Biarpun kata-kata ini sedikitpun tidak menyatakan pujian secara langsung, namun terdengar sedap dan merdu sekali di telinga Sariti. Wanita cantik itu mengerling sedikit dan cepat menundukkan muka dengan lagak yang sangat sopan.
Sebagai seorang dari keturunan biasa, ia menyembah kepada Pangeran Bagus Kuswara dan kepada Ki Ageng Bandar, lalu menghaturkan selamat datang kepada mereka. Suaranya yang merdu, bening, dan empuk itu mengelus-elus dada Bagus Kuswara dan membelai-belai jantungnya, membuatnya setengah sadar!
Setelah dengan hormat menuang air teh ke dalam cangkir kedua tamu agung itu, Sariti lalu memohon diri dan mundur sambil menundukkan mukanya yang cantik dengan sikap hormat sopan sekali.
Setelah selir itu pergi, Ki Ageng Bandar menghela napas dan berkata.
“Ananda Adipati, sungguh kau pandai sekali memilih selir. Orang cantik dan tahu sopan santun seperti selirmu itu memang sukar dicari.”
Tentu saja Adipati Gendrosakti merasa bangga dan senang sekali mendengar pujian ini, akan tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana.
“Ah, ia seorang bodoh dan datang dari dusun. Mana ada harga untuk dipuji-puji?”
“Kanda adipati jangan berkata demikian. Sungguh mati, terus terang kuakui bahwa selama hidup belum pernah aku melihat seorang selir demikian……… baik dan sopan. Kau sungguh-sungguh bahagia, kanda adipati. Akan tetapi pernah aku mendengar berita bahwa kakang mbok Sariti pandai sekali akan seni suara dan seni tari. Ah, kalau saja beliau sudi mempertunjukkan untuk menambah meriahnya pertemuan kita ini agaknya takkan sia-sialah kedatanganku di Tandes!
Karena terdorong oleh rasa bangga akan selirnya yang terkasih, pada saat itu Gendrosakti lupa bahwa keadaan dirinya sedang diliputi kekhawatiran, hingga terlanjur berkata tanpa di sadarinya,
”Tentu saja ia suka sekali. Biarlah malam nanti kita bersama melihat ia menari dan bertembang.”
Hanya Ki Ageng Bandar seorang yang merasa akan janggalnya pembicaraan kedua orang itu, akan tetapi ia tidak berani mencampuri. Suka atau duka perasaan Adipati Gendrosakti, bukanlah urusannya dan bukan termasuk tugasnya.
Biarpun akhirnya Adipati Gendrosakti insyaf bahwa bersenang-senang dalam waktu itu kurang tepat, akan tetapi janjinya kepada Pangeran Bagus Kuswara tak dapat dibatalkan dan pula kehadiran dua orang tamu agung itu dapat dijadikan alasan untuk berbuat itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, pada saat banyak penduduk Tandes yang mendengar akan malapetaka yang menimpa diri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa khawatir sekali hingga banyak orang-orang perempuan berprihatin dan malam itu sengaja tidak tidur untuk berdoa bagi keselamatan kedua puteri itu, Adipati Gendrosakti menyuruh para yogo untuk menabuh gamelan!
Dalam kesempatan yang hanya dihadiri oleh Adipati Gendrosakti dan kedua tamu agungnya ini, Sariti memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengenakan pakaian serimpi yang terindah. Kutang hitam yang dihias renda emas itu menyentak dada, pundak dan lengannya yang telanjang tampak putih bersih dan halus bagaikan sutera. Rambutnya yang panjang dan hitam berombak di lepas terurai ke belakang punggung dan diatas kepala dihias kembang-kembang mawar dan rangkaian melati menambah kecantikannya.
Sabuk warna merah muda terhias emas permata mengikat kainnya yang diwiru indah dibagian depan dan diatur sedemikian rupa hingga ujung kain yang memanjang di belakang itu tersingkap sedikit di di bagian depan hingga betis kakinya yang menguning dan memadi bunting mengintai keluar pada tiap kali ia melangkahkan kakinya!
Kalau Sariti dalam pakaian nyonya rumah yang sopan telah dapat menggiurkan hati Pangeran Bagus Kuswara, maka Sariti dalam pakaian srimpi ini membuat pemuda itu betul-betul tenggelam dalam gelombang birahi yang membuatnya bagaikan gila!
Apalagi setelah kedua lengan yang putih kuning dan telanjang itu bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai menurutkan suara gamelan, dengan pangkal lengan terbuka perlahan, siku melenggak-lenggok dan pergelangan tangan berputar-putar melebihi lemasnya kepala seekor ular, jari-jari tangan yang manis meruncing itu berjentik-jentik dan bergerak-gerak seakan-akan sepuluh ekor burung yang hidup, kaki yang maju mundur perlahan-lahan dengan gaya lemah-lembut dan sopan dengan lenggang yang tidak kasar tapi cukup membayangkan potongan yubuh yang tiada cacatnya, ditambah lagi dengan kepalanya yang manis itu bergerak-gerak di atas leher yang panjang dan indah bentuknya, berjoget leher sedemikian kenesnya hingga mendatangkan air liur di dalam mulut Pangeran Bagus Kuswara yang melihat dengan mata terbelalak!
Setelah Sariti membuka mulut bertembang, maka gelora dahsyat di dalam dada Pangeran Bagus Kuswara mencapai puncaknya dan ia mengambil keputusan nekat dan berjanji dalam hati.
“Aku harus mendapatkan perempuan ini! Biar apapun yang akan terjadi, perempuan ini harus menjadi punyaku!”
Sariti bukanlah seorang wanita yang tidak berperasaan atau berhati batu. Hatinya cukup panas dan darahnya cukup menggelora ketika ia dapat menangkap sinar mata Pangeran Bagus Kuswara yang tampan dan muda itu.
Suaminya adalah seorang tua yang telah tua, berusia lima puluh tahun lebih sedangkan ia berusia paling banyak dua puluh tahun! Kini melihat seorang pangeran yang muda dan tampan serta berpakaian indah, dan yang terang-terangan memperhatikan hasrat dan suara hatinya kepadanya, maka tak heran bila dadanya berdebar-debar pula.
Ia menggunakan kerling matanya memandang pangeran yang duduk di dekat suaminya dan alangkah jauh perbedaan mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan kasar gerak-geraknya, sudah beruban dan bercambang bauk menjemukan, sedangkan yang lain bertubuh sedang dan tegap, tubuh seorang bambang, halus gerak-geriknya, berkulit putih kekuning-kuningan, rambut keriting dan hitam, wajah tampan dengan kumis kecil menghias bawah hidung yang mancung, sepasang mata jenaka dan liar membayangkan gairah, ahh………….. hati siapa takkan tergoda?
Pangeran Bagus Kuswara adalah seorang yang sudah berpengalaman, dan melihat gerak-gerik Sariti, ia maklum bahwa anak panah yang dilepaskannya dari kedua matanya telah mengenai sasaran yang tepat. Karena ia maklum bahwa si jelita itu tentu tidak berani berlaku sembrono di depan Adipati Gendrosaki, karena ia duduk di dekat adipati itu, maka ia lalu menyatakan bahwa ia ingin sekali mempelajari seni gamelan yang ditabuh oleh para yogo yang mahir dan sangat dipujinya itu.
Tentu saja Adipati Gendrosakti hanya tertawa melihat kebodohan pangeran yang lebih menikmati gamelan daripada nyanyi dan tari selirnya yang indah. Pangeran itu lalu berdiri dan lalu duduk di tempat para penabuh gamelan.
Sariti dengan sudut matanya dapat melihat perpindahan tempat duduk ini dan diam- diam ia merasa geli serta memuji kecerdikan pangeran itu. Dengan duduk di tempat gamelan, maka ia dapat memandang kepada pangeran itu dengan leluasa sekali, karena tempat itu berada di seberang tempat duduk suaminya, hingga pada saat ia memutar tubuh dan menghadap pangeran, ia berdiri membelakangi suaminya.
Maka terjadilah main mata yang leluasa. Tiap Sariti memutar tubuh membelakangi suaminya dan menghadapi pangeran itu, Pangeran Bagus Kuswara pura-pura memperhatikan gamelan gambang yang dipukul oleh penabuhnya, tapi diam-diam ia mengirim lirikan-lirikan tajam dan matanya di pejam-pejamkan sambil bibirnya tersenyum penuh arti.
Saritipun menggunakan kesempatan itu untuk mengirim lirikan- lirikan mata yang kenes dan menarik dan memperhatikan senyum semanis-manisnya dengan bibirnya yang kemerah-merahan.
Melihat reaksi jelita itu, bukan main senangnya hati Pangeran Bagus Kuswara. Ia lalu memutar-mutar otak mencari akal. Para penabuh gamelan yang merasa mendapat kehormatan besar sekali karena dikagumi oleh seorang pangeran dari Majapahit, tidak tahu akan rahasia ini karena mereka megerahkan seluruh perhatian dan keahlian mereka untuk memukul gamelan sebaik-baiknya.
Dengan bisikan-bisikan, Pangeran Bagus Kuswara mendapat keterangan bahwa pemain gamelan yang sudah berusia tua dan Pak Lenjer. Maka ia lalu menyatakan kagumnya dengan pujian-pujian muluk hingga wajah orang tua itu berseri-seri.
“Yogo sepandai engkau ini sepantasnya menjadi pemain di keraton rama prabu.”
Katanya hingga Pak Lenjer merasa gembira sekali sampai wajahnya berubah kemerah- merahan dan kedua tangannya menggigil.
Setelah pertunjukan selesai dan Sariti mengundurkan diri kekamarnya, Pangeran Bagus Kuswara menyatakan maksudnya hendak belajar menabuh gambang dari Pak Lenjer pemimpin rombongan penabuh itu.
Tentu saja Adipati Gendrosakti merasa senang dan memberi perintah kepada Pak Lenjer untuk melayani gusti pangeran, sedangkan penabuh lainnya lalu mengundurkan diri.
Demikianlah, karena hari telah jauh malam, Adipati Gendrosakti mengundurkan diri setelah mengantar Ki Ageng Bandar ke kamar tamu. Sedangkan Pangeran Bagus Kuswara tinggal di ruang tengah itu bersama Pak Lenjer dan terdengarlah suara gambang dipukul perlahan ketika orang tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Pangeran Bagus Kuswara.
Setelah keadaan menjadi sunyi, Pangeran Bagus Kuswara berkata.
"Pak Lenjer, sudah lamakah kau menjadi penabuh gambang mengiringi permainan kakang mbok Sariti?"
“Sudah, gusti pangeran, sudah lama sekali. Semenjak Jeng Roro Sariti masih belajar menari, sudah menjadi pemukul gambang, bahkan ikut melatih beliau.”
Pangeran Bagus Kuswara mengangguk-anguk dengan hati senang. Tiba-tiba ia bertanya.
“Sebetulnya, kau pantas sekali menjadi pemimpin para yogo di keraton Majapahit! Bagaimana pendapatmu, Pak lenjer?”
Orang tua itu memandang penanyanya dengan mata terbelalak, lalu menyembah,
“Ah, gusti. Hamba adalah seorang bodoh dan hanya pandai memainkan beberapa lagu. Mana pantas hamba menjadi pemimpin para yogo yang pandai di Majapahit? Untuk menjadi pemukul gamelan biasa saja hamba sudah kurangt patut!”
“Jangan merendah, Pak Lenjer. Aku bisa menolong engkau menjadi pemimpin penabuh gamelan di keraton, atau setidaknya menjadi penabuh gambang disana!”
Bukan main girang hati orang tua itu, karena yogo manakah yang tidak merindukan kedudukan yang mulia itu? Untuk memperlihatkan di hadapan Sang Prabu Brawijaya sendiri! Untuk memainkan gamelan-gamelan pusaka yang sudah terkenal mempunyai suara yang luar biasa bagaikan gamelan dari surga!
Demikianlah, dengan licin sekali Pangeran Bagus Kuswara akhirnya dapat juga membujuk orang tua itu untuk menjadi jembatan dan penolong dia bertemu dengan Sariti!
Sebagai seorang dari keturunan biasa, ia menyembah kepada Pangeran Bagus Kuswara dan kepada Ki Ageng Bandar, lalu menghaturkan selamat datang kepada mereka. Suaranya yang merdu, bening, dan empuk itu mengelus-elus dada Bagus Kuswara dan membelai-belai jantungnya, membuatnya setengah sadar!
Setelah dengan hormat menuang air teh ke dalam cangkir kedua tamu agung itu, Sariti lalu memohon diri dan mundur sambil menundukkan mukanya yang cantik dengan sikap hormat sopan sekali.
Setelah selir itu pergi, Ki Ageng Bandar menghela napas dan berkata.
“Ananda Adipati, sungguh kau pandai sekali memilih selir. Orang cantik dan tahu sopan santun seperti selirmu itu memang sukar dicari.”
Tentu saja Adipati Gendrosakti merasa bangga dan senang sekali mendengar pujian ini, akan tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana.
“Ah, ia seorang bodoh dan datang dari dusun. Mana ada harga untuk dipuji-puji?”
“Kanda adipati jangan berkata demikian. Sungguh mati, terus terang kuakui bahwa selama hidup belum pernah aku melihat seorang selir demikian……… baik dan sopan. Kau sungguh-sungguh bahagia, kanda adipati. Akan tetapi pernah aku mendengar berita bahwa kakang mbok Sariti pandai sekali akan seni suara dan seni tari. Ah, kalau saja beliau sudi mempertunjukkan untuk menambah meriahnya pertemuan kita ini agaknya takkan sia-sialah kedatanganku di Tandes!
Karena terdorong oleh rasa bangga akan selirnya yang terkasih, pada saat itu Gendrosakti lupa bahwa keadaan dirinya sedang diliputi kekhawatiran, hingga terlanjur berkata tanpa di sadarinya,
”Tentu saja ia suka sekali. Biarlah malam nanti kita bersama melihat ia menari dan bertembang.”
Hanya Ki Ageng Bandar seorang yang merasa akan janggalnya pembicaraan kedua orang itu, akan tetapi ia tidak berani mencampuri. Suka atau duka perasaan Adipati Gendrosakti, bukanlah urusannya dan bukan termasuk tugasnya.
Biarpun akhirnya Adipati Gendrosakti insyaf bahwa bersenang-senang dalam waktu itu kurang tepat, akan tetapi janjinya kepada Pangeran Bagus Kuswara tak dapat dibatalkan dan pula kehadiran dua orang tamu agung itu dapat dijadikan alasan untuk berbuat itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, pada saat banyak penduduk Tandes yang mendengar akan malapetaka yang menimpa diri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa khawatir sekali hingga banyak orang-orang perempuan berprihatin dan malam itu sengaja tidak tidur untuk berdoa bagi keselamatan kedua puteri itu, Adipati Gendrosakti menyuruh para yogo untuk menabuh gamelan!
Dalam kesempatan yang hanya dihadiri oleh Adipati Gendrosakti dan kedua tamu agungnya ini, Sariti memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengenakan pakaian serimpi yang terindah. Kutang hitam yang dihias renda emas itu menyentak dada, pundak dan lengannya yang telanjang tampak putih bersih dan halus bagaikan sutera. Rambutnya yang panjang dan hitam berombak di lepas terurai ke belakang punggung dan diatas kepala dihias kembang-kembang mawar dan rangkaian melati menambah kecantikannya.
Sabuk warna merah muda terhias emas permata mengikat kainnya yang diwiru indah dibagian depan dan diatur sedemikian rupa hingga ujung kain yang memanjang di belakang itu tersingkap sedikit di di bagian depan hingga betis kakinya yang menguning dan memadi bunting mengintai keluar pada tiap kali ia melangkahkan kakinya!
Kalau Sariti dalam pakaian nyonya rumah yang sopan telah dapat menggiurkan hati Pangeran Bagus Kuswara, maka Sariti dalam pakaian srimpi ini membuat pemuda itu betul-betul tenggelam dalam gelombang birahi yang membuatnya bagaikan gila!
Apalagi setelah kedua lengan yang putih kuning dan telanjang itu bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai menurutkan suara gamelan, dengan pangkal lengan terbuka perlahan, siku melenggak-lenggok dan pergelangan tangan berputar-putar melebihi lemasnya kepala seekor ular, jari-jari tangan yang manis meruncing itu berjentik-jentik dan bergerak-gerak seakan-akan sepuluh ekor burung yang hidup, kaki yang maju mundur perlahan-lahan dengan gaya lemah-lembut dan sopan dengan lenggang yang tidak kasar tapi cukup membayangkan potongan yubuh yang tiada cacatnya, ditambah lagi dengan kepalanya yang manis itu bergerak-gerak di atas leher yang panjang dan indah bentuknya, berjoget leher sedemikian kenesnya hingga mendatangkan air liur di dalam mulut Pangeran Bagus Kuswara yang melihat dengan mata terbelalak!
Setelah Sariti membuka mulut bertembang, maka gelora dahsyat di dalam dada Pangeran Bagus Kuswara mencapai puncaknya dan ia mengambil keputusan nekat dan berjanji dalam hati.
“Aku harus mendapatkan perempuan ini! Biar apapun yang akan terjadi, perempuan ini harus menjadi punyaku!”
Sariti bukanlah seorang wanita yang tidak berperasaan atau berhati batu. Hatinya cukup panas dan darahnya cukup menggelora ketika ia dapat menangkap sinar mata Pangeran Bagus Kuswara yang tampan dan muda itu.
Suaminya adalah seorang tua yang telah tua, berusia lima puluh tahun lebih sedangkan ia berusia paling banyak dua puluh tahun! Kini melihat seorang pangeran yang muda dan tampan serta berpakaian indah, dan yang terang-terangan memperhatikan hasrat dan suara hatinya kepadanya, maka tak heran bila dadanya berdebar-debar pula.
Ia menggunakan kerling matanya memandang pangeran yang duduk di dekat suaminya dan alangkah jauh perbedaan mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan kasar gerak-geraknya, sudah beruban dan bercambang bauk menjemukan, sedangkan yang lain bertubuh sedang dan tegap, tubuh seorang bambang, halus gerak-geriknya, berkulit putih kekuning-kuningan, rambut keriting dan hitam, wajah tampan dengan kumis kecil menghias bawah hidung yang mancung, sepasang mata jenaka dan liar membayangkan gairah, ahh………….. hati siapa takkan tergoda?
Pangeran Bagus Kuswara adalah seorang yang sudah berpengalaman, dan melihat gerak-gerik Sariti, ia maklum bahwa anak panah yang dilepaskannya dari kedua matanya telah mengenai sasaran yang tepat. Karena ia maklum bahwa si jelita itu tentu tidak berani berlaku sembrono di depan Adipati Gendrosaki, karena ia duduk di dekat adipati itu, maka ia lalu menyatakan bahwa ia ingin sekali mempelajari seni gamelan yang ditabuh oleh para yogo yang mahir dan sangat dipujinya itu.
Tentu saja Adipati Gendrosakti hanya tertawa melihat kebodohan pangeran yang lebih menikmati gamelan daripada nyanyi dan tari selirnya yang indah. Pangeran itu lalu berdiri dan lalu duduk di tempat para penabuh gamelan.
Sariti dengan sudut matanya dapat melihat perpindahan tempat duduk ini dan diam- diam ia merasa geli serta memuji kecerdikan pangeran itu. Dengan duduk di tempat gamelan, maka ia dapat memandang kepada pangeran itu dengan leluasa sekali, karena tempat itu berada di seberang tempat duduk suaminya, hingga pada saat ia memutar tubuh dan menghadap pangeran, ia berdiri membelakangi suaminya.
Maka terjadilah main mata yang leluasa. Tiap Sariti memutar tubuh membelakangi suaminya dan menghadapi pangeran itu, Pangeran Bagus Kuswara pura-pura memperhatikan gamelan gambang yang dipukul oleh penabuhnya, tapi diam-diam ia mengirim lirikan-lirikan tajam dan matanya di pejam-pejamkan sambil bibirnya tersenyum penuh arti.
Saritipun menggunakan kesempatan itu untuk mengirim lirikan- lirikan mata yang kenes dan menarik dan memperhatikan senyum semanis-manisnya dengan bibirnya yang kemerah-merahan.
Melihat reaksi jelita itu, bukan main senangnya hati Pangeran Bagus Kuswara. Ia lalu memutar-mutar otak mencari akal. Para penabuh gamelan yang merasa mendapat kehormatan besar sekali karena dikagumi oleh seorang pangeran dari Majapahit, tidak tahu akan rahasia ini karena mereka megerahkan seluruh perhatian dan keahlian mereka untuk memukul gamelan sebaik-baiknya.
Dengan bisikan-bisikan, Pangeran Bagus Kuswara mendapat keterangan bahwa pemain gamelan yang sudah berusia tua dan Pak Lenjer. Maka ia lalu menyatakan kagumnya dengan pujian-pujian muluk hingga wajah orang tua itu berseri-seri.
“Yogo sepandai engkau ini sepantasnya menjadi pemain di keraton rama prabu.”
Katanya hingga Pak Lenjer merasa gembira sekali sampai wajahnya berubah kemerah- merahan dan kedua tangannya menggigil.
Setelah pertunjukan selesai dan Sariti mengundurkan diri kekamarnya, Pangeran Bagus Kuswara menyatakan maksudnya hendak belajar menabuh gambang dari Pak Lenjer pemimpin rombongan penabuh itu.
Tentu saja Adipati Gendrosakti merasa senang dan memberi perintah kepada Pak Lenjer untuk melayani gusti pangeran, sedangkan penabuh lainnya lalu mengundurkan diri.
Demikianlah, karena hari telah jauh malam, Adipati Gendrosakti mengundurkan diri setelah mengantar Ki Ageng Bandar ke kamar tamu. Sedangkan Pangeran Bagus Kuswara tinggal di ruang tengah itu bersama Pak Lenjer dan terdengarlah suara gambang dipukul perlahan ketika orang tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Pangeran Bagus Kuswara.
Setelah keadaan menjadi sunyi, Pangeran Bagus Kuswara berkata.
"Pak Lenjer, sudah lamakah kau menjadi penabuh gambang mengiringi permainan kakang mbok Sariti?"
“Sudah, gusti pangeran, sudah lama sekali. Semenjak Jeng Roro Sariti masih belajar menari, sudah menjadi pemukul gambang, bahkan ikut melatih beliau.”
Pangeran Bagus Kuswara mengangguk-anguk dengan hati senang. Tiba-tiba ia bertanya.
“Sebetulnya, kau pantas sekali menjadi pemimpin para yogo di keraton Majapahit! Bagaimana pendapatmu, Pak lenjer?”
Orang tua itu memandang penanyanya dengan mata terbelalak, lalu menyembah,
“Ah, gusti. Hamba adalah seorang bodoh dan hanya pandai memainkan beberapa lagu. Mana pantas hamba menjadi pemimpin para yogo yang pandai di Majapahit? Untuk menjadi pemukul gamelan biasa saja hamba sudah kurangt patut!”
“Jangan merendah, Pak Lenjer. Aku bisa menolong engkau menjadi pemimpin penabuh gamelan di keraton, atau setidaknya menjadi penabuh gambang disana!”
Bukan main girang hati orang tua itu, karena yogo manakah yang tidak merindukan kedudukan yang mulia itu? Untuk memperlihatkan di hadapan Sang Prabu Brawijaya sendiri! Untuk memainkan gamelan-gamelan pusaka yang sudah terkenal mempunyai suara yang luar biasa bagaikan gamelan dari surga!
Demikianlah, dengan licin sekali Pangeran Bagus Kuswara akhirnya dapat juga membujuk orang tua itu untuk menjadi jembatan dan penolong dia bertemu dengan Sariti!
**** 09 ****