“Meskipun demikian setelah dibersihkan, kesannya akan berbeda sekali.”
Empu Sidikara memang tidak berkeberatan. Karena itu, maka mereka pun segera berjalan kembali kerumah Mahendra.
Ketika Mahendra melihat anaknya yang terluka, maka ia pun menjadi sangat terkejut. Dengan serta merta maka ia pun bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Biarlah Empu Sidikara berceritera ayah, aku akan membersihkan lukaku lebih dahulu.”
“Kau memerlukan air hangat” berkata ayahnya.
“Aku akan merebusnya” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah ketika Mahisa Murti sibuk di dapur bersama pembantu di rumah Mahendra sebelum mandi dan membersihkan lukanya, maka Empu Sidikara telah berceritera tentang orang yang aneh, yang menemui mereka di bulak panjang sedikit diluar kota.
Empu Sidikara menceriterakan apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Empu Sidikara juga berceritera tentang pohon gayam yang terbakar.
Terakhir Empu Sidikara menyampaikan salam dari orang yang aneh itu sebelum ia menghilang di kegelapan.
“Orang itu tentu berilmu sangat tinggi” berkata Mahendra.
“Namun nampaknya ia memang tidak berniat buruk” sahut Empu Sidikara.
“Mudah-mudahan ia memang tidak berniat buruk.” sahut Mahendra sambil mengangguk-angguk.
“Jika ia berniat buruk, tentu ia sudah melakukannya, karena ia memang mempunyai kesempatan untuk itu” berkata Empu Sidikara selanjutnya.
Sementara Empu Sidikara berbincang dengan Mahendra, maka Mahisa Murti pun telah mandi dan membersihkan luka-lukanya dengan air hangat. Baru kemudian ia ikut berbincang di ruang dalam sejenak. Karena kemudian ia pun teringat akan Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
“Sudah terlalu malam. Amping tentu sudah mengantuk” berkata Mahisa Murti.
“Baiklah. Pergilah kerumah Arya Kuda Cemani. Agaknya di sana masih ada beberapa orang keluarganya yang berjaga-jaga.”
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah pergi ke rumah Arya Kuda Cemani untuk mengambil Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Sekaligus untuk minta diri, karena di hari berikutnya Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya itu akan meninggalkan Singasari kembali ke Padepokan Bajra Seta yang jaraknya terhitung panjang.
“Singasari akan terasa sepi” berkata Mahisa Pukat.
“Bukankah kau akan segera kembali kedalam kesibukanmu sehari-hari?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “tetapi rasa-rasanya sepeninggal kakang Mahisa Bungalan yang begitu tergesa-gesa, dan besok kau bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping, aku akan tinggal sendiri di Singasari.”
“Tentu tidak” Empu Sidikara lah yang menyahut, “di sini ada Ki Mahendra. Lebih dari itu, kau tidak lagi sendiri di Singasari yang ramai ini.”
Mahisa Pukat tersenyum. Mahisa Murti juga tersenyum meskipun landasannya berbeda.
Namun Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani tidak dapat menahan Mahisa Murti lebih lama lagi. Mereka terpaksa melepaskan Mahisa Murti esok meninggalkan Singasari kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Namun dalam pada itu, meskipun Mahisa Murti sudah membersihkan diri, tetapi luka-lukanya masih juga dapat dilihat oleh Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani. Tetapi Mahisa Murti tidak mengatakan selengkapnya sebagaimana yang terjadi. Ia hanya mengatakan dengan singkat bahwa di bulak panjang telah terjadi perselisihan karena salah paham.
“Tetapi siapa yang dapat melukaimu itu?” bertanya Arya Kuda Cemani.
“Begitu tiba-tiba diluar kesiapanku” jawab Mahisa Murti, “tetapi tidak apa-apa.”
“Kau apakan orang itu?” bertanya. Mahisa Pukat.
“Orang itu pergi dengan sendirinya,” jawab Mahisa Murti. Namun katanya kemudian, “Satu kejadian yang tidak penting.”
Mahisa Pukat dan Arya Kuda Cemani memang tidak bertanya lebih jauh. Agaknya Mahisa Murti sendiri juga tidak menaruh banyak perhatian terhadap garis-garis luka di lengan dan pundaknya itu.
Sementara itu, Amping memang sudah menjadi sangat mengantuk. Sekali-sekali matanya sudah terpejam sedangkan kepalanya terangguk-angguk. Karena itu, maka Mahisa Murti pun segera minta diri. Juga minta diri karena di keesokan harinya ia akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Malam itu Empu Sidikara tidur di rumah Mahendra. Ia tidak kembali ke Kesatrian, karena esok pagi ia akan menunggui keberangkatan Mahisa Murti kembali ke Padepokan Bajra Seta. Empu Sidikara memang sudah minta ijin untuk itu, sekaligus mengantar Mahisa Murti yang mohon diri kepada Pangeran Kuda Pratama.
Pagi-pagi benar Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping sudah bersiap. Sementara mereka sudah berada di halaman, Empu Sidikara masih sempat berdesis, “Aku tidak akan memberimu obat. Luka-lukamu akan sembuh dengan sendirinya, karena di dalam tubuhmu telah terdapat obat untuk segala macam penyakit.”
“Ah, kau” desis Mahisa Murti.
Namun Empu Sidikara menjawab dengan bersungguh-sungguh, “aku berkata sebenarnya.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Bukan aku yang mempunyai kelebihan. Tetapi obat-obatmu. Atau bahkan sentuhan tanganmu sudah cukup menyembuhkan segala macam penyakit.”
“Jika benar, tentu aku akan merasa bahagia sekali” desis Empu Sidikara.
Mahisa Murti pun tertawa. Demikian pula Empu Sidikara.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya pun meninggalkan istana Singasari. Mereka telah meninggalkan pesan pula, agar ayahnya tidak mengatakan yang sebenarnya, kenapa ia terluka.
“Kau harus sering datang kemari Mahisa Murti” desis ayahnya di muka regol samping halaman istana, “barangkali aku tidak akan dapat sering mengunjungi Padepokan Bajra Seta.”
“Baik ayah. Biar aku saja yang datang kemari. Ayah sebaiknya tidak melakukan pekerjaan atau perjalanan yang meletihkan” jawab Mahisa Murti.
Mahendra menepuk bahu anaknya. Kemudian mengelus kepala Mahisa Semu dan Mahisa Amping sambil berkata, “Kalian harus berbuat sebaik-baiknya untuk mempersiapkan masa depan kalian yang panjang nanti.”
Keduanya mengangguk hormat. Mahisa Semu berdesis perlahan, “Kami mohon restu.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian bertiga mereka telah berpacu meninggalkan istana. Untuk beberapa lama mereka menyusuri jalan-jalan ramai di Kotaraja. Namun kemudian mereka pun telah meluncur lewat pintu gerbang kota.
Jalan memang tidak lagi terlalu ramai, sehingga mereka dapat berkuda lebih cepat lagi. Meskipun demikian mereka tidak berpacu dengan kecepatan yang terlalu tinggi. Selain debu yang berhamburan, mereka dapat menimbulkan kecelakaan karena kuda-kuda mereka yang kurang terkendali.
Seperti biasanya maka Mahisa Amping telah melarikan kudanya di paling depan. Cahaya matahari pagi yang cerah menimpa dedaunan yang masih basah oleh embun, membuat Mahisa Amping merasa semakin segar, sesegar kudanya yang tegar.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping telah menarik kendali kudanya, sehingga kudanya itu pun terkejut. Dengan serta merta kudanya itu pun telah berhenti, sekali berputar namun kemudian Mahisa Amping berhasil menenangkannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun terkejut. Dengan cepat mereka mendekat. Namun kuda Mahisa Amping telah menjadi tenang kembali.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak tahu kakang. Tiba-tiba saja aku ingin menghentikan kudaku. Tanganku serasa bergerak sendiri menarik kendali kudaku. Aku sendiri bahkan terkejut karenanya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Satu getar isyarat bagimu. Coba Amping, lihat, apakah kau mengenali isyarat itu lebih dari sekedar terkejut dan menarik kendali kuda?”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apa maksud kakang?”
“Amping, lihat kedalam dirimu sendiri. Tumbuhkan pertanyaan di dalam dirimu, kenapa kau harus menarik kendali kudamu.” berkata Mahisa Murti.
“Aku tidak tahu maksud kakang.” desis Mahisa Amping.
“Lihat kembali getar isyarat itu Amping.”
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Mahisa Amping kebingungan.
“Kau harus memusatkan nalar budimu. Bangkitkan kembali getar isyarat itu. Lihatlah ke kedalamannya. Kita harus mengurai dan menemukan artinya.”
“Aku tidak tahu.” jawab Mahisa Amping kebingungan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memaksa Mahisa Amping untuk melakukan sesuatu yang tidak dimengertinya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti itu pun berkata, “Sudahlah. Pada saatnya kau akan mengetahuinya apa artinya getaran yang timbul di dalam dadamu. Pada saat berikutnya kau tentu akan dapat mempelajari untuk dapat menangkap maksud dari getaran yang timbul di dalam dadamu itu.”
Mahisa Amping memang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengerti dengan jelas, apa yang telah terjadi dengan dirinya itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Marilah. Kita melanjutkan perjalanan.”
Ketika Mahisa Amping akan mendahului lagi, maka Mahisa Murti pun berkata, “Kita bersama-sama Amping.”
Mahisa Amping mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun tidak lagi melarikan kudanya jauh mendahului Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
Beberapa ratus patok telah berlalu. Ternyata mereka tidak menjumpai persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Ketika mereka melewati sebuah pasar yang tidak terlalu ramai, karena nampaknya hari itu bukan hari pasaran, mereka tidak berhenti. Beberapa orang yang ada di pasar itu memandangi mereka dengan dahi berkerut. Namun ketiga orang berkuda itu berjalan terus. Sekali-sekali Mahisa Amping memang berpaling dan bahkan memandang berkeliling. Tiba-tiba saja dahinya berkerut ketika ia melihat seseorang yang berdiri termangu-mangu di sebelah pintu gerbang pasar.
Sekali lagi hampir diluar sadarnya, ia menarik kembali kudanya. Karena kudanya memang tidak berlari kencang, maka kudanya pun segera berhenti.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun berhenti di sebelah menyebelahnya. Dengan kening berkerut Mahisa Murti pun bertanya, “Kenapa kau berhenti lagi dengan tiba-tiba?”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya, “Aku melihat orang berdiri di sebelah pintu gerbang pasar. Begitu aku melihatnya, rasa-rasanya jantungku bergetar semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun serentak telah berpaling kearah pintu gerbang pasar. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, “Orang yang bersandar pagar itu?”
“Bukan” jawab Mahisa Amping.
“Yang mana?” desak Mahisa Semu.
Mahisa Amping tidak segera menjawab. Tetapi orang yang dilihatnya itu sudah tidak ada di tempatnya.
“Apakah ia masih ada di sana?” bertanya Mahisa Murti pula.
Mahisa Amping pun menggeleng. Katanya, “Orang itu sudah pergi.”
“Bukankah kau tidak tidur dan bermimpi sambil berkuda?” bertanya Mahisa Semu.
“Aku melihat sebenarnya. Dan aku tidak tahu kenapa aku menjadi berdebar-debar.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita.”
Mahisa Amping tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda itu tidak berlari terlalu cepat. Bahkan sepanjang perjalanan Mahisa Amping menjadi tegang.
Tetapi Mahisa Murti pun berkata, “Jangan gelisah, Amping. Tidak akan ada hambatan di sepanjang perjalanan kita.”
Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi bagaimanapun juga Mahisa Amping masih saja memikirkan gejolak perasaannya yang kurang dimengertinya sendiri.
Di perjalanan yang panjang itu, maka ketiganya pun telah berhenti dan beristirahat di sebuah kedai. Bukan kedai yang pernah disinggahinya. Tetapi justru kedai yang lain, yang sama sekali asing bagi Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya.
Di kedai itu ternyata mereka mendapat pelayanan yang baik. Pemilik kedai itu cukup ramah. Demikian pula pembantu-pembantunya yang melayani para pembelinya.
Di kedai itu juga tidak dijumpai anak-anak muda yang minum tuak dan bertingkah laku kurang mapan. Mereka memang melihat dua tiga orang anak muda yang ada di kedai itu. Namun nampaknya mereka adalah anak-anak muda yang sedang bepergian. Sikapnya pun wajar. Jika anak-anak muda itu nampak cerah dan gembira, bahkan sekali-sekali terdengar mereka tertawa, justru menunjukkan kemudaan mereka. Namun sikap mereka tidak berlebihan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun masih muda juga. Tetapi rasa-rasanya masa mudanya sudah lewat. Ia tidak lagi berada dalam suasana sebagaimana anak-anak muda itu. Ia tidak lagi berkumpul bersama anak-anak muda sebayanya, bergurau dan bergembira menikmati satu masa yang penuh gairah.
Tetapi Mahisa Murti tidak menyesal. Ia telah dengan sengaja terjun kesatu dunia yang dipilihnya.
Untuk beberapa lama mereka duduk di kedai itu menikmati minuman dan makanan yang kebetulan sesuai dengan selera mereka.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping telah bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang memandang ke jalan yang membujur dihadapan kedai itu.
“Apa yang kau lihat?” bertanya Mahisa Murti.
“Orang berkuda itu” jawab Mahisa Amping.
“Yang baru saja lewat?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya” jawab anak itu.
“Siapa?” bertanya Mahisa Semu pula.
“Yang berdiri di sebelah pasar itu” jawab Mahisa Amping.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat wajah orang berkuda yang lewat di depan kedai itu. Justru saat Mahisa Murti baru meneguk minumannya. Apalagi ia tidak mengira bahwa orang berkuda itu adalah orang yang telah menarik perhatian Mahisa Amping di dekat pasar itu.
“Sudahlah” berkata Mahisa Murti kemudian, “jangan hiraukan lagi orang itu.”
Mahisa Amping yang telah duduk kembali itu mengangguk. Tetapi nafasnya menjadi terengah-engah seperti seseorang yang baru saja berlari-lari menempuh jarak yang panjang.
“Minumlah” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Amping pun kemudian mengangkat mangkuknya dan minum beberapa teguk.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah meneruskan perjalanan mereka. Mereka tidak lagi merasa haus dan lapar. Demikian juga kuda-kuda mereka.
Namun demikian, meskipun tidak dikatakan kepada kedua adik angkatnya, Mahisa Murti menjadi sangat berhati-hati. Bagaimana pun ia tidak dapat melepaskan perhatiannya kepada sikap Mahisa Amping. Apalagi ketiga ia meraba goresan lukanya yang meskipun tidak lagi terlalu menarik perhatian orang lain, namun masih terasa sedikit nyeri jika tersentuh ujung-ujung jarinya.
“Apakah orang itu yang aku temui diluar pintu gerbang kota Singasari?” pertanyaan itu timbul pula di hati Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak nampak menjadi gelisah.
“Sesaat kemudian, maka kuda-kuda mereka telah berlari-lari di sepanjang bulak. Tetapi sekali-sekali mereka menyusup di antara padukuhan-padukuhan yang bertebaran di antara kotak-kotak sawah yang luas, seperti onggokan pulau-pulau di tengah-tengah lautan yang tenang.
Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya ternyata memang tidak mengalami hambatan apapun. Mereka telah melampaui kedai yang mereka singgahi saat mereka berangkat. Tetapi kedai itu ternyata tutup. Agaknya memang terjadi perubahan-perubahan tatanan kehidupan di lingkungan itu.
“Apakah kakang akan singgah?” bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Murti memang memperlambat lari kudanya.
Tetapi sebenarnya ia tidak berniat untuk berhenti. Namun dua orang yang berdiri di pinggir jalan tiba-tiba telah melambaikan tangannya sambil berkata, “Anak-anak muda. Kenapa kalian tidak singgah?”
Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya pun telah berhenti. Bahkan mereka telah berloncatan turun. Antara ingat dan tidak ingat mereka mengenali kedua orang itu. Mereka ikut mengerumuninya saat terjadi keributan di kedai yang tutup itu.
“Kedai itu tutup” desis Mahisa Murti.
“Untuk sementara” jawab salah seorang dari mereka.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Penghuni padukuhan ini tidak ingin melihat kehidupan yang muram itu lagi. Karena itu, maka pemilik kedai itu harus merubah wajah kedainya,” jawab orang itu.
“Bagaimana dengan Ki Bekel dan para bebahu?” bertanya Mahisa Murti.
“Mereka sudah berubah” jawab orang itu.
“Syukurlah” desis Mahisa Murti, “mudah-mudahan segala sesuatunya akan tetap baik untuk seterusnya.”
Namun Mahisa Murti memang tidak dapat singgah di padukuhan itu meskipun kedua orang itu menganjurkan agar mereka singgah di rumah Ki Bekel.
“Ki Bekel tentu akan senang sekali menerima kehadiran kalian di rumahnya” berkata orang itu.
“Terima kasih. Lain kali kami akan singgah. Agaknya kami akan sering melalui jalan ini” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun segera melanjutkan perjalanannya bersama kedua adik angkatnya. Namun rasa-rasanya mereka ikut bergembira, bahwa satu perubahan telah terjadi di padukuhan itu. Bahkan Ki Bekel pun telah turut berubah pula.
Di perjalanan selanjutnya, mereka memang tidak mengalami hambatan apapun meski Mahisa Murti masih tetap berhati-hati. Mahisa Amping pun tidak lagi nampak gelisah sekali. Bahkan anak itu mulai banyak berbicara sebagaimana kebiasaannya.
Ketika mereka kemudian memasuki jalan yang langsung menuju ke regol padepokan mereka, maka jantung mereka rasa-rasanya telah dibasahi dengan air embun yang sejuk.
Kedatangan mereka disambut oleh seisi Padepokan Bajra Seta dengan perasaan syukur. Perjalanan yang panjang telah mereka selesaikan dengan selamat. Bahkan mereka sampai di Padepokan lebih awal dari kedatangan Mahendra dan Empu Sidikara pada kunjungan mereka yang terakhir.
Setelah mandi dan berbenah diri serta beristirahat sejenak, maka mereka pun duduk di pendapa bangunan induk Padepokan mereka bersama Wantilan dan Sambega serta beberapa orang cantrik. Sementara itu lampu minyak yang menyala di tengah-tengah pendapa itu bergoyang dihembus angin yang melintas.
Banyak hal yang dapat diceritakan oleh Mahisa Murti,
Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mahisa Amping tidak henti-hentinya berceritera tentang pernikahan Mahisa Pukat yang meriah. Upacara-upacara yang sebagian besar belum pernah disaksikan. Namun Mahisa Amping juga berceritera tentang perkelahian antara Mahisa Murti dengan seorang anak muda yang merasa tersinggung oleh pernikahan Mahisa Pukat itu.
Mereka yang mendengarkan Mahisa Amping berceritera hanya tersenyum-senyum saja. Mereka memang mengenal Mahisa Amping yang banyak berbicara itu.
Ketika malam menjadi larut, Mahisa Amping pun mulai mengantuk. Mahisa Semu pun nampak letih. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti telah minta agar mereka beristirahat.
“Tidurlah. Kalian tentu letih dan mengantuk”
Mahisa Amping memandang Mahisa Semu sekilas. Ketika ia melihat Mahisa Semu mengangguk, maka Mahisa Amping pun kemudian beringsut dan meninggalkan pertemuan itu bersama Mahisa Semu.
Baru kemudian Mahisa Murti pun menceriterakan apa yang dialaminya di Singasari pada malam hari menjelang keberangkatannya kembali ke Padepokan Bajra Seta di pagi harinya. Mahisa Murti pun berceritera tentang isyarat yang tergetar di dada Mahisa Amping namun yang tidak dapat ditangkap dan apalagi diterjemahkannya.
Wantilan, Sambega dan beberapa orang cantrik yang ikut berkumpul di pendapa itu mengerti maksud Mahisa Murti. Mereka harus berhati-hati menghadapi beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Orang yang dilihat oleh Mahisa Amping di regol pasar dan kemudian melintas di depan kedai itu mungkin adalah orang yang bertemu dengan Mahisa Murti diluar gerbang kota di Singasari. Orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari ilmu Mahisa Murti.
“Tetapi kita tidak perlu terlalu cemas” berkata Mahisa Murti, “kita tidak pernah melakukan satu perbuatan yang dengan sengaja mengganggu orang lain.”
Yang mendengarkan keterangan Mahisa Murti itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak mengganggu orang lain. Jika hal itu pernah dilakukan Sambega, namun itu sudah lewat, sehingga hal seperti itu tidak lagi dilakukan.
Di hari-hari berikutnya, maka kehidupan di Padepokan itu berjalan wajar. Tidak ada persoalan-persoalan yang dapat mengeruhkan kehidupan di Padepokan itu. Kerja, latihan-latihan dan peningkatan pengetahuan berlangsung dari hari ke hari.
Namun dalam pada itu, seseorang selalu mengawasi kehidupan di Padepokan itu dari hari ke hari. Orang itu tahu benar, bahwa sekali-sekali Mahisa Murti keluar dari padepokannya untuk berbagai macam keperluan. Kadang-kadang pergi ke padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah untuk melakukan hubungan agar kehidupan di padepokan itu tidak terpisah dari lingkungan di sekitarnya. Sementara itu anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya masih banyak yang ikut menyadap ilmu di Padepokan Bajra Seta.
Karena itu, maka pada satu saat, orang itu memang berkesempatan untuk menemui Mahisa Murti ketika Mahisa Murti kembali dari padukuhan di sebelah padepokannya.
Mahisa Murti memang terkejut. Ia pun segera dapat mengenali, bahwa orang itu adalah orang yang pernah menemuinya dan bahkan melukainya diluar gerbang kota Singasari. Ketika orang itu membakar sebatang pohon gayam, maka Mahisa Murti sempat melihat dengan jelas wajah orang itu.
“Kau” desis Mahisa Murti.
Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya. Aku memang sengaja ingin menemuimu seorang diri.”
“Kaukah yang mengikuti perjalananku dari Singasari beberapa hari yang lalu?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menggeleng sambil menjawab, “Bukan aku.”
Wajah Mahisa Murti berkerut. Ia tidak melihat perubahan wajah orang itu. Karena itu, maka Mahisa Murti berkata, “Aku memang mencurigaimu bahwa kau telah mengikuti aku saat itu.”
“Aku berkata sesungguhnya, bahwa bukan aku yang mengikutimu. Tetapi aku tahu siapa orang itu.”
“Siapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Orang berilmu tinggi? Ia ingin melihat padepokanmu. Sekarang orang itu kembali ke Singasari.” jawab orang itu.
“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah membuat persoalan dengan orang itu. Orang itu bukan seorang yang berhati lapang. Karena itu, maka tentu timbul niatnya untuk membuat perhitungan denganmu.”
“Apa yang telah aku lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Mungkin kau tidak sengaja melakukannya. Tetapi akibatnya tidak akan baik buatmu.” berkata orang itu.
“Ya. Tetapi apa yang telah aku lakukan?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Kau telah berkelahi melawan anak saudara seperguruan Arya Kuda Cemani” jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi bukankah saat itu tidak ada jalan yang terbaik yang harus aku lakukan terhadap anak muda itu? Tentu tidak sepantasnya jika Mahisa Pukat sendiri turun ke medan justru ia sudah dalam pakaian upacara di saat pernikahannya.”
“Kau memang tidak bersalah” jawab orang itu, “tetapi orang itu tidak akan dapat mengerti.”
“Orang itu siapa? Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani?” bertanya Mahisa Murti.
“Bukan saudara seperguruan Arya Kuda Cemani. Seandainya ia akan menuntut balas, maka ia tidak akan dapat mengalahkanmu.” jawab orang itu.
“Jadi siapa?” desak Mahisa Murti.
“Guru anak yang kau kalahkan itu. Ia tidak berguru kepada ayahnya sendiri. Ia berguru kepada seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Namun ternyata anak muda itu tidak dapat mengalahkanmu. Tentu juga tidak dapat mengalahkan Mahisa Pukat. Karena itu maka ia menjadi sakit hati. Sementara itu, ia bukan orang yang lapang dada.” berkata orang itu.
“Apakah Ki Sanak guru anak muda yang telah aku kalahkan itu karena aku melihat unsur ilmu Ki Sanak mempunyai persamaan dengan unsur ilmu anak muda itu?”
“Sudah aku katakan bahwa orang itu bukan aku. Orang yang mengikutimu karena ia ingin melihat tempat tinggalmu itu bukan aku.” jawab orang itu.
“Jadi bagaimana? Aku menjadi bingung. Jika demikian, apa maksud Ki Sanak sebenarnya?” bertanya Mahisa Murti.
“Anak muda” berkata orang itu, “kau adalah anak muda yang luar biasa. Pada umurmu yang muda itu, kau memiliki segala-galanya. Ilmu yang jarang ada duanya. Namun meskipun demikian, setelah aku menjajagi ilmumu sampai ke puncak, maka kau tidak akan mampu melawan guru anak muda yang telah kau kalahkan itu.”
“Apa hubungan Ki Sanak dengan orang itu justru karena persamaan ilmu yang aku lihat?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku saudara seperguruannya. Aku saudara tua seperguruan dari orang yang mendendammu. Anak muda yang kau kalahkan itu adalah murid adik seperguruanku.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi apa yang sebenarnya Ki Sanak inginkan? Apakah yang Ki Sanak kehendaki dari aku?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan nada dalam ia pun berkata, “Aku sudah berbicara dengan Arya Kuda Cemani. Aku bahkan sudah berbicara dengan Ki Mahendra. Karena itu, maka aku sudah mengetahui banyak hal tentang kau, Mahisa Murti.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak segera percaya pada kata-kata orang yang belum dikenalnya dengan baik itu, selain ia tidak dapat mengingkari, bahwa orang itu memang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu, maka orang itu pun berkata, “Mahisa Murti. Setelah aku berbicara dengan Ki Mahendra dan Arya Kuda Cemani, maka aku berpendapat, bahwa kau adalah seorang anak muda yang pantas dikagumi. Kau telah banyak melakukan sesuatu bagi banyak orang. Bahkan pada suatu saat kau pernah melakukan tapa ngrame bersama Mahisa Pukat. Kau bahkan banyak memberikan pengorbanan bagi sesama. Kau juga telah banyak berkorban bagi saudaramu, Mahisa Pukat. Antara lain juga saat kau bertempur dengan anak saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu. Murid saudara seperguruanku itu.”
Mahisa Murti masih saja termangu-mangu. Tetapi ia merasa ketika ia memberitahukan bahwa ia telah bertempur dengan orang yang tidak dikenalnya diluar kota Singasari, ayahnya sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa ia pernah berbicara dengan orang yang melukainya. Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun bertanya, “Kapan Ki Sanak bertemu dengan ayah?”
“Setelah kau berangkat meninggalkan Singasari” jawab orang itu.
“Tetapi bagaimana Ki Sanak mengetahui bahwa saudara seperguruan Ki Sanak itu mengikuti aku untuk melihat padepokanku di sini?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Itu adalah bagian dari kegiatanku. Aku tidak dapat menceriterakannya” jawab orang itu.
Mahisa Murti memang tidak mendesaknya. Tetapi ia bertanya, “Sekarang, apakah yang Ki Sanak inginkan?”
“Mahisa Murti” berkata orang itu, “semakin banyak aku mengetahui tentang kau, maka semakin ingin aku ikut mencampuri persoalanmu dengan saudara seperguruanku itu. Aku tidak ingin bahwa kau yang telah banyak berbuat baik bagi banyak orang itu, justru akan mengalami kesulitan. Sebagaimana aku katakan, bahwa saudara seperguruanku itu pada suatu saat, tentu akan datang kepadamu. Sementara itu aku tahu bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmumu.”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Tetapi sebenarnyalah bahwa kau mempunyai kemungkinan yang lebih baik dari saudara seperguruanku. Bekal yang kau miliki lebih banyak. Jika saja ada yang membantumu, maka kemampuanmu dengan cepat akan meningkat. Apalagi jika seseorang dengan tepat membantumu meloncati satu tataran yang kini seolah-olah membatasi kemungkinan perkembangan ilmumu.”
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah Ki Sanak melihat batas itu?”
“Adalah kebetulan, bahwa aku berdiri di atas tataran itu, sehingga aku sempat melihatnya. Sementara ini, tidak ada orang yang mampu melihatnya karena tidak ada orang yang memiliki kelebihan darimu.” orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Mahisa Murti, bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi jika ada kesan seperti itu, maka maksudku semata-mata untuk mengatakan bahwa aku dapat membantumu untuk meloncat pada satu tataran menembus batas yang selama ini seakan-akan tidak memberi kemungkinan lagi bagimu untuk berkembang.”
“Maksud Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku menawarkan diri untuk membantumu menembus batas itu.” jawab orang itu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Untuk sejenak ia termenung. Seolah-olah ia meyakinkan dirinya, apakah yang dikatakan oleh orang itu benar-benar akan dapat dilakukan.
Namun orang itu pun kemudian berkata, “Tetapi Mahisa Murti. Jika kau benar-benar mampu menembus batas ilmumu yang sekarang, sehingga kau akan mendapat kesempatan untuk membubung lebih tinggi, sehingga kemampuanmu dapat berada di atas kemampuan saudara seperguruanku, aku minta agar bila saudara seperguruanku itu kelak benar-benar datang kepadamu, kau dapat mengendalikan dirimu. Maksudku, kau hanya akan melawannya sampai batas mengalahkannya. Tidak membunuhnya.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu berkata, “Aku minta maaf, bahwa permintaan ini aku sampaikan untuk meyakinkanku. Sebenarnya aku percaya, bahwa kau tentu akan berbuat demikian karena kau memang bukan seorang pembunuh.”
Mahisa Murti memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Jika Ki Sanak berbaik hati untuk membantuku, maka aku tidak dapat berkata lain kecuali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”
“Jika kau mempercayai aku Mahisa Murti, maka kita akan berada di dalam sanggar untuk beberapa hari. Bukan berarti bahwa kau tidak dapat keluar sanggar sama sekali. Tetapi waktumu yang beberapa hari itu akan lebih banyak berada di dalam sanggar dari pada di luar.”
“Aku akan menjalani laku itu Ki Sanak.” jawab Mahisa Murti.
“Baiklah. Aku yakin bahwa kau akan mampu menyusul ilmu saudara seperguruanku itu, justru karena bekalmu sudah lengkap.” berkata orang itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti telah mempersilahkan orang itu untuk singgah di Padepokannya. Mahisa Murti juga ingin bertanya kepada Mahisa Amping, apakah bukan orang itulah yang telah dilihatnya di dekat pintu gerbang pasar. Yang kemudian juga dilihatnya lewat di depan kedai saat Mahisa Murti dan kedua adik angkatnya itu singgah.
Ketika kemudian Mahisa Murti dan orang itu memasuki regol padepokan, maka Mahisa Amping tengah berlari-lari di halaman mengajar ayamnya yang terlepas dari kurungan. Namun demikian ia melihat Mahisa Murti datang, maka ia pun berhenti,
Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Mahisa Amping memandangi orang yang datang itu dengan seksama. Namun sama sekali tidak ada kesan, bahwa ia pernah melihat orang itu.
Selangkah-selangkah Mahisa Amping mendekat sambil bertanya, “Apakah kakang pergi ke padukuhan?”
“Ya” jawab Mahisa Murti.
“Kakang tidak mengajak aku serta. Aku sudah berjanji kepada Windu, anak padukuhan itu untuk memberinya sepasang ayam kate.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Bukankah besok atau lusa kau dapat memberikannya. Mungkin anak itu akan datang kemari. Atau kau titipkan saja kepada anak-anak padukuhan yang belajar menjadi pande besi di perapen itu.”
Tetapi anak itu menjawab, “Aku akan datang sendiri ke rumahnya. Ia akan menukarnya dengan sepasang burung merpati gambir.”
Sambil menepuk pundak Mahisa Amping, Mahisa Murti berkata, “Besok aku masih akan pergi ke padukuhan lagi. Besok kau boleh ikut.” Mahisa Murti terdiam sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau mengenal kakek yang datang ini?”
Mahisa Amping memandangi orang itu dengan seksama. Namun ia pun kemudian menggeleng sambil berkata, “Aku belum mengenalnya kakang.”
“Kenalkan anak manis” berkata orang itu, “panggil aku Kakek Wijang.
“Selamat datang di padepokan kami, Kakek Wijang” berkata Mahisa Amping sambil mengangguk dalam-dalam.
Kiai Wijang tersenyum sambil berkata, “Kau benar-benar anak yang baik” Lalu ia pun bertanya kepada Mahisa Murti, “Siapakah anak ini?”
“Adikku” jawab Mahisa Murti.
Kiai Wijang mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Meskipun demikian Mahisa Murti mengerti bahwa orang itu masih ingin bertanya tentang Mahisa Amping, karena orang itu tentu tahu bahwa ia tidak mempunyai saudara yang lain kecuali Mahisa Pukat.
Namun Mahisa Murti itu justru bertanya, “Apakah ayah tidak pernah berceritera tentang adik-adik angkatku?”
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ki Mahendra terlalu banyak berceritera tentang dirimu. Mungkin perhatiannya saat itu tidak ada yang tersisa untuk berbicara tentang orang lain.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ayah masih menganggap aku kanak-kanak”
“Sama sekali tidak” jawab Kiai Wijang.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu Mahisa Amping telah menghambur berlari menyusul ayam yang dikejarnya sambil berkata, “Aku akan menangkap ayam itu kakang.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Amping telah berlari menjauh.
“Aku mempunyai dua orang adik angkat” berkata Mahisa Murti kemudian, “Mahisa Semu dan Mahisa Amping”
Kiai Wijang mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murti mengajaknya naik ke pendapa.
Kepada Kiai Wijang Mahisa Murti sempat menceriterakan kemampuan Mahisa Amping untuk menangkap isyarat. Tetapi ia sendiri tidak menyadarinya. Bahkan tidak mengerti apa yang terjadi.
Mahisa Murti pun berceritera juga bagaimana Mahisa Amping menerima isyarat tentang seseorang yang mengikutinya dari Singasari saat Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya itu pulang dari Singasari.
“Anak yang luar biasa. Firasatnya tentu tajam sekali. Jika ada seseorang yang dapat membantu mengasahnya, maka anak itu akan dapat menjadi anak yang memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.”
“Mudah-mudahan” berkata Mahisa Murti.
“Orang yang dimaksud anak itu tentu saudara seperguruanku itu” berkata Kiai Wijang.
“Tetapi kenapa ia tidak berbuat sesuatu ketika aku dalam perjalanan kembali ke Padepokan Bajra Seta?”
“Salah satu kelemahannya, ia kurang yakin akan kemampuannya yang sangat tinggi itu. Ia tentu ingin meyakinkan, bahwa ia akan dapat mengalahkanmu.”
“Apa yang akan dilakukannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Ia akan mengirimkan orang untuk menjajagi kemampuanmu. Tidak hanya satu orang. Tetapi beberapa. Orang-orang itu tidak akan membunuhmu. Tetapi sekedar mengetahui seberapa tingkat ilmumu.”
“Satu cara yang rumit, “ desis Mahisa Murti.
“Ya. Tetapi itu sudah menjadi kebiasaannya. Tetapi ia juga bukan seorang pembunuh yang sebenarnya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa ia tidak pernah membunuh.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian maka ia akan menghadapi dua tataran pertempuran. Ia akan bertemu dengan orang-orang yang sekedar menjajagi ilmunya. Orang-orang itu tentu mencari perkara agar dapat timbul perkelahian. Baru kemudian saudara seperguruan Kiai Wijang itu akan datang untuk membuat perhitungan yang sebenarnya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian telah memperkenalkan Kiai Wijang dengan Wantilan, Sambega dan para cantrik di padepokannya. Kepada mereka Mahisa Murti mengatakan, bahwa Kiai Wijang untuk beberapa hari akan berada di Padepokan Bajra Seta.
Sebenarnyalah bahwa sejak saat itu Kiai Wijang memang berada di padepokan. Seperti yang dijanjikan, maka Kiai Wijang benar-benar telah mencoba untuk menghentakkan ilmu Mahisa Murti. Namun untuk satu dua hari, Kiai Wijang dengan sungguh-sungguh telah melihat, menilai dan menimbang ilmu dan kemampuan Mahisa Murti sendiri. Ia melihat unsur-unsur serta dorongan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya. Kiai Wijang juga melihat seberapa tinggi tenaga dalam yang ada di dalam diri Mahisa Murti serta seberapa jauh ia mampu mengungkapkannya.
Ketika Kiai Wijang merasa sudah cukup teliti menilai kekuatan, tenaga dan kemampuan yang ada di dalam diri Mahisa Murti, maka ia pun berkata, “Kau mempunyai segala-segalanya anak muda. Kau tinggal melangkah satu langkah lagi. Maka segala-galanya sudah akan terbuka bagimu. Tetapi yang selangkah itu kadang-kadang memang sulit untuk dilakukan. Bukan karena tidak memiliki daya loncat yang kuat. Tetapi sekedar memerlukan petunjuk, kemana harus melangkah.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang tidak tahu, apa yang harus aku lakukan.”
“Kau memang masih terlalu muda. Seandainya tidak ada persoalan yang mendesak, maka pada saatnya, kau sendiri akan dapat melihat dan mengerti, apa yang harus kau lakukan untuk meniti jalan menuju ke arah yang benar, sehingga kau akan mampu melangkah mencapai tataran puncakmu.” berkata Kiai Wijang, “ bahkan masih jauh lebih awal dari yang pernah aku capai sebagaimana sekarang ini.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas petunjuk Kiai.”
“Aku tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa jika aku tidak berhadapan dengan kau yang memiliki segala-galanya. Aku tidak akan dapat mendorong dan menunjukkan apapun juga kepada murid adik seperguruanku itu. Karena ia tidak memiliki bekal yang lengkap sebagaimana kau.”
Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak. Tetapi di hatinya ia mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, yang telah mempertemukannya dengan seorang yang berilmu lebih tinggi dari ilmunya dan yang bersedia menuntunnya untuk mencapai tataran yang lebih tinggi sebagaimana pernah ditemuinya beberapa kali dalam petualangannya.
Demikianlah, di hari-hari berikutnya, Mahisa Murti hampir setiap saat berada di dalam sanggarnya. Seisi padepokan itu mengetahui bahwa Mahisa Murti sedang berusaha dengan bekerja keras untuk meningkatkan ilmunya.
Beberapa orang memang menjadi heran, bahwa masih ada orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Mahisa Murti. Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Mahisa Murti memang mengakui bahwa Kiai Wijang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya.
Demikianlah dari hari ke hari, Mahisa Murti seakan-akan semakin terdorong menuju ke pintu yang sudah terbuka. Betapapun berat laku yang harus dijalani, bahkan rasa-rasanya Mahisa Murti harus merangkak di teriknya panas matahari dan di dinginnya embun malam, tetapi semuanya itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Namun di samping laku yang dijalani, maka Kiai Wijang pun minta agar Mahisa Murti tidak henti-hentinya memohon, agar baginya dibukakan pintu untuk menembus batas tataran tertinggi ilmunya yang seakan-akan sudah mapan di dalam dirinya.
Memang terjadi gejolak di dalam diri Mahisa Murti. Jika ia sekali-sekali keluar dari sanggar, maka ia nampak sangat letih. Bahkan seakan-akan untuk menggerakkan tangannya pun Mahisa Murti menjadi segan. Namun demikian ia masuk kembali ke dalam sanggar, maka tenaga dan kekuatannya seakan-akan menjadi pulih kembali, sehingga apapun yang harus dilakukannya, dapat dilakukannya.
Di sanggar, Mahisa Murti memang lebih banyak mengungkapkan tenaga di dalam dirinya. Melihat ke kedalaman diri serta segala kemungkinan-kemungkinannya. Upaya untuk semakin mengenali kekuatan di dalam diri serta usaha memancarkannya keluar. Jalinan pernafasan yang mampu mengucapkan getar kekuatan di dalam diri itu. Lebih dari segala-galanya adalah keyakinannya akan Kuasa dari Yang Maha Agung.
Demikianlah, maka hari-hari pun berlalu, Mahisa Murti nampak semakin letih. Sehingga akhirnya, Mahisa Murti untuk tiga hari tiga malam sama sekali tidak nampak keluar dari sanggarnya.
Ketika dengan gelisah Mahisa Semu dan Mahisa Amping bertanya kepada Wantilan, maka jawabnya, “Mahisa Murti memang sudah mengatakan bahwa selama tiga hari tiga malam ia akan berada di sanggar. Kita harus menunggu dengan sabar.”
Keduanya mengangguk-angguk. Namun Mahisa Semu masih bertanya, “Tetapi bukankah paman Wantilan percaya kepada orang yang berilmu sangat tinggi itu bahwa ia tidak akan menyulitkan kakang Mahisa Murti.”
Wantilan mengerutkan dahinya. Dipandanginya Mahisa Amping sekilas. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
Mahisa Amping memandang Mahisa Semu dan Wantilan berganti-ganti. Namun kemudian anak itu justru bertanya, “Apakah nanti kakang Mahisa Murti akan memiliki ilmu yang semakin tinggi?”
Wantilan mengangguk kecil. Katanya, “Kita berdoa. Semoga kakakmu Mahisa Murti berhasil.”
Mahisa Amping mengangguk-angguk pula. Sementara itu Wantilan tidak melihat isyarat yang mencemaskan pada sikap Mahisa Amping yang memiliki firasat yang sangat tajam.
Namun bagaimanapun juga, seisi padepokan itu memang menanti dengan jantung yang berdebar-debar. Bukan hanya Wantilan, Sambega, Mahisa Semu dan Mahisa Amping saja. Tetapi para cantrik pun rasa-rasanya ingin segera melihat apa yang telah terjadi dengan Mahisa Murti.
Sementara itu di dalam sanggar Mahisa Murti tengah memusatkan nalar budinya untuk menggapai hentakan terakhir pada laku yang tengah dijalaninya. Mahisa Murti sudah tidak lagi mempergunakan wadagnya untuk melakukan gerakan-gerakan terakhir. Mahisa Murti justru hanya duduk bersila dengan menyilangkan tangan di dadanya. Matanya terpejam dengan wajah yang sedikit menunduk. Namun dalam pada itu, ia sedang memusatkan kekuatan batinnya untuk melakukan gerakan-gerakan yang harus diulanginya dan diulanginya. Mahisa Murti seakan-akan menyaksikan dirinya sendiri dengan mata hatinya, bergerak berloncatan, berputaran, menghentak-hentak dan bahkan melayang-layang dengan tangkasnya. Tanpa menggerakkan wadagnya, Mahisa Murti telah meyakinkan dirinya, penguasaan atas semua simpul syarafnya, sehingga semua geraknya benar-benar terkendali oleh kehendaknya. Kesadaran akan dirinya atas semua bagian dari tubuhnya. Penguasaan tenaga dasar di dalam dirinya serta irama pernafasannya yang mengental telah menebarkan getar kekuatan yang tiada taranya, sehingga getar itu seakan-akan telah membuat kulit dan dagingnya menjadi liat.
Di mata hatinya, Mahisa Murti melihat dirinya sendiri semakin lama menjadi semakin mantap. Setiap gerak menimbulkan getar dari tenaga dasarnya dalam irama pernafasannya yang mapan.
Di belakang Mahisa Murti, Kiai Wijang duduk bersila. Kedua telapak tangannya dilekatkannya di punggung Mahisa Murti. Orang itu seakan-akan ikut melihat apa yang sedang dilakukan oleh Mahisa Murti tanpa unsur kewadagannya itu. Namun Mahisa Murti pun seakan-akan juga mendengar perintah-perintah yang diucapkan oleh Kiai Wijang.
Sebenarnyalah perintah-perintah itu memang pernah diucapkan. Sebelum Mahisa Murti mulai menjalani laku terakhir itu, Mahisa Murti harus melakukan gerakan-gerakan sebagaimana diperintahkan oleh Kiai Wijang. Perintah itu diulanginya beberapa kali, sementara Mahisa Murti melakukannya beberapa kali pula, sehingga akhirnya pada puncak laku yang harus dijalaninya, maka Mahisa Murti justru melakukannya tanpa unsur kewadagannya. Demikian pula setiap perintah yang diucapkan Kiai Wijang sama sekali tidak mempergunakan lagi kata-kata dari lesannya.
Demikianlah, ketika segala sesuatunya sudah sampai pada batas tertinggi, dari usaha pencapaian oleh Mahisa Murti, maka gerakan-gerakan Mahisa Murti tanpa unsur kewadagannya itu menjadi semakin lamban. Tetapi menjadi semakin mantap. Seakan-akan udara di sekitarnya ikut bergetar dan bergerak sebagaimana Mahisa Murti.
Sehingga akhirnya, Mahisa Murti pun sampai pada batasnya. Demikian ia melakukan unsur gerak yang terakhir tanpa wadagnya, pada tarikan nafasnya yang berat, maka Mahisa Murti pun kemudian telah menghempaskan dirinya, duduk bersila sebagaimana unsur wadagnya.
Dalam peningkatan pemusatan nalar budi pada tataran tertinggi, maka Mahisa Murti itu pun seakan-akan telah terangkat dari tempat duduknya, melayang dan bayangan di angan-angan Mahisa Murti dalam ujud dirinya sendiri itu tiba-tiba telah menyatu kembali kedalam unsur kewadagannya.
Sesaat terasa nafas Mahisa Murti menjadi sesak. Ada semacam kericuhan di dalam irama tarikan nafasnya. Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Murti mulai merasa bahwa ia telah berhasil menguasai kembali dirinya sendiri sepenuhnya. Tarikan nafasnya yang panjang-panjang mulai menjadi semakin teratur.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti pun mulai membuka matanya. Ia melihat bayangan yang kabur. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat isi sanggarnya satu persatu.
Mahisa Murti pun segera menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi pada dirinya. Keringat telah membasah di seluruh tubuhnya sehingga seolah-olah Mahisa Murti itu baru saja bangkit dari bawah arus sungai yang deras.
Perlahan-lahan Mahisa Murti beringsut. Tangan Kiai Wijang tidak lagi terasa di punggungnya.
Ketika ia kemudian memutar dirinya perlahan-lahan, maka ia melihat bahwa Kiai Wijang pun sedang berusaha untuk menemukan keseimbangan dirinya. Tangannya memang sudah berada di pangkuannya dengan kedua telapak tangannya menakup.
Demikian Mahisa Murti kemudian duduk menyamping, maka Kiai Wijang itu pun tersenyum sambil berdesis, “Kau telah berhasil ngger. Kau telah mampu melangkah melampaui hambatan di puncak kemampuanmu.”
“Aku mengucapkan terima kasih atas tuntunan Kiai. Jika aku berhasil, tentu karena Kiai lah yang telah menuntun menunjukkan jalan bagiku.” sahut Mahisa Murti.
“Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung, yang telah memberimu kekuatan untuk menggapai satu langkah yang penting di dalam hidupmu. Namun kau pun harus berjanji, bahwa kemampuanmu tidak akan kau salah gunakan.” berkata Kiai Wijang kemudian.
“Aku berjanji, Kiai” jawab Mahisa Murti.
“Kau harus berjanji terutama kepada dirimu sendiri. Lebih dari itu, kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti, Kiai. Aku akan melakukannya.”
“Baiklah. Sekarang, kita dapat keluar dari sanggar. Keluarga Padepokan Bajra Seta tentu menunggumu dengan cemas.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah keluar dari sanggar. Mereka telah minta disediakan air abu merang untuk mandi keramas. Baru kemudian mereka minum minuman hangat serta makan makanan cair.
Meskipun Mahisa Murti nampak letih sekali, tetapi cahaya wajahnya yang ceria menunjukkan keberhasilannya. Minuman hangat dan makanan cair telah membuat wajahnya yang pucat menjadi sedikit merah. Perlahan-lahan kekuatan di dalam tubuhnya yang letih mulai tumbuh kembali.
Mahisa Murti itu pun mengucapkan terima kasih ketika ia menerima pernyataan selamat dari seisi padepokan. Kecemasan yang mencengkam padepokan itu rasa-rasanya telah lampau.
Ketika semalam telah lewat, serta Mahisa Murti sudah mulai makan sebagaimana biasanya, maka kekuatannya pun menjadi semakin meningkat pula. Demikian pula Kiai Wijang yang juga merasa sangat letih. Tetapi di hari kedua, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang sudah hampir menjadi pulih kembali. Mahisa Murti sudah mulai melakukan gerakan-gerakan sederhana di sanggarnya bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Ketika Mahisa Murti sudah pulih kembali, maka Kiai Wijang menjadi sangat puas melihat hasil yang telah dicapai oleh Mahisa Murti. Kiai Wijang sendiri telah menjajagi kemampuan anak muda itu setelah ia menembus dinding yang seakan-akan membatasinya pada kemampuannya yang sudah mapan.
Dalam penjajagan yang dilakukan di sanggar, maka Kiai Wijang itu pun berkata, “Bukan main ngger. Semua tataran ilmumu sudah meningkat. Jika sebelumnya aku mampu menangkal ilmumu yang mampu menghisap kemampuan dan kekuatan orang lain, maka rasa-rasanya sekarang tidak lagi sepenuhnya. Ketika aku minta kau pergunakan ilmumu itu, aku merasakan kekuatan itu menghisap di setiap sentuhan betapapun kecilnya. Namun dalam pertempuran yang lama, maka aku akan dapat kehabisan tenaga. Bukan saja karena aku harus mengerahkan segala kemampuanku untuk mengatasi kemampuanmu, tetapi juga karena aku tidak dapat lagi menangkal ilmumu sepenuhnya. Selain kemungkinan itu, maka aku pun menjadi ragu. Apakah aku mampu melawan ilmumu dalam benturan puncak ilmu kita masing-masing.”
“Tetapi Kiai sudah memiliki pengalaman yang sangat luas serta kemampuan mengembangkan ilmu Kiai sejauh-jauhnya.”
Kiai Wijang tersenyum. Katanya, “Tetapi bekal yang ada di dalam diriku tidak selengkap bekal yang ada di dalam dirimu. Dengan menjalani laku maka apa yang ada di dalam dirimu, ternyata sudah berada pada tataran yang tidak lagi terjangkau oleh ilmuku.”
“Tetapi seperti yang aku katakan, Kiai memiliki lumbung pengalaman yang tidak terhingga.” berkata Mahisa Murti.
“Mungkin ngger. Tetapi semisal bangunan, bahan-bahan yang ada padamu lebih baik dari bahan-bahan yang ada padaku.” berkata Kiai Wijang. Lalu katanya pula, “Nah, selanjutnya kau akan dapat membuat semua bekal yang ada di dalam dirimu luluh menyatu. Aku yakin bahwa dalam waktu yang singkat semuanya itu akan dapat kau lakukan. Semuanya yang ada di dalam dirimu akan luluh menjadi satu kebulatan ilmu yang jarang ada duanya.”
“Aku mohon doa restu Kiai.” desis Mahisa Murti.
“Tetapi kau harus selalu ingat. Kau bertanggung jawab atas ilmumu yang sangat tinggi. Kau tidak boleh menyalah gunakannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Aku akan selalu mengingatnya.”
Demikianlah, di hari berikutnya, maka tenaga dan kekuatan Mahisa Murti pun benar-benar telah mencapai tataran tertingginya kembali. Bahkan tataran ilmunya sudah meningkat dengan satu loncatan panjang, menembus batas kemapanan dari ilmunya itu sebelumnya.
Di hari berikutnya, maka Kiai Wijang yang merasa bahwa tugasnya telah selesai itu pun kemudian telah minta diri. Ia harus segera kembali ke tempat tinggalnya yang terpencil.
“Meskipun tempat tinggalku terpencil, tetapi hidupku sehari-hari tidak terpisah dari lingkunganku, sebagaimana kehidupan di padepokan ini. Namun orang-orang di sekitarku mempunyai tanggapan yang berbeda atas diriku. Mereka menganggap aku seorang petani yang hidup dari hasil pategalan dan bahkan tinggal di sebuah gubug kecil di tengah-tengah pategalan.”
“Apakah Kiai tidak berkeluarga?” bertanya Mahisa Murti.
Pandangan mata orang itu menerawang jauh. Dengan nada yang lemah ia menjawab, “Sekarang tidak ngger”
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia melihat sinar mata Kiai Wijang yang kemudian menjadi redup.
Katanya dengan nada rendah. “Aku telah kehilangan segala-galanya. Bahkan dua orang muridku telah tidak ada pula. Satu bencana yang tidak terduga telah terjadi. Justru di saat aku sedang berada di puncak kejayaan karena ilmuku yang menurut pendapatku waktu itu tidak ada yang mampu mengimbanginya. Ternyata itu merupakan bencana bagiku. Beberapa orang telah mendendamku karena kesombonganku, kesewenang-wenanganku dan barangkali juga keganasanku. Akhirnya mereka tidak tahan lagi mengalami perlakuanku. Mereka sepakat untuk datang ke rumahku bersama-sama karena mereka merasa tidak akan dapat mengalahkan aku sendiri-sendiri. Tetapi ternyata saat itu aku tidak ada di rumah. Yang ada adalah isteriku, seorang anakku perempuan dan dua orang muridku. Seorang di antaranya di antaranya adalah bakal menantuku. Tetapi mereka semuanya telah dihancurkan. Rumahku telah dibakar habis bersama tubuh-tubuh mereka yang terbunuh.” Kiai Wijang berhenti sejenak. Lalu katanya, “Ketika aku pulang dan menemui kenyataan itu, aku memang hampir menjadi gila. Aku bertekad untuk mencari mereka dan akan membunuh mereka semuanya dengan caraku.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Matanya menjadi semakin lama semakin redup. Kenangan yang buruk itu menjadi semakin jelas di angan-angannya. Katanya kemudian, “Tiga orang telah aku habisi dengan caraku. Tetapi aku tidak puas. Dari mereka aku tahu, siapa-siapa yang telah datang ke rumahku dan membunuh keluargaku dan murid-muridku. Karena itu, maka aku bertekad untuk menemukan mereka semuanya.”
Mahisa Murti mendengarkan ceritera tentang peristiwa yang buruk itu dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Kiai Wijang berkata selanjutnya, “Tetapi pada saat aku hampir kehilangan seluruh dasar kemanusiaanku, maka aku telah bertemu dengan seorang tua. Bukan pertemuan biasa. Tetapi justru pada saat aku terjebak. Sisa-sisa musuhku telah berkumpul dan menyusun jebakan yang tidak dapat aku hindari. Aku tidak mampu melawan beberapa orang bersama-sama. Aku memang mengira bahwa aku tentu sudah mati. Bahkan barangkali itu yang terbaik buatku. Namun ternyata tidak. Aku ditolong oleh orang tua itu. Lukaku diobati. Sedikit demi sedikit aku sembuh. Namun setiap hari aku mendengar ceriteranya tentang kebaikan. Tentang keluhuran budi dan tentang sumber hidup manusia. Maka sedikit demi sedikit terbangunlah sikap yang jauh berbeda dari sikapku sebelumnya. Ketika kemudian aku sembuh dan pulih kembali, maka aku telah menjadi orang lain. Untuk menghindari kemungkinan buruk itu terjadi lagi atasku, sehingga sifat-sifat ganasku tumbuh kembali, maka aku telah hidup dalam satu dunia yang lain pula. Aku tinggal di sebuah pategalan. Terpisah dari padukuhan-padukuhan. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berhubungan dengan orang-orang padukuhan itu.”
“Di manakah orang tua itu sekarang?” bertanya Mahisa Murti.
“Orang itu sudah tidak ada lagi. Orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Lebih tinggi dari ilmuku waktu itu, meskipun aku mengira bahwa aku adalah orang yang terbaik dalam olah kanuragan di seluruh dunia. Namun sebelum ia meninggal, ia sudah memberikan warisan ilmu kepadaku. Tetapi bekal yang ada padaku waktu itu ternyata tidak selengkap bekal yang kau miliki. Karena itu, maka suatu saat setelah kau mampu mengembangkan ilmumu, kau akan menjadi orang yang jauh lebih baik dari aku. Bukan saja ilmumu. Tetapi arti dari kehadiranmu di antara sesama. Karena itu, maka aku memaksa diri untuk membantumu agar kau tidak mengalami kesulitan karena dendam yang membakar saudara seperguruanku itu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah Kiai juga masih sering berhubungan dengan saudara seperguruan Kiai?”
“Jarang sekali. Cara hidup kami sudah jauh berbeda. Aku tidak lagi mempunyai arti apa-apa baginya. Aku pun berharap bahwa ia tidak tahu atas kehadiranku di sini.”
“Apakah ia tidak dapat melihat bekas tangan Kiai pada ilmuku sesudah Kiai menuntunku menembus batas kemapanannya?”
“Tidak. Kau tetap berpijak pada landasan dasar ilmumu yang semula tentu warisi dari beberapa sumber namun yang sudah luluh menyatu dalam dirimu. Itulah yang akan dilihatnya. Sementara aku hanya menolongmu untuk melakukan satu loncatan panjang menembus batas yang seakan-akan menghentikan peningkatannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun setiap kali ia masih saja mengucapkan terima kasih kepada Kiai Wijang. Dengan ilmunya yang semakin meningkat, maka akan semakin banyak pula yang dapat dilakukannya bagi kepentingan sesamanya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti tidak lagi dapat menahan orang itu untuk tinggal lebih lama di Padepokan Bajra Seta. Pada suatu hari, maka Kiai Wijang itu pun telah meninggalkan padepokan itu, tanpa mau memberi-tahukan, dimana ia tinggal.
“Tetapi pada saatnya kau akan mengetahuinya. Bahkan aku akan mengundangmu untuk mengunjungi aku di tempat tinggalku. Namun ingat, aku bukan orang yang memiliki kelebihan apa-apa di antara orang-orang padukuhan itu.”
Mahisa Murti memang harus melepaskan orang itu, betapapun berat hatinya. Sebelum pergi Kiai Wijang masih memperingatkannya, “Hati-hatilah dengan saudara seperguruanku. Tetapi tolong, jangan kau bunuh orang itu. Usahakan agar kau mampu menundukkannya dan syukurlah jika kau mampu membuatnya jera.”
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, “Aku akan mencoba Kiai. Namun percayalah, bahwa aku sama sekali tidak mempunyai niat membunuhnya.”
“Aku mempercayaimu ngger. Sehingga jika saudara seperguruanku itu terbunuh, tentu sama sekali tidak kau sengaja.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Ia pun percaya bahwa Kiai Wijang berkata dengan jujur. Bukan sekedar membesarkan hatinya.
Namun sepeninggal Kiai Wijang, Mahisa Murti harus selalu berhati-hati. Saudara seperguruan Kiai Wijang itu akan mengirimkan orang untuk menjajagi kemampuannya. Jika ia berada di puncak kemampuannya setelah ia mendapat tuntutan laku dari Kiai Wijang, maka saudara seperguruan Kiai Wijang itu tentu tidak akan datang kepadanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti sudah bertekad untuk memancing saudara seperguruan Kiai Wijang itu agar ia datang menemuinya.
Dengan demikian, maka ia harus memberikan kesan bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan saudara seperguruan Kiai Wijang.
Namun, sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang tidak dengan sombong menepuk dadanya bahwa ia tentu akan dapat mengalahkan saudara seperguruan Kiai Wijang, karena menurut pendapatnya, perhitungan Kiai Wijang pun tentu dapat keliru pula, karena betapapun tinggi ilmunya, namun Kiai Wijang tetap hanya titah biasa, sehingga kemungkinan bahwa ia keliru dapat juga terjadi.
Dari hari ke hari, maka Mahisa Murti pun masih selalu menunggu orang-orang yang mungkin dikirim oleh saudara seperguruan Kiai Wijang. Justru karena itu, maka Mahisa Murti menjadi lebih banyak pergi keluar padepokannya seorang diri.
Namun sementara itu, jika Mahisa Murti berada di dalam sanggarnya, maka ia sempat mendalami ilmunya dan berusaha mengembangkannya. Justru karena ia sudah berhasil menembus batas kemapanan ilmunya, maka rasa-rasanya setapak demi setapak, Mahisa Murti menuju kemapanannya pada tataran yang lebih tinggi.
Dalam pada itu, saat yang ditunggunya itu akhirnya datang pula. Ternyata untuk beberapa hari tiga orang telah mengamatinya saat-saat Mahisa Murti keluar dari padepokannya.
Pada saat yang dianggap paling tepat, selagi Mahisa Murti berada diluar padepokannya menjelang senja, tiga orang itu telah datang menemuinya.
Seorang di antara mereka langsung bertanya, “Ki Sanak. Menurut ciri-ciri yang ada, maka bukankah kau Mahisa Murti?”
Mahisa Murti mengangguk mengiakan. Katanya, “Ya. Aku adalah Mahisa Murti. Pemimpin Padepokan Bajra Seta yang berada tidak jauh dari tempat ini.”
“Bagus Ki Sanak” berkata orang itu, “aku memang menunggumu. Sejak dua hari yang lalu kami menyempatkan diri untuk dapat menemuimu.”
“Kenapa kau tidak datang ke padepokan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak Ki Sanak.” jawab orang itu, “aku ingin bertemu justru saat kau sendiri.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak terkejut mendengar jawaban itu. Namun ia masih juga bertanya, “Apakah kau mempunyai keperluan khusus dengan aku? Tidak dengan padepokanku?”
“Ya. Aku mempunyai keperluan khusus dengan kau, Mahisa Murti.” berkata orang itu.
“Siapakah sebenarnya kalian bertiga?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Itu tidak penting bagimu.” jawab orang itu.
“Jadi, apakah yang penting bagiku?” bertanya Mahisa Murti selanjutnya.
“Kami datang untuk menangkapmu. Kami ingin membawamu kepada pemimpin kami. Jangan takut bahwa kami akan menyakitimu, karena segala sesuatunya terserah kepada pemimpin kami.” jawab orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya menebak, “Jadi, kalian sekedar mencari persoalan untuk berselisih? Apakah sebenarnya maksudmu. Bukankah kita belum pernah bertemu sehingga tidak ada persoalan di antara kita?”
“Seharusnya kau tidak menghindar. Kau sudah melakukan kecurangan sehingga kau harus bertanggung jawab.” jawab orang itu.
“Kecurangan apa?” bertanya Mahisa Murti.
“Sudahlah, sekarang menyerahlah. Jangan banyak bertanya lagi.” berkata orang itu.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti yang sudah mengetahui maksud kedatangan orang itu, “jika kau sekedar mencari perkara untuk berselisih, marilah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan menyerah begitu saja. Marilah, siapa di antara kalian yang akan mencoba untuk berkelahi melawan aku?”
“Kami tidak datang untuk menantangmu berperang tanding. Karena itu, maka tidak ada seorang di antara kami yang akan maju melawanmu. Tetapi kami bertiga memang sudah siap untuk membawamu kepada pemimpin kami.”
“O, begitu. Jadi kalian akan bertempur bersama-sama?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Sekali lagi. Kami akan menangkapmu. Itu saja. Terserah kamu mengartikannya” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dikatakan oleh Kiai Wijang itu benar-benar terjadi.
Dengan nada berat Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sikap Ki Sanak benar-benar tidak dapat aku mengerti. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan bersedia menyerahkan diri, apalagi untuk kalian bawa kepada orang lain yang menurut pendapatku, tidak ada hubungan apapun juga dengan aku dan padepokanku.”
“Jika kau benar-benar berkeberatan, maka bersiaplah. Aku mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan. Bahkan jika kau tetap berkeras, maka jika kau mati, sama sekali bukan tanggungjawabku.”
“Jadi tanggung jawab siapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Tanggung jawabmu sendiri” jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus bertempur. Tetapi ia harus memberikan kesan, bahwa ilmunya tidak akan melampaui ilmu saudara seperguruan Kiai Wijang. Meskipun ia tetap sadar, bahwa banyak kemungkinan dapat terjadi.
Demikianlah, ketiga orang itu pun kemudian telah bergeser. Mereka telah saling menjauhi. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, “Bersiaplah. Kami benar-benar akan bertindak sesuai dengan wewenang yang ada pada kami. Bersiaplah. Mungkin kau akan sampai ke batas hidupmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara itu malam pun mulai turun. Namun karena ketajaman penglihatan mereka, maka mereka masih dapat melihat dengan jelas orang-orang yang sudah siap untuk bertempur itu.
Demikianlah, maka ketiga orang itu mulai bergeser. Seorang di antara mereka telah meloncat menyerang. Namun Mahisa Murti yang melangkah surut, telah berhasil membebaskan dirinya dari garis serangan itu. Tetapi kedua orang yang lain pun telah menyerang pula berganti-ganti.
Demikianlah, maka pertempuran antara Mahisa Murti melawan ketiga orang itu pun menjadi semakin cepat. Ketiga orang itu ternyata memang berilmu tinggi. Tetapi untuk menjajagi kemampuan seseorang dibandingkan dengan saudara seperguruan Kiai Wijang itu, maka ketiga orang itu tentu tidak memiliki kemampuan lebih baik dari saudara seperguruan Kiai Wijang itu sendiri. Jika ketiga orang itu mampu mengalahkannya, maka orang yang telah dikalahkannya itu tentu tidak akan menang melawan saudara seperguruan Kiai Wijang itu sendiri.
Mahisa Murti menyadari akan hal itu. Karena itu, maka ia memang tidak ingin mengalahkan ketiga orang itu. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti adalah sekedar mengimbangi kemampuan ketiga orang yang bertempur semakin lama semakin cepat.
Meskipun demikian, ternyata ketiga orang itu merasa sulit untuk dengan cepat mengalahkan Mahisa Murti. Bertiga mereka telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun Mahisa Murti masih saja luput dari serangan-serangan mereka yang datang beruntun seperti arus banjir yang deras.
Namun sebaliknya, Mahisa Murti tidak juga dapat menyentuh mereka. Mahisa Murti lebih banyak menghindar daripada menyerang. Bahkan rasa-rasanya Mahisa Murti memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali.
Semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketiga orang itu menekan semakin berat. Mereka menyerang dari tiga arah bahkan serangan itu-sering datang bersama-sama.
Namun sebenarnyalah bahwa ketiga orang itu justru dapat dipergunakan oleh Mahisa Murti untuk mengenal tataran ilmunya sendiri. Meskipun di dalam sanggar bersama Kiai Wijang, Mahisa Murti sudah melakukan penjajagan itu, namun menghadapi ketiga orang yang sebelumnya belum pernah dikenal, maka Mahisa Murti akan mendapat kesempatan yang lain untuk menilai kemampuannya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti memang tidak berbuat lebih dari sekedar mengimbangi ketiga lawannya. Namun kemudian timbul niatnya untuk memberikan lebih banyak perlawanan sebelum akhirnya ia harus melarikan diri dari pertempuran itu masuk kedalam padepokannya atau berusaha menghilangkan jejaknya di kegelapan.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun justru meningkat menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun kemudian tidak sekedar berusaha menghindari serangan-serangan lawannya. Namun ia pun mulai membalas menyerang.
Ternyata serangan-serangan Mahisa Murti itu telah mengejutkan lawan-lawannya. Apalagi setelah beberapa kali ia mampu mengenai mereka. Bahkan menyakiti mereka seorang demi seorang.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak sampai melampaui batas keinginannya untuk memancing saudara seperguruan Kiai Wijang. Karena itu, maka yang kemudian dilakukannya adalah menilai daya tahan tubuhnya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti justru membiarkan lawan-lawannya itu menyerangnya dan bahkan mengenainya.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun merasa yakin, bahwa ilmunya memang meningkat. Satu loncatan yang panjang telah dilakukannya sehingga ia mampu menembus batas kemapanannya untuk mendapatkan kemapanan baru dalam tataran yang lebih tinggi.
Lawan-lawannya yang berhasil mengenainya menjadi semakin garang. Mereka menganggap bahwa tenaga dan kemampuan Mahisa Murti sudah mulai menjadi susut, sehingga tidak mampu lagi menghadapi ketiga orang lawannya itu.
Mahisa Murti memang beberapa kali harus berloncatan mundur. Serangan lawan-lawannya memang menjadi semakin garang, sehingga kemudian serangan-serangan itu mulai menyakitinya.
Tetapi Mahisa Murti memang membiarkannya. Meskipun di mata lawan-lawannya Mahisa Murti masih juga berloncatan menghindar, namun beberapa kali mereka berhasil menembus pertahanan anak muda itu.
Untuk mengurangi rasa sakitnya, maka Mahisa Murti telah mengerahkan daya tahannya. Dengan lambaran tenaga dalam, maka Mahisa Murti mengerahkan getar di dalam dirinya melawan serangan-serangan yang mengenai tubuhnya. Dengan mengentalkan tenaga yang dialasi tenaga dalamnya, maka Mahisa Murti berusaha menahan setiap serangan yang mengenai tubuhnya.
Ternyata akibatnya memang luar biasa. Kulitnya seakan-akan menjadi liat. Serangan-serangan yang mengenai tubuhnya seakan-akan telah memental tanpa menyakitinya.
Ternyata puncak dari daya tahannya telah membuat kulitnya seakan-akan menjadi kebal. Ia tidak lagi merasa serangan-serangan lawannya yang mengenainya itu menyakitinya.
Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi kehilangan akal. Ia tidak berniat untuk menghancurkan lawan-lawannya itu meskipun kemudian menurut perhitungannya ia akan dapat mengatasi ketiga lawannya, meskipun Mahisa Murti yakin, bahwa ada di antara mereka yang masih menyimpan ilmu puncaknya.
Sebenarnyalah bahwa karena Mahisa Murti tidak segera dapat ditundukkannya, meskipun serangan-serangan mereka mampu menembus pertahanan anak muda itu dan bahkan sekali-sekali mengguncang keseimbangannya, maka seorang di antara mereka pun berniat untuk memaksa Mahisa Murti untuk mengakui kekalahannya.
Karena itu, maka dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti merasa betapa serangan salah seorang lawannya menjadi sangat berbahaya. Seorang yang bertubuh tinggi meskipun agak kekurus-kurusan itu ternyata memiliki kelebihan dari kedua orang yang lain. Meskipun Mahisa Murti dilindungi daya tahannya yang memiliki sifat mendekati ilmu kebal, namun ia harus berhati-hati terhadap lawannya yang bertubuh tinggi itu. Tangan orang itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin keras, sehingga kemudian tangan itu bagaikan gumpalan batu hitam.
Dengan demikian, maka sentuhan tangan itu masih juga mampu menggetarkan daya tahan Mahisa Murti, sehingga ia merasa betapa kerasnya tangan lawannya. Meskipun masih dalam batas perlindungan daya tahannya, namun sentuhan itu memang dapat menggetarkan daya tahannya yang sangat tinggi itu.
Sementara itu, Mahisa Murti merasa sudah cukup bermain-main dengan ketiga orang lawannya. Ia masih ingin memancing kehadiran saudara seperguruan Kiai Wijang. Sebagaimana pesan Kiai Wijang, maka ia sama sekali tidak ingin mengakhiri hidup orang itu. Tetapi ia ingin membuat orang itu jera.
Meskipun demikian, Mahisa Murti juga tidak mengingkari kemungkinan bahwa justru ia sendirilah yang akan dikalahkan dan justru diakhiri oleh saudara seperguruan Kiai Wijang itu.
Namun Mahisa Murti masih mempunyai sandaran untuk menyerahkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ia yakin akan kuasa Yang Maha Agung.
Demikianlah, maka Mahisa Murti seakan-akan menjadi semakin terdesak.
Serangan-serangan ketiga orang lawannya berganti-ganti telah mengenai tubuhnya. Mahisa Murti sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa daya tahannya mampu mengatasi serangan-serangan yang datang beruntun itu. Hanya serangan dari orang yang bertubuh agak tinggi itulah yang sebenarnya mampu menggetarkan daya tahannya. Namun tidak menentukan.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun berusaha untuk berloncatan mengambil jarak. Orang yang bertubuh tinggi itu sempat berkata, “Jangan lari. Menyerah sajalah. Atau kau akan mati.”
Tetapi Mahisa Murti sadar, bahwa orang-orang itu tidak akan membunuhnya. Mereka tentu akan membiarkannya hidup. Kemudian orang-orang itu akan melaporkannya kepada saudara seperguruan Kiai Wijang.
Mahisa Murti pun kemudian sudah bersiap-siap untuk melarikan diri. Ia dapat dengan cepat memasuki gerumbul-gerumbul yang diselubungi oleh kegelapan sebagaimana direncanakannya.
Tetapi tiba-tiba timbul pertanyaan di hatinya, “Apakah yang akan mereka lakukan seandainya aku benar-benar kalah? Apakah mereka akan membawa aku kepada saudara seperguruan Kiai Wijang untuk ditantang berperang tanding?.”
Tetapi akhirnya Mahisa Murti memilih untuk melakukan rencananya. Ia akan melarikan diri kedalam kegelapan. Ia berharap bahwa saudara seperguruan Kiai Wijang itu benar-benar akan datang kepadanya.
Beberapa saat Mahisa Murti masih bertahan sambil berloncatan berputaran. Tetapi kemana pun ia pergi, maka salah seorang lawannya telah memburunya dan menyerangnya.
Tetapi akhirnya Mahisa Murti pun telah benar-benar berusaha melepaskan diri. Dengan beberapa loncatan, panjang ia masuk kedalam gerumbul-gerumbul perdu. Untuk beberapa saat ketiga orang lawannya mampu melihat jejaknya pada ranting-ranting yang terguncang. Namun kemudian rasa-rasanya menjadi semakin sulit untuk mereka ikuti.
“Jangan lari, pengecut” teriak orang yang bertubuh tinggi itu. Tetapi ia justru berhenti mengejar. Demikian pula kedua orang kawannya.
Sejenak mereka memandang kekegelapan. Namun kemudian orang bertubuh tinggi itu berkata, “Ia memang memiliki kelebihan. Tetapi ia bukan lawan yang tangguh bagi Kiai Puput.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Kulitnya cukup liat. Ia mampu bergerak cepat. Semua itu harus kita laporkan kepada Kiai Puput, agar ia tidak salah menilai anak muda itu.”
“Tetapi ia akan dengan cepat digilas oleh kemampuan Kiai Puput yang sangat tinggi.” sahut kawannya yang seorang.
“Tugas kita sudah selesai” berkata orang yang bertubuh tinggi. “Besok kita kembali ke perguruan untuk memberikan laporan tentang tugas kita ini.”
Sementara itu, Mahisa Murti yang melarikan diri itu pun berhenti di sebuah padang perdu yang tidak begitu luas. Ketika ia mengetahui bahwa ketiga orang lawannya sudah tidak mengejarnya lagi, maka ia pun kemudian melangkah menuju ke padepokannya.
Sebelum Mahisa Murti memasuki regol padepokannya, maka dibenahinya pakaiannya. Ia tidak ingin menceriterakan apa yang dialaminya kepada isi padepokannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menghapus segala kesan tentang perkelahian yang baru saja dilakukan melawan ketiga orang yang memang sudah diduganya akan datang.
Wantilan yang kebetulan berada di pendapa bangunan induk padepokannya itu dengan serta-merta bertanya, “Kau datang dari mana?”
“Dari padukuhan sebelah Barat itu, paman,” jawab Mahisa Murti.
“Biasanya kau tidak sampai malam jika kau pergi ke padukuhan itu.” berkata Wantilan pula.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Aku melihat anak-anak muda yang sedang beramai-ramai mempersiapkan keramaian. Ki Bekel di padukuhan itu akan menyelenggarakan peralatan.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia memang pergi ke rumah Ki Bekel itu. Dan Ki Bekel memang akan menyelenggarakan peralatan. Anaknya perempuan akan menikah dengan anak seorang saudagar ternak yang terhitung berkecukupan.
Namun Mahisa Murti tidak naik ke pendapa. Katanya, “Aku belum mandi.”
Demikianlah, sejak hari itu Mahisa Murti menjadi semakin berhati-hati. Ia memperhitungkan bahwa saudara seperguruan Kiai Wijang itu tentu akan datang menemuinya.
Dari hari ke hari Mahisa Murti menanti. Namun ia tidak melalaikan tugasnya sebagai seorang pemimpin di Padepokan Bajra Seta. Sejak Mahisa Pukat meninggalkan padepokan itu, maka tugas Mahisa Murti memang menjadi bertambah berat.
Mahisa Murti pun tidak melupakan tugas khususnya. Ia dengan sungguh-sungguh telah menempa Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Keduanya tidak lagi pernah merasa semakin jauh dari Mahisa Murti sebagaimana saat-saat mereka datang. Jika Mahisa Murti tidak langsung menunggui mereka di dalam sanggar, maka mereka sudah menyadari bahwa tugas Mahisa Murti memang cukup banyak.
Namun pada hari-hari terakhir, Mahisa Murti lebih banyak pergi seorang diri menjelang senja. Ada-ada saja yang dilakukan. Mahisa Murti tidak selalu pergi ke padukuhan-padukuhan di sekitar padepokannya. Kadang-kadang Mahisa Murti justru pergi ke tempat-tempat yang terpencil untuk berlatih seorang diri di alam terbuka. Sekali-sekali di padang perdu, di lereng bukit atau di tepian sungai.
Mahisa Murti memang dengan sengaja memberi kesempatan kepada saudara seperguruan Kiai Wijang untuk menemuinya. Namun di samping itu, Mahisa Murti juga sedang berlatih sehingga ia benar-benar dapat menguasai setiap unsur dari ilmunya serta setiap unsur dari tubuhnya sendiri.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa saudara seperguruan Kiai Wijang yang telah mendapat laporan dari ketiga orang yang dimintanya untuk menjajagi kemampuan Mahisa Murti, telah berada di dekat padepokan itu pula. Ternyata ia tidak datang sendiri. Ketiga orang yang telah lebih dahulu datang menemui Mahisa Murti itu diajaknya pula.
Dengan mudah, maka saudara seperguruan Kiai Wijang itu pun segera mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Mahisa Murti. Selagi Mahisa Murti berada di padang perdu untuk memantapkan penguasaannya atas unsur-unsur ilmunya tetapi juga unsur-unsur tubuhnya, maka saudara seperguruan Kiai Wijang bersama ketiga orang pengikutnya telah mengamatinya dengan saksama.
“Luar biasa” desis orang itu, “anak muda itu memang berilmu sangat tinggi. Jika pertumbuhannya tidak dihentikan, maka beberapa tahun lagi, ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya.”
“Bagaimana Kiai Puput dapat menghentikan pertumbuhan ilmu anak muda itu? Apakah anak muda itu harus dibunuh?”
“Tidak” jawab saudara seperguruan Kiai Wijang itu, “tetapi bagian dari tubuhnya atau simpul-simpul syarafnya harus dirusak agar jalur hubungan antara kehendak dan bagian-bagian tubuhnya terganggu. Dengan demikian, maka ia tidak akan mampu lagi menguasai tubuhnya dengan sempurna. Sehingga ia tidak mungkin menjadi seorang yang memiliki kemampuan tinggi dalam olah kanuragan, meskipun ujud dan sikapnya sehari-hari tidak menunjukkan cacatnya itu.”
Ketiga orang yang datang bersama Kiai Puput itu mengangguk-angguk. Sementara Kiai Puput itu berkata selanjutnya, “Anak itu masih tetap dapat melakukan kerja sehari-hari. Tetapi tidak lebih dari seorang gembala di padang penggembalaan. Ia hanya dapat meniup seruling sambil duduk bersandar pepohonan mengalunkan lagu sedih meratapi nasibnya yang malang. Tetapi semuanya itu terjadi akibat kesombongannya sendiri.”
Ketiga orang yang menyertainya itu hanya mengangguk-angguk saja. Namun rasa-rasanya memang sayang sekali, bahwa tunas yang sedang tumbuh itu harus dipatahkan. Tetapi ketiga orang itu tidak berani mengatakannya.
Dalam pada itu, maka matahari pun telah menjadi semakin rendah dan bahkan telah tenggelam di balik punggung gunung. Langit menjadi buram dan angin semilir lembut.
Mahisa Murti pun menghentikan gerakan-gerakannya. Ia mulai menurunkan irama pernafasannya. Bahkan kemudian kedua tangannya telah menakup di atas kepalanya, kemudian turun perlahan-lahan sampai ke depan dadanya.
Dengan satu tarikan nafas panjang, maka kedua tangannya itu pun dilepaskannya.
Namun demikian Mahisa Murti berhenti sama sekali, terdengar seseorang tertawa dari balik gerumbul perdu.
Mahisa Murti pura-pura terkejut. Tetapi sebenarnyalah sejak ia berlatih, ia sudah mengetahui, bahwa ada beberapa pasang mata tengah mengawasinya.
Dengan nada yang tajam Mahisa Murti bertanya, “Siapakah kalian?”
“Baiklah aku mengaku, siapakah aku sebenarnya. Aku adalah Kiai Puput. Seorang yang pernah merasa kau rendahkan dihadapan banyak orang” jawab orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya kepada ketiga orang yang menyertai Kiai Puput itu
“Bukankah kau orang-orang yang pernah datang menemui aku beberapa hari yang lalu?”
“Ya” jawab orang itu, “kami memang telah datang menemuimu beberapa hari yang lalu. Kami pernah sedikit bermain-main. Namun dengan licik kau melarikan diri.”
Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Akukah yang licik? Bukankah aku bertempur seorang diri, sedangkan kalian bertempur bersama-sama?”
“Kita tidak sedang berperang tanding. Tetapi kami sedang mengemban tugas untuk menangkapmu” jawab orang yang bertubuh tinggi itu.
“Nah, bukankah dengan demikian aku juga tidak sedang berperang tanding? Yang aku lakukan adalah membebaskan diri dari usaha penangkapan dari orang-orang yang tidak aku kenal.”
“Persetan” potong Kiai Puput, “sekarang aku datang untuk menantangmu berperang tanding”
“Apakah alasanmu?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau telah menghina aku” jawab orang itu.
“Kapan dan dimana?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu. Pertanyaanmu menunjukkan betapa sombongnya kau. Kau yang sudah menghina dan merendahkan martabat perguruanku, begitu saja melupakannya tanpa merasa bertanggung jawab sama sekali,” jawab Kiai Puput.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak pernah merasa menyakiti hati orang lain, apalagi menghina dan merendahkan martabat sebuah perguruan.”
“Persetan. Apapun yang kau katakan, tetapi bersiaplah untuk menerima akibat dari perbuatanmu itu. Aku datang untuk menunjukkan kepadamu, bahwa kau untuk selanjutnya tidak akan menghina aku lagi.” berkata Kiai Puput kemudian.
Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Orang itu telah bergeser mendekat dan bersiap untuk bertempur.
Namun orang itu sempat berkata kepada ketiga orang itu, “Kalian menjadi saksi. Aku tantang anak ini berperang tanding, agar ia tidak lagi merasa berhak melarikan diri. Kecuali jika ia benar-benar seorang yang licik.”
Ketiga orang itu tidak menjawab. Sementara Mahisa Murti pun telah bersiap pula. Ia memang tidak merasa perlu untuk bertanya lebih lanjut untuk apa orang itu datang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang itu telah memancing gerakan Mahisa Murti. Dengan serangan yang lemah, orang itu mulai berloncatan.
Mahisa Murti pun bergeser menghindar. Namun Kiai Puput itu telah memburunya.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun segera menyala. Selapis demi selapis keduanya mulai meningkatkan kemampuan mereka. Namun keduanya masih saja saling menjajagi kemampuan masing-masing.
Mahisa Murti pun segera mengenali unsur-unsur gerak dalam ilmu lawannya. Bukan saja yang dikenalinya lewat lawannya, anak saudara seperguruan Arya Kuda Cemani, tetapi juga lewat saudara seperguruan Kiai Puput yang justru telah mempersiapkannya untuk menghadapinya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti itu pun kemudian berkata, “Aku sekarang tahu Kiai Puput. Kau mendendamku karena aku telah bertempur melawan seorang anak muda yang memiliki ilmu sejalan dengan ilmumu di Singasari.”
Kiai Puput itu justru meloncat surut. Dipandanginya Mahisa Murti dengan tatapan mata yang menyala. Dari sorot matanya Mahisa Murti memang melihat dendam yang memancar.
Dengan geram orang itu menyahut, “Anak muda. Sekarang kau mengetahui kenapa aku datang dari jauh untuk bertemu dengan kau. Sekarang kau tidak akan dapat ingkar lagi, bahwa kau memang pernah menghina aku dan merendahkan martabat perguruanku.”
“Kiai Puput” berkata Mahisa Murti, “menurut pengetahuanku, kau adalah seorang guru yang mumpuni. Kau adalah seorang yang pantas menjadi contoh bagi murid-muridmu. Jika kau masih terbawa oleh arus perasaanmu yang tidak terkendali, apakah jadinya dengan perguruanmu?”
“Jadi menurut pendapatmu, apapun yang terjadi di perguruanku, sebaiknya aku duduk saja berpangku tangan? Apakah aku harus mematikan perasaanku jika aku melihat seseorang menghina muridku dan perguruanku? Itukah menurut pendapatmu sikap seorang guru yang baik?”
“Ki Puput” berkata Mahisa Murti kemudian, “apakah kau tersinggung bahwa muridmu telah dikalahkan oleh seseorang? Seharusnya kau melihat persoalannya secara utuh. Bukan hanya sepotong, bahwa muridmu telah dikalahkan. Seorang guru menurut pendapatku, harus berani menunjukkan kepada muridnya, yang manakah yang benar dan yang manakah yang salah. Jika murid Kiai Puput melakukan kesalahan, seharusnya Kiai Puput tidak membelanya. Justru memperingatkannya. Karena pembelaan Kiai akan mendorong murid Kiai itu untuk melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya. Karena anak itu akan merasa selalu mendapat perlindungan.”
“Siapakah yang dapat menentukan, bahwa muridku telah bersalah? Siapa pula yang dapat menentukan garis yang memisahkan antara kebenaran dan ketidak benaran. Apa katamu jika aku berpendapat bahwa muridku telah berjalan di atas jalan kebenaran?” berkata Kiai Puput.
“Ki Puput. Kenapa kau yang sudah ubanan itu masih saja mudah dibakar oleh perasaan dendam? Kiai Puput. Sekarang kau datang kepadaku dengan membawa dendam. Tetapi ketahuilah, bahwa aku tidak berdiri sendiri. Jika saja guruku atau orang tuaku atau siapa saja yang menganggap, sekali lagi, menganggap aku berjalan di atas jalan kebenaran menuntut balas, maka dendam itu akan berkepanjangan. Orang lain yang menganggapmu benar akan menuntut dan yang lain dan yang lain. Bukankah dengan demikian, dunia ini akan dibakar oleh perasaan dendam?”
“O” Kiai Puput menyahut dengan serta merta, “ajaran itukah yang kau terima dari gurumu? Kau biarkan sajakah jiwa keluargamu dihinakan dan direndahkan martabatnya?
“Aku akan melihat persoalannya, Kiai” jawab Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak sempat menyelesaikan kata-katanya.
Kiai Puput itu pun berteriak, “Jangan banyak berbicara lagi. Aku sudah siap untuk menghancurkanmu. Kau akan kehilangan kemampuanmu untuk selama-lamanya. Meskipun aku tidak ingin membunuhmu, tetapi kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal.”
Mahisa Murti memang tidak sempat menjawab. Orang itu pun mulai meloncat menyerang. Tangannya bergerak dengan cepat menyambar wajah Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti dengan tangkas pula mengelak, sehingga serangan Kiai Puput itu tidak mengenainya.
Namun demikian Mahisa Murti bergeser, maka kaki Kiai Puput lah yang menyambar lambung.
Mahisa Murti memang tidak sempat mengelak. Dengan sikunya ia mencoba melindungi lambungnya. Dengan sedikit merendah, Mahisa Murti berusaha mendapat tumpuan pada kedua kakinya yang bagaikan berakar kedalam bumi.
Tetapi Mahisa Murti ternyata masih terguncang pula. Ia bergerak dan tergeser setapak surut.
Namun Kiai Puput pun terkejut. Serangan kakinya yang keras dan cepat itu telah membentur kekuatan yang kokoh, sehingga terasa getaran yang merambat dari telapak kakinya ke setiap sendi-sendi tulangnya.
“Anak iblis” geram Kiai Puput, “darimana kau mendapatkan kekuatan itu?”
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ia pun mulai menyerang pula.
Dengan demikian, maka keduanya pun kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kiai Puput bergerak semakin lama semakin cepat. Namun Mahisa Murti pun mampu mengimbanginya pula. Selapis demi selapis ilmu mereka semakin meningkat.
Ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu memang menjadi tegang. Mereka sudah memberitahukan kepada Kiai Puput, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang tinggi.
Kiai Puput memang tidak ingin langsung menghancurkan lawannya yang masih muda itu. Ia ingin tahu, tataran tertinggi kemampuannya. Bahwa anak muda itu mampu mengalahkan muridnya yang termasuk salah seorang di antara muridnya yang terbaik, telah menggelitik hatinya untuk mengetahui pada tataran yang mana Mahisa Murti itu berada.
Namun setiap kali Kiai Puput itu meningkatkan ilmunya, maka lawannya yang muda itu masih saja mampu mengimbangi. Bahkan setelah Kiai Puput berada pada tataran selapis di atas tataran muridnya, Mahisa Murti masih dapat mengimbanginya.
Dengan demikian maka Kiai Puput itu yakin bahwa kekalahan muridnya bukan karena kesalahan yang dilakukan oleh muridnya itu. Tetapi ilmu Mahisa Murti memang lebih tinggi dari ilmu muridnya itu.
Dengan demikian, maka Kiai Puput justru menjadi semakin bernafsu untuk menundukkan Mahisa Murti dan membuatnya kehilangan segenap kemampuannya tanpa mendapat kesempatan untuk menumbuhkannya kembali.
“Hukuman itu adalah hukuman yang paling pantas untuk anak muda yang telah menghina perguruanku” berkata Kiai Puput di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Kiai Puput masih belum dapat menundukkan Mahisa Murti. Ketika Kiai Puput bergerak semakin cepat, maka Mahisa Murti pun melakukannya pula. Keduanya pun kemudian berloncatan saling menyerang dan menghindar. Sekali-sekali memang terjadi benturan di antara mereka. Namun Mahisa Murti masih tetap mampu bertahan.
Kiai Puput memang menjadi semakin heran. Ketika Kiai Puput meningkatkan kemampuannya lagi, maka Mahisa Murti masih belum dapat ditundukkannya.
Karena itu, maka kemarahan Kiai Puput pun menjadi semakin membakar hatinya. Anak muda yang mengalahkan muridnya itu ternyata memang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari yang diduganya.
Ketika Kiai Puput meningkatkan ilmunya lebih tinggi, maka kecepatannya bergerak pun justru menjadi berkurang.
Ia tidak lagi berloncatan dengan cepat, bahkan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah. Tetapi geraknya justru nampak semakin lamban. Namun setiap ayunan tangan atau kakinya, seakan-akan telah menggetarkan udara di sekitarnya.
Mahisa Murti menyadari, bahwa lawannya mulai merambah pada ilmu andalannya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus berhati-hati. Ia pun telah memanjat pada tataran ilmunya semakin tinggi.
Kiai Puput memang menjadi semakin heran. Serangan-serangannya yang meluncur dengan cepat sebelumnya, tidak mampu menembus pertahanan anak muda yang sangat rapat itu. Kecepatannya bergerak, masih juga dapat diimbanginya.
Namun ketika gerak Kiai Puput justru menjadi lamban, Mahisa Murti harus menjadi sangat berhati-hati.
Meskipun Kiai Puput tidak lagi berloncatan sebagaimana sebelumnya, namun bobot serangannya benar-benar menjadi semakin berbahaya. Ketika tangannya terayun menyambar kening, meskipun Mahisa Murti sempat mengelak, namun getar udara yang deras telah menerpa wajahnya.
“Satu kekuatan yang sangat besar” desis Mahisa Murti. Ia sadar, jika serangan-serangan itu mampu mengenai tubuhnya, maka keseimbangannya tentu akan terguncang.
Untuk melindungi dirinya, selain memperketat pertahanannya, maka Mahisa Murti pun telah meningkatkan daya tahannya. Sehingga daya tahannya pada tataran tertinggi itu seakan-akan merupakan lapisan ilmu kebal yang menyelubungi tubuhnya.
Semakin lama maka pertempuran itu pun menjadi semakin mendebarkan. Meskipun keduanya tidak lagi berloncatan dengan cepat, namun serangan-serangan mereka menjadi sangat berbahaya. Bahkan keduanya seakan-akan tidak lagi berusaha untuk menyusup di antara pertahanan lawannya, tetapi mereka siap untuk saling membenturkan kekuatan dan kemampuan mereka. Mereka tidak merasa perlu mencari celah-celah pertahanan lawannya. Tetapi mereka berusaha untuk langsung memecahkan pertahanan lawannya itu.
Semakin tinggi tingkat tataran ilmu mereka, maka Kiai Puput pun menjadi semakin marah. Tetapi juga semakin heran. Tingkat kemampuannya telah berada jauh di atas kemampuan muridnya. Tetapi anak muda itu masih juga mampu mempertahankan diri. Benturan-benturan yang terjadi, sama sekali masih belum mampu mengoyak apalagi memecahkan pertahanan Mahisa Murti. Bahkan anak muda itu bukan saja hanya bertahan. Namun serangan-serangannya pun membuat Kiai Puput menjadi berdebar-debar.
Ketiga orang pengikut Kiai Puput itu menjadi sangat tegang. Yang mereka saksikan adalah benturan-benturan ilmu yang tinggi. Meskipun mereka menyadari, bahwa anak muda itu berilmu tinggi, tetapi mereka tidak mengira bahwa ia masih mampu bertahan sampai tataran yang sedemikian jauhnya.
“Kenapa saat itu ia melarikan diri?” desis orang yang bertubuh tinggi.
“Entahlah” jawab kawannya, “jika saja saat itu ia berniat menghancurkan kami bertiga, maka agaknya ia mampu melakukannya.”
“Ilmunya seimbang dengan ilmu Kiai Puput.” desis orang yang bertubuh tinggi.
Tetapi kawannya yang lain berdesis, “Kiai Puput belum sampai ke puncak ilmunya, karena Kiai Puput memang tidak ingin membunuh anak muda itu. Tetapi jika ia kehabisan kesabaran, maka anak muda itu tentu akan dibunuhnya.”
Ketiga orang itu terdiam ketika mereka melihat Kiai Puput melontarkan serangan yang dahsyat. Dengan satu loncatan panjang, Kiai Puput mengangkat tangannya dan diayunkannya langsung ke arah kepala Mahisa Murti.
Mahisa Murti memang tidak sempat mengelak. Tetapi kedua tangannya terangkat dan bersilang melindungi kepalanya itu.
Satu benturan yang sangat keras telah terjadi. Dua kekuatan raksasa telah beradu.
Yang tidak diduga telah terjadi. Mahisa Murti memang terdorong surut. Tetapi ia dengan cepat dapat menguasai keseimbangannya sehingga Mahisa Murti itu tidak terdorong jatuh.
Namun sementara itu, Kiai Puput yang telah menyerang Mahisa Murti itu merasakan betapa kekuatan ilmunya telah membentur pertahanan yang benar-benar diluar dugaannya. Kiai Puput memang melihat Mahisa Murti menangkis serangannya. Ia mengira bahwa dengan demikian pertempuran itu akan berakhir. Tangan Mahisa Murti akan patah sehingga untuk selanjutnya ia tidak akan mampu mempergunakan tangannya itu. Seandainya tangan itu sembuh, namun tangan itu tentu sudah cacat dan hanya mampu dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang tidak berarti. Apalagi kemudian ia akan dapat merusakkan simpul-simpul sarafnya sehingga hubungan antara kehendak dan syaraf penggerak tidak dapat berjalan lancar untuk seterusnya.
Tetapi yang terjadi tidak sebagaimana dikehendaki.
Ketika benturan itu terjadi, maka keseimbangan Kiai Puput justru telah terguncang. Kiai Puput justru terdorong dan mental beberapa langkah. Untunglah bahwa ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Kiai Puput itu tidak jatuh terlentang.
Mahisa Murti memang melihat Kiai Puput itu goyah. Tetapi ia tidak meloncat memburu dan mempergunakan kesempatan itu. Ketika Kiai Puput berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya, maka Mahisa Murti berdiri saja memandanginya.
Kiai Puput itu menggeram. Kemarahan telah membakar kepalanya, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya.
Dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya Kiai Puput itu berkata, “Kau memang anak iblis. Jika semula aku tidak ingin membunuhmu, maka kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, maka bersiaplah untuk mati anak muda.”
“Kiai Puput” sahut Mahisa Murti dengan nada berat, “Apakah sebenarnya persoalan yang terjadi di antara kita? Apakah karena aku sempat mengalahkan muridmu, maka kita harus bertempur sampai mati? Itu sangat berlebihan Kiai.”
“Persetan anak cengeng” Kiai Puput hampir berteriak, “sudah aku katakan, bahwa semula aku tidak akan membunuhmu. Tetapi ternyata kau sombong, keras kepala dan tidak tahu diri. Karena itu, maka aku benar-benar akan membunuhmu.”
“Sampai saat ini aku pun masih dapat mengendalikan diriku, Kiai. Tetapi jika keadaan menjadi semakin gawat, maka aku pun dapat mengancammu sebagaimana kau mengancam aku, meskipun aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi.”
“Kesombonganmu itulah yang membuat aku bernafsu untuk membunuhmu. Kau kira kau itu siapa, dan kau kira aku ini siapa, sehingga kau berani mengancam aku?”
“Aku bukan siapa-siapa dan kau juga bukan siapa-siapa, Kiai. Kita masing-masing sudah dibakar oleh kemarahan sementara api dendam menyala dihatimu. Karena itu, maka baik kau maupun aku merasa tidak perlu lagi tahu siapakah kita masing-masing sebenarnya.”
“Persetan kau anak iblis” geram Kiai Puput sambil meloncat menyerang.
Namun Mahisa Murti pun telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak mengelak, tetapi sekali lagi ia menangkis serangan itu.
Benturan kekuatan itu telah menggetarkan isi dada kedua belah pihak, sehingga Kiai Puput menjadi semakin garang karenanya.
Dengan demikian, maka Kiai Puput telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan dorongan tenaga dalamnya yang terbina dengan baik, Kiai Puput berusaha mendesak Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti pun mampu mengimbanginya. Bahkan tenaga Mahisa Murti justru seakan-akan menjadi semakin bertambah-tambah. Serangan-serangannya menjadi semakin kuat dan bahkan beberapa kali Mahisa Murti mampu menembus pertahanan Kiai Puput.
Tetapi Mahisa Murti telah menemui lagi kemampuan yang sangat tinggi. Mahisa Murti segera mengenalinya, sebagaimana saat ia bertempur melawan Kiai Wijang diluar gerbang Kotaraja.
Tubuh Kiai Puput itu seakan-akan menjadi sangat liat. Tulang-tulangnya menjadi lentur. Jika terjadi benturan, maka tidak terasa hentakan-hentakan yang keras. Tetapi justru sebaliknya. Tenaga dan kekuatan Mahisa Murti bagaikan tertampung dan hilang tertelan tanpa bekas.
Mahisa Murti sebenarnya tidak terkejut menghadapi keadaan itu. Sebagai saudara seperguruan Kiai Wijang, maka Kiai Puput pun tentu mampu melakukannya.
Namun Mahisa Murti tidak terhenti sampai sekian. Ia tidak menjadi kehilangan akal. Dengan bantuan Kiai Wijang, maka kemampuan dan ilmu Mahisa Murti telah menjadi jauh berkembang. Ia telah berhasil menembus batasan kemapanan ilmunya sendiri untuk menggapai satu tataran kemapanan kemampuan yang lebih tinggi.
Karena itu, maka menghadapi ilmu lawannya, Mahisa Murti pun telah mengerahkan daya tahan tubuhnya. Seperti yang pernah terjadi, maka daya tahannya yang sampai ke puncak itu dapat menyelubungi dirinya mirip dengan kekuatan ilmu kebal.
Tetapi lebih dari itu, Mahisa Murti pun berniat untuk mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya. Meskipun ia pernah gagal ketika ia berhadapan dengan Kiai Wijang, namun setelah ilmunya berkembang, maka ia berharap bahwa ilmunya itu akan mampu menembus penangkal yang dimiliki oleh Kiai Puput.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Ia mulai mengetrapkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, meskipun tidak langsung dengan kemampuan sepenuhnya. Memang timbul niat Mahisa Murti untuk mengetahui batas tataran ilmunya itu pada saat ilmunya itu menembus kekuatan penangkal yang dimiliki oleh Kiai Puput. Tetapi juga tidak tertutup kemungkinan, bahwa ternyata sampai puncak kemampuannya, ilmunya itu masih tetap tidak dapat menembus penangkal yang dimiliki oleh Kiai Puput. Meskipun Kiai Wijang pernah mengatakannya, bahwa Mahisa Murti mampu mengatasi penangkal ilmunya, namun tidak mustahil bahwa Kiai Puput dapat mengembangkannya lebih baik.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun sampai pada puncaknya. Mahisa Murti benar-benar telah mengetrapkan ilmunya meskipun tidak pada tingkat tertinggi.
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Kiai Puput yang meloncat sambil mengambil jarak itu tertawa Katanya, “Anak muda. Kau ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Kau mampu dengan licik menghisap tenaga dan kekuatan lawanmu. Tetapi kau akan kecewa bahwa kau mencoba mengetrapkannya padaku, karena aku mempunyai penangkal ilmumu itu. Sayang bahwa muridku belum pernah mewarisi kekuatan penangkal itu. Tetapi pada suatu saat, ia akan memilikinya juga. Namun bahwa kau tidak akan pernah melihat kemampuannya itu, karena hari ini adalah hari terakhirmu.”
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang.
Benturan demi benturan telah terjadi. Serangan Mahisa Murti memang bagaikan tertelan kedalam kulit dan daging lawannya tanpa menyakitinya. Bahkan ilmunya yang mampu menghisap tenaga lawannya masih juga belum sampai pada batas untuk menembus penangkal lawannya itu.
Tetapi lawannya pun menjadi gelisah, bahwa Mahisa Murti yang mempergunakan perisai daya tahannya yang ditingkatkannya sampai ke puncak itu pun rasa-rasanya selalu dapat mengatasi rasa sakit pada setiap serangan Kiai Puput menembus pertahanannya. Serangan-serangan Kiai Puput-pun rasa-rasanya sama sekali tidak menyakitinya. Bahkan seakan-akan tidak terasa sama sekali.
Sementara itu, selapis demi selapis Mahisa Murti pun telah meningkatkan ilmunya untuk menghisap kemampuan lawannya itu.
Dengan keyakinan bahwa ia mampu menangkal ilmu Mahisa Murti, maka ternyata Kiai Puput justru menjadi lengah. Ia tidak menghiraukan bahwa Mahisa Murti meningkatkan ilmunya selapis demi selapis, sehingga akhirnya, seperti juga terhadap Kiai Wijang, maka ilmu itu mampu memecahkan penangkalnya yang dimiliki oleh Kiai Puput.
Tetapi Kiai Puput tidak segera menyadarinya. Perlahan-lahan tetapi pasti, Mahisa Murti telah menghisap tenaga dan kemampuan Kiai Puput.
Namun akhirnya, Kiai Puput yang berilmu tinggi itu pun menjadi curiga. Ia merasakan sesuatu yang tidak wajar terjadi pada dirinya. Dengan demikian, maka ia mulai memperhatikan setiap benturan dan sentuhan yang terjadi.
“Anak iblis” Kiai Puput menggeram. Ia segera mengetahui, bahwa kemampuan ilmu Mahisa Murti mampu menembus daya tangkalnya terhadap ilmu itu. Karena itu, maka dengan gelisah Kiai Puput itu telah meloncat surut mengambil jarak.
Mahisa Murti sengaja tidak meloncat memburunya. Masih terngiang pesan Kiai Wijang, bahwa Mahisa Murti tidak membunuh Kiai Puput apabila ia dapat mengatasi ilmunya.
Mahisa Murti sama sekali tidak ingin mengingkari pesan Kiai Wijang yang telah membantunya meningkatkan ilmunya. Karena itu, maka ketika ia melihat Kiai Puput meloncat surut, maka ia justru memberikan kesempatan. Dengan demikian ia berharap agar Kiai Puput sempat menilai apa yang telah terjadi.
Untuk beberapa saat Kiai Puput berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ternyata dugaan Mahisa Murti keliru. Kiai Puput tidak menilai persoalan yang sedang dihadapinya.
Tetapi darahnya justru telah mendidih.
Dengan geram Kiai Puput itu berkata, “Anak muda. Ternyata kau benar-benar keras kepala. Sampai saat ini aku masih mengekang diri. Karena itu, aku ingin memperingatkanmu sekali lagi, agar kau tidak dengan sombong mencoba melawan aku.”
“Jika aku tidak melawan, lalu apa yang akan terjadi atas diriku?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau tidak akan mati” jawab Kiai Puput.
“Lalu apa? Kita akhiri pertempuran ini sampai di sini?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya.” jawab Kiai Puput.
“Jika demikian, baiklah. Aku tidak berkeberatan. Kita lupakan permusuhan ini untuk selanjutnya.” berkata Mahisa Murti.
Ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Namun diluar sadar, mereka menganggap bahwa keputusan itu adalah keputusan yang bijaksana.
Tetapi ternyata Kiai Puput masih berkati, “Tetapi aku masih mempunyai syarat.”
“Maksud Kiai Puput?” bertanya Mahisa Murti dengan jantung yang berdebaran.
“Untuk selamanya kau tidak akan memiliki kemampuan ilmu kanuragan lagi” jawab Kiai Puput.
“Aku memilih mati. Aku kira seperti kau, aku pun tidak akan dapat hidup dengan keadaan yang demikian.”
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana hal seperti itu dapat terjadi atasku?”
“Aku akan membuat kau cacat. Aku akan merusakkan simpul-simpul syarafmu, sehingga hubungan antara kehendak dan syaraf penggerakmu tidak wajar lagi.” jawab Kiai Puput.
Telinga Mahisa Murti menjadi panas. Betapapun ia menyabarkan hatinya, namun kata-kata Kiai Puput itu telah menyulut darah mudanya, sehingga bibirnya serasa bergetar.
“Kiai Puput” sahut Mahisa Murti, “aku masih belum kau kalahkan. Jika kau masih dapat meningkatkan ilmumu, maka aku pun masih mampu melakukannya pula. Karena, itu, jika kau masih menuntut bermacam-macam syarat, apalagi dengan lambaran dendam seperti itu, maka aku akan melayanimu bertempur sampai kapan pun. Aku pertaruhkan apa yang ada padaku untuk menjaga kehormatan dan harga diriku. Kau tentu tahu, bahwa aku lebih baik mati daripada mendapat penghinaan seperti itu.”
Gigi Kiai Puput itu pun gemeretak menahan kemarahannya. Dengan lantang ia berkata, “Anak muda. Jika kau menolak syaratku dan masih berniat melawanku, maka kau akan mati hangus menjadi abu. Aku tidak hanya sekedar mengancammu. Tetapi aku akan benar-benar dapat melakukan atasmu.”
“Aku tidak peduli” jawab Mahisa Murti, “tetapi aku tidak dapat kau hinakan seperti itu. Betapapun lemahnya seekor kucing, tetapi jika ia terinjak kaki, maka ia akan menggeliat juga.”
“Bagus” geram Kiai Puput, “jika demikian bersiaplah. Kau benar-benar akan mengalami kematian yang sangat pahit.”
“Aku atau kau, Kiai” jawab Mahisa Murti.
Kiai Puput yang marah serta dibakar oleh dendam di hatinya itu tidak dapat mengekang diri lagi. Ia pun segera bersiap untuk bertempur dalam tataran puncak kemampuannya.
Ketiga orang yang menyaksikan pertempuran itu kembali menjadi tegang. Semula mereka sempat menarik nafas panjang, ketika ketegangan seakan-akan telah mereda. Namun sudah tentu bahwa anak muda itu tidak akan dengan suka rela membiarkan tubuhnya menjadi cacat. Apalagi cacat untuk sepanjang umurnya. Sementara itu, anak muda itu masih belum dapat dianggap kalah. Bahkan anak muda itu mampu menunjukkan beberapa kelebihan dari Kiai Puput itu sendiri.
Karena itu, maka degup pernafasan mereka pun seakan-akan menjadi semakin cepat, tetapi seakan-akan tertahan-tahan oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Mahisa Murti dan Kiai Puput pun telah bertempur kembali. Namun Kiai Puput yang menyadari betapa berbahayanya ilmu Mahisa Murti, selalu berusaha untuk menghindari setiap benturan. Bahkan Kiai Puput pun merasa bahwa ia tidak akan sempat menyerang untuk mengenai tubuh lawannya, karena dengan demikian akan berarti satu sentuhan. Sementara tubuh lawannya yang muda itu seakan-akan tidak dapat disakitinya, namun justru tenaga dan kemampuannya akan terhisap.
Karena itu, maka Kiai Puput tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menunjukkan puncak kemampuannya selagi tenaga dan kemampuannya masih dapat dianggap utuh.
Beberapa saat kemudian, ketika ia mendapat kesempatan, maka Kiai Puput pun telah meloncat mengambil jarak. Dengan lantang ia pun berkata, “Anak muda. Kali ini adalah kesempatanmu yang terakhir. Karena aku menaruh belas kasihan kepadamu yang masih muda, maka aku memberi kesempatan kepadamu sekali lagi tetapi yang terakhir untuk menyerah. Jika tidak, maka kau benar-benar akan mati dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan.”
“Sudah aku katakan Kiai. Aku tidak akan menghentikan perlawanan dengan syarat yang kau berikan itu. Tetapi jika kau mengancam untuk membunuhku, maka aku pun akan melakukannya juga, karena sebenarnya aku pun tidak ingin membunuhmu jika kau menyadari bahwa langkahmu itu adalah langkah yang salah. Dendam yang berbalas dendam tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tetapi jika kau menyadari akan kesalahanmu itu, maka aku berjanji tidak akan membunuhmu.” berkata Mahisa Murti yang sudah menjadi semakin marah itu.
Tetapi ancaman Mahisa Murti itu membuat Kiai Puput seakan-akan menjadi mata gelap. Dengan lantang ia berbicara, “Anak muda. Lihat, apa yang dapat aku lakukan. Bukan hanya sekedar mencuri kesempatan menghisap kekuatan dan kemampuan lawan, tetapi aku akan dapat membakarmu hidup-hidup.”
“Aku tidak peduli” jawab Mahisa Murti.
“Anak iblis. Buka matamu lebar-lebar. Aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa aku tidak hanya sekedar mengancammu.”
Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Ia melihat orang itu sedang memusatkan nalar budinya. Hanya sesaat. Kemudian kedua telapak tangannya pun dikatubkannya. Ketika kemudian ia menghentakkan tangannya, maka dari telapak tangannya yang terbuka itu seakan-akan telah meluncur segumpal api sebesar buah jeruk pecel ke arah sebatang pohon cangkring yang tumbuh di padang perdu itu.
Mahisa Murti dengan tegang mengikuti peristiwa sebagaimana pernah dilihatnya. Sementara itu ketiga orang pengikut Kiai Puput itu bagaikan membeku di tempat mereka. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa tidak adil jika anak muda itu harus mati oleh dendam yang membakar jantung Kiai Puput.
Demikianlah maka sebagaimana pernah terjadi, maka ketika api itu menyentuh selembar daun cangkring, maka meledaklah bunga api sebagaimana pernah disaksikannya.
Ketiga orang yang menyaksikan pameran ilmu itu menjadi sangat tegang. Jika ilmu itu dilontarkan langsung ke arah Mahisa Murti, maka anak muda itu tentu benar-benar akan menjadi abu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun menyaksikan bunga api yang meledak itu dengan jantung yang berdebaran. Ilmu Kiai Puput, sebagaimana Kiai Wijang memang luar biasa.
Sementara itu, terdengar suara Kiai Puput, “Nah, anak muda. Kau dapat memilih. Menyerah dengan segala akibatnya atau mengalami serangan ilmu seperti yang kau lihat.”
Mahisa Murti memang menjadi tegang. Ia melihat daun dan ranting pohon cangkring itu memang rontok menjadi abu. Tetapi ia melihat dahan-dahan utamanya dan apalagi pohon-pohon cangkring itu masih berdiri tegak. Dengan demikian maka Mahisa Murti mengerti bahwa kekuatan ilmu Kiai Wijang masih jauh lebih tinggi. Ketika Kiai Wijang menghantam pohon gayam dengan ilmunya yang dahsyat itu, maka bukan saja ranting-ranting dan daun-daunnya sajalah yang runtuh menjadi debu. Tetapi juga cabang-cabangnya yang besar runtuh berserakan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berniat untuk mengimbangi pameran kekuatan ilmu itu. Dipusatkannya nalar budinya. Ketika segala kekuatan yang dimilikinya sudah dihimpunnya, maka ia pun mulai mengangkat tangannya. Kedua telapak tangannya memang ditakupkan. Namun kemudian tangannya itu pun dihentakkannya dengan kedua telapak tangannya terbuka menghadap ke batang pohon cangkring yang besar itu.
Dari tangan Mahisa Murti telah meluncur cahaya yang kehijau-hijauan. Mahisa Murti sendiri mengerutkan dahinya, ketika ia melihat cahaya itu jauh lebih terang dari cahaya yang meluncur dari telapak tangannya di saat-saat sebelumnya.
Cahaya itu pun dengan kecepatan yang sangat tinggi telah menyambar batang cangkring yang masih berdiri tegak itu.
Yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Pokok batang Cangkring itu telah meledak dengan dahsyatnya. Pohon cangkring yang besar itu ternyata tidak saja mampu dirobohkan, tetapi batang pohon yang besar itu seakan-akan telah dilemparkan ke udara. Melenting dan kemudian jatuh beberapa langkah dan roboh di tanah. Pohon itu telah terpenggal dari pokoknya yang masih berpegangan pada akar-akarnya yang menancap jauh kedalam bumi.
Ketiga orang pengikut Kiai Puput itu rasa-rasanya seperti sedang bermimpi. Peristiwa itu sangat dahsyat di dalam penglihatan mereka. Batang cangkring yang besar dan roboh, serta pokoknya yang masih menghunjam di tanah, nampak merah membara.
Kiai Puput menyaksikan pameran kekuatan ilmu anak muda itu dengan mulut yang menganga. Ia merasa kepalanya tersuruk ke dalam dunia mimpi yang menakutkan. Anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Selagi Kiai Puput termangu-mangu dicengkam oleh gejolak perasaannya, maka Mahisa Murti telah berdiri menghadap kepadanya sambil berkata, “Nah, Kiai Puput. Kita masing-masing sudah menunjukkan kemampuan dan kekuatan ilmu kita. Terserah kepadamu, apakah kau masih akan memaksakan kehendakmu. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri jika aku menunjukkan kelebihanku kepadamu, Kiai Puput. Tetapi aku yakin, bahwa jika kau benar-benar menyerangku dengan ilmumu itu, kau sendiri akan mengalami kesulitan. Aku akan dapat membentur ilmumu sehingga ilmumu sama sekali tidak akan menyentuhku. Aku dapat menahan jarak atas apimu. Sementara kelebihan ilmuku akan dapat mendorong ilmumu mental dan akan menghancurkan dirimu sendiri.”
Wajah Kiai Puput menjadi tegang. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ia pun tidak akan dapat ingkar, bahwa kekuatan ilmu anak muda itu lebih besar dari kekuatan ilmunya. Bukan karena tenaga dan kemampuannya sudah terhisap oleh anak muda itu, karena ia segera menyadari hal itu. Tetapi ia harus mengakui, anak muda itu lebih baik dari Kiai Puput itu sendiri.
Untuk beberapa saat Kiai Puput berdiri menegang. Ia berdiri di persimpangan antara kenyataan yang dihadapinya serta harga dirinya. Tetapi jika ia berpegang pada harga dirinya, maka tubuhnya akan terbaring di tempat itu. Bahkan mungkin untuk selama-lamanya. Ketiga orang itu pun akan tetap menceriterakan kepada semua orang, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang anak muda, pemimpin Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti dengan sengaja memang memberikan kesempatan kepada Kiai Puput untuk menentukan sikap. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah, karena dapat saja setiap saat Kiai Puput itu dengan serta merta menyerangnya.
Namun ternyata Kiai Puput itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku harus mengakui kelebihanmu anak muda. Aku memang tidak akan dapat mengalahkanmu.”
“Jadi, apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kaulah yang akan menentukan.” jawab Kiai Puput.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana jika aku mengajukan syarat yang sama sebagaimana kau ajukan?”
Wajah Kiai Puput menegang. Namun kemudian katanya, “Jika kau berkeras untuk melakukannya, baiklah anak muda.”
“Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya, “Jadi kau berkeberatan jika aku membuatmu cacat dan kemudian merusakkan simpul-simpul sarafmu agar hubungan antara kehendak dan syaraf-syaraf penggerakmu tidak bekerja dengan wajar?”