Bunga Di Batu Karang Jilid 13

Ki Dipanala yang berada di regol mengangguk dalam-dalam. Namun hampir di luar sadarnya ia berkata, “Hati-hatilah Pangeran”

Juwiring mendengar pesan itu lamat-lamat. Kecurigaan di hatinya tiba-tiba menjadi semakin mekar. Ayahandanya jarang sekali mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang Senapati perang, apalagi membawa senjata rangkap. Sebilah pedang di lambung dan keris pusakanya di punggung.

“Apakah sesuatu akan terjadi?” Ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak mau menyatakan kegelisahannya kepada adiknya. Tetapi sejenak kemudian, ia pun pergi keluar ruang dalam. Kepada adiknya ia mengatakan, bahwa masih ada sesuatu yang harus dikerjakan di kandang kuda.

Namun Raden Juwiring tidak pergi ke kandang kuda. Ia langsung menemui Ki Dipanala, dan memaksa agar Ki Dipanala mengatakan apa yang diketahui tentang ayahandanya.

Sejenak Ki Dipanala termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Aku percaya kepada Raden. Tetapi Raden pun harus melindungi kepercayaanku kepada Raden”

“Aku mengerti. Katakan”

Sejenak Ki Dipanala masih termangu-mangu. Namun kemudian dikatakannya pula rencana yang akan dilakukan oleh ayahandanya, Pangeran Ranakusuma.

“Jadi ayahanda akan melakukannya sekarang?”

“Ya Raden. Tetapi aku pun menjadi gelisah. Rasa-rasanya aku ingin menyaksikan apa yang akan terjadi”

“Aku pergi bersamamu paman”

“Ah jangan Raden. Raden belum mengenal keadaan kota ini sebaik-baiknya sejak orang-orang asing itu berkuasa”

“Aku pergi bersama paman”

“Mereka sangat curang dan licik”

“Justru karena itu”

Ki Dipanala menarik keningnya. Tetapi ia masih juga berusaha mencegah Raden Juwiring. Namun agaknya Juwiring tetap pada pendiriannya. Sehingga akhirnya Ki Dipanala berkata, “Terserah-lah kepada Raden. Tetapi kita harus berhati-hati”

Demikianlah maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Ki Dipanala mengerti, apa yang akan terjadi dan kemana mereka harus pergi.

Dalam pada itu, di tepi bengawan, beberapa orang telah berkumpul. Bahkan di bawah pepohonan yang berpencaran dengan liarnya terdapat beberapa buah kereta. Ketika orang-orang itu melihat lampu kereta di kejauhan dan kemudian mendengar derap kaki kuda, merupakan segera menyibak. Seorang yang berpakaian seorang Senapati pun kemudian menyongsong sambil berdesis, “Tentu kangmas Ranakusuma. Ia tidak pernah ingkar janji”

Ketika kereta itu mendekat, maka orang-orang yang sudah ada di tepi bengawan itu pun menjadi tegang. Beberapa orang kumpeni yang ada juga di tempat itu menjadi tegang pula.

Ternyata yang mereka duga adalah benar. Yang datang adalah Pangeran Ranakusuma.

Demikian Pangeran Ranakusuma turun dari keretanya, maka ia pun langsung mendekati orang-orang yang menunggunya sambil berkata, “Aku sudah siap. Bulan sudah berada di ujung pepohonan di seberang bengawan. Sudah waktunya kita mulai”

Orang-orang yang ada di tepian itu pun segera menyibak. Beberapa orang yang mendapat tugas pun segera tampil ke depan. Empat orang. Yang dua orang adalah orang asing dalam pakaian kebesarannya sedang yang dua orang adalah bangsawan tertinggi di Surakarta.

“Kalian akan menjadi saksi” geram Pangeran Ranakusuma, “Aku adalah laki-laki yang akan membela nama baikku. Aku minta perang tanding dengan pedang”

Seorang kumpeni maju sambil menjawab dengan bahasa yang patah-patah, “Baik. Kalian akan melakukan perang tanding. Memang kehormatan dapat diselesaikan dengan melakukan duel. Apakah peraturan yang Pangeran pilih”

“Tidak ada peraturan buat perang tanding, selain aku atau Dungkur yang harus mati”

“Ah, tidak begitu Pangeran. Ada peraturan yang lebih lunak dari itu”

“Aku atau Dungkur yang akan mati. Di arena perang tanding atau tidak. Aku tidak dapat menghirup udara di Surakarta ini bersama dengan Dungkur”

“Pangeran” kumpeni itu masih berusaha melunakkan hati Pangeran Ranakusuma, “Kita sudah lama bekerja sama di Surakarta ini untuk kepentingan kita bersama. Untuk kemajuan Surakarta, supaya Surakarta dapat mencapai tingkat kerajaan di luar pulau ini, dan menyamai daerah-daerah di daratan Barat. Karena itu, janganlah kita membuat jarak di antara kita”

“Aku tetap menghormati kalian sebagai bangsa asing yang membawa peradaban baru di tanah ini. Aku tidak akan menarik kerja sama yang sudah kita pupuk. Tetapi persoalanku dengan Dungkur bukan persoalan kerja sama antara kerajaan Surakarta dan kerajaan Belanda. Tetapi persoalan itu adalah persoalan dua orang laki-laki yang akan membela nama baiknya masing-masing”

“Aku dapat mengusulkan agar orang itu dipindahkan dari Surakarta dan ditarik ke Betawi”

“Terserah. Tetapi persoalanku harus selesai. Meskipun ia sudah pergi dari bumi Surakarta, tetapi jika ada kesempatan aku akan tetap menantangnya perang tanding. Laki-laki itu sudah menyentuh isteriku. Bagi seorang bangsawan, seorang isteri bernilai seperti dirinya sendiri, meskipun isteriku juga mempunyai noda-noda kelemahan”

Perwira kumpeni itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang kepada Dungkur, maka dilihatnya wajah yang tegang dan tangan yang mengepal. Ternyata bahwa kumpeni yang bernama Dungkur itu pun telah siap melakukan perang tanding sampai mati.

“Aku adalah kesatria” berkata kumpeni itu, “Apalagi martabatku sebagai seorang kulit putih lebih tinggi dari martabatmu”

“Tutup mulutmu” potong Pangeran Ranakusuma, “Jangan mengungkat martabat kemanusiaan kita. Kita dilahirkan sama. Dan sekarang, salah seorang dari kita akan mati. Setelah mati pun tidak akan ada bedanya di antara kita. Jika mayat kita dikuburkan di bumi, maka yang akan tinggal adalah kerangka yang terdiri dari tulang-tulang melulu”

“Persetan” Dungkur hampir berteriak, “Marilah kita mulai. Bangsa kulit putih adalah bangsa yang ditakdirkan menguasai orang-orang kulit berwarna seperti kau. Dan sudah ditakdirkan pula bahwa kami dapat mengambil apa yang kami kehendaki. Termasuk isterimu”

Setiap orang terkejut ketika tiba-tiba saja Dungkur mengaduh. Tidak seorang pun tahu, bagaimana dapat terjadi. Tangan Pangeran Ranakusuma rasa-rasanya telah menampar pipi Dungkur. Padahal jarak keduanya lebih dari satu langkah.

Selagi orang yang mengitari mereka menjadi terheran-heran, maka Pangeran Ranakusuma pun maju setapak sambil menyingsingkan kain panjangnya dan menyangkutkannya pada ikat-pinggangnya. Diputarnya keris yang ada di punggung, sehingga berada di lambung.

Dungkur pun menjadi heran, bahkan tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi pipinya benar-benar terasa sakit.

“Ah, ini adalah semacam permainan yang tidak bermutu” katanya di dalam hati, “Jika pedangku menyentuh dadanya, maka dadanya itu tentu akan sobek dan darahnya akan mengucur di tanah kelahirannya yang sebentar lagi akan lepas dari tangannya ini”

Demikianlah, karena Pangeran Ranakusuma dan Dungkur telah tidak lagi dapat melunakkan hati mereka, maka perang tanding itu pun segera akan dimulai, dengan tekad, salah seorang dari mereka akan mati.

Kapitan Dungkur adalah seorang perwira yang memiliki pengalaman yang tiada taranya. Ia telah menjelajahi beberapa benua mengarungi lautan dan bahkan mengalami perang di banyak daratan. Dungkur tidak pernah gentar melihat kapal di tengah laut yang menaikkan panji-panji bergambar tengkorak dan pedang bersilang karena bajak laut yang betapapun ganasnya, tidak banyak dapat berbuat terhadap kapal-kapal Belanda yang di pertahankan oleh orang-orang terlatih di dalam peperangan di daratan maupun di lautan.

Kini yang dihadapinya tidak lebih dari seorang pribumi yang memakai kain panjang dan baju hitam berlengan panjang pula. Berikat pinggang sejengkal dan memakai tutup kepala.

“Uh.” Dungkur tiba-tiba meludah, “menggelikan sekali. Kau, orang yang hidup di dalam dunia yang lambat akan mencoba melawan aku? Barangkali kau belum pernah melihat betapa ganasnya lautan dan apalagi bajak laut. Kau belum pernah mengalami peperangan yang sebenarnya di benua lain. Kau sekarang sudah berani menantang aku berperang tanding. Malanglah nasib anakmu yang cantik itu. Sebenarnya jika kau berkeberatan memberikan isterimu, aku akan mengambil anakmu saja”

Pangeran Ranakusuma. memandang perwira kumpeni yang akan menjadi saksi dalam perang tanding itu sambil berkata, “Inikah gambaran dari keseluruhan bangsamu yang kau katakan mempunyai martabat yang tinggi?”

“Tidak, tidak Pangeran. Seperti bangsamu juga, kadang-kadang ada di antara kami yang mempunyai sifat dan watak yang lain” jawab seorang perwira kumpeni.

“Dan Dungkur adalah contoh dari kelainan itu?”

“Diam” bentak Dungkur, “Kita akan mulai”

Dungkur tidak menunggu jawaban Pangeran Ranakusuma. Dengan serta merta ditariknya pedangnya yang panjang, dengan sebuah pelindung bagi jari-jarinya yang menggenggam hulu. Kemudian sebuah rantai yang melingkar di tangannya, terikat pada hulu pedang itu, sehingga jika pedang itu terlepas, maka pedang itu akan tetap tersangkut di tangannya.

Pangeran Ranakusuma pun menarik pedangnya pula. Pedangnya jauh lebih sederhana. Tidak mengkilap seperti pedang Dungkur, bahkan agak kehitam-hitaman. Tetapi pedang Pangeran Ranakusuma adalah bukan sembarang pedang. Pedang itulah yang selama ini disebutnya Kiai Pagerwesi.

Dengan demikian keduanya sudah berdiri saling berhadapan. Beberapa orang saksi berdiri mengelilinginya. Beberapa orang perwira kumpeni dan beberapa orang bangsawan tertinggi di Surakarta.

Pangeran Ranakusuma membenahi kain panjangnya yang sudah tersangkut diikat pinggangnya yang besar. Setapak demi setapak ia maju mendekati lawannya.

Dungkur pun telah bersiap melayaninya. Ia berdiri agak condong. Badannya dimiringkannya, sedang pedangnya lurus terjulur ke depan. Satu tangannya terangkat di belakang seakan-akan merupakan pengatur keseimbangan dari badannya yang miring itu.

Tetapi Pangeran Ranakusuma bersikap lain. Ia menghadap lawannya. Pedangnya bersilang di muka dadanya. Setapak demi setapak ia masih saja melangkah mendekat

Dungkur menjadi heran melihat sikap itu. Tetapi kemudian ia tersenyum dan berkata di dalam hatinya, “Orang ini memang dungu. Ia sekedar dibakar oleh kemarahannya saja. Agaknya demikianlah Senapati Surakarta melakukan perang tanding. Tanpa memiliki pengetahuan sama sekali atas senjata yang dipergunakannya”

Dengan gerak yang bagaikan acuh tidak acuh saja, Dungkur menggerakkan ujung pedangnya. Berputar sedikit, dan kemudian terjulur lurus mengarah ke dada. Ia tidak ingin segera melukai lawannya. Ia hanya ingin mengganggunya saja.

Tetapi Dungkur terkejut ketika dengan sebuah gerakan kecil, Pangeran Ranakusuma meloncat ke samping, sambil mengangkat pedangnya. Pedang itu pun kemudian terayun deras sekali mengarah ke leher Dungkur.

Gerakan itu sama sekali tidak sulit. Dungkur segera menyilangkan pedangnya menangkis serangan itu dan memukulnya ke samping.

Namun sama sekali tidak diduganya. Pukulan itu ternyata didorong oleh kekuatan yang luar biasa, sehingga tangkisannya yang pertama itu telah mengejutkannya.

Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Kekuatan yang sama sekali tidak diduganya telah menghantam pedangnya. Jauh lebih kuat dari ayunan pedang seorang bajak laut bertubuh raksasa yang pernah mencoba mengganggu kapalnya di lautan.

Karena Dungkur sama sekali tidak mempersiapkan diri menghadapi kekuatan yang tidak terduga-duga dari seseorang sekedar memakai kain panjang, celana setinggi lutut dan berikat kepala itu, maka pedangnya telah terlepas dari tangannya.

Untunglah bahwa rantai yang tersangkut dipergelangan tangannya tidak terlepas sehingga pedang itu masih tetap tersangkut di tubuhnya.

Pangeran Ranakusuma berdiri membeku sejenak, dengan sengaja ia memberikan kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki keadaannya.

Benturan yang pertama-tama itu benar telah mengejutkan beberapa orang yang menjadi saksi dari perang tanding itu, terutama para perwira kumpeni. Mereka tidak menyangka, bahwa hal itu dapat terjadi, karena mereka menganggap bahwa Dungkur adalah seorang yang memiliki ilmu pedang yang dikagumi oleh kawan-kawannya.

“Dungkur tidak bersiap” berkata para perwira itu di dalam hatinya, “Ia menganggap lawannya terlampau lemah, seperti orang-orang pribumi yang pernah ditemuinya selama penjelajahannya di beberapa benua”

Sejenak kemudian Dungkur telah menggenggam pedangnya kembali. Sejenak ia mempersiapkan diri. Kini ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang pribumi yang oleh lingkungannya disebutnya seorang Pangeran.

Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun telah meledak lagi. Dungkur berusaha menyerang dengan tangkasnya. Tetapi setiap kali ujung pedangnya bagaikan menghantam dinding. Ternyata Pangeran Ranakusuma adalah seorang yang sangat tangkas mempergunakan pedangnya, meskipun dengan cara yang tidak dimengerti. Bahkan setiap kali Dungkur menjadi bingung, karena lawannya selalu berloncatan melingkar-lingkar seperti seekor kijang.

Dungkur telah mengalami pertempuran pedang beberapa kali. Lawannya sering pula berloncatan jika terdesak. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak berbuat demikian. Ia selalu bergerak melingkar dan kemudian mengelilingnya sehingga ia harus berputar sambil menjulurkan pedangnya. Namun tiba-tiba lawannya itu menyerang sambil meloncat kearah yang tidak diduganya sama sekali.

Keringat Dungkur itu segera membasahi pakaiannya. Namun tangannya yang lincah itu setiap kali masih berhasil menangkis serangan pedang Pangeran Ranakusuma. Bahkan Dungkur masih dapat mengharap, bahwa bertempur dengan cara yang ditempuh oleh Pangeran Ranakusuma itu tentu akan segera menghabiskan tenaga.

Karena itu. Dungkur untuk sementara hanya bertahan saja sambil berputar. Kakinya yang merendah pada lututnya bergeser dengan cermat mengikuti arah pedangnya. Ia berharap, bahwa dalam waktu yang singkat, Pangeran Ranakusuma yang bertempur dengan cara yang aneh dan menurut pendapat Dungkur agak liar dan kasar itu akan segera kehabisan tenaga.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semakin lama Dungkur menjadi semakin bingung menghadapi cara yang aneh dari seorang bangsawan Surakarta ini, seorang Senapati perang dari kerjaan yang disangkanya jauh terbelakang dibanding dengan kerajaan di daratan Benua Barat.

Untuk beberapa lama Dungkur masih tetap mampu mempertahankan dirinya dengan kelincahan tangannya. Tetapi ia masih saja bergeser pada kedua kakinya setapak demi setapak. Kadang-kadang berputar dan sedikit meloncat. Sedang Pangeran Ranakusuma bertempur bagaikan burung sikatan. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Sekali-sekali ujung pedangnya mematuk, kemudian terayun menyambar lawannya. Dan sesaat kemudian berputar seperti baling-baling.

Para perwira kumpeni menjadi bingung pula melihat cara itu. Cara yang hampir tidak pernah dilihatnya. Jika di dalam peperangan di daerah ini ia melihat pedang yang berputaran seperti itu, disangkanya bahwa prajurit-prajurit Surakarta memang prajurit-prajurit yang dungu. Namun di dalam perang tanding, barulah mereka menyadari bahwa tata gerak yang demikian dapat membuat lawannya menjadi bingung.

Yang kemudian lebih dahulu susut tenaganya adalah justru Dungkur sendiri. Meskipun ia sudah berusaha menghemat tenaganya, dan mengharap lawannya akan kehabisan nafas, namun ternyata bahwa tangannya merasa menjadi semakin lemah dan nafasnya sudah berangsur-angsur menjadi sendat.

Karena itulah, maka ia menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Pangeran Ranakusuma yang semakin dahsyat. Dungkur menjadi bingung ketika tiba-tiba saja pedang Pangeran Ranakusuma mematuk dari samping. Namun ia masih berhasil menghindar dan berusaha menangkis serangan itu. Tetapi dengan cepat Pangeran Ranakusuma menarik pedangnya dan menyerang mendatar.

Dungkur tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar lagi. Sekali lagi ia mempergunakan kelincahan tangannya untuk menangkis serangan itu. Tetapi ayunan pedang Pangeran Ranakusuma ternyata terlampau keras, sehingga benturan yang terjadi adalah benturan yang dahsyat. Seperti yang pernah terjadi, tangan Dungkur tidak mampu lagi bertahan. Karena itu, maka ketika perasaan sakit menyengat pergelangannya, maka pedangnya pun telah terlepas dari tangannya.

Tetapi pada saat itu, pedang Pangeran Ranakusuma terjulur lurus. Dungkur melihat ujung pedang itu. Tetapi ia tidak berdaya lagi. Ia hanya sempat mengelakkan diri bergeser setapak. Namun ujung pedang itu masih juga menyobek lengannya.

Terdengar ia mengeluh tertahan. Ujung pedang itu telah mendorongnya sehingga ia hampir saja kehilangan keseimbang-annya.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak melepaskannya. Sekali lagi ia meloncat menyerang dan di dalam keadaan yang sulit itu, Dungkur hampir tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika ia berusaha menggeliat, maka keseimbangannya pun tidak lagi dapat dikuasai, sehingga ia pun jatuh terbanting.

Namun agaknya justru memberinya kesempatan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang yang langsung menghunjam di jantungnya, karena justru ketika ia terjatuh, maka tusukan pedang Pangeran Ranakusuma tidak mengenai dadanya. Tetapi kali ini pundaknyalah yang sobek oleh pedang lawannya yang berwarna kehitam-hitaman itu.

Meskipun tusukan itu tidak langsung membunuhnya, namun ternyata Dungkur sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. Badannya serasa menjadi lumpuh oleh perasaan sakit yang tidak terkira. Sekali ia berguling di pasir sambil mengerang kesakitan.

Agaknya Pangeran Ranakusuma masih belum puas. Ia sudah bertekad untuk berperang tanding sampai salah seorang dari mereka mati di arena. Karena itu, maka ia masih meloncat sekali lagi sambil mengangkat pedangnya.

Namun pada saat itu, seorang perwira kumpeni yang lain pun meloncat pula sambil berkata gugup, “Sudah cukup Pangeran. Sudah cukup”

“Aku sudah berkata, bahwa satu di antara kita harus mati”

“Tetapi itu tidak berperikemanusiaan”

“Ia juga tidak berperikemanusiaan, karena ia sudah menodai isteriku dan sekaligus membunuh anakku”

“Tetapi, ia sudah Pangeran kalahkan”

“Aku harus membunuhnya seperti ia membunuh anakku. Noda yang melekat pada keluargaku harus ditebus dengan nyawa”

“Tidak Pangeran. Itu tidak baik”

“Minggir, atau kau akan menggantikannya” bentak Pangeran Ranakusuma.

Tetapi tiba-tiba seorang perwira kumpeni yang lain menggeram, “Itu perbuatan gila. Kau benar-benar bangsa yang biadab”

Kemarahan Pangeran Ranakusuma menjadi semakin menyala di dadanya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menghadapi perwira kumpeni yang telah mengumpatinya itu.

Tetapi langkah Pangeran Ranakusuma tertegun. Ia melihat kumpeni itu membawa senjata api pendek di tangannya dan teracung kepadanya. Karena itu maka ia pun kemudian menggeram, “Licik. Marilah kita berperang tanding dengan senjata tajam”

“Kau gila. Kau memang harus dibunuh Pangeran. Kau melukai seorang perwira kumpeni sehingga parah”

“Persetan. Ia harus dibunuh”

“Kau yang harus dibunuh” bentak kumpeni itu.

“Tidak” perwira kumpeni yang tertua itulah yang kemudian mencoba mencegahnya.

Tetapi yang berdiri di tepian itu adalah prajurit-prajurit. Prajurit dari kerajaan Belanda yang terbiasa hidup di medan perang, di darat dan di lautan. Itulah sebabnya, maka darah mereka pun cepat mendidih melihat akibat dari perang tanding itu.

Namun demikian, Pangeran-Pangeran yang ada di tepian itu pun prajurit-prajurit pula. Mereka mempertaruhkan nyawanya bagi nama baik dan kehormatannya secara pribadi.

Karena itu, ketika perwira yang memegang senjata api pendek itu melangkah setapak demi setapak mendekati Pangeran Ranakusuma, maka hampir tidak dapat diketahui, apa yang telah terjadi, namun tiba-tiba seorang Pangeran yang masih jauh lebih muda dari Pangeran Ranakusuma telah menyekap

Perwira kumpeni itu dari belakang, dan ujung kerisnya telah melekat lambung.

“Jika kau berkeras kepala, aku akan mengingkari semua kerja sama yang pernah kita lakukan. Aku akan membunuhmu dengan kerisku” geram Pangeran itu.

Perwira itu tertegun. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu karena keris Pangeran itu benar-benar telah terasa di lambungnya.

Dalam pada itu, perwira kumpeni yang tertua itu pun berteriak, “Aku memberikan perintah. Hentikan semuanya”

Perwira-perwira kumpeni yang lain, yang telah bersiap pun menjadi ragu-ragu. Dan perwira tertua itu berkata, “Kita tidak boleh mengorbankan hubungan baik selama ini karena persoalan pribadi. Persoalan negara adalah jauh lebih penting dari persoalan pribadi”

Mereka yang berdiri di pinggir bengawan itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian seorang perwira berkata, “Tetapi lukanya parah sekali”

“Bawalah kepada tabib supaya lukanya segera diobati” perintah perwira itu.

Kumpeni itu pun kemudian mengangkat Dungkur ke dalam sebuah kereta. Namun terasa, ketegangan yang semakin memun-cak. Dan sebelum kereta itu berderap Pangeran Ranakusuma menggeram, “Jika ia sembuh, aku tantang ia berkelahi sampai mati. Aku tidak puas dengan kelicikan kalian, orang-orang yang menyebut dirinya kesatria dari Barat”

“Cukup” bentak seorang perwira kumpeni yang lain.

“Licik” teriak seorang Pangeran, “Kalian memang licik. Perang tanding sampai mati, berarti yang kalah harus menandai diri dengan kematian. Dan perwira kumpeni adalah licik sekali. Kematian baginya lebih berharga dari kehormatan”

“Diam” bentak perwira kumpeni itu.

“Cukup” teriak perwira kumpeni yang paling tua di antara mereka, “Persoalan ini harus kita anggap sudah selesai. Marilah kita kembali dan melupakannya”

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak beranjak dari tempatnya. Ketika ia melihat kereta yang membawa Dungkur meninggalkan tepian itu ia menggeram, “Akan datang saatnya aku membunuh-nya”

“Kita akan melupakan semuanya” berkata perwira kumpeni yang tertua, “Kita sekarang akan kembali dan tidak seorang pun di antara kita yang akan menceriterakan peristiwa ini kepada siapapun juga”

Pangeran Ranakusuma tidak menjawab. Tetapi dendam masih tampak menyala di dadanya. Noda pada isterinya adalah noda terhadap kehormatannya. Dan kematian anaknya adalah hentakkan yang sangat berat pula baginya.

Ketika kereta yang membawa Dungkur dan kemudian perwira-perwira kumpeni yang lain itu meninggalkan tepi Bengawan, maka Pangeran Ranakusuma pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi hukuman itu sudah cukup baginya kangmas” berkata salah seorang Pangeran yang mendekatinya,

“Belum” sahut Pangeran Ranakusuma, “hanya kematian yang dapat menebus semua peristiwa yang pernah dilakukan”

Pangeran yang kemudian berdiri di sisinya itu tidak menjawab lagi. Ia sudah mengenal tabiat Pangeran Ranakusuma. Jika ia sudah bersikap demikian, maka tidak akan ada orang lain yang dapat melunakkannya kecuali dari dirinya sendiri.

Dalam pada itu, sebelum para Pangeran itu meninggalkan tepian, maka dua orang yang melihat semua peristiwa itu dari balik gerumbul-gerumbul liar, dengan hati-hati meninggalkan tempatnya. Mereka tidak berani berjalan dengan cepat, karena desir kakinya akan didengar oleh para Pangeran yang ada di tepian.

Kedua orang itu adalah Juwiring dan Dipanala. Mereka berdua melihat apa yang terjadi di tepian itu, meskipun kadang-kadang tidak begitu jelas. Namun mereka dapat menangkap kesan keseluruhan dari peristiwa itu.

Bukan saja kesan tentang peristiwa itu, tetapi bagi Juwiring persoalannya menjadi semakin jelas. Ia mengerti apa yang telah terjadi atas Raden Ayu Galihwarit. Dan anak muda itu dapat membayangkan, betapa pahitnya perasaan ayahandanya menghadapi peristiwa yang hitam itu.

Ketika keduanya sudah berada agak jauh dari tepian dan tidak lagi dapat dilihat oleh para Pangeran, maka keduanya pun kemudian menyusup ke dalam gerumbul mengambil kuda mereka yang memang ditambatkannya agak jauh.

Tetapi ketika mereka berdua sudah berada di punggung kuda, mereka terkejut bukan buatan ketika mereka mendengar seseorang bertanya, “Kau menyaksikan peristiwa itu?”

Keduanya serentak berpaling. Dilihatnya seorang anak muda yang bertolak pinggang di belakang mereka.

“O” Juwiring pun segera meloncat turun, diikuti oleh Ki Dipanala.

“Kalian tidak usah turun” cegahnya. Tetapi Juwiring dan Ki Dipanala sudah berdiri di atas tanah.

“Kangmas juga menyaksikan?” bertanya Juwiring.

“Ya. Aku melihat dari awal sampai akhir. Dan bukankah kau dapat melihat, bahwa sebenarnya pamanda Ranakusuma adalah seorang Senapati yang mumpuni? Bukan saja di dalam olah kanuragan secara pribadi di dalam perang tanding, tetapi ia adalah seorang Senapati yang sempurna di peperangan”

“Ya kangmas”

“Orang asing itu kini melihat, bahwa Surakarta bukannya sebuah Kerajaan yang diperintah oleh anak-anak cengeng. Tetapi bahwa ayahandamu telah dapat melepaskan dendamnya. Meskipun orang asing itu tidak terbunuh seketika, tetapi aku yakin, ia akan mati, karena pedang ayahandamu adalah pedang yang sesungguhnya. Bukan sekedar pedang mainan seperti milik kumpeni itu. Karena itu, meskipun tidak disaksikan oleh pamanda Ranakusuma, namun orang asing itu tentu tidak akan pernah dilihatnya lagi berada di Surakarta. Namun agaknya pamanda Ranakusuma tidak puas jika ia tidak melihat kumpeni itu mati di hadapannya”

Juwiring mengangguk. Katanya, “Tetapi di dalam sikapnya mengenai negeri ini, aku masih meragukannya. Apakah ayahanda dan para Pangeran itu akan berubah”

“Itu masih diperlukan waktu. Tetapi mudah-mudahan”

Raden Juwiring tidak menyahut lagi. Dan anak muda itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Bukankah kau akan mendahului pamanda Ranakusuma pulang ke istana Ranakusuman?”

Juwiring tersenyum dan menjawab, “Ya kangmas”

“Pergilah”

“Apakah kangmas akan tinggal di sini?”

“Aku berada di segala tempat”

Raden Juwiring pun kemudian meninggalkan tempat itu. Kudanya berpacu cepat sekali diikuti oleh Ki Dipanala. Mereka memang ingin mendahului ayahandanya yang agaknya masih berbincang beberapa lamanya di tepian dengan para Pangeran.

Tetapi Pangeran Ranakusuma pun tidak terlalu lama berada di antara mereka. Agaknya para Pangeran itu berusaha untuk menenangkannya. Namun Pangeran Ranakusuma masih tetap pada pendiriannya.

“Kangmas” berkata seorang Pangeran yang masih lebih muda daripadanya, yang ketika terjadi perang tanding, telah menyekap seorang perwira yang akan mempergunakan senjata api, “Memang kami dapat mengerti, betapa dendam telah membakar hati kangmas. Tetapi kangmas juga sudah mendapat kesempatan”

“Aku harus yakin, bahwa orang itu dapat aku bunuh. Jika oleh tabib yang menurut beritanya sangat pandai dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit itu, dapat diobatinya, maka aku akan mengulangi perang tanding ini”

Para Pangeran itu pun terdiam. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara lagi.

Pangeran Ranakusuma pun kemudian segera naik ke dalam keretanya dan sejenak kemudian kereta itu pun telah berderap menyusur jalan kota yang remang-remang. Beberapa buah pelita minyak terpancang di pinggir jalan berkeredipan disentuh angin.

Ketika Pangeran Ranakusuma sampai di istananya, jauh malam, Juwiring sudah berada di dalam biliknya. Ketika ia berdiri dan melangkah keluar, ayahandanya lewat dan berkata, “Beristirahatlah. Kenapa kau belum tidur?”

Tetapi ayahandanya sama sekali tidak berhenti. Pangeran Ranakusuma itu langsung masuk ke dalam biliknya. Ia tidak ingin dilihat oleh Juwiring, bahwa pakaiannya kusut dan kotor, bahkan sepercik noda darah telah mengotori bajunya.

Dalam pada itu, kereta yang membawa Dungkur pun telah langsung mendapatkan tabib yang memang di tempatkan di Surakarta bagi para kumpeni yang ada di kota itu. Tetapi ternyata bahwa lukanya yang parah tidak memungkinkannya lagi untuk bertahan. Ketika ia memasuki pintu bilik tabib itu dengan dipapah oleh kawan-kawannya, maka perwira kumpeni itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

“Mati” desis kawannya.

Dungkur itu pun kemudian dibaringkan di atas sebuah pembaringan. Lukanya yang parah itulah yang telah mencabut nyawanya.

“Kematian ini harus ditebus oleh orang-orang pribumi yang liar itu” geram seorang perwira yang masih muda.

Tetapi perwira yang paling tua di antara mereka menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita adalah kesatria dari benua Eropa yang lebih beradab. Kita akan menghargai kejantanan, di dalam perang tanding ini, semuanya harus kita anggap sudah selesai. Bagi kita, Surakarta adalah suatu negeri, yang sangat penting. Pada saat terakhir, kita sudah berangsur-angsur dapat menguasai lebih banyak lagi jalur-jalur perdagangan dan bahkan pemerintahan. Jangan kalian merusak usaha yang kita buka dengan susah payah. Surakarta agak berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Surakarta memiliki kekuatan dan lebih dari itu memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi. Karena itulah kita harus berhati-hati”

“Tetapi apakah kita harus membiarkan penghinaan ini?”

“Itu adalah kesalahannya sendiri” berkata perwira yang tua itu, “Jika ia tidak terlibat di dalam persoalan yang menyangkut kehormatan seorang kesatria di Surakarta, maka ia tidak akan sampai pada akhir hidupnya yang pedih. Tetapi perkelahian yang terjadi adalah adil. Kematiannya merupakan peringatan bagi kita semua, bahwa kita memang harus berhati-hati mengisi kesepian”

Perwira yang lebih muda itu terdiam. Tetapi tampaknya ia masih saja dibakar oleh dendam, seperti dendam yang menyala di hati Pangeran Ranakusuma sendiri.

Namun dalam pada itu, kumpeni tidak dapat lagi menyembunyikan kematian perwiranya itu. Meskipun demikian masih ada saja dalih yang dapat mengurangi hangatnya persoalan. Kumpeni berhasil menyebar berita, bahwa perwiranya, yang mati itu karena diserang oleh penyakitnya yang sebenarnya sudah-lama ditanggungkannya. Namun karena tugas-tugasnya, maka rasa sakit itu sama sekali tidak dihiraukannya.

“Dungkur meninggal karena sakit perut yang parah” berkata orang-orang di pinggir jalan.

“Ya, tiba-tiba saja semalam ia diserang oleh perasaan sakit, sehingga seakan-akan pernafasannya tersumbat. Akibatnya nyawanya tidak tertolong lagi meskipun mereka mempunyai seorang tabib yang sangat pandai dan dapat mengobati segala macam penyakit. Tetapi kepandaian seseorang memang terbatas jika maut memang telah menjemput”

Kematian perwira kumpeni itu ternyata telah menggemparkan semua pihak. Meskipun pada umumnya rakyat Surakarta percaya bahwa kematian perwira kumpeni itu karena sakit perut, tetapi kalangan yang lebih tinggi masih harus berpikir beberapa kali untuk mempercayainya. Terlebih-lebih lagi para perwira tinggi kumpeni di Jakarta. Pemimpin tertinggi kumpeni di Kota Intan itu segera mengirimkan utusan untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang menimpa seorang perwiranya itu.

Pimpinan Kumpeni di Surakarta dan Semarang tidak dapat ingkar atas apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka membatasi persoalan itu pada persoalan pribadi semata.

Namun ternyata pimpinan kumpeni telah mendapat peringatan keras dari atasan mereka. Persoalan pribadi dengan seorang bangsawan tertinggi di Surakarta sangat tidak menguntungkan, apalagi seorang Pangeran yang selama ini bersikap baik terhadap kumpeni.

Ternyata kemudian menurut penyelidikan, bukan saja Dungkur yang terlibat di dalam persoalan harga diri Pangeran Ranakusuma. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Pangeran Ranakusuma sudah menyiapkan tantangan-tantangan berikutnya bagi beberapa orang perwira kumpeni yang lain.

Dengan tergesa-gesa pimpinan tertinggi di Surakarta dan Semarang, segera memerintahkan mereka yang terlibat itu untuk dipindahkan dari Surakarta.

Dengan demikian, maka terjadi beberapa perubahan jabatan di antara mereka. Beberapa orang baru tampak mulai berkeliaran di kota. Namun ternyata bahwa orang-orang baru yang belum mengenal Surakarta dengan baik itu mempunyai sikap yang lain. Mereka ternyata adalah prajurit yang kasar dan mementingkan pedang dan senjata daripada sikap yang ramah dan baik, sehingga dengan demikian, sikap kumpeni di Surakarta menjadi semakin gila. Ditambah lagi dengan perwira-perwira muda yang merasa tersinggung kehormatannya karena kematian seorang kawannya oleh seorang pribumi di dalam perang tanding, seakan-akan kesatria dari negeri Atas Angin itu tidak dapat mengimbangi kemampuan kesatria dari negeri yang liar ini.

Akibatnya, terasa sekali dalam kehidupan rakyat di Surakarta. Rasa-rasanya kumpeni menjadi semakin buas dan kasar. Sikapnya kepada rakyat kecil semakin semena-mena.

Namun karena itulah maka darah kesatria di Surakarta menjadi semakin mendidih karenanya.

Dengan demikian maka udara di atas Surakarta rasa-rasanya memang menjadi semakin panas. Ketegangan yang tersaput oleh sikap yang pura-pura semakin lama menjadi semakin nyata. Dan suasana itu telah dihayati oleh para pemimpin di Surakarta, terutama Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang menjadi semakin berprihatin.

“Kapan aku dapat mulai” kadang-kadang anak muda itu tidak dapat menahan hatinya lagi.

Tetapi bangsawan muda itu masih harus menyabarkan dirinya. Agaknya saatnya memang belum datang, meskipun sudah dekat. Namun demikian, bangsawan muda itu tidak terlampau ketat membatasi anak buahnya, jika terpaksa sekali terlibat di dalam benturan yang memang kadang-kadang terjadi dengan kumpeni. Memang terlampau sulit baginya untuk menghentikan sama sekali perlawanan yang sudah lama dilakukannya.

Namun dalam pada itu, selagi rakyat Surakarta bergejolak oleh tindakan-tindakan yang kasar dan keras dari kumpeni, maka dengan akal yang licik, kumpeni berhasil menusukkan jarum perpecahan yang lebih parah di dalam pimpinan pemerintahan. Beberapa orang bangsawan, para bupati, dan bahkan kemudian pepatih Susuhunan sendiri, mulai dijangkiti perasaan iri terhadap Pangeran Mangkubumi. Tanpa mereka sadari, racun yang dibiuskan di telinga mereka, berhasil membangunkan usaha, agar Susuhunan mencabut hak Pangeran Mangkubumi atas bumi kelenggahannya di Sukawati. Dengan demikian, maka Sukawati akan dapat dibagikan kepada beberapa orang bangsawan yang lain.

Tetapi di luar sadar mereka, yang paling berkepentingan adalah kumpeni sendiri. Jika Sukawati terlepas dari tangan Pangeran Mangkubumi, maka keadaannya pasti akan berubah.

Menurut penyelidikan kumpeni, keadaan di Sukawati sebenarnya telah benar-benar parah. Rakyat Sukawati telah berhasil dibangunkan dari tidur mereka dan dari mimpi yang buruk selama ini.

Dengan demikian, maka di kalangan istana Kangjeng Susuhunan mulai terdengar bisik-bisik di antara para bangsawan, bahwa Sukawati memang harus ditarik. Adalah berlebih-lebihan bagi seorang Pangeran untuk menerima tanah kalenggahan seluas Sukawati.

Sebelum Kangjeng Susuhunan mengambil keputusan, ternyata usaha untuk memisahkan Pangeran Mangkubumi dari rakyatnya itu sudah diketahuinya, sehingga dengan demikian, maka Pangeran Mangkubumi pun dengan tergesa-gesa telah menyiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.

Dalam kalutnya udara di atas Surakarta itu, maka di padepokan Jati Aking, Buntal dan Arum selalu melatih diri, untuk mendapatkan tingkat kemampuan yang memadai di dalam suasana yang semakin panas itu.

Bahkan bukan saja Buntal dan Arum, tetapi Raden Juwiring masih juga kadang-kadang datang menemui gurunya.

Tetapi ternyata semakin lama menjadi semakin jarang. Bahkan kadang-kadang untuk waktu yang cukup panjang, Juwiring. sama sekali tidak menampakkan diri di padepokannya.

Buntal merasakan kelainan itu. Dan apalagi apabila setiap kali Arum selalu bertanya kepadanya, kenapa Juwiring sudah terlampau lama tidak mengunjungi padepokan.

Meskipun perasaan rindu kadang-kadang tersembul juga di hati Buntal, namun kerinduan Arum terhadap Juwiring itu kadang-kadang terasa menyentuh hatinya. Ia sendiri tidak berani mendengar apakah sebabnya, maka kadang-kadang ia tidak senang mendengar Arum selalu bertanya tentang Juwiring.

“Kita sama-sama tidak mengerti” jawabnya pada suatu kali ketika Arum bertanya kepadanya, kenapa Juwiring sudah lama tidak berkunjung.

“Barangkali Raden Juwiring pernah mengatakan sesuatu kepadamu, tetapi tidak kepadaku” sahut Arum.

“Tidak. Raden Juwiring tidak pernah mengatakan apapun kepadaku. Sebenarnyalah aku juga mengharap ia datang. Tetapi selebihnya aku tidak mengerti”

Arum tidak bertanya lagi. Ia dapat mengerti jawaban Buntal. Namun ia tidak dapat merasakan, bahwa di balik kata-kata anak muda itu terselip perasaan yang asing bagi Arum.

Demikianlah, Juwiring semakin lama menjadi semakin jarang datang kepada gurunya, sehingga pada suatu saat, rasa-rasanya Juwiring telah benar-benar melupakan, bahwa ia adalah anak yang diasuh di dalam olah kanuragan di padepokan Jati Aking.

Dalam pada itu, Juwiring sendiri ternyata telah tenggelam di dalam hidup keluarganya yang-mulai menjadi tenang. Rara Warih mulai menyadari, apakah arti Juwiring bagi keluarganya. Ia adalah seorang anak muda yang baik dan memiliki ilmu yang cukup, melampaui kakaknya Raden Rudira. Buka hanya di dalam olah kanuragan, tetapi di dalam segala hal. Warih tidak pernah mendengar Juwiring membentak-bentak, berteriak tidak ada artinya dan memerintahkan para pelayan dan pengawalnya untuk melakukan sesuatu yang aneh.

Hampir di dalam setiap tindakan, Juwiring melakukannya dengan penuh tanggung jawab, sehingga dengan demikian, maka para pelayan, abdi dan pengawal, yang semula tidak mau mengerti kenapa anak itu harus hadir di istana ayahandanya, mulai menyesal atas sikapnya.

Selain ketenangan yang berangsur-angsur pulih kembali, maka Juwiring pun ternyata telah menemukan seorang guru yang baru. Ayahandanya sendiri.

Ternyata ayahandanya juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Ilmunya yang tinggi dan pengalamannya yang luas, membuat Pangeran Ranakusuma benar-benar seorang Panglima.

Dari ayahandanya itulah Juwiring menyadap ilmu kanuragan di samping ilmu yang telah dimilikinya. Ternyata ayahandanya pun tidak berbuat dengan tergesa-gesa. Ia mempelajari serba sedikit ilmu yang dimiliki Juwiring. Kemudian memberikan ilmunya tanpa menumbuhkan pertentangan di dalam diri anak laki-lakinya itu.

Dari hari ke hari nampak, bahwa Juwiring benar-benar seorang yang memiliki daya tangkap yang luar biasa atas ilmu kanuragan. Apalagi ia sudah mempunyai dasar pengetahuan secara umum bagi olah kanuragan itu, sehingga ia tidak banyak menemui kesulitan menerima ilmu dari ayahandanya.

Bahkan dari hari ke hari, ilmunya menjadi kian meningkat dengan pesatnya. Pangeran Ranakusuma sendiri merasa heran, bahwa Juwiring akan mampu menangkap ilmu yang diberikan itu begitu cepat.

Dengan demikian, maka perlahan-lahan istana Ranakusuman itu pun telah melupakan seorang perempuan bangsawan yang pernah berkuasa. Bahkan Warih sendiri perlahan-lahan melupakan ibunya yang berada di rumah kakeknya. Bukan melupakannya sebagai seorang ibu, tetapi melupakan kejutan yang mengguncangkan isi istana itu. Setiap kali Warih masih selalu bertanya tentang keadaan ibunya. Tetapi ia tidak mau datang menengoknya sebelum ia yakin bahwa ibunya tidak akan dipengaruhi lagi oleh kenangan yang sangat pahit itu.

Tetapi dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma sendiri sama sekali tidak pernah menyebutnya lagi. Ia tidak ingin terlempar di dalam kenangan yang sangat pedih. Ia mencoba mengisi waktunya untuk kepentingan kedua anaknya. Juwiring dan Warih.

Dengan sepenuh perhatian, Pangeran Ranakusuma menempa Juwiring agar menjadi seorang Laki-laki yang mumpuni, di dalam olah kanuragan, di dalam olah kajiwan, dan ilmu pemerintahan. Pangeran Ranakusuma memanggil seorang yang ahli untuk menuntun Juwiring agar ia menjadi seorang bangsawan yang baik di segala bidang.

Sedang bagi Warih, Pangeran Ranakusuma menyerahkannya kepada seorang perempuan yang meskipun sudah agak lanjut usia, tetapi masih mempunyai kelincahan di dalam banyak hal. Memasak, menghias diri, memelihara dan mengatur rumah seisinya. Seperti cita-citanya bagi Juwiring, maka Pangeran Ranakusuma pun mengharap agar Warih menjadi seorang perempuan bangsawan yang sempurna. Bukan saja seorang bangsawan yang cantik dan pandai menghias diri, tetapi ia harus menjadi seorang perempuan bangsawan yang mampu menjadikan rumah tangganya kelak, sebuah rumah tangga yang tenang damai dan berwibawa.

Dengan demikian, dengan kesibukan yang semakin meningkat, Juwiring benar-benar tidak pernah lagi datang ke padepokan Jati Aking. Ia tenggelam dalam latihan-latihan olah kanuragan, belajar ilmu-ilmu yang lain yang harus dimilikinya dan sedikit waktu untuk beristirahat dan menyesuaikan diri dengan kedudukannya. Sekali-sekali Juwiring pernah mengikuti ayahnya di dalam himpunan para bangsawan dan mulai berkenalan dengan orang asing yang berkuasa di Surakarta.

“Kau harus bersikap baik terhadap mereka Juwiring” berkata ayahnya, “Apapun yang kau simpan di dalam hati, tetapi di hadapan mereka, kau harus menunjukkan sikap yang sopan dan beradab, agar kita tidak disebutnya sebagai bangsa yang tidak mengenal sopan santun dan tidak berperadaban”

Dan Juwiring tidak berusaha menentang pesan ayahandanya. Perlahan-lahan ia menyesuaikan dirinya dengan pergaulan yang semula terasa asing baginya. Namun lambat laun, ia pun menjadi terbiasa pula.

Demikian pulalah di dalam hidupnya sehari-hari. Meskipun ia tetap seorang anak muda yang rendah hati, tetapi kini Juwiring adalah benar-benar seorang putera Pangeran. Pakaiannya, sikapnya dan hubungan yang dilakukannya sehari-hari. Saudara-saudara sepupunya yang semula tidak mau mengenalnya lagi, satu dua sudah ada yang mulai bergaul meskipun tidak terlampau rapat

Sikap dan tingkah lakunya itu, menimbulkan kekecewaan yang sangat pada Buntal dan Arum. Meskipun mereka tidak sempat menyaksikan sikap dan tingkah laku itu, namun sekali. mereka pernah juga mendengarnya. Sumber yang paling dapat dipercayainya adalah Ki Dipanala sendiri.

Ki Dipanala ternyata sama sekali tidak ingin memutuskan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Ia masih sering datang mengunjunginya. Daripadanya lah maka Buntal dan Arum mendengar, bahwa Raden Juwiring kini sudah berhasil menyesuaikan dirinya dengan kehidupan yang seharusnya bagi seorang putera Pangeran.

“Seharusnya ia tidak perlu belajar” berkata Arum sambil mengerutkan dahinya, “Ia memang putera Pangeran. Sebelum tinggal di sini, ia tentu sudah terbiasa dengan. hidup seperti yang dilakukannya sekarang ini”

“Ya” Ki Dipanala mengangguk-angguk, “Tetapi sudah lama ia terpisah dari pergaulan para bangsawan, sehingga ia harus berusaha menyesuaikan dirinya kembali”

“Apakah artinya ia berada di sini beberapa waktu yang lalu? Jika akhirnya ia melupakan padepokan ini, dan terlebih-lebih lagi segala cita-cita yang dengan berkobar-kobar pernah dikatakannya di sini?”

Ki Dipanala menarik nafas dalami. Dengan hati-hati ia berkata, “Ia sama sekali tidak melupakan padepokan ini. Tetapi ia kini sedang disibukkan oleh berbagai macam pekerjaan yang dibebankan kepadanya oleh ayahandanya”

“Tentu, itu adalah suatu usaha untuk memisahkannya dari padepokan ini” bantah Arum, lalu, “dan apakah gunanya ia mempelajari olah kanuragan, jika ia kemudian menjadi murid dari orang lain meskipun itu ayahandanya sendiri? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dahulu? Ternyata Raden Juwiring kini benar-benar telah menjadi pengganti Raden Rudira”

Ki Dipanala tidak segera menyahut. Sekilas ditatapnya wajah Kiai Danatirta yang lembut.

“Arum” berkata Kiai Danatirta, “Apakah salahnya jika Raden Juwiring menyesuaikan diri dengan tata cara hidup keluarganya. Biarlah ia berada di dalam lingkungannya. Itu memang sudah haknya”

“Tetapi apakah artinya padepokan ini baginya? Seperti silirnya angin di pegunungan. Alangkah segarnya jika wajah yang gersang bagaikan dibuat oleh desir yang lembut. Tetapi angin itu sudah berlalu. Dan tidak akan pernah diingatnya kembali”

Kiai Danatirta justru tersenyum melihat wajah anaknya yang tegang. Katanya, “Tetapi kita tidak dapat merampas haknya. Dan apakah sebenarnya yang pernah dihayatinya di padepokan ini? Apa yang kita lakukan di sini, adalah semata-mata suatu kewajiban. Dan kita tidak akan pernah menuntut pamrih bagi diri sendiri, penghargaan atau pujian dan imbalan berupa apapun. Jika kita melepaskan seekor burung yang kita selamatkan dari mulut seekor kucing, maka kita tidak akan pernah mengharap burung itu datang kembali kepada kita dengan membawa butiran-butiran padi seperti di dalam dongeng anak-anak menjelang tidur”

Arum tidak menjawab lagi. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam, Ki Dipanala yang menyaksikannya hanya dapat mengangkat bahu. Ia mengerti, bahwa pergaulan yang cukup lama itu telah menumbuhkan ikatan persaudaraan yang dalam. Keduanya memang sudah dinyatakan sebagai saudara angkat apalagi mereka pada dasarnya adalah saudara seperguruan bersama dengan Buntal.

Namun dalam pada itu. Buntal mempunyai tanggapan yang lain. Sebenarnya ia pun mempunyai perasaan seperti yang dikatakan oleh Arum. di antara kekecewaan dan kerinduan kepada saudara angkatnya. Tetapi mendengar keluhan Arum di hadapannya itu, rasa-rasanya ia mempunyai tanggapan yang lain. Seakan-akan ia mendengar keluhan rindu seorang gadis atas seorang laki-laki muda yang telah menarik hatinya.

Karena itu, maka Buntal justru tidak mengatakan sesuatu. Ia bahkan harus berjuang mengatasi kerisauan hatinya sendiri. Dengan susah payah ia mencoba untuk tidak berprasangka buruk, dan bahkan katanya kepada diri sendiri, “Alangkah hitamnya hati ini”

Demikianlah, maka di saat-saat tertentu, masih terasa, bahwa kepergian Juwiring dari padepokan Jati Aking, telah menumbuh-kan perubahan di dalam tata kehidupan di padepokan itu. Bahkan kemudian timbul di hati Buntal suatu keinginan, agar sebaiknya Juwiring tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di padepokan itu.

“Gila” Ia mengumpati dirinya sendiri, “perasaan ini adalah suatu pengkhianatan. Aku agaknya telah mementingkan diriku sendiri. Aku sudah digulat oleh kedengkian karena aku ingin memisahkan Arum dari Juwiring”

Namun betapa ia menjadi sakit karena benturan dengan dirinya sendiri. Antara tata krama, unggah-ungguh dan tuntutan hatinya sebagai seorang laki-laki muda.

Tetapi betapapun sakitnya, ia harus menahan hati. Ia harus tetap seperti yang ada selama ini. Bahwa Buntal adalah saudara angkat Arum, dan keduanya adalah saudara seperguruan.

Dengan demikian maka Buntal pun selalu berusaha menekan perasaannya. Dialihkannya semua persoalan pada dirinya ke dalam mesu diri. Berlatih dengan tekun tanpa mengenal lelah. Siang dan malam, apabila kerja di sawah sudah selesai, maka ia selalu berada di dalam sanggar untuk menyempurnakan ilmu kanuragannya. Kadang-kadang ia berlatih sendiri, kadang-kadang dengan gurunya dan Arum.

Sebagai seorang tua, Kiai Danatirta mengetahui, bahwa ada sesuatu yang agaknya tersembunyi di dalam hati Buntal. Kemauannya melatih diri agak berlebih-lebihan. Meskipun dengan demikian kemajuannya di dalam olah kanuragan menjadi semakin pesat, tetapi Kiai Danatirta melihat kemundurannya di lain segi dari kehidupan Buntal.

“Anak muda itu sekarang sering menyendiri” berkata Kiai Danatirta di dalam hati. Tetapi orang tua itu tidak segera dapat menebak, perasaan apakah yang sebenarnya tersembunyi di dalam diri muridnya itu.

Dan Buntal pun memang tidak ingin menunjukkan gejolak hati yang sebenarnya.

Dengan sepenuh hati. Buntal memperdalam ilmunya hampir setiap saat. Ketika udara sedang gelap karena mendung yang menyaput langit di ujung malam. Buntal berdiri terengah-engah di belakang sanggar. Keringatnya bagaikan diperas dari dalam tubuhnya. Baru saja ia menyelesaikan sebuah latihan yang berat. Sengaja tidak di dalam sanggar, agar ia dapat bergerak dengan bebas, tidak dibatasi oleh dinding-dinding bangsal yang dirasanya terlampau sempit.

Apalagi halaman di belakang sanggar itu pun dibatasi oleh dinding batu hampir berkeliling, sehingga latihannya sama sekali tidak mengganggu orang lain atau terganggu karenanya.

Buntal menengadahkan wajahnya ketika dilihatnya lidah api meloncat di langit. Tetapi ia masih belum ingin beristirahat. Ia masih ingin melanjutkan latihannya.

Sekali lagi Buntal bersikap. Beberapa kali ia melakukan gerakan-gerakan yang sedang dipelajarinya sifat dan kemungkinannya. Berkali-kali gerak itu diulanginya. Sehingga akhirnya ia menganggukkan kepalanya.

Tetapi Buntal terkejut, ketika kilat menyambar di langit, dilihatnya sesuatu bergerak di balik gerumbul di sudut halaman. Sejenak ia membeku, namun kemudian ia masih saja berpura-pura tidak melihat sesuatu. Dilanjutkannya latihan-latihan yang dilakukannya itu, dari tata gerak yang satu, dihubungkan dengan tata gerak yang lain dalam rangkaian yang serasa.

Namun demikian, ia masih tetap memperhatikan bayangan yang sekilas dilihatnya.

Jika kilat menyambar lagi di langit, Buntal mengharap bahwa ia akan dapat melihatnya sekali lagi untuk meyakinkan, bahwa ia tidak sekedar diganggu oleh bayangan yang hanya sekedar mirip saja dengan bayangan seseorang.

Beberapa saat lamanya Buntal masih tetap melatih diri di dalam kegelapan. Meskipun perhatiannya kini terbagi antara latihan dan gerumbul di sudut, namun ia masih tetap bergerak terus agar seandainya di balik gerumbul itu benar-benar ada orang yang mengintainya, orang itu masih akan tetap berada ditempatnya.

Ternyata bahwa sejenak kemudian kilat benar-benar memancar di langit. Sepercik sinarnya menyambar seseorang yang bersembunyi di balik gerumbul. Meskipun Buntal tidak dapat melihat dengan jelas, tetapi ia kini yakin, bahwa yang berada di balik gerumbul itu memang seseorang. Bukan sekedar dedaunan yang bergerak disentuh angin.

Karena itu, Buntal pun mulai mencari jalan, bagaimana ia dapat mendekati gerumbul itu tanpa menumbuhkan kecurigaan.

Sejenak Buntal berpikir, sehingga tata geraknya menjadi sedikit kendor. Namun sejenak kemudian Buntal justru telah mengerahkan segenap kemampuan geraknya. Ia meloncat tinggi-tinggi sambil memutar tangannya di udara. Kemudian menyapu dengan kakinya rendah hampir melekat tanah. Sekali ia berguling, berputar dan melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Bahkan ia meloncat dan berputar di udara.

Dengan demikian Buntal bergerak hampir di seluas halaman di belakang Sanggar itu, sehingga tanpa menimbulkan kecurigaan, sampai juga ia di sebelah gerumbul itu.

“Nah, aku kira aku sudah cukup dekat” katanya di dalam hati. Karena itu, sejenak ia mengumpulkan tenaganya, dan sesaat kemudian ia pun segera meloncat menerkam bayangan yang ada di balik gerumbul itu.

Tetapi ternyata Buntal keliru. Orang yang berada di balik gerumbul itu tidak tinggal diam dan membiarkan dirinya diterkamnya. Meskipun orang di balik gerumbul itu agak terkejut melihat Buntal yang tiba-tiba saja meloncat ke arahnya, namun sambil berjongkok ia sempat menghindar diri dengan meloncat melangkah ke samping.

Ketika Buntal yang gagal itu bersiap, maka orang itu pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Buntal tertegun sejenak. Bahkan kemudian ia berdiri termangu-mangu. Orang itu tidak lain adalah Arum.

“Kau berada di sini Arum?” suaranya tergagap.

Arum menundukkan kepalanya. Ia tidak lagi bersikap garang seperti jika ia hendak bertempur. Tetapi tiba-tiba saja Arum telah menjadi seorang gadis yang tersipu-sipu.

“Kenapa kau berada di sini?” sekali Buntal mendesak sambil mendekatinya.

“Tidak apa-apa. Aku memang ingin menyusulmu berlatih di sanggar. Tetapi ternyata kau tidak ada di dalam bangsal itu”

“Tetapi kau tidak memakai kelengkapan untuk berlatih”

Tanpa disadarinya Arum memandang pakaiannya dari ujung kaki sampai ke ujung tangannya. Ia memang tidak mengenakan kelengkapan untuk berlatih. Karena itu asal saja ia menjawab, “Aku memang tidak ingin berlatih. Aku hanya sekedar ingin melihat, karena badanku rasa-rasanya lelah sekali hari ini”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawaban itu dapat dimengertinya. Bahkan ia mencoba mengerti, karena Arum justru bersembunyi. Agaknya gadis itu ingin melihat perkembangan ilmunya tanpa mengganggunya atau membuatnya ragu-ragu justru karena ia sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya.

Namun yang tidak dimengerti oleh Buntal, justru sikap Arum yang agak berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Tampak Arum saat itu agak letih dan ragu-ragu.

“Arum” berkata Buntal kemudian, “Apakah kau sedang sakit?”

Arum menggelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Tidak Buntal. Aku tidak sakit. Tetapi rasa-rasanya hatiku tidak secerah saat-saat lampau”

Dada Buntal menjadi berdebar-debar. Yang pertama-tama diingatnya adalah Juwiring. Tentu gadis ini merindukan anak muda yang sudah cukup lama tidak menampakkan dirinya.

Dan hampir di luar sadarnya Buntal berkata, “Arum, sebaiknya kau tidak usah memikirkannya lagi. Ia sudah pergi, dan meskipun aku juga mengharap, tetapi ia tidak akan dapat kembali di antara kita seperti biasanya”

Tetapi Buntal menjadi terkejut ketika Arum menjadi tegang. Dan bahkan bertanya, “Apakah yang kau maksud?”

Buntal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dipaksanya menjawab, “Aku kira seperti aku kau mengharap kakang Juwiring datang dan berada lagi di antara kita”

Arum menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak memikirkannya lagi. Meskipun ia saudara angkatku dan aku menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri, tetapi ia sudah melupakan kita di padepokan yang terpencil ini”

“O” Buntal mengangguk-angguk, “Jadi, apakah yang kau pikirkan?”

Arum mengangkat wajahnya. Sekilas Buntal melihat matanya yang bercahaya. Tetapi mata itu pun kemudian menjadi pudar kembali.

“Aku tidak apa-apa kakang. Aku hanya terlalu lelah. Kemarin aku memaksa diri berlatih terlampau lama. Dan hari ini akulah yang membuka pematang, karena ketika aku berada di sawah kebetulan air berlimpah. Saat itu kau belum datang, sehingga akulah yang melakukannya”

Buntal mengangguk kecil. Tetapi sesuatu yang tidak terkatakan dapat ditangkapnya pada wajah dan kata-kata Arum.

Tetapi Arum benar-benar tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kemudian ia duduk saja dengan kepala tunduk di atas sebuah batu yang besar, sedang Buntal dengan gelisah berdiri di sebelahnya.

Kilat di langit seakan telah membangunkan keduanya. Arum yang kemudian berdiri itu pun berkata, “Aku akan masuk kakang. Apakah kau masih akan melanjutkan?”

Buntal menggeleng, “Tidak Arum. Aku pun sudah lelah sekali”

Arum memandang Buntal dengan tatapan mata yang lain. Dan tiba-tiba saja di dalam tangkapan pandangan Buntal, yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang gadis yang meningkat menjadi dewasa dan matang.

Buntal harus berjuang menahan gejolak perasaannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berpaling sambil melontarkan kegelisahannya dengan berkata agak keras, “Arum, lihat. Langit mendung sekali. Tidak ada sebuah bintang pun yang tergantung di langit”

Tetapi Arum hanya sekedar menjawabnya, “Ya kakang”

Buntal menarik nafas. Perbedaan sikap Arum membuatnya semakin gelisah dan bingung.

Tetapi Arum pun kemudian melangkah meninggalkan Buntal yang berdiri termangu-mangu. di muka pintu butulan sanggar ia berpaling sambil berkata, “Sebaiknya kau pun beristirahat kakang. Kau tentu lelah pula, setelah sehari-harian kau bekerja di sawah dan di rumah”

Buntal mengangguk. Jawabnya ragu-ragu, “Baiklah Arum”

“Kau belum makan malam”

Buntal mengangguk.

Sepeninggal Arum, Buntal menjadi semakin gelisah. Ia tidak mengerti, kenapa Arum tiba-tiba saja berubah.

“Apakah hal ini sudah dilakukannya beberapa kali?” Ia bertanya kepada diri sendiri. Namun kemudian ia memaksa dirinya mengambil kesimpulan, “Semuanya adalah kebetulan. Jika hatinya menjadi letih, itu tentu karena ia berusaha melupakan kakang Juwiring”

Buntal menengadahkan wajahnya di dalam kebimbangan. Dilihatnya langit semakin suram dan rasa-rasanya awan yang basah tergantung rendah sekali.

Perlahan-lahan Buntal melangkah. Sejenak ia berhenti di dalam sanggar. Dilihatnya di bangsal tertutup itu berbagai macam senjata tergantung pada dinding. Jarang sekali orang yang masuk ke dalam bangsal itu selain dirinya sendiri, Kiai Danatirta dan Arum.

Ternyata bahwa sikap Arum telah menumbuhkan teka-teki di dalam hatinya. Namun ia masih saja selalu dipengaruhi bayangan Juwiring yang sudah tidak datang ke padepokan ini.

Sambil berjalan perlahan-lahan Buntal mengeringkan keringatnya. Kemudian ditinggalkannya bangsal itu, dan perlahan-lahan ia pun pergi ke pakiwan.

Udara malam terasa terlalu panas oleh mendung yang tebal. Sejenak Buntal berada di pakiwan membersihkan dirinya sebelum seperti biasanya ia pergi ke ruang belakang untuk makan malam.

Dan seperti biasanya pula, Buntal adalah orang yang terakhir makan malam. Kiai Danatirta kadang-kadang sudah memperingatkannya, agar ia membiasakan diri makan lebih awal, agar perutnya tidak terganggu. Tetapi sekali dua kali setelah peringatan itu, maka kambuhlah kebiasaannya makan di jauh malam, sehingga tidak ada seorang pun lagi yang berada di dapur mengawaninya. Bahkan pernah makan dan lauk pauk yang disediakan baginya telah habis dimakan tikus.

Tetapi kali ini Buntal terkejut. Ketika ia memasuki dapur yang sepi dilihatnya Arum duduk di atas amben yang besar di sudut dapur itu sambil bermain-main dengan ujung kain panjangnya.

“Arum” sapa Buntal, “Kau belum tidur?”

Arum memandang Buntal sejenak, lalu, “Aku juga belum makan, “

“O. Biasanya kau melayani ayah dan kemudian kau makan pula”

“Ya. Tetapi sore ini aku berada di belakang sanggar itu setelah aku menyediakan makan ayah”

Buntal tidak menyahut. Dikibaskannya tangannya yang masih basah dan kemudian ia pun duduk pula di amben besar itu. Sekilas dilihatnya di atas geledeg persediaan makan baginya sudah tersedia seperti biasanya.

Tetapi sebelum ia berdiri dan mengambilnya, maka Arum telah bangkit dan gadis itulah yang kemudian mengambil persediaan itu dan meletakkannya di atas amben.

Buntal menjadi termangu-mangu. Hal itu tidak biasa dilakukan oleh Arum. Biasanya jika ia tidak berlatih pula, ia berada di biliknya di saat-saat begini. Kadang-kadang berbincang dengan ayahnya mengenai ilmu yang sedang dipelajarinya. Bahkan kadang-kadang ayahnya sempat memberikan arti dari setiap gerak yang pernah dipelajari, sehingga Arum dan kadang-kadang Buntal pula, mengerti bahwa gerakan yang dilakukan mempunyai arti dan sifat tersendiri.

Agaknya Arum mengetahui bahwa Buntal menjadi heran melihat perubahan itu. Karena itu, Arum pun menjadi berdebat pula. Meskipun demikian ia mencoba menjelaskan, “Hari ini aku tidak begitu bernafsu untuk makan kakang. Tetapi biarlah aku mencobanya”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.

Keduanya pun kemudian makan bersama di dalam dapur yang sepi. Yang terdengar hanyalah sentuhan-sentuhan mangkuk dan kadang-kadang gerak bibir mereka.

Malam itu, setelah makan, mereka pun segera pergi ke bilik mereka masing-masing. Seakan-akan tidak ada apa-apa yang terjadi. Bahkan mereka tidak terlalu banyak berbicara dan apalagi membicarakan masalah-masalah yang penting.

Namun sebenarnya, yang terjadi di dalam hati mereka adalah gejolak yang riuh. Meskipun keduanya kemudian sudah berada di atas pembaringan, namun mereka masih saja duduk dengan gelisah.

Ternyata sebagai seorang gadis, Arum pun tidak dapat menghindarkan dirinya dari naluri kemanusiaannya. Meskipun ia memiliki kelebihan dari gadis lain di dalam olah kanuragan, tetapi hatinya adalah hati seorang gadis. Itulah sebabnya, ia telah dicengkam pula oleh perasaan yang serupa dengan gejolak perasaan di dalam dada Buntal.

Betapa kedua anak muda itu berusaha menghindarkan diri masing-masing, tetapi mereka ternyata bagaikan sudah masuk ke dalam jebakan.

Namun demikian, masing-masing masih berusaha merahasia-kan gejolak perasaan itu, sehingga yang seorang tidak dapat menerka apakah yang sebenarnya tumbuh di hati yang lain.

Namun dalam pada itu, sebagai seorang tua yang memiliki ketajaman tanggapan terhadap anak-anaknya, apakah itu anaknya sendiri, atau anak angkatnya, maka Kiai Danatirta pun melihat sesuatu yang berbeda di dalam hubungan anak-anak muda itu. Setiap hari ia mencoba memperhatikan, seakan-akan ada sesuatu yang berkembang di hati masing-masing, semakin lama menjadi semakin mekar.

Kiai Danatirta yang pernah mengalami kepahitan karena peristiwa yang terjadi atas anak gadisnya sehingga menimbulkan persoalan yang sama sekali tidak dikehendaki, menanggapi peristiwa ini dengan sangat berhati-hati. Meskipun ia sadar, bahwa kemungkinan yang demikian memang dapat saja terjadi. Apalagi keduanya menyadari bahwa mereka sebenarnya bukannya saudara sedarah. Mereka hanyalah saudara angkat dan saudara seperguruan.

Tetapi agaknya Buntal sendiri, masih saja selalu diganggu oleh bayangan Juwiring yang kadang-kadang membuatnya kehilangan pegangan. Buntal yang perasa itu, tidak dapat menyingkirkan sebuah prasangka, bahwa jika Arum rasa-rasanya menjadi semakin dekat di hatinya, itu adalah karena Arum sendiri sedang merasa kesepian sepeninggal Juwiring.

Meskipun demikian, seperti matahari yang harus terbit di ujung Timur, demikian juga perasaan anak-anak muda itu tidak dapat dibendung lagi. Sepercik isyarat telah sama-sama mereka hayati. Kata hati yang tidak menyentuh indera wadag, namun dapat di tanggapi dengan firasat yang mencengkam perasaan masing-masing.

Kiai Danatirta masih membiarkan hati kedua anak-anak muda itu mekar, selama mereka masih berbuat di dalam batas-batas yang wajar. Dengan hati-hati ia mengikuti perkembangan hubungan keduanya. Dan orang tua itu pun mengetahui, bahwa kedua anak-anak muda itu sama sekali belum menyatakan sikap dan gejolak hati masing-masing dengan terbuka.

“Mudah-mudahan tidak terjadi masalah-masalah yang dapat mengungkit kembali luka di hatiku” berkata orang tua itu kepada diri sendiri.

Tetapi perkembangan keadaan di padepokan Jati Aking itu tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pengaruh perkembangan keadaan, sejalan dengan panasnya udara di Surakarta.

Beberapa orang bangsawan dan justru pejabat tertinggi di Surakarta yang merasa iri hati terhadap Pangeran Mangkubumi, bukan saja atas daerah kelenggahannya yang luas, juga karena Pangeran Mangkubumi terlalu dekat dengan rakyatnya, sehingga Pangeran itu mempunyai pengaruh yang sangat luas, semakin lama semakin jauh menyebarkan berita dan desas-desus tentang Pangeran Mangkubumi, sehingga akhirnya Kangjeng Susuhunan terpaksa memperhatikannya.

Tetapi Pangeran Mangkubumi telah menilai keadaan itu dengan tepat. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun pada dasarnya Pangeran Mangkubumi adalah seorang yang tidak menghendaki darah tertumpah di atas tanah tercinta ini, tetapi apabila tanah ini semakin lama akan semakin jauh tenggelam di dalam perbudakan, maka memang tidak ada jalan lain daripada melepaskan beberapa orang korban sebagai bebanten dari perjuangan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Surakarta.

Dan arus yang panas itu ternyata telah menyentuh padepokan Jati Aking pula.

Padepokan Jati Aking ternyata telah dikejutkan oleh kehadiran seorang penunggang kuda. Meskipun orang itu bukan lagi seorang anak muda, tetapi wajahnya tampak cerah dan tubuhnya ternyata cukup terpelihara.

Namun agaknya Buntal yang kebetulan ada di halaman segera dapat mengenalinya. Dengan bergegas ia menyong-songnya sambil tersenyum, “Putut Srigunting, “

Orang yang sudah menginjak usia pertengahan itu tersenyum. Sambil meloncat dari punggung kudanya ia menyambut anak muda yang menyongsongnya itu. Sambil mengguncang lengan Buntal Putut itu pun berkata, “Kau berkembang dengan pesatnya”

“Ah” Buntal tersenyum mendengar pujian itu, “Kau menjadi semakin muda”

Putut itu pun tertawa. Lalu, “dimanakah Kiai Danatirta?”

“Marilah, ayah berada di dalam”

Sejenak kemudian, maka Putut itu pun telah duduk di pendapa bersama Buntal dan Kiai Danatirta sendiri. Sejenak kemudian Arum pun telah menghidangkan minuman dan makanan.

“Gadis yang lengkap” berkata Putut Srigunting, “Ia mampu bermain pedang, tetapi ia dapat dengan lembut menghidangkan hidangan seperti gadis pingitan”

Wajah Arum menjadi merah. Tetapi ia tersenyum saja tanpa menjawab sepatah katapun.

Sejenak mereka pun kemudian berbincang tentang keselamatan dan keadaan di padepokan masing-masing.

Namun akhirnya sampailah mereka pada pokok pembicaraan. Agaknya Putut Srigunting datang ke padepokan Jati Aking bukan sekedar ingin menengok Buntal dan saudara-saudara seperguruannya, tetapi kedatangannya memang membawa suatu maksud yang penting. Penting bagi Buntal dan penting bagi Kiai Sarpasrana.

“Kiai Danatirta” berkata Putut Srigunting kemudian, “kedatanganku adalah karena aku mendapat perintah dari Kiai Sarpasrana. Agaknya keadaan di Surakarta sudah tidak dapat disejukkan lagi. Kedatangan orang-orang baru dan dendam yang menyala di hati perwira-perwira kumpeni membuat mereka menjadi semakin kasar. Ditambah lagi dengan kedengkian dan ketamakan yang merajalela pada beberapa bangsawan tertinggi di Surakarta. Mereka ingin mempergunakan pengaruh mereka untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak mereka sukai, terutama Pangeran Mangkubumi”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Karena itu Kiai, aku telah berjalan mengelilingi Surakarta. Aku harus memberitahukan kepada orang-orang yang mengerti akan arti kecintaan terhadap tanah air, agar mereka mulai menyatukan diri di dalam satu ikatan yang teguh”

Kiai Danatirta mulai berdebar-debar. Lalu, “Maksudmu?”

“Kiai Sarpasrana telah mengumpulkan setiap orang yang mungkin dapat membantu perjuangan untuk menegakkan hak kita atas tanah tercinta ini. Saatnya sudah terlampau dekat, bahwa kita harus berbuat sesuatu”

“Maksudmu, Pangeran Mangkubumi sudah bersiaga?”

Putut Srigunting ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku percaya kepada Kiai. Karena itu, aku berani mengiakannya bahwa Pangeran Mangkubumi memang sudah bersiap”

“Apakah yang harus kita kerjakan di sini?”

“Masih belum dapat disebutkan sekarang, karena Pangeran Mangkubumi belum menjatuhkan perintah. Tetapi yang penting dari kedatanganku ini, adalah bahwa kita harus berkumpul di padepokan Kiai Sarpasrana untuk beberapa saat. Kemudian kami akan memencar ke daerah-daerah yang memerlukan apabila saatnya memang sudah tiba”

“Jadi?”

“Kiai Sarpasrana minta agar murid-murid Kiai apabila bersedia datang pula ke padepokan kami untuk bergabung dengan pasukan yang memang sudah disiapkan”

Kiai Danatirta terdiam sejenak. Sambil mengangguk-angguk ia meraba-raba janggutnya yang sudah mulai memutih.

Namun dalam pada itu, dada Buntal dan Arum menjadi berdebar-debar. Mereka belum tahu pasti makna dari permintaan Putut Srigunting itu. Namun mereka sudah dapat meraba artinya, bahwa udara di atas Surakarta sudah menjadi semakin panas, sehingga air yang ada di kota ini bagaikan akan mendidih karenanya.

“Putut Srigunting” berkata Kiai Danatirta, “sebenarnya berat bagiku untuk melepaskan murid-muridku yang sama sekali belum memiliki bekal yang cukup. Namun demikian, segala sesuatunya masih tergantung kepada anak-anak itu sendiri. Terutama Buntal, karena Juwiring sekarang sudah jarang sekali datang ke padepokan ini”

“Kami, dari padepokan Kiai Sarpasrana sudah mengetahui bahwa Raden Juwiring pada dasarnya sudah tidak berada di padepokan ini lagi. Sepeninggal Raden Rudira, Raden Juwiring diminta oleh ayahandanya untuk berada di istana Ranakusuman. Bahkan aku mendengar kisah di antara dendang para pedagang, bahwa Raden Juwiring memperdalam ilmu kanuragan dari ayahandanya sendiri”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian kepalanya pun terangguk lemah.

“Kita tidak dapat membicarakannya lagi” Arum lah yang kemudian menyahut, “menurut ayah, biarlah ia mendapatkan haknya sebagai seorang putera Pangeran”

“Ya” Putut Srigunting pun mengangguk-angguk pula, “biarlah ia mendapatkan haknya” ia berhenti sejenak, lalu, “karena itu yang sekarang aku minta untuk datang menyatukan diri dengan kami adalah Buntal. Hanya Buntal”

Buntal mengangkat wajahnya. Sejenak dipandanginya gurunya dengan hati yang berdebar-debar, dan sejenak kemudian wajah Arum yang menegang.

“Hanya kakang Buntal sendiri?” bertanya gadis itu.

“Ya”

“Aku juga murid Kiai Danatirta” berkata Arum kemudian, “Jika murid-murid Kiai Danatirta harus ikut di dalam perjuangan ini, maka aku pun akan ikut serta, meskipun aku adalah seorang gadis”

Putut Srigunting menarik nafas. Katanya sambil tersenyum, “Kiai Sarpasrana pun telah menduga. Tetapi menurut pertimbangan yang luas, sebaiknya kau tetap berada di padepokan ini”

“Kenapa?”

“Kau akan sendirian di padepokan kami”

“Maksudmu bahwa di padepokan itu tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta di dalam perjuangan?”

“Ya, secara langsung. Yang ada hanyalah mereka yang bekerja di dapur dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain”

“Aku dapat bekerja di dapur dan mengerjakan pekerjaan lain seperti gadis-gadis yang lain”

“Tetapi kau diperlukan di padepokan ini”

“Tidak. Aku akan memilih berada di antara pasukan yang akan bertempur menghadapi kumpeni dan para penjilat”

Putut Srigunting menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sayang. Sebaiknya jangan sekarang di Sukawati sedang disiapkan sepasukan perempuan yang akan ikut berjuang di medan. Nah, pada saatnya kau akan ikut bersama mereka”

“Tetapi kapan. Kapan pada saatnya itu akan datang?”

Kiai Danatirta yang tahu akan sifat anaknya itu pun kemudian terpaksa menengahi, “Arum. Kau juga diperlukan. Tetapi dalam tahap berikutnya. Kini yang penting bagi Kiai Sarpasrana adalah sebuah pasukan yang kuat, yang terdiri dari Laki-laki. Kau tahu, bahwa ada beberapa perbedaan kodrati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Bukan di dalam olah kanuragan dan keprajuritan. Tetapi kelengkapan sifat dari kita masing-masing. Karena itu, akan dibentuk khusus sebuah pasukan yang terdiri dari perempuan-perempuan yang mempunyai sifat kodrati yang bersamaan sehingga yang satu tidak terasa mengganggu yang lain”

Arum memandang ayahnya sejenak. Namun ternyata yang dikatakan oleh ayahnya itu dapat dimengertinya, sehingga meskipun membayang kekecewaan yang dalam di wajahnya, tetapi ia tidak membantah lagi.

“Nah, selain dari itu semua, kau sebaiknya mengawani ayah yang menjadi semakin tua ini di rumah Arum”

Arum tidak menjawab. Namun rasa-rasanya seperti seseorang yang kehilangan miliknya yang paling berharga. Kepergian Buntal dari rumah itu benar-benar telah mengguncang perasaannya meskipun tidak terucapkan.

“Ia tentu akan merasa sangat kesepian” berkata ayahnya di dalam hatinya, “baru saja ia berhasil melepaskan Juwiring. Kini ia harus kehilangan Buntal pula”

Tetapi Kiai Danatirta tahu akan arti perjuangan itu. Karena itu maka ia tidak dapat menahan Buntal. Meskipun demikian Kiai Danatirta mempersilahkan Putut Srigunting untuk berbicara langsung dengan Buntal.

Untuk beberapa saat Buntal memang ragu-ragu. Ada sesuatu yang memberati hatinya untuk meninggalkan padepokan ini. Tetapi ia tidak akan dapat ingkar jika kuwajiban memang memanggil. Apakah artinya perasaan benci dan muak terhadap ketidak-adilan yang terjadi di Surakarta, apabila perasaan itu sekedar disimpannya saja di dalam hati? Dan apakah artinya kekagumannya terhadap kesuburan tanah air ini, jika ia sekedar hanya mau memetik hasilnya. Apalagi ia sadar, bahwa kesuburan tanah ini semakin lama menjadi semakin tidak berarti bagi mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di bumi ini. Dan apalagi kesuburan ini tidak akan berarti apa-apa bagi keturunannya, bagi anak cucu, karena hasilnya akan dihisap sebanyak-banyaknya oleh orang-orang asing itu.

Dengan demikian, maka akhirnya Buntal itu pun berkata, “Aku akan ikut bersamamu Putut Srigunting. Aku akan berada di dalam lingkungan pasukan yang akan berdiri di belakang Pangeran Mangkubumi, karena aku tahu, bahwa Pangeran Mangkubumi akan mengangkat senjata, berjuang untuk mempertahankan hak kami atas bumi ini”

Putut Sri Gunting menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Aku memang sudah menduga, bahwa kau tidak akan berkeberatan”

Buntal tidak menyahut. Tanpa disadarinya dipandanginya wajah Arum yang tunduk.

Buntal menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Arum mengusap matanya yang basah. Berbagai perasaan yang bergulat di hatinya. Namun kemudian ia berkata kepada diri sendiri, “Tentu Arum merasa bahwa ia akan menjadi semakin kesepian karena kedua saudara seperguruannya telah pergi”

“Kiai Danatirta” berkata Putut Srigunting kemudian, “ternyata Buntal bersedia meninggalkan padepokan ini dan pergi ke padepokan kami. Kiai Sarpasrana tentu akan senang sekali”

“Tentu Buntal merasa bahwa itu memang sudah menjadi kuwajibannya” jawab Kiai Danatirta.

“Terima kasih Kiai” berkata Srigunting kemudian, “Tetapi aku tidak dapat menyertainya jika ia akan segera berangkat. Aku masih harus meneruskan perjalananku. Dan perjalananku akan berakhir di Surakarta sendiri”

“Jadi maksudmu?”

“Aku akan segera meninggalkan padepokan ini. Biarlah Buntal besok atau lusa pergi seorang diri menemui Kiai Sarpasrana, karena aku tidak akan segera kembali. Perjalananku masih akan memerlukan waktu tiga sampai lima hari. Baru kemudian, jika semua tugasku selesai, aku dapat pulang kembali.

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa di dalam keadaan yang menentukan ini, Putut Srigunting tentu mempunyai tugas yang cukup banyak. Sehingga karena itu, maka katanya, “Baiklah Putut Srigunting. Buntal tentu tidak akan berkeberatan untuk pergi sendiri menemui Kiai Sarpasrana. Biarlah ia besok atau lusa berangkat, sementara ia akan mempersiapkan bekalnya lebih dahulu, karena ia tentu akan berada di padepokanmu untuk waktu yang lama” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Bukankah begitu Buntal?”

Buntal tergagap. Dan dengan serta-merta ia menyahut, “Ya, ya Guru. Aku akan berkemas lebih dahulu”

“Terima kasih. Dengan demikian, tugas kita masing-masing akan dapat kita tunaikan dengan baik” Putut Srigunting itu pun kemudian bergeser setapak sambil berkata, “Aku kira aku sudah cukup lama berada di padepokan ini”

“E, nanti dulu. Aku tidak akan menahanmu menjalankan tugas, apalagi menghambat. Tetapi tunggulah sebentar, kami sedang menyiapkan makan bagimu. Dan apakah kau tidak lebih baik menunggu matahari condong sehingga perjalananmu tidak terlampau panas?”

“Memang tidak bijaksana menolak rejeki. Terima kasih. Tetapi sudah barang tentu setelah aku kenyang aku akan segera pergi”

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan. Setelah selesai makan dan beristirahat sejenak, maka Putut Srigunting pun meneruskan perjalanannya, menyampaikan pesan dari Kiai Sarpasrana kepada orang-orang yang dipercayainya dan bersedia membantu perjuangan yang agaknya akan menjadi semakin keras.

Sepeninggal Putut Srigunting, maka Buntal pun segera mempersiapkan diri. Mengumpulkan pakaian yang ada padanya. Membersihkan senjatanya dan menyiapkan dirinya untuk menghadapi persoalan yang agaknya akan menjadi sangat menarik baginya.

Kiai Danatirta yang mengerti, apakah yang akan dihadapi oleh Buntal kemudian, memberikan berbagai macam pesan. Dan lebih dari itu, maka ketika matahari telah terbenam di ujung Barat, maka Kiai Danatirta pun memanggil Buntal di sanggarnya bersama Arum.

“Buntal” berkata Kiai Danatirta, “Apakah kau sadari, apakah yang akan kau tempuh kelak jika kau sudah berada di padepokan Kiai Sarpasrana?”

Buntal mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya ayah. Aku mencoba untuk membayangkan perjuangan yang akan dilakukan oleh Kiai Sarpasrana”

“Perjuangan yang keras dan akan memakan waktu yang lama Buntal. Menurut kesan yang aku tangkap pada pembicaraan kita dengan Putut Srigunting, agaknya kita memang akan segera mulai. Agaknya Pangeran Mangkubumi sudah tidak dapat menahan diri lagi”

“Apakah yang akan terjadi kemudian adalah perang yang dahsyat ayah?” bertanya Arum.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin sekali Arum. Yang akan terjadi adalah perang. Perang melawan kumpeni”

“Tetapi bagaimanakah kedudukan Kangjeng Susuhunan kemudian ayah?”

“Kedudukan Kangjeng Susuhunan memang sulit. Tetapi agaknya kumpeni mempunyai pengaruh yang semakin besar, di samping beberapa bangsawan yang saling mengiri dan dengki. Itu adalah sumber kemenangan kumpeni. Sebenarnya kesalahan terbesar terletak pada kita sendiri, jika kita dapat dibenturkan melawan kita sendiri. Jika tetangga kita berhasil mengadu dua orang saudara kandung berebut warisan, maka yang paling bersalah adalah kedua saudara kandung itu sendiri. Barulah kemudian kita mengutuk tetangganya yang berusaha mengadu kedua orang saudara kandung itu. Jika kita selalu menyalahkan orang lain tanpa mengetahui kesalahan sendiri, maka kesalahan yang serupa itu akan selalu berulang. Dan korban yang paling parah adalah kita sendiri siapapun yang akan menang dan siapapun yang akan kalah. Dan pihak yang tidak terkalahkan siapapun yang menang, adalah kumpeni”

“Tetapi jika terjadi perang, dan Kangjeng Susuhunan ternyata berdiri bersama dengan kumpeni, apakah dengan demikian mereka yang berdiri berseberangan tidak dapat disebut memberontak terhadap kekuasaan raja. Apalagi jika benar Pangeran Mangkubumi akan mengangkat senjata, maka ia akan melawan rajanya dan saudara tua yang harus dihormatinya. Bukankah dengan demikian, orang-orang yang tidak senang terhadap sikap itu akan mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi telah melepaskan kesetiaan yang harus dimiliki oleh setiap bangsawan apapun yang terjadi? Mereka harus setia kepada Kangjeng Susuhunan sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan mereka harus setia kepada Surakarta?”

“Kau benar Arum. Dan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi adalah kesetiaan yang tidak terbatas itu. Pangeran Mangkubumi tidak ingin melihat Surakarta semakin lama semakin tenggelam. Kerajaan asing yang kini semakin mencengkam kekuasaan Kerajaan Surakarta ini harus disingkirkan. Sedangkan bagi Pangeran Mangkubumi, kekuasaan atas Surakarta satu-satunya terletak pada Kangjeng Susuhunan, sehingga jika ia berjuang, maka ia ingin memulihkan kekuasaan Kangjeng Susuhunan. Lepas dari perkembangan selanjutnya, jika Kangjeng Susuhunan benar-benar menjadi khilaf”

Arum mengangguk-angguk. Ia melihat meskipun samar-samar, bahwa Pangeran Mangkubumi memang tidak dapat memilih jalan lain.

Dalam pada itu, Buntal pun mengangguk-angguk mendengar pembicaraan itu Ia agaknya telah memahami apa yang harus dilakukannya. Ia akan berada di dalam sebuah barisan yang akan berada di medan yang keras melawan pasukan kumpeni dan bahkan mungkin pasukan Surakarta sendiri yang telah disesatkan oleh beberapa orang pemimpinnya yang kehilangan pegangan pengabdiannya kepada Surakarta.

Sekilas terlintas kenangannya atas Raden Juwiring yang telah sekian lamanya tidak pernah datang ke padepokan itu. Jika ia kemudian menjadi murid ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, yang menjadi salah seorang Senapati pasukan Surakarta yang terpandang dan hubungannya dengan orang-orang kulit putih terlampau dekat, maka apakah yang kira-kira akan dilakukan di dalam pergolakan yang akan terjadi itu.

Selagi Buntal merenungi saudara seperguruannya itu, maka Kiai Danatirta pun berkata, “Buntal, kau masih mempunyai kesempatan satu dua hari di padepokan ini. Aku bermaksud di dalam waktu yang sangat singkat ini, mencoba untuk menyempurna-kan bekalmu. Tentu, tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna di dalam segala hal. Namun kita dapat berusaha mendekatinya, meskipun kita sadar, bahwa kita tidak akan dapat mencapainya”

Buntal memandang gurunya sejenak, namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya.

“Nah, bersiaplah. Aku ingin memberikan puncak ilmu padepokan Jati Aking. Mungkin masih jauh dari tingkatan ilmu para bangsawan, termasuk Pangeran Ranakusuma. Tetapi dari pada kau masih belum memilikinya, maka. kau akan semakin jauh ketinggalan. Apalagi bagimu memang sudah saatnya untuk mewarisi segenap ilmu yang ada padaku sampai tuntas. Kemudian terserahlah kepadamu, apakah kau akan mampu mengembangkannya. Dasar ilmu yang aku peroleh pada saat aku berikan. Selanjutnya aku berusaha mengembangkannya sendiri, sampai pada bentuk yang kau lihat sekarang ini”

Buntal masih menundukkan wajahnya. Tetapi ia menyahut, “Terima kasih guru. Aku akan mengucapkan beribu terima kasih. Mungkin aku akan terlempar ke medan, dan harus berhadapan dengan prajurit Surakarta yang tangguh atau dengan kumpeni yang memiliki jenis ilmunya tersendiri. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan padepokan Jati Aking, dan tidak mengecewakan padepokan Kiai Sarpasrana yang mempercayai aku untuk ikut di dalam barisannya”

“Baiklah Buntal. Tetapi karena di sini aku mempunyai dua orang murid, maka agar aku bertindak adil, maka kedua muridku itu akan menerima haknya masing-masing. Dan keduanya tidak berbeda. Meskipun yang seorang adalah seorang laki-laki dan yang lain seorang perempuan”

Arum terkejut mendengar keterangan ayahnya itu, sehingga ia bergeser setapak maju. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Jadi ayah memperkenankan aku untuk bersama-sama menerima puncak ilmu Padepokan Jati Aking”

“Ya Arum. Tetapi selanjutnya kau harus bersikap sebagai seorang gadis yang dewasa penuh. Bukan saja di dalam sikap dan kodratmu sebagai gadis, tetapi sebagai seorang yang telah dewasa memiliki puncak ilmu dari Jati Aking”

Wajah Arum bersinar sesaat. Katanya, “Terima kasih ayah”

“Marilah. Agar kita masih mempunyai waktu yang cukup. Aku memerlukan dua malam untuk memberikan puncak ilmuku kepada kalian”

Demikianlah maka Buntal dan Arum pun segera mempersiapkan dirinya. Membenahi pakaiannya dan mengatur segenap kelengkapan tubuh dan jiwanya untuk menerima puncak ilmu Jati Aking.

Sejenak mereka memusatkan segenap pikiran dan perasaan untuk memulainya dengan suatu latihan yang khusus, sehingga memerlukan keadaan yang khusus pula.

Ketika semuanya sudah tersedia, kesiagaan jasmani dan rohani, maka Kiai Danatirta pun mulai melakukan gerakan-gerakan yang mempersiapkan kedua muridnya untuk sampai pada puncak ilmunya.

Di luar bilik malam menjadi semakin kelam. Langit yang luas bagaikan hamparan wajah yang hitam kelam. Awan basah yang tebal tergantung dari ujung sampai ke ujung cakrawala.

Yang terdengar di dalam bangsal latihan itu hanyalah desah nafas. Justru loncatan-loncatan kaki yang ringan, seakan-akan tidak menimbulkan suara sama sekali oleh kecepatan gerak yang hampir sempurna. Semakin lama semakin cepat, semakin cepat. Dan mengalirlah unsur-unsur gerak yang tertinggi dari ilmu padepokan Jati Aking.

Namun sejenak kemudian suara desah nafas dan kadang-kadang sentuhan ujung kaki itu lenyap ditimpa deru hujan yang turun dengan lebatnya seperti dituangkan dari langit. Dedaunan yang tertidur nyenyak bagaikan diguncang oleh titik-titik air yang tertumpah menimpanya.

Tetapi yang berada di dalam sanggar, sama sekali tidak menghiraukannya. Juga tidak menghiraukan titik-titik air hujan yang menyusup lewat atap yang kurang rapat. Perhatian mereka sedang terpusat pada tata gerak puncak dari ilmu padepokan Jati Aking.

Demikianlah mereka terbenam di dalam suatu pemusatan pikiran pada puncak ilmu itu. Ketika lewat tengah malam hujan mereda, dan kemudian tinggal titik-titik yang lembut saja yang menyentuh genangan-angan air di halaman, maka mereka bertiga masih saja berada di dalam sanggar itu.

Namun akhirnya mereka berhenti pula setelah keringat mereka bagaikan terperas dari segenap tubuh. Betapa lelahnya ketiganya. Terutama Arum. Bagaimanapun juga, secara kodrati, kemampuan jasmaniahnya tidak dapat disamakan dengan Buntal. Karena itulah maka Kiai Danatirta tidak memaksakannya untuk menuntaskan ilmu itu hanya dalam satu malam saja.

Di hari berikutnya, rasa-rasanya tubuh Arum menjadi sangat letih. Namun ia tidak memaksa diri untuk tetap berada di dalam biliknya. Meskipun tidak selincah seperti di hari-hari lain, namun Arum pergi juga ke dapur menyiapkan makan yang akan dibawanya ke sawah, karena Buntal pun seperti biasanya pergi juga untuk mengairi sawah.

Ketika kemudian hari menjadi gelap, dan Buntal sudah membersihkan diri, makan malam dan beristirahat sejenak, mulailah mereka bertiga mengurung diri di dalam sanggar. Dan seperti malam sebelumnya, mereka menempa diri untuk menyadap puncak ilmu yang dimiliki oleh Kiai Danatirta.

Seperti yang diduga oleh Kiai Danatirta, ternyata murid-muridnya mampu menerima ilmu itu. Meskipun ternyata bagi Arum terasa betapa letih dan lelahnya. Namun ia telah berusaha sekuat-kuatnya sampai pada unsur gerak yang terakhir yang harus dilakukannya dilambari dengan segenap ungkapan watak dan sifatnya. Perlahan-lahan setiap gerakan telah meningkatkan lambaran ilmu itu, sehingga akhirnya sampai pada puncaknya yang paling dahsyat.

Sebuah gerakan yang terakhir, telah melontarkan mereka ke dalam suatu keadaan yang semula samar, tetapi semakin lama semakin jelas dalam bentuk arah isinya.

Terasa pada kedua anak-anak muda itu, sesuatu menggelepar di dalam dadanya. Dan nafas mereka pun bagaikan tersumbat. Namun mereka sudah sampai pada taraf terakhir, sehingga mereka memaksa duri untuk melepaskan tata gerak yang terakhir, sebuah lontaran kekuatan yang dahsyat.

Berbareng dengan lontaran kekuatan yang dahsyat itu, terasa tubuh mereka bagaikan kehilangan keseimbangan. Rasa-rasanya mereka tidak lagi berpijak di bumi. Sejenak mereka terhuyung. Sedang mereka masih belum berhasil menghembuskan nafas dengan wajar.

Buntal memejamkan matanya. Ia masih dapat menghentakkan dirinya dengan sisa tenaganya. Dan kemudian dengan susah payah menghirup nafas betapapun sendatnya. Sambil bersandar pada dinding bangsal, Buntal perlahan-lahan mencoba untuk menguasai keadaan tubuhnya dengan tenaga yang masih ada padanya.

Sekali, dua kali, Buntal menarik nafas dalam-dalam. Kemu-dian perlahan-lahan, nafasnya bagaikan mengalir lagi dengan wajar, sehingga Buntal berhasil menguasai keseimbangannya sepenuhnya, betapapun tubuhnya merasa sangat letih.

Tetapi ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kiai Danatirta telah mengangkat Arum pada kedua tangannya dan membaring-kannya di atas sehelai tikar di sudut bangsal.

“Anak ini pingsan” berkata Kiai Danatirta.

Meskipun masih agak pening, Buntal pun kemudian mendekatinya. Ditatapnya wajah Arum yang pucat. Matanya terpejam dan bibirnya terkatup rapat-rapat.

Perlahan-lahan Kiai Danatirta menggerakkan tangannya. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang ada padanya, maka ia pun segera berhasil membangunkan gadis yang pingsan itu.

“Ayah” desisnya.

Perlahan-lahan matanya pun terbuka. Yang pertama-tama tampak meskipun agak kabur, adalah wajah ayahnya yang menungguinya.

“Bagaimana keadaanmu kini Arum?” bertanya ayahnya.

“Baik ayah. Aku merasa sangat letih, tetapi aku merasa segar. Aku agaknya menjadi tidak sadarkan diri sejenak. Namun kini, semuanya rasanya menjadi semakin jernih”

“Ya Arum. Mudah-mudahan kau akan selalu dalam keseimbangan jiwa setelah kau menguasai ilmu itu. Kau tidak boleh kehilangan pengamatan diri, dan justru karena kau memiliki kelebihan, kau akan menjadi Arum yang lain”

Arum masih saja tersenyum. Ketika ayahnya meraba keningnya ia berkata, “Aku akan mengingatnya ayah”

Buntal yang berjongkok di sisi tikar yang terbentang itu pun menjadi berdebar-debar. Arum yang pucat dan tersenyum itu rasa-rasanya menjadi semakin cerah Tatapan matanya memang menjadi semakin bening.

Buntal menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, malam itu kedua murid padepokan Jati Aking itu telah sampai kepada ujung ilmunya. Namun demikian yang mereka kuasai adalah baru sekedar pokok ilmu itu sendiri. Kemungkinan dan perkembangan selanjutnya, adalah terserah kepada mereka yang memilikinya, dan tentu sangat tergantung kepada pembawaan pribadi seseorang.

Dalam pada itu Buntal masih ingin beristirahat sehari lagi di padepokan Jati Aking sebelum ia akan menerjunkan diri ke dalam suatu kancah yang akan merupakan suatu pengenalan baru baginya. Salah satu segi kehidupan yang paling dibenci oleh manusia, namun yang selalu terjadi di sepanjang abad.

Perang adalah peristiwa yang paling mengerikan. Di dalam perang segala kemungkinan yang keras, kasar dan bahkan kadang-kadang menyerupai tindakan yang buas dan liar, dapat terjadi. Dan hal itu disadari oleh setiap orang. Namun perang masih saja selalu terjadi.

Demikianlah yang tanda-tandanya akan terjadi di Surakarta. Pangeran Mangkubumi adalah seseorang yang benci kepada peperangan. Ia sadar, bahwa perang berarti kematian dan kepedihan. Perempuan akan kehilangan suaminya, gadis akan kehilangan kekasihnya dan Surakarta akan kehilangan rakyatnya yang paling baik. Tetapi apakah ia harus duduk termenung merenungi nasib Surakarta yang buruk ini sambil mengutuk peperangan, sedang di seluruh Surakarta rakyat menjadi semakin melarat dan tertindas.

Dan Buntal akan turun ke dalam peperangan itu. Ke dalam suatu keadaan yang memungkinkan seseorang membunuh sesama dengan ujung senjata.

“Buntal” berkata Kiai Danatirta kepada muridnya yang sudah akan meninggalkannya, “lakukanlah kuwajibanmu. Aku memang sering mendengar tembang rawat-rawat di antara para pertapa di ujung-ujung pegunungan, bahwa tidak ada yang lebih suci daripada mendambakan ketenangan. Tetapi mereka melupakan salah satu ujud dari pada kasih antara sesama. Dan itulah yang harus kau lakukan. Melindungi manusia dari ketidak adilan. Bukan sekedar meneriakkannya di simpang empat sambil mengacukan tangan tinggi-tinggi. Tetapi dengan perbuatan yang nyata. Meskipun perbuatan yang nyata itu berupa perang. Dan di sinilah kita berdiri. Kadang-kadang kita memang harus melakukan sesuatu yang kita benci. Tetapi kita harus tetap berdiri di atas lembaran hati yang bersih”

Buntal menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Aku mengerti guru”

Demikianlah, Buntal pun telah siap meninggalkan padepokan Jati Aking. Jika besok matahari terbit di Timur, ia akan berangkat menuju ke padepokan Kiai Sarpasrana yang pernah didatanginya.

Namun malam itu, sesuatu tidak dapat dihindarkan dari sudut hatinya. Rasa-rasanya bayangan Arum tidak dapat disingkirkan dari rongga matanya.

Dalam keadaan yang khusus itu, Buntal tidak dapat ingkar lagi kepada dirinya sendiri. Ternyata Arum benar-benar telah mencuri hatinya. Betapapun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun gejolaknya terasa melanda dinding jantung.

Tetapi Buntal tidak dapat berbuat banyak selain menekan perasaan itu dalam-dalam. Ia tidak berani menyatakannya kepada siapapun juga. Kepada Arum, dan apalagi kepada Kiai Danatirta.

Setiap kali, ia teringat kepada seorang anak muda bangsawan yang bernama Juwiring. Rasa-rasanya Juwiring merupakan batas yang memisahkannya dari Arum.

Namun, Buntal masih selalu berusaha berpikir jernih, sehingga ia masih saja berhasil membatasi persoalan itu di dalam dirinya sendiri.

Tetapi untuk mengurangi beban yang rasa-rasanya hampir tidak terpikulkan, maka hampir di luar kemauannya sendiri. Buntal melangkah keluar biliknya dan melalui pintu butulan ia menjenguk keluar rumah.

Terasa udara yang segar berhembus mengusap wajahnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang berkeredipan di langit. di sudut cakrawala masih tampak segumpal awan yang kelabu. Namun kemudian bergeser ditiup angin malam yang sejuk.

Ketika Buntal kemudian melangkah keluar pintu, ia menjadi termangu-mangu. Telinganya yang tajam menangkap desir langkah lembut di belakangnya. Karena itu, maka ia pun berpaling.

“Arum” Buntal terkejut melihat Arum berdiri termangu-mangu di belakang pintu.

Arum tidak menjawab. Tetapi tampak sekilas cahaya yang berkilat di matanya. Kemudian gadis itu menundukkan kepalanya pula.

Buntal melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun kemudian Arum melangkah dan duduk di amben yang besar di ruang belakang itu.

Hampir di luar sadarnya Buntal mengikutinya dan duduk di amben itu pula.

Beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Rasa-rasanya mereka telah dibatasi oleh perasaan masing-masing yang sukar ditebak.

Tetapi tanpa kata-kata, ada sesuatu yang terucapkan. Pada tatapan mata dan sikap mereka yang asing, masing-masing telah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya sudah agak lama terpendam di dalam diri.

Namun, akhirnya terucapkan juga pertanyaan dari mulut Buntal, “Kau masih belum tidur Arum?”

Arum menggeleng lemah. Katanya, “Aku tidak dapat tidur kakang”

“Kenapa?”

Arum tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Buntal sejenak lalu, terbata-bata ia bertanya, “Kau jadi pergi besok?”

“Ya Arum”

“Lama?”

“Aku tidak dapat mengatakan Arum. Tetapi agaknya aku akan berada di dalam medan yang berat. Aku menyadarinya”

Arum menunduk semakin dalam. Tetapi terlontar dari bibirnya, “Jika tugasmu selesai kakang, aku harap kau segera kembali. Bukankah kau akan kembali ke padepokan ini, dan bukan ke tempat lain?”

Terasa dada Buntal menjadi berdebar-debar. Sejenak ia justru terbungkam. Namun kemudian terdengar suaranya dalam nada berat dan datar, “Aku akan kembali ke padepokan ini Arum. Aku adalah anak yang kabur kanginan. Aku tidak mempunyai orang tua lagi, sehingga karena itulah, maka aku menganggap Kiai Danatirta adalah satu-satunya tempat bagiku untuk berlindung”

Arum mengangkat wajahnya. Ditatapnya Buntal sejenak. Namun gadis itu kembali menundukkan kepalanya sambil bergumam lirih, “Tentu ayah akan senang sekali”

Tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Tetapi kedua hati anak-anak muda itu rasanya telah bersentuhan. Mereka tidak memerlukan kata-kata yang berkepanjangan. Namun mereka masing-masing telah dapat menghayati, apakah yang sebenarnya tersembunyi di balik kediaman itu.

Ketika Arum kemudian kembali ke dalam biliknya, maka Buntal pun masuk pula ke dalam biliknya yang terasa sepi. Besok ia akan meninggalkan bilik yang sudah lama dihuninya. Mula-mula bersama Juwiring, namun kemudian sejak Juwiring meninggalkan Jati Aking, ia berada di dalam bilik itu sendiri. Meskipun sejak Juwiring masih ada, ia kadang-kadang berada di dalam bilik itu sendiri jika Juwiring menunggui sawahnya di malam hari, tetapi kesendirian yang dirasakannya kini, adalah perasaan yang mendera pusat hatinya.

Tetapi Buntal harus menjelajahinya tanpa dapat menyingkir lagi. Namun dengan demikian, maka hampir semalam suntuk ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Hanya sesaat sebelum fajar menyingsing, matanya yang berat itu pun terkatup untuk beberapa lamanya.

Buntal terkejut mendengar ayam jantan berkokok di ujung pagi. Tergesa-gesa ia bangkit dan pergi ke pakiwan. Setelah melakukan semua kewajibannya, yang jasmani dan yang rohani, maka ia pun membenahi dirinya. Menyiapkan sebungkus pakaian dan sebilah pedang tergantung di lambung, dan sebilah keris di punggung.

“Hati-hatilah di perjalanan Buntal” pesan Kiai Danatirta ketika ia mengantar Buntal sampai ke regol halaman.

“Aku akan selalu berhati-hati guru” sahut Buntal, “Aku mohon doa dan restu sepanjang perjuanganku yang tidak aku ketahui sampai kapan akan berakhir”

Kiai Danatirta tersenyum. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, “Tetapi perjuangan itu tentu akan ada akhirnya. Bagaimanapun bentuknya”

Buntal memandang Kiai Danatirta yang tersenyum itu. Perlahan-lahan ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat melihat akhir dari perjuangan itu”

Dan tiba-tiba saja Arum yang berdiri di sisi ayahnya menyahut, “Kenapa tidak kakang?”

Buntal menarik nafas. Katanya, “Perjuangan yang akan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi adalah perjuangan yang keras. Itulah sebabnya maka ada kalanya korban akan berjatuhan. Dan setiap orang di dalam pasukannya, akan menghadapi kemungkinan yang sama”

“Benar Buntal” potong gurunya, “Tetapi semua itu berada di dalam tangan Tuhan. Jika maut memang sudah datang menjemput kita masing-masing, maka kita tidak akan dapat memilih tempat dan waktu. Karena itu, perjuangan adalah arena pengabdian yang tidak lebih berbahaya dari setiap kerja yang kita lakukan”

“Ya guru” sahut Buntal.

“Namun adalah kuwajiban kita untuk berusaha. Dan usaha yang pantas kau lakukan di dalam perjuangan bersenjata adalah berhati-hati dan tidak membanggakan diri sendiri”

Sekali lagi Buntal mengangguk.

“Nah pergilah, kami di sini mengharap kedatanganmu kembali. Aku dan juga Arum”

Wajah Arum menjadi merah mendengar kata-kata ayahnya. Dan apalagi ketika ayahnya itu meneruskan, “Aku mendengar pembicaraanmu semalam”

“Ah” wajah Arum tiba-tiba menjadi semakin tunduk. Sedang Buntal mencoba untuk tersenyum betapapun kecutnya.

Akhirnya anak muda itu pun meloncat ke punggung kudanya. Hatinya memang berat untuk meninggalkan Jati Aking, dan terutama Arum dan ayahnya. Tetapi kuwajiban rasa-rasanya memang sudah memanggilnya.

Sekali-sekali Buntal masih berpaling. Dilihatnya Arum menggerakkan tangannya dan tanpa sesadarnya Buntal pun melambai pula.

Tetapi sejenak kemudian, kudanya bagaikan terbang meninggalkan padepokan Jati Aking. Bahkan kemudian meninggalkan Jati Sari. Beberapa orang petani yang sudah lama bergaul dengan anak muda itu masih sempat bertanya dari pematang, “He, Buntal. Kemana kau sepagi ini. Aku baru akan pulang setelah semalam suntuk menunggui air”

Buntal memperlambat kudanya. Jawabnya, “Sekedar melemaskan kaki-kaki kudaku paman. Sudah lama kudaku tidak berlari kencang.

“Tetapi kau membawa bekal dan senjata?”

Buntal tersenyum, “Sekedar kelengkapan jika aku tersesat sampai ke hutan”

Petani itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi karena Buntal menjadi semakin jauh, dan kudanya pun sudah mulai berpacu kembali.

Sekali-sekali Buntal menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya matahari pagi memanjat semakin tinggi. Burung-burung liar berterbangan di atas tanah persawahan yang hijau segar.

Buntal menarik nafas dalam-dalam.

“Apabila terjadi perang” katanya di dalam hati, “maka tanaman yang hijau itu akan lumat diinjak kaki-kaki kuda jika tempat ini menjadi ajang peperangan itu”

Tetapi kadang-kadang seperti yang pernah didengarnya, seseorang harus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jika seseorang telah berada di dalam keadaan tanpa pilihan, maka hal itu harus dilakukannya.

Kuda Buntal berpacu semakin cepat. Sebelum matahari sampai ke puncak langit, maka Buntal telah menelusur daerah hutan perburuan. Tetapi kali ini ia tidak ingin singgah ke hutan yang digawar dengan lawe. Bahkan ia tidak memilih jalan lain ketika ia sampai ke daerah hutan yang masih liar. Ia tahu bahwa jalan itu jarang sekali dilalui orang. Tetapi jalan itu adalah jalan yang memintas.

Namun ternyata bahwa jalan itu terlampau sepi. Agaknya jarang sekali orang-orang yang lewat jalan yang memotong daerah pinggiran hutan yang masih agak lebat.

Tiba-tiba Buntal terkejut ketika ia melihat beberapa orang berkuda lewat di jalan itu pula, justru berlawanan arah. Sebuah iring-iringan yang agaknya sudah lelah.

“Siapakah mereka” bertanya Buntal kepada diri sendiri, “Agaknya sebuah iring-iringan yang menempuh jarak yang jauh, atau menjumpai persoalan-persoalan lain yang membuat mereka jadi sangat letih”

Buntal menjadi berdebar-debar. Ia melihat dua orang berkuda di paling depan. Kemudian berjarak beberapa langkah, tampak seekor kuda yang berjalan lambat. Jauh di belakang, masih dapat dilihatnya seekor kuda lagi muncul dari balik bayangan sebuah gerumbul liar di pinggir hutan itu.

Tetapi agaknya orang-orang berkuda itu tertarik pula melihat seorang anak muda berkuda di hadapan mereka. Karena itu, orang yang berada di paling depan itu pun segera menarik kekang kudanya sehingga kudanya berhenti menyilang jalan.

Buntal memang sudah memperlambat derap kudanya. Beberapa langkah dari kuda yang menyilang jalan sempit itu. Buntal berhenti.

“Siapa kau anak muda?” bertanya orang yang menyilangkan kudanya.

Buntal menjadi ragu-ragu. Ia belum mengenal orang itu. Jika orang itu bukan kawan-kawan yang berdiri di pihak yang sama, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit. Apalagi ketika ia masih melihat satu dua ekor kuda muncul dari balik gerumbul-gerumbul.

“Siapa?”

Yang paling aman bagi Buntal adalah menghindari kemungkinan namanya dapat segera disangkutkan dengan pihak-pihak yang sedang bertentangan. Karena itu maka jawabnya, “Aku anak Jati Sari”

“Namamu?”

“Buntal. Aku sedang pergi untuk menengok pamanku”

“Dimana rumah pamanmu?”

“Sukawati”

Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka merenung. Namun sejenak kemudian orang yang menyilangkan kudanya itu pun bergerak maju seakan-akan memberi jalan bagi Buntal untuk lewat.

“Kenapa kau pergi seorang diri?” bertanya orang tu kemudian.

“Aku biasa berkunjung ke rumah paman. Jalan ini sudah sering aku lalui”

Orang itu masih mengerutkan keningnya.

“Apakah kau tidak berbohong?”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya”

Sejenak orang-orang itu termangu-mangu. Namun kemudian dilihatnya pedang Buntal yang tergantung di sisinya. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka mendekat sambil berkata, “Kau membawa sepasang senjata. Sebilah pedang dan sebilah keris”

Buntal menjadi berdebar-debar. Namun diusahakannya agar ia tetap tenang” jawabnya, “Ya. di daerah ini sering terdapat binatang buas. Karena itu aku bersenjata sepasang”

Namun dalam pada itu, selagi mereka berbicara, seorang anak muda yang berkulit hitam bermata merah mendesak maju sambil berkata, “Rampas senjatanya. Itu sangat berbahaya. Mungkin ia orang yang berbahaya bagi kita atau justru bagi Sukawati”

Debar di dada Buntal menjadi semakin cepat menggelepar. Tetapi ia masih tetap tenang.

“Berikan senjatamu”

“Ah” jawab Buntal, “Jika aku bertemu dengan binatang buas, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa”

“Aku tidak peduli. Berikan senjatamu”

“Jangan Ki Sanak” suara Buntal menjadi semakin datar, “senjata ini sangat aku perlukan”

“Tidak bagi orang-orang seperti kau. Orang-orang malas yang hanya mementingkan diri sendiri. Hanya orang-orang yang hidup-di medan sajalah yang pantas bersenjata”

Buntal menjadi ragu-ragu. Ada kalanya ia ingin mengatakan tentang dirinya, bahwa ia adalah murid Jati Aking dan sedang memenuhi panggilan Pangeran Mangkubumi melalui Kiai Sarpasrana di Sukawati. Namun ia masih saja dibayangi oleh keragu-raguan karena ia tidak tahu pasti, dengan siapa ia berbicara.

Dalam pada itu anak muda yang berkulit hitam itu mendesak-nya terus. Bahkan kemudian anak muda itu mendekatinya sambil membentak, “Cepat. Kami tidak sedang bertamasya. Kami sedang menempuh perjalanan yang jauh. Berikan senjata itu sekarang.”

Dada. Buntal yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Dan agaknya anak muda itu masih saja mendesaknya terus.

Sementara itu, orang-orang yang lebih tua, yang justru mula-mula menahan Buntal dengan menyilangkan kudanya berkata, “Kita akan memeriksanya. Aku kira ia tidak bermaksud apa-apa”

“Belum tentu paman” jawab anak muda yang berkulit hitam, “Kita harus mengetahui dengan pasti, bahwa orang ini tidak berbahaya bagi kita. Siapa tahu, ia merupakan petugas sandi dari Surakarta atau kumpeni”

Mendengar kata-kata itu Buntal mulai mendapat petunjuk bahwa orang-orang itu tentu bukan orang-orang yang berpihak kepada kumpeni. Karena itu maka katanya kemudian, “Ki Sanak. Sebenarnya aku adalah murid dari perguruan Jati Aking. Aku akan pergi menemui Kiai Sarpasrana, salah seorang pengikut Pangeran Mangkubumi”

“Kau dapat mengigau apa saja” berkata anak muda berkulit hitam itu sehingga Buntal terkejut pula karenanya.

“Anak muda dari Jati Aking” berkata yang lebih tua dari anak muda yang berkulit hitam, “Aku ingin menggeledah barang-barangmu. Jika kau membawa barang-barang yang mencurigakan, maka aku akan mengambil sikap lain”

“Silahkan Ki Sanak. Aku tidak berkeberatan” jawab Buntal yang bahkan kemudian meloncat turun dari kudanya.

Orang yang sudah lebih tua itu pun turun pula dari kudanya dan mendekati kuda Buntal. Dilihatnya barang-barang yang dibawanya, yang tidak lebih dari pakaian-pakaian kumal.

“Ia tidak membawa apapun juga di dalam bungkusan pakaian itu tidak terdapat barang-barang lain. Apalagi senjata api”

“Tetapi itu belum merupakan pertanda bahwa ia tidak akan berbuat apa-apa”

“Ia hanya bersenjata tajam seperti kita. Ia hanya seorang diri. Tidak banyak yang dapat dilakukan. Biarlah ia lewat. Kita jangan menambah lawan di sepanjang jalan”

“Aku tetap menghendaki senjatanya”

Buntal menjadi semakin bingung menghadapi anak muda berkulit hitam ini. Tetapi ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyerahkan senjatanya. Apapun yang terjadi.

Dalam pada itu, orang yang sudah lebih tua yang agaknya memimpin iring-iringan itu berkata, “Kau memang keras hati. Tetapi dengar, anak muda itu akan menjawab”

“la tidak perlu memberikan pendapat apapun juga. Aku memerlukan senjatanya”

“Sayang” sahut Buntal, “senjata ini adalah pemberian guruku dari Jati Aking. Tentu saja aku berkeberatan”

“Gila, aku akan memaksamu”

“Jangan Ki Sanak. Jika kau berkeras untuk mengambil senjataku, aku akan berkeras untuk mempertahankan”

“Persetan” Anak muda berkulit hitam itu pun meloncat pula dari kudanya beberapa langkah di hadapan Buntal.

Orang-orang yang melihat sikap kedua anak-anak muda itu menjadi tegang. Orang yang sudah lebih tua di dalam pasukan yang lewat itu, menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah kita akan melihat, apakah kau akan berhasil mengambil senjatanya. Dan di dalam perkelahian ini, kita tidak ingin melihat jatuh seorang korban pun. Jika kau berhasil mengalahkannya, maka kau akan dapat merampas senjatanya, tetapi se baliknya jika kau kalah, maka kau harus mengurungkan niatmu untuk merampas senjata itu, dan kau tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapapun”

“Baik, baik” jawab anak muda berkulit hitam itu.

Demikianlah, maka beberapa orang yang sudah berada di dekat kedua anak-anak muda itu pun berkerumun. Satu-satu masih saja ada seekor kuda dengan penunggangnya yang muncul dari balik gerumbul. Ketika mereka melihat orang-orang berkerumun, maka mereka yang datang kemudian pun ikut berkerumun pula.

Demikianlah, maka anak muda yang hitam itu mempersiapkan dirinya. Dipandanginya Buntal dengan tajamnya. Sekilas tampak keheranan membayang di wajahnya. Ternyata anak muda yang berkulit hitam itu menjadi heran melihat sikap Buntal yang meyakinkan.

Sejenak kemudian maka anak muda itu bergeser selangkah maju, dan Buntal pun berdiri dengan mapan pada kedua kakinya yang renggang.

“Kau benar-benar keras kepala” berkata anak muda berkulit hitam, “Tetapi persoalannya bukan lagi persoalan kecurigaan. Tetapi sikapmu terlampau sombong”.

Buntal tidak menjawab. Tetapi matanya tidak terlepas dari ujung kaki lawannya.

Seperti yang diduga, maka ia pun segera melihat kaki itu mulai bergerak. Cepat sekali. Dan Buntal pun sempat melihat arah serangan yang deras itu, sehingga ia masih mampu mengelak selangkah ke samping.

Dengan demikian maka serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Serangan anak muda berkulit hitam itu lewat sejengkal dari tubuh Buntal yang condong.

Namun anak muda itu tidak membiarkan lawannya sempat memperbaiki keadaannya. Ia pun segera berputar pada sebuah tumitnya dan sebuah serangan mendatar menyambar lambung Buntal.

Serangan itu terlampau cepat untuk dielakkan. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Buntal kecuali menangkis serangan itu. Tetapi karena Buntal belum tahu pasti kemampuan lawannya, maka Buntal pun tidak dengan serta merta membentur kekuatan itu. Dengan lincahnya ia berkisar sambil memukul kaki yang menyambar mendatar itu dengan sepenuh tenaga.

Terdengar sebuah keluhan tertahan. Hampir saja anak muda berkulit hitam itu terdorong jatuh. Untunglah bahwa ia masih sempat meloncat dengan sebelah kakinya dan bertahan untuk tetap berdiri.

Namun dengan demikian, anak muda berkulit hitam itu dapat menjajagi kekuatan dan kemampuan Buntal, sehingga untuk selanjutnya ia tidak dapat menganggap Buntal sebagai sekedar anak-anak yang sedang berbangga karena ia mulai dapat berjalan.

Demikianlah maka perkelahian itu pun berlangsung semakin lama semakin sengit. Ternyata anak muda yang berkulit hitam dengan sekuat tenaganya berusaha memenangkan perkelahian itu. Namun Buntal pun mengerti, bahwa persoalannya sebenarnya sudah berkisar. Anak muda itu kini bukannya sekedar ingin merampas senjata karena kecurigaannya. Tetapi kini anak muda berkulit hitam itu semata-mata ingin mempertahankan harga dirinya. Tentu ia tidak mau dikalahkan oleh Buntal di hadapan kawan-kawannya, karena ternyata Buntal memiliki kemampuan di luar dugaannya. Namun sebaliknya Buntal pun tidak mau dikalahkan karena dengan demikian ia akan kehilangan senjatanya.

Karena itu, maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Masing-masing tidak mau kehilangan kesempatan untuk tertahan dan jika mungkin memenangkan perkelahian.

Namun dengan demikian Buntal tidak lagi sekedar dikuasai oleh perasaannya ingin mengalahkan lawannya. Semakin lama ia justru menjadi semakin yakin, bahwa kemampuan lawannya tidak dapat mengimbangi. kemampuannya. Lambat laun lawannya tentu akan dapat dikuasainya, jika ia tidak membuat kesalahan yang besar di dalam perkelahian itu.

Bukan saja Buntal yang menyadari akan hal itu. Tetapi orang yang lebih tua dan anggauta-anggauta pasukan yang lain itu pun mengetahui pula, sehingga ia pun dapat mengambil kesimpulan bahwa Buntal pasti akan memenangkan perkelahian itu. Namun ia pun menyadari, bahwa harga diri anak buahnya yang berkulit hitam itu tentu akan tersinggung jika ia tidak dapat memenangkan perkelahian itu, sehingga ia akan dapat berbuat sesuatu di luar sadarnya.

Karena itu, maka orang itu pun berusaha untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang baik agar kedua belah pihak tidak mendapat kesulitan dan tersinggung karenanya. Apalagi ketika ia melihat, bahwa agaknya lawan anak buahnya itu meskipun masih muda, namun memiliki pertimbangan yang lebih mengendap menilik sikapnya dan tata geraknya di dalam perkelahian itu.

Tetapi belum lagi orang itu menemukan sesuatu, tiba-tiba seorang yang bertubuh raksasa, yang baru saja datang mendekati arena itu, meloncat turun dari kudanya. Dengan serta-merta ia menyibakkan orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu, yang semakin lama ternyata menjadi semakin banyak.

“Cukup, cukup” raksasa itu pun kemudian berteriak, sehingga suaranya bagaikan menggeletarkan seisi hutan.

Semua orang yang berada di sekitar arena itu terkejut. Mereka yang sedang bertempur pun terkejut pula, sehingga hampir di luar sadarnya, keduanya meloncat surut.

Raksasa itu kini berdiri di dalam lingkungan orang-orang yang semakin banyak berkerumun. Dengan tajamnya orang itu memandang kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu berganti-ganti.

“Untunglah lawanmu seorang yang baik hati” geram raksasa itu sambil memandang anak muda yang berkulit hitam itu, “Jangan merasa dirimu memiliki kemampuan yang setingkat dengan anak muda itu, karena kau seolah-olah dapat bertahan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi sebenarnyalah bahwa kau telah dikasihani, sehingga kau tidak segera dikalahkannya”

Anak muda berkulit hitam itu memandang raksasa itu dengan keragu-raguan yang membayang di wajahnya.

“Kau tidak percaya?” bentak raksasa itu.

Anak muda berkulit hitam itu tidak menjawab. Sekilas disambarnya wajah Buntal yang disaput oleh keragu-raguan.

Sejenak-Buntal memang berdiri saja dengan tegang. Namun ketika raksasa itu tersenyum padanya, ia pun melangkah setapak maju sambil berdesis, “Kaukah itu?”

“Ya, anak muda. Kau tentu tidak lupa kepadaku”

“Ki Sura”

“Ya aku Sura”

Tetapi wajah Buntal masih tetap membayangkan keragu-raguan, sehingga sambil tersenyum Sura berkata, “Aku sekarang sudah menemukan diriku sendiri. Aku kini merasa diriku benar-benar seorang yang bebas, yang dapat menentukan pilihan. Seperti sudah kau ketahui, sejak aku meninggalkan Raden Rudira, aku kembali ke rumahku yang kecil, miring dan bocor di saat hujan turun. Keadaan yang jauh berlawanan dengan kehidupan yang pernah aku lihat di kota, membuat aku terbangun dari mimpi. Aku merasa bahwa aku harus berbuat sesuatu. Dan kini aku sudah memilih tempat”

Buntal mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum menjawab.

“Nah, barangkali kau masih tetap bertanya-tanya, dimana aku sekarang berdiri”

“Jangan kau katakan” desis anak muda berkulit hitam itu.

“Kau tidak usah curiga kepadanya” Sura berhenti sejenak lalu, “Kita adalah laskar Raden Mas Said. Nah, apakah kau sedang melakukan suatu tugas dari perguruanmu?”

“Aku akan pergi ke Sukawati. Aku akan menghadap Kiai Sarpasrana”

“O. Bagus. Sukawati sedang bersiap-siap meskipun menurut pendapat kami, persiapan itu terlampau lamban. Tetapi itu lebih baik daripada tidak berbuat sesuatu”

“Tentu dengan pertimbangan yang masak”

“Ya, ya” Sura berpikir sejenak, lalu, “Tetapi kau dapat memilih di antara Sukawati atau kami”

Buntal memandang Sura dengan tajamnya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah ada bedanya?”

“Pada dasarnya tidak. Tetapi kami memiliki gairah yang lebih besar”

“Bukan Sura. Bukan perbedaan gairah perjuangan. Tetapi tentu ada pertimbangan lain yang lebih dalam daripada masalah-masalah lahiriah yang kita lihat. Sebenarnyalah perang adalah peristiwa yang tidak dikehendaki oleh siapapun. Tetapi jika tidak ada jalan lain, maka apaboleh buat”

“Kami tidak menunggu sampai kami terantuk pada keharusan itu, karena kami tahu, bahwa akhirnya jalan itulah yang akan kami pilih”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin berbantah mengenai persoalan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah aku akan mempertimbangkannya. Tetapi karena aku sekarang sedang bertugas, maka jika tidak ada keberatan apapun, aku akan melanjutkan perjalanan”

Anak muda yang berkulit hitam, yang baru saja berkelahi melawan Buntal memandang Sura dengan sorot mata bertanya-tanya. Dan agaknya Sura dapat mengerti, sehingga katanya, “Biarlah ia pergi. Ia bukan orang yang berbahaya bagi kita. Bahkan kita berharap, pada suatu ketika kita akan bekerja bersama dengan anak muda yang baik itu”

Tidak seorang pun yang menjawab. Dan Sura berkata terus, “Nah, ingat-ingatlah. Kita harus berbuat sebaik-baiknya sehingga kita tidak terjerumus ke dalam arus perasaan melulu. Sampai saat ini kita selalu mencurigai orang-orang yang tidak bersama kita menyelusuri jalan, hutan dan sungai. Tetapi sebenarnyalah bahwa di luar pasukan kita, masih banyak orang yang melakukan perjuangan untuk kepentingan tanah ini dengan caranya masing-masing. Dan kalian harus menghargai mereka seperti kalian menghargai diri kalian sendiri”

Tidak ada yang menyahut. Lalu, “Buntal. Silahkan meneruskan perjalanan. Kita akan berada di dalam tugas kita masing-masing. Sampaikan salamku kepada Kiai Sarpasrana. Meskipun aku belum mengenalnya langsung, tetapi aku pernah mendengar namanya di antara nama-nama para pengikut Pangeran Mangkubumi”

“Baiklah. Terima kasih Sura”

Sura tersenyum. Kemudian dengan suatu isyarat pasukan itu pun melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan sempit dan daerah yang berhutan.

Sejenak Buntal termangu-mangu. Yang dijumpainya itu pun sebuah pasukan. Tetapi pasukan itu tidak tergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi. Dengan demikian maka seakan-akan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi telah berjalan sendiri-sendiri menurut cara masing-masing.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Cara ini tidak boleh berjalan terlalu lama”, Namun kemudian seakan-akan ia menyadari dirinya sendiri, “Tentu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said lebih mengerti akan hal ini”

Buntal kemudian tersenyum sendiri. Perlahan-lahan ia melangkah menuntun kudanya. Justru karena ia melihat sebuah mata air di bawah sebatang pohon yang besar. Diberinya kesempatan bagi kuda untuk meneguk air sejenak. Kemudian dengan tangkasnya ia meloncat naik dan berpacu meninggalkan tempat itu.

Dalam pada itu, Arum yang tinggal di padepokannya, merasa semakin sepi. Kepergian Buntal membawa kesan yang lebih dalam di hatinya daripada kepergian Juwiring. Mungkin sepeninggal Juwiring ia masih mempunyai seorang saudara seperguruan di padepokannya. Tetapi sepeninggal Buntal, ia benar-benar seorang diri.

Dengan demikian, maka pekerjaannya menjadi semakin banyak. Ia harus pergi ke sawah di pagi hari. Kadang-kadang harus melakukan tugas kedua saudara seperguruannya meskipun ayahnya sering memperingatkannya.

“Biarlah aku dan para pembantu sajalah yang melakukannya Arum” berkata ayahnya kepada gadis itu.

“Biarlah ayah. Apakah bedanya?”

“Kau adalah seorang gadis”

Arum memandang ayahnya dengan herannya. Bukankah ayahnya mengetahui bahkan ayahnya telah membentuknya menjadi gadis yang lain dari kebanyakan gadis di padukuhan Jati Sari? Dan ayahnya mengetahui dengan pasti, bahwa tenaganya tidak jauh berbeda dengan tenaga Juwiring dan Buntal, dan bahkan jauh melampaui anak-anak muda di padukuhannya.

Agaknya ayahnya menyadari akan hal itu. sehingga meskipun Arum tidak mengucapkannya, namun ayahnya menjawab, “Kau memang seorang gadis yang lain Arum. Tetapi kau tidak dapat berbuat lain seperti itu di lingkungan kehidupan kita, di tengah-tengah para petani. Apalagi di padepokan ini terdapat beberapa orang laki-laki. Mereka akan menyangka bahwa kau anak tiriku. Seorang gadis harus bekerja keras, sedang di rumahnya terdapat beberapa orang laki-laki”

“Ah, kenapa ayah merisaukan pendapat tetangga?”

“Pertanyaanmu aneh Arum. Kita tidak hidup sendiri. Kita hidup di dalam lingkungan kehidupan yang sudah terbentuk. Karena itu kita harus menyesuaikan diri. Jika ada perbedaan di antara kita dan para tetangga, maka kita harus menguranginya sehingga yang nampak adalah perbedaan yang sekecil-kecilnya”

Arum tidak menyahut lagi. Ia mengerti keberatan ayahnya, sehingga karena itu, maka kepalanya terangguk-angguk kecil.

Namun dengan demikian padepokan itu rasa-rasanya menjadi semakin sepi. Tanpa Buntal dan tanpa Juwiring.

Di dalam kesepian itu, kadang-kadang Arum terperosok ke dalam sebuah angan-angan yang asing baginya. Kadang-kadang memang terbayang kedua saudara seperguruannya. Namun kemudian yang paling jelas terlukis di rongga matanya adalah Buntal. Rasa-rasanya Buntal mempunyai kedudukan yang khusus di dalam hatinya.

Anak itu memang agak lebih kasar dari Juwiring. Baik sikapnya, maupun ujudnya. Namun rasa-rasanya Buntal adalah orang yang paling sesuai bagi kehidupan di padepokan. Bukan kehidupan di istana seperti istana Ranakusuman.

Beberapa hari sepeninggal Buntal, tidak terjadi sesuatu yang menarik di padepokan Jati Aking, selain kesepian yang semakin menghunjam jantung. Orang-orang Jati Aking dan Jati Sari bekerja seperti biasanya. Mereka memelihara sawah dengan tekun dan bersungguh-sungguh, karena sawah mereka adalah sumber kehidupan mereka sekeluarga. Makan, pakaian dan segala kebutuhan hidup bersumber dari hasil. sawah yang mereka garap itu.

Tetapi ketika suasana di Surakarta menjadi semakin lama semakin panas, maka udara yang panas itu mengalir semakin deras ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.

“Ayah” bertanya Arum pada suatu saat kepada ayahnya, “Apakah ayah percaya bahwa tersebar berita, laskar yang menentang Kumpeni itu bukan saja melakukan peperangan dimana-mana tetapi juga perampokan dan penyamunan disekitar daerah Surakarta ini?”

Ayahnya mengerutkan keningnya, “Darimana kau dengar berita itu Arum?”

“Hampir setiap orang mengatakannya pagi ini ayah. Di sawah orang-orang berceritera tentang perampokan di daerah Maja. Seorang saudagar yang meskipun tidak begitu kaya, tetapi memiliki beberapa ekor ternak dan perhiasan, telah dirampok sampai habis. Bahkan ternaknya pun dibawa pula oleh, perampok-perampok itu”

“Darimana mereka tahu bahwa mereka adalah laskar yang menentang kumpeni?”

“Mereka berkata tentang diri mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa yang diambilnya itu adalah sekedar sumbangan bagi perjuangan menentang penjajahan”

“Sekedar sumbangan, tetapi diambilnya semua kekayaan yang ada?”

“Ya ayah”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata, “Apakah orang-orang itu memperlihatkan ciri dari laskar yang mereka sebut laskar yang menentang kumpeni itu?”

“Tidak ayah. Tetapi mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang dari pasukan Raden Mas Said”

“Ah” dengan serta-merta Kiai Danatirta bergeser. Lalu, “Arum. Kita harus berhati-hati menerima berita semacam itu. Karena orang-orang itu dengan terus-terang menyebut dirinya dari laskar Raden Mas Said kita justru menjadi curiga karenanya”

“Kenapa?” bertanya Arum.

“Arum” berkata ayahnya, “ada beberapa cara untuk memukul lawannya. Jika Kumpeni tidak siap untuk berperang, maka ia dapat mempergunakan cara lain, di antaranya perampokan-perampokan itu”

“Maksud ayah?”

“Mereka mengupah beberapa orang untuk melakukan kejahatan. Orang-orang itu dipersenjatainya dengan baik. Hasil rampasannya akan merupakan upah tambahan dari yang diterimanya dari kumpeni”

“Dan mereka dengan sengaja menyebut dirinya orang-orang yang disegani oleh kumpeni, agar kedudukan mereka menjadi sulit. Begitu ayah?” bertanya Arum, “Licik sekali”

“Nah, berhati-hatilah. Jika kau mendengar berita apapun di saat seperti ini, kau harus mampu menyaringnya. Kau mengerti?”

“Aku mengerti ayah. Tetapi bagaimana dengan pendapat yang sudah terlanjur tersebar di antara rakyat?”

“Kita dapat menjelaskannya. Tetapi harus dengan sangat berhati-hati. Jika telinga kumpeni mendengar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan bagi kita di sini”

Arum mengerutkan keningnya dan ayahnya meneruskan, “Tentu kumpeni tidak akan berdiam diri mendengar bahwa usahanya dapat diraba orang.

“Aku mengerti ayah”

“Karena itu Arum, untuk menjelaskan kebenaran merupakan suatu perjuangan tersendiri apabila kebenaran itu merupakan cacat bagi kumpeni”

“Baiklah ayah” Arum bergumam seperti kepada diri sendiri, “Aku akan berhati-hati. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak dapat berdiam diri, membiarkan nama Raden Mas Said itu tercemar. Aku mengenal Raden Mas Said secara pribadi meskipun hanya sekilas ketika aku mengikuti Raden Juwiring ke Surakarta. Karena itu, aku yakin bahwa ia memang tidak akan membiarkan anak buahnya melakukan hal itu, sebab hal itu akan menodai perjuangannya. Bahkan seluruh perjuangan kita”

“Tentu kau benar anakku. Tetapi berhati-hatilah” Arum tidak menyahut. Tetapi ia yakin bahwa yang dikatakan oleh ayahnya itu benar. Kumpeni tentu menggunakan akal yang licik untuk menghancurkan nama lawannya.

Tetapi pada suatu saat. Arum terpaksa datang lagi kepada ayahnya sambil berkata, “Ayah, semalam tiga orang perampok telah dibunuh oleh kumpeni”

Ayahnya semula tidak begitu tertarik kepada ceritera itu. Namun Arum mendesaknya, “Ayah. jadi bagaimanakah yang sebenarnya menurut ayah. Jika mereka itu benar-benar orang yang diupah oleh kumpeni, kenapa mereka harus dibunuh sendiri oleh kumpeni”

“Apakah kau heran?”

“Tentu ayah”

Ayahnya memandang Arum dengan tajamnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertanya, “Coba Arum, pecahkan persoalan yang kau herankan itu. Seharusnya kau tidak saja memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi juga di dalam kecerdasan memecahkan persoalan”

Arum menjadi semakin heran. Sambil bersungut-sungut ia bergumam, “Ayah justru berteka-teki”

“Bukan berteka-teki. Tetapi sepantasnya kau dapat menebak apakah sebabnya maka hal itu dilakukan oleh kumpeni”

Arum terdiam sejenak, ia mencoba untuk menemukan alasan, kenapa kumpeni telah melakukan hal itu. Tetapi meskipun untuk beberapa saat ia merenung, namun ia masih belum dapat memecahkannya.

“Arum” berkata ayahnya, “Jika kau memukul seekor kucing dengan tongkat, kemudian kau melihat pemilik kucing itu datang, maka kau tidak segan-segan untuk melemparkan bahkan mematahkan tongkat itu, agar pemiliknya tidak menuduhmu, bahwa kau sudah memukul kucingnya yang lari terbirit-birit”

“O” Arum menyahut hampir berteriak, “Aku tahu ayah. Kumpeni sengaja membunuh orang-orang upahannya sendiri untuk melenyapkan jejak kelicikannya. Dengan demikian, maka rakyat tidak akan menyangka bahwa kumpeni telah dengan sengaja mengacaukan perjuangan Raden Mas Said dan juga Pangeran Mangkubumi apabila sampai saatnya ia kehilangan kesabaran dan kehilangan harapan untuk memecahkan persoalan Surakarta dengan damai tanpa menitikkan darah lebih banyak lagi”

Ayahnya tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Benar Arum. Demikianlah gambaran dari kelicikan kumpeni. Caranya memecahkan persoalan adalah cara yang tidak pernah terbayang di dalam angan-angan kita sebelumnya. Tetapi setelah beberapa lama kita mengenal mereka, maka kita pun akan segera dapat mengetahui, apakah yang telah mereka lakukan. Hampir sama dengan cara-cara yang ditempuh oleh penjahat-penjahat kecil yang tidak mengenal kejantanan”

“Tetapi kita perlu mengetahui cara-cara itu ayah, sehingga kita tidak akan selalu terjebak di dalam kelicikannya”

“Ya Arum. Kita memang harus mempelajari ilmunya. Ilmu yang licik dan pengecut. Sebelumnya kita tidak pernah mengenalnya. Apalagi kesatria dan bangsawan yang turun temurun memiliki darah jantan. Tetapi jika kita mempelajarinya bukan maksud kita untuk mempergunakannya. Namun dengan demikian kita tidak akan dapat masuk ke dalam perangkap”

“Apalagi mereka sama sekali tidak menjadi malu dan menyesal apabila cara-caranya yang licik itu kemudian kita ketahui. Mereka sama sekali tidak mempedulikannya. Seakan-akan mereka tidak pernah melakukan apapun juga”

“Nah, demikianlah Arum. Kau sudah tahu bahwa yang terbunuh itu memang orang-orang kumpeni sendiri”

“Betapa kejamnya ayah. Mereka mengorbankan jiwa orang lain untuk mengelabui perjuangan rakyat Surakarta”

“Ya. Memang kejam sekali. Mereka tidak menghargai jiwa manusia. Mereka menganggap bahwa jiwa kita, orang-orang yang mempunyai kulit berwarna itu, seperti jiwa budak-budak yang tidak berharga sama sekali”

Tiba-tiba Arum menggeram. Katanya, “Kita tidak dapat membiarkan diri kita kehilangan martabat kemanusiaan kita”

“Dan itulah yang diperjuangkan oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi dengan caranya masing-masing. Namun yang agaknya sebentar lagi. Pangeran Mangkubumi pun akan menempuh cara yang sama”

“Ya. Kakang Buntal telah dipanggilnya. Tentu bukan hanya kakang Buntal sendiri, tetapi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus”

Kiai Danatirta menganggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Arum, kau dapat menjelaskan apa yang kau ketahui tentang kumpeni itu kepada rakyat Jati Sari. Tetapi seperti yang aku katakan, kau harus berhati-hati. Kumpeni mempunyai telinga dan mata dimana-mana. Justru orang-orang yang memiliki kulit seperti kulit kita inilah yang telah merusakkan setiap usaha kita dengan upah yang besar. Tetapi upah itu pun hanya sekedar janji, karena orang-orang itu pun pada saatnya akan dibunuh sebagai perampok dan yang lain disebutnya sebagai pengikut Raden Mas Said”

Arum menyadari keadaan itu. Karena itulah, maka ia dengan sangat berhati-hati berusaha untuk mengatakan kebenaran yang diketahuinya. Mula-mula hanya di dalam lingkungan kecil, yang diketahuinya mempunyai sikap yang sejalan menghadapi kumpeni, meskipun mereka tidak dapat berbuat apapun juga karena mereka tidak memiliki kekuatan.

“Memang masuk akal” desis seorang tua berjanggut putih, “darimana kau ketahui akal licik itu Arum?”

“Aku hanya menduga-duga saja kakek. Mungkin aku salah”

“Kau benar. Aku yakin kau benar. Karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan perjuangan Raden Mas Said”

Pendirian itu pun perlahan-lahan menjalar dari orang-orang yang satu kepada orang yang lain. Sehingga akhirnya tidak ada lagi yang dapat mengatakan, bahwa yang pertama-tama meragukan tindakan kumpeni itu adalah Arum.

Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Danatirta, maka ada jiwa telinga kumpeni yang mendengarnya, bahwa di padukuhan kecil yang bernama Jati Sari ada orang-orang yang menganggap bahwa kumpeni telah melakukan kecurangan itu.

Itulah sebabnya maka di padukuhan Jati Sari kadang-kadang tampak orang-orang yang tidak dikenal lewat di jalan padukuhan mereka. Meskipun sejak lama jalur jalan itu selalu dilalui oleh banyak orang, dan kadang-kadang orang-orang yang tidak dikenal, tetapi bagi Kiai Danatirta. tampak ada perbedaan tingkah laku dari orang-orang yang mempunyai maksud-maksud tertentu di daerah Jati Sari.

Itulah sebabnya maka Kiai Danatirta selalu berpesan kepada Arum untuk berhati-hati.

“Arum, sudah banyak orang yang bersikap benar menanggapi perampokan dan pembunuhan yang memakai kedok laskar Raden Mas Said. Karena itu, janganlah menyebarkannya lagi, karena akhir-akhir ini aku menaruh curiga kepada beberapa orang yang tidak aku kenal mondar-mandir di padukuhan ini”

“Apakah maksudnya?” bertanya Arum.

“Tentu mereka mendapat laporan bahwa rakyat Jati Sari mencurigai desas-desus tentang perampok-perampok itu”

Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan diam. Pengertian itu sudah cukup tersebar di antara rakyat Jati Sari. Namun demikian ayah, apakah orang prang yang sampai saat ini masih bersedia diperalat itu tidak mengerti bahwa kawan-kawannya terbunuh setelah tidak diperlukan lagi?”

“Mungkin mereka mengerti, tetapi mereka mempunyai sesuatu yang lebih berharga menurut dugaan mereka sendiri dari kawan-kawannya yang terbunuh. Atau mereka menyangka bahwa kawan-kawannya yang terbunuh itu telah berkhianat dan harus dimusnahkan”

Arum mengangguk-angguk. Itu adalah sikap yang sangat licik dari kumpeni.

Tetapi Arum juga mempunyai dugaan lain, “Bukan saja kelicikan kumpeni. Tetapi juga karena kebodohan kita sendiri. Apalagi karena kita adalah orang-orang yang tamak, yang segera tergelincir karena gemerlapnya sekeping uang”

Dan orang yang demikian itu sebenarnya memang ada. Ketika Arum dan beberapa orang kawan-kawannya, sedang duduk di bawah sebatang pohon duwet di pategalan, dilihatnya dua orang anak muda yang berpakaian seperti pedagang-pedagang yang kecukupan lewat di jalan di sebelah pategalan itu. Ketika keduanya melihat beberapa orang gadis yang sedang duduk, maka keduanya pun saling berpandangan sejenak, lalu langkah mereka pun terhenti.

Gadis-gadis yang sedang duduk berteduh itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka belum mengenal kedua anak-anak muda itu.

“Apakah aku dapat bertanya Ki Sanak” desis salah seorang dari keduanya sambil melangkah mendekat.

Tidak ada seorang pun dari gadis-gadis itu yang menjawab. Mereka saling berdesakan dan bahkan ada di antara mereka yang menjadi tersipu-sipu dan memalingkan wajahnya.

“Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya”

Seorang gadis yang bertubuh pendek memberanikan diri untuk menjawab, “Silahkan. Jika aku dapat menjawab, aku akan menjawabnya”

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Bagus. Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih”

Arum yang juga berdiam diri memperhatikan kedua anak muda itu berganti-ganti. Tetapi ia merasa bahwa keduanya belum pernah dilihatnya.

“Siapakah namamu” bertanya anak muda itu kepada gadis yang bertubuh pendek.

Gadis itu terdiam sejenak sambil menutup senyumnya dengan telapak tangannya. Wajahnya menjadi merah. Apalagi ketika anak muda yang tampan dan berpakaian cukup baik itu berjongkok di hadapan gadis-gadis yang sedang duduk itu, disusul dengan anak muda yang seorang lagi.

“Siapakah namamu?” desak anak muda itu.

Gadis yang bertubuh pendek itu bergeser surut sehingga mereka pun menjadi semakin berdesak-desakan.

“Ah, kenapa kau malu,” Anak muda itu tersenyum, “Kau cantik sekali”

“Ah” gadis itu tiba-tiba saja menyembunyikan wajahnya. Belum pernah ia mendengar seorang anak muda memujinya langsung di hadapannya. Bahkan kadang-kadang ia merasa rendah diri karena tubuhnya yang pendek dan wajahnya yang agak kasar. Karena itu ketika seseorang memujinya sebagai seorang gadis yang cantik, maka serasa jantungnya akan berhenti berdetak.

“Baiklah” berkata anak muda itu, “mungkin kalian tidak mau mendengar seseorang memuji. Itu adalah kebiasaan gadis-gadis padesan. Tetapi cobalah, katakan, apakah kalian sering melihat sesuatu yang menarik perhatian di padukuhan kalian?”

Gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Sebagian dari mereka menjadi bingung. Tetapi gadis yang bertubuh pendek itu justru mengangkat wajahnya. Ia merasa berhutang budi kepada anak muda yang sudah memujinya itu.

“Maksud tuan?” gadis itu bertanya.

Anak muda itu tersenyum. Dan sekali lagi ia bertanya, “Siapa namamu?”

Meskipun gadis itu menjadi tersipu-sipu lagi. tetapi ia menjawab, “Warsi. Namaku Warsi”

“Hanya Warsi?” Gadis itu mengangguk.

“Nama yang manis sekali“

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar