodohan. Kita masih terlalu muda. Aku masih ingin memperdalam ilmu kanuragan dan ilmu kajiwan agar dapat menjadi bekal hidupku kelak.”

“Itu hanya alasanmu saja, kakang. Baik kakang. Kau telah menyakiti hatiku. Aku tidak mau menerima keadaan ini, kakang. Ingat kakang. Bahwa pada suatu hari, aku akan menyingkirkan Ririswari. Aku tidak dapat hidup diatas bumi yang sama. Aku tidak dapat menghisap nafas dari lingkungan udara yang sama. Selain itu, maka pada suatu saat, kau akan merunduk dihadapanku untuk menyembah telapak kakiku. Entah apapun caranya, tetapi aku akan melaksanakan janjiku itu. Bumi dan langit akan menjadi saksi.”

“Miranti” desis Jalawaja.

Miranti tidak mendengarkannya lagi. Ia pun segera berlari meninggalkan bendungan yang sudah menjadi semakin buram. Matahari telah terbenam. Langit menjadi gelap. Namun bulan tidak segera nampak mengamba di langit. Awan yang kelabu mengalir dari arah lautan, semakin lama semakin tebal.

Ketika kemudian hujan turun, Jalawaja masih berada di bendungan. Dibenahinya alat-alatnya serta kepis tempat ikan. Beberapa ekor ikan yang sudah ada didalam kepisnyapun segera dilemparkannya kembali ke bendungan. Dengan cepatnya ikan itupun berenang menghilang didalam genangan air bendungan yang dalam. Ketika seekor diantaranya nampak mengambang dan tidak lagi mampu bbertahan, Jalawijaya memandanginya dengan penuh iba.

“Kasihan” desis Jalawaja.

Namun ketika hujan menjadi semakin lebat, Jalawaja pun meninggalkan bendungan itu pula dengan pakaiannya yang menjadi basah kuyup.

“Eyang” berkata Jalawaja kemudian, “itulah sebabnya, aku kemudian bersumpah untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku jika Rara Miranti masih berada di rumah itu. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan membuat hatiku menjadi sangat sakit. Perempuan itu memang sedang mencari kesempatan untuk menyakiti hatiku. Atau bahkan pada suatu saat akan dapat mengadu kepada ayah dengan ceritera-ceritera yang dibuat-buatnya. Yang hitam dikatakan putih, yang putih dikatakannya hitam.”

Ki Ajar Anggara menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, “Ngger, Jalawaja. Jika demikian maka ternyata kau tidak bersalah. Aku harus minta maaf kepadamu, bahwa aku sudah berprasangka buruk kepadamu.”

“Eyang tidak bersalah. Eyang memang belum mengetahui persoalan yang sebenarnya.”

“Baiklah wayah. Jika yang terjadi seperti apa yang kau ceritakan itu, memang sebaiknya kau tidak pulang. Biarlah para petugas menjemput ayahandamu ke pengasingan. Tetapi seandainya kau ingin ikut menjemput ayahmu, sebaiknya kau langsung saja menghadap pamanmu Adipati.”

“Tidak eyang. Aku tidak usah ikut menjemput ayahanda ke pengasingan. Seandainya itu aku lakukan, belum tentu ayah merasa senang melihat kehadiranku.”

“Ayahmu tentu merasa berbahagia jika kau ada diantara mereka yang menjemputnya. Tetapi persoalanmu dengan Miranti merupakan penghalang bagimu untuk melakukannya”

“Ya, eyang.”

“Dengan penjelasanmu itu, aku tidak akan pernah memaksamu lagi untuk pulang, apapun alasannya.”

“Terima kasih atas pengertian eyang.”

Ki Ajar Anggarapun kemudian bangkit sambil berkata, “Sekarang, aku akan pergi ke dapur, ngger.”

“Apa yang akan eyang kerjakan?

“Membuat gula.”

“Biarlah aku yang menjerang legennya eyang. Nanti saja jika sudah menjadi lebih kental, aku akan memanggil eyang.”

“Baiklah. Jika demikian, jerang legennya. Aku akan pergi ke belumbang. Aku belum memberi makan ikan-ikan di belumbang itu.”

Ketika Ki Ajar Anggara pergi ke belumbang, maka Jalawaja pun sibuk membuat api. Dipanasinya legen kelapa untuk dibuat gula.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya semakin kencang. Dilihatnya mendung menggantgung di langit. Semakin lama semakin tebal.

Tetapi ternyata bahwa hujan tidak segera jatuh. Ada angin semilir yang mendorong mendung itu mengalir ke Utara, serta singgah di lerengnya gunung yang tinggi.

“Jika hujan itu turun dilereng gunung, maka sungai-sungai akan banjir” berkata Ki Jayataruna didalam hatinya. Karena itu, maka kudanya pun berlari semakin kencang.

Ketika matahari turun ke balik bukit di sisi Barat langit, Ki Tumenggung Jayataruna telah memasuki pintu gerbang kota. Namun Ki Jayataruna tidak memperlambat kudanya. Ternyata titik-titik hujan mulai turun. Senakin lama semakin banyak.

Ketika hujan benar-benar turun, Ki Tumenggung telah memasuki regol halaman rumah Raden Ayu Reksayuda. Namun meskipun demikian, Ki Tumenggung tidak dapat meninggalkan unggah-ungguh. Dengan tangkasnya Ki Tumenggung meloncat turun dari kudanya, kemudian berlari sambil menuntun kudanya di pendapa.

Dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung mengikat kudanya di patok-patok yang sudah disediakan. Kemudian berlari-lari kecil Ki Tumengung menujutangga pendapa.

Untuk menghindari air hujan yang kemudian bagaikan tercurah, Ki Tumenggung naik ke tangga. Namun kemudian berhenti.

Sejenak Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar ketika ia melihat pintu pringgitan di seberang pendapa itu terbuka.

Raden Ayu Reksayuda muncul dari balik pintu itu sambil tersenyum, ”Marilah kakang Tumenggung. Silahkan naik.”

“Maaf Raden Ayu. Pakaianku agak basah.”

“Tidak apa-apa, kakang. Silahkan masuk ke ruang dalam.”

“Terima kasih Raden Ayu. Aku akan duduk di pringgitan saja.

Aku hanya singgah untuk memberikan laporan hasil perjalananku menjumpai putera Raden Ayu. Raden Jalawaja.”

“Karena itu, marilah. Silahkan masuk. Hujan menjadi semakin lebat. Anginnya terlalu kencang.”

Ki Tumenggung Jayataruna memang merasa ragu. Tetapi ketika Raden Ayu Reksayuda itu mcmpersilahkannya sekali lagi, maka Ki Tumenggungpun telah melangkah ke pintu dan masuk ke ruang dalam.

Dalam pada itu, lampu-lampu minyak pun telah menyala di pendapa,.di pringgitan dan demikian pula lampu di ruang dalam sinarnya yang ke kuning-kuningan menggeliat di sentuh angin, sehingga bayang-bayang tiang dan perabot pun ikut menggeliat pula.

Dengan wajah yang cerah Raden Ayu pun kemudian duduk pula menemui Ki Tumenggung Jayataruna.

“Apakah kakang Tumenggung baru pulang dari lereng bukit untuk menemui Angger Jalawaja?

“Ya, Raden Ayu.”

“Kakang Tumenggung langsung saja kemari?”

“Ya, Raden Ayu. Aku ingin segera memeberikan laporan kepada Raden Ayu Reksayuda.”

“Duduk sajalah dahulu, kakang. Kakang tentu letih, haus dan barangkali lapar.”

“Tidak, Raden Ayu. Aku tidak letih. Aku sudah terbiasa dan bahkan terlatih, sehingga daya tahanku sebagai seorang prajurit masih dapat dibanggakan.”

Raden Ayu Reksayuda tersenyum. Katanya, “Aku percaya, kakang. Kakang adalah seorang prajurit yang terlatih. Tetapi silahkan duduk dahulu, kakang.”

Sebelum Ki Tumenggung menjawab, maka Raden Ayu Reksayuda itu sudah bangkit dan meninggalkan ki Tumengung duduk termangu-mangu.

Demikian Raden Ayu Reksayuda hilang di balik pintu, maka Ki Tumenggungpun sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tiang-tiang yang kokoh dan berukir. Gebyok kayu yang membatasi ruang dalam itu dengan pringgitan dan bahkan yang menyekat ruang itu dengan warna-warna yang lunak.

“Rumah yang baik” berkata Ki Tumenggung dalam hatinya.

Ki Tumenggungpun sempat memperhatikan selintru kayu yang juga berukir krawangan, Juga disungging. seperti gebyok-gebyoknya.

Rumah yang baik itu tertata rapi, sehingga nampak menjadi semakin cantik.

Ki Tumenggung yang memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan saksama, terkejut ketika tiba-tiba saja pintu terbuka. Raden Ayu Reksayuda masuk sambil membawa minuman yang masih mengepul.

“Jangan membuat Raden Ayu sibuk”

“Hanya minuman kakang.”

“Tetapi tentu merepotkan Raden Ayu.”

“Bukankah kakang belum sempat minum? Ketika hujan menjadi lebat, kakang sudah berada di tangga pendapa.”

Ki Tumenggung tertawa. Namun kemudian disadarinya bahwa ia berada di rumah Raden Ayu Reksayuda, sehingga suara tertawanyapun segera tertahan. Bahkan dengan telapak tanggannya Ki Tumenggung menutup mulutnya.

“Tidak apa-apa, kakang. Justru suara tertawa yang serta merta itu membuat hati kita seakan-akan terbuka.”

“Ya, Raden Ayu“ jawab Ki Tumenggung meskipun ia tidak mengerti maksudnya.

“Aku sengaja menghidangkan sendiri minuman buat kakang. Aku tidak dapat mempercayakannya kepada abdi di katumenggungan ini, karena kadang-kadang mereka kurang dapat menempatkan diri dihadapan tamu-tamu. Apalagi di-hadapan kakang Tumenggung.”

“Bukankah aku bukan tamu yang harus dihormati? Aku hanya seorang Tumenggung.”

“Lalu siapa yang harus dihormati jika bukan seorang Tumenggung di kadipaten ini? Bukankah kakangmas Reksayuda juga seorang tumenggung.”

“Tetapi kedudukan Raden Tumenggung Reksayuda berbeda dengan kedudukanku, Raden Ayu. Raden Tumenggung Reksayuda adalah Tumenggung Wreda. Selebihnya Raden Tumenggung Reksayuda adalah sentanan dalem Kangjeng Adipati Sendang Arum.”

“Apa bedanya? Bahkan secara kewadagan, Ki Tumenggung Jayataruna mempunyai banyak kelebihan. Ki Tumenggung masih lebih muda. Hari-hari depannya masih jauh lebih panjang, sehingga sepantasnya bahwa kakang Tumenggung Jayaturana masih mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang pernah dicapai oleh kangmas Tumenggung Reksayuda.”

“Ah. Sebaiknya aku tidak usah berangan-angan, Raden Ayu. Aku tidak akan mungkin mencapai tataran yang lebih tinggi dari kedudukanku yang sekarang. Jika aku berangan-angan untuk dapat menggapai tingkat kedudukan yang lebih tinggi, itu aku akan mejadi kecewa di kemudian hari. Aku akan disebut seperti cecak nguntal cagak. Seperti seekor cicak yang akan menelan tiang rumah ini.”

Raden Ayu Reksayuda tertawa. Katanya, “Kakang pandai juga berandai-andai. Jika bukan seperti cecak nguntal cagak, maka pepatah lain mengatakan seperti walang nggayuh rembulan. Seperti bilalang merindukan bulan.”

“Lain Raden Ayu. Artinya agak berbeda, meskipun keduanya ingin menunjukkan bahwa kemampuan pencapaian seseorang itu terbatas”

“Apa bedanya, kakang?”

“Walang nggayuh rembulan adalah ceritera tentang seorang laki-laki yang merindukan seorang perempuan dari tataran yang berbeda. Mungkin seorang anak petani yang merindukan seorang anak bangsawan. Mungkin seorang laki-laki miskin, menginginkan perempuan yang kaya raya.”

“Apakah kakang pernah mendengar paribasan yang maknanya sebaliknya. Apakah ada paribasan yang berbunyi Rembulan nggayuh walang ing ara-ara kang kebak alang-alang? Rembulan merindukan bilalang di padang ilalang?”

“Ah. Tentu tidak ada Raden Ayu. Dalam kenyataannya-pun tidak akan ada.”

Raden Ayu tertawa. Katanya, “Minumlah kakang.”

“Terima kasih Raden Ayu.”

Ki Tumenggung Jayataruna itupun menggapai mangkuknya. Tetapi tanpa diketahui sebabnya, tangannya menjadi gemetar.

Setelah minum beberapa teguk, maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Sudahlah Raden Ayu. Sudah malam. Aku mohon diri.”

“Masih hujan, kakang. Nanti saja jika hujan sudah teduh.”

“Mendungnya tebal sekali Raden Ayu. Tentu hujan agak lama baru teduh.”

“Bukankah disini kakang tidak kehujanan?”

“Ya, Raden Ayu. Tetapi aku tidak akan dapat tetap berada disini”

“Kenapa?”

“Jika hujan tidak segera reda, Bahkan sampai jauh malam.”

“Bahkan sampai dini hari, kakang.”

Tiba-tiba saja keringat dingin mengembun di seluruh tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.

“Kakang” berkata Raden Ayu Reksayuda kemudian, “bukankah kakang masih belum menceriterakan perjalanan kakang menemui Jalawaja”

“O” Ki Tumenggung Jayataruna seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi. Ia singgah di rumah Raden Ayu Reksayuda untuk memberikan laporan tentang perjalanannya menemui Raden Jalawaja. Tetapi pembicaraannya dengan Raden Ayu Reksayuda serta sikap perempuan itu, seakan-akan telah membiusnya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun segera menceriterakan hasil perjalanannya menemui Raden Jalawaja.

“Jadi anak itutidak mau pulang, Ki Tumenggung.”

“Ya, Raden Ayu.”

“Kenapa? Apakah anak itu tidak mengatakan alasannya?”

Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak, Raden Ayu. Raden Jalawaja tidak mengatakan alasannya, kenapa ia tidak mau pulang dan tidak mau menjemput ayahandanya dari pengasingan.”

“Anak itu memang keras kepala. Atau mungkin kakeknyalah yang menghasutnya, karena ia tidak setuju, sepeninggal anak perempuannya, ibu Jalawaja, kakangmas Tumenggung telah mengambil aku sebagai istrinya yang tentu mempunyai banyak kelebihan dari anak perempuannya itu.”

Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Namun sekali lagi ia pun berkata, “Entahlah Raden Ayu”

“Baiklah, kakang Tumenggung. Aku sangat berterima kasih atas kesediaan kakang Tumenggung menemui angger Jalawaja. Mudah-mudahan hatinya pada suatu saat dapat menjadi lunak” lalu katanya selanjutnya, “Aku berharap. Mungkin setelah ayahandanya ada di rumah, ia mempunyai sikap yang lain”

“Ya, Raden Ayu.”

“Nah, silahkan minum kakang. Jangan mengharap hujan reda.

“Tetapi….”

Raden Ayu itu terseyum sambil berkata, “Hujan baru akan reda esok pagi, kakang.”

Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Sementara Raden Ayu itupun berkata, ”Kakang. Masih ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

Dahi Ki Tumenggung Jayataruna berkerut. Ketika ia memandang wajah Raden Ayu Reksayuda yang terseyum, Raden Ayu itupun sedang memandanginya, sehingga dengan serta-merta Ki Tumenggung itupun menundukkan wajahnya.

Waktupun terasa berjalan cepat. Di hari berikutnya, atas permohonan Raden Ayu Reksayuda, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah memerintahkan Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna menghadap Kakang Adipati Jayanegara di Kadipaten Pucang Kembar untuk memberitahukan keputusan Kanjeng Adipati Wirakusuma, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah mendapat pengampunan serta diperkenankan memasuki Kadipaten Sendang Arum.

Berdua bersama dua orang pengawal, sekaligus menjemput Raden Tumenggung Reksayuda untuk dibawa kembali ke Kadipaten Sendang Arum.

“Kapan hamba berdua harus berangkat, Kangjeng?” bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.

“Hari ini kalian dapat menyiapkan segala sesuatunya yang kalian perlukan dalam tugas kalian itu. Besok kalian berdua bersama dua orang pengawal akan pergi ke Pucang Kembar. Kalian akan bermalam semalam di Pucang Kembar, kemudian di keesokan harinya, kalian akan pulang bersama kakangmas Tumenggung Reksayuda.”

“Hamba, Kangjeng.”

“Sekarang kalian berdua aku perkenankan meninggalkan pertemuan ini.”

Hari itu, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna telah bersiap-siap untuk pergi ke Pucang Kembar. Dua orang prajurit pilihan telah diperintahkan untuk bersiap-siap. Esok pagi-pagi sekali mereka akan berangkat ke Pucang Kembar.

Ketika fajar menyingsing di keesokan harinya, maka empat orang berkuda telah melarikan kuda mereka meninggalkan pintu gerbang kota. Mereka mengemban perintah Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dari pengasingan.

“Aku ingin tahu, apakah orang-orang yang mencegat kita pada saat kita pergi ke Pucang Kembar beberapa waktu yang lalu, masih juga menghadang orang-orang yang sedang dalam perjalanan” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.

“Tentu tidak. Mereka tentu sudah jera. Apalagi jika mereka ketahui, bahwa kitalah yang sedang lewat.”

“Belum tentu, kakang Tumenggung. Kita akan meyakinkannya. Tetapi jika mereka masih juga menyamun orang lewat, aku akan membunuh mereka semua.”

Ki Tumenggung Reksabawa hanya dapat menarik nafas panjang.

Ketika mereka melewati kedai yang pernah mereka singgahi, Ki Tumenggung Jayataruna pun berkata, “Kita singgah di kedai itu, kakang. Kuda-kuda kita tentu sudah letih. Kedua orang pengawal itu tentu juga sudah haus dan bahkan lapar.”

Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akakan singgah di kedai itu lagi. Agaknya pasar Patalan tidak seramai pada saat kita lewat waktu itu.”

“Hari ini bukan hari pasaran. Tetapi karena pasar ini terhitung pasar yang besar, maka meskipun bukan hari pasaran, banyak juga orang yang datang.”

Sejenak kemudian, mereka berempat telah duduk di dalam kedai itu. Agaknya pelayan di kedai itu masih sempat mengenali-nya. Karena itu, pelayan kedai itupun segera mendekatinya. Namun sikapnya agak lain karena ia melihat ciri-ciri keprajuritan pada kedua orang yang pernah singgah di kedai itu.

“Lama aku tidak singgah” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.

“Ya, Ki Sanak.”

“Apakah orang-orang yang waktu itu singgah di kedai ini masih sering datang kemari?. Maksudku orang-orang yang kau sebut penjahat itu?

“Tidak. Ki Sanak. Mereka tidak pernah kelihatan lagi sejak Ki Sanak lewat.”

“Apakah ada orang lain yang menggantikan mereka, melakukan kejahatan disini?”

“Tidak, Ki Sanak. Nampaknya tidak. Entahlah jika aku tidak mengetahuinya.”

“Syukurlah jika mereka sudah berhenti melakukan kejahatan. Waktu itu mereka menyamun kami. Kami telah membunuh beberapa beberapa orang diantara mereka.”

“Membunuh mereka?”

“Tidak semuanya. Hanya yang keras kepala. Bukankah dengan demikian, kelompok mereka tidak mengganggu lagi.”

“Ya, Ki Sanak. Di hari-hari pasaran, gerombolan itu tidak pernah datang kemari.”

“Mereka sudah menjadi jera. Mudah-mudahan untuk selamanya mereka tidak akan bangkit lagi.”

Ki Tumenggung Jaya Taruna itu pun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka berempat.

“Ki Tumenggung pernah dirampok disini?” bertanya salah seorang prajurit pengawal.

“Bukan disini. Di bulak sebelah. Tetapi mereka mengawasi kami berdua sejak di kedai ini.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Yang masih hidup, tentu sempat menyesali kebodohan mereka. Kenapa mereka ingin merampok dua orang Senapati.”

Sambil tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Karena itulah, maka sekarang aku membawa dua orang pengawal.”

“Ah, Ki Tumenggung. Apa artinya kami berdua” sahut prajurit yang seorang lagi, “jika kami pergi juga bersama Ki Tumenggung, maka tugas kami adalah membawakan barang-barang yang nanti akan dibawa oleh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.”

Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Yang lainpun tertawa pula.

Mereka berempat tidak terlalu lama berada di kedai itu.

Setelah mereka selesai makan, minum dan beristirahat sejenak, maka mereka pun meninggalkan kedai itu. Kepada pemilik dan pelayan kedai itu, Ki Tumenggung Jayataruna pun berkata, “Jika para penjahat itu masih belum jera, maka kami akan membunuh mereka semua. Kami akan masuk kesarang mereka dan menghancurkannya.”

Pemilik serta pelayan kedai-itu hanya mengangguk-angguk saja.

Sejenak kemudian, maka kedua orang Tumenggung serta kedua orang prajurit pengawal itu telah melarikan kuda mereka. Kuda mereka yang sudah beristirahat pula. Sudah minum serta makan rumput yang segar.

Sebenarnyalah bahwa tidak ada lagi orang yang mengganggu perjalanan mereka, sehingga perjalanan mereka menjadi lebih cepat dari perjalanan mereka sebelumnya.....

Malam itu juga, kedua orang Tumenggung itu telah mendapat kesempatan untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara. Atas nama Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka kedua orang Tumenggung itu menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah mendapat pengampunan, sehingga sebelum Raden Tumenggung itu menjalani seluruh masa hukumannya, ia sudah diperkenankan untuk pulang.

“Aku ikut bergembira atas keputusan itu, kakang Tumenggung. Raden Tumenggung Reksayuda sudah terlalu tua untuk diasingkan. Agaknya disisa hidupnya Raden Tumenggung Reksayuda ingin menikmati kehidupan wajar bersama isterinya yang pada saat diasingkan, belum lama dinikahinya.”

“Hamba Kangjeng” kedua orang Tumenggung itu meng-angguk-angguk.

“Baiklah. Biarlah kami membantu kakang Tumenggung berdua untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Aku berharap bahwa kakang Tumenggung berdua serta kedua orang pengawal itu bermalam di Pucang Kembar malam ini. Besok pagi-pagi kakang Tumenggung berdua dapat berangkat menuju ke Sendang Arum. Bersama Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, kakang berdua tentu tidak akan dapat bergerak dengan cepat karena Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang tua itu tidak akan dapat berkuda secepat anak panah. Mungkin kakang Tumenggung berdua menjadi tidak telaten. Tetapi kakang jangan memaksa orang tua itu melarikan kudanya sebagaimana kalian inginkan.”

Kedua orang Tumenggung itu tersenyum. Sambil mengangguk hormat ki Tumenggung Jayataruna pun berkata, “Hamba Kangjeng Adipati. Kami berdua akan menyesuaikan diri. Bukan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang harus menyesuaikan dirinya.”

“Bagus” Kangjeng Adipati pun tertawa.

Demikianlah, malam itu Ki Tumenggung Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna dan kedua orang prajurit pengawalnya bermalam di Pucang Kembar. Malam itu juga keduanya sudah mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.

Besok, sebelum matahari terbit, mereka akan meninggalkan tanah pengasingan.

Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna bersama Raden Tumenggung Reksayuda telah menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara.

“Ampun Kangjeng, kami telah mengusik ketenangan Kangjeng Adipati yang sedang beristirahat” berkata Ki Tumenggung Reksabawa.

“Tidak. Aku tidak merasa terusik. Setiap hari aku bangun pagi-pagi sekali. Aku memerlukan udara pagi untuk menyegarkan tubuhku dan pikiranku.”

“Terima kasih, Kangjeng. Kami datang untuk mohon diri. Kami akan segera meninggalkan kadipaten Pucang Kembar, kembali ke kadipaten Sendang Arum bersama Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, yang telah diperkenankan pulang.”

“Aku juga mohon diri dimas. Selama ini aku telah mendapat perlindungan di Kadipaten Pucang Kembar. Pada saat-saat aku tidak dimanusiakan lagi oleh dimas Adipati Wirakusuma, maka aku dapat tinggal di Pucang Kembar dengan nyaman. Disini aku tetap saja diperkenankan hidup bebas sebagaimana orang lain.”

“Tetapi sekarang kakangmas sudah mendpat pengampunan. Kakangmas sudah diperkenankan pulang meskipun masa pengasingan kakangmas masih belum genap.”

“Ya. Aku mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang aku terima ini. Mudah-mudahan di Sendang Arum aku masih dapat diterima sebagaimana mestinya, sehingga aku tidak justru tersisih dari pergaulan. Jika itu terjadi, maka aku akan merasa lebih senang berada di Pucang Kembar.”

“Tentu tidak kakangmas. Jika dimas Adipati Wirakusuma masih menganggap kakangmas perlu disisihkan, maka dimas Wirakusuma tentu tidak akan memberikan pengampunan.”

“Mudah-mudahan, dimas.”

“Nah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan pperjalanan kangmas Tumenggung mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, selamat sampai dirumah. Bertemu dengan kang mbok Miranti.”

Raden Tumenggung Wreda Reksayuda tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan Rara Miranti tidak lupa kepadaku.”.

“Mana mungkin kangmbok melupakan kangmas Tumenggung. Bukankah yang mohon pengampunan kepada dimas Adipati juga kakangmbok Miranti?”

“Ya, dimas.”

“Kangmbok tentu sudah menunggu kedatangan kangmas Tumenggung dengan jantung yang berdebar-debar.”

Demikianlah, pada saat cahaya langit menjadi merah, maka Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah meninggalkan pintu gerbang halaman dalem kadipaten.

Seperti yang dikatakan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara, maka perjalanan iring-iringan yang menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu tidak dapat terlalu cepat. Raden Tumenggung memang sudah tua, sehingga untuk berpacu seb agaimana kedua orang pada saat mereka berangkat, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah tidak sanggup lagi.

Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna lah yang harus menyesuaikan diri. Keduanya yang berkuda didepan, sekali-sekali harus berpaling. Jika jarak diantara mereka sudah agak terlalu panjang, maka kedua menggung itu memperlambat lari kuda mereka. Sementara itu, kedua orang prajurit pengawal yang berkuda di belakang, mulai terkantuk-kantuk. Perjalanan kuda mereka yang mereka anggap lamban, semilirnya angin di bulak-bulak panjang yang hijau, membuat mata mereka menjadi berat.

“Apakah kita belum memasuki tlatah Sendang Arum, Ki Tumenggung?” bertanya Raden Tumenggung Wreda,

“Belum Raden. Beberapa lama lagi. Bukankah ada tanda di perbatasan? Kalau dijalan utama antara Sendang Arum dan Pucang Kembar terdapat sebuah gapura batu, maka di tepi jalan ini di perbatasan terdapat sebuah tugu batu setinggi orang.”

“Jadi kita tidak menempuh jalan utama itu?”

“Tidak, Raden”

“Kenapa?

“Bukankah jalan utama itu terlalu jauh? Lewat jalan ini kita menghemat beberapa ribu patok.”

Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu mengangguk-angguk.

Ketika matahari sudah sampai di puncak, mereka masih belum sampai ke perbatasan. Bahkan Raden Tumenggung itu pun berkata, “Aku ingin beristirahat barang sebentar. Ki Tumeng-gung.”

“Baiklah, Raden. Tetapi sebentar lagi kita sampai di perbatasan. Kita akan beristirahat setelah kita melewati perbatasan itu”

“Perhatikan kuda-kuda kalian. Kuda-kuda itupun tentu sudah letih, haus dan barangkali lapar.”

“Apakah kita tidak dapat maju sedikit lagi. Raden.”

“Aku sudah letih sekali.”

“Baiklah, Raden. Jika Raden memang ingin beristirahat, kita akan berisirahat di kedai yang ada didepan itu.”

“Aku setuju Ki Tumenggung. Aku sudah haus sekali.”

“Mereka berlima pun kemudian telah beristirahat di sebuah kedai. Kuda-kuda mereka pun mendapat perawatan seperlunya mendapat minum dan makan rumput segar.

Didalam kedai, Raden Tumenggung Reksayuda, Ki Tumenggung Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna dan kedua orang prajurit pengawal itu pun telah minum serta makan pula.

Beberapa saat kemudian setelah mereka beristirahat beberapa lama, maka Ki Tumenggung Reksabawa pun bertanya, “Apakah kita sudah cukup beristirahat, Raden.”

“Rasa-rasanya aku menjadi segan untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan. Punggungku mulai merasa sakit. Jika nanti kita kelaparan di jalan, sementara tidak kita jumpai lagi kedai, dimana kita akan makan?”

“Kita merencanakan, di sore hari ini kita sudah berada di halaman rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda”

“Kita akan memacu kuda kita lebih cepat lagi?”

“Tidak Raden. Tetapi Raden tidak dapat tinggal disini sampai besok.”

Raden Tumenggung itu mengangguk-angguk.

Betapapun malasnya, namun mereka pun melanjutkan perjalanan. Sekali-sekali Raden Tumenggung Wreda itu berdesah. Punggungnya sudah mufai terasa sakit.

Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di perbatasan. Ketika melihat sebuah tugu batu, dengan serta merta Raden Tumenggung Reksayuda bertanya, Apakah tugu itu batas Kadipaten Sendang Arum dan kadipaten Pucang Kembar?”

“Ya, Raden.”

Tiba-tiba saja Raden Tumenggung itu menghentikan kudanya. Dengan demikian kedua orang Tumenggung serta dua orang prahurit pengawal itupun berhenti pula. Bahkan ketika Raden Tumenggung itu meloncat turun, yang lain pun meloncat turun pula

“Pegang kudaku” berkata Raden Tumenggung kepada seorang diantara kedua orang prajurit itu.

Prajurit itu pun segera menerima kendali kuda Raden Tumenggung. Sementara Raden Tumenggung pun segera turun ke sebuah parit yang airnya nampak jernih berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari yang sudah melewati puncak langit.

Sambil membasahi wajahnya dengan air parit yang jernih itu, Raden Tumenggung berkata, ”Alangkah segarnya air di kadipaten Sendang Arum.”

“Maaf Raden” sahut Ki Tumenggung Jayataruna, ”tlatah Sendang Arum berada di seberang tugu itu Raden.”

“O. Tetapi jaraknya hanya kurang beberapa jengkal saja.”

“Air itu mengalir dari tlatah Pucang Kembar.”

Raden Tumenggung Wreda yang tua itu mengerutkan dahinya, sementara Ki Tumenggung Reksabawa menggamit Ki Tumenggung Jayataruna sambil berdesisi perlahan, “Jangan mengganggu saja di. Orang tua itu dapat menjadi sangat kecewa meskipun persoalannya tidak penting. Bahkan adi hanya sekedar ingin bergurau.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa tertahan.

“Air itu sudah di perbatasan Raden” berkata Ki Tumenggung Reksabawa yang ikut tuun ke dalam air pula, ”memang airnya terasa sejuk, justru pada saat memasuki perbatasan Sendang Arum.”

“Ya. Aku juga ingin mengatakan seperti itu.”

Ki Tumenggung Reksabawa berpaling kepada Ki Tumenggung Jayataruna yang masih berdiri di pinggir jalan sambil memegangi kendali kudanya, sementara kuda Ki Tumenggung Reksabawa telah dipegangi oleh prajurit yang seorang lagi.

Baru sejenak kemudian, ketika tubuhnya sudah merasa menjadi semakin segar, Raden Tumenggung Wreda Reksabawa itu pun segera naik ke tanggul. Kemudian katanya, “Sudah lama aku tidak menghirup udara di tanah tercinta.”

Ketika Raden Tumenggung itu memandang Ki Tumenggung Jaya Taruna, maka ia pun berkata, ”Udara disini dan udara di seberang tugu itu tentu berbeda meskipun jaraknya tidak lebih dari dua langkah.”

Ki Tumenggung Jayaturana tertegun. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Ya. Sedangkan tepat diperbatasan, udaranya terasa panas di hidung kita.”

Demikianlah sejenak kemudian kelima orang itu pun melanjut-kan perjalanan.

Namun Raden Tumenggung Wreda Reksayuda tidak tahan dipanggang oleh teriknya matahari yang justru sudah condong disisi Barat langit. Karena itu, iring-iringan itupun terpaksa sekali lagi berhenti. Raden Tumenggung menjadi kehausan di perjalanan yang berat itu.

Beberapa lama mereka berada dikedai itu. Tanpa disengaja mereka mendengar seorag yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu berbicara kepada kawannya, “Tidak seorangpun yang mengira, bahwa laki-laki itu sampai hati membunuh isterinya.”

“Ya. Tidak seorangpun mengira” sahut kawannya.

“Tetapi isteri laki-laki itu memang cantik dan jauh lebih muda dari suaminya.”

“Itulah sebabnya ketika laki-laki itu pulang setelah menjalani hukuman dari keslahan yang tidak pernah dilakukannya, dan didapati isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, maka laki-laki yang sabar dan alim itu telah membunuhnya.”

“Semua orang menyesali perbuatan itu.”

“Bukan hanya perbuatan itu. Tetapi juga seluruh kejadiannya. Kenapa laki-laki itu dihukum tanpa melakukan kesalahan apa-apa, sementara yang bersalah justru telah berbuat serong dengan isterinya? Kenapa pula isterinya telah menerima laki-laki lain pada saat suaminya menderita tekanan kewadagan dan kejiwaan.”

“Kenapa? Ya, semua orang bertanya kenapa. Tetapi semuanya itu telah terjadi. Kemudian laki-laki itu harus menjalani hukuman lagi karena ia telah membunuh isterinya. Untunglah laki-laki yang berrkhianat itu sempat melarikan diri.”

“Ya. Tetapi ia jatuh ketangan orang banyak. Bahkan orang itu juga hampir mati, jika saja tidak ada empat orang prajurit berkuda yang meronda”

Raden Tumenggung Wreda berpaling untuk mengamati orang-orang yang sedang berbincang itu. Namun dalam pada itu, keringat pun telah mengalir di punggung Ki Tumenggung Jayataruna.

“Kita sudah terlalu lama beristirahat” berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian, ”marilah, Raden. Nanti kita kemalaman di jalan Kuda-kuda kitapun sudah beristirahat pula.”

Raden Tumenggung Wreda mengangguk. Katanya, “marilah. Aku menjadi semakin malas. Tetapi tentu aku tidak dapat bermalam disini.”

Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu sudah melanjutkan perjalanan Meskipun mereka tidak harus berkelahi di jalan, namun ternyata waktu yang diperlukan hampir sama panjang dengan saat beberapa waktu yang lalu kedua orang Tumenggung itu pergi ke Pucang Kembar.

Sebelum senja, iring-iringan itu sudah memasuki pintu gerbang kota. Beberapa orang yang berpapasanpun berhenti. Mereka sudah mendengar bahwa Raden Tumenggung Wreda sudah mendapat pengampunan. Karena itu, ketika mereka melihat iring-iringan itupun segera menebak, bahwa seorang diantara mereka adalah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda”

“Ya. Yang ditengah diantara Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna” berkata seseorang yang kebetulan sudah mengenal kedua orang Tumenggung itu.

Tetapi kawannya tidak mau kalah. Katanya, “Ya memang yang ditengah itu. Aku sudah pernah mengenal Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Tentu saja waktu itu Raden Tumenggung itu masih muda.”

Namun seorang perempuan yang berdiri di dekat mereka pun menyahut, “Masih muda? Bukankah yang masih muda itu isterinya? Raden Tumenggung sendiri baru menjalani hukuman tiga lahun. Karena itu, sejak ia diasingkan, ia memang sudah tua.”

Orang yang menyebut waktu itu Raden Tumenggung masih muda itupun tidak mau kalah. Ia pun segera menjawab, “Maksudku masih kelihatan muda Jauh lebih muda meskipun umurnya hanya bertaut tiga tahun sampai sekarang.”

Perempuan itupun tidak menyahut lagi. Ia lebih memperhatikan Raden Tumenggung Wreda daripada omongan laki-laki itu.

“Isterinya yang muda itu tentu akan senang sekali menyambut kehadirannya” desis perempuan itu.

Keberadaan Raden Tumenggung Reksayuda di jalan ulama itu benar benar telah menarik perhatian. Apalagi Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna sengaja memperlambat kuda mereka.

“Akulah yang letih. Aku sudah tua. Tetapi kenap tiba-tiba aku merasa perjalanan ini sangat lamban?” berkata Raden Tumenggung Reksayuda, “apakah Ki Tumenggung berdua sengaja membuat aku jadi tontonan di bumiku sendiri?”

“Tidak, Raden. Maaf. Aku pikir Raden yang rindu akan kampung halaman itu ingin memperhatikan keadaannya dengan saksama setelah tiga tahun tidak melihatnya”

“Marilah. Jangan biarkan aku jadi totonan disini.”

”Iring-iringan itu pun kemudian telah mempercepat perjalanan mereka. Sambil tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa pun berkata, “Bukan karena menjadi totonan orang. Tetapi agaknya semakin dekat kerinduan Raden Tumenggung Wreda terhadap keluarganya justru semakin menyala”

“Ah” Raden Tumenggung itu berdesah.

Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah berbelok memasuki jalan yang langsung menuju ke depan rumah Raden Tumenggung.

“Raden” bertanya Ki Tumenggung Reksabawa, “Raden berniat pulang dahulu atau langsung menghadap Kangjeng Adipati?”

“Aku akan pulang dahulu, Ki Tumenggung. Aku akan beristirahat. Besok aku akan menghadap dimas Adipati untuk melaporkan bahwa aku sudah pulang. Seandainya aku akan diasingkan lagi, aku sudah berada di rumah semalaman.”

“Kenapa diasingkan lagi, Raden?” bertanya Ki Reksabawa.

“Mungkin setelah dimas Adipati melihat ujudku, kemarahannya terungkit lagi?”

“Ah. Tentu tidak begitu. Jika Kangjeng Adipati masih marah, Raden tentu tidak akan diampuni”

“Tetapi apa Ki Tumenggung tahu, kenapa dimas Adipati memutuskan untuk mengampuni aku? Dan memberi aku kesempatan pulang sebelum aku menyelesaikan hukumanku?”

“Berdasarkan permohonan dari Raden Ayu Reksayuda, Raden”

“Kenapa dimas Adipati batu mendengarkan permohonan Miranti itu sekarang? Setelah isteri dimas Adipati itu meninggal?”

“Maksud Raden?” suara Ki Tumenggung Reksabawa meninggi.

“Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki Tumenggung. Aku hanya ingin mengungkapkan sebuah pertanyaan.”

Terasa jantung Ki Tumenggung Reksabawa berdebaran. Ia tahu arah pembicaraan Raden Tumenggung yang tua itu. Mungkin ia mendengar pembicaraan di kedai itu, sehingga memberikan sentuhan di hatinya.

Sementara itu, Ki Tumenggung Jayataruna sama sekali tidak menyahut. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu sudah sampai di depan regol halaman rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Keempat orang yang lainpun segera meloncat turun sebelum mereka memasuki regol. Namun Raden Tumenggung sendiri masih tetap saja duduk diatas punggung kudanya.

Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Raden Ayu Reksayuda sudah berada di pendapa. Dua orang Tumenggung atas nama Kangjeng Adipati sudah berada di rumah itu pula menyambut kedatangan Raden Tumenggung Reksayuda.

Demikian Raden Tumenggung turun dari kudanya, maka Raden Ayu Reksayuda segera berlari menyongsongnya. Dengan serta merta Raden Ayu itu pun mendekap Raden Tumenggung sambil menangis.

“Kangmas” suara Raden Ayu terdengar di sela-sela isaknya, “syukurlah kangmas telah pulang dengan selamat.”

Raden Tumenggung pun mendekap isterinya pula. Dengan nada berat iapun berkata, ”Yang Maha Agung masih mempertemukan kita diajeng.”

“Marilah kangmas. Kami menunggu sejak matahari turun. Kedua utusan dimas Adipati juga sudah menunggu sejak lama disini.”

Raden Tumenggung Wreda itupun menarik nafas panjang. Bersama Raden Ayu Reksayuda keduanya melangkah ke tangga pendapa.

“Selamat datang kembali di rumah Raden Tumenggung” berkata seorang diantara kedua orang utusan Kangjeng Adipati yang menyambut kedatangan Raden Tumenggung itu.

“Terima kasih, Ki Tumenggung berdua. Marilah. Naiklah kembali. Sekarang akulah yang mempersilahkan Ki Tumenggung berdua duduk di pringgitan.”

Keduanya pun segera naik pula. Demikian pula Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawalnya.

Demikian mereka duduk di pringgitan, maka Raden Tumenggung itupun bertanya, “Apakah anakku ada di rumah?”

“Ampun kangmas” jawab Raden Ayu, “Kakang Tumenggung Jayataruna telah pergi menjemputnya ke rumah paman Ajar Anggara di lereng gunung. Tetapi Angger Jalawaja tidak bersedia turun.”

Raden Tumenggung itu pun kemudian berpaling kepada Ki Tumenggung Jayataruna sambil bertanya, “Benar begitu, Ki Tumenggung?”

“Ya, Raden. Aku sendiri sudah datang menemui Raden Jalawaja. Aku sendiri sudah memberitahu bahwa hari ini raden akan dijemput di tempat pengasingan. Bahkan jika Raden Jalawaja bersedia aku persilahkan untuk ikut menjemput pula. Tetapi Raden Jalawaja tidak bersedia.”

Raden Tumenggung itu menarik nafas panjang. Katanya, “Kenapa anak itu mengeraskan hatinya sehingga pada saat-saat yang penting seperti ini, hatinya masih ssaja sekeras batu”

“Hatinya memang keras, kangmas. Tetapi mungkin ada pula yang mengipasinya, sehingga Jalawaja menjadi semakin jauh dari keluarganya.”

“Siapa?”

“Bagaimana dengan paman Ajar Anggara?”

“Tidak. Aku mengenal bapa Ajar Anggara dengan baik. Ia orang yang hatinya lembut. Aku kira ia tidak akan menghembuskan racun di hati cucunya.”

“Mudah-mudahan dugaan kangmas itu benar. Tetapi siapa tahu, isi hati seseorang.”

“Bagaimana menurut pendapat Ki Tumenggung Jayataruna?”

“Segala sesuatunya dapat saja terjadi Taden. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu, apakah Ki Ajar Anggara telah membuat hati Raden Jalawaja semakin keras atau tidak.”

“Sudahlah” berkata Raden Tumenggung, “jika hari ini Jalawaja belum pulang, mungkin besok atau lusa. Jika perlu, aku sendiri akan menjemputnya kelak ke rumah bapa Ajar Anggara.”

Dalam pada itu, kedua orang utusan Kangjeng Adipati itu pun berganti menanyakan keadaan dan keselamatan Raden Tumenggung. Mereka juga menanyakan kehidupan Raden Tumenggung di pengasingan.

“Di Pengasingan aku justru semakin mengenal diriku sendiri, Ki Tumenggung. Akupun merasa semakin dekat dengan alam. Dengan Penciptanya dan dengan arti dari hidupku. Tetapi memang ada semacam kerinduan yang setiap saat terasa semakin dalam menghunjam di jantungku. Kerinduan terhadap kampung halaman. Kerinduan terhadap bumi kelahiran“ Raden Tumenggung itu pun berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Karena itu, aku berterima kasih alas kesempatan yang diberikan kepadaku untuk pulang tanpa menunggu batas waktu pengasinganku.”

“Mudah-mudahan Raden Tumenggung dapat segera menye-suaikan diri dengan perkembangan yang terjadi selama tiga tahun terakhir di kadipaten ini,“ berkata salah seorang dari kedua orang utusan Kangjeng Adipati itu.

“Apakah ada perubahan yang berarti selama tiga tahun terakhir ini?”

“Tentu ada. Raden. Meskipun tidak terlalu banyak.”

“Baik, Ki Tumenggung. Aku akan mencobanya menyesuaikan diriku dengan perubahan-perubahan yang terjadi di kadipaten ini”

Sementara itu, seorang abdi di rumah itu pun telah menghidangkan minuman hangat serta makanan yang agaknya telah disiapkan oleh Raden Ayu Reksayuda.

Beberapa saat kemudian, ketika lampu-lampu sudah menyala, maka mereka yang berada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu pun mohon diri. Kedua orang utusan Kangjeng Adipati untuk menyambut kedatangan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda atas namanya. Ki Tumenggung Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawal itu.

“Aku mengucapkan terima kasih kepada semuanya, yang menaruh perhatian kepadaku” berkata Raden Tumenggung kemudian.

Sepeninggal para tumenggung yang menjemputnya, yang datang menyambutnya serta para prajurit pengawal, maka Raden Ayu pun mempersilahkan Raden Tumenggung untuk masuk ke ruang dalam.

“Jika kangmas akan mandi, aku sudah menyediakan air hangat, kangmas.”

“Terima kasih diajeng. Aku memang akan mandi, berganti pakaian, kemudian tidur. Aku merasa sangat letih. Seumurku berkuda dari Pucang Kembar sampai ke Sendang Arum ditempuh dalam sehari penuh.”

“Ya, kangmas. Aku sudah menduga bahwa kangmas tentu sangat letih. Tetapi setelah membenahi pakaian, kangmas jangan langsung tidur. Aku sudah menyediakan makan malan bagi kangmas.

Raden Tumenggung Reksayuda tersenyum. Katanya, “Terima kasih diajeng. Kau sangat memperhatikan aku.”

“Aku sendiri yang masak kangmas. Bukan para abdi. Aku ingin kangmas benar-benar menikmati hari ini. Hari pembebasan kangmas Tumenggung.

Raden Tumenggung pun kemudian pergi ke pakiwan. Raden Ayu Reksayuda telah menyediakan air hangat. Bahkan ditaburkannya bunga di jambangan.

Setelah mandi, tubuh Raden Tumenggung Reksayuda terasa menjadi segar. Harumnya air bunga membuat tubuh Raden Tumenggung yang tua itu, terasa kukuh kembali.

Setelah berganti pakaian, maka Raden Tumenggung itupun telah duduk di ruang dalam. Makan malampun telah disediakan pula.

“Silahkan kangmas.”

Raden Tumenggung mengangguk-angguk. Ia menjumpai beberapa macam lauk kesenangannya. Pepes udang. Dendeng ragi. Telur pindang. Serta beberapa macam sayur yang sangat pedas.

“Aku justru menjadi bingung diajeng. Yang manakah yang harus aku makan dahulu. Tetapi agaknya aku akan mengalami kesulitan sekarang untuk makan dengan dendeng ragi.”

“Dagingnya lunak sekali kangmas. Silahkan kangmas mencobanya.”

Raden Tumenggung mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bergumam, “Kalau saja Jalawaja dapat makan bersamaku sekarang.”

“Jika tidak sekarang, mungkin besok atau lusa kangmas. Biarlah kita mengusahakannya. Lambat laun, hatinya tentu akan menjadi lunak.”

“Apakah ia merasa malu karena ayahnya seorang buangan?”

“Tentu tidak, kangmas. Semua orang tahu, bahwa kangmas diasingkan bukan karena melakukan kejahatan. Tetapi karena perbedaan pendapat dengan Dimas Adipati.”

“Beberapa orang lebih membenci pengkhianat daripada seorang penjahat.”

“Kangmas bukan seorang pengkhianat. Seharusnya dimas Adipati tidak mengambil tindakan yang terlalu keras. Bukankah perbedaan pendapat itu mungkin saja terjadi?”

“Apakah yang aku lakukan sekedar berbeda pendapat?”

“Sudahlah kangmas. Silahkan makan. Aku akan ikut makan bersama kangmas Tumenggung.”

Makan malam itu memang terasa nikmat sekali. Di pengasingan, meskipun tidak pernah terlambat, namun yang dimakan oleh Raden Tumenggung agak kurang memenuhi seleranya. Karena itu, maka Raden Tumenggung itu tidak pernah merasakan nikmatnya orang makan.

Dengan demikian, maka ketika ia dihadapkan pada hidangan yang bbahkan menjadi kegemarannya, maka Raden Tumenggung itu benar-benar dapat menikmatinya. Apalagi pada saat-saat ia makan, Raden Tumenggung itu dilayani oleh isterinya sendiri, yang sudah lama ditinggalkannya di pengasingan.

Setelah makan malam, maka Raden Tumenggung sempat duduk-duduk sejenak di serambi rumahnya. Seperti seorang yang asing, maka Raden Tumenggung itu sempat mengamati serambi itu. Beberapa perabot yang ada di serambi itu masih juga perabot pada saat ditinggalkannya. Namun perabot-perabot itu tetap tertata rapi, bersih dan terpelihara.

Sambil menarik nafas panjang, Raden Tumenggung itu duduk menghadap ke pintu yang tertutup. Lampu minyak yang menyala diatas ajug-ajug melemparkan cahayanya ke seluruh ruangan.

“Apa yang terjadi di rumah ini selama aku tinggalkan diajeng?” bertanya Raden Tumenggung Wreda Reksayuda

“Kesepian, kangmas. Rasa-rasanya semuanya membeku.”

“Bukankah tidak ada orang yang berniat jahat terhadapmu?”

“Tidak, kangmas. Meskipun rasa-rasanya aku memang agak terpencil dari pergaulan, tetapi tidak ada yang berniat jahat atau menggangguku.”

“Bagaimana dengan para abdi?”

“Mereka tetap patuh. Mereka menjalankan kewajiban mereka dengan baik. Mereka tetap berpengharapan bahwa mereka akan dapat mengabdikan dirinya lagi kepada kangmas. Mereka percaya bahwa kakangmas akan segera pulang.”

“Syukurlah. Di pengasingan aku lebih banyak memikirkan kau dan keluarga daripada memikirkan diriku sendiri.”

“Semuanya baik-baik saja kangmas.”

“Apakah selama ini Jalawaja tidak pernah pulang?”

“Aku sudah mencoba untuk memanggilnya. Yang terakhir pada saat dimas Adipati akan mengutus beberapa orang menjemput kakangmas di pengasingan. Tetapi Jalawaja tidak pernah mau turun dari tempat tinggalnya.”

“Baiklah. Biarlah pada kesempatan lain aku akan datang sendiri menemuinya. Aku juga ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Ajar Anggara. Mudah-mudahan Ki Ajar Anggara bersedia menasehati Jalawaja sehingga Jalawaja mau barang sepekan tinggal bersama kita disini.”

“Mudah-mudahan kangmas. Tetapi tentu setelah kangmas Tumenggung beristirahat barang dua tiga hari.”

“Ya. Setelah aku tidak merasa letih lagi. Perjalanan kelereng bukit itu tentu juga perjalanan yang melelahkan.”

“Ya, kangmas.”

Raden Tumenggung itupun menarik nafas panjang. Ia memang merasa aneh, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di rumahnya setelah beberapa tahun di tinggalkannya.

Keduanya masih berbincang beberapa saat sebelum kemudian Raden Tumenggung itupun berkata, “Aku akan beristirahat, diajeng. Aku memang tidak terbiasa tidur sebelum wayah sepi uwong atau bahkan sampai hampir tengah malam. Tetapi mungkin karena aku terlalu letih, sehingga rasa-rasanya pada saat-saat menjelang wayah sepi bocah, aku sudah mengantuk.”

“Silahkan, kangmas. Aku akan memijit kaki kangmas.”

Sesaat kemudian, Raden Tumenggung Reksayuda itu sudah berbaring di dalam biliknya. Namun tidak terlalu lama kemudian, maka Raden Tumenggung itu sudah tertidur nyenyak.

Raden Ayupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan Raden Tumenggung setelah diselimutinya dengan kain panjang.

Raden Ayu Reksayuda pun kemudian telah berada di ruang dalam, bersama abdi perempuan Raden Ayu membenahi mangkuk-mangkuk kotor serta sisa makan malam.

“Kalau kau lelah, biarlah besok saja kau cuci, nduk. Asal kau letakkan di tempat yang mapan.”

“Baik, Raden Ayu.”

Abdi perempuan itu pun kemudian membawa mangkuk-mangkuk yang kotor itu ke dapur. Meletakkannya di sebelah gentong yang berisi air, kemudian menutupinya dengan bakul yang bakul yang besar. Di dapur itu kadang-kadang seekor atau dua ekor kucing masuk lewat celah-celah atap dan membuat mangkuk-mangkuk kotor itu berserakan. Bahkan pernah kucing yang berkejaran dan berebut tulang memecahkan mangkuk-mangkuk yang kotor.

Raden Ayu Reksayuda masih juga sibuk membersihkan ruang dalam. Menyapu lantai, mengumpulkan berbagai macam kotoran di sudut.

Namun tiba-tiba saja Raden Ayu mendengar suara yang aneh di dalam bilik Raden Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera menarik tangan abdi perempuannya sambil bertanya, “Kau dengar suara itu?”

“Ya, Raden Ayu.”

Raden Ayu pun kemudian berlari ke bilik. Didorong pintu bilik yang tidak tertutup rapat itu.

Namun Raden Ayu itu terhenti di pintu. Tiva-tiba terdengar Raden Ayu berteriak nyaring.

Abdi perempuannyapun segera berlari pula. Tetapi ia pun berteriak pula keras-keras.

Pada saat yang bersamaan, terdengar pula derak pintu butulan yang dihentakkan.

Abdi yang lain, yang mendengar jerit di depan bilik utama di rumah itupun segera berlari. Seorang abdi laki-laki dengan cepat telah sampai kepintu bilik itu pula.

Jantungnyapun bagaikan berhenti berdetak, ketika ia melihat Raden Ayu Reksayuda menelungkup diatas tubuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang berlumuran darah. Sebilah keris masih tertancap di dadanya. Namun agaknya Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang tua dan letih itu sudah meninggal.

Tangis Raden Ayulah yang terdengar melengking memecah sepinya malam. Abdinya laki-laki dengan cepat berlari ke longkangan. Dipukulnya kentongan yang ada di longkangan dengan irama titir. Isyarat bahwa telah terjadi raja pati di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.

Beberapa saat kemudian, telah terjadi kegemparan. Beberapa orangpun segera berdatangan memasuki halam rumah itu, Bahkan beberapa orang tua telah memasuki ruang dalam rumah Raden Tumenggung Wreda itu dan langsung pergi ke bilik.

Seorang diantara merekapun berkata, “Jangan sentuh. Jangan di pindahkan. Keris itu biarlah tetap disitu.”

Tetapi Raden Ayu Reksayuda yang menangis, mengguncang-guncang tubuh Raden Tumenggung yang sudah tidak bernafas lagi itu.

Beberapa orang prajurit berkuda yang sedang meronda pun segera melarikan kudanya menuju ke sumber suara kentongan dengan irama titir itu.

Prajurit-prajurit berkuda itulah yang kemudian menertibkan pikuk yang terjadi di rumah itu. Namun, mereka juga tidak berani mempersilahkan Raden Ayu Reksayuda untuk keluar biliknya.

Seorang diantara prajurit berkuda itu telah melarikan kudanya untuk memberikan laporan langsung ke kadipaten.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar