“Siapakah sebenarnya yang telah bersalah dalam hal ini? Siapa yang telah memancing persoalan?” bertanya Mayor Bilman kemudian, “Aku akan mengambil tindakan yang pantas terhadap siapa saja yang menghinakan kita. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk membela orang yang justru mencemarkan nama kita di kalangan para bangsawan di Surakarta” Mayor Bilman berhenti sejenak, lalu, “Aku adalah komandan pasukan khusus yang di tempatkan di Surakarta. Tetapi aku pun akan berbicara dengan perwira-perwira yang lain yang menangani masalah yang berhubungan dengan pemerintahan. Bagaimana pendapat mereka. Apakah sebaiknya yang aku lakukan”
Dalam pada itu, ketika Mayor Bilman bersiap untuk menemui perwira-perwira yang lain, maka Pangeran Yudakusuma pun telah siap meninggalkan istana Pangeran Sindurata. Ketika Pangeran itu akan meloncat ke punggung kudanya, ia masih sempat berpesan kepada Pangeran Sindurata, “Paman, persoalan ini untuk sementara dapat kita anggap selesai. Tetapi aku mohon pamanda juga menjaga diri”
“Aku bersiap menghadapi apapun juga” jawab Pangeran Sindurata, “Aku tidak mau noda yang sudah melekat di rumah ini akan bertambah-tambah parah. Aku tidak mau kehilangan Rara Warih”
“Aku mengerti pamanda” jawab Pangeran Yudakusuma, “mudah-mudahan persoalan ini tidak akan berkembang. Atau terjadi bahwa satu dua orang kawan kumpeni yang mati itu akan mengambil sikap sendiri-sendiri”
“Aku akan melayani, apa saja yang akan mereka lakukan” jawab Pangeran Sindurata.
Pangeran Yudakusuma pun mengangguk-angguk. Kemudian ia pun minta diri bersama para Senapati dan pengawalnya. Namun sebenarnyalah Pangeran Yudakusuma masih dipengaruhi oleh peristiwa yang baru saja terjadi itu.
Bahkan Pangeran Yudakusuma masih bimbang, apakah benar kumpeni menganggap bahwa persoalannya memang sudah selesai. Namun demikian ia berkata di dalam hatinya, “Betapapun juga besar jasa orang-orang asing itu, tetapi sudah tentu kami, orang-orang Surakarta tidak akan dapat membiarkan mereka menodai gadis-gadis kami”
Karena itulah, maka Pangeran Yudakusuma pun telah mengambil satu sikap yang pasti menghadapi masalah yang mungkin masih akan berkembang itu.
Dalam pada itu, sepeninggal Pangeran Yudakusuma, maka Pangeran Sindurata itu pun menyandarkan tombaknya pada dinding serambi. Dengan lemahnya ia terduduk di sebuah amben bambu. Ketegangan yang memuncak telah membuat kepalanya bagaikan dihimpit oleh Gunung Lawu.
Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit pun bergegas mendapatkannya. Sambil berjongkok di hadapannya Raden Ayu itu berkata tersendat-sendat, “Aku mengucapkan terima kasih ayahanda. Semuanya berlangsung sebagaimana kita harapkan. Mudah-mudahan Mayor itu menganggap bahwa persoalan ini sebenarnyalah telah selesai”
“Pakaianku telah basah Galihwarit. Karena itu, aku akan menyeberang terus apapun yang akan terjadi. Tenangkan bati anakmu. Ia tentu mengalami ketegangan yang sangat oleh peristiwa ini” sahut Pangeran Sindurata.
Raden Ayu Galihwarit mencium tangan ayahandanya. Kemudian ia pun bangkit masuk ke dalam untuk menjumpai anak gadisnya yang kemudian berada di dalam biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Sindurata, maka Rara Warih benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang sangat. Bahkan kemudian ternyata pada hari itu, Rara Warih sama sekali tidak mau makan. Kecuali ia sama sekali tidak menjadi lapar, namun kematian yang terjadi di longkangan belakang istananya itu membuatnya serasa sangat mual.
“Sudahlah” berkata Raden Ayu Galihwarit, “beristirahatlah. Aku yakin bahwa Mayor itu tidak akan berbuat apa-apa untuk selanjutnya. Bahkan ia tentu akan membuat peraturan yang lebih ketat bagi anak buahnya sehingga dengan demikian, maka gadis-gadis Surakarta akan menjadi lebih aman”
Warih memandang ibundanya sejenak. Terkilas di dalam angan-angannya, bahwa jika gadis-gadis Surakarta menjadi semakin aman, bagaimana dengan mereka yang dengan sengaja membiarkan diri mereka sendiri dihinakan kehormatannya.
Di luar sadarnya, terasa titik-titik air di pelupuk mata gadis itu pun meleleh ke pipinya.
“Sudahlah” desis Raden Ayu Galihwarit, “Jangan memikirkan peristiwa itu lagi. Jika kau dapat tidur, tidurlah. Kau akan mendapatkan ketenangan”
Tetapi bagaimana mungkin Rara Warih akan dapat tidur. Ia memang akan menjadi tenang jika ia dapat tidur barang sejenak. Tetapi kegelisahannya itulah yang membuatnya tidak akan dapat tidur sama sekali.
Meskipun demikian Rara Warih itu pun mencoba berbaring di pembaringannya Namun dengan demikian justru angan angan nya lah yang menerawang ke dunia angan-angannya.
Rara Warih kadang-kadang memang tidur di siang hari. Tetapi justru kekalutan hatinya membuatnya sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Bahkan ia pun kemudian teringat kepada Buntal dan Arum yang dengan tergesa-gesa meninggalkan istana itu.
“Mudah-mudahan mereka selamat” berkata Rara Warih di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Buntal dan Arum telah mendekati padukuhannya di Gebang. Memang tidak ada rintangan apapun di perjalanan. Ketika mereka bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan, ternyata orang-orang itu tidak berbuat apa-apa.
“Aku kira mereka akan menyamun seperti yang pernah aku alami” berkata Arum.
“Mungkin mereka bukan penyamun, tetapi mereka adalah orang-orang yang dipasang oleh prajurit Surakarta sebagai petugas sandi” jawab Buntal, “karena itu mereka hanya mengawasi saja orang-orang yang lewat tanpa berbuat apa-apa”
Arum mengangguk-angguk. Jika benar yang dikatakan oleh Buntal, ia berharap bahwa orang itu tidak mencurigainya.
Demikianlah, maka ketika mereka sampai di tempat, maka mereka pun segera menceriterakan apa yang terjadi kepada Kiai Danatirta. Sejak awal sampai akhir.
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tuhan masih melindungi kalian. Bersyukurlah. Tetapi untuk selanjutnya kalian harus menjadi sangat berhati-hati untuk berhubungan dengan Raden Ayu Galihwarit”
“Dimana kakang Juwiring?” bertanya Arum.
“Ia sedang berada di antara para prajurit yang telah menyatakan diri berpihak kepada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi dengan resmi akan membentuk pasukan berkuda seperti yang pernah kau dengar sebelumnya”
“Hanya sekedar meresmikan. Pasukan itu sebelumnya memang sudah ada” berkata Buntal. Lalu, “Baiklah aku akan menemuinya dan bersama-sama menghadap Ki Wandawa”
“Aku akan bersamamu” berkata Arum.
Kedua anak muda itu pun kemudian mencari Juwiring. Ternyata pembicaraan mengenai diresmikannya satu pasukan berkuda telah selesai. Dalam waktu dekat pasukan itu akan disusun dan diresmikan, sebagai satu perkembangan dari kelompok-kelompok laskar berkuda yang memang sudah ada.
Karena itu, maka Buntal dan Arum pun kemudian dapat menemuinya dan menceriterakan apa yang telah terjadi di istana Pangeran Sindurata.
“Gila” geramnya, “jadi kumpeni itu telah berusaha menodai kehormatan diajeng Warih?”
“Ya” jawab Buntal
Juwiring menggeretakkan giginya. Kemudian katanya, “Untunglah bahwa kalian sedang berada di tempat itu dan berhasil menggagalkannya”
“Meskipun demikian, kami tidak mengetahui apakah yang terjadi kemudian. Apakah kumpeni akan mengambil langkah-langkah tertentu karena dua orang kawannya telah terbunuh” sahut Buntal.
Raden Juwiring menjadi gelisah. Mungkin kumpeni akan mengambil satu sikap yang keras.
“Mudah-mudahan rencana Raden Ayu dapat berhasil” berkata Buntal kemudian, “Pangeran Sindurata telah menyatakan kesediaannya untuk mengambil alih persoalan ini. Pangeran itulah yang akan bertanggung jawab seolah-olah Pangeran Sindurata lah yang telah melakukannya”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Sebenar-nya Pangeran Sindurata telah terlalu tua untuk melibatkan diri dalam persoalan ini. Tetapi bahwa ia bersedia melindungi kalian adalah satu hal yang mendebarkan. Satu perkembangan sikap yang sebelumnya tidak pernah dapat dibayangkan. Namun aku tidak dapat membayangkan, bagaimanakah keadaannya jika penyakitnya itu sedang kambuh”
Buntal dan Arum mengangguk-angguk. Sementara itu Juwiring pun berkata, “Kita akan menghadap Ki Wandawa”
Ki Wandawa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika ia mendengar laporan tentang peristiwa itu. Ia pun menjadi gelisah, bahwa persoalan itu akan dapat berkembang sehingga Raden Ayu Galihwarit akan mengalami kesulitan.
“Aku akan memerintahkan petugas sandi untuk mengamati. Mungkin akan dapat di ambil kesimpulan dari keadaan istana itu yang dapat dilihat dari luar. Adalah berbahaya jika salah seorang dari kalian akan langsung memasuki istana itu. Mungkin kumpeni akan memasang pengawas khusus yang akan dapat menjebak kalian yang memasuki regol itu. Agaknya kumpeni akan dapat mengambil cara yang paling lembut, tetapi juga yang paling kasar untuk mengetahui apa yang telah terjadi”
Juwiring, Buntal dan Arum memang hanya dapat menunggu. Seperti yang dikatakan oleh Ki Wandawa, maka akan sangat berbahaya jika salah seorang dari mereka memasuki istana Pangeran Sindurata.
Tetapi dalam pada itu, orang-orang yang kemudian dikirim oleh Ki Wandawa tidak melihat sesuatu yang lain pada istana itu. Mereka masih juga melihat Raden Ayu Galihwarit keluar dari pintu regol istananya. Merekapun melihat Rara Warih yang sedang menyiram bunga di halaman depan. Dan mereka pun dapat melihat Pangeran Sindurata yang sibuk dengan burung-burungnya.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Raden Juwiring, maka anak muda itu pun bergumam, “Syukurlah. Ternyata bahwa mereka tidak mengalami bencana karena peristiwa itu”
Meskipun demikian Ki Wandawa masih belum mengijinkan salah seorang dari ketiga anak muda itu untuk mengunjungi Raden Ayu Galihwarit.
“Kumpeni dan para Senapati prajurit di Surakarta mempunyai penciuman yang sangat tajam” berkata Ki Wandawa, “Namun bukankah sampai saat ini keadaan keluarga itu masih utuh. Tetapi kita tidak tahu apakah yang ada di dalam istana itu. Mungkin ada sekelompok petugas sandi yang dipasang kumpeni, atau bahkan prajurit dengan senjata yang siap untuk menangkap orang-orang yang mereka curigai”
Juwiring dan adik-adik seperguruannya itu mengangguk-angguk. Merekapun menyadari bahaya yang tersembunyi di dalam istana itu, karena sulit untuk melihat keadaan langsung di balik dinding”.
Namun dalam pada itu, hubungan Raden Ayu Galihwarit dengan para perwira pun masih saja berlangsung. Mayor Bilman merasa bahwa saingannya yang paling kasar dan bahkan mengancam akan membunuhnya justru telah terbunuh. Meskipun perwira yang terbunuh itu pangkatnya masih dua lapis di bawahnya, namun seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit, bahwa perwira itu akan dapat membunuhnya.
Sejalan dengan itu, keprihatinan Rara Warih pun masih tetap membuat hatinya setiap kali terasa pedih. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Apalagi ia menyadari, bahwa yang dilakukan oleh ibundanya itu telah memberikan banyak sekali keuntungan bagi perjuangan Pangeran Mangkubumi. Dengan sikap dan tingkah lakunya. Raden Ayu Galihwarit telah dapat menyadap berbagai keterangan penting dari mulut kumpeni yang berbau minuman keras.
Tetapi sebagai seorang gadis, maka hidupnya benar-benar telah tersiksa.
Namun dalam pada itu, yang tidak diketahui oleh Rara Warih, ibundanya pun telah dicengkam oleh satu perasaan ngeri jika ia mengingat jalan hidup yang ditempuhnya. Peristiwa yang terjadi di rumahnya merupakan satu peringatan yang paling berat baginya. Karena tingkah lakunya, maka orang menganggap, ia bertanggung jawab atas sikap kumpeni yang terbunuh itu terhadap anak gadisnya. Masih terngiang bahwa hampir setiap orang berkata kepadanya bahwa Rara Warih dianggap dapat diperlakukan apa saja seperti dirinya sendiri. Jika ibunya telah bersedia melakukan apa saja, bahkan menyerahkan harga dirinya, maka anaknya pun akan berbuat demikian pula.
Anggapan itulah yang terasa sangat menyakitkan. Terkilas di hati Raden Ayu untuk menghentikan tingkah lakunya, justru karena ia pun merasa menjadi semakin tua. Namun dalam keadaan yang semakin gawat ia merasa perlu untuk tetap mendengar rencana-rencana yang dibuat oleh kumpeni.
Ketika kematian dua orang kumpeni itu perlahan-lahan telah dilupakan, baik oleh para Senapati prajurit Surakarta, maupun kumpeni yang suasananya dengan sengaja telah dibuat oleh Mayor Bilman, maka mulailah kumpeni dan para prajurit Surakarta membuat rancangan-rancangan baru untuk mengamankan Surakarta dari para pemberontak. Namun disamping rencana yang akan disusun itu, mereka masih saja selalu sibuk mencari siapakah sebenarnya yang pantas dicurigai di antara mereka yang ikut duduk dalam meja perundingan dan perencanaan.
Namun nampaknya segalanya masih serba gelap. Tidak ada seorang pun yang pantas untuk dicurigai berkhianat di antara mereka.
Namun demikian, Surakarta memang tidak akan tinggal diam. Semakin lama pengaruh Pangeran Mangkubumi terasa menjadi semakin tersebar. Rencananya secara terpadu dengan gerakan Raden Mas Said membuat kumpeni semakin gelisah.
“Kita harus mengambil tindakan yang cepat dan tuntas” berkata seorang perwira kumpeni, “sebaiknya kita menusuk langsung ke jantung kekuatan Pangeran Mangkubumi. Pangeran itu telah menghina kita dengan menduduki kota ini selama setengah hari”
Persoalan yang dilontarkannya itu ternyata mendapat tanggapan yang baik. Kumpeni berniat untuk langsung mengepung Gebang, tempat kedudukan induk pasukan Pangeran Mangkubumi.
“Kita akan menghubungi Pangeran Yudakusuma” berkata perwira kumpeni itu, “Tetapi rahasia ini harus kita simpan sebaik-baiknya”
Dalam pertemuan terbatas, maka mereka telah merencanakan untuk melakukan satu gerakan yang tiba-tiba. Gebang akan dikepung pada saat matahari terbit. Kemudian tempat itu akan dihancur lumatkan.
“Kegagalan kita menghancurkan pasukan Raden Mas Said akan menjadi pengalaman” berkata perwira itu. Kemudian, “Perencanaan yang lebih terperinci akan kita serahkan kepada Mayor Bilman. Ia akan membawa pasukan khususnya ke Gebang dan dengan tandas melumatkan pasukan pemberontak itu”
“Jika demikian, aku memerlukan kekuasaan yang lebih besar. Aku akan membicarakan dengan Pangeran Yudakusuma” berkata Mayor Bilman.
“Segalanya harus direncanakan sebaik-baiknya” jawab perwira kumpeni yang mencemaskan tersebarnya pengaruh Pangeran Mangkubumi.
Para perwira itu pun kemudian mengadakan pertemuan dengan para Senapati di Surakarta yang dipimpin langsung oleh Pangeran Yudakusuma. Berbagai kemungkinan telah dibahas. Terutama hambatan yang mungkin terjadi.
“Tidak ada yang mengetahuinya selain kita yang berada di sini” berkata Mayor Bilman, “segalanya akan terjadi dengan tiba-tiba. Kita tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan seperti pada saat kita akan mengepung kedudukan Raden Mas Said. Dengan demikian maka petugas sandi mereka akan mengetahui, apa yang akan kita lakukan. Berdasarkan atas perhitungan dan pertimbangan yang cermat, mereka ternyata mampu menduga, kemana kita akan pergi”
“Mungkin” jawab Pangeran Yudakusuma, “Tetapi mungkin pula, semakin banyak orang yang mengetahui rencana kita, maka di antara mereka adalah pengkhianat. Karena itu, maka dalam pertemuan yang terbatas ini kita dapat memperkecil kemungkinan itu. Aku yakin, tidak ada pengkhianat di antara kita sekarang ini”
“Bagus” sahut Mayor Bilman, “Kita akan menjatuhkan perintah untuk dilaksanakan pada hari itu juga. Tidak ada kesempatan untuk menyampaikan berita itu seandainya di antara para prajurit terdapat pengkhianat”
Tetapi Pangeran Yudakusuma memang ingin berhati-hati. Dalami gerakan yang besar, Surakarta telah pernah gagal sampai dua kali. Yang pertama mereka gagal menghancurkan pasukan Pangeran Mangkubumi yang sebagian besar karena pengkhianat-an dari dalam pasukannya sendiri. Pangeran Ranakusuma telah menyerang pasukan Surakarta dari sayap pasukan itu sendiri. Kemudian kegagalan pasukan Surakarta menghancurkan pasukan Raden Mas Said. Bahkan pasukannya menderita kerugian yang sangat besar, yang bersamaan dengan itu, justru pasukan Pangeran Mangkubumi telah menduduki kota.
Karena itu, maka seperti yang dikatakan oleh Bilman, maka persoalannya kemudian hanya diketahui oleh orang-orang yang, sangat terbatas. Pada saatnya perintah akan diberikan tanpa menyebut arah gerakan pasukan dalam keseluruhan. Baru kemudian pasukan itu akan mengerti dengan sendirinya setelah pasukan itu bergerak.
Pada pertemuan berikutnya, Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman telah menentukan waktunya, pula. Dua hari lagi mereka akan berangkat. Mereka akan meninggalkan Surakarta lewat senja, langsung mengepung Gebang. Mayor Bilman akan disertai dengan seorang kapten yang pilih tanding
Yang dikenal di antara kumpeni sebagai seekor harimau salju yang nggegirisi. Kapten Kenop. Bahkan tersiar berita di antara kawan-kawannya, bahwa ketika kapalnya disandera di cegat oleh kapal bajak laut yang ditakuti, maka justru Kapten Kenop lah yang meloncat memasuki kapal bajak laut itu dan menghancurkan isinya.
Demikianlah, para perwira kumpeni dan prajurit Surakarta yang sangat terbatas telah mengolah laporan-laporan dari para petugas sandi untuk mengetahui keadaan. Mereka mempelajari medan dan suasana tanpa minta keterangan khusus dari pihak manapun juga, agar rencana mereka tidak merembes sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi.
Namun dalam pada itu. Mayor Bilman yang menganggap bahwa tugas mereka yang akan dilakukan itu merupakan tugas yang amat berat, maka ia masih juga menyisihkan kesempatan untuk memuaskan keinginannya. Pada malam sebelum pasukannya berangkat, Mayor itu telah tenggelam dalam satu pesta yang mewah. Sementara itu, Mayor Bilman merasa tidak ada lagi perwira kumpeni yang dengan kasar telah mencoba menyainginya. Mayor itu tidak berkeberatan jika ada satu dua orang perwira yang juga bergaul rapat dengan Raden Ayu Galihwarit. Namun tidak dengan sikap yang licik, dan bahkan berusaha untuk membunuhnya pula.
Dalam pada itu, ketika malam telah larut, maka Mayor Bilman sendiri telah mengantarkan Raden Ayu Galihwarit kembali ke istana Pangeran Sindurata.
Tetapi dalam hal yang demikian, penggraita Raden Ayu Galihwarit yang tajam, telah mencium satu hal yang mendebarkan hati. Meskipun pesta yang demikian itu sering diadakan oleh kumpeni, namun dalam pesta yang mewah dan berlebih-lebihan, kadang-kadang dikandung satu isyarat akan ada tugas yang berat.
Karena itu, ketika kereta itu memasuki halaman istana Pangeran Sindurata, Raden Ayu itu berkata, “Besok aku akan datang ke loji Mayor”
“Untuk apa?” bertanya Mayor Bilman.
“Kesempatan kita hanya sedikit sekali malam ini. Pesta itu sendiri terlalu lama, sehingga yang dapat kita lakukan sama Sekali tidak menarik” berkata Raden Ayu Galihwarit.
Mayor Bilman berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Besok pagi aku terlalu sibuk”
“Besok malam maksudku” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Tuan menjemput aku kemari. Aku akan datang ke loji. Perwira yang kasar itu tidak akan mengganggu lagi”
Tetapi Mayor Bilman menjadi gelisah. Katanya, “Jangan. Kau tidak perlu datang ke loji”
“Kenapa? Bukankah bukan untuk yang pertama kalinya aku datang ke loji? Apakah di dalam loji itu sudah terdapat perempuan-perempuan lain? Atau tuan telah memanggil isteri tuan dari negeri tuan?” bertanya Raden Ayu.
“Tidak. Tidak” jawab Mayor itu, “tidak ada perempuan. Tidak ada isteri di sini. Kau boleh datang ke loji seperti biasanya kau datang. Siang atau malam. Tetapi jangan besok”
Raden Ayu Galihwarit menjadi semakin tertarik kepada keterangan Mayor itu. Karena itu, meskipun kereta sudah berhenti, namun Raden Ayu itu masih belum turun dari kereta.
“Mayor” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku telah banyak berhubungan dengan perwira-perwira kumpeni. Tetapi aku menganggap mereka sebagai orang yang berjalan lewat sekilas di serambi hatiku. Aku menerima mereka karena mereka memiliki sesuatu yang aku tidak mempunyainya. Mereka dapat menghias rumahku dengan barang-barang mewah yang tidak terdapat di negeri ini” Raden Ayu itu terdiam sejenak, lalu, “Tetapi bagiku Mayor adalah lain. Mayor memiliki sifat kebapaan sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Ranakusuma. Kejantanan dan sifat kesatria sebagaimana dikagumi oleh orang-orang Surakarta. Karena itu, Mayor bagiku bukan sekedar pejalan kaki yang singgah sejenak di hatiku. Pertemuan yang mewah seperti malam ini hanya mengundang kerinduanku saja kepada Mayor jika malam nanti aku berbaring sendiri di pembaringan”
Terasa hati Mayor yang garang itu tersentuh. Sambil menepuk pundak Raden Ayu Galihwarit Mayor itu berkata, “Kau memang lembut Raden Ayu. Aku tahu, kau telah kehilangan suamimu. Karena itu kau merindukannya. Jika beberapa hal dari sifat suamimu terdapat padaku, adalah wajar sekali kau menganggap aku akan dapat menjadi gantinya, sementara aku yang jauh dari keluarga di seberang yang dibatasi oleh samodra dan benua, menemukan kelembutan hati di sini. Tetapi aku terpaksa tidak dapat menerimamu besok”
“Mayor akan pergi? Untuk satu tugas yang berat?” bertanya Raden Ayu Galihwarit
Mayor itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu memeluknya sambil menangis tertahan, “Mayor jangan pergi. Mayor tidak usah menghiraukan peperangan ini. Mayor dapat memerintahkan anak buah Mayor untuk menyerang Raden Mas Said dan menghancurkannya”
Hati Mayor Bilman itu menjadi semakin berdebar-debar. Air mata itu membuat hatinya yang sekeras baja menjadi luluh. Raden Ayu Galihwarit memang dapat mengisi kesepiannya selama ia bertugas di Surakarta, sehingga karena itu, ia memang mempunyai tanggapan yang lain terhadap Raden Ayu itu dari perempuan-perempuan lain yang pernah dikenalnya.
“Kau perintahkan kapten-kaptenmu untuk melakukan tugas itu Mayor” tangis Raden Ayu.
Mayor Bilman menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang dapat memerintahkan satu dua orang kapten dalam pasukan khusus itu untuk menyerang Raden Mas Said. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian jika kami harus berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri”
Jantung Raden Ayu itu bagaikan berhenti berdenyut Namun ia masih harus bermain sebaik-baiknya. Karena itu, maka ia pun segera berusaha menahan perasaannya dan berkata, “Apalagi untuk melawan Pangeran Mangkubumi. Bukankah kau mempunyai kekuasaan di sini? Mayor, aku tidak mau kehilangan lagi. Meskipun aku belum pernah memiliki Mayor sepenuhnya, tetapi aku menjadi ketakutan, bahwa aku akan kehilangan yang belum aku miliki itu”
Mayor Bilman mengusap kening Raden Ayu yang basah sambil berkata, “Sudahlah Raden Ayu. Aku adalah seorang prajurit. Tugasku adalah menjaga dan melindungi orang-orang yang lemah. Saat ini, Surakarta benar-benar dalam keadaan gawat Aku mempunyai kewajiban sebagai seorang kesatria seperti yang kau katakan menurut tanggapan orang Surakarta. Aku harus melindungi rakyat Surakarta dari ancaman pemberontakan yang nafsu ketamakan bagi diri pribadi seperti yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi”
“Tetapi kau harus kembali dengan selamat” desis Raden Ayu.
“Aku pergi untuk membinasakan pemberontak itu. Bukan untuk bunuh diri” jawab Mayor itu.
Sejenak keduanya terdiam. Terasa dada Mayor Bilman, dada Raden Ayu itu berdebaran. Meskipun Mayor itu tidak tahu sebab yang sebenarnya. Tetapi ia menganggap bahwa Raden Ayu itu benar-benar telah digelisahkan oleh kepergiannya.
“Sekarang, aku persilahkan Raden Ayu untuk beristirahat” berkata Mayor Bilman, “jika aku mengharap Raden Ayu besok malam tidak usah datang, sama sekali bukan karena aku tidak mau menerima Raden Ayu”
Raden Ayu Galihwarit mengusap air matanya. Mayor Bilman lah yang turun lebih dahulu. Kemudian melingkari kereta itu, ia membantu Raden Ayu turun dari keretanya.
“Selamat malam Raden Ayu” desis Mayor itu, “semoga Raden Ayu bermimpi indah”
“Selamat malam Mayor” suara Raden Ayu serak, “Aku tidak mau kehilangan lagi”
Mayor itu tersenyum. Namun kemudian ia pun naik ke keretanya dan sejenak kemudian kereta itu berderap pergi. Mayor Bilman masih melambaikan tangannya ketika ia keluar dari regol halaman istana Pangeran Sindurata.
Namun, demikian kereta itu lenyap, maka Raden Ayu Galihwarit itu bergegas pergi ke biliknya. Ia masih melihat penjaga regol menutup pintu. Namun ia tidak menghiraukannya lagi.
Sebelum Raden Ayu Galihwarit mengetuk pintu biliknya, ternyata Rara Warih telah membukanya. Agaknya gadis itu masih belum tidur.
Raden Ayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat mata Rara Warih yang basah dan kemerah-merahan. Gadis itu tentu telah menangis untuk waktu yang lama.
Raden Ayu Galihwarit mencium kening anak gadisnya setelah ia menutup pintu kembali. Namun terasa pada Rara Warih pipi ibunya itu menjadi sangat kasar.
Raden Ayu Galihwarit mengerti, kenapa anak gadisnya menangis. Tetapi ia memang harus menahan hati. Ia sudah bertekad mengorbankan dirinya, kehormatannya dan apapun juga untuk menebus dosa-dosa yang pernah dilakukan. Meskipun kadang-kadang ia bertanya kepada diri sendiri, apakah ia memang harus menebus dosa-dosanya dengan dosa-dosa yang baru.
Namun dalam pada itu, sebuah kegelisahan telah bergejolak di dalam dadanya, mengatasi perasaannya yang lain. Karena itu, setelah ia duduk dan menenangkan hatinya, maka Raden Ayu itu pun kemudian berkata, “Warih. Kita menghadapi satu kesulitan”
Warih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya.
“Aku kira saudara-saudara angkat Juwiring itu masih belum akan datang kemari untuk satu dua pekan ini. Namun ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada pasukan Pangeran Mangkubumi” berkata ibundanya lebih lanjut.
Rara Warih memandang ibundanya sekilas. Namun rasa-rasanya ia tidak tahan memandang wajah ibunya yang cantik. Ia membayangkan di luar sadar, apa saja yang telah terjadi dengan ibundanya itu selagi ia berada di antara para perwira kumpeni.
Namun ibundanya seakan-akan tidak menghiraukannya. Bahkan katanya kemudian, “Warih. Meskipun demikian, aku akan menunggu sampai esok pagi. Jika Arum dan Buntal tidak datang, maka kita harus mengambil sikap. Kita tidak boleh terlambat”
Warih mulai tertarik kepada kata-kata ibundanya itu, sehingga karena itu, maka ia pun telah mengangkat wajahnya pula. Bahkan ia mulai bertanya, “Apakah kumpeni akan menyerang Pangeran Mangkubumi?”
“Ya” jawab ibundanya, “Mayor Bilman telah mengatakan, bahwa ia sendiri akan memimpin pasukannya. Jika tidak langsung menghadapi pamandamu Pangeran Mangkubumi, maka ia akan dapat memerintahkan perwira-perwira bawahan-nya. Namun kali ini pasukan itu akan berhadapan langsung dengan Pangeran Mangkubumi”
“Apakah itu berarti bahwa kumpeni akan menyerang Gebang?” bertanya Rata Warih
Wajah Raden Ayu yang cantik itu menjadi tegang. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Aku memang berkesimpulan demikian Warih”
Rara Warih menjadi termangu-mangu. Peristiwa yang telah terjadi di istana itu, dengan terbunuhnya dua orang kumpeni, memang telah membatasi kunjungan Buntal dan Arum.
Karena itu, maka hampir diluar sadarnya ia bergumam, “Tetapi bagaimana jika besok Buntal dan Arum itu tidak datang ibunda?”
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam. Wajahnya menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk menyampaikan berita ini kepada pasukan Pangeran Mangkubumi” ia berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi aku masih akan menunggu. Jika nasib pasukan itu baik, maka besok Buntal dan Arum, atau salah seorang dari keduanya akan datang ke rumah ini”
Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kegelisahan yang sangat telah menghentak-hentak di dalam dadanya. Apakah jadinya jika pasukan Pangeran Mangkubumi tidak mendapat keterangan tentang pasukan yang akan menyergapnya.
“Ibunda” bertanya Rara Warih kemudian, “Apakah ibunda dapat menyebut secara terperinci, waktu dan kekuatan pasukan yang akan pergi ke Gebang?”
Raden Ayu Galihwarit menggeleng. Jawabnya, “Aku hanya tahu bahwa besok malam Mayor Bilman tidak ada di loji, karena ia harus memimpin pasukan khususnya untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi”
Rara Warih menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berdesis, “Mudah-mudahan petugas sandi yang lain akan dapat mencium rencana itu”
“Tetapi agaknya rencana itu dirahasiakan sekali” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Tidak ada persiapan apapun yang nampak. Tidak seorang perwira pun yang pernah menyebut meskipun secara samar-samar. Bahkan dalam pesta di antara mereka tidak ada yang memperbincangkannya. Biasanya, meskipun hanya satu dua kalimat, para perwira itu akan menyebut-nyebut rencana besar yang akan mereka lakukan. Agaknya kegagalan mereka di Penambangan membuat mereka menjadi semakin berhati-hati, dan bahkan mungkin telah mencurigai setiap orang yang pernah berhubungan dengan kumpeni. Nampaknya ada pihak yang kurang puas dengan sikap Mayor Bilman atas kematian dua orang perwira di halaman rumah ini”
Rara Warih menundukkan kepalanya, kepahitan yang menghimpit jantungnya terasa semakin pedih. Sikap ibundanya, namun ternyata banyak memberikan manfaat kepada pasukan Pangeran Mangkubumi yang sedang berjuang bagi kebebasan rakyat Surakarta, merupakan masalah yang tidak akan terpecahkan bagi perasaannya.
“Sudahlah Warih” berkata ibundanya, “sekarang beristirahatlah. Tidak ada yang dapat kita lakukan malam ini. Kita memang harus menunggu pagi, kesimpulan apapun yang akan kita ambil”
Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Ibundanya lah yang kemudian bangkit Mengenakan pakaian tidurnya. Dan kemudian berbaring di pembaringannya.
Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga, kedua orang ibu dan gadisnya itu sulit sekali memejamkan matanya oleh kegelisahan. Mereka selalu di bayangi oleh peristiwa yang mengerikan karena sergapan yang tiba-tiba akan dilakukan. Meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka dapat menduga, bahwa Bilman akan berangkat lewat senja. Mengepung Gebang di malam hari dan demikian fajar menyingsing, mereka menyergap dengan ledakan-ledakan senapan, didahului oleh dentuman meriam-meriam kecil yang akan mereka bawa, ditarik dengan kuda-kuda yang tegar.
Namun Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian berkata di dalam hatinya, “Tetapi pasukan Pangeran Mangkubumi tidak terdiri dari anak-anak. Mereka tentu mempunyai cara untuk menghindarinya. Kekuatan mereka cukup besar untuk melawan. Selebihnya, tentu ada petugas sandi lain yang akan dapat menyadap rencana ini”
Tetapi betapapun juga Raden Ayu itu berusaha memejamkan matanya, namun ia tidak berhasil tidur barang sekejappun. Raden Ayu itu tidak yakin bahwa rahasia yang disimpan terlalu rapat itu dapat didengar oleh seseorang yang akan dapat menyampaikannya kepada pasukan Pangeran Mangkubumi. Bahkan nampaknya beberapa orang perwira penting pun tidak tahu apa-apa tentang rencana itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang perwira dalam tugas sandi kumpeni di Surakarta, agak sulit menerima sikap Mayor Bilman atas kematian kedua orang perwira kumpeni. Bahkan dengan ketajaman penciuman tugas sandi, seorang perwira telah mengetahui hubungan yang erat sekali antara Mayor Bilman dengan Raden Ayu Galihwarit. Penyelidikan selanjutnya telah membawa mereka pada satu kesimpulan, bahwa ada persaingan antara Mayor itu dengan perwira yang telah terbunuh di istana Pangeran Sindurata.
Meskipun petugas sandi itu tidak menyangsikan kesetiaan Mayor Bilman kepada tugasnya, namun agaknya dalam pengusutan kedua orang perwira yang mati terbunuh itu terdapat sesuatu yang kurang wajar.
Namun demikian, petugas sandi itu tidak dapat berbuat sesuatu yang akan mengganggu rencana yang sudah tersusun. Bagi petugas sandi yang mengenal Mayor itu dengan baik menganggap bahwa Mayor Bilman yang juga atasannya itu adalah seorang prajurit yang luar biasa. Kemampuannya di medan dan kemampuannya berpikir memperhitungkan muslihat peperangan, telah diakui, sehingga ia mendapat tugas memimpin sepasukan yang dikenal sebagai pasukan khusus yang disegani.
Yang kemudian dilakukan oleh petugas sandi itu kemudian adalah menugaskan orang-orangnya, terutama yang pribumi untuk mengawasi istana Pangeran Sindurata. Mungkin terdapat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan mungkin ada kesengajaan untuk membunuh kumpeni yang memasuki istana itu.
“Mayor Bilman juga sering datang ke istana itu” berkata salah seorang petugas, “bahkan malam hari. Tetapi ia selalu keluar dengan selamat”
“Awasi saja. Aku hanya menduga ada sesuatu yang patut diamati. Memang mungkin sekali, kesimpulan Mayor Bilman benar. Yang terjadipun benar seperti apa yang kita ketahui. Tetapi naluriku menuntut untuk mengawasinya” perintah perwira dalam tugas sandi itu.
Karena itulah, maka istana itu memang selalu diawasi oleh para petugas sandi yang justru orang-orang Surakarta sendiri.
Sementara itu, pada malam yang menegangkan itu, baik Raden Ayu Galihwarit, maupun Rara Warih memang tidak dapat tidur. Betapapun mereka berusaha untuk menyisihkan kegelisahan di hati. Mereka berbaring di pembaringan dengan angan-angan yang bergejolak. Hampir tidak sabar mereka me nunggu sampai hari esok.
Ketika matahari mulai mewarnai langit di sebelah Timur, maka Rara Warih pun segera pergi ke pakiwan. Air yang dingin membuat tubuhnya menjadi agak segar. Namun terasa betapa tubuhnya sangat letih oleh perasaan yang gelisah.
Ketika Rara Warih telah selesai dengan membenahi diri, maka ibundanya dengan nada cemas berkata, “Mudah-mudahan salah seorang dari kedua saudara angkat Juwiring itu datang”
Rara Warih tidak menyahut. Tetapi agaknya mereka masih harus memperhitungkan keadaan.
Hampir di luar sadarnya, dalam kegelisahan Rara Warih itu pun kemudian berjalan-jalan di halaman. Rasa-rasanya ia memang menuggu kedatangan seseorang sebagaimana diharapkan oleh ibundanya. Bahkan Rara Warih hanya berjalan-jalan saja di halaman lingkungan halaman istananya, namun ia pun telah berada di pintu gerbang yang terbuka.
Dilihatnya orang-orang yang lewat. Satu dua dengan membawa barang-barang yang akan mereka perjual belikan di pasar. Ada yang membawa barang anyaman, tetapi ada juga yang membawa hasil sawah dan ladangnya, tetapi ada juga ada yang membawa hasil sawah dan ladang mereka. Sayur sayuran dan buah-buahan.
Namun dalam pada itu di luar kehendaknya, dan secara kebetulan Rara Warih melihat dua orang yang duduk agak jauh dari pintu gerbang itu. Keduanya agaknya memang sedang mengawasi pintu gerbangnya.
Rara Warih memang berpura-pura tidak menghiraukannya. Tetapi setiap kali ia melihat orang itu memandanginya. Bahkan kemudian salah seorang dari keduanya berbicara sambil memandang Rara Warih yang berusaha untuk memberikan kesan, bahwa ia tidak mengetahui kehadiran kedua orang itu.
Tanggapan Rara Warih atas dua orang itu sangat menggelisahkan. Keduanya tentu bukan kawan-kawan Buntal dan Arum. Menilik sikap mereka, kedua orang itu sedang mengawasi regol istananya.
Meskipun demikian Rara Warih memang menunggu sejenak. Jika keduanya adalah orang-orang baru yang akan menghubungi-nya, karena sesuatu hal telah menghalangi Arum dan Buntal, maka keduanya tentu akan datang kepadanya, atau salah seorang dari mereka.
Tetapi keduanya sama sekali tidak berusaha membuat hubungan dengan Rara Warih. Bahkan nampak keduanya mengawasinya dengan sungguh-sungguh.
Rara Warih pun kemudian masuk ke dalam. Kepada ibundanya ia mengatakan apa yang dilihatnya.
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Rara Warih, “Agaknya keadaan memang menjadi semakin gawat. Aku kira ada pihak yang memang sudah mencurigai aku dalam keadaan seperti ini, apalagi karena kematian kedua orang kumpeni itu”
“Jadi seandainya Buntal dan Arum itu datang juga, apakah hal itu tidak akan berbahaya baginya” bertanya Warih.
Raden Ayu Galihwarit merenung sejenak. Lalu katanya, “Kita dalam kesulitan. Berita bahwa kumpeni akan menyerang Gebang harus segera disampaikan. Sementara pengawasan atas rumah ini menjadi semakin ketat”
“Apakah mungkin ada sumber lain yang akan dapat menyampaikan berita tentang rencana serangan itu ibunda?” bertanya Rara Warih.
“Mudah-mudahan petugas sandi Pangeran Mangkubumi dapat menangkap rencana itu lewat sumber lain” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Tetapi rasa-rasanya rencana ini memang tertutup rapat-rapat. Sebenarnya aku agak cemas bahwa tidak ada sumber lain yang dapat menyampaikan rencana ini” desis ibundanya.
“Tetapi bukankah pasukan pamanda Pangeran Mangkubumi cukup kuat seandainya dengan tiba-tiba saja kumpeni menyerangnya?” Atau di sekitar daerah Gebang itu tentu sudah diawasi dengan ketat sehingga para pengawas itu akan melihat kedatangan satu pasukan yang besar mendekati Gebang” berkata Rara Warih.
“Meskipun demikian kesempatannya menjadi kecil sekali untuk dapat menyusun perlawanan atau jika mereka hendak meninggalkan daerah itu. Pasukan berkuda akan dengan cepat mengepungnya. Sementara senjata-senjata yang akan mampu menghancurkan Gebang sudah siap pula bersama pasukan berkuda itu Mereka tentu membawa meriam-meriam kecil yang dapat melontarkan peluru yang akan menghancurkan pertahanan Pangeran Mangkubumi, sebelum pasukannya menyerang memasuki daerah pertahanan itu” jawab ibundanya.
Rara Warih pun terdiam. Sebagaimana ibundanya, keduanya tidak pernah berada di medan, sehingga keduanya sebenarnya kurang dapat membayangkan apa yang dapat terjadi. Tetapi sebagai isteri seorang Senapati Agung. Raden Ayu Galihwarit pernah juga mendengar, bagaimana Pangeran Ranakusuma berada di peperangan. Pangeran Ranakusuma pada masanya, kadang-kadang menyatakan kebanggaannya juga kepada isterinya apa yang pernah dicapai dengan satu siasat yang matang di peperangan.
Karena itu, maka rasa-rasanya Raden Ayu itu pernah juga membayangkan apa yang dapat terjadi di satu medan.
Dalam kegelisahan itu, maka katanya, “Aku mengharapkan dua hal yang sangat bertentangan”
Rara Warih memandang ibundanya sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan ragu-ragu, “Apakah yang ibunda maksudkan?”
“Di satu pihak aku mengharap agar Buntal dan Arum tidak usah mendekati rumah ini lebih dahulu. Tetapi di lain pihak, aku mengharap kedatangannya agar berita tentang serangan ke Gebang itu dapat disampaikannya kepada pasukan Pangeran Mangkubumi” jawab Rara Warih.
Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Memang sesuatu yang rumit untuk dipecahkan.
Dalam pada itu. kedua orang itu pun kemudian telah berada di regol pula, karena Raden Ayu ingin melihat kedua orang yang disebut oleh Rara Warih. Ternyata kedua orang itu masih juga berada di tempatnya. Sementara Raden Ayu Galihwarit dan Rara Warih seakan-akan sedang menunggu seseorang yang membawa barang dagangan yang dikehendakinya.
Untuk melenyapkan prasangka orang-orang yang sedang mengamatinya, kadang-kadang Raden Ayu juga menghentikan seseorang yang membawa barang dagangannya. Tetapi ia sekedar bertanya, apakah yang dibawanya.
Tetapi keduanya tidak lama berada di regol. Kegelisahan yang sangat. telah menyengat hati mereka. Keadaan memang benar-benar bertambah gawat. Seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit. Jika mereka datang, mungkin mereka akan terjebak. Jika mereka tidak datang, maka berita penyergapan itu tidak dapat disampaikannya kepada pasukan Pangeran Mangkubumi.
Setiap kali Raden Ayu mencoba menghibur diri, bahwa mungkin sekali sumber lain akan dapat menyadap rencana itu. Tetapi usahanya itu tidak dapat menenangkan hatinya.
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba saja Rara Warih berkata, “Ibunda. Bagaimanakah pendapat ibunda, jika aku sajalah yang pergi ke Gebang”
“Warih” desis ibundanya, “Kau belum pernah pergi keluar istana ini. Seolah-olah kau baru mengenal lingkungan di dalam dinding halaman ini. Atau katakanlah, kau baru mengenal daerah kota raja. Jika kau akan pergi, maka kau akan mengalami kesulitan di perjalanan”
Tetapi pada saat-saat Buntal dan Arum datang kemari, mereka selalu berceritera tentang jalan yang mereka lalui. Meskipun aku belum pernah melihatnya, tetapi rasa-rasanya aku telah mengenalnya. Sehingga aku merasa bahwa jika aku menelusuri jalan itu, aku akan sampai juga di Gebang” jawab Rara Warih.
“Perjalanan yang sangat berbahaya bagimu Warih” berkata ibundanya, “selebihnya kau tidak tahu ucapan sandi pada saat terakhir. Jika terjadi salah paham, maka kau akan dapat mengalami bencana justru oleh para pengawal Pangeran Mangkubumi sendiri”
“Aku akan berusaha menjelaskan dengan jujur ibunda. Aku berharap mereka akan dapat mengerti” jawab Rara Warih.
“Tetapi setelah kau katakan segalanya menurut pengertian kita, ternyata orang itu bukan pengawal Pangeran Mangkubumi, tetapi petugas sandi dari Surakarta. Nah, apakah yang akan terjadi?” bertanya Raden Ayu.
“Setiap usaha memang ada dua kemungkinan ibunda. Berhasil atau tidak. Jika aku gagal, dan aku harus berhadapan dengan pasukan sandi Surakarta, apa boleh buat” berkata Rara Warih.
“Tetapi kau jangan pergi Warih” minta ibundanya.
Rara Warih memandang ibundanya sejenak. Namun kemudian katanya, “Ibunda. Dalam keadaan seperti sekarang ini, semua tenaga sangat di perlukan. Ibunda telah memberikan banyak, sumbangan kepada pasukan Pangeran Mangkubumi dengan cara yang ibunda pahami. Biarlah aku juga memberikan setitik manfaat bagi perjuangan ini. Karena itu, biarkan aku pergi mencari, dimanakah letak padukuhan Gebang itu. Sebenarnya-lah, aku telah mempunyai satu bayangan yang jelas tentang tempat itu. Tentang jalan-jalan yang harus aku lewati. Bahkan tentang tikungan dan jalan simpang, rasa-rasanya aku sudah dapat mengingatnya dengan pasti”
Raden Ayu Galihwarit kemudian telah dicengkam oleh keragu-raguan yang sangat Ia sadar, bahwa perjuangan Pangeran Mangkubumi memang memerlukan pengorbanan yang besar. Ia sendiri merasa sudah mengorbankan apa yang dimilikinya. Namun jika ia harus mengorbankan Rara Warih, agaknya pengorbanan itu akan menjadi terlalu besar. Perjuangan Pangeran Mangkubumi akan menjadi sangat mahal baginya.
Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika Buntal dan Arum datang, maka keduanyalah yang akan menjadi korban. Bahkan mungkin pengakuan yang keluar dari keduanya akan melibatkan dirinya sendiri dengan tuduhan yang akan dapat membawanya ke tiang gantungan.
Meskipun Raden Ayu Galihwarit tidak akan lebih menghargai dirinya sendiri daripada anak gadisnya, namun segalanya memang harus diperhitungkan sebaik-baiknya. Pasukan Pangeran Mangkubumi memang tidak boleh dihancurkan oleh kumpeni.
Keragu-raguan itulah yang kemudian membuat segalanya menjadi lambat. Sementara itu matahari merayap terus naik ke atas punggung pegunungan di sebelah Timur. Semakin lama menjadi semakin tinggi.
“Ibunda” berkata Rara Warih setelah makan pagi, “Aku menunggu keputusan ibunda. Seandainya Buntal atau Arum datang, biasanya mereka sudah datang lebih pagi dari saat ini Agaknya mereka meninggalkan Gebang lewat tengah malam, sehingga mereka akan memasuki kota menjelang matahari terbit, sebagaimana orang-orang padesan membawa hasil tanahnya ke pasar”
Betapapun juga Raden Ayu Galihwarit masih tetap bimbang. Tetapi ketika ia membayangkan kehancuran yang akan dialami oleh pasukan induk Pangeran Mangkubumi jika Gebang disergap dengan tiba-tiba. maka, “dengan sendat ia berkata, “Jika kau memang sudah siap untuk memberikan pengorbanan itu Warih, aku tidak dapat menghalangimu lagi”
“Aku sudah siap ibunda, apapun yang akan terjadi” berkata Rara Warih.
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kau tidak usah minta diri kepada eyangmu. Kau tentu tidak akan diijinkannya”
“Tetapi bagaimanakah jawab ibunda jika eyang mencari aku?” bertanya Rara Warih.
“Mungkin aku harus berbohong. Aku akan menganggapmu lari, karena kau takut mengalami peristiwa seperti yang telah terjadi. Mungkin ada kumpeni lain yang akan menjadi gila seperti yang pernah terjadi. Sebenarnyalah tingkah laku mereka terpengaruh sekali oleh sikap ibumu ini Warih” jawab ibundanya.
“Tidak, bukan karena ibunda” sahut Warih.
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika kau merasa sanggup melakukannya, lakukan”
Rara Warih pun kemudian segera bersiap-siap. Seperti yang dikatakannya, maka ia benar-benar mampu membayangkan jalan manakah yang harus dilaluinya. Seolah-olah ia memang sudah pernah mengenali jalan menuju ke Gebang.....
Seperti yang dinasehatkan oleh ibundanya, maka Rara Warih dengan sengaja tidak minta diri kepada Pangeran Sindurata. Dengan diam-diam ia pun sudah siap meninggalkan halaman istananya. Tidak dengan pakaian seorang puteri, tetapi dengan pakaian orang kebanyakan, sehingga perjalanannya tidak akan banyak menarik perhatian.
Namun dalam pada itu, ibundanya rasa-rasanya tidak sampai hati melepaskan anak puterinya berjalan seorang diri. Karena itu, maka katanya, “Rara Warih. Aku kira, seorang pengawal akan lebih baik mengantarkanmu”
Rara Warih mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah hal itu perlu aku lakukan ibunda? Bukankah dengan demikian akan ada orang lain yang mengerti, apa yang kita lakukan selama ini”
“Aku akan memilih seorang pengawal yang aku anggap paling setia selama ini” jawab ibundanya. Lalu, “Sementara itu, apabila kau sudah sampai ketujuan, maka kau pun harus melaporkan tentang pengawal itu. Mungkin kakangmas-mu Juwiring akan mengambil satu kebijaksanaan, bahwa pengawal itu akan diperintahkannya untuk tinggal bersamanya di Gebang, sehingga selama perjuangan ini masih berlangsung pengawal itu tidak akan kembali lagi ke istana ini. Atau setelah kakangmasmu Juwiring yakin, bahwa pengawal itu pun telah menginsyafi dengan sesungguhnya perjuangan ini, sehingga ia pun telah benar-benar dapat dipercaya”
Rara Warih termangu-mangu sejenak. Tetapi dengan seorang kawan agaknya memang lebih baik daripada berjalan seorang diri.
Demikianlah maka Raden Ayu Galihwarit telah memerintah-kan seorang pengawal yang dianggapnya paling setia Seorang laki-laki yang pendiam. Yang menurut penilaian Raden Ayu memiliki sekedar ilmu untuk membela diri jika diperlukan di perjalanan menghadapi orang-orang yang bermaksud jahat. Selebihnya, dalam pembicaraan yang sepotong-sepotong, menurut penilikan Raden Ayu, laki-laki pendiam itu juga mempunyai perasaan kagum terhadap Pangeran Mangkubumi meskipun ia tidak berani berterus terang.
“Jika ia ingin berkhianat, tentu hal itu sudah dilakukannya, karena orang itu juga mengetahui kehadiran Juwiring ke rumah ini” berkata Raden Ayu Galihwarit, “bahkan juga kehadiran Buntal dan Arum. Ia pun tahu, siapakah yang sebenarnya telah membunuh kedua orang kumpeni itu”
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Rara Warih pun meninggalkan istananya melalui regol butulan bersama seorang pengawalnya. Tetapi tidak seorang pun yang menyangka, bahwa perempuan yang keluar dari regol butulan itu adalah puteri Pangeran Ranakusuma. Mereka yang melihatnya, termasuk kedua orang pengamat yang dipasang oleh kumpeni itu pun menganggap bahwa yang keluar dari pintu butulan samping itu adalah para pelayan. Karena perempuan yang keluar dari regol butulan itu membawa keranjang anyaman, maka dikiranya pelayan itu akan pergi ke pasar untuk berbelanja. Apalagi bagi mereka, yang penting adalah justru orang-orang yang datang memasuki istana itu. Mungkin diantara mereka ada orang-orang yang pantas dicurigainya.
Demikianlah maka Rara Warih pun telah mulai dengan perjalanannya menuju ke Gebang diantar oleh seorang pengawal. Pengawal yang dianggap paling setia dan pendiam. Tidak banyak persoalan yang dibuatnya. Selalu patuh dan melakukan tugasnya dengan rajin dan penuh tanggung jawab.
Namun orang itu akan dapat memasuki satu lingkungan yang akan memaksanya untuk tidak keluar lagi dalam waktu yang mungkin lama, tetapi mungkin juga tidak terlalu lama, apabila ia dapat membuktikan bahwa ia benar-benar setia terhadap lingkungan Pangeran Sindurata, dan juga kepada perjuangan Pangeran Mangkubumi
Demikianlah perjalanan itu dimulai ketika panas matahari sudah mulai terasa menggigit punggung. Namun dalam pada itu, bersama-sama orang-orang yang pulang dari pasar untuk menjual hasil kebunnya, maka Rara Warih dan pengawalnya telah keluar dari pintu gerbang. Untunglah bahwa tidak seorang pun pengawal di pintu gerbang itu mencurigai mereka. Baik Rara Warih maupun pengawalnya.
Demikian mereka lepas dari gerbang kota, maka mereka pun berusaha mempercepat perjalanan. Tetapi Rara Warih yang tidak terbiasa berjalan jauh, terlalu cepat menjadi letih.
Namun demikian tekadnya yang membaja di hati, ia telah mampu mengatasi perasaan lelahnya, sehingga ia pun berjalan terus untuk beberapa lama tanpa berhenti.
Ternyata daya angan Rara Warih cukup tajam. Meskipun ia seorang puteri yang terkurung dalam lingkungan sempit, tetapi ia adalah seorang puteri dari seorang panglima yang memiliki kelebihan dari para Senapati dalam tatarannya. Karena itulah, maka ternyata Rara Warih benar-benar dapat mengenali jalan yang hanya dilihatnya dalam angan-angannya sebagaimana di katakan oleh Buntal dan Arum.
Ternyata pengawalnya telah mengikutinya dengan setia. Meskipun sekali-sekali Rara Warih memerlukan pertimbangan pertimbangannya, tetapi karena orang itu justru belum pernah melihat, mengenal maupun diberi tahu oleh seseorang, maka ia tidak banyak dapat membantu.
Namun demikian ternyata Rara Warih tidak tersesat. Tetapi betapapun keras kemauannya, maka atas nasehat pengawalnya, maka sekali-sekali Rara Warih pun beristirahat di bawah pohon yang teduh. Sementara pengawalnya pun yang nampak juga mulai lelah, telah beristirahat pula sambil memijit-mijit mata kakinya.
Perjalanan Rara Warih ternyata jauh lebih lambat dari perjalanan yang sering dilakukan oleh Arum dan Buntal. Arum dan Buntal adalah orang-orang yang terbiasa berjalan di jalan-jalan padesan. Bahkan menelusuri pematang dan tanggul-tanggul parit.
Karena itulah, maka ketika matahari sudah turun ke Barat, mereka masih belum mendekati Gebang.
“Tetapi aku masih mempunyai waktu” berkata Rara Warih di dalam hatinya, “pasukan kumpeni baru akan bergerak menjelang malam. Baru malam nanti mereka akan mengepung Gebang, dan baru esok pagi, saatnya fajar menyingsing mereka akan menyerang”
Betapapun perasaan letih menyengat kakinya, tetapi Rara Warih pun kemudian memaksa dirinya untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke Gebang.
Tetapi yang ternyata kemudaan nampak terlalu lelah adalah justru pengawalnya Meskipun ia adalah seorang laki-laki yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, namun ternyata ia tidak dapat berjalan terus sebagaimana dikehendaki oleh Rara Warih. Setiap kali ia justru mohon untuk beristirahat barang seenak. Kemudian tertatih-tatih ia berdiri dan melangkah mengikuti Rara Warih.
“Sebentar lagi malam akan turun” berkata Rara Warih.
“Tetapi bukankah Gebang sudah dekat?” bertanya pengawal itu.
Rara Warih memandang kekejauhan. Ia melihat sebatang pohon nyamplung yang besar dalam sebuah gerumbul. Arum pernah menyebut pohon itu yang menurut kepercayaan orang-orang di sekitarnya sering menyesatkan orang berjalan. Namun agak jauh ia masih melihat sebuah gumuk kecil. Dan Rara Warih teringat Arum pernah mengatakan, “Jangan hiraukan pohon nyamplung itu, Puteri harus memperhatikan gumuk di sebelah. Lewat gumuk itu puteri tidak akan tersesat lagi. Jalan lurus menuai ke Gebang. Jika kemudian puteri harus menyeberang sebuah sungai kecil, maka beberapa puluh tonggak lagi puteri akan segera sampai”
“Jika demikian Gebang tidak terlalu jauh lagi” berkata Rara Warih.
“Jika demikian, kita tidak usah tergesa-gesa puteri” jawab pengawalnya.
“Tetapi jika berita ini sampai kepada pasukan Pangeran Mangkubumi, mereka masih memerlukan waktu” sahut Rara Warih.
“Berita apa?” bertanya pengawalnya itu.
Rara Warih ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Ibunda memanggil kakangmas Juwiring. Penting sekali, sesuai dengan niat eyang Pangeran untuk meninggalkan Surakarta ”
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bangkit dan berjalan di belakang Rara Warih.
Sebenarnyalah akhirnya mereka sampai ke sebuah sungai kecil setelah mereka melewati pohon nyamplung, gumuk kecil dan berjalan beberapa saat.
“Aku akan merendam kaki barang sejenak puteri” berkata pengawal itu ketika ia merasa betapa segarnya air sungai kecil itu di kakinya.
“Tetapi gelap sudah turun. Marilah kita berjalan beberapa langkah lagi. Kemudian kau akan dapat merendam kakimu untuk waktu yang tidak terbatas” sahut Rara Warih.
Namun jawab pengawal itu benar-benar mengejutkan. Katanya, “Puteri. Aku akan mandi. Aku mohon puteri juga mandi dahulu di. sungai kecil ini”
“Jangan gila” sahut Rara Warih.
Tiba-tiba saja pendiam itu telah tertawa. Terdengar aneh sekali. Orang itu jarang sekali tertawa.
“Gelap memang sudah turun puteri. Itulah yang aku tunggu” katanya.
“Apa maksudmu?” bertanya Rara Warih.
“Tempat ini jauh dari padukuhan manapun juga puteri” desis orang itu pula.
“Jangan gila. Katakan apa maksudmu?” bentak Rara Warih yang bulu-bulunya mulai meremang.
“Aku adalah hamba yang paling setia dari istana Pangeran Sindurata” berkata pengawal itu, “karena itu, apakah salahnya jika sekali-sekali aku mendapat upah tambahan. Sebenarnyalah kecantikan Raden Ayu Galihwarit membuat aku hampir gila. Tetapi kecantikan puteri benar-benar membuat aku sudah gila”
Rara Warih bergeser beberapa langkah surut. Tetapi pengawal itu tertawa semakin keras, “Puteri akan lari kemana? Betapapun juga puteri tidak akan dapat menentang keinginanku. Aku tahu rahasia puteri dan seisi istana Sinduratan. Jika aku membuka mulut sedikit saja dihadapan kumpeni, maka seisi istana itu akan digantung di alun-alun”
“Kau sudah gila” bentak Rara Warih.
“Ya. Aku memang sudah gila. Tetapi jangan melawan kegilaanku. Tidak ada gunanya” berkata pengawal itu.
“Kau akan dibunuh oleh kakangmas Juwiring” geram Rara Warih.
“Di sini tidak ada Raden Juwiring. Yang ada hanya aku dan puteri. Jangan membuat aku marah. Hidup mati istana Sinduratan ada di tanganku. Sebagaimana Raden Ayu Galihwarit telah mengorbankan segala-galanya, maka puteri pun harus bersedia berkorban pula bagi kemenangan pasukan Pangeran Mangkubumi, di antaranya pengorbanan seperti yang selalu ibunda puteri berikan”
“Tidak. Jangan sentuh aku” teriak Rara Warih.
“Jangan berteriak” bentak pengawal itu, “aku dapat berbuat halus, tetapi aku dapat juga berbuat kasar melampaui kekasaran orang yang benar-benar gila. Kau tidak mempunyai pilihan lain puteri”
Rara Warih masih ingin berteriak. Tetapi orang itu telah menerkamnya. Dengan telapak tangannya ia berusaha untuk menutup mulut Rara Warih. Tetapi Rara Warih sempat menggigit tangan orang itu, sehingga mulutnya itu pun sempat pula terbuka.
Yang terdengar adalah teriakan melengking di dalam gelapnya ujung malam. Namun tempat itu terlalu jauh dari padukuhan yang manapun juga.
Suara teriakan Rara Warih itu pun segera lenyap. Tangan pengawalnya yang kuat telah berhasil sekali lagi membungkam-nya. Kemudian Rara Warih itu tidak lagi berdaya oleh tangan-tangan yang kuat dan kasar.
Tetapi sejenak kemudian, terdengar keluhan tertahan. Wajah laki-laki pendiam itu menjadi tegang. Matanya terbelalak lebar. Perlahan-lahan tangannya menjadi lemah. Akhirnya ia terjerumus menelungkup di atas pasir tepian.
Rara Warih tidak sempat melihat. Matanya terpejam. Namun ia masih sempat memekik keras sekali. Namun akhirnya ia pun jatuh di tanah. Pingsan. Tetapi di tangannya masih tergenggam patrem kecil yang selalu dibawanya pada saat-saat terakhir, setelah dua orang kumpeni terbunuh di halaman rumahnya.
Ketika Rara Warih sadar, ia berada di sebuah bilik yang sempit. Sebuah lampu minyak menyala berkeredipan. Pandangannya yang semula samar-samar menjadi semakin jelas. Hampir saja ia terpekik ketika ia melihat dua orang laki-laki yang bertubuh dan berpakaian kasar berada di sisi pembaringannya. Namun ia berhasil menahan diri dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
“O, anak itu sudah sadar” berkata yang seorang. Kawannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Aku akan memanggil Ki Lurah”
Rara Warih menjadi semakin cemas. Ia memerlukan waktu sejenak untuk mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Namun kemudian ketakutannya menjadi semakin bertambah-tambah. Ia berhasil membebaskan diri dari pengawalnya yang gila. Tetapi ia tidak tahu, dimana ia kemudian berada. Nampaknya ia diketemukan oleh salah seorang di antara orang-orang kasar itu dan dibawa ke dalam sarangnya.
Sejenak kemudian, seorang berjanggut putih memasuki ruangan yang sempat itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau sudah sadar ngger”
Rara Warih tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya orang itu sekilas. Nampaknya orang tua ini tidak sekasar orang-orang lain yang ada di antara mereka.
“Duduklah jika kau sudah kuat” minta orang tua itu Rara Warih pun kemudian berusaha untuk bangkit. Ketika salah seorang di antara orang-orang kasar itu berusaha membantunya, maka gadis itu telah mengibaskan tangannya.
Sejenak kemudian Rara Warih telah duduk di bibir pembaringannya. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian berdesis, “Kiai, aku ini berada dimana?”
“Kau berada di Gebang ngger, “ jawab orang tua itu. Jawaban itu memang sangat mengejutkan. Sekali lagi ia menjelaskan, “di Gebang?”
“Ya. Empat orang peronda kami mendengar kau menjerit. Ketika mereka datang, mereka menemukan kau pingsan dengan patrem di tanganmu. Sementara seorang laki-laki terbujur di sebelahmu. Mati, karena perutnya ku cabik dengan patrem ini”
“O” Rara Warih menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya Sementara orang tua bertanya, “Siapakah kau sebenarnya dan kau akan pergi kemana?”
“Tetapi apakah benar aku berada di Gebang Kiai?” bertanya Rara Warih.
“Ya. Kau memang berada di Gebang” jawab laki-laki itu.
Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia masih dibayang-bayangi oleh keragu-raguan, namun peristiwa yang baru saja terjadi, telah membuat hatinya menjadi kabur. Karena itu, maka ia tidak berpikir lebih lama lagi. Katanya, “Aku mencari seorang saudaraku yang berada di Gebang”
Orang-orang yang berada di dalam bilk itu terkeiut. Orang tua itu pun bertanya dengan bimbang, “Kau akan mencari saudaramu? Siapakah nama saudaramu?”
Rara Warih pun merasa ragu. Tetapi sekali lagi terdorong oleh keadaannya dan kebingungannya setelah terjadi peristiwa yang tidak diduganya itu, ia berkata, “Nama saudaraku adalah Juwiring”
Wajah orang-orang itu menegang sejenak. Orang tua berjanggut putih itu pun berkata, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Aku adiknya” jawab Warih.
“Sebutlah beberapa kenyataan tentang anak muda yang kau sebutkan itu. Jika kau dapat mengatakan dengan tepat, maka aku akan menolongmu. Tetapi jika tidak, maka kau akan dihadapkan kepada pengadilan kita malam ini juga di sini” berkata orang berjanggut putih itu.
Mengerikan sekali. Terasa kulit di seluruh tubuh Rara Warih meremang. Pengadilan itu tentu akan sama mengerikannya dengan tingkah laku pengawalnya yang gila itu.
Karena itu, maka katanya, “Kakangmas Juwiring, putera Pangeran Ranakusuma yang telah gugur”
“Dan kau?” desak orang berjanggut putih.
“Aku adiknya. Aku juga puteri Pangeran Ranakusuma” jawab Rara Warih.
Orang berjanggut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudan diraihnya sebilah patrem yang terletak di atas geledek bambu di dalam bilik yang sempit itu. Sambil memperhatikan patrem itu ia berkata, “Patrem ini adalah patrem yang luar biasa. Tetapi apakah benar kau puteri Pangeran Ranakusuma”
“Pertemukan aku dengan kakangmas Juwiring. Biarlah ia mengadili aku Jika aku berbohong” jawab Rara Warih.
Namun akhirnya ia menjadi ragu-ragu ketika a melihat orang-orang itu saling berpandangan. Jika mereka bukan orang-orang dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.
Orang tua itu tidak menjawab sama sekali. Tapi kemudian melangkah keluar dan membiarkan dua orang laki-laki kasar menungguinya. Sekali-sekali Rara Warih melihat, betapa mata kedua orang laki-laki kasar itu menjadi liar memandanginya.
Ketika lampu minyak menjadi redup, yang seorang di antara laki-laki kasar itu berkata, “Lampu akan mati”
Jawab kawannya memang mendebarkan jantung Rara Warih, “Minyak sudah habis. Bilik ini akan menjadi gelap sebentar lagi”
Namun dalam pada itu, dalam kegelisahan yang sangat, ia mendengar langkah-langkah kaki. Tiba-tiba saja muncul di hadapannya, di muka pintu bilik sempit itu, tiga orang anak muda. Dua orang laki-laki dan seorang gadis.
“Kakangmas” Rara Warih berteriak sambil meloncat dari ambennya. Sambil memeluk kakaknya maka gadis itu telah menangis sejadi-jadinya.
Buntal, dan Arum yang hadir juga, menarik nafas dalam-dalam. Mereka membiarkan Rara Warih melepaskan perasaan yang menghimpit hatinya. Baru kemudian kakangmasnya itu berkata, “Duduklah. Kita akan berbicara”
Namun salah seorang laki-laki kasar itu berkata, “Silahkan duduk di luar Raden. Bilik ini akan menjadi gelap. Minyak lampu itu sudah kehabisan minyak, dan kita sudah tidak mempunyai persediaan lagi untuk malam ini”
Raden Juwiring pun kemudian mengajak adiknya duduk di amben besar di ruang dalam yang juga tidak begitu luas. Kepada orang berjanggut putih itu, Juwiring mengatakan, “Anak ini benar adikku Kiai”
“Syukurlah Raden” berkata orang berjanggut putih itu.
Juwiring mengangguk-angguk. Kemudian kalanya, “Warih, jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, kau tentu tidak akan datang kemari. Aku pun sudah mendengar ceritera orang-orang yang menemukanmu. Siapa yang mati di pinggir sungai kecil itu?”
“Pengawal eyang Sindurata” jawab Rara Warih, “pengawal yang paling setia dan pendiam. Ia selalu bersungguh-sungguh dan dalam keadaannya sehari-hari ia sangat sopan dan bertanggung jawab. Tetapi ketika ibunda mempercayainya mengantar aku, ia telah kehilangan nalarnya dan ingin bertindak di luar paugeran”
“Dan kau sendiri telah membunuhnya?” bertanya Juwiring.
“Aku tidak tahu lagi apa yang aku lakukan. Tetapi aku membawa patrem di bawah bajuku. di luar sadarku, aku telah membunuhnya” desis Rara Warih sambil menunduk. Air matanya mulai mengalir lagi dengan derasnya.
“Sudahlah” berkata Raden Juwiring, “Kau tidak bersalah. Kau membela dirimu dalam keadaan yang tersudut. Tetapi apakah ada yang penting sekali sehingga kau sendiri harus datang kemari?”
“Ya kakangmas, karena sudah beberapa lama tidak seorang pun yang datang menghubungi kami” jawab Rara Warih.
“Bukankah istana eyang Sindurata kini diawasi?” desis Juwiring, “Kami memang menjadi agak bingung karena keadaan. Petugas sandi mengatakan, bahwa istana Sinduratan lelah diawasi oleh prajurit Surakarta dalam tugas sandi pula”
“Ya. Kami mengerti. Karena itu, kami tidak dapat mengharap kedatangan salah seorang dari saudara-saudaramu. Buntal atau Arum atau kedua-duanya” jawab Rara Warih, “karena persoalannya penting sekali, maka aku telah memberanikan diri untuk mencarimu dengan diantar oleh seorang pengawal. Tetapi pengawal itu menjadi gila”
“Sudahlah. Lupakan pengawal itu. Katakan, apa yang penting yang harus kita ketahui di sini” desis Raden Juwiring.
Rara Warih menjadi ragu-ragu, sementara Juwiring mendesaknya, “Semua orang di sini dapat dipercaya. Katakanlah”
“Apakah tidak ada petugas sandi lain yang telah menyampai-kannya kepada pimpinan pasukan di sini?” bertanya Rara Warih.
“Aku belum mendengar masalahnya” sahut Juwiring tidak sabar.
Rara Warih pun kemudian mengatakan apa yang diketahui oleh ibundanya. Malam ini Mayor Bilman tidak ada di loji karena ia harus membawa pasukannya. Ia tidak dapat menugaskan orang lain, karena pasukan itu akan berhadapan langsung dengan induk pasukan Pangeran Mangkubumi.
“Jadi kesimpulan ibunda, Mayor Bilman dan prajurit Surakarta akan langsung menyerang Gebang?” bertanya Raden Juwiring.
Rara Warih mengangguk.
“Apakah ibunda dapat menyebut kekuatan pasukan kumpeni?” bertanya Juwiring.
Rara Warih menggeleng. Katanya, “Ibunda tidak dapat menangkap isyarat lain, kecuali bahwa Mayor Bilman akan memimpin sendiri pasukan khususnya itu. Nampaknya gerakan yang dilakukan kali ini adalah gerakan yang besar dan sangat rahasia, “
“Ya” jawab Juwiring, “Tidak seorang petugas sandi pun yang menyinggung persoalan ini. Karena itu, aku harus segera menemui Ki Wandawa. Jika benar Mayor itu berangkat malam ini, maka besok pagi-pagi mereka tentu akan menyerang dengan tiba-tiba, setelah mengepung daerah ini. Karena itu, kita harus bersiap apapun yang akan kita lakukan. Tetapi adalah tekad Pangeran Mangkubumi untuk selalu menghindari pertempuran besar-besaran. Meskipun demikian, aku tidak tahu. keputusan apakah yang akan diambil kali ini”
Raden Juwiring pun kemudan mengajak kedua saudara angkatnya menghadap Ki Wandawa. Untuk menjelaskan persoalannya, maka diajaknya pula Rara Warih bersamanya.
Sambil meminta diri Raden Juwiring berkata kepada orang berambut putih itu, “Terima kasih Kiai. Kau sudah menyelamat-kan adikku. Aku mohon satu dua orang menyelenggarakan mayat pengawal yang semula adalah orang yang setia dan bertanggung jawab itu, namun yang justru telah kehilangan nalarnya”
Demikianlah, maka Raden Juwiring pun telah menghadap Ki Wandawa dengan membawa Rara Warih serta di samping kedua adik angkatnya. Dengan singkat ia telah mengatakan apa yang telah didengar oleh Rara Warih dari ibundanya. Malam ini pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta sedang dalam perjalanan menuju ke Gebang.
Ki Wandawa mengangguk-angguk. Laporan yang diberikan atas dasar pemberitahuan dari Raden Ayu Galihwarit pada umumnya dapat dipercaya. Karena itu, maka katanya, “Aku akan menghadap Pangeran. Mudah-mudahan Pangeran ada di tempat”
Demikianlah, maka Ki Wandawa pun segera menghadap Pangeran Mangkubumi untuk memberitahukan rencana kumpeni yang dapat disadap oleh Raden Ayu Galihwarit.
“Siapakah yang datang kemari untuk membawa berita itu?” bertanya Pangeran Mangkubumi.
“Seorang puteri. Adik Raden Juwiring” sahut Ki Wandawa.
“Siapa?”
“Namanya Rara Warih” jawab Ki Wandawa yang kemudian dengan singkat pula menceriterakan, kenapa gadis itu yang telah datang dan apa yang telah terjadi dengannya di perjalanan”
“Nampaknya berita itu sangat bersungguh-sungguh. Jika tidak, maka Raden Ayu Ranakusuma tidak akan melepaskan satu-satunya anak perempuannya itu. Untunglah bahwa ia tidak menemui bencana di perjalanan. Karena itu, sebaiknya kita memperhatikannya. Kita akan menghindari pertempuran besar itu. Tetapi kita akan mengganggunya. Panggillah para Senapati. Aku akan berbicara dengan mereka”
Demikiankah semuanya dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa. Waktunya sudah menjadi semakin sempit. Jika kumpeni dan pasukan Surakarta itu datang, maka kesempatan untuk membuat perhitungan yang lain tidak akan dapat dilakukannya lagi kecuali membenturkan diri. Sementara itu Pangeran Mangkubumi pun mengerti, bahwa kumpeni tentu akan membawa segala jenis senjatanya. Apalagi pasukan khususnya akan ikut mengambil bagian. Tentu akan disertai pasukan berkuda dari prajurit Surakarta yang juga terkenal itu.
Setelah mereka menemukan kesepakatan, apa yang akan dilakukan oleh pasukan Pangeran Mangkubumi itu, maka Pengeran Mangkubumi pun telah memerintahkan kepada seorang Senapati untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Sementara itu, Pangeran Mangkubumi telah memberikan perintah kepada pasukannya di Sukawati untuk melakukan gerakan terpadu dengan pasukannya di Gebang.
Demikianlah dengan cepat segalanya telah dapat diatur sebaik-baiknya. Dalam waktu singkat, maka Gebang pun telah dikosongkan. Sementara itu beberapa orang penghubung berkuda telah menuju ke Sukawati. Sedangkan beberapa orang petugas, sandi harus mengamati jalan dari arah Surakarta.
Dalam pada itu, para peronda telah melakukan tugasnya pula. Para Senapati di Gebang telah memerintahkan melakukan pengamanan atas rencana yang telah disusun. Sebelum pasukan Surakarta datang, maka tentu akan ada petugas sandi yang akan mengamati daerah yang akan menjadi sasaran.
Menjelang pengosongan Gebang, tiga orang telah ditangkap oleh para peronda karena mereka mencurigakan. Mereka tidak dapat menjawab pertanyaan para peronda dengan baik, dan apalagi ketika di dalam kantong ikat pinggang mereka terdapat tanda keprajuritan Surakarta.
“Kalian ingin mengetahui, apa yang kami lakukan di sini?” bertanya peronda itu.
Petugas sandi itu sama sekali tidak menjawab. Ketika mereka dibawa kepada orang yang berwenang mengurusi mereka di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi, orang-orang itu terkejut melihat bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi telah melakukan satu gerakan menghadapi kedatangan pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta.
“Kalian sudah mengetahui?” bertanya petugas sandi itu.
Orang yang menahannya di sebuah padukuhan kecil di luar padukuhan Gebang tersenyum. Katanya, “Kami akan menyambut kedatangan kalian sebaik-baiknya”
“Setan” geram petugas sandi dari Surakarta itu, “jadi ada juga pengkhianat yang menyampaikan kepada kalian tentang gerakan pasukan itu?”
“O” sahut orang yang menahannya, “Jadi kau menganggap orang yang menyampaikan berita itu sebagai pengkhianat?”
“Ya. Mereka telah menentang Kangjeng Susuhunan” jawab orang itu.
“Tidak Ki Sanak” jawab orang yang menahannya, “Kami sama sekali tidak merasa memusuhi Kangjeng Susuhunan”
Petugas sandi dari Surakarta itu memandang orang yang menahannya dengan tatapan mata tajam. Dengan nada dalam ia bertanya, “Jika kalian tidak menentang Kangjeng Susuhunan, lalu apa yang kalian lakukan di sini?”
“Kami menentang kehadiran kumpeni di Surakarta ” jawab orang yang menahannya.
“Tetapi itu sama artinya menentang Kangjeng Susuhunan karena Kangjeng Susuhunan menyatakan menerima kedatangan mereka di Surakarta ” jawab petugas sandi itu.
Tetapi pengikut Pangeran Mangkubumi itu tersenyum. Jawabnya, “Apakah kau yakin bahwa Kangjeng Susuhunan menerima kedatangan mereka dengan ikhlas? Apakah kau tidak pernah berpikir, bahwa Kangjeng Susuhunan memerlukan dukungan yang nyata untuk mengambil satu langkah mengusir kumpeni itu dari Surakarta ?”
Para petugas sandi itu termenung. Pertanyaan itu memang menyentuh hatinya. Karena itu, maka ia tidak menjawab sama sekali.
Dalam pada itu, Gebang menjadi sibuk. Pasukan Pangeran Mangkubumi segera mempersiapkan diri sesuai dengan rencana yang telah mereka susun. Gebang memang dikosongkan. Tetapi tidak sama sekali kosong. Masih ada yang tersisa, yang harus memancing satu gerakan kumpeni dan pasukan Surakarta.
Untuk beberapa saat pasukan Pangeran Mangkubumi menunggu dengan berdebar-debar. Apakah yang disampaikan oleh adik perempuan Juwiring dan bersumber dari Raden Ayu Ranakusuma itu benar-benar akan terjadi.
Sebenarnyalah pada saat itu, pasukan kumpeni yang dipimpin langsung oleh Panglima pasukan khusus tengah bergerak maju bersama sepasukan prajurit Surakarta, termasuk pasukan berkuda. Mereka keluar dari kota setelah matahari terbenam. Menurut perhitungan mereka perjalanan mereka tentu tidak akan diketahui oleh Pangeran Mangkubumi. Bahkan beberapa orang Senapati dari tataran menengah pun baru mengetahui apa yang akan mereka lakukan, setelah pasukan itu mulai bergerak.
Mayor Bilman dibantu oleh seorang kapten yang memiliki pengalaman hampir seluas Mayor Bilman itu sendiri, telah membawa pasukan yang sangat kuat. Seperti yang diperhitung-kan oleh para Senapati Pangeran Mangkubumi. maka mereka telah membawa beberapa buah meriam kecil beroda yang ditarik oleh kuda. Dengan meriam-meriam itu mereka akan memecah pertahanan Pangeran Mangkubumi, sehingga pasukannya akan menerobos dengan mudah untuk menghancurkannya sama sekali.
Dalam pasukan segelar sepapan, prajurit Surakarta dan kumpeni itu dipimpin langsung oleh Pangeran Yudakusuma. Namun demikian, ia memberi keleluasaan yang besar bagi kumpeni untuk menentukan langkah khusus asal tidak bertentangan dengan kesepakatan mereka.
Demikianlah, di gelapnya malam pasukan itu merayap maju. Ternyata untuk mengamati jalan, beberapa orang petugas sandi sudah dikirimkan lebih dahulu di muka pasukan yang besar dan kuat itu.
Namun dalam pada itu, kumpeni telah memperhitungkan pula kemungkinan adanya pengawas dari pasukan Pangeran Mangku-bumi.
“Jika pengawas itu melihat pasukan ini, maka kita tentu sudah dekat. Mereka tidak akan sempat berbuat banyak, sementara pasukan berkuda kita akan dapat mendahului dan mengepung Gebang, sementara pasukan kita pun akan segera sampai” berkata seorang perwira kumpeni kepada Mayor Bilman.
Semakin dekat dengan Gebang, maka pasukan itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Para Senapati dari prajurit Surakarta pun menjadi gelisah. Mereka akan bertemu dengan saudara-saudara mereka sendiri dalam sikap dan pendirian yang berbeda.
Namun dalam pada itu, kumpeni merasa, bahwa sergapan mereka sekali ini tidak akan gagal. Mereka harus dapat menguasai dan menghancurkan induk pasukan itu.
“Jika Pangeran Mangkubumi ada di Gebang, maka ia harus dapat ditangkap, hidup atau mati” berkata Mayor Bilman.
Tetapi Mayor itu pun menyadari, bahwa Pangeran Mangkubumi kadang-kadang tidak ada di dalam lingkungannya. Mungkin ia berada di Sukawati. Mungkin di Gunung Garigal. Mungkin justru di tengah-tengah kota Surakarta tanpa diketahui oleh siapapun juga.
Ketika mereka semakin dekat dengan Gebang, maka seperti yang mereka duga, tiba-tiba saja dua panah sendaren telah meluncur di langit. Suaranya bagaikan jerit panjang yang melengking menuju ke padukuhan Gebang.
“Seorang pengawas melihat pasukan ini” berkata kapten Kenop kepada Mayor Bilman, “Apakah sebaiknya pasukan berkuda mulai bergerak untuk mengepung Gebang? Dengan demikian, maka kita sudah memberikan kesan, bahwa mereka tidak sempat lagi meninggalkan sarang mereka, sehingga mereka harus bertahan. Pada kesempatan berikutnya, menjelang fajar, kita akan menghancurkan pertahanan mereka dengan meriam-meriam”
Mayor Bilman merenung sejenak. Kemudian katanya kepada seorang perwiranya, “Laporkan kepada Pangeran Yudakusuma. Pasukan berkuda akan bergerak. Justru bersama-sama dengan pasukan berkuda dari Surakarta sendiri”
Perwira itu pun segera menghadap Pangeran Yudakusuma. Ternyata Pangeran Yudakusuma itu tidak berkeberatan.
Sejenak kemudian, maka pasukan berkuda itu pun mulai bergerak. Derap kaki kuda telah menyayat sepinya malam. Debu yang putih berhamburan bagaikan kabut yang turun di malam hari.
Pasukan berkuda itu pun kemudian memisahkan diri menjelang sampai ke padukuhan. Mereka akan mendekati Gebang dari dua arah. Yang separo akan melingkari padukuhan itu untuk memberikan kesan, bahwa Gebang telah terkepung, sementara yang lain akan datang dari jurusan yang berbeda untuk memberikan kesan yang sama.
Tetapi pasukan berkuda yang melingkari Gebang terkejut, Mereka melihat belum begitu jauh, pasukan Pangeran Mangkubumi meninggalkan Gebang. Sebagian dari mereka justru membawa obor untuk menerangi jalan yang mereka lalui.
“Gila” geram kapten Kenop, “Mereka mampu bergerak demikian cepatnya. Begitu isyarat itu naik ke udara. mereka telah siap untuk meninggalkan Gebang. He, apakah mereka sudah mendengar sebelumnya bahwa pasukan ini akan datang?”
Kapten Kenop termangu-mangu sejenak. Kemudian diperintahkannya dua orang penghubung untuk melapor-kannya kepada Mayor Bilman dan Pangeran Yudakusuma yang masih dalam perjalanan meskipun mereka pun sudah dekat.
Laporan itu cukup mengejutkan. Mayor Bilman sendiri kemudian menemui Pangeran Yudakusuma. Kedua-nya sepakat untuk mendahului pasukannya
Berkuda serta di kawal oleh beberapa orang prajurit, keduanya mendahului pasukannya menyusul pasukan berkuda yang telah berada di seberang Gebang.
Kedatangan keduanya belum terlambat. Lamat-lamat mereka masih melihat orang-orang terakhir dari iring-iringan pasukan Pangeran Mangkubumi yang meninggalkan Gebang sambil membawa obor.
“Ini adalah satu kegilaan yang tidak dapat dimaafkan” bentak Mayor Bilman, “ikut aku melihat keadaan Gebang”
Tetapi ketika Mayor itu mulai bergerak, kapten Kenop berkata, “Biarlah dua orang pengamat mendahului perjalanan Mayor memasuki padukuhan itu. Siapa tahu, kita berada dalam jebakan”
Mayor yang marah itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Bagus kapten. Segera perintahkan dua orang pengamat”
Dua orang yang mendapat perintah untuk melihat keadaan padukuhan itu pun segera merayap mendekat dengan hati-hati. Ketika mereka sampai di regol padukuhan, ternyata regol itu sepi. Tidak ada seorang pun yang berjaga-jaga di gardu. Ketika mereka memasuki padukuhan itu beberapa langkah, maka yakinlah mereka, bahwa padukuhan itu telah kosong, sehingga mereka pun kemudian berlari-lari menyusuri jalan padukuhan untuk meyakinkan pengamatan mereka. Ketika mereka mengetuk dan kemudian membuka dengan paksa pintu-pintu rumah, maka rumah-rumah itu pun telah kosong.
Sambil mengumpat keduanya dengan tergesa-gesa kembali kepada kapten Kenop untuk melaporkan, apa yang mereka lihat di padukuhan itu.
“Mustahil” geram Kapten Kenop, “jika mereka tahu pada saat isyarat itu dilontarkan, mereka tentu belum selesai bersiaga. Menurut kesimpulanku, mereka sudah memperhitungkan bahwa Gebang akan dikepung hari ini”
“Tetapi tidak mungkin rahasia ini bocor” geram Mayor Bilman.
“Ya. Tidak mungkin” sahut Pangeran Yudakusuma, “segalanya dilakukan dengan penuh kewaspadaan dan berhati-hati”
“Tetapi kita tidak dapat mengingkari kenyataan ini” berkata kapten Kenop kemudian.
“Kita tidak ada waktu untuk berbantah sekarang” berkata Mayor Bilman, “pasukan Pangeran Mangkubumi masih belum jauh. Kita akan mengikuti mereka. Ternyata mereka cukup bodoh, sehingga mereka justru membawa obor yang akan dapat menuntun kita dengan mudah mengikuti mereka”
“Apakah kita akan menyergap mereka?” bertanya seorang perwira.
“Kita akan mengikuti mereka. Jika fajar menyingsing, dimanapun mereka berada, kita akan menyergap dan menghancurkan. Mungkin kita tidak akan dapat mengepungnya. Tetapi mereka tidak akan dapat melarikan diri dari pasukan berkuda” sahut Mayor Bilman.
Demikianlah, maka Pangeran Yudakusuma pun telah mengambil satu sikap. Dipanggilnya para Senapatinya untuk mendengar perintahnya. Mereka akan mengikuti pasukan Pangeran Mangkubumi yang agaknya juga hanya berjalan kaki. Pasukan berkuda akan berada di depan, tetapi mereka akan maju bersama pasukan lain yang tidak berkuda. Mereka akan mengikuti pada jarak tertentu, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak menyadari, bahwa mereka telah diikuti.
Perintah itu jelas bagi setiap Senapati. Karena itu, maka mereka pun segera menyiapkan pasukan masing-masing.
Di paling depan adalah pasukan berkuda yang dipimpin oleh kapten Kenop. Baru kemudian pasukan yang lain, yang mengiringinya dengan berjalan kaki.
Tidak sulit bagi pasukan itu untuk mengikuti pasukan Pangeran Mangkubumi dari jarak yang cukup. Mereka melihat obor bergerak di tengah-tengah bulak. Berpuluh-puluh. Meskipun nampaknya tidak setiap orang membawa obor, tetapi dari yang paling ujung, sampai ke pangkalnya, nampak iring-iringan itu cukup panjang.
“Seluruh isi Gebang ikut dalam iring-iringan itu” berkata Kapten Kenop, “nampaknya mereka menuju ke Sukawati”
“Ya mereka menuju ke Sukawati” sahut perwira yang lain, “Tetapi mereka tidak akan sampai di Sukawati. Sebentar lagi langit akan mulai dibayangi fajar. Pasukan Pangeran Mangkubumi itu merayap seperti siput”
Kapten Kenop tidak menjawab. Namun ia memang harus menahan hati untuk menunggu fajar. Sebenarnyalah menurut perhitungan, perang itu akan lebih baik dilakukan setelah matahari terbit, agar tidak terjadi salah paham. Apalagi kumpeni agak sulit untuk membedakan orang-rang pribumi, kecuali dari ujud pakaiannya saja.
Untuk beberapa pasukan Kumpeni dan prajurit Surakarta itu mengikuti puluhan obor yang menyingkir dari Gebang. Sementara itu kapten Kenop sudah memperhitungkan, bahwa di antara mereka tentu terdapat perempuan dan anak-anak.
“Tetapi, apaboleh buat” berkata kapten yang garang itu, “jika terjadi sesuatu atas perempuan dan anak-anak itu adalah tanggung jawab Pangeran Mangkubumi. karena ia tidak dengan tegas memisahkan mereka dengan pasukannya”
Kapten Kenop sudah memerintahkan sepasukan kecil dari pasukan berkuda itu untuk menyerang dari lambung, meskipun mereka harus menyeberangi sawah yang basah. Kemudian pasukan yang lain akan menyerang dari belakang. Jika sebagian dari mereka akan berlari cerai berai, maka sudah ada petugas-petugas yang akan mengejar mereka dan menghancur lumatkan”
Sejenak kemudian ternyata bahwa iring-iringan orang membawa obor itu melintasi sebuah sungai yang curam. Karena itu, maka kapten Kenop telah memerintahkan agar mereka yang membawa meriam berhati-hati.
“Meriam-meriam itu jangan sampai terperosok ke tempat yang sulit untuk di angkat” katanya kepada penghubung yang segera menyampaikannya kepada pasukan kecil yang bertanggung jawab atas meriam-meriam yang mereka bawa.
Demikianlah, maka kapten Kenop melihat obor-obor itu turun ke sungai, namun beberapa saat kemudian nampak obor-obor itu mendaki di seberang.
Kapten Kenop sudah membayangkan, bahwa sungai itu akan dapat sedikit menghambat pasukannya. Agaknya pasukan Pangeran Mangkubumi harus maju lebih lambat lagi ketika mereka menyeberang sungai itu, apalagi agaknya di seberang tebing pun curam pula.
Tetapi kapten Kenop-pun tahu, karena ada jalur jalan yang memang melintasi sungai itu, tentu jalan menyeberang itu pun akan dapat ditempuhnya, meskipun agak sulit.
Ketika pasukan berkuda yang berada di ujung pasukan itu sampai di tebing, maka kapten Kenop pun memerintahkan pasukannya berhenti sejenak. Dipandanginya obor-obor dihadapannya merayap menjauhi tebing di seberang sungai. Tetapi jarak mereka justru menjadi semakin dekat.
Tetapi dalam pada itu, fajar masih belum menyingsing, meskipun bintang-bintang sudah jauh bergeser ke Barat. Namun agaknya dini hari sudah terlalu dekat sehingga kapten Kenop merasa perlu untuk memperingatkan pasukannya.
Baru sesaat kemudian, maka kuda yang pertama pun menuruni tebing yang curam, tetapi yang ternyata memang ada jalur jalan yang tidak terlalu sulit untuk dilalui.
Namun seperti yang diperingatkan oleh kapten Kenop, mereka yang membawa meriam memang harus berhati-hati sekali, agar roda-roda meriam itu tidak tergelincir sehingga meriam-meriam kecil itu akan jatuh terlentang. Agaknya beberapa orang harus ikut menahan pada saat kuda-kuda yang menarik meriam itu menuruni tebing.
Demikianlah pasukan berkuda yang dipimpin kapten Kenop itulah yang pertama-tama menyeberang. Kemudian induk pasukannya yang berjalan beriringan di belakang di bawah pimpinan Pangeran Yudakusuma dan Mayor Bilman.
“Kita sudah berjalan cukup jauh dari Gebang” berkata Mayor Bilman.
“Ya” jawab Pangeran Yudakusuma, “Tetapi Sukawati pun masih cukup jauh. Sebentar lagi langit akan dibayangi oleh fajar, dan kita pun akan cepat bergerak menghancurkan pasukan itu”
“Kita akan melumatkannya” geram Mayor Bilman.
“Tetapi ingat, jika di antara mereka terdapat keluarga yang tidak bersalah. Perempuan dan anak-anak, maka mereka bukannya sasaran kita” Pangeran Yudakusuma memperingatkan.
Mayor Bilman tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah di dalam hatinya terbersit pikiran seperti juga kapten Kenop, bahwa tanggung jawab akan terletak kepada Pangeran Mangkubumi yang justru mempergunakan perempuan dan anak-anak sebagai perisainya.
Namun ternyata terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga. Kapten Kenop yang memimpin pasukan berkuda masih tetap menganggap bahwa jarak mereka dengan pasukan Pangeran Mangkubumi yang diikutinya masih tetap cukup jauh, meskipun ia akan dapat menyergapnya dengan tiba-tiba. Ketika pasukan berkuda itu naik ke atas tebing di seberang, mereka masih tetap melihat obor-obor itu di hadapan mereka. Demikian langit mulai terang, maka pasukan berkuda itu akan segera berpacu menghantam pasukan itu dari arah sebagaimana di kehendakinya.
Tetapi yang terjadi benar-benar di luar perhitungan kapten Kenop dan para Senapati dalam pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta itu. Demikian pasukan itu naik ke atas tebing, tiba-tiba telah datang serangan yang mengejut dari arah depan. Ternyata pasukan Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya bukannya iring-iringan yang membawa obor itu. Tetapi pasukan itu telah menunggu mereka di atas tebing.
Serangan yang tiba-tiba itu pun sangat mengejutkan. Beberapa orang kumpeni dari pasukan berkuda itu tidak sempat melawan. Demikian orang-orang yang bersembunyi di balik tanggul, gerumbul-gerumbul dan bebatuan itu meloncat menyergap sambil berteriak nyaring, maka beberapa orang kumpeni telah terlempar dari punggung kuda mereka.
Betapa kemarahan telah menghentak di dada kapten Kenop. Sebagai seorang perwira yang memiliki pengalaman yang luas dan yang pernah menjelajahi samodra dan benua, maka ia pun cepat mengambil sikap. Dengan pedang teracu, maka ia pun telah meneriakkan aba-aba bagi pasukannya.
Beberapa orang dari pasukan berkuda itu berusaha naik ke atas tebing untuk mendapatkan pancatan perlawanan seperti yang dikehendaki oleh kapten Kenop. Ia sendiri sudah berada di atas. Dengan pedang di tangan ia pun segera mengamuk seperti singa kelaparan. Sementara itu beberapa orang anak buahnya pun berhasil naik ke atas tebing dan bertempur bersamanya.
Tetapi lawan terlalu banyak. Pasukan Pangeran Mangkubumi masih bermunculan dari balik batang-batang perdu dan pandan. Bahkan ada di antara mereka yang melontarkan lembing-lembing bambu berbedor besi yang runcing.
Mayor Bilman yang melihat keadaan itu pun segera mengambil sikap. Diperintahkannya pasukannya untuk cepat mengatasi kekalutan yang terjadi. di atas tebing ternyata telah menunggu pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat.
“Kita sudah dikelabui oleh obor-obor itu” teriak Mayor Bilman, “Kita harus cepat mengatasi kekalutan dan menarik garis berlawanan yang jelas”
Sementara itu, prajurit Surakarta pun telah mengambil jarak. Mereka menebar sepanjang sungai. Mereka harus mendaki tebing pada tebaran yang agak luas, agar mereka tidak dihancurkan justru di medan yang terlalu sempit.
Dengan demikian, maka pasukan Surakarta itu memencar sebelah menyebelah di bawah tebing. Baru kemudian mereka memanjat naik. Mereka memperhitungkan, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi berkumpul di hadapan kumpeni yang naik di jalur jalan menyeberang. Jika mereka berhasil, maka mereka justru akan dapat menyerang pasukan Pangeran Mangkubumi yang menunggu di seberang itu dari arah lambung.
Tetapi perhitungan mereka itu pun ternyata meleset. Ketika prajurit Surakarta itu menebar, maka tiba-tiba saja telah datang pula serangan dari dua arah. Dari balik gerumbul di pinggir kali di bawah tebing, dan dari balik bebatuan, telah muncul pula para pengikut Pangeran Mangkubumi dengan senjata telanjang. Bahkan ada di antara mereka yang lebih senang membawa sepotong bambu wulung yang diruncingkan, menjadi tombak yang justru mengerikan. Ujung bambu yang runcing itu telah dibasahi dengan minyak, kemudian dipanggang di panasnya api sehingga menjadi kehitam-hitaman. Sebelum dipergunakan maka ujung bambu yang diruncingkan itu digosok dahulu dengan pasir dan dihunjamkan kepada tanah tujuh kali.
Dengan demikian seandainya mereka bertemu dengan lawan yang kebal atau mempunyai aji lembu sekilan, maka kekebalan akan dapat ditembus.
Kehadiran pasukan dari sebelah menyebelah itu telah menambah kebingungan pasukan Surakarta. Mereka tidak sempat memanjat tebing, karena segera mereka terlibat dalam pertempuran di atas bebatuan. Mereka berloncatan dan saling menyerang dalam keadaan yang kisruh. Kedua belah pihak tidak sempat memasang gelar, sehingga yang terjadi kemudian adalah perang brubuh.
Pangeran Yudakusuma ternyata masih tetap mampu berpikir dengan tenang. Ia pun kemudian memerintahkan menarik sebagian dari pasukannya yang masih belum turun tebing. Pasukan itulah yang akan membentuk gelar, dan yang kemudian akan maju dengan teratur.
Tetapi sekali lagi rencana itu tidak dapat dilakukannya. Selagi kekuatan terjadi, maka dari belakang, pasukan yang kuat telah menerkam pasukan Pangeran Yudakusuma.....
Ternyata pasukan kumpeni dan prajurit Surakarta itu telah dikepung rapat, di hadapan mereka adalah pasukan yang datang dari Sukawati. Kemudian dari sebelah menyebelah dan yang kemudian menghantam mereka dari belakang adalah pasukan yang semula berada di Gebang.
Berita yang dibawa olah Rara Warih telah sempat dipergunakan sebaik-baiknya, sehingga dengan persiapan yang mapan, maka pasukan Pangeran Mangkubumi telah berhasil menjebak kumpeni dan para prajurit dari Surakarta.
Pertempuran pun kemudian berlangsung dengan sengitnya. Sementara itu, ketika terdengar ledakan-ledakan senjata api mulai membelah hiruk pikuk pertempuran, maka obor-obor yang semula diikuti oleh kumpeni itu pun segera padam.
“Gila” kapten Kenop mengumpat, “Mereka telah menjebak kita dengan licik”
Sementara itu, orang-orang yang semula membawa obor itu pun telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang sengaja telah memencar dengan obor pada jarak yang jauh. agar dengan demikian, dari kejauhan dan di dalam kegelapan, nampak seolah-olah satu iring-iringan yang panjang dari sekumpulan orang yang cukup banyak.
Namun sebenarnya jumlah mereka tidak terlalu banyak. Bahkan hanya beberapa puluh orang saja. di antara mereka justru wanita yang bersedia berbuat sebagaimana kewajiban mereka di peperangan. Pada suatu saat mereka harus menyediakan makan dan minum bagi para prajurit dimanapun mereka berhenti. Juga di antara mereka terdapat orang-orang yang akan dapat membantu melakukan pengobatan atas mereka yang terluka.
Ketika mereka menyadari bahwa pertempuran telah berkobar di sungai sebagaimana memang telah direncanakan, maka sekelompok orang itu telah bersiap-siap dan justru bergerak mendekat, meskipun tidak terjun ke arena karena mereka mempunyai tugas tersendiri. Pada mereka terdapat bukan saja makanan yang siap dibagikan, tetapi juga bahan-bahan yang perlu mereka amankan dari Gebang.
Di dalam kelompok itu terdapat Rara Warih yang datang ke Gebang untuk menyampaikan pesan ibunya. Selain Warih, Arum pun telah mengawaninya pula. Namun di antara kelompok itu terdapat pula beberapa orang yang siap bertempur apabila diperlukan.
“Agaknya pertempuran itu telah menjadi dahsyat sekali” desis Rara Warih.
“Ya puteri. Tetapi kita yakin, bahwa pasukan Pangeran Mangkubumi yang kuat akan menang. Puteri ternyata telah menyelamatkan kami dari kehancuran mutlak. Melihat kekuatan kumpeni dan pasukan dari Surakarta, kita tidak akan dapat melawannya apabila kita harus berhadapan dalam garis perang. Tetapi dalam sergapan yang tiba-tiba demikian, kesempatan bagi kumpeni tidak terlalu banyak. Merekapun tidak akan dapat mempergunakan meriam-meriam mereka, karena perang yang terjadi adalah perang brubuh” jawab Arum.
Rara Warih mengangguk-angguk. Ia pun telah mendengar bahwa bukan saja pasukan yang berada di Gebang yang telah dikerahkan. Tetapi juga pasukan yang berada di Sukawati dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran yang terjadi adalah dahsyat sekali. Pasukan Pangeran Mangkubumi ternyata merupakan pasukan yang kuat tangguh. Bahkan sebagian dari mereka telah berada di medan sebagaimana sebagian dari kumpeni dan pasukan berkuda. Dipimpin oleh Raden Juwiring, maka pasukan yang terlatih telah bersiap melawan kumpeni dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda. Dalam kekalutan perang itu, Juwiring yang berada di sebuah padukuhan terdekat dari jebakan itu telah muncul bersama pasukannya.
Sementara itu, sebagian dari kumpeni yang marah, berusaha melepaskan diri. Mereka mendendam terhadap orang-orang yang semula membawa obor dan memancing mereka mengikuti sehingga mereka sampai ke tempat jebakan.
Karena itu, maka sebagian dari kumpeni dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, telah menerobos pasukan Pangeran Mangkubumi. Dengan kemarahannya yang menghentak-hentak jantung mereka berusaha memburu orang-orang yang membawa obor, yang kemudian mereka sadari tentu tidak sebanyak yang mereka duga.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang ada di dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka melihat sekelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka melihat sekelompok orang-orang berkuda berpacu kearah mereka.
“Minggirlah” Arum lah yang kemudian mengatur perempuan-perempuan yang ada di antara mereka, “Kalian tentu tidak akan mampu melawan pasukan berkuda itu. Biarlah para pengawal menyelesaikan”
Perempuan-perempuan itu pun kemudian segera menepi. Bahkan mereka pun telah menyeberangi parit di pinggir jalan dan berdiri di belakang tanggul. Sementara itu, beberapa orang pengawal yang ada di antara mereka telah bersiap dengan senjata masing-masing.
Tetapi dalam pada itu, ternyata Juwiring melihat kelicikan pasukan berkuda itu. Karena itu, bersama beberapa orang kawannya ia pun telah memburunya.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi pula pertempuran antara dua kelompok pasukan berkuda. Juwiring, Buntal dan kawannya telah bertempur dengan pasukan berkuda yang dikejarnya dan kawan-kawannya.
Pertempuran, berkuda itu pun telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata yang memburu kumpeni dan pasukan berkuda Surakarta itu di antaranya adalah bekas anak buah Juwiring ketika ia masih menjadi salah seorang Senapati muda dalam lingkungan pasukan berkuda di Surakarta.
Karena itu, maka pertempuran itu pun telah terjadi dengan sengitnya. Masing-masing memiliki kelebihan sesuai dengan perkembangan setiap pribadi di dalam pasukan itu.
Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka beberapa ekor kuda telah terjun ke sawah yang basah, tetapi ada juga di antara mereka yang bertempur di sawah yang kering. Namun tanaman jagung pun telah menjadi rusak dan berserakan.
Ketika seorang kumpeni terlempar dari kudanya yang terperosok ke dalam parit, maka dengan serta merta, ia pun segera bangkit berdiri. Tetapi ternyata ia tidak berlari mengejar lawannya yang berkuda. Dendam dan kemarahannya tidak terkendali lagi, sehingga ketika ia melihat beberapa orang perempuan, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Tentu kalianlah yang telah mengelabui kami dengan obor-obor itu”
Perempuan-perempuan itu menjadi sangat ngeri. Ketika kumpeni itu kemudian mendekati mereka dengan pedang teracu, maka mereka pun menjadi saling berdesakan.
Sementara itu, pertempuran menjadi semakin dahsyat. di sungai yang bertebing curam itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara pasukan Pangeran Mangkubumi yang besar menghadapi kumpeni dan prajurit Surakarta segelar sepapan. Namun agaknya sergapan pertama dari pasukan Pangeran Mangkubumi ikut pula menentukan.
Kecuali yang bertempur di antara tebing yang curam itu. terjadi juga pertempuran berkuda yang sengit. Kuda-kuda berlarian dan meringkik keras-keras. Para penunggangnya telah bertempur dengan ilmu masing-masing yang berbeda watak dan tabiat. Namun kedua belah pihak adalah pasukan terpilih yang mempunyai kelebihan dari para prajurit yang lain.
Ketika langit menjadi terang, maka pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Sungai yang bertebing curam itu bagaikan mengalirkan darah. Airnya menjadi merah dan pasir tepiannya pun telah ditaburi dengan tubuh yang terbujur lintang.
Di tepian Mayor Bilman bertempur dengan garangnya Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Beberapa orang pengawal-nya yang terpilih bertempur di sekitarnya menghadapi pasukan Pangeran Mangkubumi yang sedang marah.
Sementara itu. Pangeran Yudakusuma pun bertempur dengan dahsyatnya pula. Seperti badai ia mengamuk, sehingga dengan demikian maka senjatanya telah menjadi merah karena darah.
Diatas tebing, kapten Kenop memimpin pasukan berkuda melawan pasukan Pangeran Mangkubumi yang datang dari Sukawati. Betapapun garangnya kapten yang di segani oleh bajak laut yang paling buas sekalipun itu, ternyata mengalami kesulitan. Pasukan Pangeran Mangkubumi menyerangnya dari segala arah. Mereka tidak menghiraukan kaki-kaki kuda yang akan dapat menginjak mereka sampai lumat.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka Arum berdiri tegak di paling depan dari perempuan-perempuan yang merasa ngeri melihat seorang kumpeni yang seakan-akan terlepas dari medan dan mendekati mereka. Senjatanya teracu-acu, sementara mulutnya mengumpat-umpat. Matanya yang merah dan liar membuat wajah yang kemerah-merahan itu menjadi semakin mengerikan.
“Aku akan membunuh kalian” geram kumpeni itu, “kalian telah menjebak kami, sehingga banyak kawan-kawan kami yang mati”
Tetapi Arum tidak menjadi gemetar. Sambil berdiri tegak di hadapan perempuan-perempuan itu, ia berkata, “Jangan licik. Seharusnya kau tidak melawan perempuan-perempuan. Kenapa kau tidak mencari lawan di antara prajurit berkuda itu”
“Aku nanti akan membunuh mereka. Tetapi sekarang aku akan membunuh kalian, karena kalian sama jahatnya dengan laki-laki pengkhianat yang manapun juga” jawab kumpeni itu.
“Kami tidak akan menyerahkan leher kami” bentak Arum, di tangan Arum pun telah tergenggam sehelai pedang pula.
“Kau akan melawan aku?” kumpeni itu menjadi heran.
“Bukan sekedar melawan. Tetapi aku akan membunuh”
Kumpeni itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya pertempuran menjadi semakin dahsyat dimana-mana. Bahkan kemudian tidak ada lagi batas antara kedua belah pihak yang bertempur dalam perang brubuh, dan bercampur-baur.
Tetapi kumpeni itu pun kemudian berkata, “Tidak ada gunanya kau melawan. Kematianmu akan menjadi semakin sendat. Jika kalian menyerah, kalian akan cepat mati dengan tanpa merasakan sakit sama sekali, karena pedangku adalah pedang yang sangat tajam”
Arum tidak menjawab. Tetapi ia pun telah mengacukan pedangnya.
Ketika seorang penunggang kuda berlari di dekatnya sambil memburu lawannya yang menghindar, Arum memandanginya sejenak, sementara penunggang kuda itu pun berpaling pula kepadanya. Namun agaknya penunggang kuda itu sempat berteriak, “Selesaikan saja orang itu Arum”
Arum menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya Buntal itu pun kemudian telah terlibat pula dalam pertempuran berkuda yang sengit.
Dalam pada itu, kumpeni itu pun mengumpat sejadi-jadinya. Dengan senjata teracu ia mendekati Arum sambil berkata, “Jika memang itu yang kau kehendaki, baiklah. Kita akan bertempur”
Arum masih tetap diam. Tetapi ia mulai bergeser maju untuk mengambil jarak dari perempuan-perempuan yang semakin berdesakan.
“Mundurlah” berkata Arum kepada kawan-kawannya, “Biarlah aku menyelesaikan orang ini”
Kemarahan kumpeni itu sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus kearah dada Arum.
Namun Arum sempat menangkis serangan itu. Bahkan ia pun kemudian meloncat selangkah ke samping. Kemudian sambil meloncat maju ia menyerang lawannya dengan ayunan yang cepat.
Seperti yang pernah terjadi, ilmu pedang kedua orang itu berbeda pada dasarnya. Namun ketika dua jenis ilmu itu berbenturan, maka pertempuran itu pun menjadi seru sekali.
Seperti biasanya Arum bertempur sambil berloncatan. Sementara lawannya lebih banyak menggerakkan kakinya yang setengah langkah berada di depan dengan lutut merendah. Namun pada saat-saat yang tiba-tiba, lawannya itu pun mampu pula berloncatan bukan saja maju dan mundur, tetapi juga ke samping.
Arum sama sekali tidak terkejut melihat jenis ilmu kumpeni itu. Ia sudah pernah bertempur melawan ilmu seperti itu. dan ia mampu mengatasinya. Namun Arum selalu ingat pesan ayahnya, kakak seperguruannya dan orang-orang yang lebih berpengalaman, bahwa orang asing itu lebih banyak mempergunakan otaknya daripada tenaganya. Karena itu. maka Arum pun harus mengimbanginya. Ia harus benar-benar memperhitungkan setiap kemungkinan. Ia tidak dapat dengan serta merta berusaha mengalahkan lawannya dengan kekuatannya saja. dan mungkin kecepatannya bergerak saja.
Rara Warih yang berada di antara perempuan-perempuan yang menjadi ngeri itu pernah mendengar, bahwa Arum pun mampu bertempur. Ia sudah melihat, bagaimana dengan pisau-pisau kecilnya Arum membunuh seorang kumpeni di rumahnya, sementara seorang yang lain telah dibunuh oleh Buntal. Namun kini ia melihat, bagaimana Arum itu bertempur dengan pedang di tangan melawan seorang kumpeni dalam kesempatan yang sama.
Karena itulah, maka jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Setiap kali Arum terdesak, darahnya serasa telah berhenti mengalir. Namun jantungnya serasa mengembang jika ia melihat Arum itulah yang berhasil mendesak lawannya.
Ternyata pertempuran yang terjadi seakan-akan terpisah dari pertempuran dalam keseluruhan itu telah mendebarkan hati perempuan-perempuan yang kemudian bergeser menjauh. Jika kemudian dapat dikalahkan, maka nasib mereka akan menjadi sangat buruk. Sementara itu pertempuran di antara pasukan berkuda itu pun masih terjadi dengan sengitnya, sehingga rasa-rasanya tidak akan ada seorang pun yang akan sempat menolongnya.
Di pinggir sungai, di antara tebing yang curam meriam-meriam kecil berserakan tanpa arti sama sekali. Senjata itu sama sekali tidak dapat dipergunakan oleh kumpeni. Bahkan senjata-senjata api pun kemudian tidak lagi terdengar meledak. Mereka telah memasang sangkur dan bertempur pada jarak yang pendek.
Tetapi senjata dengan sangkur itu tidak dapat dipergunakan-nya dengan trampil. Karena itu, maka mereka lebih senang melepaskan senjata mereka, dan kemudian mencabut pedang yang ada di lambung mereka.
Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin dahsyat. Kemampuan secara pribadi sangat diperlukan dalam perang brubuh yang membingungkan. Namun karena matahari telah memanjat naik, maka mereka telah dapat membedakan kawan dan lawan dengan jelas.
Dalam pada itu, ternyata bahwa induk pasukan Pangeran Mangkubumi yang hampir lengkap karena kehadiran pasukannya di Sukawati itu pun mampu mengimbangi kemampuan lawannya. Dengan hentakkan-hentakkan, mereka berusaha mengejutkan kumpeni dan pasukan Surakarta. Bahkan pasukan berkuda yang mampu mengimbangi pasukan berkuda Surakarta di dalam ketrampilannya itu, benar-benar tidak diduga. Meskipun jumlah pasukan berkuda Pangeran Mangkubumi tidak sebanyak kumpeni berkuda dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, namun kehadiran Juwiring dan kawan-kawannya itu telah membuat pasukan Surakarta menjadi agak bingung.
Dalam pada itu, Juwiring, Buntal dan beberapa orang kawannya, ternyata berhasil menguasai lawan mereka yang marah kepada orang-orang yang membawa obor untuk menjebak mereka, yang jumlahnya juga tidak begitu banyak. Beberapa orang kumpeni telah terlempar dari kudanya dan tidak sanggup lagi untuk bangkit.
Karena itu, maka yang tersisa merasa tidak perlu lagi untuk bertahan terpisah dari pasukannya. Meskipun mereka menjadi kecewa bahwa mereka tidak dapat melepaskan dendam mereka, bahkan justru beberapa orang kawan mereka telah menjadi korban lagi.
Dengan demikian maka akhirnya Juwiring telah mendesak sebagian kumpeni dan prajurit Surakarta dari pasukan berkuda itu ke induk pasukannya, sehingga medan pertempuran pun kemudian seolah-olah telah menyatu meskipun dalam tebaran yang luas.
Namun kumpeni yang masih bertempur melawan Arum tidak segera dapat meninggalkan lawannya. Karena itu, maka ia mengumpat semakin kasar. Seolah-olah ia telah ditinggalkan sendiri oleh kawan-kawannya.
Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera dapat mengakhiri pertempuran itu. Tetapi Arum pun tidak mudah untuk dipaksa menyerah. Ketika kumpeni itu meningkatkan serang-serangannya, maka Arum pun mengerahkan segenap kemampuannya.
Namun sejenak kemudian, ketika orang-orang berkuda yang semula mendendam dan ingin menghancurkan orang-orang yang menjebak mereka dengan obor itu telah berhasil didesak kembali ke induk pasukannya, maka beberapa orang pengawal yang semula bersama dengan perempuan-perempuan itu pun telah mendekati mereka pula. Ketika mereka melihat Arum bertempur melawan kumpeni, maka mereka pun segera bergerak mengepungnya. Namun tiba-tiba saja seorang yang tertua di antara mereka memberikan isyarat, agar mereka tidak mengganggu.
Tetapi kedatangan mereka ternyata telah membingungkan kumpeni itu. Selagi kepungan itu belum rapat, maka kumpeni yang kehilangan akal itu tiba-tiba meloncat berlari untuk menyelamatkan diri, karena ia mengira, bahwa orang-orang dari pasukan Pangeran Mangkubumi itu akan bersama-sama mencincangnya.
Namun tindakannya itulah yang justru telah menjerumuskan-nya ke dalam keadaan yang sangat buruk. Orang-orang yang mendekat dengan senjata yang masih telanjang itu, telah dengan serta merta berusaha mencegahnya. Bukan saja dengan teriakan-teriakan. Tetapi senjata-senjata mereka telah terjulur, sehingga akhirnya kumpeni itu terkapar di tanah.
Beberapa orang perempuan memekik kecil. Rara Warih pun kemudian memalingkan wajahnya. Ia sudah beberapa kali melihat orang yang terbunuh. Bahkan ia sendiri pernah membunuh seseorang di luar sadarnya. Namun setiap kali, kematian membuat jantungnya serasa berhenti mengalir.
Dalam pada itu. pertempuran nampaknya masih akan berlangsung lama. Dengan demikian, maka pimpinan kelompok itu pun telah mengambil satu kebijaksanaan. Ditugaskannya beberapa orang pengawal untuk mengantar perempuan-perempuan itu melanjutkan perjalanan ke padukuhan terdekat yang berada di bawah pengaruh Pangeran Mangkubumi.
“Aku akan melaporkannya kepada Ki Wandawa” berkata pemimpin kelompok itu, “di tempat itu, kalian sebaiknya berusaha dapat menyediakan makan dan minum lebih banyak lagi. Sementara itu kalian berada di tempat yang lebih tenang”
Sejenak pemimpin kelompok itu telah mengatur untuk menyingkirkan perempuan-perempuan itu dari medan. Dalam keadaan yang cepat berkembang, maka kehadiran mereka di medan akan sangat berbahaya. Mungkin pasukan Pangeran Mangkubumi harus menghindar. Mungkin pula akan ada sikap yang lain yang akan diambil oleh pimpinan tertinggi pasukan Pangeran Mangkubumi itu.
Meskipun agak kecewa, Arum terpaksa memenuhi perintah untuk bersama-sama dengan perempuan itu menyingkir dari medan. Ia termasuk seseorang yang ikut mengawal untuk melindungi perempuan-perempuan itu meskipun ia sendiri juga seorang perempuan.
Demikian perempuan-perempuan itu meninggalkan medan maka pimpinan kelompok itu pun telah mencari hubungan dengan Ki Wandawa di medan perang yang seru.
Ternyata bahwa medan perang itu pun telah berkembang. Pasukan Pangeran Mangkubumi tidak berhasil membatasi pertempuran itu hanya di antara tebing yang curam dan kemudian menutup arah sebelah menyebelah dengan pasukan yang kuat. Namun ternyata bahwa beberapa kelompok kumpeni dan prajurit Surakarta berhasil menembus pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga memperluas medan.
Namun demikian, usaha kumpeni dan prajurit Surakarta itu tidak banyak memberikan kesempatan kepada mereka. Pukulan pertama pasukan Pangeran Mangkubumi terasa sangat berat bagi mereka, sehingga kekuatan mereka pun telah susut dengan cepat.
Di antara pemimpin pasukan berkuda, kapten Kenop benar-benar seorang perwira yang luar biasa. Dengan memegang kendali di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, maka ia mengamuk bukan kepalang Kudanya berlari-larian seakan-akan mengetahui setiap keinginan penunggangnya. Pedang kapten Kenop yang telah menjadi merah oleh darah itu pun masih terayun-ayun mengerikan.
Namun dalam pada itu, ketika pedangnya terayun kearah seorang anak muda yang memasuki arena dan langsung berusaha menghadapinya, ternyata pedang itu telah membentur kekuatan yang mengejutkan. Anak muda di punggung kuda itu mampu mengimbangi kekuatan kapten Kenop, seorang perwira yang memiliki pengalaman yang sangat luas.
“Persetan” kapten itu menggeram, “anak ini harus dilumat-kan”
Namun anak muda itu cukup cekatan. Kudanya dapat mengimbangi kemampuan kuda kapten Kenop. Ketika kuda kapten Kenop berputar, maka kuda anak muda itu menyambar-nya di arah kiri, sehingga kapten Kenop harus secara khusus menangkis serangan anak muda itu.
Ternyata anak muda yang berada di punggung kuda itu pun bertempur dengan perhitungan nalarnya. Ia tidak sekedar dihentak oleh perasaan marah dan kebencian. Tetapi dengan hati-hati dan dengan perhitungan yang cermat ia menghadapi perwira yang telah menjelajahi samodra dan benua itu.
“Kau masih terlalu muda untuk mati” geram kapten Kenop, “siapa namamu he?”
“Juwiring” jawab anak muda itu.
Kapten Kenop menggeram. Ia pernah mendengar namanya. Ia pernah mendengar nama seorang Pangeran yang berkhianat, justru seorang Senapati Agung. Dan ia pun mendengar bahwa Juwiring yang ikut serta dalam pengkhianatan itu adalah anaknya.
“Kalau kau yang bernama Juwiring” berkata kapten Kenop, “maka kau memang harus dibunuh”
Juwiring tidak menjawab. Tetapi serangan kapten Kenop benar-benar menjadi semakin sengit.
Juwiring tidak menjawab. Tetapi serangan kapten Kenop benar-benar menjadi semakin sengit.
Tetapi Juwiring yang pernah mendapat latihan-latihan yang berat dalam pasukan berkuda di Surakarta, dan latihan-latihan kanuragan di padepokan Jati Aking. telah berusaha mengimbangi kemarahan kapten yang. mengamuk seperti seekor singa itu.
Dengan demikian, di antara pertempuran berkuda itu. kapten Kenop telah bertempur melawan Juwiring. Kapten Kenop yang lebih tua dan lebih luas pengalamannya, harus berhadapan dengan seorang anak muda yang jiwanya bergelora oleh tuntutan kebebasan bagi nusa dan bangsanya.
Gelora perjuangan yang bergejolak di dalam dada Juwiring yang semula kurang diperhitungkan oleh kapten Kenop itu ternyata telah membuatnya berdebar-debar. Jika semula kapten Kenop hanya memperhitungkan kematangan anak muda itu bermain kuda dan pedang, sehingga ia merasa akan dapat dengan cepat menguasainya, maka ia telah salah hitung. di samping kemampuan, ketrampilan dan kecepatan gerak. maka Juwiring telah digelorakan pula oleh jiwa pengabdiannya yang bagaikan membakar jantung. Gelora itulah yang kemudian harus diperhitungkan pula oleh kapten Kenop. Sebab dengan gelora jiwa yang bagaikan mendidih di dalam dada itu, Juwiring seolah-olah sama sekali tidak dipengaruhi oleh perasaan letih dan lelah.
Karena itu, meskipun keduanya telah bertempur untuk waktu yang lama, Juwiring masih saja memiliki ketangkasannya seperti saat mereka baru bertemu.
Kapten Kenop mengumpat di dalam hatinya, ia adalah orang yang sudah matang dalam ilmu pedang menurut jenisnya. Pengalamannya pun merupakan pengalaman yang sangat luas bukan saja di bumi Surakarta, tetapi di negeri-negeri lain yang berserakan di dunia ini. Namun menghadapi anak muda ini. kapten itu merasa betapa sulitnya untuk menundukkannya. Bahkan mungkin ia akan mengalami kesulitan jika ia tidak segera dapat menemukan cara untuk membunuhnya.
Tetapi bukan hanya Kapten Kenop sajalah yang mengalami kesulitan melawan anak-anak muda Surakarta yang sudah bertekad untuk mengusir orang-orang asing yang perlahan-lahan namun dengan pasti akan menguasai Surakarta. Beberapa orang kumpeni yang berpengalaman lainnya pun kadang-kadang telah menjadi bingung. Bahkan ada di antara mereka yang kehilangan kesempatan sama sekali untuk meneruskan pertempuran karena jiwanya telah direnggut oleh ujung tombak pengikut Pangeran Mangkubumi.
Dalam pada itu Mayor Bilman pun bertempur dengan garangnya di antara para pengawalnya. Satu demi satu Mayor yang matang dalam ilmu perang itu berhasil menyapu lawan-lawannya. Seorang Senapati dari pasukan Pangeran Mangkubumi telah terlempar dengan dada terkoyak. Sementara yang lain telah terluka dan terpaksa menjauhinya.
Sementara itu, di bagian lain dari arena pertempuran itu. Pangeran Yudakusuma, yang dikenal sebagai Senapati Agung dari Surakarta yang telah ditunjuk sebagai Panglima itu pun bertempur dengan garangnya. Agak sulit bagi para pengikut Pangeran Mangkubumi untuk mengimbangi kemampuan serta ilmunya. Seolah-olah Pangeran Yudakusuma itu di peperangan telah menggenggam sepuluh pedang dengan sepuluh tangannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin siang menjadi semakin riuh.
Ketika keringat telah membasahi seluruh tubuh, maka para prajurit Surakarta, kumpeni dan pasukan Pangeran Mangku-bumi pun rasa-rasanya menjadi semakin panas. Kawan-kawan mereka yang terluka dan bahkan yang terbunuh, membuat darah mereka bagaikan mendidih. Mereka mengenang saat-saat mereka masih bersendau gurau dan berkelakar menjelang fajar sambil menunggu saat-saat yang menegangkan itu. Namun yang kemudian sudah terkapar tidak bernyawa lagi.
Pertempuran yang dahsyat itu menjadi semakin dahsyat. di atas tebing yang curam. di tepian dan justru di sungai itu sendiri membujur sebelah menyebelah. Kemudian di atas tebing di seberang. Kuda-kuda berlarian, sambar menyambar dan bahkan kadang-kadang saling mendesak dan saling berbenturan.
Dalam pada itu, Juwiring masih bertempur melawan kapten Kenop yang garang. Keduanya memiliki kemampuan yang tinggi. Baik dalam mengendalikan kudanya, maupun dalam permainan senjata.
Ketika langit menjadi semakin panas oleh matahari yang menjadi semakin tinggi mendekati puncak langit, pertempuran itu pun rasa-rasanya menjadi semakin mengerikan bagaikan amukan isi neraka. Darah, erang kesakitan, dentang senjata dan mayat yang terbujur lintang telah mewarnai arena pertempuran itu.
Namun sebenarnyalah, baik kumpeni yang terlatih dan berpengalaman luas, prajurit Surakarta dan pasukan Pangeran Mangkubumi yang digelorakan oleh jiwa pengabdian, mempunyai daya tahan yang luar biasa. Mereka tidak merasa betapa matahari bahkan telah melalui puncak langit.
Dalam pada itu, ternyata bahwa kapten Kenop memang memiliki pengalaman yang lebih luas dan matang dari Raden Juwiring. Betapapun Raden Juwiring dilambari dengan gejolak perjuangannya, namun sulit baginya untuk dapat mengimbangi ketrampilan kapten yang garang itu. Bahkan agaknya kapten Kenop telah mempergunakan segala cara untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Karena itulah, maka kadang-kadang terasa betapa kapten itu lebih banyak mempergunakan akalnya. Dalam saat-saat yang hampir menentukan, kapten Kenop memacu kudanya meninggalkan lawannya. Namun tiba-tiba kuda itu berputar menyusup di antara pertempuran yang gemuruh.
Usaha kapten Kenop untuk membakar hati anak muda itu akhirnya berhasil. Kemarahan Raden Juwiring perlahan-lahan telah membuat akalnya menjadi buram. Sekali-sekali terdengar giginya gemeretak sambil berdesis, “Pengecut. Jangan lari”
Namun tiba-tiba saja Raden Juwiring terkejut, ketika kuda lawannya berputar dan pedangnya menyambar hampir mengenai kening.
Kemarahan Raden Juwiring itulah yang menjadi salah satu sebab kegagalannya melawan kapten yang disegani itu. Dalam hentakkan perasaan, maka Juwiring kurang memperhatikan para pengawal khusus kapten Kenop yang kadang-kadang ikut menjebaknya.
Bahkan kemarahan Raden Juwiring telah hampir memadamkan akalnya sama sekali, sehingga pada putaran berikutnya. Raden Juwiring telah memburu kapten Kenop sambil menghentak-hentakkan senjatanya.
Ia sama sekali tidak sempat membuat perhitungan lagi, apakah yang kemudian akan dilakukan oleh kapten yang cerdik itu.
Sebenarnyalah kapten Kenop telah merencanakan segalanya. Dengan tiba-tiba ia memutar kudanya, sehingga kudanya itu meringkik sambil melonjak berdiri. Namun tepat pada saatnya, kapten Kenop telah berhasil menghadap serangan Raden Juwiring yang terkejut melihat sikap lawannya. Meskipun demikian, Raden Juwiring masih sempat menarik kendali kudanya, sehingga kudanya itu bergeser arah. Namun kapten Kenop masih mampu menjangkau Juwiring dengan pedangnya.
Geseran yang tiba-tiba tanpa direncanakannya lebih dahulu, membuat Juwiring harus bertahan pada keseimbangannya. Karena itu, ia menjadi kurang dapat menanggapi serangan pedang lawannya. Meskipun ia berusaha menangkis serangan itu, tetapi ternyata bahwa pedang lawannya masih dapat menyusup pertahanannya, sehingga segores luka telah menyobek pundaknya.
Terdengar Juwiring mengeluh tertahan. Darah pun mulai mengalir membasahi pakaiannya. Sementara itu perasaan sakit telah menyengat di tempat lukanya itu menganga. Bahkan tangan kanannya itu pun rasa-rasanya menjadi bagaikan lumpuh oleh lukanya itu.
Tetapi Raden Juwiring tidak mudah menyerah kepada keadaannya. Ia masih berusaha untuk melawan. Namun ternyata tangannya memang sudah terlalu lemah. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, kapten Kenop tidak mau melepaskan korbannya. Dengan tangkasnya ia memburu sambil mengayun-kan pedangnya sekali lagi dari arah yang berlainan.
Permainan senjata Juwiring memang menjadi kabur. Ia tidak banyak dapat berbuat. Karena itu, meskipun ia berusaha menghindari sambil bergeser di atas kudanya, namun sekali lagi pedang kapten Kenop mampu melukainya, justru di lambung sebelah kiri.
Juwiring menggeretakkan giginya. Kemudaannya lah yang sebagian besar membuatnya kurang berhati-hati. Lukanya itu ternyata benar-benar telah menghisap sebagian dari kemampuannya dan ketrampilannya bermain kuda dan bermain pedang.
Yang terdengar kemudian adalah kapten Kenop tertawa pendek. Ia sudah siap menghentakkan pedangnya untuk yang terakhir dan mengakhiri pertempuran berkuda yang sangat melelahkan itu.
Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika seekor kuda menyambarnya. Hampir saja pedang penunggang kuda itu mencabik dadanya. Namun kapten yang berpengalaman itu masih sempat menarik tubuhnya, sehingga hanya angin sambarannya sajalah yang telah menyentuh bajunya.
“Gila” geram kapten Itu.
Ketika ia berpaling dilihatnya seekor kuda sedang berputar. Seorang anak muda telah siap untuk menyerangnya.
“Kau juga ingin mati” geram kapten Kenop.
Anak muda itu tidak menghiraukannya. Ia sudah siap untuk menyerang dengan pedang teracu.
Namun sebelum anak muda itu memacu kudanya, tiba-tiba saja seorang penunggang kuda berbaju kutungan sepanjang siku berwarna wulung menggamitnya sambil berkata, “Ia bukan lawanmu. Raden Juwiring yang lebih berpengalaman itu mengalami kesulitan melawan perwira yang berpengalaman sangat luas itu”
“Aku akan membunuhnya atau biarlah ia membunuh aku” jawab Buntal.
Tetapi orang itu tersenyum. Jawabnya, “Biarlah yang tua ini sajalah yang menghadapinya”
Buntal tidak sempat menjawab lagi. Orang berbaju kutungan yang bersenjata tombak itu pun telah menggerakkan kendali kudanya. Sejenak kemudian kudanya telah berlari menyerang kapten Kenop yang memandanginya dengan heran
“Orang gila mana pula yang datang ini” geram kapten Kenop di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Orang berbaju kutungan itu telah menyerangnya. Ujung tombaknya hampir saja mematuk dadanya.
Namun kapten Kenop berhasil menangkisnya. Meskipun demikian, kapten itu terkejut bukan buatan. Tenaga orang itu bukan saja dapat mengimbangi tenaga anak muda yang telah dilukainya itu, tetapi sentuhan itu benar-benar telah membuat tangannya menjadi bergetar.
“Iblis tua” geramnya, “mampuslah kau”
Kapten Kenop menjadi sangat marah. Dengan serta merta, ia pun telah memutar kudanya menyusul orang berbaju kutungan itu. Namun orang itu telah memutar kudanya dan menghadapi-nya
Demikianlah maka kapten Kenop itu telah mendapat lawannya yang baru. Seorang yang sudah setengah umur, berbaju kutungan berwarna wulung dan bersenjata tombak.
Pakaian orang itu sama sekali tidak meyakinkan. Tetapi ketika tombaknya mulai berputaran dan menyambar-nyambar maka kapten Kenop harus menghadapi kenyataan, bahwa orang separo baya itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dengan segenap kemampuannya kapten Kenop telah berusaha untuk membunuh lawannya itu pula. Ia yang kecewa karena Juwiring terlepas dari tangannya, ingin mendapat sasaran baru untuk melepaskan kekecewaannya.
Tetapi ternyata bahwa orang itu justru memiliki banyak kelebihan dari Juwiring. Dalam kekalutan pertempuran itu. kapten Kenop benar-benar mengalami kesulitan. Kuda orang itu bagaikan terus-menerus memburunya. Bagaimanapun juga ia mengendalikan kudanya sendiri, namun kuda lawannya itu seakan-akan dengan tiba-tiba saja telah menyergapnya lebih dahulu.
Kapten Kenop mengumpat-umpat. Tetapi ia ternyata tidak mendapat banyak kesempatan. Matahari yang mulai beredar di belahan langit sebelah Barat, rasa-rasanya semakin membakar arena pertempuran itu.
Pada saat-saat yang gawat, tiba-tiba saja terdengar kapten Kenop itu mengaduh. Ujung tombak lawannya telah berhasil menggores di dadanya.
Memang tidak terlalu dalam, tetapi luka itu benar-benar mendebarkan. Kapten Kenop yang berpengalaman itu tahu, bahwa orang-orang pribumi kadang-kadang memberi racun Warangan pada ujung senjatanya.
Sejenak ia masih mencoba bertahan. Tetapi kemudian badannya serasa menjadi gemetar. Dan ia pun tahu. bahwa ia telah benar-benar terkena racun.
Karena itulah, maka ketika orang berbaju kutung itu siap untuk menyerangnya, maka kapten Kenop telah memutar kudanya, menyusup ke dalam lingkungan para pengawalnya.
Orang berbaju kutungan itu memandangi lawannya yang berusaha melepaskan diri daripadanya. Namun orang itu tidak memburunya, karena ia pun harus memperhitungkan keadaan.
Sejenak kemudian, maka karena tidak ada lawan lagi yang dianggapnya berbahaya, maka ia pun telah memutar kudanya dan hilang di balik gemuruhnya peperangan.
Dalam pada itu Buntal pun telah mendekati Juwiring yang terluka, bahkan agak parah. Dengan hati-hati maka ia pun membawanya menepi. Sementara dua orang kawan yang lain pun telah mendekatinya pula.
“Peperangan belum berakhir” berkata Juwiring, “Jangan hiraukan aku”
“Tetapi lukamu parah” desis Buntal.
“Aku akan mengurus diriku sendiri. Aku membawa obat yang untuk sementara, akan dapat memampatkan luka-luka Ini” berkata Juwiring.
Buntal termangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi Juwiring mendesak, “Tinggalkan aku”
Buntal mengangguk. Katanya, “Aku akan kembali ke medan. Tetapi biarlah seorang kawan membantumu mengobati lukamu. Baru kemudian biarlah ia kembali pula ke medan”
Ternyata Juwiring tidak berkeberatan. Buntal dan seorang kawannya segera meloncat kembali ke punggung kudanya dan kembali memasuki arena pertempuran, sedang seorang kawan-nya yang lain membantu Juwiring mengobati luka-lukanya dan menyadarkannya pada sebatang pohon yang rindang.
“Nampaknya luka-lukamu yang lama baru saja sembuh” berkata kawannya.
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Ia memang baru saja sembuh dari luka-lukanya yang lama. Bahkan tenaganya belum lama terasa pulih kembali setelah ia hampir saja menjadi korban keris milik Tumenggung Sindura yang harus ditabuhnya di Gunung Lawu.
Sementara itu Buntal dan kawannya telah terjun kembali ke medan, karena dalam pertempuran yang seimbang, setiap orang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.
Sementara itu kapten Kenop telah berada di lingkungan para prajuritnya pula. Dengan tergesa-gesa ia minta di bawa kepada tabib pasukan yang ada di antara prajurit-prajuritnya.
“Racun” berkata kapten Kenop kepada tabib yang kemudian merawatnya.
Tabib itu pun memiliki pengetahuan yang cukup mengenai segala macam luka. Karena itu, maka ia pun segera berusaha mengobati luka kapten Kenop yang disebabkan oleh racun warangan yang sangat kuat, setelah kapten itu dibawa ke tempat yang tidak terlalu kisruh oleh pertempuran.
Untunglah bahwa tabib itu sempat bertindak cepat, karena kapten Kenop sendiri mempunyai pengalaman dan pengetahuan serba sedikit tentang jenis-jenis senjata orang pribumi. Jika ia terlambat barang sepenginang, maka nyawanya tentu tidak akan dapat diselamatkan lagi.
Namun demikian, tenaga kapten itu bagaikan dihisap oleh racun di lukanya, yang justru telah digores dengan pisau sehingga berdarah, sementara ia harus minum obat lewat mulutnya dan kemudian obat yang ditaburkan pada luka barunya oleh goresan pisau itu.
Karena itulah, maka kapten Kenop itu hanya dapat menggeram menahan kemarahannya karena ia sendiri harus berbaring di bawah pengawalan yang kuat.
Laporan tentang keadaan kapten Kenop telah didengar oleh Mayor Bilman. Kemarahannya pun telah membakar jantungnya. Ia tidak dapat menahan diri untuk bertempur di tepian. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk naik ke atas tebing, bertempur di antara pasukan berkuda menggantikan kepemim-pinan kapten Kenop yang luka parah itu.
“Pertempuran di tepian tidak seberat perang berkuda itu berkata Mayor Bilman di dalam hatinya. Karena itu ia dapat mempercayakannya kepada perwiranya yang lain, sementara di tepian itu ada juga beberapa orang Senapati Surakarta. Namun Pangeran Yudakusuma sendiri ternyata kemudian berada di atas tebing berseberangan dengan Mayor Bilman.
Dengan garangnya Mayor Bilman pun kemudian menyapu para pengikut Pangeran Mangkubumi yang berusaha menyerang-nya. Buntal yang melihat kehadiran Mayor itu tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka ia pun segera menyerang dengan garangnya.
Mayor itu terkejut. Baru kemudian ia sadar, bahwa orang-orang berkuda di antara pasukan Pangeran Mangkubumi itu pun merupakan orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan berkuda dan ilmu pedang.
Tetapi seperti juga kapten Kenop, Mayor itu justru memiliki kelebihan. Itulah sebabnya, maka Buntal pun segera mengalami kesulitan. Kecuali ketrampilannya, ternyata tenaga Mayor itu bagaikan tenaga seekor gajah. Hampir saja pada benturan yang terjadi, pedang Buntal terlempar dari tangannya.
Namun sebelum Buntal mampu memperbaiki keadaannya, maka tubuhnyalah yang hampir terlempar dari punggung kudanya. Ternyata Mayor Bilman yang cekatan itu berhasil menggoreskan senjatanya pada punggung Buntal.
Namun Bilman tidak sempat membunuhnya. Seorang anak muda yang lain telah menyerangnya. Anak muda yang pernah bersama-sama dengan Juwiring berada di dalam lingkungan pasukan berkuda.
Bilman harus memperhitungkan keadaan itu. Karena itu maka serangannya yang akan dapat mematikan. Buntal terpaksa tertunda.
Namun dalam pada itu, sekali lagi terjadi, seperti yang telah terjadi pada Buntal. Seorang berbaju kutung berwarna wulung telah menggamit anak muda itu sambil berkata, “Orang ini lebih berbahaya dari kapten yang terluka itu. Karena itu, minggirlah. Biarlah aku saja yang melawannya”
Mayor Bilman yang melibat orang berbaju kutungan itu menjadi sangat marah. Ia mengerti maksud orang itu. Orang itulah yang kemudian akan melawannya dengan tombak.
Karena itu, Mayor Bilman tidak menunggu lebih lama lagi. Ia lah yang kemudian menyerang orang berbaju kutungan itu.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang dahsyat. Mayor Bilman benar-benar seorang pemimpin yang tangguh dan berani. Karena itu maka untuk beberapa saat ia dapat membuat orang berbaju kutungan itu menjadi gelisah.
Namun di saat terakhir, ternyata bahwa Mayor itu pun tidak mampu melawan kecepatan ujung tombak orang itu. Ketika Mayor itu sedang sibuk memutar kudanya, maka orang berbaju kutungan itu sempat menyerangnya dari samping.
Mayor Bilman berusaha untuk mengelak. Tetapi kuda orang berbaju kutungan itu telah menyambar kuda Mayor Bilman, sehingga kuda itu tergeser.
Maka orang berbaju kutungan itu cepat bertindak. Kudanya telah diputarnya mendesak kuda Mayor Bilman. Pada jarak yang pendek itu orang berbaju kutungan itu telah berhasil menggoreskan ujung tombaknya pada lengan Mayor Bilman.
Betapa kemarahan Mayor itu menghentak-hentak di dadanya. Seperti kapten Kenop, maka ia pun mengerti, bahwa ujung tombak itu tentu beracun. Namun karena kemarahan yang meluap, maka ia justru berusaha memburunya dan menyerang dengan pedangnya.
Sambaran pedang Mayor itu memang dahsyat sekali. Yang menyapu wajah orang berbaju kutungan itu adalah sambaran anginnya. Tetapi senjata Mayor itu sendiri sama sekali tidak menyentuhnya.
Namun orang berbaju kutungan itu memiliki perhitungan yang cermat. Ia masih memancing Mayor itu untuk menyerang. Dengan memiringkan tubuhnya, seolah-olah keseimbangannya sedang terganggu ia mengharap bahwa Mayor Bilman memburunya.
Sebenarnyalah Mayor itu memburunya. Namun belum lagi Mayor itu berhasil mencapai orang berbaju kutungan itu, maka racun di tubuhnya telah mulai bekerja dengan ganasnya.
Tubuh Mayor itu menggigil. Baru ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu melawan kekuatan racun warangan pada senjata-senjata tajam orang pribumi.
Karena itu. maka Mayor itu pun berusaha mencari perlindungan ke dalam pertempuran, di belakang kumpeni yang semakin lama menjadi semakin susut. Dijaga oleh pengawalnya, maka Mayor itu pun telah dibawa kepada tabib yang sedang mengobati kapten Kenop.
“Mayor” sapa kapten Kenop.
Tetapi wajah Mayor itu sudah menjadi kemerah-merahan.
“Mayor kena senjata beracun?” bertanya kapten Kenop.