Bunga Di Batu Karang Jilid 19

“Besok kita akan mendapat kepastian, dimana Pangeran Mangkubumi berada. Petugas-tugas sandi telah menyebar, dan bahkan ada di antara mereka yang berhasil menyusup di dalam pasukan Pangeran Mangkubumi. Meskipun Pangeran Mangku-bumi jarang sekali memperlihatkan dirinya, tetapi dengan usaha yang bersungguh-sungguh, orang itu tentu akan dapat mengetahui dimana Pangeran Mangkubumi itu berada”

“Tetapi Pangeran Mangkubumi dapat berada di beberapa tempat sekaligus. Meskipun Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya tetap satu, namun orang itu akan dapat tertipu oleh bentuk-bentuk Pangeran Mangkubumi yang lain, sehingga yang dilaporkannya bukannya tempat Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya” berkata Pangeran Ranakusuma.

Tetapi Panglima pasukan Surakarta itu tersenyum. Katanya, “Yang akan menyelesaikan masalah ini bukannya anak-anak. Bukan orang yang baru menyelesaikan masa berguru pada seorang pertapa. Tetapi ia adalah orang yang sudah kenyang makan asin manisnya kehidupan, yang kasar maupun yang halus. Yang badaniah maupun yang bersifat lembut dan tidak kasat mata”

“Aku tidak peduli” potong kumpeni itu, “yang penting ia berhasil mengetahui kedudukan Pangeran Mangkubumi dengan cerdik dan mempergunakan akal. Tidak dengan dongeng-dongeng yang disadap pada ceritera-ceritera khayal di jaman batu”

“Terserah atas penilaianmu” jawab orang Senopati, “tetapi untuk melawan ilmu Pangeran Mangkubumi diperlukan ketajaman indera. Kelima indera kita yang nampak, tidak akan dapat kita pergunakan, sehingga kita memerlukan indera yang lain”

“Kita menempuh cara kita masing-masing” berkata Panglima, “tetapi kita harus memadukannya dalam suatu kerja-sama yang seimbang. Dengan demikian barulah kita akan berhasil”

“Terserahlah” desis kumpeni itu, “bagiku, akal yang jernih akan memenangkan segala perjuangan. Tetapi jika kalian masih menganggap perlu adanya kepercayaan atas ilmu hitam itu, terserahlah. Yang penting bagi kita adalah mengetahui dimana Pangeran Mangkubumi itu bersembunyi. Bukan orang-orang kembar yang disamarkan seolah-olah Pangeran Mangkubumi. Petugas-tugas sandi itu harus mempunyai ketajaman pengenalan atas Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya. Betapapun miripnya, tetapi orang-orang yang menyamar sebagai Pangeran Mangkubumi di beberapa tempat itu tentu mempunyai perbedaan-perbedaan. Mungkin suaranya, mungkin caranya berjalan”

Para pemimpin prajurit Surakarta pun merasa tidak perlu lagi menanggapi pendapat perwira kumpeni itu, sehingga mereka pun kemudian hanya mengangguk-angguk saja.

“Baiklah” berkata Panglima selanjutnya, “kita serahkan kepada petugas-tugas sandi, cara yang manakah yang akan mereka pilih. Tetapi kita harus menemukan dengan pasti persembunyian Pangeran Mangkubumi”

Tidak ada lagi yang membantah sehingga pembicaraan selanjutnya pun dapat dilakukan.

Para Senapati yang dipimpin oleh Pangeran Yudakusuma itu pun segera merencanakan cara yang paling baik untuk menyergap dengan sasaran sementara sesuai dengan laporan terakhir, laporan yang paling dapat dipercaya tentang kedudukan Pangeran Mangkubumi Sementara itu, mereka akan memerintahkan petugas-tugas sandi untuk mendapatkan kepastian dengan menghubungi orang-orang mereka yang berhasil menyusup di dalam pasukan yang mereka anggap pemberontak itu.

“Kita menunggu satu hari satu malam” berkata Pangeran Yudakusuma yang menjadi Panglima pasukan Surakarta.

“Tidak boleh tertunda lagi” berkata kumpeni, “satu hari satu malam adalah waktu yang terlampau panjang”

“Tidak mungkin kurang dari itu jika kita tidak mau gagal” jawab Panglima itu, “kita harus tahu dengan pasti. Bukan sekedar kira-kira”

Akhirnya pembicaraan itu pun mengambil beberapa sikap. Sikap yang harus mereka rahasiakan, agar sikap itu tidak sampai menjalar dari mulut ke mulut yang akhirnya dapat sampai ke telinga Pangeran Mangkubumi.

Namun dalam pada itu, setiap Senapati sudah mendapat tugasnya masing-masing Pasukan yang sudah ditentukan ikut serta di dalam tugas yang besar dan berat harus segera dipersiapkan meskipun mereka tidak boleh mengetahui lebih dahulu tujuan dari persiapan mereka. Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar meraba-raba. Mungkin setiap prajurit menyadari bahwa mereka dipersiapkan untuk melawan Pangeran Mangkubumi, tetapi mereka tidak tahu pasti, kapan dan dimana.

“Semua harus siap dalam waktu sehari semalam sejak matahari terbit besok” berkata Panglima, “pada saatnya kita akan mengumpulkan mereka. di malam berikutnya kita mulai bergerak dan mengepung pemusatan pasukan Pangeran Mangkubumi setelah kita mengetahui dengan pasti, dimanakah ia bersembunyi, dan berapa kekuatannya di dalam pemusatan itu. Selain pasukannya yang berada di tempat tersebut, kita pun harus mengetahui pasukan cadangan yang akan dapat membantu setiap saat, sehingga kita pun harus mempersiapkan pasukan untuk memotong pasukan cadangan mereka”

Demikianlah setelah persoalan pokok terpecahkan, mereka mulai membicarakan pasukan-pasukan yang akan disertakan di dalam tugas itu. Kemudian cara yang paling baik untuk menyerang.

Para Senapati itu sependapat, bahwa tempat pemusatan Pangeran Mangkubumi untuk sementara diperkirakan berada di salah satu padukuhan di sebelah selatan Matesih. Dan padukuhan yang paling mungkin itu adalah padukuhan Pandan Karangnangka,

“Kita harus mengepungnya rapat-rapat di malam hari. Tidak boleh ada lubang seujung duri pun yang dapat dipergunakan Pangeran Mangkubumi untuk lolos. Pada saat matahari terbit di pagi berikutnya, kita mulai maju dan menjerat semua orang yang ada di dalam padukuhan itu, sementara pasukan cadangan harus berjaga-jaga apabila ada bantuan yang datang dari manapun juga” berkata Panglima.

“Semakin cepat semakin baik, selagi pengaruh Pangeran Mangkubumi belum meluas ke Padukuhan-padukuhan yang lain” berkata seorang Senapati.

Keputusan itulah yang kemudian diambil. Dilengkapi dengan pasukan-pasukan yang akan disertakan beserta Senapati masing-masing. Termasuk sekelompok pasukan kumpeni yang mempunyai kelengkapan perang yang lebih baik dari prajurit-prajurit Surakarta.

“Kita tidak boleh membiarkan pemberontakan itu menjalar semakin luas seperti Raden Mas Said sebelum ia terusir. Setelah Pangeran Mangkubumi, harus segera diselesaikan pula pasukan Raden Mas Said dengan cara yang sama. Menghancurkannya dengan cepat dan tuntas” berkata Senapati yang lain.

“Nah” berkata Panglima kemudian, “kita tinggal melaksana-kan. Jika ternyata ada perubahan mengenai tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi, maka sebagian besar persoalannya sudah kita pecahkan. Kita tinggal merubah beberapa bagian dari arah serangan kita”

Demikianlah pembicaraan itu pun diakhiri. Pangeran Ranakusuma dengan perwira kumpeni yang ikut serta dalam pembicaraan itu, mendapat tugas khusus untuk merencanakan arah setiap kelompok. Mereka harus menyusun dengan teliti, dengan memperhatikan setiap lorong yang menusuk ke dalam padukuhan itu. Parit, pematang, pepohonan besar tidak dapat mereka abaikan, termasuk gardu-gardu dan pagar batu ya gagak tinggi.

“Sebelum kita menyerang, kita akan memanggil setiap pemimpin kelompok. Setelah saatnya kita berangkat, kita akan menunjukkan kepada mereka, jalur jalan yang manakah yang harus mereka lalui Setiap kelompok harus tahu pasti, agar mereka tidak saling berebut lawan, dan dengan demikian dapat menumbuhkan kelemahan dan kelengahan pada bagian-bagian tertentu” berkata Panglima perang itu.

“Kita akan mempergunakan gelar induk dari arah jalan yang paling besar memasuki padukuhan itu” berkata Pangeran Ranakusuma, “di bagian lain sebagian besar adalah kelompok-kelompok yang sekedar bertugas menutup kepungan agar tidak seorang pun yang dapat lolos”

“Kita akan menerima keseluruhan dari rencana itu” jawab Panglima, “besok pagi aku akan mempelajarinya”

Dengan demikian maka pembicaraan itu pun dilanjutkan hanya oleh Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni yang dianggap mempunyai pengalaman yang cukup, sedang Pangeran Ranakusuma selain seorang Senapati yang disegani, juga mempunyai bahan pengenalan yang cukup pula atas daerah itu.

Keputusan yang diambil oleh Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni itu pun kemudian merupakan lencana yang masak dengan segala persoalan yang menyangkut sergapan besar-besaran itu.

Tetapi amatlah sulit untuk mendapat kesepakatan. Mereka mempunyai pertimbangan yang berbeda. Namun itulah yang dikehendaki oleh Pangeran Yudakusuma. Justru karena perbedaan pandangan dan sikap, maka mereka akan melahirkan rencana yang sudah tersaring.

Setelah semuanya selesai, maka keputusan-keputusan itu pun disusun sebaik-baiknya dan siap untuk disampaikan kepada Kangjeng Susuhunan.

“Aku akan menghadap langsung” berkata Pangeran Yuda-kusuma, “Aku harus meyakinkan Kangjeng Susuhunan bahwa semuanya harus berjalan cepat sesuai dengan rencana. Jika tidak, maka kita akan ketinggalan dan persoalan selanjutnya akan berkepanjangan. Bukan hanya ketinggalan satu dua hari, tetapi jika lebih itu sudah pecah dan berterbangan bercerai berai dari sarangnya, maka mereka akan menjadi jauh lebih berbahaya daripada saat mereka masih tertidur nyenyak di dalam sarangnya”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, perwira kumpeni sudah mendahului, “Cepat, dan usahakan agar Kangjeng Susuhunan dapat mengerti”

Pangeran Yudakusuma pun kemudian langsung pergi menghadap Kangjeng Susuhunan, sementara yang lain dapat kembali ke rumah masing-masing.

“Baiklah, berikan rencana yang sudah kau susun sebaik-baiknya itu” berkata Kangjeng Susuhunan setelah menerima Pangeran yang mendapat tugas untuk memimpin prajurit Surakarta mengepung pasukan Pangeran Mangkubumi.

“Kangjeng Susuhunan, hamba mohon keputusan sekarang” jawab Pangeran Yudakusuma,

“Aku akan mempelajarinya”

Keadaan sudah memaksa. Jika kita terlambat, maka Surakarta benar-benar akan menjadi lautan medan pertempuran yang sangat mengerikan. di setiap padesan dan padukuhan akan terjadi pembunuhan dan kekerasan”

Kangjeng Susuhunan merenung sejenak

“Tuanku, hamba merasa bertanggung jawab atas rencana yang sudah hamba susun bersama dengan saudara-saudara hamba, para Senapati dan perwira kumpeni. Rencana itu adalah rencana yang paling baik yang dapat kami susun untuk waktu yang tepat seperti tercantum di dalam rencana kami itu”

“Kau harus memberi kesempatan aku memikirkannya” berkata Kangjeng Susuhunan, “Aku adalah Raja. Aku bukan sekedar Senapati Agung di Surakarta, tetapi aku juga pelindung dan pangayoman lahir dan batin”

“Hamba mengerti Kangjeng Susuhunan, justru karena kedudukan tuanku itulah maka hamba mohon, agar hamba diperkenankan melaksanakan kuwajiban hamba secepat-cepatnya. Sebenarnyalah, bahwa hamba tidak akan sanggup lagi mengendalikan keadaan jika hamba terlambat sesaat saja dari rencana yang sudah hamba serahkan”

“Jadi apa yang harus aku setujui, jika aku belum mengerti persoalannya”

“Seperti yang sudah Hamba jelaskan dihadapan tuanku. Pelaksanaan dalam garis-garis kecil terdapat di dalam susunan lengkap yang hamba serahkan kepada tuanku itu”

Kangjeng Susuhunan menjadi termangu-mangu. Ia kini benar-benar berdiri di persimpangan jalan yang pelik. Jika ia mengambil keputusan segera, maka kedudukan Pangeran Mangkubumi tentu akan mengalami kesulitan. Menurut penjelasan Panglima prajurit Surakarta, semuanya sudah diatur rapi. Seakan-akan tidak akan ada kesalahan sama sekali yang dapat dilakukan oleh pasukan Surakarta bersama kumpeni dalam tugas mereka menghancurkan pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Namun apabila Kangjeng Susuhunan tidak memberikan keputusan segera, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan. Dan tentu akan timbul kekerasan yang bertebaran di seluruh sudut Mataram dan sekitarnya. Seperti yang dikatakan oleh Panglima itu, jika lebah sudah tercerai beraikan dari sarangnya, mereka akan menjadi semakin berbahaya, karena lebah itu akan menjadi liar dan buas.

Dalam kebimbangan itu, terngiang kata-kata Panglima, “Sebenarnyalah bahwa hamba tidak akan dapat mengendalikan keadaan jika hamba terlambat sesaat saja”

Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu, karena Kangjeng Susuhunan tidak segera menjawab, Pangeran Yudakusuma itu berkata, “Ampun tuanku. Malam ini semua Senapati sudah dihubungi. Mereka harus menyiapkan pasukan mereka dalam waktu sehari semalam, seperti yang hamba sebutkan di dalam keseluruhan rencana hamba. Karena menurut pertimbangan hamba, menyiapkan prajurit Surakarta untuk sebuah peperangan yang besar, diperlukan waktu dan di dalam pelaksanaannya tidak mengejutkan dan membuat kegelisahan. Lebih dari itu, tidak segera menimbulkan kecurigaan pada petugas-tugas sandi lawan”

Kangjeng Susuhunan masih berdiam diri. Terbayang pasukan Surakarta bersiap sepenuhnya di tempat masing-masing tanpa mengetahui rencana dengan pasti. Baru setelah mereka bergerak, mereka akan diberitahukan, apa yang harus mereka lakukan.

“Ampun Kangjeng Susuhunan” berkata Panglima itu, “perintahkan hamba untuk melaksanakan secepatnya. Hamba akan segera mohon diri dan memberitahukan, bahwa Kangjeng Susuhunan sudah menjatuhkan perintah untuk melaksanakan”

Kangjeng Susuhunan Pakubuwana itu masih termangu-mangu. Hatinya masih diragukan oleh kemungkinan yang dapat terjadi. Apapun yang dipilihnya, namun keadaannya memang sudah menjadi rumit. Maju atau mundur, ia menyadari bahwa ia akan membentur kesulitan bagi dirinya sendiri dan bagi Surakarta.

Terasa betapa sulitnya keadaannya, sehingga rasa-rasanya kepalanya menjadi pening. Kesehatannya yang semakin lama menjadi semakin mundur itu memang tidak menguntungkan baginya dalam keadaan seperti itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak selain berusaha mengobati dirinya sendiri. Bahkan tabib yang manapun juga sudah dipanggilnya untuk mencoba memulihkan kesehatannya.

“Kangjeng Susuhunan” berkata Panglima itu, “hamba, hanya menunggu perintah pelaksanaannya. Seterusnya, tuanku dapat menyerahkan seluruh tanggung jawab kepada kami. Pada suatu saat hamba akan datang lagi melaporkan kehadapan Kangjeng Susuhunan, bahwa Pangeran Mangkubumi telah dapat kami tangkap, hidup atau mati”

Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Ia harus memilih, Surakarta akan hancur bersama peradabannya karena peperangan yang akan membakar seluruh daerah Mataram, atau Pangeran Mangkubumi harus diikhlaskannya.

Sejenak Kangjeng Susuhunan memandang Panglima itu sambil mengusap dadanya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika kalian tidak dapat menunggu lagi barang sehari, lakukanlah rencana kalian. Tetapi seperti pesan yang pernah aku berikan bahwa yang penting di dalam peperangan ini bukannya suatu perlombaan membunuh sebanyak-banyaknya. Seorang Senapati yang baik adalah mereka yang dapat mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan titik darah yang sekecil-kecilnya di kedua belah pihak. Seorang Senapati harus dapat mengendalikan anak buahnya agar mereka tidak, berubah menjadi liar seperti kehidupan rimba raya”

Panglima pasukan Surakarta itu menarik nafas. Terngiang kata-kata perwira kumpeni yang ada di dalam pembicaraan selagi ia menyusun rencana penyerbuan ke sarang Pangeran Mangkubumi, “Semua laki-laki harus dibunuh”

Tetapi Panglima itu kemudian menjawab, “Ampun Kangjeng Susuhunan. Hamba akan memperhatikan semua pesan tuanku”

“Bukan sekedar diperhatikan. Tetapi kau harus melaksanakan perintah itu” berkata Kangjeng Susuhunan tegas.

“Hamba tuanku” Pangeran Yudakusuma menundukkan kepalanya.

“Nah, pergilah. Kau dapat meniru Pangeran Mangkubumi yang berhasil mengendalikan anak buahnya. Kau dapat bertanya kepada prajurit yang kau sebar di seputar kota dengan cara yang bodoh sekali. Mereka yang terluka, dan tidak lagi dapat melawan, maka mereka seakan-akan dibiarkan saja oleh lawan-lawan mereka”

Pangeran Yudakusuma menggeram di dalam hati. Ia tidak dapat mengerti, kenapa Kangjeng Susuhunan nampaknya sangat terpengaruh oleh sikap Pangeran Mangkubumi.

“Pangeran Mangkubumi memang adiknya tersayang” berkata Pangeran Yudakusuma di dalam hatinya. Tetapi justru karena itu, perasaan iri hati telah melonjak di dalam hati. Hadiah Tanah Sukawati yang berlebih-lebihan tidak dapat diterima oleh beberapa orang Pangeran, termasuk Pepatih Surakarta.

“Nah, pergilah. Mudah-mudahan kalian berhasil tanpa melepaskan korban terlampau banyak”

“Hamba mohon restu tuanku” jawab Panglima itu.

“Aku akan berdoa bagi Surakarta ” jawab Kangjeng Susuhunan.

Namun dalam pada itu, Panglima itu pun tidak segera beringsut dari tempatnya sehingga Kangjeng Susuhunan bertanya, “Apalagi yang kau tunggu?”

“Ampun Kangjeng Susu-hunan. Seingat Hamba, jika seseorang mendapat tugas langsung atas perintah tuanku, maka tuanku memberikan pertanda bahwa kuwajiban yang dipikul itu adalah kuwajiban memangku kekuasaan tertinggi di Surakarta ”

Kangjeng Susuhunan menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah Panglima. Aku akan memberikan pertanda bahwa yang kau lakukan adalah perintah yang aku berikan. Bawalah salah satu tunggul kerajaan sebagai pertanda itu. Kau dapat membawa tunggul Kiai Semi atau Kiai Baru, beserta panji-panjinya Kiai Kemitir.

Pangeran Yudakusuma mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah bahwa tugas hamba kali ini adalah tugas yang sangat berat. Setiap prajurit menyadari, siapakah Pangeran Mangkubumi itu. Seorang Pangeran yang pilih tanding dan dilambari dengan segala macam ilmu yang tidak dimiliki oleh orang. lain. Sampai pada ilmu yang hampir tidak dikenal lagi sekarang ini. Ilmu Sepi Angin dan ilmu Lelimunan. Itulah sebabnya maka jika tuanku berkenan, maka hamba mohon untuk mendapat bekal bukan saja sebagai pertanda, tetapi juga sebagai lambaran kekuatan hamba, pusaka yang tidak ada duanya, Kangjeng Kiai Pleret”

Terasa dada Kangjeng Susuhunan bergetar. Sekilas tumbuh dugaan di dalam hati Kangjeng Susuhunan, bahwa agaknya Pangeran Yudakusuma mengetahui bahwa tombak Kangjeng Kiai Pleret telah diberikannya kepada Pangeran Mangkubumi.

Namun kemudian Kangjeng Susuhunan itu berhasil menguasai dirinya meskipun ia tidak dapat melenyapkan ketegangan di wajahnya. Meskipun demikian, ia berkata, “Panglima. Seharusnya kau mengetahui, bahwa Kangjeng Kiai Pleret tidak akan dapat keluar dari gedung perbendaharaan pusaka tanpa aku sendiri berangkat ke medan”

Wajah Panglima itu menjadi tegang. Ditatapnya wajah Kangjeng Susuhunan sejenak. Namun kemudian sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Kangjeng Susuhunan, di dalam persoalan yang paling gawat seperti sekarang ini apakah hamba tidak dapat memohon kepada Kangjeng Susuhunan, seakan-akan kepergianku langsung mengantar Kangjeng Susuhunan sendiri ke medan perang”

“Jadi yang kau maksud, permintanmu atas tombak Kangjeng Kiai Pleret itu merupakan perlambang, bahwa kau mohon aku sendiri menjadi Senapati Agung di peperangan?”

“Tidak tuanku. Sama sekali tidak. Bahkan seandainya tuanku ingin pergi ke medan, hamba harus berusaha mencegahnya. Selagi masih ada para Pangeran dan paru Senapati, maka Kangjeng Susuhunan tidak perlu beranjak duri istana. Apalagi Pangeran Mangkubumi adalah saudara muda Kangjeng Susuhunan yang tidak pantas tuanku layani sendiri.

“Jadi?”

“Yang ingin hamba mohon adalah sekedar pusaka Mataram turun tumurun”

“Sudah aku katakan. Kangjeng Kiai Pleret tidak akan dapat keluar dari istana tanpa aku sendiri. Tanpa Raja sendiri turun ke medan”

“Tuanku, bukankah pada saat yang gawat, Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, pernah memberikan pusaka Kangjeng Kiai Pleret kepada putera angkatnya, Mas Ngabehi Loring Pasar, yang kemudian bergelar Panembahan Senapati ing Ngalaga, pada saat Mas Ngabehi Loring Pasar sedang mengemban tugas yang paling gawat melawan Adipati dari Jipang”

Kangjeng Susuhunan termenung sejenak. Namun kemudian, “Ada perbedaannya. Mas Ngabehi Loring Pasar, leluhur kita itu memang sudah diharapkan oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk menggantikannya kelak, setelah ia mengetahui betapa lemahnya sifat dan sikap puteranya sendiri, Pangeran Benawa yang kemudian menjadi Adipati di Jipang”

Wajah Pangeran Yudakusuma menjadi merah sekilas. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya yang tergetar. Dan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana itu melanjutkan, “Bukankah keadaan yang sekarang agak berbeda?”

Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Ampun Kangjeng Susuhunan. Jika demikian, baiklah, pada saat hamba akan maju ke medan, hamba akan menghadap dan mohon diperkenankan membawa pertanda kuasa Kangjeng Susuhunan meskipun bukan Kangjeng Kiai Pleret”

“Aku sudah mengatakan, kau dapat membawa panji-panji Kiai Kemitir bersama tunggulnya yang dapat kau pilih di antara beberapa tunggul yang ada”

Panglima itu membungkuk dalam-dalam. Tetapi di dalam hati berkata, “Hanya sebuah tunggul kerajaan, bukan sebuah tombak pusaka yang dapat mencabarkan segala kesaktian Pangeran Mangkubumi”

Namun Pangeran Yudakusuma masih mempunyai kepastian bahwa ia akan dapat mengalahkan pasukan Pangeran Mangkubumi. Menilik pembicaraan di antara para Senapati, maka nampak bahwa pasukan Mataram benar-benar sudah siap untuk menghancurkannya.

Jika Pangeran Mangkubumi mempergunakan ilmunya di dalam peperangan itu, masih dapat diharapkan, beberapa orang Senapati akan dapat mengimbanginya, meskipun bersama-sama.

“Jika Pangeran Mangkubumi sendiri turun ke peperangan tanpa bersedia menyerah, maka Pangeran Ranakusuma dan aku sendiri akan menghadapinya. Kami dapat menyatukan ilmu yang ada pada kami berdua untuk melawan ilmu yang bertimbun di dalam diri Pangeran Mangkubumi. Jika perwira kumpeni itu trampil, selagi Pangeran Mangkubumi memusatkan perlawanan ilmunya atas kami, maka ia akan dapat menembak dengan senjata apinya, dan mudah-mudahan dapat menembus kulit Pangeran Mangkubumi itu” berkata Panglima itu di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Pangeran Yudakusuma sama sekali tidak dapat lagi mengatasi perintah Kangjeng Susuhunan. Ia tidak akan dapat membawa pusaka yang dikehendakinya. Kiai Pleret.

Tetapi bahwa Kangjeng Susuhunan telah dapat dipaksanya untuk menyetujui rencananya dan bahkan segera dapat dilaksanakan, membuat Pangeran Yudakusuma berbesar bati. Waktu itu akan sangat berharga baginya. Dan jika ia dapat memanfaatkannya, maka ia tentu akan dapat berhasil dengan baik tanpa memberikan korban sebanyak-banyaknya.

“Jika kumpeni ingin membantai pengikut Pangeran Mangkubumi sebanyak-banyaknya itu adalah tanggung jawabnya sendiri. Tentu prajurit-prajurit Surakarta tidak akan berbuat demikian, karena pengikut Pangeran Mangkubumi adalah orang-orang Surakarta pula seperti prajurit-prajurit itu sendiri. Jika ada dendam yang meledak, adalah wajar sekali terjadi di peperangan. Di peperangan seseorang akan bersikap lain dengan apabila orang itu berada di tempat ibadah” Pangeran Yudakusuma masih saja bergumam untuk dirinya sendiri.

Perintah Kangjeng Susuhunan untuk segera melaksanakan rencananya, segera disampaikannya kepada Pangeran Ranakusuma dan perwira kumpeni itu. Agar berita itu tidak menjalar ke telinga orang yang tidak dikehendaki, maka Panglima itu datang sendiri langsung menjumpai kedua orang itu berturut-turut”

“Baiklah” berkata Pangeran Ranakusuma, “Aku pun akan segera bersiap. Pasukan di bawah panji-panji sayap kiri dan kanan akan segera disiapkan bersama Senapati Pengapit seorang”

Pangeran Yudakusuma mengangguk-angguk. Ia menjadi berbesar hati melihat Pangeran Ranakusuma agaknya dengan sepenuh hati melakukan rencana itu. Apalagi apabila Tumenggung Sindura dapat menyesuaikan dirinya. Maka semuanya tentu akan segera berakhir.

Demikianlah perintah Kangjeng Susuhunan untuk melaksanakan rencana itu pun segera sampai ke telinga setiap Senapati, terutama yang ikut serta menyusun rencana itu. Kemudian mereka bersepakat untuk menyebarkan perintah, bahwa setiap pasukan akan diikut sertakan di dalam tugas itu untuk bersiap tanpa mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Perintah terakhir akan diberikan setelah mereka berangkat menuju ke sasaran.

Meskipun setiap prajurit tentu akan dapat menduga tugas apa yang harus mereka lakukan, tetapi mereka belum tahu dengan pasti, kemana mereka harus pergi serta bentuk tugas apa yang akan mereka lakukan.

Di antara pasukan yang akan ikut di dalam tugas itu adalah sekelompok pasukan berkuda di bawah seorang Senapati yang masih muda, Raden Juwiring.

Demikian ia mendapat perintah, maka ia pun segera mengumpulkan anak buahnya. Sepasukan prajurit berkuda terpilih dari antara pasukan berkuda yang lain. Apalagi setiap saat Raden Juwiring sendiri memberikan latihan-latihan khusus kepada anak buahnya. Meskipun banyak di antara mereka yang umurnya lebih tua, namun di dalam olah kanuragan. Senapati muda itu pantas dikagumi.

Tetapi Juwiring tidak dengan sombong memamerkan kemampuannya sendiri. Ia mengakui, bahwa setiap orang mempunyai kelebihannya masing-masing. Karena itulah, maka ia memberikan kesempatan kepada setiap prajurit yang memiliki kelebihan, untuk melimpahkan kelebihannya kepada kawan-kawannya.

Seorang prajurit berkuda yang sudah setengah baya, memiliki kemampuan yang luar biasa di dalam olah senjata lentur. Ia mampu mempergunakan berbagai jenis senjata lentur. Cemeti, cambuk, bahkan seutas tampar sabut. Maka orang itu pun setiap kali diberi kesempatan untuk memberikan ilmunya serba sedikit kepada kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya tidak akan dapat menyamainya di dalam mempergunakan senjata itu, namun, dengan demikian kawan-kawannya akan mendapat tambahan pengalaman dan pengetahuan. Dalam keadaan terpaksa, mereka akan dapat mempergunakannya untuk mempertahankan diri.

Sedang yang lain, yang mampu melontarkan segala jenis senjata pun harus mengajarkan kemampuannya kepada kawan-kawannya, sehingga setiap orang di dalam pasukan Raden Juwiring mampu melontarkan pisau belati sambil berpacu di atas punggung kudanya.

Dengan demikian maka setiap prajurit dari pasukan berkuda yang berada di bawah pimpinan Raden Juwiring, merupakan sepasukan prajurit kebanggaan, terutama bagi Pangeran Ranakusuma. Mereka masing-masing mampu mempergunakan jenis-jenis senjata yang beraneka ragam. Bahkan senjata-senjata yang dapat di ketemukan dimanapum juga. Tongkat, batu, tangkai kayu, cambuk lembu, dan bahkan dalam keadaan terpaksa, kain panjang mereka sendiri, atau ikat kepala.

Seorang prajurit mengajarkan kepada kawannya, bagaimana dalam keadaan terpakai mereka dapat mengikat sebuah batu pada sudut ikat kepalanya, dan mempergunakannya sebagai senjata yang dapat melawan pedang dan tombak.

Dalam pada itu, seperti yang direncanakan, maka setiap kelompok pun segera mempersiapkan diri sepenuhnya untuk berangkat ke medan, meskipun mereka belum tahu medan yang mana. Mereka melengkapi setiap kelompok dengan bekal secukupnya. Senjata dan beberapa orang penghubung dan cadangan.

“Agaknya kita akan dihadapkan dengan pasukan Pangeran Mangkubumi” berkata seorang prajurit.

“Ya. Surakarta tidak pernah mempersiapkan diri seperti sekarang ini. Meskipun tidak nampak, tetapi kelompok-kelompok yang terpencar telah bersiap di barak masing-masing. Pada saatnya kita akan berkumpul di alun-alun dan berangkat ke medan”

Dalam waktu yang direncanakan, pasukan Surakarta benar-benar sudah siap tanpa melontarkan kesan yang menggoncang-kan suasana hidup sehari-hari. Tidak banyak orang yang mengetahui, apa saja yang telah dilakukan oleh para prajurit yang nampaknya tidak keluar dari barak mereka.

Ketika waktu yang satu hari satu malam telah habis, maka setiap prajurit benar-benar tidak boleh meninggalkan tempatnya Malam nanti mereka harus pergi. Tetapi hanya para Senapati sajalah yang tahu, bahwa malam nanti mereka akan mengepung tempat kedudukan Pangeran Mangkubumi.

Seperti yang diperhitungkan semula, maka beberapa orang petugas sandi telah meyakinkan bahwa Pangeran Mangkubumi berada di Karangnangka.

“Orang kita yang berhasil menyusup ke dalam tubuh pasukan Pangeran Mangkubumi dan yang dapat aku hubungi melihat sendiri Pangeran Mangkubumi”

“Pangeran Mangkubumi dapat berada di beberapa tempat” sahut Pangeran Yudakusuma.

“Tetapi keluarganya ada di Pandan Karangnangka pula” petugas sandi itu menjelaskan, “isteri dan putera-puterinya ada pula di sana. Bahkan orang itu juga melihat Pangeran Hadiwijaya berada di antara mereka”

“Sudah aku duga. Tetapi yakinkah dengan pasti. Jangan sampai kita salah langkah. Masih ada waktu”

“Petugas sandi yang berhasil masuk ke lingkungan Sukawati tidak melihat Pangeran Mangkubumi di sana. Dan tidak ada petugas yang lain yang memberikan keterangan, bahkan kemungkinan melihat Pangeran Mangkubumi”

Di siang hari menjelang malam yang ditentukan, kehidupan di Surakarta sama sekali tidak mengalami perubahan. Pasar-pasar masih juga penuh dengan orang-orang yang menjual hasil sawah dan hasil pekerjaan tangannya. Meskipun uang yang diterimanya tidak memadai, tetapi yang tidak memadai itu bagi mereka adalah lebih baik dari tidak sama sekali.

Demikian juga kehidupan orang-orang bangsawan dan kumpeni. Kereta yang hilir mudik, dan kehidupan yang melimpah di antara mereka pun berjalan seperti biasa.

Namun para bangsawan yang ikut menangani kegiatan keprajuritan sajalah yang tidak ada di istana masing-masing, karena mereka sudah bersiap untuk melakukan tugas yang akan dibebankan kepada mereka.

Satu dua nampak prajurit yang bertugas meronda berkeliling kota. Tetapi itu pun tidak menimbulkan kesan apapun, karena setiap hari hal yang serupa itu selalu nampak di jalan-jalan raya. Bahkan kadang-kadang dua orang prajurit berkuda lewat tanpa menumbuhkan kecurigaan.

Di hari itu, di istana Pangeran Yudakusuma telah berkumpul para Senapati yang malam nanti akan melakukan tugas terpenting untuk menghadapi Pangeran Mangkubumi. Meskipun kota Surakarta sendiri tidak nampak kesibukan apapun, tetapi di dalam istana itu nampak ketegangan mencengkam setiap dada.

Dengan pasti para Senapati itu menentukan tempat bagi pasukan masing-masing. Gelar perang yang akan menerkam Pandan Karangnangka. Sementara yang lain bersiaga mengepung dari arah yang ditentukan pula. Mereka harus menahan usaha melarikan diri dari pasukan yang ada di dalam padukuhan itu.

Menghadapi pasukan yang berkelompok di padukuhan itu, tidak ada gelar yang lebih baik dari gelar yang lengkung. Di induk pasukan Pangeran Yudakusuma akan memimpin seluruh prajurit. Dan di induk pasukan itu pula akan terdapat Senapati penghubung. di depan Pangeran Yudakusuma terdapat tiga orang Senapati yang akan memimpin sergapan dari induk pasukan sementara Pangeran Yudakusuma masih harus memimpin seluruh kepungan. Jika keadaan memaksa, barulah Pangeran Yudakusuma sendiri akan berada di ujung. Apalagi apabila Pangeran Mangkubumi sendiri telah turun di peperangan.

“Pangeran Mangkubumi dapat menempuh dua pilihan. Dengan jantan turun melawan induk pasukan dan memimpin seluruh anak buahnya, yang berarti akan terjadi perang Senapati atau memilih jalan lain. Lolos dari peperangan dengan mengorbankan anak buahnya. Jika demikian maka Senapati yang memimpin kelompok-kelompok yang mengepung padukuhan itulah yang harus menahannya. Dan akan lenyaplah semua ceritera tentang segala macam ilmu yang bertimbun dalam dirinya. Tetapi jalan lolos itu pun tidak akan dapat ditemukannya” berkata Pangeran Yudakusuma.

Dalam pada itu Pangeran Ranakusuma yang akan memimpin sayap kiri dan Tumenggung Sindura di sayap kanan, merenungi rencana itu sebaik-baiknya. Merekapun menyadari betapa beratnya melawan Pangeran Mangkubumi. Apalagi mereka mengetahui bahwa Pangeran Mangkubumi adalah Senapati perang yang tidak ada duanya di Surakarta.

“Gelar yang disusun secermat-cermatnya ini, mungkin tidak akan berarti sama sekali” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hati, “Pangeran Mangkubumi akan dengan mudah memecahkan kepungan justru ditentang arah gelar yang menyerang Pandan Karangnangka. Meskipun sebagian kelompok-kelompok pasukan kumpeni akan dipencarkan, selain yang berada di induk pasukan, tetapi mereka tidak akan dapat banyak berbuat”

Dalam pada itu, agaknya Tumenggung Sindura mempunyai gagasan yang serupa. Namun ia tidak tinggal diam seperti Pangeran Ranakusuma. Tetapi ia berkata, “Pangeran Yuda-kusuma. Jika saat gelar kita merayap mendekati padukuhan itu, dan saat itu, gelar yang disusun Pangeran Mangkubumi bergeser memecah kepungan diasah lain, maka gelar kita tidak akan dapat bertemu. Pangeran Mangkubumi dapat menyusun gelar Gedong Minep yang bergerak cepat meninggalkan padukuhan itu. Atau karena Pangeran Mangkubumi adalah seorang Senapati yang berani, maka ia dapat memilih gelar Cakra Byuha dan berputar menyobek kepungan tanpa menunggu kedatangan induk pasukan kita dalam gelar Wulan Punanggal atau Sapit Urang sekalipun. Bahkan gelar yang dinasehatkan oleh perwira-perwira kumpeni itu”

“Tumenggung Sindura” jawab Pangeran Yudakusuma, “Aku masih mengharap Pangeran Mangkubumi bersikap jantan dan bertempur beradu dada. Jika tidak, maka kepungan yang kita susun adalah kepungan yang kuat. Dan bukankah kita sudah menyediakan pasukan berkuda yang lengkap? Jika kepungan mulai retak, maka pasukan berkuda akan bergerak mengisi keretakan itu. Dan bukankah hal ini sudah kita perhitungkan sebaik-baiknya”

Tumenggung Sindura mengangguk-angguk. Tangannya meraba-raba hulu kerisnya yang memiliki ciri tersendiri. Hulu keris itu terbuat dari kayu cangkring yang utuh. Seakan-akan begitu saja dipatahkan dari dahannya, dan kemudian diterapkan pada keris itu. Dan keris itulah yang sangat disegani oleh Senapati-Senapati yang lain, seolah-olah keris itu memiliki tuah yang luar biasa.

Namun demikian Tumenggung Sindura yang kaya dengan pengalaman itu masih berkata, “Pangeran. Dalam perang yang akan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi, kita harus mempunyai penilaian yang lain. Menurut pengamatanku, menilik pasukan yang tidak begitu besar yang dimiliki oleh Pangeran Mangkubumi, ia tidak akan memperhitungkan kejantanan dari perang beradu dada itu. Ia akan memilih jalan yang barangkali agak lain dari penilaian yang selama ini kita kenal”

Pangeran Yudakusuma mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kearah Pangeran Ranakusuma, maka dilihatnya Pangeran Ranakusuma menunduk. Seolah-olah ia tidak memperhatikan kata-kata Tumenggung Sindura.

“Jadi, bagaimana maksudmu?” bertanya Pangeran Yuda-kusuma kemudian.

“Aku hanya memperingatkan. Semua berjalan seperti yang sudah direncanakan. Tetapi aku masih berharap bahwa cara yang dapat ditempuh oleh Pangeran Mangkubumi itu mendapat perhatian. Jika ia berusaha lolos dari peperangan di dalam keadaan seperti ini, tentu tidak akan dapat dinilai sebagai tindakan pengecut. Seterusnya, apabila ia berhasil lolos ia akan mempergunakan cara itu. Menyergap dan lenyap. Dan itu adalah salah satu caranya berperang Apakah kita dapat menyebutnya pengecut?” jawab Tumenggung Sindura.

Pangeran Yudakusuma mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Tumenggung Sindura itu. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Baiklah. Setiap Senapati yang mengepung padukuhan itu akan mendapat perintah agar mereka tidak lengah. Jika agaknya mereka tidak kuat menahan desakan pasukan yang sedang dikepungnya, maka penghubungnya harus segera memberikan isyarat”

Tumenggung Sindura tidak menyahut lagi. Agaknya memang demikian yang harus terjadi.

Dalam pada itu, ketika semua persoalan telah dipecahkan bahkan sampai pada perbekalan dan makan seluruh pasukan, karena kemungkinan bahwa perang itu tidak akan selesai dalam waktu yang pendek, maka Pangeran Yudakusuma itu pun kemudian berkata, “Semua Senapati yang ada di tempat ini tidak boleh meninggalkan tempat. Nanti, jika malam mulai turun, kalian harus langsung kembali kepada pasukan kalian”

Para Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi mereka memang sudah menduga. Dan mereka pun mengerti, bahwa hal itu dilakukan oleh Pangeran Yudakusuma untuk mengurangi kemungkinan rahasia yang telah mereka susun itu merembes ke telinga Pangeran Mangkubumi.

Tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi perwira kumpeni dan orang-orang terpenting, termasuk Pangeran Ranakusuma dan Tumenggung Sindura. Justru merekalah yang harus melihat kesiagaan pasukan yang berpencar, meskipun tanpa Senapati masing-masing.

Pangeran Ranakusuma dengan beberapa orang Senapati terpenting segera membagi tugas. Merekapun segera menarik garis silang yang membagi Surakarta dan sekitarnya. Mereka harus segera berpencar untuk melihat apakah kesiagaan prajurit Surakarta sudah memadai.

Sehari yang nampaknya tidak ada perubahan apa-apa itu ternyata telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para perwira tinggi di Surakarta.

Meskipun demikian para perwira di Surakarta itu pun selalu memperhitungkan keadaan. Untuk mencapai barak-barak para prajurit, mereka pergi berkuda hanya dengan dua atau tiga orang pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang-berkereta seperti kebiasaan mereka sehari-hari.

Karena itulah, maka rencana para prajurit Surakarta untuk mengepung Pandan Karangnangka itu tidak tercium oleh para petugas sandi. Baik petugas sandi yang ditinggalkan oleh Pangeran Mangkubumi, maupun petugas-tugas sandi yang disebarkan oleh Raden Mas Said di Surakarta. Yang nampak oleh mereka hanyalah beberapa persiapan khusus yang lebih banyak bersifat menjaga dan bertahan apabila kota diserang oleh Pangeran Mangkubumi maupun Raden Mas Said. Sama sekali tidak nampak persiapan untuk segera menyerang, bahkan mengepung dan menghancurkan sama sekali pasukan Pangeran Mangkubumi.

Dengan demikian, seperti kehidupan di Surakarta yang tidak mengalami perubahan, maka kehidupan di Pandan Karang-nangka dan sekitarnya pun sama sekali tidak mengalami perubahan. Rakyat di daerah itu bekerja seperti biasa. Ketika matahari terbit, mereka mempersiapkan diri untuk pergi ke sawah. Setelah makan sepotong ketela pohon yang langsung dicabut dari halaman belakang dan begitu saja direndam di dalam bara, maka mereka pun segera menunaikan kuwajiban masing-masing

Sedang para prajurit yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi yang mengikutinya meninggalkan Surakarta beserta para pengawal pun sama sekali tidak menduga, bahwa Surakarta akan bertindak sedemikian cepatnya. Bahkan Pangeran Mangkubumi sendiri, tidak memperhitungkan kemungkinan serangan yang bakal datang menjelang dini hari di malam yang bakal datang.

Itulah sebabnya, maka kesiagaan Pangeran Mangkubumi pun tidak mencapai puncak kemampuannya. Beberapa kelompok prajurit yang bertebaran di padukuhan di sekitarnya sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi serangan yang besar dan yang diperhitungkan oleh para Senapati di Surakarta, sekaligus menghancurkan. Bahkan beberapa orang di antara pengikut Pangeran Mangkubumi yang tersebar itu, masih sempat pergi ke sawah masing-masing seperti kebiasaan mereka.

Yang nampak sibuk di antara mereka adalah pande-pande besi empu dan mranggi. Mereka mempersiapkan senjata sebanyak-banyaknya untuk menghadapi setiap kemungkinan. Jika kumpeni dan Prajurit-prajurit Surakarta mengulangi usahanya melucuti, senjata rakyat Surakarta dengan mencegat mereka di sepanjang jalan, maka mereka akan segera dapat dipersenjatai kembali.

Sementara itu, para pengikut Pangeran Mangkubumi yang berada di Sukawati pun tidak mendapat perintah khusus dari Pangeran Mangkubumi untuk menghadapi keadaan. Meskipun mereka selalu bersiaga, tetapi mereka tidak memperhitungkan bahwa malam nanti akan ada prahara dan banjir bandang yang menyerang Pandan Karangnangka.

Dalam pada itu, petugas-tugas sandi yang berada di kota pun memang tidak memberikan laporan yang dapat menumbuhkan pertimbangan bahwa sebuah serangan besar-besaran akan melanda pasukan Pangeran Mangkubumi itu, karena para petugas sandi memang tidak melihat persiapan yang cukup di Surakarta.

Buntal yang pada saat itu berada di Sukawati, sama sekali juga tidak menduga, bahwa Pandan Karangnangka akan dikepung oleh pasukan Surakarta dan kumpeni. Meskipun seperti kawan-kawannya ia selalu bersiaga, namun ia tidak mempersiapkan diri untuk langsung berbuat sesuatu, atau memasuki arena pertempuran yang besar.

Sehari itu para pengikut Pangeran Mangkubumi di Sukawati justru tidak berbuat apa-apa sama sekali. Mereka berlatih seperti biasa. Pasukan yang menjadi inti kekuatan Pasukan Mangkubumi memang tidak ada henti-hentinya berlatih dan menambah kemampuan bertempur. Dalam kelompok dan seorang demi seorang. Para pelatih mereka menempa setiap orang di dalam pasukan inti itu sehingga mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.

Untuk menjaga kekuatan pasukan Pangeran Mangkubumi, maka kekuatannya tidak seluruhnya diletakkan di sekitar Pangeran Mangkubumi sendiri. Dan itulah sebabnya maka selain pasukan yang kuat di Pandan Karangnangka, pasukan yang berada di Sukawati adalah pasukan yang tidak dapat diabaikan. Apalagi selain mereka yang berada di dalam pasukan inti kekuatan itu, setiap laki-laki di Sukawati adalah prajurit yang dengan tekun melatih diri. Demikian kerja mereka di sawah senggang, maka mereka pun segera memegang senjata dan berlatih mempergunakan senjata itu. Dimanapun mereka mempunyai waktu, maka waktu itu mereka pergunakan sebaik-baiknya. Dua tiga orang yang berada di sawah pun segera melibatkan diri dalam latihan yang bersungguh-sungguh jika kerja mereka selesai. Anak-anak muda yang berada di tepian sungai. Yang berada di bendungan dan justru yang berada di gardu-gardu. Sedang anak-anak seolah-olah mendapatkan permainan baru. Mereka mempergunakan tongkat-tongkat bambu untuk melatih diri. Dan anak-anak itu pun mendapat bimbingan sebaik-baiknya sehingga yang mereka lakukan adalah permulaan dari latihan mempergunakan senjata yang sebenarnya.

Lewat tengah hari, seperti biasanya Buntal mendapat tugas untuk pergi ke Pandan Karangnangka bersama dua orang kawannya Mereka merupakan penghubung tetap antara kedua tempat itu, agar setiap persoalan dapat segera diketahui bersama-sama.

Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, kedatangan Buntal di Pandan Karangnangka tidak mendapatkan berita-berita yang menarik. Laporan yang didengarnya dari petugas-tugas di Pandan Karangnangka hanyalah, penjagaan di lorong-lorong masuk kota Surakarta diperkuat. Beberapa orang dari pasukan berkuda nampak meronda di seluruh kota. Para Perwira dan Senapati mengadakan peninjauan langsung ke barak-barak para prajurit.....

Buntal yang kemudian bersama dengan dua orang kawannya beristirahat di sebuah gardu sama sekali tidak tertarik akan laporan itu. Mereka menunggu berita yang lebih panas dari sekedar penjagaan yang diperkuat di lorong-lorong masuk. Bukan pula sekedar kesibukan para Senapati di Surakarta mengunjungi barak-barak para prajurit.

“Pangeran Mangkubumi dengan para Pangeran sedang mempersiapkan diri membagi tugas” berkata seorang prajurit yang berada di gardu itu pula.

“Bagaimana jika tiba-tiba saja prajurit Surakarta menyergap daerah ini” bertanya Buntal.

“Kita sudah bersiaga. Surakarta tidak akan berbuat secepat itu. Mereka akan memperhitungkan setiap kemungkinan dari setiap gerakan mereka”

“Tetapi menggerakkan prajurit-prajurit yang sudah terlatih akan jauh lebih mudah dari menggerakkan rakyat yang bertebaran seperti Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi kekuatan yang ada sudah memadai. Untuk bertempur dalam arena gelar pun kekuatan yang ada di Pandan Karangnangka tentu sudah cukup. Selebihnya, semuanya dapat dipersiapkan”

Buntal tidak bertanya lagi. Yang diajaknya berbicara adalah seorang prajurit yang memiliki pengalaman dan pengetahuan medan jauh lebih banyak daripadanya, meskipun mungkin secara pribadi Buntal memiliki kelebihan.

Dengan lesu Buntal dan kawan-kawannya berbaring di gardu itu sambil menunggu perintah, apakah ia sudah dapat kembali ke Sukawati. Tidak ada persoalan lagi sebenarnya yang harus dibicarakan. Tetapi adalah keharusan baginya untuk menunggu perintah, bahwa tugasnya hari itu sudah selesai.

Ketika ia menjadi jemu berbaring di gardu, maka ia pun melangkahkan kakinya menyusuri jalan padukuhan. Di sebuah halaman yang luas, di depan sebuah pendapa yang besar, Buntal berhenti. Dilihatnya beberapa orang sedang berlatih di bawah terik matahari yang sudah mulai turun ke Barat mendekati cakrawala.

Tiba-tiba saja Buntal terkejut ketika seorang penghubung dengan tergesa-gesa memanggilnya. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Aku cari kau kemana-mana”

“Aku menunggu di gardu. Tetapi tiba-tiba saja aku menjadi jemu”

“Buntal” penghubung itu bersungguh-sungguh, “ada tugas khusus untukmu”

Buntal termangu-mangu sejenak. Ia masih belum tahu pasti, apakah kawannya itu berkata bersungguh-sungguh atau sekedar bergurau saja. Namun menilik ketegangan di wajahnya, maka Buntal dapat menduga bahwa ia berkata bersungguh-sungguh.

“Kau dipanggil” berkata penghubung itu.

“Siapa?”

“Ki Wandawa”

“He” Buntal mengerutkan keningnya, “Ki Wandawa?”

“Ya”

Buntal mengangguk-angguk. Jika yang mengundang itu Ki Wandawa maka persoalannya tentu cukup penting. Biasanya penghubung-penghubung sajalah yang memberitahukan kepadanya bahwa tugasnya sudah selesai hari itu, dan tidak ada persoalan yang penting yang harus di tangani. Tetapi kali ini ia dipanggil oleh Ki Wandawa.

“Apakah kau tahu persoalannya?” bertanya Buntal.

“Tidak” jawab penghubung itu.

“Kenapa kau dapat mengatakan bahwa persoalan yang akan dibebankan kepadaku penting?”

“Kakang Wandawa tidak pernah membicarakan masalah atau memberikan tugas-tugas yang tidak penting”

Buntal mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menghadap”

“Waktunya sangat sempit” demikianlah pesannya.

Buntal tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi untuk menghadap Ki Wandawa

Dengan dada yang berdebar-debar Buntal memasuki sebuah ruangan khusus. di dalam bilik itu hanya ada seorang saja yang duduk di sebuah amben yang besar.

Ketika orang itu melihat Buntal di muka pintu, maka ia pun kemudian memanggilnya, “Kemarilah Buntal”

Buntal merasakan bahwa nada itu adalah nada yang tergesa-gesa. Sehingga karena itu maka Buntal pun segera bergeser mendekat.

“Duduklah”

Buntal mengangguk. Ia pun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya di hadapan orang yang bernama Ki Wandawa itu.

“Buntal” berkata Ki Wandawa, “bukankah kau berasal dari Jati Aking?”

Pertanyaan itu mendebarkan hati Buntal. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ya Ki Wandawa”

“Nah, jika demikian, maka kaulah yang akan mendapatkan tugas itu. Pergilah ke Jati Aking”

“Tugas apakah yang harus aku bawa ke Jati Aking?”

“Kau akan mengetahuinya nanti. Tetapi ingat, kau hanya boleh berhubungan dengan orang yang ditentukan. Orang kita sendiri, karena persoalannya adalah sangat rahasia”

“Maksud Ki Wandawa?”

Ki Wandawa termenung sejenak. Kemudian katanya, “Buntal, ada persoalan yang sangat penting dan rahasia, sehingga Surakarta tidak mengirimkan utusan langsung kemari. Jika ada penghubung langsung datang ke Pandan Karangnangka, maka penghubung itu akan cepat diketahui, meskipun masih ada kemungkinan untuk lolos. Jika penghubung itu mengalami nasib yang buruk dan tertangkap, maka ada kemungkinan perintah yang sangat rahasia itu dapat diperas, dan sumber keterangannya dapat diungkap. Tetapi tidak dengan penghubung yang datang itu. Ia hanya mendapat perintah untuk menunjuk seseorang pergi ke Taman di Kaki Bukit”

“Apakah artinya?”

“Memang hanya orang-orang tertentu yang mengetahui. Penghubung itu pun tidak mengetahui arti dari tempat yang di sebut Taman Di kaki bukit. Dengan demikian tempat itu akan tetap terlindung” ia berhenti sejenak, lalu, “yang dimaksud Taman di kaki Bukit adalah padepokan Jati Aking”

“O”

“Sebenarnyalah bahwa Jati Aking termasuk padepokan yang dapat kita percaya. Karena itu, Jati Aking menjadi salah satu tempat yang ditentukan untuk mengadakan hubungan rahasia”

Buntal mengangguk-angguk. Ia kini mengetahui bahwa berita itu tentu berita yang sangat penting sehingga diperlukan hubungan berganda. Dengan demikian Buntal pun menyadari pentingnya tugas yang harus dilaksanakannya.

“Buntal” berkata Ki Wandawa, “pergilah ke Taman di kaki Bukit. Kau akan bertemu dengan Bintang Selatan”

Buntal mengerutkan keningnya.

“Aku pun tidak tahu, siapakah Bintang Selatan itu. Tetapi kau harus menyebut dirimu sebagai jawabannya Angin Utara” sambung Ki Wandawa, “Kau mengerti?”

Buntal mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Ya. Aku mengerti”

“Nah, pergilah. Secepatnya. Waktu tinggal sedikit. Aku tidak tahu pasti, waktu yang tinggal sedikit itu dihubungkan dengan peristiwa yang mana” Ki Wandawa berkata selanjutnya, “namun kau harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya”

“Baik Ki Wandawa.

“Hati-hatilah. Bukan mustahil rahasia ini sudah diketahui oleh lawan. Dengan demikian kau harus memasuki Jati Aking dengan sangat berhati-hati. Jangan sampai kau terjebak oleh siapapun yang nampaknya kau kenal baik-baik. Kau hanya boleh berhubungan dengan Bintang Selatan. Jika ada orang lain yang ada di Jati Aking dan tidak menyebut dirinya Bintang Selatan kau harus berhati-hati. Tidak hanya satu dua orang saja yang mengenal Jati Aking dengan baik”

“Baiklah Ki Wandawa. Aku mohon diri untuk pergi ke Jati Aking”

“Sadarilah. Tidak boleh ada rahasia yang merembes dari mulutmu tentang Pandan Karangnangka”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari pesan itu. Jika ia tertangkap oleh petugas-tugas sandi atau prajurit Surakarta, maka ia harus tetap diam sampai mati sekalipun.

“Pergilah. Sendiri, agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Rahasia yang diketahui oleh banyak orang tidak akan berarti lagi”

Buntal pun segera minta diri. Ia harus pergi secepatnya ke Jati Aking dengan tugas yang sangat berat, tanpa ada orang lain yang boleh ikut memikulnya.

Sejenak kemudian maka seekor kuda telah berderap keluar dari padukuhan Pandan Karangnangka. Buntal memacu kudanya secepat-cepat dapat, agar ia dapat mempergunakan waktu yang terlampau pendek, meskipun ia tidak tahu pasti batas dari waktu yang terlalu pendek itu.

Di sepanjang jalan ia selalu mengingat-ingat, nama-nama yang harus didengar dan disebutnya Bintang Selatan dan kemudian ia harus menyebut dirinya Angin Utara. Barulah rahasia itu dapat didengarnya dan kemudian dibawanya kepada Ki Wandawa.

“Tetapi bagaimanakah jika orang yang disebut Bintang Selatan itu tertangkap?” ia bertanya di dalam hati. Namun dijawabnya, “Itu memang mungkin sekali terjadi. Bukan hanya Bintang Selatan itu sajalah yang mungkin tertangkap, tetapi aku pun mungkin tertangkap”

Namun Buntal dapat mengerti, bahwa jalan yang ditempuh itu adalah jalan yang paling aman bagi petugas sandi yang ada di Surakarta. Orang yang pergi ke Jati Aking tentu tidak akan mendapat pengawasan yang ketat seperti orang yang pergi ke Pandan Karangnangka.

“Jika orang yang pergi ke Pandan Karangnangka itu ternyata dapat lolos, maka orang yang pergi ke Jati Aking itu pun tentu dapat lolos pula” katanya di dalam hati.

Buntal pun kemudian berpacu semakin cepat. Ia akan sampai ke Jati Aking setelah gelap. Kemudian ia harus kembali lagi ke Pandan Karangnangka.

Meskipun angan-angan Buntal dipenuhi oleh persoalan-persoalan yang rumit, namun ia sempat juga memikirkan Arum. Sudah agak mendesak pula keinginannya untuk menemui gadis itu. Meskipun hanya sekedar bertemu.

Tiba-tiba terbersit sebuah bayangan yang lain. Bayangan seorang bangsawan yang kemudian menjadi Senapati pasukan berkuda di Surakarta.

“Raden Juwiring juga mengetahui sikap guru” berkata Buntal di dalam hatinya. Lalu, “tetapi apakah Surakarta sudah mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu? Dan apakah rahasia itu adalah rahasia tentang keputusan tindakan kekerasan yang akan diambil oleh Surakarta ?”

Namun semuanya masih tetap merupakan teka-teki. Dan Buntal tidak mau lagi membuat kepalanya sendiri menjadi pening memikirkan teka-teki yang tentu tidak akan dapat dipecahkannya sendiri.

Yang dipikirkan kemudian adalah justru Raden Juwiring. Jika Surakarta mengetahui rahasia Jati Aking yang dipergunakan sebagai tempat untuk melakukan hubungan antara petugas-petugas sandi dengan orang-orang Pangeran Mangkubumi, maka tentu Raden Juwiring akan mendapat tugas untuk bertindak, karena ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Jati Aking, seperti Juga Ki Wandawa memilihnya untuk pergi ke Jati Aking.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya sebagai anak muda, ia terikat hubungan yang mendalam dengan Raden Juwiring. Setelah beberapa lama ia bersama berada di padepokan Kiai Danatirta, rasa-rasanya Juwiring benar-benar sudah seperti saudaranya sendiri. Bersama-sama mereka melakukan tugas sehari-hari. bersama-sama mereka berlatih dan bahkan bersama-sama mereka pergi menemui Ki Sarpasrana.

“Tetapi keadaan itu telah berubah” berkata Buntal, “sejak Raden Rudira meninggal, maka Raden Juwiring bukan lagi keluarga kami. Ia sudah kehilangan semuanya Bahkan kepribadiannya”

Apalagi apabila teringat oleh Buntal akan Arum. Bagaimana-pun juga ia merasa bahwa Raden Juwiring mempunyai banyak kelebihan daripada dirinya. Jika pada suatu saat Arum menjatuhkan pilihan kepada Raden Juwiring, maka hidupnya tentu akan menjadi semakin sepi. Tanpa orang tua dan sanak kadang. Dan lepaslah sekuntum bunga dari tangannya.

Kuda Buntal itu berpacu semakin cepat. Rasa-rasanya ia ingin segera sampai ke Jati Aking.

Ketika matahari telah menyentuh cakrawala di ujung Barat, rasa-rasanya Buntal ingin memacu kudanya lebih cepat. Bahkan apabila mungkin terbang memintas. Namun ia tidak dapat menuntut lebih banyak lagi dari kudanya yang sudah berlari secepat-cepat dapat dilakukan itu. Apalagi jalan di hadapannya kadang-kadang bukanlah jalan yang baik, sehingga ia justru perlu memperlambat, agar kudanya tidak terperosok ke dalam kubangan yang terdapat di tengah-tengah jalan.

Angin senja terasa semilir menyentuh keningnya. Sekali-sekali Buntal menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya cahaya matahari yang kemerah-merahan tersangkut di bibir awan putih yang berarak di langit.

“Alangkah cerahnya senja ini” berkata Buntal di dalam hatinya. Tetapi senja yang cerah ini telah dibayangi oleh kemelutnya mendung di atas Surakarta karena pertentangan yang terjadi di dalam tubuhnya sendiri, sejak kumpeni semakin dalam mencengkamkan kekuasaannya atas bumi tercinta ini”

Ketika kemudan matahari benar-benar telah tenggelam. Buntal telah menjadi semakin dekat dengan Jati Aking. Sekilas ia masih melihat warna-warna merah di langit, namun sejenak kemudian langit pun menjadi suram.

Buntal tidak lagi berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Jalan-jalan yang kadang-kadang berlubang-lubang dan batu-batu yang bertebaran dapat menjadi sentuhan kaki kudanya. Dengan demikian maka rasa-rasanya jarak ke Jati Aking itu menjadi semakin jauh karenanya.

Dengan dada yang berdebar-debar Buntal melintasi bulak-bulak panjang yang menjadi hijau gelap, dihiasi oleh cahaya kunang-kunang yang seakan-akan seperti ditaburkan di atas daun-daun padi yang mulai rimbun. Sedang di langit pun bintang-bintang bergayutan dari ujung sampai ke ujung.

Buntal menjadi semakin berdebar-debar ketika ia sudah memasuki jalan yang langsung memasuki padukuhan Jati Sari. Lewat padukuhan itu ia akan melintasi bulak yang sempit, dan langsung memasuki padukuhannya, Jati Aking, yang terpisah oleh bulak yang sempit dengan padukuhan induknya, Jati Sari.

Tetapi Buntal kemudian menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti, apakah padukuhan-nya tidak mendapat pengawas-an dari para petugas dari Surakarta.

Bahkan kemudian Buntal mulai membayangkan, bahwa di balik pepohonan itu telah menunggu prajurit-prajurit Surakarta yang akan menje-baknya. Jika petugas sandi Surakarta yang berpencaran menangkap isyarat akan kedatangannya di Jati Aking maka ia tentu tidak akan dapat kembali lagi ke dalam lingkungan pasukan Pangeran Mangkubumi.

Karena itu, maka Buntal pun segera menghentikan kudanya. Ia tidak ingin memasuki padukuhan Jati Sari. Ia ingin mendekati padepokannya lewat arah yang lain. Namun ia tetap harus berhati-hati jalan yang manapun yang akan dipilihnya.

Buntal menarik kekang kudanya, sehingga kudanya segera berputar dan berlari kearah yang berlawanan. Kemudian kuda itu pun berbelok melingkari padukuhan Jati Sari, lewat Jalan sempit menuju ke padepokan Jati Aking.

Tetapi Buntal tidak akan berkuda terus sampai ke halaman padepokannya. Beberapa puluh langkah dari padepokannya, ia berhenti dan mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.

“Aku harus yakin, bahwa tidak ada petugas-tugas sandi atau prajurit-prajurit Surakarta yang sudah siap menunggu kedatanganku. Betapapun tinggi kemampuan ayah Kiai Danatirta, jika prajurit-prajurit Surakarta datang dalam jumlah yang banyak, apalagi disertai Senapati-Senapati terpilihnya, tentu mereka akan berhasil menguasai guru beserta Arum. Yang mereka lakukan kemudian tinggal bersembunyi sambil menunggu kedatanganku”

Karena itu maka Buntal pun kemudian mendekati padukuhannya dengan sangat berhati-hati. Kudanya ditinggalkannya terikat beberapa tonggak dari padepokan itu.

Menurut pengamatan Buntal yang semakin dekat dengan padepokannya, ternyata padepokan itu rasa-rasanya masih tetap tenang. Ia tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan sama sekali. Ia tidak melihat orang-orang lain di daerah padepokannya.

“Agaknya padepokan Jati Aking masih tetap aman” berkata Buntal di dalam hatinya.

Meskipun demikian ia harus tetap berhati-hati. Rasa-rasanya padepokan itu justru terlampau sepi.

Sejenak Buntal menunggu untuk meyakinkan, apakah ia benar-benar tidak akan terjebak.

Ternyata padepokan itu tetap saja sepi. Para pembantu padepokan itu tentu sudah masuk ke dalam bilik masing-masing, kecuali mereka yang pergi ke sawah untuk menunggui arus air.

Tetapi Buntal masih tetap berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan Buntal merayap semakin dekat.

Buntal menarik nafas dalam-dalam ketika ia berdiri di belakang dinding batu yang membatasi halaman padepokannya. Rasa-rasanya memang tidak ada orang lain di dalam padepokannya itu. Apalagi sepasukan kecil prajurit yang menunggu kedatangannya.

Namun Buntal tidak segera mengambil kudanya. Ia masih tetap dengan hati-hati melangkah masuk ke halaman padepokannya, dan kemudian diam-diam pergi ke longkangan di samping.

Tetapi Buntal terkejut bukan kepalang. Dengan menahan nafas ia kemudian melekat pada dinding yang menyekat longkangan itu.

“Seekor kuda” desis Buntal.

Sebenarnyalah Buntal melihat seekor kuda yang belum dikenalnya. Seekor kuda yang besar dan tegar. Tetapi ia pasti, bahwa kuda itu bukan kuda padepokan Jati Aking.

Semakin jelas ia mengamati kuda itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata kuda itu adalah seekor kuda menurut jenis dan pakaiannya, adalah seekor kuda dari pasukan berkuda Surakarta.

Buntal mulai ragu-ragu. Sekilas terbayang olehnya Juwiring, seorang perwira muda pada pasukan berkuda di Surakarta.

“Ia mengenal padepokan ini dengan baik” berkata Buntal di dalam hatinya, “jika rahasia Taman di kaki Bukit sudah didengar oleh orang-orang Surakarta, maka gagallah semuanya”

Tetapi Buntal tidak berhenti sampai di dinding longkangan itu. Perlahan-lahan ia bergeser dengan penuh kewaspadaan. Ia berhenti di sudut longkangan, di dalam bayangan kegelapan. Dengan dada yang berdebaran ia melihat seberkas sinar yang terlempar keluar pintu samping dan jatuh di atas tanah yang kemerah-merahan.

“Apakah sudah ada orang yang menunggu aku?” bertanya Buntal dengan ragu-ragu, “apakah orang itu Bintang Selatan atau orang yang akan menjebak aku?”

Buntal mencoba mengatur perasaannya. Namun kemudian ia menjadi agak tenang. Katanya, “Tentu seorang penghubung dari Surakarta. Aku harus segera menemuinya. Mungkin ia berhasil merampas seekor kuda dari pasukan berkuda dan memperguna-kannya sekali”

Buntal pun bergeser mendekati pintu. Tetapi ketika selangkah lagi ia mendekati berkas cahaya lampu yang meloncat keluar itu, ia tertegun, ia mendengar suara Arum tertawa pendek.

Dan bahkan terdengar suara Arum, “Kau memang membuat aku bingung Raden”

Dan rasa-rasanya dada Buntal akan retak ketika kemudian ia mendengar suara lain, suara seorang laki-laki. Dan suara itu dikenalnya baik-baik. Raden Juwiring.

“Aku tidak dapat, mengatakan kepadamu sebelumnya Arum” berkata Raden Juwiring, “Tetapi untunglah belum terlambat, sehingga semuanya masih dapat diluruskan.

“Semuanya tidak aku duga sebelumnya. Aku menjadi bingung”

Dan yang terdengar kemudian adalah keduanya tertawa cerah.

Buntal adalah seorang anak muda. Ia sadar bahwa ia sedang mengemban tugas yang berat Tetapi ternyata bahwa tiba-tiba saja ia menjumpai persoalan lain di padepokan Jati Aking. Persoalan tentang dirinya sendiri.

Tetapi Buntal pun kemudian menggeram, “Tentu Raden Juwiring pun mendapat tugas seperti aku. Ia harus bertindak terhadap seseorang yang akan melakukan hubungan sandi di Jati Aking. Dan agaknya Arum telah berhasil dipengaruhinya”

Campur baurnya tugas sandinya dan kepentingan pribadinya telah mendorong Buntal menjadi garang. Ia mulai mengenangkan masa-masa lampaunya di padepokan Jati Aking. Buntal seolah-olah melihat, bagaimana dengan tiba-tiba saja ia terlempar ke padepokan itu. Pada saat itu Juwiring sudah lebih dahulu ada di padepokan ini. Terbayang pula hubungan antara Arum dan Juwiring yang sangat rapat. Jika Arum kemudian membenci Juwiring, hanyalah karena Juwiring meninggalkan cita-citanya yang telah terbentuk di padepokan ini. Tetapi sebagai manusia Juwiring mempunyai seribu macam kelebihan dari padanya. Juwiring adalah seorang bangsawan yang kaya raya. Sepeninggal Raden Rudira, Juwiring adalah satu-satunya anak laki-laki Pangeran Ranakusuma. Apalagi ia kemudian adalah seorang perwira pasukan berkuda di Surakarta,

“Kini Raden Juwiring siap untuk mengambil Arum” katanya di dalam hati, “dan bahkan mungkin kematianku pula, karena aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi”

Buntal tidak dapat berpikir lebih panjang lagi. Tiba-tiba saja ia kehilangan pengamatan dirinya. Sikap Juwiring benar-benar tidak dapat dimaafkannya lagi. Bagi Buntal Juwiring telah mengkhianati cita-citanya sendiri, dan kini mengkhianatinya dengan mengambil Arum.

Dengan garangnya Buntal pun kemudian meloncat ke pintu. Terasa dadanya bagaikan terbakar ketika ia melihat Arum dan Juwiring duduk berdua saja di atas sebuah amben yang sempit.

Juwiring dan Arum terkejut melihat seseorang tiba-tiba saja sudah berdiri diambang pintu. Bahkan bukan saja berdiri dengan wajah yang merah padam, tetapi juga dengan sebuah pedang terhunus.

“Buntal” desis Juwiring dan Arum hampir bersamaan.

Buntal sudah tidak mendengar lagi. Dengan suara gemetar ia berkata, “Raden Juwiring. Akhirnya kita bertemu lagi setelah kau mengkhianati pribadimu sendiri. Sekarang kita berhadapan sebagai dua pihak yang memang sedang bermusuhan. Kau berdiri di pihak kumpeni seperti ayahandamu yang sudah menjilat kepada orang asing itu, dan aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi”

“Buntal” desis Raden Juwiring.

Arum yang menjadi bingung sesaat, kemudian berkata, “Kakang Buntal, duduklah. Kita akan berbicara dengan baik. Raden Juwiring memang menunggu kedatanganmu”

“Aku mengerti. Aku sudah mendengar sebagian percakapan-mu. Aku memang sudah merasa bahwa sejak kita masih berkumpul di sini, segalanya aku tidak dapat menyamai Raden Juwiring. Aku adalah seorang anak kabur kanginan. Tanpa ayah dan ibu. Seandainya ada, mereka adalah hamba-hamba dan budak-budak yang tidak berarti. Aku adalah seorang anak yang mengembara di bulak-bulak panjang. di malam hari berselimut langit dan embun, di siang hari dibakar terik matahari” Buntal berhenti sejenak, “namun tiba-tiba senjatanya teracu, “tetapi aku mempunyai harga diri. Aku tidak mengkhianati cita-cita perjuangan padepokan Jati Aking”

“Sabarlah Buntal” berkata Juwiring sareh.

“Kau memang mempunyai kelebihan yang tidak terhitung daripadaku. Kau memiliki segala-galanya. Harta, pangkat dan wajahmu adalah wajah seorang bangsawan”

“Buntal” desis Arum.

“Kau tidak usah ingkar Arum. Jika memang itulah yang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan. Selama ini aku memang belum pernah mengatakan apapun kepadamu”

“Kau salah kakang”

“Aku yakin bahwa aku benar” Buntal menggeram, “tetapi masih ada persoalan lain yang harus diselesaikan. Aku tidak akan menuntut apapun kepadamu Arum. Kau memang berhak memilih. Tetapi sebelumnya aku akan menyelesaikan persoalan-ku lebih dahulu. Aku adalah pengikut Pangeran Mangkubumi”

Seleret warna merah menyala di wajah Raden Juwiring. Tetapi ia masih berusaha untuk menyabarkan dirinya. Katanya, “Duduklah Buntal. Marilah kita berbicara dengan baik. Berbicara secara dewasa. Bukan seperti kanak-kanak yang berebut makanan”

“Aku tidak mempunyai waktu” sahut Buntal. Kemudian, “Raden. Aku sudah mengetahui apa saja yang Raden lakukan selama ini. Kau adalah Senapati pasukan berkuda. Kau pula yang telah datang ke padepokan ini untuk mencari dua orang petugas sandi dari Surakarta yang hilang. Dan banyak lagi yang sudah kau lakukan selama ini sebagai seorang prajurit Surakarta dan seorang putera bangsawan. Dan kini. setiap orang mengetahui bahwa ayahandamu merupakan salah seorang dari pada Senapati yang terpilih untuk ikut memerangi Pangeran Mangkubumi. Bahkan Pangeran Ranakusuma adalah orang yang paling mungkin dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan? Apakah kedatanganmu membawa tugas keprajuritanmu atau sekedar ingin menjemput Arum?”

“Kakang” suara Arum menjadi gemetar, “Kau sebaiknya duduk dahulu kakang. Kau mendengarkan penjelasan yang akan diberikan oleh Raden Juwiring”

“Tidak perlu Arum Semuanya sudah jelas bagiku”

“Tidak”

“Ya”

“Tidak. Kau tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Karena itu duduklah dan dengarkan kata-kata Raden Juwiring”

“Apakah aku harus mendengarkan penjelasannya, kenapa ia datang mengambilmu?” suara Buntal pun menjadi semakin garang, “Arum. Kenapa tidak kau katakan sebelumnya. Dan kenapa kau membiarkan aku menyimpan harapan. Sekarang sudah jelas bagiku. Seperti yang sudah aku duga, bahwa pada suatu saat, Raden Juwiring akan datang untuk mengusir aku dari padepokan ini” Buntal menggeram, “tetapi tidak. Aku kini bukan sekedar Buntal, anak kabur kanginan. Tetapi aku mengemban tugas sebagai pengikut Pangeran Mangkubumi. Aku harus memusnahkan siapa saja yang aku jumpai dan mencoba merintangi usahaku”

“Buntal. Marilah kita lenyapkan kesalah pahaman ini” berkata Raden Juwiring.

Tetapi Buntal seolah-olah tidak mendengar. Ia pun segera bersiaga sambil berkata, “Bersiaplah Raden Juwiring”

“Kau tergesa-gesa Buntal. Persoalannya akan dapat bergeser dari persoalan yang seharusnya”

Tetapi Buntal masih saja tidak menghiraukannya. Bahkan tiba-tiba ia meloncat maju sambil mengacukan pedangnya, dekat sekali ke dada Raden Juwiring.

Raden Juwiring surut selangkah. Namun dalam pada itu, ia masih tetap tenang.

“Raden Juwiring. Cepat ambil senjatamu. Aku tidak akan membunuh orang yang berpangku tangan. Kita adalah murid-murid yang terpercaya dari Jati Aking. Karena itu, aku tidak akan merendahkan perguruan kita dengan membunuhmu sebelum kau menggenggam senjata. Aku tahu, bahwa setelah kau tinggalkan Jati Aking dan kemudian berkhianat atas cita-cita kita bersama, kau adalah murid dari ayahandamu, seorang Pangeran yang memiliki ilmu tiada taranya. Tetapi aku pun mendapat imbangan ilmu dari Kiai Sarpasrana. Nah, sekarang, siapakah di antara kita yang dapat menyebut dirinya murid terbaik dari Kiai Danatirta”

“Buntal” potong Arum.

Namun Raden Juwiring berkata, “Buntal. Bukankah baru sekarang kau katakan, bahwa sebenarnya kau mempunyai harapan untuk hidup bersama Arum. Agaknya selama ini kau bersembunyi dari kenyataan suara hatimu sendiri”

“Bukan hanya aku Raden. Ternyata kau juga berbuat serupa” potong Buntal, lalu, “tetapi aku akan melupakan persoalan itu, persoalan perempuan. Yang ada adalah persoalan antara penjilat kumpeni dan pengikut setia Pangeran Mangkubumi. Hanya itu. Kita tidak perlu berbicara tentang perempuan yang manapun juga”

Wajah Arum menjadi merah padam. Dengan lantang ia berbicara, “Kau menyinggung perasaanku kakang Buntal. Jika kau menjadi gelap mata dan kehilangan akal, karena sebenarnya kau berpikir tentang perempuan. Aku sadar, bahwa kau memang mencintai aku meskipun kau tidak mengatakannya dengan tegas. Dan aku pun tidak dapat ingkar bahwa aku memang mencintaimu. Tetapi kata-katamu, seolah-olah aku adalah perempuan yang hanya dapat menumbuhkan pertengkaran adalah sangat menyakitkan hati”

“Buntal” berkata Raden Juwiring kemudian, “Kau harus menyadari kelambatanmu. Kau adalah seorang laki-laki. Tentu tidak mungkin Arum harus datang kepadamu dan mengatakan isi hatinya. Ia seorang gadis yang terikat oleh batasan-batasan hidup sebagai seorang gadis yang beradab”

“Baik. Baiklah aku menyadari bahwa aku terlambat Sekarang kau sudah terlebih dahulu mendapatkannya. Tetapi aku tidak percaya bahwa persoalannya hanya sekedar karena kelambatanku. Jika semula aku melihat sepercik sinar di dalam hati Arum karena kau tidak ada Raden. Aku hanyalah sekedar pengisi kekosongan semata-mata. Sekarang, karena agaknya Arum sudah mendapatkan apa yang ditunggunya, maka aku tidak akan berarti lagi bagi hidupnya. Dan aku pun tidak akan berjongkok untuk mohon belas kasihan. Aku datang sebagai utusan Pangeran Mangkubumi. Dan kedatanganmu kemari ternyata kurang menguntungkan, karena sejenak lagi akan datang seorang utusan dari Surakarta. Dan orang itu akan melihatmu di sini dan sekaligus akan dapat menjadi saksi pengkhianatanmu kepada semua orang di sekitarmu”

“Buntal” berkata Raden Juwiring, “jika kau mengerti bahwa akan datang seorang petugas sandi dari Surakarta, kenapa hal itu kau katakan kepadaku? Bukankah dengan demikian kau sudah mengucapkan rahasia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang lain?”

“Karena sebentar lagi kau akan mati di sini Raden”

“Buntal” suara Arum melengking, “Kau memang picik. Kau tidak mengerti akan dirimu sendiri”

Buntal tertegun ketika ia melihat air mata meleleh di pipi Arum. Ia seorang gadis yang keras hati. Bahkan ia seorang gadis yang kadang-kadang hanya menuruti kehendaknya sendiri. Tetapi ia kini menangis.

Buntal menahan getaran tangannya yang hampir saja mengayunkan pedangnya. Sekilas ia melihat beberapa orang berdiri di muka pintu. Tetapi tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu.

“Untunglah bahwa agaknya Kiai Danatirta tidak ada di padepokan” desis Buntal, “Tidak akan ada orang yang dapat menghalangi aku membunuh Raden. Juwiring”

Tetapi air mata di pelupuk Arum membuatnya agak ragu-ragu.

“Kakang Buntal” berkata Arum, “Kau memang seorang anak muda yang diburu oleh kebencian dan dendam. Keadaanmu sejak kau terlempar ke dalam keadaan yang tidak menentu, telah mendasari hatimu, sehingga meskipun kemudian kau mendapat tuntunan dari ayah dan kemudian kau menunjukkan sikap yang baik, tetapi pada suatu saat kebencian dan dendam yang mengendap di dasar hatimu sejak kau kanak-kanak itu tidak dapat kau sembunyikan lagi”

“Cukup” potong Buntal, “Kau tidak usah mengungkap masa itu Arum. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa selama ini aku sudah mendapat perlindungan dan bahkan kebaikan yang tidak ada taranya. Aku akan tetap mengenangnya. Tetapi sekarang, aku mempunyai persoalan dengan Raden Juwiring. Tidak dengan kau”

“Jangan ingkar Buntal. Meskipun sebenarnya aku malu sekali mengatakan, tetapi di dasar hatimu, kau sekali lagi merasa kehilangan cinta. Dahulu kau kehilangan cinta kasih orang tuamu dan orang-orang di sekitarmu. Sekarang kau merasa bahwa kau telah kehilangan cintaku. Buntal, aku mencintaimu. Aku berkata dengan jujur”

“Tetapi apa yang kau lakukan sekarang dengan Raden Juwiring?” Buntal membentak, “persetan. Aku tidak peduli apapun juga. Aku akan membunuhnya”

Tiba-tiba wajah Arum menjadi merah. Dan tiba-tiba saja gadis itu meloncat meraih pedang yang tergantung di dinding.

Buntal terkejut melihat sikap Arum. Ternyata gadis itu kemudian menggenggam pedang dan mengacukan pula kepadanya.

“Kakang Buntal. Raden Juwiring kali ini adalah tamuku. Aku berhak melindunginya meskipun ia mampu melindungi dirinya sendiri. Tetapi agaknya Raden Juwiring tidak bersedia menanggapi sikapmu, ternyata ia sama sekali tidak menarik senjatanya”

“Arum” suara Buntal menjadi gemetar.

“Ya. Kita sama-sama murid dari perguruan Jati Aking. Jika Raden Juwiring mendapat ilmu rangkap dari ayahandanya, dan kau dari Kiai Sarpasrana, maka aku tidak mendapatkan ilmu dari orang lain kecuali Kiai Danatirta. Tetapi meskipun demikian, aku tidak akan menyerah. Aku akan menunjukkan bahwa aku mampu mengimbangi kalian dengan ilmu kalian masing-masing”

“Arum” desis Buntal, “sebaiknya kau tidak ikut campur. Serahkan persoalan antara aku dan Raden Juwiring kepada kami. Kami adalah laki-laki yang tahu bagaimana kami harus berhadapan sebagai laki-laki”

“Aku tidak peduli apakah aku laki-laki atau perempuan. Tetapi kau wajib tunduk kepadaku karena akulah yang memiliki rumah ini. Jika ayah tidak ada, akulah yang bertanggung jawab”

Wajah Buntal menjadi merah padam. Kemudian dipandanginya Raden Juwiring sambil berkata, “Raden Juwiring Apakah kau membiarkan dirimu mendapat perlindungan dari seorang perempuan? Ataukah kalian memang sudah bersepakat untuk mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi”

Buntal menjadi tidak sabar lagi ketika ia masih mendengar Raden Juwiring berkata, “Sebaiknya kita berbicara dengan mulut kita. Tidak dengan senjata teracu. Arum, kau jangan membiarkan perasaanmu berbicara. Aku berharap bahwa Buntal pun akan menyadari kesalahannya”

“Persetan. Aku tidak bersalah”

“Di antara kita telah terjadi salah paham, Buntal. Kau terburu nafsu. Ketika kau melihat aku duduk berdua dengan Arum, maka kau sudah kehilangan pikiran warasmu”

“Diam, diam”

“Raden. Agaknya kakang Buntal memang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi”

“Kenapa tidak. Aku mengharap kau dapat berbicara sebaik-baiknya”

“Cukup. Cukup” potong Buntal.

Raden Juwiring menjadi termangu-mangu sejenak. Sekilas ia melihat kegelisahan di luar pintu. Beberapa orang berusaha mencari Kiai Danatirta untuk melaporkan apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak berani minta pertolongan kepada orang-orang padukuhan Jati Sari, karena mereka tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa.

Tetapi mereka tidak segera menemukan Kiai Danatirta. Karena itu salah seorang dari mereka pun segera berlari-lari ke sawah untuk mencarinya. Barangkali Kiai Danatirta sedang berada di sawah menunggui air.

Dalam pada itu, keadaan di bilik yang tegang itu menjadi semakin tegang. Buntal tidak dapat mengelak lagi dari amukan api cemburu. Mau tidak mau ia harus mengakui, bahwa ia bukan saja mengacukan pedangnya karena dia pengikut Pangeran Mangkubumi, tetapi juga karena perasaannya yang dihantui oleh kesepian. Seperti yang dikatakan Arum, Buntal menjadi sangat ketakutan bahwa ia akan kehilangan cinta sekali lagi, setelah cinta kasih orang tuanya direnggut selagi sedang berkembang. Dan kini, cintanya sebagai seorang anak muda terhadap seorang gadis akan patah selagi bersemi.

Dengan suara gemetar Buntal itu pun kemudian berkata, “Baiklah aku mengaku Arum. Aku harus mempertahankan harga diriku. Meskipun aku akan kehilangan sekali lagi setelah kasih sayang orang tuaku, maka satu-satunya yang aku miliki adalah harga diriku. Harga diri sebagai seorang laki-laki, dan harga diri sebagai seorang pejuang” Buntal berhenti sejenak, “dan kini jika kau memang memilih orang lain Arum, apa-boleh buat. Dan jika kau pun telah mengkhianati perjuangan Pangeran Mangkubumi, maka sekali lagi aku katakan, apa-boleh buat”

“Hatimu menjadi gelap kakang. Cobalah dengarkan Raden Juwiring memberi penjelasan” Lalu katanya kepada Raden Juwiring, “kenapa kau diam saja Raden. Kau harus mengatakan sebelum terlambat. Kakang Buntal benar-benar sudah menjadi mata gelap. Dan baginya tidak ada jalan lain kecuali pedang kita harus beradu”

Raden Juwiring termangu-mangu sejenak. Namun Buntal sudah mendahului, “Aku tidak memerlukan penjelasan apapun”

Selangkah ia maju dan pedangnya benar-benar telah menyentuh tubuh Raden Juwiring yang masih belum menarik senjata.

“Kau takut he?” bentak Buntal, “Aku masih memberimu kesempatan. Jika waktu itu habis, bersenjata atau tidak, aku akan membunuhmu”

“Tidak” teriak Arum, “Aku berhak melindunginya”

Arum pun kemudian maju selangkah. Pedangnya benar-benar teracu ke arah tubuh Buntal. Katanya, “Kakang Buntal. Kau harus menyadari, bahwa jika aku mau aku dapat membunuh seorang kumpeni yang aku jumpai di parit itu. Jika kau masih juga berkeras hati, aku pun akan kehilangan segala pertimbangan”

Buntal memandang Arum dengan ragu-ragu, sementara Arum berkata lantang, “Raden Juwiring, kenapa kau diam saja. Katakan apa yang hendak kau lakukan di sini, sebelum semuanya terlanjur. Apakah kau memang menunggu kesempatan yang demikian?”

Raden Juwiring memandang Buntal yang wajahnya menjadi tegang. Selangkah ia surut. Kemudian katanya, “Buntal Aku minta untuk yang terakhir kalinya. Dengarlah aku. Kemudian jika kau akan membunuhku, lakukanlah. Atau jika kau mau berperang tanding, aku akan melayanimu. Apakah kau mau?”

Buntal termangu-mangu sejenak.

“Jika masih ada sisa rasa persaudaraanmu, dengarlah aku”

Buntal masih tegang.

“Kau mau?”

“Jangan mencoba bergurau” bentak Buntal, “Apakah dengan demikian kau mengharap hatiku menjadi luluh dan memberimu maaf atas kesalahan gandamu”

“Dengar dahulu kata-katanya” potong Arum hampir berteriak.

Juwiring memberi isyarat agar Arum berdiam diri saja. Tetapi kegelisahan di hati Arum memaksanya untuk bergeser semakin dekat dengan pedang di tangan.

“Buntal” berkata Juwiring, “Aku memang menunggu saat yang tegang ini. Sebenarnya aku sudah ingin mengucapkan persoalanku dengan padepokan ini, tetapi tiba-tiba saja aku ingin mendengar pengakuanmu. Dalam keadaan yang wajar, kau dan Arum tidak akan dapat mengucapkan pengakuan cintamu masing-masing. Tetapi sekarang, kau sudah mengatakannya dan Arum pun sudah mengakuinya pula. Kalian tidak perlu saling berdiam diri dan saling menunggu. Kalian memang saling mencintai, dan kalian adalah anak-anak muda yang sepantasnya untuk mengikat perasaan masing-masing”

Wajah Buntal dan Arum menjadi merah. Bahkan Arum yang menggenggam pedang itu pun kemudian menundukkan kepalanya. Pedangnya pun seakan-akan merunduk karenanya.

Tetapi Buntal masih tetap dalam sikapnya. Katanya, “Kau akan membuat aku lengah”

“Tidak Buntal. Seharusnya kau pun bersikap jantan menghadapi Arum. Kau harus berani datang kepadanya dan berkata bahwa kau cinta kepadanya. Semuanya akan berlangsung seperti yang kau harapkan”

“Cukup. Sekarang apalagi yang akan kau katakan. Kau akan mengatakan bahwa aku telah terlambat dan Arum sudah terlanjur berjanji kepadamu untuk menjadi isterimu? Isteri seorang bangsawan yang mempunyai seribu macam kelebihan dari aku?”

“Kakang” pekik Arum.

Juwiring menggeleng, “Tidak Buntal. Aku tidak akan berkata demikian. Sekarang aku menunggu keputusanmu, apakah yang akan kau lakukan. Aku merasa bahwa tugasku bagi adik-adikku sudah selesai”

Buntal menjadi termangu-mangu. Namun pedangnya masih teracu.

“Kenapa kau ragu-ragu”

Buntal masih tetap tegak di tempatnya,

Juwiring yang berdiri beberapa langkah di hadapannya masih nampak tenang. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menarik senjatanya. Bahkan kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Nah. Bukankah sudah jelas bagimu Buntal. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku justru telah mendengar pengakuan dari kalian berdua. Kemudian, terserahlah kepada kalian berdua, apa yang akan kalian perbuat di antara kalian”

Arum perlahan-lahan telah bergeser surut. Bahkan kemudian ia memalingkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan. Sedang Buntal berdiri termangu-mangu di tempatnya.

Namun sejenak kemudaan Buntal masih menggeram, “Raden Juwiring. Mungkin aku dapat mempercayaimu, bahwa kau memang tidak akan membawa Arum. Tetapi kau telah mempergunakan keadaan ini untuk mempersulit kedudukanku. Kau adalah seorang pengkhianat. Aku tidak akan dapat membiar-kan kau pergi. Tetapi jika aku bertindak atasmu, maka seolah-olah kau menuduh bahwa aku telah dibakar oleh gelap hati karena cemburu. Bahkan Arum menyebutku sebagai dendam dan kebencian yang tersembunyi di dalam hatiku, yang pada suatu saat telah terungkat, pada saat-saat aku menjadi ketakutan akan kehilangan cinta. Karena itu, sebaiknya aku tidak bertindak sendiri. Aku akan membawamu menghadap Kiai Sarpasrana atau Ki Wandawa”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya.

“Raden” berkata Buntal, “di dalam hal ini kau tidak akan dapat membujuk aku. Ada atau tidak ada persoalan dengan Arum, kau memang wajib ditangkap”

Arum mengangkat wajahnya. Dipandanginya Raden Juwiring yang sesaat menjadi tegang.

“Buntal” berkata Raden Juwiring, “Apakah kau percaya kepadaku bahwa aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengan Arum”

“Yang aku persoalkan adalah pengkhianatanmu”

Raden Juwiring memandang Arum yang juga memandanginya. Katanya, “Arum, sebagai seorang yang tertua dari perguruan Jati Aking, aku berharap bahwa kalian tidak akan menjadi salah paham lagi. Aku tidak akan menjadi sakit hati jika persoalan yang ada di antara aku dan Buntal kemudian bukan karena kau, tetapi karena alasan lain”

Arum tidak menyahut Dan Buntal berkata, “Nah, jika demikian menyerahlah. Biarlah Ki Wandawa mengambil keputusan atasmu”

“Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Menangkapmu”

“Bagaimana dengan petugas sandi yang bakal datang itu nanti. Apakah kau biarkan ia datang tanpa menemuimu?”

Buntal menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah ia menjadi agak bingung.

Namun kemudian ia berkata, “Raden Juwiring. Aku harus menangkapmu. Menyimpanmu di dalam tempat yang meyakin-kan aku bahwa kau tidak akan melarikan diri, sehingga saatnya kau akan aku bawa menghadap Ki Wandawa”

“Kalau aku tidak mau” bertanya Juwiring.

“Aku akan memaksamu”

“Sudahlah Raden” berkata Arum, “bukankah Raden mengatakan bahwa waktunya terlampau sempit? Dan Raden masih saja membuang-buang waktu”

Juwiring mengerutkan keningnya, sedang Buntal menjadi tegang, “Apakah maksudmu?”

“Tidak apa-apa” sahut Juwiring, “sebenarnyalah waktuku memang terlampau sempit. Buntal, jika persoalan Arum memang sudah selesai dan kau yakini, maka marilah kita mempersoalkan masalah yang barangkali penting bagimu. Sebaiknya kau mendengarkan aku berbicara tanpa menggenggam senjata”

Tetapi Buntal justru mengangkat senjatanya teracu kearah Juwiring sambil berkata, “Kau mencari kesempatan”

“Tidak Buntal” desis Raden Juwiring perlahan-lahan, “Marilah kita berbicara. Apakah kau pernah mendengar ceritera tentang Bintang Selatan?”

“He” pertanyaan Juwiring itu rasa-rasanya telah menghentak dada Buntal. Sejenak ia berdiri tegang dengan tatapan yang menusuk langsung ke dada Juwiring.

Juwiring masih tersenyum di tempatuya. Katanya, “Sarungkan dahulu senjatamu. Kau memang berhadapan dengan Bintang Selatan. Sebutlah ciri sandimu, atau aku harus menangkap kau karena aku sudah terlanjur menyebutkan sandi itu?”

Buntal masih berdiri dengan perlahan-lahan mulutnya menyebut, “Angin Utara, apakah aku harus menjawab demikian?”

Juwiring tertawa. Katanya, “Bagaimanakah pesan Ki Wandawa?”

Buntal masih tetap berdiri dalam kebingungan. Yang dilakukan kemudian hampir di luar sadarnya. Dengan tangan gemetar ia menyarungkan pedangnya betapapun ia dicengkam oleh keragu-raguan. Tetapi ia sudah mendengar Juwiring menyebutkan kata sandi itu. Bintang Selatan. Dan sebutan itu adalah sebutan yang dimiliki oleh petugas khusus dari Surakarta.....

“Buntal” berkata Juwiring, “sebenarnya aku juga tidak mengerti bahwa kita akan bertemu. Tetapi justru karena kau sudah mengatakan bahwa akan ada petugas sandi dari Surakarta yang datang, maka aku menduga, bahwa kaulah yang mendapat tugas dari para pimpinan petugas sandi pamanda Pangeran Mangkubumi, Karena itu aku justru sempat menunggumu berbicara tentang Arum”

Rasa-rasanya segenap tubuh Buntal menjadi gemetar. Ia terduduk di amben kecil dengan lemahnya.

“Nah, kemudian kita akan berbicara tentang perjuangan rakyat Surakarta ” berkata Juwiring kemudian.

Buntal mengusap keringat yang mengembun di keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang Arum yang masih berdiri. Tetapi Arum sudah memutar tubuhnya dan membelakanginya

“Arum” berkata Raden Juwiring, “kemarilah, dan duduklah”

Arum tidak beranjak dari tempatnya. Ia berdiri dengan kepala tunduk. Tetapi ia pun telah menyarungkan pedangnya dan kemudian meletakkannya di atas aju-aju di sudut ruangan.

Sementara itu orang-orang yang berada di luar ruangan menjadi heran. Mereka tidak tahu dengan pasti apa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda di dalam ruangan itu. Mereka hanya mendengar sepatah-patah mereka bertengkar, dan kemudian pertengkaran itu mereda, tanpa mengetahui arti kata-kata mereka.

Orang-orang itu ikut menarik nafas lega. Yang mencari Kiai Danatirta ternyata masih juga belum kembali, karena Kiai Danatirta memang tidak diketemukan di sawahnya.

Buntal kemudian duduk dengan kepala tunduk. Perlahan-lahan ia mulai menilai sikapnya. Ternyata Raden Juwiring memang lebih dewasa dari dirinya. Anak muda itu tidak cepat kehilangan pegangan. Bahkan ia masih sempat memanfaatkan keadaan yang tegang itu.

Ketika dia mendengar Juwiring tertawa pendek melihat sikap Buntal dan Arum, maka Buntal itu pun berkata, “Kau telah mempermainkan aku Raden”

“Tidak Buntal. Aku mengerti bahwa kau memerlukan suatu saat yang khusus untuk membuka hatimu. Dan aku melihat, agaknya saat itu dengan tiba-tiba saja telah datang” Raden Juwiring berhenti sejenak, lalu, “sekarang baiklah kita berbicara tentang Surakarta. Dengarlah. Aku sudah mendapat kepastian, bahwa menjelang dini hari malam ini, pasukan Surakarta yang lengkap akan mengepung Pandan Karangnangka.

“Menjelang dini hari? Dan Raden masih sempat bergurau sekarang ini?”

“Aku hanya menyita waktu sedikit. Sekarang kau harus segera kembali ke Pandan Karangnangka dengan berita itu. Pasukan itu akan dipimpin oleh Senapati Agung dari Surakarta didampingi oleh perwira kumpeni. Sepasukan kumpeni akan ikut di dalam penyergapan itu”

“Jadi maksud Raden, Pangeran Mangkubumi harus bersiap melawan mereka”

“Tergantung kepada perhitungan pamanda Pangeran Mangkubumi. Tetapi pasukan yang akan datang, adalah pasukan yang kuat sekali. Senapati itu adalah pamanda Pangeran Yudakusuma, kemudian didampingi oleh pengapit Tumenggung Sindura dan ayahanda Ranakusuma”

Buntal mengerutkan keningnya, Kemudian dari Raden Juwiring ia mendengar penjelasan terperinci dari kekuatan yang akan mengepung Pandan Karangnangka itu”

Sejenak Buntal termangu-mangu. Ada semacam keragu-raguan yang mengendap di hatinya. Selama ini ia melihat Raden Juwiring sebagai seorang Senapati muda dari pasukan berkuda. Namun kini tiba-tiba saja Raden Juwiring itu ternyata tetap berada pada pendiriannya sejak ia masih berada di padepokan Jati Aking.

“Buntal” berkata Raden Juwiring, “kenapa kau nampak ragu-ragu”

“Tidak, aku tidak ragu-ragu”

Tetapi Buntal tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang terbersit di tatapan matanya. Karena itu maka Raden Juwiring berkata, “Sepantasnya kau ragu-ragu Buntal. Tetapi jika tidak ada orang dalam, di dalam lingkungan keprajuritan Surakarta, maka rahasia semacam ini tidak akan pernah sampai kepada Pamanda Pangeran Mangkubumi. Karena itu, harus ada orang yang bersedia berkorban, Setidak-tidaknya mengorbankan perasaan-nya atas tuduhan yang keliru”

“Maaf Raden”

“Bukan maksudku. Justru demikianlah seharusnya. Kau harus berdiri di atas sikap dan pendirianmu. Sementara aku memang sudah menyerahkan diri ke dalam tugas ini. Jika kau mengetahui bahwa aku tidak sebenarnya berpihak kepada Surakarta, maka rahasiaku akan mungkin sekali terbuka”

“Tetapi aku tentu akan tetap memegang rahasia itu seandainya aku mengetahui”

“Bukan aku tidak percaya kepadamu Buntal. Tetapi itu adalah suatu sikap berhati-hati” Raden Juwiring berhenti sejenak, lalu, “sekarang, tugas kita masing-masing harus segera kita selesaikan. Kau kembali ke Pandan Karangnangka, dan aku harus menyusup kembali ke dalam pasukanku”

Buntal masih saja termangu-mangu. Sekilas dipandanginya wajah Arum. Wajah yang masih saja buram.

“Arum” berkata Buntal, “kau mau memaafkan aku bukan?”

Arum tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya justru menunduk dalam-dalam.

“Agaknya kau lebih dahulu mengetahui bahwa Raden Juwiring tetap berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi”

“Tentu” sahut Arum, “sebab Raden Juwiring percaya kepadaku, karena aku…” Arum tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Meskipun ia ingin menyatakan kejengkelannya, namun suaranya bagaikan tersumbat.

Raden Juwiring justru tertawa mendengarnya. Katanya, “Sudahlah. Itu adalah salah paham semata-mata. Menurut pendengaranku, di dalam kehidupan keluarga salah paham akan sering terjadi. Dan, kalian harus berhati lapang untuk melupakannya apabila kalian sudah menemukan persesuaian. Demikian juga salah paham yang telah terjadi. Kalian harus melupakan saat ini dan untuk seterusnya tidak akan kalian singgung-singgung lagi”

Arum menjadi semakin tunduk. Bahkan Buntal pun menjadi tersipu-sipu karenanya.

“Nah” berkata Raden Juwiring kemudian, “semuanya sudah selesai. Tugas kita sekarang adalah menyelamatkan pasukan pamanda Pangeran Mangkubumi”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian, “tetapi, apakah guru tidak ada di rumah?”

Raden Juwiring memandang Arum sejenak, lalu, “Aku juga belum bertemu dengan ayah”

Arum menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu, kemana ayah pergi”

Tetapi sebelum mereka berkata lebih jauh lagi, terdengar suara, justru dari ruang dalam, “Aku di sini anak-anak”

Semuanya terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian mereka melihat Kiai Danatirta benar-benar muncul dari ruang dalam.

“Ayah ada di rumah?” bertanya Arum.

Kiai Danatirta tertawa. Katanya, “Ya, aku ada di rumah. Aku juga tahu, dua tiga orang pelayan berlari-lari mencari aku. Dan aku juga tahu apa yang telah terjadi”

Tiba-tiba saja Arum berlari ke ayahnya. Sambil mencubit lengannya bertubi-tubi ia berkata, “Ayah memang nakal. Ayah membiarkan kami bertengkar tidak ada ujung pangkalnya”

Kiai Danatirta masih tertawa perlahan-lahan. Sambil duduk di atas amben kecil itu pula ia berkata, “Aku memang berharap sekali-kali kalian bertengkar. Semula aku memang akan menjelaskan persoalannya. Tetapi karena menurut pendapatku, angger Juwiring telah memilih cara yang tepat, maka aku pun justru bersembunyi saja di ruang dalam”

Ketika Arum mencubit lagi, ayahnya bergeser sambil berkata, “Sudahlah Arum. Nanti ayah menjadi merah biru”

“Tetapi ayah mengganggu kami”

“Aku mengerti bahwa akhirnya semua akan selesai dengan baik, karena aku tahu pasti, bahwa Raden Juwiring sedang mengemban tugas, dan Buntal pun demikian pula”

“Jadi ayah tahu bahwa Raden Juwiring sampai saat ini tetap berdiri di pihak Pangeran Mangkubumi?”

Kiai Danatirta mengangguk. Katanya, “Aku adalah satu-satunya orang yang diberitahu oleh Raden Juwiring tentang dirinya. Dan aku pun harus menyesuaikan diriku pula. Aku tidak mengatakannya kepada siapapun”

“Ayah telah membuat kami kebingungan selama ini” berkata Arum, “dan apakah ayah sudah tahu pada saat Raden Juwiring datang mencari merjan?”

Ayahnya mengangguk sambil tersenyum.

“Terlalu, terlalu sekali” Arum mencubit lengan ayahnya lagi berkali-kali.

“Jangan Arum, jangan. Tanganmu bukan tangan gadis kebanyakan”

Buntal yang sebenarnya juga merasa heran, Ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sedang Raden Juwiring tersenyum sambil berkata, “Akulah yang harus minta maaf Arum. Aku memang berpesan kepada Kiai Danatirta agar tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Bukan berarti aku tidak mempercayai kalian berdua. Tetapi semata-mata karena aku menjaga ketenangan diri dalam tugasku”

Arum tidak menyahut. Sedang Buntal termangu-mangu.

“Arum” berkata ayahnya, “bagaimanapun juga aku percaya bahwa semuanya akan berakhir dengan baik. Aku menganggap bahwa Raden Juwiring telah bersikap dewasa, karena ia memang tertua di antara kalian. Sedangkan kalian yang lebih muda kadang-kadang masih terlampau mudah disentuh oleh api kemarahan sehingga tanpa disengaja, rahasia yang ada di dalam diri kalian terloncat keluar”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari hal itu. Baru saja ia telah membuat suatu kesalahan sebagai petugas sandi hanya karena hatinya dibakar oleh perasaan yang tidak menentu.

“Sekarang” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Kau tentu menyadari betapa pentingnya tugasmu. Hari telah menjadi semakin malam. Sedang saat ini pasukan Surakarta tentu sudah bersiap. Menjelang dini hari mereka harus sudah mengepung Pandan Karangnangka. Pada saat matahari terbit mereka akan menyerang padukuhan itu dari satu jurusan dengan gelar yang lengkap, sedang di tempat lain, mereka sudah siap mengepung sehingga tidak seorang pun akan dapat lolos dan melarikan diri. Bukankah begitu Raden?”

“Ya Kiai”

“Karena itu Buntal. Bukan berarti aku akan mengusirmu. Tetapi lakukan tugas ini sebaik-baiknya”

Buntal memandang Raden Juwiring sejenak. Dilihatnya Raden Juwiring mengangguk sambil berkata, “Demikianlah Buntal. Aku pun harus segera berada di pasukanku kembali. Aku akan ikut menyerang Pandan Karangnangka di bawah Senapati Pengapit Pangeran Ranakusuma.

“Tetapi bagaimana dengan ayahanda Raden?”

“Aku adalah puteranya. Aku harus tunduk atas segala perintahnya. Tetapi jika Pandan Karangnangka telah kosong, bukankah aku tidak akan bertempur dengan siapapun juga?”

“Tetapi bagaimana jika Pangeran Mangkubumi mengambil keputusan untuk melawan?”

Juwiring tersenyum. Katanya, “Aku akan menemukan jalan keluar. Tetapi sebenarnyalah pasukan Surakarta terlampau kuat”,

“Tetapi Pangeran Mangkubumi adalah seorang prajurit sejati”

“Menghindari perang yang tidak seimbang bukan berarti lari atau ingkar akan kuwajiban. Tetapi itu berdasarkan atas pertimbangan yang masak untuk tujuan terakhir dari peperangan”

Buntal mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku harus segera menyampaikan persoalan ini kepada Ki Wandawa” ia terdiam sejenak, lalu, “Jika demikian Kiai, aku mohon diri untuk segera kembali ke Pandan Karangnangka”

“Aku berdoa untuk kalian. Bukankah Raden Juwiring juga harus segera kembali ke pasukannya?”

“Ya Kiai. Aku juga akan segera mohon diri”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya, “Perjuangan kalian masih akan memerlukan waktu dan tenaga. Hati-hatilah”

Kedua anak muda itu pun hampir bersamaan telah berdiri dan bersiap untuk pergi.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba Arum berdesis, “Ayah”

Kiai Danatirta berpaling kepadanya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Ada apa Arum? Apakah ada yang akan kau katakan?”

Arum hanya menundukkan kepalanya.

“Apakah kau akan ikut?”

Sejenak Arum diam. Tetapi kemudian kepalanya terangguk kecil.

“Ada dua orang yang akan pergi kearah yang berlainan. Yang manakah yang akan kau ikuti?”

Wajah Arum menjadi merah. Sekali lagi ia mencubit lengan ayahnya bertubi-tubi sambil berdesah, “Ayah selalu mengganggu aku”

Kiai Danatirta tertawa. Namun kemudian Juwiring pun tertawa, “Kau tentu memilih ikut aku Arum”

Buntal lah yang kemudian menjadi tersipu-sipu. Tetapi ia tersenyum meskipun tidak menyahut sama sekali

“Baiklah Arum” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Aku tahu. bahwa kau benar-benar berniat untuk pergi. Pergilah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati di dalam segala tingkah lakumu. Kau tidak dapat bersikap kekanak-kanakan terus-menerus di mana-mana. Kau harus menyesuaikan dirimu. Jika kau dituntut oleh keadaan karena keperempuananmu di dalam menentukan kuwajiban, maka kau jangan ingkar”

Arum mengangguk.

“Dan sudah barang tentu kau harus tunduk kepada pimpinanmu. Mungkin kau akan mendapat tempat yang lain dengan kakakmu. Dan kau tidak boleh mengikuti perasaanmu saja”

Sekali lagi Arum mengangguk.

“Cepatlah berkemas. Waktu hanya sedikit sekali.

Arum pun segera berkemas, sementara seorang pelayan menyiapkan kudanya.

“Aku titipkan Arum kepadamu Buntal. Aku kira sebentar lagi Jati Aking tidak akan aman lagi baginya. Jika orang-orang Surakarta mengetahui peranan Taman di kaki Bukit ini, maka semuanya akan menjadi sulit”

Buntal memandang wajah gurunya dengan tajam. Kemudian terloncat pertanyaan dari mulutnya, “Guru, apakah pada suatu saat, ada kemungkinan padepokan ini akan menjadi sasaran prajurit di Surakarta ?”

“Bukan mustahil Buntal. Tetapi baiklah hal itu kita bicarakan kemudian. Sekarang pergilah menunaikan kuwajibanmu sebaik-baiknya”

Ketiga anak-anak muda itu pun sekali lagi minta diri. Kemudian mereka meninggalkan Jati Aking untuk melakukan tugas masing-masing. Juwiring kembali ke pasukannya yang sudah siap bergerak mengepung Pandan Karangnangka dan kemudian menghancurkan padukuhan itu menjelang pagi.

Buntal yang kemudian mengambil kudanya dan Arum pun berpacu secepat-cepat dapat dilakukan. Hanya kadang-kadang mereka harus memperlambat derap kudanya karena jalan yang licin atau berlubang-lubang. di sepanjang jalan tidak banyak yang mereka percakapkan. Kecuali Arum dan Buntal masih di antarai oleh keseganan masing-masing karena salah paham yang baru saja mereka selesaikan, mereka pun ingin segera sampai ke Pandan Karangnangka untuk menyampaikan berita yang sangat penting itu.

“Tidak mustahil kita bertemu dengan pengawas yang sudah dipasang oleh orang-orang Surakarta ” berkata Buntal.

Arum tidak menjawab, sehingga Buntal menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi karena yang akan dikatakannya adalah persoalan yang dianggapnya penting, maka ia pun berkata pula, “sebaiknya kita tidak menempuh jalan induk. Juga tidak melalui jalur yang menuju ke Surakarta selain jalan induk. Kita akan melalui jalan yang bertentangan, karena jalan dari Surakarta atau bahkan mungkin dari Pandan Karangnangka, sudah mendapat pengawasan”

Arum menarik nafas dalam-dalam. Ia masih segan untuk terlalu banyak berbicara. Meskipun demikian ia mengangguk sambil menjawab, “Aku mengikutimu jalan manapun yang kau tempuh”

Buntal menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti perasaan Arum.

Demikian mereka berdua kemudian mengambil jalan melingkar seperti saat Buntal memasuki padepokan Jati Sari. Dengan demikian mereka akan mengurangi kemungkinan pengawasan dari para petugas sandi di Surakarta.

Ternyata usaha Buntal itu berarti tanpa mereka sadari. Jalan yang menuju ke Pandan Karangnangka memang mendapat pengawasan secermat-cermatnya sebelum pasukan Surakarta mengepung padukuhan itu. Terutama jalan masuk dari. juru san Surakarta.

Tetapi Buntal mengambil jalan yang lain. Seperti ketika ia memasuki padukuhannya, Jati Sari, maka ia menjadi sangat berhati-hati.

Dengan demikian maka beberapa orang petugas sandi yang berada di tepi jalur jalan dari Surakarta tidak melihat kedatangannya.

Beberapa kali para pengawas itu melihat beberapa orang peronda yang berjalan mengitari Pandan Karangnangka. Tetapi para peronda itu sama sekali tidak melihat mereka.

Dalam pada itu, Buntal dan Arum dengan diam-diam telah sampai di regol padukuhan. Para penjaga yang menghentikannya, kemudian mempersilahkan mereka berdua untuk segera menghadap Ki Wandawa.

“Marilah Buntal” Ki Wandawa mempersilahkannya ketika ia berada di depan pintu.

“Aku datang bersama adikku Ki Wandawa”

Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah adikmu itu?”

“Arum”

“Arum? Seorang gadis?”

“Ya”

Ki Wandawa terdiam sejenak. Kemudian ia berkata dengan nada yang tinggi, “Masuklah. Bawa adikmu masuk”

Keduanya pun kemudian masuk ke dalam ruangan itu. Seperti pada saat Buntal menerima perintah, maka ruangan itu masih tetap kosong, selain Ki Wandawa sendiri, seolah-olah Ki Wandawa tidak bergerak dari tempatnya sejak ia memberikan perintah kepada Buntal untuk pergi ke taman di kaki bukit.

“Buntal” bertanya Ki Wandawa dengan nada yang datar, “kenapa kau bawa adikmu itu. Bukankah kau sedang menjalankan tugas yang cukup berat”

Buntal termangu-mangu mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian ia menjawab, “ia ingin ikut berjuang bersamaku Ki Wandawa”

“Siapa yang mengatakan begitu?”

“Adikku”

“Apakah kau tahu apa yang dikatakannya itu sesuai dengan yang dipikirkannya?”

“Aku tahu pasti”

“Tidak. Kau sudah berbuat kesalahan yang besar sekali. Tidak ada orang yang boleh mengetahui hubungan yang sedang kau lakukan. Adikmu, ayahmu dan saudara-saudaramu tidak”

“Tetapi, aku berani menanggung segala akibatnya Ki Wandawa. Jika adikku berbuat sesuatu yang dapat merugikan perjuangan ini, biarlah aku yang digantung”

“Tetapi jika kesalahan itu sudah terlanjur membawa korban, tidak ada artinya kau digantung setinggi pohon kelapa sekalipun. Karena itu, pergilah. Kau tidak akan mendengar penjelasan apapun lagi. Tetapi kau akan segera berada di bawah pengawasan beberapa orang petugas”

“Ki Wandawa”

“Kau sudah melakukan kesalahan yang besar di dalam tugasmu. Jika kau tidak dalam tugas rahasia bahkan sangat rahasia, kami akan menerima kedatangan adikmu dengan baik. Tetapi dalam keadaan ini semuanya harus diyakinkan lebih dahulu, apakah kau tidak terdorong dalam suatu perangkap yang dapat merugikan keseluruhan kita”

“Tetapi aku belum melaporkan, apa yang baru saja aku lakukan Ki Wandawa. Jika memang aku dianggap bersalah, aku tidak akan ingkar. Tetapi aku akan memberikan laporan lebih dahulu. Yang aku dengar memang penting sekali bagi Pandan Karangnangka”

“Dan yang penting sekali itu sudah bocor ke telinga orang lain. Jika besok atau lusa, akibat dari kecerobohanmu ini akan mulai nampak, maka kau tidak akan dapat diampuni lagi”

“Kakang” desis Arum.

Buntal menggamit Arum. Kemudian ia pun menjawab, “Aku akan bersedia menerima hukuman apapun. Tetapi sebaiknya aku akan melaporkan tugasku”

“Adikmu harus dibawa pergi lebih dahulu. Baru kau berbicara”

“Ia sudah mengetahuinya”

“Itulah yang sudah aku duga. Dengan demikian maka kau dan adikmu akan selalu berada di bawah pengawasan untuk beberapa lama”

“Bukan aku yang memberitahukan kepadanya”

Ki Wandawa mengerutkan keningnya. Suaranya menjadi dalam, “Siapa?”

“Bintang Selatan”

“He” wajah Ki Wandawa menjadi merah. Katanya kemudian, “Kau berbohong. Orang yang mendapat kepercayaan dari petugas sandi di Surakarta tidak akan begitu bodoh mengatakan rahasia itu kepada setiap orang”

“Tetapi demikianlah yang telah terjadi. Ketika aku datang, justru hampir terjadi salah paham antara aku dan Bintang Selatan yang sudah aku kenal sebelumnya”

Ki Wandawa termangu-mangu.

“Ki Wandawa” berkata Buntal kemudian, “pada waktu itu di Taman di kaki Bukit itu memang telah bertemu Bintang Selatan, Angin Utara dan Bunga di Batu Karang”

Ki Wandawa menjadi bingung. Katanya, “Aku adalah orang tertinggi di pasukan Pangeran Mangkubumi yang mengurusi masalah sandi. Tetapi aku belum pernah mendengar Bunga di batu Karang”

“Memang bukan nama sandi. Tetapi jika dikehendaki, aku akan bertanggung jawab. Karena itu, Ki Wandawa sebaiknya segera mendengar laporanku. Kemudian terserah apa yang akan Ki Wandawa lakukan terhadap kami berdua”

Ki Wandawa memandang, tatapan mata Buntal yang tajam. Ia adalah seorang yang memiliki pengalaman yang masak, sehingga karena itu, maka Ki Wandawa itu dapat menjajagi perasaan yang terberat di dalam dada Buntal. Apalagi ketika ia melihat wajah gadis yang dikatakan oleh Bupati sebagai adiknya itu. Ia melihat wajah itu nampak bersih.

Karena itu, maka Ki Wandawa pun kemudian berkata, “Buntal, katakanlah Tetapi lebih dahulu sebutlah alasanmu mengapa kau menyebut Bunga di Batu Karang”

“Tidak Ki Wandawa. Sebenarnya aku hanya sekedar mengatakan tanpa maksud tertentu. Yang menyebutnya sebagai Bunga di Batu Karang untuk yang pertama kali menurut ingatanku adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma ketika anak muda itu menginginkan adikku untuk dijadikan selirnya. Ia menganggap tempat tinggalku sebagai batu karang yang keras dan gersang”

Ki Wandawa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sebutan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas sandinya. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Sekarang, katakan apa yang kau dapat dari Bintang Selatan”

Buntal termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Bintang Selatan adalah saudara tuaku”

“O” Ki Wandawa tidak menghiraukannya.

“Itulah” sebabnya, adikku dapat mendengarnya juga”

“Suatu kesalahan. Tetapi cepat katakan”

Buntal pun segera menceriterakan apa yang didengarnya dari Raden Juwiring, bahwa pasukan Surakarta sudah siap mengepung Pandan Karangnangka.

Wajah Ki Wandawa jadi tegang. Lalu, “Jadi kepungan itu akan berlangsung sekarang?”

“Ya. Sebentar lagi”

Ki Wandawa merenung sejenak. Kemudian katanya, “Kau tetap berada di sini. Aku akan menghadap langsung Pangeran Mangkubumi. Mungkin kau diperlukan keteranganmu”

Buntal termangu-mangu. Tetapi ia tidak sempat bertanya, karena Ki Wandawa itu telah lenyap di balik pintu.

Tetapi demikian Ki Wandawa tidak nampak lagi, Buntal melihat dua orang bersenjata berdiri di depan pintu bilik itu.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada Arum, “kita harus tetap berada di sini Arum”

“Sampai kapan?”

“Sampai kita diijinkan pergi”

Arum mengerutkan keningnya. Dengan malasnya ia duduk di sebuah amben bambu.

Tetapi dengan demikian Arum dapat mengetahui, bahwa ada semacam peraturan yang ketat berlaku di dalam lingkungan laskar Pangeran Mangkubumi, sehingga ia memang tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya sendiri.

Dalam pada itu, atas permohonan Ki Wandawa, Pangeran Mangkubumi telah memanggil orang-orang terpenting untuk membicarakan keterangan yang mereka terima lewat Buntal. Mula-mula mereka menilai apakah berita itu dapat dipercaya.

“Aku mempercayainya” berkata Ki Wandawa, “keterangannya jelas dan terperinci. Tingkat sumber berita pun menurut ketentuan yang sudah kita setujui bersama dengan para petugas di dalam kota”

“Tetapi apakah Ki Wandawa mengetahui, siapakah yang telah berhasil menyadap berita yang tentu sangat dirahasiakan itu? Jika Ki Wandawa dapat menyebutnya, atau menyebut nama sandinya, maka tidak akan ada persoalan lagi” bertanya seorang Senopati.

“Sayang” berkata Ki Wandawa, “Aku hanya mengenal pembawa beritanya. Bintang Selatan. Tetapi nama itu bagiku merupakan jaminan bahwa berita yang dibawanya bukannya berita isapan jempol belaka”

Para pemimpin yang ada di dalam pertemuan itu kemudian hanya saling menunggu keputusan Pangeran Mangkubumi.

Sejenak kemudian, di dalam keheningan yang tegang, Pangeran Mangkubumi berkata dengan suara yang berat, “Aku mempercayainya”

Tidak ada lagi yang mempersoalkannya. Pangeran Mangkubumi mempunyai tanggapan yang sangat tajam. Firasatnya dan nalurinya untuk bertindak melampaui kebanyakan orang sehingga orang menganggapnya mempunyai kekuatan lain dari kekuatan nalarnya.

Orang-orang Surakarta percaya bahwa Pangeran Mangkubumi mempunyai aji Sapta Pangrungu, Sapta Pangrasa dan bermacam-macam aji yang lain. Bahkan sepi-angin dan panglimunan.

“Kemudian, apakah yang harus hamba lakukan?” bertanya Ki Wandawa.

“Mencari petugas sandi yang mengawasi jalur jalan di sekitar tempat ini. Menurut kemungkinan mereka menghubungi atasannya, kemudian kita harus meninggalkan padukuhan ini. Kita belum siap melawan mereka dalam gelar yang utuh. Kita harus menyiapkan diri di luar kepungan, dan menyerang mereka dengan tiba-tiba. Tetapi kita akan segera meninggalkan arena pertempuran. Kita akan pergi ke Utara, sementara pasukan dari Sukawati harus sudah meninggalkan tempatnya pula, karena mereka harus mengganggu prajurit Surakarta yang mengejar kami”

“Mereka harus menjebak pasukan dari Surakarta?”

“Tidak. Mereka hanya akan menyerang dan kemudian meninggalkannya seperti yang kita lakukan”

Ki Wandawa mengerti apa yang harus dilakukan. Ia harus mengirimkan petugas sandi ke Sukawati secepatnya agar mereka dapat segera mempersiapkan diri.

Tetapi dalam pada itu Pangeran Mangkubumi pun kemudian berkata pula, “Menjelang pertempuran yang akan terjadi perempuan dan anak-anak harus sudah disingkirkan. Mungkin prajurit Surakarta tidak akan mengganggu mereka, karena mereka adalah Saudara-saudara mereka sendiri. Tetapi kita tidak dapat mempercayai kumpeni sama sekali. Ia akan membunuh perempuan dan anak-anak seperti ceritera yang pernah kita dengar terjadi di benua lain dalam penjelajahan orang-orang kulit putih. Bahkan di benua lain orang pribumi ditangkap dan diperdagangkan sebagai budak-budak belian” Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak. Kemudian, “Ki Wandawa. Lakukan segera semua persiapan sebelum mereka datang. Tetapi aku perlu bertemu dengan anak muda yang langsung mendapat hubungan dari Bintang Selatan”

Ki Wandawa pun segera meninggalkan pertemuan itu. Demikian pemimpin-pemimpin yang lain. Mereka harus mulai melakukan tugas masing-masing, karena waktu sudah terlampau sempit.

Dalam pada itu, beberapa orang petugas sandi segera menyebar. Mereka yakin, sebelum pasukan yang besar itu datang untuk mengepung Pandan Karangnangka, maka petugas-tugas sandinya tentu sudah bertebaran lebih dahulu.

“Kita harus meninggalkan padukuhan ini kearah yang tidak mendapat pengawasan” berkata Ki Wandawa kepada anak buahnya yang harus mempersiapkan perjalanan bukan saja pasukan Pangeran Mangkubumi, tetapi juga perempuan dan anak-anak, karena mereka pernah mendengar ceritera-ceritera yang mengerikan tentang orang-orang kulit putih yang sering berburu manusia. Ceritera yang mula-mula terloncat dari mulut orang-orang kulit putih itu sendiri apabila mereka sedang menyombongkan diri atau sedang mabuk.

Sementara beberapa orang petugas sandi mencari jalan keluar dari daerah Pandan Karangnangka, Buntal mendapat kehormatan untuk langsung menghadap Pangeran Mangkubumi di dalam sebuah bilik yang kecil. Di dalam ruangan itu tidak ada orang lain kecuali Pangeran Mangkubumi sendiri. Tetapi Buntal harus menghadap seorang diri, sehingga Arum harus tetap tinggal di luar.

“Buntal” suara Pangeran Mangkubumi berat, “Kau mengenal Bintang Selatan sebelumnya?”

“Hamba Pangeran. Bintang Selatan adalah saudara seperguruan hamba”

“Ya”

“Raden Juwiring pernah tinggal bersama hamba beberapa lama di Padepokan Jati Sari”

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita kadang-kadang tidak tahu, siapakah yang akan dikirim oleh petugas-tugas sandi di dalam kota. Mereka harus melindungi orang-orangnya dengan penuh rahasia. Tetapi bukankah Juwiring itu putera Pangeran Ranakusuma?”

“Hamba Pangeran”

Pangeran Mangkubumi mengerutkan keningnya. Pangeran Ranakusuma adalah seorang Pangeran yang dekat dengan kumpeni. Meskipun ada kekecewaan yang terselip di hatinya, namun ia tetap seorang yang berbahaya. Pangeran Ranakusuma adalah Senapati yang mumpuni. Mungkin ia menjadi agak jauh dengan perwira-perwira kumpeni karena persoalan pribadi. Tetapi ia adalah sapu kawat Surakarta,

“Tetapi Juwiring agaknya dapat dipercaya” berkata Pangeran Mangkubumi kemudian, lalu, “Kau tetap berada di sini. Ada orang lain yang sudah diperintahkan ke Sukawati. Mungkin tenagamu diperlukan oleh Ki Wandawa”

“Hamba Pangeran”

“Sekarang, pergilah kepada Ki Wandawa untuk membantu-nya”

Buntal pun kemudian meninggalkan bilik yang sempit itu. di luar ia menemui Arum dan bersama-sama menemui Ki Wandawa untuk mendapat perintah-perintah selanjutnya.

Dalam pada itu Ki Wandawa benar-benar telah tenggelam dalam kesibukan. Ia sudah menyebarkan beberapa orang petugas sandi untuk merintis jalan keluar dari Pandan Karangnangka. Bukan saja agar arah kepergian mereka tidak diketahui oleh prajurit Surakarta, tetapi juga agar prajurit Surakarta tidak mengetahui bahwa padukuhan itu sudah kosong, sehingga mereka merasa dirinya gagal pada tindakan yang pertama. Kesan itu akan selalu mempengaruhi tindakan-tindakan mereka berikutnya.

Sementara itu, beberapa orang petugas pun segera dikirim ke Sukawati setelah para petugas sandi meyakinkan arah yang tidak mendapat pengawasan dari petugas-tugas sandi dari Surakarta. Mereka harus melaporkan semua persoalan yang sudah dibicarakan di Pandan Karangnangka.

“Tidak ada satu katapun yang boleh terloncat dari mulutmu, jika kalian tidak bertemu dengan Ki Sarpasrana atau Ki Wandan Putih” pesan Ki Wandawa, “jika sesuatu terjadi di perjalanan, kau tahu apa yang harus kau lakukan”

Demikianlah petugas sandi itu pun segera meninggalkan Pandan Karangnangka. Mereka berkuda beriringan pada jarak beberapa langkah, sehingga apabila terjadi sesuatu, ada kesempatan bagi salah seorang untuk melepaskan diri. Sedang rahasia yang mereka bawa, harus mereka pertahankan sampai mari jika mereka bertemu atau bahkan tertangkap oleh lawan.

Di lain arah, beberapa orang petugas sandi benar-benar dapat melihat petugas-tugas dari Surakarta. Tetapi mereka sama sekali tidak mengganggu. Bahkan mereka berusaha untuk menghindari dan sekedar mengawasi.

Seorang petugas sandi yang membawa cangkul dalam pakaian petani yang akan mengairi sawahnya, pura-pura tidak melihat sama sekali bayangan dua orang yang berusaha bersembunyi di dalam gerumbul yang tipis di pinggir jalan.

Kedua petugas sandi itu termangu-mangu sejenak melihat petani itu berjalan dengan tenangnya seolah-olah sama sekali tidak mengetahui apa yang akan terjadi di padukuhan Pandan Karangnangka.

“Sekarang ia mengairi sawahnya di malam begini” berkata salah seorang petugas sandi dari Surakarta itu, “sebentar lagi sawahnya akan menjadi kubangan raksasa jika terjadi peperangan”

“Yang akan menjadi ajang peperangan bukan sawah orang itu. Tetapi sawah di sekitar padukuhan” sahut yang lain.

Kawannya mengangguk-angguk. Petani itu sudah tidak dilihatnya lagi di balik kegelapan. Yang terdengar kemudian adalah gemericik air yang mengalir di parit di sebelah gerumbul itu.

Sesaat kemudian laporan tentang jaring-jaring petugas sandi dari Surakarta telah sampai kepada Ki Wandawa. Meskipun pasti masih ada yang dilampaui, tetapi mereka sudah mempunyai gambaran, daerah manakah yang mendapat pengawasan yang paling ketat.

“Jalan ke Surakarta benar-benar telah tertutup” berkata Ki Wandawa kepada Buntal, “mereka menjaga agar tidak ada seorang petugas sandi yang dapat menyampaikan rencana sergapan ini kepada kita. Untunglah bahwa berita itu sudah sampai kepada Pangeran Mangkubumi. Dan pengawasan yang ketat itu agak memperkuat kepercayaan kita bahwa malam ini Pandan Karangnangka benar-benar akan dihancurkan”

Setelah Ki Wandawa mendapat bayangan jaring-jaring pengawasan petugas-tugas sandi dari Surakarta, maka ia pun segera memerintahkan menyiapkan perempuan dan anak-anak.

“Kalian harus segera meninggalkan padukuhan ini” berkata Ki Wandawa kepada mereka, “bawalah barang-barang yang penting saja”

Perempuan dan anak-anak menjadi terlalu sibuk. Beberapa orang anak kecil menangis di dalam dukungan ibunya. Tetapi mereka harus pergi untuk keselamatan mereka, karena yang akan datang di utara pasukan Surakarta adalah kumpeni.

“Sepasukan pengawal akan menyertai kalian” berkata Ki Wandawa kemudian, “Yang lain akan menyusul kemudian. Kalian tidak akan pergi ke Sukawati. Tetapi kalian akan di tempatkan di tempat yang sudah kami tentukan. Kalian akan mengetahuinya setelah kalian berada di tempat itu besok”

Perempuan dan anak-anak itu tidak bertanya. Mereka mengerti bahwa tempat itu masih dirahasiakan untuk kepentingan keselamatan mereka sendiri.

Setelah semuanya siap, maka sepasukan pengawal telah berjalan mendahului. Kemudian disusul dengan sebuah iring-iringan yang panjang, yang berjalan tanpa obor di dalam kegelapan, didampingi oleh beberapa orang pengawal pula.

Di bagian belakang dari iring-iringan itu pun diiringi pula oleh sekelompok pengawal yang siap untuk melindungi perempuan dan anak-anak itu apabila terjadi sesuatu di perjalanan.

Sementara perempuan dan anak-anak meninggalkan padukuhan Pandan Karangnangka, maka Pangeran Mangkubumi memimpin sendiri pasukannya untuk menghadapi sergapan prajurit-prajurit Surakarta dan terutama kumpeni.

“Kita berada di luar padukuhan” perintah Pangeran Mangku-bumi kepada pasukannya, “kita akan menunggu sampai prajurit Surakarta mengepung Pandan Karangnangka. Kita akan melihat bagaimana mereka merayap masuk. Kemudian baru kita akan menyerang mereka. Kita tidak akan terlibat dalam perang yang besar. Kemudian kita akan mengundurkan diri. Sepanjang pengejaran itulah pasukan dari Sukawati harus siap. Mereka harus menyerang dengan tiba-tiba, dan menghilang pula dengan tiba-tiba. Kecuali dengan pertimbangan lain. Apabila menurut pertimbangan kita dapat menghancurkan mereka, maka kita akan bertempur terus”

Demikianlah setelah pasukan Pangeran Mangkubumi siap, mereka pun segera meninggalkan padukuhan. Tetapi mereka dengan sengaja tidak memadamkan lampu-lampu dan obor-obor di gardu-gardu. Bahkan mereka dengan sengaja meninggalkan satu dua orang yang ditugaskan untuk memukul kentongan, dengan nada dara muluk. Sekedar memberi pertanda waktu dalam keadaan aman dan tenang.

Ternyata perhitungan waktu Pangeran Mangkubumi hanya berselisih sekejap. Tepat pada saat pasukannya meninggalkan Pandan Karangnangka, sepasukan yang besar dan kuat telah mendekati padukuhan itu.

Namun pasukan Pangeran Mangkubumi dapat menghindarkan diri dari pengamatan para petugas sandi dari Surakarta, sehingga ketika pasukan Surakarta mendekati Pandan Karangnangka, mereka sama sekali tidak mengira, bahwa padukuhan itu telah kosong.

Apalagi karena mereka masih melihat obor-obor yang tetap menyala di sudut-sudut desa dan di gardu-gardu. Bahkan rumah-rumah yang nampak dari kejauhan masih juga diterangi nyala lampu minyak di regol-regolnya.

Dalam pada itu, Pangeran Mangkubumi yang memimpin sendiri pasukannya, telah membawa mereka ke sebuah padukuhan kecil yang tidak begitu jauh dari Pandan Karangnangka. Sebuah bulak pendek telah memisahkan kedua padukuhan itu, sehingga setiap perkembangan keadaan, Pangeran Mangkubumi dan pasukannya akan segera mendengar laporan dari para pengawas.

Ketika kentongan dengan nada dara-muluk terdengar dari jantung padukuhan Pandan Karangnangka, maka Senapati perang yang memimpin pasukan Surakarta itu pun menarik nafas dalam-dalam. Pandan Karangnangka agaknya masih diliputi oleh suasana tenang.

“Mereka tidak menyadari apa yang akan terjadi sebentar lagi atas padukuhan itu” berkata seorang perwira kumpeni kepada kawannya, “Aku ingin melihat padukuhan itu dibakar habis dengan segala isinya”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Banyak orang-orang pribumi yang cantik. Barangkali satu dua orang perempuan masih kita perlukan”

“Perempuan desa yang kotor, di kota masih banyak perempuan yang bersih dan cantik”

Kawannya tidak menjawab. Mereka merayap maju semakin dekat.

Dengan isyarat yang sudah ditentukan, maka pasukan Surakarta itu pun berhenti beberapa pula tonggak dari Pandan Karangnangka. Kemudian para Senapatinya berunding sejenak untuk menentukan langkah terakhir.

“Kita bergerak mulai sekarang” berkata Senapati perang.

Yang lain tidak menyatakan pendapatnya. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, sehingga Pandan Karangnangka benar-benar harus sudah dikepung.

Setelah mendengarkan penjelasan dari beberapa orang petugas sandi yang mendahului pasukan itu, maka Pangeran Yudakusuma pun menentukan sikapnya.

“Kita akan memasang gelar. Gelar yang paling baik adalah gelar supit urang. Kita akan menempatkan pasukan berkuda di ekor gelar, dan Senapati pengapit akan berada di sapit kiri dan kanan. Kemudian pasukan cadangan akan berada di perut dan sementara itu, beberapa kelompok akan berada di hadapan gelar Supit Urang untuk menahan pasukan lawan yang akan mengundurkan diri”

Pangeran Ranakusuma dan Tumenggung Sindura mengangguk-angguk. Sedang seorang perwira kumpeni bertanya, “Dimana kami kau tempatkan?”

“Kita ada di ujung gelar. Kita adalah kepala dari gelar supit urang itu”

“Darimana kita melakukan gerakan pertama?” bertanya kumpeni itu pula. Ia sudah mengerti serba sedikit tentang gelar supit urang. Dan ia pun dapat melihat manfaatnya meskipun bagi kumpeni ada beberapa bagian yang sebenarnya tidak perlu” Apakah kita akan melakukan gerakan pertama dari kepala atau justru dari sapit kedua belah pihak?”

Pangeran Ranakusuma yang mendengar pertanyaan itu memandang Pangeran Yudakusuma dengan tajamnya. Pangeran yang cerdik itu tentu mempunyai perhitungan yang menguntung-kan bukan saja bagi seluruh gelar. Tetapi juga bagi dirinya sendiri.

Dan jawaban yang diduga itu pun terloncat dari mulut Pangeran Yudakusuma, “Gerakan akan dimulai dari kedua sapit gelar kita untuk mendorong lawan masuk ke dalam jebakan yang lebih dalam”

Ketika perwira kumpeni itu mengangguk-angguk, maka Pangeran Ranakusuma tersenyum di dalam hati. Bagaimanapun juga tatag dan beraninya Pangeran Yudakusuma, tetapi ia masih menempatkan Senapati pengapit pada kedudukan yang paling berat menghadapi Pangeran Mangkubumi secara pribadi.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak memberikan tanggapan apapun juga. Apalagi seluruh pasukan itu mengetahui bahwa orang yang paling seimbang untuk berhadapan secara pribadi dengan Pangeran Mangkubumi adalah Pangeran Ranakusuma. Jika ada beberapa kekurangan pada Pangeran Ranakusuma, maka Senapati-Senapati yang mendampinginya akan dapat mengisi kekurangan itu. Orang kedua adalah justru Tumenggung Sindura. Dengan pengawal-pengawalnya yang kuat ia akan dapat dihadapkan kepada Pangeran Mangkubumi apabila kebetulan Pangeran Mangkubumi ada di sayap kanan. Sedang apabila Pangeran Mangkubumi langsung menghadapi induk pasukan, barulah Pangeran Yudakusuma dengan perwira-perwira kumpeni yang bersenjata petir akan melawannya.

Karena tidak ada tanggapan apapun, maka Pangeran Yudakusuma segera memutuskan untuk melakukan gerakan terakhir mendekati Pandan Karangnangka. Mereka harus menyerang sebelum fajar dengan gerakan yang tiba-tiba dan sekaligus untuk menghancurkan semua kekuatan induk Pangeran Mangkubumi. Jika kekuatan induk itu sudah hancur, maka kekuatan yang lain tidak akan banyak berarti. Kekuatan Pangeran Mangkubumi di Sukawati bukan merupakan kekuatan yang sulit untuk dikuasai.

“Pangeran Mangkubumi ingin mengelabui Surakarta dengan menempatkan kekuatannya di sini” berkata Pangeran Yudakusuma, “ia tentu mengharap serangan yang pertama justru menuju ke Sukawati. Tetapi ia tidak dapat menipu ketajaman pengamatan pasukan sandi Surakarta ”

Demikianlah pasukan Surakarta itu bergerak dengan tertib. Setiap isyarat dapat mereka terima dan dapat mereka mengerti sehingga karena latihan-latihan dan pengalaman yang matang maka gerakan yang harus mereka lakukan berjalan dengan cepat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Pangeran Yudakusuma,

Dengan demikian maka sejenak kemudian Pandan Karangnangka telah benar-benar terkepung. Tidak ada lubang seujung jarum pun yang akan dapat ditembus. Tidak ada orang yang akan dapat lolos dari jaring-jaring kepungan yang teratur dan mapan.

Namun sebenarnyalah bahwa Pandan Karangnangka telah kosong. Orang yang terakhir, yang memukul kentongan dengan nada dara muluk pun telah meninggalkan padukuhan itu. Dalam pada itu, pasukan yang telah mengepung Pandan Karangnangka itu pun menunggu sejenak. Pangeran Yudakusuma telah memerintahkan kepada setiap Senapati pengapit, Senapati yang lain dan pemimpin-pemimpin kelompok, untuk memperhatikan isyarat yang sudah ditentukan. Jika ayam jantan mulai berkokok di padukuhan Pandan Karangnangka maka semua orang di dalam pasukan Surakarta itu harus mempersiapkan diri, karena sebentar kemudian Senapati tertinggi di dalam pasukan itu akan menjatuhkan perintah untuk menyerang.

Sementara itu, pasukan Pangeran Mangkubumi yang telah berada di padukuhan yang lain, mengikuti perkembangan keadaan dengan seksama. Petugas-tugasnya selalu mengamati medan dan mengirimkan laporan kepada Pangeran Mangkubumi.

Ki Wandawa adalah orang yang paling sibuk pada saat itu. Ia harus menerima laporan yang dilihat oleh petugas-tugasnya, kemudian mengurai dan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulannya itu pun disampaikannya pula sebagai pertimbangan kepada Pangeran Mangkubumi.

Buntal yang ada di dekat Ki Wandawa mengikuti kesibukan-nya dengan berdebar-debar. Ketika ada kesempatan maka Buntal pun memberanikan diri untuk bertanya, “Ki Wandawa, apakah mereka akan menyerang Pandan Karangnangka setelah siang?”

“Kita belum mendapatkan tanda-tanda” sahut Ki Wandawa.

“Jika demikian, apakah kita tetap pada rencana kita untuk menyerang mereka dan menghilang? di siang hari gerakan itu agak sulit dilakukan”

“Tidak. Sama sekali tidak. Kita akan menghindari ke tempat yang sudah ditentukan. Sementara pasukan dari Sukawati sekarang sudah siap menunggu di sebuah tikungan untuk menjebak mereka. Tetapi mereka pun harus segera menarik diri dan menghilang”

“Bagaimana jika mereka mengejar terus?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar