Bunga Di Batu Karang Jilid 21

Kiai Danatirta memandang Rara Warih sekilas. Namun kemudian ia pun menarik nafas sambil berpaling kepada Ki Dipanala.

“Katakan Kiai” desis Ki Dipanala, “sudah saatnya puteri melihat kenyataan di sekitarnya”

Kiai Danatirta beringsut sejenak. Lalu katanya, “Silahkan duduk puteri. Mungkin ada beberapa keterangan yang perlu puteri ketahui”

Rara Warih pun melangkah mendekat dan kemudian duduk di sebelah Ki Dipanala. Tatapan matanya yang memancarkan kegelisahan dan seribu macam pertanyaan membuat Kiai Danatirta justru termangu-mangu. Nampaknya tatapan matanya itu begitu bersih dan jujur.

Sesaat Kiai Danatirta justru terdiam. Ketika ia memandang Ki Dipanala, orang itu pun sedang menundukkan kepalanya. Terasa betapa beratnya untuk mengatakan kebenaran tentang keadaan Surakarta dalam keseluruhan kepada Rara Warih.

Namun sebaiknya gadis itu mengetahui, apa yang sedang berkecamuk dan bahkan telah mulai membakar Surakarta.

“Puteri” berkata Kiai Danatirta kemudian, “para cantrik memang akan meninggalkan padepokan ini”

“Kenapa Kiai?” bertanya Warih.

Namun Kiai Danatirta pun telah menduga, bahwa Rara Warih telah dapat menjajagi peristiwa yang mungkin bakal terjadi. Meskipun Rara Warih termasuk seorang gadis yang manja sebelumnya, tetapi ia adalah seorang gadis yang cerdas.

Karena itu, maka Kiai Danatirta pun menjawab, “Puteri. Mungkin Puteri telah dapat menduga, apa yang dapat terjadi atas padepokan ini dalam kemelut yang semakin panas dan mulai menyala di Surakarta ini. Padepokan ini adalah padepokan yang pernah menjadi tempat tinggal Raden Juwiring”

Rara Warih menundukkan kepalanya. Namun terdengar desis lembut, “Aku kurang mengerti Kiai, apakah yang sudah dilakukan oleh ayahanda dan kakanda Juwiring dalam pergolakan sekarang ini”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Puteri telah dibebaskan dari persoalan itu dengan membawa puteri kemari. Tetapi menurut perhitungan kami di sini, maka kami pun harus mengambil satu sikap”

“Kenapa dengan padepokan ini Kiai?” bertanya Warih.

“Kakanda puteri, Raden Juwiring, pernah tinggal di padepokan ini. Puteri, pagi ini perang telah mulai berkobar. Tetapi kumpeni tentu mendapat kesan, bahwa telah terjadi pengkhianatan dari antara pemimpin prajurit Surakarta sendiri. Dan kemudian akan ternyata bahwa Raden Juwiring telah dengan sengaja menyusup di antara prajurit berkuda di Surakarta, namun dalam keyakinan yang tetap, yaitu untuk mengusir kumpeni dari Tanah ini” jawab Kiai Danatirta,

“Ya Kiai. Aku sudah menduga, bahwa kakanda Juwiring akan bersikap demikian. Bahkan meskipun aku tidak pasti, tetapi menurut pengamatanku, sikap itu sudah diketahui oleh ayahanda” sahut Rara Warih.

“Ya puteri. Tetapi apakah puteri mengetahui sikap ayahanda puteri?” bertanya Kiai Danatirta.

Rara Warih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng, “Aku tidak yakin. Tetapi kebencian ayah kepada kumpeni pada akhirnya akan membakar jantungnya”

“Tepat puteri” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dan semuanya itulah yang kami pertimbangkan di sini, sehingga padepokan ini harus dikosongkan. Apalagi jika ada petugas sandi yang mengetahui, bahwa puteri ada di sini”

Rara Warih mengangguk kecil. Sementara Kiai Danatirta melanjutkan, “Kita masih belum mengetahui dengan pasti hasil terakhir dari pertempuran yang terjadi. Kita pun tidak tahu pasti, apakah Pangeran Mangkubumi akan meninggalkan padukuhan itu sepenuhnya, atau akan melakukan perlawanan dengan caranya”

Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara rendah ia berkata, “Aku mengerti Kiai. Dan aku pun mengerti, kenapa padepokan ini harus dikosongkan. Itukah agaknya maka para cantrik harus meninggalkan padepokan ini”

“Benar puteri. Dan kami berdua pun sedang memikirkan apakah yang sebaiknya kami lakukan. Kami berdua dan sudah barang tentu puteri” sendiri, juga harus meninggalkan padepokan ini” berkata Kiai Danatirta.

Rara Warih menunduk sambil bergumam lirih, “Aku hanya dapat membuat orang lain menjadi sibuk dan kesulitan”

“Tidak. Bukan begitu puteri” sahut Kiai Danatirta dengan serta merta, “Dalam keadaan seperti ini, maka kita semua akan menjadi sibuk. Seandainya puteri tidak berada di sini pun, kami tentu sudah membuat pertimbangan-pertimbangan serupa sehingga aku pun merasa wajib untuk menyelamatkan para cantrik”

“Terlebih-lebih setelah aku berada di sini” desis Warih.

“Itu sudah menjadi kewajibanku, puteri” Dipanala lah yang menyahut, “tugasku tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan tugas kakanda puteri, Raden Juwiring, yang harus hadir di medan dengan dua wajah. Demikian pula ayahanda puteri. Pangeran Ranakusuma dan prajurit-prajurit yang setia di dalam pasukannya”

Rara Warih menundukkan kepalanya semakin dalam. Terbayang dua orang anak muda yang pernah tinggal bersama kakandanya di padepokan ini, yang menurut pendengarannya telah menyatukan diri dengan pasukan Pangeran Mangku-bumi, seperti juga yang dilakukan oleh kakandanya, namun dengan cara yang berbeda.

Sementara itu, para cantrik pun telah selesai mempersiapkan diri. Mereka telah berkumpul di pendapa untuk minta diri kepada Kiai Danatirta.

“Baik-baiklah di perjalanan” berkata Kiai Danatirta, “mungkin kalian akan bertemu dengan pasukan yang manapun juga. Kalian tidak perlu gelisah. Jika mereka bertanya kepada kalian, katakan bahwa kalian sedang menempuh perjalanan pulang, setelah kalian beberapa lama berada di rumah sanak kadang. Jika tidak terpaksa, jangan sebut padepokan Jati Aking. Nama padepokan ini mungkin akan menyulitkan kalian.

Para cantrik mulai mengerti akan kedudukan padepokan itu. Karena itu, maka mereka pun menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Kiai Danatirta adalah semata-mata bagi keselamatan mereka semuanya.

Kiai Danatirta masih memberikan beberapa pesan kepada para cantrik itu. Baru kemudian ia pun-berkata, “Nah, aku tidak dapat memberikan bekal apapun juga dalam keadaan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan sampai ke tempat keluarga kalian masing-masing. Sampaikan salamku kepada orang tua kalian, dan aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat mengantarkan kalian masing-masing. Sebenarnya aku ingin menyiapkan kalian untuk membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi, tetapi waktunya terlalu sempit, sehingga kalian belum siap untuk langsung turun ke medan. Karena itu, kembalikan kepada keluarga kalian. Mungkin ada yang dapat kalian lakukan di padukuhan kalian masing-masing”

Betapa beratnya, namun para cantrik itu pun kemudian mohon diri meninggalkan padepokan itu. Rasa-rasanya kaki mereka tidak mau melangkah lagi, ketika mereka sudah berada di regol padepokan. Ada semacam kecintaan yang sulit untuk di tanggalkan terhadap isi padepokan itu. Tanaman yang hijau segar, buah-buahan dan terbersit pula di dalam hati mereka, siapakah yang akan memelihara ternak dan binatang peliharaan yang terdapat di padepokan itu?

“Apakah Kiai Danatirta akan menggembalakan kambing dan menaburkan makanan bagi ayam dan itik?” bertanya para cantrik itu di dalam hatinya.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Keadaan Surakarta dalam keseluruhan menuntut mereka menyelamatkan diri dari tangan kumpeni atau orang-orang yang telah berkiblat kepada mereka.

Sementara itu, sepeninggal para cantrik. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala telah merencanakan untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan binatang peliharaan di padepokan itu. Kiai Danatirta berniat untuk membagi saja kambing, itik dan ayam kepada orang-orang di padukuhan sebelah. Dengan demikian, maka binatang itu akan tetap terpelihara, sementara orang-orang padukuhan itu pun akan berterima kasih kepadanya.

“Ki Dipanala” berkata Kiai Danatirta kemudian, “semuanya harus kita lakukan dengan segera. Baru kemudian, kita akan meninggalkan padepokan ini juga”

“Apakah Kiai sudah mempunyai satu gambaran yang pasti, kemanakah Kiai akan pergi?” bertanya Ki Dipanala.

“Aku belum menentukan. Tetapi tujuan kita yang pertama, dan untuk sementara kita akan dapat tinggal, adalah padepokan saudara sepupuku. Padepokan Karangsari. Kita akan tinggal untuk sementara. Dan aku yakin, bahwa tidak ada orang yang akan menelusuri kita sampai ke padepokan yang kecil dan terpencil itu” jawab Kiai Danatirta, “selama itu, aku akan mencari hubungan dengan Raden Juwiring yang berada di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi atau dalam kedudukan yang khusus. Jika Raden Juwiring masih belum bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi, maka aku akan dapat berhubungan dengan Buntal atau Kiai Sarpasrana”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Jika demikian, marilah. Kita akan menyerahkan ternak itu. Apakah kita mengundang orang-orang yang akan kita serahi, atau kita akan mengantarkan kepada mereka. Sementara puteri sempat berkemas sehingga kita pun akan segera dapat berangkat”

Namun dalam pada itu, selagi Kiai Danatirta membicarakan kemungkinan yang paling baik untuk membagi ternak dan hewan yang ada di padepokan itu, mereka telah terkejut oleh derap kaki kuda mendekati gerbang padepokan.

Dengan tergesa-gesa Kiai Danatirta berdesis, “Masuklah puteri”

Warih pun mengerti. Karena itu, maka ia pun dengan cepatnya menyelinap memasuki pintu pringgitan dan hilang di ruang dalam.

Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tetap duduk di pendapa. Meskipun debar jantungnya mereka menjadi semakin cepat, seperti derap kaki kuda yang semakin dekat. Namun mereka nampaknya masih tetap tenang.

Sejenak kemudian, beberapa ekor kuda dengan penunggangnya telah memasuki halaman padepokan. Ternyata denyut jantung kedua orang itu seakan-akan telah berhenti, ketika mereka melihat orang-orang yang dengan wajah yang garang menarik kekang kuda mereka di halaman.

Para penunggang kuda itu pun segera berloncatan. Dengan tergesa-gesa mereka menambatkan kuda mereka pada patok-patok yang memang disediakan. Tetapi karena jumlah kuda itu lebih banyak dari patok-patok yang ada. maka sebagian dari kuda-kuda itu telah ditambatkan pada batang-batang perdu yang ada di halaman itu.

Kiai Danatirta dan Ki Dipanala pun saling berpandangan sesaat. Namun mereka pun kemudian bangkit berdiri menyongsong orang-orang berkuda yang kemudian berdiri tegak di halaman.

Kiai Danatirta dan Ki Dipanala yang sudah berada di halaman itu pun mengangguk hormat. Dengan suara dalam Kiai Danatirta berkata, “Marilah Ki Sanak. Aku persilahkan Ki Sanak semuanya naik ke pendapa”

Orang yang nampaknya menjadi pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu maju beberapa langkah mendekati Kiai Danatirta dan Ki Dipanala. Dengan suara parau ia bertanya

“Apakah aku berhadapan dengan Kiai Danatirta?”

“Ya. Ki Sanak memang berhadapan dengan Kiai Danatirta” jawab Kiai Danatirta dengan hati yang berdebar-debar, “tetapi silahkan. Mungkin Ki Sanak memang mempunyai kepentingan dengan aku?”

“Terima kasih Kiai” jawab orang itu. Lalu katanya, “Baiklah aku langsung pada persoalannya. Waktuku hanya sedikit”

“Apakah ada sesuatu yang penting sekali?” bertanya Kiai Danatirta.

“Ya. Memang penting sekali” jawab orang itu, “sebelumnya, baiklah aku memperkenalkan diri. Kami sekelompok ini, adalah kelompok prajurit berkuda dari Surakarta. Kami sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda keprajuritan agar, tidak terlalu menarik perhatian”

“O, jadi Ki Sanak dari pasukan berkuda di Surakarta?” bertanya Kiai Danatirta.

“Ya. Dan kami mengemban tugas dari pimpinan kami untuk berbicara langsung dengan Kiai Danatirta” berkata pemimpin prajurit berkuda itu.

“Baiklah. Marilah silahkan duduk” Kiai Danatirta mempersilahkan.

Tetapi sekali lagi orang itu menolak. Katanya, “Terima kasih. Waktuku hanya sedikit. Aku datang untuk bertanya tentang Raden Juwiring”

“O, kenapa dengan Raden Juwiring?” bertanya Kiai Danatirta.

“Kau tentu sudah tahu. Apa yang dilakukan oleh Raden Juwiring dan ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, Raden Juwiring adalah murid padepokan ini. Banyak yang dapat aku tuduhkan kepadamu Kiai. Tetapi sebaiknya tidak sekarang. Marilah, ikut aku ke Surakarta jika Raden Juwiring sekarang tidak berada di tempat ini”

“Ki Sanak” berkata Kiai Danatirta, “berita yang Ki Sanak bawa benar mengejutkan aku. Aku memang tidak mengetahui apapun juga. Raden Juwiring telah lama tidak berada di padepokan ini. Sejak adindanya yang bernama Raden Rudira itu meninggal, Raden Juwiring telah diambil kembali oleh ayahandanya. Sejak itu, ia tidak pernah datang lagi ke padepokan ini”

“Katakanlah kepada para perwira tinggi di Surakarta. Mungkin Kiai juga akan berurusan dengan perwira kumpeni yang bertugas di Surakarta. Jangan kau katakan apapun juga kepadaku” jawab pemimpin dari sekelompok pasukan berkuda yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan itu.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata, “Ki Sanak. Aku mempunyai pekerjaan yang cukup banyak di padepokan ini. Agaknya sulit bagiku untuk meninggalkan padepokan ini meskipun hanya satu hari saja”

“Kiai Danatirta” berkata pemimpin prajurit berkuda itu, “seharusnya Kiai sudah mengetahui bahwa Kiai tidak dapat menjawab seperti itu. Sibuk atau tidak sibuk. Mau atau tidak mau. Kiai harus ikut aku ke Surakarta. Katakan segala sesuatu tentang Raden Juwiring, Dan barangkali kau dapat juga mengatakan, bahwa padepokan ini menjadi tempat pertemuan antara Raden Juwiring yang membawa berita dari ayahandanya bagi Pangeran Mangkubumi yang sudah jelas memberontak terhadap Kangjeng Susuhunan”

“Ki Sanak” potong Kiai Danatirta, “Apakah yang kau katakan itu? Aku tidak mengerti sama sekali apa yang kau maksud”

“Sudahlah” sahut pemimpin pasukan berkuda itu, “cepatlah berkemas. Aku masih mempunyai banyak tugas”

Kiai Danatirta termangu-mangu sejenak, di luar sadarnya ia telah menghitung jumlah kuda yang terikat di halaman itu.

“Sepuluh” desisnya bagi diri sendiri, “Betapa beratnya menghadapi sepuluh orang sekaligus. Tetapi agaknya akan lebih baik daripada harus menghadap ke Surakarta ”

Namun Kiai Danatirta tidak melupakan Rara Warih. Ia tidak boleh jatuh ke tangan prajurit berkuda, yang pernah menjadi kesatuan kakandanya yang dianggap memberontak. Jika Rara Warih jatuh ke tangan mereka, maka orang-orang itu akan dapat memaksa Raden Juwiring untuk menyerah.

Karena itu, maka Kiai Danatirta pun berniat untuk memberi kesempatan kepada Rara Warih untuk menghindar. Jika terjadi benturan kekuatan, siapapun yang akan binasa, maka prajurit-prajurit itu tentu akan mencari siapapun yang ada di dalam. padepokan itu.

Karena itu, maka Kiai Danatirta pun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Apapun yang akan aku lakukan, maka aku haru tersedia melakukan perintah Ki Sanak” lalu katanya kepada Ki Dipanala, “Aku titipkan padepokan ini kepadamu”

“Tidak” bentak pemimpin prajurit itu, “semuanya ikut bersama kami”

Kiai Danatirta tertegun sejenak. Lalu katanya, “Ki Sanak. Orang ini adalah tamuku. Ia bukan penghuni padepokan ini. Ia datang untuk menjengukku, karena ia seolah-olah tidak ubahnya seperti saudara kandungku sendiri.

Pemimpin prajurit berkuda itu ragu-ragu sejenak. Namun tiba-tiba dari antara prajurit berkuda itu, seorang yang bertubuh tinggi maju ke depan sambil berdesis, “Bukankah orang ini Ki Dipanala? Salah seorang abdi Pangeran Ranakusuma”

“He?” pemimpin prajurit berkuda itu terkejut, “jadi ia salah seorang abdi Ranakusuman?”

“Ya. Aku pasti” desis orang yang bertubuh tinggi itu.

Ki Dipanala tidak dapat mengelak lagi. Namun seperti Kiai Danatirta, ia sudah bertekad untuk lebih baik bertempur di padepokan ini daripada harus menghadap perwira kumpeni di Surakarta.

Dalam pada itu, Kiai Danatirta yang ingin menyelamatkan Rara Warih tiba-tiba saja berkata, “Baiklah. Baiklah kami berdua menghadap ke Surakarta. Tetapi biarlah aku berkemas dahulu”

Pemimpin pasukan berkuda itu tidak menyahut. Namun demikian Kiai Danatirta masuk ke ruang dalam, pemimpin prajurit berkuda itu menjatuhkan perintah, “Kepung rumah ini. Jangan seorang pun boleh meninggalkan padepokan”

Kiai Danatirta yang sudah berada di ruang dalam masih mendengar perintah itu. Karena itu, sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun demikian ia menemui juga Rara Warih untuk memberikan sedikit penjelasan tentang keadaan di padepokan itu.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan Kiai?” bertanya Rara Warih dengan cemas.

“Carilah kesempatan puteri. Aku akan melawan mereka bersama Ki Dipanala” jawab Kiai Danatirta.

“Kiai hanya berdua” desis Rara Wilis.

“Biarlah. Agaknya jalan itu harus ditempuh. Dengan demikian, puteri akan mempunyai kesempatan untuk menyelinap. Terserahlah, cara dan kesempatan yang akan puteri peroleh dari peristiwa yang bakal terjadi. Nampaknya aku tidak akan dapat memberikan jalan yang lebih baik dari memancing mereka dalam satu perkelahian” desis Kiai Danatirta, “Aku mohon maaf atas peristiwa yang menyulitkan puteri sekarang ini. Berhati-hatilah. Mudah-mudahan Tuhan melindungi puteri”

Rara Warih tidak dapat menjawab. Debar jantungnya terasa semakin cepat. Namun, ketika ia teringat akan ayahandanya dan kakaknya, yang kedua-duanya adalah prajurit dan bahkan Senapati terpilih, maka timbullah ketabahan di dalam hatinya. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah keturunan prajurit linuwih?

Karena itu, maka katanya kemudian, “Kiai, terserahlah apa yang akan Kiai lakukan. Aku akan mencoba mengambil kesempatan”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Seolah-olah ia melihat gejolak di dalam hati gadis itu. Maka katanya, “Darah ayahanda Pangeran Ranakusuma tentu mengalir di dalam diri puteri. Meskipun puteri seorang gadis, tetapi puteri akan dapat berbuat sesuatu sesuai dengan darah prajurit yang mengalir di dalam diri puteri. Karena itu, aku yakin bahwa puteri akan dapat bertindak dengan sikap seorang prajurit”

Rara Warih tidak menjawab. Dipandanginya Kiai Danatirta yang kemudian melangkah masuk ke dalam biliknya sambil bergumam, “Bersiap-siaplah puteri. Segalanya akan segera mulai. Dan agaknya rumah ini sudah dikepung. Karena itu, aku akan berusaha memancing mereka dalam satu arena perkelahian, sehingga puteri akan mendapat kesempatan untuk meloloskan diri dari padepokan ini”

Rara Warih masih tetap berdiri. Ia melihat Kiai Danatirta yang hilang di dalam biliknya, namun tanpa menutup pintunya.

Sesaat kemudian, ia sudah melihat orang tua itu keluar lagi dari biliknya sambil menjinjing dua bilah pedang yang sudah tidak berada di dalam sarungnya. Sementara sebilah keris sudah terselip di lambungnya. Meskipun masih dalam wrangkanya, tetapi hulu keris itu diletakkannya di bagian depan badannya.

Sekilas Kiai Danatirta memandang Rara Warih. Namun kemudian tanpa berkata sepatah kata pun ia melangkah menuju ke pintu depan.

Rara Warih sadar akan dirinya ketika ia mendengar pintu berderit. Ia pun segera meninggalkan ruang dalam menuju ke pintu butulan. Ia menunggu kesempatan untuk meninggalkan padepokan itu jika perkelahian terjadi antara para prajurit dengan Kiai Danatirta yang hanya berdua saja dengan Ki Dipanala.

Dalam pada itu, demikian Kiai Danatirta muncul di muka pintu, ia pun berteriak, “Ki Dipanala, apakah kita akan meninggalkan sifat kita sebagai seorang cantrik padepokan yang setia?”

Ki Dipanala berpaling. Ia melihat Kiai Danatirta menggeng-gam pedang di kedua tangannya. Karena itu, ia pun segera tanggap, apa yang harus dilakukannya.

Dengan loncatan panjang Ki Dipanala naik ke pendapa. Diterimanya sebilah pedang telanjang dari Kiai Danatirta. Dengan dada tengadah ia pun kemudian melangkah satu-satu melintasi pendapa dan kemudian menuruni tangga ke halaman.

“Aku adalah abdi di istana Kapangeranan. Aku terikat kesetiaan kepada Pangeran tempat aku mengabdi lebih dari segala-galanya. Juga lebih dari pengabdian orang-orang Surakarta yang sudah terbius manisnya bujukan kumpeni” geram Ki Dinapala sambil menyilangkan pedangnya di dada.

“He, apakah kalian berdua sudah gila” geram pemimpin pasukan berkuda, “kalian tahu siapa kami?”

“Ya” jawab Kiai Danatirta, “Aku mengetahui bahwa Ki Sanak semuanya adalah prajurit dari pasukan berkuda”

“Apakah kalian akan melawan?” bertanya pemimpin prajurit itu dengan heran, “abdi Ranakusuma ini masih dapat dimengerti jika ia menggenggam pedang di tangannya. Tetapi Kiai Danatirta yang sudah ubanan ini pun akan mencoba-coba bermain dengan pedang”

“Ki Sanak” berkata Kiai Danatirta, “aku sejak kecil berada di padepokan sebagai seorang prajurit yang tekun menyadap ilmu kajiwan dan kanuragan. Meskipun tidak setinggi ilmu kanuragan seorang prajurit, tetapi aku akan berusaha mencoba mempertahankan padepokan ini dengan segala daya dan segala cara”

Pemimpin pasukan berkuda itu masih termangu-mangu. Nampaknya ia tidak percaya bahwa Kiai Danatirta benar-benar akan melawannya. Apalagi dia hanya berdua saja dengan Ki Dipanala, sementara ia membawa sembilan orang dan sepuluh dengan dirinya sendiri yang sudah siap menghadapi lawan yang betapapun beratnya dalam tataran kemampuan seorang prajurit.

“Kiai” berkata pemimpin prajurit itu, “jika kau menjadi putus asa. janganlah mencoba untuk membunuh diri. Lebih baik kau menyerah dan bersama kami pergi menghadap para perwira di Surakarta yang barangkali mempunyai beberapa pertanyaan saja kepadamu. Jika kau menjawab semua pertanyaan itu dengan baik, maka tidak akan terjadi sesuatu atasmu dan atas orang yang bernama Ki Dipanala. Bahkan mungkin aku akan mengambil satu sikap untuk membebaskan semua cantrik yang ada di padepokan ini, tanpa membawa mereka seorang pun”

“Tidak ada seorang cantrik pun di padepokan ini. Yang ada hanya aku dan Ki Dipanala, karena aku sudah memerintahkan para cantrik untuk meninggalkan padepokan ini sejak kemarin saat fajar menyingsing”

“Jadi, agaknya kau sudah tahu apa yang kira-kira bakal terjadi di padepokan ini Kiai?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Begitulah kira-kira. Dan karena itu, maka aku tidak terkejut melihat kedatangan kalian” jawab Kiai Danatirta.

Pemimpin prajurit itu menggeram. Katanya, “Jika demikian, agaknya kau memang sudah bersiap untuk melawan segala perintah yang turun dari para pemimpin di Surakarta. Baiklah Kiai, dengan demikian kau sudah melibatkan diri dalam pemberontakan Pangeran Mangkubumi, langsung atau tidak langsung. Karena itulah, maka aku harus menangkapmu dan membawamu menghadap ke Surakarta. Hidup atau mati”

Kiai Danatirta yang sudah berdiri di sebelah Ki Dipanala pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang prajurit berkuda telah melangkah mendekatinya.

“Tangkap orang tua itu, “perintah pemimpin pasukan berkuda itu.

Empat orang telah mendekatinya dengan pedang terhunus. Sambil mengacukan pedangnya, orang yang bertubuh tinggi, yang telah mengenalnya sebagai abdi Ranakusuman itu berkata, “Jangan menganggap bahwa yang kalian lakukan itu akan berarti”

Ki Dipanala lah yang menjawab, “Berarti atau tidak berarti, biarlah kami mengangkat senjata daripada menguncupkan tangan di hadapan kumpeni”

“Ternyata pengkhianatan tuanmu telah berkembang di seluruh istana Ranakusuman” berkata orang itu pula. Lalu, “Baiklah. Kau sudahi mendengar perintah itu. Kami harus menangkapmu. Hidup atau mati”

Ki Dipanala tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian maka keempat orang itu pun berpencar. Usaha mereka memaksa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala menyerah tanpa perlawanan tidak berhasil. Karena itu, maka mereka pun mulai menggerakkan senjata mereka.

Ki Dipanala dan Kiai Danatirta pun segera menempatkan diri. Ketika salah seorang dari keempat orang prajurit itu menyerang langsung kearah Kiai Danatirta, maka orang tua itu ternyata masih sempat mengelak.

“Kau masih dapat juga bermain loncat-loncatan” desis salah seorang dari keempat orang prajurit itu.

Kiai Danatirta tidak menjawab. Namun di luar dugaan setiap prajurit, bahwa tiba-tiba saja Kiai Danatirta lah yang telah menjulurkan pedangnya mematuk dada prajurit itu.

Prajurit itu terkejut bukan buatan. Ketika ia meloncat dengan tergesa-gesa, maka terasa dadanya telah tersentuh oleh ujung pedang Kiai Danatirta. Meskipun lukanya hanya seujung duri, tetapi darah mulai mengembun dari luka yang tidak berarti itu.

Meskipun demikian, tetapi prajurit yang tersentuh ujung pedang Kiai Danatirta itu mengumpat dengan kata-kata kasar. Dengan tangannya ia mengusap titik darah di dadanya.

Namun dengan demikian, ternyata prajurit itu menjadi semakin garang. Ia berusaha untuk menebus kelengahannya dengan serangan-serangan yang datang beruntun bagaikan badai.

Tetapi ternyata kedua orang di dalam kepungan itu masih dapat mengelak. Bahkan sekali-sekali mereka masih juga sempat menyerang.

Untuk beberapa saat, pertempuran itu berlangsung. Pemimpin prajurit berkuda itu pun masih sempat memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk memperketat kepungan. Ia tidak percaya bahwa padepokan itu benar-benar telah kosong, meskipun nampaknya memang lengang sekali.

Dalam pada itu, Kiai Danatirta pun mulai berpikir keras. Ia. tidak akan dapat memancing para prajurit untuk hadir di pertempuran itu jika ia tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan kekuatannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya untuk membuat para prajurit itu marah dan dalam keseluruhan akan mengepungnya.

Demikian cepat gerak pedang Kiai Danatirta maka seorang dari lawannya tidak sempat lagi mengelak. Ujung pedang Kiai Danatirta tidak saja menyentuh tubuhnya seujung duri, tetapi pedang yang terayun itu benar-benar telah tergores melintang di dada lawannya.

Terdengar prajurit yang terluka itu mengaduh. Sementara itu. Ki Dipanala pun mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Dengan serta merta, selagi sebagian dari perhatian lawan-lawannya tertuju kepada kawannya yang terluka, maka dengan tangkasnya Ki Dipanala telah meloncat menyerang. Pedangnya mematuk dengan cepatnya mengarah ke jantung.

Namun dalam pada itu, lawannya masih sempat mengelak, meskipun ia tidak berhasil membebaskan diri sepenuhnya cari ujung senjata Ki Dipanala. Namun ujung senjata itu tidak menembus jantungnya, dan sekaligus merenggut nyawanya. Meskipun demikian ujung pedang itu masih tetap melukainya, mengoyak kulit di pundaknya.

Yang terjadi itu benar-benar mengejutkan pemimpin prajurit berkuda yang semula tidak begitu menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin, bahwa keempat prajuritnya akan berhasil menangkap kedua orang itu, hidup atau mati. Tetapi ternyata bahwa dua di antara empat orang itu sudah terluka, namun seorang di antara mereka, masih dapat meneruskan pertempuran meskipun darahnya telah meleleh.

Karena itu, maka pemimpin prajurit berkuda itu segera mengambil sikap. Ia pun segera memerintahkan lima orang prajurit untuk bersama-sama dengan dua orang kawannya yang masih berhadapan dengan kedua orang-orang tua itu untuk menangkap mereka. Seperti perintah yang telah diberikan sebelumnya, hidup atau mati.

Tujuh orang telah siap untuk menangkap Ki Dipanala dan Kiai Danatirta, sementara dua orang lainnya diperintahkannya untuk mengamati keadaan di belakang padepokan itu.

“Gila” berkata Kiai Danatirta di dalam hatinya, “Kenapa tidak semua prajuritnya dipanggil untuk menangkap aku dan Dipanala”

Namun demikian, ternyata ketujuh orang itu pun segera mengepung kedua orang tua itu. Beruntun mereka menyerang susul menyusul, sehingga segera terasa, bahwa tekanan dari lawan-lawannya itu benar-benar sulit untuk diatasi.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Murid-muridnya telah mengejutkan anak-anak muda sebayanya. Bahkan putera Pangeran Ranakusuma Senapati besar di Surakarta, pernah belajar padanya dalam olah kanuragan.

Karena itulah, bahwa sebenarnya ilmu Kiai Danatirta tidak terpaut banyak dari ilmu yang dimiliki oleh Pangeran Ranakusuma sendiri. Bahkan mungkin dalam tingkat yang sama, namun dalam kedudukan yang berbeda.

Karena itulah, maka meskipun ia menghadapi tujuh orang hanya berdua saja dengan Ki Dipanala, maka ternyata tidak terlalu mudah untuk menundukkannya. Apalagi Dipanala pun memiliki pengalaman yang luas di dalam olah senjata.

Sementara pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu telah mengobati orang-orangnya yang terluka. Yang tidak terlalu parah, karena goresan yang tidak dalam di pundaknya, segera bersiap kembali untuk memasuki arena pertempuran. Namun yang dadanya tergores menyilang, terpaksa beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, meskipun pada luka itu telah ditaburkan obat untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak.

Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Namun pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu segera melihat, bahwa orang-orangnya akan segera dapat menguasai keadaan. Nampaknya kedua orang tua itu telah sampai ke puncak ilmunya, meskipun pemimpin pasukan berkuda itu harus menggelengkan kepalanya, melihat betapa kemampuan kedua orang tua itu jauh berada di atas kemampuan prajurit kebanyakan.

“Tujuh orang prajurit tidak segera dapat mengalahkan mereka” desis pemimpin prajurit berkuda itu.

Namun dalam pada itu, dua orang prajurit yang lain masih tetap berada di halaman belakang. Ketika Rara Warih mengintip dari celah-celah pintu butulan, ia masih melihat seseorang yang melintas. Karena itu. maka ia pun telah menunda niatnya untuk menghambur ke halaman samping dan menyusup ke kebun di belakang padepokan itu dan berusaha melarikan diri.

Sementara itu kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantung Rara Warih yang sekali-sekali mendengar teriakan-teriakan menghentak di halaman. Prajurit Surakarta yang marah, karena mereka tidak segera dapat menguasai kedua orang itu, kadang-kadang menyerangnya sambil berteriak mengumpat.

Dalam pada itu. Kiai Danatirta pun merasa, bahwa ia tidak akan dapat bertahan terlalu lama. Nafasnya mulai terasa mengganggu. Berhadapan dengan tujuh orang yang kemudian turun ke medan sepenuhnya meskipun seorang di antaranya sudah terluka, ternyata telah dengan cepat menghisap tenaganya. Apalagi di antara mereka terdapat pemimpin dari pasukan berkuda itu sendiri.

“Aku harus mengambil Sikap, agar Rara Warih mendapat kesempatan untuk meninggalkan padepokan ini” berkata Kiai Danatirta di dalam hatinya.

Karena itu, dalam satu kesempatan, ia berbisik, “Kita meninggalkan halaman dan bertempur di luar padepokan”

Ki Dipanala segera menangkap maksudnya. Karena itulah maka ketika Kiai Danatirta memberikan isyarat, maka kedua orang itu pun segera menyerang dengan menghentak. Demikian mengejutkan, sehingga beberapa orang bergeser menjauh.

Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh keduanya untuk meloncat dan berlari meninggalkan arena.

“Jangan lari” teriak pemimpin pasukan berkuda itu, “tidak ada gunanya”

Tetapi Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak menghiraukannya. Keduanya berlari meloncati dinding padepokan dan memasuki tanah persawahan yang basah.

Namun dalam pada itu, ketujuh orang itu pun tidak melepaskannya. Enam orang prajurit telah mengejarnya, sementara pemimpin prajurit berkuda itu masih sempat berteriak kepada kedua orangnya yang tertinggal, “Cari di seluruh padepokan, tangkap setiap orang yang ada”

Perintah itu benar-benar menggelisahkan. Namun Kiai Danatirta menganggap bahwa dua orang itu tidak akan dapat mengawasi seluruh halaman dan kebun di padepokan itu.

Dalam pada itu, setelah meneriakkan aba-aba, maka pemimpin prajurit berkuda itu pun telah menyusul kawan-kawannya, mengejar Kiai Danatirta dan Ki Dipanala.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak dapat melarikan diri terlalu jauh, karena lawan-lawannya telah menyusulnya. Kedua orang tua itu benar-benar telah kehabisan nafas, setelah keduanya mengerahkan tenaganya untuk melawan ketujuh orang prajurit berkuda yang memiliki pengalaman yang cukup pula.

Dalam pada itu, pemimpin prajurit berkuda itu sekali lagi memperingatkannya, “Kiai Danatirta dan Ki Dipanala. Perlawan-an kalian tidak akan ada gunanya selain memperberat kesalahan kalian. Menyerahlah dan ikut kami ke Surakarta ”

Kiai Danatirta tidak menjawab. Tetapi dengan sisa tenaganya, ia telah menyerang pemimpin pasukan berkuda itu dengan cepatnya. Namun lawannya yang lain berhasil memotong serangan itu, sehingga Kiai Danatirta tidak berhasil menyentuh pemimpin pasukan berkuda itu dengan pedangnya.

Dalam pada itu, dalam keadaan yang paling sulit dari kedua orang tua yang harus bertempur menghadapi tujuh orang prajurit berkuda itu, terdengar tiga ekor kuda berderap dengan kecepatan seperti angin menuju ke padepokan Jati Aking. Tanpa menghiraukan perhatian orang yang kebetulan berada di sawah, maka ketiganya berusaha untuk secepatnya sampai ke padepokan yang menurut dugaan mereka, akan dapat menjadi sasaran dendam prajurit Surakarta yang merasa dikhianati oleh Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring.

Namun dalam pada itu, ketiga orang anak muda yang berpacu itu terkejut ketika mereka melihat di tengah sawah, di sebelah padepokan yang telah menjadi semakin dekat, telah terjadi pertempuran. Karena itulah, maka debar jantung mereka menjadi semakin cepat

Kuda yang telah berlari sepenuh kecepatan itu, rasa-rasanya masih saja terlalu lamban. Namun jarak itu tidak terlalu panjang lagi. Bahkan akhirnya mereka sampai juga ke dekat arena perkelahian itu.

Kedatangan mereka bertiga memang menarik perhatian. Setiap orang yang terlibat ke dalam pertempuran itu telah berpaling. Hampir berbareng, Kiai Danatirta dan pemimpin pasukan berkuda itu bergumam dengan nada yang berbeda, “Raden Juwiring”

Sebenarnyalah Juwiring, Buntal dan Arum lah yang kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Mereka pun segera melihat, bahwa Kiai Danatirta dan Ki Dipanala sedang bertempur melawan tujuh orang prajurit-prajurit berkuda dari Surakarta.

Karena itulah, maka Raden Juwiring segera meloncat mendekat sambil berkata, “He, bukankah kalian dari pasukan berkuda di Surakarta ? Aku mengenal satu dua orang di antara kalian, karena aku pun berasal dari pasukan berkuda. Tetapi kenapa kalian tidak mengenakan pakaian kebesaran dan kebanggaan dari pasukan berkuda di Surakarta, dan kenapa kalian telah bertempur dengan licik melawan dua orang tua itu?”

“Kenapa?” bertanya Juwiring.

“Untuk menangkap Raden, tentu disediakan hadiah yang sangat menarik. Karena itu, jika Raden bersedia membantu aku, agar aku dapat menerima hadiah itu, menyerah sajalah” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.

“Kau nampaknya memang sudah gila” jawab Raden Juwiring, “meskipun aku belum tahu pasti sebabnya, tetapi aku mengharap agar kalian tidak mengganggu kedua orang tua itu. Seorang adalah sahabatku dari istana ayahanda Ranakusuma, dan yang seorang adalah ayah angkatku”

“Kami tidak akan mengganggu mereka, jika Raden bersedia menyerah” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.

Dalam pada itu, pertempuran di antara Kiai Danatirta dan Ki Dipanala melawan para prajurit itu seolah-olah telah berhenti dengan sendirinya. Mereka telah terpukau oleh kehadiran Raden Juwiring bersama dua orang anak muda lainnya yang belum mereka kenal.

“Ki Sanak” berkata Raden Juwiring, “dalam keadaan seperti sekarang ini, maka keyakinan akan sikap dan pendirian yang teguh sangat diperlukan. Karena itu, agaknya kita memang tidak akan dapat menemukan kesepakatan. Aku tahu bahwa pimpinan prajurit Surakarta dan Kumpeni di Surakarta tentu sudah mengetahui apa yang terjadi. Karena itu, baiklah aku tidak usah berbicara panjang lebar. Nampaknya kita memang berdiri berseberangan. Aku berdiri di pihak bangsaku dan kau berdiri di pihak bangsa asing itu”

“Jangan memakai istilah yang salah Raden” jawab pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu, “yang benar adalah, bahwa Raden berdiri di pihak pemberontak dan aku berdiri di pihak Kangjeng Susuhunan Pakubuwana di Surakarta ”

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Setiap orang akan dapat memutar balikkan kenyataan dengan istilah yang menguntungkan diri sendiri, sekedar untuk memantapkan sikap dan keyakinannya, seolah-olah berlandaskan kebenaran. Baiklah. Agaknya kita memang harus bertempur”

Raden Juwiring tidak berbicara lebih banyak lagi. Ia pun kemudian meloncat menghadapi pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu, sementara ia berkata kepada Buntal dan Arum, “Jangan biarkan ayah bertempur melawan orang yang terlalu banyak”

Buntal dan Arum mengerti maksud Raden Juwiring. Merekapun kemudian berloncatan mendekati Ki Dipanala dan Kiai Danatirta yang masih berada di dalam kepungan.

Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Senapati Besar di Surakarta, dan bahkan Raden Juwiring pun termasuk seorang perwira muda dalam pasukan berkuda.

Namun pemimpin pasukan berkuda itu yakin akan dirinya sendiri. Bahwa ia akan dapat mengalahkan Raden Juwiring.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu mulai menggerakkan senjatanya sambil berkata, “Selesaikan kedua orang itu dan kedua anak ingusan itu. Aku akan menangkap Raden Juwiring hidup-hidup. Ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya. Mati di sini, adalah terlalu menyenangkan baginya sebelum ia dihadapkan kepada pengadilan para pemimpin keprajuritan di Surakarta ”

“Barangkali Kumpeni maksudmu?” potong Raden Juwiring.

Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Kumpeni”

Raden Juwuring pun telah siap pula dengan senjatanya. Sementara itu Arum lah yang tidak sabar lagi. Ia lah yang justru mulai menyerang para prajurit yang mengepung ayahnya dan Ki Dipanala.

Sejenak kemudian, maka pertempuran telah berkobar lagi. Namun keseimbangannya pun menjadi jauh berbeda. Enam orang prajurit berkuda yang bertempur melawan ampat orang padepokan Jati Aking itu ternyata segera merasakan, betapa beratnya tekanan dari keempat orang padepokan itu.

Bertujuh mereka tidak segera dapat mengalahkan kedua orang tua itu. Apalagi bersama kedua orang tua itu telah ikut melibatkan diri dua orang anak muda yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi pula.

Dalam pada itu, seorang dari ketujuh orang prajurit berkuda itu tengah menghadapi Raden Juwiring. Keduanya adalah prajurit pilihan yang memiliki bekal ilmu kanuragan. Karena itu, maka pertempuran di antara keduanya pun segera menjadi semakin seru. Pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu mampu bergerak dengan tangkas. Senjatanya berputaran dengan cepat, seperti putaran angin pusaran. Namun Raden Juwiring sama sekali tidak menjadi bingung. Ia memiliki dasar ilmu dari padepokan Jati Aking. Namun ia pun memiliki ilmu yang diturunkan ayahandanya kepadanya.

Bahkan ia tidak memerlukan waktu terlalu lama. Beberapa saat ia menjajagi ilmu lawannya dengan sekedar bertahan dan menghindar. Namun kemudian, datanglah gilirannya, bahwa Raden Juwiring lah yang menyerang seperti angin prahara.

Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain pun keadaannya adalah serupa. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala yang hampir kehabisan nafas itu pun sempat menghirup udara, setelah Buntal dan Arum hadir di arena. Ternyata kedua anak muda itu mampu mengimbangi lawan-lawannya. Bahkan ternyata bahwa Buntal dan Arum secara pribadi memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit berkuda itu.

Karena itu, maka seluruh arena pun segera dikuasai oleh para penghuni padepokan Jati Aking itu. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka pertempuran itu akan dapat diselesaikan.

Namun dalam pada itu, Kiai Danatirta pun segera teringat kepada Rara Warih. Gadis itu, masih berada di padepokan. Bahkan mungkin gadis itu sudah diketahui oleh kedua prajurit yang tinggal di padepokan. Karena itu, maka katanya kepada Buntal, “Gantikan Raden Juwiring, dan biarlah Raden Juwiring melihat adiknya yang berada di padepokan”

“Warih ada di padepokan, Kiai” terdengar suara Juwiring dalam nada tinggi

“Ya. Hati-hatilah, di padepokan ada dua orang prajurit berkuda yang tinggal untuk mengawasi keadaan” jawab Kiai Danatirta.

Juwiring menggeram. Ternyata ia tidak menyerahkan lawannya kepada Buntal. Berita tentang adik perempuannya telah menyalakan gejolak kemarahan yang tidak terbendung lagi. Karena itu, maka seolah-olah di luar sadarnya, Raden Juwiring telah menyerang lawannya dengan sepenuh kemampuannya.

Ternyata pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu tidak setangkas Raden Juwiring. Ketika kemarahan Raden Juwiring sampai ke puncak, dan serangannya datang membadai, maka pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu tidak sempat mengelak.

Yang terdengar kemudian adalah geram kemarahan Raden Juwiring disusul oleh keluhan yang tertahan. Segores luka telah menganga di lambung pemimpin sekelompok prajurit berkuda itu.

Sejenak Raden Juwiring memandanginya. Namun sejenak kemudian, Raden Juwiring itu pun segera berlari kearah padepokan dengan meninggalkan lawannya yang masih tetap berdiri. Namun darahnya telah tertumpah dari lukanya. Bahkan sejenak kemudian orang itu pun terhuyung-huyung dan jatuh di tanah sambil mengerang. Namun Raden Juwiring, sama sekali tidak berpaling lagi.

Keterangan Kiai Danatirta tentang Rara Warih itu bukan saja menggelisahkan Juwiring. Tetapi Buntal dan Arum pun menjadi gelisah pula. Karena itu, maka pada saat-saat yang menentukan dalam lingkaran pertempuran antara Raden Juwiring dan pemimpin pasukan berkuda itu, Buntal pun telah memperguna-kan kesempatan. Pada saat pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu tergores senjata Raden Juwiring, maka Buntal pun telah menghentakkan? kekuatannya justru ketika prajurit-prajurit dari pasukan berkuda itu mencemaskan nasib pemimpinnya.

Dengan serangan yang cepat, Buntal telah mengejutkan beberapa orang lawannya. Namun ternyata Arum lah yang telah berhasil memotong loncatan seorang lawan yang terdesak oleh serangan Buntal yang membadai.

Orang itu terkejut. Akan tetapi ia tidak sempat mengelak. Segores luka telah mengoyak lengannya.....

Dalam pada itu, Buntal yang mencemaskan keadaan Rara Warih dan Raden Juwiring justru karena di padepokan itu ada dua orang prajurit berkuda yang belum diketahui kemampuannya, maka ia pun kemudian berdesis, “Ayah, apakah aku diijinkan untuk menyusul Raden Juwiring?”

Kiai Danatirta yang melihat kekuatan lawannya sudah jauh berkurang, sementara di antara mereka masih ada Arum, maka jawabnya, “Baiklah. Tetapi kau pun harus berhati-hati”

Buntal tidak menunggu lagi, Ia pun segera meloncat berlari menyusul Raden Juwiring yang telah meloncati dinding memasuki padepokan.

Buntal pun tidak sempat melingkar memasuki halaman padepokan itu lewat pintu gerbang. Ia pun meloncat seperti yang dilakukan oleh Raden Juwiring. Namun, demikian ia berada di halaman, ia sama sekali sudah tidak melihat anak muda yang pernah menjadi perwira di lingkungan pasukan berkuda itu.

Sejenak Buntal menjadi berdebar-debar. Namun ia pun kemudian meloncat menghambur naik ke pendapa dan memasuki pintu pringgitan. Namun ia tetap berhati-hati, karena menurut Kiai Danatirta, ada dua orang prajurit berkuda di padepokan itu.

Dengan pedang teracu ia memasuki ruang dalam. Dengan hati-hati ia melihat segala bilik di dalam rumah induk di padepokan itu. Namun ia tidak menjumpai seorang pun. Bahkan Raden Juwiring pun tidak.

Demikian ia selesai memeriksa ruangan demi ruangan, maka Buntal pun segera berlari turun ke halaman samping lewat pintu butulan. Namun demikian ia turun, dilihatnya Raden Juwiring yang berlari keluar dari Sanggar lewat pintu belakang.

“Kau ketemukan Rara Warih” bertanya Buntal.

“Belum” jawab Juwiring, “dua orang prajurit berkuda itu pun tidak aku jumpai, “

Keduanya menjadi semakin berdebar-debar. Sekali lagi keduanya berlari kearah yang berbeda. Bahkan kemudian keduanya telah berlari-lari mengitari seluruh padepokan. Namun mereka tidak menemukan seorang pun juga. Rara Warih tidak, dan dua orang prajurit itu pun tidak.

Ketika sekali lagi keduanya bertemu di longkangan belakang, maka dengan gelisah Raden Juwiring berkata, “Bagaimana mungkin mereka lenyap saja seperti asap”

Wajah Buntal pun menegang. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Kita cari sekali lagi”

Sekali lagi keduanya berlari-lari mengelilingi padepokan itu. Mereka tidak lagi mengambil arah yang berbeda, tetapi mereka berdua berlari-lari bersama-sama.

Tetapi seperti semula, mereka tidak menemukan seorang pun.

“Kita lihat di depan. Mungkin kita dapat menghitung jumlah kuda mereka. Apakah sudah ada diantara mereka yang meninggalkan padepokan ini” geram Juwiring.

“Kita tidak tahu pasti, berapa jumlah mereka” desis Buntal

“Dapat dihitung” sahut Juwiring.

Tetapi mereka tidak menunggu sambil menghitung. Keduanya pun kemudian berlari-lari ke halaman.

Di halaman masih terikat beberapa ekor kuda. Tentu kuda prajurit-prajurit berkuda yang masih bertempur di luar padepokan itu.

Namun ketika mereka mencoba muka menghitung, mereka melihat seseorang yang bersandar pada sebatang pohon dengan luka yang menyilang di dada.

Hampir berbareng Raden Juwiring dan Buntal meloncat mendekati orang yang tergolek diam itu. Namun ternyata bahwa orang itu tidak pingsan. Bahkan di lukanya telah terdapat hamburan obat yang dapat mengurangi arus darahnya yang keluar.

“Dimana kawan-kawanmu” bentak Juwiring yang tanpa bertanya tahu pasti bahwa orang itu pun tentu dari pasukan berkuda.

Orang itu memandang Juwiring sejenak. Ia pun mengenal, bahwa yang bertanya kepadanya itu adalah Raden Juwiring. Seorang perwira dari pasukan berkuda yang telah memberontak. Namun bagaimanapun juga, ia dalam keadaan yang parah, sehingga ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.

“Cepat katakan, dimana kedua orang kawanmu yang berada di padepokan ini” desak Raden Juwiring.

Orang itu tidak menjawab. Dipandanginya Raden Juwiring dengan penuh kebencian.

Juwiring yang gelisah ternyata tidak terlalu lunak menghadapi orang yang terluka itu. Dengan garangnya ia hampir berteriak, “Katakan, dimana kedua orang kawanmu dan adik perempuanku”

Ketika orang itu masih tetap diam, maka tiba-tiba saja Raden Juwiring menggeram, “Buntal. Pergilah ke dapur. Ambillah garam dan air asam. Aku ingin melihat, apakah orang ini akan tetap diam saja jika kita taburkan garam dan kita siramkan air asam pada lukanya”

“Jangan” tiba-tiba saja orang itu berusaha mencegah.

“Tidak ada jalan lain” jawab Juwiring, “Kau membuat hatiku sakit dan gelisah, karena kau sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanku. Sekarang aku pun dapat membuat kau sakit dengan cara ini”

“Jangan lakukan. Itu sama sekali tidak berperikemanusiaan” desis orang itu.

“Tetapi sebut, dimana kedua orang kawanmu dan adikku, Warih” Raden Juwiring membentak pula.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun menilik sikap Raden Juwiring, ia bukannya sekedar menakut-nakutinya untuk menaburkan garam dan air asam pada tubuhnya, karena kegelisahannya.

“Cepat” tiba-tiba saja Raden Juwiring yang marah itu telah merenggut leher bajunya yang terbelah di arah luka yang menyilang di dada, “Jika kau tidak segera berbicara, aku dapat berbuat apa saja yang barangkali tidak pernah kau duga. Aku tidak peduli seandainya seseorang mengatakan bahwa aku tidak berperikemanusiaan”

Orang itu terkejut. Hentakkan tangan Raden Juwiring membuat lukanya bertambah sakit. Apalagi ketika kemudian Raden Juwiring mengguncang-guncangnya dengan kasar.

“Cepat, katakan” bentak Raden Juwiring.

Orang itu tidak dapat bertahan lagi. Guncangan tangan Raden Juwiring rasa-rasanya membuat dadanya bagaikan pecah. Karena itu, maka katanya kemudian, “Lepaskan Raden. Aku akan mengatakannya”

“Tidak” geram Juwiring, “katakan lebih dahulu”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Puteri Ranakusuman itu telah dibawa oleh kedua orang kawanku. Mereka telah melarikan diri langsung menuju ke Surakarta ”

“Gila. Diajeng Warih telah mereka bawa?” suara Raden Juwiring meninggi.

“Ya. Puteri itu telah dibawa. Kedua orang kawanku menemukannya di dalam rumah itu” jawab prajurit yang terluka itu dengan gemetar.

Raden Juwiring pun menjadi gemetar pula. Sejenak ia memandang Buntal. Namun kemudian ia pun segera berlari kearah kuda-kuda yang terikat.

“Kemana?” bertanya Buntal.

“Aku harus menyusulnya” jawab Juwiring sambil berlari-lari.

“Tunggu. Kau akan menyusulnya kemana?” teriak Buntal.

“Ke Surakarta. Aku harus mengambilnya atau aku akan mati untuk membelanya” jawab Juwiring.

“Tunggu. Jangan kehilangan akal” Buntal berteriak sambil berlari mendekati Juwiring yang sudah melepas tali seekor kuda.

“Kakang Juwiring. Tunggu. Jangan melakukan hal itu” cegah Buntal.

“Aku akan mengejar mereka” teriaknya.

“Tidak mungkin. Mereka telah jauh. Dan kita tidak akan dapat mengejarnya langsung masuk ke dalam kota. Ingat, kota tentu dijaga ketat sekarang ini” Buntal masih mencoba untuk memberinya peringatan.

Juwiring seolah-olah tidak mendengarnya. Namun ketika ia meloncat naik, Buntal justru memegang kendali kuda itu sambil berkata keras-keras, “Jangan. Jangan kehilangan akal. Kau tidak akan dapat menyusulnya. Nampaknya mereka telah agak lama pergi. Sementara itu, kehadiranmu di kota akan sangat berbahaya bagimu”

“Lepaskan” teriak Juwiring.

“Jangan. Jangan kehilangan akal” ulang Buntal.

“Lepaskan, atau aku akan memaksamu melepaskan kendali itu” teriak Juwiring semakin keras.

Namun dalam pada itu, ternyata Buntal berpikir bening. Ia mencoba menjelaskan, “Kakang Juwiring. Jika terjadi sesuatu atasmu, maka harapan untuk membebaskan adikmu itu sudah lenyap sama sekali. Ia akan mengalami nasib yang paling buruk. Lebih buruk dari nasibmu sendiri. Mungkin kau akan dibunuh di alun-alun, dan kepalamu akan ditanjir di regol Kapangeranan. Tetapi kau tidak akan mengetahui apa yang terjadi. Dan di antara mereka yang berjuang bagi tanah ini akan tetap menganggapmu sebagai seorang pejuang yang gugur dalam keperwiraan. Tetapi bayangkan apa yang terjadi atas adikmu itu. Atas Rara Warih yang jatuh di tangan para perwira kumpeni yang jauh dari keluarga mereka sendiri. Yang jauh dari lingkungan hidup mereka”

Juwiring mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Buntal sejenak. Lalu katanya, “Jadi, bagaimana menurut pertimbanganmu, Buntal”

“Kita mempunyai cara lain yang harus kita pikirkan masak-masak” jawab Buntal.

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada rendah, “Apakah jika aku mengejarnya sekarang, aku tidak akan berhasil memburunya sebelum mereka memasuki kota”

“Sulit” jawab Buntal, “Kita tidak tahu arah mereka sehingga kita harus mengamati jejak. Mungkin kita akan mendapat arah yang benar, tetapi sementara itu, mereka sudah berada di dalam satu lingkungan prajurit berkuda”

Juwiring termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berdesis, “Kau benar Buntal. Aku kira, aku tidak akan berhasil mengejar Diajeng Warih”

“Karena itu, marilah kita selesaikan orang-orang yang tertinggal” berkata Buntal kemudian.

Juwiring mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya telah menegang lagi. Dengan lantang ia berkata, “Mereka memang harus diselesaikan”

Raden Juwiring meloncat turun dari kudanya. Kemudian ia pun telah berlari kembali ke arena pertempuran di sebelah padepokan. Seperti saat ia memasuki padepokan, maka ia pun telah meloncati dinding.

Buntal pun menyusulnya di belakang. Ia sadar bahwa Juwiring masih diliputi oleh kegoncangan perasaan, sehingga karena itu ia akan dapat melakukan sesuatu yang mengejutkan.

Ketika Raden Juwiring sampai ke arena pertempuran, maka keadaannya benar-benar telah tidak seimbang. Lima orang yang tersisa, bertempur melawan tiga orang yang memiliki kemampuan jauh di atas kemampuan mereka.

Dengan demikian, maka kelima orang itu sama sekali sudah tidak berpengharapan untuk dapat menyelamatkan diri.

Dalam pada itu, terdengar suara Kiai Danatirta, “Sudahlah Ki Sanak. Menyerah sajalah. Kita akan dapat berbicara dengan baik”

Namun agaknya Juwiring mendengar tawaran Kiai Danatirta itu. Karena itu maka ia pun berteriak, “Tidak. Semua orang harus mati”

“Juwiring” desis Kiai Danatirta yang kecemasan, “bagaimana dengan adikmu”

“Kedua setan itu dengan licik telah membawa Diajeng Warih. Aku tidak tahu, bagaimana nasibnya. Karena itu, yang tinggal di antara prajurit berkuda itu harus mati” geram Juwiring yang telah berdiri beberapa langkah dari arena pertempuran.

Sejenak kemudian, Buntal pun telah berdiri di belakangnya dengan jantung yang berdebar-debar.

Dalam pada itu Raden Juwiring sudah siap untuk meloncat menyerang dan membunuh orang-orang yang tersisa. Namun di belakangnya Buntal berdesis, “Kakang Juwiring. Ingatlah bahwa kau adalah seorang yang berdarah kesatria. Kau harus mempunyai wawasan yang luas terhadap mereka yang sudah tidak berdaya. Di dalam perang, membunuh atau dibunuh merupakan pilihan yang sangat wajar. Tetapi di dalam peperangan kita dapat menunjukkan, bahwa kita masih tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan”

“Apa maksudmu?” bertanya Juwiring.

“Ayah sudah menawarkan kepada orang-orang itu agar mereka menyerah. Dengan demikian, maka tidak diperlukan cara penyelesaian yang lain” jawab Buntal.

Juwiring yang masih diliputi oleh kegelapan hati menyahut lantang, “Tidak. Aku akan membunuhnya karena mereka pun licik seperti liciknya Kumpeni. Aku tidak merasa berhadapan dengan prajurit-prajurit yang pantas diperlakukan sebagai prajurit. Tetapi aku merasa berhadapan dengan penjahat-penjahat yang tidak mungkin lagi diampuni karena tidak akan pernah terjadi penyesalan di dalam hati mereka”?

“Disinilah letak kebesaran jiwa seseorang, Juwiring” Kiai Danatirta lah yang menjawab, “sekali lagi aku ingin menawarkan kepada prajurit-prajurit berkuda ini, agar mereka menyerah saja”

“Itu tidak adil” Juwiring hampir berteriak, “mereka membawa Diajeng Warih”

“Kita dapat memperhitungkan kemudian” jawab Kiai Danatirta, “tetapi jika mereka akan menyerah, biarlah mereka menyerah”

Prajurit berkuda yang sudah tidak mempunyai harapan sama sekali itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi kehadiran Juwiring yang sangat marah itu rasa-rasanya membuat hati mereka semakin cemas. Namun demikian, mereka masih berharap bahwa di antara orang-orang padepokan itu masih ada yang berkepala dingin dan tidak berbuat sewenang-wenang.

Dalam pada itu, Buntal selalu berdiri di sebelah Juwiring. Ia masih saja merasa cemas, bahwa Juwiring akan kehilangan pengamatan diri dan melakukan tindakan yang tidak bijaksana terhadap lawan-lawannya yang justru akan bertentangan pula dengan perintah Pangeran Mangkubumi sendiri.

“Ya, perintah Pangeran Mangkubumi” ingatan itu telah mendorongnya untuk berbisik, “Kakang Juwiring. Bukankah kita termasuk pasukan Pangeran Mangkubumi”

“Ya, kenapa?” bertanya Juwiring.

“Kita harus selalu ingat pesannya lewat siapapun juga. Lewat Ki Wandawa, lewat Ki Sarpasrana, lewat para Tumenggung yang berpihak kepadanya dan lewat setiap prajurit yang berdiri di sisi Pangeran Mangkubumi itu” desis Buntal.

“Ya, apa pesannya” Juwiring yang marah itu hampir berteriak.

“Jangan bertindak terlalu kasar terhadap sanak kita sendiri. Terhadap orang-orang berkulit sawo seperti kita” lanjut Buntal.

Kata-kata Buntal itu ternyata telah menyentuh hatinya. Ia pun pernah mendengar pesan Pangeran Mangkubumi seperti itu.

Dan karena itulah, maka hatinya menjadi agak tenang, sehingga ia dapat memandang prajurit-prajurit berkuda yang sudah tidak berdaya itu sebagaimana sikap seorang kesatria dari Surakarta.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah ayah. Jika mereka memang bersedia menyerah, segala sesuatunya terserah kepada ayah”

Kiai Danatirta masih bertempur meskipun sudah tidak lagi harus memeras tenaganya, karena selain lawannya sudah jauh berkurang, mereka pun nampaknya sudah tidak berpengharapan lagi. Bahkan nampaknya Arum pun dapat mengerti maksud ayahnya, bahwa orang-orang itu sebaiknya tidak meneruskan perlawanannya, karena memang tidak akan ada gunanya lagi.

Dengan sikap Juwiring yang menjadi lebih lunak itu, maka Kiai Danatirta sekali lagi berkata kepada prajurit-prajurit berkuda itu, “Sekarang, menyerahlah Ki Sanak. Kalian tidak akan mempunyai kesempatan lagi”

Kelima orang yang masih bertempur dengan setengah hati itu pun tidak lagi dapat menahan hati untuk menyerah. Karena itu. maka salah seorang dari mereka pun berkata, “Kami menyerah”

Kiai Danatirta pun kemudian memberi isyarat kepada Ki Dipanala dan Arum agar mereka surut beberapa langkah untuk memberi kesempatan kepada kelima orang itu meletakkan senjatanya.

Demikianlah, maka kelima orang itu pun segera melontarkan senjata masing-masing. Meskipun masih nampak kekhawatiran mereka terhadap sikap Juwiring, namun menyerah adalah kemungkinan yang paling baik yang dapat mereka lakukan.

Ki Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa nafasnya memang sudah mulai berkejaran. Meskipun sejak kehadiran anak-anak angkatnya pekerjaannya sudah menjadi semakin ringan.

Kelima orang prajurit berkuda itu pun kemudian berdiri berjajar. Sementara Juwiring dan Buntal melangkah maju mendekati Kiai Danatirta yang memandangi orang-orang itu seorang demi seorang.

Namun tiba-tiba katanya, “Lihatlah kawan-kawanmu yang terluka itu. Bawalah mereka ke pendapa padepokan. Mungkin aku sempat mengobatinya”

Kelima orang prajurit itu termangu-mangu, sementara Kiai Danatirta mengulangi, “Cepat, sebelum terlambat”

Kelima orang itu pun kemudian menghampiri pemimpin mereka yang terluka parah, sementara di sebelahnya duduk kawannya yang lengannya tersobek oleh senjata Arum pada saat ia menghindari serangan Buntal. Meskipun luka itu hanya pada lengannya, tetapi lengan itu bagaikan terkoyak sampai ke tulang, sehingga orang itu hampir menjadi pingsan karenanya.

“Bawalah mereka ke pendapa” berkata Kiai Danatirta.

Kelima orang itu pun kemudian memapah seorang yang terluka di lengannya, dan mengusung pemimpinnya yang sudah tidak sadarkan diri karena luka-lukanya. Dengan tergesa-gesa mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka itu ke pendapa padepokan, sementara kawannya yang seorang lagi, telah dipapah oleh Buntal dari bawah sebatang pohon di halaman. Meskipun lukanya telah ditaburi obat, namun nampaknya orang itu kian menjadi lemah.

Dalam pada itu, agaknya Kiai Danatirta tidak sampai hati membiarkan orang-orang itu terluka tanpa perawatan. Meskipun orang-orang itu telah berusaha untuk menangkapnya hidup atau mati, tetapi setelah mereka menyerah, maka terasa getar belas kasihan di hati orang tua itu. Apalagi Kiai Danatirta pun mendengar, bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri telah berpesan, bahwa lawan yang sesungguhnya bukannya prajurit-prajurit Surakarta, tetapi Kumpeni. Hanya dalam keadaan terpaksa sajalah, maka para pengikut Pangeran Mangkubumi harus bertempur dan barangkali tidak dapat dihindari lagi, akan jatuhnya korban di antara sanak dan kadang sendiri.

Selain mereka yang terluka parah, maka di antara mereka yang masih bertempur beberapa lama kemudian itu pun ada yang telah tergores senjata pula. Tetapi luka-lukanya tidak berbahaya dan tidak mengurangi kemampuan mereka. Meskipun demikian orang-orang itu pun harus mendapat perawatan.

Namun dalam pada itu, Kiai Danatirta pun menyadari, bahwa dua orang yang melarikan Rara Warih ke kota, bukan saja akan menyerahkan Rara Warih, tetapi mereka tentu akan menceritera-kan apa yang lelah terjadi di padepokan. Apalagi jika mereka telah mengetahui bahwa Juwiring ada pula di padepokan Jati Aking.

Karena itu, setelah Kiai Danatirta selesai dengan meng obati orang-orang itu, maka ia pun mengajak anak-anak angkatnya dan Ki Dipanala masuk ke ruang dalam.

“Bagaimana dengan orang-orang itu?” bertanya Juwiring.

“Biarlah mereka berada di pendapa” jawab Kiai Danatirta.

“Apakah mereka tidak akan lari?” bertanya Buntal pula.

“Untuk sementara tidak” jawab Kiai Danatirta pula.

“Tetapi kita tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang itu” desis Arum pula.

“Percayalah” jawab Kiai Danatirta, “Mereka tidak akan lari”

Ketiga anak-anak muda itu tidak memaksa Kiai Danatirta untuk mengambil sikap tertentu kepada ketiga orang itu. Meskipun ada juga semacam kekhawatiran, tetapi mereka mencoba untuk mempercayai Kiai Danatirta.

Dalam pada itu, setelah mereka berada di ruang dalam, maka Kiai Danatirta pun berkata kepada Raden Juwiring, “Angger Juwiring. Hilangnya Rara Warih merupakan masalah khusus bagi kita, terutama angger Juwiring dan Ki Dipanala”

“Ya Kiai” desis. Ki Dipanala, “bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan hilangnya puteri itu jika pada suatu saat aku bertemu dengan Pangeran Ranakusuma”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menyahut, Juwiring telah mendahuluinya, “Aku belum sempat menceriterakan, apa yang terjadi di pertempuran besar itu”

“Ya. Kau memang belum mengatakan sesuatu” desis Kiai Danatirta.

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Danatirta dan Ki Dipanala berganti-ganti. Kemudian katanya, “Yang terjadi, benar-benar merupakan satu bebanten yang tiada taranya bagi perjuangan Surakarta untuk mengusir orang-orang asing yang semakin dalam mencengkeram tanah ini”

Wajah Kiai Danatirta dan Ki Dipanala menegang. Dengan nada rendah Kiai Danatirta bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

Juwiring pun menceriterakan apa yang telah terjadi di peperangan dengan singkat. Beberapa orang Senapati terpilih di Surakarta telah gugur dan terluka, di pihak manapun mereka berdiri.

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya menunduk sementara suaranya menjadi parau, “Jadi Pangeran Ranakusuma telah gugur?”

“Ya” jawab Juwiring, “Aku melihat saat-saat ayahanda menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tetapi aku mencoba untuk berbangga. Justru ayahanda yang sebelumnya menempuh jalan yang salah, pada saat terakhirnya, ia telah berdiri di pihak yang benar”

Ki Dipanala mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian desisnya, “Aku telah mengabdi di kapangeranan untuk waktu yang lama. Meskipun aku termasuk orang yang dibenci, tetapi aku merasa bahwa Ranakusuman adalah rumahku sendiri. Aku sudah menyaksikan yang manis, tetapi juga yang paling pahit di Ranakusuman. Dan di saat-saat terakhir segalanya harus terjadi. Pangeran Ranakusuma gugur di peperangan, sementara Raden Ayu mengalami kejutan jiwa. Dan kini, kita semuanya menghadapi satu masalah yang tidak kalah beratnya. Rara Warih jatuh ke tangan orang-orang yang memusuhi Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring”

“Yang terjadi, sudah terjadi” desis Kiai Danatirta, “marilah kita berbuat sesuatu dengan landasan kenyataan ini untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Dipanala berkata, “Memang sulit untuk mendera perasaan sendiri. Tetapi aku ingin mencoba untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya”

“Marilah kita mencobanya” berkata Kiai Danatirta, “sekarang kita harus mulai menilai keadaan dengan kenyataan yang kita hadapi. Padepokan ini tidak akan dapat memberikan ketenangan lagi”

“Ya” desis Ki Dipanala, “Kita memang harus pergi. Tetapi bagaimana dengan Rara Warih”

“Aku belum dapat mengatakan sesuatu” jawab Kiai Danatirta, “tetapi kita akan berusaha. Sementara itu kita harus membuat satu keadaan dimana kita masih dapat berusaha”

“Aku mengerti maksud ayah” sahut Juwiring, “Kita lebih dahulu memikirkan kemungkinan untuk menyelamatkan diri”

“Ya” sahut Kiai Danatirta, “Kita harus segera meninggalkan padepokan ini. Sebentar lagi padepokan ini tentu akan dikepung oleh kekuatan yang lebih besar. Kedua prajurit yang membawa Rara Warih itu akan mengatakan segala-galanya. Bahkan mungkin yang tidak pernah terjadi pun akan dikatakannya”

“Baiklah ayah” jawab Juwiring, “tetapi bagaimana dengan orang-orang itu”

“Biarlah mereka kita tinggalkan di sini” jawab Kiai Danatirta.

“He” Raden Juwiring terkejut, “Apakah maksud ayah, mereka akan kita lepaskan begitu saja?”

“Ya. Kita tidak mempunyai cara lain. Kita tidak akan dapat menawan mereka dan membawa kemana kita pergi” jawab Kiai Danatirta, “dan sebaliknya kita tidak akan dapat membunuh mereka semuanya”

Wajah Juwiring menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera dapat mengatakan, apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Memang benar seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, bahwa mereka tidak akan dapat membawa orang-orang itu kemana mereka pergi. Sebaliknya, mereka pun tidak akan dapat membunuh mereka yang telah menyerah itu.

Dalam pada itu, Buntal dan Arum pun termangu-mangu. Merekapun merasa bahwa tidak adil untuk melepaskan orang-orang itu begitu saja. Tetapi juga tidak akan dapat melakukan yang lain seperti dikatakan oleh Kiai Danatirta.

Dalam pada itu. Kiai Danatirta pun berkata, “Dalam keadaan yang wajar, kita akan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik dan masuk akal. Jika kita menangkap satu dua orang penjahat, maka kita akan dapat menyerahkannya kepada yang berkewajiban. Tetapi dalam keadaan seperti ini, tidak. Dan kita pun tidak berniat untuk menghakimi dan menghukum mereka sendiri”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Bahkan Ki Dipanala pun ikut mengangguk-angguk pula. Sebenarnyalah ia mempunyai perasaan seperti ketiga anak-anak muda itu. Apalagi ia pun merasa, bahwa hampir saja nyawanya direnggut oleh orang-orang itu, seandainya Juwiring, Buntal dan Arum tidak segera datang. Bahkan dua di antara mereka telah mengambil Rara Warih. Puteri Pangeran Ranakusuma yang dengan susah payah telah dibawa menyingkir dari istana Ranakusuman. Namun demikian, Ki Dipanala tidak akan dapat membantah keputusan Kiai Danatirta. Apalagi keputusan itu memang dapat dimengerti. Seandainya ia menolak, maka ia harus dapat menunjukkan cara yang lebih baik.

Namun dalam pada itu, mereka akhirnya mengambil keputusan seperti yang dimaksud oleh Kiai Danatirta. Mereka akan segera meninggalkan padepokan itu, sementara para prajurit dari pasukan berkuda yang telah mereka kalahkan itu akan mereka tinggalkan di padepokan.

Tetapi agar orang-orang itu tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya mengikuti jejak mereka yang akan dapat menjadi petunjuk bagi orang-orang berikutnya yang akan mencari mereka, maka Kiai Danatirta tidak berkeberatan, jika kuda-kuda dari prajurit-prajurit berkuda itu dilepaskan dan justru di singkirkan dari padepokan itu.

Demikianlah, ketika keputusan itu sudah bulat, maka Kiai Danatirta pun kemudian bangkit dan keluar ke pendapa diikuti oleh Ki Dipanala dan ketiga anak-anak muda yang telah bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi itu.

Ketika mereka keluar dari pintu yang menyekat ruang dalam dan pringgitan, maka mereka melihat orang-orang yang telah menyerah itu masih tetap berada di tempatnya.

Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, tidak seorang pun yang melarikan diri meskipun kesempatan terbuka. Bahkan tanda-tanda untuk itu pun sama sekali tidak nampak. Seolah-olah mereka adalah cantrik-cantrik padepokan yang patuh menunggu Kiai Danatirta keluar dari Sanggar untuk memberikan petunjuk-petunjuk tentang ilmu kanuragan dan ilmu kajiwan.

Dalam pada itu, Kiai Danatirta dan Ki Dipanala serta ketiga anak-anak muda itu pun duduk di antara orang-orang yang telah menyerah itu dengan sikap wajar, seolah-olah tidak ada batas di antara mereka.

Namun justru karena itu, maka para prajurit dari pasukan berkuda itu telah menundukkan kepalanya.

“Bagaimana keadaan kawan-kawan kalian yang terluka?” bertanya Kiai Danatirta.

Seorang yang tertua di antara mereka menjawab meskipun dengan ragu-ragu, “Nampaknya mereka menjadi lebih tenang Kiai”

“Yang paling parah adalah yang terluka melintang di dada” berkata Kiai Danatirta, “Yang nampaknya adalah pemimpin kalian”

“Ya. Ia adalah pemimpin kami” jawab prajurit itu.

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian beringsut mendekati orang yang terbaring di pendapa itu.

Juwiring menahan nafasnya Ia lah yang telah menggoreskan pedangnya di dada orang itu. Namun dalam keadaan yang khusus, maka hal itu dapat saja terjadi. Jika ia tidak berbuat demikian, maka mungkin ia sendirilah yang akan mengalami luka parah seperti itu.

Namun nampaknya obat yang diberikan oleh Kiai Danatirta mempunyai pengaruh pula atas orang itu. Darahnya telah mampat, dan bahkan kemudian orang itu telah membuka matanya.

“Tenanglah” berkata Kiai Danatirta, “Jangan bergerak, agar lukamu tidak berdarah lagi”

Orang itu mengedipkan matanya. Semakin lama semakin jelas, bahwa orang yang duduk di sebelahnya adalah Kiai Danatirta. Namun nampaknya Kiai Danatirta itu tidak berbuat apa-apa atasnya.

“Tidurlah jika mungkin” berkata Kiai Danatirta, “beristirahat adalah satu obat yang baik bagimu Ki Sanak”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi matanya sajalah yang berkeredipan. Namun dalam pada itu, nampak betapa pertanyaan yang kisruh telah beraduk di dalam dadanya.

Sementara itu, Kiai Danatirta pun kemudian berkata kepada para prajurit itu, “Ki Sanak. Tidak sebaiknya aku tetap berada di padepokan ini. Sudah aku katakan, bahwa para cantrik telah meninggalkan padepokan ini. Yang tinggal hanyalah aku berdua dengan Ki Dipanala. Sebenarnya ada orang ketiga, Rara Warih yang telah dibawa oleh kedua orang kawanmu yang telah melarikan diri lebih dahulu. Sebenarnya nyawa Rara Warih lebih berharga dari nyawa kalian semuanya. Tetapi kami tidak dapat membunuh kalian. Hendaknya kalian menjadi saksi. Bahwa sikap ini adalah sikap prajurit Pangeran Mangkubumi”

Orang tertua di antara prajurit itu bertanya, “Jadi Kiai akan pergi kemana?”

Kiai Danatirta tersenyum. Jawabnya, “Kami memang tidak dapat mempercayai kalian sepenuhnya. Karena itu, kami tidak akan dapat menjawab, kemana kami akan pergi”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf Kiai. Kami mengerti, bahwa kami memang pantas untuk dicurigai. Karena itu terserahlah kepada Kiai”

“Baiklah. Kami mohon diri. Kami titipkan padepokan ini kepada, “Kalian. Aku yakin, bahwa sebentar lagi akan datang kawan-kawan kalian, setelah kedua orang yang membawa Rara Warih itu sampai ke kota” berkata Kiai Danatirta.

Prajurit-prajurit itu terheran-heran. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa Kiai menitipkan padepokan ini kepada kami? Kami terikat dengan tugas kami, sehingga kami harus kembali ke Surakarta ”

Kiai Danatirta tertawa. Katanya, “Jika kalian harus pergi, pergilah. Tetapi barangkali ada satu pekerjaan yang dapat kalian lakukan. Sebutlah, bahwa aku minta tolong kepada kalian, untuk membagi ternak dan semua binatang peliharaan di padepokan ini kepada orang-orang di sekitar padepokan ini. Kami tidak dapat atau katakan tidak sempat melakukannya. Kami cemas, bahwa tidak lama lagi kawan-kawan kalian akan datang dan bermaksud menangkap kami seperti yang kalian lakukan. Hidup atau mati. Sehingga dengan demikian kami akan terpaksa bertempur lagi. Kami terpaksa untuk mempertahankan diri, yang barangkali agar tidak dibunuh maka kami akan membunuh saudara-saudara kami yang berkulit sawo”

Para prajurit itu tidak menjawab. Tetapi sebagian dari mereka telah tersentuh hatinya meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu.

“Nah” berkata Kiai Danatirta, “waktunya telah tiba. Sebelum kawan-kawanmu datang, kami akan menanggalkan padepokan ini”

Para prajurit itu hanya dapat mengangguk-angguk saja sementara Kiai Danatirta berkata selanjutnya, “Tetapi maaf Ki Sanak. Kami terpaksa untuk menghalau kuda-kuda kalian, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu yang barangkali tidak masuk akal”

Para prajurit itu terkejut. Tetapi sebagian dari mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa, sehingga karena itu, maka mereka pun hanya berdiam diri saja.

Namun ternyata salah seorang dari mereka berkata, “Kuda-kuda itu milik kami Kiai. Kiai tidak wenang untuk melakukannya”

“Kami hanya menjaga keselamatan diri kami” jawab Kiai Danatirta.

“Itu berarti bahwa Kiai hanya mementingkan diri sendiri. Jika Kiai mau pergi, pergilah. Tetapi jangan mengganggu milik kami. Apalagi hal itu semata-mata karena Kiai hanya mengenal kepentingan diri sendiri saja” berkata prajurit itu pula.

“Tutup mulutmu” Arum lah yang membentak, “Kau kira apa yang kau katakan itu berarti bagi kami”

Prajurit itu benar-benar merasa terhina. Apalagi ternyata bahwa anak muda itu seorang gadis. Namun sebelum ia berkata sesuatu Arum mendahului, “Ingat. Kami dapat membunuh kalian jika kalian mengatakan bahwa kami hanya mengenal kepentingan diri sendiri”

Para prajurit itu termangu-mangu. Namun prajurit itu masih membantah, “Lalu apakah keuntungan kalian dengan menghalau kuda-kuda kami”

“Tidak seorang pun di antara kalian akan dapat mengikuti kami atau setidak-tidaknya mengetahui arah kepergian kami setelah kami keluar dari padepokan ini” jawab Kiai Danatirta

“Tetapi bagaimana dengan kami. Kami bukan penghuni padepokan ini. Kami harus kembali ke Surakarta ” desis prajurit itu pula.

“Berjalan kaki” bentak Arum yang marah, “atau bunuh diri saja di sini setelah kalian gagal membunuh kami. Ingat, kalian akan membunuh kami. Dan kami hanya menghalau kuda-kuda kalian. Atau kau memang minta dibunuh saja?”

Prajurit itu benar-benar tersinggung. Tetapi ia menyadari keadaannya, sehingga karena itu, maka wajahnya sajalah yang menjadi merah padam. Namun dalam pada itu, terdengar desis perlahan, “Dengar perintahku”

Prajurit itu berpaling. Yang lain pun berpaling pula. Ternyata pemimpinnya yang terluka itu telah membuka matanya dan berbicara betapapun lirihnya.

Seorang di antara para prajurit dari pasukan berkuda itu mendekat. Dan pemimpinnya yang terluka itu berkata, “Dengar perintahku” ulangnya, “Apapun yang akan dilakukan oleh Kiai Danatirta, kalian tidak wenang lagi membantah, karena kita semuanya adalah tawanannya”

Prajurit-prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian prajurit yang tersinggung oleh sikap Arum itu pun dengan hati yang sangat berat, harus menerima perintah itu. Apalagi ia pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa betapapun hatinya bergejolak.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Arum benar-benar menjadi marah kepada prajurit yang seorang itu. Tetapi ia pun harus menahan hati. Seandainya ia tidak terikat oleh perintah ayahnya, maka ia tentu sudah bertindak atas prajurit yang satu

Sebenarnyalah, bahwa Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Sudahlah, kami akan berangkat. Sekali lagi aku minta tolong agar segala binatang peliharaan di padepokan ini dapat diserahkan, atau biarlah orang-orang di sekitar padepokan ini datang sendiri untuk mengambilnya, meskipun dengan demikian diperlukan pengawasan agar mereka tidak saling berebutan”

“Baiklah Kiai” jawab prajurit yang tertua, “kami akan mencoba melakukannya”

Betapapun terasa suasana yang ganjil di hati anak-anak muda Jati Aking itu, namun mereka pun tidak berbuat sesuatu, karena mereka memang tidak dapat menunjukkan penyelesaian yang lebih baik, seperti juga Ki Dipanala.

Karena itu, maka mereka pun segera berkemas. Sejenak kemudian mereka telah berada di halaman dengan kuda masing-masing. Sementara itu, Buntal dan Juwiring telah melepaskan semua kuda dari ikatannya.

Sejenak kemudian, Juwiring dan Buntal pun telah menghentakkan cambuk mereka. Kuda-kuda itu pun terkejut dan berlarian keluar halaman. Apalagi karena Buntal dan Juwiring berusaha untuk menyentuh kuda-kuda itu dengan ujung cambuknya sehingga kuda-kuda itu berlari lebih cepat lagi menjauhi padepokan Jati Aking.

Demikian kuda-kuda itu hilang dari halaman, maka Kiai Danatirta dan Ki Dipanala serta ketiga anak-anak muda itu pun meloncat naik ke punggung kuda masing-masing. Ketika kuda mereka mulai bergerak, maka Kiai Danatirta masih berkata, “Selamat tinggal. Jagalah kawan-kawanmu yang terluka dengan baik. Sebentar lagi akan datang orang-orang Surakarta yang akan membawa tabib yang pala baik yang akan dapat mengobati luka-luka itu dengan lebih sempurna. Salamku bagi saudara-saudara kita dari Surakarta. Mudah-mudahan mereka cepat menyadari keadaan Tanah ini yang sebenarnya sehingga mereka tidak akan tersesat semakin jauh. Jika mungkin kalian pun dapat merenungi diri kalian, apakah juga termasuk kalian sendiri”

Para prajurit itu tidak menjawab. Mereka memandangi saja orang-orang yang meninggalkan padepokan itu.

Namun dalam pada itu, salah seorang dari para prajurit itu bergumam, “Mereka adalah orang-orang gila yang sombong. Mereka mengira bahwa dengan membiarkan kita tetap hidup, mereka dapat disebut sebagai pahlawan kemanusiaan. Tetapi pada suatu saat, jika kita bertemu lagi dengan mereka, maka mereka akan menyesal”

Kawan-kawannya meman-danginya dengan sorot mata yang aneh. Orang tertua di antara mereka berkata, “Kau selalu mengumpat-umpat saja. Kita sudah tidak berhak untuk menentukan apapun juga. Jika mereka menghalau kuda-kuda itu, itu adalah hak mereka. Kau tidak dapat menyatakan keberatan sama sekali”

“Kalian tidak membantu aku” desis prajurit itu.

“Kau yang keliru. Untunglah ada orang-orang tua yang dapat menguasai anak-anak muda itu. Jika tidak, kita semua sudah menjadi mayat dan terkapar di tengah sawah itu” jawab kawannya.

“Itu lebih baik bagiku” jawab prajurit itu.

“Kau keras kepala” jawab orang tertua, “tetapi kenapa tidak kau lakukan. Ketika kami menyerah, kau ikut pula menyerah. Kenapa kau tidak ingin disebut sebagai pahlawan pula, yang gugur di medan pertempuran melawan para pemberontak”

Orang itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Kalian terlalu lemah sehingga kalian dapat dipermainkan oleh orang-orang padepokan itu. Meskipun kita sudah menyerah, tetapi jika kita bersikap agak keras, mereka tentu akan mendengarkan”

“Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya. Anak muda yang ternyata seorang gadis itu nampaknya pendiriannya keras sekali, sementara Raden Juwiring yang kehilangan adiknya itu akan dapat kehilangan pengamatan diri pula” jawab orang tertua, “dan adalah satu kenyataan, bahwa kita tetap hidup. Pemimpin kita mendapat pengobatan bersama kawan-kawan kita yang terluka”

“Kau sudah terpengaruh” geram prajurit yang marah.

“Mungkin demikian. Tetapi mereka ternyata bersikap baik terhadap prajurit Surakarta yang terdiri dari orang-orang berkulit sawo matang seperti kita, karena sebagaimana pesan Pangeran Mangkubumi, para pengikutnya tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap bangsa sendiri, dimana-pun kita berdiri”

Kawannya yang marah itu tidak menjawab. Tetapi masih terdengar ia menggeramang. Namun demikian lawannya tidak menghiraukannya lagi.

Dalam pada itu, kuda-kuda mereka telah dihalau pergi oleh Juwiring dan Buntal. Karena itu, maka mereka tidak dapat dengan segera kembali ke Surakarta. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, mereka pun berharap bahwa sepasukan prajurit dari pasukan berkuda yang kuat akan datang ke padepokan itu, sehingga karena itu, maka mereka sebaiknya memang menunggu.

“Sementara kita menunggu, kita dapat melakukan pesan Kiai Danatirta” berkata prajurit tertua di antara mereka.

“Aku tidak sudi melakukan” desis prajurit yang marah itu.

Prajurit tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa salahnya kita berbuat baik bagi orang-orang di sekitar padepokan ini. Jika kita membagi ternak yang ada di padepokan ini, maka mereka tentu mengira, bahwa kitalah yang berbaik hati kepada mereka”

“Tetapi apakah kita tidak memperhitungkan satu kemungkin-an, bahwa orang tua itu dengan sengaja membuat kita untuk tinggal di sini lebih lama lagi, sementara itu ia memanggil orang-orangnya lebih, banyak lagi untuk beramai-ramai membantai kita di sini” jawab prajurit yang marah.

“Kau sudah kehilangan nalar” jawab kawannya yang Jain, “jika ia ingin membunuh, hal itu sudah dapat dilakukannya. Ia tidak perlu menawarkan agar kita menyerah. Mereka dengan mudah akan dapat membunuh kita seorang demi seorang. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia minta kita menyerah. Dan kita sudah diperlakukan dengan baik”

“Omong kosong” jawab kawannya yang marah, “tetapi aku tidak mau berbuat apa-apa”

“Biarlah ia tidak berbuat apa-apa” jawab kawannya yang lain, “Kita dapat membagi semua binatang peliharaan di padepokan ini atas nama kita sendiri. Orang-orang padukuhan akan berterima kasih kepada kita”

“Yang penting” berkata orang tertua, “binatang peliharaan itu tidak mati kelaparan. Sementara orang-orang padukuhan akan mendapatkan tambahan binatang peliharaan. Marilah, siapa yang ingin ikut bersama aku memanggil beberapa orang padukuhan terdekat dan menyerahkan binatang-binatang yang ada kepada mereka”

“Tetapi kita belum tahu, binatang apa saja yang ada di padepokan ini” desis seorang prajurit

“Kita akan dapat melihatnya” jawab orang tertua itu.

Demikianlah orang tertua itu telah menghubungi pemimpinnya yang terluka. Namun agaknya obat Kiai Danatirta lelah banyak menolongnya. Meskipun ia masih sangat lemah, tetapi ia sudah dapat memberikan pertimbangan. Katanya lirih, “Lakukanlah. Sambil menunggu kawan-kawan kita yang tentu akan datang. Lambat atau cepat”

Kedatangan para prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan di padukuhan terdekat dan mengaku orang kebanyakan itu telah memanggil beberapa penghuni padukuhan itu,

“Kiai Danatirta telah pergi” berkata para prajurit itu, “kamilah yang diserahi padepokan itu. Tetapi kami tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, kami mengambil kebijaksanaan untuk membagi saja ternak yang ada di padepokan ini bagi kalian dengan maksud dapat dipelihara sebaik-baiknya”

Orang-orang padukuhan itu pun berterima kasih kepada prajurit-prajurit itu. Namun masih ada juga yang bertanya, “

“Apakah Kiai Danatirta tidak akan marah akan hal ini?”

“Tidak. Segalanya kami lakukan atas ijinnya. Bahkan pesannya sebelum ia pergi” jawab prajurit tertua itu.

Demikianlah, terjadi seperti yang dikehendaki oleh Kiai Danatirta. Namun prajurit yang marah itu masih saja berkata, “Itukah yang kalian lakukan atas nama kalian sendiri? Orang-orang itu masih bertanya juga tentang Kiai Danatirta. Bahkan mereka langsung atau tidak langsung menuduh kalian telah melampaui hak orang tua itu”

Tetapi kawan-kawannya tidak menghiraukannya. Mereka melakukannya seperti yang dimaksud oleh orang tua itu.

Dalam pada itu, maka dua orang prajurit berkuda yang membawa Rara Warih telah memasuki kota. Mereka sama sekali tidak menghiraukan, beberapa orang memperhatikan mereka dengan curiga. Apalagi karena mereka tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Namun orang yang sekuda dengan Rara Warih telah mengancam gadis itu untuk berbuat lebih jauh jika gadis itu melakukan sesuatu yang dapat menarik perhatian orang banyak.

“Jika seseorang bertanya, aku akan mengatakan bahwa aku membawa seorang gadis yang sakit” berkata penunggang kuda itu.

Rara Warih memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sadar bahwa prajurit itu dapat membunuhnya atau dapat berbuat apa saja sehingga akan mencelakainya lebih dari mati. Namun demikian, ia pun sadar bahwa di Surakarta ia akan menghadapi persoalan yang gawat. Meskipun ia tidak tahu pasti, namun ia mengerti, bahwa ayah dan kakaknya mempunyai satu sikap yang khusus terhadap kumpeni. Agaknya karena itulah maka para prajurit itu telah memburunya sampai ke padepokan Jati Aking”

Namun Rara Warih yang sadar bahwa ia adalah puteri seorang Senapati, telah berusaha menempa dirinya sendiri, sehingga ia harus tabah menghadapi segalanya. Ia tidak boleh kehilangan akal dan merengek-rengek. Tapi pada suatu saat ia harus menunjukkan sikap sebagaimana sikap seorang puteri Senapati besar dari Surakarta.....

“Aku bukan lagi gadis ingusan yang kehilangan golek mainan” berkata Rara Warih di dalam hatinya, “tetapi aku adalah seorang yang telah dewasa dan harus menghadapi semua persoalan dengan dewasa pula. Termasuk menghadapi kematian”

Rara Warih sama sekali tidak berbuat apapun juga. Karena itu, maka prajurit-prajurit itu pun tidak berbuat lebih kasar lagi kepadanya. Meskipun demikian ketika kedua orang prajurit itu berkuda di jalan-jalan kota, beberapa orang telah memandang mereka dengan penuh pertanyaan.

“Gadis apakah yang telah dibawa oleh kedua orang itu” desis salah seorang di antara mereka.

Namun ketika seseorang meludah di pinggir jalan ketika mereka melihat seorang gadis berkuda bersama seorang laki-laki, maka prajurit yang berkuda bersama Rara Warih itu berteriak, “Adikku sedang sakit parah. Ia harus dibawa ke seorang dukun yang pandai”

“O” orang yang meludah itu pun berteriak, “maaf, aku tidak tahu”

Demikianlah kedua orang prajurit itu telah membawa Rara Warih ke baraknya, ke barak pasukan berkuda.

Kedatangan mereka benar-benar telah mengejutkan beberapa orang. Gadis itu sangat cantik, sehingga beberapa orang telah mengerumuninya dengan serta merta. Namun kedua prajurit yang membawanya itu telah memberikan keterangan singkat, sehingga dengan demikian kawan-kawannya segera beringsut meninggalkannya, “Gadis ini puteri Pangeran Ranakusuma. Kami berhasil menangkapnya di padepokan Jati Aking”

Hanya beberapa orang sajalah yang kemudian berdiri di sebelah menyebelah kedua orang prajurit yang datang dari Jati Aking itu. Salah seorang perwira muda bertanya, “Kau memang luar biasa. Kau telah berhasil melakukan satu tugas yang besar. Sebaiknya gadis itu kau hadapkan kepada Panglima pasukan berkuda”

“Ya” jawab kedua prajurit itu, “aku memang akan menyerahkannya. Mungkin para pemimpin pasukan berkuda akan dapat mengambil satu sikap tertentu”

Perwira muda itu memandang Rara Warih sejenak Namun perwira itu menjadi heran dan kemudian kagum Pada wajah gadis itu sama sekali tidak terlintas perasaan cemas dan takut. Gadis itu berdiri tegak dengan sorot mata yang tajam memandangi setiap orang yang berada di sekitarnya.

“Marilah puteri” berkata prajurit berkuda itu, “Kita akan menghadap para pemimpin pasukan berkuda”

Rara Warih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah dengan langkah tetap mengikuti prajurit berkuda yang membawanya dari Jati Aking, sementara seorang yang lain berjalan di belakangnya.

Beberapa orang pimpinan tertinggi pasukan berkuda yang kemudian diberitahu bahwa dua orang prajurit akan menghadap dengan membawa puteri Pangeran Ranakusuma, telah memerintahkan memanggil mereka dan membawa puteri itu bersama mereka.

Seperti saat-saat kemudian Rara Warih memasuki ruang para pemimpin pasukan berkuda dengan wajah tengadah. Bahkan ternyata di antara mereka telah dikenalnya sebagai kawan dekat kakandanya, Raden Juwiring.

“Marilah diajeng” seorang perwira muda mempersilahkan.

Rara Warih memandang perwira muda itu yang ternyata juga seorang kawan Raden Juwiring.

Rara Warih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di sebuah tempat duduk kayu yang dialasi dengan kain beludru berwarna ungu. Seperti kain beludru yang banyak terdapat di istana Pangeran Ranakusuma.

“Diajeng” berkata perwira muda itu, “adimas Juwiring sempat membuat kami semuanya menjadi kacau di medan perang”

Rara Warih sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia tidak menundukkan kepalanya.

“Adalah satu hal yang barangkali baik bagi diajeng sendiri, bahwa dua orang prajurit telah membawa diajeng kemari” berkata perwira muda itu, “dengan demikian diajeng dapat diselamatkan dari segala macam noda perjuangan yang ada di Surakarta dalam menegakkan wibawa Kangjeng Susuhunan”

Rara Warih masih tetap diam. Sementara itu, perwira yang lain telah membawa dua orang prajurit yang berhasil menangkap Rara Warih itu ke sebuah bilik yang lain.

“Bagaimana caramu menangkap gadis itu?” bertanya seorang perwira pimpinan pasukan berkuda.

Kedua prajurit itu pun menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ternyata bahwa kedua prajurit itu belum tahu bahwa Raden Juwiring telah datang ke padepokan Jati Aking.

“Kami tidak menunggu pertempuran di padepokan itu selesai. Kami melihat orang-orang tua yang bertempur melawan kawan-kawan kami sudah tidak berdaya. Karena itu, agar segalanya dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya, maka kami berdua telah mendahului kawan-kawan kami”

“Tetapi kawan-kawan kalian itu belum datang” desis perwira itu.

“Ya. Tetapi tidak lama lagi mereka akan datang. Kiai Danatirta dan Ki Dipanala tidak akan dapat bertahan lama. Mereka sudah bertempur sambil berlari-lari ketika aku meninggalkan padepokan” jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.

“Yang kalian lakukan ternyata memberikan kemungkinan yang baik untuk menangkap Raden Juwiring. Panglima dari pasukan berkuda tentu akan berterima kasih kepadamu. Bahkan mungkin Panglima Besar yang diangkat khusus untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi, Pangeran Yudakusuma akan memberikan perhatian khusus kepadamu. Meskipun Pangeran Yudakusuma terluka cukup gawat karena senjata Pangeran Ranakusuma yang memiliki kekuatan khusus itu, namun ternyata seorang tabib berhasil mengobatinya dan menyelamatkan jiwanya. Mungkin Pangeran Yudakusuma dalam waktu dekat akan bertindak lebih jauh lagi bersama Kumpeni yang mendendam Pangeran Mangkubumi karena kekalahannya. Dan kau tahu, bahwa sebab terbesar dari kekalahan itu adalah justru pengkhianatan Pangeran Ranakusuma dan puteranya, Raden Juwiring”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun terasa kebanggaan mekar di hatinya.

“Tinggalkan Rara Warih. Kami akan memanggilmu dalam keadaan yang khusus. Kami para perwira pimpinan pasukan berkuda mengucapkan selamat atas hasil yang kau peroleh. Dengan Rara Warih sebagai umpan, maka tidak akan terlalu sulit untuk menangkap Raden Juwiring. Ia saat ini termasuk buruan yang penting bagi Surakarta dan Kumpeni”

Kedua prajurit yang berbangga itu mengangguk-angguk. Terbayang di angan-angan mereka, hadiah yang besar yang akan mereka terima dari pimpinan pasukan berkuda, atau dari Pangeran Yudakusuma sendiri dengan kenaikan pangkat dan jabatan, atau gemerincingnya uang dari Kumpeni.

“Sekali-sekali aku ingin juga duduk di atas tempat duduk beludru di rumah, dan memberikan kain sutera yang halus kepada isteriku” berkata prajurit itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, di ruang lain, seorang perwira yang sudah berambut putih telah memanggil Rara Warih menghadap seorang diri. Demikian Rara Warih memasuki ruangan itu, maka perwira berambut putih itu pun dengan tergesa-gesa berdiri dan menyorongkan tempat duduk kepada Rara Warih.

“Marilah, marilah ngger” perwira itu mempersilahkan.

“Paman Tumenggung” desis Rara Warih yang sudah mengenal perwira berambut putih itu.

Tumenggung yang berambut putih yang terkenal dengan sebutan Tumenggung Watang itu tersenyum sambil menjawab, “Ya ngger. Tentu angger mengenal aku dengan baik. Aku adalah salah seorang prajurit yang pernah berada di bawah pimpinan ayahanda puteri, Pangeran Ranakusuma. Aku kagum akan kemampuan ayahanda puteri itu. Sehingga sebenarnyalah di peperangan Pangeran Ranakusuma adalah guruku”

Rara Warih tidak menjawab. Tetapi seperti saat ia memasuki barak itu, ia sama sekali tidak menundukkan kepalanya.

“Tetapi puteri, pada saat terakhir, telah terjadi perubahan sikap Pangeran Ranakusuma dan juga Raden Juwiring. Nampaknya pengaruh persoalan pribadi pada Pangeran Ranakusuma itu demikian besarnya sehingga Pangeran Ranakusuma mengambil satu keputusan yang sangat mencemaskan bagi seluruh Surakarta ” berkata Tumenggung yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Watang.

Rara Warih masih tetap berdiam diri. Namun dalam pada itu, sejenak Tumenggung Watang itu pun terdiam. Dipandanginya gadis yang duduk di hadapannya dengan wajah tengadah. Sama sekali tidak menunjukkan kecemasan meskipun ia sudah berada di dalam satu lingkungan yang berbahaya baginya.

Namun dalam pada itu, ternyata Tumenggung Watang mengemban satu tugas yang sangat berat baginya. Menurut pertimbangan para perwira pasukan berkuda, Rara Warih nampaknya belum tahu apa yang telah terjadi di peperangan. Berita gugurnya Pangeran Ranakusuma yang sudah sampai pada pimpinan pasukan berkuda dan seluruh prajurit Surakarta, agaknya masih belum diketahui oleh puterinya. Dan tugas untuk memberitahukan hal itu telah diserahkan kepada seorang perwira yang usianya sudah melampaui pertengahan abad.

“Apakah benar Rara Warih masih belum mengetahui, bahwa ayahandanya telah gugur?” bertanya Tumenggung Watang itu di dalam hatinya.

Namun bagaimanapun juga puteri itu harus diberi tahu. Kemudian ia akan tetap berada di dalam kekuasaan para prajurit meskipun dalam keadaan yang barangkali harus dipertimbang-kan sesuai dengan keadaannya. Karena gadis itu akan dapat dipergunakan untuk memanggil Raden Juwiring yang merupakan buruan bagi Surakarta.

Baru sejenak kemudian. Tumenggung Watang itu berkata, “Angger, bahwa angger telah bersedia kembali ke Surakarta agaknya telah membuat kami menjadi lebih tenang. Sebenarnyalah kami kawatir, bahwa angger akan mengalami keadaan yang sangat pahit, karena angger telah meninggalkan Surakarta. Mungkin angger telah dibujuk oleh pemomong angger yang bernama Ki Dipanala itu. Namun sebenarnyalah hal itu tidak akan menguntungkan bagi angger. Apalagi bagi masa depan angger. Bukankah masih ada ibunda yang akan dapat mengasuh puteri dengan kasih seorang ibu”

Rara Warih memandang wajah Tumenggung itu sejenak. Namun sama sekali tidak nampak kesan khusus di wajahnya. Sehingga dengan demikian maka Tumenggung Watang itu pun menganggap bahwa Rara Warih memang masih belum mengetahui bahwa ayahandanya telah gugur.

“Karena itu puteri” berkata Tumenggung Watang, “untuk sementara puteri akan mendapat pengawalan khusus bagi keselamatan puteri, karena mungkin sekali para abdi di Ranakusuman akan mendendam puteri yang mereka anggap telah berkhianat terhadap ayahanda. Tetapi jangan cemas. Baru kemudian setelah keadaan menjadi semakin baik, puteri akan kami serahkan kembali kepada ibunda, karena saat ini, ibunda angger itu adalah satu-satunya orang tua yang masih ada”

Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia tidak bertanya tentang keterangan Tumenggung Watang bahwa ibundanya adalah satu-satunya orang tuanya, yang menurut tangkapan Rara Warih karena ayahandanya tidak lagi berada di kota. Tetapi yang dikatakan kemudian oleh Rara Warih telah membuat Tumenggung Watang menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Paman Tumenggung” berkata Rara Warih, “Kenapa paman tidak berkata berterus terang. Aku akan menjadi tawanan karena ayahanda dianggap berkhianat bersama kakanda Juwiring. Mungkin aku akan dapat dipergunakan untuk memancing dan kemudian menangkap ayahanda dan kakanda Juwiring. Dengan mengancam akan membunuh aku atau memperlakukan aku dengan kasar, maka paman dan barangkali juga Senapati yang lain mengharap ayahanda atau kakanda Juwiring bersedia untuk datang menghadap”

Tumenggung Watang memandang Rara Warih dengan tatapan mata yang redup. Namun kekaguman telah merayap di dadanya. Rara Warih telah mencerminkan ketajaman perasaan seperti juga ayahandanya.

“Jangan berprasangka terlalu buruk, ngger” jawab Ki Tumenggung.

“Tidak paman. Yang aku katakan bukan sekedar prasangka. Aku tahu pasti paman dan para Senapati akan berbuat demikian, karena aku bukan lagi anak-anak yang sama sekali tidak tahu menahu apa yang pernah dilakukan oleh para prajurit. Tetapi paman” berkata Rara Warih lebih lanjut, “paman tidak akan berhasil berbuat demikian. Ayahanda dan kakanda Juwiring pun berjiwa prajurit. Jangankan aku anaknya yang tidak berarti apa-apa, sedangkan dirinya sendiri pun jika perlu akan dikorbankan. Karena itu, jangan berharap bahwa aku akan dapat dipergunakan untuk memancing mereka agar mereka menyerah. Ayahanda dan kakanda Juwiring akan mempunyai pertimbangan seorang prajurit. Bukan pertimbangan seorang ayah dan seorang kakak yang cengeng”

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Katanya seolah-olah bergumam kepada diri sendiri, “Aku sudah menduga, bahwa sikap angger mencerminkan sikap ayahanda puteri”

Rara Warih mengerutkan keningnya. Namun ketika ia memandang wajah Ki Tumenggung Watang, justru Rara Warih lah yang menjadi heran. Tatapan mata Tumenggung yang berambut putih itu nampaknya menjadi buram. Bahkan ia masih saja bergumam, “Angger Warih, bagaimanapun juga aku tetap menganggap bahwa Pangeran Ranakusuma adalah guruku di peperangan. Pangeran Ranakusuma lah yang mengusulkan untuk mengangkat aku menjadi Tumenggung sebelum aku dipindahkan untuk menjadi orang terpenting dalam pasukan berkuda di Surakarta sekarang ini”

Rara Warih tidak menjawab. Sementara Tumenggung Watang berkata seterusnya, “Karena itu ngger, duka yang terjadi di Ranakusuman adalah dukaku, lepas dari apa yang pernah dilakukan oleh Pangeran Ranakusuma pada saat terakhir”

Rara Warih mengerutkan keningnya. Tetapi terasa hatinya berdesir lembut, “Apa yang sebenarnya ingin paman katakan?”

“Maaf ngger, bahwa aku telah mengetahui sejauh-jauhnya, apa yang telah terjadi di dalam lingkungan keluarga angger, justru karena sikap ayahanda angger itu sendiri” desis Ki Tumenggung.

Rara Warih termangu-mangu sejenak. Sementara Tumenggung Watang berkata selanjutnya, “Maaf ngger. Bukan maksudku mencampuri persoalan keluarga Ranakusuman. Bukan pula karena aku didorong oleh sifat ingin tahu. Tetapi keterangan yang aku cari dalam waktu singkat ini justru untuk dapat mengambil satu kesimpulan yang benar, tentang apa yang telah terjadi. Aku telah menghubungi beberapa orang termasuk beberapa perwira kumpeni yang mengetahui latar belakang sikap ayahanda angger terhadap kumpeni itu.

“Cukup” potong Warih, “paman ingin mengungkap rahasia keluargaku untuk melemahkan hatiku. Paman tidak akan dapat memeras aku. Jika paman menghendaki sesuatu dari padaku dengan mempergunakan rahasia itu untuk memeras, maka paman tidak akan berhasil Silahkan mengumumkan apa yang telah paman ketahui. Aku, ayahanda Ranakusuma dan kakanda Juwiring tidak akan berkeberatan. Bahkan ibunda juga tidak akan berkeberatan sama sekali, karena jika benar paman mengetahui keadaan keluargaku sebaik-baiknya, ibunda telah kehilangan kesadarannya”

“Tidak puteri. Bukan begitu” sahut Tumenggung Watang, “sudah aku katakan ngger. Duka di istana Ranakusuman adalah dukaku sekeluarga. Apakah angger tidak ingat lagi anak gadisku yang sebaya dengan angger, yang bahkan menurut penglihatanku, angger telah mengenal anak itu dengan baik. Bahkan angger bersikap terlalu baik ia terhadapnya”

“Apa hubungannya dengan anak gadis paman” bertanya Warih.

“Tidak ada ngger” jawab Tumenggung Watang, “tetapi sebagai seorang ayah yang mempunyai seorang anak gadis yang sebaya dengan angger, maka aku tidak akan pernah dapat melepaskan ingatanku terhadap anak gadisku pada saat-saat seperti ini. Bahkan aku membayangkan, seandainya yang terjadi atas angger ini terjadi atas anak gadisku, maka anak itu tentu sudah pingsan, dan barangkali ia akan mati membeku”

Rara Warih memandang Ki Tumenggung dengan tenang. Namun ia masih menunggu Tumenggung Watang meneruskan kata-katanya, “Puteri, betapa beratnya untuk mengatakan kepada puteri, bahwa duka itu datang bagaikan datangnya gelombang laut. Susul menyusul tidak henti-hentinya. Aku tahu, betapa berat duka yang akan angger tanggungkan, namun aku memang harus mengatakannya. Tetapi aku yakin, bahwa angger adalah seorang puteri Senapati Besar yang darahnya mengalir di tubuh angger meskipun angger seorang puteri”

Denyut jantung Rara Warih bertambah cepat berdetak. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Puteri, aku berkata dengan sebenarnya sebagaimana aku berhadapan dengan, anakku sendiri. Sebenarnyalah bahwa ayahanda puteri, tidak akan dapat puteri jumpai lagi untuk selama-lamanya”

“Paman” wajah Warih menegang sejenak.

“Terimalah kabar ini sebagaimana puteri tabah menghadapi keadaan puteri sendiri” desis Tumenggung Watang, “Ayahanda puteri, Pangeran Ranakusuma sudah gugur di peperangan”

Wajah Rara Warih menjadi semakin tegang. Tiba-tiba saja ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

Betapapun puteri itu tabah menghadapi kenyataan hidupnya, namun ketika ia mendengar, bahwa ayahandanya telah gugur di pertempuran, hatinya bagaikan runtuh di dalam dadanya. Rara Warih tidak berhasil menahan air matanya yang mengalir semakin deras dari sepasang matanya.

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat Rara Warih menangis, maka matanya pun menjadi panas. Ia adalah seorang Senapati pilihan seperti beberapa orang Senapati lainnya di Surakarta. Tetapi seperti yang dikatakannya, setiap kali, ia teringat akan anak gadisnya yang sebaya dengan Rara Warih. Jika anak gadisnya itulah yang harus mengalami keadaan seperti yang dialami Rara Warih. mungkin jiwanya akan sudah terganggu.

“Puteri” berkata Ki Tumenggung kemudian, “Puteri adalah seorang gadis yang sangat tabah, karena ketabahan hati ayahanda puteri mengalir pula di dalam diri puteri. Ayahanda adalah seorang Senapati yang justru akan mendapat kehormatan apabila ia gugur di pertempuran. Selebihnya, segalanya memang harus diserahkan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang. Jika ayahanda memang sudah saatnya dipanggil, maka dimanapun juga ia berada, maka akan datang pula saat untuk menghadap itu”

Rara Warih mencoba mengusap air matanya. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Dengan sorot mata yang menyala ia berkata lantang, “Paman bohong. Ayah tidak gugur di pertempuran itu. Paman ingin berbuat sesuatu atasku. Mungkin paman ingin mendengar keterangan apapun juga yang paman sangka aku sudah mengetahuinya. Semula paman ingin memeras aku dengan rahasia keluargaku. Tetapi karena paman tidak berhasil, sekarang paman mencoba untuk mempengaruhi perasaanku dengan mengabarkan ceritera bohong itu”

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Sikap Rara Warih itu membuatnya semakin prihatin. Meskipun ia mengerti, bahwa Rara Warih tidak akan mempercayai siapapun juga yang dianggapnya berdiri berseberangan dengan ayahanda dan kakandanya, namun jika dalam hal ini Rara Warih tidak mempercayainya, maka pada suatu saat, kenyataan itu akan dapat membenturnya lebih parah lagi.

Karena itu, maka Tumenggung itu pun kemudian berkata sareh, “Angger. Apakah keuntunganku dengan berbohong kepada angger tentang hal yang satu ini”

“Paman ingin memaksa aku untuk mengikuti segala perintah paman. Dengan berita bohong itu paman berharap bahwa aku akan menjadi putus asa dan tidak lagi mempunyai hasrat apapun juga. Dengan demikian apa yang paman inginkan, mungkin keterangan, mungkin sikap tertentu, akan selalu aku lakukan” sahut Rara Warih.

“Tidak ngger” berkata Tumenggung itu lebih lanjut, “meskipun angger dapat saja menganggap bahwa aku tidak berpihak kepada Pangeran Ranakusuma, tetapi masih ada perasaanku untuk tidak berbohong dalam hal yang satu ini. Prajurit Surakarta sudah meyakinkan, bahwa ayahanda puteri telah gugur, sampyuh dengan Tumenggung Sindura dan Pangeran Yudakusuma yang bertempur bersama-sama. Namun jiwa Pangeran Yudakusuma ternyata masih dapat tertolong.

Rara Warih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Tumenggung Watang berkata pula, “Angger terlalu berprasangka. Mungkin angger dapat menganggap aku sebagai musuh karena dalam satu dan dua hal aku tidak sejalan dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring. Tetapi dalam pada itu, dalam hal ini dihadapan angger Warih aku adalah orang tua yang barangkali masih dapat dipercaya”

Rara Warih memandang Tumenggung itu dengan mata. yang basah. Namun melihat sikap dan pandangan mata orang tua itu, akhirnya Rara Warih mempercayainya, bahwa ayahandanya memang sudah gugur di peperangan.

Air mata gadis itu mengalir semakin deras di pipinya. Dalam pada itu terdengar di antara isaknya pertanyaan, “Apakah paman mengetahui nasib kakanda Juwiring”

Tumenggung Watang menggeleng lemah. Katanya, “Aku tidak mengetahui nasibnya ngger. Tetapi tidak seorang pun yang melaporkan bahwa Raden Juwiring mengalami cidera. Mungkin Raden Juwiring berhasil bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi yang pada saat itu telah hadir pula di medan pertempuran. Lepas dari setuju atau tidak setuju, namun aku kagum akan kerapian rencana Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring”

“Dan paman tidak setuju?” tiba-tiba saja Rara Warih bertanya. Pertanyaan yang tidak diduga sama sekali oleh Tumenggung Watang justru pada saat Rara Warih dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa ayahandanya telah gugur.

Tumenggung Watang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kadang-kadang kita memang mempunyai pilihan yang berbeda ngger. Tetapi perbedaan itu wajar sekali. Mungkin karena atas tempat kita masing-masing berdiri sudah berbeda. Tetapi mungkin pula karena gambaran kita masing-masing tentang masa depanlah yang berbeda” Ki Tumenggung berhenti sejenak lalu, “Tetapi sudahlah. Rasa-rasanya dadaku tidak lagi pepat. Aku sudah berhasil menyampaikan berita itu kepadamu ngger, betapapun beratnya. Bagiku kau tetap aku anggap sebagai anakku sendiri. Bahkan aku merasa iri melihat sikap dan ketabahan hati angger yang jauh berbeda dengan anak gadisku sendiri yang sebaya dengan angger”

“Lalu, apakah yang akan paman lakukan atasku? Menahan aku atau menyerahkan aku kepada kumpeni yang akan memerintahkan memasang wara-wara di sepanjang jalan, bahwa Warih, anak gadis Pangeran Ranakusuma sudah tertangkap. Karena itu maka Kumpeni memerintahkan Raden Juwiring untuk datang dan menyerah. Kalau tidak Warih akan dipancung di alun-alun dan kepalanya akan ditanjir di regol Ranakusuman, begitu?” geram Rara Warih sambil mengusap matanya yang basah.

“Jangan begitu ngger” jawab Tumenggung Watang, “kami memang harus melindungi puteri segala dendam mereka yang merasa dikhianati oleh Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring”

“Paman memakai istilah yang salah. Bukan dilindungi, tetapi ditahan untuk kepentingan tertentu” potong Warih.

Tumenggung Watang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ngger. Aku akan memakai istilah itu. Angger untuk sementara memang harus ditahan. Tetapi percayalah, bahwa aku merasa angger sebagai anakku sendiri”

Rara Warih memandang wajah Tumenggung Watang sejenak. Namun kemudian katanya, “Paman akan menganggap aku sebagai puteri paman. Tetapi sudah tentu paman pun akan bersikap sebagai seorang prajurit”

“Bagaimana dengan sikap seorang prajurit?” bertanya Tumenggung Watang.

“Paman akan memperlakukan semua orang sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut angger-angger keprajuritan. Meskipun akan mengenai anak sendiri sekalipun” jawab Warih, “dan paman pun akan mengetrapkannya kepadaku yang paman perlakukan sebagai anak sendiri”

Tumenggung Watang mengangguk-angguk. Katanya, “Puteri sudah dilambari dengan prasangka buruk terhadap semua orang yang tidak berpihak kepada Pangeran Mangkubumi, atau yang tidak sejalan dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Juwiring. Tetapi hal itu memang dapat aku mengerti Meskipun demikian sikapku tidak akan berubah”

Rara Warih tidak menjawab. Namun setiap kali ia memandang wajah Tumenggung Watang, maka terbersit di dalam hatinya, sebenarnyalah Tumenggung itu berkata dengan tulus kepadanya.

“Puteri” berkata Tumenggung itu kemudian” sekarang, apaboleh buat. Jika puteri lebih senang mempergunakan istilah ditahan. Maka puteri akan aku tahan di dalam tahanan khusus yang akan dijaga sebaik-baiknya. Puteri akan diperlakukan sebagaimana seharusnya dan tidak akan mengalami tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya”

Rara Warih tidak menjawab. Sejenak kemudian. Tumenggung Watang itu pun bertepuk tangan. Dua orang perwira muda memasuki bilik itu dan berdiri tegak menunggu perintah.

“Rara Warih harus mendapat perlakuan yang baik” berkata Tumenggung Watang, “meskipun ia harus ditahan dan barangkali Pangeran Yudakusuma sendiri akan bertemu dengan puteri itu, namun segalanya harus dapat dipertanggung jawabkan. Aku akan melihatnya setiap saat”

“Baik Ki Tumenggung” jawab salah seorang dari perwira muda itu.

Demikianlah maka Rara Warih dibawa keluar dari bilik itu. di ruang yang lebih luas Rara Warih hanya melintas saja tanpa berhenti. Beberapa orang perwira yang berada di ruang itu memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Kecuali kecantikan wajah Rara Warih, perwira-perwira itu pun mengetahui, bahwa gadis itu adalah adik Raden Juwiring, salah seorang perwira yang disegani dari pasukan berkuda, namun yang ternyata telah berkhianat terhadap pasukannya.

Demikian Rara Warih keluar pintu dan turun tangga, maka sebuah kereta telah menunggunya.

“Silahkan puteri” perwira itu mempersilahkan, “kami harus mengantar puteri”

“Kemana?” bertanya Rara Warih.

“Pada saatnya puteri akan mengetahuinya” jawab perwira itu.

Rara Warih tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian masuk ke dalam kereta itu diikuti oleh kedua orang perwira muda yang duduk di sebelah menyebelah. Sementara itu, seorang sais sudah siap untuk membawa kereta itu ke tujuan”

Sejenak kemudian kereta itu pun mulai berderap. Rara Warih sama sekali tidak bertanya lagi. Ketika kereta itu keluar dari halaman barak pasukan berkuda, Rara Warih mulai mengenal jalan-jalan kota yang sering dilaluinya.

Rara Warih sama sekali tidak dilarang untuk melihat ke luar. Melihat jalan yang dilaluinya. Karena itulah maka Rara Warih tahu pasti arah perjalanan kereta itu.

Semakin lama ia berkereta ia menjadi semakin berdebar-debar. Ia kenal dengan pasti arah yang dilaluinya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak bertanya. Ia tetap berteka-teki di dalam hatinya sendiri.

Namun akhirnya Rara Warih tidak dapat menahan diri lagi. Ketika kereta ia berbelok memasuki sebuah regol istana yang berhalaman luas, maka ia pun berdesis, “Ranakusuman”

“Ya puteri. Ini adalah istana Ranakusuman” jawab salah seorang dari kedua orang perwira itu.

“Untuk apa aku dibawa kemari?” bertanya gadis itu.

“Untuk sementara puteri dimohon untuk tinggal di sini” jawab salah seorang dari perwira muda itu.

Wajah Rara Warih menjadi tegang. Ketika kereta itu kemudian berhenti di halaman, maka jantung gadis itu menjadi berdentangan.

“Nampaknya istana ini sudah dipergunakan untuk satu keperluan” berkata Rara Warih di dalam hatinya.

Namun ia tidak perlu bertanya tentang hal itu. Perwira muda yang duduk di sampingnya itu pun berkata, “Puteri. Istana Ranakusuman sekarang dipergunakan untuk kepentingan pasukan berkuda. Pimpinan tertinggi pasukan berkuda itu berada di sini”

“Siapakah pemimpin tertinggi itu?” bertanya Rara Warih.

“Pimpinan itu sekarang dijabat oleh Tumenggung Watang. Bahkan ia sudah berniat untuk tinggal di istana ini. Tidak untuk memilikinya, dan sudah barang tentu tidak di Dalem Ageng. Tumenggung Watang mengatakan kepada kami agar kami membersihkan gandok sebelah kiri, yang akan dipergunakannya bersama keluarganya yang kecil, agar dengan demikian ia akan dapat menjalankan tugasnya setiap saat. Justru dalam keadaan yang gawat ini”

Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah Tumenggung Watang sudah berada di istana ini?”

“Belum puteri. Sebagaimana puteri tahu, ia masih berada di barak bersama kami. Istana ini baru kami buka pagi ini. Dan semuanya itu baru rencana. Juga rencana Tumenggung Watang tinggal di sini. Itu pun jika ada ijin dari Kangjeng Susuhunan dan Panglima yang sekarang sedang memimpin perlawanan terhadap Pangeran Mangkubumi.

Rara Warih mengangguk-angguk. Segalanya telah berubah. Tentu baru semalam atau menjelang pagi hari ayahandanya gugur, karena ia tahu ayahandanya dan kakandanya, berada dalam pasukan yang akan menggempur Pangeran Mangkubumi. Sementara itu ayahandanya dan kakandanya Juwiring memang bertekad untuk berbalik melawan kumpeni jika mereka sudah berada di medan.

Dalam pada itu, di tangga istana Ranakusuman, dua orang prajurit turun menyongsong. Agaknya mereka sudah diberi tahu, apa yang harus mereka lakukan.

Demikian Rara Warih turun dari kereta, maka dua orang prajurit itu mengangguk hormat.

Perwira muda yang membawa Rara Warih dengan kereta itu pun kemudian menyerahkan gadis itu kepada kedua prajurit yang sudah menunggunya.

“Puteri” berkata salah seorang perwira muda itu, “untuk sementara puteri dipersilahkan tinggal di istana puteri sendiri”

Rara Warih tidak menyahut. Ia sadar, bahwa ia telah ditahan di bekas rumahnya sendiri. Dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya kemudian.

Kedua prajurit itu telah mempersilahkan Rara Warih masuk ke ruang di sebelah gandok kanan, di dalam seketheng.

Dan sadarlah Rara Warih bahwa tempat itu akan menjadi bangsal tahanan baginya untuk sementara. Ia kenal benar dengan ruangan itu. Dan ia pun tahu, bahwa ruangan itu hanya mempunyai satu pintu, sehingga bagi pengawasnya, akan selalu dapat memperhatikan siapa saja yang, keluar masuk bilik itu.

Ketika Rara Warih memasuki bilik itu. dilihatnya bilik itu tetap bersih seperti saat ditinggalkannya kemarin. Namun Rara Warih pun kagum melihat kecepatan gerak pasukan Surakarta. Seolah-olah segalanya telah terjadi dan direncanakan berhari-hari sebelumnya. Sementara itu Rara Warih pun mengetahui, bahwa yang terjadi itu tentu dilakukan dengan tiba-tiba.

Beberapa saat Rara Warih mengamati Barang-barang yang ada di dalam bilik itu. Tidak ada yang hilang, bahkan tidak ada yang bergeser dari tempatnya.

Rara Warih terkejut ketika ia mendengar, pintu berderit. Seorang emban memasuki ruangan itu dan langsung duduk di sebelah pintu. Sambil menunduk hormat emban itu berkata, “Puteri. Ampun bahwa aku berada di Ranakusuman baru mulai hari ini dengan perintah untuk melayani puteri. Ampun puteri, jika berkenan di hati puteri, segala perintah akan aku junjung”

“Siapa kau?” bertanya Rara Warih”

“Aku adalah seorang emban dari katumenggungan, Aku adalah seorang abdi Tumenggung Watang yang mendapat perintah untuk melayani puteri” jawab emban itu.

Tetapi Rara Warih menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah, Mungkin aku memerlukanmu. Tetapi bukan kebiasaan seorang emban di istana ini untuk membawa patrem seperti yang kau lakukan. Aku tidak tahu, apakah kebiasaan itu ada di istana paman Tumenggung Watang, atau kau adalah seorang prajurit perempuan yang harus mengawasi aku di sini? Atau setiap perempuan di Surakarta sekarang memang telah bersedia patrem agar jika pasukan paman Mangkubumi memasuki Surakarta kita semuanya akan membunuh diri”

Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia dapat menjawab, “Ampun puteri. Dalam keadaan yang gawat ini segalanya memang dapat terjadi, Dan karena itu agaknya, kami para emban diperintahkan untuk membawa patrem yang aku sendiri tidak tahu gunanya”

Rara Warih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah emban. Aku percaya kepadamu. Mungkin aku memerlukan banyak pertolonganmu, karena aku adalah seorang tahanan di rumah ini. Bukan lagi sebagai seorang gadis yang tinggal di rumahnya sendiri”

“Sebaiknya puteri tidak merasa demikian. Agar puteri tidak mengalami tekanan batin, anggaplah puteri berada di istana sendiri seperti hari-hari kemarin. Apa yang puteri perlukan akulah yang akan melayaninya” jawab emban itu, “sebentar lagi akan aku bawa pakaian puteri yang berada di ruang dalam. Pakaian yang tidak sempat puteri bawa ketika puteri meninggalkan istana ini”

“Nah, apakah dengan cara itu aku akan dapat merasa di rumah sendiri?” bertanya Rara Warih.

“Bukankah ada aku, yang akan dapat puteri perintahkan apa saja?” emban itu menjadi heran.

“Jika benar aku harus merasa di rumah sendiri, biarlah aku mengambil sendiri apa yang aku perlukan seperti yang selalu aku lakukan sebelumnya” berkata Rara Warih.

“Itu tidak perlu puteri. Karena sekarang ada aku. Puteri dapat memerintah apa saja yang puteri kehendaki”? sahut emban itu.

Rara Warih tertawa betapapun pahitnya. Katanya, “Karena itu, jangan kelabui aku seperti kanak-kanak emban. Katakan sajalah bahwa aku harus menurut segala ketentuan yang dibuat oleh orang-orang yang berkuasa di sini, dan kau adalah seorang prajurit perempuan yang harus mengawasi aku. Tetapi aku berterima kasih bahwa kau sudah bersedia berlaku seperti seorang emban yang akan melayani aku. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku akan berbuat terlalu kasar pada suatu saat, sebagaimana aku berbuat terhadap emban yang sebenarnya”

Emban itu menarik nafas panjang. Dipandanginya Rara Warih sejenak. Kemudian katanya, “Puteri mempunyai tanggapan yang sangat tajam. Tetapi puteri sangat menyenangkan. Puteri mengatakan apa yang tersirat di hati puteri. Dengan demikian maka keterbukaan hati puteri akan mempermudah pelayananku terhadap puteri”

“Aku terbiasa dengan sikap ini” desis Rara Warih.

“Justru karena itu, sebaiknya aku tidak usah ingkar tentang diriku sendiri. Tetapi aku mohon puteri dapat menganggap aku sebagai sebenarnya emban disini. Jangan segan dan jangan merasa aku orang lain” berkata emban itu.

“Baiklah. Tetapi apakah kau mengetahui, dimanakah para abdi di Ranakusuman ini?” bertanya Rara Warih.

“Keluarga Ki Dipanala telah pergi. Dan ini sudah puteri ketahui. Yang lain pun telah meninggalkan istana ini pula. Masih ada dua orang abdi yang tinggal. Seorang juru taman dan seorang juru madaran, yang agaknya tidak mempunyai keluarga lain lagi di padesan” jawab emban itu.

Rara Warih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun bergumam, “Kasihan mereka yang harus tercerai berai” Lalu ia pun bertanya, “bagaimana caraku untuk memanggilmu?”

“Aku berada di bilik sebelah, puteri, Puteri dapat langsung memanggil aku. Aku tentu mendengarnya. Gebyok ini tidak terlalu rapat sehingga tidak akan dapat menyekat suara serapat-rapatnya”

“O” Rara Warih mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia menjadi semakin yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya emban itu adalah seorang prajurit yang dengan sengaja di tempatkan di sebelah biliknya untuk mengawasinya.

“Puteri” berkata orang yang menyebut dirinya emban itu, “aku tidak seorang diri. Tetapi aku berdua dengan seorang emban yang masih muda, meskipun masih lebih tua dari puteri. Emban itu pandai bermain gatheng dan dakon. Mungkin ia akan dapat menjadi kawan puteri”

“O” Rara Warih mengangguk-angguk, “dimana ia sekarang?”

“Ia baru berada di belakang puteri. Sebentar lagi ia akan menghadap. Perlakukan ia seperti puteri memperlakukan aku, seorang emban” berkata perempuan itu.

“Emban yang muda itu juga membawa patrem?” bertanya Warih.

Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Tidak. Tidak puteri. Ia tidak membawa patrem”

“Bagus. Sebab patrem sebenarnya adalah alat untuk membunuh diri. Jika emban muda itu membawanya, maka aku ingin meminjamnya barang sebentar” berkata Rara Warih.

Tetapi emban itu menjawab, “Puteri. Aku yakin, bukan watak puteri untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Puteri adalah seorang yang sangat tabah dan berani”

“Kau memuji aku” Rara Warih tersenyum masam.

“Tidak puteri. Bukan maksudku. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya” jawab emban itu, lalu, “Sudahlah puteri, aku akan kembali ke dalam bilik. Biarlah kawanku yang muda itu datang menghadap sambil membawa dakon dan kecik”

“Bawa kelungsu. Aku lebih senang mempergunakan kelungsu” jawab Warih.

Perempuan itu pun kemudian beringsut dan keluar dari bilik Rara Warih. Setelah menutup pintu dari luar, maka ia pun melangkah ke pintu bilik di sampingnya. Namun tiba-tiba saja langkahnya berhenti. Dipandanginya pintu bilik yang tertutup.

Seorang prajurit muda yang mengawasinya dari kejauhan mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana pendapat bibi?”

“Ia anak yang sangat baik” jawab perempuan yang menyebut dirinya seorang emban itu, “aku senang terhadapnya. Namun ia akan dapat juga berbahaya. Tetapi justru karena itu aku tertarik untuk merawatnya. Ternyata seperti yang dipesankan oleh beberapa orang bahwa puteri itu memiliki sifat-sifat ayahandanya. Cerdas, tanggapannya tajam dan agaknya juga keras hati, meskipun nampak juga sifat-sifatnya yang manja”

“Gadis itu cantik sekali” desis prajurit muda itu.

“Ya. Karena itu bekerjalah dengan baik, agar kau cepat menjadi seorang Tumenggung. Kau akan dapat melamarnya” desis perempuan itu sambil tersenyum.

“Sampai ubanan aku tidak akan dapat menjadi Tumenggung” jawab prajurit muda itu.

Perempuan yang menyebut dirinya emban itu tersenyum. Katanya, “Siapa tahu nasib seseorang” namun kemudian, “tetapi kau jangan mengganggu momonganku itu. Aku senang kepadanya. Dan aku akan menjaganya baik-baik”

“Agar ia tidak melarikan diri” potong prajurit muda itu.

“Tidak. Ia tidak akan melarikan diri. Tetapi aku akan menjaganya seperti aku benar-benar seorang emban. Karena aku memang senang kepadanya”

Prajurit muda itu tidak menjawab lagi. Namun sejenak kemudian, maka ia pun segera meninggalkan perempuan yang juga melanjutkan langkahnya kembali ke biliknya.

Dalam pada itu, ternyata di barak para prajurit berkuda beberapa orang perwira menjadi cemas, bahwa kawan-kawan prajurit berkuda yang berhasil membawa Rara Warih itu belum kembali. Menurut laporan kedua orang prajurit yang membawa Rara Warih, maka nampaknya kawan-kawannya akan dapat segera menyelesaikan tugasnya. Mereka akan segera. dapat menangkap Kiai Danatirta dan Ki Dipanala, hidup atau mati.

Dalam kegelisahan itu. maka seorang perwira telah memanggil kedua orang yang membawa Rara Warih itu menghadap.

“Kita akan mendapat hadiah” desis salah seorang dari mereka,

“Ya. Dan kenaikan pangkat” jawab yang lain.

“Dan hadiah uang atau barang-barang berharga dari Kumpeni” berkata yang pertama.

Keduanya tertawa. Mereka memang benar-benar menantikan untuk mendapat hadiah berupa apapun juga. Derajat, pangkat atau uang atau apapun karena mereka merasa telah berjasa dapat menangkap Rara Warih yang akan sangat besar artinya bagi usaha penangkapan Raden Juwiring jika ia masih hidup.

Tetapi ketika keduanya memasuki sebuah ruangan, yang ada di dalam ruangan itu hanyalah seorang perwira muda yang berwajah muram.

“Bagaimana dengan kawan-kawanmu” perwira itu langsung bertanya kepada kedua orang prajurit Itu.

Kedua orang prajurit itu sudah mulai kecewa. Nampaknya mereka tidak akan demikian cepatnya menerima hadiah. Yang ditanyakan oleh perwira muda itu justru kawan-kawannya.

“Menurut penilaianku, pekerjaan mereka tidak terlalu berat” jawab salah seorang prajurit itu, “mereka bertujuh melawan dua orang tua-tua yang tidak berarti”

“Kenapa hanya tujuh?” bertanya perwira itu.

“Aku berdua, sedang seorang di antara kami terluka” jawab salah seorang dari kedua prajurit itu.

“Kenapa seorang kawanmu terluka? Jika pekerjaan itu tidak terlalu berat, maka tentu tidak akan ada kawanmu yang terluka” berkata perwira muda itu.

Kawanku itu terlalu lengah. Ia menganggap kedua orang tua itu tidak akan berdaya sama sekali untuk melawannya. Akhirnya tubuhnyalah yang terkoyak oleh senjata. Namun kemudian pemimpin kami memerintahkan semuanya bertempur melawan kedua orang itu, kecuali kami berdua yang diperintahkan untuk meneliti keadaan padepokan. Pertempuran tidak berlangsung terlalu lama ketika kedua orang itu melarikan diri keluar padepokan yang kemudian dikejar oleh ketujuh orang di antara kami. Sebenarnyalah menurut perhitungan kami keduanya akan segera dapat diselesaikan”

Perwira muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jadi apakah menurut perhitunganmu, mereka seharusnya sudah kembali saat ini?”

“Ya. Menurut perhitunganku, mereka harus sudah kembali sekarang ini” jawab salah seorang dari kedua orang itu.

Perwira itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah mungkin ada orang lain yang ikut campur dalam persoalan ini?”

“Laskar Pangeran Mangkubumi?” bertanya salah seorang prajurit itu.

“Mungkin laskar Pangeran Mangkubumi, tetapi mungkin juga laskar Raden Mas Said” jawab perwira muda itu.

“Memang mungkin mereka bertemu di perjalanan atau mungkin laskar itu tersesat di padepokan” berkata prajurit itu, “tetapi nampaknya tidak mungkin. Mereka masih sibuk untuk menarik diri dari daerah pertempuran”

“Kau pun menganggap mereka tidak berdaya” jawab perwira muda itu, “baiklah, kita menyiapkan sekelompok prajurit berkuda untuk melihat mereka. Kita akan membawa pasukan yang kuat dengan beberapa orang penghubung yang akan dapat melakukan tugas dengan cepat jika terjadi sesuatu di perjalanan”

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang bertanya, “Jadi, siapa sajakah yang akan pergi?”

“Aku akan membawa dua puluh lima orang, termasuk kau berdua” jawab perwira muda itu.

Kedua prajurit itu menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka tidak segera menerima hadiah, tetapi justru tugas yang cukup berat. Perjalanan ke Jati Aking bukan perjalanan yang sangat panjang. Namun kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi di sepanjang jalan.

Nampaknya perwira muda itu melihat keseganan pada sikap orang itu. Karena itu maka katanya, “Kalian adalah penunjuk jalan yang paling baik”

Hampir di luar sadar salah seorang menjawab, “Hampir setiap prajurit berkuda pernah melihat Padepokan Jati Aking”

“Kalian berdualah yang baru saja datang dari padepokan itu. Oleh karena itu, kalian aku perintahkan untuk ikut serta. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan itu”

Kedua prajurit itu tidak akan dapat ingkar lagi. Mereka harus berada dalam satu kelompok prajurit yang akan pergi ke Jati Aking untuk melihat keadaan kawan-kawan mereka, yakni beberapa orang prajurit yang seharusnya sudah kembali ke Surakarta.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar