Bunga Di Batu Karang Jilid 23

Iring-iringan pasukan berkuda itupun kemudian sekali lagi memutar haluan. Mereka meneruskan tugas mereka, nganglang mengelilingi kota Surakarta.

Sementara itu, kereta Pangeran Sindurata yang dipergunakan oleh Raden Ayu Galihwarit telah sampai ke regol halaman istana Ranakusuman. Ketika para penjaga regol itu melihat seorang perempuan cantik seorang diri berada di dalam kereta itu, mereka menjadi berdebar-debar.

Namun akhirnya salah seorang dari mereka segera dapat mengenalinya. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Raden Ayu Ranakusuma”

Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu Raden Ayu Galihwarit memerintahkan kepada saisnya, “Terus. Langsung memasuki halaman”

Saisnya ragu-ragu. Tetapi ketika kereta itu bergeser maju, maka para penjaga pun telah menyibak dan tidak seorang pun berusaha untuk bertanya sesuatu kepada sais maupun penumpang kereta itu.

Kedatangan Raden Ayu Ranakusuma ke bekas istananya itu memang telah mengejutkan para prajurit dari pasukan berkuda. Bahkan Tumenggung Watang yang menerima laporan tentang kehadiran Raden Ayu Ranakusuma itu pun dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya.

Namun Tumenggung yang berpikiran jernih itu segera dapat menangkap kepentingan kehadiran puteri itu, karena anak gadisnya, Rara Warih telah berada di dalam tangan para prajurit dari pasukan berkuda.

Tetapi bagaimanapun juga, Tumenggung Watang masih bersikap hormat kepada Raden Ayu Ranakusuma. Meskipun Pangeran Ranakusuma sendiri telah dianggap berkhianat, tetapi kebesaran namanya pada masa lampau masih saja membekas di setiap hati para prajurit, termasuk Tumenggung Watang.

Demikian kereta itu berhenti di kuncung pendapa, maka Tumenggung Watang diiringi oleh dua orang perwira telah menyongsongnya dan dengan hormat mempersilahkan puteri itu naik ke pendapa.

Raden Ayu Galihwarit yang telah turun dari keretanya itu memandang berkeliling, seolah-olah ia ingin mengenali kembali istana yang sudah agak lama ditinggalkannya. Bukan saja sejak Pangeran Ranakusuma dianggap berkhianat, tetapi jauh sebelum itu ia telah diantar pulang ke rumah orang tuanya oleh Pangeran Ranakusuma sendiri.

“Marilah, silahkan Raden Ayu” Tumenggung Watang mempersilahkan.

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Apakah aku masih diperkenankan naik ke pendapa?”

“Tentu. Silahkan” Tumenggung Watang mempersilahkannya sekali lagi.

Raden Ayu Ranakusuma itu masih saja tersenyum. Dengan langkah-langkah kecil ia naik ke pendapa dan sekali lagi ia memandang berkeliling.

“Aku tidak melihat perubahan sama sekali” gumamnya.

“Ya Raden Ayu” sahut Tumenggung Watang, “Kami yang sekarang berada di sini berusaha untuk menjaga agar segalanya tetap seperti semula”

Raden Ayu Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia tidak segera duduk di pendapa. Tetapi ia berjalan berkeliling. Diamatinya perhiasan dinding satu demi satu. Jambangan bunga yang tidak lagi berisi bunga di atas bancik berukir di sudut.

“Sayang” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “Aku mendapatkan jambangan bunga ini dari tuan Dungkur. Kenapa Ki Tumenggung tidak menyuruh salah seorang pelayan untuk mengisinya dengan bunga? Jambangan itu adalah jambangan yang sangat mahal. Buatan Cina dan berumur tua. Ki Tumenggung dapat menyuruh seseorang memetik bunga ceplok piring. He, bukankah di sudut halaman samping terdapat beberapa batang bunga ceplok piring?”

“Ya Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Tetapi aku tidak sempat melakukannya”

“O. Para prajurit Surakarta tentu sedang sibuk” desis Raden Ayu, “Tetapi apakah aku diperkenankan melihat-lihat keadaan di dalam istana yang pernah aku huni ini?”

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Silahkan Raden Ayu. Tetapi aku mohon maaf bahwa aku tidak dapat mengantarkannya Biarlah perwira muda ini mengantar Raden Ayu melihat-lihat isi bekas istana Raden Ayu ini”

“Ah, aku tidak mau mengganggu kalian. Kenapa harus mengganggu tugas seorang perwira hanya sekedar untuk mengantar aku? Aku mengenal rumah ini dengan segala isinya. Aku tidak akan tersesat sehingga tidak dapat keluar lagi” berkata Raden Ayu Galihwarit

“Soalnya bukan demikian” jawab Tumenggung Watang, yang dengan serta merta dipotong oleh Raden Ayu Ranakusuma, “Baiklah. Aku mengerti. Kalian tentu mencurigai aku, karena aku adalah isteri seorang Pangeran yang dianggap berkhianat. Bukan saja suamiku yang terbunuh di peperangan itu. Tetapi juga anak perempuanku. Bukankah Warih ada di sini?”

Ki Tumenggung Watang mengangguk-angguk kecil. Jawabnya, “Ya. Rara Warih memang ada di sini”

“Aku sudah mendengar semuanya” berkata Raden Ayu Sontrang, “anak gadisku itu ditangkap untuk memancing anak dungu yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Ayu Sontrang berkata, “Tetapi silahkan Ki Tumenggung. Aku tidak akan mengganggumu. Aku akan melihat-lihat isi rumahku. Jika para prajurit mencurigaiku, silahkan siapa di antara para prajurit yang akan mengawasi aku”

“Tetapi Raden Ayu” berkata Tumenggung Watang kemudian, “Aku menduga bahwa kedatangan Raden Ayu bukannya sekedar ingin melihat-lihat istana ini dan isinya, tetapi tentu berhubung-an dengan keadaan Rara Warih”

“Tepat” jawab Raden Ayu Ranakusuma, “nanti aku akan menghadap Ki Tumenggung setelah aku puas memanjakan kenangan masa lampau yang sangat menyenangkan itu”

Tumenggung Watang mulai diganggu oleh perasaan jemu menanggapi sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia bukan lagi isteri seorang Pangeran yang besar bagi Surakarta, justru sebaliknya. Nama Pangeran Ranakusuma di lingkungan para bangsawan di Surakarta telah menjadi buram.

Di luar dugaan Tumenggung Watang, Raden Ayu itu pun berkata, “Maaf Ki Tumenggung. Barangkali aku terlalu memuakkan bagi Ki Tumenggung. Tetapi aku minta ijin barang sejenak untuk melihat-lihat. Mudah-mudahan dapat menjadi obat bagi penyakitku yang sudah beberapa lama masih saja selalu datang mengganggu. Mungkin Ki Tumenggung pernah juga mendengar, bahwa aku mengalami satu masa yang sangat mengganggu dalam hidupku. Mudah-mudahan aku akan benar-benar dapat sembuh”

Tumenggung Watang tidak telaten lagi melayani Raden Ayu Ranakusuma itu. Karena itu, maka diperintahkannya seorang perwira untuk mengikutinya tetapi sekaligus mengawasinya.

Perwira muda itu mengikut saja kemana Raden Ayu Galihwarit pergi. Dimasukinya setiap ruang di dalam bekas istananya itu. Ternyata seperti yang dikatakan oleh Tumenggung Watang, segalanya masih berada di tempatnya dan terpelihara baik.

“Dimana Warih di simpan?” bertanya Raden Ayu itu tiba-tiba.

“Di gandok Raden Ayu” jawab perwira muda itu.

“Gandok mana” desak Raden Ayu itu.

“Gandok kanan” jawab perwira itu pula.

“Apakah aku dapat menengoknya?” bertanya Raden Ayu itu pula.

“Aku kira Raden Ayu akan dapat menemuinya, tetapi segalanya terserah kepada Tumenggung Watang” jawab perwira muda itu.

Perwira muda itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya, “Baik. Aku akan menemui Ki Tumenggung” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku belum selesai. Aku ingin melihat semua ruang. Dari ruang yang paling ujung, sampai ke ruang tidurku”

Perwira itu menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba saja Raden Ayu itu justru membimbing lengannya seperti membimbing anaknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Marilah anak manis. Jika anakku masih hidup, umurnya tentu tidak berada di istana ini”

Terasa tangan perwira muda itu menjadi gemetar. Namun Raden Ayu itu tertawa, “Jangan takut. Aku tidak apa-apa. Aku tidak sedang kambuh. Aku sehat dan menyadari apa yang aku lakukan”

Perwira muda itu tidak dapat mengelak, Ketika mereka memasuki sebuah ruangan, maka Raden Ayu itu pun berkata, “Ini adalah bilik tidurku. Di sini aku tidur di saat aku masih akan terpaut banyak dengan umurmu”

Perwira muda itu berdiri tegak di pintu bilik. Ia tidak mau melangkah lagi. Karena itu, maka Raden Ayu itu pun kemudian memasuki bilik yang cukup luas itu seorang diri. Kemudian duduk di atas pembaringannya yang masih saja seperti dahulu,

“Alangkah senangnya masa-masa yang lewat. Tetapi sekarang suamiku sudah terbunuh di peperangan sebagai seorang pengkhianat. Bukankah begitu anak muda?” bertanya Raden Ayu itu sambil tertawa kecil.

Perwira muda itu tergagap. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ya Raden Ayu, demikianlah agaknya”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Namun bagaimanapun juga, terasa jantungnya bagaikan tergores sembilu. Kenangannya mulai merayap menelusuri masa lampaunya. Di pembaringan itu pula Rudira dibaringkan seperti seorang yang sedang tidur nyenyak. Betapa ia terkejut ketika ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga kejutan itu telah mengganggu kesadarannya.

Terasa kepala Raden Ayu Galihwarit mulai menjadi patung. Rasa-rasanya ia akan terlempar kembali ke dalam satu dunia yang buram, sebagaimana saat-saat penyakitnya akan kambuh.

Untuk beberapa saat perwira yang menungguinya di pintu menjadi berdebar-debar. Ia melihat Raden Ayu Galihwarit itu memegangi keningnya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Ayu Itu menghentakkan tangannya sambil bergumam didalam hati, “Tidak. Aku tidak boleh gila disini. Aku sedang berusaha untuk berbuat sesuatu untuk Rara Warih. Jika aku tenggelam dalam kenangan atas Rudira dan masa lampau, maka aku akan kehilangan lagi. Warih”

Perwira yang masih tegak di pintu itu heran melihat sikap Raden Ayu Galihwarit. Ia pernah mendengar bahwa puteri itu mempunyai semacam penyakit yang mengganggu syarafnya. Karena itu, ia pun menjadi berdebar-debar. Lebih baik ia berada di medan perang daripada harus menghadapi seorang puteri yang terganggu syarafnya.

Perwira itu menjadi sangat gelisah. Ketika Raden Ayu Galihwarit itu berdiri sambil tersenyum, maka ia pun melangkah surut.

“Jangan takut anak muda. Mungkin kau pernah mendengar serba sedikit tentang penyakitku. Tetapi sekarang aku sadar sepenuhnya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “sekarang, antarkan aku kepada Ki Tumenggung Watang. Aku akan berbicara tentang Warih”

Perwira muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mempersilahkan Raden Ayu berjalan di depan.

Di luar sadarnya, perwira muda itu sempat mengamati Raden Ayu Galihwarit yang berjalan di depannya. Langkahnya kecil-kecil meskipun agak cepat, seirama dengan gerak lambungnya.

“Gila. Ia sudah setua ibuku” perwira itu menggeram di dalam hatinya. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa Raden Ayu Galihwarit adalah seorang puteri yang cantik dan nampak jauh lebih muda dari usianya, justru setelah ia menjadi agak kurus dan bertambah kuning.

“Memang agak aneh” berkata perwira itu di dalam hatinya, “dalam keadaan sakit, ia masih tetap sempat memelihara kecantikannya”

Tetapi perwira itu pun mengetahui, bahwa Raden Ayu itu tidak dalam keadaan sakit seperti orang sakit kebanyakan. Hanya kadang-kadang saja gangguan syaraf itu datang. Selebihnya, ia sebagaimana orang sehat-sehat saja, sehingga ia masih sempat juga ngadi sarira sebagaimana selalu dilakukannya.

Sejenak kemudian, maka Raden Ayu itu pun telah dipersilahkan memasuki sebuah bilik yang cukup besar. Tumenggung Watang telah menunggunya dengan tidak sabar. Ia tahu pasti, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu tentu akan menemuinya dan minta ijin kepadanya untuk menemui puterinya yang ditahan di bekas istana Pangeran Ranakusuma itu.

“Silahkan Raden Ayu” Tumenggung Watang mempersilahkan.

Raden Ayu itu pun kemudian duduk di hadapan Tumenggung Watang. Sebelum dipersilahkan, Raden Ayu itu pun berkata, “Ki Tumenggung tentu sudah mengetahui maksud kedatanganku kemari”

“Ya Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Raden Ayu akan berbicara tentang Rara Warih”

“Ya. Aku ingin bertemu dengan puteriku” berkata Raden Ayu Ranakusuma kemudian, “Apakah aku diijinkan?”

“Pada dasarnya kami tidak berkeberatan Raden Ayu” jawab Tumenggung Watang, “Tetapi bukankah Raden Ayu sudah tahu, kenapa Rara Warih itu ditangkap?”

“Ternyata telah terjadi satu kesalahan sikap dari pasukan berkuda atau dari para Senapati di Surakarta ” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Apa artinya Rara Warih bagi anak pidak pedarakan yang menyebut dirinya putera Pangeran Ranakusuma itu”

“Maksud Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang.

“Apakah Ki Tumenggung menganggap bahwa Warih akan dapat dipergunakan untuk memancing Juwiring?” justru Raden Ayu itu pun bertanya.

Tumenggung Watang mengangguk. Jawabnya, “Ya Raden Ayu. Karena itu, maka kami terpaksa untuk sementara menahan Rara Warih di sini atas persetujuan para Senapati”

“Dan kumpeni” Raden Ayu bertanya.

Tumenggung Watang menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Ya. Atas persetujuan kumpeni. Tetapi persetujuan itu pada dasarnya karena keterangan-keterangan yang kami berikan”

Tetapi Raden Ayu Galihwarit itu tertawa. Katanya, “Kalian salah hitung. Warih dan Juwiring bukan dua orang saudara yang mempunyai ikatan jiwani. Juwiring tidak akan menghiraukan meskipun seandainya Warih akan digantung sekalipun”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Semuanya telah berubah sejak Raden Ayu sakit. Aku yakin, bahwa keduanya telah menemukan diri mereka dalam hubungan dua orang saudara”

Tetapi Raden Ayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku lebih tahu tentang jiwa anakku. Aku tahu bahwa pada suatu saat ia tidak dapat menolak tekanan ayahandanya untuk menerima Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi aku tahu pasti, apa yang bergejolak di dalam jiwa anakku. Tetapi sebaliknya, aku juga tahu, apa yang bergejolak di dalam jiwa Juwiring. Tanpa Rara Warih, Juwiring adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma”

“Untuk apa kebanggaan Raden Juwiring, bahwa ia adalah satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma? Jika keadaan tidak berubah, mungkin ia akan mendapatkan hak atas warisan dari segala harta kekayaan Pangeran Ranakusuma. Tetapi sekarang tidak lagi. Tidak ada lagi yang berhak mewarisi kekayaan Pangeran Ranakusuma yang melimpah ini, karena Pangeran Ranakusuma sudah menentang Kangjeng Susuhunan”

Tetapi Raden Ayu itu tersenyum. Katanya, “Pandangan Ki Tumenggung ternyata sangat sempit. Apakah Ki Tumenggung tidak memperhitungkan bahwa suasana akan berubah? Bahkan mungkin sekali Pangeran Mangkubumi akan menang, sehingga dengan demikian Juwiring akan dapat memperhitungkan warisan yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma yang bagi perjuangan Pangeran Mangkubumi sama sekali bukan seorang pengkhianat, bahkan ia adalah seorang pahlawan” Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, atas dasar perhitungan itulah maka Juwiring justru ingin diangkat sebagai satu-satunya putera Pangeran Ranakusuma”

“Tetapi apakah Raden Ayu mempunyai perhitungan, meskipun hanya sepercik kecil, bahwa Pangeran Mangkubumi akan menang?” bertanya Tumenggung Watang.

“Semua kemungkinan dapat terjadi” jawab Raden Ayu. Lalu, “Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan berdoa demikian. Aku ingin keadaan tidak berubah. Karena dengan demikian, maka aku akan mendapat kesempatan untuk menuntut hak semua warisan yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma. Aku tidak dapat disertakan dalam kesalahannya, karena aku tidak terlibat di dalamnya. Bahkan pada waktu itu, seolah-olah aku memang sedang disingkirkan. Karena itu, maka akulah yang berhak untuk mendapatkan segala kekayaan Pangeran Ranakusuma. Sebelum segalanya terjadi, maka aku memang akan mulai dengan segala macam usaha untuk mendapatkan hakku kembali. Sudah tentu bahwa kemudian segala warisan Itu akan jatuh ke tangan Rara Warih”

Tetapi Tumenggung Watang menggelengkan kepalanya. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mohon Raden Ayu dapat bertemu dengan Rara Warih sendiri. Raden Ayu akan dapat berbicara dengan puteri itu. Raden Ayu akan tahu sikapnya. Mudah-mudahan Raden Ayu tidak kecewa karenanya”

“Aku memang akan bertemu dengan Warih. Aku ingin berbicara berterus terang” desis Raden Ayu Galihwarit.

“Silahkan. Biarlah seorang emban mengantarkan Raden Ayu berkata Tumenggung Watang.

“Aku ingin berbicara dengan Warih tanpa orang lain. Aku ingin ia berbicara terbuka” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Silahkan. Biarlah seorang prajurit mengantar Raden Ayu sampai ke bilik Rara Warih”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Kemudian seperti dikatakan oleh Tumenggung Watang, maka ia pun segera diantarkan oleh seorang prajurit menuju ke bilik Rara Warih di gandok.

Kehadiran Raden Ayu Galihwarit membuat puterinya terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa ibunya akan datang menemuinya.

Rara Warih masih tegak mematung di dalam biliknya ketika ibunya memberi isyarat kepada prajurit yang mengantarkannya untuk meninggalkan bilik itu.

Demikian prajurit itu pergi, maka Raden Ayu itu pun segera menutup dan menyelarak pintu dari dalam.

Untuk beberapa saat keduanya berdiri mematung sambil berpandangan. Namun Raden Ayu itu menyadari, bahwa Rara Warih masih dibayangi oleh kebimbangan perasaan. Karena itu, ketika Raden Ayu maju setapak, justru Rara Warih mundur selangkah.

“Warih” desis ibundanya.

Rara Warih menjadi semakin cemas. Dengan bibir gemetar ia berdesis, “Ibunda. Bukankah ibunda sedang sakit?”

Betapa pedihnya pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan oleh anak gadisnya yang sangat dicintainya, tetapi yang dengan sadar Raden Ayu Galihwarit mengerti bahwa anaknya itu tentu merasa muak memandanginya.

“Aku memang sedang sakit, Warih” jawab ibunya hati-hati, “Tetapi ketika aku mendengar bahwa kau berada disini, aku memerlukan datang menengokmu”

Wajah Rara Warih menjadi semakin membayangkan kecemasannya. Namun dalam pada itu ibundanya berkata, “Tetapi bukankah kau mengetahui, bahwa aku tidak berbahaya bagimu? Dan meskipun aku sakit, tetapi ada kalanya aku sadar sepenuhnya tentang apa yang aku lakukan seperti sekarang ini?”

“Tetapi kenapa ibu tidak tinggal saja di istana eyang Sindurata. Jika ibunda kambuh di sembarang tempat, maka alangkah sakitnya hati keluarga eyang Sindurata” desis Warih.

“Aku menyadari sepenuhnya Warih. Itulah sebabnya aku berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak kambuh di sembarang tempat. Ketika aku memasuki bilik-bilik di bekas istana kita, rasa-rasanya hatiku mulai bergetar. Tetapi aku sudah mempunyai kekuatan batin untuk melawan kegilaanku itu. Justru pada saat aku mendengar ayahandamu gugur di peperangan, maka kejutan itu merupakan imbangan dari kejutan pada saat aku mendengar kakakmu terbunuh, justru di hadapan mataku, tetapi tanpa aku sadari”

Rara Warih bergeser surut. Ketika ibunya melangkah maju lagi, ia berkata, “Ibunda tetap di situ”

“Warih” desis ibundanya, “Aku sadar sepenuhnya. Dan aku sudah mendapatkan kekuatanku kembali untuk tetap sadar”

“Seandainya ibunda sudah sembuh, namun ibunda tentu tidak akan mengerti persoalan yang sedang aku hadapi sekarang” berkata Rara Warih.

“Aku mengerti sepenuhnya Warih” jawab ibundanya, “Kau telah ditangkap oleh prajurit dari pasukan berkuda. Atas persetujuan para Senapati di Surakarta serta kumpeni, kau telah ditahan sebagai taruhan, agar kakandamu Raden Juwiring dengan mudah dapat ditangkap”

Rara Warih memandang ibundanya dengan tatapan mata yang aneh. Menurut pendengarannya, aneh pula bahwa ibundanya telah menyebut Raden Juwiring dengan sebutan yang lengkap sebagai kakaknya.

Biasanya ibundanya sangat merendahkan Raden Juwiring dan menganggapnya bahwa Juwiring tidak sederajad dengan dirinya meskipun keduanya seayah.

Sementara Rara Warih masih dicengkam oleh kebimbangan akan sikap, ibundanya, Raden Ayu Galihwarit itu pun berkata seterusnya, “Warih. Aku telah mendengar banyak tentang persoalan yang kau hadapi”

“Jika demikian” sahut Rara Warih, “Apakah yang karang ibunda kehendaki”

“Aku ingin mendengar pengakuanmu. Bagaimanakah sikapmu terhadap tindakan ayahandamu dan kakandamu Raden Juwiring” jawab ibundanya.

“Jika ibunda mengetahuinya?” bertanya Rara Warih pula.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, anak gadisnya itu tidak lagi menaruh hormat kepadanya Rara Warih tentu sudah pernah mendengar, mungkin dari mulutnya sendiri, atau dari mulut orang lain, bahwa dalam keadaan tidak sadar, ia dapat menyebut apa saja yang bagi seorang gadis seumur Rara Warih itu tentu akan sangat memuakkan.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit tidak akan ingkar. Ia justru telah mempersiapkan dirinya lahir batin untuk mengalami perlakuan apa saja dari siapa saja. Namun bahwa ia telah meletakkan dasar dan tujuan dengan penuh kesadarannya atas sikapnya itu.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Rara Warih. Betapapun rendah martabat seseorang, namun ia akan tetap mencintai anaknya. Aku tahu, bahwa kau memandang aku tidak lagi sebagai seorang perempuan yang pantas dihormati. Aku tidak berkeberatan Warih. Aku mengerti perasaanmu. Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa bahwa aku tidak akan dapat membiarkan kau disekap dalam keadaan seperti ini”

“Dan ibunda akan mengorbankan kangmas Juwiring agar aku dapat dilepaskan dari tempat ini?” bertanya Rara Warih pula.

Raden Ayu Galihwarit itu menahan gejolak perasaannya. Betapa matanya terasa panas, tetapi ia tidak mau menangis. Ia tidak mau hanyut ke dalam arus perasaannya yang tidak menentu. Jika demikian, ia akan kehilangan pengamatan diri, dan ia akan jatuh ke dalam suasana yang mengerikan bagi anak gadisnya itu. Karena itu, bagaimanapun juga ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa ia akan tabah menghadapinya.

Rara Warih mengerutkan keningnya ketika ia melihat ibundanya justru tersenyum. Katanya, “Rara Warih. Cobalah katakan. Dimanakah kau sekarang berdiri. Biarlah aku tahu dengan pasti, sehingga aku akan dapat mengambil langkah-langkah yang sebaiknya aku lakukan. Sebenarnya aku sudah menduga sikapmu sekarang. Tetapi aku ingin mendengar kau sendiri mengucapkannya”

“Aku berdiri bersama kakangmas Juwiring” jawab Rara Warih tegas.

Sekali lagi Rara Warih terkejut ketika ia melihat ibunya mengangguk. Ibunya sama sekali tidak menunjukkan perubahan perasaan di wajahnya ketika ia mendengar pengakuan Rara Warih.

Bahkan Raden Ayu Galihwarit itu pun kemudian berkata, “Aku yakin bahwa kau akan mengatakannya Warih”

“Aku tidak mengerti sikap ibunda” justru Rara Warih lah yang kemudian menjadi bingung.

“Aku sudah mendengar serba sedikit, bahwa kau telah melibatkan diri, langsung atau tidak langsung. Kau ditangkap di padepokan Jati Aking dan bahkan para prajurit pasukan berkuda pun yakin bahwa kau akan dapat dipergunakannya memancing kakandamu Raden Juwiring” berkata Raden Ayu kemudian.

“Lalu, apakah yang akan ibunda lakukan? Berusaha memancing kakangmas Juwiring?” bertanya Rara Warih.

“Aku tidak merasa aneh bahwa kau akan berprasangka demikian. Tetapi Warih, ternyata pengalaman batinku telah membuat aku berubah. Aku sudah bertemu dengan kakandamu Raden Juwiring. Aku sudah mendengar segala-galanya” jawab Raden Ayu Ranakusuma.

“Jadi, bagaimana sikap ibunda?” bertanya Rara Warih pula.

“Warih” desis ibundanya perlahan-lahan, “Aku tidak akan ingkar di hadapanmu. Kau tentu sudah tahu apa yang pernah aku lakukan, sehingga kau tentu menganggap aku seorang perempuan yang kotor. Tetapi bagaimanapun juga, aku masih berperasaan. Pada akhirnya aku melihat suatu perkembangan jiwani di dalam dadaku. Aku merasa bersalah. Sampai saatnya Pangeran Ranakusuma gugur, aku belum pernah mohon maaf kepadanya. Karena itu, berilah aku kesempatan untuk menebus segala, dosa dan noda yang pernah melumuri kecantikanku”

“Ibunda” suara Rara Warih menjadi parau.

“Aku berkata sebenarnya Warih. Aku akan mempergunakan sisa hidupku untuk berbakti kepada Pangeran Ranakusuma” desis Raden Ayu Galihwarit, “Aku akan meneruskan perjuangan-nya, sudah tentu aku akan mempergunakan caraku”

Wajah Rara Warih menjadi tegang.

“Apakah masih ada secercah kepercayaanmu kepada ibundamu ini ngger?” suara Raden Ayu Galihwarit menurun.

Terasa sesuatu tergetar di jantung Rara Warih. Betapapun kotornya, perempuan itu adalah ibundanya yang mencintainya dan yang sebenarnya juga dicintainya.

Karena itu, di luar sadarnya, tiba-tiba saja matanya mulai mengaca.

“Warih” terdengar ibundanya berkata pula, “aku mohon kau percaya. Aku sudah mengakui segala kesalahanku. Aku mohon maaf kepadamu, justru kau seorang gadis yang sangat mudah melihat segala kesalahan dan dosa-dosaku. Selebihnya, dengan ikhlas aku sudah menerima Raden Juwiring sebagai anakku sendiri. Apalagi setelah aku mengerti, betapa kuat hatinya dan ternyata ia seorang yang luhur budi” ibundanya berhenti sejenak, lalu, “Kau mau memaafkan aku, Warih?”

Rara Warih termenung sejenak. Namun kemudian ia pun berlari memeluk ibundanya. Pelupuknya tidak lagi mampu membendung air matanya yang mengalir bagaikan banjir.

Seperti masa kanak-kanaknya, Rara Warih menangis di dalam pelukan ibundanya. Air matanya membasahi pangkuan ibundanya yang kemudian duduk di pembaringan Rara Warih.

Betapa jantungnya bagaikan teriris sembilu, namun Raden Ayu Ranakusuma itu berusaha bertahan dari hempasan perasaannya. Ia masih dibayangi oleh satu kecemasan, bahwa jika ia terseret arus perasaannya yang tidak terkendali, maka ia akan dapat kehilangan pengamatan atas kesadarannya dan jatuh ke dalam keadaan yang akan dapat membuat Warih terguncang pula hatinya.

“Tidak” ia mengatupkan giginya untuk menahan hati, “Aku tidak mau kehilangan lagi. Aku tidak mau menjadi sampah yang tidak berarti di hadapan anakku sendiri”

Dengan tangan gemetar Raden Ayu itu mengusap kepala anaknya sambil berkata, “Sudahlah Warih. Kita sudah sampai pada satu keadaan seperti ini. Penyesalan tidak lagi banyak membantu kita. Karena itu kita sekarang harus memikirkan, bagaimana kita dapat mengatasi kesulitan ini”

Rara Warih mengusap wajahnya yang basah. Ia masih mendengar ibunya berkata, “Kita jangan kehilangan akal. Mungkin kau masih harus tabah untuk satu dua hari lagi”

“Apakah yang akan ibu lakukan?” bertanya Rara Warih.

“Aku akan berusaha agar kau dapat keluar dari tempat ini tanpa mengorbankan kakandamu” jawab ibundanya.

“Apakah ibunda mempunyai cara tertentu? Apakah para pemimpin prajurit dari pasukan berkuda ini dapat diajak berunding?” bertanya puterinya.

“Aku akan mempergunakan segala cara” jawab ibundanya, “jika ayahandamu telah memberikan korban yang paling besar, ialah nyawanya, maka aku pun akan mengorbankan apa yang ada padaku. Maksudku bukan sekedar agar kau bebas dari batas-batas dinding ruangan ini, tetapi agar kau tidak menjadi hambatan bagi perjuangan kakandamu Raden Juwiring. Bahkan mungkin dalam keadaan putus-asa, Juwiring akan benar-benar datang menyerahkan dirinya bagi kebebasanmu”

Wajah Rara Warih menjadi tegang. Terbayang cara yang akan ditempuh oleh ibundanya. Terasa bulu-bulunya mulai meremang.

Namun ibundanya tersenyum sambil berkata, “Warih. Jangan hiraukan aku. Aku adalah sampah yang paling kotor. Tetapi biarlah sampah itu mempunyai arti juga sebagaimana sampah itu pula. Sampah akan berguna juga sebagai pupuk tanaman justru ia adalah sampah”

Sekali lagi perasaan gadis itu tersentak. Sekali lagi ia menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya sambil menangis. Dengan tangan gemetar ibundanya mengusap lagi rambutnya sambil berkata, “Sudahlah Warih. Jangan kau tangisi ibundamu. Mudah-mudahan usaha kita berhasil. Kematian ayah-andamu janganlah sia-sia. Meskipun Pangeran Mangkubumi tidak mengerti apa yang kita lakukan, biarlah kita membantunya meskipun hanya setitik air yang menetes di lautan. Diamlah dan bersikaplah sebagaimana sikap ayahandamu menghadapi amukan api peperangan”

Kata-kata ibundanya itu ternyata telah menyentuh hati Rara Warih. Pada saat-saat hatinya menjadi lemah, ia mencoba bersandar pada kebesaran nama ayahandanya. Dan kini ibundanya juga menyebut nama ayahandanya, Pangeran Ranakusuma. Seorang Senapati pilih tanding di medan perang.

Karena itu, maka Rara Warih pun telah mencoba menahan air matanya. Bahkan ia pun kemudian mencoba duduk di samping ibundanya.

“Warih” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “pertemuan kita sudah cukup lama. Aku akan kembali kepada eyangmu. Aku akan mencoba mempergunakan pengaruhnya untuk membebaskanmu. Atau usaha-usaha yang lain yang mungkin dapat aku lakukan”

Rara Warih mengangguk sambi berdesis, “Silahkan ibunda”

“Tetapi ketahuilah, bahkan kepada orang lain, aku bersikap seolah-olah aku tidak mengakui Juwiring sebagai putera Pangeran. Ranakusuma yang sederajad denganmu. Mungkin sikapku itu menyakiti hatinya jika ia menyaksikannya lewat mata siapapun juga. Tetapi mudah-mudahan dengan demikian aku akan berhasil” berkata ibundanya.

Sekali lagi Raden Ayu itu minta diri. Kemudian dibukanya selarak pintu bilik itu. Ketika ia keluar dari bilik itu, dilihatnya prajurit yang mengantarkannya berdiri di seketheng.

Langkah Raden Ayu yang mendekati prajurit itu telah menyadarkannya dari sebuah lamunan. Ketika prajurit itu berpaling, dilihatnya Raden Ayu Ranakusuma tersenyum kepadanya sambil berkata, “Aku sudah selesai. Antarkan aku kepada Tumenggung Watang”

Prajurit itu pun kemudian mempersilahkan Raden Ayu Galihwarit kembali memasuki bilik Tumenggung Watang yang nampaknya masih menunggu.

“Silahkan Raden Ayu” Tumenggung itu mempersilahkan.

Sambi duduk Raden Ayu itu berkata, “Aku sudah bertemu dengan anak gadisku”

“Nah, bukankah Raden Ayu sudah mengetahui sikap dan pendiriannya?” bertanya Tumenggung Watang.

Raden Ayu Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Ia hanya salah menangkap suasana”

“Maksud Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang.

“Aku sudah memberi penjelasan kepadanya” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “bahwa segalanya sama sekali tidak berarti baginya”

“Bagaimana pendapat Rara Warih?” bertanya Tumenggung itu pula.

“Seperti aku katakan, aku adalah ibundanya. Aku mengerti watak dan tabiatnya. Karena itu, maka aku merasa yakin dapat menjelaskan kepadanya” Raden Ayu itu berhenti sejenak, lalu, “Ki Tumenggung. Rara Warih telah mendapat keterangan yang salah dari ayahandanya, justru karena ayahandanya tiba-tiba saja melihat aku sebagai seorang yang tidak pantas lagi tinggal di istana ini pada saat aku sakit. Dengan keterangan-keterangan khusus, dan mungkin dengan sedikit tekanan puteriku telah menerima kehadiran Juwiring sebagai kakaknya. Tetapi semuanya itu bukannya memancar dari hatinya. Juga perjuangan Pangeran Mangkubumi sama sekali tidak dimengertinya. Ia mendengar dan mendapat keterangan yang berlebih-lebihan dari ayahandanya yang kebetulan mengambil langkah yang salah”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Sementara Raden Ayu itu berkata selanjutnya, “Ki Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung telah mengenal cara hidupku sebelum aku disingkirkan dari istana ini. Dan aku sudah terbiasa dengan hidup seperti itu. Aku tidak akan dapat menempuh cara hidup yang lain”

“Tetapi, bagaimana sikap puteri terhadap Rara Warih?” bertanya Tumenggung Watang.

“Aku sudah memberikan penjelasan kepadanya. Ternyata bahwa hatinya memang lebih dekat dengan ibundanya. Ia percaya kepadaku, dan ia tidak menghiraukan lagi apakah ada seseorang yang bernama Juwiring, karena derajad kami memang berbeda”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Jika menyinggung soal derajad, maka ia sendiri pun akan merasa tersentuh pula, karena tentu Raden Ayu itu menganggapnya bahwa ia tidak sederajad dengan keluarga Ranakusuman.

“Lalu, bagaimanakah menurut Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang itu pula.

“Aku dan Rara Warih sendiri tidak berkeberatan untuk tinggal di tempatnya. Mungkin pengorbanannya itu benar-benar akan dapat memancing Juwiring. Tetapi kemungkinan itu kecil sekali” jawab Raden Ayu, “Juwiring tentu tidak menghiraukan sama sekali arti Rara Warih baginya”

“Jadi penahanan itu menurut puteri tidak akan ada gunanya?” bertanya Tumenggung Watang.

“Tidak” jawab Raden Ayu Galihwarit, “Tetapi dapat dicoba. Sudah aku katakan, Rara Warih tidak berkeberatan tinggal di tempat itu selama lima hari lagi. Mudah-mudahan Juwiring benar-benar seorang laki-laki jantan dan bersedia datang untuk pembebasan Rara Warih”

Tumenggung Watang termangu-mangu sejenak. Namun ia tergagap ketika Raden Ayu itu bertanya, “Tetapi Ki Tumenggung. Setelah saat pengorbanan itu berakhir, apa yang akan Ki Tumenggung lakukan terhadap anak gadisku? Jika benar dalam waktu lima hari Juwiring tidak memenuhi wara-wara itu, apakah kesalahannya akan ditimpakan kepada Rara Warih? Jika demikian alangkah bangganya Juwiring dengan sikapnya. Ia sudah berhasil menepuk dua ekor lalat dengan sekali ayun. Yang pertama ia tetap bebas, sedang yang kedua, Warih, saingannya dalam memperebutkan warisan apapun ujudnya dari Pangeran Ranakusuma, telah di sisihkan oleh tangan-tangan yang tidak mengerti keadaan dan persoalannya”

Namun ternyata Ki Tumenggung itu menggeleng. Jawabnya, “Tentu tidak Raden Ayu. Tentu kami tidak akan dapat membebankan kesalahan Raden Juwiring dan ayahandanya kepada Rara Warih”

“Ki Tumenggung berbicara sebagai pribadi atau sebagai seorang Senapati dari pasukan berkuda yang dapat mempertanggung jawabkan kepada para Senapati yang lain dan kumpeni?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan membicarakannya dengan segala pihak. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku akan membantu Ki Tumenggung untuk membicarakannya dengan segala pihak”

Tumenggung Watang mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa maksud Raden Ayu?”

Raden Ayu tertawa. Katanya, “Bukankah Ki Tumenggung sudah menyatakan bahwa Rara Warih tidak akan ternodai oleh kesalahan ayahandanya dan oleh Juwiring yang mengaku putera Pangeran Ranakusuma itu”

“Raden Juwiring memang putera Pangeran Ranakusuma” potong Tumenggung Watang.

“Tetapi ia tidak sederajad dengan Rara Warih” jawab Raden Ayu dengan wajah yang merah.

Tumenggung Watang tidak menyahut. Ia tidak ingin berbantah tentang susunan keluarga Pangeran Ranakusuma. Karena itu maka katanya kemudian, “Tetapi apakah yang Raden Ayu maksudkan dengan membantu aku untuk membicarakannya dengan segala pihak”

“Aku akan berbicara dengan siapa saja yang mungkin aku temui, dan yang mempunyai hubungan dan kepentingan langsung dengan penahanan Rara Warih selain Ki Tumenggung. Jika mereka sependapat dengan Ki Tumenggung, bukankah persoalannya sudah selesai?” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Wajah Ki Tumenggung menegang. Tetapi ia tahu maksud Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, katanya kemudian, “Tetapi penahanan itu harus genap sampai hari ke lima”

“Itu bukannya sikap yang dewasa” jawab Raden Ayu, “Tidak ada salahnya Warih dibebaskan meskipun ia baru satu atau dua hari berada di dalam tahanan. Tetapi dengan cara yang baik. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa gadis itu sudah dibebaskan. Sudah tentu para petugas akan mengetahui. Tetapi maksudku, orang luar tidak akan mengetahuinya, sehingga tidak akan mempengaruhi sikap Juwiring, meskipun aku tetap ragu, bahwa ia akan menghiraukan gadis yang disebut adiknya itu”

Tumenggung Watang hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang memperhitungkan, bahwa Raden Ayu Galihwarit itu akan mungkin sekali mendapat persetujuan dari para Senapati dan Kumpeni.

Karena itu, maka katanya, “Terserahlah kepada Raden Ayu. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak berperhitungan”

“Tentu. Ki Tumenggung akan dapat menilai segala keputusan yang akan diambil bersama tanpa merugikan usaha untuk menangkap. Juwiring, sebagaimana aku pun sebenarnya menghendakinya. Bahkan bukan saja ditangkap, tetapi dengan satu keyakinan, bahwa ia tidak akan mengganggu Warih di kemudian hari, karena aku akan bekerja dengan segala cara untuk menuntut hakku atas segala harta benda yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranakusuma” jawab Raden Ayu Galihwarit.

Tumenggung Watang hanya dapat mengangguk-angguk. Ia tidak dapat langsung menentang usaha Raden Ayu itu untuk mengambil haknya, justru ia sudah terlanjur tinggal di istana itu, meskipun hanya di sebagian kecil saja dari seluruh istana yang luas itu. Jika ia berbuat demikian, maka Raden Ayu itu akan menyangka, bahwa ia sendirilah yang sebenarnya ingin memiliki segala harta yang ada di dalam istana yang kosong itu.

Dalam pada itu, maka Raden Ayu Galihwarit pun segera minta diri kepada Tumenggung Watang untuk kembali ke istana ayahandanya, Pangeran Sindurata. Namun, demikian ia turun tangga menuju ke keretanya, ia masih sempat berpesan kepada Ki Tumenggung, “Ki Tumenggung, aku ingin mendengar Juwiring itu tertangkap di medan, bukan karena ia menyerahkan diri bagi pembebasan Rara Warih. Aku tidak mau berhutang budi pada anak pidak-pedarakan itu, agar aku tidak merasa berkewajiban untuk menebus-nya dengan cara apapun juga. Aku kira pasukan berkuda dari Surakarta yang besar itu akan dapat menangkapnya, hidup atau mati”

Tumenggung Watang tersenyum. Jawabnya, “Mudah-mudahan Raden Ayu. Mudah-mudahan kami segera dapat melakukannya tanpa menunggu anak itu datang menyerahkan diri”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Kemudian ia pun naik ke dalam kereta Pangeran Sindurata yang tidak sebaik kereta Pangeran Ranakusuma. Tetapi kereta itu cukup memadai bagi seorang puteri secantik Raden Ayu Galihwarit.

Sejenak kemudian maka kereta itu pun telah berderap meninggalkan halaman istana Pangeran Ranakusuma yang telah dikosongkan, dan yang kemudian dipergunakan oleh pasukan berkuda Surakarta yang perkasa itu.

Demikian kereta itu keluar dari regol halaman, maka senyum Raden Ayu itu pun segera lenyap dari bibirnya. Ia mulai merenung, bagaimana sebaiknya yang dilakukannya agar ia dapat membebaskan Rara Warih tanpa menunggu batas waktu yang diberikan oleh para Senapati di Surakarta.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit telah berpengalaman bergaul dengan kumpeni. Ia akan dapat memanfaatkan kebiasaannya itu. Apalagi karena Pangeran Ranakusuma sudah tidak ada.

Ketika ia sampai di istana ayahandanya, maka Raden Ayu itu pun segera menyampaikan persoalannya kepada ayahandanya. Ia mohon agar ayahandanya dapat membantunya, membebaskan Warih dari tangan pasukan berkuda yang menahannya.

“Aku tidak turut campur” jawab Pangeran Sindurata

“Aku sudah tua. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan menghadapi persoalan ini”

“Dan ayahanda sampai hati membiarkan cucunda dalam keadaan seperti sekarang?” bertanya Rara Warih.

“Sudah tentu aku tidak akan sampai hati. Tetapi apa yang dapat aku lakukan? Jika aku berusaha membebaskannya, apakah aku tidak akan dapat dituduh membantunya?” jawab Pangeran Sindurata. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau tidak usah cemas Galihwarit. Semuanya sudah aku bicarakan dengan beberapa orang perwira dari pasukan berkuda yang datang kemari. Yang mereka lakukan hanya sekedar sebuah permainan. Warih tidak akan mengalami apapun juga. Justru yang dilakukan itu akan dianggap sebagai satu pengorbanan dan satu perjuangan bagi Surakarta ”

Raden Ayu Galihwarit yang merasa mempunyai kemampuan tersendiri untuk menolong puterinya itu pun menjawab, “Baiklah ayahanda. Kita akan menunggu saja, apa yang akan terjadi atas anak gadisku itu”

Tetapi sebenarnyalah Raden Ayu Galihwarit tidak menunggu. Ternyata bahwa ia bertindak cepat. Sebagaimana pernah dilakukannya, maka ia pun mulai mengunjungi loji tempat tinggal kumpeni yang berada di Surakarta,

Kedatangannya memang mengejutkan. Tetapi Raden Ayu dapat saja mencari alasan, seolah-olah bahwa ia pun ikut mengutuk tingkah laku Pangeran Ranakusuma.

“Aku sudah diusirnya, jauh sebelum ia berkhianat” desis Raden Ayu Galihwarit sambil mengusap matanya.

“Jangan sedih Raden Ayu” seorang perwira kumpeni menghiburnya, “bukankah dengan demikian, Raden Ayu akan mendapat kebebasan lebih besar untuk berbuat apa saja”

Raden Ayu hanya tersenyum saja.

“Sekarang tidak akan ada lagi orang yang akan menantang duel salah seorang dari kami yang berhubungan dengan Raden Ayu” berkata kumpeni itu sambil tertawa.

Raden Ayu Galihwarit itu pun tersenyum pula.

“Raden Ayu nampak bertambah kurus” berkata perwira itu, “Kami tahu, Raden Ayu sedang sakit”

“Sekarang aku sudah sembuh” jawab Raden Ayu.

“Dan bertambah cantik” perwira itu mulai bergurau. Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak canggung lagi bergaul dengan orang asing itu. Bahkan ia nampak semakin berani dan semakin panas sepeninggal suaminya.

Namun dalam pada itu, di pagi harinya, pada saat matahari baru menjenguk dari balik cakrawala, sebuah kereta berderap menuju ke istana Ranakusuman yang dipergunakan oleh pasukan berkuda. Seorang puteri yang cantik duduk seorang diri di dalam kereta itu.

“Raden Ayu Galihwarit” desis para penjaga regol di istana Ranakusuman itu, “sepagi ini ia sudah datang kemari”

Tidak seorang pun yang tahu maksudnya. Namun mereka sama sekali tidak mencegah kereta itu memasuki halaman.

Ki Tumenggung Watang pun terkejut pula melihat kehadiran Raden Ayu itu. Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia menyambutnya.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting Raden Ayu?” bertanya Tumenggung Watang ketika Raden Ayu itu sudah duduk di dalam ruang yang khusus dipergunakan oleh Tumenggung Watang.

Raden Ayu tersenyum cerah sekali. Tanpa menjawab separah katapun ia menunjukkan sehelai surat kepada Tumenggung Watang.

Wajah Tumenggung Watang itu pun menjadi tegang. Diterima surat itu dengan jantung yang berdebaran.

“Apakah artinya ini Raden Ayu” bertanya Tumenggung Watang.

“Silahkan Ki Tumenggung membacanya” jawab Raden Ayu, “surat itu ditulis oleh seorang juru tulis yang berada di lingkungan kumpeni. Pada surat itu sudah dibubuhkan tanda sah atas surat itu”

Sejenak Tumenggung itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun membaca isi surat itu.

Terasa wajah Tumenggung Watang menjadi panas. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana mungkin hal ini terjadi Raden Ayu”

“Seperti sudah aku katakan, aku akan membantu Ki Tumenggung” jawab Raden Ayu Galihwarit

“Tetapi tindakan Raden Ayu ini telah melanggar hakku. Dan surat ini pun sebenarnya dapat aku tolak dan tidak berlaku” jawab Tumenggung Watang.

Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Tentu akan terasa aneh jika Ki Tumenggung menolak surat itu. Yang mula-mula mengatakan bahwa Rara Warih tidak dapat dibebani kesalahan ayahandanya dan kesalahan Juwiring adalah Ki Tumenggung Kemudian Ki Tumenggung mengatakan, akan membicarakan hal ini dengan pihak-pihak lain. Untuk itu aku bersedia membantunya. Dan aku sudah berbicara dengan kumpeni, sehingga kumpeni telah menulis surat itu”

“Tapi ia tidak berhak memerintahkan kepadaku untuk melepaskannya” geram Tumenggung Watang.

“Bukankah kumpeni tidak memerintahkan kepada Tumenggung Watang? Tetapi bukankah surat itu mengatakan, bahwa kumpeni tidak berkeberatan jika Rara Warih dilepaskan Tetapi dengan syarat. Nah, bagaimana pendapat Ki Tumenggung? Apakah justru Ki Tumenggung yang menjadi tumpuan harapanku yang pertama sebelum aku bertemu dengan kumpeni, justru akan berubah sikap?” desak Raden Ayu itu.

Tumenggung Watang akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mengabaikan pendapat kumpeni, meskipun secara urutan kekuasaan ia dapat menolak surat itu dan menunjuk kepada Senapati dalam tataran yang lebih tinggi, Panglima perang yang telah diangkat oleh Kangjeng Susuhunan dalam keadaan yang gawat itu.

Namun akhirnya Ki Tumenggung itu berkata, “Raden Ayu. Baiklah. Aku setuju. Tetapi syarat yang tersebut dalam surat ini harus dipenuhi. Rara Warih dibebaskan dengan rahasia. Karena itu, biarlah nanti malam gadis itu diantar ke istana Sinduratan”

“Kenapa nanti malam? Bukankah aku dapat membawanya sekarang?” bertanya Raden Ayu.

“Jangan sekarang Raden Ayu. Mungkin seseorang akan melihatnya di jalan” jawab Ki Tumenggung Watang, “sementara itu, justru kami akan mengeluarkan wara-wara yang lebih keras sifatnya, agar Raden Juwiring menyerah. Seolah-olah kami akan membebaskan segala kesalahan kepada Rara Warih jika Raden Juwiring tidak tertangkap”

Raden Ayu mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Silahkan Ki Tumenggung. Aku justru sependapat sekali. Tidak seorang pun memang boleh mengetahui bahwa Rara Warih telah dibebaskan, agar masih ada satu kemungkinan seperti yang Ki Tumenggung harapkan. Meskipun harapan itu sangat kecil”

Dengan demikian maka di antara Raden Ayu dan Ki Tumenggung Watang itu telah tercapai satu persetujuan, meskipun Tumenggung Watang itu telah tersinggung oleh sikap kumpeni yang seolah-olah dengan sesuka hatinya dapat memerintah segala bagian dalam jalur keprajuritan di Surakarta.

Namun ia pun seakan-akan telah kalah janji, bahwa ia sama sekali tidak akan menimpakan kesalahan Juwiring dan Pangeran Ranakusuma kepada gadis itu, sehingga jika ia berkeberatan untuk melepaskan gadis itu, maka seolah-olah ialah yang mempersulit justru ia adalah orang yang pertama-tama mengatakan, bahwa Rara Warih tidak bersalah sama sekali.

Setelah Ki Tumenggung berjanji untuk mengirimkan Rara Warih setelah gelap sehingga tidak akan ada orang lain yang mengetahui, dengan kereta yang terdapat di istana Rana-kusuman, maka Raden Ayu itu pun telah mohon kesempatan untuk bertemu dengan anak gadisnya.

Tetapi Raden Ayu itu tidak memerlukan waktu yang lama. Ia hanya mengatakan beberapa patah kata tentang rencana yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung Watang atas gadis itu.

Rara Warih memandang wajah ibunya dengan tatapan mata yang buram. Meskipun bibirnya mengucap terima kasih, tetapi hatinya bagaikan menjadi hancur. Ia sadar apa yang telah dilakukan oleh ibundanya. Ibundanya telah mengorbankan apa saja bagi kebebasannya.

Tetapi Rara Warih berusaha untuk menahan hatinya. Ia tidak mau menyinggung perasaan ibunya yang telah berbuat apa saja baginya. Ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh ibundanya itu justru karena ibundanya sangat mencintainya.

Namun demikian, Raden Ayu Galihwarit meninggalkan bilik itu, Rara Warih telah menjatuhkan dirinya di pembaringannya. Ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Alangkah pahitnya nasib yang menimpa dirinya.

“Apakah sudah seimbang pengorbanan yang diberikan oleh ibunda bagi kebebasanku” tangis Rara Warih.

Namun Rara Warih pun sadar, bahwa yang dilakukan oleh ibundanya bukan saja bagi kebebasannya. Sebelumnya Ibunda-nya pernah melakukannya, justru karena ibundanya adalah seorang puteri yang tamak, yang ingin memiliki jauh lebih banyak dari yang dapat diberikan oleh ayahandanya.

Rara Warih hampir tidak dapat menahan diri lagi. Hampir saja ia menangis menjerit sekuat-kuatnya untuk melepaskan pepat di dadanya.

Tetapi dalam pada itu, seorang emban telah memasuki biliknya. Dengan suara lembut ia berkata, “Puteri, kenapa puteri justru menangis?”

Rara Warih berusaha untuk menahan diri. Tetapi justru karena itu maka ia pun menjadi terisak-isak. Dadanya bagaikan menjadi pepat oleh tangis yang tertahan di lehernya.

“Sudahlah puteri” emban itu beringsut mendekat, “Aku tidak pernah membawa patrem lagi seperti yang puteri perintahkan”

Rara Warih mengangguk kecil. Tetapi isaknya masih saja menyesakkan dadanya.

“Aku akan menemani puteri untuk mengisi waktu puteri, agar puteri tidak selalu berduka” berkata emban itu. “katakan puteri, apa yang puteri kehendaki”

Rara Warih menggeleng lemah. Tetapi tangisnya mulai mereda. Meskipun Rara Warih tahu, bahwa emban itu sebenarnya adalah petugas yang harus mengawasinya, tetapi sikapnya terlalu baik dan keibuan. Karena itulah, maka emban itu memang dapat mengisi hatinya yang seakan-akan dalam kekosongan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah yang dijanjikan oleh Tumenggung Watang. Ketika Surakarta mulai disaput oleh gelapnya malam, maka Tumenggung Watang pun telah menyiapkan sebuah kereta. Meskipun pada dasarnya ia percaya kepada para perwiranya, namun ia sendirilah yang akan mengantar Rara Warih ke istana Sinduratan. Bagaimanapun juga, ia masih mempertimbangkan kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas puteri itu. Karena menurut penilaian para, prajurit, gadis itu adalah seorang tahanan, anak seorang pengkhianat yang dapat diperlakukan sekehendak hati mereka.

Kedatangan Rara Warih disambut oleh ibunya dengan titik air mata di pelupuknya. Tetapi seperti yang selalu dilakukan, ia berusaha untuk tidak tenggelam ke dalam dunianya yang suram.

“Terima kasih Ki Tumenggung” berkata Raden Ayu itu kepada Ki Tumenggung. Tetapi ketika ia mempersilahkan Tumenggung itu duduk, maka Tumenggung Watang menjawab, “Terima kasih Raden Ayu. Aku masih mempunyai tugas di rumah”

Raden Ayu itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih”

Tumenggung itu pun kemudian minta diri pula kepada Pangeran Sindurata. sebelum sejenak kemudian keretanya berderap meninggalkan istana itu.

Sepeninggal Ki Tumenggung, maka Raden Ayu pun segera mengajak Rara Warih masuk. Kepada Pangeran Sindurata. Raden Ayu itu pun memberi tahukan bahwa Rara Warih diijinkan tinggal di istana itu, namun bersifat rahasia. Tidak seorang pun boleh mengetahuinya.

“Para hamba istana ini pun harus diberitahukan, agar mereka tidak membuka rahasia ini” minta Raden Ayu kepada ayahanda, “jika hal ini didengar oleh para Senapati di Surakarta dan kumpeni, maka Rara Warih tentu akan diambil lagi dan ditahan di tempat yang lebih sulit untuk ditemui”

“Serahkan hal itu kepadaku” jawab Pangeran Sindurata.

Dalam pada itu. justru di hari berikutnya, telah dikeluarkan wara-wara, bahwa waktu yang disediakan bagi Juwiring dan anak buahnya tinggal dua hari lagi. Bukan saja Juwiring tetapi juga anak buahnya, bekas pasukan berkuda, harus menyerahkan diri. Jika tidak, maka semua kesalahan akan ditimpakan kepada Rara Warih yang juga tertangkap di padepokan Jati Aking, di antara pasukan Raden Juwiring.

Wara-wara itu segera dapat didengar oleh para petugas sandi dari pasukan Pangeran Mangkubumi, sehingga hal itu pun segera terdengar pula oleh Ki Wandawa.

Karena itu, maka Ki Wandawa pun segera memanggil Juwiring dan saudara angkatnya, Buntal untuk mendapat penjelasan bagaimana sikap yang akan diambilnya.

Keterangan itu membuat Juwiring menjadi cemas. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Aku pernah berjanji kepada ibunda Galihwarit untuk segera kembali. Tetapi aku sudah terlambat satu hari. Tetapi sebaiknya aku harus menghadap untuk mendapat penjelasannya”

“Pergilah, tetapi kau harus berhati-hati. Mungkin wara-wara ini memang satu jebakan, agar kau berada di sekitar istana Ranakusuman atau di daerah tertentu yang mungkin akan kau datangi. di antaranya adalah istana Sinduratan?” pesan Ki Wandawa.

Juwiring pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia memang harus berhati-hati sekali. Benturan-benturan kecil antara pasukan Pangeran Mangkubumi dengan kumpeni dan prajurit Surakarta yang terjadi di beberapa tempat, membuat para prajurit Surakarta itu semakin ketat mengawasi keadaan.

“Aku akan ikut bersamamu kakang” Arum mulai merengek.

“Perjalanan ini sangat berbahaya” jawab Juwiring.

“Tetapi aku akan dapat mengetahui, apakah kau boleh masuk ke istana Sinduratan atau tidak” desis Arum.

“Bagaimana mungkin” sahut Buntal.

“Aku akan mendahului kalian memasuki istana itu. Aku dapat saja membawa dagangan apapun juga. Kau tidak akan dapat mengulangi caramu. Jika di sekitar istana itu ada beberapa orang pasukan sandi dari Surakarta dan orang-orang upahan kumpeni, mereka akan segera mengenalmu. Tetapi tidak terhadapku” berkata Arum.

Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiring pun kemudian mengangguk-angguk. Desisnya, “Ada juga baiknya. He, kau mau menjual apa yang pantas kau bawa masuk ke istana Sinduratan?”

“Apa saja. Mungkin sayuran. Mungkin juga tikar pandan atau reramuan jamu. Mangir atau lulur” jawab Arum, “ayah Danatirta tentu akan dapat membuatnya”

Akhirnya mereka sepakat untuk segera berangkat ke Surakarta dengan cara yang telah mereka setujui.

Mereka memasuki kota ketika matahari mulai naik di hari berikutnya. Waktunya memang. sudah dekat dengan batas yang diberikan oleh para pemimpin di Surakarta. Juwiring pun kemudian menjadi semakin cemas ketika ia mengetahui bahwa tuntutan para pemimpin pasukan berkuda itu telah berkembang. Bukan saja Juwiring, tetapi juga para pengikutnya, terutama bekas prajurit pasukan berkuda yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi.

Dengan membawa reramuan obat-obatan, Arum berjalan di depan. Di belakangnya Buntal dan Juwiring berjalan seolah-olah tidak menghiraukan gadis itu sama sekali. Dengan segala cara Juwiring berusaha untuk menyamarkan wajahnya. Dengan goresan-goresan kecil, pada bibir dan pelupuk matanya, ia sudah nampak berubah. Juga karena pakaiannya yang lusuh dan kakinya yang agak timpang.

Bahkan kadang-kadang Buntal harus tertawa sendiri melihat sikap Raden Juwiring itu.

“Sst, kau tentu menganggap aku pengecut” desis Juwiring.

“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi orang yang demikian itu tentu akan sangat menderita. Tidak akan ada seorang gadis pun yang akan tertarik. Wajah yang kotor, buruk dan cacat” sahut Buntal.

Juwiring pun tersenyum. Ia harus mempertahankan sikapnya sebagai seorang yang agak timpang, meskipun hanya sedikit.

“Jika aku harus berjalan dengan cara ini sehari penuh, maka aku akan benar-benar menjadi timpang” desisnya.

Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Buntal dan Juwiring telah berhenti beberapa puluh langkah dari regol Sinduratan, sementara Arum sambil membawa reramuan obat-obatan yang dibuat dari dedaunan dan jenis akar empon-empon memasuki regol Sinduratan.

Tidak seorang pun yang berminat untuk membeli reramuan obat-obatan itu. Namun Arum sudah melihat, tidak ada kesiagaan khusus di dalam halaman istana Pangeran Sindurata.

Meskipun demikian, Arum masih juga berusaha untuk dapat bertemu dengan Raden Ayu Ranakusuma. Dengan nekad ia berkata kepada pelayan yang menolak untuk membeli itu, “Raden Ayu Ranakusuma pernah berpesan kepadaku untuk membawa reramuan obat-obatan untuk sakit pening dan yang penting adalah pesanan Raden Ayu bagi kesehatannya agar nampak awet muda. Mangir dan lulur yang terbuat dari sejenis akar yang khusus”

“Apakah Raden Ayu pernah memesannya?” bertanya pelayannya.

“Ya. Aku pernah mendapat pesan itu” jawab Arum. Tetapi ia tidak menduga bahwa pelayan itu bertanya, “Dimana kau bertemu dengan Raden Ayu?”

Sejenak Arum kebingungan. Namun kemudian ia menjawab asal saja, “di muka regol ini. Pagi-pagi benar. Matahari masih belum terbit. Nampaknya Raden Ayu sedang berjalan-jalan di halaman istana ini. Regol baru dibuka sedikit ketika tiba-tiba saja Raden Ayu itu mendorong pintu regol. Aku pun berhenti dan berjongkok di hadapannya”

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menyampaikannya kepada Raden Ayu”

Ketika Raden Ayu mendengar keterangan pelayannya itu, dengan serta merta ia menjawab, “Ia tentu berbohong. Aku tidak pernah memesan reramuan obat-obatan semacam itu. Katakan, aku tidak memerlukannya”

Tetapi ketika pelayan itu pergi, baru Raden Ayu itu sadar, bahwa pada saat semacam itu, maka dengan tergesa-gesa ia pun segera menyusul pelayannya.

Arum merasa kecewa sekali mendengar jawaban pelayan itu. Tetapi harapannya telah tumbuh kembali ketika ia melihat seorang puteri yang muncul di belakang pelayan itu.

“Itukah perempuan yang mengatakan bahwa aku telah memesan reramuan obat-obatan?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

Arum menjadi berdebar-debar. Jika Raden Ayu itu justru marah kepadanya, maka ia akan mengalami kesulitan.

“Ya Raden Ayu, Anak inilah yang mengatakannya” jawab pelayannya.

Arum menarik nafas dalam-dalam ketika Raden Ayu itu justru berkata, “Aku baru ingat. Aku memang pernah memesannya”

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia melihat Raden Ayu itu tersenyum, maka ia pun segera beringsut pergi.

Demikian pelayan itu pergi, Raden Ayu pun mendekati Arum sambil bertanya, “Mungkin aku benar-benar lupa, apakah kau memang pernah datang kemari?”

Arum tidak melepaskan kesempatan itu. Katanya kemudian, “Ampun puteri. Hamba adalah anak dari Jati Aking”

Raden Ayu Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ia pernah mendengar nama Jati Aking.

Karena Raden Ayu itu masih ragu-ragu, maka Arum pun menjelaskan sebelum ada orang lain yang mendekat, “Hamba adalah utusan Raden Juwiring”

“O” Raden Ayu itu mengangguk-angguk, “dimana anak itu sekarang he?”

“Raden Juwiring merasa bahwa pengawasan kota menjadi semakin rapat. Apalagi wara-wara terakhir yang mungkin dapat menjebaknya ke dalam perangkap. Karena itu, hamba harus meyakinkan, apakah Raden Juwiring dapat menghadap” desis Arum.

“Tentu. Tidak ada apa-apa di sini. Biarlah ia menghadap, aku memang sudah menunggunya. Ia datang lewat saat yang dijanjikannya” jawab Raden Ayu itu kemudian.

“Hamba akan memanggilnya” berkata Arum kemudian.

Arum pun kemudian bergeser ke regol. Ia melihat Juwiring dan Buntal beberapa puluh langkah dari regol itu. Kemudian dengan isyarat gadis itu memberitahukan bahwa mereka dapat memasuki halaman istana.

Juwiring dan Buntal pun melihat isyarat itu. Karena itu, maka mereka pun segera mendekat. Di luar regol keduanya pun tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.

Ketiga anak Jati Aking itu telah dibawa ke serambi belakang Sambil berjalan Raden Ayu itu berkata, “Seandainya prajurit Surakarta dan kumpeni ingin menjebakmu, aku kira tidak akan berada di sekitar tempat ini Juwiring, karena di dalam pengertian mereka, aku sangat membencimu seperti yang terjadi sebelum aku diusir dari istana Ranakusuman oleh Pangeran Ranakusuma. Dan untuk mengelabui mereka, aku pun seolah-olah masih tetap bersikap seperti itu”

“Terima kasih ibunda” jawab Raden Juwiring, “bahwa dengan demikian ibunda telah berusaha untuk memberikan tempat kepadaku”

“Marilah. Aku kira kalian aman di sini” desis Raden Ayu itu pula.

Sementara itu, demikian mereka sampai di serambi belakang, Juwiring telah dikejutkan oleh hadirnya seorang gadis. Dengan serta merta ia berdesis, “Diajeng Warih?”

Gadis itu terkejut. Dipandanginya tiga orang dalam pakaian lusuh yang mengikuti ibundanya itu. Namun akhirnya Rara Warih pun mengenalnya juga, bahwa salah seorang dari mereka adalah Raden Juwiring.

“Kakangmas Juwiring” desis gadis itu tertahan.

Namun gadis itu pun kemudian berlari memeluknya. Ia tidak dapat menahan tangisnya yang bagaikan meledak. Tiba-tiba saja hatinya telah bergejolak ketika dilihatnya kakandanya. Rasa-rasanya ia ingin meneriakkan segala luka di hatinya. Tentang dirinya sendiri, tentang pengorbanan ibundanya yang membuat hatinya sangat pedih. Dan tentang keadaan keluarganya dalam keseluruhan di masa yang gawat itu.

“Jangan menangis begitu Warih” bisik Raden Juwiring, “Kita dapat berbicara tentang persoalan-persoalan yang kita hadapi dengan hati yang jernih, justru karena kita harus mengamati segalanya dengan saksama”

Raden Ayu Galihwarit pun menepuk bahu anak gadisnya sambil berkata, “Sudahlah Warih. Seperti aku katakan, kau harus menghadapi segalanya dengan tabah”

Warih masih menangis. Tetapi di dalam hatinya ia berkata, “Aku akan tabah menghadapi persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi rasa-rasanya aku tidak dapat menahan pedih hati ini jika aku menyadari, apa yang telah ibunda lakukan”

Namun dalam pada itu, perlahan-lahan akhirnya Warih pun dapat menguasai dirinya. Ketika tangisnya mereda, maka mereka pun kemudian duduk di serambi belakang.

Yang pertama-tama ditanyakan oleh Juwiring, justru kenapa Rara Warih telah berada di istana Sinduratan.

Dengan singkat Raden Ayu Galihwarit menceriterakan tentang Rara Warih dan sikap Tumenggung Watang. Rara Warih memang telah dibebaskan dengan rahasia. Dan Raden Ayu itu pun tidak menyembunyikan sikapnya terhadap Juwiring.

“Tetapi bagaimana dengan wara-wara itu?” bertanya Juwiring, “Apakah jika aku tidak datang menyerahkan diri, diajeng Warih akan diambil lagi?”

“Tidak” jawab Raden Ayu, “Tumenggung Watang telah mengatakan kepadaku, bahwa Rara Warih pada dasarnya tidak akan terkena noda dari kesalahan yang dianggap telah dilakukan oleh Pangeran Ranakusuma dan kau lakukan bersama para prajurit dari pasukan berkuda di bawah pimpinanmu”

Juwiring mengangguk-angguk. Ternyata Raden Ayu Galihwarit telah berbuat sesuatu yang justru dapat memperingan perjuangannya. Ia tidak akan dibebani lagi oleh perasaan bersalah terhadap adiknya yang disangkanya masih tetap ditahan dan akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan seandainya ia tidak menyerahkan diri.

Dalam pada itu, Raden Ayu itu pun berkata, “Juwiring. Untuk sementara kau tidak usah memikirkan adikmu. Serahkan ia kepadaku. Aku akan berusaha melindunginya dengan caraku. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Perjuanganmu masih panjang di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Terima kasih ibunda” jawab Juwiring, “namun pada suatu saat, tentu keadaan diajeng Warih pun akan terancam. Tetapi aku kira untuk sementara aku percayakan keadaannya kepada ibunda. Pada suatu saat, jika perlu, diajeng Warih harus menyingkir keluar kota. Lambat atau cepat, para prajurit Surakarta dan kumpeni akan mencium juga permainan ini”

“Aku mengerti Juwiring” jawab Raden Ayu, “jika saatnya tiba, terserahlah. Mana yang lebih baik menurut pertimbanganmu”

“Baiklah ibunda” berkata Raden Juwiring kemudian, “ternyata keadaan diajeng Warih lebih baik dari yang aku duga. Dengan demikian maka aku akan sempat melakukan pesan ayahanda di saat terakhir di medan pertempuran itu”

“Apa pesan ayahandamu?” bertanya Raden Ayu.

“Ayahanda gugur sampyuh dengan Tumenggung Sindura yang berpasangan dengan Pangeran Yudakusuma. Pada tangan ayahanda terdapat segores luka bekas sentuhan senjata Tumenggung Sindura yang luar biasa. Nampaknya peluru dan senjata-senjata yang lain tidak diperhatikan oleh ayahanda. Namun goresan senjata Tumenggung Sindura telah mengantarkan ayahanda ke dalam lingkungan maut” jawab Juwiring. Lalu, “Namun ayahanda masih sempat berpesan, agar senjata Tumenggung Sindura yang sempat merenggut jiwa ayahanda itu di singkirkan saja jauh-jauh agar tidak dimiliki oleh siapapun, terutama mereka yang mempunyai maksud kurang baik”

Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Juwiring. Lakukan pesan ayahandamu. Mudah-mudahan, apa yang akan dapat aku lakukan pun tidak terbatas pada perlindungan terhadap Rara Warih. Jika kau mendengar sesuatu yang penting, kau dapat datang kepadaku. Mudah-mudahan aku dapat membantumu”

Raden Juwiring itu pun kemudian minta diri bersama kedua saudara angkatnya. Namun rasa-rasanya kakinya menjadi berat ketika ia melihat Rara Warih menitikkan air matanya pula.

Betapa berat hati Rara Warih menghadapi kenyataan-kenyataan tendang dirinya dan tentang ibundanya. Namun ia tidak dapat mengatakannya kepada siapapun juga.

“Jangan kau tangisi kakandamu” berkata ibundanya, “lepaskan ia sebagaimana kau melepaskan saudaramu itu maju ke medan perang”

Rara Warih mengangguk. Tetapi hatinya menjerit, “Aku tidak menangisi kakangmas Juwiring. Tetapi aku menangisi kenyataan yang dengan kejam telah menerpa lahir dan batinku”

Sejenak kemudian maka Raden Juwiring dan kedua saudara angkatnya itu pun meninggalkan serambi belakang. Arum tertegun sejenak, ketika Rara Warih memeluknya sambil berbisik, “Kenanglah aku. Aku ingin berada di antara kalian”

Arum hanya mengangguk kecil. Tetapi ia pun seorang gadis. sehingga ketika terasa titik air mata Rara Warih di pundaknya, matanya pun terasa menjadi panas.

Dalam pada itu, maka seperti ketika memasuki istana itu, Arum lah yang berjalan lebih dahulu. Baru kemudian Buntal dan Juwiring mengikuti setelah Arum meninggalkan regol istana itu beberapa puluh langkah.

Ketiga anak-anak muda itu pun telah tiba dengan selamat di pondokan mereka di antara pasukan Pangeran Mangkubumi. Setelah mereka menyampaikan laporan kepada Kiai Danatirta, maka mereka pun langsung menghadap Ki Wandawa.

“Apakah kau yakin bahwa Raden Ayu Ranakusuma itu tidak sekedar menenangkan hatimu?” bertanya Ki Wandawa.

“Menilik bahwa Rara Warih benar-benar sudah berada di istana Sinduratan, maka ibunda Galihwarit tentu, berkata sebenarnya” jawab Raden Juwiring, “atau jika ibunda Galihwarit terlibat dalam satu usaha menangkap aku, maka itu tentu sudah dilakukannya”

Ki Wandawa mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Jika demikian maka Raden Ayu itu justru akan dapat menjadi salah satu tempat untuk mendapatkan bahan dan keterangan tentang keadaan di dalam kota Surakarta ”

“Aku percaya kepada ibunda Galihwarit” berkata Raden Juwiring, “agaknya penyesalan yang sangat telah merubah segala-galanya”

“Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Raden Ayu Galihwarit telah kehilangan anak laki-lakinya. Kemudian suaminya, apapun sebabnya” sahut Ki Wandawa.

Dalam pada itu, maka Juwiring pun telah memberitahukan kepada Ki Wandawa bahwa ia ingin melaksanakan perintah ayahandanya yang terakhir, menyingkirkan keris yang dianggap oleh ayahandanya akan dapat menumbuhkan kesulitan justru karena keris itu adalah keris yang berbahaya. Menurut ayahandanya keris itu tentu masih akan menuntut korban demi korban, justru orang-orang yang tidak dapat dilukai oleh jenis senjata yang lain, karena keris itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

“Ayahanda Pangeran Ranakusuma telah gugur oleh goresan keris itu” berkata Juwiring.

“Ya” jawab Ki Wandawa, “Aku sudah mendengarnya. Memang mengejutkan bahwa hanya oleh segores luka kecil Pangeran Ranakusuma gugur di peperangan. Menurut kabar yang tersebar dari mulut ke mulut, peluru pun tidak dapat melukainya dan apalagi merenggut hidupnya” namun kemudian Ki Wandawa berkata, “Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma tidak lebih baik berpesan, agar keris itu dapat kau pergunakan. Bukankah dengan demikian kau akan dapat melawan orang-orang yang menurut kepercayaan orang lain tidak dapat dilukai dengan apapun juga?”

Raden Juwiring menggeleng. Jawabnya, “Aku masih belum yakin akan keteguhan pribadiku. Mungkin keris itu memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi pribadiku sehingga menimbulkan akibat yang kurang baik bagiku sendiri”

Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengingat apa yang dikenalnya pada seseorang yang bernama Ki Tumenggung Sindura. Namun Ki Wandawa tidak banyak mengetahui tentang orang itu, meskipun ia pernah mendengar kebesaran namanya.

Tetapi agaknya Ki Wandawa tidak ingin mengecewakan Raden Juwiring. Ia pun kemudan menyerahkan hal itu kepada anak muda itu untuk menentukan sikap. Namun ia berpesan, “Tetapi kau harus berusaha menyesuaikan dirimu Raden. Jika kau benar-benar akan berangkat ke Gunung Lawu, maka kau aku harap memberitahukan lebih dahulu kepadaku kepastian waktu. Aku berpendapat bahwa lebih baik Raden melakukan setelah waktu yang dijadikan batasan saat penyerahanmu itu lewat. Mungkin ada satu perkembangan baru yang menuntut perhatianmu atas adikmu yang berada di bawah perlindungan ibundanya itu”

Raden Juwiring mengangguk-angguk. Agaknya ia memang harus menunggu sampai hari terakhir”

Dalam pada itu, suasana benar-benar menjadi semakin panas. Kumpeni telah bergerak di beberapa tempat bukan saja untuk menghadapi langsung Pangeran Mangkubumi. Tetapi perlawanan telah menjadi semakin meluas di seluruh daerah Surakarta.

Namun sejalan dengan itu, maka Kumpeni pun telah mengambil tindakan yang sangat menyakiti hati rakyat Surakarta. Dengan kasar kumpeni memaksa rakyat untuk menyatakan tanda takluk. Bahkan sampai ke daerah yang paling miskin sekalipun, tanda takluk itu harus diberikan.

Di rumah-rumah yang besar dan kecukupan kumpeni mengambil sendiri apa yang disebutnya sebagai upeti dan tanda takluk itu. Pendok emas, permata dan perhiasan-perhiasan. Namun mereka yang tidak memilikinya, kumpeni mempunyai cara tersendiri. Orang-orang miskin itu harus menyusun kelompok-kelompok kecil pada setiap padukuhan. Setiap kelompok yang terdiri dari paling banyak duapuluh lima orang itu harus menyerahkan satu tanda takluk. Sebuah pendok emas.

“Kami orang-orang miskin tuan” keluh orang-orang itu, “Kami tidak mempunyai sesuatu yang dapat kami berikan sebagai tanda takluk itu. Tidak ada yang dapat kami jual dan tidak ada yang dapat kami tukarkan”

Tetapi kumpeni itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka memberikan waktu sepuluh hari bagi orang-orang yang paling miskin. Jika kelompok-kelompok kecil mereka tidak dapat menyerahkan satu pendok emas, maka mereka akan dihukum menurut hukum kumpeni. Hukum peperangan.

“Tetapi bagaimana kami dapat memenuhinya” tangis orang-orang miskin itu.

“Itu urusanmu” jawab seorang prajurit kumpeni yang garang, berkumis panjang dengan pedang di tangan, “atau minta saja kepada orang yang sudah berkhianat itu”

“Siapa? Kepada siapa?” bertanya orang-orang miskin itu.

“Pangeran Mangkubumi. Mintalah kepadanya atau kepada siapa saja. Aku tidak peduli. Sepuluh hari lagi, aku akan datang mengambil pendok itu”

Kumpeni sama sekali tidak mau tahu kesulitan rakyat kecil itu. Jika mula-mula mereka mengambil jika mereka menemukannya di rumah-rumah yang besar dan berkecukupan, maka kemudian mereka sudah memaksa orang-orang miskin untuk berusaha menyediakan.

Sementara itu, orang-orang miskin itu pun menjadi kebingungan. Mereka tidak mempunyai alasan apapun juga yang dapat diberikan kepada kumpeni.

“Memang semua ini kesalahan Pangeran Mangkubumi” berkata salah seorang dari orang-orang miskin itu.

“Kenapa Pangeran Mangkubumi?” bertanya kawannya, “justru Pangeran Mangkubumi ingin membebaskan kita dari pemerasan seperti ini”

“Jika Pangeran Mangkubumi tidak memberontak, maka kita tidak harus memberikan tanda takluk itu?” jawab orang pertama.

“Kau bodoh. Jika kumpeni itu lebih lama berada di Surakarta, ia tidak hanya minta tanda takluk berupa pondok emas. Tetapi segalanya yang ada pada kita akan dimintanya. Sawah, ladang, pekarangan dan akhirnya kita semua akan menjadi budak-budak yang tidak berarti” jawab yang lain.

“Itu pikiran yang sangat picik” jawab orang pertama, “Mereka datang untuk memberikan kebahagiaan hidup kepada kita”

“Mereka adalah perampok yang maha besar. He, bukankah kita kadang-kadang mengumpati pencuri yang mengambil seekor ayam di kandang kita. Nah, apa yang diambil kumpeni dari kita? Perampok hanya memaksa membawa apa yang dapat mereka bawa. Tetapi maha perampok ini telah memaksa kita menyediakan barang-barang yang akan mereka rampok” jawab yang lain.

Namun perselisihan itu justru telah berkembang. Sebagian dari rakyat Surakarta menganggap sumber kesalahan adalah Pangeran Mangkubumi yang telah memberontak. Namun. sebagian yang lain semakin merasa, bahwa mereka memang memerlukan perlindungan dari kekuasaan golongan yang mereka anggap sebagai perampok yang tidak terlawan kehendaknya.

Peristiwa-peristiwa semacam itu tidak luput dari perhatian Pangeran Mangkubumi. Sikap yang sangat licik dari kumpeni itu membuat Pangeran Mangkubumi sangat berprihatin. Ia semula tidak menduga, bahwa kelicikan orang asing itu benar-benar tanpa perasaan perikemanusiaan sama sekali. Orang-orang asing yang menganggap dirinya sebagai manusia yang memiliki kelebihan dalam peradaban. Yang mengatakan bahwa kedatangannya di negeri ini justru untuk mengembangkan ilmu yang mereka punyai bagi kesejahteraan umat manusia.

Sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kumpeni dan prajurit Surakarta atas Raden Juwiring. Mereka tanpa malu-malu telah menangkap seorang gadis yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang persoalan ayahanda dan kakandanya. Namun ia sudah disekap sebagai taruhan.

Tetapi masalah yang dialami oleh Raden Juwiring itu telah sampai pula kepada Pangeran Mangkubumi. Dengan nada datar ia berkata kepada Ki Wandawa yang memberikan laporan kepada Pangeran itu, “Syukurlah. Mudah-mudahan Rara Warih benar-benar tidak mengalami kesulitan untuk seterusnya”

Dengan berdebar-debar Juwiring menunggu hari terakhir dari batas waktu yang diberikan kepadanya, sebagaimana orang-orang miskin itu pun dengan berdebar-debar dan gelisah berusaha mengumpulkan uang di antara kelompok-kelompok mereka.

Sebenarnyalah ketidak adilan telah menjalar dan membakar sendi-sendi kehidupan di Surakarta. Sementara orang-orang miskin itu diperas oleh kumpeni untuk menyerahkan upeti sebagai tanda takluk agar mereka tidak dianggap ikut serta memberontak, maka di Surakarta sendiri kumpeni telah membagikan barang-barang yang mewah kepada para pemimpin pemerintahan dan para Senapati. Seolah-olah kumpeni itu datang ke Surakarta dengan hadiah yang melimpah dari kerajaan mereka di seberang lautan. Mereka menjelajahi benua dan samodra dengan niat khusus datang ke Surakarta untuk memberikan tanda persahabatan yang tidak ternilai harganya.

Ketika seorang Demang mengumpati para pemimpin Surakarta yang bodoh dan mudah dikelabuhi itu, kawannya, juga seorang Demang yang berada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi berkata, “Tidak kakang. Orang-orang Surakarta tidak sebodoh itu. Mereka bukan orang-orang berjiwa tumpul dan sama sekali tidak tahu, bahwa kumpeni telah menipu mereka. Tetapi sebagaimana seseorang yang terkena suap, maka para pemimpin yang berpihak kepada kumpeni itu menjadi pura-pura bodoh dan tidak tahu. Sebenarnya mereka mengerti, tingkah laku kumpeni di negeri ini. Tetapi justru karena ketamakan mereka itulah, maka mereka lebih senang disebut bodoh dam tidak mengerti bahwa kumpeni telah mengadu domba di antara mereka dengan rakyat Surakarta sendiri”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang begitu. Kau benar. Adi nampaknya memandang keadaan dari sudut yang lebih baik dari tanggapanku. Ternyata akulah yang bodoh. Bukan para pemimpin dan para Senapati di Surakarta ”

Dalam pada itu, maka hari kelima sebagaimana merupakan batasan bagi Juwiring telah lampau. Dengan hati yang gelisah Juwiring menunggu apakah ada sesuatu yang terjadi atas Rara Warih.

Bagaimanapun juga jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar wara-wara bahwa pimpinan pasukan berkuda di Surakarta dan kumpeni telah melaksanakan dengan tegas sebagaimana di umumkan sebelumnya terhadap Rara Warih. Namun demikian, masih terbuka kesempatan bagi Raden Juwiring dan para pengikutnya, para prajurit pasukan berkuda yang menyeberang, untuk datang menyerahkan diri. Sehingga masih ada kemungkinan untuk memperingan hukuman yang telah dijatuhkan atas Rara Warih.

“Jika ibundamu telah berjanji untuk melindungi adikmu itu, maka ia akan melakukannya” berkata Ki Wandawa, “karena pada umumnya seseorang yang keras hati seperti ibundamu itu, juga seorang yang bertanggung jawab”

“Tetapi apakah aku diperkenankan untuk membuktikannya sehingga aku benar-benar yakin akan keselamatannya?” beritanya Juwiring.

Ki Wandawa tidak berkeberatan. Dengan cara seperti yang pernah dilakukan bersama Buntal dan Arum, Raden Juwiring dapat meyakinkan dirinya bahwa wara-wara itu hanya sekedar usaha untuk mengelabuinya, karena Rara Warih masih tetap berada di istana Sinduratan.

Namun dalam kesempatan Rara Warih dapat berbicara sendiri kepada Raden Juwiring, maka dengan nada memelas ia berkata, “Bawa aku serta kakangmas. Aku tidak tahan mengalami tekanan perasaan di sini. Aku tidak dapat menerima dengan ikhlas cara yang ditempuh oleh ibunda bagi kebebasanku”

Juwiring mengerutkan keningnya, la mengerti apa yang dimaksudkan oleh Rara Warih, Juwiring pun mengetahui apakah yang pernah dilakukan oleh ibundanya Galihwarit sebelum ia diantar pulang ke istana Sinduratan.

Namun untuk membawa Rara Warih pada saat semacam itu, dimana justru dirinya sedang menjadi pusat perhatian para prajurit Surakarta dari pasukan berkuda, tentu akan sangat berbahaya.

Karena itu, maka Raden Juwiring itu pun berkata, “Aku mengerti kesulitan perasaanmu diajeng. Tetapi tunggulah keadaan sedikit mereda. Kau dan aku saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan di kalangan para prajurit dari pasukan berkuda dan kumpeni. Cobalah menahan perasaan dengan sabar. Apa yang dilakukan ibunda sekarang, tentu berbeda tujuannya dengan apa yang dilakukan oleh ibunda pada saat itu”

“Tetapi apakah sudah sewajarnya kakang, bahwa cara apapun dapat ditempuh untuk mencapai satu tujuan?” bertanya Rara Warih.

“Tentu tidak diajeng. Tetapi apa yang dilakukan oleh ibunda mempunyai penilaian tersendiri” jawab Raden Juwiring, “Kita akan dapat menilai apa yang pernah dilakukan oleh ibunda sebelumnya”

“Ya, aku mengerti kakang. Bukankah kau bermaksud bahwa ibunda telah mengalami kemajuan berpikir. Yang dilakukan itu sekarang mempunyai latar belakang dan tujuan lebih baik dari yang pernah dilakukan sebelumnya” sahut Rara. Warih.

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, bagi Rara Warih, seorang gadis yang menginjak masa dewasa, tindakan ibundanya itu benar-benar sangat menusuk perasaannya. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Siapapun tidak, apalagi karena hal itu dilakukan dengan dasar landasan sikap satu pengorbanan seorang ibu buat anak gadisnya.

Karena itu, maka Rara Warih pun tidak dapat memaksa untuk mengikutinya saat itu. Tetapi ia berharap bahwa ia tidak harus terlalu lama menunggu.

Demikianlah, maka Raden Juwiring pun segera minta diri. Namun dalam pada itu, Raden Ayu Galihwarit berkata kepadanya, “Juwiring. Aku sudah terlanjur tenggelam ke dalam lumpur. Lebih baik aku dapat memungut mutiaranya sekaligus daripada aku hanya sekedar harus berlumuran tanpa arti, atau hanya untuk tujuan yang tunggal. Karena itu, aku harap kau sering datang kemari. Jika kau berhalangan, kau dapat mencari seorang penghubung yang dapat kau percaya”

“Maksud ibunda?” bertanya Raden Juwiring.

“Mungkin aku dapat mendengar serba sedikit pembicaraan orang-orang asing tentang rencana mereka dalam hubungannya dengan Pangeran Mangkubumi atau para Pangeran yang telah manunggal dengannya” jawab ibundanya.

Raden Juwiring menarik nafas panjang. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud oleh Raden Ayu Galihwarit yang mengatakannya tanpa tedheng aling-aling di hadapan anak gadisnya.

Namun dalam pada itu, Arum lah yang menyahut, “Apakah aku dapat melakukan tugas itu? Mungkin, aku dapat melepaskan diri dari perhatian para prajurit dam kumpeni, karena aku belum banyak dikenal”

Raden Ayu Galihwarit memandang gadis itu sejenak. Kemudian sambil mengusap rambut Arum ia berkata, “Tugas ini adalah tugas yang berat anak manis”

“Aku akan mencobanya” jawab Arum, “sebagaimana orang-orang lain yang dengan suka rela memanggil tugas yang berat dalam perjuangan ini”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum. Katanya kemudian, “Segala sesuatu terserah pertimbangan Juwiring. Mungkin kau dapat melakukan. Mungkin orang lain. Tetapi aku minta ada semacam pertanda bagi orang yang dipercaya menghubungi aku. Kita dapat berjanji, apakah yang harus diucapkannya, agar aku percaya bahwa orang itu adalah utusanmu Raden Juwiring”

Juwiring merenung sejenak. Lalu katanya, “Baiklah ibunda. Aku akan memberikan, pesan agar orang yang datang kepada ibunda, kecuali di antara kami bertiga, untuk mengucapkan nama keris yang akan aku labuh ke Gunung Lawu seperti pesan ayahanda, Cangkring”

“Baiklah. Hanya orang yang menyebut nama keris itu yang aku percaya bahwa ia adalah utusanmu. Selanjutnya aku akan berpesan kepada orang itu, kata sandi berikutnya, untuk utusan mendatang. Jangan lupa”

Demikianlah, Raden Juwiring dan saudara angkatnya meninggalkan istana Sinduratan. Seperti biasanya, maka Rara Warih keluar regol halaman mendahului saudara-saudaranya.

Namun dalam pada itu, Raden Juwiring sudah mendapat kepastian, bahwa prajurit dari pasukan berkuda tidak sungguh-sungguh bertindak atas Rara Warih. Karena itu, maka menurut pertimbangan Raden Juwiring, maka ia mempunyai kesempatan untuk melakukan tugas yang dibebankan-oleh ayahandanya, menyingkirkan keris milik Ki Sindura,

Tetapi ternyata bahwa rencana itu pun masih harus tertunda. Seperti pesan ibundanya, maka tiga hari setelah Juwiring menghadap, maka ia ingin memenuhi permintaan ibundanya sebelum ia pergi ke Gunung Lawu. Menurut laporan yang sampai pada pasukan Pangeran Mangkubumi, prajurit Surakarta dan kumpeni nampak melakukan kegiatan yang meningkat. Karena itu, mungkin ada sesuatu yang dapat didengarnya dari Raden Ayu Galihwarit.

“Kenapa kakang lebih percaya kepada orang lain, dari pada kepadaku?” bertanya Arum.

“Soalnya bukan tidak percaya” jawab Juwiring, “Tetapi tugas ini adalah tugas yang sangat berat. Biarlah orang lain yang melakukannya. Kau dapat melakukan tugas-tugas yang lain saja”

“Kakang” minta Arum, “Aku mohon kali ini kakang percaya kepadaku. Aku bukan Iagi-kanak-kanak yang harus dimanjakan di padepokan. Tetapi sudah waktunya aku mengemban tugas-tugas semacam ini. Apalagi tugas ini bukanlah tugas pancer. Bukan akulah yang seharusnya mendapat keterangan bagi pasukan Pangeran Mangkubumi. Tetapi yang kita lakukan adalah sekedar mencari keterangan pelengkap. Yang barangkali berguna bagi bahan banding keterangan yang seharusnya didapat oleh petugas sandi yang sebenarnya”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Buntal yang tegang.

Namun akhirnya Raden Juwiring itu pun berkata kepada Buntal, “Aku serahkan keputusan terakhir kepadamu”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga. ia merasa berat untuk melepaskan Arum. Karena itu. hampir di luar sadarnya ia berkata, “Biarlah aku mengantarkannya”

Wajah Juwiring menegang. Tetapi Buntal telah mendahuluinya berdesis, “Jangan takut terjadi sesuatu atas kami berdua. Mungkin kakang Juwiring menganggap bahwa bahaya yang mengancam lebih gawat adalah justru datang dari kami berdua sendiri bukan dari kumpeni”

“Ah” desis Arum, “Kita bukan orang-orang gila. Kita sedang berada dalam perjuangan”

“Maaf” potong Juwiring, “bukan maksudku”

“Baiklah. Bagaimana pendapatmu, jika aku juga pergi?” bertanya Buntal kemudian, “Tetapi jangan mengatakan bahwa kau akan pergi juga. Dalam keadaan seperti ini, agaknya akan sangat berbahaya”

“Baiklah. Tetapi kita harus minta ijin kepada Ki Wandawa. Mungkin ada pesan sandi yang harus kau ketahui” berkata Juwiring.

Sebenarnyalah bahwa dalam keadaan yang gawat, Ki Wandawa telah mengirimkan beberapa petugas sandi langsung dari pusat pertahanan Pangeran Mangkubumi di Gebang. Karena itu, maka untuk tidak terjadi salah paham, maka Buntal dan Arum yang akan memasuki Kota Surakarta pun telah mendapat pesan pula dari Ki Wandawa dengan kata sandi yang berlaku untuk tiga hari.

“Ingat” berkata Juwiring kepada Buntal dan Arum, “jika kau bertemu dengan petugas sandi Pangeran Mangkubumi, kau harus dapat menyahut jika mereka menyapa dengan kata sandi. Jika seseorang menyapa kata, “sapu” maka kau harus menjawab, “angin” Kau mengerti?”

“Ya. Kami akan berusaha untuk mengingat-ingat pesan itu” jawab Buntal.

“Baiklah. Besok kalian akan berangkat pagi-pagi benar” berkata Juwiring

Demikianlah ketika malam turun. Arum justru menjadi gelisah. Telah beberapa kali ia masuk ke kota Surakarta bersama kedua saudara angkatnya. Namun tugas yang akan dilakukan esok pagi. justru atas permintaannya sendiri, membuatnya berdebar-debar.

Dalam pada itu, malam itu Rara Warih pun tidak dapat nyenyak pula. Hampir setiap malam ia gelisah karena ibundanya pergi. Ketika senja turun, sebuah kereta telah menjemput ibundanya. Kereta yang sudah sering datang ke istana Sinduratan. Bahkan kadang-kadang dengan seorang perwira kumpeni.

Ketika istana itu menjadi sepi. hatinya semakin ngelangut. Bahkan ia tidak dapat menahan lagi air matanya yang membasahi bantalnya, betapapun ia mencoba bertahan.

Namun demikian, Rara Warih itu pun sibuk membersihkan wajahnya ketika ia mendengar derap kaki-kaki kuda yang memasuki halaman. Sepi malam telah terkoyak seperti hati Rara Warih sendiri.

Rara Warih menutup telinganya ketika ia mendengar langkah-langkah gontai di serambi. Kemudian terdengar suara ibundanya tertawa. Nyaring tetapi ngeri.

“Silahkan Raden Ayu masuk” terdengar suara berat yang tersendat-sendat. Dan Rara Warih pun mengerti, itu suara seorang perwira kumpeni yang mengantarkan ibundanya.

“Raden Ayu tentu pening” terdengar suara itu pula.

“Aku tidak apa-apa” Raden Ayu tertawa pula, “malam masih panjang. He, mana alas kakiku. O, lampu-lampu menjadi buram”

“Raden Ayu sedang mabuk. Silahkan masuk” perwira kumpeni itu mempersilahkan.

“Tinggalkan aku di sini. Aku tidak apa-apa. Aku kenal dimana aku harus masuk, “ sekali lagi suara Raden Ayu meninggi.

Nampaknya perwira kumpeni itu termangu-mangu. Namun kemudian terdengar derap sepatunya melangkah menjauh. Sejenak kemudian terdengar kereta itu pergi.

Demikian suara kereta itu hilang terdengar pintu samping diketuk perlahan.

“Warih, Warih. Kau sudah tidur?” suara ibundanya merendah. Di telinga Rara Warih suara itu berbeda sekali dengan suara ibundanya ketika perwira kumpeni itu masih ada.

Sekali lagi Rara Warih mengusap matanya. Perlahan-lahan ia melangkah ke pintu. Sebentar kemudian pintu itu pun berderit.

Ketika pintu terbuka, maka Raden Ayu itu pun mencium kening puterinya. Namun terasa nafas Rara Warih menjadi sesak. di mulut ibundanya ia mencium bau minuman keras.

“Ibunda memang sedang mabuk” katanya di dalam hati.

Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara Raden Ayu Galihwarit tenang, “Aku tidak apa-apa Warih. Aku memang sengaja berkumur dengan minuman keras. Tetapi aku tidak menelannya. Dan aku pun memang berusaha agar aku dianggap oleh mereka sedang mabuk”

Rara Warih tercenung sejenak. Ia tersadar ketika ibundanya yang sudah melangkah masuk itu berkata, “Tutuplah pintunya”

Rara Warih tersentak. Namun ia pun kemudian menutup pintu samping dan mengikuti ibundanya masuk ke dalam bilik.

Ketika ibundanya berganti pakaian, Rara Warih duduk di bibir pembaringannya sambi menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin menunjukkan kepada ibundanya, betapa hatinya bagaikan tersayat melihat tingkah ibundanya itu.

Meskipun demikian, Rara Warih bertanya-tanya pula di dalam hatinya, kenapa ibundanya berpura-pura mabuk.

Dalam pada itu, sambil membuka pakaiannya, Raden Ayu itu berkata perlahan-lahan, “Warih. Sebenarnya aku memerlukan kakandamu. Aku harap ia datang dalam satu hari ini. Jika tidak, maka yang akan terjadi itu akan menggoncangkan perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said”

Wajah Rara Warih berkerut. Sekilas ia melihat ibundanya yang nampak masih muda dan cantik. Namun kata-kata ibundanya itu memang menarik perhatiannya.

“Apakah yang ibunda ketahui tentang rencana kumpeni?” bertanya Rara Warih tiba-tiba.

“Justru itulah aku telah berpura-pura mabuk” jawab ibundanya, “dengan demikian mereka tidak menganggap bahwa aku dengan sadar mendengar pembicaraan sebagian dari antara para perwira kumpeni dan beberapa orang Senapati prajurit Surakarta ”

“Ibu mendengar berita penting?” bertanya Warih pula.

“Ya. Kumpeni sudah menyiapkan pasukan segelar sepapan bersama prajurit Surakarta untuk mengepung Panambangan” jawab ibundanya.

“Panambangan? Bukankah Panambangan merupakan landasan perjuangan Raden Mas Said?” desis Rara Warih.

“Ya. Karena itulah, maka berita ini harus segera didengar oleh Raden Mas Said” desis ibundanya.

“Kapan mereka akan melakukannya?” bertanya Rara Warih.

“Secepatnya. Pada akhir pekan ini mereka mulai beri gerak sehingga pasukan Raden Mas Said akan terjepit. Mereka telah memperhitungkan segala sesuatu sehingga Raden Mas Said tidak akan sempat lolos” jawab ibundanya, lalu, “dengan demikian, maka Pangeran Mangkubumi dalam keseluruhan akan menjadi lemah, karena kekuatan Raden Mas Said cukup besar di antara seluruh pasukan Pangeran Mangkubumi dan para pemimpin lainnya yang sedang berjuang menegakkan kewibawaan Surakarta ”

Rara Warih menjadi tegang. Kemudian katanya, “Jika dalam dua hari ini kakanda Juwiring tidak datang, biarlah aku akan mencarinya”

“Tidak mungkin Warih. Kita belum tahu dimana Pangeran Mangkubumi membangun landasan perjuangan. Kita hanya mendengar bahwa Pangeran Mangkubumi berada di Gebang, di samping pasukannya yang berada di Sukawati. Tetapi untuk menemukan satu orang pun di antara mereka di padukuhan Gebang, tentu akan sangat sulit” cegah ibundanya.

“Tetapi itu lebih baik daripada kita tidak berusaha sama sekali ibunda” bantah Rara Warih yang sebenarnyalah bahwa ia pun ingin meninggalkan istananya, meninggalkan daerah pertentang-an di dalam hatinya sendiri.

“Kita harus mencari jalan lain” desis ibundanya, “tetapi kita memang wajib mengerti jalan”

Ibundanya yang telah selesai dengan berganti pakaian itu pun masih pergi ke pakiwan. Kemudian setelah ia berada kembali di dalam biliknya maka ia pun membaringkan dirinya sambil berdesis, “Aku lelah sekali Warih. Aku ingin tidur”

Rara Warih tidak menjawab. Ketika ibundanya berbaring, maka ia pun telah mencoba berbaring pula di pembaringannya. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit lah yang telah tertidur lebih dahulu dengan nyenyaknya.

“O” desis Rara Warih, “ibunda dapat tidur nyenyak tanpa digelisahkan oleh tingkah lakunya”

Namun akhirnya, menjelang pagi, Rara Warih pun menjadi lelap pula. Meskipun demikian, di dalam tidur, rasa-rasanya ia masih saja dibayangi oleh kegelisahan dan mimpi yang buruk tentang dirinya sendiri dan tentang ibundanya.

Tetapi justru karena gadis itu baru dapat lelap menjelang pagi, maka ia pun telah terlambat bangun pula. Rara Warih terkejut ketika ia membuka matanya, ia sudah melihat cahaya cerah masuk ke dalam biliknya lewat pintu yang terbuka.

Perlahan-lahan ia bangkit di pembaringan yang lain ibundanya telah tidak nampak. Karena itulah, maka ia pun segera bangkit dan melangkah keluar.

Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia melihat dua orang anak muda, saudara angkat kakandanya, telah duduk pada sehelai tikar di serambi.

“O, sepagi ini kalian telah datang?” bertanya Rara Warih.

“Ya puteri. Kami sengaja datang pagi-pagi, selagi masih belum terlalu panas, dan kami tidak akan kemalaman di jalan pada perjalanan kembali” jawab Arum.

“Ibunda menunggu kehadiran kalian sejak tadi malam. Untunglah bahwa pagi ini kalian benar-benar datang” berkata Rara Warih.

“Ya puteri. Rasa-rasanya memang ada yang berpesan di dalam hati ini, agar secepatnya kami menghadap” jawab Arum. Kemudian katanya, “Kami sudah menghadap Raden Ayu yang baru pergi ke belakang sebentar”

“Apakah ibunda sudah memberikan pesan-pesannya?” bertanya Warih.

“Belum. Raden Ayu belum mengatakan apa-apa” jawab Arum.

Warih pun kemudian mempersilahkan keduanya menunggu. Namun sebelum ibundanya datang sekali lagi ia berpesan, “Katakan kepada kakangmas Juwiring. Kapan aku diijinkan bersamanya dan bersama kalian”

Arum hanya dapat mengangguk kecil sambil berdesis, “Akan aku sampaikan, demikian aku kembali”

Warih tidak dapat berkata lebih banyak lagi, karena ibundanya telah datang. Warih lah yang kemudian meninggalkan kedua anak muda itu dan pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya.

Dalam pada itu, maka Raden Ayu pun telah memberikan beberapa penjelasan mengenai rencana kumpeni dan pasukan Surakarta untuk menyerang Penambangan.

“Ternyata kumpeni ingin melemahkan kedudukan Pangeran Mangkubumi dari bagian-bagiannya” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “jika ia berhasil, maka ia akan dengan mudah menghancurkan kekuatan-kekuatan para pengikut Pangeran Mangkubumi yang tersebar. Baru yang terakhir mereka akan memukul induk kekuatan Pangeran Mangkubumi”

Berita itu merupakan berita yang sangat penting bagi Pangeran Mangkubumi. Karena itu, maka berita itu harus segera mereka sampaikan kepada Ki Wandawa.

Raden Ayu Ranakusuma memberikan secara terperinci rencana kumpeni untuk mengepung Penambangan menurut pendengarannya.

“Cepat sampaikan berita ini” berkata Raden Ayu Ranakusuma, “bukan berarti aku mengusirmu. Tetapi kau dapat mengerti maksudku”

“Ya Raden Ayu. Kami mengerti. Semakin cepat berita ini sampai kepada Ki Wandawa. agaknya memang semakin baik” jawab Arum.

Meskipun demikian, Arum dan Buntal sempat juga sekedar minum dan makan makanan yang disuguhkan kepada mereka. Baru kemudian mereka mohon diri.

Ternyata berita itu benar-benar menggelisahkan Ki Wandawa. Ketika ia menerima Raden Juwiring yang menghadap bersama Buntal dan Arum untuk memberikan laporan tentang rencana kumpeni itu, maka Ki Wandawa segera mengadakan uraian tentang laporan-laporan yang lain. Akhirnya Ki Wandawa mengambil kesimpulan, berdasarkan beberapa laporan, bahwa keterangan Arum dan Buntal itu dapat dipercaya. Apa yang didengar oleh Raden Ayu Ranakusuma itu tentu merupakan bagian dari satu keputusan yang besar.

Karena itu, maka Ki Wandawa pun secara terperinci telah melaporkan segalanya itu kepada Pangeran Mangkubumi. Dilengkapi dengan sikap dan pertimbangan Ki Wandawa sendiri.

Pangeran Mangkubumi pun merenungi laporan itu beberapa saat. Kemudian katanya, “Siapkan beberapa orang pilihan. Mereka harus pergi ke Penambangan dan menyampaikan suratku kepada Raden Mas Said”

Ternyata bahwa pilihan Ki Wandawa jatuh kepada Raden Juwiring yang pernah memimpin bagian dari pasukan berkuda. Bersama Buntal ia mendapat perintah untuk menghadap Raden Mas Said di Penambangan untuk menyampaikan surat kepada Raden Mas Said.

Untuk perjalanan yang panjang dan berbahaya ini, Juwiring telah mohon kepada Kiai Danatirta, agar menahan Arum yang tentu akan ingin mengikutinya. Agar gadis itu tidak menjadi sangat kecewa, maka ia mendapat tugas untuk menghadap Raden Ayu Ranakusuma selang satu hari kemudian.

“Hindari daerah Jatimalang” pesan Ki Wandawa, “sepasukan prajurit Surakarta dan kumpeni berada di Jatimalang dalam kesiagaan tinggi”

“Baik Ki Wandawa” jawab Juwiring, “Kami akan memilih jalan yang pada hemat kami, tidak terlalu gawat, tetapi juga tidak melingkar terlalu panjang”

“Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan” berkata Ki Wandawa.

Sebenarnyalah Arum hampir saja memaksa untuk pergi bersama mereka. Tetapi ketika Juwiring justru menyuruhnya menghadap Raden Ayu Ranakusuma, maka ia pun akhirnya bersedia untuk tinggal.

“Perkembangan keadaan ini cepat sekali terjadi” berkata Juwiring, “Karena itu, semakin sering kita berhubungan dengan ibunda Galihwarit, kita akan semakin banyak dan cepat mendapat keterangan. Meskipun dengan demikian, seolah-olah kita ikut menyakiti hati diajeng Warih. Namun pada suatu saat, aku akan mengambil sikap khusus, sesuai dengan keinginan diajeng Rara Warih untuk berada di antara kita” Juwiring berhenti sejenak, lalu, “jika besok aku belum kembali, dan kau mendapat keterangan yang penting dari ibunda, maka kau pun harus segera menghadap Ki Wandawa”

Demikianlah, maka Juwiring dan Buntal tidak membuang waktu lagi. Merekapun kemudian berpacu dengan kuda yang tegar dan besar langsung menuju ke Penambangan. Jarak yang cukup jauh, apalagi mereka masih harus menghindari prajurit Surakarta dan kumpeni yang diketahui berpusat di Jatimalang.

Segalanya rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Namun Raden Juwiring yang pernah menjadi salah seorang Senapati muda dalam lingkungan pasukan berkuda itu pun tidak mengecewakan. Sementara Buntal yang pernah menempa diri di padepokan Jati Aking itu pun dapat mengimbangi ketrampilan berkuda Raden Juwiring.

Kedua anak muda itu berpacu seperti angin. Mereka bukan saja harus secepatnya menghadap Raden Mas Said. Tetapi mereka pun harus dapat mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin timbul di perjalanan.

Ternyata bahwa keduanya tidak menjumpai rintangan yang berarti. Meskipun demikian, mereka sempat melihat, betapa rakyat Surakarta menjadi semakin menderita karena tingkah laku kumpeni. Dengan licik mereka berusaha melemparkan segala kesalahan kepada Pangeran Mangkubumi dan mereka yang menempatkan diri di dalam garis perjuangannya.

Raden Juwiring dan Buntal selamat menghadap Raden Mas Said. Mereka segera menyampaikan surat dari Pangeran Mangkubumi, yang memberikan beberapa keterangan dan petunjuk.

Ternyata Raden Mas Said sependapat sepenuhnya dengan Pangeran Mangkubumi. Karena itu, dengan cepat ia memanggil beberapa orang pemimpin dalam pasukannya. Beberapa saat mereka berunding. Kemudian Juwiring dan Buntal pun dipanggilnya menghadap di antara para pemimpin pasukan Raden Mas Said.

“Aku akan memberikan jawaban” berkata Raden Mas Said, “jika karena sesuatu hal surat itu harus kau musnahkan di perjalanan, maka sampaikan pesanku, bahwa pasukanku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan petunjuk yang aku terima, serta pertimbangan dari para pemimpin di dalam pasukanku, aku akan pergi ke Keduwang. Segalanya akan aku jalankan sebagaimana seharusnya”

Dengan demikian, maka Raden Juwiring pun harus segera kembali pula menghadap Pangeran Mangkubumi untuk menyampaikan surat balasan Raden Mas Said. Namun jika mereka menganggap perlu, surat itu dapat mereka musnahkan, sementara mereka telah mengetahui isi surat dari Raden Mas Said itu.

Pagi-pagi benar di hari berikutnya. Raden Juwiring dan Buntal itu pun berpacu kembali ke Gebang, landasan utama pasukan Pangeran Mangkubumi. Angin pagi yang silir telah mengusap wajah-wajah mereka. Sementara langit yang merah mulai diwarnai oleh sinar matahari pagi yang sebentar lagi akan naik ke punggung Gunung.

“Hari ini Arum menghadap Raden Ayu Ranakusuma” gumam Buntal tiba-tiba.

“Ya” sahut Juwiring, “Tetapi ia sudah terbiasa melakukannya. Nampaknya orang-orang Surakarta masih tetap menghormat seorang perempuan, sehingga mereka tidak mencurigainya”

“Arum memang pantas untuk menjadi seorang penjual jamu. Agaknya ia akan membawa reramuan jamu dan seperti biasanya mangir dan lulur” desis Buntal.

Namun, bagaimanapun juga Raden Juwiring menangkap kegelisahan hati anak muda itu. Surakarta sedang dalam suasana yang hangat, karena persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Surakarta dan kumpeni.

Karena itu, maka Juwiring pun berkata, “Buntal. Aku kira perhatian para prajurit Surakarta dan kumpeni lebih banyak tertuju kepada orang laki-laki. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Arum tidak harus berhati-hati. Aku kira pengenalan Arum atas keadaan Surakarta akan banyak menolongnya”

Buntal mengangguk-angguk. Ia pun berusaha untuk menenangkan hatinya. Yang dilakukan oleh Arum adalah hal yang sudah dua tiga kali dilakukannya tanpa ada kesulitan. Seandainya di Surakarta diadakan pemeriksaan pada setiap orang yang lewat di pintu gerbang, pada Arum tidak akan diketemukan apapun juga. selain reramuan obat-obatan, mangir dan lulur yang sebenarnya.

Sebenarnyalah pada saat itu Arum sudah mendekati kota Surakarta, Ketika matahari kemudian terbit. Arum berjalan semakin cepat agar ia tidak keriangan.

Kedatangannya di istana Sinduratan disambut oleh Rara Warih yang wajahnya seolah-olah bertambah hari bertambah muram. Namun kedatangan Arum nampaknya telah memberikan satu hembusan udara yang segar.

“Marilah” Rara Warih mempersilahkan, “Apakah kau hanya seorang diri?”

“Ya puteri. Aku hanya seorang diri” jawab Arum.

“Kau memang luar biasa. Dalam keadaan yang gawat ini, kau berani melalui lapisan-lapisan peronda di Surakarta ” desis Arum.

“Aku hanyalah seorang perempuan, puteri. Tidak ada seorang pun yang menghiraukan. Seorang perempuan padesan yang sama sekali tidak berarti bagi mereka” jawab Arum.

“Tetapi kau cantik Arum” desis Rara Warih, “kecantikan kadang-kadang dapat menjadi racun bagi diri kita sendiri”

“Apakah maksud puteri?” bertanya Arum.

“Kecantikan akan dapat menjerat kita ke dalam kesulitan. Kadang-kadang kita akan mengalami peristiwa yang paling pahit di dalam kehidupan ini justru karena kita cantik. Tetapi mungkin dengan penuh kesadaran, kita dengan sengaja menjerumuskan diri ke dalam satu kehidupan yang gelap, justru karena kita cantik. Seseorang dapat mempergunakan kecantikannya untuk maksud tertentu. Baik atau buruk, dengan cara yang baik, tetapi juga dengan cara yang buruk”

Arum mengangguk kecil. Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Rara Warih. Tidak selamanya kecantikan itu menguntungkan. Namun kadang-kadang dengan kecantikan seorang perempuan dapat menggulung bumi.

Warih pun kemudian mengajak Arum menghadap ibundanya. Dipersilahkannya gadis itu menunggu di serambi, sementara ia memberitahukan kedatangan gadis Itu kepada ibundanya yang sedang berhias.

“O, gadis itu datang lagi?” bertanya Raden Ayu kepada Rara Warih.

“Ya ibunda, ia hanya datang seorang diri” jawab Rara Warih.

“Seorang diri?” wajah Raden Ayu itu pun menegang. Tergopoh-gopoh ia keluar dari biliknya.

Tetapi ketika Arum kemudian menceriterakan bahwa Raden Juwiring dan Buntal mendapat tugas ke Penambangan, maka Raden Ayu itu pun menarik nafas dalam-dalam.

“Syukurlah” berkata Raden Ayu, “Aku menjadi cemas, bahwa sesuatu telah terjadi dengan anak-anak itu”

“Tidak Raden Ayu. Tidak terjadi sesuatu dengan mereka. Justru karena mereka sedang bertugas, maka aku diperintahkannya untuk menghadap Raden Ayu” berkata Arum kemudian.

“Baiklah. Tetapi agaknya masih belum ada sesuatu perkembangan yang menarik perhatian” jawab Raden Ayu.

“Aku pun tahu, bahwa sebenarnya tugas ini sekedar menahan agar aku tidak memaksa ikut ke Penambangan” jawab Arum dengan nada dalam.

Raden Ayu itu tersenyum. Katanya, “Kau memang lebih baik datang kepadaku daripada ke Penambangan. Kau tentu membawa mangir dan lulur. Ternyata mangir dan lulur yang kau bawa itu benar-benar bermutu tinggi. Aku senang memakainya. Dan aku pun sudah mencoba menawarkan kepada beberapa orang puteri. Mereka mulai tertarik dan ingin membeli. Bukankah dengan demikian ada alasanmu untuk datang setiap saat ke rumah ini”

Ya, ya Raden Ayu. Aku akan mengatakan kepada ayah, agar ayah membuatnya lebih banyak lagi” sahut Arum.

Raden Ayu itu pun tertawa. Namun kemudian katanya, “Arum. Meskipun demikian ada satu hal yang dapat kau sampaikan kepada para pemimpin dalam pasukan Pangeran Mangkubumi, bahwa pasukan yang akan dikirim ke Penambangan itu adalah pasukan yang langsung berangkat dari kota ini. Mereka tidak menggerakkan pasukan di Jatimalang. Bahkan pasukan di Jatimalang itu telah disiapkan untuk mencegat jika ada bantuan datang dari arah utara, tentu maksudnya pasukan dari Sukawati atau dari Gebang, bagi pasukan Raden Mas Said yang berada di Penambangan, apabila Penambangan telah terkepung”

Arum mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Raden Ayu. Aku kira hal ini penting juga aku sampaikan. Meskipun barangkali para pemimpin pasukan khususnya pasukan sandi Pangeran Mangkubumi sudah mengetahui, bahwa pasukan Surakarta dan kumpeni berada di Jatimalang, namun mereka perlu mendapat keterangan bahwa pasukan itu telah disiapkan untuk memotong setiap iring-iringan pasukan yang menuju ke Penambangan”

Setelah beristirahat sebentar, maka Arum pun kemudian mohon diri untuk segera kembali ke Gebang.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Rara Warih memohon kepada ibundanya, “Ibunda, apakah aku diperkenankan ikut bersama dengan Arum ke Gebang? Aku ingin tinggal bersama kakangmas Juwiring dan pamanda Pangeran Mangkubumi”

Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Aku tidak berkeberatan Warih. Tetapi jangan sekarang, maka kau akan menjadi beban bagi Arum, sementara Arum yang hanya seorang gadis itu masih harus menjaga dirinya sendiri”

Sementara itu Arum pun menyambungnya, “Jangan sekarang puteri. Aku akan menjadi ketakutan. Aku tidak akan berani mempertanggung jawabkan puteri di sepanjang perjalanan”

Kekecewaan yang dalam membayang di wajah Rara Warih. Tetapi ia pun menyadari, bahwa dengan demikian ia hanya akan menjadi beban saja bagi gadis itu.

Karena itu, betapapun hatinya bergejolak, maka ia harus tetap berada di sisi ibundanya. Betapapun hatinya menjadi semakin pahit.

Sejenak kemudian, maka Arum pun meninggalkan istana Sinduratan. Ia merasa bahwa satu dua orang bangsawan muda, pernah mengenalnya ketika ia berkunjung ke istana Ranakusuman. Tetapi pengenalan yang sekilas itu tentu tidak akan banyak menimbulkan kesulitan kepadanya, justru karena pakaiannya yang lusuh dan sikapnya sebagai seorang gadis kebanyakan yang lewat di jalan-jalan raya seperti kebanyakan perempuan padesan.

Namun dalam pada itu, Arum pun sempat melihat kesiagaan prajurit Surakarta. Sepasukan prajurit dari pasukan berkuda lewat berderap di sepanjang jalan kota. Ketika ia berpapasan dengan dua orang laki-laki, ia mendengar bahwa pasukan itu baru pulang dari alun-alun ke barak mereka, setelah mereka mengadakan latihan sodoran.

Dari orang lain, Arum pun mendengar bahwa latihan-latihan menjadi semakin meningkat. Bahkan hampir tidak pernah ada hari yang luang.

“Tentu persiapan bagi pasukan yang akan menuju ke Penambangan” desis Arum.

Sebenarnyalah bahwa kumpeni telah menyiapkan pasukannya sebaik-baiknya. Mereka menyadari, bahwa kecuali pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Pangeran Mangkubumi di Gebang atau di Sukawati, ternyata bahwa pasukan Raden Mas Said lah yang paling kuat. Karena itu, maka untuk menghancurkan Penambangan, kumpeni dan pasukan Surakarta telah mengerahkan pasukannya yang terbaik. Pasukan yang langsung dikirim dari kota Surakarta. Seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galihwarit kepada Arum, bahwa pasukan di Jatimalang justru disiapkan untuk mencegat jika ada bantuan yang menuju ke Penambangan.

Namun dalam-pada itu, di hari-hari yang semakin dekat, kumpeni dan para Senapati di Surakarta telah meniupkan kabar angin, bahwa pasukan yang disiapkan itu justru akan menuju ke Gebang, langsung memukul induk pasukan Pangeran Mangkubumi.

Tetapi kumpeni dan para Senapati tidak mengetahui, bahwa rencana mereka sudah didengar oleh Pangeran Mangkubumi, justru karena kelengahan satu dua orang perwiranya di meja bujana andrawina dan di bawah segarnya senyum Raden Ayu Galihwarit yang menjadi semakin cantik.

Kumpeni dan para pemimpin prajurit Surakarta benar-benar telah siap. Sepasukan berkuda akan ikut bersama pasukan segelar sepapan untuk mengepung Penambangan. Bahkan mereka yakin, bahwa pasukan Raden Mas Said akan dapat ditumpasnya sampai punah.

Sementara itu, Arum pun telah keluar dari pintu gerbang kota. Para prajurit yang berjaga-jaga di pintu gerbang sama sekali tidak menghiraukannya. Yang lewat itu bagi mereka adalah seorang gadis padesan seperti kebanyakan gadis padesan yang pergi ke kota untuk menjual hasil kebun dan pategalannya.

Pada saat Arum dalam perjalanan kembali. Juwiring dan Buntal masih juga memacu kudanya. Jarak yang ditempuh oleh Juwiring dan Buntal berlipat ganda dari jarak yang ditempuh Arum. Tetapi karena mereka berkuda, maka mereka pun akan dapat lebih cepat sampai. Apalagi mereka berangkat pada dini hari, sementara Arum baru mendekati kota.

Tetapi agaknya tidak seperti saat mereka berangkat menuju ke Penambangan. Ketika mereka kembali dari Penambangan, melalui padukuhan kecil di hadapan padukuhan Jatimalang, mereka telah dilihat oleh beberapa orang peronda dari pasukan Surakarta yang berada di Jatimalang. Nampaknya mereka menjadi curiga melihat dua orang berpacu dengan kencangnya. Karena itulah, maka ampat di antara mereka pun segera mengejarnya.

Namun ternyata bahwa kuda Raden Juwiring dan Buntal berlari lebih cepat, sehingga keempat kuda itu telah berjuang sekeras-kerasnya untuk dapat menyusul. Justru semakin lama semakin jelas, bahwa dua di antara keempat ekor kuda itu telah tertinggal. Dua yang lain masih mampu untuk berlari mencoba mengimbangi langkah kaki kuda Juwiring. dan Buntal.

“Mereka mengejar kita” desis Raden Juwiring.

“Hanya dua orang” sahut Buntal.

“Empat orang” jawab Raden Juwiring.

“Yang dua tertinggal. Tetapi yang dua itu agaknya masih berusaha untuk menyusul kita”

“Apakah kita akan melayani mereka?” bertanya Raden Juwiring.

“Terserahlah kepada Raden” jawab Buntal, “Tetapi kita mempunyai kewajiban untuk menyampaikan balasan Raden Mas Said”

Raden Juwiring mengangguk. Karena itu, ia pun tidak ingin menunggu orang-orang yang mengejarnya.

Namun tiba-tiba saja Buntal berdesis, “Mereka memotong jalan”

“Gila” geram Raden Juwiring, “Kita tidak sempat mengelak lagi. Tidak ada jalan simpang Atau kita akan terjun ke sawah untuk menghindar?”

Buntal tidak sempat menjawab. Dua ekor kuda yang berhasil memotong lewat jalan setapak itu, semakin lama menjadi semakin mendekati jalur jalan yang ditempuh oleh Juwiring dan Buntal, justru di hadapan mereka.

“Mereka lebih mengenal daerah ini” berkata Juwiring.

Sementara itu, ketika mereka berpaling, meskipun masih cukup jauh, dua orang penunggang kuda lainnya, masih juga mengejar mereka.

“Tidak ada kemungkinan lain” desis Buntal,

“Baiklah Buntal. Kita akan bertempur. Aku terbiasa bertempur di punggung kuda, karena aku adalah seorang Senapati muda prajurit Surakarta dari pasukan berkuda. Cobalah menyesuaikan diri. Kuasai kudamu baik-baik. Medan ini memang tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda. Tetapi aku akan langsung menjatuhkan salah seorang dari keduanya demikian mereka masuk ke jalur jalan ini.

“Tetapi kita belum pasti, siapakah mereka” desis Buntal.

“Aku mengenal semua ciri dari para prajurit di Surakarta. Mereka adalah prajurit Surakarta, tetapi bukan dari pasukan berkuda meskipun mereka berkuda. Agaknya mereka memang sedang meronda” jawab Juwiring.

“Jadi, kita akan langsung melawan mereka?” bertanya Buntal.

“Kita harus mengambil keuntungan pada benturan pertama. Ingat, mereka berempat. Sebentar lagi, dua orang penunggang kuda yang menyusul di belakang itu akan sampai pula di sini” jawab Juwiring.

Buntal mengangguk. Ia percaya kepada Raden Juwiring, karena ia pun menganggap bahwa pengalaman Raden Juwiring di lingkungan keprajuritan lebih banyak dan luas.

Sebenarnyalah Raden Juwiring telah meninggalkan Buntal beberapa langkah. Ia tidak mau terlambat. Demikian kedua ekor kuda lawan itu masuk ke jalur jalan yang dilaluinya, maka ia pun harus berhasil

Sesaat kemudian mereka masih berpacu. Dua ekor kuda yang memotong jalan itu pun menjadi semakin dekat, kedua orang penunggangnya itu pun sudah siap pula menghadapi segala kemungkinan.

Juwiring memperhatikan sikap dari kedua orang penunggang kuda itu. Mereka akan memasuki jalur jalan dari arah kanan. Ada sedikit keuntungan padanya, karena keduanya agaknya akan memegang senjata mereka dengan tangan kanan.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka kedua orang penunggang kuda yang memotong jalan itu pun telah menarik senjata mereka. Seorang yang berkumis lebat berada di depan, dan seorang yang berkulit kehitam-hitaman berada di belakang.

Juwiring pun telah siap menghadapi penunggang yang di depan. Ia berharap Buntal dapat menyesuaikan diri menghadap yang seorang lagi.

Saat-saat yang menegangkan itu pun menjadi semakin dekat. Ketika beberapa langkah lagi, mereka akan sampai ke simpang tiga, maka Raden Juwiring telah mencabut pedangnya. Sekaligus pedangnya itu pun telah terayun dengan perhitungan yang tepat. Ternyata ia dapat menyesuaikan waktu seperti yang dikehendakinya. Kuda yang memotong jalan itu masuk selangkah lebih dahulu. Namun dengan cepatnya kuda Raden Juwiring telah menyambarnya. Sekali ayun senjata Raden Juwiring telah tergores di pundak lawannya yang belum sempat menempatkan diri.

Buntal ternyata menjadi berdebar-debar. Ia berusaha berbuat seperti Raden Juwiring. Tetapi, di saat terakhir ia telah merubah niatnya. Ia mempunyai perhitungan tersendiri. Ketika lawannya melihat kawannya yang mendahuluinya tidak sempat menangkis pada serangan pertama, maka orang itu berusaha memperlambat kudanya untuk mendapatkan kesempatan mengatur benturan di simpang tiga.

Tetapi Buntal pun memperlambat kudanya Justru dengan demikian maka kedua ekor kuda itu pun bertemu di simpang tiga.

Penunggang kuda yang berkulit kehitam-hitaman itu ternyata telah menjadi bimbang melihat Buntal yang sama sekali tidak menarik senjatanya. Namun pada saat ia masih termangu-mangu, Buntal telah meloncatinya dan mendorongnya bersama-sama jatuh di tanah, sebelum orang itu sempat mengayunkan senjatanya,

Keduanya pun jatuh berguling-guling beberapa langkah. Kemudian hampir bersamaan mereka pun berloncatan berdiri tegak. Baru pada saat yang demikian Buntal menggenggam senjatanya.

Pada saat yang bersamaan Raden Juwiring telah memutar kudanya Ternyata ia memang lebih cepat dari lawannya. Sekali lagi ia menyambar dengan senjata terayun. Namun lawannya sudah siap menangkis serangan itu meskipun ia telah terluka di pundak kiri.

Meskipun demikian serangan Raden Juwiring membuatnya cemas. Ketika ia menangkis senjata Raden Juwiring yang terayun, sehingga terjadi benturan senjata, maka terasa tangan prajurit yang telah terluka itu menjadi sakit

Sebenarnyalah bahwa Raden Juwiring pantas untuk menjadi Senapati pada pasukan berkuda. Selagi lawannya memperbaiki kedudukannya serta genggaman pedangnya, kuda Raden Juwiring melingkar hampir melekat sehingga kuda lawannya yang terkejut melonjak dan surut beberapa langkah.

Sekali lagi terdengar prajurit itu mengeluh. Pedang Raden Juwiring telah sekali lagi menggores lengan, justru tangan kanan.

Prajurit itu menjadi semakin gelisah. Luka di pundak kiri dan lengan kanannya itu terasa menjadi pedih Ketika darah mengucur semakin banyak, maka ia pun bertambah resah.

Tetapi ia masih berharap, kedua orang kawannya yang lain, yang menjadi semakin dekat, akan dapat membantunya.

Sementara itu, orang yang kehitam-hitaman yang berhadapan dengan Buntal masih sempat bertanya, “Siapa kalian, he?”

“Sudah jelas” jawab Buntal, “seharusnya kalian mengerti siapa kami. Kami adalah orang-orang padepokan Raga Tunggal”

“Aku belum pernah mendengar padepokan Raga Tunggal” desis orang itu.

Buntal tertawa. Katanya, “Karena kau akan mati, maka kau boleh mengerti, siapakah kami. Dalam kemelut seperti ini alangkah suburnya daerah perburuan kami. Tidak ada orang yang sempat memperhatikan tingkah laku kami. Kami adalah segerombolan perampok yang paling ditakuti di daerah Utara. Kami mencoba keuntungan kami di daerah Selatan, Ternyata daerah Selatan justru lebih subur. Kami tidak takut bertemu dengan Pangeran Mangkubumi atau para pengikutnya”

“Setan” geram prajurit yang berkulit kehitam-hitaman itu, “ternyata kalian telah merendahkan martabat para prajurit Surakarta. Sekarang kalian harus menyerah dan karena kalian telah melakukan kejahatan dalam keadaan seperti sekarang, maka kalian akan digantung di alun-alun”

“Kenapa kau ributkan kami? Bagi kami, lebih baik kami rampok sendiri daripada pendok emas dan intan berlian dirampok oleh kumpeni. Di tangan kami, barang-barang itu hanya berpindah tempat. Tetapi tidak akan diangkut ke tanah di seberang benua dan samodra” jawab Buntal.

Prajurit berkulit kehitam-hitaman itu menggeram. Sejenak kemudian ia pun telah siap menyerang Buntal. Namun Buntal telah bersiap pula menghadapinya. Karena itu, ketika prajurit itu menikamnya langsung pada arah jantung, Buntal sempat bergeser. Justru dengan tangkasnya pula ia mengayunkan pedangnya mendatar.

Prajurit itu pun sempat menangkis serangan Buntal. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Pada satu putaran di atas sebelah kakinya ia mengambil jarak. Kemudian dengan tangkasnya pula ia meloncat menyerang.

Keduanya pun kemudian bertempur dengan sengitnya. Namun beberapa saat kemudian, ternyata bahwa pedang Buntal dapat bergerak lebih cepat. Pada saat-saat yang menentukan, derap dua ekor kuda menjadi semakin dekat.

Sementara itu, lawan Juwiring yang telah terluka, hampir tidak mampu lagi melawan. Ia seakan-akan menyerahkan nasibnya kepada kudanya yang kemudian membawanya lari menyongsong kedua orang kawannya.

Juwiring tidak mengejar mereka, karena ia tidak mau terjebak. Namun ia menjadi cemas karena kuda Buntal yang tidak nampak lagi. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya lebih lama. karena kedua orang lawannya yang baru menjadi semakin dekat.

Tetapi Juwiring tidak menjadi cemas. Ia tahu pasti bahwa Buntal akan dapat mengalahkan lawannya sebelum kedua orang baru itu sempat menguasainya.

Sebenarnyalah, ketika kedua orang lawannya yang baru itu mendekat, diiringi oleh prajurit yang terluka itu, maka Buntal telah menghentakkan senjatanya mengarah lambung. Tetapi lawannya tidak membiarkan lambungnya disayat oleh pedang Buntal. Karena itu, dengan serta merta, ia telah mengayunkan pedangnya memukul pedang Buntal. Tetapi Buntal menarik serangannya dengan cepat. Dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan pedang terjulur menikam jantung, di saat dada lawannya sedang terbuka.

Lawannya tidak sempat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat memandangi dengan wajah tegang ujung pedang yang dengan demikian cepatnya mematuknya.

Tetapi pada saat ujung pedang itu hampir menyentuh kulit, telah terbersit perasaan iba di hati Buntal melihat sorot mata lawannya. Karena itu pada saat yang tepat, ia sempat menggerakkan pergelangan tangannya sedikit sehingga ujung pedangnya telah bergeser.

Meskipun pedang itu masih menikam bagian tepi dadanya, tetapi pedang itu tidak langsung membelah jantungnya. Namun terdengar orang itu berdesah.

Buntal yang kemudian menarik pedangnya melihat darah mengucur dari luka yang menganga. Tetapi orang itu tidak langsung jatuh dan mati karena lukanya itu.

Dalam pada itu, kedua orang berkuda yang baru datang itu pun telah mulai bertempur melawan Juwiring. Meskipun ia harus melawan dua orang, tetapi keadaan medan menguntungkannya, sehingga kedua orang itu tidak sempat menyerang bersama dari arah yang berbeda.

Tetapi ketika lawan Buntal itu sudah tidak berdaya, meskipun ia masih sempat merangkak menepi maka Buntal pun melangkah mendekati medan. Sementara seorang penunggang kuda yang telah dilukai oleh Juwiring menjadi semakin lemah duduk di punggung kudanya.

Dalam pada itu, dua orang prajurit yang bertempur melawan Juwiring itu pun segera menyesuaikan diri. Karena mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk bertempur berpasangan, maka akhirnya yang seorang telah berusaha untuk menyerang Buntal. Di luar dugaan, orang itu pun telah memutar kudanya dan langsung menyambar Buntal yang masih berdiri termangu-mangu.

Buntal terkejut ketika ia melihat pedang orang berkuda itu terayun ke lehernya. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun segera meloncat dan jatuh berguling. Hampir saja ia terperosok masuk ke dalam parit yang ternyata airnya tidak terlalu bersih.

Ketika Buntal meloncat bangkit, maka ia melihat kuda itu telah menyambarnya lagi. Karena itu, maka ia pun segera meloncati parit di pinggir jalan itu, sehingga senjata lawannya tidak dapat menggapainya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar