Bunga Di Batu Karang Jilid 26

Yang berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing itu adalah anak-anak muda. Darah mereka masih panas dan jiwa mereka masih mudah terbakar.

Namun demikian Buntal masih tetap menyadari, bahwa sebenarnyalah yang terjadi atas Raden Juwiring itu karena pengaruh keris yang di tangannya. Karena itu, ia masih juga membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu. Meskipun demikian ia pun sadar sepenuhnya, bahwa Juwiring yang sudah berada di bawah pengaruh keris itu benar-benar akan dapat membunuhnya.

“Kenapa kakang Juwiring telah kehilangan kepribadiannya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.

Namun menurut penilaian Buntal, sebenarnya Juwiring adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat. Tetapi karena ia telah terdorong untuk mempergunakan keris itu pada saat ia melawan Ki Singaprana dan membasahi keris itu dengan darah meskipun hanya setitik, maka seakan-akan pengaruh keris itu telah dengan kuatnya menyusup ke dalam dirinya.

“Keris itu harus terlepas dari tangannya” berkata Buntal di dalam hatinya. Namun untuk berbuat demikian, bukannya satu pekerjaan yang mudah, apalagi Buntal selalu dibayangi oleh satu kemungkinan, bahwa ia sendirilah yang justru akan dijemput oleh maut.

Dalam pada itu, Juwiring yang telah dibayangi oleh pengaruh keris itu sama sekali tidak dapat lagi berpikir bening. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, ia benar-benar ingin membunuh kedua orang saudara seperguruannya. Karena itu, maka dengan segenap ilmunya ia telah bertempur melawan Buntal dan Arum.

Juwiring adalah murid Jati Aking yang dilengkapi dengan ilmu ayahandanya Pangeran Ranakusuma. Karena itu, maka ia adalah anak muda yang nggegirisi. Apalagi ditangannya telah tergenggam keris yang dahsyat, yang sakti dan bahkan mampu mempengaruhi orang yang sedang menggenggamnya.

Tetapi saat itu Juwiring harus melawan dua orang anak muda yang memiliki bekal yang cukup pula. Buntal adalah juga murid Jati Aking. Sementara itu ia pun telah menyadap ilmu dari Kiai Sarpasrana yang dapat melengkapi ilmunya. Sedangkan Arum adalah murid dan sekaligus anak Kiai Danatirta, meskipun sebenarnya ia adalah cucunya. Sepeninggal kedua saudara seperguruannya, maka Arum lah yang mendapat tempaan ilmu sampai tuntas. Meskipun ia seorang gadis, namun pada atas kodrat alaminya, Arum mampu menunjukkan kepada setiap orang, bahwa ia adalah pewaris yang paling lengkap dari perguruan Jati Aking.

Karena itu, maka meskipun di tangan Juwiring tergenggam keris yang dahsyat, namun melawan dua orang anak muda yang pilih tanding, maka ia pun harus berjuang dengan sekuat tenaganya.

Sebenarnyalah Arum tidak dapat menahan kemarahannya. Seperti Juwiring, Arum pun seolah-olah telah kehilangan pengekangan diri. Pedangnya berputaran dengan cepatnya bagaikan baling-baling, sehingga yang nampak kemudian seolah-olah hanyalah gumpalan awan putih yang menyelubungi dirinya.

Dari ketiga orang anak-anak muda yang bertempur mempertaruhkan nyawa mereka itu, Buntal lah yang masih mampu berpikir. Meskipun kadang-kadang Jantungnya bagaikan meledak melihat sikap Juwiring, tetapi setiap kali ia memandang keris di tangan Juwiring itu, ia masih tetap sadar, bahwa yang dihadapinya bukannya pribadi Juwiring sepenuhnya.

Karena itu, maka Buntal masih selalu nampak ragu-ragu.

Namun demikian ia mampu melindungi dirinya dengan permainan pedang yang rapat.

Meskipun demikian, Buntal menjadi lebih sering menghindar dan berloncatan surut. Tetapi Juwiring tidak pernah sempat memburunya, karena Arum lah yang kemudian melibatnya dengan garangnya. Gadis itu ternyata mampu bergerak secepat burung walet di wajah batu-batu karang di tepi samodra.

Untuk beberapa lamanya ketiga anak muda itu masih terlibat dalam pertempuran yang sengit. Arum yang melihat keragu-raguan Buntal pun berteriak, “Kakang, kenapa kau menjadi ragu-ragu. Kita tidak bersalah. Kita mempertahankan hidup kita yang terancam oleh kegilaan yang berbahaya”

“Persetan” Juwiring lah yang menyahut, “sebentar lagi kalian akan mati”

Namun Buntal masih juga menyahut, “Kita sedang dicengkam oleh pengaruh yang paling gila dari keris itu. Jika kakang Juwiring sempat menyadari barang sekejap, dan melepaskan keris itu, maka keadaan ini akan segera berubah”

“Pengecut” geram Juwiring, “Yang sekejap itu tentu sudah kau pergunakan untuk membunuhku”

“Jika kau kehendaki, kami akan mundur beberapa puluh langkah pada saat kau melepaskan senjata itu” sahut Buntal sambil meloncat menghindari serangan Juwiring.

“Omong kosong. Kalian mempunyai kemampuan melempar-kan pisau-pisau kecil itu. Tetapi kalian tidak dapat menipu aku lagi dengan jarak yang tentu akan dapat kalian jangkau dengan pisau-pisau itu justru pada saat aku lengah. Namun pada saat semacam ini, pisau-pisaumu tidak akan berdaya” teriak Juwiring marah.

Buntal benar-benar hampir kehabisan akal. Tetapi ia masih tetap sadar, dengan siapa ia berhadapan. Namun justru karena itulah, maka Buntal lah yang lebih dahulu nampak dalam kesulitan.

Arum yang tidak mau menghiraukan lagi siapakah yang menjadi lawannya, justru menjadi lebih mapan, sehingga dengan demikian, maka serangan-serangan Juwiring justru lebih banyak tertuju kepada Buntal.

“Kakang Buntal” Arum hampir menjerit ketika ia melihat Buntal yang terdesak harus meloncat jauh-jauh surut, “Apakah kau memang ingin mati? Jika kakang Juwiring benar-benar ingin membunuhmu, kenapa kau tidak bersikap serupa”

Buntal menarik nafas dalam-dalam setelah ia berhasil membebaskan diri dari serangan Juwiring. Dengan ragu ia menjawab, “Arum. Kita jangan kehilangan akal. Aku masih mempunyai harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan Ini tanpa jatuh korban”

“Keris itu luar biasa” teriak Arum, “setiap sentuhan akan merenggut nyawa. Jangankan kita atau Singaprana atau kakang Juwiring sendiri. Pangeran Ranakusuma pun tidak mampu bertahan dengan ilmu kebalnya. Meskipun peluru tidak menembus kulitnya, namun goresan kecil keris itu telah merenggut nyawanya”

Buntal tidak sempat menjawab. Juwiring yang memandangi-nya dengan sorot mata yang membara telah meloncat memburunya. Dengan pedangnya Buntal melindungi dirinya, sementara Arum pun telah meloncat menyerang, sehingga Juwiring terpaksa membagi perhatiannya.

Namun nampaknya Arum benar-benar mampu bergerak cepat. Demikian Juwiring bergeser dari serangannya atas Buntal, maka ternyata pedang Arum telah menyentuh pundaknya.

Terdengar Juwiring berdesis, sementara Buntal hampir berteriak, “Arum. Kau melukainya”

“Aku akan membunuhnya” jawab Arum.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Juwiring yang marah menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia menghadap kepada Arum dengan keris terjulur ke depan. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati gadis itu.

Tetapi Arum sudah siap. Pedangnya pun mulai bergetar. Bahkan kemudian pedangnya telah berputar lagi melindungi dirinya serapat dinding. Betapapun marahnya Juwiring, ia harus melihat perisai putaran pedang Arum. Memang sulit baginya untuk dapat menembus meskipun ia menggenggam keris sakti.

Sementara itu Buntal telah mendekatinya pula. Ia menjadi semakin gelisah dan bingung. Juwiring telah terluka di pundaknya, sehingga bagaimanapun juga. pertempuran ini sudah meninggalkan bekasnya.

Namun dalam pada itu, ternyata bukan saja luka pedang Arum sajalah yang telah mengalirkan darah. Luka-lukanya yang terdahulu, yang sudah diobatinya, mulai mengembun lagi. Dengan mengerahkan kemampuan dan kekuatannya, maka luka-luka yang mulai mampat itu seakan-akan telah terkoyak lagi.

Namun ternyata Arum tidak menghiraukan lagi. Ketika Juwiring maju lagi selangkah, Arum justru meloncat menyerang dengan cepatnya. Ujung pedangnya menyambar mendatar hampir menyentuh dada, sehingga Juwiring harus melangkah surut.

Pada saat yang demikian, pedang Buntal pun telah siap mematuk Juwiring yang dengan tergesa-gesa menghindar. Namun ada sesuatu yang menahannya, sehingga diluar kehendaknya, pedang itu telah tergeser arahnya, sehingga sama sekali tidak menyentuh Juwiring.

Tetapi justru pada saat itu Juwiring merendah pada lututnya, dengan cepat ia memutar tubuhnya sambil mengayunkan kerisnya.

Buntal terkejut. Tetapi ia masih sempat meloncat surut Tetapi Juwiring ternyata benar-benar telah terpengaruh dan kehilangan kepribadiannya, sehingga ia pun telah siap meloncat memburu Buntal yang sedang berusaha menghindar.

Dalam keadaan yang demikian, maka seolah-olah tidak, ada lagi kesempatan bagi Buntal. Jika Juwiring meloncat, maka ia tentu belum sempat berbuat sesuatu, Yang dapat dilakukannya kemudian adalah mengambil keuntungan dari senjatanya yang lebih panjang dari sebilah keris. Karena itu, maka ketika Juwiring benar-benar meloncat menyerangnya, Buntal justru telah menjulurkan pedangnya.

Hentakkan kemarahan Juwiring telah membuatnya kurang berperhitungan. Ketika tangannya terjulur lurus mengarah ke dada, Juwiring justru terkejut. Seolah-olah tiba-tiba saja ujung pedang Buntal sudah ada di depan matanya.

Dengan tangkasnya Juwiring menggeliat. Tetapi kesempatannya terlalu sempit. Ternyata bahwa ia tidak dapat membebaskan diri sepenuhnya. Ujung pedang Buntal masih mengenai lengannya, sehingga kulitnya telah terkoyak.

Terdengar Juwiring berdesis menahan pedih. Luka itu telah membuatnya semakin garang. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu, pedang Arum telah terjulur pula lurus mengarah ke punggung,

“Arum” teriak Buntal yang melihat ujung pedang itu akan dapat berakibat gawat.

Suara Buntal ternyata masih juga berpengaruh. Seperti yang telah dilakukan Buntal, maka Arum pun telah disentuh oleh pengaruh hubungannya yang lama dengan Juwiring sebagai saudara seperguruan. Karena itulah maka ia telah menggeser arah pedangnya, sehingga pedang itu tidak lagi tertancap di punggung dan langsung menghunjam sampai ke jantung. Tetapi pedang itu telah mengoyak lambung Juwiring.

Juwiring terlonjak oleh kesakitan yang menyengat. Dengan serta merta ia meloncat berbalik. Dilihatnya Arum berdiri termangu-mangu dengan pedang ditangannya yang gemetar.

Buntal melihat satu saat yang memungkinkan untuk berbuat sesuatu. Justru pada saat perhatian Juwiring tertuju sepenuhnya kepada Arum, maka tiba-tiba Buntal telah meloncat dan dengan sekuat tenaganya memukul keris yang berada di tangan Juwiring dengan pedangnya.

Juwiring sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan dilakukan oleh Buntal. Karena itu, betapa ia menjadi terkejut. Tangannya tergetar sehingga genggamannya telah mengendor.

Sebelum Juwiring sempat berbuat sesuatu, sekali lagi pedang Buntal terayun deras. Buntal tidak lagi memukul keris di tangan Juwiring tetapi Buntal langsung memukul pergelangan tangan Juwiring dengan punggung pedangnya.

Juwiring mengaduh kesakitan. Ia benar-benar tidak mampu lagi menahan perasaan sakit. Karena itulah, maka kerisnya telah terlepas dari tangannya.

Sambil mengumpat Juwiring dengan tergesa-gesa berusaha memungut kembali kerisnya. Tetapi Buntal bergerak cepat. Sebelum tangan Juwiring menyentuh keris itu. maka Buntal telah menerkamnya sambil melepaskan pedangnya.

Keduanya terdorong beberapa langkah. Kemudian keduanya jatuh berguling. Untuk beberapa saat keduanya bergumul di atas tanah berbatu padas.

Arum berdiri membatu. Dipandanginya kedua orang saudara seperguruannya yang sedang bergulat. Namun ketika keduanya mendekati lereng yang terjal, tiba-tiba saja Arum telah memekik keras sekali.

Suara Arum itu bagaikan menghantam lambung Gunung, menggelepar dan bergema melingkar-lingkar.

Ternyata suara itu telah mengejutkan Buntal dan Juwiring yang sedang bergulat. Suara itu seakan-akan bagaikan kekuatan gaib yang telah menyentuh jantung mereka, sehingga keduanya pun bagaikan berjanji telah berhenti bergulat.

Buntal lah yang pertama-tama meloncat berdiri. Ketika terasa kakinya menginjak batu pada yang miring, maka ia pun sadar, bahwa ia telah berdiri di bibir jurang yang dalam.

Karena itu, maka ia pun segera bergeser menjauhi lereng yang terjal itu.

Ketika Juwiring kemudian berusaha bangkit Buntal masih sempat memperingatkannya, “Hati-hatilah. Kau berada di mulut jurang yang dalam. Jika kau tergelincir, maka tubuhmu akan lumat menjadi debu”

Ternyata tubuh Juwiring telah menjadi semakin lemah. Darahnya mengalir semakin banyak. Namun ia masih sempat bergeser bagaikan merangkak. Perlahan-lahan ia berdiri tertatih-tatih.

Tetapi Buntal tidak berani mendekatinya. Jika Juwiring masih belum menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya, maka anak muda itu akan dapat menariknya dan kemudian mendorongnya ke dalam jurang.

Arum pun kemudian melangkah mendekatinya, di tangannya masih tergenggam senjatanya yang siap dipergunakannya, Selangkah ia berada di sisi Buntal yang termangu-mangu.

Juwiring yang berdiri tegak itu memandang kedua adik seperguruannya sejenak Namun kemudian nampak bahwa sorot matanya menjadi semakin redup. Wajahnya tidak lagi nampak bengis dan liar. Bahkan kemudian ia berpaling memandang keadaan di sekitarnya. Dengan suara parau ia berdesir, “Apa yang telah terjadi”

“Kau sadari apa yang telah terjadi kakang?” suara Buntal rendah.

Juwiring melangkah beberapa langkah maju. Namun kemudian ia telah tertunduk di atas batu padas. Sambil menutup, wajahnya dengan kedua belah tangannya ia bertanya, “Apa yang telah aku lakukan Buntal?”

Buntal melangkah mendekat. Namun Arum menggamitnya dengan curiga. Karena itu, maka langkah Buntal pun tertegun.

“Buntal” desis Juwiring, “Aku telah menjadi gila. Aku sedang mencoba mengingat-ingat, apa yang telah terjadi. Apa yang telah aku lakukan. Dan apa yang telah mencengkam jiwaku itu”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian melangkah mendekat. Arum tidak, lagi menahannya, meskipun ia tidak melepaskan senjatanya.

Juwiring pun kemudian menarik nafas dalam-dalam Sekali lagi ia mengangkat wajahnya dan memandang berkeliling. Ketika terpandang olehnya keris yang tergolek di tanah, maka dadanya menjadi berdesir.

“Ya” Juwiring mengangguk-angguk, “Aku ingat semuanya. Aku telah diterkam oleh pengaruh keris itu, sehingga aku tidak kuasa melawannya”

“Tetapi bukankah kau sudah melepaskan keris itu” bertanya Buntal

Juwiring menarik nafas dalam sekali. Terdengar suaranya parau, “Kau sudah membebaskan aku dari kegilaan ini, Buntal. Untunglah bahwa aku tidak berhasil menggoreskan ujung keris itu pada tubuh kalian, meskipun aku telah benar-benar ingin berbuat demikian”

“Sudahlah” desis Buntal, “Aku tahu. kau tidak sengaja melakukannya”

Mata Juwiring tiba-tiba terasa panas. Ketika ia menatap Arum, terasa tenggorokannya pun bagaikan tersumbat. Namun Juwiring telah berkata, “Arum. Aku minta maaf. Aku merasa betapa ringkihnya hati ini”

Arum memandang, wajah Juwiring yang pucat dan lesu. Apalagi ketika terpandang olehnya mata Juwiring yang merah. Bukan karena keliarannya lagi. Tetapi rasa-rasanya Juwiring telah bertahan untuk tidak menitikkan air mata.

Tetapi Arum adalah seorang gadis. Betapapun garangnya, namun pada suatu saat sifat-sifatnya sebagai seorang gadis tidak dapat dikekangnya lagi. Tiba-tiba saja Arum telah terduduk. Diletakkannya senjatanya di sampingnya. Sementara kedua tangannya telah sibuk mengusap air matanya.

Buntal lah yang kemudian mendekatinya sambil berkata, “Jangan menangis Arum. Semuanya sudah selesai”

Arum mengusap matanya. Namun air itu masih saja mengembun.

Dalam pada itu, terdengar Juwiring berkata, “Buntal. Tolong, bantulah aku mengobati lukaku”

Buntal pun kemudian mendekat. Bahkan Arum pun mendekat pula. Merekapun membantu mengobati luka-luka di tubuh Juwiring. Ketika tersentuh luka oleh ujung senjatanya, tiba-tiba Arum terpekik kecil. Katanya, “Aku pun sudah menjadi gila kakang. Aku juga menjadi gila”

“Kau tidak bersalah adikku” desis Juwiring, “Kau hanya sekedar membela diri. Sudahlah. Seperti yang dikatakan Buntal, semuanya sudah selesai”

Arum berusaha menahan tangisnya. Dengan lengan bajunya ia mengusap, matanya. Tetapi semakin ia sibuk mengusap matanya, maka air itu pun rasa-rasanya mengalir semakin deras.

Dalam pada itu, terasa oleh Buntal, betapa lemahnya keadaan Juwiring. Darah sudah terlalu banyak mengalir dari tubuhnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berdesis lemah, “Buntal, apa yang akan terjadi?”

Buntal terkejut. Ketika ia memandang wajah Juwiring, wajah itu menjadi sangat pucat.

“Kakang Juwiring” desis Buntal.

“Pandanganku menjadi berkunang-kunang” desis Juwiring.

Ketika kemudian Buntal memegangi kedua lengannya, terasa anak muda itu menjadi gemetar.

“Berbaringlah” desis Buntal sambil membantu Juwiring berbaring di atas tanah berbatu padas.

Nafas Juwiring pun seolah-olah telah menjadi sendat. Sementara itu Buntal berusaha untuk memijit dadanya untuk membantu arus pernafasannya.

Namun ternyata tubuh Juwiring sudah terlalu lemah. Sekali Juwiring berdesis. Namun kemudian matanya pun terpejam. Pingsan.

“Kakang, kakang” panggil Buntal dengan gelisah.

“Kenapa, kenapa kakang Juwiring?” bertanya Arum dengan nada patah-patah.

Sebelum Buntal menjawab, Arum yang melihat keadaan Juwiring, tiba-tiba saja telah menjerit. Diguncang-guncangnya tubuh itu sambil menangis, “Kakang, kakang”

“Jangan kau perlakukan begitu, Arum” Buntal mencoba mencegahnya.

“Aku telah membunuhnya, “ tangis gadis itu.

“Kakang Juwiring tidak mati. Ia pingsan” sahut Buntal.

Arum memandang Buntal dengan tatapan yang mengandung harapan. Maka ia pun bertanya dengan nada dalam, “Jadi kakang Juwiring hanya pingsan?”

“Ya. Ia pingsan. Tubuhnya dan hatinya terlalu letih oleh keadaan yang tidak dikehendakinya sendiri. Kau lihat, luka-lukanya sudah mulai pampat kembali. Jika tubuhnya kau guncang-guncang seperti itu, maka luka-lukanya mungkin akan dapat berdarah lagi”

Arum melepaskan tubuh yang terbaring diam itu. Sementara itu Buntal pun berkata, “Tunggulah di sini. Aku akan mencari air. Air itu akan membuatnya sedikit segar”

“Apakah air di dalam impes itu sudah habis?” bertanya Arum.

Buntal pun kemudian pergi ke mata air yang tidak terlalu jauh, yang diketemukannya sebelum ia terpaksa bertempur melawan Juwiring. Dengan daun lumbu ia membawa air yang bening dan dingin. Perlahan-lahan air itu pun kemudian diusapkan ke wajah Juwiring, ke rambutnya dan lehernya.

Ternyata air itu membuat tubuh Juwiring menjadi sedikit segar. Perlahan-lahan anak muda itu menggerakkan pelupuk matanya. Ketika matanya terbuka, yang dilihatnya pertama-tama adalah dua orang adik seperguruannya yang berjongkok di sampingnya sambil mengusap wajahnya dengan air yang sejuk.

“Kakang” desis Arum ketika ia melihat anak muda itu membuka matanya.

Juwiring berdesah. Terasa tubuhnya letih sekali. Tulang-tulangnya bagaikan dilepas dari kulit dagingnya. Namun usapan yang dingin membuatnya semakin segar.

“Beristirahatlah kakang” desis Buntal.

Juwiring mengangguk kecil. Namun ketika ia menggerakkan badannya, tulang punggungnya serasa akan patah.

“Tanah ini memang keras sekali” desis, Buntal, “Tetapi lebih baik kau tetap berbaring”

Arum lah yang kemudian bangkit untuk mengambil dedaunan pada ranting-ranting perdu. Katanya, “Mungkin kurang sesuai, tetapi cobalah untuk mengurangi perasaan sakit karena keras batu-batu padas”

Buntal dan Arum telah membantu Juwiring untuk menggeser tubuhnya ke atas setumpuk dedaunan. Terasa tubuh Juwiring tidak terlalu sakit lagi oleh kerasnya batu-batu padas.

Dalam pada itu, meskipun anak-anak muda itu tidak membicarakannya, namun mereka sudah saling mengerti, bahwa mereka harus bermalam lagi. Betapa dinginnya malam, namun mereka tidak akan dapat meninggalkan tempat itu karena keadaan Juwiring.

Dalam pada itu, selagi Juwiring berusaha untuk memperbaiki keadaannya, Buntal telah berusaha menemukan tempat yang agak lunak. Ia tidak dapat membiarkan tubuh-tubuh dari mereka yang telah terbunuh untuk ditinggalkannya begitu saja.

“Sulit untuk membuat lubang di sini” desis Arum.

Akhirnya mereka bersepakat untuk mengubur mereka pada lekuk dinding-dinding padas dan kemudian menimbuninya.

Namun sementara itu, keris yang masih tetap tergolek itu pun merupakan persoalan tersendiri. Jika keris itu ditinggalkannya di situ saja, maka ada kemungkinan bahwa seseorang akan dapat menemukannya. Tetapi untuk membuangnya lebih jauh, maka anak-anak muda itu tidak lagi berniat untuk memegangnya meskipun hanya sekejap.

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Buntal kepada Arum yang bersama-sama sedang menunggui Juwiring yang masih terbaring di atas seonggok dedaunan.

“Biarlah keris itu berada di tempat itu sampai esok. Kita akan memikirkan malam ini, apa yang sebaiknya kita lakukan” desis Arum,

“Tetapi yang semalam itu akan dapat menumbuhkan perubahan yang tidak kita kehendaki” sahut Buntal.

“Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya kita lakukan” jawab Arum pula.

Namun tiba-tiba saja Buntal berkata, “Aku akan mengungkit-nya dan melemparkannya ke dalam jurang. Tanpa menyentuh langsung dengan tanganku”

Arum mengerutkan keningnya. Ketika keduanya memandang Juwiring yang masih terbaring, ternyata anak muda itu berkata perlahan-lahan, “Kau dapat mencobanya Buntal. Tetapi ingat, jangan kau sentuh dengan tanganmu. Jangan pula kau ungkit dengan pedangmu. Carilah sepotong kayu yang kemudian akan kau lemparkan pula ke dalam jurang itu. karena mungkin sekali sentuhan sepotong kayu dengan keris itu akan dapat mengakibatkan sentuhan racun dari keris itu pula.

Buntal mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba kakang. Tetapi aku minta kepada Arum untuk mengamati agar aku tidak membuat kesalahan lagi seperti yang pernah kau lakukan”

“Baiklah” desis Juwiring, “Kau dapat membantunya Arum”

Buntal pun kemudian mencari sepotong kayu. Dengan kayu itu ia mengungkit keris itu. Sedikit demi sedikit. Sementara Arum selalu mengikutinya.

Ternyata bahwa usaha Buntal itu berhasil. Ia berhasil mengungkit keris itu sampai ke bibir jurang yang dalam. Kemudian dengan satu ungkitan lagi, maka keris itu pun telah terlempar ke dalam jurang yang dalam dan terjal, yang tidak mungkin di sentuh oleh kaki manusia. Sementara itu, Buntal pun telah melemparkan pula sepotong kayu yang dipergunakannya untuk mengungkit keris itu.

“Tetapi yang kita lakukan hanya sekedar satu usaha” berkata Buntal, “Tetapi siapa tahu. bahwa ada jalan lain yang justru akan langsung sampai ke bagian bawah dari jurang itu”

Arum mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin kakang. Tetapi menilik keadaannya, maka jurang itu tentu tidak akan pernah di sentuh kaki manusia”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar keterangan kedua adik seperguruannya mengenai keris itu. Meskipun hampir saja merenggut nyawanya, namun mereka bertiga telah berhasil melakukan perintah ayahandanya yang terakhir untuk menyimpan keris itu ke tempat yang tidak pernah disentuh oleh tangan manusia.

Demikianlah, di malam yang dingin ketiga anak muda itu telah bermalam lagi di lereng Gunung Lawu. Mereka berusaha mengusir dinginnya malam di lereng gunung dengan membuat perapian. Buntal telah mencari kekayuan dan ranting-ranting yang kering. Kemudian mereka membakarnya di dekat tempat Juwiring berbaring.

“Tidurlah” berkata Buntal kepada Arum.

Arum menarik nafas. Tetapi ia tidak sampai hati untuk tidur sementara Buntal akan berjaga-jaga semalam suntuk.

“Kita bergantian” berkata Arum, “Jangan anggap aku sebagai seorang gadis kecil yang hanya pandai merengek”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Namun jawabnya, “Baiklah. Sekarang giliranku berjaga-jaga. Tidurlah. Pada saatnya aku akan membangunkanmu”

Tetapi Arum pun mengerti, bahwa Buntal tidak akan membangunkannya. Karena itu, maka Arum pun tidak mau tidur sama sekali, meskipun ia duduk sambil memeluk lututnya dan meletakkan kepalanya di atas lututnya itu.

Ketika matahari memancar di keesokan harinya, ternyata keadaan Juwiring sudah berangsur baik. Ia sudah mau makan sepotong makanan dari bekal yang dibawanya. Bekal yang di buat persediaan untuk waktu yang cukup lama.

“Bagaimana dengan keadaanmu?” bertanya Buntal

“Apakah kau sudah merasa baik dan dapat melakukan perjalanan?”

“Jangan kau paksa” desis Arum.

Namun Juwiring lah yang menjawab, “Aku rasa keadaanku cukup baik. Tubuhku sudah merasa segar. Tetapi sudah barang tentu aku memerlukan bantuan kalian untuk menuruni lereng gunung ini”

“Jika perlu, kita dapat menunda sehari lagi” berkata Buntal.

“Akan menjadi kurang baik bagiku” jawab Juwiring, “Semakin cepat aku kembali di antara lingkungan kita, maka akan menjadi semakin baik bagiku. Kita akan dapat membuat laporan tentang Singaprana, tetapi lebih dari itu, aku akan mendapat pengobatan yang lebih baik. Dengan demikian, maka keadaanku pun akan cepat pulih kembali”

Kedua adik seperguruannya pun menyetujuinya pula. Karena itu, maka mereka pun segera berbenah diri Bergantian Arum dan Buntal pergi ke mata air yang tidak terlalu jauh. Sementara Buntal pun telah membawa air yang sejuk dengan daun lumbu. Dengan air itu Juwiring mengusap wajah dan rambutnya, sehingga tubuhnya terasa menjadi semakin segar.

Setelah berbenah diri, maka anak-anak muda itu pun kemudian bersiap untuk menuruni lereng. Senjata-senjata mereka sudah tergantung di lambung, sementara Buntal masih membawa kampil berisi bekal mereka yang tidak terlalu banyak.

Perlahan-lahan mereka pun mulai menuruni tebing Gunung Lawu. Mereka harus sangat berhati-hati, karena di antara mereka terdapat Juwiring yang lemah. Meskipun demikian ternyata Juwiring memang seorang anak muda yang mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa. Meskipun badannya sangat letih, namun ia pun menuruni gunung itu tanpa mengeluh.

Tetapi dengan keadaannya itu, ketiga anak muda itu pun beberapa kali harus berhenti untuk beristirahat. Setiap kali Buntal melihat, apakah luka Juwiring berdarah lagi. Namun agaknya setelah mendapat pengobatan, luka Juwiring itu benar-benar sudah pampat.

Anak-anak muda itu ternyata memerlukan waktu yang berlipat untuk menuruni lereng gunung itu dibanding dengan saat mereka naik. Namun ketiga anak-anak muda itu menarik nafas dalam-dalam ketika mereka benar-benar sudah sampai pada satu tataran yang sudah sering dilalui orang. Mereka mulai berjalan di atas jalan yang lebih baik dari batu-batu padas yang miring. Apalagi mereka mulai memasuki padukuhan yang berpenghuni.

Namun keadaan mereka memang dapat menarik perhatian satu dua orang yang mereka jumpai. Ketika seorang yang membawa cangkul berpapasan dengan ketiga anak muda itu, maka dengan wajah cemas orang itu bertanya, “Anak muda, kenapa kawanmu itu?”

Buntal bingung sesaat. Namun akhirnya ia menemukan jawaban, “Ternyata tanah licin di lereng gunung. Kawanku tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Untunglah bukan jurang yang terlalu dalam”

“O” orang tua itu mengangguk-angguk, “syukurlah bahwa jurang itu tidak terlalu dalam. Tetapi keadaannya nampaknya cukup payah”

“Mudah-mudahan segera bertambah baik” desis Buntal.

Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bergumam, “Kalian harus berhati-hati. Daerah ini memang daerah yang wingit”

Ketiga anak muda itu pun melanjutkan perjalanannya menuju ke sebuah kedai tempat mereka menitipkan kuda mereka. Setiap kali ada orang yang bertanya, maka Buntal pun menjawab serupa. Bahwa Juwiring telah tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang untungnya tidak begitu dalam.

“Itulah anak-anak sekarang” desis seorang perempuan tua yang juga mendapat jawaban yang sama, “Mereka sudah tidak menghormati lagi keadaan di lereng Gunung ini. Untunglah bahwa anak yang tergelincir itu tidak mati, atau ketiga-tiganya tidak kalap sama sekali di lambung Gunung itu”

Setelah menempuh perjalanan yang lambat, akhirnya mereka sampai juga ke kedai tempat mereka menitipkan kuda-kuda mereka. Kedatangan ketiga anak muda itu benar-benar telah mengejutkan pemilik warung itu. Apalagi ketika ia mendapat jawaban yang sama dari Buntal seperti ia menjawab setiap pertanyaan tentang keadaan Juwiring.

“Syukurlah bahwa keadaannya berangsur baik” berkata pemilik warung itu. Bahkan beberapa orang yang sedang berada di warung itu pun ikut mengangguk-angguk.

Seperti beberapa orang lain, maka pemilik warung itu pun menganggap anak muda yang tergelincir itu masih beruntung.

“Tiga bulan yang lalu, seseorang telah meninggal” berkata pemilik warung itu.

“O” Buntal mengerutkan keningnya.

“Ia juga tergelincir. Tetapi agak ke Utara dari jurusan yang kalian ambil. Empat orang mendaki bukit untuk nenepi seperti yang akan kalian lakukan. Tiga orang turun ke padukuhan untuk minta tolong agar mereka membantu mengambil kawannya yang tergelincir. Juga di jurang yang tidak begitu dalam. Tetapi nyawanya tidak tertolong lagi” Namun tiba-tiba orang itu bertanya, “Tetapi bagaimana kalian dapat naik?”

Buntal menjadi agak bingung. Namun ia justru bertanya, “Naik kemana?”

“Bukankah kawanmu itu tergelincir ke dalam jurang?” bertanya pemilik warung itu,

“Ya. Ia tergelincir. Terguling-guling di atas batu-batu padas dan membentur seonggok batu padas pula” jawab Buntal

“O” pemilik warung itu mengangguk-angguk, “Jadi tidak terperosok masuk ke dalam jurang yang terjal?”

“Tidak” jawab Buntal.

Ternyata pemilik warung itu cukup baik. Meskipun ketika ketiga anak muda itu berangkat, pemilik warung itu hanya mau menerima kuda yang dititipkan dengan imbalan uang, namun melihat keadaan Juwiring ia menjadi iba. Pemilik warung itu telah memberikan tempat bagi Juwiring untuk beristirahat. Dipersilahkannya Juwiring berbaring di sebuah amben yang besar di serambi samping.

Dalam pada itu, Buntal pun telah memesan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Selain bagi Juwiring juga Buntal dan Arum pun memerlukannya. Meskipun mereka membawa bekal, tetapi nasi hangat dan minuman panas membuat tubuh Juwiring semakin segar.

Dengan keadaan yang lebih baik, maka ketiga anak-anak muda Itu pun merencanakan untuk segera kembali ke tempat kedudukan mereka di Gebang. Mereka tidak akan dapat berbuat untuk kepentingan mereka sendiri tanpa menghiraukan keadaan yang setiap saat dapat berubah-rubah dengan cepatnya.

Meskipun keadaan Juwiring belum pulih benar, namun ia sudah menjadi semakin kuat dan memungkinkan menempuh perjalanan.

Dengan demikian, maka setelah mereka beristirahat beberapa lama, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk meninggalkan warung di kaki Gunung Lawu itu.

Agar mereka tidak selalu menarik perhatian orang di sepanjang jalan, maka Juwiring pun telah mengganti pakaiannya yang bernoda darah dan telah dikoyak oleh senjata Singaprana, Arum dan Buntal. Tetapi pakaian yang koyak itu telah disimpan oleh Juwiring untuk mengenang apa yang pernah terjadi atas dirinya karena pengaruh keris yang luar biasa itu.

Demikianlah, setelah membayar makanan, minuman dan upah selama pemilik warung itu memelihara kuda anak-anak muda yang memanjat kaki Gunung Lawu itu, maka mereka pun segera mohon diri,

“Tetapi bukankah kau masih terlalu letih?” bertanya pemilik warung itu kepada Juwiring.

“Aku sudah baik” jawab Juwiring, “terima kasih atas segala kebaikan bagi kami bertiga”

Pemilik warung itu tidak menahan mereka. Bagaimanapun juga ada perasaan cemas melihat keadaan Juwiring. Tetapi karena anak-anak muda itu sudah berniat untuk pergi, maka dilepaskannya anak-anak muda itu dengan ragu-ragu.

Sejenak kemudian ketiga anak muda itu telah meninggalkan kaki Gunung Lawu. Mereka tidak berpacu terlalu cepat, mengingat keadaan Juwiring, Tetapi Juwiring sendiri nampaknya sudah tidak menghiraukan lagi keadaan dirinya. Ialah yang justru selalu berada di paling depan.

“Jangan kau paksa dirimu, “Buntal memperingatkannya.

“Aku tidak apa-apa. Bukankah aku tinggal duduk saja di punggung kuda?” sahut Juwiring sambil tersenyum.

“Kau akan terguncang-guncang” sahut Buntal.

Juwiring masih saja tersenyum. Tetapi ia mengangguk-angguk.

Di perjalanan kembali anak-anak muda itu lebih memperhitungkan keadaan. Jika mereka bertemu dengan lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin gawat. Meskipun Juwiring yang sudah menjadi semakin baik itu akan dapat berbuat sesuatu untuk melindungi dirinya, tetapi ia tidak berada di puncak kemampuannya, sehingga jika hal itu terjadi, maka mereka akan berada dalam bahaya.

Dengan sangat berhati-hati mereka menempuh perjalanan ke Gebang. Mereka menelusuri jalan yang paling aman, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ki Wandawa. Sehingga dengan demikian, mereka sama sekali tidak mengalami hambatan apapun juga di perjalanan.

Namun dalam pada itu, ketika mereka singgah sebuah kedai, maka mereka berhasil memancing pembicaraan dengan pemilik kedai itu, bahwa sejak beberapa hari yang lalu, keadaan menjadi agak tenang. Memang ada peronda dari Surakarta yang bergerak, tetapi dalam jumlah kecil dan tidak terlalu jauh dari pusat-pusat pertahanan mereka. Sementara itu pasukan Pangeran Mangkubumi pun tidak bergerak pula. Tetapi ketiga anak muda itu gagal untuk mencari keterangan, bagaimana sikap orang-orang di sekitar warung itu karena setiap orang menjadi sangat berhati-hati. Mereka tidak dengan terbuka dapat mengutarakan isi hatinya, karena mereka selalu meragukan, dengan siapa mereka berhadapan.

Namun demikian, ketiga orang anak muda itu menjadi lebih tenang. Selama mereka berada di Gunung Lawu, ternyata tidak terjadi sesuatu atas Gebang, dan mungkin juga tidak terjadi sesuatu atas Raden Ayu Galihwarit.

Demikianlah, maka mereka pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Dengan selamat mereka sampai ke tempat kedudukan mereka di Gebang.

Ternyata ketiga anak-anak muda itu tidak ingin menunda laporannya. Karena itulah, setelah mereka berbincang dengan Kiai Danatirta serba sedikit, maka mereka pun segera menghadap Ki Wandawa.

Dengan tegang Ki Wandawa mendengarkan laporan ketiga anak-anak muda itu. Sekali-kali ia memandang Juwiring sekilas. Kemudian kedua adik seperguruannya, seolah-olah ingin mengetahui apakah yang dikatakan oleh Juwiring itu benar.

Di luar sadarnya, kadang-kadang Buntal pun mengangguk-angguk kecil, sehingga Ki Wandawa dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang dikatakan oleh Juwiring itu dibenarkan oleh Buntal.

“Jadi Singaprana mengikuti perjalananmu?” Ki Wandawa menegaskan.

“Aku terpaksa membunuhnya” sahut Juwiring kemudian. Sementara itu ia pun melaporkan pula apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Untunglah bahwa kalian bertiga” berkata Ki Wandawa, “dengan demikian maka ada kekuatan yang dapat mencegah pengaruh keris itu atas dirimu Raden”

“Kami bersyukur, bahwa agaknya Yang Maha Kuasa masih selalu melindungi kami bertiga” sahut Juwiring

“Baiklah” berkata Ki Wandawa, “bagaimanapun juga kematian Singaprana harus direlakan. Aku memang masih belum mempercayainya sepenuhnya. Namun bahwa ia berhasil mendengarkan pem-bicaraan kita, itu merupakan satu peringatan bagi kita, bahwa kita masih harus meningkatkan kewaspadaan dan perlindungan terhadap rahasia kita. Terutama yang menyangkut rahasia tingkah laku pasukan ini”

Ketiga anak muda itu pun kemudian minta diri. Juwiring ingin mengobati luka-lukanya dengan cara yang lebih baik. agar luka-lukanya itu menjadi semakin cepat sembuh.

Ketika kemudian Kiai Danatirta membuka baju Juwiring dan melihat luka-luka di tubuhnya orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jarang sekali orang yang memiliki daya tahan seperti kau Raden. Luka-luka itu cukup banyak dan parah. Meskipun sudah kau pampatkan dengan obat yang kau bawa, namun luka-luka ini masih tetap merupakan luka-luka yang gawat”

“Adik-adikku sangat membantu. Perjalanan kami kembali dari Gunung Lawu merupakan perjalanan yang sangat lambat. Hampir seperti siput yang merambat di pinggir parit” desis Juwiring.

Dalam pada itu, Kiai Danatirta pun telah merawat luka-luka Juwiring yang di antaranya adalah karena ujung pedang Arum dan Buntal. Namun peristiwa itu ternyata tidak meninggalkan luka di hati. Anak-anak muda itu pun telah menyadari, bahwa yang terjadi itu seolah-olah bukan karena kehendak mereka sendiri. Meskipun peristiwa itu sendiri sudah hampir saja merenggut jiwa salah seorang dari mereka.

Sementara itu, keadaan Surakarta memang agak tenang. Kumpeni sedang sibuk mencari orang yang dianggapnya berkhianat. di antara para Senapati dan perwira prajurit Surakarta, ternyata tidak dapat mereka ketemukan, dugaan-dugaan tentang seorang pengkhianat.

“Mungkin yang terjadi itu adalah satu kebetulan saja” berkata seorang perwira Surakarta, “atas dasar kemampuan Raden Mas Said memperhitungkan keadaan, serta pengamatan para petugas sandinya, maka dia mengambil kesimpulan bahwa serangan yang dipersiapkan kumpeni dan prajurit Surakarta, sama sekali tidak akan diarahkan kepada pasukan induk Pangeran Mangkubumi”

Seorang perwira yang sudah lebih tua mengangguk-angguk. Katanya, “Hal itu memang mungkin sekali. Raden Mas Said adalah seorang yang memiliki penggraita yang sangat tajam. Hampir seperti Pangeran Mangkubumi sendiri”

“Mungkin sekali ia mempunyai seorang guru, penasehat atau apapun yang dapat melihat isyarat atas sesuatu yang belum terjadi” desis seorang perwira prajurit Surakarta.

“Omong kosong” bantah seorang perwira Kumpeni, “itu hanya omong kosong. Tentu ada seorang pengkhianat, atau kecerdasannya lah yang telah mengambil kesimpulan, bahwa kita akan datang menyerang, sehingga mereka sempat memasang jerat”

“Tetapi mereka mempunyai perhitungan waktu yang tepat” desis perwira kumpeni yang lain.

“Mungkin mereka sudah dua hari melakukan jebakan itu” jawab perwira kumpeni yang pertama, “dengan sabar mereka menunggu. Seandainya kita tidak, datang pada waktu itu, mereka akan tetap menunggu sampai seminggu Dengan demikian kita akan mendapat kesan, bahwa mereka dapat memperhitungkan segalanya dengan tepat”

Para perwira kumpeni dan para Senapati dari Surakarta itu mengangguk-angguk. Memang masuk akal. Sementara mereka pun menyadari, bahwa petugas sandi, baik dari pasukan Raden Mas Said maupun dari pasukan induk Pangeran Mangkubumi tentu berkeliaran di Surakarta.

“Seandainya tidak ada seorang pengkhianat” berkata salah seorang Senapati, “para petugas sandi yang satu dengan yang lain dapat menghubungkan persoalan yang dapat mereka amati. Kemudian orang-orang seperti Raden Mas Said dan apalagi Pangeran Mangkubumi sendiri akan dapat mengambil kesimpulan. Dan kesimpulan itu biasanya mendekati kebenaran”

“Ya” sahut seorang perwira Kumpeni, “Kita memang menghadapi seseorang yang tidak pernah kita perhitungkan ada di Surakarta. Ternyata mereka memang memiliki kecerdasan yang tinggi”

“Apa yang kau maksudkan?” bertanya seorang Senapati muda.

Perwira kumpeni itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ada juga orang pribumi yang mempunyai kecerdasan yang baik sebagaimana Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said”

“Tidak hanya dua. Tetapi lebih dari jumlah kumpeni yang ada di Surakarta ” jawab Senapati muda itu.

“Tentu tidak” berkata kumpeni itu pula, “jika demikian peradaban kalian tentu lebih tinggi dari sekarang. Apalagi kami tidak akan perlu berada di sini untuk melindungi kalian”

“Memang sebaiknya kalian pergi” desis Senapati muda itu.

“Sudahlah” potong Senapati yang lebih tua, “Kita sedang berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di lingkungan kita. Dengan demikian kita akan dapat menjadi salah paham dan bahkan menambah ketidak tenangan kita”

Senapati muda itu menunduk. Ia tidak membantah lagi. Jika ia masih juga menolak anggapan orang-orang berkulit putih itu, bahwa orang-orang Surakarta memiliki tingkat kecerdasan yang rendah, maka orang-orang yang marah itu akan dapat mengarahkan kecurigaannya kepadanya.

Namun dalam pada itu, ketika kumpeni itu tidak lagi dapat menemukan orang-orang yang dicurigainya di antara mereka. maka mereka mulai melihat kepada orang-orang yang selalu berhubungan dengan mereka terdapat Raden Ayu Galihwarit.

Sementara itu, Arum, Buntal dam Juwiring yang telah berada di Gebang, merasa perlu untuk segera berhubungan dengan Raden Ayu Galihwarit. Meskipun nampaknya untuk beberapa hari tidak ada gerakan dari segala pihak, namun mungkin sekali akan dapat terjadi sesuatu yang tiba-tiba.

Tetapi seperti yang pernah dipesankan oleh beberapa pihak, apalagi karena keadaan kesehatannya yang masih belum memungkinkan, maka hanya Buntal dan Arum sajalah yang akan pergi menemui Raden Ayu Galihwarit. Bagaimanapun juga keadaan masih sangat gawat jika Juwiring sendiri pergi memasuki kota.

Seperti biasa yang mereka lakukan, maka di dini hari mereka sudah siap untuk berangkat dengan membawa beberapa jenis barang dagangan, terutama alat-alat untuk merias diri. Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta mampu meramu lulur dan mangir yang baik, sehingga benar-benar dapat dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit. Bahkan seperti yang sudah dilakukannya, maka Raden Ayu Galihwarit telah menularkannya kepada beberapa orang puteri dan yang ternyata mereka pun sependapat bahwa lulur dan mangir itu cukup baik.

Kedatangan Buntal dan Arum telah disambut dengan gembira oleh Raden Ayu Galihwarit, terlebih-lebih lagi Rara Warih, yang rasa-rasanya sudah tidak betah lagi tinggal di istana Eyangnya.

Selagi ibundanya masih membenahi diri di dalam biliknya Rara Warih menerima Arum dan Buntal itu di serambi. Seperti kanak-kanak Rara Warih selalu saja bertanya apa yang pernah terjadi di padukuhan di luar kota Surakarta. Bahkan Arum pun sempat menceriterakan keadaan Raden Juwiring yang masih belum pulih benar karena keadaannya yang terjadi di luar kemauannya.

“Aneh sekali” berkata Rara Warih, “Jadi benda itu dapat mempengaruhi kepribadian seseorang?”

“Ya” jawab Arum, “langsung atau tidak langsung”

“Bagaimana yang langsung dan bagaimana yang tidak langsung?” bertanya Rara Warih.

“Seperti yang terjadi atas Raden Juwiring itu, benda di tangannya dengan langsung mempengaruhinya, meskipun hal itu terjadi karena Raden Juwiring telah mempergunakannya lebih dahulu untuk melawan orang yang bernama Singaprana” jawab Arum. Kemudian, “Sedangkan yang tidak langsung, dapat kita lihat lebih banyak lagi. Karena sesuatu benda apakah itu pusaka atau bukan, tetapi benda-benda berharga, akan dapat membuat kita kehilangan pegangan. Kau lihat, beberapa orang yang tergelincir ke dalam pengaruh kumpeni itu, bukankah juga karena pengaruh benda-benda mati seperti itu? Jarang di antara mereka yang berpegang pada satu keyakinan, bahwa kumpeni akan dapat mendatangkan kesejahteraan lahir batin bagi Surakarta. Namun sebagian dari mereka telah didorong oleh satu keinginan pribadi. Maksudku, telah dipengaruhi dengan tidak langsung oleh benda-benda berharga”

Rara Warih mengangguk-angguk. Namun mereka telah terkejut ketika mendengar suara di ambang pintu, “Kau benar ngger. Pengaruh gelar keduniawian memang sangat besar, sehingga seseorang akan dapat kehilangan kepribadiannya”

Arum terkejut. Wajahnya menjadi redup ketika ia melihat Raden Ayu Galihwarit melangkah keluar pintu. Namun gadis itu menjadi agak tenang ketika ia melihat. Raden Ayu itu masih tetap tersenyum.

“Nampaknya memang demikian Arum” berkata Raden Ayu Galihwarit yang kemudian duduk bersama mereka.

“Aku mendengar apa yang kau ceriterakan tentang Juwiring. Sungguh menegangkan. Untunglah bahwa Tuhan masih melindungi kalian bertiga”

“Ya Raden Ayu” desis Arum sambil menunduk dalam-dalam, “Tuhan Yang Maha Penyayang masih melindungi kami bertiga”

“Tetapi hal itu akan dapat kalian jadikan pengalaman. Dan tanpa kau sadari, kau dapat mengambil arti dari peristiwa itu dengan memperbandingkan antara pengaruh yang langsung dan yang tidak langsung” berkata Raden Ayu Galihwarit selanjutnya.

Arum tidak menjawab. Ia menjadi berdebar-debar lagi.

Namun Raden Ayu Galihwarit itu kemudian berkata, “Dengan pengalaman itu Arum, kau dan saudara-saudaramu akan tetap berpegang pada keyakinanmu. Sebagaimana akhirnya Juwiring berhasil bebas dari pengaruh keris itu. Karena sebenarnyalah keris itu mempunyai perbawa yang luar biasa, dan hal ini telah pernah aku ceriterakan, juga tentang perubahan watak yang terjadi pada Tumenggung Sindura.

Arum masih menundukkan kepalanya, sementara Buntal mengangguk-angguk.

“Ah, sudahlah. Kalian dapat berbincang lebih panjang. Aku akan melihat-lihat mangirmu Arum” berkata Raden Ayu itu kemudian.

Sambil membawa mangir yang diserahkan Arum, Raden Ayu Galihwarit pun masuk kembali ke dalam biliknya sementara Arum, Buntal dan Rara Warih masih saja berbincang sambil menunggu keterangan yang mungkin akan diberikan oleh Raden Ayu Galihwarit tentang keadaan terakhir.

Namun dalam pada itu, akhirnya Warih sampai juga kepada persoalan dirinya sendiri. Kata-katanya menjadi semakin lambat dan terputus-putus. Seolah-olah dengan sengaja ia telah berusaha agar suaranya tidak didengar oleh ibundanya.

“Aku menjadi semakin tidak kerasan tinggal di rumah ini” desis Warih.

“Puteri harus menahan diri” jawab Arum yang hampir berbisik pula terpengaruh oleh suara Rara Warih, “pada suatu saat, segalanya akan berakhir”

“Pada suatu saat segalanya memang akan berakhir” jawab Warih, “Tetapi untuk menunggu waktu yang kau sebut pada suatu saat itu telah membuat aku hampir menjadi gila”

“Puteri memang harus tabah. Kita semuanya harus tabah menghadapi perjuangan ini” sahut Arum.

“Aku dapat mengerti. Tetapi sulit bagiku untuk menerima cara yang dipergunakan oleh ibunda. Bahkan pada saat-saat terakhir, orang-orang asing itu telah sering datang ke rumah ini. Pada malam buta mereka datang mengantarkan ibunda. Lewat senja mereka datang menjemput” Rara Warih berhenti sejenak, lalu, “bahkan mereka telah mengotori rumah ini dengan sikap mereka yang gila”

Arum tidak tahu, apa yang harus dikatakannya. Karena itu, maka ia justru menjadi termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Buntal bertanya hampir di luar sadarnya, “Bagaimanakah sikap Pangeran Sindurata?”

“Uh, eyang tidak lagi mempedulikan apa yang terjadi. Eyang menyadari bahwa jika ia memikirkan sesuatu, sakitnya akan dapat kambuh. Kepalanya menjadi pening, tengkuknya serasa kejang dan jika ia dalam keadaan yang demikian, maka eyang selalu marah-marah. Apa saja telah menumbuhkan kemarahan-nya sehingga kadang-kadang Eyang dapat kehilangan kesadaran dan melakukan sesuatu yang berbahaya” jawab Warih sambil mengusap matanya.

Buntal tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia mengerti, sebagaimana juga Arum mengerti sepenuhnya perasaan gadis itu. Tetapi mereka belum dapat berbuat sesuatu.

Buntal tidak bertanya lebih banyak lagi. Sementara Arum pun hanya mengangguk-angguk saja. Namun sejenak kemudian, agaknya Warih pun merasa bahwa tidak sepantasnya ia selalu mengeluh saja di hadapan tamu-tamunya, sehingga karena itu, maka ia pun kemudian mencoba untuk berbicara tentang berbagai hal yang berkembang di Surakarta sejak kota itu diduduki untuk setengah hari oleh pasukan Pangeran Mangkubumi.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk berbincang, mereka telah dikejutkan oleh derap suara kereta memasuki halaman istana Pangeran Sindurata.

Wajah Rara Warih menegang. Sambil mengangkat kepalanya ia berdesis, “Tentu mereka pula”

Buntal dan Arum pun menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga mereka merasa, bahwa keduanya adalah orang-orang yang dikirim oleh para pengikut Pangeran Mangkubumi.

Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, Raden Ayu Galihwarit dengan tergesa-gesa telah keluar dari biliknya.

Agaknya Raden Ayu itu juga mendengar derap kereta yang memasuki halaman.

“Bukan maksudku untuk merendahkan kalian” berkata Raden Ayu Galihwarit, “namun aku minta bagi keselamatan kalian untuk pergi ke belakang”

Buntal dan Arum termangu-mangu. Namun Warih pun telah berpikir cepat, dibimbingnya Arum menyusuri serambi menuju ke bagian belakang istana Pangeran Sindurata.

“Duduklah di sini” berkata Warih, “Mereka tidak akan pernah pergi ke belakang”

Arum mengangguk. Buntal pun kemudian duduk pula di bagian belakang istana itu untuk menunggu sampai orang-orang yang datang dengan kereta, yang menurut dugaan mereka adalah orang-orang asing itu pergi.

Sebenarnyalah yang datang adalah dua orang perwira kumpeni. Ternyata seorang di antara mereka masih belum pernah datang ke istana itu.

Sebelum mereka ditemui oleh Raden Ayu Galihwarit, keduanya sempat berdiri di tangga pendapa untuk beberapa saat. Namun tiba-tiba yang seorang dari mereka berkata, “Raden Ayu Galihwarit tinggal di sisi sebelah kiri”

Kumpeni yang belum pernah datang ke istana itu pun mengangguk-angguk. Namun demikian ia melangkah ke seketheng dan menjenguk ke longkangan dalam.

“Di sini Raden Ayu tinggal?” bertanya kumpeni itu.

“Ya. Tetapi ia menemui tamu-tamunya di pendapa” jawab yang lain.

Kumpeni yang seorang itu masih saja mengangguk-angguk. Nampaknya ia senang melihat kebun bunga yang ditumbuhi dengan berbagai jenis bunga yang jarang dilihatnya di barak-barak kumpeni dan bahkan di loji sekalipun.

Namun sejenak kemudian, maka Raden Ayu Galihwarit yang sudah selesai berpakaian muncul dari pintu pringgitan. Sambil tertawa cerah mereka mempersilahkan tamunya untuk naik ke pendapa.

Seperti biasanya, maka pembicaraan pun berjalan dengan lancar. Orang yang baru saja diperkenalkan kepada Raden Ayu itu pun segera dapat menyesuaikan diri, sehingga mereka pun telah berkelakar dengan gembiranya. Meskipun yang seorang di antara mereka adalah orang baru di Surakarta, namun ia telah mampu berbicara sepatah-sepatah sebagaimana perwira-perwira yang lain. Jika ia mendapat kesulitan untuk mengutarakan pikirannya, maka kawannyalah yang kemudian membantunya.

“Raden Ayu harus datang ke dalam pesta itu” berkata perwira yang sudah lama mengenal Raden Ayu.

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Sambil mengerling kepada perwira yang baru dikenalnya itu ia bertanya, “Tetapi bukankah dalam pesta itu sudah akan hadir puteri-puteri cantik dan muda”

Kedua perwira itu tertawa. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak ada seorang pun yang dapat menyamai Raden Ayu”

Raden Ayu itu pun tertawa pula meledak.

Dalam pada itu seperti biasanya, setiap kali Rara Warih mendengar suara tertawa yang berat dan dibarengi oleh suara tertawa ibundanya, hatinya bagaikan disayat. Ia hanya dapat mengusap air matanya di dalam biliknya.

Ketika teringat oleh Rara Warih bahwa di belakang ada Buntal dan Arum, maka ia pun merasa lebih baik berada di belakang bersama mereka. Namun ia tertegun ketika ia mendengar derap sepatu kedua kumpeni itu.

“Mereka sudah akan pergi” berkata Rara Warih di dalam hatinya.

Tetapi Rara Warih tidak menghiraukannya. Setelah mengusap matanya dan membenahi pakaiannya, maka ia pun keluar dari pintu samping untuk pergi ke belakang.

Namun demikian ia membuka pintu, langkahnya tertegun. Ternyata dua orang perwira kumpeni itu berada di seketheng. Warih masih mendengar salah seorang kumpeni itu berkata, “Sejuk sekali. Raden Ayu sendiri memelihara taman ini?”

“Ya” jawab ibunda Rara Warih.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit tertegun ketika ia melihat kumpeni yang seorang, yang belum pernah dikenalnya sebelumnya itu memandang Rara Warih dengan kerut di keningnya. Kemudian dengan suara patah-patah ia bertanya, “Siapakah itu?”

Raden Ayu Galihwarit menjadi bimbang. Sementara itu Warih telah melangkah ke belakang.

“Anak gadisku” jawab Raden Ayu kemudian.

“O, cantik sekali. Seperti ibunya” berkata kumpeni itu, “Bawa anak itu malam nanti ke pesta” Lalu katanya kepada kawannya, “Kau mengambil ibunya, aku akan mengambil anaknya. Kita tidak usah berebut”

“Ah” sahut Raden Ayu, “anak itu pemalu. Ia tidak akan mau pergi ke pesta”

“Jangan begitu” sahut perwira itu, “aku sudah mendengar serba sedikit tentang Raden Ayu. Tentu Raden Ayu berbangga jika anak gadis Raden Ayu itu pun akan dapat menjadi bunga ros di antara perempuan-perempuan yang hadir di samping Raden Ayu sendiri sebagai bunga dahlia”

“Ah” desah Raden Ayu, “Maaf, aku tidak dapat membawanya. Ia masih terlalu muda. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya di dalam pesta”

“Jangan begitu Raden Ayu” berkata perwira yang baru itu, “sebagaimana Raden Ayu pernah memulainya, maka anak perempuan Raden Ayu itu akan dapat memulainya pula. Ia sudah sering melihat apa yang Raden Ayu lakukan”

“Tetapi ia baru sakit” jawab Raden Ayu yang mulai menjadi kebingungan.

“Sakit apa?” bertanya perwira itu.

“Dadanya serasa sesak” jawab Raden Ayu, “bukankah tadi kau lihat, wajahnya muram sekali”

“Aku melihatnya cantik sekali” desis kumpeni itu, “he, dimana anak itu sekarang. Aku ingin berkenalan saja”

“Tunggulah sampai anak itu sembuh” jawab Raden Ayu.

Tetapi perwira kumpeni itu tidak mau menunggu. Ternyata ia masih lebih kasar dari kawan-kawannya yang sudah agak lama berada di Surakarta.

“Tunggulah” kawannya berusaha mencegahnya.

Tetapi perwira itu justru meloncat-loncat di halaman sambil tertawa, “Aku tidak pernah menunda keinginanku”

“Jangan gila” kawannya hampir berteriak. Tetapi ia tidak berhenti.

Sementara itu Raden Ayu Galihwarit menjadi gelisah dan pucat. Bukan saja tentang anak gadisnya. Tetapi ia tahu bahwa di ruang belakang Buntal dan Arum sedang bersembunyi.

Karena itu, maka Raden Ayu itu pun berlari-lari menyusul perwira kumpeni itu, diikuti oleh perwira yang seorang lagi.

Dalam pada itu, perwira baru di Surakarta itu telah memasuki ruang belakang. Ia tertegun ketika ia melihat tiga orang berada di ruang itu, duduk di atas amben kayu yang panjang.

Terdengar perwira itu kemudian tertawa. Dengan kalimat yang patah-patah ia berkata kepada Warih, “Nah, akhirnya aku ketemu juga. He, bukankah kau anak Raden Ayu itu?”

Warih yang terkejut melihat kehadiran kumpeni itu menjadi gemetar. Mulutnya justru bagaikan terbungkam.

“Jangan takut” berkata perwira itu, “aku tidak apa-apa. Aku senang karena kau cantik. Marilah, ikut aku. Malam nanti kita pergi ke sebuah pesta yang menarik”

Ketika perwira itu mendekap Warih bergeser setapak tetapi perwira itu justru tertawa.

Sementara itu, maka Raden Ayu Galihwarit pun telah memasuki ruang itu pula dengan nafas yang terengah-engah. Dengan gagap ia berkata, “Jangan, jangan kau lakukan itu terhadapnya. Apapun yang dapat kau lakukan terhadap aku, lakukanlah. Tetapi tidak terhadap anakku”

Perwira yang kasar itu tertawa. Katanya, “Kau sangat cantik Raden Ayu. Tetapi kau sudah terlalu tua. Anakmu ini juga cantik dan muda. Aku lebih senang memilihnya. Jika ia memang anak Raden Ayu, apa salahnya aku memperlakukannya seperti kawan-kawanku memperlakukan Raden Ayu”

“Tutup mulutmu” bentak Raden Ayu Galihwarit, “Kau tidak dapat berbuat seperti itu terhadap anakku”

Namun perwira yang lain, yang sudah lama dikenalnya itu telah mengejutkan Raden Ayu itu pula ketika ia kemudian berkata, “Sudahlah Raden Ayu. Buat apa Raden Ayu menolak permintaannya. Biarlah ia langsung berbicara dengan anak perempuan itu”

“Anakku tidak dapat diperlakukan demikian” bentak Raden Ayu.

Tetapi perwira itu berkata, “Ia tidak akan memperlakukan anak itu seperti itu, jika ia belum pernah mendengar serba sedikit tentang tingkah laku ibunya.

Kemarahan yang memuncak telah membakar jantung Raden Ayu Galihwarit, di luar sadarnya, dengan serta merta tangannya telah melayang menghantam pipi perwira itu.

Perwira itu terkejut. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Jangan berubah menjadi begitu garang Raden Ayu. Kita sudah lama saling mengenal. Apa artinya harga diri Raden Ayu dan anak perempuan Raden Ayu itu, jika kami sudah mengetahui sifat-sifat Raden Ayu”

Kemarahan Raden Ayu Galihwarit telah memuncak. Sementara itu perwira yang lain tiba-tiba saja dengan tanpa menghiraukan Buntal dan Arum telah mendekati Rara Warih dan berusaha menangkap tangannya.

Rara Warih berlari menjauhinya. Adalah di luar kehendaknya sendiri, bahwa ia telah berdiri di belakang Buntal dan Arum yang sudah bangkit pula dari tempat duduknya.

Sementara itu Buntal menjadi berdebar-debar. Ia menjadi sangat bingung. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan kumpeni justru di dalam kota Surakarta. Namun sudah barang tentu ia tidak akan dapat membiarkan kegilaan orang-orang asing itu terjadi di hadapan matanya.

Dalam pada itu perwira kumpeni itu pun agaknya tidak menghentikan niatnya. Dengan wajah garang ia membentak Buntal dan Arum, “Minggir”

Buntal masih tetap ragu-ragu. Namun ternyata sikap Raden Ayu telah membulatkan niatnya. Ketika perwira itu mendorongnya, terdengar Raden Ayu memekik kecil, “Jangan”

Oleh kata-kata Raden Ayu itu, seolah-olah Buntal telah digerakkan untuk menolak dorongan perwira kumpeni itu. Bahkan Buntal telah mendorong kumpeni itu sambil berkata, “Jangan ganggu, sebagaimana dikatakan oleh Raden Ayu”

Perwira itu terkejut bukan kepalang. Ia tidak menduga sama sekali bahwa orang yang tidak diperhitungkan itu tiba-tiba telah mendorongnya. Bahkan terlalu keras.

Ternyata Raden Ayu Galihwarit pun terkejut pula melihat sikap Buntal. Namun bagaimanapun juga, ia memang tidak akan mengorbankan anak perempuannya. Apapun yang dikatakan orang tentang dirinya, diterimanya dengan telinga dan mata tertutup. Tetapi tidak dengan anak gadisnya yang untuk beberapa lama telah tersiksa oleh sikap ibundanya itu.

Karena itu, maka Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian justru mengharap Buntal akan dapat melindungi Rara Warih.

Perwira kumpeni yang marah itu memandang Buntal dengan mata berapi-api. Kemudian dengan garang ia menggeram, “He, apakah kau sudah gila?”

Tetapi Buntal tidak bergeser. Bahkan ia menjawab, “Kau harus mendengarkan keterangan Raden Ayu. Bukankah Raden Ayu sudah membatasi keadaan diri. Kau dapat berbuat apa saja terhadap Raden Ayu. Tetapi tidak terhadap puteri”

“Jangan membantah” geram perwira itu.

“Kau yang harus melakukan permintaan kami. Kaulah yang seharusnya tidak membantah” geram Buntal.

“Tutup mulutmu” bentak perwira kumpeni itu, “minggir atau aku akan membunuhmu. Aku mempunyai wewenang untuk melakukannya tanpa ada tindakan hukum jika aku membunuh-mu dalam keadaan seperti sekarang ini”

“Aku akan membela diri” Buntal pun mulai kehilangan kesabaran.
itu.

Wajah perwira itu menjadi merah padam. Tiba-tiba saja tangannya melayang menyerang wajah Buntal. Namun Buntal sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka ia pun masih sempat menghindar.

Justru karena serangannya tidak mengenai sasaran, perwira kumpeni itu menjadi sangat marah. Dengan serta merta ia telah mencabut pedangnya yang panjang.

Buntal surut selangkah. Sementara itu Arum pun telah membimbing Rara Warih menjauh, sedangkan Raden Ayu Galihwarit pun segera berlari mendekati puterinya.

“Kau harus mati” geram perwira itu sambil mengacukan pedangnya kearah dada Buntal.

Buntal menjadi berdebar-debar. Ia mengerti bahwa para perwira kumpeni pada umumnya kemampuan bermain pedang. Karena itu maka ia pun harus berhati-hati. Apalagi ia tidak membawa senjata panjang yang akan dapat mengimbangi pedang lawannya.

Namun dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang melihat keadaan yang tidak seimbang itu pun telah berteriak, “Tidak adil. Jika kau benar-benar perwira yang pernah menjelajahi samodra dan benua, yang pernah mengalahkan bangsa-bangsa di daratan dan perompak di lautan, beri kesempatan anak pribumi itu juga bersenjata”

“Ambil senjata” teriak perwira yang marah itu, “apapun yang akan dipergunakannya, aku akan membunuhnya”

Buntal menjadi berdebar-debar. Namun perwira itu tidak memberi kesempatan kepadanya. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang. Pedangnya terjulur lurus mematuk dada.

Buntal masih sempat mengelak. Dengan tangkas ia meloncat ke samping. Namun tiba-tiba pedang itu ditariknya surut. Sebuah ayunan mendatar menyerang leher Buntal, sehingga Buntal harus berloncatan pula surut.

Ternyata Raden Ayu Galihwarit tidak membiarkan pertempuran yang tidak seimbang. Tiba-tiba saja ia berlari lewat pintu dalam masuk ke ruang tengah. diraihnya sebatang tombak yang berdiri pada sebuah ploncon bersama sebatang songsong kebesaran milik Pangeran Sindurata.

Sesaat kemudian Raden Ayu itu telah kembali ke ruang belakang. Sambil mengacukan tombak di tangannya Raden Ayu itu berkata, “Bersikaplah jantan”

Perwira itu tidak menjawab. Ia masih mengayunkan senjatanya menyerang Buntal. Namun Buntal pun menyadari. Tanpa senjata ia akan sangat sulit melawan ilmu pedang kumpeni yang mapan itu.

Karena itu, maka Buntal pun segera meloncat kearah Raden Ayu Galihwarit. Dengan serta merta maka ia pun menerima tombak yang berada di tangan Raden Ayu itu.

“Aku juga bersenjata sekarang” geram Buntal, “dengan demikian aku tidak hanya menjadi sasaran pedangmu saja”

“Kau akan mati anak setan” sahut perwira kumpeni itu.

Sementara itu, Arum telah membimbing Rara Warih semakin menjauh. Ruang belakang yang luas itu ternyata tidak cukup luas untuk bertempur dengan senjata panjang. Karena itu maka Buntal telah berloncatan surut untuk mencari jalan keluar dari ruangan itu. Ia tidak dapat lewat pintu yang dilalui oleh kumpeni itu, karena perwira yang seorang lagi masih berdiri di dekat pintu itu sambil memperhatikan perkelahian itu dengan saksama.

Melalui pintu butulan yang lain, Buntal berhasil meloncat keluar. Dengan demikian ia sudah berada di longkangan belakang, sehingga ia mendapat tempat yang luas untuk bertempur dengan tombak.

Raden Ayu yang cemas melihat keadaan Buntal, karena ia pun telah mendengar bahwa para perwira kumpeni adalah orang-orang yang mumpuni bermain pedang, telah melangkah di luar sadarnya kearah pintu butulan itu pula. Namun tiba-tiba perwira yang seorang lagi berkata, “Raden Ayu tidak perlu mendekat. Nanti Raden Ayu takut melihat anak pribumi itu mati ditembus ujung pedang” perwira itu melangkah mendekat sambil berkata selanjutnya, “Siapakah anak itu Raden Ayu?”

“Pelayanku” jawab Raden Ayu itu tanpa berpikir lagi. Tetapi Arum yang mendengar jawaban itu sama sekali tidak merasa tersinggung, karena ia pun mengerti bahwa Raden Ayu sedang berusaha mengelakkan keadaan yang sesungguhnya.

“Aku tidak percaya” sahut perwira itu, “ia memiliki kemampuan berkelahi. Aku tahu pasti. Sebelum ia menggenggam tombak, ia sudah mampu menghindari serangan-serangan pedang kawanku yang terkenal berilmu pedang yang tinggi”

“Ia adalah pengawal istana ini” jawab Raden Ayu itu pula.

“Pengawal atau pelayan atau apa lagi?” suara perwira kumpeni itu menjadi semakin kasar.

Dalam pada itu, hiruk pikuk itu telah menimbulkan keributan di istana Pangeran Sindurata. Beberapa orang pelayan menjadi kebingungan. Sementara itu, Pangeran Sindurata yang mendengar keributan itu telah berlari-lari ke ruang belakang.

Namun langkahnya tertegun ketika tiba-tiba saja ia melihat seorang perwira kumpeni yang berdiri menghadap anak, cucunya dan anak padesan yang sering datang menjual mangir ke rumahnya itu. Bahkan demikian Pangeran Sindurata memasuki ruang itu, kumpeni itu telah mengacukan sebuah senjata api berlaras pendek.

“Kami harus menahan kalian semuanya” berkata perwira kumpeni itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Keluarga Pangeran telah melawan kami” jawab perwira kumpeni itu.

“Tidak benar” jawab Raden Ayu Galihwarit, “seharusnya kau dapat mengatakan apa sebenarnya terjadi di sini. Kau sudah menghinakan keluarga kami”

“Apa yang sudah dilakukannya?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Perwira kumpeni yang bertempur di luar itu ingin memaksa Warih untuk pergi bersamanya. Aku berkeberatan karena Warih sendiri tidak bersedia melakukannya” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Itu hanya pura-pura” jawab kumpeni itu.

“Tidak” Raden Ayu Galihwarit hampir berteriak, “Kau sendiri berusaha mencegahnya. Tetapi kawanmu itu benar-benar menjadi gila dan tidak mau mendengar sama sekali”

“Sudah aku katakan Raden Ayu, jika kawanku itu tidak mengenal Raden Ayu, maka ia tidak akan berbuat demikian terhadap anak perempuan Raden Ayu yang tentu sifat-sifatnya tidak akan jauh berbeda dengan ibunya”

“Tidak” teriak Raden Ayu Galihwarit. Sementara itu, dada Rara Warih bagaikan dihentak oleh sebuah pipisan batu hitam.

Betapa pedih hati gadis itu. Orang lain menganggap bahwa ia tidak akan ada ubahnya dengan sifat dan tabiat ibundanya. Anggapan itu bagaikan hukuman baginya tanpa melakukan kesalahan.

Raden Ayu Galihwarit pun mengerti, betapa sakit hati puterinya. Karena itu sambil memeluk anak gadisnya Raden Ayu itu berkata, “Jangan kau lumuri anak gadisku dengan tuduhan yang tidak beralasan karena dosa-dosaku”

Perwira kumpeni itu tertawa katanya, “Raden Ayu sudah terlalu lama bergelimang kemewahan hidup yang Raden Ayu dapatkan dengan cara yang tidak terhormat itu. Tetapi dengan demikian Raden Ayu dan beberapa orang kawan Raden Ayu sudah dapat memberikan kesenangan kepada kami, yang selama ini jauh dari keluarga kami”

“Tutup mulutmu” bentak Raden Ayu, “Aku tidak lagi melakukan semuanya itu karena aku sudah menjadi budak harta benda”

“Raden Ayu” potong Arum dengan serta merta. Raden Ayu Galihwarit ternyata terkejut juga. Kemarahan di dadanya hampir saja menjerumuskannya ke dalam keadaan yang sulit. Untunglah bahwa ia belum terlanjur menyebut sesuatu tentang tugasnya dalam hubungannya dengan Pangeran Mangkubumi.

Namun perwira itu cukup tajam tanggapannya atas jawaban Raden Ayu itu. Karena itu maka ia pun bertanya sambil mengerutkan keningnya, “Jika Raden Ayu tidak berbuat untuk menumpuk harta benda dan kekayaan, apalagi yang Raden Ayu cari dengan mengorbankan harga diri itu”

Tetapi Raden Ayu pun cukup cerdik, meskipun ia harus berkorban perasaan lebih parah lagi, namun ia menjawab, “Aku sekarang seorang janda. Aku terbiasa hidup bukan saja dalam kemewahan, tetapi aku pun terbiasa berada di lingkungan kalian. Apalagi sekarang. Aku tidak lagi didampingi oleh seorang laki-laki di rumah”

Perwira kumpeni itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Jadi ada juga dorongan lain dari diri Raden Ayu sendiri”

Wajah Raden Ayu Galihwarit itu menjadi tegang. Betapapun juga terasa hatinya menjadi pedih. Sementara itu, Warih seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah. Segalanya terasa sangat pahit. Meskipun ia sadar, bahwa ibunya melakukan hal itu bagi satu perjuangan yang berharga bagi Surakarta, namun ia tidak dapat ingkar dari kata hatinya.

Arum pun menjadi sangat tegang. Ia juga seorang gadis. Namun timbul juga pertanyaan di hatinya, betapa mungkin seseorang memberikan pengorbanan yang demikian besarnya.

Tetapi bagaimanapun juga Arum tidak dapat menutup penglihatannya, bahwa yang dilakukan oleh Raden Ayu itu bukannya dari permulaan. Ia tampil dalam perjuangan setelah ia berada di dalam suasana seperti itu.

Pangeran Sindurata yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Aku tidak tahu apa-apa. He, aku tidak tahu apa-apa”

Tetapi kumpeni itu masih saja mengacukan senjata apinya, “Jangan membuat tindakan yang dapat mencelakai kalian sendiri. Aku menunggu kawanku yang akan membunuh anak pribumi itu. Baru kemudian aku akan menentukan sikap terhadap kalian”

Ketika Pangeran Sindurata bergeser, perwira itu menggeser ujung laras senjatanya sambil berkata, “Pangeran, jika Pangeran tidak betah berdiri, aku persilahkan kalian semuanya untuk duduk. Cepat”

Pangeran Sindurata pun menuju ke amben kayu diikuti oleh Raden Ayu Galihwarit, dan Arum yang membimbing Rara Warih. Mereka duduk berjajar bagaikan membeku, sementara perwira kumpeni itu berdiri beberapa langkah dihadapan mereka.

“Aku sudah terbiasa berdiri, berjalan mondar-mandir atau bahkan berlari-lari” berkata perwira kumpeni itu sambil tersenyum.

Dalam pada itu, selagi keempat orang di ruang belakang itu dicengkam oleh ketegangan, maka di longkangan belakang. Buntal telah bertempur melawan perwira kumpeni yang belum lama bertugas di Surakarta itu. Ternyata perwira kumpeni itu benar-benar menguasai ilmu pedang yang agak lain dengan ilmu pedang yang dikenal oleh Buntal. Namun demikian, pengalaman Buntal cukup banyak untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh lawannya.

Sambil memiringkan tubuhnya, sedikit merendah pada lututnya, perwira itu menjulurkan pedangnya. Namun melawan sebatang tombak maka perwira itu harus menyesuaikan diri. Gerakannya menjadi lebih cepat, dan kadang-kadang ia bergeser bukan saja maju dan surut selangkah, tetapi perwira itu harus berloncatan pula untuk menghindari dan menangkis ujung tombak Buntal.

Demikianlah dua cabang ilmu yang datang dari dunia yang berbeda telah bertemu. Namun keduanya telah melengkapi ilmu masing-masing dengan pengalaman yang cukup panjang. Keduanya sudah saling mengenal dan menjajagi jenis ilmu lawannya.

Karena itu, maka pertempuran yang terjadi kemudian adalah benturan dari dua kekuatan yang dahsyat. Keduanya telah pernah menempa diri untuk menguasai ilmunya meskipun dengan cara yang berbeda.

Pedang perwira kumpeni itu menyapu dengan kekuatan yang mengejutkan. Namun Buntal mampu bergerak tangkas, la meloncat mundur sambil memutar tombaknya. Ketika perwira kumpeni itu memburunya dengan pedang terjulur, Buntal telah berdiri tegak. Tombaknya telah siap menunggu. Selangkah perwira kumpeni itu maju, maka ujung tombak Buntal lah yang akan menyayat perutnya.

Tetapi perwira kumpeni itu tidak terkejut melihat sikap Buntal. Ternyata ia tetap meloncat maju. Dengan pedangnya ia memukul tombak Buntal ke samping. Kemudian pedang itu berputar mengungkit tombak lawannya. Ketika tombak Buntal terangkat, maka perwira kumpeni itu bergeser menusuk dengan ujung pedangnya langsung mengarah jantung.

Namun Buntal tidak membiarkannya jantungnya dikoyak oleh pedang kumpeni. Ketika ujung tombaknya terangkat, maka ia justru mempergunakan tangkai tombaknya. Ia berhasil menangkis serangan perwira kumpeni itu. Bahkan sekaligus tangkai tombaknya lah yang terjulur. Hampir saja ujung tangkai tombaknya yang tersalut besi baja yang bulat itu memukul lutut kumpeni itu.

Tetapi perwira kumpeni itu sadar. Jika lututnya tersentuh besi baja yang bulat pada tangkai tombak itu, maka ia akan lumpuh. Tulang pada lututnya akan pecah dan dengan demikian, maka ia akan terkapar tanpa mampu memberikan perlawanan.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Keduanya mampu bertempur dengan kelebihannya masing-masing. Mereka saling mendesak. Bergeser dan berputar. Melejit sambil mengayunkan senjatanya.

Sementara itu, Arum pun menjadi tegang. Ia masih mendengar derap kaki kedua orang yang sedang bertempur itu. Dengan telinganya yang terlatih Arum dapat membayangkan, apakah yang kira-kira terjadi. Perkelahian itu tentu merupakan perkelahian yang sangat seru.

Tetapi bukan saja Arum yang dapat membayangkan peristiwa di longkangan itu. Kumpeni yang seorang, yang mengacukan senjata berlaras pendek itu pun dapat membayangkan. Seperti Arum ia mengerti, bahwa pertempuran yang terjadi itu pun sangat dahsyatnya.

“Aku menjadi semakin tidak kerasan tinggal di rumah ini” desis Warih”

“Puteri harus menahan diri” jawab Arum yang hampir berbisik pula terpengaruh oleh suara Rara Warih, “pada suatu saat, segalanya akan berakhir.

Dengan demikian perwira kumpeni yang seorang itu menjadi heran. Anak pribumi yang bersenjata tombak itu mampu melawan kawannya, seorang perwira yang baru saja datang di Surakarta. Seorang perwira yang memiliki kemampuan yang luar biasa.

“Bagaimana mungkin hal ini terjadi” berkata perwira kumpeni itu di dalam hatinya. Namun dengan demikian ia mulai membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh para Senapati dari pasukan Pangeran Mangkubumi, jika orang-orang pribumi yang menjadi pelayan atau pengawal di istana para Pangeran itu mampu melawan kawannya, seorang perwira yang pilih tanding.

“Gila” tiba-tiba kumpeni itu mengumpat. di luar sadarnya, tiba-tiba saja ia sampai pada satu kesimpulan yang mengejutkan. Mengejutkan bagi dirinya sendiri dan mengejutkan bagi orang-orang yang berdiri di hadapannya.

“Raden Ayu” geram perwira kumpeni itu, “orang itu tentu pengikut Pangeran Mangkubumi”

Wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Bagaimana kau dapat mengambil kesimpulan seperti itu?”

“Ternyata bahwa orang yang kami cari telah aku ketemukan di sini. Selama ini kami tidak pernah dapat menduga, siapakah yang telah berkhianat terhadap Surakarta. Serangan kami yang gagal atas Raden Mas Said dan bahkan harus ditebus dengan korban yang tidak kecil, bukan saja mereka yang menyerang pasukan Raden Mas Said itu, tetapi juga karena pada saat yang sama pasukan Pangeran Mangkubumi memasuki kota ini, adalah karena sikap Raden Ayu. Raden Ayu yang berada di antara para perwira kumpeni tentu dapat dengan mudah menyadap berita tentang rencana serangan yang akan dilakukan oleh kumpeni. Ternyata di rumah ini ada orang-orang Pangeran Mangkubumi, atau orang-orang Raden Mas Said yang dapat menjadi penghubung antara Raden Ayu dengan mereka”

“Omong kosong. Kau tidak dapat membuktikannya” bantah Raden Ayu Galihwarit.

“Aku akan membuktikannya” jawab kumpeni itu, “aku tidak percaya bahwa ada orang yang mampu bertahan sekian lama menghadapi kawanku itu, jika orang itu bukan, orang pilihan. Karena itu, maka yang sedang bertempur melawan kawanku itu tentu orang yang pilih tanding. Orang itu tentu petugas sandi”

Keringat dingin telah membasahi pakaian Raden Ayu Galihwarit. Namun mulutnya justru telah terbungkam, ia tidak dapat membantah tuduhan perwira kumpeni itu, bahwa anak muda yang bertempur di longkangan itu adalah petugas sandi dari pasukan Pangeran Mangkubumi.

Sejenak kemudian perwira kumpeni itu tertawa, ia merasa menang bahwa ia telah berhasil menemukan salah seorang pengkhianat yang telah menggagalkan segala usaha kumpeni selama ini.

“Raden Ayu” berkata kumpeni itu, “ternyata bukan kebetulan, apa yang selama ini kau lakukan. Bahkan mungkin sejak Pangeran Ranakusuma mengatur pengkhianatannya. Raden Ayu sudah membantunya. Raden Ayu dengan sengaja telah diselipkan di antara para perwira untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang akan menguntungkan pasukan Pangeran Mangkubumi” Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Raden Ayu sekarang tidak dapat ingkar lagi. Aku sudah pasti, Raden Ayu lah orang yang sedang kami cari di antara para Senapati dan Panglima prajurit Surakarta ”

Raden Ayu Galihwarit benar-benar terbungkam. Sementara itu, perwira itu berkata, “Jangan bergerak. Aku akan menembak siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak sewajarnya”

Suasana menjadi semakin tegang. Sementara itu Arum malai menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh perwira kumpeni itu.

Sejenak perwira itu termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bergeser ke pintu yang menuju ke longkangan belakang. Dengan nada berat ia berkata, “Aku akan mengakhiri pertempuran itu”

“Apa yang akan kau lakukan?” Raden Ayu lah yang bertanya.

“Aku akan menembak anak itu” geram perwira kumpeni.

Suasana yang tegang itu menjadi semakin mencengkam. Tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit itu berdiri sambil berkata, “Jika kau mau menembak, tembak aku. Anak itu tidak bersalah”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Raden Ayu menjadi cemas. Hal itu menguatkan keyakinanku, orang itu adalah petugas sandi dari Pangeran Mangkubumi”

“Cukup” potong Raden Ayu, “tembak aku”

“Duduklah Raden Ayu” kumpeni itu masih tertawa, “Aku akan membuat pertimbangan tersendiri bagi Raden Ayu dan bagi anak perempuan Raden Ayu yang ternyata memang cantik seperti Raden Ayu. Tetapi anak Raden Ayu itu masih muda. Semua bunga yang sedang mekar”

“Tutup mulutmu” Raden Ayu itu membentak. Tetapi ketika ia melangkah maju, ujung laras senjata api itu tertuju ke dadanya.

“Aku benar-benar dapat merobek dadamu Raden Ayu. Kemudian membawa anak gadismu pergi” bentak kumpeni itu pula.

Raden Ayu Galihwarit tertegun. Ketika ia memandang lubang laras senjata perwira kumpeni itu, rasa-rasanya ia menjadi ngeri.

Namun dalam pada itu, Arum lah yang berbuat sesuatu. Jika ia berdiam diri, maka kumpeni itu akan pergi ke pintu. Dari pintu ia akan menembak Buntal yang sedang bertempur. Jika Buntal mati, apapun yang dapat dilakukannya, tentu tidak akan dapat diselesaikannya, karena Arum tidak yakin akan dapat melawan dua orang perwira itu. Arum cukup menyadari, bahwa kedua perwira itu memiliki ilmu yang tinggi sesuai dengan cara yang mereka anut. Namun yang ternyata sulit untuk di atasi.

Karena itu, ia harus mengambil satu sikap. Ia tidak dapat menunggu, sehingga ia akan terperosok ke dalam kesulitan yang semakin gawat.

“Jika aku gagal, apaboleh buat. Bahwa kumpeni itu sudah sampai pada suatu dugaan tentang kakang Buntal sebagai petugas sandi Pangeran Mangkubumi, maka tidak ada lagi kesempatan yang boleh dilewatkan” berkata Arum didalam hatinya.

Demikianlah, ketika kumpeni itu sudah mendekati pintu, namun sementara perhatiannya masih saja tertuju kepada Raden Ayu Galihwarit yang termangu-mangu, maka Arum pun telah mengambil kesempatan itu.

Sesaat ia menunggu. Ketika perwira itu kemudian berdiri diambang pintu dan memperhatikan pertempuran yang sedang berlangsung, maka Arum pun sampai pada batas perhitungannya.

Karena itu, ketika sambil tersenyum kumpeni itu mulai mengarahkan senjatanya keluar, tiba-tiba Arum telah meloncat berdiri.

Kumpeni itu terkejut. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berpaling kearah Arum, dua buah pisau telah meluncur dengan cepatnya langsung menghunjam ke dadanya. Suatu hal yang tidak di sangkanya sama sekali.

“Anak setan” ia mengumpat. Dengan gerak naluriah senjata-nya telah berpaling. Namun ternyata Arum menjadi lebih mapan. Sebuah pisau lagi telah meluncur menghantam pangkal lengannya.

Perwira kumpeni itu menyeringai menahan sakit. Ketika ia mencoba membidik-kan senjatanya dengan tangannya yang gemetar, sebuah lagi pisau meluncur mengoyak dada perwira kumpeni itu.

Senjatanya memang meledak. Tetapi sama sekali tidak mengenai siapapun.

Pada saat itulah Arum meloncat dengan cepatnya. Ia tidak mempedulikan kain panjangnya yang koyak hampir sejengkal. Namun pada saat yang tepat, ia telah menyerang perwira kumpeni itu dengan ibu jarinya, tepat mengenai lehernya.

Nafas kumpeni itu bagaikan tersumbat. Serangan Arum telah mendorongnya selangkah. Kemudian ia pun terhuyung-huyung jatuh, justru keluar pintu.

Ledakan senjatanya telah mengejutkan dua orang yang sedang bertempur di longkangan belakang. Baik Buntal maupun perwira kumpeni yang belum lama berada di Surakarta itu berpaling kearah pintu. Yang kemudian mereka lihat adalah, perwira kumpeni yang terhuyung-huyung jatuh terbanting di tanah.

Hal itu sangat mengejutkan kawannya. Sejenak ia justru bagaikan membeku. Namun yang sejenak itu. ternyata telah menentukan segala-galanya. Buntal cepat mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Dengan cepat ia meloncat menyerang dengan ujung tombaknya.

Perwira kumpeni itu pun terlambat menangkis serangan Buntal. Ujung tombak itu ternyata telah menghunjam ke dalam perutnya.

Buntal tidak perlu mengulanginya. Perwira kumpeni itu terdorong surut selangkah. Ketika Buntal menarik tombaknya maka kumpeni itu pun bagaikan sebatang kayu yang jatuh di tanah.

Hampir di luar sadarnya Raden Ayu Galihwarit pun berlari ke pintu. Namun ketika ia melihat tubuh-tubuh yang terbaring di tanah dengan berlumuran darah, cepat-cepat ia berbalik dan berlari memeluk anak gadisnya.

“O” Raden Ayu itu berdesah, “mengerikan sekali”

Rara Warih pun mengetahui, ibunya tentu melihat kumpeni yang diserang oleh Arum dan terjatuh keluar pintu.

Sementara itu, Pangeran Sindurata lah yang kemudian menuju ke pintu itu. Ia masih melihat Buntal berdiri sambil menggenggam tombaknya yang basah oleh merahnya darah.

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Yang terjadi ini merupakan malapetaka bagi kita”

Buntal dan Arum tidak dapat menjawab. Mereka pun kemudian mulai terdampar pada satu persoalan yang harus mereka pertanggung jawabkan.

“Kematian kumpeni di halaman rumah ini akan mengundang kesulitan bagi kita” Pangeran Sindurata itu mengeluh.

Buntal pun kemudian memasuki ruangan itu. Ia masih menggenggam tombak yang tegak di sisinya.

Sejenak orang-orang yang berada di ruangan itu terdiam. Mereka saling berpandangan. Sebenarnyalah mereka akan menghadapi satu persoalan yang rumit.

“Tetapi mereka memang harus mati” tiba-tiba saja Arum memecahkan ketegangan itu.

“Kenapa?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Ada beberapa alasan Pangeran” jawab Arum, “Yang terpenting, mereka sudah tahu, bahwa Raden Ayu Galihwarit mempunyai hubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Hal itu akan dapat menyeret Raden Ayu ke dalam keadaan yang paling parah. Bahkan mungkin hukuman mati”

“Tetapi membunuh kumpeni itu pun akan mempunyai akibat yang sama. Hukuman mati” jawab Pangeran Sindurata.

“Tetapi ada bedanya” tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menyahut, “Aku akan dapat mencari alasan yang tepat untuk membela diri, kenapa kedua orang kumpeni itu terbunuh di halaman ini”

“Apa alasanmu, dan apakah kau dapat menjelaskan, siapakah yang telah membunuhnya” bertanya Pangeran Sindurata.

Raden Ayu Galihwarit itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku mempunyai alasan ayahanda. Kedua orang perwira itu akan berlaku kasar terhadap Warih.

“Apakah hal itu cukup alasan untuk membunuh?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Tentu” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Mereka akan menghinakan anak gadisku, karena mereka menganggap bahwa anakku pantas untuk ikut menanggung dosa-dosa yang selama ini aku lakukan. Tetapi anakku itu menolak”

“Tetapi apakah mereka akan percaya bahwa yang telah membunuh kedua orang kumpeni itu adalah Warih?” bertanya Pangeran Sindurata, “atau kau akan mengatakan bahwa yang telah membunuh itu seperti apa yang memang terjadi?”

“Tentu tidak ayahanda. Buntal dan Arum harus segera meninggalkan tempat ini. Mereka harus segera kembali ke pasukan Pangeran Mangkubumi sekarang juga” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Apapun yang terjadi di sini, akulah yang akan mempertanggung jawabkan”

“Lalu apa yang akan kau katakan, jika mereka bertanya, siapakah yang telah membunuh kedua orang perwira kumpeni itu dengan luka-luka yang akan dapat mereka kenali, jenis senjata apakah yang telah melukai mereka”

Raden Ayu Galihwarit itu memandang ayahandanya sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Yang melakukan adalah ayahanda”

“Aku, he? Bagaimana mungkin kau dapat menyebut aku?” Pangeran Sindurata hampir berteriak.

“Jangan terlalu keras ayahanda” desis Raden Ayu Galihwarit, “Kita harus berbicara sebaik-baiknya untuk memecahkan persoalan ini”

“Tetapi apakah akalmu sudah terbalik. Kau akan mengorbankan aku dan melindungi anak padesan itu?” bentak Pangeran Sindurata.

“Tidak ayahanda, sama sekali tidak” jawab Raden Ayu Galihwarit, “ada beberapa pertimbangan yang dapat dinalar”

“Aku tidak mengerti” Pangeran Sindurata mulai meraba keningnya, “Kau dapat membuat aku menjadi gila”

“Ayahanda” berkata Raden Ayu Galihwarit, “cobalah ayahanda mendengarkan pertimbanganku. Biarlah Buntal dan Arum meninggalkan rumah ini. Jika kemudian kumpeni datang kemari, maka ayahanda dapat mengatakan kepada mereka, bahwa ayahanda telah berusaha melindungi cucu ayahanda yang akan mengalami perlakuan yang tidak pantas dari kedua orang kumpeni itu”

“Mereka tidak akan mempedulikannya. Mereka akan tetap menangkap aku dan mereka akan menggantung aku di alun-alun” bantah Pangeran Sindurata.

“Aku yakin hal itu tidak akan dapat dilakukan” jawab Raden Ayu Galihwarit, “sebelum segala sesuatunya terjadi di halaman rumah ini, aku akan menghadap Pangeran Yudakusuma”

“Kenapa dengan Pangeran Yudakusuma?” bertanya Pangeran Sindurata.

“Ia masih Panglima pasukan Surakarta pada saat ini. Aku akan mengadukan persoalan ini. Aku akan mengatakan kepada Pangeran Yudakusuma bahwa dua orang kumpeni telah datang ke rumah ini. Bukan untuk menjemput aku, tetap mereka ingin mendapatkan Warih. Ayahanda melihat bagaimana kedua orang kumpeni itu memaksa Warih untuk menuruti kemauannya, sehingga ayah terpaksa melakukan perlawanan untuk melindungi Warih. Nah, dengan tidak terencana maka ayah telah membunuh kedua orang kumpeni itu” berkata Raden Ayu Galihwarit.

Tetapi Pangeran Sindurata menggelengkan kepalanya. Katanya dengan nada tinggi, “Aku tidak peduli. Aku tidak mau menjadi korban dalam persoalan yang tidak aku mengerti ini. Aku pun tidak peduli bahwa kedua anak padepokan ini akan ditangkap, dihukum mati atau apa saja yang akan terjadi atasnya”

“Tetapi ayahanda tahu, kumpeni itu mula-mula benar-benar akan mengambil Warih. Buntal berusaha melindunginya, dan kemudian Arum pun terpaksa terlibat karena keadaan berkembang semakin buruk”

“Jika demikian, kenapa harus aku? Katakan apa yang terjadi. Dan aku tidak ikut campur” Pangeran Sindurata mulai membentak-bentak sambil memijit-mijit kepalanya, “Aku akan tidur”

“Tunggu ayahanda” panggil Raden Ayu Galihwarit

“Apalagi yang harus ditunggu. Aku tidak mempunyai persoalan lagi” jawab Pangeran Sindurata.

“Bukan masalah persoalan lagi. Tetapi aku mohon waktu untuk minta diri. Mungkin justru karena sikap ayahanda itu, kita tidak akan bertemu lagi” suara Raden Ayu merendah.

“Apa maksudmu?” bertanya Pangeran Sindurata.

Raden Ayu Galihwarit menundukkan kepalanya. Dengan suara rendah ia berkata, “Ayah. Yang terjadi ini sama sekali tidak kita maksudkan. Tetapi kumpeni itu benar-benar ingin menghinakan keluarga kami. Aku sendiri tidak berkeberatan mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga, karena aku memang sudah berkubang di dalam lumpur, apapun alasan dan tujuannya. Tetapi aku tidak rela jika anakku ikut terpercik oleh noda itu. Karena itu, maka aku tidak berkeberatan, Buntal dan Arum melindungi anakku, sehingga akibatnya seperti yang terjadi” Raden Ayu Galihwarit berhenti sejenak, sementara ayahandanya bertanya, “Tetapi kenapa kau akan minta diri?”

“Jika ayahanda tidak mau aku sebut namanya, maka akulah yang akan mempertanggung jawabkan. Warih memang anakku. Biarlah ia pergi bersama Buntal dan Arum. Sementara aku akan mengakui segalanya yang terjadi ini, meskipun aku kira mereka tidak akan percaya bahwa akulah yang telah melakukannya. Jika ayahanda tidak mau mengakui telah membunuh kumpeni itu, maka aku harus mengatakan kepada mereka, ada orang lain yang melakukannya. Karena aku tidak dapat menghadapkan orang lain itu, maka segalanya akan dipikul oleh pundakku” Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku tidak berkeberatan. Aku akan memikul segala tanggung jawab”

“Jika kau akan dapat membebaskan aku dari segala tuntutan hukum kumpeni, kenapa kau tidak dapat melakukan atas dirimu sendiri” bertanya Pangeran Sindurata, “atau, kenapa kau tidak memberikan keterangan apa adanya”

“Berbeda ayahanda. Jika ayahanda mengaku membunuh mereka, maka hal itu sangat mungkin. Sementara ayahanda, mempertahankan kehormatan keluarga ayahanda. Tetapi jika aku menyebut nama lain, dan aku tidak dapat membuktikannya, maka persoalannya akan berkembang, sehingga mungkin sekali akan sampai kepada dugaan-dugaan yang berhubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi, seperti yang dengan tiba-tiba telah tercetus di benak kumpeni yang terbunuh itu”

“Gila, gila” geram Pangeran Sindurata

“Sudahlah ayahanda. Aku hanya ingin mohon diri. Cucu ayahanda juga akan mohon diri, karena ia akan pergi ke tempat yang belum pasti dapat memberikan perlindungan kepadanya. Aku akan menghadap Mayor Bilman. Aku akan menyerahkan diri kepadanya. Apapun yang akan dilakukannya”

“Anak setan” umpat Pangeran Sindurata, “Kenapa kau tidak pergi ke Pangeran Yudakusuma?”

“Jika ayahanda mau menyelamatkan kami. Pangeran Yuda-kusuma harus mengambil keputusan lebih dahulu sebelum kumpeni mengambil tindakan” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Report this ad

“O, anak Setan” Pangeran Sindurata itu telah memukul-mukul keningnya, “kepalaku pusing. Aku hampir menjadi gila” Pangeran itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia membentak, “Apa kau akan membiarkan dirimu digantung?”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain” jawab Raden Ayu itu, “dan selesailah segala persoalan yang menyangkut diri Raden Ayu Sontrang yang cantik dan membuat beberapa orang perwira kumpeni menjadi gila. Rakyat Surakarta pada saatnya akan berbondong-bondong pergi ke alun-alun. melihat tubuhku tergantung di tiang gantungan. Satu-satu mereka akan lewat di bawah tubuhku sambil meludah ke tanah”

“Kau tidak mau diperlakukan demikian. Karena itu kau minta akulah yang digantung itu” geram Pangeran Sindurata.

“Tidak ayahanda. Biar aku saja yang digantung. Aku lebih senang digantung. Aku lebih senang digantung oleh Mayor Bilman daripada orang lain” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Pangeran Sindurata menggeram. Namun kemudian ia terduduk lesu sambil berkata, “Pergilah ke Pangeran Yudakusuma. Katakan, akulah yang telah membunuh kedua orang asing itu”

“Ayahanda” desis Raden Ayu Galihwarit.

Pangeran Sindurata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku akan mengatakan kepada siapapun juga, bahwa akulah yang telah membunuh mereka”

Raden Ayu Galihwarit pun kemudian berlari dan berlutut, di kaki ayahandanya. Tiba-tiba saja ia menangis. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Tidak. Ayahanda sudah terlalu tua untuk melibatkan diri dalam keadaan seperti ini.

“Sudahlah” suara Pangeran Sindurata justru menjadi sareh, “pergilah ke Pangeran Yudakusuma. Katakan seperti yang ingin kau katakan. Cepat, sebelum sais kereta itu mengerti, apa yang terjadi”

“Tetapi.. ” kata-kata Raden Ayu patah ketika ayahandanya memotong, “Sudahlah. Jangan berpikir lagi. Semakin banyak kita pikirkan persoalannya akan menjadi semakin kalut”

“Jadi?”

“Aku mengerti. Biarlah Buntal dan Arum meninggalkan tempat ini. Dengan demikian maka mereka tidak akan menjadi bersih dari segala macam tuduhan dalam hubungan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi” berkata Pangeran Sindurata.

“Terima kasih ayahanda” suara Raden Ayu menjadi parau.

“Aku akan memberitahukan kepada setiap orang di dalam rumah ini, seperti yang kau maksudkan, agar setiap pertanyaan dapat dijawab dengan baik” berkata Pangeran Sindurata.

Raden Ayu Galihwarit pun kemudian mengatur segala-galanya. Ia akan pergi ke Pangeran Yudakusuma. Sementara itu Buntal dan Arum harus meninggalkan istana itu”

Dalam pada itu, Warih tidak dapat berbuat lain kecuali menangis. Tetapi ibundanya berkata kepadanya, “Jangan menangis lagi Warih. Kita sedang bekerja keras untuk kepentingan kita bersama”

Warih mengangguk. Diusapnya air matanya sampai kering. Tetapi di luar kehendaknya matanya telah menjadi basah lagi.

Buntal dan Arum pun segera mempersiapkan diri. Mereka akan meninggalkan istana itu setelah Raden Ayu Galihwarit pergi ke istana Pangeran Yudakusuma.

“Bukan maksud kami mengingkari tanggung jawab, puteri” berkata Buntal kepada Rara Warih, “Tetapi yang kami lakukan ini kami dasarkan bagi kepentingan segala pihak”

Warih mengangguk. Dengan suara sendat ia menjawab, “Aku mengerti. Aku berterima kasih kepada kalian. Tanpa kalian, aku tidak tahu, apa yang terjadi atas diriku”

Demikianlah, setelah segala rencana dapat saling dimengerti, Raden Ayu itu pun telah membenahi pakaiannya. Kemudian ia pun keluar lewat pintu pringgitan, turun tangga pendapa mendapatkan sais yang menunggu dengan tegang.

Sais itu mendengar suara tembakan. Tetapi perkelahian di longkangan belakang itu terlalu jauh untuk didengarnya. Karena itulah maka ia tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ia merasa sesuatu yang menggelisahkannya. Namun istana yang besar dan sepi itu merupakan teka-teki baginya. Apalagi ketika Raden Ayu Galihwarit turun seorang diri dari pendapa dan mendapatkannya.

Tetapi Raden Ayu itu tertawa. Kepada sais ia berkata, “Tuanmu masih belum ingin pergi. Mereka nampaknya sedang asyik berbincang dengan anak gadisku”

Sais itu mengerutkan keningnya. Namun di dalam hati ia berkata, “O, puteri ini sudah mengajari anaknya untuk dapat berbuat seperti dirinya sendiri”

Namun Raden Ayu itu pun kemudian berkata, “Sekarang antarkan aku ke istana Pangeran Yudakusuma. Aku harus menyampaikan surat dari tuanmu”

Sais itu menjadi heran. Namun Raden Ayu itu berkata sambil tersenyum, “Tuanmu memang terlalu. Ia sedang sibuk bagi kepentingannya sendiri. Akulah yang harus menyampaikan suratnya kepada Pangeran Yudakusuma”

Sais itu tidak membantah. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Aku lebih baik kelaparan dari membiarkan anak gadisku berbuat seperti itu. Anehnya, apakah Pangeran Sindurata sama sekali tidak berkeberatan istananya menjadi ajang permainan gila ini”

Namun ketika Raden Ayu Galihwarit itu sudah berada dalam kereta, maka kereta itu pun berderap meninggalkan halaman istana itu.

Sementara itu, demikian kereta itu hilang di balik regol. Buntal dan Arum pun segera minta diri,

“Hati-hatilah” Pangeran Sindurata justru berpesan kepada mereka sehingga kedua anak muda itu menjadi segan. Namun Buntal telah menjawabnya, “Hamba Pangeran. Hamba berdua akan berhati-hati. Agaknya suasana akan segera menjadi panas”

Sejenak kemudian kedua anak muda itu pun telah meninggalkan halaman istana Pangeran Ranakusuma. Dengan cepat tetapi tidak segera menarik perhatian orang lain, keduanya langsung menuju ke jalur jalan yang seharusnya mereka lalui.

“Kita harus segera meninggalkan kota” berkata Buntal, “dalam pengusutan yang kasar, mungkin satu dua orang di istana itu akan mengaku dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Jika hal itu benar-benar terjadi demikian, mungkin sekelompok prajurit akan mengejar kita dengan marah”

“Aku masih membayangkan, apa yang terjadi di istana itu. Mungkin kumpeni mengambil sikap kasar terhadap Raden Ayu Galihwarit dan Rara Warih” jawab Arum, “hampir saja aku mohon kepada Raden Ayu, agar Rara Warih diperkenankan pergi keluar kota bersama kami. Namun kepergiannya tentu akan menimbulkan kecurigaan pula kepada kumpeni”

Buntal mengangguk-angguk. Katanya, “Yang terjadi dengan tiba-tiba itu memang dapat menyulitkan Raden Ayu. Tetapi jika Raden Ayu berhasil dengan rencananya, dan Pangeran Sindurata teguh dalam sikap, aku kira memang akan dapat di atasinya”

Arum mengangguk-angguk. Namun mereka berdua itu pun sadar, bahwa mereka harus memperhatikan diri mereka pula. Karena itulah, maka keduanya pun berjalan semakin lama semakin cepat. Semakin jauh dari kota, maka keduanya pun merasa, bahwa tidak lagi banyak orang yang memperhatikannya.

Namun dalam pada itu, Buntal pun bertanya, “He, kenapa kau dengan kain panjangmu?”

“Sobek sampai sejengkal” desis Arum, “untung hanya, selembar, sehingga tertutup oleh lapisan di dalamnya”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi di istana itu memang mendebarkan. Bahkan penyelesaiannya pun tentu akan menegangkan pula.

Dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit yang mempergunakan kereta kumpeni yang terbunuh di rumahnya, telah memasuki istana Pangeran Yudakusuma. Ternyata kedatangannya telah mengejutkan Pangeran yang kebetulan ada di istananya itu.

“Kedatangan Raden Ayu sangat mengejutkan aku” berkata Pangeran Yudakusuma.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. ia sadar, bahwa Pangeran Yudakusuma adalah seorang Pangeran yang berhati teguh. Raden Ayu pun tahu, bahwa Pangeran Yudakusuma adalah satu di antara dua orang yang bertempur melawan Pangeran Ranakusuma di saat terakhir, dan bahkan Pangeran itu telah dilukai pula oleh Pangeran Ranakusuma.

“Aku mempunyai satu kepentingan yang tidak dapat ditunda lagi Pangeran” desis Raden Ayu.

Pangeran Yudakusuma memandang Raden Ayu Galihwarit dengan pandangan yang aneh. Sebenarnyalah Pangeran itu tidak senang terhadap sikap Raden Ayu Galihwarit sebagai seorang perempuan yang berdarah luhur di Surakarta.

Hal itu pun disadarinya pula oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun ia sudah mengatur diri di sepanjang perjalanan dari istana Pangeran Sindurata sampai ke istana Pangeran Yudakusuma, Raden Ayu Galihwarit sudah merancang, apa yang akan dikatakan. Ia akan menjawab dengan pengertian yang sudah dianyamnya sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Pangeran Yudakusuma pun bertanya pula, “Apakah keperluan Raden Ayu itu? Dan kenapa Raden Ayu harus menyampaikan keperluan Raden Ayu itu kepadaku”

“Pangeran” suara Raden Ayu menurun, “Aku mohon keadilan”

“Keadilan? Kenapa kepadaku? Aku adalah seorang Panglima perang. Bukan seorang yang harus menengahi persoalan dan memutuskan perkara” berkata Pangeran Yudakusuma.
“Justru karena Pangeran adalah Panglima perang” jawab Raden Ayu, “karena persoalannya menyangkut hubungan dengan kumpeni”

Wajah Pangeran Yudakusuma berkerut. Dengan nada datar ia berkata, “Tidak semua persoalan dengan kumpeni aku dapat ikut campur. Aku hanya dapat ikut berbicara tentang, persoalan keprajuritan. Tidak tentang prajurit kumpeni itu sendiri”

Terasa betapa tajamnya kata-kata Pangeran Yudakusuma itu di telinganya. Namun Raden Ayu sudah siap menerimanya. Bahkan yang lebih tajam dari sindiran itu sekalipun.

Dengan sareh Raden Ayu menjawab, “Pangeran. Aku tidak tahu, apakah persoalan yang aku hadapi ini persoalan keprajuritan atau persoalan prajurit kumpeni itu sendiri. Tetapi masalahnya akan dapat menyangkut hubungan antara kumpeni dan Surakarta ”

“Persoalan yang menyangkut Raden Ayu?” bertanya Pangeran Yudakusuma dengan wajah berkerut.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus menahan hati. Jawabnya kemudian, “Pangeran. Dengan tidak direncanakan lebih dahulu, dua orang kumpeni terbunuh di rumahku”

“He” Pangeran Yudakusuma terkejut sehingga ia bergeser maju, “Apakah aku tidak salah dengar? Dua orang kumpeni terbunuh di istana Pangeran Sindurata?”

“Ya Pangeran” jawab Raden Ayu sambil menundukkan kepalanya.

“Siapakah yang telah membunuhnya?” bertanya Pangeran Yudakusuma.

“Ayahanda, Pangeran Sindurata” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Pangeran Sindurata?” Pangeran Yudakusuma menjadi tegang.

“Ya Pangeran?” jawab Raden Ayu Galihwarit pula.

“Dalam persoalan apa? Apakah Pangeran Sindurata marah melihat tingkah mereka dalam hubungan mereka dengan Raden Ayu? Atau apa?” desak Pangeran Yudakusuma.

Raden Ayu itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia pun menceriterakan apa yang telah terjadi di istana Pangeran Sindurata menurut rencananya. Raden Ayu dapat mengatakan dengan jelas seakan-akan memang terjadi seperti yang dikatakannya itu.

Pangeran Yudakusuma mendengarkan pengaduan Raden Ayu Galihwarit itu dengan sungguh-sungguh. Persoalan ternyata tidak seperti yang diduganya.

“Pangeran” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku menyadari, bahwa aku sendiri sama sekali sudah tidak berharga. Demikian pula di hadapan ayahanda Pangeran Sindurata. Ayahanda tidak peduli lagi apapun yang terjadi atasku. Juga seandainya aku mati di pinggir jalan, ayahanda tidak akan menyesalinya” Raden Ayu itu terdiam sejenak, lalu, “Tetapi yang terjadi itu adalah usaha pelanggaran kehormatan seorang gadis, cucu ayahanda Pangeran Sindurata. Itulah sebabnya, maka ayahanda menjadi marah. Dan tidak dengan peringatan apapun, ayahanda telah menyerang kedua orang kumpeni itu”

Wajah Pangeran Yudakusuma menjadi tegang. Namun hampir di luar sadarnya a berkata, “Persoalannya memang akan dapat menyangkut banyak pihak. Tetapi Raden Ayu pun tidak akan dapat melemparkan tanggung jawab atas peristiwa ini, meskipun dari sudut yang berbeda. Jika gadis itu bukan anak perempuan Raden Ayu, aku kira kumpeni itu pun akan bersikap lain, karena kumpeni itu sudah terbiasa bergaul dengan Raden Ayu”

Jantung Raden Ayu Galihwarit bagai ditusuk dengan sembilu. Betapa pedihnya. Tetapi dengan tabah ia menjawab, “Aku mengerti Pangeran. Salah satu sebab tentu karena kelakuanku sendiri. Tetapi ternyata bahwa anak perempuanku mempunyai pendirian yang lain. Ia membenci aku karena cara hidup yang aku tempuh selama ini. Dan kumpeni itu tidak mau tahu”

“Apa yang dilakukan?” bertanya Pangeran Yudakusuma,

“Seorang di antara kedua orang kumpeni yang datang ke rumah itu, telah berusaha melanggar kehormatan anak gadisku. Ketika anak gadisku berteriak, maka ayahanda Sindurata mendengarnya” jawab Raden Ayu Galihwarit.

“Apa yang Raden Ayu lakukan?” bertanya Pangeran Yudakusuma.

“Aku mencoba melindungi anak perempuanku. Tetapi kumpeni yang seorang telah memegangi aku. Dan aku tidak berdaya untuk melepaskan diri” jawab Raden Ayu, “semula aku pun mencoba membatasi persoalan itu. Tetapi kumpeni yang seorang bagaikan menjadi gila. Dan terjadilah pembunuhan itu”

Pangeran Yudakusuma termangu-mangu sejenak. Sementara itu Raden Ayu Galihwarit mulai menangis, “Kami mohon perlindungan Pangeran. Aku menyadari keadaan diriku, tetapi bukan seharusnya kumpeni menghinakan setiap orang perempuan di Surakarta ”

“Ya” terdengar Pangeran Yudakusuma menggeram, “Tidak seharusnya kumpeni menganggap setiap perempuan di Surakarta ini seperti Raden Ayu”

Raden Ayu Galihwarit mengangkat wajahnya. Namun wajah itu pun telah menunduk lagi. Setitik air matanya meleleh di pipinya. Ia benar-benar menangis meskipun semula Raden Ayu itu hanya berpura-pura.

Pangeran Yudakusuma yang melihat Raden Ayu menangis itu pun kemudian bertanya, “Kereta siapa yang Raden Ayu pakai itu? Kereta Pangeran Sindurata?”

“Tidak Pangeran” jawab Raden Ayu, “Aku mempergunakan kereta kedua orang kumpeni yang terbunuh itu. Sais kereta itu belum mengetahui persoalannya, karena peristiwa itu terjadi di longkangan belakang. Sebenarnyalah kumpeni itu telah memburu anak gadisku sampai ke ruang belakang, karena anak gadisku berusaha untuk melarikan diri”

Pangeran Yudakusuma berpikir sejenak. Bagaimanapun juga ia juga merasa tersinggung atas sikap kumpeni itu. Karena itu, maka Pangeran Yudakusuma berniat untuk bertemu dengan Pangeran Sindurata. Pangeran tua itu adalah seorang Pangeran yang mempunyai Hubungan yang dekat pula dengan kumpeni. Jika ia membunuh kumpeni, maka tentu ada alasan yang khusus, yang mungkin benar seperti apa yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit.

Karena itu, maka Pangeran Yudakusuma itu pun menganggap persoalan itu bukan persoalan yang dapat dengan mudah diputuskan, bahwa karena seseorang telah membunuh kumpeni, maka ia akan dihukum gantung. Apalagi persoalannya menyangkut seorang Pangeran di Surakarta.

“Baiklah Raden Ayu” berkata Pangeran Yudakusuma, “Aku akan melihat keadaan di istana Pangeran Sindurata”

“Silahkan Pangeran, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih” desis Raden Ayu Galihwarit, “mungkin Pangeran sudah mengetahui sifat-sifat ayahanda. Ia cepat menjadi marah. Demikian pula menghadapi kedua orang kumpeni itu”

Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia memang mengenal sifat-sifat Pangeran Sindurata. Justru karena sifat-sifatnya itu ia seolah-olah tidak pernah mendapat tugas-tugas penting meskipun ia di masa mudanya adalah seorang prajurit yang mumpuni. Namun pada usianya yang semakin tua, ia tidak dapat menjadi Senapati yang baik, karena ia terlalu cepat dipengaruhi oleh luapan kemarahannya, sehingga ia bukannya seorang yang dapat menguasai diri.

“Silahkan Raden Ayu mendahului” berkata Pangeran Yudakusuma, “Aku akan segera datang”

“Tetapi aku takut Pangeran” jawab Raden Ayu itu.

“Apa yang Raden Ayu takutkan?” bertanya Pangeran Yudakusuma.

“Kumpeni. Mereka akan mempergunakan wewenang mereka. Bukan lagi berlandaskan pada keadilan” jawab Raden Ayu.

“Aku akan datang” Pangeran Yudakusuma menegaskan.

Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah Pangeran. Jika Pangeran menghendaki aku mendahului aku akan mendahului”

“Silahkan” jawab Pangeran Yudakusuma.

Raden Ayu itu pun kemudian mohon diri. Dengan kereta yang dipergunakannya di saat ia pergi ke istana itu. ia pun kemudian kembali ke istana ayahandanya.

Ternyata Pangeran Yudakusuma pun bertindak cepat, ia tahu. bahwa kumpeni yang datang ke istana Pangeran Sindurata untuk menemui Raden Ayu Galihwarit itu tentu para perwira. Dan kematian dua orang perwira kumpeni di Surakarta tentu akan dapat menimbulkan persoalan yang perlu di tanggapi dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, demikian Raden Ayu itu sampai di rumahnya dan memberitahukan segala sesuatunya yang dibicarakannya dengan Pangeran Yudakusuma kepada ayahandanya, maka terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki halaman.

“Ayahanda” berkata Raden Ayu Galihwarit, “agaknya Pangeran Yudakusuma sudah datang, apakah aku dapat mempersilahkan-nya”

“Persilahkan mereka masuk ke ruang belakang” lalu katanya kepada Rara Warih, “Warih, kau di sini. Duduk di sampingku”

Rara Warih pun kemudian duduk di samping Pangeran Sindurata. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar, ia memang benar-benar menjadi ketakutan.

“Warih” desis ibunya, “Kau harus berbuat sebaik-baiknya. Sebagaimana para pelayan di istana ini pun harus berbuat demikian untuk keselamatan kita semuanya”

Warih mengangguk kecil. Namun jantungnya terasa berdegup semakin keras oleh kecemasan, ketakutan dan berbagai perasaan yang bercampur baur.

Dalam pada itu, seorang pelayan telah memberitahukan, bahwa ada beberapa orang prajurit di halaman depan. Karena itulah, maka Raden Ayu Galihwarit pun segera berlari-lari ke halaman depan lewat longkangan samping.

Demikian Raden Ayu itu muncul dari seketheng, maka dilihatnya Pangeran Yudakusuma, diiringi oleh beberapa orang perwira dan prajurit pengawal dari pasukan berkuda.

“Silahkan Pangeran” Raden Ayu itu mempersilahkan.

“Aku sendiri telah memerlukan datang untuk melihat keadaan” sahut Pangeran Yudakusuma. Lalu, “Semula aku ingin memerintahkan beberapa orang Senapati untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi ternyata aku menganggap kemudian bahwa persoalannya benar-benar gawat. Pangeran Yudakusuma berhenti sejenak, lalu, “Dimana Pangeran Sindurata”

“Ayahanda berada di belakang. Ayahanda masih menggeng-gam tombaknya yang masih berbau darah. Aku agak takut mendekatinya, karena kemarahan ayah sebagian juga tertuju kepadaku” jawab Raden Ayu.

“Aku dapat mengerti, kenapa kemarahan Pangeran Sindurata sebagian juga tertuju kepadamu” sahut Pangeran Yudakusuma, “antarkan aku kepada Pangeran Sindurata”

Raden Ayu Galihwarit pun kemudian mempersilahkan Pangeran Yudakusuma dan beberapa orang Senapati dan pengawalnya untuk pergi ke ruang belakang, sementara dua orang masih tetap berada di halaman depan.

Demikian mereka berdiri di depan pintu ruang belakang, mereka melihat Pangeran Sindurata yang duduk di sebelah Rara Warih. Ditangan Pangeran tua itu masih tergenggam sebatang tombak pusakanya.

“Pamanda Pangeran Sindurata” desis Pangeran Yudakusuma.

Pangeran Sindurata bangkit dari duduknya. Diamatinya Pangeran Yudakusuma sejenak. Kemudian katanya, “Marilah anakmas Yudakusuma. Apakah anakmas datang bersama kumpeni?”

“Tidak pamanda” jawab Pangeran Yudakusuma yang melihat ketegangan di wajah Pangeran Sindurata. Apalagi ketika ia melihat tombak Pangeran tua itu menjadi condong.

“Kami datang tanpa seorang kumpeni pun” berkata Pangeran Yudakusuma, “Raden Ayu Galihwarit telah melaporkan kepadaku, apa yang telah terjadi di istana ini. Karena itu, aku datang untuk melihat sendiri”

“Aku membunuh dua orang kumpeni” jawab Pangeran Sindurata, “Mereka menjadi gila melihat cucuku. Aku tidak peduli. Aku harus melindunginya. Aku tidak pernah mencampuri urusan kumpeni jika ia berhubungan dengan Galihwarit. Biarlah yang sudah lepas dari tangan tidak akan kembali dalam pegangan. Tetapi tidak dengan cucuku. Ia seorang gadis yang baik. Ia bukan seperti ibunya. Aku sudah kehilangan anak perempuanku tenggelam dalam kebinalannya. Kehilangan cucu laki-lakiku yang mati, dan sekarang aku tidak mau kehilangan cucu perempuanku yang tinggal satu-satunya harapan dari keturunan keluarga yang rusak, Ranakusuma”

Pangeran Yudakusuma mengangguk-angguk. Meskipun Pangeran Sindurata sudah tua, tetapi matanya masih tetap memancarkan darah kejantanannya. Apalagi Pangeran Yudakusuma tahu benar, bahwa Pangeran Sindurata mempunyai semacam penyakit yang sudah lama diderita. Cepat marah dan kurang menguasai diri.

“Pamanda” berkata Pangeran Yudakusuma kemudian, “Apakah aku diperkenankan melihat, dimana kedua orang kumpeni yang terbunuh itu?”

“Mereka ada di longkangan belakang” jawab Pangeran Sindurata.

Pangeran Yudakusuma pun kemudian melangkah diikuti oleh pengawal-pengawalnya menuju ke pintu yang menghadap ke longkangan belakang. Demikian mereka sampai ke pintu, maka mereka sudah melihat dua orang perwira kumpeni terkapar di tanah. Yang seorang bersenjata pedang yang lain bersenjata api berlaras pendek.

Pangeran Yudakusuma pun kemudian mendekati kedua sosok mayat itu. Yang seorang perutnya koyak oleh ujung tombak, sedangkan yang lain terbunuh oleh pisau-pisau kecil yang tertancap di tubuhnya.

Tanpa bertanya, Pangeran Yudakusuma telah membuat uraian sendiri terhadap peristiwa itu. Pangeran Sindurata telah bertempur dengan kumpeni yang bersenjata pedang itu dan membunuhnya. Sementara kumpeni yang lain, demikian keluar dari pintu dengan senjata api di tangan, beberapa pisau kecil telah menyambarnya.

“Senjata api ini sudah meledak” berkata seorang Senapati yang melihat senjata api itu.

“Tetapi tidak mengenai sasaran” sahut Pangeran Yudakusuma.

Dalam pada itu, Pangeran Sindurata pun turun pula kelongkangan itu. Tombaknya masih selalu dibawanya. Dengan nada datar ia berkata, “Aku merobek perutnya dengan tombakku ini”

Pangeran Yudakusuma mengangguk. Jawabnya, “Aku mengenalinya dari lukanya”

“Ya. Dan sekarang, apakah yang akan anakmas Pangeran lakukan?” bertanya Pangeran Sindurata.

Pangeran Yudakusuma menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut di keningnya ia bertanya, “Jadi yang terjadi seperti apa yang sudah pamanda ceriterakan?”

“Apakah kau tidak percaya?” justru Pangeran Sindurata itu pun bertanya pula.

“Bukan maksudku tidak percaya. Aku hanya ingin menegaskan” sahut Pangeran Yudakusuma.

“Ya. Demikianlah yang terjadi. Aku tidak rela cucuku dinodai. Orang asing itu akan menghinakan setiap perempuan di Surakarta” geram Pangeran Sindurata, “dan aku akan mempertanggung-jawabkan apa yang terjadi kepada siapapun. Aku sudah tua. Jika aku harus digantung di alun-alun, maka aku akan menjadi lambang kekerdilan sikap Surakarta, yang membiarkan dirinya sendiri di nodai oleh orang asing. Meskipun sebelumnya aku berhubungan baik dengan kumpeni, dan yang karena itu pula aku tidak mengambil sikap tegas terhadap anak perempuanku, namun aku masih tetap mempunyai harga diri sebagai seorang bangsawan di Surakarta ”

Pangeran Yudakusuma mengangguk-angguk. Sementara itu, beberapa orang Senapati menjadi kagum melihat bekas tangan Pangeran Sindurata. Meskipun Pangeran itu sudah tua, tetapi bekas arena pertempuran, tubuh kumpeni yang terkoyak oleh ujung tombak maupun pisau-pisau yang membunuh kumpeni yang lain, menunjukkan betapa tinggi ilmu Pangeran itu. Apalagi di masa mudanya.

Tetapi setiap orang pun tahu, bahwa Pangeran Sindurata memang bekas seorang prajurit.

Dalam pada itu, maka Pangeran Yudakusuma pun kemudian berkata kepada seorang Senapatinya, “Beritahukan kematian kedua orang kumpeni ini kepada atasannya di Loji. Berikan alasannya kenapa hal ini terjadi. Dan katakan bahwa aku sudah berada di sini”

Senapati yang mendapat tugas itu pun segera meninggalkan halaman istana Pangeran Sindurata bersama seorang pengawalnya. Ketika ia sampai di loji, ia diterima oleh seorang perwira kumpeni yang sudah mulai ditumbuhi uban di kepalanya. Tetapi perwira itu masih nampak kokoh dan kuat.

“Mayor Bilman” berkata Senapati itu, “aku ditugaskan oleh Pangeran Yudakusuma untuk menyampaikan satu berita yang penting bagi Mayor”

Mayor Bilman mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Berita apa?”

Senapati itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di halaman rumah Pangeran Sindurata.

Mayor itu terkejut. Wajahnya menjadi merah. Dengan suara gagap ia bertanya, “Jadi kedua orang perwiraku itu terbunuh?”

“Ya Mayor. Tetapi sebagaimana aku katakan, ada alasan yang kuat kenapa Pangeran tua yang pemarah itu membunuh kedua perwira kumpeni itu” jawab Senapati itu.

Bilman mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Coba ulangi, yang kau maksud dengan perempuan itu, Raden Galihwarit atau anak gadisnya?”

“Anak gadisnya, Mayor. Pangeran Sindurata tidak akan mempedulikan seandainya kumpeni itu akan berbuat apa saja terhadap Raden Ayu Galihwarit. Raden Ayu itu sudah dianggap hilang oleh ayahandanya. Tetapi kumpeni itu akan menodai anak gadis Raden Ayu itu. Cucu Pangeran Sindurata yang sangat dicintainya, yang bagi Pangeran itu merupakan ganti dari anak perempuannya yang sudah dianggapnya hilang itu”

Mayor Bilman menggeram. Kemudian dipanggilnya dua orang perwira bawahannya dan diberitahu apa yang telan terjadi.

“Gila” salah seorang perwira itu mengumpat, “orang itu harus dihukum”

“Tunggu” potong Mayor Bilman, “Kita harus melihat perkaranya. Aku juga tidak senang melihat pembunuhan itu, tetapi aku juga tidak senang melihat watak prajurit kumpeni yang buas dan liar seperti itu. Aku tidak pernah berkeberatan, dan bahkan aku sendiri melakukan hubungan dengan perempuan pribumi, tetapi pada batas-batas tertentu. Sikap yang liar dan buas, akan dapat merusak hubungan kita dengan para Senapati di Surakarta”

“Tetapi apakah Mayor percaya begitu saja terhadap laporan ini?” bertanya salah seorang dari kedua perwira bawahannya itu.

“Aku akan melihat apa yang terjadi. Pangeran Yudakusuma juga sudah berada di sana” berkata Bilman.

Kedua perwira itu pun telah diperintahkan menyiapkan sekelompok kumpeni untuk mengikutinya ke istana Pangeran Sindurata untuk melihat apa yang terjadi. Dengan melihat sendiri peristiwa itu, maka kumpeni akan mendapat gambaran yang jelas, apakah yang sebenarnya sudah terjadi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mayor Bilman bersama Senapati utusan Pangeran Yudakusuma itu pun segera berangkat menuju istana Pangeran Sindurata bersama beberapa orang yang lain. Para perwira kumpeni itu ternyata. mempunyai tanggapan yang berbeda atas laporan Senapati Surakarta itu. Ada di antara mereka yang percaya. Ada yang tidak percaya. Ada yang dengan serta merta mendendam kepada Pangeran Sindurata karena Pangeran itu telah membunuh kawannya. Tetapi ada juga yang menyesal, bahwa orang kulit putih yang menganggap dirinya mempunyai tataran peradaban yang lebih tinggi itu telah menodai namanya sendiri.

Ketika mereka sampai di istana Pangeran Sindurata, maka mereka pun segera dibawa ke longkangan belakang. Di longkangan belakang mereka bertemu dengan Pangeran Yudakusuma dan beberapa orang Senapati. Sementara itu Pangeran Sindurata masih menggenggam tombak di tangannya.

“Selamat bertemu Pangeran” Mayor Bilman mengangguk hormat.

Pangeran Sindurata juga mengangguk Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, Mayor Bilman itu berkata, “Tetapi sebaiknya Pangeran meletakkan tombak itu. Kita akan berbicara dengan baik. Aku kira setiap persoalan akan dapat dipecahkan”

“Aku menggenggam tombakku sendiri” jawab Pangeran Sindurata.

Mayor Bilman menarik nafas dalam-dalam. Ketika seorang kumpeni berbisik di telinganya Mayor Bilman menggeleng. Bahkan Mayor Bilman itu berkata, “Aku ingin mendengar pendapat Pangeran Yudakusuma”

Pangeran Yudakusuma pun kemudian mengatakan apa yang didengarnya tentang peristiwa itu dan bahkan ia sudah mengatakan, kemungkinan yang terjadi sehingga kedua orang kumpeni itu terbunuh”

“Aku tidak percaya” potong seorang perwira kumpeni, “Pangeran itu terlalu tua untuk membunuhnya. Ia adalah orang yang baru di Surakarta. Menurut pendengaran kami, perwira itu memiliki ilmu pedang yang sulit dicari bandingnya”

Belum lagi Pangeran Yudakusuma menyahut. Pangeran Sindurata bergeser maju sambil membentak, “Siapa yang tidak percaya. Aku masih sanggup merobek perutnya jika ia berbuat seperti kumpeni itu”

“Sudahlah” potong Mayor Bilman. Ia ternyata cukup bijaksana. Dari mata para Senapati prajurit Surakarta, ia dapat membaca, bahwa sikap kumpeni yang terbunuh itu memang sangat mereka sesalkan. Bahkan nampak kemarahan yang membayang di wajah para Senapati itu.

Dalam pada itu ketegangan pun telah mencengkam longkangan belakang istana Pangeran Sindurata itu. Beberapa orang perwira kumpeni merasa tersinggung karena dua orang kawannya telah terbunuh. Sementara beberapa orang Senapati di Surakarta pun merasa tersinggung, bahwa kumpeni itu ingin mencemarkan kehormatan seorang gadis bangsawan Surakarta.

Namun dalam pada itu, hampir setiap orang menganggap bahwa kesalahan yang paling mendasar adalah kesalahan Raden Ayu Galihwarit sendiri.

Meskipun demikian para Senapati di Surakarta menganggap bahwa yang dilakukan oleh Pangeran Sindurata itu dapat di mengerti. Apalagi mereka mengenal sifat Pangeran Sindurata yang garang, cepat marah dan kurang pertimbangan.

Dalam pada itu. Mayor Bilman pun kemudian berkata kepada Pangeran Sindurata, “Pangeran, apakah aku diperkenankan bertemu dengan Raden Ayu Galihwarit. Bukankah Raden Ayu itu yang melaporkannya kepada Pangeran Yudakusuma?”

Pangeran Sindurata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bertanyalah kepadanya. Ia menunggui anak gadisnya atau barangkali membawa anak gadisnya ke dalam biliknya”

“Biarlah aku menemuinya di ruang belakang. Tidak di sini” berkata Mayor Bilman.

Mayor Bilman pun kemudian masuk ke ruang belakang. Sejenak ia termangu-mangu. Tidak seorang pun yang nampak berada di ruang belakang. Agaknya Raden Ayu Galihwarit telah masuk ke ruang dalam.

Namun dalam pada itu, ternyata Mayor Bilman melihat seorang pelayan istana itu yang termangu-mangu. Karena itu, maka ia pun mendekatinya dan minta agar disampaikan kepada Raden Ayu Galihwarit, bahwa ia ingin bertemu.

Ketika Raden Ayu keluar ke ruang belakang, dan dilihatnya Mayor Bilman berdiri di pintu menunggunya, maka ia pun berdesis, “Mayor?”

“O” desis Mayor Bilman, “Aku ingin bertemu dengan Raden Ayu”

“Untuk apa?” bertanya Raden Ayu.

“Bukankah Raden Ayu melihat peristiwa ini sejak awal. Maksudku sejak kedua orang perwiraku itu datang, Raden Ayu lah yang menerimanya?”

“Ya Mayor. Akulah yang menerima mereka” Raden Ayu itu berhenti sejenak. Dari pintu belakang ia melihat beberapa orang Senapati dan perwira kumpeni yang termangu mangu.

“Bawa Raden Ayu Itu kemari” berkata seorang perwira kumpeni, “Kita dapat mendengar keterangannya dengan jelas”

“Aku takut melihat sosok mayat di longkangan itu” jawab Raden Ayu lantang

“Baiklah” berkata Mayor Bilman, “Aku mendengar dari Pangeran Yudakusuma dan Pangeran Sindurata apa yang terjadi. Kedua orang kumpeni itu ingin merusak kehormatan anak gadis Raden Ayu”

Raden Ayu itu bergeser sedikit Namun tiba-tiba ia menjawab perlahan, “Benar Mayor. Perwiramu, orang baru itu, menjadi gila ketika ia melihat anak gadisku. Kawannya telah membantunya sehingga anak gadisku menjerit-jerit. Suaranya telah memanggil ayahanda Pangeran Sindurata”

“Hanya itu?” bertanya Mayor Bilman.

Raden Ayu itu telah bergeser semakin dekat. Tiba-tiba saja ia tersenyum. Katanya, “Mayor tahu. Perwiramu yang seorang, bukan yang baru itu telah gila terhadapku. Ia selalu mengancam jika aku berhubungan dengan Mayor. Bahkan ia pernah mengatakan kepadaku, bahwa Mayor Bilman akan dipindah dari Surakarta. Apa benar begitu?”

“Tidak. Itu bohong” Jawab Mayor Bilman.

“Nah, agaknya iri hatinya itulah yang telah mendorongnya membantu kawannya melakukan pelanggaran kehormatan terhadap anakku. Untunglah bahwa hal itu tidak pernah dapat dilakukan” Raden Ayu itu berhenti sebentar, lalu, “tetapi sebenarnyalah aku takut kepada perwiramu itu. Ia pernah mengancam, jika aku masih tetap berhubungan dengan Mayor, ia akan membunuhku atau membunuh Mayor jika Mayor tidak jadi dipindah”

“Gila. Aku memang sudah tahu, bahwa ia berusaha berhubungan rapat dengan Raden Ayu dan berusaha menggeser aku dari sisi Raden Ayu. Tetapi aku tidak menyangka bahwa ia teramat licik seperti itu” geram Mayor Bilman. Lalu, “Jika demikian, maka biarlah ia mati”

“Terserah kepada sikap Mayor” berkata Raden Ayu

“Tetapi jika Mayor bertanya kepadaku, kecuali karena sikap keduanya yang telah berusaha menodai anak gadisku yang berarti menyakiti hati setiap perempuan di Surakarta, sebenarnyalah aku takut kepadanya”

Mayor itu mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berkata, “Cukup Raden Ayu. Aku harus segera mengambil keputusan yang paling baik bagi Surakarta ”

Mayor itu pun kemudian meninggalkan Raden Ayu di ruang belakang. Dengan wajah yang berkerut ia turun ke longkangan belakang. Pangeran Yudakusuma menunggunya dengan tegang, sementara orang-orang lain pun masih berdiri di tempatnya masing-masing.

“Tidak ada selisih serambut pun dengan apa yang dikatakan oleh Pangeran Yudakusuma. Aku sudah mendengar dari Raden Ayu itu sendiri, yang menceriterakan peristiwa itu sejak awal” berkata Mayor Bilman.

“Apa kesimpulanmu?” desis Pangeran Yudakusuma.

“Aku tidak dapat menyalahkan Pangeran Sindurata” jawab Mayor itu, “peristiwa yang terjadi memang sangat menyinggung perasaan seisi istana ini”

“Dan Mayor percaya begitu saja?” bertanya seorang perwira.

“Aku sudah menjajagi dari segala sudut” jawab Mayor Bilman, “dan seharusnya kalian tahu sifat kawanmu yang terbunuh itu. Baru beberapa waktu ia berada di Surakarta, Dan apakah yang sudah dilakukan di sini? Ia sudah pernah mendapat peringatan dalam persoalan yang hampir serupa” Mayor Bilman itu berhenti sejenak, lalu, “Tetap ada persoalan yang lebih penting yang harus kita sadari. Aku akan berbicara setelah kita kembali”

Para perwira kumpeni itu sebagian masih saja tidak puas. Tetapi sebagian yang lain sependapat dengan Mayor Bilman. Perbuatan itu akan dapat merusak nama baik seluruh prajurit yang berada di dalam lingkungan kumpeni di Surakarta.

Dalam pada itu, ketika mereka telah memperhatikan letak dan keadaan kedua sosok mayat itu, maka Mayor, Bilman pun kemudian memerintahkan para pengawalnya untuk membawanya ke loji untuk diselenggarakan sebagaimana seharusnya.

Di loji, Mayor Bilman telah mengumpulkan orang-orangnya, para perwira, terutama mereka yang langsung memimpin pasukan. Mayor itu memberikan penjelasan seperlunya. Persoalan yang menyangkut tugas mereka yang lebih besar. Bukan sekedar persoalan pribadi.

“Tetapi kita juga mempunyai harga diri” desis seorang perwira kumpeni.

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” Mayor. Bilman ganti bertanya, “menangkap Pangeran Sindurata dan mengadilinya? Tetapi dengan demikian kita akan berhadapan dengan sikap para Senapati di Surakarta termasuk Pangeran Yudakusuma. Panglima pasukan yang sudah ditunjuk oleh Kangjeng Susuhunan untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi?”

“Tetapi apakah itu berarti bahwa kita akan membiarkan diri kita dihinakan di sini?” bertanya perwira yang lain.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar